case meningitis 1
DESCRIPTION
KedokteranTRANSCRIPT
Laporan Kasus
MENINGITIS
Disusun Oleh:
Meilinda Vitta Sari
NIM: 030.10.173
Pembimbing:
dr. Maysam Ira, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI
RSUP FATMAWATI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Periode 22 September – 25 Oktober 2014
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya saya
dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul “MENINGITIS” ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di SMF
Neurologi, khususnya dr. Maysam Ira, Sp.S, atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian neurologi ini sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan
semaksimal kemampuan saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta untuk
melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
Jakarta, Oktober 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2
BAB I STATUS PASIEN ......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40
BAB I
2
STATUS PASIEN
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Agama : Islam
Alamat : Pondok Bahar Permai FF no.19, Karang
Tengah,
Tangerang, Banten
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswi
Pendidikan terakhir : Tamat SMA
Status Menikah : Belum menikah
No. RM : 01326075
Ruangan : 627
1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 6 Oktober 2014 dan
masuk ruang rawat inap RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Oktober 2014.
Autoanamnesis pada tanggal 8 Oktober 2014.
a.Keluhan Utama
Kesemutan dan kelemahan menetap pada kedua lengan dan tungkai
sejak 8 hari SMRS (sebelum masuk rumah sakit).
b.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati atas rujukan dari RS Awal Bros
Bekasi dengan keluhan utama kesemutan dan kelemahan yang menetap
pada kedua lengan dan tungkai sejak 8 hari yang lalu. Kesemutan dan
kelemahan ini dimulai dari ujung-ujung jari kedua tungkai kemudian
menjalar ke kedua lengan hingga ke wajah bagian kanan. Awalnya pasien
mengaku 11 hari SMRS pasien mengalami batuk, pilek, namun pasien
3
tidak berobat ataupun meminum obat-obatan warung. Keesokan harinya,
pasien mengeluh nyeri kepala hebat. Nyeri kepala ini timbul mendadak
saat pasien istrahat, dirasakan di seluruh kepala, seperti ditusuk-tusuk,
dan tidak berkurang dengan istirahat. Nyeri kepala ini demam yang
dirasa pasien sumeng-sumeng, mual, dan muntah sebanyak 1 kali berisi
cairan dan ampas makanan, tetapi tidak ada kejang ataupun penurunan
kesadaran. Akhirnya pasien berobat ke klinik terdekat, diberikan
pengobatan oleh dokter, keluhan dirasa berkurang. Pada hari
selanjutnya, barulah pasien tiba-tiba merasakan kesemutan dan
kelemahan yang menjalar dari ujung-ujung jari kedua tungkai ke kedua
lengan hingga ke wajah bagian kanan. Pasien segera dibawa ke RS Awal
Bros Bekasi oleh keluarga dan dirawat inap selama 8 hari. Atas
permintaan keluarga, pasien dirujuk ke RSUP Fatmawati.
Saat ini pasien mengaku sedikit penglihatan buram, suaranya sengau,
ada gangguan menelan, mulut dirasa mencong ke kiri, dan bicara pelo.
Tidak ada gangguan BAK dan BAK.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat
alergi.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak pernah ada memgalami hal yang sama. Tidak ada riwayat hipertensi,
DM, penyakit jantung, ataupun alergi.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di ruangan 627 bangsal RSUP Fatmawati tanggal 8
Oktober 2014
A. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
Pernapasan : 20x/menit, reguler
4
Suhu : 36,70C
Berat badan : ... kg
Tinggi badan : ... cm
BMI : ... kg/m2
B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : Tidak ada
Pulsasi Aa. Carotis : Teraba kanan=kiri, regular, equal
Pembuluh Darah Perifer : Capillary refiil time < 2 detik
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB submandibula, parotis
dan submental
Columna Vertebralis : Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor ɸ 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+
Sinus : Hematom (-), nyeri tekan (-)
Telinga : Normotia +/+, serumen -/-, membran timpani intak
Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
Mulut : Sianosis (-)
Lidah : Kotor (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
KGB dan kelenjar tiroid.
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri
ICS V 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
5
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki +/+, Wheezing -/-
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut tidak buncit
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal : akral hangat +/+, edema -/-
Distal : akral hangat +/+, edema -/-
C.Status Neurologis
1) GCS
Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15
2) Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri
Kaku Kuduk : (+)
Laseque : > 70° > 70°
Kernig : > 135° > 135°
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)
3) Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala hebat : (-)
Papil edema : tidak dilakukan pemeriksaan
4) Saraf-saraf Kranialis
N. I : Normosmia kanan dan kiri
N.II Kanan Kiri
Acies Visus : 6/60 6/60
Visus Campus : Baik Baik
Melihat Warna : Baik Baik
Funduskopi : tidak dilakukan tidak dilakukan
N. III, IV, VI Kanan Kiri
Kedudukan Bola Mata : Ortoposisi Ortoposisi
Pergerakan Bola Mata
6
Ke Nasal : Baik Baik
Ke Temporal : Baik Baik
Ke Nasal Atas : Baik Baik
Ke Nasal Bawah : Baik Baik
Ke Temporal Atas : Baik Baik
Ke Temporal Bawah : Baik Baik
Eksopthalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Pupil : Isokor Isokor
Bentuk : Bulat, Ø 3mm Bulat, Ø 3mm
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya Konsensual: (+) (+)
Akomodasi : Baik Baik
Konvergensi : ` Baik Baik
N. V Kanan Kiri
Cabang Motorik : Baik Baik
Cabang Sensorik
Opthalmik : Baik Baik
Maxilla : Baik Baik
Mandibularis : Baik Baik
N. VII Kanan Kiri
Motorik Orbitofrontal : Baik Baik
Motorik Orbicularis : plica nasolabial kiri lebih mendatar dibandingkan
dengan plica nasolabial yang kanan
Pengecap Lidah : Baik Baik
N. VIII Kanan Kiri
Vestibular
Vertigo : tidak dilakukan tidak dilakukan
Nistagmus (-) (-)
Cochlear
Tinnitus : (-) (-)
7
Rinner : (+) (+)
Weber : tidak ada lateralisasi
Schwabach : sama dengan pemeriksa
N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara : sengau
Kedudukan Arcus Pharynx : simetris, kuat angkat
Kedudukan Uvula : simetris di tengah
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx) : normal
N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : Baik Baik
Menoleh : Baik Baik
N. XII Kanan Kiri
Kedudukan Lidah
Waktu istirahat : simetris tengah simetris tengah
Waktu gerak : deviasi ke kiri
Atrofi : (-) (-)
Fasikulasi/tremor : (-) (-)
5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal : 3333 3333
Ekstremitas Bawah Proksimal Distal : 2222 2222
6) Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Atetose : (-)
Mioklonik : (-)
7) Trofik : eutrofi pada ke empat ekstremitas
8
8) Tonus : normotonus pada ke empat ekstremitas
9) Sistem Sensorik Kanan Kiri
Proprioseptif : (+) (+)
Eksteroseptif : parestesi ke empat ekstremitas
10) Fungsi Cerebellar dan Koordinasi
Jari-Jari : Baik
Jari-Hidung : Baik
11) Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraksia : (-)
Afasia : (-)
12) Fungsi Otonom
Miksi : menggunakan kateter
Defekasi : menggunakan pampers
Sekresi Keringat : Baik
13) Refleks-refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea : (+) (+)
Bisep : (+1) (+1)
Trisep : (+1) (+1)
Patella : (+1) (+1)
Achilles : (+1) (+1)
14) Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Tromner : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)
15) Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
9
Tanda regresi : (-)
Demensi : (-)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.4.1 Laboratorium 04/09/2014
A. Darah (04/09/2014)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
15,1
44,1
13,9
414
5,52
g/dL
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/uL
12-14
37-43
5-10
150-500
4,0-5,0
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
79,9
27,4
34,2
14,3
fl
18,5
g/dL
%
82-92
27-31
32-36
11,5-14,5
HITUNG JENIS
Basofil
Eosinofil
Netrofil segmen
Limfosit
Monosit
0
0,1
85,2
7,1
7,6
%
%
%
%
%
0-1
1-3
50-70
20-40
2-8
10
DIABETES
Glukosa Garah Sewaktu 133 mg/dl <180
ELEKTROLIT DARAH
Natrium
Kalium
Calcium
Magnesium
143
4,8
10,98
2,28
mmol/l
mmol/l
mg/dl
mg/dl
137-145
36-5,0
8,4-10,2
1,6-2,3
1.4.2 Radiologi
1. Foto thorak (01/09/2014)
CTR 50%
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Trakea di tengah
Kedua hilus tampak baik
Tampak infiltrat di perihiler kanan dan paracardia kanan kiri
Diafragma kanan letak tinggi, diafragma kiri licin
Kedua sinus kostofrenikus lancip
Tulang dan jaringan lunak dinding dada baik
Kesan: Infiltrat paru suspek Bronchopneumonia
Diafragma kanan letak tinggi suspek proses
subdiafragma kanan
11
2. CT-Scan tanpa kontras (28/09/2014)
Sulcus dan gyri cerebri baik. Differensiasi gray matter dan
white matter jelas
Tidak tampak deviasi midline
Supratentorial : basal ganglia, capsula interna, thalamus.
Corpus callosum dan kedua hemisfer cerebri baik
Infratentorial : batang otak, cerebellum dan cerebellopontine
angle yang tervisualisasi tampak baik
Tidak tampak lesi perdarahan intrakranial, epidural, subdural,
maupun subarachnoid
Ventrikel lateralis kanan kiri, ventrikel III dan ventrikel IV
tidak melebar. Aquaduct sylvii baik.
Sistem sisterna menunjukkan gambaram yang normal
Kedua bulbus okuli, retrobulbar space, N.optikum dan otot-
otot bola mata baik
Pneumatisasi mastoid kanan dan kiri tampak simetris dan
baik
Sinus-sinus paranasal dalam batas normal. Tak tampak
perselebungan/SOL
Septum nasi lurus di tengah. Concha nasalis kanan kiri baik
Tulang-tulang kepala dan jaringan lunak tervisualisasi tampak
baik
Kesan : Struktur otak/intrakranial tampak baik pada CT Scan
kepala saat ini.
Tidak tampak gambaran lesi infark, lesi perdarahan
maupun SOL intrakranial.
12
13
1.4.3 Analisa Cairan Otak (04/10/2014)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
ANALISA CAIRAN OTAK
Makroskopi
Warna
Kejernihan
Bekuan
Nonne
Pandy
Makroskopi
Jumlah sel
Hitung jenis sel
PMN
MN
Cairan otak
Protein total
Glukosa
Tak berwarna
Agak keruh
(-)
(+)
(+)
10
33
67
427
104
u/L
%
%
50-80
Tak berwarna
Jernih
(-)
(-)
(-)
0-5
mg/dl
14
Mikrobiologi
Perwarnaan gram
Perwarnaan BTA
Epithel : 0-1/LPB
Lekosit : 0-1/LPB
Bakteri: tidak
ditemukan
Tidak ditemukan
bakteri tahan asam
Kesan : Cairan sesuai cairan purulenta
1.5 RESUME
Pasien perempuan 20 tahun dengan keluhan utama kesemutan dan
kelemahan yang menetap pada kedua lengan dan tungkai sejak 8 hari
yang lalu. Kesemutan dan kelemahan ini dimulai dari ujung-ujung jari
kedua tungkai kemudian menjalar ke kedua lengan hingga ke wajah
bagian kanan. Awalnya pasien mengaku 11 hari SMRS pasien mengalami
batuk, pilek, namun pasien tidak berobat ataupun meminum obat-obatan
warung. Keesokan harinya, pasien mengeluh nyeri kepala hebat. Nyeri
kepala ini timbul mendadak saat pasien istrahat, dirasakan di seluruh
kepala, seperti ditusuk-tusuk, dan tidak berkurang dengan istirahat. Nyeri
kepala ini disertai demam yang dirasa pasien sumeng-sumeng, mual, dan
muntah sebanyak 1 kali berisi cairan dan ampas makanan, tetapi tidak
ada kejang ataupun penurunan kesadaran. Saat ini pasien mengaku
sedikit penglihatan buram, suaranya sengau, ada gangguan menelan,
mulut dirasa mencong ke kiri, dan bicara pelo. Pasien sudah berobat 2
kali, pertama ke klinik dan kedua di rumah sakit lain, namun keluhan
tidak membaik.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien dengan keadaan tampak
sakit berat, compos mentis dengan tanda vital dalam batas normal. Pada
keadaan lokalis, pemeriksaan paru ditemukan adanya ronki di kedua
lapang paru. Pada status neurologis, didapatkan GCS 15, compos mentis,
tanda rangsang meningeal positif, parese N.VII sinistra sentral, lesi N.XI
15
N.X, parese N.XII sinistra tetraparestesi, tetraparese, dan hiporefleks.
Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis dengan netrofilia dan
limfositopeni. Pada rontgen thoraks didapatkan infiltrat parahilar dan
paracardia kanan. Pada CT Scan kepala tanpa kontras dalam batas
normal. Pada analisa cairan otak, ditemukan cairan otak dengan warna
agak keruh dan nonne pandy bernilai positif.
1.6 PEMERIKSAAN ANJURAN
CT Scan dengan kontras
Kultur cairan otak
EMG
1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Tetraparese, tetraparestesi, nyeri kepala hebat,
kaku kuduk, parese N.Kranialis multiple
Diagnosis etiologis : autoimun, inflamasi, infeksi
Diagnosis topis : sistem saraf perifer, meningen
Diagnosis kerja : Guillian Barre Syndrome dan Meningitis Purulenta
1.8 TATALAKSANA
CAB
Tirah baring
NaCl 0,9% 500cc/12 jam IV
Ceftriaxon 2x2 gr IV
Dexamethasone 3x5gr IV
Brainact 2x500 mg IV
Ranitidin 2x1amp IV
Gabexal 1x300mg PO
Rifampicin 1x600 mg PO
INH 1x300mg PO
Pirazinamid 3x500mg PO
Etambutol 3x500 PO
1.9 PROGNOSIS
16
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GUILLAIN BARRE SYNDROME
A.1 DEFINISI
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia
yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengankarekterisasi berupa
kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang
kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan
Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan
kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.1,2
A.2 EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan
melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata
pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan
perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama
17
waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Sindroma
Guillain Barre disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi
poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat dan
berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang
pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah, masing masing 2 bulan dan 95
tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki.
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute flaccid paralysis pada
anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering didapatkan di daerah Jepang dan
Cina, terutama pada orang muda. Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis
AMAN seluruh dunia mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma
Guillain Barre.1,2
A.3 KLASIFIKASI
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik
dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.3
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan
adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa
inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih
kurang 1 tahun. 4
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma
ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan
pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak
terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan. 4,5
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
18
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan
kelemahan otot lebih berat pada bagian distal. 5
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari
sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil. 6
A.4 ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini
merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit
infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini 5.7:
Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus, Human
Immunodefficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
19
Gambar 1. Proses demielinisasi 1
A.5 PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan
makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada
mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang
menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson. 7
A.6. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
20
Myelinated nervein healthy individual
Myelin
sheath
Damage tomyelin sheath
(demyelinatiNerve
axon
Damaged (demyelinated) nerve
in individualwith Guillain-Barré
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid
merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung
protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh
Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi
imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. 6,7
21
Gambar 2. Patogenesis Guillian Barre Syndrome 2
A.7 GEJALA KLINIS
1. Kelemahan
22
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas.
Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,
bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai
tetraplegia dengan kegagalan ventilasi. 4,7
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-
VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal
biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB
adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial. 5
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi
umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan
getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. 4
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling
parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi
bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada
di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien.
Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah
sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi
imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus). 7
5. Perubahan otonom
23
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup
sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal,
Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung
dan dismotilitas usus dapat ditemukan. 7
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea
saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Ciri-ciri kelainan cairan
serebrospinal yang kuat menyokong diagnose 7 :
a. Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada
LP serial
b. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS
setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan
konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar
kurang 60% dari normal.
A.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein (1 – 1,5 g/dl)
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi
pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation). 4
2. Pemeriksaan EMG
24
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu
ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 4
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda
equina yang bertambah besar. 3.4
A.9 TERAPI
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara
simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu
dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan
gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah 7:
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu dilakukan
tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila vital
capacity turun dibawah 50%.
2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih
dan meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
a) Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
25
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam
waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
b) Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
c) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
A.10 DIAGNOSIS BANDING
Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal pada
fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.
Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak
bersifat ascending)
CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy) didapatkan
progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya kekambuhan
kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.
A.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam
paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 8
A.12 PROGNOSIS
26
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh sempurna
(75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%).
Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun. 8
B. MENINGITIS
B.1 DEFINISI
Meningitis adalah infeksi atau inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningens) yang
terdiri dari piamater, arachnoid, dan duramater yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia,
atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut dan kronis. 7,8
Gambar 3. Meningitis7
B.2 ANATOMI
27
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang
halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal.
Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu 9:
a) Piameter
Yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang belakang
dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk
struktur-struktur ini
b) Arachnoid
Selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter
c) Durameter
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat.
B.3 ETIOLOGI
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.
1. Meningitis bakterial :
a. Bakteri non spesifik : meningokokus, H. influenzae, S. pneumoniae,
Stafilokokus, Streptokokus, E. coli, S. typhosa.
Gambar 4. Streptococcus pneumoniae, the species that causes invasive pneumococcal
disease like meningitis, bacteraemia, and pneumonia 4
28
b. Bakteri spesifik : M. tuberkulosa.
2. Meningitis virus : Enterovirus, Virus Herpes Simpleks tipe I (HSV-I), Virus Varisela-
zoster (VVZ).
3. Meningitis karena jamur.
4. Meningitis karena parasit, seperti toksoplasma, amoeba.
B.4 FAKTOR RESIKO
Faktor risiko yang menempatkan orang pada risiko tinggi untuk meningitis bakteri
meliputi 10:
o Orang dewasa lebih tua dari 60 tahun
o Anak-anak muda dari 5 tahun
o Orang dengan alkoholisme
o Orang dengan sickle cell anemia
o Orang dengan kanker, terutama mereka yang menerima kemoterapi
o Orang yang telah menerima transplantasi dan memakai obat yang menekan sistem
kekebalan tubuh
o Orang dengan diabetes
o Mereka baru-baru ini terkena meningitis di rumah
o Masyarakat yang tinggal di jarak dekat (barak militer, asrama)
o IV pengguna narkoba
o Orang dengan pirau di tempat untuk hidrosefalus
B.5 KLASIFIKASI
Meningitis berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak sebagai berikut :
1. Meningitis purulenta
Radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medulla spinalis.
Penyebabnya adalah bakteri non spesifik, berjalan secara hematogen dari sumber
infeksi (tonsilitis, pneumonia, endokarditis, dll.) 8,9
2. Meningitis serosa
Radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang
jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lain
seperti lues, virus, Toxoplasma gondhii, Ricketsia. 8,9
29
B.6 PATOGENESIS
1. Meningitis bakteri
Meningitis bakteri merupakan salah satu infeksi serius pada anak-anak. Infeksi ini
berhubungan dengan komplikasi dan risiko kematian. Etiologi dari meningitis
bakterial pada neonatus yaitu pada periode 0 – 28 hari. Bakteri menyebabkan
meningitis pada neonatus apabila terpapar dengan flora pada gastrointestinal dan
genitourinarius ibu. Contohnya: streptococcus, E. coli, klebsiella. E.coli merupakan
penyebab kedua tersering pada meningitis neonatus. 9
Kebanyakan kasus meningitis akibat dari penyebaran hematogen yang masuk
melalui celah subarachnoid. Mikroorganisme masuk ke cerebral nervous system
melalui 2 jalur potensial. Bakteri masuk kedalam kavitas intrakranial melalui sirkulasi
darah atau berasal dari infeksi primer pada nasofaring, sinus, telinga tengah, sistem
kardiopulmonal, trauma atau kelainan kongenital daripada tulang tengkorak.
Frekuensi terbanyak berasal dari sinusitis. Organisme juga dapat menginvasi
meningens dari telinga tengah. Meningitis yang diikuti terjadinya otitis media
merupakan proses bakteriemia, walaupun bukan kongenital atau adanya posttraumatic
fistula pada tulang temporal yang mensuplai akses ke CSS. 10
2. Meningitis Virus
Pada umumnya virus masuk melalui sistem limfatik, melalui saluran pencernaan
disebabkan oleh Enterovirus, pada membran mukosa disebabkan oleh campak,
rubella, virus varisela-zoster (VVZ), Virus herpes simpleks (VHS), atau dengan
penyebaran hematogen melalui gigitan serangga. Pada tempat tersebut, virus
melakukan multiplikasi dalam aliran darah yang disebut fase ekstraneural, pada
keadaan ini febris sistemik sering terjadi. Propagasi virus sekunder terjadi jika
menyebar dan multiplikasi dalam organ-organ. VHS mencapai otak dengan
penyebaran langsung melalui akson-akson neuron. 8
Kerusakan neurologis disebabkan oleh ; (1) Invasi langsung dan perusakan
jaringan saraf oleh virus yang bermultiplikasi aktif. (2) Reaksi hospes terhadap
antigen virus secara langsung, sedangkan respons jaringan hospes mengakibatkan
demielinasi dan penghancuran vascular serta perivaskuler. Pada pemotongan jaringan
otak biasanya dapat ditemukan kongesti meningeal dan infiltrasi mononukleus,
manset limfosit dan sel-sel plasma perivaskuler, beberapa nekrosis jaringan
30
perivaskuler dengan penguraian myelin, gangguan saraf pada berbagai stadium
termasuk pada akhirnya neuronofagia dan proliferasi atau nekrosis jaringan. Tingkat
demielinisasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan akson, terutama
dianggap menggambarkan ensefalitis “pascainfeksi” atau alergi. 9
Gambar 5. Patofisiologi Meningitis7
31
B.7 MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala-gejala yang terkait dengan tanda-tanda non spesifik disertai dengan
infeksi sistemik atau bakteremia meliputi, demam, anoreksia, ISPA, mialgia,
arthralgia, takikardia, hipotensi dan tanda-tanda kulit seperti; ptechie, purpura, atau
ruam macular eritematosa. Mulainya tanda-tanda tersebut diatas mempunyai dua pola
dominan yaitu :
Akut/timbul mendadak berupa ; manifestasi syok progresif, DIC, penurunan
kesadaran cepat, sering menunjukkan sepsis akibat meningokokus dan pada
akhirnya menimbulkan kematian dalam 24 jam.
Sub akut berupa; timbul beberapa hari, didahului gejala ISPA atau gangguan
GIT yang disebabkan oleh H.influenza dan Streptokokus.
Gambar 6. Gejala dan Tanda Meningitis8
2. Tanda-tanda peningkatan TIK dikesankan oleh adanya muntah, nyeri kepala dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung, moaning cry, kejang umum, fokal, twitching,
UUB menonjol, paresis, paralisis saraf N.III (okulomotorius) dan N.VI (abdusens),
strabismus, hipertensi dengan bradikardia, apnea dan hiperventilasi, sikap dekortikasi
32
atau deserebrasi, stopor, koma. Selain tersebut diatas, hal lain yang juga
meningkatkkan TIK dikarenakan :
• Peningkatan protein pada CSS :
• Karena adanya peningkatan permeabilitas pada sawar otak (Blood Brain Barier)
dan masuknya cairan yang mengandung albumin ke subdural.
• Penurunan kadar glukosa dalam LCS :
• Karena adanya gangguan transpor glukosa yang disebabkan adanya peradangan
pada selaput otak dan pemakaian gula oleh jaringan otak
• Peningkatan metabolisme yang menyebabkan terjadinya asidosis laktat.
3. Tanda Rangsang Meningeal seperti :
• Kaku kuduk
• Brudzinsky 1 & 2
• Kernig sign
Gambar 7. Tanda Rangsang Meningeal9
33
Gambar 8. Stadium Klinis Meningitis TB 9
B. 8 DIAGNOSIS
Diagnosis meningitis tergantung dari organisme penyebab yang terisolasi dari darah,
CSS, urin dan cairan tubuh lainnya. Namun terutama berdasar pada pemeriksaan kultur dari
cairan serebrospinal. Lumbal punksi dilakukan pada setiap anak dengan kecurigaan
terjadinya sepsis. Hasil lumbal pungsi, ditemukan hitung leukosit > 1.000/mm3. Kekeruhan
CSS terlihat leukosit pada CSS melampaui 200 – 400/mm3. Normal pada neonatus hanya 30
leukosit/mm3. Sedangkan pada anak-anak < 5 leukosit/mm. 9
Pada CSS dilakukan pemeriksaan terhadap adanya bakteri, jumlah sel, protein dan
glukosa level. Pada pemeriksaan bakteri dapat ditemukan cairan jernih dengan beberapa sel
mengandung banyak bakteri, yaitu sekitar 80% pada bayi dengan diagnosa meningitis.
Jumlah sel dalam CSS > 60/µl dan yang terbanyak adalah sel neutrofil. Konsentrasi protein
yang meningkat dan penurunan glukosa juga dapat ditemukan. Kadar protein normal pada
neonatus dapat mencapai 150 mg/dl, terutama pada bayi prematur. Pada meningitis kadar
proteinnya dapat mencapai beberapa ratus sampai beberapa ribu mg/dl. Kadar glukosanya
kurang dari 40 mg/dl dan 50% lebih rendah dari glukosa darah yang waktu pengambilan
darahnya bersamaan dengan pengambilan likuor. 9,10
34
Tabel 2. Skema Meningitis
Bakteri Virus TBC
Warna Keruh Jernih Jernih
Sel PMN Limfosit Limfosit
Protein Ringan Tinggi
Glukosa ¯ Normal ¯
Pemeriksaan sediaan apus likuor dengan pewarnaan gram dapat menduga penyebab
meningitis serta diagnosis meningitis dapat segera ditegakkan. Biakan dari bagian tubuh
lainnya seperti aspirasi cairan selulitis atau abses, usapan dari kotoran mata yang purulen,
sekret di umbilikus, dan luka sebaiknya dilakukan pula, mengingat mikroorganisme pada
bahan tersebut mungkin sesuai dengan penyebab meningitis. Pada bayi usia 1 bulan jumlah
leukosit berkisar antara 0-5 sel/mL, banyak kasus pada neonatus ditemukan peningkatan
jumlah leukosit dengan polymorphonuclear (PMN) leukosit lebih dominan. Kultur darah
pada meningitis bakterial mempunyai nilai positif pada 85% kasus neonatus. Pemeriksaan
radiologis yaitu foto dada, foto kepala, bila mungkin CT scan.10
B.9 DIAGNOSIS BANDING
Meningismus
Abses otak
Tumor otak
B.10 KOMPLIKASI
a. Hidrosefalus.
b. Abses otak
c. Renjatan septic.
d. Pneumonia (karena aspirasi)
e. Koagulasi intravaskuler menyeluruh.
35
B.11 PENATALAKSANAAN
1. Meningitis bakterial :
a. Meningitis pada bayi dan anak dengan sistem imun yang baik, untuk :
S.pneumonia, M.meningitidis dan H.influenza
Cephalosporin generasi III: Cefotaksim 200mg/kgBB/24jam dibagi 4 dosis
atau
Ceftriakson 100mg/kgBB/24jam dosis tunggal atau
Ceftriakson 50mg/kgBB/12 jam
Kombinasi dengan Vankomycin 60mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
Lama terapi antibiotik
S.pneumonia sensitif penisilin: dengan cephalosporin generasi III atau
penicillin IV dosis 300.000 U/kg/24jam dalam 4-6 dosis selama 10-14 hari,
Jika resisten: Vankomycin
N.meningitidis: Penicillin IV u/ 5-7 hari
H.influenza type B tanpa komplikasi:7-10 hari
b. Meningitis tuberkulosa : OAT PO atau parenteral
Multi drug treatment dengan OAT (INH, Rifampisin, Pirazinamid)
Bila berat dapat + Etambutol/ Streptomycin
Pengobatan minimal 9 bulan
1. OAT
INH
Bakteriosid & bakteriostatik
Dosis 10-20mg/kgBB/hari max. 300mg/hari PO
Komplikasi : Neuropati perifer, dpt dicegah dg Piridoksin 25-
50mg/hari
NH + Rifampisin : Hepatotoksik
Rifampisin
Bakteriostatik
Dosis 10-20mg/kgBB/hari PO AC
Menyebabkan urin merah
Efek samping : Hepatitis, kelainan GIT, trombositopenia
36
Pirazinamid
Bakteriostatik
Dosis 20-40mg/kgBB/hari PO atau
50-70 mg/kgBB/minggu dibagi dalam 2-3 dosis PO selama 2 bulan
Etambutol
Bakteriostatik
Dosis 15-25mg/kgBB/hari PO atau
50mg/kgBB/minggu dibagi dalam 2 dosis PO
Efek samping : Neuritis optika, atrofi optik
2. Rehabilitasi: Fisioterapi & penanganan lanjut bila ada komplikasi
3. Diet : Tinggi Kalori Tinggi Protein
4. Konsultasi dokter spesialis saraf
5. Konsultasi bedah saraf (bila ada hidrosefalus)
2. Meningitis Virus
Istirahat dan pengobatan simptomatis. Likuor serebrospinalis yang
dikeluarkan untuk keperluan diagnosis dapat mengurangi gejala nyeri
kepala.
Pengobatan simptomatis, berupa :
Menghentikan kejang :
37
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6
mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan
dengan :
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
Menurunkan panas :
Antipiretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
Pengobatan suportif
Cairan intravena
Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.
B.12 PENCEGAHAN
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin
yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV),
Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2
bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,
Polio dan MMR.\ Vaksinasi Hib dapat mlindungi bayi dari kemungkinan terkena
meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah
direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval
satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak
1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan
pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis
(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.35
38
meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan
cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya
memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2
/orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet.7.8
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini
dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik
petugakesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis. Dalam
mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan
X-ray (rontgen) paru . 7.8
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini.10 Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu 7.8:
Meningitis Purulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim,
seftriakson.
Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin,
seftriakson.
Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan
seftriakson.
Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)
Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang
berat dapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa
prednisone digunakan sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan mengobati edema otak. 7.8
39
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut
atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisikondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.
B. 13 PROGNOSIS
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian. Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian. 7.8
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology.
7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
2. Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas
PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company;
1975.p.1111-48.Guillain-BarreSyndrome.Update: 2014]. Available
from:http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
3. Guillain-Barré Syndrome. [update 2014].
Availablefrom:http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325§ion_name=condition_info.
4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical
practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann;
1996. p.1911-16.
5. Guillain-Barré Syndrome. Available from:http://www.medicinenet.com/guillain-
barre_syndrome/article.htm
6. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In:
Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural
repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge
University Press; 2006. p.49-55.
7. Gilroy, John Basic Neurology, Mc Graw Hill. USA, 1997 Hauser,Stephen,L (ed).
Harrison’s , Neurology in Clinical Medicine . Mc Graw Hill, Philadelphia, 2005
8. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal 11- 16
9. Mark Mumenthaler, Neurologi jilid 1, Bern, Swiss, 1989. hlm. 66 – 7
10. Taslim S. Soetamenggolo, Sofyan Ismael, Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta, IDAI,
1999, hlm. 373 – 84
41