dampak penerapan elemen estetis produk kriya tradisonal bali secara eklektik

182

Upload: faisal-partydark

Post on 23-Jul-2015

452 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik
Page 2: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI

SECARA EKLEKTIK PADA DESAIN MASA KINI

berdasarkan perspektif historis dan semiotis

Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

Page 3: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini

Berdasarkan Perspektif Historis dan Semiotis

Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn E-mail: arimbawa @yahoo.com

Hak Cipta © 2010 Pada penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara digital maupun mekanis, termasuk memfotocofy, merekam atau dengan system penyimpanan lainnnya, tanpa seizin tertulis dari penulis

Desain cover & setiting : Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn

21 x 15 cm

Penerbit : Udayana University Press Jimbaran Denpasar Bali Bekerja sama dengan: Intitut Seni Indonesia Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar

ISBN: 978-602-8566-65-0

Page 4: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………… i DAFTAR ISI…………………………………………... iii SAMBUTAN ................……………………………… v PENGANTAR PENULIS……………………………. viii BAB I PENDAHULUAN………………………………................... 1 BAB II EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI………………………………………..

19

A. Pengertian Eklektik……………………………... 19 B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali 21 BAB III PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI………………………………….

28

A. Sejarah Penerapan Produk Kriya…………….. 28 B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama

Hindu Sesuai dengan Adat di Bali….

52 BAB IV PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA……………………………………………...

97

A. Pendekatan Historis…………………………….. 97 B. Pendekatan Semiotis…………………………… 100 C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya…. 115 1. Konsep Sekular……………………………….. 116 2. Konsep Spiritual Religius……………………... 119 D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehu-

bungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu ……………...

122

BAB V DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI ………………………………

128

A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Ele-men Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini……...

128 1. Kajian Historis…………………………………. 128

Page 5: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2. Kajian Semiotis………………………………... 148 B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk

Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini…….....................

157 1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk

Kriya Masa Lalu………………………….

159 2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain

Masa Kini………………………………….

161 DAFTAR BACAAN 168

Page 6: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

PENDAHULUAN

etelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950,

perkembangan pariwisata di Bali kembali menga-

lami kebangkitan dan hingga sekarang menjadi pusat

pengembangan industri pariwisata di kawasan tengah

Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, pengaruh pa-

riwisata sangat dirasakan oleh masyarakat di Bali. Di

satu sisi banyak prestasi gemilang yang telah diraih

dan secara tidak langsung dapat membawa kehidupan

masyarakat di Bali menjadi lebih baik, namun di sisi

lain pengaruh tersebut tidak dapat dielakkan lagi

menimbulkan dampak negatif dan menjadi masalah

terhadap kelestarian kebudayaan Bali. Nilai-nilai tra-

disional banyak menjadi tidak eksis dan bahkan men-

jadi rusak akibat perkembangan komersialisasi dan

materialisme dalam hubungan antar manusia sebagai

konsekuensi logis adanya aktivitas pariwisata. Hubung-

an sosial antar manusia yang pada mulanya didasari

oleh nilai-nilai moral berubah menjadi hubungan yang

didasari oleh nilai-nilai ekonomi dan kepentingan. Bu-

daya kolektif berubah menjadi individual.

Menurut Geriya (1993), bahwa dampak pariwisata

khususnya dalam konteks sosial budaya ditandai dengan

adanya beberapa indicator sebagai berikut.

S

BAB I

Page 7: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

1. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan ter-

konsentrasi di daerah wisata sebagai akibat dari

adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah

tersebut.

2. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih

bersifat impersonal.

3. Meningkatnya mobilitas penduduk dalam bekerja.

4. Mundurnya aktivitas gotong royong.

5. Berkembangnya konflik antargenerasi, khususnya

generasi tua dan generasi muda.

6. Terjadinya gejala social defiance yang meliputi ke-

jahatan, narkotika, maupun penyakit kelamin.

7. Terjadi komersialisasi kebudayaan dan hasilnya.

Mengenai indikator pada poin ketujuh merupakan

salah satunya masalah terkait dengan eksistensi kehi-

dupan kebudayaan tradisional Bali. Hasil kebudayaan

unggul (height culture) hendaknya diposisikan sebagai

basis kreativitas yang kaya inspirasi, kokoh identitas,

kuat modal budaya yang mengkonstruksi, mengintegrasi

dan menyeimbangkan, sehingga tidak tergerus oleh

mekanisme komersialisasi dan komoditisasi. Antara

kebudayaan tradisional Bali dan penciptaan desain

produk masa kini agar terjaga pola hubungan sinergis,

komplementer yang simetris dan saling meningkatkan.

Hal tersebut menjadi penting, mengingat hasil

kebudayaan unggul memiliki karakteristik sebagai ber-

Page 8: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ikut: (1) mengedepankan kualitas, sehingga diagung-

kan dan dimuliakan (adhiluhung); (2) menjadi sumber

inspirasi atau spirit dan kreasi oleh mayoritas populasi

dan perajin; (4) memiliki sifat khas, lentur dan adaptif

dengan roh budaya; (5) mengandung sari-sari budaya

dan peradaban, seperti etika, estetika, logika, solidari-

tas, spiritualitas dan aneka kearifan lokal.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Mantra

(1988) bahwa kebudayaan Bali dalam perkembangannya

berfungsi secara “normatif” dan “operasional”. Berfungsi

normatif, karena terkait dengan adat-agama Hindu di Bali,

maka peranan kebudayaan Bali diharapkan mampu

dan berpotensi memberikan pegangan dasar dan pola

pengendalian, sehingga ketahanan dan kelestarian bu-

daya dapat diwujudkan. Berfungsi operasional, karena

kebudayaan Bali diharapkan mampu menjadi daya

tarik bagi peningkatan kualitas kepariwisataan di Bali.

Upaya mewujudkan ketahanan dan kelestarian

kekayaan budaya serta alam Bali, maka pada bebe-

rapa dasawarsa silam, pemerintah daerah Tingkat I

Bali dalam melaksanakan pembangunan yang menca-

kup berbagai sektor dirumuskan peraturan-peraturan

daerah yang diarahkan pada pembangunan dengan

pola budaya Bali, berwawasan lingkungan dan dilan-

dasi dengan konsep adati-Hinduisme, seperti:

1. Rwa Bhineda, yaitu dua hal yang berbeda ter-

dapat di dunia ini. Bagi orang Bali perbedaan

tersebut tidak harus dipertentangkan, melainkan

Page 9: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

diharmoniskan (serasi, selaras dan seimbang).

Konsep tersebut memberi kesadaran manusia

dalam menjalani kehidupan tidak luput dari be-

lenggu dikotomi yang bersifat kodrati, seperti:

baik atau buruk, siang atau malam, pria atau

wanita, nyata atau tidak nyata (sekala atau nis-

kala), dan sakral atau profan. Hal tersebut, se-

suai dengan yang termaktub dalam Kitab Sara-

samušcaya, seloka: 498, yaitu sebagai berikut:

sukha vã yadi vã duhkham bhûtãnãm paryu-pasthitam, prãptavyamavašaih sarva pari-hãro na vidyate.

Artinya: dua hal yang berbeda, seperti su-

ka dan duka tidak dapat dipisahkan dari kehi-

dupan, merupakan kekuasaan Sang Hyang

Widhi Waša atau Tuhan, sehingga segala

makhluk tidak luput dari ikatan suka maupun

duka (Kadjeng, 1993.) Sebagai manusia de-

ngan berbagai keterbatasan, kebolehan dan

kemampuan sebenarnya sangat sulit untuk

menentukan batas absolut dua hal tersebut.

Oleh sebab itu, maka dalam mengambil sua-

tu tindakan atau keputusan, dituntut bijak,

menghidarkan tindakan yang arogan dan ha-

rus berdasarkan nalar atau wiweka, yaitu ke-

mampuan untuk menimbang konsekuensi baik

atau buruk yang akan berpengaruh pada ma-

nusia dan lingkungan.

Page 10: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2. Catur Purusha Artha, artinya empat tujuan hi-

dup sebagai dasar kehidupan sosial, yaitu

terdiri dari: dharma, artha, kãma dan moksa.

Keempat bagian tersebut adalah merupakan

satu kesatuan yang utuh.

Perkataan dharma, berasal dari bahasa

Šanskerta, ‘dhir,’ yang berarti: menjunjung, me-

mangku, mengatur, adil, rasa bersahabat, me-

nuntun, memelihara dan melestarikan. Artha,

artinya benda atau sarana yang dapat me-

menuhi kebutuhan hidup manusia. Kãma,

berarti naluri, dorongan nafsu atau keinginan

yang bersifat duniawi. Sedangkan perkataan

Moksa, berasal dari Bahasa Šanskerta, ‘Muc’

yang berarti membebaskan atau melepaskan

ikatan duniawi.

Dari keempat tujuan hidup tersebut, mok-

sa adalah merupakan tujuan hidup yang ter-

tinggi, karena merupakan kebahagian sejati.

Sedangkan dharma adalah tujuan terpenting,

sebab dengan perbuatan yang dilandasi de-

ngan dharma, maka tuntutan akan artha dan

kãma dapat dikendalikan; moksartham jaga-

dithya ca iti dharma, artinya tujuan dharma

adalah untuk mencapai kesejahteraan jasma-

ni dan kebahagiaan rohani yang selaras dan

seimbang. Hal tersebut, sesuai dengan pen-

Page 11: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

jelasan dalam Kitab Sarasamušcaya, seloka:

12, yaitu sebagai berikut:

Kamãrthau lipsamnastu dharmmamevã-ditašsaret, nahi dharmmãdapetyãrthah kãmo vapi kadãcana.

Artinya: jika menuntut artha dan kãma

dalam hidup ini, hendaknya mengutamakan

dharma, nantinya tak disangsikan lagi pasti

akan diperoleh artha dan kãma. Tidak ada

artinya, bila artha dan kãma tesebut diper-

oleh dengan perbutan yang menyimpang dari

dharma (Kadjeng,1993.)

Konsep tersebut merupakan panduan

absolut bagi manusia untuk membina kese-

imbangan dan keselarasan antara alam se-

kala dan niskala. Dalam usaha memenuhi

tuntutan artha dan kãma, hendaknya manu-

sia mengendalikan diri dan lebih mengutama-

kan perbuatan dharma. Hal tersebut merupa-

kan suatu penafsiran atau fatwa agar manu-

sia senantiasa memelihara dan melestarikan

alam semesta yang mencakup bhuana agung

(makrokosmos) serta bhuana alit (mikrokos-

mos), untuk mencapai jagaddhita atau keba-

hagian dan kesejahteraan hidup.

3. Desa Kala Patra, adalah bagian dari Tri Pra-

mana dalam lingkup perilaku manusia, meru-

pakan tiga ukuran yang dapat dipakai seba-

Page 12: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

gai pedoman untuk menilai kenyataan Rwa

Bhineda. Desa dalam konteks perilaku ma-

nusia merupakan pedoman berdasarkan tem-

pat atau lingkungan di mana perbuatan ter-

sebut dilakukan. Kala merupakan pedoman

berdasarkan waktu perbuatan atau aktivitas

tersebut dilakukan. Sedangkan Patra meru-

pakan pedoman berdasarkan “keadaan” atau

peraturan tertulis yang berlaku.

Konsep tersebut memberikan landasan ideal

yang luwes atau fleksibel, khususnya dalam

mengambil sikap, peraturan, keputusan atau

kebijakan yang akan diberlakukan dalam ma-

syarakat. Manusia hendaknya mampu me-

nyesuaikan dengan waktu, tempat atau ling-

kungan dan keadaan atau peraturan yang te-

lah berlaku, sehingga tercipta kesatuan pan-

dang dan keadaan yang mengarah pada ke-

damaian, kenyamanan, kesejahteraan umat

manusia dan kelestarian lingkungan.

4. Karma Phala, yaitu terdiri dari kata Karma

yang artinya perbuatan dan Phala artinya buah

atau hasil. Jadi Karma Phala mengandung arti:

hasil dari perbuatan. Dua hal tersebut memi-

liki hubungan timbal balik dan marupakan

“hukum” dan telah dipercayai umat Hindu di

Bali, bahwa semua perbuatan manusia pasti

akan memperoleh hasil yang setimpal (inter-

Page 13: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

aksi yang seimbang); baik di dunia nyata

(sekala) maupun di akhirat (nis-kala). Hukum

Karma dikenal pula sebagai hukum alam

atau kausalitas dan tak seorang pun luput

dari hukum tersebut. Dalam Kitab Reg Veda

VII. 25. 1, hukum tersebut dikenal dengan

perkataan Rtã dan dijelaskan sebagai berikut:

Tã vãm vivaya gopã Deva dikesu yajñiyã rtãvãnã yajase putadaksasã.

Artinya: Kami memuja engkau yang menjaga

alam semesta, Dewa yang tersuci penegak

hukum keabadian yang memiliki kekuatan

suci. Jadi, hukum Rtã selain sebagai hukum

perbuatan serta hukum moral, juga sebagai

hukum jagat raya. Hukum tersebut mengatur

keterpaduan, keseimbangan dan menghin-

dari kekacauan alam semesta.

Konsep yang dilandasi Karma Phala, mem-

beri pendirian terhadap hukum kausalitas

yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia

di dunia ini. Menanamkan kepercayaan bah-

wa, perbuatan baik selalu akan mendatang-

kan hasil yang baik, sebaliknya perbuatan

buruk akan memperoleh hasil yang buruk.

Jadi, konsep tersebut melandasi sikap anti-

sipatif, pengendalian atau restraint dan pem-

binaan moral dalam segala perilaku manusia

sehari-hari, baik antar sesama sebagai sum-

Page 14: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ber daya manusia, maupun dalam memper-

dayakan sumber daya alam.

5. Tri Hita Karana. Perkataan tersebut terdiri

dari kata ‘Tri’ berarti tiga, ‘Hita’ berarti sejah-

tera, selamat atau kemakmuran dan ‘Karana’

berarti penyebab. Terdiri dari: Parhyangan,

Palemahan dan Pawongan. Secara keselu-

ruhan Tri Hita Karana mengandung penger-

tian: tiga penyebab terciptanya keselamatan,

kesejahteraan atau kemakmuran.

Esensi dari konsep tersebut merupakan si-

nergisme yang meliputi pembinaan hubung-

an yang harmonis, baik secara vertikal mau-

pun horizontal, yaitu: (1) Pola hubungan ma-

nusia dengan Tuhan disebut Parhyangan,

artinya manusia hendaknya selalu sujud ke-

hadapan-Nya atas segala rahmat dan karu-

nia-Nya, (2) Pola hubungan antara manusia

dengan alam lingkungannya disebut Pale-

mahan, artinya manusia hendaknya selalu

merawat dirinya sendiri dan menjaga, meme-

lihara kelestarian alam disekitarnya. Memba-

tasi eksplorasi dan ekploitasi alam, sehingga

tercipta kehidupan yang sehimbang, selamat

dan sejahtera. (3) Pola hubungan manusia

dengan manusia disebut dengan Pawongan,

artinya manusia dalam kehidupanya hendak-

nya selalu dapat menjalin rasa persahabatan

Page 15: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

yang didasari dengan saling pengertian dan

Tãt Twãm Ãsi. Secara harfiah terdiri dari

kata: Tãt artinya “itu”, Twãm artinya “kamu”

dan Ãsi artinya “adalah”. Jadi secara kese-

luruhan berarti “itu adalah kamu”. Pengertian

“itu” termasuk “aku” dimaksudkan diri sendiri

dan alam semesta beserta isinya. Jika me-

nyakiti orang lain secara implisit berarti me-

nyakiti diri sendiri.

6. Etos Kerja dan Jengah atau semangat kerja.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dije-

laskan, bahwa perkataan etos yang terkait

dengan kebudayaan berarti: sifat, nilai dan

adat-istiadat yang khas serta memberi watak

kepada kebudayaan suatu golongan sosial di

masyarakat. Kalau ditambah dengan kerja,

berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas

dan keyakinan seseorang atau suatu kelom-

pok (Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, 1994) Demikian juga secara Sosio-

logi, berarti: (1) nilai-nilai dan ide-ide suatu

kebudayaan; (2) karakter umum suatu pe-

kerjaan (Soekanto, 1985) Sedangkan jengah

dalam Bahasa Bali berarti: semangat juang.

Dalam konteks seni Budaya Bali, terutama

dalam menciptakan produk-produk seni ber-

mutu tinggi, kata jengah berkonotasi sebagai

Page 16: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

“semangat bersaing” atau competitive pride

(Mantra, 1993)

Dari pengertian etos kerja tersebut, maka si-

fat khas atau semangat kerja yang dimiliki

masyarakat dalam lingkungan adat Bali, ada-

lah semangat kerja yang dilandasi dengan

gotong royong serta berbakti dengan cara

yang tulus iklas atau ngayah kepada Tuhan

berserta ciptaannya, yaitu dalam bentuk pe-

ngorbanan suci atau Yajña. Sedangkan dalam

perkata jengah secara implisit tersirat sifat

dinamis dan merupakan pangkal dari segala

dinamika perubahan dalam kehidupan masya-

rakat di Bali.

Konsep tersebut merupakan landasan dari

kerja keras, dinamis dan kebersamaan dalam

pembangunan disegala sektor. Tetapi kedua

hal tersebut perlu diarahkan, diakomodasikan

dan dikendalikan dengan konsep tersebut

sebelumnya, sehingga tercipta keharmonisan

dan kedamaian serta dalam mengeksploitasi

sumber daya alam akan dapat diharapkan

terwujudnya kelestarian.

7. Estetika. Bagi orang Bali keindahan, baik ke-

indahan alam maupun keindahan hasil olah

cita, rasa dan karsa manusia yang muncul

akibat perpaduan antara keserasian kesela-

rasan dan keseimbangan dalam suatu pro-

Page 17: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

duk seni atau desain adalah merupaka ka-

runia Tuhan. Oleh sebab itu, seni dengan

keindahan hendaknya dipersembahkan kem-

bali kepada-Nya dalam produk seni ataui de-

sain berbentuk simbol-simbol atau nyasa, se-

bagai rasa terimakasih.

Dengan pandangan tersebut, maka dalam

setiap kegiatan adat-agama Hindu di Bali,

keindahan merupakan hal pokok yang harus

diperhitungkan, karena bagi umat Hindu di

Bali dipercayai bahwa dalam keindahan tersi-

rat nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan kebe-

naran. Sehingga dengan melakukan persem-

bahan keindahan berarti berbuat yajña. Pan-

dangan tersebut sesuai dengan yang dijelas-

kan Gie (1976) bahwa keindahan dalam arti

luas mencakup pula ide kebaikan (mengacu

pada pengertian bangsa Yunani kuno, seperti

Plato menyebut ‘watak indah’ atau ‘hukum

indah’ dalam konteks tersebut, maka penger-

tian indah akan menyiratkan nilai kejujuran

dan kebaikan.

Konsep tersebut juga merupakan pedoman

bagi generasi penerus dalam menghayati

menikmati, dan menghargai keindahan, baik

terlihat di alam sebagai ciptaan-Nya yang

agung, maupun pada produk seni atau pro-

duk kriya tradisional yang adiluhung, karena

Page 18: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

di dalamnya tersirat nilai-nilai luhur. Meng-

ajarkan manusia agar berbuat dengan meng-

arah pada keselarasan, keserasian, dan ke-

seimbangan, baik dengan Tuhan, sesama

mahkluk maupun dengan alam di sekeliling-

nya, sehingga tetap tercipta “keindahan”.

8. Taksu, merupakan personal asset atau inner

power yaitu kekuatan dari dalam diri sese-

orang sebagai fitrah yang memberikan kecer-

dasan, keindahan dan mujizat. Dalam kaitan-

nya dengan pelbagai aktivitas budaya Bali,

taksu juga mempunyai arti sebagai kreativi-

tas murni, genuine creativity, yang memberi

kekuatan spiritual kepada seorang seniman

untuk mengungkap dirinya menjadi “lebih be-

sar” dari kehidupan sebelumnya (Mantra, 1993)

Konsep tersebut menuntun kesadaran ma-

nusia untuk menumbuhkan rasa percaya diri,

sebab setiap insan memiliki taksu sebagai

anugrah Tuhan yang perlu dilatih dan dikem-

bangkan, sehingga dapat tampil sebagai jati

diri yang mandiri. Seorang seniman tari dapat

dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu

mentransformasikan dirinya secara utuh se-

suai dengan peran yang ditampilkan. Seorang

perupa dikatakan produknya ber-taksu, apa-

bila mampu merefleksikan inner power pada

produk visualnya, sehingga berkesan “hidup”

Page 19: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dan sebagainya. Namun dalam mensosiali-

sasikan kesadaran tersebut, perlu juga dito-

pang atau dikendalikan oleh konsep-konsep

lainnya yang telah dipaparkan, sehingga ti-

dak terjadi penampilan yang terlalu berlebih-

an, “over acting”, atau jangan sampai mele-

wati batas norma-norma yang berlaku. Kare-

na sikap tersebut, kadang dapat menjadi bu-

merang. Taksu yang dimiliki akan berubah

menjadi “kelemahan”.

Demikian juga pengembangan pariwisata di

daerah Bali, secara yuridis berdasarkan Per-

da Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor

3 tahun 1991 yang menetapkan bahwa konsep

pengembangan pariwisata di Bali adalah ber-

basis budaya Bali, yaitu jenis kepariwisataan

yang bertumpu pada kebudayaan daerah

Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu

sebagai potensi daerah yang paling dominan.

Dalam konsep tersebut secara implisit ter-

sirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal

balik atau symbiosis mutually beneficial rela-

tionship antara pariwisata dengan kebudaya-

an Bali. Konsep pariwisata budaya diharap-

kan dapat mengkonstruksikan interaksi yang

sangat erat antara pariwisata dan kebudaya-

an masyarakat Bali serta dapat memberi pe-

ningkatan yang signifikan secara serasi, sela-

Page 20: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ras, dan seimbang. Diupaya agar meminimal-

kan timbulnya dampak negatif terhadap ke-

lestarian seni budaya Bali.

Walaupun sedemikian luhurnya maksud dan tu-

juan konsep yang melandasi strategi pembangunan di

Bali. Namun pada kenyataannya tak jarang ditemukan

juga “ketidaktaatan” dalam operasionalnya. Sebagai

salah satu contoh yang dapat dijumpai dalam dasa-

warsa belakangan ini, seperti fenomena eklektik atau

“pemilihan” bentuk-bentuk atau ragam hias tradisional

Bali yang sebenarnya dirancang dengan bentuk, isi

(content) atau bobot, narasi, dan nilai-nilai estetika yang

khusus untuk diterapkan pada sarana pemujaan dan

dianggap mengandung nilai simbolis dan sakral, namun

kini banyak tampak diterapkan pada desain produk-

produk profan atau tempat-tempat yang tidak sesuai.

Misalnya, Karang Bhoma yang sebenarnya merupa-

kan ragam hias pada bangunan-bangunan suci, seka-

rang banyak terlihat diterapkan sebagai elemen estetis

pada hotel, perkantoran, rumah tinggal dan bahkan

sebagai hiasan pada bagian tubuh dengan di-tatto.

Kalau dikaji dari sudut kesejarahan dan semiotika,

maka fenomena tersebut merupakan suatu pergeseran

makna dan dapat berakibat terjadinya “desakralisasi”,

pengkaburan makna dan berkonotasi negatif. Produk

yang dibuat tersebut kadang-kadang menampakan

“kejanggalan”, karena dalam pengerjaannya tidak

mengacu pada referensi kesepakatan yang dibuat

Page 21: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

oleh leluhurnya di masa lalu dan nilai-nilainya masih

eksis pada masyarakat Hindu di Bali.

Menyikapi kondisi tersebut dalam masyarakat

Bali terjadi polarisasi pandangan, sementara ada yang

berpendapat bahwa hal tersebut “sah-sah” saja ter-

gantung pada proses pengerjaannya, di lain pihak ada

yang memandang sebagai sesuatu yang baku dan

tindakan tersebut sebagai sesuatu yang keliru. Namun

jika ditinjau dari sudut visualnya sebenarnya imple-

mentasi tersebut tidak sesuai dan dapat berdampak

buruk, baik terhadap produk yang dipilih dan demikian

juga terhadap desain yang diberi elemen estetis

produk kriya tradisional yang sarat makna religius.

Dalam penerapan elemen estetis tradisional

pada desain masa kini, mereka kadang-kadang tidak

mempersoalkan masalah eksistensi makna dan nilai-

nilai filosofi yang dikandungnya. Penerapannya semata-

mata berorientasi pada faktor estetis dan komersial.

Jika ditinjau kembali dengan merujuk konsep estetika

yang mendasari strategi pembangunan di daerah Bali.

Jelas tidakan tersebut tidak relevan dan merupakan

suatu sikap “ketidaktaatan. Mereka memilih dan mene-

rapkannya pada produk atau tempat yang bersifat pro-

fan dengan tendensi lebih mengutamakan segi pe-

mampilan “artistik” semata, tanpa peduli akan terjadi

pelunturan nilai-nilai filosofi, terutama yang terkait de-

ngan nilai-nilai simbolis religius yang dikandungnya.

Produk yang tergolong high art sebagai hasil kebu-

Page 22: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dayaan tinggi atau high culture yang adiluhung, menja-

di kehilangan ‘jiwa’ kesuciannya atau menjadi suatu

produk yang lumrah. Sikap seperti tersebut tanpa disa-

dari dapat mengancam spirit dan kelestarian budaya

Bali yang dibanggakan dan dijadikan sebagai daya ta-

rik utama dalam pengembangan kepariwisataan di Bali

Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa “ma-

syarakat Bali” dalam mengaplikasikan konsep-konsep

adati Hinduisme yang kini dijadikan sebagai landasan

strategi pembangunan di daerah Bali, khususnya dalam

aktivitas penciptaan dan penggunaan elemen estetis

produk kriya tradisional, secara umum dapat digam-

barkan dalam suatu sekematik hubungan hirarki atau

taksonomi pandangan tentang dunia (weltanschaúung)

manusia Bali seperti Gambar 1 berikut:

Page 23: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

THEOLOGICAL CONCEPTASUMSI DASAR

KARMA PHALA

RWA BHINEDA

TAKSU

ETOS KERJAJENGAH

CATURPURUSHA

ARTHA

KEINDAHAN("RASA")

TRI HITAKARANA

DESA

KALA

PATRA

ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYATRADISIONAL

MASA LALU DI BALI

NISKALA

SKALA

EXTERNAL DESAIN MASA KINI BERSIFAT

KOMERSIAL:- CITRA TRADISIONAL

PENUNJANGKEPARIWISATAAN

DI BALI

(SUB SISTEM)

PENGARUH -PARIWISATA

-MODERNISASI /TEKNOLOGI

OPE

RA

SIO

NA

L (H

IDU

PD

I B

UM

I)

KO

NF

OR

MIT

AS

TO

TA

L

Gambar 1: Taksonomi Pandangan Dunia Manusia Bali

Page 24: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI

A. Pengertian Eklektik

erkataan eklektik dalam bahasa Yunani

disebut eklektikos, Perancis, eklegein

berarti:1) memilih yang dipandang terbaik dari

berbagai doktrin, metode, sistem, atau gaya. 2)

mengkomposisikan beberapa elemen yang diambil

dari berbagai sumber (Webster, 1983.)

Dalam filosofi dan teologi, eklektik merupakan

praktek memilih doktrin dari beberapa sistem yang

berbeda tanpa memakai keseluruhan sistem yang la-

ma untuk masing-masing doktrin. Berbeda dengan sin-

kretisme —merupakan suatu usaha untuk menyerasi-

kan, perpaduan atau mengkombinasikan beberapa

sistem— karena masih meninggalkan kontradiksi yang

belum dihilangkan (Encyclopaedia Britannica ,1995).

Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, di-

artikan bahwa eklektik sebagai usaha memilih atau

menggunakan bermacam-macam susunan yang tidak

terbatas pada satu sumber ide dan sebagainya, baik

berupa orang, kepercayaan dan sebagainya (Hornby,

1989), dan dalam Moeliono, et al, (1994), perkataan

eklektik mengandung pengertian; suatu usaha bersifat

P BAB II

Page 25: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

memilih yang terbaik dari berbagai sumber tentang:

orang, gaya atau metode.

Dalam seni dan desain, istilah eklektik dikenal

sebagai upaya untuk mencampur atau meramu bebe-

rapa gaya yang berasal dari berbagai sumber dalam

satu produk. Jadi, sebenarnya eklektik tidak memiliki prin-

sip khusus dalam kreativitasnya, namun gaya eklektik

merupakan olah image dari perpaduan berbagai gaya.

Bahkan pada perkembangannya dalam seni dan de-

sain, eklektik lebih merujuk pada perpaduan antara

beberapa gaya yang saling bertolakbelakang. Misal-

nya, memadukan gaya modern dan tradisional. Meski

terkesan tidak memiliki prinsip, namun bukan berarti

eklektik tidak unik. Justru dengan perpaduan berbagai

macam gaya akan melahirkan satu nuansa baru yang

jelas berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya.

Dari uraian tersebut, maka dapat dipahami, bahwa

eklektik tidaklah selalu menghasilkan sesuatu yang

bersifat “merusak” norma-norma masa lampau akan

tetapi dapat juga berarti sebagai bentuk “penghargaan”

atau produk “nostalgia”. Hal tersebut juga sesuai de-

ngan konsep Charles Jencks yang menggunakan peng-

kodean ganda atau double coding dan eklektik digu-

nakan untuk menerangkan hakekat produk post modern-

isme. Dalam hal tersebut ia mendefinisikan postmodern

sebagai” kombinasi teknik-teknik modern dengan se-

suatu yang lain, seperti elemen-elemen estetika tradi-

sional) agar dapat berkomunikasi dengan publik dan

Page 26: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

minoritas yang terkait” (Jencks,1987). Perkembangan

yang menampilkan multivariousness, kembalinya nilai-

nilai tradisional dan juga reaksinya yang justru mene-

kankan bentuk-bentuk baru yang radikal dan menen-

tang seluruh ekspresi kesenian yang dianggap ideal

dalam bingkai high art

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka da-

lam pembahasan selanjutnya mengenai masalah pe-

nerapan elemen produk kriya tradisional secara eklek-

tik pada desain masa kini, akan dicoba mengkaji me-

ngenai dampak “negatif” yang ditimbulkan akibat eklektis-

me yang kurang terkendali. Hal tersebut, mengingat

unsur-unsur produk kriya masa lalu yang “dipilih” ter-

kait dengan sarana penghayatan dan pengamalan ajar-

an agama Hindu sesuai dengan adat di Bali dan nilai-

nilainya masih diyakini oleh sebagian besar umat Hindu

di Bali.

B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali

Kata kriya atau kria berasal dari bahasa Sanse-

kerta “kr” yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata

tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja da-

lam bahasa Jawa disebut pekaryaan yang berarti pe-

kerjaan dan pengertian tersebut mengacu kepada ha-

sil suatu pekerjaan yang disebut ‘karya’. Dalam Kamus

Bahasa Kawi Indonesia dijelaskan, bahwa kriya berarti

pekerjaan atau perbuatan (Wojowasito, 1977) dan me-

nurut Moeliono, et al (1994) dijelaskan, bahwa per-

Page 27: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

kataan kriya berarti pekerjaan tangan. Dalam arti khu-

sus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan

benda atau objek yang bernilai seni dan miliki nilai

estetis. Pengertian kriya sering diselaraskan pengerti-

an handicrafts. Istilah tersebut dipergunakan untuk me-

nyebut suatu cabang seni yang mengutamakan kete-

rampilan yang luar biasa (virtousity) menggunakan ta-

ngan. Dalam Encyclopedia of World Art (1963) dide-

finisikan sebagai berikut:

The word “handicrafts” refers to useful or de-corative objects made by hand or with tool by workman who has direct control over the product during all stages of production.

Pengerjaannya bisa saja menggunakan bantuan

peralatan kerja, namun sepanjang proses pembuatan-

nya si pembuat atau kriyawan sepenuhnya dapat me-

nguasai seluruh tahap produksi, bahkan untuk tujuan-

tujuan tertentu dapat diciptakan peralatan khusus. Pe-

ngertian kriya juga sering dipadankan dengan istilah

craft yang mengandung pengertian suatu keahlian atau

keterampilan yang menghasilkan benda. Menurut

Soedarso (1988) kriya adalah cabang seni rupa yang

mengutamakan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi,

Sehingga kriya pada hakekatnya tertuju pada pene-

kanan bobot kekriyaan yang memungkinkan melahir-

kan nilai seni terapan atau dalam bentuk ekspresi baru

sesuai tuntutan budaya masa kini. Atas dasar hal ter-

sebut, maka cakupan kriya memiliki fleksibilitas yang

Page 28: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

tinggi, bisa memiliki ciri khas atau identitas, bisa ber-

ada pada domain seni murni atau seni pakai atau seni

terapan atau desain. Jadi orientasi penciptaan produk

mencerminkan kecenderungan-kecenderungan kepada

salah satu dari kedua hal tersebut atau terkadang

dapat merupakan perpaduan seni dan desain. Hal ter-

sebut membawa cara penilaian atau assessment este-

tika produk kriya tergantung dari wawasan atau per-

sepektif ilmu yang dipergunakan untuk mendekatinya.

Berdasarkan beberapa definisi dan ulasan terse-

but, maka dapat disimpulkan, bahwa pengertian kriya,

handicrafts atau craft adalah:

1. Sesuatu yang dibuat dengan kecenderungan

lebih banyak melibatkan kemampuan atau ke-

ahlian tangan kriyawan atau virtousity

2. Bersifat dekoratif atau secara visual dibuat sa-

ngat indah dan dalam perujudannya dapat be-

rupa produk seni murni atau seni terapan atau

desain yang memiliki fungsi guna atau utility.

Sedangkan pada masyarakat umumnya kriya se-

ring disebut sebagai “seni rakyat”. Hal tersebut ada

benarnya, karena sumberdaya manusia pelaku kegiat-

an tersebut umumnya rakyat biasa dan disebut “seni

tradisional” karena banyak menghidupkan atau konsis-

ten berbasis pada estetika tradisional. Kriya juga dise-

but “industri rumah-tangga” atau home industry yang

memproduksi barang dalam jumlah terbatas dengan

Page 29: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

peralatan sederhana. Selain hal tersebut seni kriya juga

sering didekatkan dengan istilah “kerajinan” atau sega-

la sesuatu yang berkaitan dengan buatan tangan atau

kegiatan yang berkaitan dengan barang yang dihasil-

kan melalui keterampilan tangan. Kerajinan yang di-

buat biasanya terbuat dari berbagai bahan, sehingga

sebutan jenis kerajinan dikaitkan dengan medium yang

digunakan, seperti: kerajinan logam, kulit, batik dan se-

bagainya. Produk yang dihasilkan dapat berupa hiasan

atau benda seni maupun barang pakai (Wikipedia,

2010). Menurut Moeliono dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1994) dijelaskan bahwa kerajinan adalah

proses produksi melalui keterampilan tangan. Selain

hal tersebut, juga berarti industri kecil small scale in-

dustry yang membuat barang-barang sederhana dan

bisa menggunakan unsur seni. Berdasarkan pengerti-

an tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara kriya

dengan kerajinan memiliki kesamaan ditinjau dari pro-

ses pengerjaannya dan pencapaian hasil, yaitu sama-

sama menggunakan keterampilan tangan dalam pro-

ses pengerjaannya dan benda yang dihasilkan dapat

berupa produk seni atau produk pakai yang menguta-

makan kegunaan atau utility.

Namun antara seni kriya dan kerajinan secara

prinsip terdapat perbedaan. Seni kriya bukanlah karya

yang dibuat dengan intensitas rajin semata, didalam-

nya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga

kualitas skil yang tinggi craftmenship. Karya kriya me-

Page 30: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

rupakan karya yang memiliki keunikan,karakteristik, di

dalamnya terkandung muatan-muatan atau nilai este-

tik, komologis, simbolis, filosofis dan sekaligus fung-

sional. Seni kriya merupakan salah satu cabang seni

rupa yang memiliki akar kuat, yakni nilai tradisi yang

bermutu tinggi atau bernilai adhilung. Sebab pada masa

lampau, para kriyawan menghasilkan karya seni dengan

ketekunan dan konsep filosofi tinggi memberikan legiti-

masi pada produk seni kriya tempo dulu. Dalam Konsep

tersebut termasuk pola pikir metafisis yang mengandung

muatan nilai-nilai spiritual, religius, serta magis. Kesa-

daran kolektif terhadap lingkungan alam, solidaritas yang

tinggi dan didukung oleh tatanan budaya tradisional yang

ternyata telah menghasilkan seni kriya yang berkualitas

dan mencerminkan jiwa zaman lampau. Seluruh ke-

hidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan,

pikiran, angan-angan pada masa dari sebuah budaya

berlangsung.

Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan ke-

butuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang

tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang di-

peroleh dari kehidupan sehari-hari. Kerajinan suatu hal

yang rajin, kegiatan, kegetolan, barang yang dihasil-

kan melalui ketrampilan tangan. Seni kerajinan adalah

implementasi dari karya seni kriya yang telah dipro-

duksi secara masal (mass product). Umumnya barang

kerajinan banyak dikaitkan dengan unsur seni, yang

kemudian disebut seni kerajinan

Page 31: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dewasa ini penciptaan produk kriya di satu sisi

mengarah pada estetika plural. Dalam kreativitas pen-

ciptaan karya kriya, terjadi gejala mempertontonkan

identitas invidual, sebagai ekspresi pribadi yang ber-

upaya untuk merangsang pemahaman masyarakat akan

produk budaya yang berupa kriya seni. Selain hal ter-

sebut juga terjadi reproduksi karya masa lalu yang di-

warisinya dengan tujuan untuk menampilkan karya

kriya etnis. Kecenderungan saat ini mengusung pema-

haman bahwa media bukan persoalan yang signifikan

namun idea menjadi panglima dalam menciptakan se-

buah karya seni kriya. Idea yang kreatif inovatif den-

gan mengangkat isu-isu yang sedang berkembang

membuat seni kriya mengikuti nazab seni yang sedang

berkembang, seperti karya kriya kontemporer. Sebutan

"kriya kontemporer" (yang merupakan padan kata dari

contemporary craft) sendiri sebenarnya mengandung

paradoks karena di satu sisi ia menempatkan dirinya

pada suatu kategori "kriya" (craft) yang berseberangan

atau setidaknya terpisah dari "seni" (art). Namun, di

sisi lain, sebutan kontemporer seolah mengacu pada

paradigma seni masa kini yang dilandasi pandangan

postmodernisme, di mana pembedaan kategori diang-

gap tidak berlaku lagi. Perkembangan karya menam-

pilkan multivariousness. Menurut Julian Stallabrass da-

lam "Contemporary Art" mengatakan bahwa sekarang

ini bermacam-macam bentuk, teknik, dan subject-matter

dalam seni rupa sudah benar-benar campuraduk. Se-

karang jamannya permainan tanda-tanda budaya glo-

Page 32: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

bal yang melingkupi budaya tradisi, budaya modern dan

budaya masa kini. Produk seni kriya dapat mengambil

posisi strategis di tengah mengeliatnya isu seni rupa

kontemporer dan pasar seni rendah dengan kuantitas

massal; produk kriya diciptakan mengarah pada “ko-

mersialisasi” produk dan dianggap sebagai barang ko-

muditi yang memiliki milai ekonomis. Dalam kaitan ter-

sebut, maka parameter pengukur nilai estetika produk

kriya adalah uang. Estetika menjadi praktik normatif

dalam menciptakan unique selling point.

Bertolak dari uraian tersebut, maka yang dimak-

sud dengan elemen estetis produk kriya tradisional

Bali adalah mengenai unsur-unsur atau bagian-bagian

yang mengandung nilai-nilai estetik, simbolik, filosofis,

kosmologis, dan sakral, merupakan hasil pekerjaan ta-

ngan para kriyawan secara konvensional, bersifat tra-

disional, adiluhung dan terkait erat dengan keper-

cayaan umat Hindu di Bali. Untuk lebih jelasnya nilai-

nilai yang dikandung dalam produk kriya dapat ditelu-

suri dari perkembangan penciptaan produk kriya.

Seperti diuraikan pada BAB III berikut.

Page 33: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI

A. Sejarah Penerapan Produk Kriya

emaparan produk kriya di Bali secara hitoris

mengenai awal penciptaan dan

penggunaan-nya dalam kehidupan

masyarakat di Bali adalah merupakan

hal yang sangat sulit diungkap secara tuntas. Penggu-

naan dan penciptaan produk kriya tradisional Bali de-

wasa ini adalah merupakan bagian dari mata-rantai

sejarah perkembangan kebudayaan Bali sejak ber-

abad-abad yang silam. Tingkat perkembangannya di-

tentukan oleh berbagai faktor, seperti tingkat peradab-

an, dinamika dan perubahan lingkungan budaya internal

maupun eksternal.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pe-

nelusuran perkembangan dan motivasi penciptaan

produk kriya dalam masyarakat Hindu di Bali, tidaklah

mungkin dapat dipaparkan secara kronologis, akurat

dan tuntas, karena keterbatasan referensi dan data

berupa artifak-artifak yang ada. Namun berdasarkan

benda etnologi yang tersimpan di Museum Bali, Den-

pasar, Museum Gedung Arca, Bedulu, Gianyar dan

didukung dengan beberapa buku yang terkait, maka

secara sinkronis atau berdasarkan penggalan sejarah

dapat ditelusuri sebagai berikut:

P BAB III

Page 34: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

1. Zaman Pra-Hindu.

Sebelum kedatangan gelombang migrasi bangsa-

bangsa pendukung kebudayaan Neolitikum dan Pe-

runggu dari dataran Asia Tenggara, Pulau Bali —se-

perti halnya beberapa pulau lain di Nusantara— dihuni

oleh penduduk yang tergolong ras Negrito yang meng-

usung kebudayaan Paleolitikum (Koentjaraningrat, 1971).

Pada saat tersebut, penduduk yang menghuni pulau

Bali masih hidup dengan pola nomaden; mengembara,

berpindah-pindah, sebagai pemburu dan peramu. Pola

pikirnya masih terbatas pada tingkat pemenuhan ke-

butuhan hidup berupa makanan dan belajar secara

alamiah dari gejala-gejala atau kejadian-kejadian alam

yang pernah dialaminya. Seperti terjadinya kelahiran,

kematian, petir, angin, hujan, tanah longsor, timbulnya

api, kejadian gunung berapi, gangguan binatang buas,

dan sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut, membuat

mereka harus waspada dan seolah-olah selalu diba-

yangi oleh perasaan takut, memohon keselamatan dan

memuja atau percaya dengan kekuatan alam. Dalam

terminologi antropologi disebut dengan kepercayaa

animisme dan dinamisme.

Dalam melakukan aktivitas hidupnya didukung

dengan peralatan kerja berupa produk kriya terbuat

dari ranting kayu, tulang binatang, tanduk dan batu

yang dikerjakan dengan cara sangat sederhana, se-

hingga hasil produk yang ditinggalkan tampak relatif

masih kasar, seperti berupa kapak batu yang tergo-

Page 35: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

long jenis kapak perimbas, kapak genggam dan seba-

gainya. Di antaranya berhasil ditemukan Bali oleh R.P.

Soejono, seperti: di daerah Sembiran, Buleleng, di Gua

Seloding, desa Pecatu, Badung ditemukan beberapa

buah sudip dan tiga buah alat tusuk terbuat dengan tu-

lang binatang atau tanduk rusa dan di daerah lainnya.

Gambar 2: Kapak perimbas dari batu peninggalan zaman Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)

Page 36: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 3 Kapak Gengngam dari Batu Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda

Gambar 4 Kapak dari Batu Bertangkai Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda)

Page 37: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Produk kriya berupa peralatan kerja yang diting-

galkan tersebut, tampak bersahaja, lebih mengutama-

kan kegunaan, belum tampak usaha untuk memper-

indah penampilan dan kenyamanan (ergonomis). Ke-

mungkinan juga peralatan tersebut diambil langsung

dari alam serta digunakan hanya sekali pakai, kemu-

dian ditinggalkan ke tempat lain (Sutaba, 1980)

Kemudian dengan kedatangan gelombang mi-

grasi bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Neoliti-

kum, —migrasi orang-orang Proto Melayu dan tergo-

long ras Mongoloid, diperkirakan berlangsung sekitar

tahun 2500 SM— maka mulailah terjadi integrasi den-

gan kebudayaan dari luar (Suwondo, 1977-1978). Pen-

duduk Bali secara berangsur-angsur meninggalkan pola

hidup nomaden, mulai hidup bertempat tinggal di suatu

daerah dengan batas-batas wilayah tertentu yang disebut

pedukuhan, belajar bercocok tanam dan bermasyarakat.

Dalam masyarakat yang terbentuk saat tersebut,

muncul etiket saling menghargai antar sesama dan

berkembang tradisi menghormati orang yang dituakan,

seperti, tokoh-tokoh masyarakat atau orang yang di-

anggap memiliki kekuatan tertentu. Hal tersebut men-

jadi dasar berkembangnya kepercayaan syamanisme,

yaitu suatu ajaran berdasarkan keyakinan, bahwa roh

yang ada di sekeliling manusia dapat merasuk ke

tubuh seseorang melalui suatu ritual tertentu (Tim

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengem-

bangan Bahasa, 1994). Mereka percaya, bahwa roh

Page 38: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

orang yang meninggal dapat berpengaruh terhadap

kehidupan di dunia ini. Kepercayaan animisme dan

dinamisne juga semakin tumbuh subur di masyarakat

Mereka percaya dengan kekuatan-kekuatan metafisis

yang dimiliki oleh suatu materi. Menganggap suatu

benda memiliki kekuatan magis atau bertuah dan dapat

menyelamatkan atau merusak kehidupannya. Atas

dasar kepercayaan tersebut, maka berkembang gejala

simbolisasi dan penghargaan atau pemujaan terhadap

suatu benda, dalam terminologi antropologi, perilaku

tersebut disebut fetisisme. Seperti menyembah batu,

pohon dan di antara produk-produk kriya yang dicipta-

kan juga dihargai dan dipuja sebagai benda bertuah

atau sebagai simbol-simbol tertentu, seperti bekal

kubur (funeral gifts). Produk kriya tersebut dibuat se-

bagai simbol penghormatan atas jasa orang yang me-

ninggal.

Pengaruh kebudayaan Neolitikum terutama tam-

pak dalam penciptaan produk kriya berupa peralatan

dari batu. Mereka mampu menciptakan produk-produk

dari batu dengan disertai usaha-usaha untuk memper-

indah penampilan dan memikirkan segi kenyamanan

dalam pemakaiannya, seperti kapak persegi, beliung,

belincung, pahat pembelah batang kelapa dan seba-

gainya. Proses pengerjaannya dengan cara digosok

menggunakan batu lain sampai halus (Sutaba, 1980).

Beberapa peninggalan produk kriya yang mendapat

pengaruh kebudayaan neolitikum berupa peralatan

Page 39: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

terbuat dengan batu, seperti ditemukan di beberapa

tempat di Bali. Misalnya di Palasari, Bantiran, Nusa

Penida dan di daerah lain. Sekarang benda-ben-da itu,

disimpan di Museum Bali, Denpasar dan Ge-dung

Arca, Bedulu, Gianyar.

Dalam perkembangan selanjutnya, diperkirakan

sekitar tahun 600-300 SM, datang gelombang migrasi

bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Perunggu yang

disebut juga migrasi orang-orang Deutro Melayu. De-

ngan kedatangannya, maka di Bali terjadi akulturasi

antara kebudayaan batu dengan perunggu. Kebuda-

yaan masyarakat di Bali semakin tumbuh dan berkem-

bang. Demikian juga pengaruh-pengaruh dari luar te-

rus berlangsung, seperti masuknya pengaruh kebu-

dayaan Budha, Hindu, Cina, Mesir, dan sebagainya.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut diterima dan diadap-

tasi, sehingga memperkaya kasanah kebudayaan Bali

di masa lalu.

Cara penciptaan produk kriya untuk penunjang

aktivitas hidupnya mengalami perkembangan yang sa-

ngat pesat, karena mereka mengenal bijih logam dan

cara peleburannya, seperti: emas, perak, kuningan,

tembaga, besi, dan sebagainya. Kemampuan tersebut

terus ditingkatkan, sehingga mampu menghasilkan be-

berapa jenis produk dari perunggu yang cukup ber-

kualitas. Dalam penciptaan produk-produk kriya ter-

sebut, mereka tidak hanya mengutamakan kegunaan

semata, tetapi keindahan penampilan produk juga mu-

Page 40: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

lai diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat pada artifak

yang sangat menakjubkan, yakni berupa sebuah ne-

kara perunggu yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar

Gambar 5. Nekara Perunggu Ditemukan di Pejeng, Gianyar

Nekara tersebut berbentuk selinder atau dadang

terbalik. Mempunyai ukuran luar biasa dengan tingggi

1,96 m dan bidang pukulnya bergaris tengah 1,60 m.

Digunakan untuk genderang perang atau sarana upa-

cara memohon turunnya hujan (Kartodirdjo, 1976). Pola

hias yang diterapkan, di antaranya berupa hiasan yang

detail hiasan wajah manusia

1m hiasan wajah

manusia

Page 41: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

distilasi dari bentuk wajah manusia, binatang, bulu bu-

rung, pola tumpal yang tersusun bertolak belakang,

empat pasang topeng dan lain sebagainya (Kempers,

1960).

Penerapan ragam hias tersebut, selain bertujuan

sebagai dekorasi, juga sebagai simbol yang mengan-

dung makna terkait dengan kepercayaan animisme

dan dinamisme, seperti penerapan hiasan empat pa-

sang topeng wajah manusia, merupakan personifikasi

nenek moyangnya yang telah meninggal. Benda atau

hiasan tersebut dipercayai memiliki kekuatan magis

atau bertuah yang memberi perlindungan dan kesela-

matan kepada kerabat atau masyarakat yang diting-

galkannya (Soejono, 1975).

Pada masa tersebut, pembuatan produk kriya

selain menggunakan logam juga dengan bahan-bahan

lain, seperti tanah liat yang dibakar atau tembikar, anyam-

anyaman bambu dan mengukir batu sebagai perkem-

bangan kebudayaan Neolitikum. Salah satu contoh pe-

ninggalan berupa peti terbuat dengan batu (sarko-

fagus) digunakan untuk tempat mayat. Pada sarkofa-

gus tersebut tampak ditatah langsung berupa hiasan-

hiasan dan simbol-simbol terkait dengan kepercayaan

mereka.

3. Zaman Hindu (Pengaruh dari India dan Majapahit)

Pengaruh kebudayaan Hindu yang masuk ke

Pulau Bali, diduga berlangsung melalui dua “pengaruh”,

Page 42: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

yaitu pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa lang-

sung dari India, baik yang dibawa oleh orang-orang

Drawida maupun Arya pada masa-masa Raja Maya

Denawa berkuasa di Bali, sekitar abad 8 M (Djawatan

Penerangan Propinsi Suda Ketjil, 1953) dan pengaruh

kebudayaan Hindu yang berasal dari Pulau Jawa.

Persebaran kebudayaan Hindu dari Pulau Jawa, di-

duga berlangsung sekitar abad 10 M, yaitu sejak ter-

jadi hubungan antara masyarakat Bali dengan Ke-

rajaan Medang Kemulan di Pulau Jawa. Hubungan

tersebut terus berlangsung pada zaman Kerajaan

Singosari dan puncaknya terjadi pada zaman Keraja-

an Majapahit sekitar abad 14 dan 15 M (Suwondo,

1977/1978).

Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dari Ma-

japahit ke Bali, diawali dengan ekspedisi di bawah

pimpinan Maha Patih Gajah Mada (Prabu Wisnuwar-

dana) pada tahun 1343, yaitu saat Kerajaan Maja-

pahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Tri

Bhuwana Tungga Dewi Djaya Wisnuwardana). Dalam

ekspedisi tersebut terjadi perang melawan penduduk

Bali asli dan berakhir dengan kemenangan di pihak pa-

sukan Gajah Mada. Kekalahan tersebut mengakibatkan

penduduk Bali asli, akhirnya terdesak ke daerah pe-

dalaman, seperti di Desa Tenganan, Karangasem, De-

sa Trunyan, Songan, Kedisan, Kubu dan Sukawana,

Bangli, Sembiran, Cempage, Pedawa, Sidetapa, Julah,

dan di daerah lainnya di Buleleng (Covarrubias, 1972).

Page 43: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Penduduk di Pulau Bali saat tersebut jumlahnya

relatif sedikit di bandingkan sekarang. Daerahnya di-

batasi hutan belantara. Namun mereka telah memiliki

sistem kemasyarakatan yang mapan dengan kebiasa-

an berbeda dengan penduduk Bali lainnya. Sebagai

penganut sekte-sekta, seperti: Sambu, Brahma, Indra,

Wisnu, Bayu, dan Kala (Soeka,1986). Percaya dengan

alam nyata dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan

alam atau dewa-dewa penguasa alam gaib, dan kon-

sep utara-selatan (kaja-kelod atau dulu dan tebén)

dengan berpedoman pada laut dan gunung (segara-

ukir), di mana gunung dianggap utara dan sebagai

tempat yang bersih atau suci sedangkan laut adalah

selatan sebagai tempat yang kotor atau tempat pem-

bersihan. Gunung dianggap sebagai alam arwah dan

sekaligus sebagai waduk alamiah yang mengairi da-

taran rendah di Pulau Bali sepanjang tahun. Mereka ti-

dak mengenal sistem Kasta, bahasa yang digunakan

umumnya menggunakan Bahasa Bali Kuno dan tidak

mengenal tingkatan bahasa (bahasa halus-kasar)

Masuknya kebudayaan Hindu ke Bali, ternyata

membawa pengaruh yang cukup besar terhadap

konstelasi kehidupan masyarakat di Bali. Seluruh

unsur kebudayaan tradisonal Bali dominan dijiwai oleh

agama Hindu dan sebaliknya wujud kebudayaannya

kembali diabdikan untuk keperluan agama. Sehingg

terjalin hubungan yang saling berkait seperti pada

Gambar 6.

Page 44: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 6. Unsur Kebudayaan Bali Dijiwai Agama Hindu

Keterangan

Lima unsur dominan dalam tata kehidupan tradional di Bali, seperti: (1) Filsafat hidup atau pandangan hidup masyarakat. (2) Adat istiadat dan hukum adat. (3) Seni budaya, (4) Organisasi sosial tradisional, dan (5) Keseluruhannya dilandasi dengan ajaran Agama Hindu.

Anak panah melengkung pada gambar tersebut menunjukkan hubungan antar unsur.

Anak panah menuju kearah pusat lingkaran besar menunjukkan bahwa semua unsur bertumpu pada ajaran Agama Hindu.

Anak panah munuju kearah keluar lingkaran besar, menunjukkan segala produk kebudayaan kembali diabdikan atau dipersembahkan untuk agama, seperti: berupa seni rupa, bangunan tradisional, tari, tata cara upacara di pura, dan sebagainya.

Page 45: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Tata cara bercocok tanam tradisonal dan sistem

pengairan atau subak dikembangkan berdasarkan

konsepsi Agama Hindu. Sistem tersebut diajarkan oleh

Resi Markandeya berasal dari Jawa Timur. Sarana

dan prasarana keagamaan mengalami perkembangan

dan pembenahan sejak datangnya Empu Kuturan dan

Dang Hyang Nirarta dari Jawa Timur. Empu Kuturan

datang ke Bali pada abad ke-11, yaitu pada zaman

pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042)

dan di Bali diperintah oleh Raja Marakata dan Anak

Wungsung. Ia mengembangkan konsep Tri Murti untuk

pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa

Brahma ‘pencipta alam’ ke arah laut, Wisnu ‘pemeli-

hara alam’ tengah dan Šiwa ‘pelebur alam’ ke arah

gunung. Menyusun sistem organisasi kemasyarakatan

berdasarkan ajaran Agama Hindu yang disebut Desa

Pekraman atau Desa Adat. Mengajarkan tata cara

pembuatan Kayangan atau Pura, seperti, Kayangan

Tiga —terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura

Bale Agung— untuk melengkapi Desa Pekraman. Meng-

ajarkan pembuatan Sadkahyangan Jagat, Kayangan

Catur Lokapala, Kayangan Rwabhineda dan memper-

lebar Pura Besakih dan sebagainya (Purnata, 1977

/1978).

Sedangkan Dang Hyang Nirarta atau Danghyang

Dwijendra (juga terkenal dengan sebutan Peranda Sakti

Wawu Rawuh) —seorang agamawan dan pujangga

besar dari Jawa Timur— datang ke Bali ketika Keraja-

Page 46: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

an Gelgel, Klungkung dipemerintah oleh Dalem Watu-

renggong (1460-1550). Kedatangannya sangat berpe-

ngaruh dalam pengembangan dan penyempurnaan

ajaran Agama Hindu di Bali serta turut membawa Ke-

rajaan Gelgel ke zaman keemasannya. Dia mengem-

bangkan konsep Tri Purusa yang terdiri dari: Parama

Šiwa (Swah Loka atau alam atas), Sada Šiwa (Bwah

Loka atau alam Tengah) dan Šiwa (Bhur Loka atau

alam bawah). Keberhasilannya adalah memperjelas

“kekaburan” antara tempat pemujaan Tuhan dengan

roh leluhur, yakni dengan membuat pelinggih berupa

Padmasana, yaitu untuk pemujaan Tuhan, sedangkan

Pura Dadia, Pedharmaan, Paibon untuk pemujaan roh

leluhur (Wiana, 1945).

Penciptaan produk-produk kriya pada zaman ter-

sebut, mempunyai peranan yang sangat penting, se-

perti, berupa alat pertanian, menunjang keperluan se-

hari-hari, terutama untuk sarana pemujaan, seperti be-

rupa wadah, simbol maupun sebagai hiasan. Salah

satu contoh, dalam pembuatan Pelinggih Padmasana.

Hiasan yang diterapkan berupa pepatran, seperti patra

punggel, patra welanda, patra sari, mas-masan dan

sebagainya serta kekarangan, seperti karang asti, ka-

rang goak, karang bentulu, dan sebagainya. Perwujud-

an dalam bentuk simbol, seperti Empas, Naga Basuki,

Ananta Boga, Kalpa Warksa, Purnaghata, Kinara Ki-

niri, Achentya dan sebagainya yang terkait dengan

konsepsi Tri Murti dan Tri Purusa.

Page 47: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Di bidang kesenian lainnya, juga mengalami per-

kembangan diwarnai dengan pengaruh kebudayaan

Jawa dan sarat dengan misi pembinaan umat Hindu.

Seperti seni tari, pertunjukan wayang, tari topeng, dan

sebagainya. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Be-

betin, nomor kropak M55 dijelaskan:

...pandê mas, besi, tembaga (kriyawan atau “tu-kang” emas, besi, tembaga), pamukul (juru tabuh), pagending (penyanyi), pabunjing (penari), pabang-si (juru rebab), partapukan (topeng), parbwayang (wayang)...turun di panglapuan di Singamandawa, di bulan besakha Cuklapancami, rge pasaran Wi-jayamanggala, tahun Šaka 818 (896 M). (dibuat oleh pegawai di Singamandawa pada bulan ke-10, tanggal 5 tahun Šaka 818) ( Simpen, 1974)

Prasasti tersebut memberi petunjuk, bahwa ke-

senian termasuk produk-produk kriya pada zaman ter-

sebut, juga dipakai sebagai media pendidikan atau

komunikasi dalam masyarakat. Seperti dalam bentuk

pagelaran topeng, wayang dan sebagainya.

Pada zaman tersebut di Bali sudah berdiri kera-

jaan-kerajaan, seperti kerajaan Bedahulu (1324-1343)

dengan rajanya yang terkenal bernama Sri Astasura

Ratna Bumi Banten, Kerajaan Samprangan (1351-

1380) dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan berasal

dari Daha (Kediri), Jawa Timur, Kerajaan Gelgel (1380

-1460) dengan masa keemasan pada saat peme-

rintahan Raja Dalem Waturenggong sampai Kerajaan

Klungkung, yaitu salah satu kerajaan di Bali yang pa-

Page 48: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ling terakhir dikuasai oleh Belanda dalam perang Pu-

putan pada tanggal 28 April 1908 dipimpin oleh Dewa

Agung Jambe.

Dalam kaitan dengan sistem kerajaan, maka pe-

ranan penciptaan produk-produk kriya saat tersebut

memiliki kecenderungan untuk melaksanakan tugas

yang dilandasi dengan semangat kebanggaan dan de-

dikasi kepada raja dan keluarga raja. Jadi berorientasi

pada puri atau istana centris. Oleh sebab itu, kegiatan

penciptaan produk-produk kriya tampak lebih berkem-

bang di sekitar pusat kerajaan dan di bawah patrona-

ge kerajaan (Joedawinata, 1990:4). Produk kriya yang

diciptakan saat itu tampak lebih mengutamakan segi

keindahan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

para raja dan keluarganya yang bersifat hedonistik atau

sebagai simbol status sosial. Sebagai contoh, produk

kriya berupa keris atau atribut raja dibuat dengan sa-

ngat indah, bangunan istana raja, umumnya dibuat le-

bih megah dibandingkan dengan perumahan rakyat dan

sebagainya. Sehingga melahirkan produk-produk yang

unggul dan adhiluhung.

4. Zaman Kolonial

Ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis

de Houtman untuk menemukan sumber rempah-rem-

pah di dunia timur. Pada tahun 1597 sempat mampir

di Kerajaan Gelgel (Bali), saat diperintah oleh Raja Da-

lem Sagening. Kedatangannya disambut dengan tata

Page 49: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

cara yang sangat hormat, karena kunjungannya ter-

sebut dengan dalih ingin menawarkan ikatan persaha-

batan, yang nantinya akan ditingkatkan menjadi hu-

bungan perdagangan. Kesempatan itu dimanfaatkan

oleh Be-landa dengan sebaik-baiknya untuk menulis

mengenai Bali, terutama mengenai segala sesuatu

yang terkait dengan pemerintahan Raja Dalem Sa-

gening. Pada saat tersebut, Belanda juga melontarkan

suatu julukan “Jonck Hollands”, artinya “Belanda

Muda”, yang ditujukan untuk Pulau Bali. Bagi Belanda,

dalam julukan itu sebenarnya teselip suatu ambisi atau

impian untuk menjadikan Bali sebagai wilayah kekua-

saannya.

Impian tersebut akhirnya benar menjadi kenya-

taan, setelah Belanda mampu mengalahkan perlawan-

an para raja Bali dalam perang puputan (terakhir tahun

1908). Mulai saat itu pamor kekuasaan para raja se-

makin memudar di mata rakyat Bali, karena kekuasa-

an kerajaan “feodal” secara berangsur-angsur diganti

dengan sistem pemerintahan kolonial “modern” menu-

rut cara Belanda. Keadaan tersebut menimbulkan per-

ubahan dalam tata kehidupan masyarakat di Bali. Sis-

tem pemerintahan tersebut, menyebabkan muncul ke-

lompok-kelompok elite atau golongan atas baru dalam

masyarakat dan memperkenalkan ide-ide baru, misal-

nya, dalam pendidikan, kesehatan, menanamkan penger-

tian tentang pentingnya hidup non-agraris dan seba-

gainya.

Page 50: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Di sisi lain, Belanda juga sangat tertarik dengan

keindahan alam dan kehidupan kebudayaan masyara-

kat di Bali yang memiliki ciri tersendiri, seperti memiliki

beraneka ragam jenis kesenian tradisional, upacara

Agama Hindu sesuai dengan adat di Bali, terdapat

pura hampir di seluruh pelosok Pulau Bali dan seba-

gainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah

kolonial Belanda berkeinginan untuk mengembangkan

potensi tersebut untuk dijadikan objek wisata. Dalam

menyusun strategi pengembangan ke arah tersebut,

maka mereka selalu konsisten untuk menjaga kelesta-

riannya dan berusaha untuk mengisolasi dari penetrasi

pengaruh-pengaruh kebudayaan eksternal, karena di-

kawatirkan dapat “merusak”. Pemerintah Belanda meng-

inginkan agar keindahan alam dan kebudayaan Bali

menjadi objek wisata budaya, sebagai “museum hidup”

dan menjadi tontonan semata. Pemasukan berupa

devisa hanya diharapkan dari pemungutan pembayaran

yang dikenakan pada para wisatawan yang berkunjung

(Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Ketjil, 1953)

Langkah-langkah lain yang dilakukan dalam upaya

pelestarian itu, seperti mengembangkan sistem pendi-

dikan kolonial yang disesuaikan dengan tata kehidup-

an adat-Agama Hindu di Bali. Misalnya, diupayakan

dengan mengangkat tenaga pendidik lokal, seperti pe-

lajaran menggambar diajarkan oleh “Guru Adat” (seni-

man tradisional). Sistem pendidikan itu dikenal dengan

Page 51: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

sebutan Balisering, dikembangkan oleh H. te Flierhaar

—seorang tokoh pendidik dari Negeri Belanda— pada

tahun 1920, ketika menjadi guru HIS di Klungkung.

(Putra, 1991/1992). Selain itu, di Singaraja pada tahun

1928, di bawah pimpinan Leifrinck dan Van der Tull,

medirikan Gedong Kirtya yang digunakan sebagai

perpustakaan untuk menyelamatkan lontar-lontar yang

berisi sastra lama dan segala aspek tentang Bali. Ke-

mudian di Denpasar pada tahun 1932, WF. Kroos

mendirikan sebuah bangunan digunakan untuk me-

nyimpan benda-benda peninggalan masa lalu dan se-

karang dijadikan Museum Bali.

Sedangkan dalam usaha mempromosikan Bali

sebagai daerah tujuan wisata, dilakukan dengan men-

datangkan beberapa pakar dalam berbagai disiplin

ilmu dari negeri Belanda untuk mempelajari, meneliti

dan menulis berbagai aspek tentang Bali. Di antaranya

H.N.Van der Tuuk, menulis tentang “Kawi-Balineesch-

Nederlandsch Woordenboek” (1912), P. De Kat

Angelino dengan tulisannya berjudul “De Leak op Bali”

(1923), R. Goris menulis buku berjudul “Secten op

Bali” (1933), V. E. Korn menulis buku berjudul “Het

Adatrecht van Bali” (1932) dan yang lainnya. Kemu-

dian tulisan-tulisan tersebut didistribusikan ke seluruh

dunia. Walhasil, usaha tersebut cukup menggetarkan

keinginan banyak orang termasuk para penulis dari

barat lain-nya untuk melihat Bali secara langsung.

Sekitar tahun 1920, kapal dagang Belanda K.P.M

Page 52: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

(Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dialihfungsikan

untuk mengangkut rombongan wisatawan Belanda per-

tama mengunjungi Bali. Sarana dan prasarana pen-

dukung kepariwisataan di Bali saat itu kurang mema-

dai, sehingga banyak di antara mereka terpaksa tidur

dalam kapalnya. Namun kebanyakan wisatawan dalam

rombongan tersebut merasa puas setelah meninggal-

kan Pulau Bali.

Melihat peluang tersebut, maka dalam pengem-

bangan selanjutnya mulailah diadakan pembenahan

sarana dan prasarana yang terkait, seperti memba-

ngun Hotel Bali di Denpasar, pesanggrahan di Kinta-

mani dan di Pelaga, perbaikan sarana transportasi, dan

sebagainya. Upaya pengembangan tersebut secara ti-

dak langsung akhirnya berpengaruh pada kegiatan-

kegiatan lain di Bali. Misalnya pada kegiatan pencip-

taan dan penggunaan produk kriya.

Pada masa tersebut, para kriyawan dengan

“serta merta” mulai aktif menciptakan produk-produk

kriya untuk dijadikan mata dagangan berupa produk

kriya lokal sebagai cenderamata. Penciptaan tersebut

termotivasi oleh permintaan para wisatawan yang se-

makin meningkat, sehingga para kriyawan dan peng-

usaha produk-produk kriya di Bali mulai merasakan

nilai ekonomis atau nilai tukar dari produk kriya yang

diciptakan atau diusahakannya. Motivasi atau sema-

ngat penciptaan produk yang dulunya dilandasi dengan

rasa pengabdian yang tulus kepada agama dan ke-

Page 53: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

rajaan, namun pada saat tersebut mulai muncul gejala

yang mengarah pada komersialsasi produk kriya.

Dalam kreativitas penciptaan produk berciri khas Bali

mulai terjadi gejala reproduksi atau tindakan eklektik

terhadap unsur-unsur produk masa lalu yang diwarisi-

nya, kemudian disuguhkan untuk para wisatawan.

Pada masa selanjutnya, dengan meletusnya Pe-

rang Dunia ke-II, maka pengembangan pariwisata di

Bali tidak dapat diteruskan lagi oleh pemerintah Be-

landa, karena harus menerima kekalahan dalam meng-

hadapi semangat hegemonisme Jepang. (Mirsa, 1988).

Dengan kekalahan Belanda, maka situasi dan kondisi

masyarakat di Bali mengalami perubahan cukup drastis.

Di bawah penguasaan Jepang yang berlangsung da-

lam waktu relatif singkat sehingga pengembangan

sektor pariwisata kurang mendapat prioritas, karena

saat tersebut, Jepang lebih terfokus pada ambisinya

untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

5. Zaman Kemerdekaan

Sejak bangsa Indonesia memproklamasikan ke-

merdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga

sekarang ini (lebih kurang seperempat abad silam).

Dalam kurun waktu tersebut, pembangunan di daerah

Bali yang dilaksanakan berdasarkan program Repelita

dan dengan strategi pembangunan daerah seperti

tampak pada Gambar 7, ternyata mengalami perkem-

bangan cukup pesat. Walaupun dalam pelaksanaan-

nya masih banyak ditemukan kendala.

Page 54: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA

TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PEMERATAAN

TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PERTUMBUHAN

A. Pelestarian nilai-

nilai budaya, agama dan warisan spiritual dalam seluruh aspek kehidupan

B. Pengembangan

identitas Bali

1.2. Delapan

Jalur Pemerataan

2.2. Pendekatan

Regional

EKONOMI

a. Pembangunan Sektor Pertanian

b. Pembangunan Sektor Pariwisata

c. Pembangunan Sektor Industri

SOSIAL

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar

b. Peningkatan dan Perluasan Sarana dan Prasarana Sosial

c. Mendorong Partisipasi Aktif dari Masyarakat dalam Pembangunan

TUJUAN INTI

ARAH IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

ALAT UKUR YANG MENGARAHKAN PADA KESERASIAN DAN KETERPADUAN

Sumber: (Oka, 1991)

Gambar 7. Bagan Strategi Dasar Pembangunan Daerah Bali

Page 55: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dari sekema tersebut dapat diketahui, bahwa tu-

juan pembangunan bidang ekonomi di Bali adalah be-

rorientasi pada pertumbuhan sektor pertanian, pariwi-

sata dan industri kecil. Hasil pembangunan ketiga

sektor tersebut, seperti pada Pelita I yang dimulai

sejak tahun 1969 dengan menitikberatkan pada sektor

pertanian, ternyata mendapat respons cukup besar dari

masyarakat petani di Bali, karena kemantapannya

yang kuat sebagai masyarakat pewaris budaya agraris.

Sehingga hasilnya tampak jelas dari Pelita I sampai V

mampu membawa masyarakat Bali ke tingkat swasem-

bada pangan.

Pembangunan sektor pariwisata di Bali, yang kem-

bali dibangkitkan oleh pemerintah Indonesia sekitar ta-

hun 1950, dengan tetap memakai potensi budaya se-

bagai daya tarik utama, ternyata memberi peningkatan

perekonomian yang cukup signifikan bagi masyarakat

di Bali. Sektor tersebut memberi oportunitas cukup

besar untuk tumbuh suburnya berbagai bidang usaha,

seperti semakin menjamurnya usaha di bidang perhotel-

an, transportasi atau biro perjalanan, toko kesenian,

garmen, berbagai jenis industri kecil dan rumah tangga

dan sebagainya.

Demikian juga industri kecil dan rumah tangga

yang bergerak dalam usaha penciptaan produk kriya,

kini terus dibina dan dikembangkan. Pemerintah men-

jadikan sektor tersebut sebagai salah satu cabang

industri alternatif yang strategis, prospektif dan sesuai

Page 56: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara, karena

memiliki karakteristik antara lain, humanisasi proses

kerja, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja

(mass employee) berakumulasi modal kecil, dan se-

bagainya. Sehingga diharapkan dapat terjadi pening-

katan dan pemerataan pendapatan masyarakat di

pedesaan serta dapat memperlambat laju urbanisasi.

Dengan dukungan pemerintah dan perkembang-

an pariwisata di Bali yang cukup pesat, maka pada era

kemerdekaan, usaha perluasan atau enlargement pen-

ciptaan produk-produk kriya, tampak semakin mantap

dan dengan kecenderungan mengarah kepada hal yang

bersifat “komersial”. Para kriyawan dan pengusaha

produk-produk kriya masa kini merasa semakin ber-

gairah dalam usaha tersebut, karena termotivasi oleh

nilai ekonomi yang dapat dinikmati dari produk kriya

yang diciptakannya.

Kondisi tersebut semakin terpacu, karena pada

dasawarsa belakangan ini pemerintah Indonesia se-

makin mengkonsetrasikan perhatiannya pada sektor

tersebut, sehubungan dengan upaya untuk memper-

oleh sumber dana penunjang pembangunan nasional.

Berbagai program telah diluncurkan terkait dengan hal

tersebut, salah satunya seperti program OVOP (one

village one product). Malah pada tahun 1990-an terbukti

produk-produk kriya sempat dijadikan sebagai salah

satu alternatif komoditi ekspor di luar minyak dan gas

alam (LNG) Liquid Natural Gas. Kebijakan tersebut

Page 57: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ditempuh oleh pemerintah, mengingat ekspor andalan

Indonesia berupa bahan-bahan mentah yang dibutuh-

kan oleh industri pengolahan di luar negeri, mengalami

penurunan dipasaran dunia dan diikuti oleh resesi dunia

pada saat tersebut (Joedawinata, 1990)

B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali

1. Pelaksanaan Ajaran Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali

Agama Hindu berasal dari lembah Sungai Sindhu

di India. Di tempat tersebut, ajaran diterima dari Tuhan

dalam bentuk wahyu suci oleh tujuh orang Maharsi,

yaitu: Maharesi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa,

Atri, Baradwaja, Wasista dan Kanwa. Ajaran tersebut

dikumpulkan dan disusun kembali oleh Bhagawan

Abyasa dalam bentuk kitab suci yang disebut Weda.

Kemudian ajaran tersebut disebarkan keseluruh dunia

melalui para pengikutnya, hingga sampai ke Indonesia.

Di Indonesia, Agama Hindu sering diberi sebutan

yang berbeda-beda sesuai dengan nama daerah di

mana Agama Hindu tersebut tumbuh dan berkem-

bang, seperti disebut Agama Hindu Bali, Hindu Jawa,

Hindu Kaharingan dan sebagainya. Terjadinya hal ter-

sebut, salah satunya, karena dalam tata cara peng-

amalan ajarannya disesuaikan dengan kemampuan

dan kondisi budaya masyarakat penganutnya atau di-

sesuaikan dengan desa, kala dan patra, sehingga da-

Page 58: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

lam perkembangannya di masing-masing daerah di

Indonesia, tampak memiliki etos kebudayaan Hindu

yang berbeda. Namun inti ajaran Agama Hindu yang

dianutnya tetap satu bersumber pada ajaran Weda.

Kondisi tersebut memang menungkinkan untuk

terjadi, sebab ajaran Agama Hindu memberi tuntunan

yang bersifat lentur. Misalnya bagi umat Hindu yang

telah “ahli” dalam teori dan praktek ilmu ketuhanan

(teologi), dibenarkan mengamalkannya dengan tanpa

sarana upacara dan tidak memilih tempat serta arah

tertentu, karena mereka telah menaruh upacara terse-

but dalam batinnya (adyâtmika). Seperti bunga yang

bersemayam dalam batin yang tak pernah layu (puspa

tan alun), api yang tidak pernah padam (geni angla-

yang), suara sukma yang tidak pernah putus (swa-

raning genta pinara pitu), air amerta batin yang tidak

pernah kering (Šiwambhâ-dhyatmika) dan dapat ma-

nunggal dengan Tuhan atau purusa katemunta ma-

reka si tan katemu. Namun umat seperti tersebut po-

pulasinya sangat sedikit dapat dikatakan satu per mil

atau sewu tinunggal.

Berdasarkan hal tersebut, maka sarana dan pra-

sarana yang bersifat lahiriah, seperti produk-produk

kriya berupa simbol-simbol atau nyasa yang bersifat

sakral, mutlak akan diperlukan dalam mengamalkan

ajaran Agama Hindu di Bali (Sugriwa, tt). Hal tersebut

juga sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Seperti yang

Page 59: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

disebutkan pada Bhagawag Gîtã, sloka IX-26, yaitu

sebagai berikut:

Yat karosi yad ašnãsi yaj juhosi dadãsi yat, yat tapasyasi kaunteya tat Kurushva mandarpanam.

Artinya: Apapun yang kau kerjakan, kau makan,

kau persembahkan, kau dermakan dan disiplin

diri apapun kau laksanakan asalkan menuju ke-

benaran, lakukanlah, Kuntipura, sebagai bhakti

pada-Ku (Pendit, 1995).

Acuan lainya sesuai dengan pendapat tersebut,

juga dapat disimak dalam cara menghayati dan meng-

amalkan ajaran Weda yang dapat mengacu pada be-

berapa hal seperti:

a. Sifat ajaran Weda. Pada garis besarnya dapat di-

jabarkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Mantra,

Isinya terdiri dari empat himpunan atau samhita

(Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan

Atharwa Weda), 2) Brahmana (Karma Kanda),

dan 3) Upanisad (Jñána Kanda.)

Bagian kedua dari penjabaran sifat ajaran Weda

di atas, yaitu Brahmana (Karma Kanda) adalah

merupakan ajaran yang berisi himpunan doa-doa

dan tuntunan yang dipergunakan untuk keperlu-

an upacara Yajña, ceritera-ceritera dan simbol

yang dipergunakan untuk memantapkan rasa

percaya kepada Tuhan. Jadi pada dasarnya ajar-

an tersebut “membenarkan” penggunaan sarana

Page 60: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

yang bersifat lahiriah untuk membantu pengha-

yatan kepada Tuhan. Seperti penggunaan pro-

duk kriya berupa simbol-simbol yang terkait de-

ngan ajaran agama dan sebagainya.

b. Catur Marga, yaitu empat cara atau jalan utama

ditempuh untuk mencapai tujuan Moksaratha

Jagathita, terdiri dari: 1) Bhakti Marga, 2) Karma

Marga, 3) Jñána Marga dan 4) Raja Marga.

Bhakti Marga, artinya cinta kasih. Ajaran ini me-

rupakan salah satu alternatif dalam menghayati

dan mengamalkan ajaran Agama Hindu dengan

menggunakan sarana pemujaan. Bhakti Marga

merupakan ajaran yang langsung, alamiah, mu-

dah diterima dan dilaksanakan oleh semua ting-

katan. Seorang Bhakta —penganut Bhakti Marga

— adalah orang yang penuh cinta kasih kepada

Tuhan berserta ciptaannya. Cetusan rasa cinta

kasih dan kerinduan kepada Tuhan dapat diwu-

judkan dalam bentuk pesembahan bhakti atau

dalam produk kriya berupa simbol-simbol untuk

melukiskan sifat maya Tuhan (mayasakti) (Cuda-

mani, 1993).

c. Kerangka Agama Hindu, yang terdiri dari: Tattwa

(Filsafat Agama), Susila (Etika) dan Upacara (ri-

tual). Dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu,

menurut kerangka tersebut, juga membenarkan

menggunakan sarana untuk pemujaan Tuhan

Page 61: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Ketiga acuan di atas memberi gambaran, bahwa

ajaran Agama Hindu memberi suatu tuntunan yang

bersifat luwes dalam usaha mendekatkan diri dengan

Tuhan. Ketiga ajaran tersebut memberi tuntunan yang

mengarah pada pengorbanan suci berupa tindakan

atau kerja dan membenarkan menggunakan sarana

dalam pemujaan Tuhan. Seperti menggunakan pro-

duk-produk kriya, bangunan suci, busana, sesajen, air,

bunga, api dan sebagainya.

Pengamalan ajaran agama Hindu tersebut, se-

cara implisit memberi peluang munculnya keanekara-

gaman atau perbedaan penciptaan sarana pemujaan

Tuhan di setiap daerah di Indonesia. Sarana tersebut

dibuat berdasarkan kesepakatan dan keyakinan ma-

syarakat setempat serta menjadi aktivitas adat atau

“hukum adat” yang diusung dari generasi ke generasi

berikutnya. Hal tersebut sesuai dengan definisi yang

dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa sebagian dari

kaidah-kaidah atau norma-norma yang ada dalam ma-

syarakat yang berasal dari sumber hukum yang di-

anggap sakral (dalam Suasthawa, 1990).

Umat Hindu di Bali, dalam mengamalkan ajaran

Weda, masih dominan mengacu pada tiga ajaran ter-

sebut di atas. Seperti dalam pengamalan tiga kerang-

ka Agama Hindu, ternyata yang lebih dominan dilak-

sanakan adalah upacara atau ritual keagamaan yang

disesuaikan dengan adat-istiadat umat Hindu di Bali,

sehingga hampir setiap hari umat Hindu di Bali dijum-

Page 62: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

pai melaksanakan upacara, baik di pura, rumah ting-

gal, sawah, jalan, maupun di tempat lain yang diang-

gap sakral. Dari upacara-upacara tersebut, hampir se-

muanya tampak menggunakan sarana upacara, baik

berupa wadah atau tempat, simbol-simbol, maupun

berupa hiasan dan dibuat berdasarkan kesepakatan

masyarakat Hindu di Bali.

Upacara yang dilaksanakan tersebut dipercayai

merupakan suatu bentuk pengorbanan yang tulus dan

suci atau Yajña. Dengan tujuan untuk melaksanakan

tiga kewajiban atau utang yang disebut Tri Rna, yaitu

utang kepada Tuhan, para resi atau guru dan leluhur.

Tujuan tersebut dilaksanakan didasari dengan suatu

keyakinan, bahwa kelahiran manusia selalu diselimuti

oleh utang yang harus dibayar. Selain hal tersebut,

pelaksanaan juga diyakini bertujuan untuk menyela-

raskan hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam

yang didasari konsep Tri Hita Karana.

Dari sekian banyak upacara Yajña yang dilaku-

kan oleh umat Hindu di Bali, pada garis besarnya da-

pat dikelompokan menjadi lima, yang disebut Panca

Yajña, terdiri dari: (1) Dewa Yajña, yaitu, persembah-

an kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai de-

wa; (2) Resi Yajña, yaitu, persembahan atau penghor-

matan kepada para Resi atau guru; (3) Manusa Yajña,

yaitu, upacara penyucian yang ditujukan mulai perka-

winan hingga ajal tiba; (4) Pitra Yajña, yaitu persem-

bahan kepada roh leluhur dan upacara kematian; (5)

Page 63: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Bhuta Yajña, yaitu upacara korban suci kepada Bhuta

Kala.

Upacara Panca Yajña dapat dipilah lagi memjadi

beberapa jenis upacara, misalnya, upacara Dewa Yajña

atau Dewapuja, dikenal beberapa jenis upacara, se-

perti: Odalan, Nuntun, Ngenteg linggih, Melasti, dan

sebagainya. Semuanya menggunakan sarana yang

khusus dan sangat beragam, seperti berwujud beban-

tenan atau sesajen, penganggé atau busana dewa

dan melibatkan berbagai produk kriya, baik yang ber-

sifat temporel maupun permanen.

2. Peranan Produk Kriya dalam Upacara Agama Hindu di Bali

Secara umum produk kriya di Indonesia dapat

dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Produk kriya

dalam konteks budaya; (2) Produk kriya dibuat dalam

konteks agama atau kepercayaan; (3) Produk kriya

dalam konteks kerajinan rakyat; Dan (4) Produk kriya

yang dibuat oleh kriyawan dan para perancang masa

kini (Buchori, 1990)

Berdasarkan kategori tersebut dan mengingat pe-

ranan serta jenis produk-produk kriya yang digunakan

untuk menunjang aktivitas hidup masyarakat di Bali

sangat beraneka ragam, maka dalam konteks bahasan

ini, produk-produk kriya yang dimaksudkan adalah

produk yang tergolong kategori kedua, yaitu sebagai

sarana upacara Agama Hindu sesuai dengan adat di

Page 64: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Bali. Terutama produk-produk kriya yang digunakan

sebagai sarana upacara Odalan, bersifat “permanen”,

mengandung makna atau nilai simbolis dan dianggap

sakral oleh umat Hindu di Bali.

a. Pengertian Odalan

Sebelum lebih lanjut menguraikan tentang peran-

an produk kriya, terlebih dahulu akan dijelaskan me-

ngenai pengertian Odalan.

Odalan atau Dewapuja berasal dari kata Wedal,

yang berarti kelahiran. Dalam hal tersebut bukan ber-

arti Tuhan mengalami kelahiran, tetapi yang dimaksud-

kan adalah upacara peringatan hari mulai enteg linggih

atau hari peringatan mulai “distanakannya” atau diling-

gakan Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasi seba-

gai dewa pada suatu tempat suci atau pura. Perayaan-

nya dilangsungkan setiap enem sasih atau enam bulan

(menurut perhitungan kalender Bali; 1 sasih = 35 hari.)

b. Peranan Produk Kriya dalam Melaksanakan Upa-cara Odalan

Masuknya Agama Hindu ke Bali, ternyata memberi

pengaruh dominan pada tatanan kehidupan dan sistem

relegi masyarakat Bali. Sebelum masuknya pengaruh

kebudayaan Hindu kepercayaan terhadap alam nyata

dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan alam gaib

serta memberi penghargaan atau ucapan terimakasih

dalam bentuk persembahan kepada alam atas hasil atau

Page 65: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

sumber pangan yang di berikannya. Kemudian keyakinan

tersebut dimatangkan lagi semenjak Rsi Markandeya

datang dari Jawa. Pola masyarakat agraris yang telah

mengakar tersebut, dipadukan dengan konsep yang

“bernafaskan” Agama Hindu dari Jawa, seperti dalam

pelaksanaan sistem irigasi yang disebut subak.

Konsep Agama Hindu dari Jawa yang bersifat

menyempurnakan tersebut, juga terlihat pada sarana

pemujaan kepada Tuhan dalam segala manifestasi-

nya. Seperti berupa pelinggih, penggunaan arca, pertima

atau pralingga dan sarana lainnya, yang merupakan

bentuk “penyempurnaan” dari hasil kebudayaan megalitik

di Bali. Pengaruh perpaduan Agama Hindu, juga mem-

beri sepirit dan inspirasi untuk tumbuh suburnya ber-

aneka ragam jenis kesenian tradisional berciri khas Bali.

Menurut pandangan umat Hindu Bali, fungsi ke-

senian tradisional tersebut, pada garis besarnya dapat

dikelompok menjadi tiga bagian, seperti: (1) Seni Suci

atau Wali, jenis kesenian ini difungsikan sebagai bagi-

an dari suatu rangkaian upacara yang sarat dengan

makna religius dan dianggap sakral; (2) Seni Ritual

atau Bebali yaitu, jenis kesenian sebagai pengiring

atau “penghias” dan sekaligus terkait dengan rangkain

upacara; (3) Seni “Sekular” atau Bali-balihan yaitu, je-

nis kesenian yang cenderung mengarah pada hiburan

rakyat atau kesenangan (Pindha, 1973)

Produk kriya, sebagai salah satu bagian dari ke-

senian tradisional Bali, ternyata dapat menduduki ke-

Page 66: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

tiga fungsi tersebut. Khususnya produk kriya yang di-

fungsikan sebagai sarana wali berbeda dengan yang

lainnya, sebab dalam penciptaannya disertai dengan

proses penyucian atau sakralisasi dengan melalui ta-

hap-tahap upacara tertentu, seperti di antaranya dapat

dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut

Tabel 1 Tahap Penyucian Produk Kriya

No. TAHAPAN ARTINYA DAN KEGIATAN

(1) (2) (3)

1.

nglakar

pemilihan bahan baku yang akan digunakan, dewasa ayu atau “hari baik” mulai mencari bahan dan disertai dengan persembahan sesajen kepada Tuhan untuk mohon kekutan agar produk kriya tersebut ber-taksu.

2. makalin membentuk secara global

3. nepong membuat detailnya

4. ngasren menghaluskan

5. mulas memberi warna

6. ngias memberi kontur dan hiasan tambahan

7. melapas upacara pembersihan, dengan membuatkan banten pemlapas

8. ngulapin memanggil atau memohon kekuatan agar merasuk pada produk tersebut yaitu dengan membuatkan banten pengulap

9. ngurip menghidupkan yaitu dilakukan dengan mempersembahkan banten pengurip

10. ngeteg linggih upacara menstanakan pada tempat suci

11. nuedin dengan jalan mempersembahkan sesajen pada tempat atau asal bahan yang digunakan

12. ngerehang untuk mengetahui apakah benda yang dibuat bertuah

Page 67: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

(1) (2) (3)

13. ngajar-ngajar upacara membawa benda tersebut ke tempat suci lainnya, seperti Kahyangan Jagat, dengan tujuan “mendaftarkan”.

14. ngodalin upacara memperingati hari dilinggakan benda tersebut sebagai benda sakral

15. mepajar memfungsikan

Narasumber: Gelebet.

Dalam melaksanakan upacara Odalan biasanya

memanfaatkan berbagai macam produk kriya dengan

beraneka ragam bentuk dan fungsinya serta tergolong

sebagai sarana wali, seperti berupa:

1. Benda pakai, antara lain: pedupaan, bokor atau

tempat sesajen, dulang, sokasi atau bakul, saab

atau tutup sesajen, kendi, sangku atau tempat air

suci, canting alat untuk mengambil tirta air suci,

peralatan yang digunakan oleh Pedanda atau pe-

mimpin upacara, seperti pedipan, pasepan kedu-

anya berfungsi sebagai tempat pedupaan, stana

lingga tempat api, swamba atau tempat tirta, tri-

pada sebagai “kaki” swamba, pewijan tempat be-

ras suci, dan sebagainya .

2. Ragam hias pada sarana perlengkapan upacara,

seperti: Lontek, kober, pengawin atau bandrangan,

tedung atau payung, ider-ider, berupa relief pada

pelinggih-pelinggih, candi, patung, dan sebagainya.

3. Selain hal tersebut, peranan produk kriya sekaligus

juga berfungsi sebagai simbol yang mengandung

Page 68: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

nilai-nilai atau makna terkait dengan kepercayaan

umat Hindu di Bali. Beberapa contoh produk kriya

jenis tersebut dapat disimak pada uraian berikut

3.1. Relief Acintya

a) Karakteristik:

1) Bentuk: Umumnya dibuat dalam bentuk relief

yang digubah dari bentuk mirip manusia de-

ngan tanpa busana. Sikap berdiri (padaasa-

na) dan kaki pada posisi bergerak. Pada tiap-

tiap persendian, kepala, telinga, dan pada

kelamin berisi bajra. Bentuk Acintya seperti

tampak pada Gambar 8

Gambar 8. Acintya

Page 69: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2) Material: Biasanya terbuat dengan batu alam

(batu padas) atau emas. Namun sekarang ada

juga menggunakan “beton cetak” (campuran

semen pasir yang dicetak).

3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan

(abu-abu, hitam atau kuning emas dan putih).

b) Fungsi: Produk kriya tersebut umumnya diguna-

kan sebagai hiasan bersifat permanen dan se-

kaligus sebagai simbol. Diterapkan pada bangun-

an suci atau pelinggih berupa Padmasana Se-

perti tampak pada Gambar 9

Tampak Samping

Kepala badan kaki

Gambar 9. Pelinggih Padmasana

Page 70: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

b) Makna, nilai-nilai simbolik dan religiusnya: Ber-

dasarkan lontar Widi Tatwa atau filsafat tentang

Tuhan; Acintya, artinya tak terpikirkan, merupa-

kan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.

Dan dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan:

Aprameya, bhatara Paramasiwa tan pangen-pangen, ape hetu ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam...

Artinya; Bhatara Parama-šiwa atau Tuhan se-

benarnya bersifat tidak terbayangkan (Aprameya)

dalam pikiran, karena keadaannya yang tidak

habis-habisnya atau ananta, tak dapat dibatasi

atau anirdesyam...

Oleh sebab itu, maka untuk mempermudah

penghayatan-Nya, para yogiswara atau orang

suci yang mampu berkomunikasi langsung

dengan Tuhan membuat dalam bentuk simbol

bersifat ikonografi dengan mengambil bentuk

mirip manusia tanpa busana, anatomi tubuh dan

jenis kelamin dibuat “tidak jelas” atau Ardha-

nareswari, melambangkan sifat yang bebas dari

ikatan duniawi. Sikap kaki seperti berjalan atau

bergerak, artinya kehidupan yang selalu ber-

gerak dinamis dan berproses. Bersemedi dengan

sikap pada asana atau berdiri, melambangkan

sifat Tuhan yang maha pemurah dan memberi-

kan anugrah kepada ciptaan-Nya di alam. Se-

tiap persendian, kepala, telinga, ujung kaki, dan

Page 71: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

pada tempat kelamin dihiasi dengan bajra,

melambangkan energi Tuhan berupa sinar suci

yang memancar ke segala arah dan memberi

penerangan kepada seluruh ciptaan-Nya.

3.2. Aksara Suci Ongkara

a) Karakteristik:

1) Bentuk: huruf atau aksara suci Ongkara se-

bagai simbol diwujudkan berdasarkan kon-

sep kosmologi dan terdiri dari beberapa ba-

gian seperti pada Gambar 10 berikut

Keterangan: 1. Bayu atau angin, bintang (angin

dapat menjadi bintang. 2. Teja atau api, matahari. 3. Apah atau air (air yang padat

berputar terjadilah bulan). 4. Akasa atau langit, ether

(memenuhi ruang yang ada). 5. Pertiwi, tanah, bumi (terjadinya

pertama-tama berawal dari gelap). Angka telu atau angka tiga

melambangkan tiga manifestasi Tuhan (Brahma, Wisnu dan Šiwa

Gambar 10. Aksara Suci Ongkara

2) Material: Pada umumnya dibuat dengan

menggunakan batu alam atau dari logam,

seperti: emas, perak, kuningan atau tem-

baga, kain kapan dan sebagainya.

Page 72: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

3) Warna: sesuai dengan warna bahan yang

digunakan, seperti: abu-abu warna batu pa-

das atau hitam, kuning emas, putih perak

atau kain kapan dan sebagainya.

b) Fungsi: Dipergunakan sebagai simbol Ida Sang

Hyang Widhi atau Tuhan dalam manifestasinya

sebagai dewa Tri Murti. Umumnya diterapkan

pada bangunan Pelinggih Padmasana dalam

bentuk relief, ulap-ulap (secarik kain kapan di-

beri gambar aksara suci ongkara dan diletakkan

pada pertengahan kolong atau tadah alas ba-

ngunan tradisional, sebagai tanda bahwa ba-

ngunan tersebut telah diupacarai), dipakai untuk

membuat sesikep atau gegemet atau jimat, pe-

dagingan dan sebagainya.

c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Aksara

Bali dalam penerapannya dibedakan menjadi

dua golongan (Kaler, tt), yaitu:

(1) Aksara Wrešastra atau aksara yang “tampak”

atau aksara yang umum atau aksara “biasa”

digunakan dalam masyarakat Bali. Akasara

tersebut boleh diajarkan kepada siapa saja

dan biasa digunakan seperti untuk membuat

pipil (nama orang dalam suatu organisasi

atau seka Banjar, dadya Pura), dalam mem-

buat surat bukti yang ditulis di atas daun lon-

tar, pangéling-éling atau tanda untuk meng-

Page 73: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ingatkan sesuatu untuk menulis bahasa Bali,

Kawi, Jawa Kuno dan sebagainya

(2) Aksara Cwalalita; aksara yang “tidak tampak”

terdiri dari dua buah aksara yaitu Ah ( ) dan

Ang ( ) merupakan aksara yang didak boleh

diajarkan kepada sembarang orang. Huruf

tersebut disebut juga dengan Aksara Modré,

yaitu aksara suci atau aksara yang digunakan

untuk menulis ilmu kedyatmikan, seperti:

mantra, perlambang atau simbol terkait de-

ngan keagamaan, berhubungan dengan du-

nia gaib, pengobatan dan sebagainya. Kedua

aksara tersebut dilengkapi dengan pengangge

sastra atau kelengkapan huruf yaitu berupa:

Nada melambangkan angin, bayu atau bin-

tang, windu melambangkan teja, api atau mata-

hari. Ardha-candra berbentuk bulan sabit me-

lambangkan apah, air atau bulan. Ketiga ke-

lengkapan aksara tersebut menyimbolkan ke-

kuatan tiga dewa, yaitu: Dewa Brahma (Ang ),

Dewa Wisnu (Ung ) dan Dewa Ciwa (Mang).

Ketiga aksara tersebut jika disatukan akan

menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang

dibaca Aum atau Om. Dalam bahasa Bali di-

ucapkan Ong. Aksara Ong atau Ongkara me-

rupakan sumber semua aksara, sehingga di-

sebut Wija-aksara atau Ekã-aksara, yaitu ak-

sara yang maha suci lambang Ida Sang Hyang

Page 74: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Widi atau Tuhan Yang Maha Esa dalam ma-

nifestasinya sebagai Dewa Tri-Murti. Demikian

juga di India, aksara Ongkara sebagai simbol

Tuhan telah digunakan sejak zaman Weda.

Jadi dari penjelasan tersebut, maka dapat

diketahui bahwa aksara Ongkara sebagai

simbol yang mengandung makna religius ter-

kait dengan ajaran ketuhanan, sehingga peng-

gunaannya sangat terbatas dan tidak boleh

secara sembarangan, harus mengikuti pe-

tunjuk para rohaniwan (Nala, 1991; Sudartha,

1991)

3.3. Badavañ Nala

a) Karakteristiknya:

1) Bentuk: Penciptaan produk kriya tradisional

berupa simbol tersebut dilandasi dengan

konsep kosmologi, Hindu yaitu digubah dari

bentuk kurakura dengan kepala berambut

dan lidah mejulur keluar berbentuk api serta

dililit naga, seperti tampak pada Gambar 11.

2) Material yang digunakan: Pada umumnya

dibuat dengan menggunakan batu alam atau

batu padas.

3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan

yaitu berwarna abu-abu batu padas atau

hitam.

Page 75: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 11. Badavañ Nala dan Anantabhoga

b) Fungsi: Badavañ Nala digunakan sebagai sim-

bol dan sekaligus sebagai hiasan pada bagian

dasar atau “kaki” sebuah bangunan suci

berupa pelinggih Padnasana Gambar 12.

Gambar 12. Bagian Dasar Atau “Kaki” Pelinggih Padmasana

Page 76: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Perkataan

Badavañ Nala atau Baduvañ Nala terdiri dari kata

Badavañ dan Nala. Badavañ adalah istilah yang

digunakan untuk nama binatang kura-kura, empas

atau penyu. Dalam bahasa Šanskerta disebut

dengan kata kûrma. Dan da-lam kepercayaan Hindu

sebagai simbol awatara Dewa Wisnu atau disebut

Kûrmaratarâ. Se-dangkan Nãla atau Anala dalam

bahasa Šan-skerta sebagai padanannya adalah

ageni ber-arti api.

Badavañ Nãla berasal dari urat kata Bada=

tempat, Bang=merah dan Nãla=api. Keseluruh-

an dapat diartikan sebagai tempat atau sumber

api yang merah membara. Dalam simbol terse-

but dimaknai sebagai inti bumi atau magma

sebagai sumber panas bumi yang terus mene-

rus membara

Jadi pada simbol tersebut tersirat ajaran suci

tentang ciptaan Tuhan yang tiada tara dan

maha agung berupa alam makrokosmos, ter-

bentuk dengan unsur Panca Maha Bhuta. Se-

bagai tempat kehidupan dengan berbagai

persediaan bahan makanan dan sebagainya,

Oleh sebab itu, perlu dihormati, dan dilestari-

kan. Bagi umat Hindu. Perwujudan simbol atau

nyasa tersebut bertujuan untuk memberi ajaran

alam semesta dan membangkit kesadaran moral

dalam segala aktivitas hidup untuk menjaga serta

Page 77: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

sebagai ucapan terimakasih atau bakti dihadap-

an Tuhan atas ciptaannya.

3.4. Nãga

a) Karakteristiknya:

1) Bentuk: Simbol nãga merupakan bentuk

fantasi atau hasil imajinasi dari para kriya-

wan masa lalu yang digarap dengan dida-

sari mitologi Hindu. Bentuk dan penerapan

Nãga tersebut dibuat membelit Badavañ

Nala, sehingga membentuk satu simbol de-

ngan satu kesatuan makna tentang keagung-

an alam semesta. Bentuk Nãga tersebut se-

perti tampak pada Gambar 11, 12 dan 13

2) Material: dibuat dengan menggunakan batu

alam atau batu bata.

3) Warna: Sesuai dengan warna bahan yang

digunakan, seperti warna abu-abu batu

padas atau warna hitam batu alam).

b) Fungsinya: Kegunaan dan penempatan nãga di

dalam pura sama dengan Badavañ Nala, yaitu

dipakai sebagai simbol dan sekaligus sebagai

ragam hias dan umumnya diterapkan pada da-

sar atau bagian “kaki” Pelinggih Padmasana

berupa relief tinggi, digambar pada lontek atau

umbul-umbul, dan di Pelinggih Saptapetala da-

lam bentuk patung nãga.

Page 78: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 13 Lontek Umbul-umbul Keterangan:

Tangkainya terbuat dengan bambu, diameter pakalnya ±5 Cm, Panjang ± 8 m.

Bentuk potongan kain semakin ke atas semakin kecil dan pada ujung bambu

terlipat ke bawah serta di ujungnya diberi plat logam berbentuk seperti jantung.

a) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam

kamus Bahasa Šansekerta kata nãga berarti

Page 79: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ular. Selain arti tersebut, nãga juga berarti gu-

nung atau pohon (Pemda Tingkai I Bali, 1982/

1983). Dan dalam Kamus Bahasa Kawi-Indo-

nesia, kata nãga tersebut diartikan ular naga

atau gajah. Dari pengertian tersebut, maka

nãga dapat diartikan sebagai ular besar.

Dalam mitologi Agama Hindu Bali,tentang

bentuk simbolis nãga yang diterapkan pada

masing-masing pelinggih atau peralatan upa-

cara memiliki pengertian atau filosofi dan se-

butan yang kontekstual, seperti, penerapan

pada Padmasana didasari filosofi Tri Loka,

yaitu, Bhur Loka (lapisan alam bawah), Bwah

Loka (lapisan alam tengah) dan Swah Loka

(lapisan alam atas). Sehingga dikenal tiga nãga,

yaitu, Basukih, Anantabhoga dan Taksaka.

Jika ketiga nãga tersebut dikaitkan dengan

para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang

Hyang Widi, Maka Basukih simbol dari Dewa

Brahma (pencipta alam), Anantabhoga simbol

dari Dewa Wisnu (pemelihara alam), dan

Taksaka simbol dari Dewa Šiwa (Pelebur).

Penerapan patung nãga pada Padmasana,

sebenarnya hanya satu dan membelit Badavañ

Nala, yang disebut Nãga Anantabhoga.

Berasal dari urat kata “a”-“nanta” dan “bhoga”

(a=tidak, nanta= habis dan bhoga=makanan).

Secara keseluruhan berarti sumber bahan

Page 80: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

makanan yang tidak habis-habisnya. Jadi

peristiwa tersebut berlangsung pada lapisan

alam tengah (Swah Loka) atau di permukaan

bumi. Namun kenyataannya dalam membuat

Pelinggih Padmasana sering diterapkan dua

nãga (Basukih dan Anantabhoga) secara estetis

hanya bertujuan untuk membuat komposisi yang

simetris. Sedangkan nãga Taksaka, dalam

perwujudannya diterapkan pada umbul-umbul

(Narasumber: Gelebet)

Penerapan patung Nãga Basukih pada peling-

gih Sapta Patala, didasari oleh filosofi, bahwa

alam dibagi menjadi tujuh lapisan alam atas

yang disebut Sapta Loka (bhur loka, bhwah

loka, swah loka, maha loka, jana loka, tapa

loka, dan satya loka), dan tujuh lapisan alam

bawah Sapta Patala yang terdiri dari tãla, sutãla,

santãla, atãla, waitãla, nitãla dan patãla. Jadi

penerapan nãga pada pelinggih tersebut se-

bagai simbol tujuh lapisan alam bawah.

3.5. Senjata Nawa Sanga

a) Karakteristiknya:

1) Bentuk: Senjata Nawa Sanga merupakan

sembilan sejata para dewa dengan bentuk

berbeda satu dengan yang lainnya. Perbeda-

an tersebut mencerminkan atau sebagai sim-

bol karakter dan sifat kekuasaan dari masing-

Page 81: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

masing dewa. Tata letak dari senjata-senjata

tersebut dalam padma angelayang atau pang-

ider-ider, seperti pada gambar 14, 15

2) Material: Simbol-simbol tersebut diwujudkan

dengan menggunakan berbagai bahan, seperti

dengan meggunakan kain kapan, batu padas,

atau dengan menggunakan besi dan diwujud-

kan sebagai ujung-ujung tombak yang disebut

bandrangan atau pengawin.

3) Warna: Warnanya produk kriya tersebut,

menyesuai dengan bahan yang digunakan,

seperti “hitam besi”, atau ada juga diwarnai

dengan cat warna hitam dan putih perak.

Dalam penerapan-penerapan tertentu ada

juga yang diwarnai sesuai dengan tata warna

Senjata dan Dewata Nawa Sanga, seperti

pada Gambar 14 dan 15.

b) Fungsinya: Produk Kriya tersebut digunakan

sebagai simbol dan sekaligus hiasan yang di-

wujudkan dalam bentuk perlengkapan upacara,

seperti berupa ujung-ujung tombak yang dise-

but dengan bandrangan atau pengawin

Page 82: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Wayabya (barat daya)

Sangkara

Angkus

Limpa

Wilis (Hijau)

Uttara (utara)

Wisnu

Cakra

Ampru (empedu)

Ireng (Hitam)

Ersanya (timur laut)

Swayambhu

Trisula

Ineban

Pelung (biru)

Pascima (barat)

Mahadewa

Nagapasa

Ungsilan Ginjal

Kuning

Madya (tengah)

Siwa

Padma

Tumpuking Hati)

Amanca (Pancawarna)

Purwa (timur)

Iswara

Bajra

Jantung

Putih

Niriti (barat daya)

Rudra

Moksala

Usus

Oranye (jingga)

Daksima (selatan)

Brahma

Gadha

Hati

Bang (merah)

Geniyan (tenggara)

Mahesora

Dupa

Peparu (paru-paru)

Dadu (merah muda)

Gambar 14. Jenis dan Tata Letak Senjata Nawa Sanga

Gambar 15. Dewata Nawa sanga

Page 83: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

c) Makna, Nilai-nilai Simbolik dan Religius: Dalam

alam transendental, dipercayai oleh umat Hin-

du, bahwa Ida Sang Hyang Widi atau Tuhan

Yang Maha Esa berwujud sebagai Paramašiwa,

dengan keadaan-Nya: “tunggal”, kekal abadi, ti-

dak berawal-berakhir, tanpa aktivitas, maha tahu

dan sebagainya serta disebut Nirgunam Brahman

(sunya). Namun dalam alam imanensi, Tuhan

berwujud sebagai Sadašiwa dan dipercayai,

bahwa Tuhan telah berkrida, telah dipengaruhi

oleh sakti atau kekuatan untuk melakukan ke-

hendak-Nya, sehingga memiliki sifat, fungsi dan

aktivitas (Saguna Brahman), dengan berma-

cam-macam manifestasi-Nya dan dipersonifi-

kasikan sebagai dewa-dewi. Selanjutnya Tuhan

diwujudkan sebagai Šiwa atau Šiwatman atau

Mayasarira Tattwa. Dalam hal tersebut, Tuhan

memiliki delapan Ilmu pengetahuan untuk me-

nyucikan Sang Hyang Atma yang ada dalam

semua mahkluk dari dosa sesuai dengan amal

baktinya (Wardana, 1994).

Dalam alam imanensi umat Hindu di Bali,

Tuhan diwujudkan sebagai Sada Šiwa, maka

dikenal dewa-dewa yang termasuk kelompok

Dewata Nawa Sanga, manifestasi Tuhan dalam

menjalankan tugasnya sebagai pengatur kehar-

monisan alam makrokosmos (Bhuana Agung)

yang terletak di seluruh penjuru mata angin dan

Page 84: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

mikrokosmos (Bhuana Alit) yang terletak pada

organ-organ tubuh mahkluk hidup. Dan kesem-

bilan dewa tersebut masing-masing memiliki

senjata yang disebut dengan Senjata Nawa Sa-

nga Seperti Pada Gambar 14, 15.

Dalam Lontar Kekawin Bhomakawya atau Bho-

mantaka, bahwa Senjata Nawa Sanga tersebut

adalah merupakan simbol-simbol atau nyasa

dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki para dewa

dalam menjalankan tugas-Nya. Simbol-simbol da-

lam mayasakti berbentuk senjata tersebut, di-

ciptakan dengan didasari kosmologi khususnya

tentang bumi. Masing-masing mengandung arti

atau makna yang saling terkait satu dengan

lainnya serta merupakan satu kesatuan yang

utuh. Penjelasan lebih lengkap dapat disimak

pada Tabel: 2 berikut

Tabel 2 Makna Senjata Nawa Sanga

No. Nama Senjata

Makna simbol

(1) (2) (3)

1. Cakra

Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Dewa Wisnu untuk mengatur rotasi dan peredaran bumi. Dalam hal ini berfungsi sebagai kutub utara yang nantinya dihubungkan dengan Dewa Brahma di kutub selatan sehingga terbentuk sumbu rotasi bumi.

2. Trisula

merupakan simbol kekuasaan tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sambu, yaitu berfungsi menjalankan tugas sebagai pengatur kehidupan di bumi berdasarkan ketentuan Upeti, Setiti dan Pralina. Lahir, Hidup dan Mati.

Page 85: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

(1) (2) (3)

3. Bajra

Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatanTuhan dalam manifestasi Nya sebagai Dewa Iswara yang bertugas mengatur getaran alam (makrokomos dan mikrokosmos).

4. Dupa

Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-nya sebagai Dewa Mahesora, dalam fungsinya sebagai pengatur panas alam (makrokomos dan mikrokosmos).

5. Gadha Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma, dalam fungsinya mengatur, mengendalikan dan menentukan danda atau hukum alam. (yang menyangkut Rwabhineda —siang, malam, baik, buruk dan sebagainya —).

6. Moksala Merupakan simbol kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Rudra, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur atau menentukan sifat dan karakter alam semesta bersama isinya.

7. Nagapasa Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Mahadewa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengikat atau pengatur kestabilan alam semesta bersama isinya.

8. Angkus Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Sangkara, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur kemakmuran dan kesejateraan alam semesta bersama isinya.

9. Padma Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Šiwa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengendali dan penentu dari tugas-tugas yang dijalankan oleh delapan dewa yang terletak di delapan penjuru arah mata angin. Simbol senjata-Nya digubah dari bentuk bunga teratai atau padma yang bermahkota delapan atau Asta Dala, sebagai kekuasaan atau kekuatan dari delapan dewa tersebut terpusat pada Dewa Šiwa. atau disebut dengan Padma Anglayang atau pangider-ider

Narasumber: Ida Pedanda Budha, Griya Sukawati.

Page 86: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

3.3. Bhoma

a) Karakteristiknya:

1) Bentuk: Bhoma dibuat dalam bentuk relief

tinggi yang digolongkan sebagai kekarangan,

sehingga disebut dengan Karang Bhoma.

Karang tersebut merupakan stilisasi dari ben-

tuk kepala raksasa atau punggalan. Perwu-

judan bertuk tersebut didasari ceritera Bho-

mantaka. Ciri-crinya: mata besar dan men-

delik, di kanan dan kiri dilengkapi dengan te-

lapak tangan yang dikepak, dilatarbelakangi

dengan patra wangga, kakul-kakulan serta

patra punggel. Sebagai salah contoh seperti

pada Gambar 16 berikut.

Gambar 16. Karang Bhoma

Page 87: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

b) Fungsinya: Produk kriya tersebut umumnya di-

gunakan sebagai simbol dan sekaligus ragam

hias yang diterapkan di atas relung kori agung

atau paduraksa, merupakan gerbang pertama

dari sebuah pura atau sebuah pintu yang mem-

batasi halaman kedua atau madia mandala

(jaba tengah) dengan halaman pertama atau

utama mandala (jeroan) seperti pada Gambar

17 berikut

Gambar 17. Kori Agung Atau Paduraksa Dengan Ragam Hias berupa Bhoma

2) Material: Umunya bahan yang digunakan un-

tuk membuatnya, seperti batu alam, batu pa-

das atau batu bata.

Page 88: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

3) Warna: sesuai dengan bahan yang digunakan,

seperti: “hitam batu alam”, “abu-abu batu pa-

das” atau merah bata.

c) Makna, nilai-nilai simbolik dan Religius: Bhoma

berarti lukisan (ukiran) yang berbentuk muka rak-

sasa atau kala (Bahasa Bali) yang ditempatkan di

atas relung pintu gerbang utama pura atau padu-

raksa (Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978).

Dalam A Šanskrit-English-Dictionary dijelaskan,

bahwa perkataan Bhoma berasal dari Bahasa

Šanskerta; Bhauma, artinya berhubungan dengan

bumi, yang keluar dari bumi, tinggal di dalam

bumi atau tanah (Monier, 1963). Sedangkan

menurut Miguel Covarrubias dalam bukunya

Island of Bali, dijelaskan, bahwa Bhoma adalah

raksasa putra bumi, mata melotot seram seperti

kepala monster, mulut terbuka lebar, gigi dan

taring mencuat keluar (Covarrubias, 1972)

Di Bali, Bhoma digunakan sebagai simbol dari

pepohonan dan disebut Banaspatiraja serta di-

anggap keramat. Pandangan tersebut disela-

raskan dengan kepercayaan, bahwa Banaspati-

raja adalah raja bhuta, kala, dengen, tonye atau

mahkluk halus yang menempati pohon-pohon

besar, seperti pohon randu, pole, kepuh dan se-

bagainya.

Page 89: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Menurut Mitologi Bhoma dalam kesusastraan

Jawa kuno, seperti pada kekawin Bhomantaka;

dinarasikan tentang kelahiran Sang Bhoma.

Berawal dari perdebatan antara Dewa Brahma

dengan Dewa Wisnu tentang kesaktian yang

mereka miliki. Bersamaan dengan kejadian

tersebut tiba-tiba muncul sebuah lingga kristal

dari bumi dan menjulang ke angkasa. Milihat

kejadian tersebut, mereka tercengang dan me-

mutuskan untuk menemukan ujung dan pangkal

dari lingga tersebut. Dewa Brahma menyuruh

Dewa Wisnu untuk mencari pangkalnya dan

Dewa Brahhma dengan kesaktiaannya ber-

ubah menjadi burung layang-layang hitam ter-

bang meluncur ke atas mengejar ujung lingga,

sedangkan Dewa Wisnu berubah wujud men-

jadi seekor babi jantan dan menggali tanah

untuk menemukan pangkal lingga. Mamun usa-

ha mereka sia-sia, karena pangkal lingga ter-

sebut terus masuk ke dalam bumi dan ujungnya

terus menjulang ke angkasa dengan batas yang

tak terhingga. Dalam pencarian tersebut Dewa

Wisnu bertemu dengan Dewi Wasundari (Dewi

Pertiwi). Dalam pertemuan tersebut akhirnya

terjalin hubungan yang dalam sehingga mela-

hirkan seorang putra yang diberi Naraka atau

Bhoma (Lontar Bhomantaka, Lampiran 5b, Ke-

ropak IV.b).

Page 90: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Heinrich Zimmer dalam bukunya Myths and

Symbols in Indian Art an Civilization dipaparkan

tentang Bhoma sebagai akibat pemenggalan le-

her raksasa bernama Rau yang dilakukan oleh

Dewa Wisnu, karena raksasa tersebut diketahui

sedang minum tirta amertha. Namun pada saat

dipenggal tirta tersebut belum sampai di teng-

gorokan, sehingga bagian kepalanya tetap hi-

dup sedangkan bagian badannya langsung mati.

Kepala raksasa tersebut akhirnya murka, meru-

sak dan mengganggu aktivitas para dewa di

kahyangan. Melihat kejadian tersebut, akhirnya

Dewa Siwa menjadi sangat marah, sehingga

muncul makhluk yang luar biasa sebagai Ghora

Murti Siwa —wujud Tuhan yang dideskripsikan

sebagai sesuatu yang sangat sangat dasyat

dan, mengerikan— dari ajňa cakra-Nya atau ke-

ning. Akhirnya raksasa Rau dimakan oleh mak-

hluk tersebut.

Namun makhluk yang diciptakan tersebut memi-

liki sifat yang rakus dan memakan apa saja yang

dijumpainya serta sangat tunduk dengan

perintah Dewa Siwa. Akhirnya Dewa Siwa me-

merintahkan agar memakan tubuhnya sendiri.

Perintah tersebut segera dilakukan. Dia mulai

makan kaki, tangan, badan, sampai bagian di-

bawah leher dan hanya tersisa bagian leher

serta kepala. Mahkluk tersebut kembali bertanya,

Page 91: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

apa yang saya lakukan lagi ?. Karena kepatuh-

annya tersebut, Dewa Siwa memberi tugas untuk

menjaga istana Siwa, menelan, menghancurkan

dan menolak pikiran jahat yang akan merusak

kesucian stana Dewa Siwa serta diberi nama

Kirttimukha serta diletakan pada bendul pintu

utama. Pada saat tersebut Dewa Siwa bersab-

da “ Barang siapa yang masuk ke dalam kuilku

tanpa menyembahmu, mereka tidak akan mem-

peroleh rahmatku” (Zimmer, 1945).

3.4. Garuda Wisnu

a) Karakteristiknya

1) Material: Bahan baku yang digunakan untuk

membuat produk itu adalah kayu, batu bata,

batu padas, atau batu alam, dan sebagainya.

2) Bentuk: Pada umumnya bentuk Garuda Wis-

nu digubah dari bentuk fantasi yang menye-

rupai burung. Tubuh dan anggota badan me-

nyerupai manusia, telapak kaki dibuat seperti

cakar burung, bersayap, berparuh, mata me-

lotot, gigi runcing, bertaring dan diberi busana

serta mahkota. Dibagian belakang diberi ekor

dan dipunggungnya dibuat patung Dewa Wisnu

memegang Cakra, seperti pada Gambar 18

berikut

Page 92: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 18. Garuda Wisnu

Tetapi yang digunakan untuk menghias pada

sendi tugeh jarang dilengkapi dengan patung

Dewa Wisnu, karena dari punggung patung ga-

ruda tersbut, langsung berdiri tugeh atau tiang

penyangga menuju puncak langit-langit.

b) Fungsinya: Produk kriya tersebut mempunyai

fungsi religius dan estetis, digunakan sebagai

simbol dan hiasan, biasanya diterapkan di bela-

kang bangunan Pelinggih Padmasana, sendi tu-

geh (dasar tiang penyangga puncak langit-langit

pada bangunan piasan), gedong bata dan seba-

Page 93: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

gainya, salah satu contoh penerapannya, se-

perti pada Gambar 19. Berikut

Gambar 19. Relief Garuda Wisnu Diterapkan di Belakang Padmasana

c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam

bahasa Šanskerta perkataan “garuda” be-

rasal dari akar kata “gri”, yang berarti “me-

nelan” (penakluk para naga, memiliki kekuat-

an magis untuk menangkal bisa ular). Dalam

perwujudannya sebagai simbol, sering ditung-

gangi oleh Dewa Wisnu. Garuda dipakai se-

bagai simbol matahari, naga sebagai simbol

Page 94: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

air kosmis dan Wisnu berada pada kedua sisi

antagonis tersebut. Adegan tersebut sangat

populer dalam episode Ramayana, ceritera-

ceritera rakyat dan dalam bentuk visualnya

dipakai sebagai sarana pemujaan oleh umat

Hindu di India dan Bali (Zimmer, 1946). Di

Nusantara, garuda juga digunakan sebagai

simbol kebesaran atau penggambaran aspek

keagungan Tuhan. Diperkirakan telah ber-

langsung sejak pertengahan abad X. Hal ter-

sebut dapat diketahui dari tipografi pening-

galan cap atau stempel bermotif Garuda-

mukha yang pertama kali digunakan sebagai

lencana kepala pemeritahan oleh Sri Maha

Raja Blitung (808-910) yang berkuasa di Jawa

Tengah. Penggunaannya semakin berkem-

bang dan terus seperti digunakan oleh Raja

Jayabaya, Raja Kertajaya (raja yang terhak-

hir memerintah dikerajaan Kediri), Prabu

Aerlangga dengan peninggalannya yang pa-

ling terkenal berupa garuda yang ditunggangi

Dewa Wisnu dan sebagainya (Titib, 1995)

Setelah bangsa Indonesia bebas dari beleng-

gu penjajahan bangsa-bangsa lain, maka ga-

ruda kembali dijadikan sebagai lambang ne-

gara, yaitu Garuda Pancasila. Dalam perwu-

judannya kaki burung Garuda tersebut men-

cengkram pita yang berisi tulisan tentang ikrar

Page 95: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Lambang tersebut sebagai sumber yang kreatif

mencerminkan kebebasan untuk menentukan

nasib bangsa indonesia di antara bangsa-

bangsa di dunia.

Dalam Adiparwa —sebuah kesusastraan Ja-

wa yang diperkirakan ditulis pada zaman pe-

merintahan Raja Darmawangsa Teguh seki-

tar tahun 918 Saka (918 Masehi), dalam ba-

hasa Kawi— terdapat satu episode yang

menceritakan keajiaban atau kebesaran Sang

Garuda, seberikut:

Aparan pwa ya makateja Ya? Garudo balawan tesam manuk mahacakti, anak Bhagawan Kacyapa ri Sang Winata ika. Nama tluya sutejasa. Kunang pada tejanya lawan teja nghulun.

Makana ling Sang Hyang Agenbi ri sang watek dewata. Mari ta sira harohara, kapwa maso mangastuti Sang Garuda, ling nira:

Twam rsi, twam mahabhagas, twam dewah, pathagecwara, twam prabhuprahus tapanah twam nastranam anuttamam

Artinya; Apakah yang bersinar itu ? Garuda

tiada lain seekor burung yang maha sakti,

anak Bhagawan Kacyapa dengan Sang Wi-

nata. Sinanya sangat bagus, dan sinarnya

sama dengan sinarku.

Page 96: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Demikianlah kata Sang Hyang Ageni kepada

para dewa. Mereka tertegun dan berdiam,

semua tampil ke depan dan memuji Sang

Garuda serta mengatakan: Hyang Garuda,

engkau resi, engkau pendeta besar, engkau

dewa, engkau penguasa segala yang ter-

bang melayang, engkau rajanya, sinarmu

seperti sinar matahari (Widiatmaja, 1958).

Dalam episode selanjutnya diceritakan usaha

Garuda dalam mencari tirta amertha yang

disimpan oleh para dewa di Gunung Somaka.

Tirta tersebut natinya digunakan sebagai per-

syaratan untuk membebaskan ibunya (Sang

Winata) dari perbudakan Sang Kadru.

Dalam perjalanan mencari tirta amertha ia

menemui banyak hambatan. Seperti para dewa

yang membawa senjata menghadang dan

menyrangnya. Namun dengan kesaktiannya

tak satupun bulu Garuda tersebut dapat di-

rontokan oleh senjata para dewa. Akhirnya

sang Garuda berhasil mengambil tirta amer-

tha yang disimpan dalam goa dilereng gunung

Somaka dan membawanya terbang ke ang-

kasa.

Di angkasa dengan serta merta dewa Wisnu

mengampirinya dan menyuruh agar tirta ter-

sebut dikembalikan. Namun sang Garuda

menolaknya dan menyuruh agar para dewa

Page 97: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

minta anugrahnya… Episude cerita tersebut

diakhiri dengan menerima permintaan dewa

Wisnu untuk menjadikannya sebagai kenda-

raanya dan tirta amerthan tersebut kembali

dapat direbut oleh para dewa serta Sang

Winata bebas dari perbudakan.

Sedangkan di Bali, karya sastra tersebut ba-

nyak mengilhami para seniman atau para

kriyawan masa lalu dalam berkaya. Mitologi

tentang keagungan atau kesaktian tokoh

Garuda dan Wisnu dijadikan sebagai landas-

an estetika dan penerapan Garuda Wisnu

juga sebagai simbol kebesaran Tuhan, di-

anggap mengandung nilai-nilai simbolis reli-

gius serta disakralkan. Sehubungan dengan

hal tersebut, maka Garuda Wisnu diterapkan

pada bangunan-bangunan suci, seperti pada

Pelinggih Padmasana.

3.5. Barong Ket dan Rangda

a) Karakteristiknya:

1) Material: Bahan baku yang digunakan, seperti:

kulit sapi yang telah disamak, praksok ( Baha-

sa Bali) atau sejenis serat daun pandan, kayu,

kaca, pewarna (menggunakan pewarna tradi-

sional, seperti: kincu, jelaga, serbuk tulang

menjangan, atal ancur dan perada), kain dan

sebagainya.

Page 98: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2) Bentuk: Barong yang digunakan di Bali ben-

tuknya sangat beragam dengan sebutan yang

berbeda-beda, seperti: Barong Ket, Barong

Bangkal, Barong Asu, Barong Macan, Barong

Blas-Blasan, Barong Brutuk dan sebagainya.

Salah satu contoh berupa Barong Ket dan

Rangda dapat dilihat pada Gambar 20

b) Warna: Topeng barong biasanya diwarnai den-

gan merah, bulunya diwarnai hitam atau dibiar-

kan putih (warna praksok). Hiasannya, seperti:

badong, gelung kekendon, geruda mungkur,

silat bahu, kembang sasak, angkeb pale dan

sebagainya, dibuat dengan kulit dan diwarnai

perada atau warna emas. Demikian juga hiasan

Rangda, dibuat dan diwarnai dengan cara yang

sama. Warna topeng Rangda umumnya putih.

Gambar 20. Barong Ket dan Rangda

Page 99: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

c) Fungsinya: Barong dan Rangda adalah tergo-

long produk kriya bebali, karena selain men-

gandung nilai-nilai sakral (sebagai sarana upa-

cara agama), juga mengandung nilai-nilai pro-

fan. Produk kriya tersebut diciptakan dan di-

gunakan sebagai sarana pagelaran seni tari

wali, yaitu tarian yang dipentaskan serangkaian

dengan upacara Agama Hindu di Bali. Seperti,

dalam melangsungkan upacara odalan di pura.

Produk kriya tersebut juga digunakan sebagai

pratima dan biasanya di simpan di Pura Dalem.

d) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Banyak

pengertian mengenai kata barong, seperti da-

lam Bahasa Šanskerta, berasal dari kata Bhah-

rwang, artinya binatang beruang. Pengertian

tersebut, sesuai dengan pendapat R. Goris,

bahwa sinonimnya disitir dari Bahasa Belanda,

yaitu dari kata beer. Sedangkan ditinjau dari

cara memakai, maka perkataan barong disela-

raskan dengan perkataan bareng (Bahasa Bali),

artinya bersama —cara menarikan atau me-

mainkan bersama-sama —(Proyek Sasana Bu-

daya Bali, 1975/1976)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelas-

kan, bahwa perkataan barong berarti, tarian

yang memakai kedok dan kelengkapannya

sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh

Page 100: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dua orang, satu dibagian kepala dan satu di

bagian ekor, dipertunjukkan dengan ceritera

Calon Arang (Kridalaksana, 1994). Perkataan

”Ket“ tidaklah mengandung arti khusus, hanya

disesuikan dengan suara yang ditimbulkan

akibat entakan rahang bawah kedok barong,

sewaktu dimainkan. Sedangkan Rangda atau

Randa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

perkataan itu berarti perempuan yang kehilang-

an suami (cerai atau meninggal dunia) atau

janda (Kridalaksana, 1994).

Barong dan Rangda dalam episode Calona-

rang adalah dua tokoh yang melambangkan

dua sifat atau karakter berbeda (Rwa Bhineda)

atau antagonis, di mana Barong sebagai lam-

bang kebenaran atau dharma. Masyarakat di

Bali menyebutnya sebagai penganut ajaran be-

raliran “tengen atau kanan” (white magic), se-

bagai juru penyelamat, mengayomi dan dapat

menyembuhkan penyakit. Sedangkan tokoh

Rangda melambangkan sifat atau karakter

yang mengarah pada hal-hal kurang baik atau

adharma, merusak, mengganggu dan sebagai

penganut ajaran “beraliran kiwa atau kiri”

(black magic) (Covarrubias, 1972).

Menurut mitologi, bahwa penciptaan Barong

dan Rangda di Bali diilhami cerita yang terda-

pat dalam lontar Šiwa Tattwa. Secara singkat

Page 101: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

diceritakan tentang kutukan Dewa Šiwa yang

ditujukan kepada istrinya Dewi Uma agar ber-

ubah menjadi Dewi Durga —Seorang dewi

atau perempuan yang berwajah angker dan

menakutkan sebagai dewi penguasa kuburan

yang bernama setra Gandamayu— karena

ulahnya yang tidak wajar dilakukan ketika di-

suruh mencari susu atau empehan lembu, Dia

berani menghianati, mengorbankan kesucian

dan kesetiannya, melakukan perselingkuhan

dengan pengembala lembu. Pada hal kejadian

tersebut dibuat oleh Dewa Šiwa. Sebenarnya

pengembala tersebut adalah siluman dari dewa.

Masalah tersebut terungkap berkat kehebatan

ilmu tenung yang dimiliki dewa Ganesh. Dalam

kutukan tersebut Dewa Šiwa juga mengijinkan

istrinya untuk berubah wujud kembali menjadi

dewi Uma saat hari tilem sasih kesanga ( saat

bulan mati di bulan sembilan).

Ketika hari tersebut tiba, istrinya menghadap

dalam wujud rangda dengan wajah menakut-

kan. Lalu untuk memberkati perubahan wujud

istrinya menjadi dewi Uma, maka Dewa Šiwa

berubah menjadi Bhuta Egeg (Lontar Šiwa

Tattwa, namdala 53-56).

Page 102: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA

A. Pendekatan Historis

ejarah atau dalam bahasa Inggris disebut

history dan berasal dari bahasa Yunani istoria

(kata benda) berarti “ilmu”. Dalam penggunaannya

oleh filusuf Yunani seperti istoria yang dipakai Aristo-

teles berarti suatu cara menelaah sesuatu secara sis-

tematis mengenai seperangkat gejala alam, entah

suatu susunan yang kronologis ataupun tidak. Pende-

katan tersebut disebut natural history. Namun dalam

perkembangan selanjutnya metode untuk menelaah

sesuatu yang tidak kronologis digunakan istilah scientia.

Sedangkan yang kronologi terutama menyangkut ke-

hidupan manusia dipakai istilah istoria. Dalam definisi

yang universal istilah history berarti masa lampau umat

manusia. Namun masa lampau tersebut tidaklah dapat

direkonstruksi kembali secara utuh, karena sejarah

hanya berdasarkan rekaman dan berdasarkan simpulan

mengenai lingkungannya (Gottschalk, 1969).

S

BAB IV

Page 103: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Pendekatan hitoris adalah suatu proses penguji-

an dan analisis secara kritis hasil rekaman dan pe-

ninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif

dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh

dengan menempuh proses historiografi (penulisan

sejarah); dilakukan seleksi, penyusunan, dan deskripsi.

Dan cara tersebut berbeda dengan metode sejarah

analitis, karena pada batas-batas tertentu metode seja-

rah analitis adalah ilmiah, yakni hasilnya dapat diverifi-

kasi dan dapat titolak atau diterima. Sejarah merupa-

kan suatu metode atau prosedur (procědě de connais-

sance), sehingga metode sejarah dapat diterapkan

pada berbagai disiplin yang digunakan sebagai sarana

untuk memastikan fakta (Gottschalk,1969).

Cara penulisan sejarah bertumpu pada empat

kegiatan pokok yaitu:

1) Pengumpulan data yang berasal dari jaman

yang sedang dialami menjadi konsentrasi dan

pengumpulan bahan-bahan: tercetak, tertulis

dan lisan yang relevan.

2) Menyingkirkan bahan yang dianggap tidak otentik

3) Menyimpulkan kesaksian yang dapat diperca-

ya mengenai bahan bahan yang otentik.

4) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya

tersebut menjadi suatu penyajian atau deskripsi

yang berarti.

Page 104: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Secara umum sumber data yang digunakan dalam

penelitian sejarah dapat dikelompokan menjadi tiga

kelompok yaitu:

1) Peninggalan berupa material, seperti: candi,

posil, monumen, senjata, perhiasan, bangun-

an, perabotan dan sebagainya.

2) Peninggalan tertulis: seperti: prasasti, relief,

lontar, kitab, naskah kuno dan sebagainya.

Penggunaan arsip dan dukumen harus dibe-

dakan dengan studi dokumenter yang merupa-

kan metote deskriptif.

Studi dokumenter, cenderung menggunakan

data yang belum terlalu lama, sehingga masih

dapat dikelompokkan sebagai usaha meng-

ungkap fakta masa sekarang. Sedangkan dari

segi waktu, pendekatan historis menggunakan

data yang relatif sudah lampau.

3) Peninggalan yang tidak tertulis atau budaya,

seperti berupa ceritera rakyat, dogeng, adat-

istiadat, hukum, kepercayaan,dan sebagainya.

Bentuk penelitian historis (Namawi,1990):

1) Penelitian atau studi komparatif hitoris, dilaku-

kan dengan membandingkan gejala yang seje-

nis, baik berdasarkan perbedaan waktu terja-

dinya atau tempat terjadinya di dalam kurun

waktu yang sama.

Page 105: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2) Penelitian legal atau yuridis. Bermaksud meng-

ungkap kegiatan-kegiatan pemerintah suatu

bangsa, kerajaan, lembaga dalam menetapkan

kebijakan, sehingga berpengaruh bagi kehidup-

an pada masa terntentu dalam prospek sejarah.

3) Penelitian bibliografi atau kepustakaan, dilakukan

untuk mengungkap berbagai teori pandangan

hidup, pemikiran filsafat dan lain-lain yang da-

pat ditemui di dalam berbagai peninggalan ter-

tulis terutama buku-buku yang dihasilkan pada

zaman tertentu.

4) Penelitian kronologis atau secara diakronis pe-

nelitian ini bermaksud untuk mengungkap ke-

jadian atau keadaan dan peristiwa menurut

urutan waktunya dari masa yang paling tua

dapat dicapai sampai masa-masa mendekati

masa sekarang.

B. Pendekatan Semiotis

Pendekatan Semiotis diartikan sebagai prosedur

yang digunakan untuk pemecahan masalah yang di-

tinjau dari perspektif ilmu tanda atau dikenal dengan

“semiologi” atau “semiotika”. Dalam bidang seni, kriya

dan desain pendekatan semiotis dapat diartikan sebagai

prosedur pemecahan masalah estetika dan semantika

produk kriya. Upaya pemecahan masalah tersebut dapat

dilakukan dengan membaca atau menginterpretasikan

hubungan antar tanda dan makna pada produk kriya.

Page 106: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Indeks, simbol, tanda, ikon yang merupakan hal

yang mendasar dalam semiotika, sebenarnya dalam

desain bukan merupakan hal yang baru. Sebab me-

nurut Tjahjono (1980) bahwa istilah desain (design)

dalam penggunaannya sebagai kata kerja berasal dari

kata latin-baru desingare yang berarti ‘menandai’ atau

membatasi (penambahan suku kata ‘de’ di depan me-

nunjukkan pemakaian secara intensif). Kata desingare

sendiri mempengaruhi kata designer dari bahasa Pe-

rancis abad pertengahan (dalam pengertian meran-

cang), berasal dari kata signum yang berari sebuah

tanda khusus.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994)

dijelaskan, bahwa pengertian semiotika adalah ilmu

atau teori tentang lambang dan tanda. Di Amerika ilmu

tersebut disebut dengan Semiotics, yang dikembang-

kan oleh Charles Sanders Peirce (1838-1914), se-

orang filosuf dari Amerika. Dia menegaskan bahwa

peranan tanda dalam kehidupan sangatlah besar,

yaitu sebagai sarana berpikir dan berkomunikasi. Di

Eropa ilmu tersebut disebut dengan Semiology, yang

dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-

1913), seorang linguis dari Swiss. Namun kedua istilah

tersebut berasal dari bahasa Yunani, Semeion, dalam

artian sign atau tanda. Merupakan cabang ilmu yang

mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan tanda, seperti sistem tanda, proses yang ber-

laku dalam penggunaan atau fungsi tanda, hubungan

Page 107: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dengan tanda lainnya, penerima dan pengiriman tan-

da, konvensi dan sebagainya (Zoest dalam Soekowati,

1993). Luxemburg menyatakan, bahwa semiotika ada-

lah ilmu yang secara sistematis mempelajari tentang

tanda dan lambang (sistem dan proses perlambangan)

(Luxemburg dalam Hartoko, 1984).

Kemudian Wiryaatmadja (1981) menyatakan,

bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji kehidupan

tanda dalam maknanya yang luas di dalam masyarakat,

baik bersifat literal maupun alegori (kias) atau figuratif,

baik menggunakan bahasa verbal atau ujar maupun

non-bahasa atau nirujar. Batasan tersebut sesuai

dengan pendapat Rene Wellek dalam telaah linguistik,

yang memasukan image (citra), metaphor (metafora),

symbol dan myth ke dalam cakupan semiotika (dalam

Santosa, 1990).

Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami

bahwa bidang kajian semiotika sangat luas. Ruang

lingkup kajiannya tidak terbatas pada bidang bahasa

saja, tetapi meliputi berbagai aspek kebudayaan, se-

perti gerak isyarat atau gesture, pakaian, dan berbagai

produk lainnya (The American Heritage® Dictionary of

the English Language, Third Edition, 1992 ). Semiotika

mempelajari tentang tanda, cara berfungsi, hubungan

antara tanda dengan tanda lainnya, termasuk pengirim-

an, dan penerimaan tanda dalam komunikasi tanda.

Dalam pengkajian semiotika menggunakan bebe-

rapa pendekatan, seperti

Page 108: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

1) Sintaksis semiotika, yaitu studi tentang tanda

yang berpusat pada penggolongan, hubungan

dengan tanda-tanda lain dan cara bekerja sa-

manya dalam menjalankan fungsinya.

2) Semantik semiotika, apabila pengkajian menon-

jolkan hubungan tanda dengan acuannya dan

interpretasi yang dihasilkannya.

3) Pragmatik semiotika, apabila mengutamakan

hubungan antara tanda dengan pengirim dan

penerima tanda.

Bidang kajian semiotika seperti dipaparkan ter-

sebut, secara garis besarnya mencakup komponen

dasar, seperti tanda (sign), lambang (symbol) dan

isyarat atau sandi.

1) Tanda (sign) merupakan komponen semiotika

yang menandai suatu hal atau keadaan untuk

menerangkan atau memberitahukan objek ke-

pada subyek. Dalam konteks tersebut, tanda

selalu menunjuk pada sesuatu hal yang riil,

misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tin-

dakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang

lain, sehingga tanda memiliki arti yang statis,

umum, lugas dan objektif.

Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya

adalah mengemukakan objek atau sesuatu —

apa yang dimaksud oleh tanda, diacu atau di-

tunjuknya, disebut designatum atau denotatum.

Page 109: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dalam Bahasa Prancis digunakan kata référent,

sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut

“acuan”— disebut representamen. Represen-

tamen dapat terlaksana apabila ada bantuan

sesuatu, misalnya, konvensi. “Sesuatu” yang

diacu oleh tanda agar dapat berfungsi disebut

dengan latar atau ground. Setelah tanda diaso-

siasikan dengan suatu acuan, maka dari tanda

yang orisinil berkembang menjadi suatu “tanda

yang baru” disebut interpretant. Interpretant

merupakan suatu peristiwa psikologis dalam

pikiran interpreter atau penterjemah. Jadi dalam

suatu tanda selalu terdapat tiga unsur, yaitu de-

notatum, ground dan interpretant. (Sudjiman,

1992). Tanda mempunyai dua entitas yaitu:

signifier atau wahana tanda dan signified atau

wahana makna atau dapat diartikan sebagai

penanda dan petanda serta keduanya tidak

dapat dipisahkan. Keseluruhan dari proses ter-

laksananya representamen digambarkan oleh

Peirce dalam diagram segitiga, seperti tampak

pada Gambar 21 berikut:

Page 110: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Sumber: Eco 1979

Gambar 21: Proses Berlangsungnya Representamen

Salah satu contoh: dua buah produk

kriya berupa patung raksasa apitlawang (Ba-

hasa Bali) yang diletakkan mengapit pintu

gerbang utama pura atau paduraksa. Awal-

nya patung tersebut merupakan tanda untuk

“benda biasa” atau sekadar hiasan semata,

namun setelah mengacu pada latar (ground)

yang terkait dengan pengamalan ajaran

Agama Hindu di Bali, —dua buah patung

raksasa tersebut mempunyai fungsi komuni-

kasi tanda visual, yaitu untuk “menyadarkan”

atau mengingatkan umat, sebelum memasuki

pura atau tempat suci agar “membunuh” si-

fat-sifat “keraksasaan” (marah, dengki, loba,

atau emosi diri yang tak terkendali lainnya)—

maka patung tersebut akan menjadi tanda

Page 111: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

baru yang memuat latar tersebut. Bagi umat

yang memahami latar atau ground yang tersi-

rat pada patung tersebut, maka pada dirinya

akan muncul interpretasi yang menggugah

kesadaran, bahwa memasuki pura hendak-

nya mengendalikan “emosi”, sehingga dapat

mengikuti upacara dengan khidmat. Dalam

kondisi tersebut, dapat dikatakan represen-

temen dari patung tersebut dapat berlang-

sung dengan baik.

Unsur penanda (dasar atau latar) atau

ground dari tanda dapat dibedakan menjadi

tiga berdasarkan sifatnya, yaitu:

a) Qualisign adalah terbentuknya tanda ber-

dasarkan sifat atau kualitas.

b) Sinsign berasal dari singular sign adalah

tanda terbentuk berdasarkan penampilan-

nya yang nyata, semua pernyataan indivi-

dual yang belum terkonvensikan dapat

disebut sinsign.

c) Legisign adalah tanda terbentuk atas da-

sar suatu peraturan yang berlaku umum,

seperti, konvensi atau kode.

Selain hal tersebut, tanda dapat dibedakan

menjadi tiga berdasarkan sifat penghubung

tanda dengan denotatum, yaitu:

Page 112: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

a) Iconic adalah tanda terbentuk berdasarkan

suatu kemiripan potensial yang dimilikinya

dan tidak tergantung pada makna deno-

tatum. Batasan tersebut mengimplikasikan

bahwa segala sesuatu merupakan icon,

karena semua yang ada di alam dapat

diasosiasikan dengan yang lain.

b) Indeks adalah tanda yang sangat tergan-

tung pada denotatum dan memiliki hu-

bungan bersebelahan atau kedekatan

eksistensi. Contoh, ada asap sebagai per-

tanda ada api dan sebagainya.

c) Symbol atau lambang adalah hubungan

berdasarkan konvensi dari suatu kelom-

pok komunitas manusia.

Selanjutnya unsur interpretant atau petanda dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a) Rhême, apabila tanda tersebut dapat

diinterpretasikan sebagai representasi dari

suatu kemungkinan denotatum.

b) Dicisign, apabila bagi interpretant tanda

itu, menawarkan hubungan yang benar

ada di antara tanda denotatum.

c) Argument atau interpretant dalam arti

umum. Dalam hal tersebut tanda terkait

dengan renungan kebenaran, membawa

penjelasan mengenai daya atau kekuatan

kebenaran pada sistem-sistem semiotika.

Page 113: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

2) Lambang atau simbol . Manusia sering disebut

sebagai “mahkluk simbolik”, karena hampir

semua aktivitas dalam kehidupan manusia se-

hari-hari, seperti dalam berpikir, membaca, ber-

komunikasi, berperasaan, bersikap, bekerja dan

sebagainya, dari dulu hingga sekarang tidak

terlepas dari aktivitas simbolisasi.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa semua

mahkluk ciptaan Tuhan dalam menghadapi realita

kehidupan, umumnya dilandasi oleh dua sistem,

yaitu sistem penerimaan dan pemberian. Namun

manusia selain terlibat dua sistem tersebut, juga

mempunyai kelebihan untuk menciptakan sistem

komunikasi dengan matra baru yang menye-

suaikan dengan lingkungan realitas, yaitu ke-

mampuan untuk menciptakan “sistem simbolik”.

Dan sekaligus dipakai untuk menandai salah satu

perbedaan manusia dengan binatang Sehingga

ia menyatakan:

”... instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum”. (Cassirer, 1944).

Istilah simbol berasal dari perkataan Yunani,

symballein (suatu bentuk kata kerja) yang ber-

arti meletakan secara bersama atau menaksir

bersama, sebagai kata benda, berarti perban-

dingan dengan sesuatu, maksudnya prihal yang

Page 114: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

harus dikaji dengan kritis, karena merupakan

analogi tanda untuk menghadirkan tanda yang

lain. Lambang atau simbol adalah tanda yang

mampu menuntun pemahaman si subjek ke-

pada objek berhubungan dengan makna de-

notatum dan konotatum, berdasarkan konvensi

atau kode yang berlaku umum dalam lingkungan

budaya masyarakat tertentu.

Dalam kaitan dengan simbol, Ogden dan

Richards dalam Eco (1979) memberi dua istilah,

yaitu reference (yang mengandung, isi atau

konsep sebagai acuan) dan referent (yang me-

ngandung persepsi, denotatum, “sesuatu” dan

sebagainya, sebagai hasil interpretasi). Ketiga

komponen tersebut digambarkan dalam diagram

segitiga, seperti Gambar 22 berikut.

Sumber: Eco 1979

Gambar 22 Berlangsungnya Referent

Page 115: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Jadi simbol merupakan tanda yang me-

ngandung pengertian sertaan dan antara simbol

dengan yang disimbolkan atau referent yang di-

hasilkan sama sekali tidak terdapat pertalian

makna alamiah, sehingga lambang atau simbol

bermakna dinamis, khusus, subyektif, kias, dan

majas. Perwujudannya sangat tergantung pada

permasalahan yang bersifat kultural, situasional

dan kondisional.

Lambang atau simbol merupakan pedoman

untuk memudahkan pengenalan atau penghayatan

sesuatu di tengah-tengah kesemerautan perbuatan

manusia dan keragaman kejadian alam. Karena di

dalamnya terkandung kaidah yang bertalian de-

ngan akal budi dalam seluruh paradigma tentang

kehidupan sadar dan di bawah sadar. Mitos,

khayalan, impian dan bentuk-bentuk abstrak lain-

nya dapat direalisasikan dalam wujud simbol.

3) Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang

diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam ke-

adaan tersebut, si subjek selalu berbuat sesuatu

untuk memberitahukan kepada si objek yang

memberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi isyarat

selalu bersifat temporal (kewaktuan), apabila di-

tangguhkan pemakaiannya, isyarat akan berubah

menjadi tanda atau perlambang (Santosa,1990).

Sebenarnya penerapan ketiga komponen

semiotika, seperti tanda, simbol dan isyarat, sering

Page 116: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

menemui kesulitan, terutama dalam menentukan

garis demarkasinya secara tepat. Hal tersebut di-

sebabkan, karena ketiganya saling terkait. Namun

berdasarkan uraian tersebut, secara garis besar-

nya dapat dilihat ciri masing-masing komponen ter-

sebut, seperti Tabel 2 berikut:

Tabel 2

Tiga Komponen Semiotika

No. TANDA SIMBOL ISYARAT/SANDI

(1) (2) (3) (4)

1. subjek diberitahu oleh objek (subjek pasif)

subjek dituntun memahami objek (subjek aktif)

diberitahukan oleh subjek kepada objek (subjek aktif)

2. hanya memuat dua arti

memuat banyak arti atau sedikit-dikitnya dua arti.

hanya memuat satu arti

3. subjek dibeitahu oleh objek terus menerus (berlaku konstan)

subjek dituntun memahami objek secara terus menerus (berlaku secara konstan), karena terkonvensi

diberitahukan oleh subjek kepada objek secara langsung (berlaku satu kali)

4. berbentuk konkret dan / atau abstrak.

berbentuk konkret dan atau abstrak.

berbentuk abstrak

5. diketahui oleh manusia, dan dapat juga oleh binatang setelah diajarkan secara berulangulang

hanya dapat dipahami oleh manusia.

dapat dikenal oleh binatang dan manusia

6. yang dipakai untuk tanda selalu mempunyai hubungan khusus dengan yang ditandai (kontekstual).

yang dipakai untuk lambang atau simbol tidak mempunyai hubungan khusus dengan yang dilambangkan atau disimbolkan.

yang dipakai sebagai dasar isyarat tidak ada hubungan khusus dengan yang diisyaratkan.

Page 117: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

(1) (2) (3) (4)

7. diciptakan oleh manusia, alam dan juga binatang untuk manusia dan/atau binatang.

diciptakan oleh manusia untuk manusia.

diciptakan oleh manusia untuk manusia dan “mahkluk lain”

(Herusatoto, 1983)

Penjelasan semiotika tersebut, terutama terkait

dengan model semiotika yang dikembangkan oleh

Ferdinand de Saussure maupun Ogden dan Richards

—dimana antara tanda (sign), penanda (signifier) dan

petanda (signified) meunjukkan hubungan yang “statis”—

merupakan semiotika dengan model berpikir struktur,

sinkronik dan konvensional —Apapun bentuk pertukar-

an tanda, harus mengikuti model struktur kaitan antara

penanda dengan petanda yang berlangsung stabil atau

mapan— serta sebagai konsep dari paham strukturalis.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka model

semiotika tersebut akan dipakai untuk menjelaskan atau

memaparkan tinjauan mengenai penggunaan tanda atau

simbol dalam masyarakat Hindu di Bali pada zaman

Hindu dan pewaris tradisi tersebut. Terutama peng-

gunaan tanda atau simbol dalam konteks pelaksanaan

ajaran agama Hindu sesuai adat di Bali. Hal tersebut

dilakukan mengingat dalam mengamalkan ajarannya,

hampir semua diwujudkan dalam bentuk simbol atau

lambang dengan konvensi yang telah mapan dan stabil

yang mengacu pada mitologi atau filosofi agama Hindu

dan didasari keyakinan. Simbol-simbol tersebut di-

upayakan dengan harapan agar dapat “mempermudah”

Page 118: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

penghayatan kepada sifat-sifat maya Tuhan. Misalnya,

diwujudkan dalam produk-produk kriya seperti: patung,

relief, senjata dan sebagainya.

Sedangkan kajian semiotika terkait dengan feno-

mena eklektik pada desain produk masa kini di Bali

diuraikan berdasarkan model semiotika ‘intertekstualitas’

(intertextuality) yang diperkenalkan oleh Julia Kristeva,

seorang pemikir post-strukturalis dari Perancis. Model

semiotika tersebut merupakan pengembangan lebih

lanjut dari paham ‘dialogisme’ (dialogism) yang diper-

kenalkan oleh Mikhail Bakthin, seorang pemikir Rusia.

Menurut pendapat Mikhail Bakthin, bahwa “dialog-

isme” sebagai relasi-relasi yang harus ada di antara

ungkapan-ungkapan dalam discourse, karena tidak

ada ungkapan yang tidak terkait dengan ungkapan

lain. Pemikiran tersebut menjadi salah satu konsep

dalam paham post-strukturalisme.

Dalam buku Revolution in Poetic Language

(1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach

to Literature and Art (1979), Kristeva menerangkan

bahwa pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam ana-

lisis teks atau produk desain atau seni. Sebuah teks atau

produk desain atau seni selalu dibuat dalam ruang dan

waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, maka antara satu

teks atau produk dengan teks atau produk yang lain

dalam ruang dan antara satu teks atau produk dengan

teks atau produk sebelumnya yang saling silang me-

Page 119: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

nyilang satu dengan yang lainnya dalam rentang wak-

tu tertentu mesti ada relasi-relasi ( Kristeva, 1979).

Istilah intertekstualitas merupakan proses perlin-

tasan atau diistilahkan dengan ‘transposisi’ (transposi-

tion) dari satu sistem tanda (sign system) ke sistem

tanda yang lain. Pemakaian petanda sebelumnya yang

telah mapan untuk petanda baru yang kurang jelas

maksudnya akan menunjukkan terjadinya suatu perlin-

tasan sistem tanda, sehingga sepanjang perlintasan

tersebut, suatu sistem tanda kadang-kadang dapat

berdampak negatif atau ‘merusak’ sistem tanda sebe-

lumnya. Misalnya dapat menimbulkan terjadi ‘peng-

hapusan’ atau ‘pengkaburan’, ‘pelesetan’ bagian tanda

dari sistem tanda yang menjadi referensinya. Konsep

intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva ter-

sebut dapat digambarkan dalam suatu sekematik se-

perti Gambar 23 berikut

Gambar 23 Transposisi Sistem Tanda Berdasarkan Model Semiotika Intertekstualitas (Intertextuality)

Dalam penggunaan tanda atau simbol dengan

petanda atau maknanya di masyarakat, sering dijumpai

Page 120: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

terjadi fenomena “permainan penanda”, misalnya dalam

pengadaan komoditi mata dagangan. Pada mata da-

gangan tersebut terjadi ekspansi secara total serta per-

kembangbiakan konvensi tanda yang tak terbatas untuk

mencapai kesenangan, prestise, image, nostagia, janji

dan sebagainya. Konsumen sering disuguhi permanen

tanda-tanda atau simbol-simbol yang dikondisikan oleh

pihak produsen dengan tujuan untuk memperoleh bene-

fit atau untuk memenangkan kompetisi dagang.

C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya

Berdasarkan uraian tersebut dan dikaitkan dengan

penciptaan serta penggunaan produk kriya dalam kehi-

dupan masyarakat di Bali, seperti telah dipaparkan ter-

sebut, maka permasalahan rancangan produk-produk

kriya juga dapat dianalisis berdasarkan pendekatan se-

miotika. Hal tersebut, mengingat produk-produk kriya

masa lalu juga merupakan salah satu artefak kebu-

dayaan, di dalam tersirat nilai-nilai atau norma-norma

budaya yang melibatkan beberapa komponen semiotika.

Untuk lebih jelasnya mengenai permasalahan semiotika

dalam produk-produk kriya, akan dilakukan tinjauan ber-

dasarkan konsep yang melatarbelakangi penciptaannya,

seperti konsep “sekular” dan konsep spiritual religius

serta dikaitkan dengan nilai fungsi guna dan estetis yang

dikandungnya.

Page 121: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

1. Konsep Sekular

Berbagai aktivitas kehidupan masyarakat di Bali,

sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan

akan produk kriya, baik berupa produk fungsional seba-

gai alat bantu, maupun sebagai produk yang berfungsi

estetis sebagai benda hiasan yang ditujukan untuk pe-

menuhan kebutuhan yang bersifat sekular. Konsep de-

sain produk kriya untuk benda fungsional, jika ditinjau

dari sudut semiotika, maka tampak tanda-tanda yang

diterapkan lebih mengutamakan makna denotasi dan

mengarah pada kategori pragmatis semiotika, karena

bangun tanda yang diwujudkan lebih lugas, objektif dan

mengutamakan segi utilitas karena semata-mata untuk

dipakai. Dengan konsep penerapan tanda tersebut,

maka para pemakai (user) akan secara gamblang dapat

menafsirkan tanda-tanda yang bekerja pada wujud vi-

sualnya. Sistem tanda tersebut dapat sebagai penuntun

dalam penggunaan produk tersebut. Misalnya, produk

kriya berfungsi sebagai wadah, alat untuk mengambil,

memotong, menusuk dan sebagainya.

Wujud produk kriya fungsional yang diperuntukan

sebagai peralatan kerja (working tool) dalam perenca-

naannya terkait dengan tuntutan kebutuhan suatu pro-

fesi, seperti kebutuhan produk kriya berupa peralatan

kerja untuk profesi sebagai petani, pedagang, tukang,

dan sebagainya. Sehingga ditinjau dari historis dan se-

miotis produk yang digunakan oleh seseorang dengan

mata pencaharian tertentu juga dapat dipakai sebagai

Page 122: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

indeks mengenai profesi seseorang. Misalnya, alat bajak

yang ditarik oleh sapi dengan fungsi untuk membajak

tanah pertanian, maka alat tersebut jelas digunakan oleh

profesi seseorang sebagai petani tradisional. Produk

kriya seperti tersebut, dalam konteks semiotika akan

bertindak sebagai dicisign, karena interpretasi menawar-

kan hubungan yang benar ada di antara tanda dan de-

notasinya.

Kemudian dengan semakin majunya tingkat pera-

daban masyarakat, maka tuntutan kebutuhan hidupnya

juga semakin kompleks dan bervariasi. Pemenuhan ke-

butuhan akan produk kriya tidak hanya terbatas pada

fungsi guna semata, melainkan mulai mengarah pada

pemenuhan kebutuhan bersifat “sekular” atau hedonistik.

Produk kriya yang diciptakan disertai dengan berbagai

pertimbangan-pertimbangan menyangkut hal-hal bersifat

psikis, sehingga secara subjektif dapat menyentuh

sukma dan dirasakan sebagai penghargaan bagi para

pemakai. Seperti mempertimbangkan segi estetis yang

menyangkut keseimbangan, kesatuan, keselarasan,

makna dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka berbagai

upaya dilakukan oleh para kriyawan untuk menghasilkan

produk kriya yang unik, indah dan dengan berbagai ka-

rakteristiknya. Menawarkan berbagai alternatif produk

dengan menanamkan tanda atau simbol dengan makna

konotatif. Dengan upaya tersebut dapat melahirkan

suatu image atau citra rasa tertentu dalam masyarakat.

Page 123: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Misalnya, produk kriya berupa mahkota yang dibuat

dengan berbagai hiasan dan tanda atau simbol yang

terkonvensi dalam suatu masyarakat. Pada zaman ke-

rajaan, produk tersebut dengan faham fitisime dapat

berfungsi untuk pembeda status sosial di dalam masya-

rakat, sebagai simbol kebesaran, keagungan atau ke-

kuasaan seorang individu ciptaan Tuhan yang memiliki

status sebagai raja. Produk kriya berupa cincin, selain

digunakan untuk perhiasan, juga disepakati sebagai

tanda atau simbol ikatan perkawinan. Produk-produk

kriya tradisonal yang memiliki ciri khas daerah tertentu

dan sebagainya, dikonsumsi dan dipakai tanda kenang-

an atau sebagai simbol harga diri seseorang atau pres-

tise. Misalnya dalam fenomena kecenderungan membeli

produk kriya tradisonal Bali. Di antara para wisatawan

yang berkunjung ke Bali tampak banyak yang menbeli

produk-produk kriya tradisonal Bali disertai dengan ha-

rapan untuk memperoleh kenangan-kenangan tentang

hasil kebudayaan tradisional Bali atau dipakai sebagai

tanda kebanggaan, bahwa mereka pernah berkunjung

ke objek wisata di Bali dan sebagainya.

Dalam perkembangan produk kriya sebagai mata

dagangan, juga tampak fenomena memakai kekuatan

nilai tukar yang kecenderungannya lebih menyandarkan

pada makna konotasi. Pada fenomena tersebut tanpa

disadari terjadi permainan tanda dengan konvensi yang

terkondisikan dan dengan matra yang tak terbatas. Pro-

duk-produk kriya diangkat statusnya dan digunakan se-

Page 124: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

bagai simbol-simbol tertentu yang menghasilkan berba-

gai interpretasi pada masyarakat konsumen, kadang-ka-

dang tindakan tersebut sampai melupakan nilai utilitas

dan religius pada produk tersebut. Dalam hal tersebut

akhirnya produk kriya menjadi Rhême, karena diinter-

pretasikan sebagai representasi dari suatu kemungkinan

denotasinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa dalam kondisi se-

perti tersebut justru nilai guna sering kali tak lebih dari

semacam jaminan praktis (alibi) (Baudrillard, 1981).

Konsumer terkadang bukan lagi mencari konteks

makna, sehingga terjadi ketidakstabilan penanda dan

petanda.

2. Konsep Spiritual Religius

Manusia Bali setelah melalui tingkatan hidup es-

tetis dan etis, biasanya melanjutkan tingkatan hidup-

nya ke arah mencari nilai religius. Pada tingkatan ini,

manusia menginginkan adanya jalinan hubungan de-

ngan Tuhan atau keinginannya untuk menerima ikat-

an-Nya, sehingga berkembang sistem kepercayaan

yang mengandung keyakinan dan penafsiran terhadap

sifat-sifat Tuhan serta wujud dari alam gaib yang tran-

sendental, misalnya menyangkut tentang hakikat hi-

dup, maut, bayangan wujud dewa-dewa dan mahkluk

halus lainnya yang mendiami alam tidak nyata. Keya-

kinan itu bersumber dari: ajaran agama berupa wahyu

suci yang terhimpun dalam kitab-kitab suci, mitologi

Page 125: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dan ceritera-ceritera rakyat berupa dongeng yang tum-

buh dalam lingkungan masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan tujuan manusia tersebut,

maka muncul sistem upacara religius yang merupakan

visualisasi kelakuan atau behavioral manifestation.

Perilaku tersebut diwujudkan dalam berbagai macam

ungkapan seperti, berdoa, bersujud, bersemedi, berta-

pa, berpuasa, bersaji, beryajña, berkurban, menari,

menyanyi, berprosesi, dan sebagainya. Selain hal ter-

sebut, juga muncul penghargaan pada suatu benda

untuk digunakan sebagai sarana pendukung keper-

cayaannya, misalnya, berupa bangunan suci, berbagai

peralatan upacara termasuk melibatkan produk-produk

kriya yang disakralkan.

Produk-produk kriya yang dipakai dalam upacara

agama, pada umumnya mencakup beberapa fungsi,

seperti berfungsi sebagai simbol, sarana komunikasi,

peralatan upacara dan fungsi estetis dalam wujud

benda hiasan. Produk-produk kriya yang difungsikan

sebagai simbol, dalam perwujudannya dilandasi den-

gan suatu konvensi yang acuannya merujuk pada ajar-

an agama atau kepercayaan dari suatu komunitas

manusia yang sepaham, sehingga dalam produk ter-

sebut terpatri suatu “ideologi” tertentu yang nilai-nilai-

nya diyakini dan dijadikan sebagai tradisi.

Salah satu contoh dapat dilihat dalam tata cara

penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu di

Bali. Produk kriya tersebut digunakan sebagai “alat”

Page 126: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

upacara, simbol-simbol diwujudkan berdasarkan kon-

vensi yang mengacu atau dilatari kosmologi Hinduistis

di Bali, sebagai media komunikasi yang dilandasi kon-

sep Tri Hita Karana dan difungsikan sebagai hiasan.

Produk kriya yang digunakan untuk simbol tersebut,

merupakan tanda bersifat argument, karena interpre-

tasinya terkait dengan renungan tentang kebenaran

keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan maha segala-

galanya (seperti telah disinggung di depan). Dengan

penggunaan simbol-simbol tersebut, diharapkan dapat

mempermudah penghayatan dan pengamalan ajaran

agama Hindu serta untuk mempermudah membayang-

kan sifat abstrak-Nya tersebut.

Perwujudan produk kriya sebagai tanda atau

simbol, kadang dapat dalam bentuk icon, seperti stilasi

bentuk manusia, binatang, benda alam dan sebaginya.

Misalnya diwujudkan dalam berbagai produk kriya, se-

perti berbentuk relief, patung atau pratima dan seba-

gainya atau dibuat berdasarkan kualitas material yang

digunakan atau qualisign, misalnya, warna (darah bi-

natang, warna bunga, kapur, arang dan lainnya), ka-

rakter bahan (suatu jenis kayu, batu, kulit, logam dan

sebagainya).

Namun tidak dipungkiri, bahwa dalam menginter-

pretasikan simbol-simbol tersebut, sering terjadi perbe-

daan pandangan, sehingga melahirkan interpretasi ber-

sifat mendua antara masyarakat yang berada dalam

konvensi dengan di luarnya. Salah satu contoh produk

Page 127: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

kriya berupa umbul-umbul bergambar naga taksaka

yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara

Agama Hindu di Bali. Bagi umat Hindu menganggap

benda tersebut sebagai tanda diadakan upacara agama

dan sekaligus penerapan gambar naga taksaka disepa-

kati sebagai simbol lapisan alam atas (Swah Loka). Se-

bagai dasar acuannya adalah kosmologi Hinduistis den-

gan interpretasi yang bersifat konotatif dan dianggap sa-

kral. Sedangkan bagi umat atau orang yang tidak paham

atau berada di luar konvensi tersebut, melihat umbul-

umbul tersebut hanya sekedar hiasan belaka. Feno-

mena seperti itu, belakangan ini memang cukup banyak

terjadi di daerah Bali. Produk-produk kriya seperti itu,

kadang hanya dilihat dari fungsi estetisnya saja.

D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehubungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu

Eklektik adalah suatu usaha yang bersifat memilih

unsur-unsur yang baik atau menggunakan bermacam-

macam susunan yang tidak terbatas pada satu sumber

ide dan sebagainya, baik berupa orang, gaya, metode,

kepercayaan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka dalam buku ini yang dimaksudkan ada-

lah eklektisme terhadap elemen estetis masa lalu yang

diterapkan pada desain produk masa kini. Tindakan

“memilih” unsur-unsur tersebut secara tidak langsung

jelas akan menimbulkan beberapa permasalahan, baik

pada vitalitas idiom masa lalu itu sendiri maupun kesatu-

Page 128: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

an substansi pada desain produk masa kini. Fenomena

tersebut dapat dipahami dari beberapa istilah seperti

berikut:

1) Pastiche

Istilah pastiche berarti menyusun elemen-

elemen yang dipinjam dari pelbagai pengarang

atau seniman masa lalu. Oleh sebab itu, istilah ini

bisa mengandung pengertian dengan konotasi

negatif dan dianggap miskin orisinallitas (Baldick

dalam Yasraf 1994). Linda Hutcheon dalam buku-

nya yang berjudul: A Theory of Parody, dijelaskan

bahwa:

Pastiche, in this sense, is a pure imitation without any pretension. A pastiche text imitate other past text, in order to emulate or to appreciate them. Pastiche has been called by one critic as “form rendering” to describe its superficiality, that is, its lack to thoroughness. (Hutcheon, 1985).

Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah

suatu bentuk imitasi murni, tanpa disertai de-

ngan pretensi tertentu. Gaya atau teks yang di-

pakai meniru dari teks masa lalu, disebut seba-

gai kritikan “gubahan bentuk” yang menunjukan

suatu kedangkalan sebagai kekurangan yang

utama. Selain hal tersebut, Fredric Jameson se-

cara metaforis menyebut istilah tersebut seba-

gai “penggunaan topeng sejarah, pengungkap-

Page 129: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

an dalam bahasa yang telah mati” (Jameson

dalam Yasraf, 1991).

2) Parody

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1994), dijelaskan bahwa, parody (parodi), arti-

nya produk sastra atau seni yang dengan sen-

gaja menirukan gaya atau kata penulis atau

pencipta lain dengan maksud mencari efek ke-

jenakaan. Dalam peniruannya dapat bersifat iro-

nis dan kritis, bahkan bermuatan politis dan

ideologis. Parodi merupakan suatu bentuk “di-

alogisme tekstual”, yaitu dua teks atau lebih di-

pertemukan dan berinteraksi satu sama lain da-

lam bentuk dialog: debat, kritik, dan humor.

Dengan demikian, parodi selalu mengambil

keuntungan dari bentuk, gaya atau produk yang

menjadi sasarannya (kelemahan, kekurangan,

keseriusan, atau kemasyuran) (Yasraf, 1994).

Jadi dari uraian tersebut, pada dasarnya parodi

adalah merupakan suatu fenomena yang terjadi

dalam produk sastra, seni, atau arsitektur de-

ngan tendensi bersifat memilih dan didistorsi,

kemudian diimitasi dalam suatu produk dengan

tujuan mengarah pada humoristik dan kadang

kala bersifat “pelesetan”.

Page 130: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

3) Kitsch

Istilah Kitsch berasal dari bahasa Jerman,

verkitshen berarti “membuat murahan”. Dan

kistchen, secara harfiah berarti “memungut

sampah dari jalan”. Dalam bidang seni, istilah ini

sering diselaraskan artinya sebagai “sampah ar-

tistik” atau sering diberi pengertian sebagai “se-

lera rendahan” atau segala produk seni palsu

(pseudo art) yang murahan dan tanpa selera.

Predikat kitsch sebagai selera rendahan dimani-

festasikan oleh lemahnya ukuran dan kriteria

estetis yang dipakai.

Selain hal tersebut, kitsch bertujuan mensi-

mulasi atau mengkopi elemen-elemen gaya

“seni tinggi” atau objek sehari-hari untuk kepen-

tingan sendiri dan menjadikan sebagai mass

product. Mengimitasi suatu bentuk gaya atau

objek untuk tujuan yang palsu. Menurut Clement

Greenberg, pada awalnya keberadaan kitsch di-

dorong oleh semangat mereproduksi, yang di-

akibatkan oleh berkembangnya produksi, kon-

sumsi dan komunikasi massa; merupakan suatu

upaya untuk menghasilkan efek-efek reproduksi

dalam sistem kebudayaan massa atau memba-

ngun aura seni dari reproduksi itu sendiri.

(Greenberg dalam Yasraf, 1995).

Page 131: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

4) Camp

Pada fenomena estetika pengertian camp

sering dikelirukan dengan istilah kitsch yang

mengarah pada pengertian “selera rendahan”

atau merupakan “sampah estetik”. Sebenarnya

camp merupakan salah satu cara untuk melihat

dunia sebagai suatu gejala estetik dalam derajat

kecerdasan, kesemuan dan stylization atau

penggayaan.

Dalam suatu bentuk produk seni, camp lebih

menititik beratkan pada dekorasi, tekstur, per-

mukaan sensual, dan style dengan distorsi yang

berlebihan dan meremehkan isi serta netral. Me-

rupakan kemenangan gaya atas isi, estetik atas

moral dan ironi atas tragedi. Hubungannya de-

ngan masa lalu bersifat “mendaurulang” dan

sentimentil. Dalam upaya mewujudkan produk,

berusaha menampilkan sesuatu yang special,

berlebihan dan glamor (Sontag, 1992).

Dengan memahami beberapa istilah di atas,

ternyata dalam usaha perluasan desain masa

kini yang berciri khas Bali, dengan mengusung

eklektisme elemen estetis produk kriya tradisi-

onal dan dieksploitasi pada desain masa kini,

kadang-kadang juga dapat menimbulkan dam-

pak tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui

dampak yang ditimbulkan dari tindakan eklektis

terhadap produk kriya masa lalu dapat dipahami

Page 132: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

pada uraian berikut, yaitu dengan menganalisa

beberapa contoh kasus penerapan elemen

estetis produk kriya secara eklektik pada desain

masa kini di Bali seperti diuraikan pada Bab V.

Page 133: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI

A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Elemen

Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini

1. Kajian Historis

Transformasi atau pergeseran merupakan suatu

fenomena yang universal dan selalu mewarnai lintas

sejarah perkembangan kebudayaan suatu masyara-

kat. Oleh sebab itu, maka suatu masyarakat dengan

kebudayaannya secara mutlak tidak mungkin dapat

hidup statis, stagnan dan terisolir. Setiap kebudayaan

akan mengalami perubahan atau pergeseran dalam

fungsi waktu dengan laju yang bervariasi.

Kegiatan penciptaan dan penggunaan produk kriya

di Bali sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala

dan terus mengalami perkembangan dan perubahan

yang didorong oleh berbagai faktor, baik faktor internal

yang disebabkan oleh penggunaan dan penghargaan

BAB V

Page 134: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

produk kriya dalam berbagai aktivitas kehidupan ma-

syarakat Bali, maupun faktor eksternal berupa penga-

ruh-pengaruh kebudayaan dari luar melalui proses

akulturasi yang berlangsung dari zaman ke zaman

dalam kapasitas yang berbeda-beda. Faktor pendo-

rong tersebut seperti (1) karena adanya tuntutan kebu-

tuhan produk kriya fungsional yang mengandung nilai

utilitas, berupa peralatan kerja untuk penunjang berbagai

aktivitas hidup sehari-hari, (2) sarana penunjang keaga-

maan atau kepercayaan dan untuk dipersembahkan ke-

pada raja dan keluarganya (3) kebutuhan produk kriya

untuk menunjang kebutuhan lain yang mengarah pada

penciptaan produk kriya untuk memenuhi kebutuhan

bersifat sekular, hedonistik dengan mengutamakan

fungsi estetis dan efek finansial yang ditimbulkannya.

Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan produk kriya pe-

nunjang kepariwisataan dan sebagai komoditi ekspor.

Bersamaan dengan upaya untuk memenuhi kebutuh-

an tersebut sering dijumpai kasus fenomena penerap-

an elemen estetis produk kriya tradisional secara ek-

lektik. Faktor pendorong tersebut dapat digambarkan

seperti pada Gambar 24.

Ditinjau dari sudut historis mengenai perkembang-

an dan perubahan penciptaan serta penggunaan pro-

duk kriya di Bali, secara diakoronis dapat disimak,

bahwa sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan

neolitikum dan perunggu, saat penduduk Bali masih

hidup nomaden, umumnya memiliki pola pikir terbatas

Page 135: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

pada usaha pemenuhan kebutuhan berupa makanan

untuk kelangsungan hidupnya. Dalam melakukan usa-

ha tersebut, mereka menggunakan peralatan berupa

produk kriya terbuat dengan batu, tulang binatang,

ranting kayu dan sebagainya, dengan proses penger-

jaan masih sangat sederhana.

MUATAN LOKAL/

ETOS KEBUDAYAAN

(latar belakang sejarah)

PENGEMBANGAN PARIWISATA

DAN KEGIATAN EKSPOR PRODUK

KERAJINAN DI BALI

SARANA PENUNJANG

Produk-produk kriya berupa:

Souvenir

menciptakan citra atau

suasana

UNSUR-UNSUR EKLEKTIK

PADA KARYA MASA LALU

Gambar 24 Faktor Pendorong Munculnya Tindakan Eklektik Terhadap Elemen Estetis Tradisioanal Bali

Di masa-masa selanjutnya, setelah masuknya

pengaruh kebudayaan neolitikum dan perunggu di Bali,

maka dalam sistem peralatan dan perlengkapan hidup

mengalami perubahan. Penduduk di Bali telah mampu

Page 136: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

menciptakan produk-produk kriya berupa peralatan ter-

buat dengan logam, batu, gerabah (tanah liat yang di-

bakar) dan sebagainya yang dikerjakan dengan teknik

lebih sempurna. Dalam proses penciptaan produk-

produk kriya, pertimbangan mengenai keindahan, ke-

nyamanan dan simbolisasi sudah menggejala dan

menjadi bagian yang esensial.

Pada zaman tersebut, masyarakat sudah mampu

menghasilkan produk-produk kriya yang bermutu, mi-

salnya peralatan berupa kapak batu yang dibentuk

dan digosok sampai halus, nekara perunggu diberi

hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai simbol-sim-

bol terkait dengan kepercayaan animisme dan dina-

misme, sarkofagus untuk tempat mayat dan sebagai

tanda penghormatan atau simbol kendaraan arwah,

cincin untuk bekal kubur dan sebagainya.

Munculnya gejala tersebut, disebabkan semakin

meningkatnya kesadaran, hasrat, nafsu atau emosi

dalam diri individu untuk menghargai suatu materi

yang distimuli oleh alam atau lingkungan masyarakat

yang terbentuk, sistem relegi yang berkembang dan

semakin menggejalanya pengaruh integrasi kebudaya-

an dari luar serta didukung dengan banyak waktu luang

yang dimilikinya sebagai masyarakat agraris, misalnya

dikerjakan sambil menunggu datangnya musim panen.

Pada zaman Hindu, di Bali terjadi suatu “inter-

vensi kebudayaan” yang bersifat menyempurnakan

kebudayaan tradisi masa lalu dengan berorientasi pada

Page 137: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

penyebaran, pembinaan dan peletakan dasar-dasar

ajaran Agama Hindu. Semua kegiatan ekonomi, sosial

kemasyarakatan dan kebudayaan Bali dirumuskan

dengan “bahasa” agama Hindu. Terjadi suatu sinkre-

tisasi atau proses penyerasian dua aliran (agama) dan

akulturasi yang harmonis antara unsur-unsur kebuda-

yaan India, Hindu dari Jawa Timur bergabung dengan

kultur agraris dan pemujaan roh leluhur yang telah

tumbuh di masyarakat Bali. Unsur India dominan pada

taraf filsafat dan mitologi, sedangkan unsur kebuda-

yaan Jawa umumnya tampak pada taraf ritual yang

bersumber pada kitab suci Weda. Perpaduan tersebut

melahirkan suatu kebudayaan yang bercorak khas Bali.

Penciptaan produk-produk kriya dominan dikem-

bangkan untuk keperluan Agama Hindu dan kerajaan.

Perwujudannya berupa hiasan, simbol dan benda pa-

kai, seperti ditujukan untuk menunjang kebutuhan sa-

rana upacara ritual, pembinaan umat dan dipersem-

bahkan kepada raja. Motivasi penciptaan dilandasi

dengan konsep dharma, karma phala yang diwujudkan

dalam sikap kebersamaan (kolektif), religius, dan loya-

litas dengan kecenderungan dedikasi, ketekunan serta

keiklasan yang sangat tinggi. Dengan sikap tersebut,

maka para kriyawan saat itu mampu menghasilkan

produk-produk puncak dengan kualitas yang sangat

tinggi, meliputi sistem peralatan dan perlengkapan hi-

dup, seperti berupa hiasan pada pura, wayang, berba-

gai bentuk topeng, patung, senjata, barang gerabah,

Page 138: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

busana hasil tenunan tradisional (berupa kain songket,

sabuk dan sejenisnya). Bahan yang digunakan, seperti

logam, tanah liat, kulit binatang, kayu dan sebagainya.

Beberapa jenis kegiatan penciptaan produk kriya itu

diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya dan

sampai sekarang masih ditekuni oleh masyarakat kri-

yawan di beberapa daerah di Bali.

Produk-produk kriya yang difungsikan sebagai

simbol atau tanda terkait dengan kepercayaan umat

Hindu di Bali, khususnya yang digunakan dalam me-

laksanakan upacara ritual, ternyata di dalamnya sarat

mengandung makna atau nilai-nilai kesucian yang adi-

luhung. Produk-produk tersebut diciptakan dengan di-

landasi kosmologi Hinduistis dan adat di Bali, yang

terkait dengan kepercayaan tentang keagungan dan

kekuasaan Tuhan serta ajaran suci tentang ciptaan-

Nya, misalnya berupa simbol-simbol alam makrokos-

mos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit).

Produk-produk kriya tersebut termasuk katergori

produk kriya dibuat dalam konteks agama atau keper-

cayaan. Tergolong jenis kesenian Wali yang dianggap

sebagai benda sakral karena, dalam pembuatannya mu-

tlak disertai dengan proses penyucian atau melalui be-

berapa tahap penyucian (lihat Tabel 1, halaman: 61).

Ditinjau dari sudut keyakinan umat Hindu di Bali

terhadap nilai kesakralan yang dikandungnya, ternyata

sampai sekarang masih digunakan dan diyakini oleh

umat Hindu di Bali. Hal tersebut mengingat heterogen-

Page 139: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

nya tingkat kemampuan umat dalam mengamalkan

ajaran agama Hindu atau dalam hasrat menghubung-

kan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu produk-produk

kriya berupa simbol-simbol untuk sarana pengamalan

ajaran Agama Hindu di Bali, sampai sekarang dan

bahkan untuk seterusnya tetap hadir dan diperlukan.

Dari sudut pandang ajaran agama Hindu, ternyata

“cara” tersebut memang diperbolehkan, seperti dise-

butkan dalam ajaran Catur Marga. Demikian juga da-

lam sifat Weda dan filsafat Wedanta, maupun sesuai

kerangka agama Hindu.

Jadi, dari uraian tersebut, jelaslah produk kriya

yang digunakan sebagai sarana pengamalan ajaran

agama Hindu di Bali, dari zaman Hindu sampai seka-

rang nilai-nilai kesakralannya tetap diyakini oleh seba-

gian besar umat Hindu di Bali. Di sisi lain, dalam kon-

teks pengembangan pariwisata, budaya tersebut juga

dipakai sebagai daya tarik utama. Oleh sebab itu, ma-

ka di masa-masa mendatang eksistensinya perlu dija-

ga dari penetrasi pengaruh-pengaruh luar yang dapat

mengancam kelestariannya.

Pada zaman kolonial, Bali dan kebudayaannya

diperkenalkan sebagai daerah tujuan wisata, maka

pengaruh-pengaruh Belanda dan kebudayaan masya-

rakat dari luar lainnya semakin merebak masuk ke

Bali. Sehingga dalam tata kehidupan masyarakat di

Bali tampak mengalami banyak perubahan, seperti se-

makin berkembangnya corak masyarakat yang meng-

Page 140: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

arah pada usaha-usaha non-agraris. Masyarakat Bali

semakin dimantapkan dan didorong untuk bergerak

dalam bidang ekonomi, misalnya: membuat koperasi,

mengaktifkan kembali kegiatan ekspor-impor barang

yang sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, men-

jual hasil pertanian dan sebagainya. Dalam usaha me-

nunjang pengembangan pariwisata, mulai berkembang

usaha yang bergerak dalam bidang perhotelan, res-

toran, biro perjalanan, toko kerajinan, kesenian tradi-

sional yang telah tumbuh dan berarkar di masyarakat

Bali, kembali aktif, termasuk penciptaan “produk-pro-

duk kriya komersial”.

Khusus mengenai masalah penciptaan produk-

produk kriya yang bermuatan lokal dengan tendensi

komersial. Gejalanya muncul secara “spontan” dari

masyarakat kriyawan Bali saat itu. Para kriyawan men-

ciptakan produk kriya tersebut, semata-mata didorong

oleh permintaan para wisatawan yang semakin me-

ningkat dan bukan atas prakarsa pemerintah kolonial

Belanda. Keadaan tersebut, dapat ditelusuri dari tujuan

Belanda untuk menguasai Pulau Bali, selain untuk

menguras hasil pertanian, peternakan dan lain-lainnya,

Selain hal tersebut pemerintah Belanda juga berke-

inginan untuk mempertahankan keaslian kebudayaan

Bali dengan menerapkan politik isolasi atau mengasing-

kannya dari pengaruh-pengaruh luar dan semata-mata

ingin dijadikan sebagai “museum hidup”. Upaya terse-

but diawali dengan usaha untuk mendatangkan para

Page 141: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

pakar yang terkait dari negerinya, untuk mempelajari

berbagai aspek tentang kehidupan masyarakat dan

kebudayaan tradisonal. Kemudian membangun Gedong

Kertiya di Singaraja untuk menyimpan dan menyela-

matkan kesusastraan Bali yang ditulis pada lontar, mem-

bangun museum di Denpasar untuk melindungi dan

menyelamatkan artifak etnografi Bali. Mengembangkan

sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan kebuda-

yaan terkait dengan tata kehidupan adat-Agama Hindu,

misalnya dengan mengangkat tenaga pendidik lokal

yang berkompeten dalam bidang kebudayaan Bali.

Motivasi perluasan usaha penciptaan produk

kriya di Bali saat tersebut, mengalami perkembangan

baru dibandingkan sebelumnya, di mana pada masa

berkembangnya pengaruh Hindu dan zaman kerajaan,

penciptaan produk kriya dilandasi dengan rasa pe-

ngabdian yang tulus kepada agama dan kerajaan.

Namun pada masa pemerintahan kolonial Belanda,

faktor pendorong atau motivasi penciptaan produk

kriya dengan serta merta mulai mengarah pada hal-hal

bersifat komersial. Para kriyawan kebanyakan mulai

memandang hasil produksinya sebagai mata dagang-

an yang bernilai ekonomis. Mereka cenderung men-

ciptakan produk kriya dalam bentuk cenderamata

untuk dijual kepada para wisatawan atau diekspor ke

luar pulau Bali.

Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk me-

nunjang pengembangan pariwisata pada saat terse-

Page 142: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

but, di satu sisi tampak para kriyawan berusaha me-

ngembangkan produk-produk kriya masa lalu yang di-

warisinya. Seperti: berupa patung, topeng, fanil, relief

dan gambar atau lukisan dengan menggunakan ber-

bagai bahan, misalnya: kayu, (berkembang di daerah

Gianyar dan Badung), batu padas (berkembang di

Gianyar), logam (berkembang di Klungkung, Gianyar,

Bangli dan di Buleleng), tempurung kelapa, tulang,

tanduk (berkembang di Gianyar), tanah liat atau kera-

mik (di Tabanan) dan lain sebagainya. Dalam upaya-

nya tersebut, kadang juga muncul tindakan eklektisme

elemen estetis produk kriya tradisional, tanpa kecuali

produk yang digunakan untuk sarana pengamalan dan

penghayatan ajaran agama Hindu Bali. Di sisi lain,

mereka juga mulai memadukan pengaruh dari luar, se-

hingga menghasilkan produk dengan berbagai peng-

gayaan atau style. Seperti pengaruh seni rupa modern

yang dibawa oleh para seniman Barat, seperti: Rudolf

Bonnet, Walter Spies dan seniman lainnya. Perpaduan

pengaruh tersebut, melahirkan produk-produk dengan

style Batuan, Ubud, pengosekan dan sebagainya.

Dalam masa pendudukan Jepang yang berlang-

sung relatif lebih singkat dibandingkan dengan peme-

rintahan Belanda. Usaha pengembangan pariwisata

kurang mendapat perhatian, karena pada waktu terse-

but, Jepang lebih mementingkan usaha penanaman

semangat militer dan arti penting perang Asia Timur

Raya untuk meraih kemenangan. Oleh sebab itu, usaha

Page 143: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

penciptaan “produk kriya komersial” semakin surut dan

penggunaannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan

sendiri. Otoritas masyarakat pada saat tersebut sangat

terbatas, sehingga keadaan kebudayaan Bali nyaris

terisolir dari pengaruh luar, kecuali pengaruh pemerin-

tahan Jepang sendiri.

Ulasan dari sudut historis tersebut memberi des-

kripsi bahwa pada saat mulai masuknya pengaruh Ba-

rat (Belanda) dan dijadikannya Bali sebagai daerah

tujuan wisata, maka usaha penciptaan produk-produk

kriya di Bali dengan serta merta mulai mengarah pada

tujuan komersial dan disertai dengan muncul gejala

penerapan elemen estetis produk tradisional secara

eklektik pada desain yang kemudian diterapkan pada

produk-produk kriya yang dibuat saat tersebut. Dido-

rong pula oleh semakin meningkatnya permintaan

para wisatawan akan produk-produk kriya yang ber-

muatan lokal berupa barang cenderamata.

Pada zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1950,

sektor pariwisata di Bali kembali dikembangkan oleh

Pemerintah Indonesia dengan tetap berbasis pada ke-

kuatan budaya Bali sebagai daya tarik utama. Usaha

pengembangan tersebut, ternyata merupakan salah satu

pemicu arus penetrasi budaya modern dan global, se-

kaligus memberi dampak pada tata kehidupan masya-

rakat di Bali. Dikaitkan dengan pembangunan sektor pe-

rekonomian, ternyata upaya tersebut memberi pengaruh

yang signifikan. Lapangan pekerjaan atau bidang usaha

Page 144: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

industri kecil memiliki peluang atau opportunity untuk

tumbuh dan berkembang, seperti dalam kegiatan pen-

ciptaan produk-produk kriya yang mengarah komersial.

Pada dasawarsa belakangan, sebelum terjadi tragedi

bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 di Kecamatan

Kuta dan bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005.

usaha tersebut sempat mengalami perkembangan yang

cukup pesat, selain didorong oleh perkembangan sektor

pariwisata, juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah

yang terkait dengan pengembangan industri kecil dan

mendijadikan produk kriya lokal sebagai salah satu

alternatif komoditi ekspor non-migas.

Kondisi tersebut, cukup mendorong para kriya-

wan dan pengusaha di Bali masa kini untuk semakin

aktif menekuni sektor tersebut. Banyak di antara ma-

syarakat di Bali menjadikan sebagai mata pencaharian

tetap. Mereka termotivasi oleh aspek ekonomis yang

dihasilkan dari produk kriya yang diciptakannya. Ber-

beda dengan dulu, terutama di zaman prakolonial, di

mana kegiatan menciptakan produk kriya hanya me-

rupakan pekerjaan sambilan di waktu senggang seu-

sai di sawah atau kesibukan lain. Dan hasil produknya

jarang diperjual belikan sebagai mata dagangan.

Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk di-

konsumsi para wisatawan masa kini, para kriyawan

berupaya untuk menyuguhkan produk yang dapat

memberi kenangan tersendiri, misalnya berwujud cen-

deramata yang menyiratkan keindahan alam atau ke-

Page 145: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

budayaan Bali. Demikian juga dalam penataan ling-

kungan, berkeinginan menampilkan suasana yang

berbeda dengan daerah lain, salah satunya dengan

menerapkan elemen estetis produk kriya masa lalu.

Dalam hubungan dengan kreativitas penciptaan

produk kriya, di satu sisi tampak usaha inovatif yang

mengarah pada produk individual, misalnya dengan

mengeksploitasi alam fauna dan flora sebagai sumber

inspirasinya, seperti tampak pada Gambar 25 dan 26.

Gambar 25 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Fauna

Page 146: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 26 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Flora

Di sisi lain, tindakan-tindakan eklektik terhadap

elemen estetis produk kriya masa lalu yang diterapkan

pada desain produk kriya masa kini, tampak semakin

menggejala di kalangan masyarakat kriyawan. Mereka

melakukan tindakan tersebut didorong oleh harapan

atau keinginan untuk menciptakan produk-produk kriya

etnik yang bermuatan lokal atau tercerap suasana atau

citra rasa tradisional yang berciri khas budaya Bali

seperti tampak pada Gambar 27- 32

Page 147: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 27 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.

Gambar 28 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.

Page 148: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 29 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Panil untuk Barang

Komoditi.

Gambar 30 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya

Tradisional Yang Sakral Untuk Barang Komoditi.

Page 149: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 31 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya

Tradisional Yang Sakral Pada Façade Bangunan.

Gambar 32 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Diterapkan Dalam Bentuk Tatto.

Dalam pemilihan unsur-unsur terbaik produk

masa lalu, sering muncul sikap “ketidaktaatan” yang

dilakukan oleh para kriyawan di Bali. Banyak di antara

mereka kadang-kadang melupakan konteks nilai yang

terkandung pada produk kriya masa lalu dengan masa-

Page 150: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

lah kepercayaan umat Hindu di Bali. Produk-produk kriya

wali yang digunakan dalam upacara agama dan diang-

gap sakral, “dipilih”, kemudian diterapkan begitu saja

pada benda-benda yang bersifat profan dengan lebih

mengutamakan segi artistik dan semata-mata menyan-

dar pada efek finansialnya.

Sebagai contoh, Bhoma diterapkan dengan di-

tatto pada bokong atau Ongkara ditatto pada lengan.

(lihat Gambar: 31). Hal tersebut, jelas merupakan pe-

nyimpangan dan sama sekali tidak ada hubungan per-

maknaan. Pada hal kedua elemen tersebut mengan-

dung nilai religius dan konvensinya masih eksis di ma-

syarakat Hindu di Bali. Penerapan tersebut memiliki tu-

juan yang tidak jelas, semata-mata untuk sensasi. Tin-

dakan tersebut jelas berdampak negatif, merusak atau

mengganggu kesepakatan yang telah mapan.

Relief Acintya, sebenarnya merupakan produk

kriya yang mengandung nilai simbolis pada bangunan

suci, seperti pada pelinggih padmasana, tetapi sekarang

banyak digunakan untuk hiasan benda pakai yang ber-

sifat profan, misalnya diterapkan sebagai hiasan dinding

rumah tinggal, relief pada tebing dekat kuburan,

divisualisasikan dalam bentuk patung untuk menghias

persimpangan jalan. Diterapkan pada tebing kuburan.

Ditiru atau direproduksi dengan kemampuan tangannya,

kemudian dijual sebagai barang cenderamata dan

sebagainya. Bhoma, Garuda Wisnu dan Nãga, diterap-

kan sebagai hiasan pada façade sebuah kantor bank

Page 151: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

atau bangunan lain, Bedawang Nala dipakai hiasan

tapal batas kota, lonték dan tedung Agung, sebenarnya

sebagai “busana pura” yang dikenakan sewaktu melang-

sungkan upacara agama tertentu, seperti pada upacara

Odalan, namun sekarang digunakan untuk menghias

halaman supermarket, artshop, hotel, restoran dan se-

bagainya. Sehingga timbul kerancuan dan menimbulkan

kebingungan bagi generasi penerus tradisi tersebut.

Gambar 33 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional

berupa Relief yang Sakral Diterapkan Di Perepatan

Jalan dan Sebagai Hiasan Tebing Kuburan

Selain hal tersebut, banyak para kriyawan di Bali

dalam kegiatan penciptaan produk kriya masa kini, cen-

derung tergantung pada permintaan pasar. Idealisasi,

inovasi dengan ide baru dan kreativitas mereka sering

terhambat karena takut tidak laku di pasaran. Sehingga

Page 152: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

dengan kondisi tersebut “jalan pintas” sering dilakukan-

nya, misalnya dengan jalan “mengkopi” atau “membajak”

produk-produk yang sedang laku dipasaran atau dengan

tetap bertahan pada produk tradisional. Sekalipun ada

kriyawan yang berusaha mencipta “produk kriya baru”,

itu pun hanya dilakukan oleh beberapa orang kriyawan,

seperti: Ide Bagus Nyana, I Nyoman Togog dan yang

lainnya. Dan banyak produk ciptaannya setelah dilem-

parkan di pasaran atau dipamerkan, juga tidak luput dari

konsekuensi tersebut.

Dalam proses penciptaan produk-produk kriya

dengan unsur eklektik yang ditujukan untuk para wisa-

tawan masa kini, terjadi “desakralisasi”. Maksudnya,

dalam proses penciptaan produk-produk tersebut yang

seharusnya disertai dengan upacara penyucian, tetapi

pada kenyataannya bagian tersebut sering ditinggalkan,

“dipaksakan” dan “diberanikan” demi untuk memenuhi

tujuan lain dengan alasan faktor ekomoni.

Kejadian tersebut, juga didorong oleh pihak peng-

usaha produk-produk kriya di Bali. Seperti dalam pem-

berian pesanan kepada para kriyawan, sikap mereka

cenderung menyandar pada kesiapan, kemampuan atau

keterampilan yang dimiliki para kriyawan untuk menger-

jakannya, sehingga pesanan tersebut sesuai dengan

keinginan konsumennya dan transaksi dapat berjalan

tepat pada waktunya. Dan permasalahan sudah diang-

gap selesai sampai di sana, karena mereka merasa

mampu memberi pelayanan yang memuaskan wisata-

Page 153: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

wan. Namun sikap tersebut, kalau dikaitkan dengan

konsep Catur Purus Artha yang dipakai landasan pem-

bangunan di Bali, jelas kurang relevan, karena dapat

menimbulkan arti hidup dan kehidupan yang tidak stabil.

Mereka tampak lebih mengutamakan Artha dan Kama

sebagai tujuan hidup, sehingga kesadaran untuk lebih

selektif terhadap makna atau nilai yang dikandungnya

terasa masih kurang.

2. Kajian Semiotis

Dari pembahasan pada Bab III dapat difahami,

bahwa produk-produk kriya yang diciptakan oleh para

kriyawan Bali di masa lalu, baik yang diciptakan pada

zaman pra-Hindu, maupun setelah mendapat pengaruh

kebudayaan Hindu dari Jawa Timur, ternyata eksisten-

sinya dapat menembus beberapa zaman dalam rentang

waktu sangat lama. Banyak di antaranya produk-produk

kriya tersebut merupakan karya puncak, sehingga sulit

dikembangkan lebih lanjut. Para pewarisnya dewasa ini

hanya mampu menduplikasikan dan menggunakannya.

Salah satu faktor yang menyebabkan produk-produk

tersebut dapat bertahan, karena dalam proses pencipta-

annya dilandasi dengan konsep-konsep perancangan

sangat mantap, komprehensif, kompleks, mengacu pada

norma-norma ajaran agama Hindu atau sistem keper-

cayaan umat Hindu di Bali dan dikerjakan dengan total

serta penuh pengabdian yang tulus.

Page 154: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dalam usaha perluasan gagasan desain produk

kriya masa kini, tampak produk-produk tersebut kem-

bali ditampilkan “secara eklektik” dengan menitikberat-

kan pada nilai estetis dan diklaim sebagai identitas

etnik Bali atau local genuine, dengan di sana-sini di-

adakan penambahan atau pengurangan yang diistilah-

kan sebagai ‘pengembangan’ dan tak jarang dibarengi

dengan tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai dengan

esensi konsep penciptaan di masa lalu.

Jika ditinjau kembali berdasarkan kajian semiotika,

dengan memandang peristiwa penciptaan dan penggu-

naan produk atau produk kriya di setiap zaman sebagai

fenomena bahasa, maka secara diakronis hasil pening-

galan tersebut, dapat dipakai sebagai tanda (sign) za-

man yang merepresentasikan sejarah perkembangan

aktivitas penciptaan dan penggunaan produk atau pro-

duk kriya dalam masyarakat Bali dari zaman ke zaman,

sedangkan secara sinkronis, hasil tersebut dapat dipakai

tanda (sign) yang merepresentasikan aktivitas pencip-

taan dan penggunaan produk atau produk kriya, pada

masing-masing penggalan zaman atau kurun waktu ter-

tentu. Pembahasan lebih rinci mengenai kajian semio-

tis, adalah sebagai berikut:

Sebelum penduduk Bali mendapat pengaruh ke-

budayaan neolitikum dan perunggu, memberi tanda da-

lam bentuk indeks, bahwa masyarakat di Bali saat itu,

dalam aktivitas penciptaan dan penggunaan produk

kriya tampak masih sangat sederhana, lebih ke arah

Page 155: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

makna denotasi, karena mereka bertumpu pada nilai

guna atau utilitas dan pragmatis, seperti batu dengan

karakternya yang keras diperlakukan untuk “menghacur-

kan” benda yang lebih lunak. Belum ada tanda-tanda

yang mengarah pada makna konotasi. Misalnya masa-

lah kenyamanan, keindahan produk maupun simbolisasi.

Hubungan struktur tanda tersebut menurut Semiotika

Saussure dapat digambarkan seperti Gambar 34 berikut

Gambar 34 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Sebelum Mendapat Pengaruh Kebu-

dayaan Neolitikum dan Perunggu)

Pada zaman selanjutnya, arah penciptaan dan

penggunaan produk-produk kriya tidak lagi terpaku pada

pertimbangan yang bersifat denotatif, melainkan sudah

memperhatikan hal-hal yang bersifat konotatif. Produk-

produk yang diciptakan, selain memiliki berfungsi se-

bagai alat, juga sudah memperhatikan nilai estetis dan

simbolis dengan latar atau konvensi yang dilandasi

dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti

kepercayaan alam gaib, roh atau kekuatan-kekuatan lain

Page 156: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

yang dimiliki oleh suatu benda yang dapat berpengaruh

terhadap kehidupan mereka atau fetishism.

Simbol-simbol tersebut diterapkan atau diwujudkan

dalam berbagai bentuk produk kriya, seperti berupa se-

buah nekara yang dibuat dengan perunggu. Pada pro-

duk kriya tersebut diterapkan relief berupa topeng yang

distilasi dari bentuk wajah manusia, dipakai sebagai

simbol roh nenek moyang mereka dan dianggap bertuah

atau mengandung nilai magis. Selain hal tersebut, juga

dipakai sebagai tanda atau simbol status sosial, misal-

nya pada penguburan mayat seorang tokoh masyarakat

dengan menggunakan sarkofagus. Penguburan dengan

cara tersebut, dilakukan sebagai simbol penghormatan

kepada tokoh yang meninggal. Hubungan produk-pro-

duk kriya sebagai tanda atau simbol dengan pengguna

tanda atau penanda (masyarakat Bali zaman Pra-Hindu)

dapat digambarkan seperti Gambar 35 berikut

Gambar 35 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Setelah Mendapat Pengaruh Kebu-

dayaan Neolitikum dan Perunggu

Page 157: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Pada Zaman Hindu menunjukan, bahwa dalam

aktivitas penciptaan dan penggunaan produk-produk

kriya dilandasi dengan konsep yang mengarah pada

makna konotasi atau asosiatif dengan latar atau ground

digali dari mitologi, ceritera-ceritera rakyat, filosofi,

kosmologi dan sebagainya yang bersumber pada ajaran

Agama Hindu. Diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol

sehingga produk-produk kriya tersebut tergolong karya

spiritual religius dan dianggap sakral yang digunakan

sebagai media untuk mempermudah membayangkan

sifat abstrak yang dimiliki Tuhan. Seperti produk-produk

kriya yang digunakan dalam upacara Odalan. Secara

semiotika relasi tanda dengan pengguna tanda pada

zaman tersebut, dapat digambarkan seperti Gambar 36

berikut,

Gambar 36 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Mendapat Pengaruh Kebudayaan

Hindu-Jawa Timur

Page 158: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Pada zaman Kolonial dan Kemerdekaan, kondisi

penciptaan dan penggunaan produk kriya di Bali memi-

liki kemiripan langgam atau tipe, baik tujuan, maupun

arah pengembangan yang dilakukan oleh para kriyawan

di Bali. Pada saat tersebut, penciptaan dan pengunaan

produk kriya pengalami perkembangan baru. Produk-

produk tersebut mulai dijadikan sebagai penunjang ke-

pariwisataan di Bali berupa cenderamata, elemen estetis

untuk menciptakan suasana tradisional Bali atau sebagai

digunakan komoditi ekspor.

Produk-produk kriya —terutama yang terkait pe-

ngamalan ajaran Agama Hindu di Bali— yang diciptakan

sebagai tanda dalam bentuk simbol-simbol dengan kon-

vensi budaya yang dilandasi nilai-nilai atau norma-norma

Agama Hindu yang telah mapan dalam masyarakat ma-

sa lalu. Namun dewasa ini, kadang kembali “dipilih” dan

ditata atau dipadukan dengan tanda lain. Jika kondisi ter-

sebut dikaji berdasarkan semiotika model “interteks-

tualitas” seperti yang dikembangkan oleh Kristeva, maka

dalam fenometa tersebut tampak terjadi “permainan pe-

tanda” yang menghasilkan petanda baru dengan kon-

vensi atau makna yang tidak jelas arahnya, subyektif,

pretensius, relatif dan bersifat temporal. Seperti tujuan

para kriyawan untuk menciptakan produk bermuatan lo-

kal atau dorongan para wisatawan untuk membeli suatu

produk (emotional product motives), seperti kebanggaan

(pride) memperoleh produk kriya lokal yang berciri khas

Bali dan dipakai sebagai tanda kenangan, bahwa mere-

Page 159: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

ka pernah mengunjungi pulau Bali, dianggap sebagai

suatu kepuasan atau prestise dan sebagainya. Selain

motivasi tersebut juga didorong keinginan untuk mencip-

takan lingkungan atau tata bangunan dengan nuansa

tradisional.

Petanda baru yang muncul tersebut hanya bersifat

subjektif yang “dihubung-hubungkan” atau hanya me-

rupakan suatu pretensi yang sama sekali tidak ada per-

talian petanda dengan ground simbol yang diterapkan

pada produk tersebut di masa lalu. Bahkan tindakan

tersebut dapat “merusak” atau memutuskan pertautan

petanda dengan penanda atau narasi yang sebenarnya.

Sebagai contoh, produk kriya berupa relief Garuda

Wisnu yang lazimnya diterapkan dibelakang Padmasan,

namun sekarang tampak diterapkan sebagai hiasan

façade. Pada façade tersebut tampak logo Bank BPD

diletakkan di atas dari simbol Garuda Wisnu. Dari kedua

tanda tersebut sama sekali tidak terjalin suatu kesatuan

makna. Masing-masing tanda atau simbol tersebut me-

nyiratkan makna tersendiri. Pada contoh tersebut, tam-

pak simbol Garuda Wisnu menjadi kehilangan makna,

janggal dan berkonotasi negatif karena terjadi diskre-

pansi antara tanda dengan petanda yang sebenarnya,

kalau dilihat dari tata letak kedua tanda tersebut, di

mana simbol Garuda Wisnu adalah terkait dengan ajar-

an Agama Hindu, dianggap sebagai lambang kebesaran

Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu, na-

Page 160: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

mun pada façade itu diletakkan di bawah logo yang cen-

derung berkonotasi tentang uang yang bersifat sekular.

Penempatan tersebut “asal pasang” dan hanya

didorong oleh suatu preferensi “pajang seni” semata,

tanpa memikirkan lebih jauh tentang pertalian petanda

yang terbentuk akibat penempatan simbol dan logo

tersebut. Tanpa disadari penempatan tersebut memba-

wa makna konotasi yang mengarah pada interprestasi

negatif. Meletakkan penghargaan terhadap nilai-nilai ke-

duniawian (uang dan investasi), kesenangan dan

kenikmatan (hedonisme) lebih tinggi dari nilai yang ber-

hubungan dengan ajaran ketuhanan. Berdasarkan kajian

dari sudut model semiotika “intertekstualitas”, maka se-

cara umum penciptaan produk kriya dengan unsur ek-

lektik dewasa ini di Bali dapat digambarkan pada Gam-

bar 37

Page 161: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Gambar 37 Perbandingan Relasi Tanda, Penanda dan Petanda (“Intertekstualitas”) Kaitannya Dengan

Fenomena Eklektik Unsur Produk Kriya Masa Lalu

Page 162: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini

Konsep pengembangan pariwisata di Bali berba-

sis budaya Bali. Sebenarnya di dalamnya secara implisit

tersirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal balik

atau symbiosis mutually beneficial relationship antara

pariwisata dengan kebudayaan Bali. Konsep tersebut

diharapkan dapat mengkonstruksikan interaksi yang

sangat erat antara pariwisata dan budaya Bali serta

dapat memberi peningkatan yang signifikan secara se-

rasi, selaras, dan seimbang. Di satu sisi menurut hasil

penelitian Kean (1973) maupun Geriya dan Erawan

(1993) membuktikan bahwa interaksi antara pariwisata

dan kebudayaan Bali, ternyata mendatangkan banyak

kemanfaatan atau beneficial bagi pengembangan ke-

budayaan Bali sekaligus pengembangan sektor eko-

nomi masyarakat. Namun di sisi lain banyak muncul

kekawatiran tentang nasib masa depan kehidupan ma-

syarakat dan kebudayaan Bali. Sejak 60 tahun yang

silam di kalangan para pengamat: budayawan, sosio-

log, antropolog dan seniman sudah memprediksi, bahwa

masyarakat Bali bersama kebudayaannya di masa-

masa mendatang akan mengalami perubahan besar

sebagai dampak maraknya perkembangan pariwisata.

Mereka mendeskripsikan, bahwa pariwisatalah yang

akan menjadi salah satu katalisator atau sebagai pe-

micu terjadinya perubahan sosial-budaya masyarakat di

Page 163: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Bali. Seperti, sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh

Miguel Covarrubias dalam bukunya berjudul Island of

Bali —“Isn’t Bali Spoiled ?”— sebagai kalimat pembu-

kaan dalam pembicaraan Modern Bali and The Future.

Pertanyaan tersebut diungkap sehubungan dengan

kekawatiranya akan kerusakan yang akan terjadi pada

seni budaya Bali sebagai akibat diperkenalkannya

menjadi daerah tujuan wisata oleh Pemerintah Koloni-

al Belanda saat tersebut (Covarrubias, 1937). Demi-

kian juga kekawatiran tersebut dimuat dalam buku

dengan judul: Republik Indonesia (Kepulauan Sunda

Kecil), pada paparan keadaan masyarakat dan kebu-

dayaan Bali yang diterbitkan pada tahun 1953.

Prediksi atau asumsi tersebut, ternyata dalam

beberapa dekade belakangan ini menjadi suatu fakta

yang tidak bisa dipungkiri lagi. Suatu dinamika baru

dan perubahan-perubahan struktural telah terjadi dalam

tatanan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali.

Hal tersebut juga terjadi dalam perluasan penciptaan

produk-produk kriya dan desain lainnya yang dilakukan

oleh para kriyawan atau desainer di Bali. Salah satunya

diakibatkan oleh eklektisme elemen estetis tradisonal

yang tak terkendali dalam penerapannya pada desain

produk masa kini. Berikut akan diuraikan mengenai

dampak yang ditimbulkan, baik pada produk masa lalu

maupun pada desain produk masa kini.

Page 164: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk Kriya

Masa Lalu

Dampak eklektisme terhadap produk kriya masa

lalu sebagai objek pilihan, secara tidak langsung akan

terganggunya konvensi yang mendasari objek yang

dipilih dan kemungkinan akan terjadi suatu pelunturan

nilai, “desakralisasi”, “deteriorasi”, “generalisasi”, ke-

simpangsiuran atau pengkaburan makna, terutama bagi

generasi pewaris kesepakatan tersebut. Secara visual

mereka akan semakin sulit untuk membedakan antara

produk kriya yang digunakan untuk sarana upacara

ritual di tempat suci dengan produk kriya yang dipakai

di tempat yang bersifat profan. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Jean Couteau, bahwa dampak dari

peran khas pariwisata Bali membawa pengaruh dan

perubahan yang tak terbatas. Keadaan tersebut tanpa

disadari dengan perlahan-lahan dapat mengikis alam

pikiran spiritual umat Hindu di Bali dan dapat terjebak

dalam kecenderungan efek komersial dari produk ter-

sebut.

Akibat dari tindakan tersebut, tanpa disadari da-

pat mengurangi rasa penghargaan atau pemahaman

spiritual terhadap makna atau nilai yang ditanamkan

pada produk kriya yang dianggap sakral tersebut, ka-

rena telah “diduplikasi” untuk dijadikan barang tontonan

biasa atau barang komoditi untuk pemenuhan kebu-

tuhan sekuler semata. Seperti: relief tinggi berupa

Bhoma, Garuda Wisnu dan sebagainya, sekarang ba-

Page 165: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

nyak ditiru dan diterapkan sebagai hiasan toko, kantor,

rumah tinggal dan bangunan umum lainnya. Rangda

dan Barong ket, banyak ditiru dengan tidak disertai

dengan “sakralisasi” dan dipakai pertunjukan khusus

untuk konsumsi para wisatawan, bahkan sengaja di-

pentaskan di hotel-hotel untuk menghibur para wisa-

tawan. Topeng Barong Ket juga dipakai sebagai peng-

hias ruangan boutique yang dipajang berdampingan

dengan busana yang dijual, seperti pada Gambar 38

berikut

Gambar 38 Topeng Barong Ket Diterapakan

Sebagai Hiasan Boutique

Ditinjau dari sudut semiotika, penerapan elemen

estetis tradisional secara eklektis tersebut dapat ber-

dampak terganggunya kestabilan antara tanda dengan

Page 166: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

petanda, karena terjadi suatu “mutilasi” struktur simbol

atau lambang dengan konvensi adat yang telah ma-

pan dalam kalangan umat Hindu di Bali. Terbentuk

kepingan-kepingan dan perpaduan tanda dengan pe-

tanda yang tidak jelas atau “mati”. interpretasi makna

menjadi simpangsiur dan terkecoh karena secara vi-

sual semakin sulit untuk membedakan antara produk

kriya sakral dengan profan. Seperti senjata nawa sanga,

produk kriya tersebut biasanya digunakan sebagai

hiasan di pura berupa bandrangan dan sekaligus se-

bagai simbol kekuatan para Dewa, namun kini semata-

mata diciptakan sebagai barang cenderamata untuk

konsumsi para wisatawan (lihat Gambar 29). Makna

konotasinya mengalami perubahan dan mengarah pada

nilai komersial.

2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain Masa Kini

Penerapan elemen estetis secara eklektik pada

desain masa kini yang dilakukan oleh para kriyawan

atau desainer di Bali masa kini, dalam upaya untuk

menciptakan karya yang bermuatan lokal atau dido-

rong oleh harapan agar dapat menciptakan suasana

tradisional Bali. Ternyata usaha tersebut tanpa disadari

dapat menimbulkan permasalahan yang mendasar.

Pada desain atau produk kriya yang diciptakan

dengan menerapkan elemen estetis tradisonal kadang-

kadang tampak “janggal”, “tertekan”, “terpaksa”, ber-

lebihan, mubasir dan dari perpaduan tersebut tidak

terjalin pertalian makna di antara tanda-tanda atau

Page 167: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

simbol-simbol yang diterapkannya. Dikaitkan dengan

konsep estitika yang melandasi strategi pembangunan

di daerah Bali, seperti telah dipaparkan pada bab pen-

dahuluan, kondisi tersebut jelas kurang relevan, sebab

pada produk-produk yang diciptakan sering terlihat ku-

rang selaras, kurang harmonis dan tidak seimbang.

Bahkan tak jarang melahirkan karya yang termasuk:

pastiche, parody, kitsch, atau camp. Sebagai contoh

dapat diamati pada penerapan elemen estetis produk

kriya tradisional, berupa relief garuda pada sebuah

façade toko sepatu bata seperti Gambar 38 berikut,

Gambar 38 Penerapan Relief Garuda Pada Façade Toko Sepatu Bata

Page 168: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Pada hiasan tersebut tampak elemen estetis ber-

bentuk garuda yang meniru dari bentuk Garuda Wisnu

dan penyuguhannya tidak dilengkapi dengan simbol

Dewa Wisnu. “Tangan” garuda dibuat menunjuk logo

sepatu bata dan posisi penempatan kedua elemen ter-

sebut sejajar secara horisontal.

Pada penampilan tanda tersebut tampak suatu

fragmen yang terbentuk dari hasil perpaduan dua, yaitu

antara simbol dengan logo. Disimak dari permaknaan,

maka keduanya sama sekali tidak terdapat pertautan

makna. Konsep penciptaan hanya didasari oleh suatu

pretensi menciptakan nuansa bagunan tradisional Bali.

Bentuk garuda tersebut sebenarnya merupakan pro-

duk kriya masa lalu yang khusus diterapkan pada

bangunan suci dan mengandung nilai filosofi yang

tinggi dan sebagai simbol kekuatan Tuhan. Namun kini

dipilih dan diterapkan begitu saja tanpa memikirkan

dampak negatif terhadap makna yang dikandungnya.

Mereka meminjam makna simbol garuda yang telah

mapan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali,

hanya sekadar untuk menunjukan logo sepatu bata

atau bertujuan untuk membangun imitasi image atau

citra rasa palsu (kitsch) dalam usaha membangun

keyakinan masyarakat konsumen, bahwa produk se-

patu merek bata sudah terpercaya, kuat dan sebagai-

nya, sampai-sampai simbol garuda yang masih di-

yakini oleh umat Hindu “digambarkan” memberi pe-

tunjuk tentang keunggulannya.

Page 169: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Peniruan dan perpaduan tersebut dapat dikata-

kan sebagai suatu produk kriya parodi, sebab pemilih-

an dan penerapannya merupakan suatu “pelesetan”

dari makna garuda yang sebenarnya. Narasinya ber-

sifat ironis dan kritis dalam artian mengecilkan makna

adiluhung yang terkandung dalam simbol garuda ter-

sebut. Selain hal tersebut, juga termasuk produk

pastiche dan camp. Pastiche, karena merupakan hasil

penyusunan elemen-elemen masa lalu yang melahir-

kan bangun tanda palsu yang berkonotasi negatif.

Simbol yang bersifat sakral dan terkait dengan ajaran

ketuhanan, kini “dipermainkan”, —dikombinasikan

dengan tanda atau simbol atau logo lain— dan di-

manfaatkan hanya untuk menunjukan merek sepatu.

Sedangkan terkait dengan fenomena camp, karena

dalam penampilannya bersifat mendaurulang bentuk

garuda yang merupakan hasil produk kriya masa lalu

dan diterapkan begitu saja, sehingga terkesan sen-

timentil terhadap simbol yang masih diyakini oleh umat

Hindu di Bali.

Contoh kasus sejenis lainnya, juga dapat diamati

pada penerapan elemen estetis produk kriya tradi-

sional berupa dua patung naga yang mengapit pintu

gerbang utama di lantai I di bawah selasar kantor se-

buah bank di Denpasar, seperti tampak pada Gambar

39. Bentuk hiasan tersebut merupakan penggayaan

dari bentuk naga hasil produk kriya masa lalu. Naga

tersebut sebenarnya merupakan hiasan sekaligus se-

Page 170: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

bagai simbol yang diterapkan pada bangunan suci

atau pelinggih di pura, seperti pada bangunan suci be-

rupa padmasana (lihat pada Gambar 12)

Gambar 39 Penerapan Patung Naga Pada Gerbang Utama Pada Lantai I Di Bawah Selasar Kantor Sebuah

Bank di Denpasar

Penerapan tersebut, termotivasi oleh keinginan

yang lebih mengutamakan segi artistik dibandingkan

substansi atau bobot dari elemen estetis produk kriya

masa lalu yang dipilihnya, sehingga berkesan berlebih-

an, absurd, glamor, dan tidak terbentuk pertalian makna

dengan tempat yang diberi hiasan tersebut. Nilai sim-

bolis terkait dengan ajaran kosmologi Hinduistis di Bali

dan dianggap sebagai benda sakral, namun pada pe-

nerapan tersebut berubah menjadi produk biasa, makna

atau nilai yang dikandungnya diimitasi dan dibuat-buat

atau sama sekali tanpa makna serta menengelamkan

Page 171: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

objek yang dijadikan sasaran eklektis. Secara semiotik

kondisi tersebut tidak mencerminkan hubungan antara

penanda dengan petanda dan dengan narasi yang tidak

jelas. Bangun tanda baru yang dianggap sah dengan

petanda yang tidak jelas. Usaha tersebut tanpa disadari

membawa dampak terjadinya pergeseran dan peluntur-

an nilai yang dikandungnya serta bersifat ironis kalau

ditinjau dari peletakan naga tersebut.

Penerapan produk tersebut dapat dimasukan se-

bagai fenomena-fenomena, seperti: pastiche, kitsch mau-

pun camp. Digolongkan sebagai fenomena pastiche, ka-

rena produk tersebut merupakan penyusunan elemen-

elemen yang dipinjam dari unsur produk kriya masa

lalu dan dalam penerapannya menimbulkan konotasi

negatif, seperti merendahkan penghargaan nilai simbolis

yang dikandung pada patung naga tersebut, disebab-

kan penenpatannya tidak sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang telah terkonvensi.

Sebagai fenomena kitsch, karena bentuk terse-

but merupakan peniruan dari elemen “seni tinggi” atau

high art yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri

dengan dibarengi tujuan palsu, misalnya untuk keme-

gahan, kebesaran, menciptakan suasana tradisional

dan sebagainya. Karya tersebut juga dapat digolong-

kan sebagai camp, karena dalam penerapan tersebut

hanya menitikberatkan pada penggayaan, dekorasi

atau segi artistik semata. Usaha penciptaan penerap-

an naga tersebut juga disertai dalih untuk menciptakan

Page 172: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

suasana tradisional Bali, sebenarnya kurang relevan

kalau dikaitkan dengan makna yang dikandungnya,

karena tanpa disadari dapat membawa dampak ne-

gatif —nilai simbolis yang dikandungnya menjadi se-

pele dan bahkan tanpa makna— terhadap konvensi

yang diyakini oleh umat Hindu di Bali.

Usaha-usaha seperti tersebut secara tidak lang-

sung juga dapat berdampak menghambat kreativitas

para kriyawan untuk berkreasi dan berinovasi, sebab

dalam proses penciptaannya hanya bersifat “mendaur-

ulang”, “menduplikasi” atau meniru, meramu dan ber-

orientasi pada elemen-elemen yang sudah ada. Me-

reka dalam proses pengerjaannya hanya mengandal-

kan keahlian tangan atau virtuosity semata untuk

menjadikan “mass product” dan didorong oleh keingin-

an pemenuhan kebutuhan para pengembang untuk

menciptakan suasana dengan citra tradisional Bali.

Selama ini tindakan-tindakan tersebut dianggap

sebagai sikap atau model pelestarian dan pengem-

bangan seni budaya Bali yang berkesinambungan. En-

tahlah ?. Untuk contoh kasus yang sejenis masih ba-

nyak terjadi di masyarakat. Untuk itu, bagi para pem-

baca yang tertarik silakan diabadikan lalu kita bahas

dari berbagai perspektif ilmu di lain kesempatan.

Terimakasih

Page 173: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

DAFTAR BACAAN

Ardana, I B. 1994. Data Bali Membangun. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.

Ariawati, S. N. M, 1992. Upakara Upacara, Denpasar: Upada Sastra.

Bagus, IGN, 1995. Budaya Bali Dalam Pertemuan dengan Budaya Dunia. dalam Bali Dipersimpang-an Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.

Baudrillard, J. 1981. For Critique of The Political of Economy of The Sign, USA: Telos Press.

Bija, I M. 1991. Aji Maya Sandi, Singaraja: Percetakan Guna Agung.

Buchori, I, Z. 1990. Aspek Desain dalam Produk Kriya. (makalah seminar). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta.

Cassirer, E. 1944. An Essay On Man, Yale University Press.

Couteau, J. 1995. Transformasi Struktural Masyarakat Bali Dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.

Covarrubias, M. 1972. Island of Bali. Oxford University Press / PT. Indra, Kuala Lumpur-Singapura-Djakarta

Cudamani, 1990. Apakah Upacara Baten Masih Perlu?. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

____,1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti

Page 174: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali.

Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Kecil, 1953. Republik Indonesia (Sunda Ketjil). Singaraja: Ke-menterian Penerangan.

Eco, U. 1979. A Theory Of Semiotika. Indiana University Press, Blomington.

Encyclopaedia Britannica, 1995. CD-ROM 2.0Freed dan Eiseman, Margaret, 1988. Woodcarving of Bali. Berkeley - Singapore: Periplus Editions.

Encyclopedia of World Art,1963. New York, Toronto, Lodon: McGraw-Hill, Book Company, Inc.

Frutiger, A.1989. Signs and Symbols (Their Design and Meaning). West Germany: Weiss Verlag Gmbh, Studio Edition.

Gambar, I M, tt. Buku Paider-ideran dengan Gambar Dewata Nawa Sanga dan Jimat-Jimatnya.

Gelebet, N. 1981/1982. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebuda-yaan Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Ke-budayaan Daerah.

Geriya, W. 1993. “Pariwisata dan Segi Sosial Budaya Masyarakat Bali” dalam Kebudayaan dan Ke-pribadian Bangsa (Tjok Sudharta, dkk. Ed.). Den-pasar: Upada Sastra.

Gie, T.L. 1976. Garis-Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya Yogyakarta.

Page 175: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Ginarsa, K. 1997. Gambar Lambang. Denpasar: CV. Kayumas.

Goris, R. 1951. Atlas Kebudayaan Bali. Jakarta: Pe-meritah Republik Indonesia.

Gottschalk, L.1969. Mengerti Sejarah: Pengantar Me-tode Sejarah (terjemahan). Jakarta: Yayasan Pe-nerbit Universitas Indonesia 1975.

Hartoko, D. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Ka-nisius.

Hornby. AS. 1989. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, fourth edition. Oxford: University Press.

Hutcheon, L. 1985. A Theory of Parody. London: Methuen.

Jencks, C. 1987. The New Classicism in Art and Architecture. London.

Jessup, H I.1990. Court Art of Indonesia. New York: The Asia Society Galleries.

Joedawinata, A. 1990. Sejarah dan Pendidikan Kriya di Indonesia.(Makalah Seminar Kriya). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta.

Kadjeng, I. N, dkk, 1993. Sarasamušcaya. Jakarta: Hanuman Sakti.

Kaler, I, N, tt. Krakah Modré Aji Griguh, Denpasar: -

Kartodirdjo, S. Dkk, 1976. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Grafitas.

Kean, MC. Frick. P. 1973. Cultural Involution: Tourist Balinese and the Processs of Modernization in

Page 176: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Antropological Perspective (Disertation Ph.D.) USA: Anthropology. Brown University

Kempers, A.J. Bernet. 1960: Bali Purbakala (disalin oleh: R. Soekmono). Jakarta:PT. Penerbitan dan Balai Buku “Ichtiar”

Kerepun, I MK, 1995. Bali dan Ekspor Hasil Kerajinan. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bu-ngan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.

Koentjaraningrat, 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: (red) Jambatan.

____, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Angkasa Baru

Kridalaksana, H. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka

Kristeva, J.1979. Desire in Laguage: A Semiotic Approarch to Literature and Art. Oxford: Basil Blackawell

Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Singaraja: Koleksi Gedong Kertya.

Mantra, I B. 1976. Darsana Bali. Denpasar: Universal Press.

____,1988. Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Daerah Bali dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas. Denpasar: (makalah pada Simlok Penelitian Menyongsong Tinggal landas, 1-2 Nopember 1988.

____, 1993. Bali: Masalah Sosial Baudaya dan Modernisasi. Denpasar: PT. Mahabhakti Offset.

Page 177: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Mirsa, R, 1988. Peristiwa Sejarah dan Peristiwa Nos-talgia. (dalam Puspanjali, sebuah Bunga Rampai). Denpasar: CV. Kayumas.

Moeliono, et al, 1994. Kamus Bahasa Besar Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka

Monier, S M. William, 1963. A Šanskrit English Dictionary. Oxford : The Clarendom Press.

Museum Negeri Propensi Bali, 1993/1994. Pameran Topeng Tradisional Bali & Jawa Barat (Katalog Pameran). Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebuda-yaan Museum Negeri Propinsi bali.

Nala, IGN. 1991. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra.

Namawi, H. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ngurah, I G M. 1995, Doa Sehari-Hari Menurut Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.

Nyoka, 1990. Sejarah Bali, Denpasar: Toko Buku Ria.

Oka, I. B. 1991. Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (laporan Seminar. Bandung, 8 Pebruari 1991) Bandung: Panitia Seminar.

Parisada Hindu Dharma. 1982/1983. Himpunan Kepu-tusan (SeminarKesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma.

Pemda. Tk. I Bali. 1982/1983. Kamus Kecil Sanse-kerta-Indonesia, Denpasar: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan.

Page 178: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Pendit, 1988. Bhagavad-Gîtã. Jakarta: Hanuman Sakti.

____,1993. Aspek-aspek Agama Hindu, Seputar Weda dan Kebijakan: Jakarta : Manikgeni.

Pindha, I G. N. 1973. Pola dasar Kebijaksanaan Pembinaan Kebudayaan Daerah Bali. Denpasar: Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebuda-yaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Wisma “Praja Mukti”

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Putra, A.A.A. G, 1991/1992. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidik-an dan Kebudayaan Diretorat Jenderal Kebuda-yaan, Derektorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisi-onal, Bagian Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.

Raka, I B. 1977/1978. Jajahitan Bali serta Fungsinya Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.

Santog, S. 1992. Notes on “Camp”. (Againts Interpreta-tion). New York: Anchor Books.

Santosa, P. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkaji-an Susastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Sara, S. G, 1994. Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.

Simpen, W. 1975. Sejarah Wayang Parwa, Serba Neka Wayang Kulit. Denpasar: Listibya Daerah Bali.

Page 179: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Singging, W. I N. 1993. Ngodalin pada Sanggah Pemrajan. (Upacara-upakara, Hakekat dan Makna serta Arti Simbol-simbol)

Soedarso, Sp, 1990/1991. Seni Rupa Indonesia Da-lam Masa Prasejarah. Bandung: Panitia Pameran KIAS 1990/1991, Committee of Festival of Indo-nesia.

____, 1988, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Suku Dayar San, Yogyakarta

Soejono, R.P, 1975. Jaman Prasejarah Indonesia. (Sejarah Nasional Indonesia I). Jakarta: Balai Pustaka.

Soeka, G, 1986.Trimurti Tattwa. Denpasar: CV. Kayu-mas.

Soekanto, S, 1985. Kamus sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.

Soeroso, M.P, 1988. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Bali Kuna. Jakarta: PT. Gita Karya.

Suasthawa, D. I. M. 1990. Hubungan Adat Dengan Agama dan Kebudayaan. Denpasar: CV. Kayu-mas.

Sudartha, T. R. at al, 1991. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

Sudjiman, P.1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Sugriwa, I G B, tt. Seni Budaya Hindu-Bali, dimuat dalam Majalah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbitan Kebudayaan.

Page 180: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Sura, I G. 1991. Agama Hindu (Sebuah Pengantar). Denpasar: CV. Kayumas.

Surayin, I A P, 1991. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra

Surpha, I W, 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Sutaba, I M. 1980. Prasejarah Bali. Denpasar: B.U. Yayasan Purbakala Bali.

Suwondo, B.1977/1978. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi Bali, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Titib, I M. 1995. Garuda, Burung Merah Putih (dimuat dalam surat kabar Nusa Tenggara, Kamis, 31 Agustus 1995)

____,1989. Pengertian Pura dan Bangunan Suci di Bali. Denpasar: Yayasan Panti Asuhan Hindu “Dharma Jati”

Tjahjono, G. 1980. Desain dan Merancang: Penjela-jahan Suatu Gagasan, Architrave

Tonjaya, I N. G. B. K. 1987. Kanda Pat Dewa, Denpasar:Toko Buku Ria.

____,1982. Lintas Asta Kosali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku Ria.

Transkrip Lontar Šiwa Tattwa, Singaraja: Koleksi Gedong Kertya.

Transkrips Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Koleksi Gedong Kertya, Singaraja.

Page 181: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Van Zoest, A, 1993. Semiotika. (Tentang Tanda, Cara Kerja dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya), (terjemahan). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Wardana, IB. R, 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.

Webster, M. 1983. Webster,s Collegiate Dictionary, USA

Wiana, I K, 1995. Penataan dan Perlembagaan Agama Hindu di Bali. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai) Jilid: 1. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.

Widyatmanta, S. 1958. Adiparwa. Yogyakarta: Pener-bit dan Toko Buku “Spring”.

Wikipedia ,2010 Kamus Bahasa Indonesia online [cited 2010 Maret 18] Available at: URL: http: //id.wikipedia.org/wiki/Kerajinan

Wiryatmadja, S, 1981. Memahami Cerita Rekaan Secara Semiotika. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Wojowasito, S. 1977. Kamus Bahasa Kawi-Indonesia. Jakarta: CV. Pengarang.

Yasraf, A, P. 1994, Decoding Postmodern Style (Submitted for a Mater Degree in Industrial Design) London: The London Institute Central Sain Martns College of Art and Design

____, 1994. Tamasya di Antara Keping- keping Masa Lalu, (dimuat dalam Jurnal Kebudayaan Kalam edisi: 2-1994). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Page 182: Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisonal Bali Secara Eklektik

Yudha Triguna, IB, 1994. Pergeseran dalam Pelak-sanaan Agama Menuju Tattwa. Dalam “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Sebuah Ontologi). Denpasar: Penerbit-BP. Denpasar.

Yudoseputro, W, 1983: Seni Kerajinan Indonesia. Jakarta: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Derektorat Pendidikan Me-nengah Kejuruan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zimmer, H, 1946. Myth and Symbols in Indian Art and Civilization. New York: Haeper Torchbooks The Bolingen Library.