chitin-chitosan_fransiscus christian_12.70.0036_c4_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Kitin kitosan merupakan salah satu hasil pengolahan hasil laut yang bisa dimanfaatkan dari limbah udang. Limbah yang digunakan sebagai sumber yang kaya akan kitin adalah bagian kulit udang.TRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap rendemen dari pembuatan kitin-kitosan dari limbah (kulit)
udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan dari Limbah Kulit Udang
Kelompok PerlakuanRendemen
Kitin IRendemen
Kitin IIRendemen Kitin III
C1Kulit udang + HCl
0,75N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
20 % 20 % 7,843 %
C2Kulit udang + HCl
0,75 N + NaOH 3,5%+ NaOH 40%
32 % 33,333 % 17,500 %
C3Kulit udang + HCl 1
N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
24 % 20 % 11,429 %
C4Kulit udang + HCl 1
N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
41 % 16,667 % 11,764 %
C5Kulit udang + HCl
1,25 N + NaOH 3,5%+ NaOH 60%
29 % 33,333 % 14,285 %
C6Kulit udang + HCl
1,25 N + NaOH 3,5%+ NaOH 60%
35 % 28,571 % 11,765%
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa perlakuan yang digunakan pada masing-masing
kelompok berbeda tergantung dari prosesnya yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi. Pada proses demineralisasi digunakan HCl dengan konsentrasi 0,75 N; 1N;
dan 1,25N dengan menghasilkan rendemen kitin I yang memiliki range antara 20-41%.
Sedangkan pada proses deproteinasi yang menggunakan NaOH dengan nilai konsentrasi
3,5 % untuk menghasilkan rendemen kitin II yang memiliki range antara16,6-33,3%
dan terakhir dengan proses deasetilasi yang menggunakan NaOH dengan konsentrasi
40%, 50% dan 60% yang menghasilkan rendemen kitin III yang memiliki range antara
7,8-17,5%.
1
2. PEMBAHASAN
Kitin kitosan merupakan salah satu hasil pengolahan hasil laut yang bisa dimanfaatkan
dari limbah udang. Limbah yang digunakan sebagai sumber yang kaya akan kitin adalah
bagian kulit udang. Apabila ditinjau lebih lanjut dari proses produksi pengolahan udang
beku, limbah bisa berasal dari kaki, ekor, kulit badan, dan kepala udang. Bagian-bagian
dari udang yang berpotensi sebagai limbah adalah berkisar antara 30-73% (Swastawati
et al, 2008). Kitin kitosan merupakan teknologi pengembangan yang baru dari limbah
udang khususnya kulit yang memiliki nilai jual tinggi.
Dalam praktikum ini, kulit udang yang digunakan sudah dipisahkan dengan bagian
kepala sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan. Menurut Rao et al (2000), kulit
udang mengandung beberapa komponen penting yaitu protein, lemak, pigmen, kitin dan
mineral berupa kalsium karbonat. Kelebihan limbah kulit udang ini adalah semua
komponen tersebut dapat diisolasi dan diekstrak sehingga mampu menghasilankan nilai
jual yang tinggi dibandingkan dengan kulit yang tidak diolah. Tiga komponen yang
keberadaanya cukup besar dalam kulit udang adalah kitin, mineral, dan protein.
Sehingga dalam pembuatan kitin ini perlu dilakukan tahap demineralisasi yaitu
penghilangan mineral dan deproteinasi yaitu penghilangan protein agar dapat diperoleh
produk yang benar-benar murni menjadi kitin saja. Kandungan kitin dalam kulit udang
berkisar antara 20 - 60%, tergantung jenis atau spesies udang yang digunakan
(Synowiecki & Al-Khateeb, 2003).
Kitin dan kitosan memiliki struktur ikan kimia yang hampir sama dengan selulosa, yaitu
antara monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi β (1-4). Perbedaan
dengan selulosa adalah pada gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon
nomor dua, digantikan oleh gugus Asetamia (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin
menjadi sebuah polimer berunit N-asetil glukosamin, sedangkan pada kitosan
digantikan dengan gugus amin (NH2) (Rinaudo, 2006). Struktur kimia kitin dan kitosan
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
2
3
Gambar 1. Struktur kimia Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf atau kristal, bewarna putih,
dan dapat terurai (biodegradable), terutama oleh bakteri penghasil enzim kitinase. Kitin
memiliki rumus kimia (C8H13NO5)n yang merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-
glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β(1,4). Kitin bersifat tidak larut air,
asam organik encer, asam organik, alkali pekat, dan pelarut organik, namun larut dalam
asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam formiat anhydrous.
kitin dalam asam pekat akan dapat terdegradasi menjadi monomer-monomer dan dapat
memutuskan gugus asetil. Struktur cangkang atau kulit udang (eksoskeleton) crustacran
terdiri dari lapisan-lapisan cuticle. Matriks organik yang menyusun cuticle tersebut
adalah kitin yang berasosiasi dengan protein (Aslak, 2007), yang padat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Gambar 2. Struktur Matriks Kitin-Protein pada Kulit Udang (a) Kristal kitin yang dikelilingi protein, (b) Fibril Kitin-protein, dan (c) Skematik Lapisan Fibril yang
tersusun Horizontal dan Pararel.
Pada cuticle, rantai kitin tersusun dalam bentuk kristal panjang dan tipis. Globular
protein melilit lapisan luar kristal kitin, yang dapat dilihat pada gambar (a). Unit kitin
protein bergabung membentuk fibril dalam berbagai diameter dimana kristla kitin
tampak seperti batang yang terlapisi protein, yang dpat dilihat pada gambar (b). Fibril
kitin-protein membentuk lembaran-lembaran horizontal dan fibril pararel dengan arah
yang berbeda antara satu lapisan dengan lapisan lain, dimana hal ini dapat dilihat pada
gambar (c). Setiap lapisan cuticlei terklasifikasi oleh kalsium karbonat dalam bentuk
kristal kalsit. Kristal tersebut timbul dan tumbuh bersamaan dengan jaringan organik
4
fibrilar dan membentuk material komposit aselular kaku yang akhirnya terbentuk
menjadi eksokeleton (Aslak, 2007).
Menurut Mahmoud et al, (2007), untuk mendapatkan kitin dari limbah kulit udang,
ekstraksi kitin dibagi menjadi dua tahapan yaitu penyisihan atau penghingan mineral
yaitu kalsium karbonat (demineralisasi) dan penyisihan atau penghilangan protein
(deproteinasi). Berdasarkan pada teori tersebut, dpat dikatan bahwa metode yang sama
akan dilakukan pula dalam praktikum ini untuk pengolahan kitin dari limbah kulit
udang. Tahapan ekstraksi kitin ini dilakukan secara kimia denga menggunakan senyawa
asam kuat yaitu asam klorida (HCl) pada proses demineralisasi, sedangkan pada proses
deproteinasi digunakan basa kuat yaitu natrium hidroksida (NaOH). Pengolahan lebih
lanjut untuk membuat kitosan dari kitin dapat dilakukan dengan deasetilasi
menggunakan basa kuat yaitu NaOH. Metode atau cara kerja pembuatan kitin dan
kitosan dari limbah kulit udang dapat dilihat pada diagram alir berukut ini.
Kulit Udang Grinding (Penggilingan / Pengayakan menjadi powder)
Demineralized Flake
Kitin
Kitosan(Steven et al, 1998)
Pada diagram alir di atas dapat dilihat bahwa sebelum melakukan proses demineralisasi
(penyisihan atau penghilangan mineral), bahan baku kulit udang terlebih dahulu
mengalami proses grinding (penggilingan atau pengayakan). Proses grinding
merupakan tahapan proses pre-treatment, yang dilakukan dengan perendaman pada air
asam (HCl atau CH3COOH). Hal ini berguna untuk menghomogenkan bahan sehingga
ukuran menjadi lebih kecil, luas permukaan semakin besar, dan mudah dilarutkan pada
saat proses demineralisasi dan deproteinasi (Aye & Steven, 2004). Lertsutthiwong et al
(2002) juga menambahkan bahwa perlakuan pre-treatment berguna untuk mengurangi
konsentrasi penggunaan asam dan basa serta menurunkan temperatur proses
demineralisasi dan deproteinasi. Kualitas kitin akan berbeda-beda atau bervariasi
Demineralisasi (HCl, 90C, 1 jam)
Deproteinasi (NaOH, 90C, 1 jam)
Deasetilasi (NaOH, 90C, 1 jam)
5
tergantung pada tingkat penurunan mineral dan protein. Biasannya, produk kitin setelah
mengalami demineralisasi dan deproteinasi akan mengalami penurunan jumlah mineral
dan protein sebesar 80-90%.
2.1. Demineralisasi
Menurut Synowiecki & Al-Khateeb (2003), kulit udang memiliki kandungan mineral
sebesar 20-35% dari berat keringnya, yang komposisi mineral utamanya adalah kalsium
karbonat. Komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam kuat
seperti asam klorida (HCl), asam sulfida (H2SO4), atau asam laktat (C3H6O3). Namun
sebelum melakukan proses demineralisasi, dalam praktikum ini, tahap pre-treatment
dilakukan terlebih dahulu. Pertama-tama dilakukan pre-treatment terlebih dahulu
langkah pengerjaan yang dilakukan untuk menghilangkan komponen mineral pada kulit
udang adalah dengan pencucian pada air mengalir, kemudian dikeringkan dibawah sinar
matahari sampai kering. Bastaman (1989) mengatakan, pencucian ini bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang masih menempel, karena kotoran yang menempel pada
kulit udang dapat mencemariekstraksi kitin yang akan dilakukan. Lalu kulit udang yang
sudah kering dicuci dengan air panas sebnayak 2 kali dan kemudian direbus selama 10
menit. Proses pembilasan dengan air panas dan proses perebusan ini berguna sebagai
tahap sterilisasi, sehingga mikroorganisme yang tidak diinginkan pada kulit udang dapat
dihilangkan. Hal ini sama prinsipnya apabila dilakukan pemasakan untuk pengolahan
makanan yang biasa dilakukan pemasakan untuk pengolahan makanan yang biasa
dilakukan sehari-hari. Setelah itu, kulit udang dikeringkan dengan menggunakan oven
pada suhu 800 selama ± 3 jam. Proses pengeringan pada tahap pre-treatment ini
bertujuan untuk menguapkan air yang terkandung didalam kulit udang sekaligus
menguapkan senyawa volatil yang tidak diinginkan ada di dalam kulit limbah yang akan
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitin. Dimana akhirnya, produk bahan baku
yang diinginkan untuk kulit limbah ini berbentuk kering. Kulit udang yang kering
selanjutnya digaluskan atau digiling (granding) dengan menggunakan food processor,
kemudian diayak pada ayakan 40-60 mesh atau lebih kecil. Hal ini sesuai dengan teori
Aye & Steven (2004), dimana pengayakan dilakukan untuk menghomogenkan bahan
sehingga ukuran menjadi lebih kecil, luas permukaan semakin besar, dan mudah
6
dilarutkan pada saat proses demineralisasi dan deproteinasi. Serbuk (powder) kulit
udang ini untuk selanjutnya diolah dalam pembuatan kitin.
Untuk tahap demineralisasi , serbuk kulit udang diambil sebanyak 8,5 gram (berat basah
I) dan di timabahkan HCl dengan perbandingan 10:1, jadi jumlah HCl yang
ditambahkan adalah ±1 ml. HCl yang digunakan sebagai pelarut ini bervariasi
konsentrasinya. Pada kelompok C1 dan C2 sebesar 0,75 N ; untuk kelompok C3 dan C4
sebesar 1N dan terakhir pada kelompok C5 dan C6 sebesar 1,25N. Seperti yang
dikatakan oleh Synowiecki & Al-Khateeb (2003) sebelumnya, bahwa penambahan
larutan asam kuat salah satunya HCl yang berfungsi untuk melarutkan komponen
mineral pada kulit udang, terutama jenis mineral kalsium karbonat.
Setelah penambahan asa, kuat berupa HCl, campuran larutan asam dan kulit udang
tersebut kemudian dipanaskan menggunakan waterbath pada suhu 900C dan sambil
diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses
penghilangan mineral, hal ini disebabkan karena mineral bersifat tidak tahan panas
sehingga dengan adanya proses pemanasan ini senyawa mineral akan mudah
dihilangkan (Synowiecki & Al-Khateeb, 2003). Sedangkan proses pengadukan yang
dilakukan selama waktu pemanasan berjalan adalah untuk menghindari penggumpalan
pada serbuk kulit udang dengan keberadaan HCl (Synowiecki & Al-Khateeb, 2003)
Synowiecki & Al-Khateeb (2003) juga menambahkan, proses pemisahan mineral terjadi
ditandai dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl
ditambahkan ke dalam sampel. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)
Sesuai dengan teori Synowiecki & Al-Khateeb (2003), pada saat pemanasan terjadi
pembentukan gelembung, ditambah dengan pengadukan, pembentukan gelembung,
semakin meningkat. Tahapan proses selanjutnya adalah penetralan larutan HCl dan kulit
udah setelah dipanaskan. Larutan setelah dipanaskan memiliki kondisi pH yang asam
sehingga harus dilakukan pencucian agar menjadi netral. Kulit udang dicuci dengan air
sampai pH-nya menjadi netral. Pengujian pH pada praktikum inni dilakukan
menggunakan kertas pH meter. Pencapaian pH netral yaitu 7 ditandai dengan
7
berubahnya kertas menjadi bewarna hijau. Setelah proses demineralisasi ini selesai,
kitin dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 800C selama 24 jam.
Setelah kulit melewati tahap demineralisasi, diperoleh rendemen kitin I dari hasil
perhitugan dengan cara menimbang berat rendemen yang dihasikan (berat kering I)
setelah pengovenan dengan menggunakan timbangan analitik. Rendemen kitin I adalah
kitin yang melewati proses penghilangan mineral namun masih terdapat kandungan
protein di dalamnya, sehingga proses pembuatan kitin ini masih dapat dikataka belum
sempurna. Rendemen kitin I dapat dihitung dengan menggunkan rumus sebagai berikut:
Rendemen Kitin I = berat kering Iberat basah I
x 100%
Pada hasi pengamatan dapat diketahui bahwa dengan penambahan konsentrasi HCl
yang berbeda-beda pada setiap kelompok menghasilkan rendemen kitin I yang berbeda-
beda pula pada kelompok C1 dan C2 yang di tambahkan dngan HCl 0,75 N
mengahasilkan rendemen kitin I sebesar 20 % dan 32%. Sedangkan pada kelompok C3
dan C4 di tambahkan dengan HCl 1N menghasilkan besar rendemen 24 % dan 41%.
Dan terakhir pada kelompok C5 dan C6 dengan HCl 1,25N menhasilkan rendemen 29%
dan 35%. Menurut Synowiecki & Al-Khateeb (2003), kandungan kitin dalam kulit
udang berkisar antara 20 sampai 60%. Hal ini sesuai dengan kelompok C1- C6 karena
rendemen yang di hasilkan tiap kelompok berada di antara 20% samapi 60 %. Hal ini
didukung oleh Laila & Hendri (2008) yang mengatakan kualitas kitin dipengaruhi oelh
tahapan dan kondisi proses.
2.2. Deproteinasi
Setelah kandungan mineral pada kulit udang hilang, yang dilakukan selanjutnya dalah
penghilangan kandungan protein dalam kulit udang yaitu dengan proses deproteinasi.
Cara yang dilakukan untuk penghilangan protein (deproteinasi) sama dengan cara yang
dilakukan untuk penghilangan mineral (demineralisasi) Synowiecki & Al-Khateeb
(2003). Yang membedakan hanyalah pada senyawa kimia yan diberikan, jika pada
proses demineralisasi ditambahkan HCl pada perbandingan 10:1 dengan perlakuan
konsentrasi yang berbeda-beda antar kelompok, pada proses deproteinasi tidak
8
ditmabhakn dengan HCl tetapi ditambahkan dengan NaOH yang konsentrasinya sama
untuk semua kelompok yaitu NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1 yang digunakan
dalam proses deproteinasi ini adalah pengeringan pada proses demineralisasi (rendemen
kitin I). Prosesnya sama yaitu meliputi pelarutan dengan NaOH 3,5% sebesar 6:1,
pemanasan dan pengadukan pada waterbath pada suhu 900C selama 1 jam, penyaringan,
pencucian hingga pH netral dan pengeringan pad oven bersuhhu 800C selama 24 jam.
Hasil yang diperoleh kemudian ditimbang (berat kering II) dan dihitung rumusnya
sebagai berikut :
Rendemen Kitin II = berat kering IIberat basah II
x 100%
Dengan perlakuan penambahan NaOH pada konsentrasi yang sama yaitu 3,5%, hasil
pengamatan menunjukkan bahwa rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok
C2 dan C5 dengan nilai rendemen 33,333% dan rendemen terkecil terdpat pada
kelompok C4 dengan nilai 16,667%. Dalam proses deproteinase ini, larutan NaOH
berfungsi untuk melarutkan protein dan mineral yang masih tersisa pada proses
demineralisasi sebelumnya (Lertsutthiwong et al, 2002). Menurut Fennema (1985),
kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar dibandingkan pada suasana
asam karena larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi.
Jika dibandingkan dengan rendemen yang diperoleh, rendemen kitin II mengalami
penurunan dari rendemen I (kelompok C3,C4 dan C6). Padahal menurut Fennema (1985
diatas, larutan basa NaOH memiliki kemampuan melarutkan protein dan mineral lebih
tinggi dari pada larutan asam, sehingga seharusnya, pada proses deproteinase ini
rendemen yng dihasilkan jauh lebih besar. Proses deproteinase dengan NaOH yang
kurang optimal ini dapat disebabkan karena adanya kitin yang terikut dengan air saat
prose pencucian atau penetralan, karena pengeringan yang beum optimal, atau karena
proses demineralisasi yang kurang sehingga masih ada mineral yang tersisa pada kulit
udang. Mineral yang masih ada pada proses deproteinasi menebabkan terhalangnya
protein untuk ikut larut bersama NaOH karena dalam hal ini mineral berfungsi untuk
melindungi keberdaan peotein.
9
Apabila sudah tidak terdapat mineral dalam rendemen I, proses penghilangan protein
dapat berjalan lebih cepat karena sudah tidak ada mineral yang menghalangi, sehingga
rendemen kitin II yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari rendemen kitin I
(Fenemma, 1985). Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa rendemen kitin I
merupakan kitin yang sudah tidak ada mineralnya namun masih terdapat proteinnya.
Sedangkan rendemen kitin II adalah kitin yang sudah tidak mengandung mineral
maupun protein. Maka dapat diketahui secara pasti bahwa berat rendemen II lebih
rendah daripada berat rendemen I. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh,
dibandingkan dengan rendemen kitin I, rendemen kitin II mengalami penurunan berat.
Hal tersebut terjadi pada kelompok C3, C4 dan C6. Sehingga pernyataan ini sesuai
dengan teori Fenemma (1985). Penurunan berat tertinggi terjadi pada kelompok C3 dari
24% pada rendemen I menjadi 20% pada rendemen II. C4 dari 41% menjadi 16,667%
dan C6 dari 35% menjadi 28,571%. Ketimpangan hasil pengamatan ini terjadi mungkin
karena ketidaktepatan pengukuran atau penimbangan. Kondisi proses selama
pemanasan dan pencucian sedikt besar juga mempengaruhi hasil penurunan rendemen
kitin yang terlalu jauh tersebut (Fenemma, 1985).
Suhu yang digunakan dalam proses demineralisasi dan deproteinasi adalah 900C. Suhu
tersebut merupakan suhu mutlak yang digunakan dalm proses pembuatan kitin dan
kitosan. Hal ini dikarenakan penggunaan asm dan basa pada suhu tinggi dapat
mempengaruhi kwalitas produk yang dihasilkan, penggunaan alkali dalam waktu lama
dan pada suhu yang tinggi dapat memicu penguapan senyawa aldol, sedangkan
penggunaan HCl berlebih dapat menghidrolisis rantai β-glikosidik secara berlebihan
yang merupakan ramuan utama kitin sehingga berpengaruh terhadap berat molekul,
viskositas, dan derajat deasetilasi kitin. (Toan et al, 2006)
2.3. Deasetilasi
Kitin merupakan produk turunan dari kitin. Transformasi kitin menjadi kitosan
dilakukan dengan mekanisme penghilangan gugus asetil yang tergabung dalam gugus
amina (-NHCOCH3) pada kitin dan pengubahnya hanya menjadi gugus amina (-NH2)
pada kitosan. Proses pengubahan tersebut disebut proses demineralisasi dan
10
deproteinasi, menurut Knoor (1984), derajad deasetilasi adalah prosentase gugus asetil
yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun kitosan yang diinginkan dalam
produk kitosan adalah rendahnya atau ketiadaan gugus asetil. Sehingga rendahnya
gugus asetil yang ada pada kitosan ditandai dengan semakin tinggi derajat deasetilasi
pada kitosan, dengan kondisi seperti ini, interaksi antar ion dan ikatan hydrogen menjadi
semakin kuat (Knoor, 1984). Mekanisme penghilangan gugus asetamida menjadi gugu
amina untuk pembuatan kitosan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini :
Gambar 3. Mekanisme Penghilangan Gugus Asetil pada gugus Asetamida (Azhar et al.
2010)
Pada prinsipnya, mekanisme pembuatan kitosan sama dengan pembuatan kitin, yaitu
dengan menggunakan hasil rendemen pada pengolahan kitin. Secara garis besar
prosesnya pun sama yaitu pelarutan, pemanasan dan pengadukan, pencucian dan
penetralan, serta pengeringan pada suhu tinggi dengan oven (Synowiecki & Al-Khateeb,
2003). Perbedaan larutan yang digunakn untuk melarutkan gugus asetil pada asetamida
kitin adalah NaOH dengan konsentrasi yang tinggi. Pada praktikum ini perlakuan
larutan NaOH yang digunakan adalah NaOH 40% pada kelompok C1 dan C2 ; serta
NaOH 50% yang digunakan untuk kelompok C3 dan C4; dan yang terakhir NaOH 60%
yang digunakan pada kelompok C5 dan C6. Penambhan NaOH dilakukan dengan
perbandingan (20:1) menurut Hirano (1989), penggunaan konsentrasi NaOH yang besar
dan juga perbandingan NaOH yang besar pada proses deasetilasi ini dikarenakan gugus
fungsional amino yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam larutan menjadi semakin
aktif, sehingga untuk proses deasetilase yang lebih sempurna membutuhkan konsentrasi
dan jumlah pelarut yang semakin tinggi pula. Penentuan konsentrasi NaOH yang tinggi
pada proses deasetilasi akan menhilangkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang
tinggi pula.
NaOH
suhu tinggi
11
Martinou (1995), berpendapat NaOH mampu mengubah formasi kitin yang sangat rapat
menjadi lebih renggang, sehingga enzim dapat menjadi lebih mudah bekerja untuk
melakukan deasetilasi polimer kitin. Alkali (NaOH) dalam konsentrasi yang tinggi
dapat memutus ikan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen. Sedangkan suhu
yang digunakan dalam pemanasan adalah 900C. Pemanasan pada suhu tinggi ini
berfungsi untuk melepas gugus asetil dari molekul kitin, sehingga amina yang sudah
terlepas dengan gugus asetamida akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki
muatan positif dan gugus amina tersebut menjadi ikatan yang bebas. Jadi dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan pada proses
deasetilasi, maka derajat deasetilasi juga akan semakin meingkat. Pengadukan juga
merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat deasetilasi karena jika
pengadukan tidak merata maka kontak antara NaOH dan kitin dapat optimal (Rogers,
1986). Setelah dilakukan pemanasan pada kitin, dilakukan pencucian dan penetralan.
Sebelum dilakukan pencucian, larutan yang terbentuk harus didinginkan terlebih
dahulu. Hal ini berfungsi mengendapkan bubuk kitosan ke bagian bbawah, sehingga
bubuk kitosan tidak ada yang terbuang saat dilakukan pencucian dan penetralan
(Ramadhan et al, 2010).
Setalah diketahui berat kitosan saat setelah dilakukan pengovenan, rendemen kitosan
dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Rendemen Kitosan = berat Kitosan
berat basah III
Pada hasil praktikum kali ini dapat diketahui bahwa rendemen kitin III yang diperoleh
dari proses deasetilasi berbeda-beda pada setiap kelompok dengan perlakuan larutan
NaOH yang berbeda pula. Rendemen kitin III paling tinggi terdapat pada kelompok C2
dengan perlakuan NaOH 40% sebesar 17,500%. Sedangkan rendemen kitin III yang
rendah terdapat pada kelompok C1 dengan perlakuan NaOH 40% sebesar 7,843%.
Menurut Hong et al. (1989), penggunaan konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan
menghasilkan rendemen kitosan yang semakin rendah. Hal ini disebabkan karena
penambahan konsentrasi NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai
molekul kitosan yang dapat menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Apabila
diamati, hasil rendemen kitin III yang ada dilakukan dalam praktikum ini kurang sesuai
teori Hong at al. (1989). Terjadi kesalahan dalam praktikum hal ini disebabkan karena
12
proses penetralan yang menggunakan air secara berung-ulang menyebabkan segaian
kitin maupun kitosan ikut terbuang bersama air. Penyataan ini berdasarkan pada teori
Hong et al,(1989) yang berpendapat bahwa, besarnya konsentrasi NaOH berbanding
terbalik dengan jumlah rendemen kitin yang dihasilkan.
Jika dibandingkan dengan hasil rendemen kitin II, terjadi penurunan pada jumlah
rendemen kitosan. Hal ini tidak sesuai dengam teori Knoor (1984) yang mengatakan
bahwa penghilangan senyawa asetil pada asetamida yang terdapat pada kitin, sehingga
dengan ketidaan gugus asetil maka secara langsung massa rendemen kitosan (gugus
amina) menjadi berkurang, karena gugus asetamida (gugus asetil dan gugus amina)
sudah dikurangi dengan gugus asetil yang hilang.
Menurut Steven et al .(1998), kualitas produk kitin dan kitosan sangat tergantung pada
teknologi proses produksi yang digunakan. Teknologi produksi kitin dan kitosan dari
kulit udang telah dikenal dan diproduksi dalam skala besar, tetapi industri kitin dan
kitosan yang sudah ada saat ini masih menggunakan teknologi konvensional yaitu
menggunakan 4% HCl untuk proses demineralisasi dan 4% NaOH untuk proses
deproteinasi yang dilakukan pada suhu 70-900C. Demikian pula dalam melakukan
proses produksi kitosan dari kitin, proses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan yang
paling baik yaitu menggunakan 50% NaOH pada suhu yang sama. Sedangkan menurut
Mahmoud et al., (2007), proses ektraksi kitin di industri saat ini dilakukan secara kimia
dengan menggunakan 1-10% HCl untuk proses demineralisasi dan 1-10% NaOH untuk
proses deproteinasi.
Menurut Islam et al., (2011) pada jurnal “Preparation of Chitosan from Shrimp Shell
and Investigation of Its Properties”, kitosan dapat diperoleh melalui limbah kulit
(cangkang) udang. Kulit udang merupakan salah satu limbah yang tidak sering
dimanfaatkan karena karakter pengolahan yang relatif sulit. Namun ketika limbah kulit
udang diuji karakteristik psikokimiannya, diperoleh bahwa kulit udang ini memiliki
derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu 75%. Tingginya derajat deasetilasi ini menandakan
bahwa banyak terkandung kitosan di dalam limbah kulit udang. Selain sebagai sumber
kitosan yang baik, limbah kulit udang juga memiliki kemampuan pengikatan lemak
13
yang tinggi yaitu mencapai 370%. Karakteristik kitosan yang diperoleh melalui kulit
udang ini memiliki sifat kelarutan terhadap larutan asam asetat sebesar 1%. Sifat
kelarutan kitosan dari limbah kulit udang tersebut membuat kitosan dapat dimanfaatkan
untuk suplemen makanan, bahan tambahan makanan, obat dengan berbagai perlakuan
pengolahan yang telah dikembangkan. Pengolahan kitosan dari limbah kulit udang ini
sekaligus dapat meminimalkan polusi lingkungan.
Selain dapat diperoleh melalui limbah kulit udang, Tsung Yen et al., (2009) menyatakan
bahwa kitin dan kitosan dapat diperoleh melalui cangkang kepiting. Dalam jurnal-nya
yang berjudul; “Physicochemical Characterization of Chitin and Chitosan from Crab
Shells”, kitosan dapat diperoleh dengan melarutkan kitin pada larutan alkali N-
deasetilasi. Proses yang sama dengan praktikum, dimana dilakukan proses deasetilasi
untuk memperoleh kitosan. Selama proses deasetilasi, dilakukan pengujian karakteristik
kitosan pada menit ke-60, 90, dan 120. Dari pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa
prosentase kitosan terbesar diperoleh pada menit ke-120. Semakin lama proses
perendaman kitin dalam proses deasetilasi, maka prosesntase kitosan yang diperoleh
akan semakin tinggi. Yield kitosan yang diperoleh selama proses perendaman tersebut
adalah 30 – 32,2%.
Pada jurnal Toan (2014); “Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed
Shrimp Shell Materials”, dibahas mengenai limbah kulit udang yang diolah dengan
proses autolisis kemudian disimpan selama 4 hari dengan 3 perlakuan penyimpanan,
yaitu di dalam inkubator bersuhu 30°C, di dalam freezer, dan di bawah kondisi 30°C.
Selama inkubasi, kandungan kitin dan kitosan pada limbah kulit udang yang di-autolisis
diamati pada hari ke-1 hingga hari ke-4. Penentuan kandungan kitin dan kitosan pada
limbah kulit udang didasarkan pada kandungan abu (ash) dan proteinnya. Selain itu,
untuk menentukan kandungan kitin dan kitosannya, dilakukan uji viskositas
(kekentalan) pada larutan perendamnya. Hasilnya, kulit udang yang diinkubasi pada
suhu 30°C diperoleh viskositas tertinggi pada inkubasi hari ke-1 sebesar 3590 cps. Pada
suhu penyimpanan di freezer, kandungan kitin dan kitosan tertinggi diperoleh pada hari
ke-2 sebesar 3580 cps. Sedangkan yang diinkubasi pada kondisi di bawah 30°C
14
diperoleh kandungan kitin dan kitosan terendah dibandingkan kedua perlakuan inkubasi
yang lain yaitu sebesar 2300 dan 2700 cps.
Dalam jurnal-nya (“Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp
Shells using Salicilyc Pretreatment”), Toan (2014) menambahkan bahwa isolasi kitin
dan kitosan yang diperoleh melalui limbah kulit udang ‘black tiger’ dapat dilakukan
dengan merendam pada larutan asam salisilat 0.04 M selama 10 jam. Namun, sebelum
proses perendaman dalam larutan asam salisilat, limbah kulit udang harus di-
demineralisasi dan di-deproteinasi terlebih dahulu dengan 0.680 M HCl dan 0.620 M
NaOH (pre-treatment). Selama proses perendaman 10 jam tersebut, pada jam ke-8
diperoleh kandungan residu abu dan protein pada kitosan limbah kulit udang sebesar
0.48% dan 0.51%. selain itu, diperoleh karakteristik lain berupa nilai viskositas sebesar
4800 cps dan tingkat kelarutan hingga 98%. Dibandingkan dengan limbah kulit udang
yang tanpa melalui proses pre-treatment, nilai kandungan abu dan protein, tingkat
kelarutan, dan viskositas memiliki nilai yang lebih rendah.
Berdasarkan jurnal “Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf
Life of Minimally Processed Fish” (Paul et al., 2013), kitin dan produk deasetilasinya
(kitosan) memiliki potensi yang besar dalam fungsinya untuk pengemasan makanan.
Hal ini dikarenakan kitin dan kitosan memiliki sifat biodegradability (senyawa organik
yang mudah diuraikan), umur simpan panjang, ramah lingkungan, fleksibel, kuat, tidak
mudah sobek, dan memiliki aktivitas antimikroba. Isolasi kitin dan kitosan pada
dasarnya menggunakan metode yang sama yaitu deasetilasi menggunakan pelarut kimia.
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh yield kitin dan kitosan sebesar 31% dan 58%.
Derajat deasetilasi yang diperoleh pada proses tersebut mencapai 90,7%. Prosentase
deasetilasi yang tinggi ini membuat kitosan memiliki sifat larut dalam air dan bersifat
bio-adesif. Sifat tersebut membuat kitosan dapat dijadikan sebagai bahan kemasan
makanan. Kemasan makanan yang dibuat dengan kandungan kitosan ini dikatakan
memiliki sifat antimikroba karena memiliki kemampuan penghambatan terhadap bakteri
Listeria monocytogenes dan Pseudomonas putida sebesar 3.6 cm dan 2.9 cm dalam
zona beningnya. Kemasan makanan dari kitosan ini dikatakan mudah terurai karena
kemasan tersebut dapat 93% terurai dalam waktu 20 hari oleh bakteri Bacillus subtilis.
15
Biasanya, kemasan makanan dari kitosan ini digunakan untuk mengemas ikan fillet dan
ikan segar.
3. KESIMPULAN
Kulit udang merupakan salah satu sumber yang kaya akan kitin dan kitosan.
Kitin adalah biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan
dengan (1,4) dengan rumus kimia (C8H13NO5)n.
Proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat dapat menghasilkan kitosan.
Kitosan merupakan produk turunan dari kitin yang memiliki rumus polimer (2-
amino-2-dioksi-β-D-Glukosa).
Kandungan kitin dalam kulit udang berkisar antara 20 – 60%, tergantung jenis atau
spesies udang yang digunakan
Proses pembuatan kitin meliputi demineralisasi dan deproteinasi.
Kitosan dapat diperoleh dari kitin dengan proses deasetilasi.
Penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada kitosan merupakan
prinsip mekanisme kerja transformasi kitin menjadi kitosan.
Penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan
komponen mineral pada kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang
didapatkan akan semakin besar.
Penentuan konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula.
Semakin tinggi suhu pemanasan pada proses deasetilasi kitin, derajat deasetilasi
semakin meningkat.
Konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang
semakin rendah.
Proses demineralisasi dan deproteinasi dilakukan pada suhu 70 - 90C.
Kitosan memiliki sifat larut dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari
derajat deasetilasi.
Derajat deasetilasi adalah prosentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
rendemen kitin maupun kitosan.
Mutu kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasi yang semakin kecil.
Rendahnya gugus asetil yang ada pada kitosan ditandai dengan semakin tinggi
derajat deasetilasi pada kitosan.
16
17
Kualitas produk kitin dan kitosan sangat tergantung pada teknologi proses produksi
yang digunakan.
Proses ekstraksi kitin di industri saat ini dilakukan secara kimia dengan
menggunakan 1-10% HCl untuk proses demineralisasi dan 1-10% NaOH untuk
proses deproteinasi.
Semarang, 14 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen:
- Stella Gunawan
Fransiscus Christian H. W
12.70.0036
4. DAFTAR PUSTAKA
Aslak Einbu. (2007). Characterisation of Chitin and a Study of Its Acid-Catalysed Hydrolysis, Thesis for the Degree of Philosophiac Doctor, Norwegian University of Sience and Technology, Dept. of Biotechnology, Norwegian.
Aye, K.N., dan W.F Steven. (2004). Improved Chitin Production by Pretreatment of Shrimp Shells. Journal Chemistry Technology and Biotechnology (79): 421-425.
Bastaman S. (1989). Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan from Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and ChemicalEngineering. Queen’s Univ. Belfast
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila A., dan Hendri, J. (2008). Studi Pengikatan Kitosan pada Polietilen Tergrafting Asam Akrilat yang Diperoleh dengan Radiasi Gamma, Prosiding: Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II-2008, Universitas Lampung, Lampung, 17-18 November 2008
Lertsutthiwong, P., et al. (2002). Effect of Chemical Treatment o the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials, and Minerals, 12, 11-18.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.
Mahmoud, N.S., Ghaly, A.E., and Arab, F. (2007). Unconventional Approach for Demineralization of Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production, American Journal of Biochemistry and Biotechnology, 3 (1): 1-9.
Monarul Md. Masum, M.r Rahman. Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01
Paul. P.J, S.Jeskine J.W, K. Mohan.(2013). Development of chitosan based active film to extend the shelf life of minimally processed fish. IMPACT: International Journal of
18
19
Research in Engineering & Technology (IMPACT: IJRET) ISSN 2321-8843 Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22 © Impact Journals
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Rao, M.S., J. Munoz and W.F. Stevens. (2000). Critical Factors in Chitin Production by Fermentation of Shrimp Biowaste. Journal Application Microbiology and Biotechnology. (54): 808-813.
Rinaudo Marguerite. (2006). Chitin and Chitosan: Properties and applications. Prog. Polym. Sci. (31):603-632.
Steven, S; Kurnia, W dan Malcom, P. (1998). Kimia Polimer. cet 1. PT Pradnya Paramita. Jakarta; hal 7-8, 110.
Swastawati et al. (2008). “Pemanfaaan Limbah Kulit Udang menjadi Edible Coating untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan”. Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro. 04 (04), 101-106.
Synowiecki, J and N.A. Al-Khateeb. (2003). Production, Properties and Some New Application of Chitin and Its Derivates. Critical Review in Food Science and Nutrition, 3 (2): 145-171.
Toan, N.V., Ng-How, C., Aye KY., and Trang TS. (2006). Production of High Quality Chitin and Chitosan from Preconditioned Shrimp Shells. Journal Chemial Technology and Biotechnology. (81): 1113-1118.
Toan.N.V.(2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. Address correspondence to this author at the School of Biotechnology, International University, Vietnam National University, Ho Chi Minh City; Fax: + 84 -83-7244271 ; Email: [email protected]
Yen MT , JH Yang , JL Mauc.(2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers Vol 75: 15–21
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen kitin I = berat keringberat basah I
x
100%
Rendemen kitin II = berat kitinberat basah II
x
100%
Rendemen kitosan = berat kitosanberat kitin III
x
100%
Kelompok C1
Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I
×100 %= 210
×100 %=20 %
Rendemen Kitin II = Berat Kitin
Berat Basah II×100 %=0,5
2,5×100 %=20 %
Rendemen Kitosan = Berat Kitosan
Berat Basah III× 100 %=0,4
5,1× 100 %=7,843 %
Kelompok C2
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,210
x 100 %=32 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,33 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100%=0,7
4x100 %=17,5%
Kelompok C3
Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I
x 100 %=2,410
x 100 %=24 %
20
21
Rendemen Kitin II¿beratkitin
beratbasahIIx100%=0,5
2,5x100 %=20 %
Rendemen Kitosan¿beratkitosan
beratbasah IIIx100 %=0,4
3,5x100 %=11,429 %
Kelompok C4
Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I
x 100 %=4,110
x100 %=41 %
Rendemen Kitin II¿beratkitin
beratbasahIIx100 %=0,4
2,4x100 %=16,667 %
Rendemen Kitosan¿beratkitosan
beratbasah IIIx100 %=0,2
1,7x 100 %=11,764 %
Kelompok C5
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=2,910
x100 %=29 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,333 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,5
3,5x 100 %=14,285 %
Kelompok C6
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,510
x100 %=35 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,8
2,8x 100 %=28,571%
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100%=0,4
3,4x100 %=11,765 %
5.2. laporan sementara