data novri

Upload: novri-irawan

Post on 30-Oct-2015

126 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

http://bangazul.blogspot.com/2012/06/evaluasi-penerapan-inti-plasma-pada.htmlDR. Arif Zulkifli NasutionPengamat LingkunganEvaluasi Penerapan Inti Plasma Pada Perkebunan Kelapa SawitKebijakan plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR (perusahaan inti rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding (NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan Tabalong (Sumatra selatan).Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Semua pola PIR tersebut merupakan proyek yang didanai dari pinjaman Bank Dunia, yang mencontoh dari program kemitraan yang diterapkan di Amerika selatan. Pembangunan perkebunan ditempuh melalui empat pola pengembangan yaitu; (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR); (2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP); (3) Pola Swadaya (PS); (4) Pola Perkebunan Besar (PB).Pola pengembangan tersebut, maksud untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat seperti: Petani yang tidak mempunyai sumber daya (Iahan dan modal) dibantu melalui pola PIR. Petani yang mempunyai lahan saja ditangani dengan pola UPP. Petani yang sudah punya potensi untuk berkembang ditangani melalui pola swadaya dengan kegiatan yang dibantu pemerintah hanya bersifat parsial, sehingga swadaya dari pada petani dapat tergugah. Para pengusaha yang mempunyai modal dan kemampuan didorong untuk berpartisipasi di dalam pengembangan perkebunan besar baik dengan pola PIR maupun bukan pola PIR.Perusahaan Inti Rakyat adalah pola untuk mewujudkan suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu system kerjasama yang saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan, 1986).http://1.bp.blogspot.com/-a8DcxeALSJo/T9m--A8hUrI/AAAAAAAABMg/YswHluX_w-k/s1600/mekanisme%2Bkemitraan.jpgPola PIR memanfaatkan perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal bukaan baru, pada areal yang terpencil (remote) dan masih jarang penduduknya. Pada pola tersebut, perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri, berkewajiban membantu petani peserta dalam membangun kebunnya dengan teknologi maju, melakukan pengolahan serta melakukan pemasaran hasil. Pembangunan perkebunan melalui pola PIR telah berkembang dan tersebar di banyak lokasi dan telah memberikan banyak manfaat seperti peningkatan pendapatan petani, pengembangan wilayah, penyerapan tenaga kerja dan mendukung program transmigrasi. Berdasarkan alas pembiayaan proyek, peserta proyek dan sasarannya maka pola PIR dapat digolongkan atas PIR-BUN yang meliputi PIR Swadana yaitu PIR Lokal & PIR Khusus dan PIR Berbantuan serta PIR-TRANS (Ditjen Perkebunan, 1996).Pembangunan perkebunan dengan pola PIR-BUN sampai dengan saat ini telah dikembangkan 562.156 Ha terdiri dari 397.762 ha kebun plasma dan 164.394 ha kebun inti dengan berbagai macam komoditas yakni karet, kelapa sawit, tebu, kapas, kelapa hibrida dan kakao yang tersebar di 20 propinsi.

Dengan Pola PIR-TRANS telah dikembangkan 584.627 Ha terdiri dari kebun plasma seluas 425.417 Ha meliputi 381.227 Ha komoditas kelapa sawit dan 44.190 Ha komoditas kelapa hibrida serta 159.210 Ha kebun inti yang meliputi 148.162 Ha komoditas kelapa sawit dan 11.048 Ha komoditas kelapa hibrida yang tersebar di 11 propinsi (Ditjen Perkebunan, 1997)Didalam pelaksanaannya dijumpai masalah/kendala yang mengakibatkan tidak selesainya program sesuai dengan rencana yang mengakibatkan antara lain pelaksanaan akad kredit tidak tepat waktu, sehingga calon petani peserta terlambat menerima pendapatan dari kebun, perusahaan inti menanggung beban bunga dan petani peserta meninggalkan lokasi sehingga proses sertifikasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.Beberapa masalah yang mengganggu kelancaran pelaksanaan PIR, antara lain sering terjadinya pelanggaran perjanjian, baik dilakukan oleh perusahaan inti maupun petani plasma, tidak jelasnya aturan main yang harus disepakati, dan mandulnya fungsi kontrol lembaga yang ditugaskan untuk hal itu. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.

Masalah lain dalam program PIR, terutama pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan masyarakat atas luas dan pembagian lahan dapat melahirkan kecemburuan sosial dan memicu konflik diantara masyarakat sendiri, serta mepertajaman kesenjangan ekonomi di masyarakat.Ditambah lagi latar belakang petani plasma yang beragam sehingga sering terjadi kejutan dan loncatan budaya, petani tidak menguasai teknologi produksi, turut menentukan kultur teknis produksi dan tingkat produktivitas lahan. Pilihan komoditas yang didasari oleh kepentingan pasar internasional tanpa melihat kepentingan dan keinginan petani.Pada kenyataannya banyak petani yang terpaksa menjadi petani plasma karena tanah mereka masuk dalam areal perkebunan besar, sehingga opsi ini terpaksa diambil ketimbang tidak punya lahan.Pemerintah menetapkan bahwa konversi kebun plasma pada petani setelah tanaman menghasilkan (empat tahun), luasan kebun 2 ha/kk dan sekarang diperbarui jadi 4 ha/kk, kebun plasma harus sama standar teknisnya dengan kebun inti. Pada kenyataannya cenderung terjadi pelanggaran terhadap regulasi pemerintah. Konversi dilakukan setelah lewat umur antara 6-7 tahun bahkan ada yang belasan tahun.

Perusahaan melakukan konversi setelah mengecap cukup keuntungan dari kebun itu. Kasus PT. SWA di Mesuji Lampung adalah contoh kebun yang sudah belasan tahun tidak dikonversi dan terus dinikmati perusahaan.Demikian juga tiap KK 2 ha banyak yang tidak dipenuhi. Di Sanggau 60% kebun plasma dari group besar Malaysia kurang dari 2 ha. Bahkan Riau sebuah perusahaan nasional hanya mampu membangun 7.000 ha kebun plasma dari 17.000 ha yang diserahkan oleh masyarakat.Kenyataan lainnya kebun plasma standar teknisnya sama sekali tidak sama dengan kebun inti. Banyak kebun yang jumlah pohonnya kurang dari 128/ha, jalan ke lokasi plasma sangat jelek dan banyak gulma sedang di inti bagus dan bersih. Bahkan sebuah group besar di Jambi semua kebun plasmanya di lahan gambut sehingga menyulitkan petani dalam memanen.Ketika produksi ada sortasi dengan model pemotongan hasil produksi buah. Rata-rata sortasi mencapai 4% sehingga jika produksi petani 4 ton maka 160 kg akan berkurang. Manajemen satu atap dimana kebun dikelola oleh perusahaan dan petani tinggal menerima hasil. Hal ini sering menimbulkan konflik karena biaya perawatan tinggi tetapi hasil kebun rendah. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, pemerinth berencana merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, bertujuan untuk lebih memperjelas dan mempertegas pembangunan plasma di industri perkebunan kelapa sawit.

Revisi akan difokuskan pada pasal 11 aturan Menteri Pertanian tersebut. Pasal 11 ini terdiri atas empat ayat, yang mana seluruhnya tidak secara tegas menetapkan tenggat waktu (deadline) pembangunan plasma kelapa sawit dan status lahan yang bakal dipakai. Artinya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan inti untuk mewujudkan pembangunan plasma pada tahun ke sekian setelah perusahaan mulai beroperasi.Kebijakan itu hanya mengatur pembagian porsi plasma yang wajib dibuat oleh pelaku usaha. Misalnya, ayat 1 tertulis, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, antara lain melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil. Pada ayat berikutnya, pembangunan kebun plasma dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pelaku perkebunan.Poin penting revisi Permentan itu, yakni memperjelas pembagian porsi kebun plasma antara pelaku usaha dan rakyat. Pasalnya, selama ini terjadi multitafsir mengenai pembagian sebesar 20%, apakah itu dihitung berdasarkan lahan hak guna usaha (HGU) atau diluar lahan HGU.Permentan 26/2007 yang sebelumnya hanya mengatur plasma untuk pelaku usaha yang membuka kebun selepas tahun 2007, maka itu akan direvisi bahwa pembangunan plasma juga berlaku untuk perkebunan yang sudah ada sebelum 2007. Kebijakan baru akan mengatur perkebunan yang sebelumnya tidak diwajibkan membangun plasma. Bahkan, dengan dilibatkannya masyarakat dalam kepemilikan lahan sawit melalui pola perkebunan inti-plasma, dapat mereduksi terjadinya konflik pertanahan.

Namun demikian, yang terpenting lagi, pemerintah jangan hanya fokus membuat plasmanya saja, perlu juga dipikirkan kebijakan replanting pada perkebunan kelapa sawit milik petani. Sebab, untuk replanting petani mesti menyiapkan dana yang tidak sedikit. Misalnya, peremajaan tanaman sawit di setiap dua hektare (ha) lahan butuh biaya Rp 76 juta. Di sinilah pemerintah dituntut untuk lebih memperhatikan nasib petani sawit.Kalangan pelaku bisnis perkebunan sawit berharap revisi Permentan 26/2007 harus dilakukan secara menyeluruh. Misalnya, ada HGU pelaku usaha yang sudah habis masa berlakunya namun bisa diperpanjang, juga porsi plasma 20% apakah lahannya diambilnya dari lahan HGU.Di bisnis kelapa sawit pola intiplasma perlu berkembang pesat, dan perlu mengembangkan pola inti-plasma yang lebih harmonis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu dengan pengusaha nasional sebagai aktor kegiatan agribisnis industri kelapa sawit diharapkan kebun plasma yang semakin meluas, sehingga nantinya Indonesia akan menjadi penghasil finished product dan bukan raw material.

http://infosawit.com/booklets/BOOKLET%20PETANI%20PLASMA.pdfA. Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun)Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan pendapatan dari usaha kebun kelapa sawit. Pada pola PIR-Bun, perusahaan perkebunan swasta dan pemerintah sebagai inti, sedangkan petani kelapa sawit sebagai plasma atau peserta. Perusahaan inti berperan membangun satu kesatuan ekonomi yang terdiri dari: kebun inti lengkap dengan unit pengolahan, kebun plasma, pemukiman petani plasma yang dilengkapi fasilitas umum dan fasilitas sosial sesuai petunjuk operasional dan teknis departemen terkait. Perusahaan inti juga berperan melakukan pembinaan petani plasma sehingga dapat menerapkan budidaya dengan baik.Sesudah kebun kelapa sawit berproduksi perusahaan inti berperan menampung atau membeli hasil kebun plasma dengan harga yang layak sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah (Kementerian Pertanian), serta membantu proses pengembalian kredit petani peserta.Petani berperan melaksanakan pemeliharaan dan pengelolaan kebunnya dengan bimbingan perusahaan inti, kemudian menjual produksi kebunnya kepada perusahaan inti sesuai formula harga yang ditetapkan oleh pemerintah bersama dengan perusahaan inti dan organisasi petani plasma (koperasi). Pelunasan biaya pembangunan kebun plasma dilakukan oleh petani secara mencicil melalui pemotongan sebagian (30%) dari hasil penjualan produksi kebunnya setiap bulan hingga terlunasi seluruhnya. Proyek PIR memperoleh bantuan pembiayaan dari Bank Dunia, yang selama tahun 1977-1983 memberikan dukungan kepada lebih dari 7 proyek, dengan komitmen pembiayaan mencapai US$ 655 juta. Proyek PIR diujicobakan untuk pertama kalinya di daerah Alue Merah (Aceh) dan Tabalong (Kalimantan Selatan).

Dari Kiri: Rachmat Samekto, Walimin, Ruman dan H. Sumarno (Petani plasma PT Sari Lembah Subur)I. Sejarah Perkebunan Rakyat Indonesia B. Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans)Pada perkembangannya, pola PIR-Bun digunakan untuk mendukung program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pada 1986, yang kemudian berubah nama menjadi PIR-Trans dengan keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No.1 tahun 1986 tentang pengembangan perkebunan dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi komoditas non migas, mengurangi jumlah penduduk miskin, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah dan menunjang keberhasilan program transmigrasi.Inpres itu ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No.333/Kpts/KB.510/6/1986 tentang tata cara pembangunan perkebunan dengan pola PIR-Trans, yang menyebutkan persyaratan peserta PIR-Trans adalah: transmigran, penduduk setempat, petani berpindah dari kawasan hutan terdekat.Melalui pelaksanaan PIR-Trans petani berhak atas lahan kebun seluas 2 hektare dengan status lahan sertifikat hak milik (SHM). Pendapatan petani peserta program PIR-Trans meningkat setiap bulannya. Biasanya, porsi penggunaan hasil penjualan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit produksi kebun petani plasma adalah: sebesar 30% untuk angsuran kredit, sebesar 20% disisihkan untuk biaya perawatan tanaman, biaya produksi dan biaya perawatan jalan, sedangkan sisanya sebesar 50% menjadi pendapatan bersih petani.C. Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA)Pada era 1990-an diperkenalkan pola Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) dimana perusahaan inti bertanggung jawab sebagai penjamin pengembalian kredit bank yang angsurannya diambil dari hasil penjualan TBS produksi kebun petani plasma.Di Bangka, pola KKPA dikembangkan dan dimodifikasi menjadi pola Kebun Kelapa Sawit Rakyat (KKSR) yang melibatkan pemerintah daerah (Pemda). Pada pola KKSR petani plasma menyediakan lahan dan tenaga kerja, Pemda menyediakan biaya pembukaan lahan dan sarana produksi, sedangkan perusahaan inti menyediakan bibit dan membina petani. Dibandingkan dengan pola PIR dan KKPA, pada pola KKSR petani menjadi lebih mandiri dan mendapat peran yang lebih besar sejak awal pembangunan kebun, dengan dibimbing oleh perusahaan inti bersama dengan dinas terkait (dinas perkebunan).A.Budidaya Kelapa Sawit di Perkebunan PlasmaTahun 1980-an merupakan awal berkembangnya perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh masyarakat. Pemerintah menggandeng perkebunan kelapa sawit besar swasta nasional (PBSN) mengembangkan sawit dengan pola Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi atau kerap disebut dengan PIR-Trans.Pada awalnya tidak mudah meyakinkan para transmigran asal Pulau Jawa untuk membudidayakan kelapa sawit, mengingat latar belakang mereka yang tidak pernah bertani kelapa sawit. Tetapi seiring berjalannya waktu mereka yang bertahan kini menikmati hasilnya.Ini terutama karena pola pengelolaan Kebun Plasma yang dilakukan oleh Kebun Inti. Kebun Inti secara intensif memberikan penyuluhan mengenai cara budidaya kelapa sawit, cara mengelola keuangan dan cara berkoperasi. Bahkan Kebun Inti memiliki organisasi khusus dengan menempatkan petugas penyuluh (setingkat Asisten Kebun) untuk mendampingi para petani plasma maupun Koperasi (KUD) sebagai lembaga pengelola kelompok tani Plasma sehingga pengelolaan Kebun Plasma berjalan dengan baik.Kebun Inti memberikan perhatian pada pendidikan di masyarakat petani Plasma, melalui pengadaan sarana dan prasarana pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan. Nipto Anim, Camat Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau menyampaikan rasa terima kasihnya kepada PT Sari Lembah Subur:Saya atas nama masyarakat menyambut baik dan berterima kasih kepada PT Sari Lembah Subur yang telah memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah di Kecamatan Pangkalan Lesung berupa laboratorium dan perpustakaan beberapa waktu yang lalu. Saya berharap bantuan ini dapat lebih ditingkatkan dan dapat lebih bermanfaat bagi para anak didik di sekolah tersebut. Dan saya berharap dengan dukungan sarana dan prasarana dari PT Sari Lembah Subur dapat meningkatkan mutu pendidikan di Kecamata Pangkalan Lesung, karena walau Pemerintah sudah memberikan dana tapi masih jauh dari memadai untuk itu bantuan dari perusahaan ini sangat membantu operasional sekolah baik SD, SMP dan SMA. Dan dari kepedulian perusahaan saya berharap tidak ada kesenjangan sosial yang memicu kecemburuan dan berakibat yang tidak baik. Dengan bantuan ini hendaknya antara perusahaan dan masyarakat dapat saling memiliki dan hidup berdampingan secara baik dan dapat saling membantu.B.Potret Kesejahteraan Petani PlasmaPengembangan pola PIR-Trans tak bisa dipungkiri membawa berkah bagi petani plasma. Betapa tidak, petani yang kebanyakan didatangkan dari luar pulau, saat ini sudah bisa menikmati hasilnya. Kesejahteraan hidup menjadi salah satu indikator keberhasilan mereka.Dengan meningkatnya pendapatan petani plasma maka menciptakan efek berlipat ganda terhadap desa di mana mereka tinggal. Salah satunya Desa Pematang Tinggi, Kecamatan Krukut, Kabupaten Pelalawan, Riau, yang bermula dari unit pemukiman transmigrasi (UPT) dengan jumlah peserta transmigrasi mencapai 517 KK (Kepala Keluarga). Lambat laun, UPT ini berkembang menjadi desa yang taraf ekonominya tumbuh pesat dengan rata-rata penghasilan penduduknya mencapai Rp 3 juta/ kaveling/bulan (kaveling = 2 hektare lahan dan 0.5 hektare pekarangan). Hingga saat ini, total jumlah penduduk Desa Pematang Tinggi mencapai 1.839 jiwa. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani plasma sawit, sementara itu adapula yang membuka usaha kecil seperti toko kelontong, tempat cuci mobil dan usaha jasa lain.Sama halnya dengan Desa Kijang Jaya Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau. Kondisi desa sangatlah maju yang terlihat dari ketersediaan infrastruktur jalan dan ramainya aktivitas perekonomian. Tak hanya itu, aktivitas pasar sangat padat pengunjung.Sebagian besar penduduk Desa Kijang Jaya merupakan transmigran. Setelah menjadi petani sawit, mereka dapat hidup berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Bahkan, beberapa petani plasma Desa Kijang Jaya mampu membiayai kuliah anakanaknya sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan mereka sudah lebih dari sekadar hidup layak dan sangat sejahtera.Di Desa Makmur Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, sebagian besar konstruksi rumah terbuat dari bangunan permanen. Kini tidak ada lagi rumah yang terbuat dari papan kayu seperti ketika mereka pertama kali tiba. Kalaupun ada lebih difungsikan menjadi gudang penyimpanan.Berdasarkan data Kepala Desa Makmur, sebagian besar penduduk memiliki kebun sawit dan berprofesi sebagai petani plasma, dengan penghasilan berkisar Rp 2,5 juta/kaveling/bulan. Selain itu populasi penduduk desa meningkat menjadi 3.685 jiwa dibandingkan tahun 1992 yang hanya sekitar 1.300 jiwa. Pertumbuhan jumlah penduduk didorong pula oleh terbukanya lapangan kerja dan peluang usaha di Desa Makmur. Alhasil, usaha pertokoan, bengkel dan jasa berkembang pesat yang menumbuhkan tingkat perekonomian desa.

Dasar HukumPengembanganPetani Plasma SawitInstruksi Presiden No.1 tahun 1986, tentangTata Cara Pembangunan Perkebunan dengan Pola PIR-Trans.Surat Keputusan Menteri Pertanian No.333/Kpts/KB.510/6/1986, tentang Tata Cara Pembangunan Perkebunan dengan Pola PIR-Trans. 1986 ISI nya diatas1774Keputusan Presiden RI No.11 Tahun 1974, tentang Repelita II, diatur Pola PIR-BUN1986 bunyi nya diatas1998Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73/Kpts/KB.510/2/1998 dan No. 01/SKB/M/11/98, tentang Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA).Sumber: Pusat Data InfoSAWIT

Pola PIR memanfaatkan perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal bukaan baru, pada areal yang terpencil (remote) dan masih jarang penduduknya. Pada pola tersebut, perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri, berkewajiban membantu petani peserta dalam membangun kebunnya dengan teknologi maju, melakukan pengolahan serta melakukan pemasaran hasil. Pembangunan perkebunan melalui pola PIR telah berembang dan tersebar di banyak lokasi dan telah memberikan banyak manfaat seperti peningkatan pendapatan petani, pengembangan wilayah, penyerapan tenaga kerja dan mendukung program transmigrasi. Berdasarkan alas pembiayaan proyek, peserta proyek dan sasarannya maka pola PIR dapat digolongkan atas PIR-BUN yang meliputi PIR Swadana yaitu PIR Lokal & PIR Khusus dan PIR Berbantuan serta PIR-TRANS (Ditjen Perkebunan, 1996).Beberapa masalah yang mengganggu kelancaran pelaksanaan PIR, antara lain sering terjadinya pelanggaran perjanjian, baik dilakukan oleh perusahaan inti maupun petani plasma, tidak jelasnya aturan main yang harus disepakati, dan mandulnya fungsi kontrol lembaga yang ditugaskan untuk hal itu. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah. Masalah lain dalam program PIR, terutama pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan masyarakat atas luas dan pembagian lahan dapat melahirkan kecemburuan sosial dan memicu konflik diantara masyarakat sendiri, serta mepertajaman kesenjangan ekonomi di masyarakat.Ditambah lagi latar belakang petani plasma yang beragam sehingga sering terjadi kejutan dan loncatan budaya, petani tidak menguasai teknologi produksi, turut menentukan kultur teknis produksi dan tingkat produktivitas lahan. Pilihan komoditas yang didasari oleh kepentingan pasar internasional tanpa melihat kepentingan dan keinginan petani.Pada kenyataannya banyak petani yang terpaksa menjadi petani plasma karena tanah mereka masuk dalam areal perkebunan besar, sehingga opsi ini terpaksa diambil ketimbang tidak punya lahan. Pemerintah menetapkan bahwa konversi kebun plasma pada petani setelah tanaman menghasilkan (empat tahun), luasan kebun 2 ha/kk dan sekarang diperbarui jadi 4 ha/kk, kebun plasma harus sama standar teknisnya dengan kebun inti. Pada kenyataannya cenderung terjadi pelanggaran terhadap regulasi pemerintah. Konversi dilakukan setelah lewat umur antara 6-7 tahun bahkan ada yang belasan tahun.Perusahaan melakukan konversi setelah mengecap cukup keuntungan dari kebun itu. Demikian juga tiap KK 2 ha banyak yang tidak dipenuhi. Kenyataan lainnya kebun plasma standar teknisnya sama sekali tidak sama dengan kebun inti. Banyak kebun yang jumlah pohonnya kurang dari 128/ha, jalan ke lokasi plasma sangat jelek dan gulma kurang dinkendalikan sedangkan di inti lahanya bagus dan bersih. Ketika produksi ada sortasi dengan model pemotongan hasil produksi buah. Rata-rata sortasi mencapai 4% sehingga jika produksi petani 4 ton maka 160 kg akan berkurang. Manajemen satu atap dimana kebun dikelola oleh perusahaan dan petani tinggal menerima hasil. Hal ini sering menimbulkan konflik karena biaya perawatan tinggi tetapi hasil kebun rendah. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, pemerinth berencana merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, bertujuan untuk lebih memperjelas dan mempertegas pembangunan plasma di industri perkebunan kelapa sawit.Revisi akan difokuskan pada pasal 11 aturan Menteri Pertanian tersebut. Pasal 11 ini terdiri atas empat ayat, yang mana seluruhnya tidak secara tegas menetapkan tenggat waktu (deadline) pembangunan plasma kelapa sawit dan status lahan yang bakal dipakai. Artinya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan inti untuk mewujudkan pembangunan plasma pada tahun ke sekian setelah perusahaan mulai beroperasi.Kebijakan itu hanya mengatur pembagian porsi plasma yang wajib dibuat oleh pelaku usaha. Misalnya, ayat 1 tertulis, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, antara lain melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil. Pada ayat berikutnya, pembangunan kebun plasma dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pelaku perkebunan.Dari poin penting revisi Permentan itu, yakni memperjelas pembagian porsi kebun plasma antara pelaku usaha dan rakyat. Pasalnya, selama ini terjadi multitafsir mengenai pembagian sebesar 20%, apakah itu dihitung berdasarkan lahan hak guna usaha (HGU) atau diluar lahan HGU.Permentan 26/2007 yang sebelumnya hanya mengatur plasma untuk pelaku usaha yang membuka kebun selepas tahun 2007, maka itu akan direvisi bahwa pembangunan plasma juga berlaku untuk perkebunan yang sudah ada sebelum 2007. Kebijakan baru akan mengatur perkebunan yang sebelumnya tidak diwajibkan membangun plasma. Bahkan, dengan dilibatkannya masyarakat dalam kepemilikan lahan sawit melalui pola perkebunan inti-plasma, dapat mereduksi terjadinya konflik pertanahan.