cdk 076 kulit (ii)

65

Upload: wahiddatul-nindya-putri

Post on 14-Aug-2015

255 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 076 Kulit (II)
Page 2: Cdk 076 Kulit (II)

1992

Daftar Isi : 2. Editorial

Artikel:

5. Kelainan Lempeng Kuku – Adiana Murniati, Untung SP, Mochtar Hamzah

10. Kelainan Dasar dan Lipat Kuku – Grace Widodo,Erdina HDP,A. Kosasih

16. Dermatofitosis di LP Palembang; LP Lahat dan LP Muara Enim, Sumatera Selatan – RS Siregar, Tantawi Djauhari

19. Pengaruh Suhu Pengeraman pada Biakan M.lassezia furfur – Subakir

22. Pengobatan Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat – Emiliana Tjitra, Marvel Reny, Rita Marleta Dewi

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

K

arya Sriwidodo 26. Dermatitis Herpetiformis – Evita HF Effendi 30. Displasia Ektodennal – S Fasihah R, Titi Lestari S, Mochtar

Hamzah 34. Terapi Plasmaferesis dalam. Dennatologi – Evita HF Effendi

38. Health Situation in Indonesia, Singapore, Brunai Darussalam, Philippines, and Japan – Tjandra Yoga Aditama

41. Pemantauan Efek Samping Obat – Rozaimah Zain Hamid 45. Daya Antimikroba Obat Tradisional Diare terhadap Beberapa

Jenis Bakteri Patogen – Pudjarwoto T, Cyrus H. Simanjuntak, Nur Indah P.

49. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di Indonesia – Sekar Tuti

53. Hasil Tahan Asam dan Limfadenitis Tuberkulosis – Misnadiarly

56. Mekanisme Kerja Antibiotik – Usman Suwandi

60. Pengalaman Praktek 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64. RPPIK

Page 3: Cdk 076 Kulit (II)

Kuku, bagi sebagian orang merupakan bagian tubuh yang perlu di-perhatikan, karena selain berfungsi sebagai pelindung ujung-ujung jari, juga dapat memperbaiki penampilan atau segi estetika seseorang; sehingga perubahan atau kelainan kuku dapatmenyebabkan timbulnya rasa kuatir. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan kuku sendiri, atau merupakan gejala dari penyakit sistemik tertentu.

Pembahasan mengenai hal tersebut mengawali edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini, yang merupakan lanjutan pembahasan mengenai Kulit.

Selain itu disertakan pula artikel mengenai dermatofitosis dan fluor albus, penyakit yang masih prevalen dan merupakan masalah kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Artikel lain yang juga perlu diperhatikan ialah mengenai pemantauan efek samping obat, suatu hal yang seyogyanya harus selalu diingat dan diperhitungkan kemungkinannya dalam setiap tindakan pengobatan.

Selamat membaca.

REDAKSI

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 2

Page 4: Cdk 076 Kulit (II)

1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PELAKSANA Sriwidodo WS

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– DR. B. Setiawan

– Drs. Oka Wangsaputra

– DR. Ranti Atmodjo

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 076 Kulit (II)

English Summary DERMATOPHYTOSES IN PALEM-BANG PRISON, LAHAT PRISON, MUARAENIM PRISON, SOUTH SUMATRA RS Siregar, Tantawi Djauhari Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, Sriwljaya University/Palem-bang General Hospital, Palembang, South Sumatra, Indonesia

An investigation in several

prisons in South Sumatra revealed that the prevalence of derma-tophytoses was quite high. It comprises 36,12% among all skjn diseases and 9,36% among all prison inhabitants. Tinea cruris was diagnosed in 69,56% of the cases with T. mentagrophytes (45,37%) as the most frequent cause. Other species found were T. rubrum (26,89%) and E. floccosum (21,84%).

Factors that influence the disease prevalence were sanitary conditions, room temperature and humidity. The last two factors were higher in the prisons than the average in Palembang and vicinity.

Cermin Dunia Kedokt. 1992; 76: 16-8

brw/olh

THE INFLUENCE OF INCUBATING TEMPERATURE ON THE GROWTH OF MALASSEZIA FURFUR Subakir Dept. of Microbiology, Dr. Karyad Ge-neral Hospital/Faculty of Medicine, Dipo-negoro University, Semarang, Indonesia

Skin swabs of tinea versicolor

lesions were grown at Sabouraud dextrose agar to which 1% of coconut oil was added.

A total of 30 samples were col-lected. Each sample was grown at a Sabouraud media and in-cubated at 37°C and at room temperature. At 37°C, M. furfur grew on 27 samples whereas at room temperature it grew only on 26 samples. The difference between the two results was not statistically significant (p > 0.05).

The incubation period at 37°C was 4,6 ± 3,8 days, whereas at room temperature was 5,8 ± 1,4 days. The difference was statisti-cally significant (p < 0,01). It can be concluded that M. furfur can grow both at 37°C and at room temperature, with a faster growth rate at the former.

Cermin Dunia Kedokt. 1992; 76: 19-21 st/olh

ECTODERMAL DYSPLASIA S Faslhah R, Till Lestari S, Mochtar Hamzah Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

Ectodermal dysplasia is a

hereditary disorder; the clinical symptoms and frequency depend on the phenotype. Patients with hair and teeth disorders tend to be more inclined to see doctors than those with nail disorders or with hypohydrosis.

Hydrotic ectodermal dysplasia is clinically less severe than the anhydrotic variant. Actually there were more cases of hydrotic ectodermal dysplasia; but as these were clinically less severe than the anhydrotic type, those. cases were not reported.

Cermin Dunia Kedokt. 1992; 76: 30-3

brw/olh

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 4

Page 6: Cdk 076 Kulit (II)

Artikel

Kelainan Lempeng Kuku

Adiana Murniatl, Untung SP, Mochtar Hamzah Bagian/UPFIImu Penyakit Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Kuku merupakan penutup dan pelindung ujung jari tangan dan kaki yang berguna untuk membantu jari memegang bcnda dan pada orang dewasa memberikan kepuasan dalam segi estetika(1,2). Beberapa penyakit menimbulkan perubahan kuku yang sama disebabkan karena kuku hanya mampu bcrcaksi dengan pola tertentu saja; sehingga sulit membuat diagnosis klinis dan mengobati kelainan kuku. Hal ini sering membuat frustasi baik dokter maupun penderitanya, karena penderita sangat berkepentingan dengan kelainan kuku yang ada pada dirinya dan ingin segera mendapat pengobatan(3).

Pada makalah ini akan dibahas tentang struktur kuku, bentuk kelainan lempeng kuku dan perubahan warna lempeng kuku.

STRUKTUR KUKU

Lempeng kuku (LK) berbentuk empat persegi panjang, keras, cembung ke arah lateral dan dorsal, transparan, terletak di dorsal falang distal. Sebagian besar kuku terlihat berwarna merah muda disebabkan transmisi warna pembuluh darah dasar kuku. LK terbuat dari bahan tanduk yang tidak mengalami deskuamasi tetapi tumbuh ke arah distal untuk waktu yang tidak terbatas. Kecepatan tumbuh kuku jari tangan ± 0,1 mm/hari, sedangkan kuku jari kaki 1/3–1/2 kecepatan kuku jari tangan. Tebal kuku jari tangan bervariasi 0,5 mm – 0,75 mm, sedang tebal kuku jari kaki dapat mencapai 1,0 mm(3). Pada orang tua kuku tumbuh lebih lambat dan lebih tebal. Dikatakan bahwa trauma kecil dapat merangsang pertumbuhan, sedangkan imobilisasi dapat memperlambat pertumbuhan kuku(4).

LK dibentuk oleh pendataran sel basal matriks, fragmentasi inti dan kondensasi sitoplasma untuk membentuk sel tanduk datar yang saling melekat satu sama lain. Pada embrio usia 20 minggu sel-sel matriks mengalami pembelahan, diferensiasi dan keratinisasi. Pada saat ini LK mulai terbentuk dan bergerak ke

arah distal. Pada embrio usia 36 minggu, LK terbentuk sempurna dan mencapai ujung jari(5).

Lempeng kuku terdiri dari 3 lapis horisontal yang masing-masing adalah : – Lapisan dorsal tipis yang dibentuk oleh matriks bagian proksimal (1/3 bagian). – Lapisan intermediate yang dibentuk oleh matriks bagian distal. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan dorsal (2/3 bagian). – Lapisan ventral yang dibentuk oleh lapisan tanduk dasar kuku dan hiponikium yang mengandung keratin lunak.

Lapisan dorsal mempunyai sel yang lebih kecil dan lebih datar dari pada sel lapisan intermediate (inferior). Membran sel lapisan dorsal (superior) berlekuk-lekuk, sedangkan pada la-pisan inferior mempunyai membran sel yang beralur(6).

Pala saat sel matriks berdiferensiasi dan kemudian menuju LK banyak sel yang masih mempunyai inti. Sel-sel ini paling banyak ditemukan di LK proksimal dan kemudian menghilang di bagian distal. Hal ini menunjukkan bahwa proses maturasi temp berkembang di LK(3).

Lunula atau bulan sabit terletak di proksimal LK. Lunula merupakan ujung akhir matriks kuku. Wama putih lunula dise-babkan epitel yang lebih tebal dari epitel dasar kuku dan kurang melekatnya epitel di bawahnya sehingga transmisi warna pembuluh darah kurang dipancarkan(3).

Lempeng kuku tumbuh dan melekat sepanjang dasar kuku ke arah distal. Bagian ujung distal LK tidak melekat pada jaringan di bawahnya; daerah di bawah LK bebas ini disebut hiponikium(3).

Alur kuku dan lipat kuku merupakan batas dan pelindung kuku. Lipat kuku proksimal merupakan perluasan epidermis dorsum kuku yang melindungi matriks kuku. Produk akhirnya adalah kutikel.

Pada matriks kuku didapatkan sel melanosit. Pada bagian

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 5

Page 7: Cdk 076 Kulit (II)

distal matriks ditemukan melanosit yang lebih banyak dibanding pada bagian proksimal(3).

Lempeng kuku mengandung sejumlah fosfolipid terutama di lapisan intermediate dan dorsal, hal ini menambah kelenturan kuku. Kuku mengandung kalsium 10 kali lebih besardari rambut, tetapi kadar ini tidak bermakna menambah kerasnya kuku. Kekerasan kuku dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perlekatan dan orientasi protein keratin, rendahnya kandungan air pada LK, kadar sulfur protein matriks, hubungan interselular(3,5). Dengan penetapan secara kolorimetri didapatkan konsentrasi asam amino yang paling tinggi adalah sistein, asam glutamat, arginin dan leusin(3).

Sirkulasi darah ke kuku berasal dari arteri digitalis yang berjalan di lateral jari dan mengeluarkan cabang dorsal dan ventral sebelum dan sewaktu mencapai pulpa falang terminal(4).

Pada permukaan LK alur longitudinal yang berjalan sejajar tampak lebih nyata pada orang tua(4)..

KELAINAN PADA LEMPENG KUKU

Garis Beau Garis Beau yaitu alur transversal pada LK yang akan bet-

gerak Ice arah distal mengikuti pertumbuhan kuku. Alur ini ter-jadi disebabkan tertahannya pembentukan LK sementara oleh toksin atau penyakit sistemik. Pada sebagian besar kasus, alur lebih sering dijumpai pada kuku ibu jari atau kuku jari kaki yang mungkin disebabkan karena pertumbuhannya yang lebih lam-bat. Garis Beau fisiologis dapat dijumpai pada bayi usia 4–10 minggu.

Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan kelainan ini yaitu trombosis koroner, pneumonia, fenomena Raynaud, de-fisiensi Fe, dermatitis, trauma(2).

Koilonikia Koilonikia atau disebut juga spoon nails yaitu bentuk nor-

mal bagian tengah LK men jadi datar atau cekung dengan pinggir lateral dan distal menghadap ke atas, sehingga bentuk kuku seperti sendok. LK dapat menebal atau menipis.

Koilonikia dapat merupakan kelainan yang didapat atau merupakan kelainan yang diturunkan. Pada anak usia 1 atau 2 tahun pertama dapat dijumpai bentuk LK seperti ini, yang pada beberapa kasus menetap sampai dewasa tanpa adanya kelainan familial.

Tipisnyakukudihubungkan dengan status nutrisi yang buruk dan kurangnya intake asam amino yang mengandung sulfur. Koilonikiadapatdijumpaipada beberapa keadaan yaitu penyakit diabetes, anemi defisiensi Fe, pajanan asam kuat, hipotiroid, nail patella syndrome(2,4,5).

Wash Board Nails (Habit Tic Deformity) Kelainan ini berupa alur transversal yang berdekatan tidak

teratur dengan rigi-rigi di tengah LK. Bentuk kuku seperti ini biasanya dijumpai pada kuku ibu jari. Alur ini terjadi disebabkan kebiacaan mendorong lipat kuku proksimal ke belakang dengan jari telunjuk atau gigi.Bila jarak lekuk transversal sangat berdekatan satu sama lain maka terlihat sebagai alur memanjang di tengah LK(2).

Onikomadesis Sinonim: defluvium unguium Onikomadesis yaitu terlepasnya LK secana sempurna

mulai dari bagian proksimal. Dikatakan kelainan ini terjadi akibat terhentinya pembentukan keratin oleh matriks. Onikomadesis dapat bersifat familial atau didapat. Keadaan yang dapat menimbulkan onikomadeasis yaitu distres intrauterin berat, diabetes, trauma matriks, radiodermatitis, inflamasi lipat kuku proksimal(2).

Onikolisis Onikolisis yaitu terlepasnya LK dari dasar kuku.

Onikolisis dapat disebabkan oleh penyakit kulit, obat-obatan, trauma, gangguan sirkulasi perifer; hipertiroid, kosmetik kuku, sabun, yellow nail syndrome, atau tanpa penyebab yang jelas. Rasa nyeri dapat terjadi bila terdapat infeksi(5).

Trakionikia Lempeng kuku tampak kadar seperti ampelas disebabkan alur longitudinal dan rigi-rigi sangat rapat. Trakionikia terjadi karena kelainan pada matriks proksimal. Beberapa penyakit kulit yang dihubungkan dengan kelainan ini yaitu liken planes, alopesia areata, twenty nail dystrophy of childhood2,sr.

Onikoskizia Yaitu pelepasan lamelar LK pada tepi bebas distal. Penye-

bab paling sering yaitu kuku sering basah kemudian mengering berulang kali sehingga menimbulkan perlunakan dan pengeras-an kuku. Kotoran dan uap lembab masuk ke bagian yang retak sehingga menambah kerupakan. Prlekatan antar sel berkurang akibat semen interselular gagal melekat, atau mungkin di-sebabkan semen yang dibentuk oleh matriks tidal( mempunyai daya lekat atau mengalami degradasi.

Penyebab onikoskizia yaitu cairan alkali, detergen, cat dan cairan penghapus cat kuku, infeksi sistemik, faktor endokrino(2,8).

Onikoreksis Sinonimnya yaitu brittle nail. Pada onikoreksis dijumpai kuku rapuh dan pecah pada tepi

bebas LK dan fisur memanjang pada LK. Kuku yang rapuh dan pecah dapat diakibatkan pemakaian sabun kuat, penghapus cat kuku, pada keadaan hipotiroid (dikutip dari 9). Kuku rapuh dapat merupakan manifestasi psoriasis, onikomikosis, anemia defisiensi Fe, pakionikia kongenital(2).

Onikogrifosis dan Onikokauksis Onikogrifosis yaitu LK yang menebal, memanjang, me-

lengkung seperti cakar atau tanduk domba. Onikauksis hanya menggambarkan penebalan dan pemanjangan kuku. Pada oni-kogrifosis bagian bebas LK menekan atau masuk ke dalam jaringan lunak. Kuku buram, berwarna coklat kekuningan atau hitam kotor. Pennukaan kuku tidak teratur, beralur. Daerah subungual terisi bahan tanduk. Pada kasus heriditer dapat mengenai kuku jari tangan atau kaki. Pada kasus didapat kuku jari tangan hampir tidak pernah memperlihatkan kelainan ini. Onikogrifosis dapat disebabkan oleh trauma neuropati perifer, pemotongan kuku yang tidak teratur(2,5,7).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 6

Page 8: Cdk 076 Kulit (II)

Pada onikokauksis kuku keras, menebal, memanjang, per-mukaan kuku halus, kuku lebih cembung dan rapuh; mungkin disebabkan kelainan pada matriks dan dasar kuku yang me-nambah jumlah keratin lebih banyak(5). Onikokauksis dapat di-sebabkan oleh trauma, infeksi jamur, penyakit Darier, psoriasis, pitiriasis rubra pilaris, defek ektodermal; selain itu onikokauksis dapat dijumpai pada penyakit jantung kronik, penyakit paru-paru (2,5,7). Pitting

Pit terjadi karena adanya kelainan pada matriks proksimal. Alkiewitz menyatakan adanya keratinisasi yang menyimpang yaitu adanya kelompok sel parakeratosis yang menyebabkan daerah.tersebutmenjadi lemah, kurang melekat satu sama lain kemudian mengelupas. Teori lain mengatakan disebabkan oleh invasi sel radang, mikroabses pada matriks seperti pada psoriasis atau eksositosis limfositik pada pitiriasis rosea dan adanya spongiosis setempat seperti pada eksema(3).

Pit berkelompok dapat dijumpai pada orang normal atau penderita dengan trauma pada matriks kuku. Ukuran, dalam dan dangkalnya pit bervariasi. Umumnya diameter pit kurang dari 1 mm. Pit yang dangkal sering didapatkan pada psoriasis. Barisan pit transversal yang teratur mirip garis Beau merupakan tanda karakteristik pada alopesia areata(2,5,6). Median Nail Dystrophy

Sinonim: solenonikia, distropi mediankanaliformis(Heller) Yaitu suatu defek pada LK yang ditandai oleh fisur me-

manjang di garis tengah yang diapit gelombang transversal tidak teratur, sehingga kuku terlihat seperti pohon cemara. Kelainan ini dapat mengenai satu atau beberapa kuku, biasanya ditemui pada kuku ibu jari. Bagian yang retak mulai terlihat di bawah kutikel yang bergerak ke depan mengikuti pertumbuhan kuku. Setelah beberapa bulan atau tahun kuku akan kembali normal, tetapi dapat kambuh.

Penyebab kelainan ini tidak diketahui, tetapi beberapa pe-neliti menganggap disebabkan kerupakan matriks sementara yang mengganggu pembentukan kuku. Kelainan ini dijumpai pada trauma lokal di bagian tengah kuku(2,4,5). Pakionikia Kongenital

Merupakan kelainan heriditer dengan etiologi yang tidak diketahui. Kelainan kuku terjadi pada 1/2 – 2/3 bagian distal kuku. Bagian proksimal LK licin, mengkilat, melekat pada dasar. Bagian distal terdorong ke atas oleh akumulasi bahan keratin di bawahnya, sehingga bagian LK bebas menghadap ke atas dan membentuk sudut 30 – 40 derajat terhadap aksis falang. LK berwarna abu-abu kekuningan atau coklat dan buram. Dapat terjadi pelepasan kuku spontan dan tumbuh kembali dengan deformitas yang lebih berat(2.7). Jadaschon & Lewandoski melaporkan selain kelainan kuku juga dapat disertai kelainan pada mukosa, gigi, keratoderma palmoplantar.

Masalah yang sering terjadi yaitu paronikia disebabkan bakteri atau kandida. Pemakaian asid salisil 10%–40% atau urea oklusi dan kuku direndam dalam air akan melunakkan kuku sebelum dipotong(2,7).

Twenty Nail Dystrophy Dijumpai kelainan pada LK berupa alur longitudinal,

striae dan onikoreksis. LK dapat menipis atau menebal dan berwarna kekuningan atau kasar seperti ampelas. Pada pemeriksaan histologi dijumpai perubahan pada matriks yang sesuai dengan liken planus, eksema, psoriasis.

Pernah dilaporkankasus kongenital, heriditer maupun pada orang dewasa: Twenty nail dystrophy pada anak dianggap bukan merupakan suatu entity klinis khusus tetapi mungkin suatu tanda fisik beberapa penyakit lain, misalnya liken planus(2,5,6). PERUBAHAN UKURAN LEMPENG KUKU Anonikia

Anonikia yaitu tidak didapatinya LK. Anonikia kongenital dapat bersifat diturunkan atau me-

nyertai malformasi ektodermal atau mesodermal. Lempeng kuku tidak dijumpai pada kuku jari tangan dan kaki waktu lahir. Kadang-kadang waktu lahir dapat dijumpai LK yang kemudian lepas tidak tumbuh lagi(2,7).

Anonikia didapat, disebabkan oleh inflamasi berat aparatus kuku atau timbul bertahap setelah terjadi sikatriks progresifr22. Pada beberapa kasus yang ditelusuri, dijumpai pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita rubella pada kehamilan trimester pertama(2,7).

Mikronikia Mikronikia atau hipoplasi kuku merupakan suatu deformi-

tas kongenital yang menyertai beberapa sindrom yang diturun-kan. Derajat hipoplasi bervariasi pada penderita yang sama(z.

Nail – Patella – Elbow Syndrome Sinonim: nailpatellasyndrome,hereditaryosteo-onychodys

plasia (Hood). Merupakan kelainan struktur ektodermal dan mesodermal,

diturunkan secara autosomal dominan. Sindrom ini ditandai oleh distrofi kuku, tidak adanya atau hipoplasi patela, penebalan tulang iliaka dan hipoplasi tulang radius dan ulna proksimal(2,7).

Lempeng kuku distrofik dan tidak pernah mencapai pinggir bebas (LK hanya berukuran 1/3 atau 1/2 ukuran normal). Kuku tampak buram, tipis dan rapuh. Lunula berbentuk segitiga. Pada setiap kasus kuku ibu jari paling sering terkena. Kuku jari lainnya terkena dengan gradasi kerusakan makin ringan dari kuku jari telunjuk ke arah kelingking(2,5,7). PERUBAHAN BENTUK KUKU

Clubbing Finger Sinonim: acropachy, hippocratic nail, watch glass nail. Perubahan tidak hanya terjadi pada kuku tetapi juga me-

ngenai falang terminal. Clubbing disebabkan meningkatnya kelenturan LKproksimal akibat hipertrofi dan hiperplasi stroma fibrovaskular falang distal. Sudut Lovibond melebihi 180° (normal: 160°)(2.7).

Clubbing merupakan tanda beberapa penyakit sistemik, antara lain: penyakit paru kronik, penyakit jantung, penyakit

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 7

Page 9: Cdk 076 Kulit (II)

kelenjar tiroid. Pada beberapa kasus clubbing sudah ada sejak lahir tanpa penyakit yang mendasarinya(2,5,7).

Shell nails yaitu bentuk kuku yang menyerupai clubbed nail yang dijumpai pada pegderita bronkiektasis lama. LK tipis terpisah dari dasar, datar kuku dan tulang di bawahnya atrofi(2,4). Racket Nail

Pada racket nail, falang distal lebih pendek dan lebih lebar sehingga kuku di atasnya menjadi lebih pendek dan lebih besar dari normal. Kuku tampak datar disebabkan hilangnya lengkung transversal.

Kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. Pada hiperparatiroid dapat dijumpai bentuk racket nail disebabkan erosi tulang di bawahnya. Racket nail yang disertai kelainan lain dikenal dengan istilah brakionikia.

Sindrom-sindrom yang disertai brakionikia: sindrom Larsen, sindrom pyknodisostosis, sindrom Rubinstein-Taybi(2,7). PERUBAHAN WARNA KUKU

Perubahan warna kuku dapat menggambarkan proses pato-logis kuku yang merupakan petunjuk beberapa penyakit sis-temik, penyakit kulit atau suatu diagnosis spesifik. Perubahan wama dapat disebabkan oleh endapan zat dan warna yang timbul tergantung tempat dan sifat zat yang diendapkan(1,10,11).

Jeanmougin membuat klasifikasi perubahan warna kuku berdasarkan etiologi(11) yaitu : 1. agen eksterna 2. obat sistemik 3. infeksi bakteri & fungus 4. penyakit kulit 5. penyakit sistemik 6. agen fisik Perubahan Warna Disebabkan Agen Eksterna

Warna yang timbul pada LK akibat penetrasi endapan pigmen agen eksterna pada LK tidak akan hilang bila dicuci dengan cairan pelarut, tefapi dengan pertumbuhan kuku, warna akan menghilang secara bertahap.

Bahan eksterna yang dapat menyebabkan perubahan warna kuku yaitu cat sepatu, tinta, cat kuku, zat pewarna, bahan pengeras kuku dan garam chromium(11). Perubahan Warna Disebabkan Obat Sistemik

Kelainan pada LK akibat obat sistemik dapat berupa per-ubahan warna sampai rasa nyeri dan lepasnya LK. Daniel CR membuat klasifikasi mekanisme yang terjadi yaitu : a. toksisitas pada matriks b. toksisitas pada dasar kuku/hiponikium c. toksisitas pada struktur periungual d. toksisitas kombinasi di atas e. idiopatik

Toksisitas pada matriks menunjukkan manifestasi yang bermacam-macam. Rangsangan melanosit matriks menimbulkan pigmentasi berupa pita transversal, longitudinal atau, endapan difus(11).

Tetrasiklin Komponen yang paling sering menimbulkan perubahan

kuku yaitu dimetil klortetrasiklin. Tetapi tetrasiklin HC1, doksisiklin dan minosiklin juga dapat menimbulkan perubahan warna pada LK. LK berwarna kekuningan atau kecoklatan. Adanya triad: fotosensitisasi di bagian tubuh yang terbuka, perubahan warna LK dan onikolisis memberi kesan kuat disebabkan oleh tetrasiklin.

Pemakaian lama tetrasiklin pada penderita akne menye-babkan lunula berwama kuning(11).

Antimalaria Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi

di kulit, mukosa, dasar kuku, jarang di lempeng kuku. Klorokuin hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabu-abuan, biru-hitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan(11).

Obat sirostatik Obat kemoterapi menimbulkan kelainan pada LK dengan

bermacam-macam bentuk, antara lain: pigmentasi, garis Beau, pengelupasan kuku, onikolisis, distrofi; yang paling sering ialah pigmentasi dan pertumbuhan kuku lambat. Rangsangan sel melanosit matriks mungkin menyebabkan sebagian besar perubahan pigmentasi. Dengan adanya efek Tyndal warna yang terlihat dapat berbeda-beda. Mekanisme yang diduga pada perubahan warna kuku ialah toksisitas pada struktur kuku, foto-sensitivitas(11).

Adriamisin dan siklofosfamid adalah penyebab yang paling sering menimbulkan perubahan warna pada kuku. Perubahan wama yang sering yaitu kecoklatan, hitam dengan bentuk pita longitudinal atau transversal. Dikatakan bila dijumpai beberapa pita menunjukkan pemberian kemoterapi yang berlebihan atau sudah berlangsung lama(11). Perubahan Warna Disebabkan oleh Fungus dan Bakteri

Tipe white superficial onychomicosis merupakan bentuk kelainan LK yang diinvasi primer oleh jamur. Pada bentuk ini infeksi terjadi pada LK bagian superior, ditandai oleh bercak-bercak putih buram yang kemudian meluas, bersatu ke seluruh permukaan LK. Kuku menjadi kasar, kekuningan, hancur. Dari lesi ini paling sering dijumpai T. mentagrophytes tetapi dapat juga dijumpai spesies Aspergillus, Cephalosporium(11).

Pada bentuk lain, perubahan pada LK yang disebabkan jamur merupakan proses Ian jut mengikuti infeksi pada hipo-nikium, dasar kuku(11). Perubahan warna LK yang disebabkan infeksi baked

Terjadi pada kuku yang mengalami onikolisis atau paronikia berat akibat infeksi kuman Pseudomonas aeruginosa yang menghasilkan pigmen piosianin yang berwarna hijau. Pigmen tersebut diendapkan pada LK. Kelainan warna ini dapat mengenai seluruh permukaan LK atau hanya sebagian LK. LK berwarna hitam kebiruan atau hijau dan sering berbau(11). Perubahan Warna Lempeng Kuku pada Penyakit Kulit

Beberapa penyakit kulit yang menimbulkan perubahan warna pada lempeng kuku antara lain :

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 8

Page 10: Cdk 076 Kulit (II)

Akantosis nigricans coklat Sindrom Bazex kuning Lepra putih Pakionikia kongenital kuning-coklat Psoriasis coklat-kuning Sindrom Reiter coklat-kuning Nevus pigmentosus coklat-hitam Perubahan Warna Kuku pada Penyakit Sistemik Penyakit Perubahan warna Defisiensi B12 coklat-hitam Bronkhiektasi biru muda atau kekuningan Hemochromatosis abu-abu, coklat, putih Hiperbilirubinemia coklat, kuning Hipertiroidi coklat Malnutrisi coklat difus, pita coklat Yellow nail syndrome kuning difus atau kehijauan Perubahan Warna Lempeng Kuku Akibat Agen Fisik

Pada penderita yang mendapat terapi radiasi sering dijumpai perubahan warna berupa pita transversal biru-hitam dan atau wama coklat difus pada kuku jari. Pigmentasi disebabkan endapan pigmen melanin(11).

Trauma pada matriks menyebabkān terjadinya hematon subungual yang kemudian masuk ke dalam LK. Perubahan wama ini akan bergerak ke depan sesuai pertumbuhan kuku(11). LEUKONIKIA

Sinonim: leukopathia unguium Warna putih pada kuku dibagi menjadi 3 bentuk yaitu

partial, totalis atau striata. Leukonikia dapat merupakan kelain-an didapat atau kongenital. Bentuk striata berupa pita transversal tunggal atau multipel terletak dekat lunula. Dengan pertumbuh-an kuku secara bertahap akan bergerak ke ujung bebas. Bentuk totalis berupa. wama putih pada seluruh LK, atau LK tampak seperti porselen tanpa disertai perubahan lain pada LK(1,11).

Warna putih ini umumnya dianggap disebabkan keratinisasi yang tidak sempurna sehingga debris inti tertahan di LK. Banyak keterangan yang diajukan terhadap perubahan warna ini tetapi tidak satupun yang memuaskan(5).

Leukonikia pungtata dapat terjadi pada penyakittifus, nefritis karena trauma dan infeksi jamur, bahkan pada orang normal. Leukonikia striata dapat disebabkan kelainan herediter, trauma otak hebat, keracunan arsen (Meen's transverse band), pelagra. Leukonikia totalis dapat dijumpai pada penderita sirosis hepatis, penyakit jantung, diabetes melitus, tuberkulosis dan arteritis reumatoid atau dapat normal terjadi pada anak umur 1-4 tahun(7,11).

KEPUSTAKAAN

1. Baden P, Zaias N. Biology of nails. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K. et al (eds.) Dermatology in General Medicine. 3rd ed. New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1987: 219-23.

2. Silverman R. Nail and appendegeal abnormalities. In: Lawrence A, Schachner MD, Hansen C. Pediatric Dermatology. 1st ed. New York, London,Edinburgh, Melbourne: Churchill Livingstone Inc, 1988: 613-31.

3. Norton LA. Disorder of the nails. In: Moschella SL, Hurley HJ (eds). Dermatology. 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Co, 1985: 1398-420.

4. Beaven DW, Brooks SE. A colour atlas of the nail in clinical diagnosis, Wolfe Medical Publ Ltd. 1984: 20-128.

5. Dawber RPR, Baran R. The nails. In: Rook A, Wilkinson DE, Ebling FJG, Champion RH, Burton IL (eds), Text Book of Dermatology. 4th ed. Blackwell Scient Publ, 1988: 2039-73.

6. Achten G, Parent D. Review: the normal and pathologic nail. Internat J Deimatol 1983; 22: 556-65.

7. Butterwonh T, Ladda RL. Nails. In: Clinical Genodermatology vol 2, Praeger Publ, 1981: 281-302.

8. Shelley WB, Shelley ED. Onychoschizia Scanning Electron Microscopy. J Am. Acad Dermatol 1984; 10: 623-7.

9. Soepardiman L. Kelainan Kuku. In: Bmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1987: 259-64.

10. Baden HP, Zaias N. Nails. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF (eds), Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1987: 651-64.

11. Mougin MJ, Civatte J. Nail dyschrimia. Internat J Dermatol. 1981; 22: 279-90

Friendship is always a sweet responsibility, never an opportunity (Kahlil Gibran)

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 9

Page 11: Cdk 076 Kulit (II)

Kelainan Dasar dan Lipat Kuku

Grace Widodo, Erdina H.D.P., A. Kosasih Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Ciptomangunkuswno, Jakarta PENDAHULUAN

Suatu penyakit dapat memberikan berbagai bentuk lesi pada kuku yang berbeda, dan sebaliknya, satu kelainan kuku dapat merupakan ekspresi dari berbagai macam penyakit dengan etio-logi, perjalanan penyakit dan prognosis yang berbeda. Hal ini menyebabkan diagnosis kelainan kuku menjadi sulit(1,2). Untuk dapat mendiagnosis kelainan pada kuku dengan lebih baik, adalah panting untuk mengenal struktur kuku yang normal ter-lebih dahulu(1).

Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai struktur dasar dan lipat kuku, kelainan yang berhubungan serta penanggulang-annya. STRUKTUR DASAR DAN LIPAT KUKU Dasar kuku

Dasar kuku merupakan bagian kulit yang ditutupi kuku, yaitu dari batas lunula sampai ke hiponichium(3,4). Sebagian sel epidermis dasar kuku menyatu dengan lempeng kuku, yaitu bagian ventral lempeng kuku(5). Pada dasar kuku yang matur tidak terdapat granula keratohialin, tetapi pada beberapa keada-an patologis dasar kuku menunjukkan lapisan granular, dan terdapat produksi stratum korneum yang sama dengan epidermis normal. Produksi sel-sel tanduk dalam keadaan seperti ini dapat mendorong lempeng kuku ke atas(3). Lipat kuku

Lipat kuku proksimal dan lateral merupakan batas dan pelindung struktur dan menolong arah pertumbuhan kuku(3,5). Lipat kuku proksimal merupakan perluasan dari epidermis pada dorsum kuku yang melindungi matriks dan kutikula adalah produk keratinnya. Struktur ini sangat panting, karena penyakit kuku yang terbanyak, paronikia kronik, terutama mengenai daerah ini. Lipat kuku terdiri dari dua lapis epidermis yaitu bagian

dorsal, yang membentuk dorsal epidermis jari dan bagian ventral yang menutupi lempeng kuku yang baru dibentuk. Proses keratinisasi tidak berbeda dengan epidermis di tempat lain. Lapisan tanduk bagian ventral menjadi melekat dengan permukaan lempeng kuku yang baru dibentuk dan bergerak ke distal untuk jarak pendek. Lapisan tanduk ini disebut kutikula. Penyakit yang mengenai lipat kuku proksimal mempengaruhi lempeng kuku yang baru dibentuk(2). Struktur subkutan

Dermis pada apendiks kuku dibatasi oleh falang di bawah-nya, dan tidak terdapat jaringan subkutis. Dermis dan epidermis dasar kuku bersatu dengan gambaran tongue in groove. Daerah dermis ini mengandung banyak kapiler yang memberi wama pink, serta badan glomus. Darah dialirkan dari arteri digitalis yang mempunyai banyak cabang dorsal, ventral dan cabang untuk lipat kuku proksimal. Bagian distal membentuk ranting-ranting proksimal dan distal yang memberi makan pulpa, dasar kuku dan hiponikium. Jalannya saraf sesuai dengan pembuluh darah(3). KELAINAN PADA DASAR DAN LIPAT KUKU

Kelainan pada dasar dan lipat kuku dapat dibagi men- jadi(5,6,7) : I. Kelainan pada lipat kuku II. Kelainan pada dasar kuku III. Kelainan lain yang dapat terjadi pada dasar dan lipat kuku: 1) Kelainan yang berhubungan dengan penyakit kulit 2) Kelainan yang berhubungan dengan penyakit sistemik 3) Clubbing 4) Kelainan pigmentasi 5) Penyakit herediter/kongenital 6) Tumor

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 10

Page 12: Cdk 076 Kulit (II)

7) Trauma I. KELAINAN PADA LIPAT KUKU

Kelainan yang sering terjadi pada lipat kuku adalah pa-ronikia. Paronikia

Lipat kuku dapat terkena infeksi, antara lain oleh bakteri, jamur ataupun yang lainnya(6). Gambaran klinis paronikia adalah merah, bengkak, dapat terjadi akumulasi Pus dan pemisahan lipat kuku dari lempeng kuku, sehingga meninibulkan ruangan yang tidak ada pada kuku normal(6). Beberapa penulis membagi paronikia menjadi paronikia akut dan paronikia kronik(5,8). Paronikia akut

Paronikia akut merupakan keluhan yang sering terjadi dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Keadaan ini dapat di-dahului oleh trauma lokal, misalnya kuku pecah, atau menggigit kuku, atau dapat pula terjadi tanpa trauma pendahuluan. Juga sering terjadi sebagai komplikasi paronikia kronik, bila terkena organisme lain, termasuk streptokokus, Pseudomonas pyocya-neaceae, organisme koliform dan Proteus vulgaris. Gejalanya adalah bengkak yang nyeri pada lipat kuku dan dapat mengeluarkan pus. Bila letaknya cukup superfisial,'dapat dengan mudah didrainase melalui insisi dengan menggunakan skalpel yang tajam, tanpa anestesi.

Lesi yang lebih dalam paling baik diobati dengan antibiotika dulu, tetapi bila tidak cepat membaik, diperlukan insisi dengan anestesi. Beberapa pengarang menganjurkan pengangkatan sepertiga lempeng kuku untuk menambah drainase dan mempercepat penyembuhan(5). Paronikia kronik

Ini merupakan satu dari keluhan kuku tersering yang ditemui pada praktek dermatologi.

Paronikia kronik sering terjadi pada orang yang tangannya banyak terkena air, terutama orang-orang dengan tangan yang dingin. Sering terjadi pada orang yang diabetik. Lebih sering pada wanita daripada pria. Dapat timbul pada umur berapa saja, tetapi kasus tersering adalah antara 30 sampai 60 tahun. Kadang-kadang terlihat pada anak-anak, terutama akibat pengisapan jari atau jempol. Merupakan penyakit yang dominan pada ibu-ibu rumah tangga dan orang yang mempunyai pekerjaan tertentu seperti juru masak, pelayan bar, pedagang ikan(4,5).

Gejala dimulai sebagai pembengkakan ringan, jauh lebih ringan daripada paronikia akut. Kutikula dapat hilang dan pus dapat terbentuk di bawah lipat kuku. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh infeksi Candida albicans(5).

Eksaserbasi akut dapat terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder. Berbagai organisme dapat ditemukan, termasuk Stafilokokus aureus atau albus, Proteus vulgaris, Escherichia coli dan Pseudomonas pyocyanea. Pada kasus yang lama ukuran kuku dapat berkurang dan kesan ini diperbesar oleh pembesaran lipat kuku(5).

Bagian yang sangat penting pada pengobatan paronikia kronik adalah menjaga agar tangan tetap kering. Untuk pekerja-

an yang banyak berhubungan dengan air, pasien dianjurkan untuk memakai sarung tangan karet(4,5,8). Dapat digunakan timol 2-4%, atau alkohol 95% untuk meningkatkan kekeringan(5,8). Anti jamur topikal seperti him mikonasol, klotrimasol, nistatin atau amfoterisin B sebaiknya diberikan. Barlow dkk(5) meng-anjurkan penggunaan antibiotika topikal pada siang hari dan anti jamur topikal pada malam hari.Bila lebih parah dianjurkan mem-berikan eritromisin per oral, karena mereka selalu menemukan stafilokok patologik yang sensitif terhadap antibiotik ini pada keadaan ini. Norton menganjurkan untuk mencoba memberikan ketokonasol oral bila terapi antijamur topikal tidak memberikan hasil yang baik(3). Pada pasien dengan tangan dingin, dianjur-kan untuk memberikan vasodilator(5).

II. KELAINAN PADA DASAR KUKU

Dua macam kelainan yang sering terjadi pada dasar kuku adalah onikolisis dan perdarahan(2). Onikolisis

Onikolisis merupakan pemisahan lempeng kuku dari dasar kuku(5,7). Bila seluruh kuku terpisah, disebut onikomadesis. Mekanisme pemisahan lempeng kuku belum diketahui, tetapi berhubungan dengan banyak penyakit dan keadaan(6,7). Daerah yang terpisah berwama pucat disebabkan karena kehilangan refleksi cahaya dari dasar kuku. Baran(5) membedakan onikolisis sebagai onikolisis idiopatik dan onikolisis sekunder.

Onikolisis idiopatik merupakan pelepasan lempeng kuku dari dasar kuku yang tidak nyeri, yang timbul tanpa sebab yang jelas. Onikolisis sekunder

Banyak keadaan yang dapat menyebabkan onikolisis, me-rupakan satu dari gejala kuku, yang tersering terjadi.

Penyebab onikolisis ini dapat dikelompokkan sebagai berikut(5,7) : a) Kelainan dennatologik : psoriasis, infeksi jamur, dermatitis b) Penyakit sistemik : gangguan sirkulasi, hipertiroidism, yellow nail syndrome c) Trauma : trauma minor, kasus karena kerja

kimiawi : kosmetik kuku, fluorourasil 5% topikal pada ujung jari. d) Obat. Pengobatan

Pasien dianjurkan untuk memotong sebanyak mungkin kuku yang lepas dan memberi sulfasetamid 15% dalam alkohol 50% atau preparat steroid topikal yang mengandung antibiotik dan nistatin pada dasar kuku dua atau tiga kali sehari, atau meng-gunakan mikonasol hidrokonison him. Perlekatan kembali lambat dan kuku yang terlepas harus dipotong kembali beberapa kali bila perlu. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah infeksi menjadi menetap di bawah kuku yang terlepas, karena ini menyebabkan penebalan dasar kuku dan mencegah perlekatan kembali. Timol 4% dalam khloroform dianjurkan untuk mencegah infeksi dan maserasi lebih lanjut dari dasar kuku, tetapi sering pula diberikan timol 2%, selama pasien dapat mentolerir, dan biasanya efektif(5).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 11

Page 13: Cdk 076 Kulit (II)

Perdarahan Perdarahan pada kuku umumnya timbul setelah trauma

pada daerah kuku; ukuran dan bentuknya, seperti yang terlihat pada kuku tergantung lokasi dan besarnya perdarahan(6). Per-darahan ke dalam dasar kuku dapat tampak sebagai splinter hemorrhages atau sebagai hematoma yang Was dan nyeri(7).

Splinter hemorrhages adalah tanda unik yang timbul hanya pada dasar kuku dan terbentuk akibat hubungan struktur epidermal-dermal pada dasar kuku. Pada dasar kuku rigi epidermal adalah rigi longitudinal yang cocok dengan tongue-ingroove fashion dengan yang dari epidermis. Dalam rigi dermal inilah perdarahan kecil timbul, seringkali mengenai dua atau tiga rigi, dan memberi gambaran longitudinal tampak seperti pecah (splinter). Bagian dari perdarahan yang tinggal di dermis di reabsorbsi, sedang bagian di epidermis atau di lapisan tanduk kemudian melekat pada lempeng kuku, dan bergerak ke distal dengannya(6).

Penyebab yang tersering adalah trauma minor, selain itu splinter haemorrhages juga sering timbul pada berbagai pe-nyakit sistemik, termasuk endokarditis bakterialis subakuta, rheumatoid arthritis yang berat, stenosis mitral, ulserasi peptik, hipertensi dan neoplasma maligna. Dalam praktek dermatologi, sering ditemukan berhubungan dengan psoriasis, dermatitis, dan infeksi jamur pada kuku(5).

Pada hematoma yang besar, dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri yang timbul pada hematoma ini mungkin dapat dikurangi dengan menusuk lempeng kuku dengan alat yang tajam, kauter atau bor kecil(5,7). III. KELAINAN LAIN YANG DAPAT TERJADI PADA

DASAR DAN LIPAT KUKU 1. Kelainan yang berhubungan dengan penyakit kulit

Psoriasis Perubahan kuku sering terjadi pada psoriasis. Kelainan yang

sering terjadi adalah pitting, onikolisis dan perubahan warna serta penebalan subungual dan kelainan lain pada lempeng kuku. Onikolisis (distal atau lateral) yang timbul merupakan akibat lesi psoriatik yang timbul pada hiponychium dan bagian distal dasar kuku. Penebalan subungual adalah akibat lesi psoriatik yang mengenai hiponychium dan bagian distal dasar kuku dalam waktu yang lebih lama daripada onikolisis, menyebabkan pe-nebalan lapisan tanduk di bawah lempeng kuku(5).

Pengobatan psoriasis kuku biasanya ditujukan pada peng-obatan psoriasis kulit. Bersihnya psoriasis generalisata biasanya diikuti dengan penyembuhan yang terlambat dari kuku. Peng-obatan psoriasis dengan metotreksat biasanya membawa pe-nyembuhan pada kuku(5,8). Ada tenggang waktu dari saat obat diberikan sampai suatu kuku baru yang normal terlihat tumbuh dari bawah lipat kuku proksimal . Terapi PUVA mungkin dapat (6)

berguna. Aplikasi kortikosteroid potensi kuat secara topikal dengan oklusi dapat ditambahkan(5,8). Suntikan lokal pada matriks kuku dan/atau dasar kuku dengan jarum atau Dermo-Jet dapat menolong(5,8). Untuk prosedur ini dipakai triamsinolon

yang diencerkan dengan NaCl normal sampai konsentrasi 5mg/ ml. Ditentukan daerah yang paling banyak terkena, dan 0,1 ml solutio dusintikkan dalam 2 atau 3 daerah terpisah pada interval 3 sampai 4 minggu. Ada yang berpendapat bahwa pengobatan ini tidak untuk penggunaan rutin, karena bagaimanapun ada ke-mungkinan transfer infeksi virus dari satu pasien ke yang lain, karena aparatus ini sulit untuk disterilisasi dan sering terjadi relaps(5).

Penyakit Darier Manifestasi penyakit Darier adalah garis merah dan putih

longitudinal, rigi longitudinal, lempeng kuku yang rapuh yang menunjukkan iregularitas bentuk V pada tepi distal, dan sub-ungual hiperkeratosis(6).

Liken Planus Pada dasar kuku dapat ditemukan papul-papul merah-ungu

yang dapat terlihat melalui lempeng kuku, juga hiperkeratosis subungual difus. Berbagai derajat perubahan lempeng kuku dapat ditemukan, dan manifestasi lanjut adalah pembentukan pterigium bila matriks hancur(6,8).

Pengobatan penyakit ini sama dengan yang diterangkan pada psoriasis. Bila inflamasi parah, penggunaan kortikosteroid sistemik dapat dicoba untuk mencegah hilangnya kuku secara permanen(8).

Dermatitis Kuku dapat terkena segala bentuk dermatitis yang

mengenai tangan, dan terutamā lipat kuku posterior. Perubahan biasanya distrofik, berakibat kasarnya permukaan lempeng kuku,pitting yang kasar dan beberapa perubahan warna. Rigi melintang dapat tampak pada kuku yang terkena. Dermatitis pada ujung jari dapat disertai onikolisis.

Tidak ada pengobatan spesifik dibutuhkan, perubahan pada kuku-kuku akan sembuh perlahan-lahan bila dermatitis ter-kontrol(6).

Herpetic whitlow Penyakit ini jarang terjadi,dan lebih sering terdapat di antara

perawat. Ini disebabkan oleh inokulasi virus herpes simplex dan muncul sebagai bula tunggal atau berkelompok dekat dengan kuku, dan dapat memberi gambaran seperti sarang tawon. Mulamula jemih, kemudian bula dapat menjadi purulen dan dapat pecah dan diganti oleh krusta. Lesi ini dapat sangat nyeri.

Diagnosis ditegkkan dengan menemukan virus dari bula baru dan dengan pemeriksaan sitologik dari dasar bula. Terapi sesuai dengan pengobatan herpes simpleks di daerah lain(5). 2. Kelainan yang berhubungan dengan penyakit sistemik

a. Perubahan yang berhubungan dengan gangguan meta-bolik(6). Terry's nails. Terdapat pada pasien dengan sirosis dan di-

anggap berhubungan dengan hipoalbuminemia. Seluruh ujung kuku proksimal berwarna putih sebagai akibat perubahan pada dasar kuku, sedang 1 atau 2 mm distal kuku sering berwarna merah muda.

Garis Muehrcke. Adalah garis-garis paralel putih yang ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 12

Page 14: Cdk 076 Kulit (II)

pasangan terlihat pada pasien dengan hipoalbuminemia. Garis-garis ini tidak bergerak keluar dengan pertumbuhan kuku dan dianggap disebabkan karena perubahan pada dasar kuku.

Half and half nails, dilaporkan sering terjadi pada gagal gin jai. Pada kondisi ini bagian proksimal kuku putih dan 20 sampai 50 persen distal merah. Ini juga dihubungkan dengan perubahan dasar kuku. Perubahan ini tidak seluruhnya spesifik karena dapat dijumpai pada orang normal atau pasien dengan penyebab lain yang tidak berhubungan. Lebih jauh, ada variasi berbeda dalam presentasi kuku yaitu putih dan merah pada penyakit ginjal dan hati. ..

Yellow nails ditemukan pada pasien dengan edema kronik. Kelainan ini dianggap disebabkan oleh kelainan pada saluran limfatik(6).

b. Gangguan sirkulasi Perubahan kuku berhubungan dengan sirkulasi perifer

yang terganggu. Pada situasi tertentu, kuku sangat terpengaruh pada efek dingin. Arteri digitalis akan spasme, menyebabkan fenomena Raynaud. Sejumlah perubahan terjadi pada penyakit Raynaud yang lama. Rigi longitudinal, penipisan, pecah longi-tudinal dan brittle adalah perubahan yang sering timbul. Oni-kolisis, dan pterigium juga dapat ditemukan. Perubahan yang sama pada kuku dapat disebabkan oleh kelainan oklusif pem-buluh darah oleh sebab lain. Iskemi digitalis akuta dapat menyebabkan blue toe syndrome yang disebabkan oleh mikro-emboli dari sumber yang lebih proksimal pada cabang arteri.

Perubahan lain yang lebih jarang pada gangguan sirkulasi adalah pembentukan pterigium. Ini disebabkan oleh destruksi parsial matriks dan fusi epitel lipat kuku dorsal dan dasar kuku.

Pengobatan harus ditujukan pada penyakit yang menyebab-kannya dan pasien harus dianjurkan untuk menjaga tangannya hangat setiap waktu. Vasodilator kadang-kadang menolong(6).

c. Periungual telangiektasis Telangiektasis pada lipat kuku dapat terlihat pada berbagai

penyakit dan pada beberapa orang normal. Perubahan ini sering terlihat pada lupus eritematosus, walaupun tidak dapat dipakai sebagai tanda diagnostik penyakit ini(6). 3. Clubbing

Clubbing jari-jari, telah dikenal sejak dulu sebagai tanda dari penyakit yang mendasarinya, tetapi temyata clubbing idiopatik dapat timbul sejak lahir tanpa penyakit yang mendacarinya. Pada fase dini, hanya terjadi hilangnya sudut normal antara lempeng kuku dan lipat kuku posterior. Sudut yang dibuat antara iipat kuku proksimal dan lempeng kuku (sudut Lovibond) melebihi 180 derajat. Pada orang normal sudut ini kurang dari 180 derajat. Selanjutnya falang distal membesar dan dapat terjadi pembesaran kuku.

Kebanyakan kasus clubbing jari terjadi pada pasien dengan penyakit paru-paru yang kronik atau penyakit jantung sianotik, tetapi juga terlihat pada pasien dengan penyakit timid dan be-berapa penyakit abdominal, termasuk sirosis biller, dan kolitis ulseratif(6).

4. Kelainan pigmentasi

Perubahan warna sehubungan dengan pigmentasi dapat pula terjadi pada dasar kuku, antara lain disebabkan oleh penyakit sistemik seperti Peutz-Jeghers, yang memberi warm hitam oleh pigmen melanin, maupun oleh obat anti malaria seperti khlorokuin yang memberi warna biru-coklat(2,6).

5. Penyakit herediter

Sejumlah penyakit yang diturunkan dapat mengenai dasar kuku antara lain penyakit Darier-White, yang mengakibatkan hiperkeratosis dan perubahan warna pada dasar kuku, dan pachyonychia congenita yang menyebabkan hipertrofi pada dasar kuku.

Pada pachyonychia congenita, perubahan terutama adalah hipertrofi dasar kuku. Saat lahir kuku tampak normal, tetapi segera sesudahnya perubahan warna kuning-coklat tampak. Perubahan ini berlanjut sampai lempeng kuku terangkat.

Pada akrodermatitis enteropatika, suatu penyakit resesif yang berhubungan dengan defisiensi zink yang disebabkan ka-rena absorbsi metal yang buruk dari usus, dapat mengenai daerah periungual. Proses eksematosa yang mengenai lipat kuku proksimal dan lateral dapat menyebabkan perubahan pada lempeng kuku(6).

6. Tumor

Tumor-tumor pada daerah kuku relatif sering terjadi. Neo-plasma pada daerah kuku terdiri dari tumor jinak dan tumor ganas. Diagnosis klinik kadang-kadang sulit karena faktor-faktor trauma, infeksi, ada atau tidaknya pigmentasi, dan karena lempeng kuku yang translusen menutupi tanda fisik pada dasar kuku. Juga tumor yang dikenal baik di tempat lain, dapat mempunyai bentuk yang lain pada daerah kuku. Daerah paronikial yang mengelilingi dasar kuku dan matriks adalah daerah yang tersering terkena lesi tumor(8). Tumor jinak yang umum terjadi pada kuku

Veruka Tumor di sekitar kuku yang tersering adalah verukdo.

Veruka periungual dapat diterapi dengan destruksi menggunakan kauter dan kuret atau dengan spray nitrogen cair. Banyak kasus memberi respon yang baik dengan asam salisilat 40%. Veruka di bawah kuku dapat diterapi setelah kuku di atasnya diangkat atau dipotong(6).

Granuloma piogenikum Lesi ini biasanya terlihat setelah trauma pada daerah terse-

but. Ia dapat berasal dari lipat kuku lateral atau dari hiponikium dan dapat membesar mengenai alas kuku. Destruksi sempurna lesi tersebut dengan elektrodesikasi biasanya memberikan penyembuhan(6).

Fibroma Fibroma kuku seringkali timbul pada pasien dengan tu-

berous selerosis, dan tampak tersering sesudah pubertas. Lokasi biasanya periungual, tetapi dapat juga subungual. Fibroma pada matriks dapat mengakibatkan penipisan dan bahkan destruksi lempeng kuku. Eksisi biasanya menyembuhkan(5,6).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 13

Page 15: Cdk 076 Kulit (II)

Nevus junctional Lesi jinak ini tidak jarang timbul pada orang kulit hitam.

Sarang-sarang sel nevus pada matriks menyebabkan pigmentasi yang berat pada lempeng kuku(6).

Kista miksoid Kista miksoid sering terjadi pada bagian lateral atau dorsal

jari bagian distal(6). Masa ini merupakan perubahan degeneratif pada jaringan konektif falang distal. Ia membentuk suatu lesi yang kecil dan kistik dengan permukaan yang licin dan mengkilat hampir translusen(5). Bila terdapat pada lipat kuku proksimal; dapat mempengaruhi pembentukan lempeng kuku(5).

Terapi antara lain dengan ditusuk berulang kali, eksisi, cryo-surgery, aspirasi lesi dan suntikan triamsinolon, dan pengangkat-an lipat kuku proksimal dengan kista yang berhubungan(5).

Ekondroma Ini merupakan tumor jinak soliter kartilago yang timbul

pada jari-jari. Bila timbul pada falang distal akan menyebabkan pembesaran ujung jari, memberi gambaran seperti clubbing jari. Bila timbul dekat lipat kuku proksimal dapat menyerupai paronikia dan menyebabkan deformitas lempeng kuku(5).

Terapi adalah dengan eksisi atau mengangkat jaringan kondroid dan mengisi rongga yang terbentuk, bila perlu dengan bone graft(5,6).

Eksostosis subungual Tumor jinak tulang ini tersering dijumpai pada jari kaki

yang besar. Tampak sebagai pembengkakan di bawah kuku, dan dapat mendorong ujung kuku, dapat pula menyebabkan de-formitas kuku dan rasa nyeri. Penyakit ini dapat didiagnosis dengan radiografi(5,6).

Tumor glomus Tumor ini sering berlokasi di daerah subungual dan pada

penekanan menimbulkan rasa nyeri yang menjalar. Pengangkat-an lempeng kuku dan eksisi tumor ini dari dasar kuku dapat mengurangi gejala dan membawa kesembuhan(6).

Keratoakantoma Keratoakantoma subungual, merupakan penyakit yang ja-

rang dijumpai tetapi perlu diketahui, karena dapat mengakibat-kan kesalahan teramputasinya jari yang tidak perlu(6). Bila timbul di bawah kuku, tumor ini mempunyai gambaran yang berbeda dari lesi klasiknya. Penyakit ini ditandai dengan pertumbuhan yang cepat dan nyeri, kemerahan, terangkatnya lempeng kuku, dan nekrosis akibat tekanan dari falang di bawahnya. Pemeriksaan radiologis dan histopatologi dapat membantu menegakkan diagnosis(5).

Terapi adalah dengan destruksi lokal(6) atau dengan eksisi total sesudah pengangkatan lempeng kuku di atasnya(5). Tumor ganas

Karsinoma sel skuamosa Tumor ini biasanya tumbuh lambat dengan rasa nyeri,

destruksi lokal dan dapat disertai infeksi bakteri. Pemeriksaan biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.

Terapi adalah amputasi bila tulang di bawahnya terkena, dan bila tidak, dilakukan eksisi lokal(5). Karsinoma sel basal

Karsinoma sel basal jarang terlihat pada daerah subungual. Terapi adalah dengan eksisi lokal atau elektrodesikasi(6). Melanoma maligna

Tumor ini jarang terjadi, tetapi penting untuk diketahui. Biasanya ditandai dengan pertumbuhan subungual yang berpig-mentasi, dengan masuknya pigmen ke daerah parokinia (tanda Hutchinson)(5,6,8).

Bila diduga melanoma, perlu dilakukan biopsi. Bila diagnosis telah ditegakkan, jari hams diamputasi segera. Kelenjargetah bening perlu diangkat kemudian bila ada dugaan penyebaran sekunder pada daerah ini(5). 7. Trauma

Trauma dapat menyebabkan kerusakan kuku dalam ber-bagai cara. Trauma tersebut dapat tunggal, sekali-sekali, atau berulang (seperti menggigit kuku)(5).

Trauma tunggal atau sekali-sekali dapat mengakibatkan perdarahan, pecahnya kuku, atau bila cukup berat, hilangnya seluruh kuku.

Trauma yang berulang seringkali lebih ringan, dan pasien mungkin tidak menyadarinya. Beberapa tipe tertentu : Menggigit kuku

Ini merupakan kebiasaan yang sangat umum terjadi. Dapat menyebabkan onikolisis dan paronikia(5,7). Terapi biasanya ku-rang memuaskan, karena pasien sulit untuk menghentikan ke-biasaannya. Psikoterapi mungkin berguna untuk beberapa pasien(5).

Ingrown nails (kuku yang tumbuh ke dalam) sering meru-pakan masalah. Timbulnya pada kuku kaki mungkin berhu-bungan dengan sepatu yang tidak pas, sedangkan pada kuku jari tangan sering disebabkan oleh pemotongan kuku yang tidak rata atau pecahnya lempeng kuku dan diikuti oleh pertumbuhan lempeng kuku ke dalam lipat kuku lateral. Bila tidak diobati, dapat menjadi sangat nyeri, terbentuk indurasi dan jaringan granulasi yang berlebih terbentuk sekitar tepi lempeng kuku yang masuk.

Pengobatan dapat sulit dan bekepanjangan. Yang paling penting adalah menyarankanpada pasien untuk memakai sepatu yang cukup lebar dan dapat menghilangkan tekanan lateral. Juga pasien perlu berhati-hati dalam memotong kuku. Pala stadium dini infeksi mungkin dapat diatasi dengan pemberian antiseptik seperti gentian violet. Bila infeksi tersebut lebih parah dan ada selulitis lokal perlu diberikan antibiotik sistemik. Bila jaringan granulasi terbentuk, hams dihancurkan dengan kauterisasi. Bila jalan konservatif ini gagal, perlu dilakukan operasi. Jaringan granulasi perlu dieksisi. Pada beberapa kasus pengangkatan kuku dibutuhkan, dan indikasinya adalah selulitis yang terus menerus, nyeri yang hebat dan kegagalan perbaikan dengan pengobatan yang kurang radikal(5,7).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 14

Page 16: Cdk 076 Kulit (II)

Mengisap jari Sering terjadi pada bayi dan anak-anak, dan dapat me-

nyebabkan paronikia(5,7). Trauma fisik/kimiawi pada kutikula Dapat menyebabkan paronikia(9).

KEPUSTAKAAN

1. Achten G, Parent D. Review: The normal and pathologic nail. Intemat J Dennatol, 1983; 22: 556-65.

2. Mougin MJ, Civatte J. Nail cyschromia. Intemat J pesmatol, 1981; 22: 279-90.

3. Baden HP, Zaias N. Biology of nails. In: Fitzpatrick TB, Eison AZ, Wolff K. Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1987: 219-223.

4. Soepardiman L. Kelainan kuku. Dalam: Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, (eds). Bmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1987: 259-264.

5. Dawber RPR, Baran R. The nails. In: Rook A, Wilkinson DE et al, Text Book of Dermatology, 4th ed. Blackwell Scientific Publ, 1988: 2039-73.

6. Baden HP, Zaias N. Nails. In: Fitzpatrick TB, Eison AZ et al, Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co, 1987: 651-66.

7. Silverman R. Nail and appendageal abnormalities. In: Schachner LA, Hansen RC. Pediatric Dermatology, 1st ed. New York, London: Churchill Livingstone Inc, 1988: 613-31.

8. Norton LA. Disorder of the nails. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermato- logy, 2nd ed. Philadelphia, London: WB Saunders Co, 1985: 1398-420.

9. Curry RH, Mitchel JC. Chronic Paronychia : Review of several cases. Can. M.A.J., 1961; 85: 1291-5.

10. Beaven DW, Brooks SE. In: A colour atlas of the nail in clinical diagnosis. Wolfe Medical Publ Ltd, 1984: 20-128.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 15

Page 17: Cdk 076 Kulit (II)

Dermatofitosis di LP Palembang, LP Lahat dan LP Muara Enim,

Sumatera Selatan

RS Siregar, Tantawl Djauhari Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/

RSU Palembang PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofit. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis;berhubungan dengan faktor kebersihan, kepadat-an penduduk, kelembaban dan tempetatur udara.

Penjara atau rumah tahanan (RT)/lembaga pemasyarakatan (LP) adalah pembatasan pada suatu tempat terhadap orang-orang yang krisis identitas. Penghuni pen jara biasanya paling sedikit 20 orang dan dilengkapi dengan correctional facility.

Penelitian ini dilakukan karena menurut data di RSU Pa-lembang, banyak pasien sakit kulit berasal dari penjara. Begitu juga data dari penjara sendiri; penyakit kulit/jamur merupakan penyakit yang banyak ditemukan dan menempati urutan ke tiga menurut banyaknya penyakit yang diderita penghuni penjara. Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan ilmiah dan bagi petugas yang bcrkepentingan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian dilakukan di pen jara : 1. Palembang

– RT Jl. Merdeka – LP kclas I Irk Pakjo – LP Anak dan Pemuda Irk Pakjo

2. RT Lahat 3. RT Muaracnim. Dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Maret

1990. Bahan yang diperlukan : 1. Formulir status 2. Skalpel 3. Lampu spiritus

4. Kaca objek dan penutup 5. Alkohol 70% 6. 6: KOH 20% 7. Kapas 8. Kaca, spidol dan potlot 9. Lampu Wood 10. Media Saboraud agar + glukosa + antibiotik 11. Mikroskop dan inkubator 12. CTM, AAV I – II.

Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pencatatan jumlah penghuni dari tiap penjara. 2. Pemeriksaan klinis dilakukan pada semua penghuni, me-nyangkut identifikasi, anamnesis, pemeriksaan status generalis dan status dermato-venereologikus, laboratorik KOH, kultur dan sinar Wood terkecuali penderita yang tidak ada keluhan penyakit kulit. Penderita yang telah didiagnosis klinis penderita penyakit jamur dermatofit diteruskan dengan mengisi formulir kuesioner tentang kebersihan perorangan. 3. Pencatatan kelembaban dan temperatur udara dalam kamar penjara dibandingkan dengan daerah sekitar Palembang, bekerja sama dengan lembaga Klimatologi Jl. Sako Kenten Palembang. 4. Data lain yang dianggap perlu adalah sarana air bersih dan kapasitas ruang penjara terhadap penghuninya. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kegiatan di atas diolah men jadi tabel-tabel. Pada pe-ngolahan data dapat terlihat besarnya risiko penghuni penjara tersebut untuk mendapatkan penyakit dermatofitosis ditinjau dari sudut kebersihan, kcpadatan penghuni dan pengaruh ke-lembaban dan temperatur udara.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 16

Page 18: Cdk 076 Kulit (II)

Prevalensi dermatofitosis dari total penyakit kulit di penjara di alas adalah sebesar 36,12%, dan dari seluruh penghuni penjara adalah 9,36% (tabel 1).

Diagnosis klinis dari total penderita penyakit jamur derma-tofitosis yang terbanyak,berturut-turut adalah (tabel 2) :

1. T. Cruris = 69,56%2. T. Corporis = 13,76% 3. T. Cruris et corporis = 12,3, % 4. Lainnya kurang dari 1,44%.

Spesies dermatofitosis yang terbanyak ditemukan adalah sebagai berikut (tabel 3) :

1. Trikofiton mentagrofites = 45,37%2. Trikofiton rubrum = 26,89% 3. Epidermofiton flokosum = 21,84% 4. Lainnya kurang dari 5,04%. Di tiga lokasi penjara Palembang, dijumpai dari 117 pen-

derita terdapat 98 orang (83,76%) yang mempunyai kebersihan kurang (tabel 4). Hal ini mungkin karena fasilitas air yang belum memadai.

Bekerjasama dengan lembaga klimatologi Palembang, telah dilakukan pengukuran temperatur dan kelembaban udara yang ada di dalam kamar penghuni dark daerah sekitar Palembang. Ternyata temperatur dan kelembaban di kamarpenghun penjara lebih tinggi dari daerah sekitar Palembang (tabel 5). Keadaan ini disebabkan karena penghuni pen~jara yang padat dan ventilasi yang kurang, sehingga keringat meningkat lalu udara menjadi lembab dark panas.

Prioritas pemecahan masalah dapat dipertimbangkan se-bagai berikut : 1. Meningkatkan sarana air betsih. 2. Kapasitas ruang yang memadai untuk dihuni oleh para

tahanan. 3. Perlu adanya peningkatan perhatian di bidang kesehatan

oleh petugas yang berkepentingan. Dengan memperhatikan ketiga faktor di atas (correctional faci-lity), diharapkan penyakit jamur dermatofitosis akan berkurang. Tabel 1. Prevalensi Dermatofltosis

Sakit kulit DermatofhosisNo. Nama Penjara Kapasitas

(orang)

Jumlah Penghuni (orang) n % n %

1. RT Jl Merdeka Palembang 249 508 139 27,36 35 6,88

2. LP Anak dan Pemuda Palembang

200 234 38 16,23 23 9,82

3. LP Klas I Palanbang 350 508 89 16,57 59 11,13

4. RT Lahat 70 120 40 33,33 9 7,5

5. RT Muaraerim 100 119 46 38,65 12 10,08

TOTAL 1489 382 25,65 138 9,36

Tabel 2. Diagnosis klinis Dermatofltosis

Penjara

Diagnosis Palembang

JI. Merdeka n=508

Kls I n=508

A & P n=234

Lahat n=120

Muaraenhnn=119

1. T. Cruris 28 42 17 4 5 2. T. Corporis 4 8 2 1 4 3. T. Crime et corporis 1 6 4 3 3

4. T. Pedis 1 1 – – – 5. T. Pedis et cmiii 1 – – – –

6. T. Cruris et Capitis – 1 – – –

7. T. Unguium – 1 – 1 – Total n 35 59 23 9 12 % 6,88 11,13 9,82 7,5 10,08

Tabe1 3. Spesies dennatorita

Penjara Species

Palembang Lahat Muaraenlm Jumlah

1. Trikofiton mentagrofites 47 5 2 54

2. Trikofiton rubrum 23 3 6 32 3. Epidennofiton flokosum 24 1 1 26

4. Mikrosporon gipsium 6 - - 6

5. Mikrosgoron kanis 1 - - 1

TOTAL 101 9 9 119

Tabel 4. Hubungan antara penderita dermatofltoels dan kebersihan di 3

lokasi pen jara.

Kebersihan Tempat Penderita dertnatofltosis

Cukup Kurang

1. RT .11. Merdeka 2. LP. Anak & Pemuda3. LP. Kls I

35 23 59

11 5 3

24 18 56

TOTAL

117 (100 %)

19 (16,24%)

98 (83,76%)

Tabel 5. Hubungan antara kelembaban/temperatur udara di 3 lokasl

penjara dan daerah sekitar Palembang.

Udara Tempat

Kelembaban (%) Temperatur (°C)

1. RT J1. Merdeka 2. LP Anak dan Pemuda 3. LP Kis I

89,75 89,35 91,70

29,05 29,60 27,61

Rata=rata 90,26 28,75

4. Daerah sekitar Palembang 86-87 25-26

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 17

Page 19: Cdk 076 Kulit (II)

KESIMPULAN Dari penelitian terhadap beberapa lembaga pemasyarakatan

dan rumah tahanan di Sumatera Selatan, ternyata : – Prevalensi penyakit jamur dermatofitosis cukup tinggi yaitu

sebesar 36,12% dari seluruh penderita sakit kulit dan 9,36% dari seluruh penghuni penjara.

– Diagnosis klinik yang terbanyak adalah T. Cruris yaitu 69,56% dari seluruh penderita penyakit jamur dermatoftosis.

– Spesies dermatotitosis yang terbanyak ditemukan adalah T. Mentagrofitcs (45,37%). Sedangkan yang lainnya T. Rubrum (26,89%) dan E. Flokosum (21,84%).

– Di antara penderita dermatofitosis di LP dan RT di Palem-bang, 83,76% mempunyai tingkat kebersihan yang kurang.

– Temperatur dan kelembaban udara di kamar penghuni penjara lebih tinggi daripada di daerah sekitar Palembang.

KEPUSTAKAAN

1. Budimulya U. Penyelidikan Derrnatofitosis di RS Dr. Cipto Mangun-kusumo Jakarta. Thesis. Universitas Indonesia Jakarta, 1980.

2. Conant NF, Smith DT, Baker RD, Callaway JL. Manual of Clinical Mycology. 3rd ed. Philadelphia London Toronto : WB Saunders Co. 1971. p.549–557.

3. Domonkos AN. Diseases due to fungi. In : Andrew's diseases of the skin, 7th ed., Philadelphia London Toronto: W B Saunders Co. 1982.p. 341–402.

4. Ehlers, VM, Stell EW. Ventilation and air conditioning in municipal and rural Sanitation 5th ed., New York Toronto Tokyo : Mc Graw Hill Book Co., 1958. p. 385–406.

5. Ekawati Samsul Harun, Urip Suherman, Kasan Sengar. Dermatomikosis Superfisialis di RS Dr. Sutomo. Kumpulan naskah Simposium Dermato-mikologi, Bagian llmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RS Dr. Sutomo, Surabaya, 1982.

6. Emmous CW, Benifard CW, Utz JP. Medical Mycology, 2nd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1970. p. 109–181.

7. Encyclopedia Americana, 1977. New York 10022: Americana Corpora-tion, vol. 22, p. 619–623.

8. Goodman NL, Shadomy HI. Training manual for medical mycology, Lexington, Kentucky, 1988. p. 1–29.

9. Kuswadji. Dermatomikosis. Simposium penyakit karena jamur, Jakarta : FKUI 1983, hal. 25–34.

10. Neves H, Cavora N. The transmission of Linea cruris, Brit J. Dennatol 1964; 76 : 429–436.

11. Puji S. Faktor predisposisi penyakit jamur, Simposium penyakit karena jamur, Jakarta : FKUI 1983, hal. 16–19.

12. Siregar RS, Tantawi Djauhari. Dermatoftosisdi Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan : Penelitian aspek kebersihan, kelembaban dan temperatur. Dexa Media (in press).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 18

Page 20: Cdk 076 Kulit (II)

Pengaruh Suhu Pengeraman pada Biakan Malassezia furfur

Subakir

Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RS Dr. Karyadi, Semarang

RINGKASAN

Telah dilapukan biakan kerokan kulit dari lesi tinea versikolorpada media Sabouraud dekstrosa agar yang ditambah minyak kelapa 1%. Jumlah sampel berasal dari 30 kasus tinea versikolor. Tiap sampel kerokan kulit dibiak pada media Sabouraud dan dieram pada suhu inkubator 37°C dan pada suhu kamar. Pada pengeraman 37°C tumbuh positif 27 biakan M. furfur, sedang pada suhū kamar tumbuh 26 biakan; perbedaan ini tidak bermakna (p > 0,05). Rata-rata lama waktu pengeraman pada suhu 37°C sebesar 4,6± 3,8 hari, sedang pada suhu kamar 5,8 ± 1,4 hari; perbedaan ini bermakna (p < 0,01).M. furfur dapat tumbuh pada suhu 37°C dan suhu kamar, tetapi koloninya lebih cepat nampak pada suhu 37°C.

PENDAHULUAN

Pitiriasis versikōlor, atau tinea versikolor, atau panu ter-masuk mikosis superfisialis yang sering dijumpai. Sekitar 50% penyakit kulit di masyarakat daerah tropis adalah panu, sedang di daerah subtropis sekitar 1 – 5% dan di daerah dingin kurang dari 1%(1,2).

Panu umumnya tidak menimbulkan keluhan, paling-paling sedikit gatal, tetapi lebih sering menyebabkan gangguan kos-metik, terutama pada penderita wanitao). Panu mempunyai gambaran klinis berupa makula keputih-putihan (hipopigmen-tasi) atau bercak kehitam-hitaman (hiperpigmentasi) serta ber-sisik halus. Lokalisasinya sering terdapat di wajah, punggung, dada, lengan, paha(1,3).

Penyebab panu adalah jamur bersel tunggal atau yeast, yaitu Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare. Bentuknya

oval-bulat/seperti botol, berukuran 3 – 8 µ(1,3,4). Yeast ini mampu membentux hifa (fase hifa) dan bersifat invasif serta patogen. Pada fase hifa terbentuk hifa bersepta yang mudah putus, sehingga nampak hifa-hifa pendek, berujung bulat atau tumpul. Fase hifa ditemukan pada lesi kulit, terutama lesi yang aktif, di samping bentuk yeast. Fase yeast terdapat sebagai flora normal kulit, dan juga pada biakan di media Sabouraud dekstrosa agar yang mengandung minyak zaitun(1,3,4).

Dalam diagnosis pitiriasis versikolor, kultur jarang dikerja-kan, umumnya cukup berdasar sediaan mikroskopis dari kerokan kulit lesi°. M. furfur bersifat lipofilik, tumbuh baik pada media Sabouraud yang ditambahi minyak zaitun'atau minyak kelapa(3,4). Pertumbuhan M. furfur (P. orbiculare) pada media lebih baik pada suhu 37°C, dan koloni berbentuk yeast.

Bersama ini dilaporkan hasil biakan M. furfur (P. orbicu-lare) pada media Sabouraud dekstrosa agar yang ditambahi

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 19

Page 21: Cdk 076 Kulit (II)

minyakkelapa,padapengeraman suhu kamardan suhu inkubator 37oC BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan adalah kerokan kulit dari 30 kasus tinea versikolor. Diagnosis tinea versikolor ditegakkan berdasar atas adanya hifa dan blastospora (yeast) pada pemeriksaan mikroskopik l erokan kulit dari tempat lesi. Masing-masing kerokan kulit dibiak pada media Sabouraud dekstrosa agar yang ditambah minyak kelapa 1%.

Tiap kerokan kulit dibiak pada dua media, dan dieram pada dua keadaan, yaitu pengeraman suhu kamar dan pengeraman suhu inkubator 37°C. Biakan diamati setiap hart dan dicatat saat mulai tampak tumbuh. Koloni yang tumbuh diidentifikasi sebagai koloni yeast, wama kuning-coklat dan dibuat sediaan mikroskopis dengan pengecatan Gram atail Metilen biru. Tam-pak set yeast, sel-sel berbentuk botol. Koloni tersebut diidenti-fikasi sebagai Malassezia furfur (Pityrosporum orbiculare).

HASIL

Dari 30 sampel kerokan kulit kasus tinea versikolor, pada biakan suhu 37°C, 27 sampel positif tumbuh M. furfur, sedang 3 lainnya negatif. Pada biakan suhu kamar, M. furfur positif tum-buh pada 26 sampel, sedang 4 lainnya negatif. Perbedaan hasil positif seperti di atas, ternyata tidak bermakna (X2= 0,1616; p> 0,5).

Pada biakan suhu 37°C, dari 30 sampel kerokan kulit kasus tinea versikolor 27 tumbuh positif M. furfur dengan lama waktu antara 1 sampai 10 hari; rata-rata (K) = 4,6 had (SD = 3,8 had). Pada biakan suhu kamar, dari 30 sampel, 26 tumbuh positif M. furfur, dengan lama waktu antara 2 sampai 8 had; rata-rata (x)= 5,8 hari,SD=1,4. Lama waktu tumbuhnya koloni M. furfur pada media Sabouraud dekstrosa agar yang ditambah minyak kelapa 1%, pada suhu 37°C dan pada suhu kamar berbeda bermakna (p < 0,01) (Tabel 1); M. furfur dari kasus tinea vesikolor lebih cepat tumbuh pada media Sabouraud dekstrosa agar ditambah minyak kelapa 1%, dengan pengeraman suhu 37°C. DISKUSI

Pityrosporum orbiculare adalah yeast like, merupakan flora normal kulit(5). Gordon untuk pertama kalinya menemukan P. orbieulare dari lesi Mica versikolor, dan menghubungkannya sebagai agen penyebab(6). Tanaka menyatakan bahwa P. orbicu-lare adalah fase yeast dan merupakan flora normal, sedang M. furfur adalah fase hifa yang bersifat patogen(6). P. orbiculare bersifat lipofilik dan membutuhkan sumber lipid dad luar untuk pertumbuhannya(5).

Penyakitnya disebut tinea versikolor, karena dapat me-nimbulkan lesi kulit yang hipopigmentasi (putih) atau hiperpig-mentasi (hitam)(7,8,9).Lesi hiperpigmentasi umumnya pada bagian kulit yang tertutup pakaian dan tidak terkena sinar matahari. Pada tempat tersebut terbentuk makromelanosom pada lapisan epider-mis bawah yang jumlahnya meningkat(8,9), dan di epidermis atas

Tabel 1. Blakan M. furfur pada Sabouraud dekstrosa agar.

Lama pengeraman (hari)

No. Sampel 37°C Suhu kamar

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

3 10 3 4 – 5 2 1 1 1 2 2 2 5 6 2 2 6 1 3 3 – 2 2 – 2 2 3 3 2

4 – (negatif)

4 8 8 8 8 3 3 5 2 – 2 – 6 4 6 6 3 3 3 – 2 4 8 4 4 4 4 4

Keterangan : X = 4,6 X = 5,8 SD = 3,8 SD = 14 p < 0,01 terbentuk endapan glikogen ekstraseluler yang menyebabkan percepatan turn over stratum korneum(7).

Pada lesi hipopigmentasi, terdapat beberapa teori yang menerangkan, di antaranya jamur menghalangi sinar ultra violet, terbentuknya asam karboksilat yang bersifat toksik terhadap melanosit, atau teori lain yang menyatakan adanya melanin berukuran kecil yang tidak ditransfer ke sel keratinosit(7,9); yang lain menyatakan terbentuknya substrat seperti lipid yang ber-peran sebagai filter terhadap sinar ultra violet dan matahari(9).

Tinea versikōlordapatterjadipada beberapakeadaan, seperti iklim tropis yang panas, banyak keringat, lembab; seperti kasus pada neonatus umur 2 minggu, karena ditaruh di dalam inkuba-toral; adanya akumulasi sebum yang merupakan nutrisi M. fur-fur, pengobatan ACTH, kortikosteroid, terganggunya sistim imunitas". Perubahan bentuk yeast dari P. orbieulare, menjadi fase hifa yang invasif dan patogen, mungkin disebabkan faktor nutrisi yang esensial, yaitu berupa lipid like(9).

M. furfur tumbuh pada media Sabouraud yang mengandung minyak zaitun (olive oil) (4); selain itu juga berhasil dibiak pada media Sabouraud dekstrosa agar ditambah minyak kelapa 1%, dengan pengeraman suhu 37°C(11).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 20

Page 22: Cdk 076 Kulit (II)

Dari hasil pengamatan, perbedaan suhu pengeraman tidak mempengaruhi hasil biakan positif pada M. furfur; bila ditinjau dari lama pengeraman, terlihat bahwa pertumbuhan M. furfur-pada media Sabouraud dekstrosa agar yang ditambah minyak kelapa 1%, ternyatalebih cepat pada pengeraman suhu inkubator 37°C dibandingkan pada pengeraman suhu kamar. KESIMPULAN

M. furfur adalah agen penyebab pada tnea versikolor, merupakan fase hifa, bersifat invasif serta patogen dan ditemukan pada tempat lesi. P. orbiculare adalah fase yeast, sebagai flora normal. Pertumbuhan M. furfur pada media Sabouraud yang ditambah.minyak kelapa, adalah koloni yeast. M. furfur tumbuh pada suhu 37°C dan suhu kamar, lebih cepat tumbuh pada pengeraman suhu inkubator 37°C.

KEPUSTAKAAN

1. Conant NF et al. Manual and Clinical Mycology. Philadelphia: WB Saun-ders Co, 1963.

2. Wyre HW, Johnson WT. Neonatal pityriasis versicolor. Arch Dermatol 1981; 117 :752–3.

3. Reneke ES, Rogers AL. Clinical Mycology Manual. Minneapolis: Burgess Publ Co, 1980.

4. Hasen EL, Gordon MA, Reed FC. Laboratory identification of pathogenic fungsi, simplified. Springfield: Charles C Thomas Publ, 1973.

5. Hanna JM et aL Malassezia (Pityrosporum) folliculitis occuring with Gran- uloma annulare and Alopecia areata, Arch Dermatol 1983; 119 : 869–71

6. Tanaka M, Imamura S. Immunological studies on Pityrosporum genus and Malassezia furfur. J Invest Dermatol 1979; 73 : 321–4.

7. Mc Daniel WE. Tinea varsicolor. Arch Dennatol 1977; 113 : 519–20. 8. Zimmy ML, Trautman RI. Tinea versicolor.Arch Dermatol 1988; 124 :

492–4. 9. Borgers M et al. Pityriasis versicolor and Pityrosporum ovale, Int J

Dennatol 1987; 26 : 586–589. 10. Um KB et al. The epidemiology of Malassezia (Pityrosporon) folliculitis

in Singapore. Intl Dermatol 1987; 26 : 438-41. 11. Subakir.IsolasiMelasseziafurfurdaripenderitaTineaversikolor.Kumpulan

Abstrak Konggres Nasional V Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Yogyakarta, 1989.

Kalender Kegiatan Ilmiah

5th ASEAN OTORHINOLARYNGOLOGICAL HEAD AND NECK CONGRESS bertepatan dengan VISIT ASEAN YEAR 1992 TEMPAT : JAKARTA WAKTU : 28 JUNI -1 JULI 1992 KEGIATAN : 1. 25 Juni 1992 Workshop "TEMPORAL BONE DISSECTION" 2. 28 JUNI.1 JUU 1992 CONGRESS Tempat : Hotel Indonesia 3. 2 Jul 1902 'FUNCTIONAL SINUS SURGERY COURSE AND WORKSHOP* 4. 22 Juli 1092 Kasus don Workshop "BRAINSTEM EVOKED RESPONSE AUDIOMETRI" 5. Pameran 24 Perusahaan Farmasi dan Alat Kedokteran SEKRETARIAT R.S. PE R H A T I JL Proklanmsi 48 Jakarta 10320 Telp : (021) 3107839 dan 323389 Teleks : 47839 Bangun 1A. Fax : (021) 720990

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 21

Page 23: Cdk 076 Kulit (II)

Pengobatan Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat

Emillana Tjltra, Marvel Reny dan Rita Marleta Dewi Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan pengobatan terhadap 163 penderita fluor albus, di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta, 411111 11988/1989. Untuk mengetahui penyebab, gejala klinis dan efikasi obat anti fluor albusyang tersedia di Puskesmas, semua penderita diperiksa secara klinis, ginekologis, parasitologis dan bakteriologis. Trichomoniasis (3,7%) terutama ditemukan pada ibu tidak hamil dan tidak KB (50,0%) dengan keluhan bau (83,3%), gatal (50%) dan dispareunia (50%); sedangkan angka kesembuhan dengan metronidazol adalah 100%. Candidiasis (52,8%) terutama ditemukan pada akseptor KB AKDR (49,8%) dengan keluhan bau (66,3%), gatal (25,6%), disuria (5,8%) dan dispareunia (18,6%); sedangkan angka kesembuhan dengan nistatin adalah 80%. Infeksi campuran trichomoniasis dan candidiasis (4,3%) ditemukan padaibu tidak hamil yaitu akseptor KB AKDR, hormonal dan non akseptor KB yaitu masingmasing 28,6%, dengan keluhan bau (85,7%), gatal (57,1%), disuriā (14,3%) dan dispareunia (28,7%); sedangkan angka kesembuhan dengan metronidazol dan nistatin adalah 25%. Gonorrhoe (1,2%) terutama ditemukan pada akseptor KB steril (100%) dengan keluhan bau (50%), dan gatal (100%); sedangkan angka kesembuhan dengan amoksilin adalah 100%. Vaginosis (38,0%) terutama ditemukan pada akseptor KB AKDR (50%) dengan keluhan bau (64,5%), gatal (40,3%), disuria (4,8%) dan dispareunia (12,9%). Candidiasis tampaknya merupakan penyebab utama fluor albus kecuali pada akseptor KB kondom dan steril. Umumnya penderita datang berobat karena adanya keluhan bau dan gatal; dan terbanyak ditemukan pada penderita candidiasis. Obat-obat anti fluor albus yang tersedia di Puskesmas ternyata masih cukup efektif kecuali pada pengobatan infeksi campuran.

PENDAHULUAN

Fluor albus atau keputihan adalah keluarnya cairan per vaginam yang bukan darah, berlebihan dan disertai dengan keluhan yang sangat tergantung dari kepribadian dan pengetahu-annya(1).

Penderita fluor albus terutama terdapat pada wanita usia reproduktif(2) sehingga tak mengherankan banyak ditemui di poliklinik KIA (Kesehatan Ibuu dan Anak) Puskesmas.

Fluor albus dapat disebabkan oleh infeksi parasit (trichomo-niasis) atau jamur (candidiasis) atau bakteri antara lain go-norrhoe(3,4). Dari keluhan-keluhan dan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan, dapat diperkirakan penyebabnya dan peme-niksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis.

Supaya dapat mengobati fluor albus, diperlukan penge-tahuan tentang penyebab dan gejala-gejala klinis yang ditimbul-kan. Keberhasilan pengobatan sangat tergantung pada ketepatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 22

Page 24: Cdk 076 Kulit (II)

diagnosis dan pemberian obat. Khusus pada candidiasis, peng-obatan juga sangat tergantung pada adanya faktor predisposisi(2).

Saat ini terdapat beberapa obat anti jamur dan antibiotika baru yang harganyā cukup mahal dan belum tersedia di Puskes-mas. Untuk itu dilakukan penelitian fluor albus untuk menge-tahui penyebab, gejala klinik dan efikasi obat anti fluor albus yang tersedia di Puskesmas.

BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta, pada tahun 1988/1989.

Semua penderita fluor albus mempunyai buku status dan diperiksa secara : 1. Klinis, dilakukan dengan tanya jawab dan pemeriksaan fisik. 2. Ginekologis, dilakukan dengan inspeksi dart periksa dalam dengan spekulum cocor bebek untuk yang sudah menikah. 3. Parasitologis dan bakteriologis, dilakukan untuk menge-tahui penyebab fluor albus dari spesimen yang diambil dengan kapas lidi steril pada waktu dilakukan pemeriksaan inspekulo.

Untuk mengetahui adanyaTrichomonasvaginalisdigunakan sediaan langsung memakai larutan garam fisiologis. Candida spp dapat diketahul dengan pemeriksaan sediaan langsung me-makai larutati KC1R 10% atau dibiak dengan agar Sabouraud. Nensetia gonorrhoeae dilihat dengan menggunakan pewarnaan Gram

Penderita diobati sesuai dengan penyebabnya kecuali ibu hamil yaitu : 1. Trichomoniasis dengan metronidazol 3 X 250 mg/hari, peroral, selama 7 hani. 2. Candidiasis dengan nistatin 1 X 10.000 U/hari, pervaginam, selama 7 hari(2).

3. Trichomoniasis dan candidiasis dengan metronidazol 3 X 250 mg/hari, peroral; dan nistatin 1 X 10.000 U/hari, pervagi-nam, selama 7 hari. 4. Gonorrhoe dengan amoksisilin 3g, dosis tunggal, peroral(5).

Penderita yang tidak diketemukan penyebabnya dengan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, dikelompokkan sebagai penderita vaginosis atau vaginitis non spesifik(6,7). dan diobati secara simptomatik. Demikian pula ibu hamil dengan fluor albus diobati secara simptomatik.

Setelah 7 hari pengobatan, penderita diperiksa ulang untuk menilai keberhasilan pengobatan baik secara klinis, gnekologis, parasitologis dan bakterilogis.

Data diolah dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL Terdapat 163 penderita fluor albus yang datang berobat

dengan umur antara 18-56 tahun yang kebetulan semuanya sudah menikah.

Ternyata 3,7% kasus adalah trichomoniasis, 52,8% kasus adalah candidiasis, 4,3% kasus adalah infeksi campuran tricho-moniasis dan candidiasis, 1,2% kasus adalah gonorrhoe, dan 38,0% kasus adalah vaginosis (tabel 1).

Dan 18 ibu hamil dan 25 ibu tidak hamil dan tidak KB yang fluor albus, sebagian besar terinfeksi oleh candidiasis yaitu 66,7% dan 48%. Demikianpulapada77 akseptorKB AKDRdan 30 akseptor KB hormonal yang fluor albus, sebagian besar terinfeksi candidiasis yaitu 54,6% dan 53,3%; sedangkan 2 akseptor KB kondom semuanya terinfeksi vaginosis (100%) dan 11 akseptor KB steril sebagian besar terinfeksi oleh vaginosis yaitu 45,5% (tabel 1).

Trichomoniasis tertinggi tampak pada ibu tidak hamil dan tidak KB yaitu 50,0%, sedangkan candidiasis tertinggi pada

Tabel 1. Dletribusl penderita fluor aibus berdasarkan keadaan ibu dan penyebabnya, di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta, tahun 1988/1989

Jumlah penderita

Keadaan ibu T C T+C Go V Jumlah

n % n % n % n % n % n %*

Hamil 0 0 ** 12 66,7 1 5,6 0 0 5 27,7 18 11,1 0 * 14,0 14,2 0 8,1 Tidak hamil Non KB 3 12,0 12 48,0 2 8,0 0 0 8 32,0 25 15,3

50,0 14,0 28,6 0 12,9 KB AKDR 2 2,6 42 54,6 2 2,6 0 0 31 40,2 77 47,2 33,3 48,8 28,6 0 50,0 Hotmonal 1 3,3 16 53,3 2 6,7 0 0 11 36,7 30 18,4 16,7 18,6 28,6 0 17,7 Kondom 0 0 0 0 0 0 0 0 2 100 2 1,2 0 0 0 0 3,2 Steril 0 0 4 36,3 0 0 2 18,2 5 45,5 11 6,8 0 4,6 0 100 8,1 Jumlah (%) ** 6 3,7 86 52,8 7 4,3 2 1,2 62 38,0 163 100

Keterangan : T = trichomoniasis * persen kolom C = candidiasis ** persen baris Go = gonorrkoe V = vaginosis

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 23

Page 25: Cdk 076 Kulit (II)

Tabel 2. Gejala klinis penderita fluor albus berdasarkan penyebabnya, di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta, 1988/1989.

Jumlah penderita

GeJala Minis T C T+C Go V E

n % n % n % n % n % n %* Bau 5 4,6** 57 . 52,3 6 5,5 1 0,9 40 36,7 109 66,9 83,3*** 66,3 85,7 50 64,5 Gatal 3 5,4 22 S9,3 4 7,1 2 3,6 25 44,6 56 34,4 50,0 25,7 57,1 100 40,3 Disuria 0 0 5 55,7 1 11,0 0 0 3 33,2 9 5,5 0 5,8 14,3 0 4,8 Dispareunia 3 10,3 16 55,2 2 6,9 0 0 8 27,6 29 17,8 50,0 18,6 28,7 0 12,9

Keterangan : T = trichomoniasis * persen dari jumlah total kasus C = candidiasis ** persen dari jumlah kasus dengan gejala tersebut Go = gonorrkoe *** persen dari jumlah kasus dengan sebab tersebut V = vaginosis E = jumlah akseptor KB AKDR yaitu 48,8%. Infeksi campuran trichomo-niasis dan candidiasis dijumpai pada ibu tidak hamil dan tidak KB, juga terdapat pada akseptor KB AKDR dan hormonal yaitu masing-masing 28,6%. Gonorrhoe ditemukan pada akseptor KB steril yaitu 100% dart vaginosis tertinggi pada akseptor KB AKDR yaitu 50% (tabel 1).

Da 109 kasus fluor albus yang mengeluh bau, sebagian besar adalah penderita candidiasis (52,3%) dan vaginosis (36,7%). Da 56 kasus fluor albus yang disertai dengan gatal, sebagian besar adalah penderita vaginosis (44,6%) dan candidiasis (39,3%). Da 9 kasus yang mengeluh dengan disuria, sebagian besar adalah penderita candidiasis (55,7%) dan vaginosis (33,2%). Demikian pula dari 29 kasus dispareunia, sebagian besar adalah penderita candidiasis dan vaginosis yaitu 55,2% dan 27,6% (tabel 2).

Da 6 penderita trichomoniasis, 83,3% mengeluh ban dan 50% mengeluh gatal dan dispareunia. Dari 86 penderita candi-diasis, 66,3% mengeluh bau, 25,6% gatal, 5,8% disuria dan 18,6% dispareunia. Dari 7 penderita infeksi campuran trichomoniasis dan candidiasis, 85,7% mengeluh bau, 57,1% gatal, 14,3% disuria dan 28,7% dispareunia. Dan 2 penderita gonorrhoe, 50% mengeluh bau dan 100% mengeluh gatal. Dari 62 penderita vaginosis, 64,5% mengeluh bau, 40,3% gatal, 4,8% disuria dan 12,9% dispareunia (tabel 2).

Hanya 3 dari 6 kasus trichomoniasis yang kembali kontrol setelah 7 hari pengobatan dengan metronidazol, dan semuanya sembuh (100%). Dari 86 kasus candidiasis yang diobati dengan nistatin, hanya 35 yang kembali kontrol setelah 7 han peng-obatan, dan 28 dinyatakan sembuh (80%). Dari 7 kasus infeksi campuran trichomoniasis dan candidiasis, hanya 4 yang kembali kontrol setelah 7 hari pengobatan dengan metronidazol dan nistatin, angka kesembuhan adalah 25% dan kegagalan semua-nya karena masih adanya infeksi candidiasis. Dari 2 kasus gonorrhoe yang diobati dengan amoksisilin dosis tunggal dan

kembali kontrol pada hari Ice 7, mempunyai angka kesembuhan 100% (tabel 3).

PEMBAHASAN

Infeksi trichomoniasis (3,7%), candidiasis (52,8%), cam-puran trichomoniasis dan candidiasis (4,3%), gonorrhoe (1,2%), dan vaginosis (38,0%) dari penderita fluor albus pada penelitian ini, berbeda dengan yang didapatkan oleh Biran (1988) yaitu trichomoniasis 25,6%, candidiasis 39,4%, campuran trichomoniasis dan candidiasis 1,3%, dan vaginosis 33,7%(8).

Trichomoniasis yang ditemukan di sini adalah rendah (3,7%) dan hanya ditemukan pada penderita tidak hamil, sedangkan Budihardjo dick (1976) mendapatkan infeksi trichomoniasis 8,9% dan didapatkan tidak hanya pada penderita tidak hamil (9,7%) tetapi juga yang hamil (7,1%)(9).

Da penderita trichomoniasis ini, 50% tidak ber KB, 33,3% sebagai akseptor AKDR dan 16,7% akseptor hormonal. Soe-prihatin dkk (1976) juga mendapatkan kasus trichomoniasis tinggi pada penderita tidak hamil dan bukan akseptor KB yaitu 63,8%@). Lubis dkk (1988) mendapatkan kasus t ichomoniasis pada akseptor lebih rendah yaitu 23,5% dengan AKDR dan 5,3% dengan hormonal(10); sedangkan Lestadi dkk (1988) men-dapatkan trichomoniasis pada akseptor AKDR 16,6%(11).

Penderita trichomoniasis umumnya disertai sekret berbau, gatal, disuria, dan dispareunia(2,12). Dalam penelitian ini ditemu-kan keluhan penderita trichomoniasis berupa bau (83,3%), gatal (50%) dan dispareunia (50%); sedangkan peneliti lain menemukan keluhan gatal hanya 14,3%(9).

Dengan hanya jumlah penderita yang kembali kontrol 50%, pengobatan trichomoniasis dengan metronidazol menunjukkan hasil yang baik (100%). Biran (1988) mendapatkan angka ke- sembuhan 91,7% dengan menggunakan derivat metronidazol(8).

Candidiasis yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 52,8%, sedangkan peneliti-peneliti lain mendapatkan lebih

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 24

Page 26: Cdk 076 Kulit (II)

Tabel 3. Angka kesembuhan penderita fluor albus setelah pengobatan 1 minggu, di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta, tahun 1988/1989

Angka kesembuhan Obat

%

Metronidazol Nistatin Metronidazol dan nistatin Amoksilin

3/ 3 28135 1/ 4 2/ 2

100 80 25

100

Keterangan : Angka kesembuhan = persen dari kasus yang sembuh dengan obat tersebut setelah 7 hari pengobatan (pada waktu kontrol). rendah yaitu 39,3(2), 39,4%(s), dan 40,8%0

Dari penderita candidiasis ini, 72% terdapat pada penderita ber KB yaitu 48,8% dengan AKDR, 18,6% dengan hormonal, dan 4,6% dengan steril. Peneliti-peneliti lain mendapatkan kasus candidiasis lebih rendah yaitu 28,0% pada akseptor KB(4), 40% pada akseptor AKDR dan 3,5% pada akseptor hormonal(8).

Candidiasis umumnya disertai dengan keluhan gatal, dan pada infeksi lanjut dapat disertai disuria, dispareunia, dan sekretnya berbau(212). Penderita candidiasis pada penelitian ini, 66,3% disertai dengan keluhan bau, 25,6% gatal, 5,8% disuria, dan 18,6% dispareunia.

Pengobatan candidiasis dengan nistatin supositoria, mem-berikan angka kesembuhan yang masih cukup baik yaitu 80%, sedangkan Biran (1988) dengan menggunakan ketokonasol oral memberikan angka kesembuhan 90%(8).

Infeksi campuran trichomoniasis dan candidiasis yang ditemukan pada penelitian ini juga lebih banyak yaitu 4,3% dibandingkan peneliti-peneliti lain yaitu 1,3%(8), dan 0,9%(4).

Dari penderita infeksi campuran ini, 85,8% ditemukan pada penderita tidak hamil yaitu pada non akseptor KB (28,6%), akseptor AKDR (28,6%) dan akseptor hormonal (28,6%). Soeprihatin dkk (1976) mendapatkan 90% pada penderita tidak hamil yaitu pada akseptor KB (70%), akseptor AKDR (5%) dan hormonal (15%)(4).

Keluhan yang terdapat pada infeksi campuran ini merupa-kan gabungan keluhan infeksi trichomoniasis dan candidiasis; dan yang paling menonjol adalah sekret berbau (85,7%), kemu-dian gatal (57,1%), dispareunia (28,7%) dan disuria (14,3%).

Dengan hanya 57,1% penderita yang kembali kontrol, pengobatan gabungan dengan metronidazol dan nistatin mem-berikan angka kesembuhan yang kurang baik yaitu 25%. Jadi dalam infeksi campuran perlu dipikirkan penggunaan obat altematif lain.

Pada penelitian ini ditemukan 2 kasus gonorrhoe yang semuanya pada penderita akseptor KB steril (1,2%). Menurut Benson (1988) dan Soeprihatin (1981), gonorrhoe dapat disertai dengan keluhan sekret berbau, disuria, gatal dan dispareunia. Kedua penderita tersebut hanya mengeluh gatal (100%) dan sekret berbau (50%). Pada pengobatan dengan amoksisilin, didapat angka kesembuhan 100%.

Vaginosis atau vaginitis non spesifik pada penelitian ini ditemukan 38,0%. Peneliti-peneliti lain menemukan 33,7%(8),

88,3%(11), dan 55,9(10). Kasus vaginosis ini ditemukan pada ibu hamil dan tidal;

hamil terutama pada akseptor KB AKDR (50%) dan hormonal (17,7%), sedangkan peneliti lain mendapatkan 28,2% pada akseptor KB AKDR dan 5,7% pada hormonal(10).

Keluhan yang mungkin timbul pada penderita vaginosis tergantung penyebabnya, antara lain sekret berbau, disuria, gatal dan dispareunia(12). Keluhan penderita vaginosis yang ditemukan pada penelitian ini adalah sekret berbau (64,5%), gatal (40,3%), dispareunia (12,9%) dan disuria (4,8%).

KESIMPULAN

Candidiasis merupakan penyebab utama fluor albus kecuali pada akseptor KB kondom dan steril. Penderita fluor albus datang berobat terutama karena adanya keluhan bau dan gatal, dan keluhan terbanyak ditemukan pada penderita candidiasis. Obat-obat anti fluor albus yang tersedia di Puskesmas masih cukup efektif kecuali pada pengobatan infeksi campuran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada : 1. Bapak Ka Kanwil/Ka Dinkes Depkes DKI, Ka Sudinkes Jakpus, Ka Pus-

kesmas Cempaka Putih Barat I dan staf, yang memungkinkan penelitian ini dapat terlaksana.

2. Bapak Ka Puslit Penyakit Menular, Badan Litbangkes, Depkes RI, Jakarta, yang mengijinkan makalah ini dapat diterbitkan.

3. Semua teman-teman yang telah membantu penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

1. Syarifuddin P, Soeprihatin SD. Infeksi Trichomonas vaginalis dan Can-dida, serta cara penanggulangannya. Kumpulan Naskah KPPIK X FKUI, Jakarta, 1979; 95-100.

2. Suprihatin SD. Tinjauan etiologi keputihan dan pengobatannya. Saninar pengobatan rasional keputihan, Jakarta 1981.

3. Samil RS. Vaginitis : Diagnosis dan terapi. Simposium Vaginitis KOGI VI, Ujung Pandang, 1985.

4. Soeprihatin SD, Syarifuddin PK, Lubis M. Berbagai hat dihubungkan dengan fluor albus. Maj Kedokt Indon 1976; 26: 997-1004.

5. Turatmo W. Pengalaman klinik pengobatan fluor albus di Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita. Pekan Pertemuan Bmiah V. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta 13 Desember 1986.

6. Mc Carthy T, Ratnam S. Bacterial vaginosis. Paediatr. Obstetr. Gynaecol 1987; 13: 13-20.

7. Suhartono DS. Vaginosis. Simposium Vaginitis Up-date. Kongres Obstetri Ginekotogi Indonesia VI, Ujung Pandang, 1985.

8. S. Biran HD. Pengalaman klinik pengobatan keputihan. Diskusi berkala Kelompok Studi Dokter Keluarga dalam pelaksanaan keputihan dalam praktek doktet keluarga. Jakarta, 30 Januari, 1988.

9. Budihardjo,MusfirohS,BaedhowiCA,YudomustopoB.InsidensiTricho-monas vaginalis di Poliklinik Rumah Sakit Mangkuyudan, Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran 1976; VIII (2): 55-7.

10. Lubis M, Soepardiman HM; Siantuti MHR. Keputihan pada akseptor keluarga berencana. Diskusi berkala Kelompok Studi Dokter Keluarga I, Jakarta, 30 Januari 1988.

11. Lestadi J. Soemedhi, Lestari SB. Pengobatan keputihan pada akseptor KB pil, akseptor KB spiral dan kelompok non KB dengan AlbothyL Medika 1988; 5: 401-5.

12. Benson RC. Current Obstetric & Gynaecology Diagnosis & Treatment, 3rd ed. Singapore: Lange Medical Publ Maruzan Asia, 1980: 155-64.

13. McLennan MT dkk. Diagnosis of vaginal mycosis and trichomoniasis. Obstetr Gynaecol 1972; 40: 231.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 25

Page 27: Cdk 076 Kulit (II)

Dermatitis Herpetiformis

Evita HF Effendi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RS Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit multisistim dengan manifestasi primer pada kulit(1). Pada tahun 1884 Louis Duhring pertama kali menerangkan gambaran klinis DH. Dalam tahun 1888 Broq melaporkan penderita dengan kelainan yang sangat mirip dan menamakannya Dermatite polymorphe prurigineuse. Pada tahun 1940 Costello memperlihatkan kegunaan ulfapiridin untuk pengobatan DH. Pierard dan Whimster serta Mac Vicar dkk pada awal tahun 1960 menemukan bahwalesi dini DH ditandai dengan adanya mikroabses netrofil pada papila dermis. Tahun 1967 Cormane menemukan bahwakulitpenderita DH mengandung timbunan IgA granuler pada ujung papila dermis.

Hubungan antara DH dan kelainan usus halus mula-mula diselidiki oleh Marks pada tahun 1966. Kemudian Fry dick dan Shuster dkk menamakan kelainan usus halus tersebut sebagai Gluten - sensitive - enteropathy(2).

Penyakit ini merupakan penyakit kronis dengan keluhan subyektif sangat gatal dan menimbulkan lesi papulovesikuler berkelompok(2,3,4). Hubungan yang erat antara lesi pada kulit dan GSE menyokong pendapat bahwa DH adalah penyakit sistemik(5). Perjalanan penyakit ditandai dengan remisi dan eksaserbasi(4). Biasanya menetap secara tidak terbatas walaupun dengan derajat penyakit yang berbeda(2). Awitan dapat terjadi pada setiap usia tetapi yang paling sering adalah dekade ke 2, ke 3 atau ke 4(2,4).

Insidensi dan prevalensi DH tidak diketahui dan ber-gantung dari ras dan etnik. Di Swedia dan Finlandia insidensi yang dilaporkan berkisar antara 0,86 sampai 1,45 per 100.000 populasi pertahun dengan prevalensi 10 sampai 39 per 100.000. Di Jepang kasus ini sangat jarang. Perbedaan ini terjadi karena kemungkinan perbedaan haplotype(1). Di Unit Kulit dan Kelamin

RSCM pada tahun 1985 tercatat 5 kasus baru dan pada tahun 1986 ditemukan 7 kasus baru(5). Insidensi laki-laki : perempuan adalah 3 : 2(6).

Dalam 2 dekade terakhir ini telah terjadi perkembangan pesat dalam pengetahuan tentang DH termasuk penemuan imunoreaktan pada kulit, penemuan tentang hubungan antara DH dan GSE dan penemuan tentang hubungan yang erat dengan histokompatibilitas antigen tertentu(1).

Pada pembicaraan selanjutnya akan diuraikan mengenai etiologi dan patogenesis, gejala klinis, histopatologi, imunologi, hubungannya dengan penyakit lain, diagnosis banding, pengobatan dan prognosis penyakit ini.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Di antara penderita DH, 77% – 87% memiliki antigen HLA B8 dan hampir 90% memiliki antigen HLA DW37>. Antigen permukaan ini ditandai oleh gen yang terikat dekat gen respon imun sehingga terdapat peningkatan respon imun terhadap berbagai antigen termasuk self. Jadi DH merupakan akibat dari respon imun yang terlalu aktif terhadap antigen yang ada secara alamiah(2).

Gluten ialah protein yang terdapat pada gandum dan jawawut serta serta berperan pada patogenesis DH(2). Pemberian gluten, akan menyebabkan peradangan mukosa usus halus se-hingga menimbulkan destruksi vili dan terjadi atrofi mukosa. Sel plasma pada mukosa membentuk IgA yang khas(8). Belum diketahui apakah IgA terikat pada antigen yang ditemukan pada usus halus, kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau apakah IgA yang terbentuk khas untuk protein kulit. Ditemukan-nya IgA dan komplemen di seluruh kulit, menimbulkan perkira-an bahwa diperlukan faktor tambahan untuk menerangkan per-mulaan lesi. Dengan faktor tambahan ini, IgA mengaktifkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 26

Page 28: Cdk 076 Kulit (II)

komplemen (mungkin melalui alternative - pathway), sehingga terjadi kemotaksis netrofil yang melepaskan enzimnya yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan(2). Terikatnya IgA pada struktur kulit menyebabkan dilepaskannya substansi inflamasi sehingga timbul pruritus dan lesi papulovesikuler. Setelah diet bebas gluten, mukosa usus normal kembali dan diikuti dengan hilangnya lesi kulit(2).

Hipotesis lain menyatakan bahwa antigen dan struktur kulit normal (yang mungkin serabut retikulin) mempunyai persama-an antigenik sehingga IgA yang dimaksudkan untuk melawan antigen dapat bereaksi silang dengan struktur kulit (retikulin)(9).

GEJALA KLINIS

Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang eksplosif dalam beberapa jam atau hari. Faktor pencetusnya yaitu penyakit virus, ingesti gluten atau yodium dalam jumlah besar dan disfungsi tiroid(10). Predileksi lesi ialah di daerah ekstensor ekstremitas, bokong, skalp, sakrum, bahu, lipat ketiak bagian posterior, punggung bagian atas, muka dan batas rambut(1,2,4,6,7).

Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat menjadi vesikel dengan ukuran 1 – 10 mm. Jarang terdapat bula yang besar(4). Vesikel atau bula bila tidak pecah menjadi purulen(7). Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan simetris tetapi dapat juga tersebar(4). Pada telapak tangan dan kaki dapat timbul bula coklat (hemoragis) terutama pada daerah yang mendapat tekanan lebih besar(4,11). Lesi pada mukosa jarang terdapat tetapi mungkin timbul terutama bila ditemukan banyak bula. Pada stadium Ian jut, mungkin hanya ditemukan krusta, pigmentasi dan skar berkelompok pada tempat predileksi(4,7).

Gejala yang paling menonjol adalah rasa gatal yang hebat. Penderita dapat memperkirakan tempat lesi baru akan timbul 8 – 12 jam sebelumnya karena terdapat rasa terbakar dan ter-sengat. Gejala akan berkurang bila vesikel telah pecah(4).

Perjalanan penyakit ini panjang, dapat lebih dari 10 tahun. Yang khas ialah terjadinya remisi spontan selama kira-kira 1 minggu dan kemudian tiba-tiba muncul lagi sekelompok lesi. Keadaan umum penderita tidak terpengaruh(7).

Campbell melaporkan bahwa lesi DH akan timbul pada daerah dengan trauma bila terapi dapson dihentikan. Ini sesuai dengan fenomena Koebner. KJ per-os, tetrahidrofurfuril ester dari asam nikotinat, jodida dan ion chaotropic bila diaplikasi-kan pada kulit normal penderita akān menimbulkan lesi yang mirip DH(12).

HISTOPATOLOGI

Gambaran histologis DH yang paling baik terlihat pada daerah eritem sebelum menjadi vesikel dan pada daerah peri-vesikuler. Pada ujung papila dermis terdapat akumulasi netrofil dan sedikit eosinofil yang makin lama makin besar dan mem-bentuk mikroabses. Setelah timbul mikroabses terjadi pemi-sahan antara ujung papila dermis dan epidermis sehingga terben-tuk vesikel dini yang multilokuler karena interpapillary ridge epidermis tetap melekat pada dermis.Dalam 1– 2 hari rete ridges

ini terlepas sehingga terjadi vesikel unilokuler dan baru tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin masih terlihat mikroabses pada bagian tepi vesikel. Dennis subpapila menunjukkan infil-trasi netrofil yang hebat dan sedikit eosinofil(3). Eosinofil juga terlihat dalam cairan vesikel(6). Kebanyakan netrofil menunjuk-kan disintegrasi inti menjadi debu inti. Pada pembuluh darah subpapila terdapat infiltrat perivaskuler yang terdiri atas sel-sel mononuklear, netrofil dan eosinofil(3).

Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan vakuola subepidermal pada papila dermis yang normal yang berdekatan dengan lesi(6,7). Lesi yang sudah tua menunjukkan vesikel subepidermal yang sulit dibedakan dengan penyakit dengan erupsi bula subepidermal lain seperti pemfigoid bulosa, eritema multiforme, erupsi obat berbentuk bula dan herpes gestasionis(2). Lesi pada telapak tangan menunjukkan banyak ekstravasasi sel darah merah pada papila dermis(10). IMUNOLOGI

85% – 90% pasien DH mempunyai IgA granuler pada dermo-epidermal junction dan 10% – 15% sisanya mempunyai timbunan IgA linier(6,12). Jadi dilihat dari segi imunologis, DH ada 3 macam yaitu(6) : 1. DH like dengan IgA linier pada lamina lusida. 2. DH like dengan IgA linier di bawah BMZ. 3. True DH dengan IgA granuler.

Penderita dengan IgA linier mempunyai patofisiologi yang berbeda dengan DH dan termasuk kelompok penyakit LinearlgA Dermatosis(1).

Pada penderita DH, IgA ditemukan pada seluruh kulit dan juga pada mukosa mulut(1). Dengan perkembangan antibodi monoklonal dapat ditentukan komposisi subklas IgA yaitu IgA1(1). Pada penderita DH juga ditemukan rantai J yaitu rantai penggabung IgA polimerik. IgA polimerik lebih sering dihasil-kan oleh mukosa. Jadi mungkin dapat disimpulkan bahwa IgA pada DH berasal dari mukosa. Hal ini tidak ditemukan pada penderita Linear IgA Dermatosis, sehingga lebih menyokong pendapat bahwa kedua penyakit ini mempunyai patofisiologi yang berbeda(1).

Dengan mikroskop imunoelektron terlihat bahwa IgA di-timbun pada papila dermis dekat berkas mikrofibriler. Yaoita menyebutkan struktur ini sebagai kompleks komponen fibriler yang diselubungi dengan substansia amorf sehingga merupakan sistim serabut mikrofibriler elastin yang abnormal(1).

Pada kulit normal dan perilesi juga ditemukan C3, C5, properdin dan properdin faktor Bu.6>. Kadang-kadang terlihat juga Clq dan C4(9).

Hanya 25 – 30% penderita DH yang mempunyai IgA containing circulating immune complex dalam serumnya dengan kadar 0,331 ug/ml – 26 ug/ml (n < 0,2 ug/ml) dan kadarnya tidak berhubungan dengan beratnya penyakit(1,4,6). Pembentukan kompleks imun ini dapat dirangsang dengan makanan gan-dum(1,4,14). Kadarnya meningkat dalam 90 – 150 menit setelah ingesti gandum(14). 15 – 35% penderita DH memiliki antibodi antiretikulin dan antibodi ini hilang setelah diet bebas gluten(1,2,4,6,15). In vitro, gliadin gandum terikat pada serabut

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 27

Page 29: Cdk 076 Kulit (II)

seperti retikulin pada kulit manusia normal dan penderita DH yaitu pada papila dermis(15).

Antibodi antiendomisium terdapatpada 60– 70% penderita DH dan ini bersifat sangat spesifik sehingga menentukan diagno-sis walaupun imunofluoresensi langsung dan histopatologis meragukan(16,17).

Juga terdapat peningkatan insidensi antibodi antigluten, ANA, antibodi antitiroid dan antibodi anti sel parietal gaster. Hal ini menggambarkan banyak reaksi autoimun pada individu dengan haplotipe HLA B8/DW3(2,6,18).

HUBUNGAN DENGAN PENYAKIT LAIN

1) Gluten - Sensitive - Enteropathy 70 – 90% penderita DH mempunyai kelainan pada mukosa

jejunum(6,7). Enteropati juga dapat meliputi gastritis atrofikans pada korpus ventrikuli dan aklorhidria(19). Enteropati ini jarang mencapai horison klinis(7). Bila mencapai horison klinis dapat timbul gejala steatorrhoe, absorbsi D xylose yang abnormal, anemia defisiensi Fe, B 12 dan asam folae(2,8). Patologi GSE yang berhubungan dengan DH dan patologi celiac disease kurang lebih sama walaupun lesi pada celiac disease biasanya lebih berat(2,7). Secara histologis ditemukan blunting villi usus halus dan infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel plasma pada lamina propria. Sel epitel mukosa memendek dan intinya rusak. Brush border memendek(4). Lesi pada usus halus ini cepat membaik dengan diet bebas gluten(4).

2) Penyakit tiroid Kelainan timid dilaporkan berhubungan dengan DH.

Patogenesisnya sampai saat ini belum diketahui secara pasti, mungkin berhubungan dengan metabolisme yodium yang abnormal(20). Penyakit-penyakit tiroid yang sering ditemukan adalah hipotiroidi idiopatik, penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto. Juga sering didapat anti-tiroglobulin atau antibodi antimikrosom tiroie(6,20).

3) Kelainan ginjal Reunala melaporkan bahwa ia menemukan adanya penim-

bunan IgA dan komplemen pada glomerulus. Pada penderita-penderita ini tidak ditemukan gejala klinis penyakit ginjal. Ke-terlibatan ginjal tidak berhubungan dengan derajat atrofi vili jejunum maupun penimbunan IgA dan komplemen pada kulit(1).

4) Keganasan Pada DH terdapat peningkatan risiko timbulnya keganasan

terutama limfoma saluran pencemaan. Sampai saat ini peranan diet bebas gluten dalam menurunkan risiko ini belum diketahui(1).

5) Penyakit autoimun DH kadang-kadang berhubungan dengan gangguan auto-

imun lain seperti : lupus eritematosus, artritis rematoid, kolitis ulserativa, fenomena Raynaud dan sindrom Sjögren(6).

DIAGNOSIS BANDING

Linear IgA dermatosis secara klinis tidak dapat dibedakan dengan DIP). Pada linear IgA dermatosis tidak ada predisposisi genetik dan tidak ada GSE schingga diet bebas gluten tidak akan

memperbaiki lesi kulit(22). Pemfigus vulgaris pada stadium ner-mulaan dapat mempunyai gejala klinis yang mirip DH(23). Pemfigoid bulosa dibedakan dari DH secara histologis dan imunologis(3). Lesi DH sangat gatal, oleh karena itu harus di-bedakan dengan skabies, pedikulosis dan neurodermatitis(9).

PENGOBATAN

1. Medikamentosa a) Dapson

Dengan dosis permulaan 100 – 150 mg/hari umumnya secara dramatis menghilangkan pruritus dan mencegah pemben-tukan lesi baru dalam 24 – 48 jam(4,6,9). Biasanya dosis tunggal sudah adekuat(3). Dosis pemeliharaan berkisar antara 25 – 400 mg/hari dan dicari dosis minimal yang dapat menekan gejala. Kadang-kadang masih timbul lesi baru (3–4 lesi perminggu) dan ini bukan merupakan indikasi untuk menaikkan dosis(6). Cara kerja dapson belum jelas. Tampaknya dapson hanya menekan gejala penyakit tanpa mempengaruhi penimbunan IgA dan komplemen pada kulit. Penemuan terakhir menyebutkan bahwa dapson menghambat reaksi yodinasi di dalam netrofil sehingga menghambat penglepasan faktor kemotaktik netrofil(6). Dapson tidak mempengaruhi kelainan intestinal(1,2). Teratogenitas obat ini masih dipertanyakan. Maurus yakin bahwa sulfon aman untuk kehamilan tetapi kebanyakan penulis lebih menyukai menghindari pemakaian dapson selama kehamilan(6). b) Sulfapiridin

Kurang efektif bila dibandingkan dengan dapson(6). Dosis-nya berkisar antara 1 – 3 g/hari. Obat ini juga hanya mem-pengaruhi lesi kulit tanpa mempengaruhi lesi pada saluran pen-cemaan(9,18). Sulfapiridin sukar larut dalam air sehingga sering menimbulkan nefrolitiasis(6). Sulfapiridin terutama dipakai untuk penderita yang intoleran terhadap dapson, orang tua dan penderita gangguan kardiopulmoner(2). 2. Diet bebas gluten

Dengan diet bebas gluten saja, kelainan saluran pencernaan dapat sembuh 100% dan lesi kulit sembuh 82%(12). Biasanya dengan cara ini, usus halus menjadi normal kembali dalam 1– 2 bulan(4). Apabila diet bebas gluten diberikan bersama-sama dengan dapson, dosis dapson dapat dikurangi(6). Kurangnya efek sam-ping dari terapi diet untuk jangka panjang mengakibatkan cara ini merupakan cara pengobatan pilihan untuk penyakit ini(12). Efek pengobatan diet bebas gluten ini membutuhkan waktu yang bervariasi dari seminggu sampai setahun dan bahkan dapat lebih lama lagi untuk mengurangi dosis dapson atau menghentikannya.

Kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam cara pengobatan ini antara lain : sulit untuk mengetahui makanan mengandung gluten mana yang masih dapat ditoleransi dan makanan mana yang mutlak harus dihindari; harus dilaksanakan dengan ketat, dan berlangsung sangat lama bahkan seumur hidup(19). PROGNOSIS

DH mempunyai prognosis baik sekali. Berbeda dengan pemfigoid bulosa dan pemfigus vulgaris, penyakit ini tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 28

Page 30: Cdk 076 Kulit (II)

pernah fatal. Kalau tidak diobati, penyakit ini menetap selama bertahun-tahun dengan aktivitas rendah disertai eksaserbasi-eksaserbasi akut(9). Pada 10 – 15% penderita .dapat timbul remisi spontan(23). Penderita yang diobati dengan dapson dan sembuh selama bertahun-tahun, bila obat dihentikan akan kam-buh dalam 72 – 96 jam(9).

KEPUSTAKAAN

1. Hall RP. The pathogenesis of dermatitis herpetiformis : recent advances. J. Am. Acad. Dennatol. 1987; 16: 1129 – 44.

2. Katz SI. Dermatitis herpetifonnis. In: Fitzpatrick's Dennatoldgy In General Medicine, 3rd ed. New York: Mc Grew-Hill Book Company, pp. 593–7.

3. Lever WF, Lever GS. Histopathology of the skin; 6th ed. Philadelphia: J.B. Lippincot Co. 1983 pp. 118-21.

4. Lawley TJ, Yankey KB. Dermatitis herpetifonnis. Dennatol. Clinic 1983; 1: 187–94.

5. Register penderita Unit Kulit dan Kelamin RS Cipto Mangunkusumo tahun 1985 – 1986.

6. Zone J7, Provost TT. Bullous disease. In: Moschella Dermatology volume 1; 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1985 pp. 579–586.

7. Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB. Andrew's Diseases of the Skin. Clinical dermatology; 7th ed. Tokyo: Igaku-Shoin/Saundert. 1982 pp. 596-600.

8. Ma4nusson B. Is dermatitis herpetifonnis a nutritional disease with hematologic consequences? Int. J. Dermatol. 1984; 23: 316-7.

9. Provost TT. Dermatitis herpetiformis. In: Fudenberg Basic and Clinical Immunology; Lange, 4976 p. 506.

10. Pierce DK, Parcell SM, Spielvogel RL. Purpuric papules and vesicles of the palms in dermatitis herpetiformis. J. Am. Acad. Dermatol. 1987; 16: 1274-6.

11. Karpati S, Torok E, Kosnai L Diserete palmar and plantar symptoms in

children with dermatitis herpetifonnis Duhring. Cubs 1986; 37: 184-7. 12. Ermacora E et al. Longterm follow up of dermatitis herpetiformis in

children. J. Am. Acad. Dermatol 1986; 15: 24-30. 13. Hall RP, Lawley TJ. Characterization of circulating and cutaneus IgA

immune complexes in patients with dermatitis hetpetiformis. J. Immunol 1985; 135: 1760-5.

14. Zone JJ, La Salle BA, Provost Tr. Induction of IgA circulating immune complexes after wheat feeding in dermatitis herpetiformis patients. J. Invest. Derm 1982;.78: 375–80.

15. Unsworth DJ, Johnson GD, Haffenden G, Fry L, Holborow El. Binding of wheat gliadin invitro to reticulin in normal and dermatitis herpetifonnis skin. J. Invest. Dermatol 1981; 76: 88–93.

16. Accetta P, Kumar V, Beutner EH, Chorzelski TP, Helm F. Antiendonysial antibodies – a serologic marker of dermatitis herpetiformis. Arch Dermatol 1986; 122: 459-62.

17. Beutner EH, Chorzelski TP, Kumar V, Leonard J, Krasny S. Sensitivity and specificity of IgA-class antiendomysial antibodies for dermatitis herpetifonnis and findings relevant to their pathogenic significance. J. Am. Acad. Dermatol. 1986; 15: 464–73.

18. Lane AT, Huff C, Zone JJ, Weston WL. Class-spesific antibodies to gluten in dermatitis herpetiformis. J. Invest. Dennatol. 1983; 80: 402–5.

19. Moesa A, Djuanda A. Diet bebas gluten pada penderita dermatitis herpeti-formis. MDVI 1983; 26: 6-10.

20. Callen JP, Weston WF, Chanda J. Dermatitis herpetiformis and thyratoxi-cosis. Int. J. Dennatol. 1979; 18: 219–21.

21. Reunala T, Helm H, Pastemack A, Linder E, Kalimo K. Renal involvement and circulating immune complexes in dermatitis herpetiformis. J. Am. Acad. Dermatol 1983; 9: 219-23.

22. Tanita Y, Masu S, Kato T, Tagami H. Linear IgA bullous dermatosis clinically simulating pemphigus vulgaris. Arch. Dermatol 1986; 122: 246-8.

23. Fry L. Dermatitis herpetiformis. In: Maddin Current Dermatologic Therapy. Philadelphia: W.B. Saunders Company 1982 pp. 119–121.

24. Ingber A, Feurman EJ. Pemphigus with characteristics of dermatitis herpetiformis : a long-term follow up of five patients. Int. J. Dermatol 1986; 25: 575–9

Friends are more troublesome than enemies

Page 31: Cdk 076 Kulit (II)

Displasia Ektodermal

S Fasihah R, Titi Lestari S, Mochtar Hamzah Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RS Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN

Displasia ektodermal (DE) merupakan kelainan herediter karakteristik, yaitu kelainan epidermis yang umumnya tidak progresif, disertai paling sedikit salah satu perubahan apendiks-nya(1,2). Kelainan ini disebabkan oleh kegagalan evolusi lapisan epiblastik pada blastoderm(3). Istilah DE dipakai untuk sekelom-pok kelainan yang secara anatomis maupun fisiologis mengalami kerusakan berbagai struktur, yaitu gigi, kulit beserta apendiks-nya, termasuk rambut, kuku, kelenjar ekrin dan kelenjar se-basea(1,2,4). Kelainan ini sering disertai malformasi organ-organ lainnya sebagai akibat langsung, atau timbul bersamaan dengan DE selama perkembangan embriologis(1).

Danz pada tahun 1792 menemukan kelainan pada rambut dan gigi. Kemudian pada tahun 1848, Thurman menemukan kelainan pada rambut, gigi, kuku dan kelenjar keringat. Weech pada tabula 1929 menyebutkan istilah DE dan pertama kali menetapkan secara klinis dan genetis perbedaan antara bentuk anhidrotik dengan bentuk anomali lainnya. Sejak itu banyak dilaporkan variasi baru DE dalam kepustakaan(1).

Solomon dan Keuer menganjurkan agar istilah DE dibatasi pada kelainan kongenital, lesi difus, tidak progresif, serta meli-batkan epidermis dan sekurangnya satu apendiks kulit(1). Freire-Maia membuat sistem klasifikasi melibatkan berbagai struktur yang berasal dari lapisan ektoderm menjadi beberapa sub-grup, yaitu(1) : – Sub-grup 1 : rambut (trikodisplasia) – Sub-grup 2 : gigi (odontodisplasia) – Sub-grup 3 : kuku (onikodisplasia) – Sub-grup 4 : kelenjar keringat (dishidrosis) – Sub-grup 5 : malfonnasi organ atau jaringan lain yang ber-

asal dari lapisan ektoderm. Pembagian di atas dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu : – tipe A : kelainan sekurangnya dua sub-grup di antara sub-grup 1 sampai 4. – tipe B : kelainan sekurangnya saw sub-grup di antara sub-grup 1 sampai 4, ditambah sub-grup 5.

Ditemukan sekurangnya 117 sindrom yang dapat dimasuk-kan dalam kombinasi sub-grup klasifikasi DE dari Freire-Maia(1).

Pembagian DE adalah(1,5,6,7,8) : 1. Displasia ektodermal anhidrotik (DEA), termasuk kelainan anhidrotik dan hipohidrotik. 2. Displasia ektodermal hidrotik (DEH). Variasi lain, misalnya(19) : 1. DEH Rapp-Hodgkin 2. Sindrom EEC (Ectrodactily-Ectodermal Dysplasia-CleftLip/ Palate) 3. Sindrom TRF (trikorinofalangeal) 4. Sindrom OFD (orofasiodigital) 5. Sindrom Nail Dystrophy-Deafness 6. Sindrom Trichodento-osseous 7. Sindrom Johanson-Blizzard.

EMBRIOLOGI

Kulit dan apendiksnya berasal dari lapisan ektoderm dan mesoderm. Epidermis dan derivatnya yaiw rambut, kuku dan kelenjar kulit berasal dari lapisan ektoderm superfisialis. Pada embrio 17 minggu, sel stratum germinativum berproliferasi membentuk epidermal ridges, yang tampak sebagai ridges dan grooves pada telapak serta jari tangan dan kaki. Penelitian

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 30

Page 32: Cdk 076 Kulit (II)

terhadap garis kulit ini disebut dermatoglyphics. Semua lapisan epidermis pada kulit orang dewasa sudah ada sejak lahir(9).

Rambut berasal dari epidermis yang tumbuh ke arah dennis. Pada embrio 20 minggu, kulit seluruh tubuh ditumbuhi rambut halus, disebut lanugo, yang setelah lahir menetap sebagai rambut velus. Rambut terdāpat pada hampir seluruh tubuh, kecuali daerah aksila dan pubis, yang akan tumbuh pada masa pubertas sebagai rambut terminal. Pada pria rambut terminal tumbuh juga di wajah dan dada(1,9).

Kelenjar sebasea tumbuh ke atas dari tepi folikel rambut. Sel kelenjar menghasilkan sekret seperti minyak yang disebut sebum, dan akan dikeluarkan ke permukaan kulit melalui folikel rambut, kemudian bersama sel periderm akan berdeskuamasi membentuk vernixkaseosa(9). Pada embrio 20–24 minggu, ke-lenjar keringat tumbuh dari epidermis ke dalam dermis, kemu-dian memanjang dan berkelok-kelok(1,9).

Kuku mulai tumbuh di ujung jari pada embrio 10 minggu. Pada mulanya kuku dilapisi epidermis superfisialis, disebut eponikium, yang kemudian berdegenerasi, kecuali pada bagian proksimal kuku yaitu kutikula. Kuku tumbuh sempurna pada embrio 32 minggu di jari tangan, dan 36 minggu di jari kaki(9).

Gigi berasal dari lapisan ektoderm dan mesoderm. Lapisan email berasal dari sel ektoderm, sedangkan bagian gigi lainnya berasal dui mesoderm. Malformasi gigi kongenital adalah ke-rusakan email atau bagian gigi lainnya, kelainan bentuk, serta variasi dalam jumlah dan posisi(9).

DISPLASIA EKTODERMAL ANHIDROTIK Sinonim : Defek ektodermal kongenital Displasia ektodermal hipohidrotik Sindrom Christ-Siemens-Touraine Sindrom Weech(1,5).

Displasiaektodermal anhidrotik (DEA) merupakan sindrom herediter yang karakteristik dengan tidak ada atau sangat se-dikitnya jumlah kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan kelenjar mukosa, disertai hipotrikosis dan anodonsia(5,10).

Secara epidemiologis mempunyai distribusi ras yang luas, yaitu di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Lebih dui 200 kasus dilaporkan melibatkan semua ras dengan perbandingan laki-laki : perempuan 5 : 1(5,10). Charles Darwin pada tahun 1875 melaporkan kelainan pada laki-laki keturunan Hindu.

Penyakit ini diturunkan secara rangkai seksX resesif(1,4,8,11,12). Lebih dari 90% laki-laki memperlihatkan seluruh gejala; se-dangkan perempuan hanya pembawa sifat (carrier) yang mem-punyai gejala ringan(1,6,7,11); pada duapertiga kasus, berupa ram-but badan yang berbercak-bercak, disfungsi kelenjar keringat dengan distribusi segmental, serta gigi yang tumbuh kecil dan berbentuk peg(1,5,6,11). Namun adanya heterogenisasi dalam bebe-rapa keluarga mengakibatkan penyakit ini dapat diturunkan se-cara dominan autosom(1,4,5,13). Jarang yang diturunkan secara resesif autosom, dengan gejala yang sama berat pada kedua jenis kelamin(4,6).

Etiologi DEA belum jelae. Beberapa peneliti menge-mukakan bahwa proses patologis kemungkinan suatu aplasi, bukan atrofi, karena struktur degeneratif jarang terlihat pada

pemeriksaan histopatologik. Perubahan ini dapat terjadi pada embrio 3 bulan(5,10).

Gejala klinis yang panting merupakan trias, yaitu hipo-trikosis, hipohidrosis atau anhidrosis, dan hipodonsia atau anodonsia(1,3,5). Penderita lahir tanpa kelainan yang mencolok(5,8).

Pada tahun pertama kehidupan, penderita sering mengalami demam sekunder yang sangat dipengaruhi lingkungan akibat kurangnya fungsi kelenjar keringat(1,5,8).Apabila banyak bergerak dapat timbul demam dan intoleransi terhadap panas(1,2); demikian juga bila musim panas dan sesudah makan makanan panas(1,2). Pada lingkungan panas, suhu tubuh penderita dapat meningkat sampai 102°–104°F (39°C), sehingga frekuensi nadi dan per-napasan meningkat(5); persentase panas yang hilang pada ling-kungan panas, 35–45% melalui radiasi, 44–52% melalui kon-duksi dan konveksi, dan hanya 4–6% melalui evaporasi(14). Ke-mungkinan besar penderita meninggal pada masa bayi karena hipertermia atau akibat konvulsi(5).

Kelainan kelenjar dapat berupa aplasi atau hipoplasi be-berapa bagian kelenjar atau duktus kelenjar ekrin. Pada beberapa kasus malformasi kelenjar, jumlah absolut kelenjar pada beberapa tempat berkurang, sementara pada bagian kulit lainnya norma(1).

Pada masa kanak-kanak tampak rambut daerah kepala, alis mata dan built mata tipis, kering, jarang dan hipokrom, atau tidak ada sama sekali(1,4,5,8). Pada masa pubertas rambut daerah aksila dan pubis tidak tumbuh(5,7) atau sangat tipis dan jarang(5). Rambut kumis dan jenggot biasanya normal(5).

Gigi mengalami kelainan hipodonsia atau anodonsia(1,3,6,7,8) yang ditandai oleh mahkota gigi berbentuk kerucut, karies dan maloklusi gigi(1,45,8). Gigi seri dan taring berbentuk peg(1.6.8). Penulis lain melaporkan pertumbuhan gigi yang lambat(5,6), gigi susu dan gigi tetap hanya tumbuh beberapa buah (3–10 gigi), dan menempati rahang yang lebar(2,4,5).

Wajah yang karakteristik dapat tampak pada usia 1 tahun ditandai dengan frontal bossing, tulang maksila mendatar dan saddle nose, sehingga menyerupai gejala penyakit sifilis kongenital(1,4,5,7,8). Tanda lain adalah bentuk telinga yang men-colok, dagu menyempit dan kulit supraorbital berkerut(1,3,5,6). Tulang pipi tampak tinggi dan melebar, mata seperti penderita Mongolism, puncak hidung kecil dan membelok ke atas, se-dangkan lubang hidung besar dan mencolok, bibir tebal dengan bagian atas tampak menonjol, serta pada sudut mulut terdapat pseudorhagades(3,4,5).

Pala 50% penderita tampak kuku menipis, rapuh, berkerut dan mikronikia(1,8). Gejala ini tidak terlalu mencolok dibanding-kan kelainan kuku pada DEW). Biasanya kuku tumbuh nor-mal(5,6), tetapi dapat juga distrofi ringan, aplasi maupun malfor-masi(2), yang biasanya tidak mengenai seluruh kuku(8).

Kulit yang kering, halus, tipis dan berkilap merupakan gejala klinis akibat aplasi kelenjar sebasea(1,4,6,7) sehingga sering disebut seperti kulit wanita(6,8) atau bayi prematur(4). Erupsi menyerupai dermatitis atopik tampak pada kulit yang terpajan, terutama sekitar mata, berupa kulit yang kusam, kering, hiper-pigmentasi dan berkerut(1,4,6,11). Kelainan tersebut timbul sebagai tanda kurangnya sekresi kelenjar ekrin, kelenjar sebasea, dan se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 31

Page 33: Cdk 076 Kulit (II)

ring kali pembuluh darah mudah terlihat(5,6,7,11). Telapak tangan dan kaki tampak hiperkeratotik(5).

Membran mukosa cenderung memperlihatkan perkem-bangan hipoplastik, yaitu tidak ada atau sedikit lakrimasi(1,2,7). Hal ini ditandai dengan kurangnya rasa mengecap dan mencium, hidung dan mulut terasa kering, rinitis atrofikan, disfagi, si-nusitis, faringitis, laringitis yang diikuti suara serak dan afoni rekuren, bronkhitis serta pnemonia(1,4,5,6). Secara umum penderita mudah terinfeksi bakteri atau virus yang dapat menyebabkan kematian(1,4,5). Hipoplasi kelenjar di daerah kolon ditemukan pada autopsi(5,6,11).

Walaupun jarang, kelainan pada mata dapat berupa distrofi kornea dengan pembentukan pannus sehingga tampak kekeruh-an kornea dan lensa mata, atresia muara saluran lakrimalis, mikroftalmia, fotofobia, katarak, atrofi korioretina dan uvei-tis(1,2,5,6).

Kelainan pada telinga jarang, dapat berupa tuli konduktif(1,2) maupun tuli saraf(5,6).

Pada perkembangan fisik, tinggi badan sering kali kurang dibandingkan dengan orang normal(6), sedangkan perkembang-an mental, kecerdasan umumnya normal, meskipun dilaporkan juga adanya gangguan mental ringan(4,5,6,8).

Anomali lain yang juga dilaporkan adalah perubahan skeletal, celah palatum, sindaktili, polidaktili, penebalan tulang kranium, serta kelainan genital misalnya hipospadi, epispadi dan testis tidak turun(4,5).

Pada pemeriksaan histopatologis tampak lapisan kulit lebih tipis dibandingkan dengan kulit normal, walaupun serat kolagen, elastin dan pembuluh darah normal(5). Kelenjar ekrin tidak ada atau rudimenter. Kelenjar sebasea berkurang, kecuali pada wajah. Kelenjar apokrin dapat normal, hipoplasia atau aplasi(5,6). Pada mukosa hidung dan saluran pemapasan bagian atas lainnya tampak perubahan hipoplastik pada epitel dan kelenjarnya(5).

Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan biopsi kulit yang diambil bersamaan dengan fetoskopi dari fetus laki-laki berusia 20 minggu, akan tampak adanya aplasi unit pilose-basea(1). Biopsi kulit telapak tangan penderita dilakukan untuk mengevaluasi struktur kelenjar, akan tampak aplasi atau hipo-plasi kelenjar keringat(1,2). Pada penderita carrier yang diturun-kan secara rangkai seks X, kelainan ini dapat dibuktikan dengan menghitung jumlah pori-pori kulit menggunakan iodium kanji, biru bromofenol atau oftaldehid(1,2,5). Kulit penderita yang ber-kilap, halus, kering dan tanpa keringat, dapat dibuktikan dengan pemeriksaan iontoforesis pilo;.arpin secara kuantitatif yang menentukan kemampuan berkeringat(1,2).

Penatalaksanaan penyakit ini hanya simtomatik(5), tidak ada terapi spesifik yang dapat diberikan(6). Penderita memerlu-kan perawatan medis selama masa neonatus, yaitu pada saat demam persisten yang penyebabnya tidak diketahui(1). Hindari keadaan yang menginduksi hiperpireksia(1,4,5,8). Dianjurkan pemakaian pendingin ruangan, pakaian tipis, serta pembatasan aktivitas berlebihan, terutama pada musim panas(1,8).

Memperhatikan kebersihan mulut dapat mengurangi karies dan gigi tanggal prematur. Perawatan gigi harus teratur dengan

rekonstruksi bila ada indikasi(1,2,4,8). Tindakan bedah plastik ter-hadap hidung akan memperbaiki wajah penderita dan umumnya bermanfaat secara psikis(5). Tandur kulit harus benar-benar se-lektif(5).

Gangguan lakrimasi dikoreksi dengan pemakaian air mata buatan(1,2). Dapat juga diberikan obat tetes mata untuk mengu-rangi kekeringan(5).

Kulit yang kering memerlukan perawatan dengan memakai pelembab yang cocok dan dapat menimbulkan rasa nyaman bagi penderita(1). Semprotan garam faal pada hidung dan tenggorokan akan menghalangi pembentukan krusta dan iritasi mukosa(1,5), sedangkan semprotan hidung yang mengandung estrogen diberikan pada penderita rinitis kronis(5). Alopesia dapat diatasi dengan pemakaian rambut palsu(2,5).

DISPLASIA EKTODERMAL HIDROTIK

Sinonim : Sindrom Clouston(1,2,5). Displasia ektodermal hidrotik (DEH) merupakan sindrom

herediter yang karakteristik dengan hipotrikosis generalisata, distrofi kuku, hiperkeratosis palmoplantar dan hiperpigmen-tasi(4,5,7,8,15).

Secara epidemiologis DEH pertama kali ditemukan oleh Clouston pada tahun 1920 yaitu pada keturunan Prancis-Kanada(4,5,6,8). Dilaporkan juga penyakit ini pada keluarga Negro Amerika(1,5,16). dan keturunan Cina(1,5,15). Penyakit ini sangat jarang(3).

Penyakit ini diturunkan secara dominan autosom(4,5,6,7).Laki-laki dan perempuan dapat diturunkan dengan perbandingan yang sama(5,8). Fried melaporkan ada yang diturunkan secara rangkai seks X resesif(4,5).

Etiologi DEH belum jelas. Ada teori yang mengatakan ter-jadi peningkatan sejumlah sulfhidril reaktif pada keratin(5) dan terdapat kelainan molekul keratin secara biokimia(5,6,8).

Penderita DEH mempunyai wajah normal(3,8). Rambut tampak jarang, kasar, pendek, kadang-kadang dengan alopesia totalis atau parsialis pada kepala, bulu mata dan alis mata. Telah diketahui bahwa kerusakan susunan lapisan keratin rambut ada hubungannya dengan kuatnya ikatan disulfida(1).

Walaupun merupakan gejala primer, distrofi kuku dapat terjadi dalam berbagai bentuk kelainan kuku, namun tidak ada yang karakteristik(8). Pada akhir masa kanak-kanak, tumbuh kuku yang rapuh, mikronikia dan onychauxis(1). Dalam perkem-bangannya kuku tumbuh lambat, dapat tipis atau tebal, datar, pendek, kasar, terbelah-belah, adanya alur-alur yang memanjang dan warna sedikit berubah(4,5,8). Sering terjadi paronikia disertai kerusakan matriks kuku(8). Pada sekitar 30% penderita, tidak jelas kelainannya kecuali distrofi kuku(8).

Garis-garis telapak tangan dan kaki menghilang disertai hipertrofi(1), dengan pernmkaan yang kasar (hiperkeratosis)(5,6,7,8). Tampak kerutan dan lipatan kulit pada jaringan paronikia. Kulit daerah glabrosa terlihat kering dan halus, bisa disertai akne ringan akibat hipoplasia unit pilosebasea(1).

Selain pada kulit daerah persendian, hiperpigmentasi juga tampak pada buku jari, aksila, areola mama, umbilikus,pubis dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 32

Page 34: Cdk 076 Kulit (II)

tulang pinggul(1,5,7). Fungsi kelenjar keringat dan kelenjar sebasea biasanya

normal, seperti juga kelenjar mukosa(2,4,6,7). Namun Wilkinson melaporkan terdapatnya tumor jinak duktus kelenjar keringat yang difus pada usia tua, yaitu poroma eerin (dikutip dari 1, 5, 6, 18).

Kelainan pada mata jarang. Telah dilaporkan adanya ke- keruhan lentikular pada satu keluarga dan katarak prematur bilateral pada sanak keluarga yang lain(1,7). Gejala lainnya adalah konjungtivitis, pterigium, strabismus dart katarak kongenital(5).

Kelainan pada gigi berupa tumbuhnya gigi yang kecil pada gusi yang relatif lebar, pertumbuhan gigi lambat dan karies gigi(1,2,4,8). Laporan lain menyebutkan tidak terdapat kelainan pada gigi(4,6,7,8).

Tull saraf telah dilaporkan sebagai kasus yang jarang(1,4,6,7). Beberapa penderita mengalami retardasi mental(1,4,6,7) dan epi-lepsi(5). Selain itu dapat ditemukan kelainan skeletal, misalnya polidaktili dan sindaktili(1,5). Terdapat juga penebalan tulang tengkorak dan gejala dwarfism(5).

Pada pemeriksaan histopatologis, biasanya tampak kelenjar apokrin dan ekrin normal, sedangkan kelenjar sebasea dapat normal atau atrofi(5).

Penatalaksanaan penyakit ini hanya simtomatik, tidak ada pengobatan spesifik Katig dapat diberikan(4). Terhadap oniko-mikosis diberikan antimikosis. Pada mata dilapukan lubrikasi okular. Perawatan gigi hanya bersifat profilaksis dan kamuflase kosmetis(1). Pada kulit yang hiperkeratosis dapat diberikan ke-ratolitik(8). KESIMPULAN

DE merupakan kelainan herediter. Gejala klinis dan frekuensi penyakit ini bergantung pada fenotipnya. Misalnya penderita dengan kelainan rambut dan gigi akan lebih sering berobat dibandingkan penderita dengan kelainan kuku dan hipohidrosis(1).

Penyakit DEH secara klinis lebih ringan dibandingkan DEA, walaupun sebenarnya jumlah penderita DEH lebih banyak

daripada DEA, tetapi yang dilaporkan hanya sedikit. Mungkin karena gejalanya kunang mencolok(5).

KEPUSTAKAAN

1. Schachner LA, Hansen RC. Pediatric Dermatology, 1st ed. New York: Churchill Livingstone, 1988. Hal. 328–32, 639–41.

2. Nelson WE. Ectodermal Dysplasias. In: Nelson's Textbook of Pediatrics, 13th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1987. Hal. 1389–90.

3. Domonkos AN et al. Seine Genodennatosis. In: Andrew's Diseases of the Skin, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1982. Hal. 726-8.

4. Kaloustian VM, Kurban AK. Genetic Diseases of the Skin, 1st ed. Berlin 1979. Hal. 109–14.

5. Butterworth T, Ladda RL. Clinical Genodernatology, 1st ed. New York: Praeger Publ 1981. Hal. 208–17.

6. Moschella SL, Hurley HI. Hereditary Cutaneous Disorders. In: Dennato-logy, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. Hal. 1211–3.

7. Fitzpatrick TB et al. Cutaneous manifestation of disease in other organ system. In: Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc Graw-Hill Book Co. 1987. Hal. 2042.

8. Hurwitz S. Congenital Ectodermal Defect. In: Clinical Pediatric Dem a-tology, 1st ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1981. Hal. 137–8.

9. Moore ICI– The Integumentary System. The Developing Human, Clini-cally Oriented Embryology, 1st ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1973. Hal. 352–61.

10. Reddy BSN et al. Anhydrotic ectodermal dysplasia. Intemat J. Dermatol. 1978; 17: 139–41.

11. Reed WB et al. Clinical spectrum of anhydrotic ectodermal dysplasia. Arch. Dermatol. 1970; 102: 134–42.

12. Kitz SI, Penneys NS. Sebaceous gland papules in anhydrotic ectodennal dysplasia. Arch. Dermatol. 1971; 103: 507–9.

13. Witkop Cl et al. Hypoplastic enamel, onycholysis and hypohydrosis inherited as an autosomal dominant trait. Oral Surgery 1975; 39: 71–86.

14. Rietschel RL, Wilmore DW. Heat loss in anhydrotic ectodermal dysplasia. J. Invest. DennatoL 1978; 71: 145–7.

15. Rajagopalan K, Tay CH. Hydrotic ectodennal dysplasia. Arch. DennatoL 1977; :f3: 481–5.

16. Mc Naughton PZ et'al. Hydrotic ectodermal dysplasia in a black mother and daughter. Arch. Dermatol. 1976; 112: 1448–50.

17. Hazen PG et aL Premature cataracts in a family with hydrotic ectodermal dysplasia. Arch. Dermatol. 1980; 116: 1385–7.

18. Wilkinson RD 'et' al. Hydrotic ectodermal dysplasia with diffuse eccrine poromatosis. Arch. Dermatol. 1977; 113: 472–6.

19. Solomon LM, Keuer EL The ectodermal dysplasias. Arch. DennatoL 1980; 116: 1295–9

Fortune does not change men, it only unmasks them.

(Mme Riccoboni)

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 33

Page 35: Cdk 076 Kulit (II)

Terapi Plasmaferesis dalam Dermatologi

Evita H.F. Effendi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar(1).

Plasmaferesis mula-mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun 1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas. Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan standard untuk kelainan tersebut(2).

Namun demikian, hanya sedikit sekali penelitian tentang terapi plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal ini disebabkan karena : a. insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan

plasmaferesis umumnya tidak tinggi. b. kesulitan untuk melaksanakan plasmaferesis palsu pada

kelompok kelolao). Kern ungkinan mekanismekerjaplasmaferesis adalah

menghilangkan autoantibodi, alloantibodi, komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik dalam plasma(2,4). Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma(2).

Dalam kesempatan ini akan dibicarakan secara singkat teknik pelaksanaan plasmaferesis, cairan pengganti yang umum-nya dipakai, penggunaan terapi plasmaferesis dalam dermato-

logi dan efek samping plasmaferesis. TEKNIK PELAKSANAAN

Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cars : 1. Secara manual

Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan komponen lain dikembalikan ke penderita(2,3). 2. Dengan menggunakan cell separator

Prinsip kerja cell separator dapat berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow centrifugation (IFC).

Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma(3).

CAIRAN PENGGANTI

Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata, tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 34

Page 36: Cdk 076 Kulit (II)

pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi(1).

Fresh frozen plasma, albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti, penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura(2).

Pada penyakit-penyakit dengan komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting; misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen(2).

Pada umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan jumlah kecil maupun dengan jumlah besar(1).

Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan pernah ditemukan karena hal ini sangat individual(1). PENGGUNAAN TERAPI PLASMAFERESIS DALAM DERMATOLOGI 1. Pemfigus vulgaris

Plasmaferesis pertama kali dilaporkan berhasil pada pen-derita pemfigus vulgaris pada tahun 1978. Sejak saat itu ter-dapat banyak laporan dan beberapa penelitian tentang kegunaan plasmaferesis pada pemfigus vulgaris(5).

Ruocco click (1978) menemukan bahwa penurunan kadar antibodi interselular pada pemfigus sejajar dengan perbaikan klinis(6). Guillaume dkk (1988) melakukan suatu penyelidikan dengan kelompok kelola; beliau menemukan bahwa plasma-feresis dan pemberian kortikosteroid dosis rendah tidak efektif untuk pengobatan pemfigus vulgaris(7).

Pada binatang percobaan dan manusia telah dibuktikan bahwa setelah plasmaferesis terjadi rebound increase dari anti-bodi. Peningkatan ini berlangsung dalam dua tahap. Yang per-tama timbul 24 – 48 jam setelah plasmaferesis dan merupakan akibat redistribusi dari imunoglobulin ekstravaskular. Hal ini tidak dapat dicegah karena merupakan fenomena fisik dan dapat diatasi dengan plasmaferesis ulangan. Oleh karena itu paling baik untuk memberi jarak-dua hari bagi plasmaferesis berikutnyā supaya dicapai keseimbangan dahulu. Peningkatan antibodi yang kedua terjadi 1 – 2 minggu setelah plasmaferesis dan merupakan akibat pembentukan antibodi baru. Yang kedua ini dapat sedemikian besarnya sehingga melebihi titer sebelum plasmaferesis. Pada binatang percobaan, hal ini dapat dicegah dengan pemberian siklofosfamid(8,9). Auerbach dan Bystrin (1979) memakai siklofosfamid 100 mg secarapulse therapy dan prednison 60 mg/hari untuk mengatasi rebound increase ini(8). Euler dkk (1987) juga memakai siklofosfamid secara pulse therapy dengan dosis 36 mg/kg BB/hari serta prednisolon 2 mg/kg BB/ hari(10).

Plasmaferesis bukan merupakan terapi primer pemfigu: vulgaris, tetapi hanya dipakai bila terapi standard mengalami kegagalan. Pelaksanaan plasmaferesis harus diikuti dengar pemberian kortikosteroid yang adekuat ditambah dengan obat sitotoksik(9,11,12). Plasmaferesis dapat mengurangi dosis total kortikosteroid dan dapat memperpendek masa perawatan(13).

2. Pemfigoid bulosa Walaupun pemfigoid bulosa biasanya merupakan penyakil

yang jinak, swasirna dan mudah dikendalikan dengan dosis menengah kortikosteroid dikombinasi dengan sulfon atau obat imunosupresif, ada beberapa penderita yang penyakitnya berat atau tidak dapat diobati dengan terapi standard. Pada penderita-penderita ini, bila dilajukan plasmaferesis, tampak perbaikan klinis. Walaupun titer antibodi meningkat setelah plasmaferesis, tetapi tidak pernah mencapai titer sebelum plasmaferesis(14).

Roujeau dkk (1984) memperlihatkan kegunaan plasma-feresis pada pemfigoid bulosa dan efek steroid sparingnya. Kor-tikosteroid yang diberikan adalah prednisolon 0,3 mg/kg BB/ hari. Pengendalian penyakit terlihat pada 13 dari 22 orang pada kelompok yang mendapat plasmaferesis dan kortikosteroid. Kelompok yang diobati dengan prednisolon saja dengan dosis yang sama tidak menunjukkan perbaikan(15).

3. Dermatitis Herpetiformis Dermatitis herpetifonnis adalah suatu penyakit yang memiliki

kompleks imun pada serum penderitanya. Wexler dan Clark (1982) telah mencoba plasmaferesis pada penderita dermatitis herpetiformis yang resisten terhadap sulfapiridin dan tidak dapat mentolerir efek samping dapson dengan dosis 100 mg/hari. Setelah dilakukan plasmaferesis setiap 4 minggu, penderita dapat mentolerir dapson dengan dosis yang sama. Lesi kulit dapat dikendalikan dan tidak ditemukan efek samping.

Beliau menganjurkan agar plasmaferesis dapat merupakan cara alternatif atau cara tambahan dalam pengobatan dermatitis herpetiformis untuk penderita yang tidak dapat mentolerir dosis dapson atau sulfapiridin(16).

4. Herpes gestasionis 1Penyakit ini merupakan erupsi bulosa sangat gatal yang

timbul dalam kehamilan atau berhubungan dengan tumor tro-foblastik. Peranan faktor HG dalam patogenesis penyaldt ini masih dalam perdebatan. Umumnya penyakit ini dapat diobati dengan prednisolon 40 mg/hari yang kemudian diturunkan dengan cepat sehingga mencapai dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari.

Bila penyakit ini tidak responsif terhadap kortikosteroid atau bila terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, plasmaferesis dapat dipertimbangkan. Cara pengobatan ini telah berhasil dilaksanakan pada penderita dengan kehamilan maupun pada penderita dengan herpes gestasionis yang menetap setelah melahirkan. Tidak ditemukan kesulitan teknis yang berarti dalam melaksanakan plasmaferesis pada kehamilan(17).

5. Nekrolisis epidermal toksik Patogenesis NET belum diketahui dan bermacam-macam

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 35

Page 37: Cdk 076 Kulit (II)

patomekanisme dapat terlibat. Kompleks antigen-antibodi yang beredar tidak ditemukan, walaupun terlihat adanya endapan imunoglobulin dan komplemen pada sel basal. Plasmaferesis dapat menghilangkan obat penyebabnya, metabolitnya, antibodi sitotoksik atau mediator sitotoksik. Yang lebih dapat diterima adalah bahwa plasmaferesis menghilangkan suatu toksin dan bukan antibodi, karena plasmaferesis pada penyakit dengan antibodi yang patologis sepertipetnfigus vulgaris, diikuti dengan rebound production antibodi tersebut. Kamanabroo dkk (1985) melakukan plasmaferesis pada 5 penderita NET berat dengan hasil yang baik setelah 1– 2 plasmaferesis(18).

6. Penyakit Refsum Penyakit Refsum ditandai dengan polineuropati kronis,retini-

tis pigmentosa dan iktiosis. Pada penyakit ini kadar asam fitanat dalam darah meningkat karena kegagalan oksidasi asam lemak ini. Keadaan klinis berhubungan erat dengan kadar asam fitanat dalam plasma.

Pengobatan utama adalah diit. Diit yang mengandung asam fitanat < 0,1 mg/hari hanya dapat ditolerir untuk beberapa hari. Dengan melakukan plasmaferesis,diit asam fitanat 8mg/hari dan tinggi kalori hasilnya memuaskan. Plasmaferesis cukup dilaku-kan 2 kali setahun. Karena retinitis pigmentosa tidak membaik dengan pengobatan, maka yang penting adalah diagnosis dini dan pengobatan dini sebelum penglihatan rusak(19).

7. Hiperkolesterolemia familial Penyakit ini ditandai dengan peningkatan kolesterol dan

low density lipoprotein dalam plasma, pembentukan xantoma dan aterosklerosis dini. Penyakit ini diturunkan secara autosom dominan. Pengobatan dengan diit, medikamentosa dan secara bedah tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Beberapa penyelidik telah mencoba melakukan plasma-feresis, dan hasilnya cukup baik. Pada plasmaferesis. yang di-lakukan setiap 2 – 3 minggu tampak jelas penurunan kadar LDL dan kolesterol total. Juga terjadi resolusi xantoma(20). Namun, belum dapat dibuktikan plasmaferesis dapat mengobati atau mencegah aterosklerosis yang biasanya merupakan problem utama pada penderita-penderita ini(2).

8. Lupus eritematosus sistemik Telah lama diketahui, sebagian besar manifestasi iklinis

lupus eritematosus sistemik disebabkan oleh kompleks imun yang terdapat dalam sirkulasi dan ditimbun di ginjal, pembuluh darah dan kulit.

Jones dick (1976) melaksanakan plasmaferesis pada 8 pen-derita lupus eritematosus sistemik. Pada 4 penderita yang mem-punyai kadar kompleks imun tinggi dalam sirkulasi, plasma-feresis yang dlakukan setiap minggu memberikan hasil baik secara klinis maupun laboratoris. Empat penderita lainnya mempunyai kelainan kadar komplemen yang ringan dan tidak ditemukan kompleks imun dalam sirkulasi; pada keempat pen-derita ini, tidak terlihat hasil yang memuaskan pada terapi plasmaferesis(21).

EFEK SAMPING PLASMAFERESIS

Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yang

dapat bersifat ringan maupun berat(1). Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang disebabkan oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis(1,2). Keseimbangan cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia(1).

Penderita-penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami keracunan sitrat(1,2). Hal ini ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti yang mengandung sitrat misalnya plasma(1).

Telah dilaporkan juga penurunan jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan(4,8,9). Penurunan jumlah trombosit se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound phenomena(8).

Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko untuk mengalami aritmia jantung(1,2). Beberapa penulis melaporkan tidak ada perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis(8), tetapi penulis lain menyatakan bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit(9).

Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti(2,22). Risiko timbulnya hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma(2,4,22).

Suatu kendala lain yang membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya(20).

KESIMPULAN

Terapi plasmaferesis bekerja menghilangkan faktor yang abnormal atau menambah kekurangan faktor yang normal ter-dapat di dalam plasma. Pada saat ini terapi plasmaferesis umumnya dilakukan setelah cara pengobatan standard tidak memberi hasil yang diinginkan.

Cāiran pengganti yang dipakai sangat bervariasi dan tergantung dari kebutuhan masing-masing penderita. Efck samping yang timbul, biasanya tidak terlalu berat dan beberapa efek samping berhubungan dengan jenis cairan pengganti yang dipakai.

Telah dilaporkan kegunaan terapi plasmaferesis pada pe-nyakit pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa, dermatitis herpeti-formis, herpes gestasionis, nekrolisis epidermal toksik, penyakit Refsum, hiperkolesterolemia familial dan lupus eritematosus sistemik.

KEPUSTAKAAN

1. Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis. A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12.

2. Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 762–71.

3. McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 634–42.

4. Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 2107–8:

5. Korman N. Pemphigus. J Am Acad Dermatol 1988; 18: 1219–38. 6. Ruocco Vet al. Pathogenicity of the intercellular antibodies of pemphigus

and their periodic removal from the circulation by plasmapheresis. Br J Dermatol 1978; 98: 237–41

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 36

Page 38: Cdk 076 Kulit (II)

7. Guillaume JC et al. Controlled study of plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1659-63

8. Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30.

9. Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4.

10. Euler HH, Loffler H, Christophers E. Synchronization of plasmapheresis and pulse cyclophosphamide therapy in pemphigus vulgaris.Arch Derma-tol 1987; 123: 1205-10.

11. Blaszczyk M, Chorzelski TP, Jablonska S, Daszynski J, Beutner EH. Indications for future studies on the treatment of pemphigus with plasma-pheresis. Arch Dermatol 1989; 125: 843-4.

12. Fine JD, Appell ML, Green LK, Sams WM. Pemphigus vulgaris. Com-bined treatment with intravenous corticosteroid pulse therapy, plasma-pheresis and azathioprine. Arch Dermatol 1988; 124: 236-9.

13. Meurer M, Falco OB. Plasma exchange in the treatment of pemphigus vulgaris. Br J Dermatol 1979; 100: 231-2.

14. Goldberg NS, Robinson JK, Roenigk HH, Marder R, Rothe M. Plasma

pheresis therapy in bullous pemphigoid. Arch Dermatol 1985;121:1484-5 15. Roujeau JC, Guillaume JC, Morel P. Plasma exchange in bullous pem-

phigoid. Lancet 1984; 2: 486-9. 16. Wexler D, Clark W. Plasma exchange and dermatitis herpetiformis. Arch

Dermatol 1982; 118: 141-2. 17. Holmes RC, Black MM. Herpes Gestationis. Dennatologic Clinics 1983;

1: 195-203. 18. Kamanabroo D, Landgraf WS, Czametzki BM. Plasmapheresis in severe

drug-induced toxic epidermal necrolysis. Arch Dermatol 1985; 121; 1548-9.

19. Gibberd FB, Page NGR, Billimoria JD, Retsas S. Heredopathia atactic: polyneuritiformis (Refsum's disease) treated by diet and plasma-exchange Lancet 1979; 575-8.

20. King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9

21. Jones JV et al. Plasmapheresis in the management of acute systemic lupus eruthemetosus. Lancet 1976: 708-11.

22. Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 3Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 37

Page 39: Cdk 076 Kulit (II)

Health Situation in

Indonesia, Singapore, Brunai Darussalam, Philippines, and Japan

Dr. Tjandra Yoga Aditama Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/UPF Paru

Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Asia is the most populous continent in the world. With a population of more than 2.000 million, developing countries in Asia surely faced a lot of problem in economic growth, education as well as health services. On the other hand Japan as one of Asian country, have already enjoyed a very high level of health status.

This article will deseribe the health situation in several Asian countries, including Japan.

INDONESIA

The total of Indonesian population in 1985 was 164,046,988.(1). The total population estimate in mid 1986 was 163.366.000 with annual rate ofincrease (1976-1986) of 2.2% and density 86 person/sq.km.(2) In 1988 the estimated total popu-lation is 179,275,400 and in 1990 the estimated total population will be 187,616,900. (3) In 1985, 39.3% population were below 15 year of age, and 13.1% were below 5 years of age.

The crude death rate in 1980 was 12.5 and the crude' live birth rate in 1980 was 35.4 per 1,000 population.(2) The Ijouse-hold Health Survey found that in 1986 the crude death rate was 7,000 per 1,000 population and the infant mortality rate was 71.8 per 1,000 live births.(4)

The ten leading causes of death in 1986 were : lower respiratory tract infection, diarrhea, cardiovascular diseases, tuberculosis, measles, tetanus, malaria, diseases of the nervous system, certain conditions in the perinatal period and bronchitis-asthma-emphysema. On the other hand, the ten leading morbi-dity in 1986 were acute respiratory infection, skin diseases, diseases of the oral and gastrointestinal system, other infection, bronchitis-asthma-other infection of the respiratory system, malaria, diseases of the nervous system, cardiovascular diseases, diarrhea and tuberculosis.(4)

Life expectancy at birth in 1971 was 45 years for male and

48 years for female. The estimated life expectancy at birth in 1981 - 1985 was 51.9 years for female and 48.9 years for male. The estimated life expectancy at birth by the year of 2000 will be 60 years old.(5)

The annual government health budget in 1980 was about 1.5 - 2.5% of the total national budget. In 1980, around 3% of the GNP was used for health activities.0) Hospital activities (government and private) takes around 30% of the total health budget. The developmental health budget for Ministry of Health in 1987/1988 is Rp. 34,584,901,000.(6)

The number of hospital in 1987 was 1,436 with 112,328 beds. There are 5472 health centres and ,12,562 health sub-centres throughout Indonesia. The ratio .pf health centres and population served is 1 : 30,000. Number of physicians in 1986 was 18,610 so the ratio was one physician for 8,800 population.(1)

SINGAPORE

The total population for Singapore in 1987 was 2,612,800 with a population growth rate (1985 - 1986) of 1.1%. By age grouping, 23.4% of the population were below 15 years old, 68.4% were 15 to 59 years old and 8,2% were 60 years and over. The population comprises 76.1% Chinese, 15.1% Malay, 6.5% Indian and 2.3% other ethnic groups.(7)

The crude death rate in 1987 was 5.0 and the crude birth rate in 1987 was 16.7 per 1,000 population. The infant morta- lity rate in 1987 was 7.4 per 1,000 live births and the maternal mortality rate in 1987 was 0.1 per 1,000 live births & still births. The life expectancy at birth in 1987 was 73.9 years old, for male it was 71,4 years and for female it was 76.3 years. (7)

The ten leading causes of death in 1987 were cancer, ischaemic & other heart disease, cerebrovascular diseases, pneu-monia, accidents-poisoning & violence, diabetes mellitus, hyper- tensive disease, nephritis-nephrotic syndrome & nephrosis, tu- berculosis and bronchitis-empysema & asthma.(7) The main

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 38

Page 40: Cdk 076 Kulit (II)

causes of hospitalisation for male in 1986 were accidents and disease of the circulatory and digestive system. For female, other than pregnancy and childbirth, the most common cause of hospitalisation in 1986 was diseases of genitourinary system.(8)

The Ministry of Health's total recurrent expenditure in fiscal year 1986 was S$ 374 million. Hospitals continued to be the largest user of the health budget, consuming S$ 258 million or 69% of the total current expenditure. Primary Health Care & Health Education Division consumed S$ 36 million, only about 10% of the total recurrent expenditure in 1986. The Ministry of Health collected S$ 129.7 million in revenue in fiscal year 1986. The bulk of the revenue S$ 108.7 million (83.8%) came from the hospitals. (8) In 1987 the current health expenditure was S$ 396 million, S$ 52.9 million of this were for development health expenditure. The current health expenditure in fiscal year 1987 was 0.9% of the GNP, and the total government health expenditure per person was S$ 172.(7)

Number of hospitals in 1987 was 22 with 10,185 beds, one hospital bed for 257 persons. There were 24 Community Health Clinics and 23 Maternal and Children Health Clinics. Total number of doctors in 1987 were 2,939, so it was old doctor fix 889 persons. (8)

BRUNEI DARUSSALAM

The total population of Brunei Darussalam in 1986 was 226,000.(9) By age grouping, 13.5% of the population in 1985 were below 5 year old and 4.59% were 60 years old and over. The natural increase in 1985 was 5,887, which is 2.62%.(10)

Malays form a majority of the population but it is estimated to be some 70,000 non Malays, including Chinese and others; there are small communities of Britons, Dutch, Americans and Australians who work in the oil and gas industry and commerce. (11) In 1985, 63.95% of the population were Malays, 20.19% were Chinese, 8.47% were indigenous and 7.39% other race. (10)

Brunei.Darussalam continues to enjoy health norms com-parable to those of developed countries, with an infant mortality rate in 1986 of 9.67/1,000 live births and a life expectancy for men of 70.E years and 72 years for women.(11) The crude death rate in 1985 was 3.54 per 1000 population and the maternal death rate in 1984 was 0.47 per 1.000 births (10)

Morbidity due to diseases associated with affluence and changing life styles, such as diabetes and hypertension is rising and death due to road traffic accidents, cardiovascular diseases and malignancy rank high among the causes of adult mortality. Upper respiratory infection and gastro enteritis are the most common cause of morbidity among children.)ll) During 1985 not a single case of diphteria, tetanus, pol,iomyelitis or viral encephalitis is reported. Malaria has been eradicated and 17 December 1988 is the day of Commemoration for the achieved eradication of malaria in Brunei Darussalam.

In 1985, 3.5% of the National Budget is allocated to health. The health budget forms 1.24% of the Nation's Gross Domestic Products. Per capita health expenditure in 1985 wis about B$ 450.00, which is one of the highest in the world.(10) Allocation of current expenditure for Ministry of Health Services in 1986 was B$ 114 million.

There are 550 bed in central referral hospital in Bandar Seri Begawan (RIPAS hospital), 185 bed hospital at Kuala Belait city, another hospital at Tutong city and another 50 bed hospital at Temburong district. There are 56 Primary Health Care clinics, three of them were at Kampong Ayer or the water village. Remote villages in the interior of the country are served by Flying Doctor Service. In 1986 this service made 151 flights, goes to 14 areas which are inaccessible by land, and treated 4,243 patients. In 1986 there are ten Bruneian doctors in addition to contract staff doctors and speciallist from overseas. (11)

PHILIPPINES

The estimated total population in the Philippines in 1987 was 57,356,042.0) The annual rate of increase 1976 - 1986 was 2.5%. The population includes 111 cultural and linguistic groups. Filipinos are basically of Malayo-Polynesian origin, though in the traditional trading areas there is an evidence of Chinese, Indian, Arab, Spanish and North American influence in varying degrees.

The crude death rate in 1985 was 6.1 per 1000 population with the infant mortality rate of 38 per 1000 live births and maternal death rate of 1 per 1000 live birth. (14) Life expectancy is 63 years for males and 66.5 years for females. (12) The crude birth rate in 1985 was 26.3 per 1000 population and the fetal death rate was 10.2 per 1000 live births. (14)

The ten leading causes of death in 1985 was pneumonia, diseases of the heart, tuberculosis, diseases of vascular system, malignant neoplasm, diarrhea, accidents, measles, avitaminosis & nutritional deficiency and nephritis. On the other hand, the ten leading causes morbidity in 1985 was bronchitis-emphysemaasthma, diarrhea, influenza, pneumonia, tuberculosis, malaria, accidents, diseases of the heart, measles and malignant neoplasm.(14)

The number of hospital in 1986 (government & private) was 1846 with 89.081 beds, giving a bed : population ratio of 1 : 628. Total number of RHU (rural health unit) was 1962 and there were 8844 Barangray health station. There were 9,599 government physicians in 1986 with 11,585 nurses, 10,396 midwifes and 375,889 Barangray health worker. (15) The total health budget in 1987 was US $ 213,976,350.(1)

JAPAN

Japan is an island country stretching along the northeastern coast of the Asian continent. It consists of four main island-Hokkaido, Honshu, Shokoku and Kyushu-from north to south-and more than 3,900 smaller islands. With a total land area of 377,765 square kilometers, Japan accounts for less than 0.3% of total land area of the world (16)

Of the total entire land area, 73% is mountainous and the re-maining 27% is relatively flat.Japan in characterized by complex topographical features, with a prominent "spine" of mountains in Honshu, including Mt. Fuji with an elevation of 3,776 maters. Since Japan islands stretch from north to south, the climate zones range from the subarctic zone to the subtropical zone. District changes of climate follow the rotation of the four seasons and this contributes to the wide variety of vegetation.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 39

Page 41: Cdk 076 Kulit (II)

The population of Japan at the end of 1985 was 121 million, ranking seventh in the world, and about 2.5% of the world population. The population density in 1985 was 325 persons per square kilometer; Japan is the fourth most densely populated country among the countries with more than 5 million people (16) The estimated population of Japan for the year of 2000 will be 131,192,000 and by the year of 2085 it will be 124,066,000 people. (17)

The gross national product of Japan constitutes nearly 10% of the world GNP, and both its GNP and its national income rank second among the free economic countries, next to the United States. On a per capita basis, the gross domestic product of Japan is expected to amount to US $ 10,445 in 1984 (16)

Japan has now become one of the countries in the world where people live longest. The average life expectancy at birth for men immediately after the Second World War in 1947 was 50.06 and for women it was 53.96. By 1986 these figures had jumped to 75.23 and 80.93 respectively." The aging population is thus steadily progressing, so that in 1986 the proportion of the eldery (the ratio of people aged 65 and over to the whole population) reached 10.6%. By the year of 2000 the proportion will be 16.3% and this aging process will subsequently peak in 2021 at 23.6%, when one person in 4 will be at least 65 years old. (18)

The mortality rate in 1947 was 14.6, and this was reduced to 6.2 in 1986, while the infant mortality rate dropped drastically from 76.7 to 5.2 between those same years (per 1000 population). In the past, tuberculosis and other communicable diseases constituted the main causes of death in Japan. However, after the war, the occurence of such diseases declined and in 1951 cerebrovascular diseases occupied the top spot. After this, cancer and heart disesaes have taken the top position, and over recent years, with these three as the most important ones, the so-called degenerative diseases have come to the account for the larger part of all deaths. With regard to the trends in patients receiving medical care, there has been a marked increase in cardiovascular diseases like hypertension, cerebrovascular di-seases and heart diseases. Moreover, there has been a consi-derably increase in the case of mental disorder. (17)

At the end of 1986 there were 191,346 doctors in Japan, giving a ratio of 157.3 per 100,000 people. There were also

22,050 public health nurses (18.1 per 100,000 people) and another 672,249 nurses and assistant nurses (558.3 per 100,000 people). There were 9,699 hospitals at the end of 1986 with 1,533,877 beds, and there were 76,369 clinics at that time X18) These number of doctors and hospital beds have now reached the levels prevailing in the western advanced countries(17)

REFERENCES

1. Tjandra Yoga Aditama. Indonesia, In : Country Report for the Group Training Course in Tuberculosis Control. Japan International Cooperation Agency 87 - 140, 1987.

2. SEAMIC Health Statistics 1987. Tokyo : SEAMIC/IMJF 1988 3. Manaf A Tuberculosis prevalence in Indonesia. Presented at the Indone-

sian TB Association Congress, 1988 (Indonesian). 4. Ministry of Health Republic of Indonesia. Household Health Survey 1986.

Jakarta : Ministry of Health Republic of Indonesia (Indonesian). 5. Ministry of Health Republic of Indonesia. National Health System. Jakarta

: Ministry of Health Republic of Indonesia, 1982. (Indonesian). 6. Ministry of Health Republic of Indonesian. Development Budget. Ministry

of Health Republic of Indonesia 1987/1988 (Indonesian). 7. Tan Tock Selig Hospital. Departement of Tuberculosis Control Singapare,

Tuberculosis statistic : 1987. 8. Brunei Darusalam News Letter, No. 37, October 1988, 12. 9. Philippine Brief. Mabuhay 1987 : 69. 10. The Philippine's Manual National Tuberculosis Control Program. Ministry

of Health Republic of the Philippine's Manual National Tuberculosis Control Program. Ministry of Heath Republic of the Philippines, 1988.

11. Data from Chest Clinic, Raja Isteri Pengiran Anak Saliba (RIPAS) Hospital, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 1988.

12. Health Intelligence Service - Department of Health Republic of the Philip-pines. Philippines Health Statistics, 1985.

13. Statistics Bureau Management and Coordination Agency. Statistical Hand-book of Japan, 1986. Tokyo : Japan Statistical Association, 1986.

14. Ministry of Health and Welfare. Health and Welfare in Japan, 1988, Tokyo : JICWELS (Japan International Corporation of Welfare Services), 1988.

15. Ministry of Health and Welfare Japan (Koseisho). Health and Welfare Services in Japan, 1988. Tokyo : Japan International Corporation of Welfare Services (Kokusai Kosei Jigyodan), 1988.

16. Ministry of Health and Welfare. Tuberculosis Statistics 1988 (Japanese). 17. Tuberculosis and its control program in Japan in 1983. Reports on Medical

Research Problem of the Japan Anti Tuberculosis Association 1983;32:1-2. 18. Data about delay in case finding. From Research Institute of Tuber-

culosis - JATA, Kiyose, Tokyo, 1988.

Forget it Drop the subject when you can not agree

There is no need to be bitter because you know you are right

Page 42: Cdk 076 Kulit (II)

Pemantauan Efek Samping Obat

Rozalmah Zain Hamid Laboratorium Farmakologi f akultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,

Medan

ABSTRAK

Efek samping obat (ESO) sering merupakan kejadian yang menyertai terapi obat, dan lebih mungkin terlihat bila pemakaian obat sudah meluas. Namun yang menjadi masalah utama adalah pelaporan ESO yang sangat sedikit (±10%). Padahal pemantauan Efek Samping Obat adalah tanggung jawab kita bersama, yang sangat memerlukan perhatian dan keterlibatan banyak unsur di dalam masyarakat, dan diharapkan dapat berlangsung secara tents menerus. Dengan demikian kejadiannya dapat ditekan sekecil mungkin, dan terulangnya kasus yang sama dapat dihindari. Pada makalah ini dikemukakan berbagai cara pemantauan ESO, dan langkah-langkah yang diambil untuk mengenal dan mcnctapkan ESO, serta tata organisasi pemantauannya. Untuk memudahkan pclaporannya, seyogyanya pelaporan ESO di-lakukan tanpa mekanisme formal. Namun untuk menetapkan penyebab ESO, diperlukan suatu pendekatan formal, artinya hal-hal/kondisi yang mempengaruhi timbulnya ESO harus ditentukan lebih dahulu dan dib,ikukan, schingga faktor subycktivitas dapat dihindarkan. Kemudian dapat disajikan sebagai patokan praktis dalam menetapkan hubungan sebab-akibat suatu ESO. Selain itu penerangan dan pendidikan bagi masya-rakat awam perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran bahwa obat bukan hanya untuk mengobati penyakit saja, tetapi dapat pula menimbulkan efek samping yang berbahaya.

PENDAHULUAN

Efek samping obat (ESC)) sering merupakan kejadian yang menyertai terapi obat. ESO yang tidak terdeteksi pada uji awal,. mungkin terlihat bila pemakaiannya sudah Icbih Iuas. Namun yang menjadi masalab utama adalah pelaporan ESO yang sangat sedikit (± 10%)o). Hal ini mungkin disebabkan olch ketidakmengertian tentang apa yang harus dilaporkan dan keraguan dalam mengambil keputusan bahwa suatu obat adalah penyebab efek samping yang terjadi, olch karena banyaknya obat yang . dipakai sekaligus. Akan lebih sulit lagi, bila efek samping baru timbal jauh/lama setelah pemberian obat.

Berjuta resep yang dituliskan setiap tahun, menggambarkan

besarnya jumlah populasi pemakai obat. Kondisi ini akan me-ningkatkan timbulnya ESO. Namun nyatanya pelaporan ESO sangat sedikit karena berbagai sebab di atas.

Beberapa ESO yang telah diketahui akibat pemberian suatu obat antara lain: timbulnya anafilaksis pada pemakaian zome-pirak(2), anemia aplastik pada pemakaian kloramfenikol(3), dan kolitis psedomembranosa pada pemakaian linkomisin(4). Untuk itu, pengamatan terhadap timbulnya ESO sangat dibutuhkan agar kejadiannya dapat ditekan sekecil mungkin, dan terulang-nya kasus yang sama dapat dihindari. Untuk pemahaman lebih lanjut, akan divaaikan faktor-faktor yang berperan dalam pe-mantauan ESO ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 41

Page 43: Cdk 076 Kulit (II)

USAHA-USAHA YANG DILAKUKAN PADA PEMAN-TAUAN ESO

Informasi tentang suatu obat dimulai dari data pada hewan coba, data toksikologi dan lain sebagainya.

Sebelum dipasarkan, obat terlebih dahulu hams melalui suatu uji klinik yang baik untuk membuktikan kegunaan dan keamanannya. Namun usaha ini belum dapat menjamin ke-amanan that sepenuhnya, karena jumlah subyek yang diamati relatif sedikit. Di samping itu pada uji awal, pasien sudah diseleksi dengan cermat sehingga kerap kali kondisinya tidak lagi seperti yang didapat pada praktek klinik yang lazim/normal. Setiap gejala yang merugikan hams dicatat, agar dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, setelah obat dipasarkan perlu pemantauan berkelanjutan dengan jumlah subyek yang lebih banyak, waktu yang lebih panjang, dan populasi pemakai obat yang lebih bervariasi (ibu hamil, anak-anak, orang tua, dan orang-orang dengan penyakit tertentu).

Usaha lain yang dapat dilakukan untuk pemantauan ESO adalah dengan mengamati kembali sertifikat kematian dan catatan-catatan lain di rumah sakit. Dari data ini dapat diketahui kecenderungan timbulnya suatu penyakit yang berkaitan dengan obat. Salah satu contoh adalah, meningkatnya angka kematian pada penderita asma muda pada pertengahan tahun 60-an yang terutama disebabkan oleh terlalu banyaknya penggunaan inhalasi obat bronkodilator yang bukan P-agonis spesifiko). Juga kecenderungan timbulnya ESO pada kelompok pasien tertentu, seperti timbulnya anemia aplastik oleh fenilbutazon pada wanita tua(s). Namun data rumah sakit saja tidaklah cukup sebagai sumber informasi, oleh karena itu masih terus dilakukan usaha agar hasil yang diperoleh benar-benar merupakan sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan.

Cam lain yang dipakai adalah dengan record linkage. Cam ini merupakan proyek jangka panjang. Namun dapat meng-hasilkan sesuatu yang penting dan berguna dalam menentukan penyebab ESO yang lebih pasti. Catatan medis dari rumah sakit maupun praktek pribadi dicatat dan dianalisis mulai dari awal penyakit sampai pada kematian penderita. Metode ini khusus-nya dapat digunakan untuk menemukan penyebab penyakit jangka panjang baik yang disebabkan oleh that atau faktor lain, seperti timbulnya adenokarsinoma vagina dan serviks pada wa-nita dewasa, yang pada saat dalam kandungan, ibunya mendapat stilbestrol(1). Pemastian hubungan sebab-akibat dilakukan dengan cara : a) pemantauan berkelanjutan terhadap individu yang diberi suatu obat, untuk menentukan efek samping yang berkaitan dengan obat tersebut. b) memperhatikan pasien dengan penyakit khusus yang men-dapat obat tertentu. Ini lebih mudah dilakukan karena lazimnya dokter memilah-milah penderita berdasarkan penyakit yang diderita, bukan berdasarkan obat yang diberikan kepada pasien-nya. Misalnya untuk mengetahui efek samping pemberian fenitoin, maka dikumpulkan data dari penderita epilepsi. Dari pemantauan seperti inilah didapatkan bukti bahwa fenitoin yang diberikan kepada wanita penderita epilepsi yang sedang hamil

dapat menimbulkan malformasi pada bayi yang dilahirkan-nya(1). Gambar 1. Skema langkah-Iangkah untuk mengenal dan menetapkan

ESO(6). Langkah-Iangkah untuk Mengenal dan Menetapkan ESO

Salah satu kesulitan dalam pemantauan ESO adalah bila

ESO itu jarang sekali terjadi. Naniun jalan keluarnya adalah dengan melakukan studi kontrol, yaitu dengan membandingkan kelompok penderita yang mengalami gejala-gejala efek samping tertentu dengan kelompok kontrol yang dipapari oleh faktor/ obat yang sama. Dengan cara inilah diketahul hubungan timbul-nya kolitis psedomembranosa dengan pemakalan linitomiain(4). Cara ini cukup baik dikembangkan untuk penntantauan efek samping yang ditimbulkan oleh suatu obat. Namun kesalahan dapat timbul karena seleksi kelompok penderita mauplift ke-lompok kontrol tidak dilaksanakan dengan baik.

Masih ada cam lain untuk memantau ESO, yaitu peman-tauan intensif. Pengumpulan informasi rumah sakit yang me-liputi latar belakang informasi (umur, berat/tinggi badan, dan lain-lain), riwayat penyakit, obat yang diberikan, ESO, per-ubahan nilai uji laboratorium selama di rumah sakit. Pemantauan ini dilakukan terhadap obat yang diduga sebagai penyebab efek samping, berdasarkan deteksi sederhana dan lttperan kasus di majalah kedokteran. Bila insidens suatu ESO tinggi, seperti perdarahan saluran cerna pada pemberian asam etakrinat (se-besar 20% dibanding4,3% akibatpemberian diuretik lain), maka kemungkinan timbulnya bias menjadi lebih kecil. Dengan cara ini pula ditemukan faktor risiko untuk terjadinya efek samping asam etakrinat, misalnya jenis kelamin wanita, kadar urea darah yang tinggi, pemberian heparin sebelumnya, dan pemberian obat secara i.v. Cara ini juga dapat menentukan asosiasi negntif, artinya menyangkal adanya hubungan antara timbulnya suatu

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 42

Page 44: Cdk 076 Kulit (II)
Page 45: Cdk 076 Kulit (II)

turut berpartisipasi dalam pemantauan ESO, antara lain dengan mengisi daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan ini diberikan kepada penderita yang berobat jalan, misalnya pada penderita hipertensi dan diabetes melitus. Penderita diharuskan mencatat semua gejala yang dirasakannya pada pemakaian suatu obat. Cara ini dapat juga dipakai untuk membuktikan bahwa suatu that ternyata tidak memberikan efek samping seperti yang di-duga sebelumnya.

Di samping itu berdacarkan keluhan penderita, dapat di-duga obat apa kira-kira yang diperolehnya, sehingga dapat dihubungkan dengan ESO yang timbul. Bila pemaparan obat dengan reaksi yang timbul sering bersamaan, dapat dipastikan bahwa obat inilah sebagai penyebab ESO tersebut. Contoh untuk ini adalah obat doksilamin piridoksin (Bendectin) yang luas digunakan pada ibu hamil, ternyata banyak menimbulkan kelainan kongenital(10). UMPAN BALIK

ESO dapat dilaporkan kepada badan khusus yang me-nangani masalah ini, dan selanjutnya akan dipublikasi pada media khusus. Namun karena segala keterbatasan yang ada, dan nap dokter mungkin mendapatkan media informasi yang berbeda-beda, maka alangkah baiknya bila media informasi kedokteran seperti majalah/jurnal menyediakan suatu rubrik khusus untuk masalah ESO ini, sehingga penyampaian dan penyebaran informasi lebih luas cakupannya.

Data ESO ini penting diinformasikan kepada dokter agar lebih berhati-hati dalam memberikan obat kepada pasiennya. Selma ini umumnya dokter hanya mendapat informasi dari pabrik penghasil obat tersebut, yang seringkali kurang lugas mengemukakan hal-hal yang bersifat negatif. Untuk itu sudah sepatutnyalah pihak-pihak yang berwenang dapat menerima laporan ESO tanpa suatu mekanisme formal. Data dari laporan ini dicatat, dikumpulkan, dan dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian-penelitian dengan metodologi yang mapan, serta di-evaluasi kembali. Setelah dibuktikan bahwa suatu that adalah penyebab suatu ESO, dapat dilakukan beberapa usaha untuk memperkecil kemungkinan terulangnya kejadian tersebut antara lain dengan : 1. Menuliskan informasi tentang ESO secara lugas dan jelas

pada bungkus obat sebagai peringatan dalam pemakaian-nya(11).

2. Membatasi persediaan that tersebut di pasaran, seperti yang dilakukan terhadap zomepirak

3. Meninjau kembali pengadaan obat tersebut 4. Menyediakan obat altematif yang relatif lebih aman.

RANGKUMAN

Biasanya, sangkaan terhadap penyebab ESO berasal dari

laporan kasus individu jauh sebelum pengamatan epidemiologis dilakukan. Jadi bila dari laporan kasus tersebut timbul sangkaan yang kuat terhadap tirnbulnya ESO, maka perlu dilakukan pengamatan epidemiologis selanjutnya. Bila secara epidemiologis insiden ESO tinggi pada kelompok orang yang mendapat obat tertentu, kemungkinan adanya hubungan antara obat tersebut dengan efek samping yang timbul menjadi kuat.

Penafsiran hubungan sebab-akibat sebagai faktor yang ber-peran dalam memecahkan masalah keamanan obat masih me-rupakan faktor yang sangat kontroversial, karena pengambilan keputusan medis sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan dokter bersangkutan. Ketidaksepakatan para ahli dalam menentukan penyebab suatu ESO banyak terlihat di berbagai publilcasi. Untuk itu sangat diperlukan pendekatan formal, artinya hal-hal/kondisi yang mempengaruhi timbulnya ESO harus ditentukan lebih dahulu dan dibakukan, sehingga faktor subyektivitas dapat dihindarkan. Kemudian baru dapat disajikan patokan praktis dalam menetapkan hubungan sebab-akibat suatu ESO.

Akhimya penerangan dan pendidikan bagi masyarakat awam perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran bahwa obat bukan hanya untuk mengobati penyakit saja, tetapi dapat pula menimbulkan efek samping yang berbahaya.

KEPUSTAKAAN

1. Gillies HC, Rogers HJ, Spector RG, Trounce JR. Adverse reaction monitoring. In: A Textbook of Clinical Pharmacology 2nd. London Sydney Auckland Toronto: Hodder and Stoughton. 1986. pp 181-9.

2. Drug Surveillance Research Unit, University of Southampton. Sensitivity reaction with Zomax. PEM News 1984; 2: 9.

3. Erslev AJ, Wintrobe MM. Detection and prevention of drug-induced blood dyserasias. JAMA 1962; 181: 114-9.

4. Venting GR. Identification of adverse reactions to new drugs I. What have been the important adverse reactions since thalidomide? Br Med J 1983; 286: 199-202.

5. Inman WHW. Study of fatal bone marrow depression with special reference to phenylbutazone and oxyphenazone. Br Med J 1977; 1: 1500-5.

6. Venulet J. Some aspect of drug monitoring. In. Adv. Drug React. Ac. Rev 1985; 3: 161-75.

7. Bergman U, Boman G, Wiholm B-E. Epidemiology of adverse drug reactions to phenformin and metformin. Br Med J 1978; 2: 464-6.

8. Johnson FL,' Feagler JR, Lerner KG, et al. Association of androgenic anabolic steroid therapy with development of hepatocellular carcinoma. Lancet 1972; 2: 1273-6.

9. Zimmerman HJ, Lewis JH, Ishak KG, Maddrey WC. Ticrynafen-associated hepatif injury: analysis of 340 cases. Hepatology 1984; 4: 315-23.

10. Onne ML'E. The Debendox saga. Br Med J 1985; 291: 918-9. 11. Rossi AC, Knapp DE, Anello C, et al. Discovery of adverse drug re-

actions : a comparison of selected phase IV studies with spontaneous repotting methods. JAMA 193?; 249: 2226-8

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 44

Page 46: Cdk 076 Kulit (II)

Daya Antimikroba Obat Tradisional Diare terhadap Beberapa Jenis Bakteri

Enteropatogen

Pudjarwoto T., Cyrus H. Simanjuntak, Nur Indah P. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RJ., Jakarta

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian daya anti mikroba obat tradisional diare terhadap bebe-rapa jenis mikroba penyebab diare yang dilakukan secara in-vitro dengan metode Disk Diffusion dari Kirby Bauer (1966).Empat jenis tumbuhan obat anti diare yang diuji yaitu: daun jambu biji (Psidium guajava), umbi rumput teki (Cyperus rotundus), daun sawi tanah (Nasturtium indicum), dan kulit buah manggis (Garsinia mangostana). Obat-obat ini.diujikan kepada 3 macam kuman yaitu: Salmonella, Escherichia coli dan Vibrio cholera. Sebagai kontrol digunakan antibiotik tetrasiklin 'dal= .bentuk disk dengan potensi disk 10 p.g, diameter 6 mm. Hasil penelitian menunjukkan, sari daun jambu biji temyata mempunyai daya anti mikroba terhadap V. cholera. Pada konsentrasi 0,15 g/ml sari daun jambu biji dapat menimbulkan zona bebas bakteri di sekitar disk sebesar 7,5 mm, sedangkan pada konsentrasi 0,50 g/ml dapat menimbulkan zona bebas bakteri sebesar 13,5 mm. Makin tinggi konsentrasi makin besar zona bebas bakteri yang ditimbulkannya. Sari daun jambu biji dikenal mengandung bahan kimia avikularin dan guaijiverin yang diduga sebagai bahan kimia yang bersifat anti mikroba terhadap V. cholera. Sari umbi rumput teki, sari daun sawi tanah dan sari kulit buah manggis dalam pengujian ini tidak menimbulkan zona bebas bakted, sehingga diduga tidak bersifat sebagai anti mikroba baik terhadap Salmonella, E. coli maupun V. cholera.

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan sumber bahan obat tradisional yang telah digunakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan penggunaan obat tradisional adalah antara lain karena bahan bakunya mudah diperoleh dan harganya muraho). Delapan puluh persen penduduk Indonesia hidup di pedesaan, di antaranya sukar dijangkau oleh obat modern dan tenaga medis karena masalah distribusi, komunikasi dan trans-portasi; di samping itu daya bell yang relatif rendah menyebab-kan masyarakat pedesaan kurang mampu mengeluarkan biaya untuk pengobatan modern, sehingga masyarakat cenderung memilih pengobatan secara tradisional(2,3).

Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan ke-sehatan masyarakat, maka obat tradisional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya terutama di desa-desa dan pemukiman yang be-lum/sulit dijangkau oleh puskesmas. Di sini obat tradisional mempunyai makna yang sangat penting karena di samping ke-tidakmampuan masyarakat untuk memperoleh obat-obat mo-dern, juga karena obat tradisional adalah obat bebas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter(1).

Tercatat ada 88 jenis tumbuhan obat yang dinyatakan ber-khasiat sebagai obat tradisional diare. Tetapi sampai sekarang pengetahuan maupun pemakaian obat-obat tradisional ini pada umumnya hanya bersumber pada penuturan atau informasi dari

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 45

Page 47: Cdk 076 Kulit (II)

orang ke orang, sedangkan informasi ilmiah belum banyak diper-oleh(4). Proses pengolahan obat tradisional pada umumnya sa-ngat sederhana. Di antaranya ada yang diseduh dengan air, dibuat bubuk kemudian dilarutkan dalam air, ada pula yang diambil sarinya; cara pengobatan pada umumnya dilakukan per-oral (diminum).

Komponen aktif yang berperan sebagai obat adalah zat-zat kimia yang terkandung di dalam ramuan obat tersebut. Secara kemoterapi, komponen-komponen tersebut antara lain dapat berperan sebagai absorben, astringen, spasmolitik, anti bekteri, suportif dan sebagainya4. Dalam hubungannya sebagai obat antibakteri, obat-obat tradisional anti diare sampai saat Oki masih belum banyak diketahui daya anti mikrobanya terhadap berbagai jenis bakteri penyebab penyakit diare; sebagaimana diketahui, secara bakteriologis penyebab penyakit diare terdiri dari beberapa jenis bakteri, di antaranya yang terpenting adalah Vibrio cholera. Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter, Yersinia enterocolitica.

Untuk menambah informasi mengenai khasiat obat-obat tradisional anti diare, telah diteliti secara bakteriologis beberapa jenis tanaman that tradisional anti diare, antara lain yaitu kulit buah manggis (Garsinia mangostana), daun jambu biji (Psidium guajava), umbi rumput teki (Cyperus rotundus) dan daun sawi tanah (Nasturtium indicum). Penelitian dilakukan untuk menge-tahui ada tidaknya daya anti mikroba obat-obat tradisional ter-sebut terhadap beberapa jenis bakteri penyebab penyakit diare. Cara pengujian yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik'Dg7usion Method dari Kirby Bauer (1966). BAHAN DAN METODA Persiapan bahan obat

Masing-masing bahan baku obat yang masih dalam kondisi segar yaitu daun jambu biji, kulit buah manggis, daun tapak liman, umbi rumput teki dan daun sawi tanah dibuat serbuk dengan cara digerus untuk menghasilkan bubuk, kemudian di-larutkan dengan dua macam bahan pelarut yaitu air dan alkohol 50%. Untuk bahan pelarut air, 12 gram serbuk dicampur dengan 120 ml air kemudian direbus sampai mencapai volume 90 ml. Untuk bahan pelarut alkohol 50%, 12 gram serbuk dicampur dengan 120 ml alkohol 50% kemudian didmkan selama 2 jam, selanjutnya disaring dengan kertas saring.

Larutan ini disentrifus selama 10 menit pada putaran 200 rpm. Cairannya diambil dan selanjutnya dimasukkan ke dalam freeze drier selama 24 jam sehingga diperoleh sari tumbuh-tumbuhan dalam bentuk bubuk halus. Pengenceran terhadap bubuk halus tersebut dilakukan dengan menggunakan air bebas mineral dengan berbagai tingkat konsentrasi yaitu: 0,15 gram/ ml, 0,22 gram/ml, 0,28 gram/ml, 0,37 gram/ml dan 0,50 gram/ml. Persiapan bakteri penguji

Beberapa jenis bakteri yang dignakan dalam penelitian ini adalah bakteri-bakteri penyebab penyakit diare yaitu Vibrio cholera, Salmonella dan Escherichia coli. Bakteri-bakteri ini diperoleh dari persediaan yang disimpan di laboratorium. Mula-

mula dilakukan peremajaan dengan menanamnya ke dalam media/ perbenihan KIA (Kliger Iron Agar). Setelah diinkubasi selama 24 jam kemudian ditanamkan pada perbcnihan HIB (heart Infusion Broth) selama lebih kurang 6 jam pada suhu 37°C. Dcngan menggunakan lidi kapas steril, diambil kuman dari perbenihan HIB kemudian ditanamkan pada perbenihan Muller Hinton Agar. Pengujian daya antibakteri

Cara pengujian yang dilakukan adalah dengan menggunakan Disk Diffusion Method dari Kirby Bauer (1966). Dengan pipet Ependorf diambil 20.t1 cairan obat tersebut di atas dan diteteskan ke dalam paper disk ukuran diameter 6 mm produksi BBL. Selanjutnya paper disk ini diletakkan di atas perbenihan Muller Hinton Agar yang telah berisi kuman bahan penguji yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perbenihan Muller Hinton Agar diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.

Interpretasi hasil pengujian dapat dilihat dari dua altematif. Pertama ialah apabila di sekitar paper disk terdapat zona (daerah) bening tanpa pertumbuhan bakteri; hal ini dinyatakan positif, berarti obat tradisional yang diuji mempunyai daya antimikroba. Alternatif ke dua ialah apabi la di sekitar paper disk tidak terdapat zona bening yang bebas dari pertumbuhan bakteri; dinyatakan negatif yang berarti obat tradisional yang diuji tersebut tidak mempunyai daya antimikroba.

Sebagai kontrol digunakan paper disk yang mengandung antibiotik tetrasiklin dengan konsentrasi 10 pg/ml. HASIL

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai daya antimikroba dari keempat jenis tumbuhan obat tradisional anti diare yang diuji. Seperti terlihat pada tabel 1, sari umbi rumput teki, sari kulit buah manggis dan sari daun sawi tanah menunjukkan hasil negatif yang berarti tidak mempunyai daya antimikroba terhadap ketiga jenis bakteri yang diuji yaitu V. cholera, Salmonella dan Escherichia coli. Sari daun jambu biji ternyata menunjukkan hasil positif, tapi terlihat hanya terhadap bakteri V. cholera saja, sedangkan terhadap bakteri Salmonella dan E. coli menunjukkan hasil negatif. Tabel 1. Zona (daerah) bebas bakterl yang timbul pada pengujlan 4

macam obat tradisonal anti diare dengan disk difnsion method terhadap 3 jenis bakterl yaitu V. cholera, Salmonella dan E. coli.

Jenis bakterl, zoos (+/–) Jenis obat Konsentrasi

E. coil V. chokna Salmonella

Sawi tanah Jambu biji Rumput teki Kulit bush manggis Tetrasiklin Khloramfenikol

0,15 gr/ml 0,15 gr/m5 0,15 gr/ml 0,15 gr/ml

10 µ. gr/ml 10 µ. gr/ml

– – – –

+ +

– + – –

+ +

– – – –

+ +

Keterangan : + = timbul zona bebas bakteri

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 46

Page 48: Cdk 076 Kulit (II)

Konsentrasi laruran sari daun jambu biji berpengaruh ter-hadap zona bebas bakteri yang ditimbulkan. Dalam label 2 terlihat bahwa zona bebas bakteri laruran sari daun jambu biji dengan konsentrasi yang lebih tinggi mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Tabel 2. Besarnya zona bebas bakteri yang ditimbulkan pada pengujian

sari daun jambu biji dengan cara disk diffusion method terhadap bakteri V. cholera untuk berbagai ti ngkat konsentrasi obat dalam bahan pelarut air.

Diameter zona (mm) Konsentrasi sari daun jambu biji

(g /ml) 1 2 Rata-rata

0,15 g/ml 0,22 g/ml 0,28 g/ml 0,37 g/ml 0,50 g /ml

7,5 9,0

11,0 12,5 13,5

7,0 10,0 10,5 12,0 13,5

7,25 9,50

10,75 12,25 13,50

Jenis bahan pelarut diketahui juga berpengaruh terhadap

ukuran diameter zona bebas bakteri yang ditimbulkan. Di sini terlihat bahwa pada bahan pelarut air bebas mineral, diameter zona bebas bakteri yang ditimbulkan lebih besar daripada diameter zona bebas bakteri dengan bahan pelarut alkohol 50% (tabel 3).

Tabel 3. Perbandingan besarnya diameter zona bebas bakteri dart bahan

pelarut air dan alkohol 50% pada pengujian sari daun jambu biji terhadap bakteri V. cholera dengan metode disk di/fusion.

Diameter zona (mm) Bahan pelarut konsentrasi 1 2 Rata-rata

Alkohol 50% (0,15 g /ml) Air bebas mineral (0,15 g hnl)

7,5

8,0

7,0

8,0

7,25

8,00

Besarnya daya antimikroba sari daun jambu biji pada kon-

sentrasi 0,50 g/ml dalam pengujian ini tidak jauh berbeda dengan besarnya daya antimikroba antibiotik tetrasiklin pada konsentrasi 10 µg/ml (tabel 4). Tabel 4. Diameter zona bebas bakteri sari daun jambu biji dibandingkan

dengan diameter zona bebas bakteri antibiotik tetrasiklin dan khloramtenikol terhadap kuman V. cholera.

Janis obat Konsentrasi Diameter zona (mm )

Sari daun jambu biji Tetrasiklin Khloramfenikol

0,50 g /ml 10 µg/ml 30 µg/ml

13,5 14,0 22,0

PEMBAHASAN

Dalam fungsinya sebagai obat tradisional antidiare, sari daun jambu biji ternyata mempunyai khasiat sebagai anti mikroba

sebagaimana terlihat dalam pengujian ini. Dari tiga jenis kuman yang diuji dalam penelitian ini yaitu V. cholera, Salmonella dan E. coli, terlihat bahwa sari daun jambu biji mempunyai daya anti mikroba hanya atas bakteri V. cholera saja, sedangkan terhadap Salmonella dan E. Coll tidak.

Informasi ini setidak-tidaknya mempunyai arti yang cukup penting bagi pakar farmakologi terutama dalam hubungannya dengan upaya pengembangan obat-obat tradisional. Di dalam sari daun jambu biji diketahui terkandung bahan-bahan kimia yang disebut Avikularin dan Guaijiverin. Bahan-bahan kimia inilah gang mungkin berperan sebaga anti mikroba terhadap V. cholera. Mengapa sari daun jambu biji ini hanya bersifat anti mikroba terhadap V. cholera saja, sedangkan terhadap kuman yang lain seperti Salmonella dan E. coli tidak, perlu diteliti lebih mendalam baik dari segi farmakologis maupun bakteriologis. Kerjasama antara ahli-ahli farmasi dan ahli-ahli mikrobiologi akan sangat bermanfaat.

Sari umbi rumput teki, sari daun sawi tanah dan sari kulit manggis tidak menunjukkan daya anti mikroba terhadap V. cho-lera, Salmonella dan E. coli. Terhadap ketiga jenis obat ini perlu dilakukan pengujian dengan jenis-jenis bakteri lain mengingat penyebab diare dari segi mikrobiologis terdiri dari banyak jenis bakteri. Alternatif lain ialah bahwa obat-obat tradisional ini tidak berkhāsiat sebagai antibakteri, tetapi mungkin berkhasiat suportif, absorben atau sebagai astringen. Seperti diketahui, buah manggis mengandung zat samak, vitamin B dan C serta bahanbahan kimia lainnya. Zat samak adalah senyawa kimia yang berupa polihidroksi asam benzoat yang biasanya larut dalam air dan punya daya astringen. Sari daun sawi tanah diketahui mengandung vitamin A, C dan D serta garam-garam mineral. Dalam fungsinya sebagai obat diare, mungkin bersifat suportif, yakni mengganti cairan/elektrolit tubuh yang hilang akibat adanya proses dehidrasi. Sari umbi rumput teki banyak mengandung minyak menguap dan asam stearat, bahan-bahan kimia ini cenderung berkhasiat spasmolitik, yakni mencegah stimulasi keluarnya carian tubuh dari usus halus.

Obat-obat tradisional biasanya diberikan kepada penderita dengan jalan menyeduhnya dengan air; hal ini sangat membantu karena penderita diare sering buang-buang air dan dapat menyebabkan kekurangan cairan dan terganggunya keseimbangan elektrolit tubuh.

Apakah obat-obat tradisional anti diare ini berkhasiat pula untuk mengurangi lamanya diare pada penderita, masih hams diteliti lebih lanjut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara laboratoris dalam penelitian ini sari daun jambu biji sebagai obat tradisional anti diare berkhasiat anti mikroba yakni berperan sebagai bakterisid terhadap kuman Vibrio cholera, sedangkan terhadap kuman Salmonella dan Eschericia coil tidak berkhasiat sebagai anti bakteri.

Sari kulit buah manggis, sari umbi rumput teki dan sari daun sawi tanah tidak menunjukkan tanda-tanda berkhasiat sebagai anti bakteri terhadap ketiga jenis kuman tersebut di atas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 47

Page 49: Cdk 076 Kulit (II)

Disarankan untuk melalukan penelitian secara lebih men-dalam terhadap obat-obat tradisional anti diare baik dalam pe-ranannya sebagai anti bakteri, terhadap etiologi milcrobiologis dalam spektrum yang lebih luas, maupun penelitian-penelitian yang bersifat klinis.

KEPUSTAKAAN

1. Anonymous, Malaria Medika Jilid L Departemen Keschatan RI, 1977.

2. Budiarso RL Laporan Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980. Punt Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Ke-sehatan Departemen Kesehatan RI, 1980.

3. Winardi B. Penanganan Kruus di Lapangan. Lokakarya Intervensi Diare Dengan Obat. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Penberantasan Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RI, 1982.

4. Tampubolon O. Tumbuhan Obit. Jakarta : Fr. Bhatara Karya Alt:ara,1981. 5. WHO LAB/19.3. Guidelines For Antimicrobial Susceptibility Testing

Page 50: Cdk 076 Kulit (II)

Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di

Indonesia

Sekar Tuti Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta PENDAHULUAN

Ada beberapa teori mengenai terjadinya resistensi pada Plasmodium falciparum (P. falciparum). Yang pertama adalah bahwa dalam tubuh parasit ada gen yang resisten dan yang sensitif terhadap obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi/ lebih dominan daripada gen yang lain, sehingga menimbulkan adariya' strain yang resisten dan strain yang sensitif. Teori kedua mengatakan bahwa mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten (tidak peka) terhadap suatu obat dengan dosis atau aktifitas tertentul.

Strain P. falciparum yang resisten terhadap kina pertama kali dilaporkan pada awal abad ini di Brazil. Selanjutnya kasus-kasus yang resisten ini juga ditemukan di beberapa negara lain, sampai penggunaan obat ini secara luas digantikan oleh obat-obat sintetis. Pada saat mepakrin digunakan, juga dilaporkan adanya resistensi terhadap obat ini di Papua New Guinea. Resistensi terhadap golongan dihidrofolat reduktase (misalnya: pirimetamin) cepat terjadi setelah obat tersebut digunakan secara massal dan terus-menerus. Awal tahun 1960 dilaporkan timbulnya resistensi terhadap klorokuin di Columbia dan Thailand, sejak saat itu menyebar ke negara-negara Amerika Selatan dan Asia yang lain. Dari daerah perbatasan Thailand dan Kamboja juga, pada tahun 1967 untuk pertama kali dilaporkan timbulnya resistensi terhadap kombinasi sulfa-doksin-pirimetamin2. Adanya resistensi/turunnya sensitifitas terhadap meflokuin dilaporkan dari negara yang sama sekitar tahun 1980, juga dari negara-negara Asia yang lain termasuk Indonesia, meskipun obat tersebut belum dipakai dalam program pemberantasan3,4

Keadaan ini timbul sebagai hasil interaksi antara tingginya angka penularan dengan pengobatan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang lama (drug pressure), sehingga terjadi seleksi atau mutasi gen pada parasit tersebut.

Resistensi terhadap klorokuin diduga ditemukan untuk pertama kali di daerah di mana ada P. falciparum yang secara genetis dapat menghasilkan strain yang resisten, penyebaran selanjutnya mungkin disebabkan oleh adanya kasus-kasus impor. Seperti telah diketahui, yang dimaksud dengan resis

tensi P. falciparum terhadap obat adalah kemampuan parasit tersebut untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang-biak dan menimbulkan gejala penyakit, meskipun telah diberi-kan pengobatan secara teratur, baik dengan dosis standar mau-pun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakainyd3 .

Penentuan resisten atau tidaknya P. falciparum dapat di-lakukan dengan cara in-di"vo dan in-vitro (mikro/makro)-. Cara in-vivo dapat menunjukkan derajat atau tingkat resistensi parasit yang dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (Resis-tensi derajat 1), Rll dan RIII. Sedangkan cara in-vitro hasilnya dinyatakan sebagai sensitif atau resisten saja, tanpa adanya penjenjangan tingkat. Keuntungan penggunaan cara ini antara lain adalah beberapa jenis obat dapat dites pada saat ber-samaans .

Beberapa penelitian pada vektor .lokal di Asia Tenggara menunjukkan bahwa vektor dapat menyebarkan strain parasit yang resisten terhadap klorokuin lebih cepat daripada strain yang sensitif2. Oleh karena keadaan ini, telah dilakukan usaha untuk memantau sensitivitas P. falciparum terhadap beberapa obat yang telah, sedang maupun akan dipakai dalam program pemberantasan di Indonesia, 'mengingat masalah resistensi P. falciparum terhadap obat anti malaria di Indonesia mulai meningkat pula. RESISTENSI P. FALCIPARUM TERHADAP KLOROKUIN DAN AMODIAKUIN.

Klorokuin dan amodiakuin adalah derivat dari 4-amino-kuinolin, yang mempunyai kemampuan untuk menghalangi sintesa enzim pada parasit dalam pembentukan DNA dan RNA. Obat ini bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu. Klorokuin sendiri adalah obat anti malaria yang paling umum dipakai sebagai pencegahan maupun pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap stadium aseksual dari keempat spesies malaria, kecuali di daerah dengan strain yang resister5.

Di Indonesia, menurunnya sensitivitas P. falciparum ter-hadap klorokuin telah dilaporkan pada tahun 1950–1951 dan kemudian pada tahun 1961. Akan tetapi baru pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 49

Page 51: Cdk 076 Kulit (II)

tahun 1973 ditemukan 1 kasus di Jawa Tengah (kasus impor dari Kalimantan Timur) yang resisten terhadap dosis standar7. Penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Me-nular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (IiitJen P2M& PLP) dengan bantuan WHO menemukan bahwa 26 dari 27 propinsi mempunyai fokus-fokus yang resisten terhadap klorokuin dengan derajat dan distribusi yang bervariasi.

Secara keseluruhan situasinya dapat digambarkan sebagai berikut (tabel 1).

Tabel 1. Propinsi-propinsi di man resistensi P. falciparum terhadap klorokuin ditemukan secara in-vivo dan in-vitro pada tahun 1981 - 1988.

No. Propinsi Tes in–vivo (derajat resistensi) Tea in–vitro

1. Jawa Barat RI R2. D.K.I. Jakarta RIII R3. Jawa Tengah RI, RII, Rill R4. Jawa Timur – R5. Bali – R

(kasus impor) 6. Nusa Tenggara Barat RI, RII, RIII R7. Nusa Tenggara Timur RII R8. Irian Jaya RI, RII, RII! R9. Maluku – R

10. Sulawesi Utara RI, RII, RIII R11. Sulawesi Tengah RI, Rlti R12. Sulawesi Tenggara – R13. Sulawesi Selatan RI, RII, RIII R14. Kalimantan Timur RI, RII R15. Kalimantan Tengah – R16. Kalimantan Selatan – R17. Kalimantan Barat – R18. Lampung RI, RIi, RIII R19. Sumatera Selatan RI –20. Bengkulu RI, RII, RIII R21. Riau – R22. Jambi RI, RIII R23. Sumatera Barat RI R24. Sumatera Utara RI, RII, RHI R25. D.I. Aceh RII, RIII R26. Timor Timur RI, RH, RIII R

Dengan tes in-vivo atau in-vitro resistensi terhadap klorokuin ditemukan hampir di semua propinsi di Indonesia, kecuali DI Yogyakarta. Pada umumnya secara in-vivo RI dan RII lebih menonjol, kecuali di Indonesia bagian Timur lebih sering ditemukan RIII8 . Empat propinsi merupakan fokus utama dengan resistensi tersebar luas yaitu propinsi Kalimantan Timur, Irian Jaya, Timor Timur dan Jawa Tengah9.

Beberapa ahli berpendapat bahwa cepatnya penularan/ penyebaran P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin di daerah dimana ditemukan Anopheles balabacensis (A. bala-bacensis) bukanlah merupakan suatu kebetulan; akan tetapi karena keunggulan spesies ini sebagai vektor malaria, antara lain yaitu mempunyai umur panjang (longevity), bersifat menggigit manusia (anthropophilism) dan hidup di luar rumah (exophily), sehingga dapat bertahan sebagai vektor potensial meskipun telah dilakukan penyemprotan/residual spraying° Di Indonesia, di beberapa daerah dengan resistensi terhadap klorokuin, nyamuk ini juga berperan sebagai salah satu vektor-nya, di samping spesies lain seperti A. maculatus, A. aconitus, A. urnbrosus dan lain-lain. Jadi tidak hanya daerah dengan vektor A. balabacensis saja yang mempunyai P. falciparum yang resisten, tetapi juga daerah-daerah dengan jenis vektor lain yang dapat menimbulkan tingkat penularan yang tinggi.

Meskipun resistensi terhadap klorokuin sudah tersebar

luas, klorokuin masih tetap bermanfaat bagi program pem-berantasan di mana P. falciparum telah resisters, oleh karena masih dapat mencegah kematian dan mengurangi penderitaan. Hal ini sejalan dengan penemuan Hoffman dkk. di Flores berupa resistensi secara in-vivo maupun in-vitro terhadap klorokuin; selama setahun tidak seorangpun penderita P. fal-ciparum yang diobati dengan obat ini meninggal11,12

Tes resistensi yang telah dilakukan oleh Dit Jen P2M&PLP dan Hoffman dkk. terhadap amodiakuin hanya secara in-vitro di Irian Jaya dan Sulawesi Selatans,l3. Dilaporkan bahwa dengan dosis yang sama, amodiakuin lebih efektif daripada klorokuin untuk pengobatan, kecuali untuk beberapa strain Pilipina yang telah resisten terhadap amodiakuin. Pada umum-nya P. falciparum yang resisten terhadap amodiakuin juga resisten terhadap klorokuin tetapi dengan derajat resistensi yang berbedas . Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa kedua obat ini termasuk dalam grup yang sama yaitu 4-amino-kuinolin. Hasil tes in-vitro di Irian Jaya dan Sulawesi Selatan menunjukkan adanya resistensi silang antara amodiakuin dan klorokuin8,13. SENSITIFITAS P.FALCIPARUM TERHADAP FANSIDAR® (KOMBINASI SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN).

Penelitian telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pe-ngembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) bekerja-sama dengan Dit Jen P2M&PLP di delapan propinsi.

Secara in-vivo Penelitian ini menemukan bahwa efektifitas Fansidar® masih cukup baik, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sistim pertahanan tubuh (imunitas) yang ikut berperan dalam membunuh parasit. Hanya di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah ditemukan 12 kasus, Lampung dan Sulawesi Selatan masing-masing 1 kasus yang sensitifitasnya rendah terhadap obat ini14

Secara in-vitro (modifikasi Nguyen Dinh) ditemukan kasus-kasus yang sensitifitasnya rendah terhadap kombinasi sulfadoksin-pirimetamin di semua daerah yang diteliti, seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 2 : Lokasi di mana sensitifitas P. falciparum terhadap Fansidar

rendah secara in-vivo dan terhadap kombinasi sulfadoksin-pirimetamin secant in-vitro pada tahun 1983 - 1988.

No. Lokasi Tea in–vivo Tea in–vitro

1. Jawa Tengah R R (Kato. Batang & Wonosobo) (12)+

2. Lampung R R (1)++

3. Riau (P. Singkep)

R

4. Sumatra Mara (P. Nias)

R

5. D.I. Aceh (Kodya Sabang)

R

6. Sulawesi.Selatan R R (Kab. Mamuju) (1)

7. Nusa Tenggara Timur • (P. Flores)

R

8. Timor Timur – R Keterangan: + = Jumlah kasus yang diketemukan. ++ = Hilangnya parasitemia baru terjadi pada hari ke-5 (7).

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 50

Page 52: Cdk 076 Kulit (II)

Tabel 3 : Lokasi di mana sensitifitas P. falciparum terhadap pirimetamin diketemukan rendah secara in-vivo dan in-vitro pada tahun 1983 – 1985.

No; Lokasi Tes in-vivo (derajat resistensi) Tes in-vitro

1. Jawa Tengah (Kab. Wonosobo)

RI, RII, RIII

R

2. Lampung RI R 3. Riau – R

4. Sumatra Utara (P. Nias)

RI

R

5. D.I. Aceh – R 6. Sulawesi Selatan – R 7. Nusa Tenggara Timur – R

Efek kombinasi sulfadoksin-pirametamin adalah saling memperkuat (sinergisme). Sulfadoksin mempunyai sifat com-petitive inhibition dapat bersaing dengan PABA (para amino benzoic acid) sehingga pembentukan asam folat yang dibutuh-kan dalam proses pembentukan inti sel dan sitoplasma terha-lang; sedangkan pirimetamin menghalangi kerja enzim dihidro-folat reduktase sehingga tidak terbentuk asam folinatO. Oleh karena kedua obat yang mempunyai sasaran berlainan tersebut bekerja secara sinergis, maka diduga bahwa bila sensitifitas terhadap salah satu komponennya rendah, efektifitas obat tersebut akan berkurang. Sulfonamida telah banyak dipakai untuk pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, sehingga kemungkinan telah adanya resistensi terhadap obat ini mempengaruhi efektifitas kombinasi obat tersebut dengan pirimetamin. Demikian pula di daerah dimana pirimetamin pernah digunakan dalam program pemberantasan malaria dalam jangka waktu yang cukup lama, efektifitas kombinasi obat ini juga rendah(4). SENSITIFITAS P. FALCIPARUM TERHADAP PIRIME-TAMIN

Sensitifitas P. falciparum terhadap pirimetamin telah di-teliti oleh tim dan pada waktu yang sama dengan penelitian sensitifitas terhadap Fansidar, kecuali propinsi Timor Timur (tidak dilakukan). Dari tes in-vivo ditemukan beberapa kasus yang sensitifitasnya rendah yaitu di Lampung, Jawa Tengah dan P. Nias (Sumatra Utara) dengan derajat resistensi yang bervariasi antara RI dan RIII. Secara in-vitro (modifikasi Nguyen Dinh) ditemukan bahwa kasus yang sensitifitasnya rendah cukup tinggi – 60% dari jumlah kasus yang diperiksa.

Ternyata ada hubungan antara rendahnya sensitifitas ter-hadap pirimetamin dengan terhadap kombinasi obat tersebut dengan sulfadoksina4).

Kasus yang sensitifitasnya rendah ditemukan di semua daerah yang diteliti, hal ini mungkin disebabkan oleh pemakai-an pirimetamin pada waktu yang lalu, sehingga kemungkinan timbulnya resistensi terhadap obat ini dapat dipahami. Pirimetamin lebih bersifat sebagai obat plasmostatik dari pada plasmosidal, sehingga sistim pertahanan tubuh (imunitas) mempunyai peran yang besar sekali dalam menghancurkan parasit yang sudah terhenti pertumbuhannya oleh obat ter-sebut(5).

RESISTENSI P. FALCIPARUM TERHADAP KINA Sembilan propinsi telah di tes resistensinya terhadap kina

secara in-vitro yaitu Irian Jaya, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan,

Riau, Sulawesi Selatan dan Timor Timur oleh Ditjen P2M& PLP serta Hoffman dkk. sekitar tahun 1983–1988. Ditemukan kasus-kasus yang resisten di 4 propinsi yaitu Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat0 , hal ini mungkin terjadi oleh karena kina memang telah dipakai se-lama bertahun-tahun terutama di Jaws dan Irian Jaya.

Kina adalah obat malaria yang dikenal pertama kali. Obat ini dapat membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahannya menjadi RNA akan tercegah. Selain itu kina juga dapat menekan beberapa sistim enzim sehingga digolongkan sebagai racun protoplasma yang bersifat umume, sangat efektif sebagai sizontosida darah pada semua spesies malaria manusia(5).

Seperti telah diketahui, kina mempunyai efek samping yang kadang-kadang cukup mengganggu, dan pemberiannya kiirang praktis yaitu 3 kali sehari selama satu minggu, sehingga penderita sering menolak untuk meneruskan pengobatan.

Di Indonesia kina sudah lama dipakai, sampai kemudian diperkenalkan derivat 4-aminokuinolin (klorokuin dan amodia-kuin) yang kurang toksisitasnya dan lebih mudah cara pem-beriannya. Akan tetapi dengan timbulnya masalah P. falcipa-rum yang multi resisten (resisten terhadap lebih dari satu macam obat misalnya klorokuin dan Fansidar®), dan belum adanya obat alternatif yang barn di Indonesia, pemakaian kombinasi kina dan tetrasiklin telah dianjurkan oleh WHO untuk mengatasi masalah tersebut(15). Di samping itu, kina juga merupakan obat pilihan untuk mengatasi serangan malaria yang berat, misalnya malaria serebral. RESISTENSI P. FALCIPARUM TERHADAP MEFLOKUIN

Dalam rangka persiapan kemungkinan pemakaiannya, telah diteliti sensitifitasnya secara in-vitro maupun in-vivo pada tahun 1983 – 1988. Tujuh belas propinsi telah diteliti, di-dapatkan bahwa secara in-vitro resistensi ditemukan di 3 pro-pinsi yaitu Irian Jaya, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 5, 1 dan 2 kasus(3,6,13,16).

Satu kasus di Irian Jaya yang di tes terhadap 4 macam obat secara bersama-sama (klorokuin, amodiakuin, meflokuin dan kina), menunjukkan bahwa kasus ini resisten terhadap meflo-kuin dan kina, tetapi sensitif terhadap klorokuin dan amodia-kuinaa). Hal ini memperkuat dugaan mengenai adanya resis-tensi silang antara meflokuin dan kina(5,17). Oleh karena meski-pun meflokuin belum pernah dipakai di Indonesia, namun kina seperti yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu struktur kimianya mirip dengan meflokuin telah lama dipakai terutama di Jawa dan Irian Jaya.

Seberapa ahli berpendapat bahwa resistensi terhadap meflokuin akan lebih cepat timbul di daerah dengan sensitivitas P. falciparum terhadap kina rendah seperti di Thailand dan Burmaa'r). Sedangkan terjadinya resistensi silang antara meflokuin dan klorokuin hanya mungkin terjadi pada tingkat yang terbatas. Hal ini berhubungan dengan prinsip alamiah fungsi dari dinding sei darah merah sebagai pintu gerbang untuk keluar-masuknya obat, di mana untuk 4-aminokuinolin lebih terbatas dibandingkan yang tersedia untuk meflokuin, sehingga meflokuin bisa masuk ke dalam sel darah merah dan membunuh parasit yang resisten terhadap klorokuinae). Secara in-vivo ditemukan 2 orang penderita yang resisten (RII dan RIII) terhadap kombinasi meflokuin dengan sulfadoksin-

Page 53: Cdk 076 Kulit (II)

pirimetamin di Jayapura, Irian Jaya. Akan tetapi secara in-vitro kedua penderita ini sensitif terhadap meflokuinaD. Sedangkan di Kalimantan Timur dan DI Aceh secara in-vivo meflokuin efektif terhadap P. faiciparum di kedua daerah tersebut(16).

Beberapa negara tetangga juga mendapatkan hasil yang kurang-lebih sama pada penggunaan meflokuin sendiri di bandingkan dengan kombinasinya dengan sulfadoksin-piri-metamin. Oleh karena itu masih dipertimbangkan penggunaan kombinasi meflokuin dengan Fansidar®, atau meflokuin saja untuk menanggulangi kasus yang multi resisten. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa efek samping Fansimef (kombinasi Fansidar dengan meflokuin) lebih berat, sedangkan efektifitasnya kurang-lebih sama dengan pemakaian meflokuin saja. Masalah ini sedang diteliti di Thailanda(19).

Mengingat bahwa sampai saat ini belum ada obat alternatif lain untuk mengatasi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan/atau Fansidar (multi resisten), sebaiknya di-mantapkan kembali pemakaian kina atau kombinasi kina dengan tetrasiklin seperti yang telah dianjurkan WHO/Dit Jen P2M&PLP, dan dijajagi kemungkinan penggunaan obat tradisional.

KEPUSTAKAAN

1. Clyde D1. Mechanisms of drug resistance in malaria. Meeting of Principal Investigators of Regional Collaborative Studies on Drug Resistant Malaria. Jakarta, Indonesia 2 – 6 May 1983.

2. Wernsdorfer WH, Kouznetson RL. Drug resistant malaria : occurence, control and surveillance. Bull WHO 1980; 58 (3): 341–52.

3. Hoffman SL, Anthony J, Campbell JR et al. RII and RIII type resistance of Plasmodium falciparum to combination of mefloquine and sulfadoxine/pyrimethamine in Indonesia. Lancet, Nov 9, 1985.

4. Brockelman CR, Mongkolkeha S, Tan-Ariya P. Decrease in susceptibility of P. falciparum to mefloquine in continuous culture. Bull WHO 1981; 59:249.

5. Bruce-Chwatt LJ, Black RH, Canfield CJ et al. Chemotherapy of malaria. 2nd ed. WHO Geneva, 1981.

6. Ditjen P2M&PLP, Depkes. RI. Pengobatan malaria. 1983. 7. Verdrager J,'Arwati. Resistant P. falciparum infection from Samarinda,

8. Kalimantan. Bull Hlth Stud Indon 1974; 11 :43. 9. Ditjen P2M&PLP, Depkes RI. Unpublished data th. 1973 – 1988. 10. Rai NK. Review of status of drug resistance in P. falciparum in Indonesia.

Report of an Intercountry Meeting, New Delhi 13 – 15 May 1985. 11. Verdrager J. Epidemiology of emergence and spread of drug resistant

falciparum malaria in Southeast Asia. Southeast Asian J Trop Med Pub H1th 1986; 17:1 (March).

12. Rai NK. Masalah P. falciparum yang resisten klorokuin di Indonesia. Kumpulan Naskah Lengkap Simposium dan Diskusi Panel Malaria. Semarang, 9 Mei 1985.

13. Hoffman SL, Masbar S, Hussein PR. Absence of mortality in villagers with chloroquine-resistant Plasmadium falciparum treated with chloroquine. Trans Roy Soci Trop Med Hyg 1984, 78.175-8.

14. Hoffman S1, Harun S, Anthony J, Marwoto A Harijani. In-vitro studies of Plasmodium falciparum to mefloquine in Indonesia. Panel diskusi Seminar Parasitologi Nasional dan Kongres Ke-2 P4I, Bandung, Agustus 1983.

15. Marwoto A Harijani. Penelitian resistensi P. falciparum terhadap Fansidar di Indonesia. Kumpulan Hasil Penelitian Bio Medis, No. 5, Ed. I, th. 1984–1985.

16. Harinasuta T. Malaria with special reference to drug resistance and chemotherapy. Special lecture. Proc 12th SEAMIC Workshop: Problem of malaria in the Seamic Countries. Bangkok, Thailand 20 – 24 August 1984.

17. Sekar Tuti. Penelitian resistensi P. falciparum terhadap meflokuin di beberapa daerah perbatasan. Laporan akhir penelitian Badan Litbangkes. th. 1986–1987.

18. Myint Lwin, Min Zaw. In-vitro sensitivity of P. falciparum isolates from Burma to chloroquine, quinine and mefloquine. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1985; 16:3 (September).

19. Clyde DF. Theoretical constraint to cross-resistance between chloroquine and mefloquine. Meeting of Principal Investigators of the Regional Collaborative Studies on Drug Resistant Malaria. Jakarta, Indonesia, 2 – 6 May 1983.

20. Khronthong T. Personal Communication. Malaria Division, Bangkok, Thailand 1989.

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima-kasih kami tujukan kepada dr. Arbani, Kepala Sub Direktorat Malaria, Ditjen P2M&PLP atas segala data dan keterangan yang telah diberikan sehingga makalah ini dapat disusun, /uga kepada Dra. Harijani A.M. atas segala petunjuknya dalam menyusun makalah ini. Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada dr. Suriadi Gunawan, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang. Kesehatan atas kesempatan yang diberlkan sehingga makalah ini dapat terwujud.

For we brought nothing into the world, it is certain we can

Carry nothing out

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 52

Page 54: Cdk 076 Kulit (II)

Basil Tahan Asam dan Limfadenitis Tuberkulosis

M isnadiarly Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI., Jakarta

PENDAHULUAN

Kelenjar getah bening merupakan organ kecil terletak ber-deret-deret sepanjang pembuluh limfe. Jaringan parenkimnya merupakan kumpulan jaringan limfoid yang dapat mengenal antigen yang masuk ke dalam nodus dan membenkan reaksi imunologik secara spesifik. Dinding pembuluh limfe yang tipis mudah ditembus oleh makromolekul dan sel-sel yang berkelana dad jaringanpengikat. Di samping itu bakteri dengan mudah dapat melintasi epidermis dan epitel membran mukosa. Apabila mereka luput dari pengrusakan oleh fagosit dalam darah, maka bakteri akan berproliferāsi dan menghasilkan toksin yang mudah masuk ke dalam pembuluh limfel .

Kelenjar getah bening yang terdapat sepanjang pembuluh limfe akan mencegah pengaruh merugikan dari bakteri tersebut. Kelanjar getah bening bertindak sebagai saringan terhadap cairan limfe yang masuk. Dalam fungsinya itu ia sering terlibat secara tak langsung dalam suatu penyakit infeksi, termasuk infeksi oleh kuman tbc pada kelenjar getah bening yang disebut limfadenitis tbcr .

Limfadenitis tuberkulosa merupakan salah satu penyebab pembesaran kelenjar getah bening yang paling sering ditemu-kan dan banyak mengenai kelanjar daerah leher. Penampang kelenjar mula-mula tampak berwarna abu-abu dan jernih, ke-mudian pada stadium yang lebih lanjut berwarna kuning karena terjadi perkijuan2.

Tulisan ini akan membahas Hasil Tahan Asam (BTA), masuknya kuman BTA sampai ke kelenjar getah bening, lokasi BTA di dalam jaringan kelenjar getah bening yang terinfeksi, pengaruhnya terhadap struktur jaringan. BAHAN DAN CARA

Kelenjar-kelenjar getah bening hasil biopsi atau operasi dari penderita tersangka limfadenitis tbc yang dikirim ke bagian Patologi Anatomi F.K UNPAD, R.S. Hasan Sadikin Bandung, diproses untuk mendapatkan sediaan mikroskopis histopatologis permanenr . Pemrosesan jaringan secara metoda

Parafin yang lazim dilakukan di Lab. PA RSHS Bandung, penyayatan dengan mikrotom putar dengan tebal sayatan 4 – 5 mikron. Sayatan diambil dan ditempel pada kaca objek setiap jarak 50 mikron (10 sayatan), diambil 3 – 6 sayatan masing-masing 1 – 2 sayatan untuk tiap pewarnaan Hematoxylin eosin = HE, Carbol – fuchsin – methylene blue = pewarna Hasil Tahan Asam dan pewarnaan Retikulin. Penempelan sayatan parafin pada kaca objek dilakukan dengan larutan albumin (putih telur), dilakukan di atas plat pemanas untuk mengembangkan sayatan. Sebagai kontrol (+) BTA diambil jaringan paru, dan sebagai kontrol (–) BTA adalah jaringan limfoma malignum. HASIL

Dengan pewarnaan HE, pada limfadenitis tbc stadium awal tampak tuberkel yang terdiri dari anyaman sel epitelium dan di sebelah luarnya sel radang limfosit. Tuberkel berisi pula sel-sel eosinofil yang sebagian rnasih baik dan sebagian sudah menunjukkan nekrosis ringan yang masih terbatas pada taraf perusakan inti, sedangkan bagian-bagian sel lainnya – dinding sel dan sitoplasma masih baik. Di dalam tuberkel dapat di-temukan beberapa buah sel datia jenis Langhans, dengan sitoplasma merah dan berinti banyak. Struktur folikel kelenjar getah bening masih jelas, sel limfoid masih banyak mengisi ke-lenjar getah bening, tidak tampak nekrosis yang luas.

Pada limfadenitis tuberkulosa kaseosa, folikel sudah sangat jarang tampak karena terdesak ke tepi oleh tuberkel yang telah semakin meluas. Tuberkel bersatu membentuk tuberkel konglomerat dengan sarang perkijuan. Daerah nekrosis ter-sebut tampak sangat amorf (tak berbentuk), dan kurang mengikat zat warna. Sel datia tampak dalam tuberkel ber-warnamerah dengan inti berwarna ungu, pipih lonjong, bulat dan berjumlah banyak. Pada stadium yang lebih lanjut lagi, hampir seluruh daerah kelenjar getah bening telah diisi oleh tuberkel, dan sarang perkijuan tampak telah berlubang. Jaring-an limfoid yang masih tinggal sangat sedikit dan hanya tampak

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 53

Page 55: Cdk 076 Kulit (II)

pada tepi-tepi kelenjar di bawah kapsula kelenjar getah bening tersebut.

Dengan pewarnaan carbol fuchsin methylene blue, tampak hasil tuberkulosis (BTA) berwarna merah berkelompok be-berapa buah, sehingga tampak terang, ditemukan pada jaringan nekrotik paru. Hasil pewarnaan cara ini terhadap sediaan, dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Bakteri tersebut berwarna merah terang, tampak kontras dengan inti sel yang berwarna biru, berukuran 4-5 mikron dan berlokasi dalam sel datia, pada tepi jaringan nekrotik, dan di antara sel epiteloid, umumnya ditemukan dalam sel datia. Bakteri tersebut ada yang mengelompok, ada yang terpisah, sehingga tampak jelas sekali merah berbentuk batang dalam sel datia yang bersitoplasma merah - ungu muda (violet). Dari pemeriksaan 300 sediaan dari 30 kasus, limfadenitis tbc kaseosa tidak ada satupun yang (+) BTA/hasil' tbc. Pemeriksaan jaringan limfoma malignum sebagai kontrol BTA (-) juga tidak menemukan BTA.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan jaringan tuberkulosa paru - Pewarnaan Carbol Fuchsin - Methylene Blue.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

– – – – – – – – – –

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

– – – – – – – – – –

Keterangan: + Ditemukan bakteri tuberkulosa - Tidak ditemukan bakteri tuberkulosa No. umt adalah no sediaan yang random tiap 10 sayatan

Tabel 2a. Hasil pemeriksaan preparat limfadenitis tuberkulosa Pewarnaan Carbon Fuchsin Methylene Blue.

No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. 2. 3. 4. 5.

– – – – +

– – – – +

– – – – +

– – – – +

– – – – –

– – – – +

– – – – +

– – – – +

– – – – –

– – – – –

Keterangan: + Ditemukan bakteri tuberkulosa - Tidak ditemukan bakteri tersebut. Tabel 2b. Hasil pemeriksaan preparat Limfoma Malignum (sebagai

kontrol - BTA) dengan pewarnaan Carbol Fuchsin Methylene blue.

No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. 2. 3. 4. 5.

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

– – – – –

Keterangan: tidak ditemukan BTA Pengamatan jaringan limfadenitis tuberkulosa dengan pe-

warnaan Retikulin dapat memperlihatkan kerusakan/destruksi

jaringan. Serabut retikulin berwarna hitam, menganyam sel yang intinya berwarna merah, sehingga tampak kontras. Selsel retikulum tampak berisi sisa jaringan seluler. Pada jaringan tersebut, terutama pada limfadenitis tuberkulosis kaseosa, daerah tuberkel tampak coklat sampai abu-abu putih, inti sel dan sel telah nekrotik, tampak amorf dan tidak ada serabut retikulin yang utuh. Sel datia tampak masih jelas. Serabut retikulin yang tersusun baik ditemukan pada bagian tepi kelenjar yang merupakan sisa kelenjar getah bening yang masih utuh.

Kerusakan jaringan pada limfadenitis tuberkulosa (tbc) stadium awal, menurut tingkat destruksinya dinyatakan dengan (+), tampak pada 5 sediaan yang diperiksa, tingkat destruksi jaringan limfadenitis tbc bervariasi antara 1+ dan 2+ (Tabel 3a). Sedangkan pada limfadenitis tbc kaseosa, antara 3+, 4+ dan 5+, (Tabel 3b). Tabel 3a. asil pemeriksaan preparat limfadenitis tuberkulosa dengan

pewarnaan Retikulin.

No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. 2. 3. 4. 5.

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

2+ 2+ 2+ 2+ +

Keterangan: 1+ – kerusakan jaringan 10–20% 2+ – kenusakan jaringan 20–40% 3+ – kerusakan jaringan 40–60% 4+ – kerusakan jaringan 60–70% 5+ – kerusakan jaringan di atas 70%, kadang–kadang tampak kaverne. DISKUSI

Pada sediaan mikroskopis pewarnaan HE, limfadenitis tbc tahap awal dapat dibedakan dari limfadenitis tbc kaseosa (tahap lebih lanjut) berdasarkan tuberkel yang masih sedikit, struktur kēlenjar getah bening yang masih jelas, folikel, sel datia Langhans, perusakan sel-sel eosinōfil masih terbatas pada perusakan inti; sedangkan pada limfadenitis tbc kaseosa tuberkel sudah semakin meluas, terdiri dari tuberkel induk, tuberkel satelit yang membentuk tuberkel konglomerat3 .

Limfadenitis tbc adalah suatu bentuk radang khronik yang spesifik. Pada umumnya terdapat proses yang disertai oleh proliferasi berbagai unsur jaringan, terutama jaringan ikat dan elemen selular seperti histiosit dan limfosit. Proses semacam ini merupakan ciri sebagian besar proses yang menahun. Pada proses proliferatif, maka setelah timbulnya reaksi yang pertama, berangsur-angsur terbentuk tuberkel, yang merupakan ciri khas setiap infeksi oleh hasil tbc.

Tuberkel terdiri dari beberapa unsur; unsur pertama adalah sel epiteloid yang berinti lonjong dengan batas sel yang tidak jelas. Sel ini tak ada sangkutpautnya dengan sel epitel, menyerupai jaringan epitel. Unsur ke dua ialah sel datia Langhans, sebuah sel besar dan berinti banyak, kadang-kadang berupuluh-puluh jumlahnya.

Pada individu yang resistensinya rendah, tuberkel akan bertambah besar disertai oleh nekrosis pada bagian tengahnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 54

Page 56: Cdk 076 Kulit (II)

Tabel 3b. Hail pemeriksaan preparat limfadenitis tuberkulosis kaseosa dengan Pewarnaan Retikulin.

No. Paden 1 2 3 4 5 6 7 -

8 9 10

01. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 02. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+03. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+04. 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+05. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+06. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+07. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+08. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ ,09. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+10. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+11. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+12. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+13. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+14. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+15. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+16. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+17. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+18. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+19. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+20. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+21. 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+ 5+22. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3..23. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 24. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+25. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+26. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+27. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+28. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+29. 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ .3+30. 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+

Keterangan: idem no. 3a.

Sarang nekrosis ini lambat laun membesar sesuai dengan pembesaran tuberkel dan seringkali disebut 'sarang perkijuan oleh karena bagian ini dalam warna dan konsistensinya mirip dengan kiju.,

Pada pengamatan pewarnaan HE dari jaringan limfadenitis tbc kaseosa tampak daerah nekrosis yang sangat amorf. Dengan pewarnaan carbol fuchsin methylene blue tidak di-temukan hasil tahan asam (BTA), hasil tbc. Sedangkan pada jaringan tb paru, hasil ini ditemukan pada tepi-tepi jaringan nekrotik. Hasil tbc jarang/tidak tumbuh pada bagian tengah daerah perkijuan/jaringan nekrotik karena daerah ini ke-kurangan oksigen dan makanan yang diperlukan untuk per-tumbuhannya4. Hasil ini dapat ditemukan di antara sel epi-teloid dan kadang-kadang dalam sel datia, dan pada awal infeksi hasil tbc berlokasi dalam makrofag. Sel makrofag pada satu saat pecah dan hasil tersebut ke luar. Dengan demi

kian hasil tbc justru ditemukan pada jaringan limfadenitis tbc stadium awal seperti halnya pada penelitian ini.

Di bawah pengaruh sel makrofag, hasil tbc (M tuberculosis) dapat membelah diri jadi bentuk tahan ,asam (M. tuberculosis), dan bentuk tidak tahan asam (blue stained bacteria). Hal ini mungkin yang menyebabkan tidak ditemukannya hasil tahan asam dalam makrofag jaringan sediaan mikroskopis limfadenitis tbc.

Kuman-kuman tbc dapat berkembang biak dan merusak jaringan kelenjar getah bening setempat, dapat menyebar melalui pembuluh darah balik ke seluruh tubuh (micro-haematogenous spread) dan kemudian bersarang di organ-organ yang disukai seperti bagian puncak paru, korteks ginjal, epifisis tulang, limpa dan hati. Selama daya tahan tubuh masih kuat, otang yang bersangkutan tidak akan jatuh sakit.5

Limfadenitis tbc dapat disebabkan oleh makanan atau minuman dari penderita itu sendiri yang terkontaminasi dengan kuman tbc.

Dengan pewarnaan Retikulin dan pewarnaan HE, kita tidak dapat menemukan kuman tbc ataupun BTA pada umum-nya. Pewarnaan Retikulin dimaksudkan untuk menentukan tingkat destruksi jaringan, khususnya kerusakan serabut retikulin yang menjadi kerangka dasar kelenjar getah bening, sedangkan pewarnaan HE digunakan untuk melihat dengan jelas sitoplasma dan inti sel, sel datia dan struktur tuberkel, dengan kata lain untuk rnelihat secara umum latar belakang tingkat destruksi jaringan dan perubahan struktur jaringan semulal.

KEPUSTAKAAN

1. Misnadiarly. Bakteri tahan asam pada lymphadenitis tuberculosa, laporan kerja praktek (skripsi), Institut Teknologi Bandung, Departethen Biologi, 1978.

2. Sutisna Himawan (ed). Kumpulan Kuliah Patologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 1973.

3. Simposium Penyakit Tuberkulosa di dalam Masyarakat. Edisi khusus Majalah Kedokteran Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, 22-23-24 Pebruari 1968.

4. Davis BD. Microbiology. International Edition. Boston, Massachusetts; Harvard Medical School, 1969. p. 1464.

5. Erwin Peetosutan. Perkembangan alamiah penyakit tuberkulosa paru orang dewasa dalam masyarakat negara berkembang, Pameran Produksi Indonesia (PPI) 1985.

UCAPAN TERIMA KASIH. Terima kasih disampaikan kepada Prof Topo Harsono, dr. Burhanuddin Sabirin dan Dr. Estiti B. Hidajat yang membimbing penelitian dan penulisan naskah ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 55

Page 57: Cdk 076 Kulit (II)

Mekanisme Kerja Antibiotik

Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN

Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu menekan pertumbuhan mikroba lain dan mungkin membinasakan. Ada berpuluh-puluh antibiotik yang berharga untuk terapi penyakit infeksi. Mereka berbeda satu sama lain dalam beberapa hal seperti sifat fisika, kimia, farmakologis, spektrum āntibakteri atau mekanisme kegiatannya.

Berdasarkan toksisitasnya, antibiotik dibagi dalam 2 ke-lompok, yaitu antibiotik dengan aktivitas bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas bakterisid bersifat membinasakan mikroba lain. Antibiotik tertentu aktivitasnyadapat ditingkatkan daribakteriostatik menjadi bakterisid bila konsentrasinya ditingkatkan.

Antibiotik yang baik idealnya mempunyai aktivitas anti-mikroba yang efektip dan selektip serta mempunyai aktivitas bakterisid. Antibiotik yang sesuai untuk terapi penyakit infeksi pada manusia harus mempunyai sifat toksisitas selektip yaitu aktivitas gangguan pada mikroba penginfeksi lebih besar dari-pada gangguan pada sel hospes. Derajat toksisitas selektip ter-gantung pada struktur yang dimiliki sel bakteri dan manusia. Misalnya dinding sel bakteri yang tidak dimiliki oleh sel manusia, sehinggaantibiotikdengan mekanisme kegiatan pada dinding sel bakteri mempunyai toksisitas selektip relatip tinggi. Toksisitas selektip rendah kurang dapat diterima, karena dapat mengganggu proses esensiil sel hospes. Banyak proses esensiil pada bakteri yang dipengaruhi antibiotik mempunyai kemiripan dengan proses esensiil pada sel manusia, seperti sintesis protein, sehingga antibiotik tersebut j uga akan dapat mengganggu proses pada'sel manusia.

Antibiotik menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik atau bakterisid. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang esensiil untuk pertumbuhan. Reaksi

ini mungkin merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis makromolekul.seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur sel seperti dinding sel atau membran sel dan sebagainya.

Antibiotik tertentu dapat menghambat beberapa reaksi. Reaksi tersebut ada yang esensiil untuk pertumbuhan dan ada yang kurang esensiii. Penghambatan pada beberapa reaksi dapat terjadi secara langsung yaitu antibiotik langsung memblokir be-berapa reaksi tersebut, namun masing-masing reaksi memerlu-kan konsentrasi antibiotik yang berbeda. Ketergantungan pada konsentrasi ini menggambarkan perbedaan kepekaan reaksi ter-sebut terhadap antibiotik. Selain itu, pengaruh antibiotik juga dapat terjadi secara tidak langsung yaitu berupa pengaruh sekunder akibat gangguan pada reaksi lain sebagai pengaruh primer. Dalam banyak hal ada kesulitan untuk membedakan gangguan tersebut primer atau sekunder. Contoh antibiotik yang mengganggu beberapa reaksi yaitu streptomisin, antara lain mempengaruhi sintesis protein, sintesis RNA & DNA, integritas membran sel dan respirasi, tetapi tidak diketahui apakah semuanya merupakan pengaruh primer atau sekunder.

Dalam beberapa hal mekanisme kegiatan antibiotik sukar diterangkan, karena beberapa alasan, seperti : 1. Kesulitan menetapkan gangguan tersebut sebagai pengaruh

sekunder atau primer. 2. Kebanyakan antibiotik merupakan substansi kimia yang

rumit dan sering tidak mungkin disintesis secara kimia, se-hingga sulit membuat antibiotik bertanda radioaktif.

3. Reaksi esensiil yang diblokir, mungkin belum diketahui dengan jelas.

4. Metabolisme organisme berbeda satu sama lain walaupun pada prinsipnya sama, sehingga mekanisme kegiatan pada satu organisme, mungkin bukan cara antibiotik tersebut menghambat pertumbuhan organisme lainnya. Namun demikian para ahli telah berusaha menerangkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 56

Page 58: Cdk 076 Kulit (II)

mekanisme kerja antibiotik pada sel mikroba. Berdasarkan pengamatan mereka cara antibiotik menghambat mikroba me-lalui mekanisme yang berbeda. 1. Antibiotik menghambat sintesis dinding sel mikroba. 2. Antibiotik mengganggu membran sel mikroba. 3. Antibiotik menghambat sintesis protein dan asam nukleat

mikroba. 4. Antibiotik mengganggu metabolisme sel mikroba.

ANTIBIOTIK PENGHAMBAT SINTESIS DINDING SEL MIKROBA

Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis ensim atau inaktivasi ensim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis. Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan.

Dinding sel bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Di dalam sel terdapat sitoplasma ailapisi dengan membran sitoplasma yang merupakan tempat berlangsungnya proses biokimia sel. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri gram posi tip struktur dinding selnya relatip sederhana dan gram negatip relatip lebih komplek.

Dinding sel bakteri gram positip tersusun atas lapisan peptidoglikan relatip tebal, dikelilingi lapisan teichoic acid dan pada beberapa species mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatip mempunyai lapisan peptidoglikan relatip tipis, dikelilingi lapisan lipoprotein, lipopolisakarida, fosfolipid dan beberapa protein.

Peptidoglikan pada kedua jenis bakteri merupakan kompo-nen yang menentukan rigiditas pada gram positip dan berperanan pada integritas gram negatip. Oleh karena itu gangguan pada sintesis komponen ini dapat menyebabkan sel lisis dan dapat menyebabkan kematian sel. Antibiotik yang menyebabkan gangguan sintesis lapisan ini aktivitasnya akan lebih nyata pada bakteri gram positip. Aktivitas penghambatan atau membina-sakan hanya dilakukan selama pertumbuhan sel dan aktivitasnya dapat ditiadakan dengan menaikkan tekanan osmotik media untuk mencegah pecahnya sel. Bakteri tertentu seperti miko-bakteriadan halobakteria mempunyai peptidoglikan relatip sedikit , sehingga kurang terpengaruh oleh antibiotik grup ini.

Sel selama mensintesis peptidoglikan memerlukan ensim hidrolase dan sintetase. Untuk menjaga sintesis supaya normal, kegiatan kedua ensim ini harus seimbang satu sama lain. Bio-sintesis peptidoglikan berlangsung dalam beberapa stadium dan antibiotik pengganggu sintesis peptidoglikan aktip pada stadium yang berlainan. Sikloserin terutama menghambat ensim racemase dan sintetase yang berperan dalam pembentukan dipeptida. Vankomisin bekerja pada stadium kedua diikuti oleh basitrasin, ristosetin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin yaitu menghambat transpeptidase.

Perbedaan antara sel mamalia dan bakteri yaitu dinding sel

luar bakteri tebal dengan membran sel menentukan bentuk sel dan memberi ketahanan terhadap tekanan osmotik. Karena struktur dinding sel mamalia tidak sama dengan dinding gel bakteri, maka antibiotik yang mempunyai aktivitas mengganggu sintesis dinding sel mempunyai toksisitas selektip sangat tinggi. Oleh karena itu antibiotik tipe ini merupakan antibiotik yang sangat berharga.

ANTIBIOTIK PENGGANGGU MEMBRAN SEL

Di bawah dinding sel bakteri adalah lapisan membran sel lipoprotein yang dapat disamakan dengan membran sel pada manusia. Membran ini mempunyai sifat permeabilitas selektip dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari dan ke dalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi waste products. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel. Oleh karena itu substansi yang mengganggu fungsinya akan sangat lethal ter-hadap sel. Beberapa antibiotik yang dikenal mempunyai me-kanisme kerja mengganggu membran sel yaitu antibiotik peptida (polimiksin, gramisidin, sirkulin, tirosidin, valinomisin) dan antibiotik polyene (amphoterisin, nistatin, filipin).

Membran sel merupakan lapisan molekul lipoprotein yang dihubungkan dengan ion Mg. Sehingga agen chelating yang berkompetisi dengan Mg selama pembentukan membran, dapat meningkatkan permeabilitas sel atau menyebabkan sel lisis. Beberapa antibiotik bersatu dengan membran dan berfungsi se-bagai iondphores.yaitu senyawa yang memberi jalan masuknya ion abnormal. Proses ini dapat mengganggu biokimia sel, misal-nya gramicidin. Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel. Sehingga polimiksin lebih aktip terhadap bakteri gram negatip daripada gram positip yang mempunyai jumlah fosfor lebih rendah.

Antibiotik polyene hanya bekerja pada fungi tetapi tidak aktip pada bakteri. Dasar selektivitas ini, karena mereka bekerja berikatan dengan sterol yang ada pada membran fungi dan organisme yang lebih tinggi lainnya. Secara in vitro polyene dapat menyebabkan hemolisis, karena diduga membran sel darah merah mengandung sterol sebagai tempat aktivitas antibiotik polyene. Amfoterisin B juga dapat digunakan untuk infeksi sistemik tetapi sering disertai efek samping anemia hemolitik. Kerusakan membran sel dapat menyebabkan kebocoran se-hingga komponen-komponen penting di dalam sel seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain dapat mengalir keluar. Diduga struktur membran ini ada pada mamalia, oleh karena itu antibiotik ini mempunyai toksisitas selektip relatip kecil dibanding antibiotik yang bekerja pada dinding sel bakteri, sehinggadalam penggunaan sistemik antibiotik ini relatip toksik; untuk mengurangi toksisitasnya dapat digunakan secara topikal.

ANTIBIOTIK PENGHAMBAT SINTESIS PROTEIN DAN ASAM NUKLEAT

Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom. Berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom di-kelompokkan dalam 3 grup. 1) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 57

Page 59: Cdk 076 Kulit (II)

dari subunit 60s dan 40s. 2) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 50s dan 30s. 3) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamal ia dan menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotik.

Untuk memelihara kelangsungan hidupnya, sel mikroba perlu men.sintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama dengan mRNA dan tRNA; gangguan sintesis protein akan berakibat sangat fatal dan antimikroba dengan mekanisme kerja seperti ini mempunyai daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini meliputi aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, kloramphenikol, novobiosin, puromisin.

Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini bersifat sitostatik, karena mereka dapat menghentikan pertum-buhan dan pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media bebas antibiotik, mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik ber-kurang dari sel kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisid. Pengaruh zat ini terhadap sel eukariot diperkirakan sitotoksik. Beberapa penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan sikloheksimid sangat toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak digunakan untuk terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relatip kecil bila digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis protein yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin berikatan dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom 30s dan menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk protein abnormal dan non fungsionil.

Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel tergantung pada sintesis DNA, sedang RNA diperlukan untuk transkripsi dan menentukan informasi sintesis protein dan ensim. Ada beberapa jenis RNA yaitu t-RNA, r-RNA, m-RNA, masing-masing mempunyai peranan pada sintesis protein. Begitu pen-tingnya asam nukleat bagi sel, maka gangguan sintesis DNA atau RNA dapat memblokir pertumbuhan sel. Namun antimikroba yang mempunyai mekanisme kegiatan seperti ini pada umumnya kurang selektip dalam membedakan sel bakteri dan sel mamalia. Antimikroba ini umumnya bersifat sitotoksik terhadap sel ma-malia. Sehinggapenggunaan antimikroba jenis ini harus hati-hati dan selektip yaitu yang sifat sitotoksiknya masih dapat diterima. Seperti asam nalidiksat dan rifampisin, karena aktivitasnya sangatkuatdalam menghambatpertumbuhan, maka antimikroba dengan mekanisme seperti ini sering digunakan sebagai anti-tumor.

Antimikroba yang mempengaruhi sintesis asam nukleat dan protein mempunyai mekanisme kegiatan pada tempat yang berbeda, antara lain . 1. Antimikroba mempengaruhi replikasi DNA, seperti

bleomisin, phleomisin, mitomisin, edeine, porfiromisin. 2. Antimikroba mempengaruhi transkripsi, seperti aktinomisin,

krrmomisin, ekonomisin, rifamisin, korisepin, streptolidigin. 3. Antimikroba mempengaruhi pembentukan aminoacyl-

tRNA, seperti borrelidin. 4. Antimikroba mempengaruhi translasi, antara lain kloram-

phenikol, streptomisin, neomisin, kanamisin, karbomisin, crytromisin, linkomisin, fluidic acid, tetrasiklin. Antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein dan

asam nukleat, mayoritas aktif pada bagian translasi dan di antara mereka banyak yang berguna dalam terapi. Karena mekanisme translasi antara sel bakteri dan sel eukariot berbeda, maka mungkin mereka memperlihatkan toksisitas selektip. PENUTUP

Mekanisme kegiatan antara antibiotik yang satu dengan yang lain dapat berbeda. Selain gangguan pada dinding sel, membran, sintesis protein dan asam nukleat, beberapa anti-mikroba seperti sulfonamid, trimetroprim, PAS dan sulfon juga memperlihatkan mekanisme kerja menghambat metabolisme sel. Dengan mekanisme terakhir tersebut, antimikroba mem-punyai aktivitas bakteriostatik. Antimikroba sulfonamid dan sulfa terutama aktif terhadap mikroba yang mensintesis asam folat bagi kelangsungan hidupnya dengan cara berkompetisi dengan asam amino benzoat (PABA), sedang trimetroprim be-kerja menghambat ensim dihidrofolat reduktase; ensim ini ber-fungsi mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat sebagai bentuk aktif asam folat. Selain itu beberapa antimikroba menghambat konsumsi oksigen mikroba. Namun antimikroba ini mempunyai toksisitas selektip relatif kecil.

Antimikroba yang mempunyai mekanisme kerja menghambat pembentukan dinding sel mempunyai selektivitas lebih besar dan toksisitas relatif lebih rendah dibandingkan antimikroba penghambat sintesis asam nukleat. Dan yang perlu diperhatikan, kalau suatu antimikroba dinyatakan mempunyai mekanisme kegiatan tertentu, itu bukan berarti antimikroba tersebut hanya bekerja dengan cara tersebut, tetapi mungkin juga dapat aktif dengan mekanisme yang lain. Karena dalam proses biokimia, reaksi yang satu erat berhubungan dengan reaksi yang lain, maka pengaruh suātu reaksi dapat menimbulkan pengaruh pada reaksi yang Jain. Itulah salah satu kesulitan untuk menentukan apakah gangguan tersebut merupakan efek primer atau efek sekunder. Sebagai contoh, aktivitas antibiotik streptomisin mempengaruhi sintesis protein, sintesis RNA & DNA, integritas membran sel dan respirasi. Bahkan ada yang mengusulkan, streptomisin memperlihatkan pengaruhnya pada 14 sistem biokimia yang berbeda.

KEPUSTAKAAN

1. Franklin TJ, Snow .GA. Biochemistry of antimicrobial action. 2nd ed. London: Chapman & Hall. 1975: 22-138.

2. Gan VHS. Antimikroba. Dalam: Farmakologi dan Terapi, 2nd ed. Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta. 1980: 443-61

Page 60: Cdk 076 Kulit (II)

3. Garrod LP, Lambert HP, O'Grady F. Antibiotics and chemotherapy. 5th ed. 123-36. New York: Churchill Livingstone. 1981: 251-61

4. Sande MA, Mandell GL. Chemotherapy of microbial diseases. In: Goodman Pharmacological Basis of Therapeutics. 5th ed. New York: McMillan Publ. Co. Inc. 198. p. 1080-1105.

5. Snow GA. Mechanisms of action of antibiotics. In: Pharmaceutical Micro biology. Hugo WB, Russell AD (eds). Blackwell Scient. Publ. 1977. p.

123–36. 6. Weinstein L. Chemotherapy of microbial diseases. In: Goodman & Gill-

man's. Pharmacological Basis of Therapeutics. 5th ed. New York: McMillan and Gillman's Publ. Co. Inc. 198. p. 1090-1112.

7. Zahner H, Maas WK. Biology of antibiotics. New York: Springer - Verlag. 1972; 62–69

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 59

Page 61: Cdk 076 Kulit (II)

Pengalaman Praktek

Obat Sedot Mengenang pengalaman bek

hiburan tersendiri ditengah-tengaSeorang rekan menceritakan pensate kecamatan propinsi NTB yanpada waktu menyuntik pasien padahal kita masih desinfeksi kul

Seorang lelaki setengah baydan anoreksia. Setelah diperiksabiasanya, pasien pulang sambil m

Pada keesokan harinya pasieapa sakitnya belum sembuh? Pasisambil menunjukkan obat yang dokter mengulangi anamnesa Kembali pasien pulang dengan kelihatannya belum puas. Dua hayang masih utuh, sambil berkatatidak cocok untuk saya."

Sang dokter menjadi mahfwpersilahkan pasien untuk berbarindengan ketat dan dipompa sampberkata : "Al-Fatikhah" Segera pAl-Fatikhah dengan suara cukupkira-kira 5 menit (entah ayat apa s

Setelah selesai dengan suara chim" dan bersamaan dengan itubunyi cceesss yang kuat karena u

Demildanlah teknik pengobpenyakitnya sudah hilang tersedoberikan imbalan jasa yang cukup

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 60

erja di Puskesmas merupakan suatu refreshing dan h kesibukan dan ketegangan sebagai PPDS ObsGyn. galamannya sewaktu bertugas di Puskesmas di salah g terkenal sangat agamis masyarakatnya. Tidak jarang sudah mengucapkan Bismillaahirrochmannirrochim

it dengan kapas alkohol. a datang berobat dengan kelūhan sakit kepala kronis secukupnya dan diberi obat dan suntik sebagaimana engucapkan terima kasih. n datang lagi, sang dokter bertanya : "Bagaimana pak en menjawab : "Belum pak, hanya sedikit berkurang," hanya diminum separuh tablet. Dengan cermat sang dan pemeriksaan serta memberikan suntikan lagi. mengucapkan terima kasih tapi dengan wajah yang ri kemudian pasien datang lagi sambil membawa obat : "Pak dokter, saya minta obat sedot saja. Obat ini

n apa yang dimaksud pasiennya, kemudian mem-g di tempat tidur. Setelah manset tensimeter dipasang ai 200 mm Hg kemudian dengan suara keras dokter asien menyahut dengan mengucapkan ayat-ayat surat keras. Setelah selesai ganti dokter berkomat-kamit aja yang dikomat-kamitkan). agak keras dokter berkata : "Bismillahirrochmannirro- sekrup tensimeter dibuka lebar sehingga kedengaran dara keluar dengan cepat. atan sedot, dan dengan muka yang berseri karena t sang pasien mengucapkan terima kasih sambil mem-lumayan

dr. Bambang Dibyo Wahyudi Surabaya

Page 62: Cdk 076 Kulit (II)

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

TERLANJUR Suatu ketika seorang pasien menceri-takan dan mengeluh pada dokter : "Saya sedang resah dok ...." Dokter : "Mengapa pak?" Pasien : "Saya terlanjur minum obat yang ditarik dari peredaran, dan yang lebih resah lagi setelah minum itu, saya terlanjur …… sembuh!

Juvelin Jakarta

ASMA Di suatu poliklinik, suster meletakkan kartu berobat diikuti seorang pasien wanita. Dokter : "Ibu Asma ?". Pasien : Sa . . . ya .. bu . . . kan asma Dokter : (mengetahui adanya miskomu-nikasi) Maksud saya ibu bernama Asma ? Pasien : Ya .. ya .. ya nama saya Asma tetapi bukan penderita asma. Dokter : (tersenyum, menyadari perlu memperbaiki teknik wawancara).

Emiliana Tjitra Jakarta

SEBAB APA Dokter yang sedang memeriksa pasiennya dengan senyum iseng-iseng bertanya pada pasiennya, mengapa bila berbicara selalu mengulang-ulang de-ngan kata-kata : Kita orang …… kita orang…..kita orang. Pasiennya menjawab dengan muka serius : "Lho dok, lha badan saya hitam begini dan kalau mulai bicara tidak dengan 'kita orang', misalnya 'kita monyet' . . . . wah berabe!" Keduanya ketawa terbahak……. akrab.

Juvelin

TOLONG DITURUNKAN Seorang pengusaha berumur 65 tahun, belum lama ini telah mengambil seorang gadis sebagai istri mudanya. Pada suatu had ia datang mengunjungi dokter dengan keluhān sbb.: "Dok, tolong nafsu sex saya diturunkan !" Dokter yang berhadapan dengan manula ini dengan heran bertanya : "Lho, mengapa ? Apākah istri Tuan kewalahan ?" "Mikan begitu dok. Saya minta diturunkan dari sini (sambil memegang dahinya) ke sini (tangannya dari dahi diturunkan ke bawah perut)"

Dokter : "O, begitu, ………."

OLH RESEP UNTUK PERSIAPAN SAKIT Suatu hari seorang ibu membawa bayinya ke dokter spesialis anak yang praktek di salah satu rumah sakit. Ibu bayi mendaftar dan membayar di loket, kemudian menunggu giliran masuk. Setelah dipanggil, dokter kemudian memeriksa bayinya; Dokter : Bayi ibu ternyata sehat. Ibu bayi : Terima kasih dok, saya mohon agar anak saya diimunisasi campak. Dokter : Maaf bu ... obat campaknya kebetulan habis. Ini saya berikan resep saja,

ditebusnya nanti kalau anak ibu batuk. Ibu bayi : ... ?? (karena sudah bayar jadi dapat resep ??)

Hilal Jakarta

GUNTING Menjelang tengah malam Jumat, sepasang suami isteri dengan bayinya datang untuk meminta pertolongan. Bapak pasien : Tōlong dok, anak saya berak-berak dan panas ! Dokter : Silahkan, dan tolong tidurkan di tempat periksa. Ibu dengan dibantu bapak pasien meletakkan bayinya dan tampak si Bapak

mengeluarkan gunting cukup besar dari lipatan kain gendongan. Dokter : Untuk apa gunting itu pak ? Bapak pasien : (dengan senyum malu) Untuk mencegah setan dok ! Dokter : (dengan nada canda) Kalau pakai celurit atau golok, pasti saya tidak

bukakan pintu. Jaman sudah modem dan merdeka,kok masih percaya yang begituan. Hati-hati lho, nanti melukai anak Bapak sendiri.

Emiliana Tjitra Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 61

Page 63: Cdk 076 Kulit (II)

ABSTRAK ALKOHOL DALAM ASI Alkohol yang diminum oleh ibu yang sedang menyusui bayinya, temyata mempengaruhi bau air susu ibu dan mengubah cara menghisap bayinya. Duabelas wanita yang menyusui diberi minuman berkadar alkohol 0.3 g/ kg.bb.; temyata alkohol yang dikonsumsi tersebut mengubah bau air susu ibu, yang mencapai puncaknya pada 30-60 menit setelah alkohol tersebut diminum. Selain itu bayinya menghisap lebih sering (67,0 + 6,5 kali/menit) di-bandingkan dengan pada ibu kontrol (58,4 + 5,9 kali/menit). Sekalipun de-mikian, jumlah susu yang dikonsumsi temyatalebih sedi dt(120,4+9,0ml.) di kalangan bayi yang ibunya minum alkohol, dibandingkan dengan kontrol (156,4 + 8,2 ml.).

N. Engl. J. Med 1991; 325 : 981-5

Hk KORTIKOSTEROID UNTUK NYERI PINGGANG BAWAH Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering dijumpai;. para peneliti di Canada menilai efektivitas penyuntikankortikosteroidlokal. Sejum-lah 20 mg. metilprednisolon asetat di-suntikkan di celah antara lumbal4 - lum-bal5 atau antara lumbal 5 - sakral 1, pada 49 orang; dan pada 49 orang lainnya disuntikkan NaCl isotonik. Setelah satu bulan, evaluasi atas rasa nyeri, status fungsional dan fleksi pinggangtidak menunjukkan basil yang bermakna. Empatpuluhdua persen pasien yang mendapat metilprednisolon dan 33 pasien yang menerima plasebo merasakan perbaikan (p - 0,53), dan hanya 11(22%) pasien yang menerima prednisolon dan 5 (10%) pasien yang menerima plasebo merasakan perbaikan sampai 6 bulan (p - 0,19).

N. Engl. J. Med 1991; 325: 1007-7

Hk

ARITMI VENTRIKEL Cardiac Arrhythmia Suppression Trial bertujuan untuk menilai manfaat flecainide dan encainide pada infark miokard yang disertai dengan aritmi ventrikel. Dari 1998 pasien, 817 termasuk dalam percobaan encainide (432 obat dan 425 plasebo) dan 641 masuk dalam percobaan flecainide (323 obat dan 318 plasebo). Setelah 10 bulan, ternyata kematian terjadi pada 89 pasien; 59 orang akibat aritmi (43 orang dari kelompok obatdan 16 orang dari kelompok plasebo, p = 0,0004), 22 orang akibat kelainan jantung lain (17 dari kelompok obat dan 5 orang dari kelompok plasebo) dan 8 orang akibat sebab-sebab nonkardiak (3 dari kelompok obat dan 5 orang dari kelompok plasebo). Hampir semua sebab kematian jan-tung lain ialah akibat infark miokard akut yang disertai shock (11 dari kelom-pok obat dan 3 dari kelompok plasebo) atau akibat payah jantung kronik (4 dari kelompok obat dan 2 dari kelompok plasebo). Percobaan ini menunjukkan bahwa encainide dan flecainide meningkatkan kern atian akibat shock dan aritmi pada pasien-pasien infark miokard, meskipun mekanismenya belum jelas diketahui.

N Engl J Med 1991; 324:781-8

hk OBAT PENYEKAT BETA UNTUK VARISES ESOFAGUS Obat-obat penyekat beta telah dicoba untuk mencegah perdarahan gastroin-testinal pada pasien sirosis hepatis de-ngan varises esofagus. Dari 4 penelitian yang mengikut-sertakan 589 pasien , - 286 pasien mendapat obat (203 pasien dengan pro-pranolol dan 83 pasien dengan nadolol)

dan 303 pasien mencapat plasebo, ter-nyata penggunaan obat-obat tersebut berhasil mengurangi perdarahan dan mortalitas akibat perdarahan. Setelah dua tahun, 78 ± 3% pasien yang mendapat pengobatan tidak me-ngalami perdarahan, dibandingkan dengan 65 ± 3% di kalangan pasien yang mendapat plasebo (p = 0,002). Sebanyak 90 ± 2% pasien yang mendapat pengobatan tidak mengalami perdarahan fatal, dibandingkan dengan 82 ± 3% di kalangan plasebo (p = 0,01). Dan 71 ± 3% pasien yang mendapat pengobatan tetap hidup setelah dua tahun, dibandingkan dengan 68 ± 3% di ka-langan plasebo (p = 0,34). Efek perlindungan ini efektif tanpa melihat penyebab dan beratnya sirosis, asites dan besamya varises.

N. Engl. J. Med 1991; 324 : 1532-8 Hk

DEKSAMETASON UNTUK ME-NINGITIS Para peneliti di Costa Rica telah mempelajari efek penambahan deksametason untuk pengobatan me-ningitis pada anak. Dari 101 anak/bayi yang didiagnosis meningitis, 52 anak mendapatkan sefotaksim dengan dosis 50 mg./kg. bb iv tiap 6 jam dan deksametason 0,15 mg./kg.bb. iv tiap 6 jam, sedangkan 49 anak lainnya menerima sefotaksim dan plasebo. Dalam 12 jam setelah pengobatan, tekanan intrakranial menurun di kelom-pok deksametason, sebaliknya me-ningkat di kelompok plasebo. Selain itu, di kelompok deksametason lebih sedikit dijumpai gejala sisa setelah 15 bulan; hanya 7 (15%) di antara 51 pasien kelompok in yang hidup, yang men-derita gejala sisa; dibandingkan dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 62

Page 64: Cdk 076 Kulit (II)

ABSTRAK 18 (38%) di antara 48 pasien kontrol yang masih hidup (p = 0.007). Relative risk mendapatkan gejala sisa di kalangan kontrol adalah 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan di kalangan kelompok deksametason.

N. Engl. J. Med 1991; 324 : 1525-31 Hk

KAPTOPRIL UNTUK NEFROPATI DIABETIK Penelitian di Denmark selama 4 tahun menunjukkan bahwa kaptopril efektif menghambat perkembangan nefropati pada penderita diabetes melitus normotensif yang menderita mikro-albuminemi. Tidak satupun dari 21 pasien yang mendapatkan kaptopril 25 – 100 mg/ hari selama 4 tahun, menderita mikro-albuminuria, dibandingkan dengan 7 dari 23 pasien yang tidak mendapatkan kaptopril. Parameter lain seperti tekanan darah sistemik, GFR dan ekskresi natrium dan urea tidak berbeda ber-makna. Efek ini dapat sangat menguntungkan karena sampai saat ini diketahui 35% pasien insulin-dependent-diabetes-mellitus akan menderita nefropati dia-betik dan mortalitasnya 100 kali lebih besar dari populasi normal, yang se-bagian besar disebabkan oleh kelainan ginjal. Efek ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya tekanan kapiler glomeru-lar, meningkatnya selektivitas sekat glo-merulus, atau berkurangnyapermeabilitas glomerulus terhadap protein. Peneliti lain mendapatkan efek yang serupa pada penggunaan enelapril–suatu penghambat ACE lain – pada dosis 20 mg/hari.

Scrip 1991; 1637.: 25 Brw

MIKTURIN Micturin (terodiline HC1)–obat yang digunakan pada incontinentia urinae – telah ditarik dari peredaran setelah adanya laporan bahwa obat tersebut berkaitan dengan timbulnya 36 kasus fibrilasi ventrikel torsade de pointes; selain itu juga dilaporkan 14 kasus bradiaritmi dan 8 kasus kematian. Ke-banyakan kasus tersebut terjadi di Inggris.

Lancet 1991; 338: 752 Brw

INFEKSI SALURAN KEMIH Infeksi saluran kemih berulang pada wanita mungkin dapat dicegah dengan pemberian 200 mg. sulfametoksazol + 40 mg. trimetoprim dalam 2 jam setelah koitus. Para peneliti telah menunjukkan bahwa di antara 16 wanita yang diberi obat, hanya dua yang menderita infeksi, dibandingkan dengan 9 di antara 11 wanita yang diberi plasebo.

JAMA 1990; 264: 703–64 Hk

MELATONIN Interneuron Pharmaceuticals Inc. – suatu perusahaan farmasi di Inggris akan mengembangkan produk-produk analog melatonin yang berpotensi mengatasi depresi, infertilitas, gangguan tidur, jet-lag dan chronic fatigue syndrome. Melatonin sesungguhnya diproduksi oleh kelenjar pineal dan berfungsi mengatur irama sirkadian tubuh; pe-ningkatan kadamya menyebabkan tidur, dan bila kadarnya rendah akan meningkatkan kewaspadaan; selain itu sedang diteliti jug; kaitannya dengan proses ovulasi dan gangguan-gangguan serebral.

Sampai saat ini telah diketahui ada 22 zat yang berfungsi sebagai agonis ātau antagonis melatonin.

Scrip 1991;1637:11 Brw

Rx. BENZODIAZEPIN Benzodiazepin merupakan salah satu golongan obat yang sering diresepkan; di Inggris, sejumlah 14,85 juta tablet golongan tersebut di atas telah digunakan selama tahun 1990. Jenis-jenisnya ialah (dalam juta) : temazepam 5,4 nitrazepam 3,1 diazepam 2,7 triazolam 1,4 lorazepam 1,2 khlordiazepoxid 0,5 oxazepam 0,3 lormetazepam 0,1 klonazepam 0,1 klobazam 0,05

Scrip 1991; 1644: 26 Brw

SISTIM PELEPASAN OBAT BARU Hans Lowey, peneliti di Amerika Serikat telah mempatenkan Simetry – suatu sistim pelepasan obat dalam tubuh yang dapat mempertahankan kadar obat dalam darah, bahkan sampai setelah tabletnya sendiri telah keluardari tubuh. Ini dimungkinkan karena bila zat aktif telah terikat dengan Simetry, kompleks tersebut akan menempel di dinding usus halus dan melepaskan zat aktifnya dari situ. Sistim ini dapat mempertahankan kadar obat dalam darah sampai 48 jam meskipun tabletnya sendiri hanya 10–12 jam.beradadalam tubuh.

Scrip 1991; 1644: 24 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 63

Page 65: Cdk 076 Kulit (II)

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Onikolisis - terlepasnya lempeng kuku dari dasar kuku -

disebabkan oleh hal-hal berikut ini, kecuali : a) Trauma b) Obat tertentu c) Kosmetik kuku d) Sabun tertentu e) Tanpa kecuali

2. Kuku yang rapuh dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, kecuali : a) Psoriasis b) Sabun tertentu c) Zat kimia tertentu d) Hipotiroid e) Semua dapat

3. Kelenturan kuku terutama ditentukan oleh kadar : a) Kalsium b) Air c) Fosfolipid d) Protein e) Sulfur

4. Kelainan kuku yang dikaitkan dengan kelainan jantung: a) Garis Beau b) Clubbing c) Pitting d) Spoon nails e) Brittle nails

5. Kelainan kuku yang dikaitkan dengan psoriasis : a) Gans Beau b) Clubbing c) Pitting d) Spoon nails e) Brittle nails

6. Malassezia furfur dibiak dalam media : a) Agar b) Lowenstein-Jensen c) McConkey d) Saboraoud e) Carry and Blair

7. Penelitian di Puskesmas Cempaka Putih menunjukkan bahwa penyebab utama fluor albus ialah : a) Trichomonas b) Candida c) Gonorrhoe d) Stafilokok e) Campuran

8. Yang bukan merupakan keluhan penderita flour albus : a) Bau b) Gatal c) Hematuri d) Disuri e) Dispareuni

9. Kelainan kulit yang tidak diobati dengan cara plasma feresis : a) Psoriasis b) Pemfigus vulgaris c) Dermatitits herpetiformis d) Nekrolisis epidermal toksik e) Lupus eritematosus sistemik

10. Faktor yang harus diperhatikan selama plasmaferesis : a) Fungsi hepar b) Kelainan pembuluh darah c) Hipovolemi d) Gangguan pembekuan darah e) Semua benar

Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 64