con- tents is a... · adalah pameran karya seni yang memperlihatkan hubungan pribadi seniman dengan...
TRANSCRIPT
Ketem
u Project@
Um
a Seminyak
Featu
red A
rtists
Budi Agung K
uswara (K
abul) & I K
omang Sudiarta (Loster) (ID
)
koloWn &
Cheryl A
nn Mansing, D
an Robert Cabahug, Erica Psyche
Descartin &
Jefferson Ursal (PH
)
Mary Bernadette Lee &
Tamim
i Pohan (SG)
Sliz & K
elvin Cheah (M
Y)
11 Jan -2 Feb 2020
©2020. All right reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without prior permission of the copyright holder. Copyright of the artworks belong to Ketemu Project and their respective artists and essays to respective authors.
Published in conjunction with the exhibitionNow IS A GooD TIMe11 Jan - 2 Feb 2020 @ Uma Seminyak
For more details contact [email protected]
CuratorTulika Ahuja
Artistic DirectorsBudi Agung Kuswara & Samantha Tio
Operations ManagerAgung Dewi
TranslatorIntan Saraswati
Graphic DesignersGamaliel W. Budiharga & Hirzi A. ZakyKotasis 333, Surabaya, Indonesia
PhotosKetemu Project & respective artists
PublisherKetemu Project
DiGiTAl eDiTiOn
3
Introduction/ Pengantar 4
The Journey/ Sebuah Perjalanan 10
About the Artworks/ Tentang
Karya 20
About the Collaboration/ Tentang
Kolaborasi 50
Special Thanks/ Terima Kasih
Kepada 86
CoN-TeNTS
Daftar Isi
4
INTro-DUC-TIoN
Now IS A GooD TIMe
Pengantar
5
Now IS A GooD TIMe is an exhibition of artworks that reveal the artists varied personal relationships with mental and physical disabilities. Developed from a four-month collaboration between differently-abled artists, observations about society, family and themselves are presented, and the audience is invited to partake in the conversation.
Mary Bernadette Lee approaches disability by analysing the support systems offered by family and one’s own consciousness in her mixed-media installation with Tamimi Pohan. Artists Budi Agung Kuswara (Kabul) and
INTroDUCTIoN
6
Loster, along with Sliz and Kelvin analyse the function of society and its clout over individual ability. For koloWn, time serves as a catalyst for ideas for the future as they present an open-source tech prototype for accessibility inspired by their deaf collaborators, students from San Remigio Central Elementary School.
The function of art is questioned as the artists take on roles as facilitators, researchers and developers. Should art provide solutions for inclusivity? Or is it enough for art to provide reasons for collaboration amongst people of different abilities?
Acknowledging that we have a long way to go still in navigating disability, the exhibition invites you to consider that there is no better time to steer than the present.
Now IS A GooD TIMe
7
Now IS A GooD TIMe adalah pameran karya seni yang memperlihatkan hubungan pribadi seniman dengan disabilitas mental dan fisik. Tercipta melalui kolaborasi seniman-seniman difabel selama empat bulan, pameran ini menampilkan pengamatan mereka tentang masyarakat, keluarga, serta diri mereka sendiri, dan tentu saja pengunjung diajak untuk ikut membicarakan tentang hal ini.
Mary Bernadette Lee melakukan pendekatan disabilitas melalui analisis terhadap dukungan-
PeNGANTAr
8
dukungan yang diberikan anggota keluarga dan kesadaran individu itu sendiri, yang diwujudkannya dalam bentuk instalasi dalam berbagai macam media dengan kolaboratornya, Tamimi Pohan. Seniman Budi Agung Kuswara (Kabul) dan Loster, begitu pula Sliz dan Kelvin, mengkaji fungsi-fungsi sosial dan pengaruhnya pada kemampuan diri seseorang. Untuk koloWn, waktu adalah katalisator atas ide-ide untuk masa depan sebagaimana mereka menyediakan sebuah prototipe teknologi untuk aksesibilitas yang dapat dikembangkan secara terbuka, terinspirasi dari kolaborasinya dengan rekan-rekan Tuli.
Fungsi seni dipertanyakan sebagaimana seniman memiliki peran sebagai fasilitator, peneliti, dan pengembang. Apakah seni harus menyediakan solusi dalam hal inklusivitas? Atau seni hanya cukup
Now IS A GooD TIMe
9
berperan sebagai pemberi alasan untuk berkolaborasi dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang berbeda?
Menyadari bahwa jalan kita masih sangat panjang, pameran ini mengundang Anda untuk berpikir kembali bahwa tidak ada waktu yang lebih baik dibandingkan saat ini.
PeNGANTAr
10
Now IS A GooD TIMe
THe JoUr-NeY
Sebuah P
erjalanan
by Tulika Ahuja
Ketemu Project Curator-in-Residence
11
THe JoUrNeY
Now IS A GooD TIMe was built on the idea of collaboration.
I got introduced to Sam (Samantha Tio “Mintio”), the co-founder of Ketemu Project through a few online exchanges in June 2019. She explained Ketemu Project’s socially-driven work and their efforts to include differently-abled people in the creative economy. In July 2019, I came on as a curatorial resident to research disability-led practices for making art. Starting in Bali with the Ketemu team’s support, led by Sam, I was tasked to activate differently-abled artist pairings from selected Southeast Asian countries to create movement towards a more conscious creative economy.
It was my first encounter with disability. Esme Wang’s The Collected Schizophrenias was a prelude to the questions I would project outwards to society and medicine, but navigating the
12
Now IS A GooD TIMe
language of disability meant confronting myself in so many ways.
Over many late night arak sessions with Kabul and early morning visits to Rumah Berdaya with him and his co-artist Loster, I developed exploratory ideas for the directions I could seek in my research. I was particularly interested in why art was the glue for collaborations between differently-abled people. Beyond its therapeutic and economic powers, what sort of conversations and discussions could art generate? At the same time, I was bogged down with more operational questions of how collaborations between the artist pairs would take place.
In one heated GoJek taxi conversation with Sam, we argued about what responsibilities a co-artist should carry in a collaborative partnership. Talking through opportunities, artistic intent and the practicalities of an artist career, my research opened up to more psychological
13
grounds in relation to the physical and mental self.
With the superstars that agreed to come on board this project - Mary and Tamimi, Sliz, Kelvin and Hartini, koloWn, Michelle and the four SPED students, Kabul and Loster; my understanding of what it meant to be an artist grew. I saw these artists oscillate between non-artist roles - as facilitators, developers and social planners. The artists each had their own methods to reach the common goal of producing work with their co-artists.
What this work carries is depth in its collaboration - between humans of various abilities and differently-wired chemical compositions, as well as with time, physical materials, the natural and built environment, and circumstance.
I don’t see this exhibition as an end, although certain works come full circle. This project is a point in a journey that can go many different
THe JoUrNeY
14
ways for us, all at the same time. Its nature of public presentation - in Seminyak, where people from all across the world wander - brings unpredictability and a chance for anyone to carry the baton forward. There is hope that the works offer permanence instead of transience.
* TUlIKA is a curator and writer interested in the intersection of urban art, technology and accessibility. Her curatorial practice reflects on worldbuilding, often drawing on sensorial touch points to activate viewers of art. Practicing from Singapore’s innate competitive environment, she is especially driven by collaboration and cross-disciplinary experiments.
Since 2016, she has worked with arts and culture practitioners in various programming and mentorship capacities. These include Kult, The MeshMinds Foundation, Singapore International Film Festival, Goethe-Institut, Singapore Art Museum, The Projector and Singapore Writers Festival. Her writing on film is featured in the National Museum Cinematheque Quarterly and Asian Film Archive. Tulika graduated with a degree in Mass Communications and Art History from Nanyang Technological University.
Now IS A GooD TIMe
15
Now IS A GooD TIMe dibangun dari ide kolaborasi.
Saya kenal Sam (Samantha Tio “Mintio”), salah satu pendiri Ketemu Project, melalui beberapa kali pertemuan secara daring pada Juni 2019. Sam menjelaskan program Ketemu Project yang tergerak secara sosial dan upayanya dalam melibatkan rekan-rekan difabel da-lam ekonomi kreatif. Pada Juli 2019, saya bergabung dalam program residensi kurator, untuk meneliti aktivitas berkesenian yang dilakukan teman-teman disabilitas. Diawali di Bali, dengan dukungan tim Ketemu Project yang dipimpin Sam, saya ditugaskan untuk menggerakkan pasangan-pasangan seniman difabel yang terpilih dari beberapa negara di Asia Tenggara, dalam rangka membuat suatu gerakan menuju ekonomi kreatif yang lebih sadar dengan isu-isu sekitar.
Ini adalah pertemuan pertama saya dengan disabilitas. The Collected
THe JoUrNeY
16
Schizophrenias karya Esme Wang men-jadi pertanyaan pembuka yang saya pro yeksikan ke masyarakat dan obat-obatan, tetapi dengan turun tangan ke dalam bahasa disabilitas, berarti juga menghadapkan diri saya sendiri dengan berbagai situasi.
Setelah melewati banyak malam dengan sesi arak bersama Kabul dan kunjungan pagi-pagi ke Rumah Berdaya bersamanya dan Loster, saya mengembangkan ide-ide eksplorasi yang membantu mengarahkan penelitian saya. Saya secara spesifik tertarik tentang mengapa seni menjadi perekat untuk kolaborasi bersama orang-orang difabel. Terlebih dari kekuatan terapi dan ekonomi, percakapan dan diskusi apa saja yang bisa diciptakan seni? Di waktu yang sama, saya terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan operasional seputar bagaimana cara pasangan-pasangan seniman tersebut berkolaborasi.
Now IS A GooD TIMe
17
Dalam suatu percakapan yang intens dengan Sam di dalam taksi GoJek, kami berdebat mengenai tanggung jawab apa yang harus dimiliki rekan seniman demi terbentuknya kerja sama yang kolaboratif. Berbicara melalui peluang, intensi artistik, dan aspek-aspek praktik seni dalam karir seorang seniman, penilitian saya lebih terbuka kepada basis psikologi dalam hubungannya dengan fisik dan mental seseorang.
Dengan seniman-seniman bintang yang tergabung dalam proyek ini – Mary dan Tamimi; Sliz, Kelvin, dan Hartini; koloWn, Michelle, dan empat orang siswa SPED; Kabul dan Loster – pemahaman saya tentang arti menjadi seorang seniman berkembang. Saya melihat peran seniman-seniman ini mengambang antara peran non-seniman, seperti menjadi fasilitator, pengembang, dan perencana program-program sosial. Tiap seniman memiliki metodenya masing-masing
THe JoUrNeY
18
untuk mencapai tujuan yang sama dalam menciptakan karya dengan rekan senimannya.
Apa yang dibawa karya-karya ini terletak jauh di dalam kolaborasi itu sendiri – di antara manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan komposisi kimiawi yang tergabung dengan berbagai cara, juga dengan waktu, material fisik, lingkungan alami dan buatan, serta keadaan sekitar.
Saya tidak melihat pameran ini hanya berhenti di sini saja, walaupun beberapa karya telah membentuk satu lingkaran penuh. Proyek ini menjadi titik poin suatu perjalanan yang dapat mengarah ke mana saja di dalam waktu yang bersamaan. Itu adalah sifat alami dari suatu publikasi – di Seminyak, tempat di mana orang dari belahan dunia mana pun datang untuk berjalan-jalan – membawa ketidakpastian dan kesempatan bagi siapa saja untuk membawa tongkat estafet ini. Ada harapan agar karya-karya bersifat kekal, bukan fana.
Now IS A GooD TIMe
19
THe JoUrNeY
* TUlIKA adalah seorang kurator dan penulis
yang tertarik dengan urban art, teknologi, dan
aksesibilitas. Praktik kuratorialnya merefleksikan
perkembangan dunia, seringkali menjamah
pada titik sentuh sensor untuk membangunkan
penikmat seni. Berlatih dari lingkungan kompetitif
bawaan Singapura, ia secara khusus tergerak oleh
kolaborasi dan eksperimen lintas ilmu.
Sejak 2016, Tulika telah bekerja sama dengan
pelaku di bidang seni dan budaya dalam berbagai
program dan pembinaan. Kult, The MeshMinds
Foundation, Singapore International Film Festival,
Goethe-Institut, Singapore Art Museum, The
Projector, dan Singapore Writers Festival termasuk
di dalamnya. Narasi filmnya turut ditampilkan di
National Museum Cinematheque Quarterly dan
Asian Film Archive. Tulika merupakan alumni
dari Nanyang Technological University, Jurusan
Komunikasi Masa dan Sejarah Seni.
20
Now IS A GooD TIMe
AboUT THe ArT-worKS
Tentang Karya
21
IMAGe CreDIT: KolowN, 2019
Bituon Project 2020
koloWn PH
AboUT THe ArTworKS
bITUoN ProJeCT (2020) Sound reactive installation, internet, cpu, microphone, keyboard, projector, screen
22
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Bituon Project: Plate 5 (2020)
Now IS A GooD TIMe
23
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Bituon Project: Plate 7 (2020)
AboUT THe ArTworKS
PlATe 1 - 10 (2020)koloWn (Philippines)Photographic print on bond paperEditions: 1, signed21.6 cm x 27.94 cm
24
THIS installation is created in collaboration with students of SPED (Special Education) at San Remigio Central Elementary School: Cheryl Ann Mansing, Dan Robert Cabahug, Erica Psyche Descartin, Jefferson Ursal and their teacher Michelle Gabisan.
Bituon Project is a prototype for the deaf to navigate the future. Meaning ‘stars’ in Visayan, bituon is a reference to way-finding using the sight of stars and light. The project is motivated by koloWn’s belief that we live in a time where technology is enabling our science fiction reality.
Now IS A GooD TIMe
25
The installation picks up sounds, translating them on screen through random colour, patterns and tempo. The patterns are generated by a live collaboration between machine and audience, as well as pre-programmed human input. The sound-reactive installation is programmed to the world-wide-web, active 24 hours a day and is accessible by anyone worldwide.
Many use-cases are imagined for this prototype, the first being programmed onto smart glasses that can be worn by the deaf to respond better to common sounds in public spaces, such as honking.
On a macro level, Bituon Project is an exploration of technology’s supporting role towards human ability and non-ability. It questions whether technology will continue to balance us out as we move into the future.
AboUT THe ArTworKS
26
INSTAlASI karya ini merupa-kan hasil kolaborasi koloWn dengan beberapa sis wa SPED (Special Education) di San Remigio Central Elementary School: Cheryl Ann Mansing, Dan Robert Cabahug, Erica Psyche Descartin, Jefferson Ursal, dan guru mereka Michelle Gabisan.
Bituon Project adalah suatu prototipe untuk Tuli dalam menavigasikan masa depan. Memiliki artian “bintang” dalam bahasa Visaya, bituon mereferensikan astrologi dan pencarian jalan dengan menggunakan rasi bintang. Penciptaan karya ini didorong oleh keyakinan koloWn bahwa saat ini kita hidup di suatu masa dimana teknologi memungkinkan fiksi sains menjadi kenyataan.
Now IS A GooD TIMe
27
Karya instalasi ini menangkap suara dan mentransmisikannya ke dalam layar, dalam bentuk warna, pola, dan tempo. Pola-pola ini tercipta dari kolaborasi langsung antara kerja mesin dan penggunanya, yang tentunya sebelumnya telah diprogram. Karya ini diprogram untuk tersambung dengan world-wide-web yang aktif sepanjang hari dan dapat diakses oleh siapapun secara global.
Banyak penggunaan yang dibayangkan melalui prototipe ini, pertama, ini diprogram dalam suatu kacamata pintar yang dapat digunakan Tuli untuk dapat merespon lebih baik pada suara-suara yang secara umum terdengar di ruang publik, seperti suara klakson.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bituon Project juga bisa disebut sebagai suatu aksi mengeksplorasi teknologi dalam mendorong kemampuan atau ketidakmampuan seseorang. Prototipe ini mempertanyakan apakah teknologi dapat mengimbangi kita seiring dengan langkah kita menuju masa depan.
AboUT THe ArTworKS
28
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Rumahku Sayang, 2020
Now IS A GooD TIMe
Rumahku Sayang 2020
(‘Dearest Home’) Mary Bernadette Lee & Tamimi Pohan SG
29
IMA
Ge
Cre
DIT
: KeT
eMU
Pro
JeC
T
AboUT THe ArTworKS
rUMAHKU SAYANG (2020) Mixed-media installation of drawings on paper, table, chairs, wheelchair, cardboard, newspaper, glue, paint, toy car, krupokSizes variable
30
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Blind contour drawings, 2019
Now IS A GooD TIMe
31
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Evolution of Chip, 2015 - 2019
AboUT THe ArTworKS
32
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Adventures of Tamimi and Chip, 2019
Now IS A GooD TIMe
33
RumAhku Sayang is the exploration of poetic and imaginative spaces that create joy, safety and security. The installation by Mary Bernadette Lee attempts to delve into Tamimi’s mindscape, and along with it the various nuances of transition in his evolution as a son, a brother, a friend, and most importantly, a person.
The installation spans their five-month journey of art-making during which Mary introduced various exercises to Tamimi as a way of exploring identity, self and ideas of home. Journeying these spaces allowed Tamimi to
AboUT THe ArTworKS
34
understand and see himself in a new light. He brought newfound energy to the relations with the people close to him, as well as to his own self-perception and imagined narratives.
Rumahku Sayang traverses this recent past, reminisces the older past, celebrates the present and projects hope into the future. It is an encapsulation of a young man’s growing sense of belonging to the worlds he sees.
You are invited to sit at the family dining table with the artists, just as Mary did in collaborating with Tamimi on this project.
Now IS A GooD TIMe
35
RumAhku Sayang adalah sebuah eksplorasi puitis dan ruang imajinatif tentang kebahagiaan, keselamatan, dan keamanan. Hal ini mencoba untuk mempelajari area imajinasi Tamimi, dengan menyoroti nuansa transisi sebagaimana Tamimi berkembang; sebagai seorang anak, saudara, teman, dan yang terpenting sebagai individu itu sendiri.
Selama lebih dari lima bulan, Mary memperkenalkan berbagai metode berkesenian dan praktik-praktik menggambar untuk Tamimi dalam mengeksplor diri, identitas, dan gagasan tentang rumah tinggal.
AboUT THe ArTworKS
36
Melalui ruang-ruang ini, memungkinkan Tamimi untuk memahami dan melihat dirinya sendiri dalam pandangan yang baru terkait hubungannya dengan orang-orang disekitarnya dan imajinasi naratif dimana ia tinggal.
Rumahku Sayang melintasi berbagai masa, suatu bentuk kenangan masa lalu, perayaan untuk masa kini, dan proyeksi masa depan yang penuh dengan harapan. Karya ini adalah ringkasan tentang bagaimana pertumbuhan rasa memiliki pada dunia tempatnya ia, seorang laki-laki muda, berada.
Anda diundang ke meja makan keluarga - seperti bagaimana Mary dengan keluarga Tamimi selama kolaborasinya.
Now IS A GooD TIMe
37
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Survival Instinct, 2020
SUrvIvAl INSTINCT (2020) Cyanotype and ink on cotton paper57 cm x 45 cm, framed
Survival instinct 2020
Budi Agung Kuswara (Kabul) & Loster ID
AboUT THe ArTworKS
38
IMA
Ge C
reDIT: K
eTeMU
ProJeC
TNow IS A GooD TIMe
39
AboUT THe ArTworKS
THIS artwork is the result of collaborative conversation about Bali’s changing landscape. Kabul and Loster’s personalities, humor and fears come through in this recording of their observation and personal experience with the shift towards a more tourist-dependant economy.
Observation and recording of environments is an exercise commonly used in art therapy amongst schizophrenic patients. By comparing physical drawings to their actual environment, patients can identify their imagination, hallucinations and reality.
40
Survival Instinct challenges these boundaries between documenting and perceiving. It brings the many roles of art into focus - to record, provoke and spark conversation - for both the artist and the audience.
Separately, from an aesthetic perspective, this artwork could also be read as a metaphor. What may appear to be high functioning and put-together on the surface may not be so on the inside. Such is the nature of an invisible disability like schizophrenia, which can consume a person whole on the inside while projecting a perfect outer appearance.
Now IS A GooD TIMe
41
KArYA seni ini merupakan hasil dari percakapan kolaboratif tentang perubahan pemandangan di Bali saat ini. Kepribadian, lelucon, serta kekhawatiran Kabul dan Loster tercermin dalam observasi dan pengalaman pribadi mereka, dengan adanya perpindahan Bali menuju pada ekonomi yang bergantung pada turis.
Praktik observasi lingkungan ini sering digunakan pada terapi seni yang dijalani oleh penyandang skizofrenia. Dengan mem-bandingkan bentuk fisik karya lukis mereka dengan lingkungan yang sesungguhnya, penyandang skizofrenia dapat mengidentifikasi imajinasi, halusinasi, dan realitas mereka.
AboUT THe ArTworKS
42
Survival Instinct mengkaji batasan-batasan antara mendokumentasikan dan mempersepsikan sesuatu. Karya ini membawa banyak peran seni ke dalamnya - untuk merekam, memprovokasi, dan memicu diskusi - untuk seniman dan juga publik.
Di samping itu, dilihat dari sisi estetika, karya ini juga berperan sebagai metafora. Yang terlihat dari luar berfungsi dengan baik, belum tentu pula di dalamnya. Seperti dengan sifat alami skizofrenia yang tidak tampak dari luar, yang dapat menguasai seutuhnya keadaan dalam diri seseorang sementara penampilan luarnya terlihat seperti tidak ada sesuatu hal yang salah.
Now IS A GooD TIMe
43
Sarana Seniminda 2020
Sliz & Kelvin Cheah MY
IMA
Ge
Co
UrT
eSY
of
THe
ArT
ISTS
. Sar
ana
Seni
min
da:
Cor
etan
Pri
ma
02 (P
rim
e Sc
ribb
lings
), 20
20
AboUT THe ArTworKS
44
ArCA 01 (SCULPTURE)Metal and Glass2500 cm x 700 cm x 1300 cm
ArCA 02 (SCULPTURE)Metal and Glass1500 cm x 300 cm x 1400 cm
CoreTAN PrIMA 01 - 03 (PRIME SCRIBBLINGS)Graphite and paper collage on wood panel50 cm x 37.7 cm
MoDel berSKAlA 01 - 03 (1:30) (SCALE MODEL)Balsa Wood, Aluminium Sheet, Glue Sizes Variable
ArKIb lAKArAN (SKETCH ARCHIVE)Mixed media on paperSizes Variable
Now IS A GooD TIMe
45
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Sarana Seniminda: Arkib Lakaran (Sketch Archive), 2020
IMAGe CoUrTeSY of THe ArTISTS. Sarana Seniminda, 2020
AboUT THe ArTworKS
46
APProACHING the collaboration with Kelvin as an enquiry into design and disability, Sliz builds a series of drawings and sculptures in response. The work, titled Sarana Seniminda makes a statement about how the built environment shapes individual ability.
The collaboration between Sliz and Kelvin was built in the urban fabric of Penang through play, conversation and drawing exercises. Sliz observed how architecture and social conditioning had a defunctioning power on Kelvin’s ability. The artworks capture Sliz’ reaction.
Now IS A GooD TIMe
47
By presenting both drawings and sculptures, the artists showcase how the process is as important as the end product.
The title of the artwork is a word play on ‘senibina’, meaning ‘architecture’ or ‘art of building’ in Malay. The term Seni-minda then translates into the art of the mind. The word Sarana plays a supporting role by inviting into the conversation the tools needed to shape the art of the mind. Perhaps drawing and construction are both tools to shape social conditioning, thought and action.
AboUT THe ArTworKS
48
MeMANDANG kolaborasinya dengan Kelvin sebagai penelitian tentang desain dan disabilitas, Sliz menciptakan satu set gambar dan instalasi sebagai cara ia merespon. Karyanya, yang berjudul Sarana Seniminda berargumen tentang bagaimana infrastruktur yang dibangun dapat membentuk kemampuan seseorang.
Kolaborasi Sliz dan Kelvin dibangun di Penang lewat permainan, percakapan dan aktivitas menggambar. Sliz mengobservasi bagaimana arsitektur dan kondisi sosial menghambat kemampuan Kelvin. Bagaimana Sliz bereaksi akan hal tersebut, tercermin dalam karya ini.
Now IS A GooD TIMe
49
Dengan menampilkan gambar dan instalasi, seniman menekankan tentang bagaimana suatu proses sama pentingnya dengan hasil jadi.
Judul karya ini diadaptasi dari kata ‘senibina’, yang berarti ‘arsitektur’ atau ‘seni bangunan’ dalam Melayu. Istilah Seni-minda kemudian ditranslasikan dalam seni pikiran. Kata Sarana berperan sebagai pendukung dalam menciptakan diskusi terkait perangkat-perangkat apa saja yang diperlukan untuk membentuk seni berpikir. Mungkin saja gambar dan instalasi adalah perangkat yang dibutuhkan dalam membentuk suatu kondisi sosial, pikiran dan aksi.
AboUT THe ArTworKS
50
AboUT THe Col-lAbo-rATIoN
Tentang K
olaborasiNow IS A GooD TIMe
51
AboUT THe CollAborATIoN
Cebu, Philippines
SAN Remigio is a seaside town three hours from Cebu city with a Central Elementary School that was rebuilt after the 2013 Hai-yan Typhoon - this time with the inclusion of a Special Education (SPED) classroom for the deaf. Aged between 7 to 26 years old, attending school only became possi-ble for most of them about four years ago with the launch of the SPED programme.
Street art collective koloWn, best known for their public intervention works, first reached out to the SPED teacher, Michelle to enquire if any students were interested in art. Three months later, they have been visiting four of the students regularly for art sessions which are more of a barter exchange where the budding artists teach koloWN how to sign a word. In return koloWn share their knowledge of images in history that passed off as “art”,
52
Now IS A GooD TIMe
imbuing confidence in the student’s self-belief as artists.
This collaboration is research for koloWn’s latest project - a sound reactive prototype that is intended to aid the deaf in integrat-ing better into society by responding to movements in real-time. It was inspired by one of the students who drives a mo-torbike to school daily, and cannot hear honking on the busy streets of Cebu.
Cheryl Ann Mansing, Dan robert Cabahug, erica Psyche Descartin and Jefferson Ursal are classmates in the SPED programme for deaf students in San Remigio Central Elementary School, Cebu and share a common interest for art. Raising three fingers in a ‘W’, they greet koloWn and settle on a separate table in anticipation of their art session. This collaboration has opened their minds to the world of art and brought a different approach to thinking into their lives. Through art and
53
AboUT THe CollAborATIoN
technology, they are slowly seeing possibilities to integrate better in society.
54
erica, Dan, Cheryl, Jefferson
55
56
SAN Remigio adalah sebuah kota pesisir yang terletak sejauh tiga jam dari kota Cebu, dimana di sana terdapat Central Elementary School yang dibangun ulang setelah angin taifun Haiyan pada tahun 2013 - di dalam sekolah ini termasuk Special Education (SPED) atau kelas edukasi khusus, yang dibuat untuk Tuli. Berumur antara 7 - 26 tahun, sebagian besar dari mereka bisa datang ke sekolah mulai dari sekitar empat tahun lalu, setelah adanya kelas edukasi khusus tersebut.
koloWn, sebuah seni jalanan kolektif, yang terkenal dengan karya intervensi publiknya, pertama-tama mendekati guru di SPED, Michelle, untuk mengetahui apakah ada siswa yang tertarik dengan seni. Tiga bulan kemudian, koloWn dan Michelle secara intensif berkegiatan seni dengan 4 siswa SPED, yang sesungguhnya mereka saling bertukar ilmu dimana para siswa tersebut mengajarkan koloWn bahasa isyarat. Sebagai timbal
Now IS A GooD TIMe
57
baliknya, koloWn berbagi pengetahuannya tentang gambar-gambar bersejarah yang menggunakan identitas “seni”, yang membantu menaburkan kepercayaan diri para siswa sebagai seorang seniman.
Kolaborasi ini juga termasuk dalam penelitian terbarunya - sebuah prototipe yang reaktif terhadap suara yang dimaksudkan untuk memfasilitasi teman-teman Tuli sehingga dapat terintegrasi dengan masyarakat, melalui respon pergerakan dalam waktu yang bersamaan (real time). Karya ini terinspirasi dari salah satu siswa di kota Cebu, yang mengendarai motor sendiri saat ia ke sekolah tetapi ia tidak bisa mendengar suara klakson.
Cheryl Ann Mansing, Dan robert Cabahug, erica Psyche Descartin dan Jefferson Ursal adalah teman sekelas di SPED untuk siswa Tuli di San Remigio Central Elementary
AboUT THe CollAborATIoN
58
School, Cebu dan mereka sama-sama memiliki ketertarikan dengan seni. Dengan mengangkat tiga jari mereka membentuk huruf “W”, mereka menyapa koloWn dan bersiap di masing-masing meja dan mengantisipasi sesi kegiatan seni yang akan diberikan. Kolaborasi ini membantu mereka dalam membuka wawasan mereka terhadap dunia seni dan membawa pendekatan yang berbeda untuk memikirkan tentang kehidupan. Melalui seni dan teknologi, mereka secara perlahan melihat peluang-peluang untuk bisa terintegrasi dengan lebih baik lagi di masyarakat.
Now IS A GooD TIMe
59
KolowN
borN and raised in Cebu, koloWn create interactive
experiences for the public, usually on the street or
on the Internet and with the intention of actively
engaging communities. They prefer to call their art
activations “interventions” due to their tendency to
challenge the system and question the routine order
of things. Their intention is to “kolownize” places
with their art, wit and charm. koloWn’s collaboration
with the four deaf co-artists is a first for the
collective and stems from the belief that everyone
should have the opportunity to be equipped for
inclusion in society.
--
LAhIR dan besar di Cebu, koloWn menciptakan suatu
pengalaman yang interaktif untuk publik, yang biasanya
ia lakukan di jalanan ataupun secara daring, dengan
niatan untuk secara aktif menarik partisipasi komunitas.
Mereka sering menyebut praktik keseniannya merupa-
kan suatu “intervensi” yang cenderung untuk menantang
suatu sistem dan mempertanyakan tentang rutinitas
suatu hal. Niat mereka adalah untuk meng-”kolownize”
(mengkolonialisme) tempat-tempat menggunakan seni,
akal, dan pesona. Kolaborasi koloWn dengan empat Tuli
adalah yang pertama kali secara kolektif dan berakar
dari keyakinannya bahwa setiap orang berhak untuk
memiliki kesempatan difasilitasi dalam masyarakat yang
inklusif.
AboUT THe CollAborATIoN
60
Singapore
AMoNGST the structured HDBs (Housing Development Blocks) and perfectly trimmed trees of Singapore sit artists Mary and Tamimi. They draw psychological readings of themselves through shading and construction of shapes. “I want them to see me differently, that I have my own ability” says Tamimi as Mary teaches him how to draw his self-portrait in full view, seated on his sturdy wheelchair. Their weekly collaboration is back on schedule after a 3-week hiatus due to Tamimi suffering sudden fractures in his left arm and leg.
Artist and educator Mary reached out to Tamimi offering art lessons upon reading news of the boy’s brittle bone disease (Osteogenesis Imperfecta) sometime in 2018. Born with the condition, it means Tamimi can suffer
Now IS A GooD TIMe
61
hundreds of fractures without any apparent cause. Mary has been using art to challenge the 14-year-old’s thinking and imagination, unknowingly giving him assurance. Mary’s practice typically involves examining relations between the self, community, identity and home. Her latest project is with Tamimi, examining physical and mental manifestations of his visible disability, along with his familial and societal conditions.
AboUT THe CollAborATIoN
62
DI antara berdirinya bangunan kompleks perumahan dan area yang pohonnya terpangkas habis di Singapura, ada Mary dan Tamimi. Mereka menggambar bacaan psikologis atas diri mereka sendiri melalui bayangan dan bentuk-bentuk konstruksi. “Aku ingin mereka melihatku secara berbeda, aku memiliki kemampuanku sendiri”, kata Tamimi saat Mary mengajarkan cara melukis dirinya sendiri secara keseluruhan, di atas kursi rodanya. Mereka bertemu kembali secara rutin tiap minggunya, setelah 3 minggu terhenti sementara karena adanya gangguan di lengan kiri dan kaki Tamimi.
Mary, seorang seniman dan pendidik, mendekati Tamimi dan menawarkannya pelajaran seni setelah Mary membaca sebuah berita tentang seorang anak laki-laki yang memiliki tulang yang rapuh (osteogenesis Imperfecta) pada tahun 2018. Terlahir dengan kondisi demikian, berarti Tamimi bisa saja mengalami ratusan patah tulang tanpa alasan
Now IS A GooD TIMe
63
yang jelas. Mary menggunakan seni untuk menantang cara berpikir dan imajinasi anak berusia 14 tahun ini, yang ternyata tanpa ia sadari memberikan Tamimi rasa yakin akan dirinya. Praktik seni Mary biasanya melibatkan pengujian hubungan antara diri sendiri, komunitas, identitas, dan tempat tinggal. Proyek kolaborasinya dengan Tamimi, menguji manifestasi fisik dan mental dari disabilitas yang dialaminya, serta kondisi keluarga dan masyarakat sekitar.
AboUT THe CollAborATIoN
64
TAMIMI SYAwAllUDIN PoHAN
borN into a family of four, school and home
are Tamimi’s routine, alongside mobile games
and manga. Each of his family members
suffer from a chronic illness and Tamimi
was diagnosed with a genetic disorder of the
bones from birth. In times he is bored, his
imaginary blue-haired friend Chip makes an
appearance in his drawings and they go on
adventures and share meals. The 14-year-
old is on his way an artistic freedom that his
mentor Mary is helping to hone.
---
LAhIR dalam keluarga yang beranggotakan
empat orang, sekolah dan rumah adalah bagian
dalam rutinitas Tamimi, disertai pula dengan
permainan dan komik. Tiap anggota keluarganya
menyandang suatu gangguan kesehatan dan
Tamimi didiagnosis penyakit tulang bawaan sejak
lahir. Di waktu senggangnya, teman imajinasinya
yang berambut biru bernama Chip akan muncul
dalam gambarnya, dan mereka kemudian akan
berpetualang dan saling berbagi makanan. Mary
berperan sebagai mentor dalam mengasah gaya
artistik anak laki-laki berusia 14 tahun ini.
AboUT THe CollAborATIoN
65
Tamimi SyawalludinPohan
Now IS A GooD TIMe
66
MArY berNADeTTe lee
MArY Bernadette Lee has a slew of exhibitions, mediums and installations behind her artistic practice, which is a symbiosis between creation and giving back. She is of the belief that art must serve a purpose for the viewer, whether it is purely aesthetic, emotional or functional. As an educator, Mary also uses art as a healing tool, getting others to examine themselves as if they were a house with many rooms.
---
mARy Bernadette Lee sudah mengadakan beberapa pameran, medium dan instalasi yang berbeda-beda dibalik kegiatan berkeseniannya, yang menunjukkan simbiosis antara penciptaan dan pemberian kembali. Mary berkeyakinan bahwa seni seharusnya menyajikan suatu tujuan untuk penikmatnya, baik itu dari sisi estetika, emosional, maupun fungsional. Sebagai seorang pendidik, Mary juga menggunakan seni sebagai media dalam proses penyembuhan, melibatkan aktivitas dalam menguji diri sendiri sebagaimana mereka menggambarkan dirinya seperti rumah yang memiliki banyak ruang.
Now IS A GooD TIMe
67
Mary
Bernadette
lee
AboUT THe CollAborATIoN
IMAGe CreDIT: SHAroN ANGelIA
68
Bali, indonesia
bAlI is home to rich heritage, culture and land. It is also home to a lot of movement; people from all over the world flock to the tourist destination, and the purpose of the land is constantly adapting to the needs of the time. People’s self-perception of earned livelihood and lifestyle has also shifted over the years as Bali’s agricultural land has been reduced to accommodate residential development.
Sitting under a mango tree at Rumah Berdaya*, artists Budi Agung Kuswara (Kabul) and Loster, both mid-career, born, and raised in Bali contemplate this shifting land use. It is their love for the island and their attitudes towards its changing landscape that unites them as artists, despite their differences. The two were high-school classmates but only first collaborated in 2006, after Kabul learnt
Now IS A GooD TIMe
69
that Loster was diagnosed with schizophrenia. Prior to their collaboration, Kabul had initiated Schizofriends Art Movement to provide solutions through art for people suffering from mental health issues. For their most recent collaboration, the artists draw their observation of Bali as it shifts between traditional and modern, local and tourist.
*rumah berdaya is a psychosocial rehabilitation centre that has been empowering people with schizophrenia through art, work, activities and friendship since 2016. The initiative is the first of its kind in Bali and Indonesia to use art and creativity and was supported by the Denpasar City Government.
AboUT THe CollAborATIoN
70
bAlI adalah rumah yang kaya akan warisan, budaya, dan alam. Bali juga merupakan rumah untuk banyaknya perpindahan; banyak orang dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Bali untuk tujuan pariwisata, dan fungsi sebuah lahan beradaptasi sesuai dengan kebutuhan, seiring dengan berjalannya waktu. Persepsi masyarakat Bali akan mata pencaharian dan gaya hidup juga berubah dari waktu ke waktu sebagaimana lahan pertanian Bali berkurang, karena berkembangnya kebutuhan akomodasi tempat tinggal.
Duduk bersama di bawah pohon mangga di Rumah Berdaya*, seniman Budi Agung Kuswara (Kabul) dan Loster, keduanya berusia produktif, lahir dan tumbuh di Bali, merenungkan perubahan fungsi lahan tersebut. Rasa cinta kepada pulau Bali dan bagaimana sikap mereka akan perubahan pemandangan ini, menyatukan mereka sebagai seniman, terlepas dari perbedaan mereka. Keduanya adalah teman satu kelas saat SMA,
Now IS A GooD TIMe
71
mereka berkolaborasi pertama kali pada tahun 2006, dan saat itu Kabul mengetahui bahwa Loster didiagnosis memiliki Skizofrenia. Sebelumnya, Kabul menginisiasi program Schizofriends Art Movement, yang bertujuan untuk menyediakan solusi melalui seni bagi orang dengan gangguan jiwa. Loster adalah penyandang Skizofrenia. Dalam kolaborasi saat ini, Kabul dan Loster menggambar observasi mereka tentang pergeseran Bali, dari tradisional dan modern, lokal dan turis.
*rumah berdaya adalah tempat rehabilitasi psikososial yang telah memberdayakan orang-orang dengan Skizofrenia sejak tahun 2016, melalui kegiatan-kegiatan seni, aktivitas sehari-hari yang berjalan dengan asas persahabatan. Gerakan ini adalah yang pertama kalinya di Bali dan Indonesia, yang utamanya menggunakan seni dan kreativitas, dan didukung oleh pemerintah Kota Denpasar.
AboUT THe CollAborATIoN
72
bUDI AGUNG KUSwArA (KAbUl)
bUDI Agung Kuswara (Kabul) was born
in 1982, graduated with a Bachelor in
Fine Art from Indonesia Institute of the
Art, Yogyakarta and is currently living
in Bali. As a visual artist, he has been
questioning the function of art beyond
being an object of beauty. He also has a
keen interest in our contemporary social
environment and negotiates existence,
equality and inclusion through his work.
In 2013, Kabul founded Ketemu Project
to organise socially engaged actions
through art. Kabul has presented
his work at the Ubud Writer’s and
Reader’s Festival, TAKSU Gallery, Asian
Civilization Museum and NUS Museum
in Singapore. He has also been invited
to artist-in-residence programs at
Fukuoka Asian Art Museum, TAKSU
Kuala Lumpur and Bamboo Curtain
Studio. In 2020, he will be speaking at
conferences TOKYO 2020 in Japan and
Cultural Expo in London about disabled
people’s arts, climate and culture.
---
Now IS A GooD TIMe
73
BudI Agung Kuswara (Kabul) lahir tahun 1982, seorang alumni dari jurusan Seni Rupa Murni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan saat ini sedang tinggal dan berkarya di Bali. Sebagai seorang seniman visual, ia selalu mempertanyakan fungsi seni selain sebagai objek keindahan. Kabul juga tertarik akan lingkungan sosial kontemporer dan bernegosiasi tentang keberadaan, kesamaan, dan inklusivitas dalam karya-karyanya. Pada tahun 2013, Kabul menginisiasi Ketemu Project untuk melakukan seni dengan komunitas. Karya-karya Kabul telah dipamerkan di Ubud Writer’s and Reader’s Festival, TAKSU Gallery, Asian Civilization Museum dan NUS Museum Singapura. Kabul juga sempat diundang untuk mengikuti program residensi seniman di Fukuoka Asian Art Museum, TAKSU Kuala Lumpur dan Bamboo Curtain Studio. Pada tahun 2020, Kabul akan menjadi pembicara pada konferensi TOKYO 2020 yang akan dilaksanakan di Jepang dan Cultural Expo di London mengenai seni seniman difabel, iklim, dan budaya.
AboUT THe CollAborATIoN
74
Budi Agung
Kuswara
(Kabul)
75
loSTer
loSTer was born in 1981 in the village of Kelusa Payangan in Bali and has been surrounded by painting since the age of 10. His early memories of art are of the traditional “keliki” style, which is distinctive for its miniature scale, delicate details and deep colours. Loster consistently paints detailed images of Hindu deities like Goddess Saraswati and Lord Ganesha. Diagnosed with paranoid schizophrenia around seven years ago, Loster’s determination to paint persists. When asked what his childhood nickname ‘Loster’ means, he replied - “It is something that helps air ventilation.”
---
LoSTER lahir pada tahun 1981 di desa Kelusa Payangan, Bali dan sudah mengenal karya seni lukis sejak umur 10 tahun. Pada masa awal ber keseniannya, ia menggunakan metode “keliki”, yang sangat khas dengan bentuk-bentuk yang kecil, detail yang halus, dan warna yang tajam. Loster secara berkelanjutan melukis gambar-gambar detail terkait para dewa dalam keyakinan Hindu, seperti Dewi Saraswati dan Dewa Ganesha. Loster didiagnosis menyandang
Now IS A GooD TIMe
76
skizofrenia sekitar tahun 2012, walaupun begitu
hal ini tidak menghambat keinginannya untuk
terus melukis. Ketika ditanya mengenai arti
nama “Loster”, ia menjawab - “Itu sesuatu yang
membantu ventilasi udara”.
AboUT THe CollAborATIoN
77
loster
78
Georgetown, Penang, Malaysia
looKING beyond Penang’s white coffee, heritage shophouses and playful wall murals, one can find a town pulsating with artists, ideas and community spirit. Its vibrancy has high appeal, and it is no surprise that Sliz, a mural artist originally from Kuala Lumpur, decided to settle in Georgetown in 2015. Driving to a playground 30 minutes away to catch up with Kelvin, Sliz recalls how Penang helped him realise his place in society as an artist and producer of work. He hopes it can do the same for Kelvin, a wacky, energetic, eight-year-old, who was born in Penang with skeletal malformation in all four limbs.
Clutching his drawings with his inner wrists, Kelvin occupies the playground bench and
Now IS A GooD TIMe
79
talks about his love for building things, Minecraft and superheroes. Sliz and Kelvin bond over the subject of play, discussing their own fantasies about adventure. They are in disagreement about what are considered 2-D and 3-D planes, with Kelvin (not wrongfully) believing mobile phone games can be 3-dimensional and Sliz arguing the tangibility of human existence being more real and therefore, 3-D. This confusion over play later forms the subject of their collaboration, and they go on to make a statement about how it is the built environment that shapes individual ability.
AboUT THe CollAborATIoN
80
PeNANG, terkenal dengan white coffee, ruko-ruko antik, dan tembok-tembok jalanan yang penuh dengan mural, tapi lebih dari itu, Penang adalah kota dengan denyut seniman, ide, dan gerakan komunitas. Semangat tingginya yang menarik, dan tidak mengejutkan kalau Sliz, seorang seniman mural yang berasal dari Kuala Lumpur, memutuskan untuk tinggal dan menetap di Georgetown pada tahun 2015. Berkendara selama 30 menit ke suatu taman bermain untuk bertemu dengan Kelvin, Sliz mengenang bagaimana Penang dulu membantunya sadar akan tempatnya di masyarakat sebagai seorang seniman dan produsen karya. Sliz berharap ia bisa melakukan hal yang sama dengan Kelvin, seorang anak laki-laki berumur 8 tahun edan dan aktif, yang lahir di Penang dengan gangguan pada empat tulang rusuknya.
Mencengkram karyanya dengan pergelangan tangannya, Kelvin menduduki bangku taman
Now IS A GooD TIMe
81
bermain dan berbicara tentang rasa cintanya dalam membangun sesuatu, Minecraft dan pahlawan super. Sliz dan Kelvin semakin dekat lewat bermain bersama, saling diskusi tentang masing-masing fantasi akan petualangan. Mereka sama-sama tidak setuju dengan apa yang dimaksud dengan pesawat 2-D dan 3-D, dengan Kelvin yang (tidak salah) percaya bahwa aplikasi permainan pada telepon seluler bisa dalam bentuk 3 dimensi dan Sliz memperdebatkan bahwa bentuk nyata atas eksistensi seseorang lebih riil, yang berarti 3-D. Kebingungan ini lah yang menjadi subjek kolaborasi ini, dan mereka membuat cetak biru tentang wahana bermain masa depan yang inklusif. ---
AboUT THe CollAborATIoN
82
SlIz
AN artist with a background in graffiti and
architecture, Sliz has a keen interest in place-
making within public spaces. As someone
who cannot escape the public eye - whether
it’s in exhibiting works in a gallery, painting
murals commercially or tagging the streets
in disguise, Sliz is conscious of creating art
that will be seen. A rebel with a cause, Sliz is
especially interested in the idea of play in the
changing spatial contexts of both, digital and
on-ground spaces.
---
SLIz merupakan seorang seniman dengan
latar belakang grafiti dan arsitektur, ia memiliki
ketertarikan pada membangun suatu ruang di
tempat-tempat publik. Sebagai seseorang yang
tidak bisa keluar dari perhatian publik - baik itu
dalam memamerkan karyanya di galeri, proyek
komersial melukis mural, maupun berkarya
di jalanan dengan nama samaran, Sliz sadar
bahwa karya seni yang diciptakannya akan
dilihat. Sebagai seorang seniman “rebel with a
cause”, Sliz secara spesifik tertarik pada gagasan
bermain dalam perubahan konteks spasial dari
ruang-ruang digital dan nyata (on-ground).
Now IS A GooD TIMe
83
Sliz
84
KelvIN CHeAH
eIGHT-years old and up for any kind of fun, Kelvin was born with a congenital malfunction of his arms and legs. His mentor describes him as “smart” and “optimistic”, and his mother calls him naughty. He’s a bedroom drawer and often spends time painting and drawing with his mother, who is a single parent caretaker to Kelvin. Curious about the world and believing he can access most of it by mastering the English language, Kelvin has accepted his condition and is smart enough to understand it. He is now helping Sliz see Penang through his eyes.
---
kELvIn adalah seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang memiliki malfungsi bawaan pada tangan dan kakinya. Mentornya mendeskripsikan ia sebagai seorang anak yang “cerdas” dan “optimis”, dan ibunya memanggilnya anak yang nakal. Kelvin sering menggambar di kamar tidurnya dan ditemani oleh ibunya, yang merupakan orang tua tunggal Kelvin. Ia memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang dunia dan keyakinan bahwa ia dapat mengakses sebagian besar dunia dengan menguasai bahasa Inggris. Ia telah menerima kondisi dirinya dan cukup pintar dalam memahami hal tersebut. Dalam program ini, Kelvin membantu Sliz memandang Penang melalui penglihatannya.
Now IS A GooD TIMe
85
Kelvin
Cheah
SPeCIAl THANKSorganized by
with Support from
As Part of
venue Partner
87
SPeCIAl THANKS
Ketemu Project
KeTeMU Project is an art organization that was conceptualized by artists Budi Agung Kuswara “Kabul” from Indonesia and Samantha Tio “Mintio” from Singapore. Ketemu combines collective visual art and social enterprise that aims to create dynamic art experience for positive social changes. Established in 2015, Ketemu Project continuously initiates art programs that encourage the emergence of social awareness and concern through visual art. Currently, Ketemu is focusing on Gerakan Kreabilitas, a pilot program that applies secular economy models for the inclusion of disabled persons in the creative economy. Ketemu also supports artists, curators and researchers to generate new works in Bali.
---
Ketemu Project merupakan organisasi seni yang didirikan oleh seniman Budi Agung Kuswara “Kabul” dari Indonesia dan Samantha Tio “Mintio” dari Singapura. Ketemu Project merupakan organisasi seni yang menggabungkan seni visual kolektif dan wirausaha sosial yang
88
bertujuan untuk menciptakan pengalaman seni yang dinamis bagi perubahan sosial yang positif. Berdiri sejak tahun 2015, Ketemu Project secara berkelanjutan menginisiasi program-program seni yang mendorong timbulnya kesadaran dan kepedulian sosial melalui medium seni visual. Saat ini, Ketemu Project berfokus pada program Gerakan Kreabilitas, yang merupakan program rintisan yang mengaplikasikan model ekonomi sekuler untuk inklusivitas penyandang disabilitas dalam ekonomi kreatif. Ketemu juga mendukung seniman, kurator, dan juga peneliti yang ingin berkarya di Bali.
Uma SeminyakUMA Seminyak is a lifestyle centre located in Seminyak, Bali. It consists of an array of unique shops and cafes, completed with a tropical garden. Established since 2016, Uma Seminyak also acts as a creative space, which engage with communities in providing space for art and design events, such as exhibitions, workshops, and film screenings.
---
Now IS A GooD TIMe
89
Uma Seminyak adalah sebuah tempat yang merupakan pusat gaya hidup di Seminyak, Bali. Di dalamnya terdapat kumpulan toko dan cafe yang unik, dilengkapi dengan taman tropis. Berdiri sejak tahun 2016, Uma Seminyak juga menyediakan suatu tempat kreatif untuk kegiatan seni dan desain komunitas-komunitas, seperti pameran, lokakarya, dan pemutaran film.
Dr. esther JoosafoUNDer and director of Arts of the Earth Learning Hub, a small visionary creative arts education consultancy based in Singapore, Esther Joosa lives and works as an arts education practitioner, curator, researcher and advocate in Singapore since 1988. Originally from the Netherlands, her visions are grounded in humanitarian philosophical engagement about the value of the arts and aesthetics in the introduction of cultural symbolism and as a way to reduce barriers in outreach. She has a strong focus on collaboration and community curation to bridge the dichotomies between artist and audience, including the design of family-
SPeCIAl THANKS
90
oriented programs, museum facilitation and home experiences.
---
Pendiri dan direktur seni di Earth Learning Hub, sebuah konsultan pendidikan seni kreatif berbasis di Singapura, Esther Joosa tinggal dan bekerja sebagai seorang praktisi pendidikan seni, kurator, peneliti dan advokat di Singapura sejak tahun 1988. Berasal asli dari Belanda, visinya terletak pada ikatan filosofis manusia tentang nilai seni dan estetika dalam perkenalan simbolis budaya dan sebagai caranya untuk mengurangi hambatan yang belum terjangkau. Beliau sangat berfokus pada kolaborasi dan kurasi komunitas untuk menjembatani dikotomi antara seniman dan penikmat seni, termasuk di dalamnya program-program yang berorientasi pada keluarga, fasilitas museum dan pengalaman seperti di rumah.
CoCreation WorkshopCoCreATIoN is an arts-based social enterprise that focuses on supporting the
Now IS A GooD TIMe
91
well-being of marginalized communities and individuals through creative programming and cross-sector collaborations. Since 2018, CoCreation has collaborated with local schools, service agencies and voluntary welfare organisations to connect communities and empower individuals through artmaking. CoCreation is deeply involved in the arts and cultural sector, and have worked with the National Arts Council(Singapore) on several projects. They are also currently a member of The Singapore Centre for Social Enterprise (raiSE).
---
CoCreation adalah kewirausahaan sosial berbasis seni yang berfokus untuk mendukung kesejahteraan komunitas dan individu yang termarjinalkan, melalui program-program kreatif dan kolaborasi lintas sektor. Sejak tahun 2018, CoCreation telah berkolaborasi dengan sekolah-sekolah lokal, agensi sosial, dan organisasi kesejahteraan sukarelawan, untuk saling menghubungkan komunitas satu sama lain dan memberdayakan individu dalam proses pembuatan karya. CoCreation bergerak di bidang seni dan budaya, dan sempat bekerja sama dengan National Arts Council (Singapura)
SPeCIAl THANKS
92
dan beberapa proyek. Saat ini CoCreation terdaftar menjadi salah satu anggota The Singapore Centre for Social Enterprise (raiSE).
U.S. Mission to ASeAnTHe U.S. Mission to ASEAN partners with ASEAN and related stakeholders to advance U.S. interests in a peaceful, prosperous, and integrated Southeast Asia that respects the rule of law, upholds the dignity of its people and actively addresses regional and global concerns. The United States began engaging with ASEAN as a dialogue partner in 1977, and has cooperated with ASEAN ever since. Starting in the early 1990s, development cooperation increased dramatically through the launch of economic programs focusing on trade and investment, technology transfer, and education.
---
The U.S. Mission to ASEAN bekerja sama dengan ASEAN dan pihak-pihak terkait untuk memajukan minat negara U.S. dalam hal
Now IS A GooD TIMe
93
perdamaian, kemakmuran, dan integrasi negara Asia Tenggara yang menghargai peran hukum, menjunjung tinggi martabat rakyatnya dan secara aktif turut andil dalam isu regional dan global. Amerika Serikat memulai ikatannya dengan ASEAN sebagai rekan dialog pada tahun 1977, dan telah berkooperasi dengan ASEAN sejak tahun itu. Dimulai sejak sekitar tahun 1900 awal, kooperasi ini berkembang dan meningkat secara drastis melalui peluncuran program-program ekonomi yang berfokus pada penjualan dan investasi, persebaran teknologi, dan pendidikan.
YSeAli SeedsYSeAlI Seeds for the Future is a grants com-petition for young leaders in Southeast Asia. The competition, which is sponsored by the U.S. Department of State, provides funding for the region’s most promising young leaders to carry out projects that improve their com-munities, countries and the region. Projects cover one of the four YSEALI themes: Civic Engagement, Economic Growth, Education, and Sustainable Development.
SPeCIAl THANKS
94
---
YSEALI Seeds for the Future adalah suatu kompetisi dana hibah untuk pemimpin-pemimpin muda di Asia Tenggara. Kompetisi ini, yang disponsori oleh U.S. Department of State, memberikan dana untuk pemimpin-pemimpin muda yang diyakini mampu untuk membuat suatu program yang dapat meningkatkan komunitas, negara, dan wilayahnya. Program tersebut harus meliputi setidaknya satu dari beberapa tema YSEALI berikut: Keterlibatan Masyarakat, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan, dan Pembangunan Berkelanjutan.
Cultural Vistas foUNDeD in 1963, Cultural Vistas is a nonprofit exchange organization promoting global understanding and collaboration among individuals and institutions. We develop international professional experiences that create more informed, skilled, and engaged citizens. Our programs empower people to drive positive change in themselves, their organizations, and society.
Now IS A GooD TIMe
95
---
Berdiri pada tahun 1963, Cultural Vistas adalah suatu organisasi pertukaran yang mendorong pemahaman global dan kolaborasi antar individu dan institusi. Cultural Vistas mengembangkan pengalaman profesional internasional yang menciptakan masyarakat yang lebih berpengetahuan, berkemampuan, dan lebih terlibat. Program-programnya memberdayakan orang-orang dalam membuat perubahan positif baik di dalam diri, di organisasi, maupun masyarakat.
SPeCIAl THANKS