chitin-chitosan_fransiscus christian_12.70.0036_c4_unika soegijapranata

32
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan terhadap rendemen dari pembuatan kitin- kitosan dari limbah (kulit) udang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan dari Limbah Kulit Udang Kelompo k Perlakuan Rendemen Kitin I Rendemen Kitin II Rendemen Kitin III C1 Kulit udang + HCl 0,75N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 20 % 20 % 7,843 % C2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 32 % 33,333 % 17,500 % C3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 24 % 20 % 11,429 % C4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 41 % 16,667 % 11,764 % C5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% 29 % 33,333 % 14,285 % C6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% 35 % 28,571 % 11,765% Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa perlakuan yang digunakan pada masing-masing kelompok berbeda tergantung dari 1

Upload: reed-jones

Post on 18-Jan-2016

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kitin kitosan merupakan salah satu hasil pengolahan hasil laut yang bisa dimanfaatkan dari limbah udang. Limbah yang digunakan sebagai sumber yang kaya akan kitin adalah bagian kulit udang.

TRANSCRIPT

Page 1: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap rendemen dari pembuatan kitin-kitosan dari limbah (kulit)

udang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan dari Limbah Kulit Udang

Kelompok PerlakuanRendemen

Kitin IRendemen

Kitin IIRendemen Kitin III

C1Kulit udang + HCl

0,75N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

20 % 20 % 7,843 %

C2Kulit udang + HCl

0,75 N + NaOH 3,5%+ NaOH 40%

32 % 33,333 % 17,500 %

C3Kulit udang + HCl 1

N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

24 % 20 % 11,429 %

C4Kulit udang + HCl 1

N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

41 % 16,667 % 11,764 %

C5Kulit udang + HCl

1,25 N + NaOH 3,5%+ NaOH 60%

29 % 33,333 % 14,285 %

C6Kulit udang + HCl

1,25 N + NaOH 3,5%+ NaOH 60%

35 % 28,571 % 11,765%

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa perlakuan yang digunakan pada masing-masing

kelompok berbeda tergantung dari prosesnya yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan

deasetilasi. Pada proses demineralisasi digunakan HCl dengan konsentrasi 0,75 N; 1N;

dan 1,25N dengan menghasilkan rendemen kitin I yang memiliki range antara 20-41%.

Sedangkan pada proses deproteinasi yang menggunakan NaOH dengan nilai konsentrasi

3,5 % untuk menghasilkan rendemen kitin II yang memiliki range antara16,6-33,3%

dan terakhir dengan proses deasetilasi yang menggunakan NaOH dengan konsentrasi

40%, 50% dan 60% yang menghasilkan rendemen kitin III yang memiliki range antara

7,8-17,5%.

1

Page 2: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. PEMBAHASAN

Kitin kitosan merupakan salah satu hasil pengolahan hasil laut yang bisa dimanfaatkan

dari limbah udang. Limbah yang digunakan sebagai sumber yang kaya akan kitin adalah

bagian kulit udang. Apabila ditinjau lebih lanjut dari proses produksi pengolahan udang

beku, limbah bisa berasal dari kaki, ekor, kulit badan, dan kepala udang. Bagian-bagian

dari udang yang berpotensi sebagai limbah adalah berkisar antara 30-73% (Swastawati

et al, 2008). Kitin kitosan merupakan teknologi pengembangan yang baru dari limbah

udang khususnya kulit yang memiliki nilai jual tinggi.

Dalam praktikum ini, kulit udang yang digunakan sudah dipisahkan dengan bagian

kepala sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan. Menurut Rao et al (2000), kulit

udang mengandung beberapa komponen penting yaitu protein, lemak, pigmen, kitin dan

mineral berupa kalsium karbonat. Kelebihan limbah kulit udang ini adalah semua

komponen tersebut dapat diisolasi dan diekstrak sehingga mampu menghasilankan nilai

jual yang tinggi dibandingkan dengan kulit yang tidak diolah. Tiga komponen yang

keberadaanya cukup besar dalam kulit udang adalah kitin, mineral, dan protein.

Sehingga dalam pembuatan kitin ini perlu dilakukan tahap demineralisasi yaitu

penghilangan mineral dan deproteinasi yaitu penghilangan protein agar dapat diperoleh

produk yang benar-benar murni menjadi kitin saja. Kandungan kitin dalam kulit udang

berkisar antara 20 - 60%, tergantung jenis atau spesies udang yang digunakan

(Synowiecki & Al-Khateeb, 2003).

Kitin dan kitosan memiliki struktur ikan kimia yang hampir sama dengan selulosa, yaitu

antara monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi β (1-4). Perbedaan

dengan selulosa adalah pada gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon

nomor dua, digantikan oleh gugus Asetamia (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin

menjadi sebuah polimer berunit N-asetil glukosamin, sedangkan pada kitosan

digantikan dengan gugus amin (NH2) (Rinaudo, 2006). Struktur kimia kitin dan kitosan

dapat dilihat pada gambar berikut ini :

2

Page 3: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Gambar 1. Struktur kimia Kitin dan Kitosan

Kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf atau kristal, bewarna putih,

dan dapat terurai (biodegradable), terutama oleh bakteri penghasil enzim kitinase. Kitin

memiliki rumus kimia (C8H13NO5)n yang merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-

glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β(1,4). Kitin bersifat tidak larut air,

asam organik encer, asam organik, alkali pekat, dan pelarut organik, namun larut dalam

asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam formiat anhydrous.

kitin dalam asam pekat akan dapat terdegradasi menjadi monomer-monomer dan dapat

memutuskan gugus asetil. Struktur cangkang atau kulit udang (eksoskeleton) crustacran

terdiri dari lapisan-lapisan cuticle. Matriks organik yang menyusun cuticle tersebut

adalah kitin yang berasosiasi dengan protein (Aslak, 2007), yang padat dilihat pada

gambar dibawah ini :

Gambar 2. Struktur Matriks Kitin-Protein pada Kulit Udang (a) Kristal kitin yang dikelilingi protein, (b) Fibril Kitin-protein, dan (c) Skematik Lapisan Fibril yang

tersusun Horizontal dan Pararel.

Pada cuticle, rantai kitin tersusun dalam bentuk kristal panjang dan tipis. Globular

protein melilit lapisan luar kristal kitin, yang dapat dilihat pada gambar (a). Unit kitin

protein bergabung membentuk fibril dalam berbagai diameter dimana kristla kitin

tampak seperti batang yang terlapisi protein, yang dpat dilihat pada gambar (b). Fibril

kitin-protein membentuk lembaran-lembaran horizontal dan fibril pararel dengan arah

yang berbeda antara satu lapisan dengan lapisan lain, dimana hal ini dapat dilihat pada

gambar (c). Setiap lapisan cuticlei terklasifikasi oleh kalsium karbonat dalam bentuk

kristal kalsit. Kristal tersebut timbul dan tumbuh bersamaan dengan jaringan organik

Page 4: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

fibrilar dan membentuk material komposit aselular kaku yang akhirnya terbentuk

menjadi eksokeleton (Aslak, 2007).

Menurut Mahmoud et al, (2007), untuk mendapatkan kitin dari limbah kulit udang,

ekstraksi kitin dibagi menjadi dua tahapan yaitu penyisihan atau penghingan mineral

yaitu kalsium karbonat (demineralisasi) dan penyisihan atau penghilangan protein

(deproteinasi). Berdasarkan pada teori tersebut, dpat dikatan bahwa metode yang sama

akan dilakukan pula dalam praktikum ini untuk pengolahan kitin dari limbah kulit

udang. Tahapan ekstraksi kitin ini dilakukan secara kimia denga menggunakan senyawa

asam kuat yaitu asam klorida (HCl) pada proses demineralisasi, sedangkan pada proses

deproteinasi digunakan basa kuat yaitu natrium hidroksida (NaOH). Pengolahan lebih

lanjut untuk membuat kitosan dari kitin dapat dilakukan dengan deasetilasi

menggunakan basa kuat yaitu NaOH. Metode atau cara kerja pembuatan kitin dan

kitosan dari limbah kulit udang dapat dilihat pada diagram alir berukut ini.

Kulit Udang Grinding (Penggilingan / Pengayakan menjadi powder)

Demineralized Flake

Kitin

Kitosan(Steven et al, 1998)

Pada diagram alir di atas dapat dilihat bahwa sebelum melakukan proses demineralisasi

(penyisihan atau penghilangan mineral), bahan baku kulit udang terlebih dahulu

mengalami proses grinding (penggilingan atau pengayakan). Proses grinding

merupakan tahapan proses pre-treatment, yang dilakukan dengan perendaman pada air

asam (HCl atau CH3COOH). Hal ini berguna untuk menghomogenkan bahan sehingga

ukuran menjadi lebih kecil, luas permukaan semakin besar, dan mudah dilarutkan pada

saat proses demineralisasi dan deproteinasi (Aye & Steven, 2004). Lertsutthiwong et al

(2002) juga menambahkan bahwa perlakuan pre-treatment berguna untuk mengurangi

konsentrasi penggunaan asam dan basa serta menurunkan temperatur proses

demineralisasi dan deproteinasi. Kualitas kitin akan berbeda-beda atau bervariasi

Demineralisasi (HCl, 90C, 1 jam)

Deproteinasi (NaOH, 90C, 1 jam)

Deasetilasi (NaOH, 90C, 1 jam)

Page 5: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

tergantung pada tingkat penurunan mineral dan protein. Biasannya, produk kitin setelah

mengalami demineralisasi dan deproteinasi akan mengalami penurunan jumlah mineral

dan protein sebesar 80-90%.

2.1. Demineralisasi

Menurut Synowiecki & Al-Khateeb (2003), kulit udang memiliki kandungan mineral

sebesar 20-35% dari berat keringnya, yang komposisi mineral utamanya adalah kalsium

karbonat. Komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam kuat

seperti asam klorida (HCl), asam sulfida (H2SO4), atau asam laktat (C3H6O3). Namun

sebelum melakukan proses demineralisasi, dalam praktikum ini, tahap pre-treatment

dilakukan terlebih dahulu. Pertama-tama dilakukan pre-treatment terlebih dahulu

langkah pengerjaan yang dilakukan untuk menghilangkan komponen mineral pada kulit

udang adalah dengan pencucian pada air mengalir, kemudian dikeringkan dibawah sinar

matahari sampai kering. Bastaman (1989) mengatakan, pencucian ini bertujuan untuk

menghilangkan kotoran yang masih menempel, karena kotoran yang menempel pada

kulit udang dapat mencemariekstraksi kitin yang akan dilakukan. Lalu kulit udang yang

sudah kering dicuci dengan air panas sebnayak 2 kali dan kemudian direbus selama 10

menit. Proses pembilasan dengan air panas dan proses perebusan ini berguna sebagai

tahap sterilisasi, sehingga mikroorganisme yang tidak diinginkan pada kulit udang dapat

dihilangkan. Hal ini sama prinsipnya apabila dilakukan pemasakan untuk pengolahan

makanan yang biasa dilakukan pemasakan untuk pengolahan makanan yang biasa

dilakukan sehari-hari. Setelah itu, kulit udang dikeringkan dengan menggunakan oven

pada suhu 800 selama ± 3 jam. Proses pengeringan pada tahap pre-treatment ini

bertujuan untuk menguapkan air yang terkandung didalam kulit udang sekaligus

menguapkan senyawa volatil yang tidak diinginkan ada di dalam kulit limbah yang akan

digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitin. Dimana akhirnya, produk bahan baku

yang diinginkan untuk kulit limbah ini berbentuk kering. Kulit udang yang kering

selanjutnya digaluskan atau digiling (granding) dengan menggunakan food processor,

kemudian diayak pada ayakan 40-60 mesh atau lebih kecil. Hal ini sesuai dengan teori

Aye & Steven (2004), dimana pengayakan dilakukan untuk menghomogenkan bahan

sehingga ukuran menjadi lebih kecil, luas permukaan semakin besar, dan mudah

Page 6: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

dilarutkan pada saat proses demineralisasi dan deproteinasi. Serbuk (powder) kulit

udang ini untuk selanjutnya diolah dalam pembuatan kitin.

Untuk tahap demineralisasi , serbuk kulit udang diambil sebanyak 8,5 gram (berat basah

I) dan di timabahkan HCl dengan perbandingan 10:1, jadi jumlah HCl yang

ditambahkan adalah ±1 ml. HCl yang digunakan sebagai pelarut ini bervariasi

konsentrasinya. Pada kelompok C1 dan C2 sebesar 0,75 N ; untuk kelompok C3 dan C4

sebesar 1N dan terakhir pada kelompok C5 dan C6 sebesar 1,25N. Seperti yang

dikatakan oleh Synowiecki & Al-Khateeb (2003) sebelumnya, bahwa penambahan

larutan asam kuat salah satunya HCl yang berfungsi untuk melarutkan komponen

mineral pada kulit udang, terutama jenis mineral kalsium karbonat.

Setelah penambahan asa, kuat berupa HCl, campuran larutan asam dan kulit udang

tersebut kemudian dipanaskan menggunakan waterbath pada suhu 900C dan sambil

diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses

penghilangan mineral, hal ini disebabkan karena mineral bersifat tidak tahan panas

sehingga dengan adanya proses pemanasan ini senyawa mineral akan mudah

dihilangkan (Synowiecki & Al-Khateeb, 2003). Sedangkan proses pengadukan yang

dilakukan selama waktu pemanasan berjalan adalah untuk menghindari penggumpalan

pada serbuk kulit udang dengan keberadaan HCl (Synowiecki & Al-Khateeb, 2003)

Synowiecki & Al-Khateeb (2003) juga menambahkan, proses pemisahan mineral terjadi

ditandai dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl

ditambahkan ke dalam sampel. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)

Sesuai dengan teori Synowiecki & Al-Khateeb (2003), pada saat pemanasan terjadi

pembentukan gelembung, ditambah dengan pengadukan, pembentukan gelembung,

semakin meningkat. Tahapan proses selanjutnya adalah penetralan larutan HCl dan kulit

udah setelah dipanaskan. Larutan setelah dipanaskan memiliki kondisi pH yang asam

sehingga harus dilakukan pencucian agar menjadi netral. Kulit udang dicuci dengan air

sampai pH-nya menjadi netral. Pengujian pH pada praktikum inni dilakukan

menggunakan kertas pH meter. Pencapaian pH netral yaitu 7 ditandai dengan

Page 7: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

berubahnya kertas menjadi bewarna hijau. Setelah proses demineralisasi ini selesai,

kitin dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 800C selama 24 jam.

Setelah kulit melewati tahap demineralisasi, diperoleh rendemen kitin I dari hasil

perhitugan dengan cara menimbang berat rendemen yang dihasikan (berat kering I)

setelah pengovenan dengan menggunakan timbangan analitik. Rendemen kitin I adalah

kitin yang melewati proses penghilangan mineral namun masih terdapat kandungan

protein di dalamnya, sehingga proses pembuatan kitin ini masih dapat dikataka belum

sempurna. Rendemen kitin I dapat dihitung dengan menggunkan rumus sebagai berikut:

Rendemen Kitin I = berat kering Iberat basah I

x 100%

Pada hasi pengamatan dapat diketahui bahwa dengan penambahan konsentrasi HCl

yang berbeda-beda pada setiap kelompok menghasilkan rendemen kitin I yang berbeda-

beda pula pada kelompok C1 dan C2 yang di tambahkan dngan HCl 0,75 N

mengahasilkan rendemen kitin I sebesar 20 % dan 32%. Sedangkan pada kelompok C3

dan C4 di tambahkan dengan HCl 1N menghasilkan besar rendemen 24 % dan 41%.

Dan terakhir pada kelompok C5 dan C6 dengan HCl 1,25N menhasilkan rendemen 29%

dan 35%. Menurut Synowiecki & Al-Khateeb (2003), kandungan kitin dalam kulit

udang berkisar antara 20 sampai 60%. Hal ini sesuai dengan kelompok C1- C6 karena

rendemen yang di hasilkan tiap kelompok berada di antara 20% samapi 60 %. Hal ini

didukung oleh Laila & Hendri (2008) yang mengatakan kualitas kitin dipengaruhi oelh

tahapan dan kondisi proses.

2.2. Deproteinasi

Setelah kandungan mineral pada kulit udang hilang, yang dilakukan selanjutnya dalah

penghilangan kandungan protein dalam kulit udang yaitu dengan proses deproteinasi.

Cara yang dilakukan untuk penghilangan protein (deproteinasi) sama dengan cara yang

dilakukan untuk penghilangan mineral (demineralisasi) Synowiecki & Al-Khateeb

(2003). Yang membedakan hanyalah pada senyawa kimia yan diberikan, jika pada

proses demineralisasi ditambahkan HCl pada perbandingan 10:1 dengan perlakuan

konsentrasi yang berbeda-beda antar kelompok, pada proses deproteinasi tidak

Page 8: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

ditmabhakn dengan HCl tetapi ditambahkan dengan NaOH yang konsentrasinya sama

untuk semua kelompok yaitu NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1 yang digunakan

dalam proses deproteinasi ini adalah pengeringan pada proses demineralisasi (rendemen

kitin I). Prosesnya sama yaitu meliputi pelarutan dengan NaOH 3,5% sebesar 6:1,

pemanasan dan pengadukan pada waterbath pada suhu 900C selama 1 jam, penyaringan,

pencucian hingga pH netral dan pengeringan pad oven bersuhhu 800C selama 24 jam.

Hasil yang diperoleh kemudian ditimbang (berat kering II) dan dihitung rumusnya

sebagai berikut :

Rendemen Kitin II = berat kering IIberat basah II

x 100%

Dengan perlakuan penambahan NaOH pada konsentrasi yang sama yaitu 3,5%, hasil

pengamatan menunjukkan bahwa rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok

C2 dan C5 dengan nilai rendemen 33,333% dan rendemen terkecil terdpat pada

kelompok C4 dengan nilai 16,667%. Dalam proses deproteinase ini, larutan NaOH

berfungsi untuk melarutkan protein dan mineral yang masih tersisa pada proses

demineralisasi sebelumnya (Lertsutthiwong et al, 2002). Menurut Fennema (1985),

kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar dibandingkan pada suasana

asam karena larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi.

Jika dibandingkan dengan rendemen yang diperoleh, rendemen kitin II mengalami

penurunan dari rendemen I (kelompok C3,C4 dan C6). Padahal menurut Fennema (1985

diatas, larutan basa NaOH memiliki kemampuan melarutkan protein dan mineral lebih

tinggi dari pada larutan asam, sehingga seharusnya, pada proses deproteinase ini

rendemen yng dihasilkan jauh lebih besar. Proses deproteinase dengan NaOH yang

kurang optimal ini dapat disebabkan karena adanya kitin yang terikut dengan air saat

prose pencucian atau penetralan, karena pengeringan yang beum optimal, atau karena

proses demineralisasi yang kurang sehingga masih ada mineral yang tersisa pada kulit

udang. Mineral yang masih ada pada proses deproteinasi menebabkan terhalangnya

protein untuk ikut larut bersama NaOH karena dalam hal ini mineral berfungsi untuk

melindungi keberdaan peotein.

Page 9: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Apabila sudah tidak terdapat mineral dalam rendemen I, proses penghilangan protein

dapat berjalan lebih cepat karena sudah tidak ada mineral yang menghalangi, sehingga

rendemen kitin II yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari rendemen kitin I

(Fenemma, 1985). Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa rendemen kitin I

merupakan kitin yang sudah tidak ada mineralnya namun masih terdapat proteinnya.

Sedangkan rendemen kitin II adalah kitin yang sudah tidak mengandung mineral

maupun protein. Maka dapat diketahui secara pasti bahwa berat rendemen II lebih

rendah daripada berat rendemen I. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh,

dibandingkan dengan rendemen kitin I, rendemen kitin II mengalami penurunan berat.

Hal tersebut terjadi pada kelompok C3, C4 dan C6. Sehingga pernyataan ini sesuai

dengan teori Fenemma (1985). Penurunan berat tertinggi terjadi pada kelompok C3 dari

24% pada rendemen I menjadi 20% pada rendemen II. C4 dari 41% menjadi 16,667%

dan C6 dari 35% menjadi 28,571%. Ketimpangan hasil pengamatan ini terjadi mungkin

karena ketidaktepatan pengukuran atau penimbangan. Kondisi proses selama

pemanasan dan pencucian sedikt besar juga mempengaruhi hasil penurunan rendemen

kitin yang terlalu jauh tersebut (Fenemma, 1985).

Suhu yang digunakan dalam proses demineralisasi dan deproteinasi adalah 900C. Suhu

tersebut merupakan suhu mutlak yang digunakan dalm proses pembuatan kitin dan

kitosan. Hal ini dikarenakan penggunaan asm dan basa pada suhu tinggi dapat

mempengaruhi kwalitas produk yang dihasilkan, penggunaan alkali dalam waktu lama

dan pada suhu yang tinggi dapat memicu penguapan senyawa aldol, sedangkan

penggunaan HCl berlebih dapat menghidrolisis rantai β-glikosidik secara berlebihan

yang merupakan ramuan utama kitin sehingga berpengaruh terhadap berat molekul,

viskositas, dan derajat deasetilasi kitin. (Toan et al, 2006)

2.3. Deasetilasi

Kitin merupakan produk turunan dari kitin. Transformasi kitin menjadi kitosan

dilakukan dengan mekanisme penghilangan gugus asetil yang tergabung dalam gugus

amina (-NHCOCH3) pada kitin dan pengubahnya hanya menjadi gugus amina (-NH2)

pada kitosan. Proses pengubahan tersebut disebut proses demineralisasi dan

Page 10: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

deproteinasi, menurut Knoor (1984), derajad deasetilasi adalah prosentase gugus asetil

yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun kitosan yang diinginkan dalam

produk kitosan adalah rendahnya atau ketiadaan gugus asetil. Sehingga rendahnya

gugus asetil yang ada pada kitosan ditandai dengan semakin tinggi derajat deasetilasi

pada kitosan, dengan kondisi seperti ini, interaksi antar ion dan ikatan hydrogen menjadi

semakin kuat (Knoor, 1984). Mekanisme penghilangan gugus asetamida menjadi gugu

amina untuk pembuatan kitosan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini :

Gambar 3. Mekanisme Penghilangan Gugus Asetil pada gugus Asetamida (Azhar et al.

2010)

Pada prinsipnya, mekanisme pembuatan kitosan sama dengan pembuatan kitin, yaitu

dengan menggunakan hasil rendemen pada pengolahan kitin. Secara garis besar

prosesnya pun sama yaitu pelarutan, pemanasan dan pengadukan, pencucian dan

penetralan, serta pengeringan pada suhu tinggi dengan oven (Synowiecki & Al-Khateeb,

2003). Perbedaan larutan yang digunakn untuk melarutkan gugus asetil pada asetamida

kitin adalah NaOH dengan konsentrasi yang tinggi. Pada praktikum ini perlakuan

larutan NaOH yang digunakan adalah NaOH 40% pada kelompok C1 dan C2 ; serta

NaOH 50% yang digunakan untuk kelompok C3 dan C4; dan yang terakhir NaOH 60%

yang digunakan pada kelompok C5 dan C6. Penambhan NaOH dilakukan dengan

perbandingan (20:1) menurut Hirano (1989), penggunaan konsentrasi NaOH yang besar

dan juga perbandingan NaOH yang besar pada proses deasetilasi ini dikarenakan gugus

fungsional amino yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam larutan menjadi semakin

aktif, sehingga untuk proses deasetilase yang lebih sempurna membutuhkan konsentrasi

dan jumlah pelarut yang semakin tinggi pula. Penentuan konsentrasi NaOH yang tinggi

pada proses deasetilasi akan menhilangkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang

tinggi pula.

NaOH

suhu tinggi

Page 11: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Martinou (1995), berpendapat NaOH mampu mengubah formasi kitin yang sangat rapat

menjadi lebih renggang, sehingga enzim dapat menjadi lebih mudah bekerja untuk

melakukan deasetilasi polimer kitin. Alkali (NaOH) dalam konsentrasi yang tinggi

dapat memutus ikan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen. Sedangkan suhu

yang digunakan dalam pemanasan adalah 900C. Pemanasan pada suhu tinggi ini

berfungsi untuk melepas gugus asetil dari molekul kitin, sehingga amina yang sudah

terlepas dengan gugus asetamida akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki

muatan positif dan gugus amina tersebut menjadi ikatan yang bebas. Jadi dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan pada proses

deasetilasi, maka derajat deasetilasi juga akan semakin meingkat. Pengadukan juga

merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat deasetilasi karena jika

pengadukan tidak merata maka kontak antara NaOH dan kitin dapat optimal (Rogers,

1986). Setelah dilakukan pemanasan pada kitin, dilakukan pencucian dan penetralan.

Sebelum dilakukan pencucian, larutan yang terbentuk harus didinginkan terlebih

dahulu. Hal ini berfungsi mengendapkan bubuk kitosan ke bagian bbawah, sehingga

bubuk kitosan tidak ada yang terbuang saat dilakukan pencucian dan penetralan

(Ramadhan et al, 2010).

Setalah diketahui berat kitosan saat setelah dilakukan pengovenan, rendemen kitosan

dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Rendemen Kitosan = berat Kitosan

berat basah III

Pada hasil praktikum kali ini dapat diketahui bahwa rendemen kitin III yang diperoleh

dari proses deasetilasi berbeda-beda pada setiap kelompok dengan perlakuan larutan

NaOH yang berbeda pula. Rendemen kitin III paling tinggi terdapat pada kelompok C2

dengan perlakuan NaOH 40% sebesar 17,500%. Sedangkan rendemen kitin III yang

rendah terdapat pada kelompok C1 dengan perlakuan NaOH 40% sebesar 7,843%.

Menurut Hong et al. (1989), penggunaan konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan

menghasilkan rendemen kitosan yang semakin rendah. Hal ini disebabkan karena

penambahan konsentrasi NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai

molekul kitosan yang dapat menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Apabila

diamati, hasil rendemen kitin III yang ada dilakukan dalam praktikum ini kurang sesuai

teori Hong at al. (1989). Terjadi kesalahan dalam praktikum hal ini disebabkan karena

Page 12: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

proses penetralan yang menggunakan air secara berung-ulang menyebabkan segaian

kitin maupun kitosan ikut terbuang bersama air. Penyataan ini berdasarkan pada teori

Hong et al,(1989) yang berpendapat bahwa, besarnya konsentrasi NaOH berbanding

terbalik dengan jumlah rendemen kitin yang dihasilkan.

Jika dibandingkan dengan hasil rendemen kitin II, terjadi penurunan pada jumlah

rendemen kitosan. Hal ini tidak sesuai dengam teori Knoor (1984) yang mengatakan

bahwa penghilangan senyawa asetil pada asetamida yang terdapat pada kitin, sehingga

dengan ketidaan gugus asetil maka secara langsung massa rendemen kitosan (gugus

amina) menjadi berkurang, karena gugus asetamida (gugus asetil dan gugus amina)

sudah dikurangi dengan gugus asetil yang hilang.

Menurut Steven et al .(1998), kualitas produk kitin dan kitosan sangat tergantung pada

teknologi proses produksi yang digunakan. Teknologi produksi kitin dan kitosan dari

kulit udang telah dikenal dan diproduksi dalam skala besar, tetapi industri kitin dan

kitosan yang sudah ada saat ini masih menggunakan teknologi konvensional yaitu

menggunakan 4% HCl untuk proses demineralisasi dan 4% NaOH untuk proses

deproteinasi yang dilakukan pada suhu 70-900C. Demikian pula dalam melakukan

proses produksi kitosan dari kitin, proses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan yang

paling baik yaitu menggunakan 50% NaOH pada suhu yang sama. Sedangkan menurut

Mahmoud et al., (2007), proses ektraksi kitin di industri saat ini dilakukan secara kimia

dengan menggunakan 1-10% HCl untuk proses demineralisasi dan 1-10% NaOH untuk

proses deproteinasi.

Menurut Islam et al., (2011) pada jurnal “Preparation of Chitosan from Shrimp Shell

and Investigation of Its Properties”, kitosan dapat diperoleh melalui limbah kulit

(cangkang) udang. Kulit udang merupakan salah satu limbah yang tidak sering

dimanfaatkan karena karakter pengolahan yang relatif sulit. Namun ketika limbah kulit

udang diuji karakteristik psikokimiannya, diperoleh bahwa kulit udang ini memiliki

derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu 75%. Tingginya derajat deasetilasi ini menandakan

bahwa banyak terkandung kitosan di dalam limbah kulit udang. Selain sebagai sumber

kitosan yang baik, limbah kulit udang juga memiliki kemampuan pengikatan lemak

Page 13: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

yang tinggi yaitu mencapai 370%. Karakteristik kitosan yang diperoleh melalui kulit

udang ini memiliki sifat kelarutan terhadap larutan asam asetat sebesar 1%. Sifat

kelarutan kitosan dari limbah kulit udang tersebut membuat kitosan dapat dimanfaatkan

untuk suplemen makanan, bahan tambahan makanan, obat dengan berbagai perlakuan

pengolahan yang telah dikembangkan. Pengolahan kitosan dari limbah kulit udang ini

sekaligus dapat meminimalkan polusi lingkungan.

Selain dapat diperoleh melalui limbah kulit udang, Tsung Yen et al., (2009) menyatakan

bahwa kitin dan kitosan dapat diperoleh melalui cangkang kepiting. Dalam jurnal-nya

yang berjudul; “Physicochemical Characterization of Chitin and Chitosan from Crab

Shells”, kitosan dapat diperoleh dengan melarutkan kitin pada larutan alkali N-

deasetilasi. Proses yang sama dengan praktikum, dimana dilakukan proses deasetilasi

untuk memperoleh kitosan. Selama proses deasetilasi, dilakukan pengujian karakteristik

kitosan pada menit ke-60, 90, dan 120. Dari pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa

prosentase kitosan terbesar diperoleh pada menit ke-120. Semakin lama proses

perendaman kitin dalam proses deasetilasi, maka prosesntase kitosan yang diperoleh

akan semakin tinggi. Yield kitosan yang diperoleh selama proses perendaman tersebut

adalah 30 – 32,2%.

Pada jurnal Toan (2014); “Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed

Shrimp Shell Materials”, dibahas mengenai limbah kulit udang yang diolah dengan

proses autolisis kemudian disimpan selama 4 hari dengan 3 perlakuan penyimpanan,

yaitu di dalam inkubator bersuhu 30°C, di dalam freezer, dan di bawah kondisi 30°C.

Selama inkubasi, kandungan kitin dan kitosan pada limbah kulit udang yang di-autolisis

diamati pada hari ke-1 hingga hari ke-4. Penentuan kandungan kitin dan kitosan pada

limbah kulit udang didasarkan pada kandungan abu (ash) dan proteinnya. Selain itu,

untuk menentukan kandungan kitin dan kitosannya, dilakukan uji viskositas

(kekentalan) pada larutan perendamnya. Hasilnya, kulit udang yang diinkubasi pada

suhu 30°C diperoleh viskositas tertinggi pada inkubasi hari ke-1 sebesar 3590 cps. Pada

suhu penyimpanan di freezer, kandungan kitin dan kitosan tertinggi diperoleh pada hari

ke-2 sebesar 3580 cps. Sedangkan yang diinkubasi pada kondisi di bawah 30°C

Page 14: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

diperoleh kandungan kitin dan kitosan terendah dibandingkan kedua perlakuan inkubasi

yang lain yaitu sebesar 2300 dan 2700 cps.

Dalam jurnal-nya (“Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp

Shells using Salicilyc Pretreatment”), Toan (2014) menambahkan bahwa isolasi kitin

dan kitosan yang diperoleh melalui limbah kulit udang ‘black tiger’ dapat dilakukan

dengan merendam pada larutan asam salisilat 0.04 M selama 10 jam. Namun, sebelum

proses perendaman dalam larutan asam salisilat, limbah kulit udang harus di-

demineralisasi dan di-deproteinasi terlebih dahulu dengan 0.680 M HCl dan 0.620 M

NaOH (pre-treatment). Selama proses perendaman 10 jam tersebut, pada jam ke-8

diperoleh kandungan residu abu dan protein pada kitosan limbah kulit udang sebesar

0.48% dan 0.51%. selain itu, diperoleh karakteristik lain berupa nilai viskositas sebesar

4800 cps dan tingkat kelarutan hingga 98%. Dibandingkan dengan limbah kulit udang

yang tanpa melalui proses pre-treatment, nilai kandungan abu dan protein, tingkat

kelarutan, dan viskositas memiliki nilai yang lebih rendah.

Berdasarkan jurnal “Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf

Life of Minimally Processed Fish” (Paul et al., 2013), kitin dan produk deasetilasinya

(kitosan) memiliki potensi yang besar dalam fungsinya untuk pengemasan makanan.

Hal ini dikarenakan kitin dan kitosan memiliki sifat biodegradability (senyawa organik

yang mudah diuraikan), umur simpan panjang, ramah lingkungan, fleksibel, kuat, tidak

mudah sobek, dan memiliki aktivitas antimikroba. Isolasi kitin dan kitosan pada

dasarnya menggunakan metode yang sama yaitu deasetilasi menggunakan pelarut kimia.

Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh yield kitin dan kitosan sebesar 31% dan 58%.

Derajat deasetilasi yang diperoleh pada proses tersebut mencapai 90,7%. Prosentase

deasetilasi yang tinggi ini membuat kitosan memiliki sifat larut dalam air dan bersifat

bio-adesif. Sifat tersebut membuat kitosan dapat dijadikan sebagai bahan kemasan

makanan. Kemasan makanan yang dibuat dengan kandungan kitosan ini dikatakan

memiliki sifat antimikroba karena memiliki kemampuan penghambatan terhadap bakteri

Listeria monocytogenes dan Pseudomonas putida sebesar 3.6 cm dan 2.9 cm dalam

zona beningnya. Kemasan makanan dari kitosan ini dikatakan mudah terurai karena

kemasan tersebut dapat 93% terurai dalam waktu 20 hari oleh bakteri Bacillus subtilis.

Page 15: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Biasanya, kemasan makanan dari kitosan ini digunakan untuk mengemas ikan fillet dan

ikan segar.

Page 16: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan salah satu sumber yang kaya akan kitin dan kitosan.

Kitin adalah biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan

dengan (1,4) dengan rumus kimia (C8H13NO5)n.

Proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat dapat menghasilkan kitosan.

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin yang memiliki rumus polimer (2-

amino-2-dioksi-β-D-Glukosa).

Kandungan kitin dalam kulit udang berkisar antara 20 – 60%, tergantung jenis atau

spesies udang yang digunakan

Proses pembuatan kitin meliputi demineralisasi dan deproteinasi.

Kitosan dapat diperoleh dari kitin dengan proses deasetilasi.

Penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada kitosan merupakan

prinsip mekanisme kerja transformasi kitin menjadi kitosan.

Penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan

komponen mineral pada kulit udang.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang

didapatkan akan semakin besar.

Penentuan konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan

menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula.

Semakin tinggi suhu pemanasan pada proses deasetilasi kitin, derajat deasetilasi

semakin meningkat.

Konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang

semakin rendah.

Proses demineralisasi dan deproteinasi dilakukan pada suhu 70 - 90C.

Kitosan memiliki sifat larut dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari

derajat deasetilasi.

Derajat deasetilasi adalah prosentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari

rendemen kitin maupun kitosan.

Mutu kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasi yang semakin kecil.

Rendahnya gugus asetil yang ada pada kitosan ditandai dengan semakin tinggi

derajat deasetilasi pada kitosan.

16

Page 17: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Kualitas produk kitin dan kitosan sangat tergantung pada teknologi proses produksi

yang digunakan.

Proses ekstraksi kitin di industri saat ini dilakukan secara kimia dengan

menggunakan 1-10% HCl untuk proses demineralisasi dan 1-10% NaOH untuk

proses deproteinasi.

Semarang, 14 September 2014

Praktikan, Asisten Dosen:

- Stella Gunawan

Fransiscus Christian H. W

12.70.0036

Page 18: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. DAFTAR PUSTAKA

Aslak Einbu. (2007). Characterisation of Chitin and a Study of Its Acid-Catalysed Hydrolysis, Thesis for the Degree of Philosophiac Doctor, Norwegian University of Sience and Technology, Dept. of Biotechnology, Norwegian.

Aye, K.N., dan W.F Steven. (2004). Improved Chitin Production by Pretreatment of Shrimp Shells. Journal Chemistry Technology and Biotechnology (79): 421-425.

Bastaman S. (1989). Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan from Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and ChemicalEngineering. Queen’s Univ. Belfast

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Laila A., dan Hendri, J. (2008). Studi Pengikatan Kitosan pada Polietilen Tergrafting Asam Akrilat yang Diperoleh dengan Radiasi Gamma, Prosiding: Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II-2008, Universitas Lampung, Lampung, 17-18 November 2008

Lertsutthiwong, P., et al. (2002). Effect of Chemical Treatment o the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials, and Minerals, 12, 11-18.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mahmoud, N.S., Ghaly, A.E., and Arab, F. (2007). Unconventional Approach for Demineralization of Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production, American Journal of Biochemistry and Biotechnology, 3 (1): 1-9.

Monarul Md. Masum, M.r Rahman. Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01

Paul. P.J, S.Jeskine J.W, K. Mohan.(2013). Development of chitosan based active film to extend the shelf life of minimally processed fish. IMPACT: International Journal of

18

Page 19: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

Research in Engineering & Technology (IMPACT: IJRET) ISSN 2321-8843 Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22 © Impact Journals

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Rao, M.S., J. Munoz and W.F. Stevens. (2000). Critical Factors in Chitin Production by Fermentation of Shrimp Biowaste. Journal Application Microbiology and Biotechnology. (54): 808-813.

Rinaudo Marguerite. (2006). Chitin and Chitosan: Properties and applications. Prog. Polym. Sci. (31):603-632.

Steven, S; Kurnia, W dan Malcom, P. (1998). Kimia Polimer. cet 1. PT Pradnya Paramita. Jakarta; hal 7-8, 110.

Swastawati et al. (2008). “Pemanfaaan Limbah Kulit Udang menjadi Edible Coating untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan”. Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro. 04 (04), 101-106.

Synowiecki, J and N.A. Al-Khateeb. (2003). Production, Properties and Some New Application of Chitin and Its Derivates. Critical Review in Food Science and Nutrition, 3 (2): 145-171.

Toan, N.V., Ng-How, C., Aye KY., and Trang TS. (2006). Production of High Quality Chitin and Chitosan from Preconditioned Shrimp Shells. Journal Chemial Technology and Biotechnology. (81): 1113-1118.

Toan.N.V.(2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. Address correspondence to this author at the School of Biotechnology, International University, Vietnam National University, Ho Chi Minh City; Fax: + 84 -83-7244271 ; Email: [email protected]

Yen MT , JH Yang , JL Mauc.(2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers Vol 75: 15–21

Page 20: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen kitin I = berat keringberat basah I

x

100%

Rendemen kitin II = berat kitinberat basah II

x

100%

Rendemen kitosan = berat kitosanberat kitin III

x

100%

Kelompok C1

Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I

×100 %= 210

×100 %=20 %

Rendemen Kitin II = Berat Kitin

Berat Basah II×100 %=0,5

2,5×100 %=20 %

Rendemen Kitosan = Berat Kitosan

Berat Basah III× 100 %=0,4

5,1× 100 %=7,843 %

Kelompok C2

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,210

x 100 %=32 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,33 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100%=0,7

4x100 %=17,5%

Kelompok C3

Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I

x 100 %=2,410

x 100 %=24 %

20

Page 21: Chitin-Chitosan_FRANSISCUS CHRISTIAN_12.70.0036_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21

Rendemen Kitin II¿beratkitin

beratbasahIIx100%=0,5

2,5x100 %=20 %

Rendemen Kitosan¿beratkitosan

beratbasah IIIx100 %=0,4

3,5x100 %=11,429 %

Kelompok C4

Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I

x 100 %=4,110

x100 %=41 %

Rendemen Kitin II¿beratkitin

beratbasahIIx100 %=0,4

2,4x100 %=16,667 %

Rendemen Kitosan¿beratkitosan

beratbasah IIIx100 %=0,2

1,7x 100 %=11,764 %

Kelompok C5

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=2,910

x100 %=29 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,333 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,5

3,5x 100 %=14,285 %

Kelompok C6

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,510

x100 %=35 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,8

2,8x 100 %=28,571%

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100%=0,4

3,4x100 %=11,765 %

5.2. laporan sementara