case anastesi my

38
CASE REPORT ANASTESI Dokter Pembimbing : dr.Hayati Usman. Sp. AN dr. Dhadi Ginanjar, Sp.AN Disusun oleh : Mu’amar 1102009 Yuni Mayasari 1102009308 1

Upload: maya-yunisari

Post on 05-Nov-2015

252 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

uyukikiuhjkhasdjkhajkhjkadhkahjahahjshkjshkjshjkshkjshjkahjkahajkshjkshkajshakshkajshdkjjahskdjhaskdhakjsdhkajsdhkaahskj

TRANSCRIPT

CASE REPORT ANASTESI

Dokter Pembimbing :

dr.Hayati Usman. Sp. AN

dr. Dhadi Ginanjar, Sp.ANDisusun oleh :

Muamar 1102009Yuni Mayasari 1102009308KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANASTESI RSUD dr. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2015BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatoma tertentu ( Covino et al., 1994; Raya et al, 2006). Penggunaan obat anestesi lokal pada anestesi spinal bertujuan untuk mendapatkan blok yang adekuat. Pemilihan obat anestesi lokal yang akan digunakan pada umumnya berdasar kepada perkiraan durasi dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan untuk segera pulih dan mobilisasi (Covino et al., 1994). Ada beberapa obat anestesi lokal yang dapat digunakan untuk anestesi spinal, namun pada dasarnya dibagi menjadi dua golongan yaitu : golongan amida dan ester. Masing masing mempunyai sifat yang berbeda. Dalam perkembangannya penggunaan obat obatan tersebut dapat ditambahkan atau dikombinasikan dengan obat obatan lain seperti opioids, vasokonstriksi, klonidin, midazolam, neostigmin dan lain sebagainya. (Covino et al., 1994; Veering, 2003 ; Cristianson, 2005). Pemberian opioid intratekal digunakan untuk meningkatkan daya analgesi spinal dan mengurangi nyeri terutama untuk nyeri pasca operasi. Penggunaan opioid intratekal pertama kali dilakukan secara klinik pada tahun 1979 dengan menggunakan morpin. Karena sifat morpin hidrofilik dan beberapa efek samping yang timbul maka dikembangkanlah berbagai penelitian penggunaan opioid yang bersifat lipofilik. Fentanyl dan sufentanyl disebutkan merupakan opioid yang bersifat lipofilik yang paling disukai untuk digunakan sebagai adjuvant blok neuroaksial termasuk pemberian intratekalFentanyl bersifat lipofilik memiliki onset cepat dan kurangnya kecenderungan menyebar ke rostral yang dapat menyebabkan efek samping berupa depresi pernafasan. Oleh karena itu fentanyl disebutkan sebagai alternatif yang lebih baik dan aman untuk intratekal sebagai adjuvan daripada morfin ( Veering, 2003).BAB II

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas pasienNomor Rekam Medis: 751442Nama lengkap: Ny. Nurjannah Umur: 26 tahun

Jenis kelamin : PerempuanPekerjaan : Ibu Rumah TanggaPendidikan: SDAlamat: suka resmiStatus pernikahan: MenikahAgama

: Islam

Ruang rawat/ Kelas

: KalimayaTanggal operasi

: 11 Maret 20151.2. Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis kepada pasien sendiri, pada tanggal 11 Maret pukul 17:30 WIB. Keluhan Utama Keluhan Tambahan

Riwayat Penyakit Sekarang

OS datang ke RSUD Slamet Garut, os sedang hamil 9 bulan dengan keluhan kejang- kejang dsebanyak 2 kali dan perdarahan, mules- mules disangkal, pergerakan janin masih dirasakan., tidak ada riwayat operasi sebelumnya. Pada riwayat kehamilan G4P3A0. Riwayat Penyakit Dahulu :

OS sebelumnya belum pernah menjalani operasi atau tindakan anestesi apapun. Riwayat alergi obat-obatan atau makanan tertentu disangkal. OS mempunyai riwayat hipertensi, os menyangkal mempunyai DM, penyakit jantung, asma, ginjal maupun hati. Pasien mengaku tidak meminum obat-obatan tertentu secara rutin dalam jangka panjang.

Riwayat Penyakit keluarga :

Riwayat diabetes melitus, hipertensi, asma, penyakit jantung dan paru, alergi obat atau makanan tertentu, serta keganasan dalam keluarga disangkal oleh OS. Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi juga disangkal.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang.1.3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis

Status gizi

: TB: 155 cm

BB: 60 kg Tanda vital

Tekanan darah

: 140/100mmHgNadi

: 88x/menitSuhu

: 36,5 CPernapasan

: 28 x/menit

Status Generalis

Kepala: Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-Leher: KGB tidak teraba membesar

Thorax

-Jantung

: BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

-Paru

: Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-Abdomen Inspeksi

: Perut membesar , Cembung

Palpasi

:

Perkusi/Auskultasi: Ekstremitas

: Akral hangat pada keempat ekstremitas dan tidak terdapat kelainan pada ekstremitas.1.4. Pemeriksaan Penunjang1) Pemeriksaan laboratoriumdilakukan pada tanggal 27 Februari 2015a. Hematologi

Hemoglobin

: 5,8 g/dL

(N= 12.0 - 16.0) Hematokrit

: 18 %

(N= 35 - 47) Leukosit

: 22.380/mm

(N= 3800 - 10.600) Trombosit

: 262.000/mm

(N= 150.000 - 440.000) Eritrosit

: 2.07 juta/mm(N = 3.6 5.8)b. urine

berat jenis urine:blood urine

:lekosit esterase:PH urine

:Nitrit urine

:Glukosa urine

:Keton urine

:Urobilinogen urine:Bilirubin urine

:1.5. Diagnosis Kerja

Suspek Kista Ovarium1,6 Rencana tindakan Bedah

Histerektomi1.7 Rencana Tindakan Anastesi

Status fisik pasien: ASA III EJenis anastesi

: Anestesi umumBAB III

LAPORAN ANASTESI

a. Status anestesi

Diagnosa pre operasi : Kista Ovarium Jenis operasi

: Rencana teknik anestesi : Anestesi Umum Status fisik

: ASA III Eb. Keadaan selama pembedahan

Lama operasi

: (Jam 10.45 12.45 WIB)

Lama anestesi

: (Jam 10.30 12.45 WIB)

Jenis anestesi

: Anestesi umumPosisi

: SupineInfus

: Gelafusal

Ringer laktat Transfusi Darah (PRC) Nacl Medikasi : Propofol 100 mg

Atracurium 30 mg

Fentanyl 150 mg

Dexamethasone 10 mg

As. Tranexamat 1000 mg

Ketorolac 30 mg

Cairan Masuk : Gelafusal 500 cc

Ringer laktat 500 cc

Transfusi Darah PRC 250 cc

Nacl 500 cc Perdarahan

: + 1300 ccc. Persiapan Alat

Mesin anastesi Monitor anastesi Sfigmomanometer digital

Oksimeter atau saturasi

Spuit 5 cc dan 3cc Kanul O2d. Persiapan Obat

Pre medikasi: - Analgetik: fentanil Sedativa: propofol Muscle relaxant : atrakurium

Obat emergency: Ephedrinee. Monitoring Saat OperasiJam

(waktu)TindakanTekanan darah

(mmHg)Nadi

(x/menit)

10.25 OS masuk ke kamar operasi dan di pindahkan ke meja operasi

Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi oksigen.

Infus Gelafusal 160/9076

10.30 Medikasi propofol 100 mg, fentanyl 150 mg, atrakurium 30 mg Pemberian Oksigen 2 liter/menit160/9050

10.45Operasi dimulai- masuk RL

120/6060

11.00- OS masih dalam keadaan di operasi- Medikasi dexametason 10 mg, As.Tranexamat 1000 mg.

140/7060

11.20Masuk PRC 1 labu 150/8060

12.30Masuk Nacl150/80

67

12.45- Operasi selesai

- Pemberian oksigen dihentikan

- Pasien sadar dan dipindahkan ke Recovery Room

140/7070

f. Keadaan akhir pembedahan

Tekanan darah : 95/60 mmHg, Nadi : 60 x/m

Penilaian Pemulihan Kesadaran (berdasarkan Skor Aldrete) :

Nilai210

KesadaranSadar, orientasi baikDapat dibangunkanTak dapat dibangunkan

WarnaMerah muda (pink) tanpa O2, SaO2 > 92 %Pucat atau kehitaman perlu O2 agar SaO2 > 90%Sianosis dengan O2 SaO2 tetap < 90%

Aktivitas4 ekstremitas bergerak2 ekstremitas bergerakTak ada ekstremitas bergerak

RespirasiDapat napas dalam

BatukNapas dangkal

Sesak napasApnu atau obstruksi

KardiovaskularTekanan darah berubah 20 %Berubah 20-30 %Berubah > 50 %

Total = 10 ( Pasien dapat dipindahkan ke ruangan rawat (bangsal)BAB IVTINJAUAN PUSTAKA1. Pengertian

Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat kerusakan (robekan) pembuluh darah. Kehilangan darah bisa disebabkan perdarahan internal dan eksternal. Perdarahan internal lebih sulit diidentifikasi. Jika pembuluh darah terluka maka akan segera terjadi kontriksi dinding pembuluh darah sehingga hilangnya darah dapat berkurang. Platelet mulai menempel pada tepi yang kasar sampai terbentuk sumbatan.

2. Jenis perdarahan

Berdasarkan letak keluarnya darah:

a. Perdarahan Luar

Ada 3 macam perdarahan :

1. Perdarahan dari pembuluh rambut (kapiler) Tanda tandanya :

Perdarahan tidak hebat

Keluar perlahan lahan berupa rembesan

Biasanya perdarahan berhenti sendiri walaupun tidak diobati

Mudah untuk menghentikan dengan perawatan luka biasa

2. Perdarahan dari pembuluh darah balik (vena)

Tanda tandanya :

Warna darah merah tua

Pancaran darah tidak begitu hebat dibanding perdarahan arteri

Perdarahan mudah untuk dihentikan dengan cara menekan dan meninggikan anggota badan yang luka lebih tinggi dari jantung.

3. Perdarahan dari pembuluh nadi (arteri) Tanda tandanya :

Warna darah merah muda

Keluar secara memancar sesuai irama jantung

Biasanya perdarahan sukar untuk dihentikan

b. Perdarahan Dalam

Perdarahan dalam adalah perdarahan yang terjadi di dalam rongga dada, rongga tengkorak dan rongga perut. Biasanya tidak tampak darah mengalir keluar, tapi terkadang dapat juga darah keluar melalui lubang hidung, telinga, dan mulut. Penyebab:

Pukulan keras, terbentur hebat

Luka tusuk

Luka tembak

Pecahnya pembuluh darah karena suatu penyakit

Robeknya pembuluh darah akibat terkena ujung tulang yang patah.

Derajat Syok HemoragikKlas I Klas II Klas III Klas IV

Kehilangan dlm % < 15% 15 30% 30 40% > 40%

Kehilangan dlm cc < 750 cc 750 1500 cc 1500 2000 cc > 2000 cc

Frek. Nadi < 100x/m 100x/m 120x/m > 140x/m (tidak teraba)

Sistolik > 110 mmHg > 100 mmHg < 90 mmHg < 90 mmHg

Cap refill Normal Delayed Delayed Delayed

Frek. Nafas 16x/m 16 20 x/m 21 26 x/m > 26 x/m

Kesadaran (mental state) Sadar (anxious) Gelisah (agitated) Kesadaran menurun (confused) Lemah tak bergerak (lethargic)

Derajat Dehidrasi (Kriteria Pierce)

Gejala DefisitRingan (3-5% BB)Sedang (6-8% BB)Berat (>10% BB)

Turgor kulitBerkurangMenurunsangat menurun

LidahNormalLunakkecil keriput

MataNormalCowongsangat cowong

Ubun-ubunNormalCekungsangat cekung

Rasa haus++++++

Nadi kecil lemah sangat kecil

Tensi tak terukur

UrinePekatAnuria

Hal-hal yang perlu dikaji terkait dengan perdarahan yaitu:

1. ABCD

2. Sianosis atau tidak

3. Kulit dingin terutama akral

4. Tekanan darah yang turun

5. Nadi cepat tapi lemah

6. Nafas dalam dan cepat

7. Banyaknya darah yang keluar

8. Kesadaran klien

Pada perdarahan eksternal, jika berlebihan akan terlihat jelas pada pakaian. Jika seseorang menggunakan pakaian yang tebal perdarahan mungkin tidak terlihat. Pemeriksaan harus cepat-cepat memeriksa tubuh pasien dengan membuka pakaian terlebih dahulu, yakinkan bagian-bagian yang terbawah sudah diperiksa. Pakaian yang berlumuran darah dapat digunting sehingga daerah yang terluka dapat diperiksa. Kulit kepala mengandung banyak pembuluh darah, lacerasi kecil pun dapat menyebabkan perdarahan yang hebat.Sedangkan perdarahan internal sukar diidentifikasi. Perdarahan didalam rongga (pneumothorak) bisa menghambat pernafasan dan akan mengakibatkan nyeri dada. Perdarahan pada rongga perut akan menyebabkan kekakuan pada otot abdomen dan nyeri abdomen. Hemoptysis dan hematemisis menunjukkan adanya perdarahan di paru-paru atau perdarahan saluran pencernaan. Shock dapat terjadi pada perdarahan internal dan eksternal yang hebat. Korban dikaji terhadap nadi yang sangat cepat tetapi lemah, pernafasan lambat dan dangkal, kulit dingin, cemas gelisah dan haus. Pupil sama, dapat berdilatasi dan responnya terhadap cahaya sangat lambat.1. Teknik menghentikan perdarahan

1. R rest : Diistirahatkan, adalah tindakan pertolongan pertama yang esensial, penting untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.

2. I Ice : Terapi dingan, gunanya mengurangi perdarahan, dan meredakan rasa nyeri.

3. C Compresion : Penakanan atau balut tekan gunanya membantu mengurangi pembengkakan jaringan dan perdarahan lebih lanjut.

4. E Elevation : Peninggian daerah cedera gunanya untuk mencegah statis, mengurangi edema (pembengkakan), dan rasa nyeri.

Tranfusi Darah

Tranfusi darah pada hakekatnya merupakan pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi di sisi lain dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi. Oleh karena itu, pemberian tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan efisien, yaitu dengan memberikan hanya komponen darah atau derivat plasma yang dibutuhkan saja. Dengan demikian diharapkan manfaat yang didapat jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin terjadi.

TES PRE TRANFUSI

Pemeriksaan alloantibodi mengidentifikasi antibodi yang melawan antigen sel darah merah lain. Spesifisitas alloantibodi ditentukan oleh ada tidaknya antigen yang mengakibatkan aglutinasi.

Uji cocok silang (crossmatch) adalah prosedur yang paling penting dan paling sering dilakukan sebelum tranfusi darah. Secara umum, uji cocok silang terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan sebelum tranfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk mendeteksi antigen ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari sel darah merah donor setelah tranfusi.

Uji cocok silang ada 2 jenis, yaitu mayor dan minor. Uji silang mayor menguji reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien, yaitu untuk mendeteksi antibodi resipien yang dapat melisis sel darah merah donor dan menyebabkan reaksi tranfusi hemolitik. Uji silang minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien. Uji cocok silang mayor dilakukan pada tes pretranfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiaglutinin. Sedangkan uji tranfusi silang minor tidak dilakukan pretranfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok silang. Kedua uji tersebut biasa dikerjakan dalam 3 fase, yaitu medium NaCl 0,9%, medium albumin dan Coombs yang keseluruhannya memerlukan waktu 2 jam.

Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat bereaksi dengan sel darah merah donor. Namun permintaan darah dalam keadaan darurat dimana tidak dilakukan uji cocok silang, harus dipertimbangkan kemungkinan besar terjadinya resiko tranfusi. Meskipun demikian, uji cocok silang juga tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing, atau semua antibodi ireguler pada resipien serum.Syarat transfusi darah

1. KU baik

2. usia 17 65 th

3. BB 50 kg atau lebih

4. tidak demam (temperatur oral < 37 C)

5. frekuensi irama denyut nadi normal

6. TD 50 100/90 180 mmHg

7. tidak lesi kulit yg berat

8. terakhir 8 minggu yg lalu , tidak hamil

9. tidak menderita TBC aktif

10. tidak menderita asma bronkial simptomatik

11. pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil , minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut)

12. tidak ada riwayat kejang

13. tidak ada riwayat perdarahan abnormal

14. tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah

KOMPONEN DARAH UNTUK TRANFUSI

Darah Utuh (Whole Blood)

Darah utuh berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah utuh/lengkap berisi 450ml darah dan 65 gram hemoglobin. Suhu simpan antara 1-6Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah. Pada pemakaian sitrat fosfat dextrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin (CPDA) lama simpan adalah 35 hari. Menurut cara simpan in vitro, ada 2 jenis darah lengkap, yaitu darah segar dan darah baru. Darah segar merupakan darah yang disimpan sampai 48 jam, sedangkan darah baru adalah darah yang disimpan sampai 5 hari.

Selama penyimpanan dingin, afinitas oksigen darah utuh meningkat seiring dengan penurunan 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) sel darah merah. Baik afinitas oksigen maupun kadar 2,3-difosfogliserat akan kembali normal dalam beberapa jam setelah tranfusi.

Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari 25-30% volume darah total. Namun pemberian darah lengkap pada kondisi tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting daripada penggantian sel darah merah, sedangkan persiapan darah untuk tranfusi memerlukan waktu. Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronis yang normovolemik atau yang hanya bertujuan meningkatkan sel darah merah.

Pemberian darah utuh disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Pada orang dewasa, satu unit darah lengkap diperkirakan dapat meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%, sedangkan pada anak-anak darah lengkap 8ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl. Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun sebaiknya setiap unitnya diberikan dalam 4 jam.

Sel Darah Merah Pekat (Packed Red blood Cell)

Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Sel darah merah pekat ini didapatkan dengan cara memusingkan darah utuh dan mengeluarkan plasma ke dalam kentong lain, sehingga diperoleh sel darah merah dengan hematokrit sekitar 60-70% dengan volume sel darah merah 200ml. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1-6 Celcius. Apabila menggunakan antikoagulan CPDA, maka masa simpan dari sel darah merah tersebut adalah 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD maka masa simpan sel darah merah ini sekitar 21 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dextrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60% dengan masa simpan 42 hari.

Sel darah merah pekat merupakan terapi suportif untuk kehilangan darah praoperasi atau untuk anemia kronis bila terapi definitif tidak tersedia, misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan. Pemberian PRC disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, bukan tergantung pada nilai Hb atau hematokrit. PRC dapat memperbaiki oksigenasi jaringan dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung. Sedangkan pemberian PRC juga dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Setiap satu unit sel darah merah pekat pada orang dewasa akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar (170u). Penemuan faktor spesifik, eritropoitin manusia rekombinan secara dramatis telah menurunkan penggunaan tranfusi sel darah merah pada pasien penyakit ginjal kronis terminal.Eritropoitin rekombinan juga telah menggantikan tranfusi darah pada pasien tertentu yang menderita kanker, AIDS dan mielodisplasia tergantung tranfusi.

Sel Darah Merah dengan Sedikit leukosit (Packed Red Cell Leukocyte Reduced)

Komponen sel darah merah dan trombosit mengandung leukosit (terutama lymfosit) dalam jumlah yang bervariasi. Reaksi demam sering terjadi pada pasien tersensitisasi yang menerima komponen lebih dari 5 x 10 8 leukosit, dan alloimunisasi terhadap antigen HLA pada limfosit residual dapat terjadi bila dilakukan tranfusi lebih dari 10 6 limfosit. Virus tertentu yang terkait sel, misalnya citomegalovirus dan HTLV-1 dan II ditularkan melalui sejumlah kecil limfosit. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan upaya menciptakan komponen darah seluler dengan jumlah leukosit yang dikurangi atau direduksi. Tindakan pencucian sel menghilangkan sebagian besar plasma, tetapi hanya mengurangi leukosit sekitar 1 log, cukup untuk menghilangkan reaksi demam tetapi tidak dapat mencegah penyulit lain.

Setiap unit sel darah ini mengandung 1-3 x 10 9 leukosit. Sel darah ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Suhu simpannya 1-6 Celcius, sedangkan masa simpan tergantung pada cara pembuatannya. Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tetapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).

Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering mendapat/ tergantung pada tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi panas yang berulang serta reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi leukosit. Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD) sehingga komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah hal itu adalah bila komponen darah tersebut diradiasi.

Sel darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Cell Washed)

Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80% dengan volume 180ml. Pencucian dengan salin mebuang hampir seluruh plasma (98%), menurunkan konsentrasi leukosit dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya sering dilakukan dengan sistem terbuka, maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1-6 Celcius.

Pada orang dewasa komponen darah ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri. Komponen darah ini masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini juga tidak menjamin pencegahan terjadinya GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi. Trombosit Pekat (Concentrat Platelet)

Komponen darah ini berisi trombosit, bebrapa leukosit, sel darah merah serta plasma. Trombosit pekat diperoleh dengan cara pemusingan plasma kaya trombosit dari sebuah unit darah untuk menghasilkan 6 x 10 10 trombosit, atau dengan tromboferesis otomatis untuk menghasilkan sekitar 6 unit semacam itu dari donor individual. Bila disimpan dalam suhu kamar pada wadah yang permiabel gas untuk mempertahankan metabolisme aerobik dan pH, trombosit dapat bertahan hidup selama 5 hari. Satu unit trombosit dapat meningkatkan hitung trombosit dewasa paling sedikit 5000 sel per mikroliter, dan trombosit dapat beredar sekitar seminggu dalam tubuh pasien trombositopenik yang mungkin tidak terimunisasi dan stabil.

Tranfusi trombosit pekat ini diindikasikan bila terjadi trombositopenia berat atau disfungsi trombosit yang disertai perdarahan aktif atau mengancam jiwa. Tranfusi trombosit mengontrol perdarahan pada pasien trombositopenik yang mengalami penekanan pembentukan trombosit, misalnya pada pasien leukemia, kemoterapi, atau radioterapi, atau yang mengalami trombositopenia dilusional setelah tranfusi masif. Tranfusi trombosit kurang efektif bila terjadi destruksi perifer, misalnya terjadi koagulopati konsumsi atau purpura trombositopenik imun (ITP), dan tidak dianjurkan kecuali bila benar-benar mengancam jiwa. Pada kondisi ini, tranfusi trombosit dapat mencegah perdarahan yang potensial fatal sampai penyebab destruksi trombosit dapat diperbaiki.

Penggunaan tranfusi trombosit profilaksis untuk pasien trombositopenik yang stabil masih diperdebatkan. Ambang hitung trombosit ketika terjadi perdarahan akan bervariasi sesuai dengan penyebab trombositopenia dan sesuai dengan derajat disfungsi trombosit. Sebagian besar pasien dengan hitung trombosit sekitar 10.000 sel permikroliter tidak mengalami komplikasi perdarahan spontan. Faktor klinis tertentu yang menyulitkan misalnya sepsis, hitung trodiberikan untuk mempertahankan hitungmbosit yang turun cepat, obat yang mengganggu fungsi trombosit, dan mukositis, dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien yang mendapat terapi mielosupresif. Dalam keadaan ini, tranfusi trombosit profilaktik sering diberikan untuk mempertahankan hitung trombosit lebih dari 20.000 sel per mikroliter. Pasien yang berada pada keadaan pascaoperasi dan yang mengalami defek kedua pada hemostasis mungkin memerlukan hitung trombosit 50.000 sampai 100.000 sel per mikroliter. Tranfusi trombosit harus dipantau dengan hitung trombosit pada 1 dan 24 jam pasca tranfusi.

Trombosit yang ditranfusikan idealnya berasal dari jenis ABO dan golongan Rh yang sama dengan pasien. Trombosit yang tidak cocok sistem ABO nya dapat menyebabkan peningkatan jumlah trombosit yang lebih rendah dan mjunbgkin berperan dalam menimbulkan refrakteritas trombosit. Apabila digunakan donor golongan O untuk resipien A, B atau AB, plasma donor mjungkin mengandung antibodi yang cukup untuk merusak sebagian sel darah merah resipien. Plasma yang tidak cocok dapat dikurangi untuk infus pediatrik atau bila orang dewasa memerlukan sejumlah besar trombosit donor tunggal. Walaupun trombosit tidak mengekspresikan antigen Rh, sel; darah merah yang ada dapat mensensitisasikan resipien Rh negatif terhadap konsentrat trombosit Rh positif. Pasien dengan Rh negatif harus mendapat trombosit dari donor dengan Rh negatif juga bila mungkin. Tetapi apabila hal tersebut tidk dapat dilakukan, imunisasi Rh dapat dicegah dengan penyuntikan globulin imun Rh. Hal ini sangat penting terutama untuk wanita usia subur.

Pada tranfusi trombosit dapat terjadi reaksi menggigil, panas dan reaksi alergi lain. Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin, karena dapat menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari tranfusi trombosit dapat menimbulkan alloimunisasi terhadap HLA dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak meningkatnya jumlah trombosit. Pemberian yang terlalu cepat dapat menimbulkan kelebihan beban serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya pada tranfusi komponen lain.Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)

Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Komponen darah ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah dari donor. Plasma segar beku disimpan pada suhu simpan -18 Celcius atau kurang, dengan masa simpan 1 tahun.

Plasma segar beku dindikasikan untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan multipel, antara lain pada penyakit hati dan dilusi koagulopati akibat tranfusi masif. Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volume karena risiko penularan penyakit yang tinggi. Komponen darah ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan. Plasma harus cocok golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, dan tidak memerlukan uji cocok silang. Jika plasma diberikan sebagai faktor koagulasi, dosisnya adalah 10-20 ml/kg (4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, serta dapat pula meningkatkan faktor VIII sebesar 2% (1 unit/kg).

KOMPLIKASI TRANFUSI DARAH

Komplikasi tranfusi darah dapat berupa komplikasi imunologi dan non imunologi, sebagai berikut:

Komplikasi imunologi:

1. Aloimunisasi : antigen eritrosit, antigen HLA

2. Reaksi tranfusi hemolitik : segera dan delayed

3. Reaksi febris tranfusi

4. Kerusakan paru akut karena tranfusi

5. Reaksi tranfusi alergi

6. Purpura pasca tranfusi

7. Pengaruh imunosupresi

8. Penyakit graft versus host

Komplikasi non imunologi:

1. Kelebihan/ overload volume

2. Tranfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru

3. Lainnya: plasticizer, hemosiderosis tranfusi

4. Infeksi: hepatitis A,B,C dan lainnya (HIV, virus Epstein Barr, sifilis, parasit malaria,dll)

GIANT CELL TUMOUR

Giant cell tumour (GCT) didefinisikan sebagai neoplasma jinak namun agresif secara lokal. Asal giant cell tumour tidak diketahui secara pasti.Giant cell tumour menyerang tulang matur dengan lempeng epifisis yang sudah tertutup. Diagnosis GCT pada pasien dengan tulang imatur sulit ditegakkan.1,2GEJALA KLINIS 3,4a. NyeriPasien biasanya merupakan dewasa muda yang datang dengan keluhan nyeri dalam dan persisten di ujung tulang panjang, paling sering di daerah lutut.

b. Pembengkakan

Bengkak sering menyertai keluhan nyeri. Selain disebabkan tumor itu sendiri, pembengakakan dapat disebabkan oleh efusi yang reaktif. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan benjolan yang hangat. Fraktur patologisFraktur patologis terjadi pada sekitar 10 sampai 15 persen kasus. I. STAGING 1,3Enneking dan Campanacci membuat sistem staging untuk operasi giant cell tumour, yang menitikberatkan pada temuan radiologis dan berhubungan dengan prognosis. Staging giant cell tumour menurut Campanacci adalah sebagai berikut :

Stage 1 : lesi terbatas pada tulang

Stage 2 : lesi meluas hingga ke korteks

Stage 3 : 1- melibatkan sendi

2- metastasis jauh

Staging giant cell tumour menurut Enneking :

a. Stage 1: Benign, latent giant cell tumour

Lesi ini ditandai oleh pola pertumbuhan yang statis , tanpa gambaran agresifitas lokal.

b. Stage 2 : Benign, active giant cell tumour

Lesi sering bergejala. Pemeriksaan radiologi, bone scan, CT scan, dan MRI menggambarkan lesi radiolusen ekspansif yang sering mengubah kontur korteks tulang.

c. Stage 3 : Aggressive giant cell tumour

Lesi simptomatik, tumbuh cepat dan sering berhubungan dengan fraktur patologis. CT scan dan MRI menunjukkan gambaran lesi litik yang merusak medula dan korteks tulang. Pemeriksaan histologi menunjukkan infiltrasi sel tumor melewati korteks dan meluas ke jaringan lunak sekitar.

II. TERAPI

Penanganan giant cell tumour adalah operasi, baik dengan kuratase intralesi, maupun eksisi luas. 1. Stage 1 atau 2

Untuk lesi stage 1 atau 2, tujuan terapi adalah mengangkat lesi dengan tetap menyelamatkan sendi yang terlibat. Terapi yang dipilih adalah kuretase. Namun karena tingginya angka rekurensi post kuretase, yaitu sekitar 22 hingga 52 %, maka dilakukan ajuvan terapi dengan menggunakan nitrogen cair, phenol, atau methylmethacrylate. Dengan penambahan ajuvan terapi, kesuksesan kontrol lokal meningkat menjadi 85 sampai 90 %. Eksisi dilakukan dengan membuat cortical window yang cukup luas untuk mengakses setiap sudut dari lesi intraoseus. 1,3Kryoterapi dengan nitrogen cair dapat menyebabkan kematian sel tumor 2 cm dari batas kavitas dan formasi krristal es intralsel dipertimbangkan menjadi mekanisme utama nekrosis sel. Komplikasi penggunaan nitrogen cair dapat berupa ekstensif nekrosis dri tulang dan jaringan lunak sekitar dan dapat mempresipitasi fraktur patologis atau nekrosis kulit. Penggunaan phenol secara lokal membantu mengeliminasi sel tumor melalui mekanisme nekrosis koagulasi non spesifik dan lebih aman dibanding nitrogen cair karena phenol hanya menyebabkan nekrosis 1,5 mm pada tulang. Kavitas yang terbentuk dari kuretase ditutup dengan menggunakan methacrylate atau bone grafts setelah pemberian terapi adjuvan. 12. Stage 3 atau lesi rekuran

Kategori ini termasuk fraktur patologis atau destruksi sendi. Eksisi luas diindikasikan pada :1a. Tumor stage 3 ekstensif tanpa support mekanik dari tulang yang tersisa

b. Lesi rekuren

c. GCT yang disertai fraktur patologis dengan intraartikular dispacement

d. GCT yang terletak di proximal fibula atau distal ulna

e. Tumor di distal radius dengan ekstensi extraoseous

Untuk keadaan rekureni lokal yang masif, transformasi maligna, atau infeksi, amputasi merupakan pilihan terapi. Adapun penggunaan radioterapi pada tumor yang tidak dapat direseksi masih dipertimbangkan karena dapat menyebabkan transformasi maligna.

BAB V

ANALISA KASUS

Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke RSUD Dr.Slamet Garut dengan keluhan terdapat benjolan di kaki kiri sejak kurang lebih 10 bulan SMRS yang semakin lama semakin membesar sampai akhirnya pasien dianjurkan untuk menjalani operasi amputasi pada kaki kirinya dengan diagnosis giant cell tumor. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik saat pre-operasi dan pemeriksaan penunjang, disimpulkan bahwa pasien termasuk ASA III. Menjelang operasi keadaan umum pasien buruk dengan tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu di bawah batas normal.Operasi dilakukan pada tanggal 9 Februari 2015 pukul 15.15 sedangkan anestesi diberikan pada pukul 15.30 di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr.Slamet Garut. Pada pasien dipilih anestesi umum.

Pada pasien diberikan medikasi yaitu. Ketamin diberikan pada pasien pada kasus ini karena meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung memiliki durasi yang singkat yaitu 5-15 menit dan juga sebagai induksi hipnotik dan sedatif memiliki onset kerja dalam waktu 30- 60 detik4. Fentanil Digunakan sebagai analgesic dengan dosis 1-5 g/kg , onset dalam 30 detik dan durasi 30-60 menit. Muscle relaxant dipilih obat atracurium 0,3-0,6 mg/kg.Untuk menjaga distribusi oksigen ke jaringan maka perlu dilakukan terapi cairan. Setiap 1 mL darah yang hilang digantikan dengan 3 mL cairan kristaloid isotonis seimbang atau 1 mL cairan koloid/darah. Sebelumnya, untuk mengetahui persentase kehilangan darah pada pasien dapat dihitung perkiraan volum darah (EBV) yaitu 75 ml/kg x 45 kg = 3375 ml. Perkiraan besar volum darah yang telah hilang adalah + 1500 ml atau sebanyak 18%. Sedangkan allowable blood loss selanjutnya adalah 3 x 5325 x (32,4%-30%) = 383,4 ml.

Pada keadaan awal yaitu ketika Hb 11,2 g.dl dan Ht 32,4% pasien dapat diberikan terapi cairan awal yaitu Normal Saline 2-4 L selama 30 menit untuk mengembalikan keadaan hemodinamik. Sementara dilakukan uji crossmartched terhadap darah donor yang akan diberikan bila memenuhi indikasi transfusi. Pada pemeriksaan darah kedua Hb turun menjadi 6,93 dan Ht 19,6 sehingga perlu dilakukan transfusi PRC.

Perhitungan rencana pemberian cairan

DIK :

BB

: 50 kg

Puasa

: 6 jam

Perdarahan : 1300 cc

Lama operasi : 1 jam 15 menit

EBV : 75 x 50 = 3750 cc

EBL = 1300 cc

Perhitungan perdarahan

EBL/EBV X 100% = 1300/ 3750 x 100 % = 35%

Maintenance

Maintenance = BB x 2

50 x 2 = 100cc

Puasa = Maintenance x puasa/jam

100cc x 6 = 600 cc

2x10=20

1x 25= 25

Total = 85 cc/ jam.

IWL

Lama operasi x Derajat operasi X BB

2 X 6 X 45 = 540 cc/jam

Kebutuhan cairan

85 + 540 + 1500 + 100 = 2225

Pasien sudah mendapatkan cairan intraoperasi sebanyak 2500

Pendarahan pasien 1500 cc sudah diganti dengan 1 widahes ( koloid) setara dengan 500 cc dan 2 PRC setara dengan 500 cc. jadi 1500 cc di kurang 1000 cc menjadi sisa 500 cc. sisa 500 cc tadi dig anti dengan 3 kristaloid dengan perbandingan 1: 3.

Instruksi Post Operasi

M + IWL + (16 jam sisa waktu x M)

510 + 540 + 1360 = 2410/ 16 jam

= 150cc/jam

= 37 gtt/ menit

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Sp. An. Djatmiko, H, Sp. An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2010

3. Omoigui, S. 2010. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta

4. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. Jakarta: 2012.

5. Mangku G, Senapathi Tjokorda GA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: 2010

6. Wirdjoatmodjo, K. Anestesiologi dan Reaminasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 2012 .

PAGE 5