buletin lpm pendapa tamansiswa edisi akreditasi

12

Upload: lpm-pendapa-tamansiswa

Post on 26-Mar-2016

245 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

LPM PENDAPA Tamansiswa merupakan Lembaga Pers Mahasiswa dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi
Page 2: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

2 Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

SURAT PEMBACA

►Redaksi menerima tulisan berbentuk artikel, opini, budaya, cermin, puisi, dan drawing. Panjang tulisan maks. 4 halaman kuarto. ►Redaksi berhak mengedit/mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna.

Terimakasih buat para dosen- dosen matematika yang banyak memberi ilmu berharga bagi saya. Buat temen-temen jurusan MIPA juga yang sudah

banyak memberi pengalaman yang nanti pasti berguna bagi kehidupan saya kedepan. Saya bangga sekali bisa kuliah di UST.

Saya memiliki uneg-uneg pribadi yang mungkin nanti akan timbul pro dan kontra karena terlihat me-nyudutkan seseorang. Ketika melihat nilai di portal,

tertera nilai E. Saya tercengang dengan nilai tersebut. Dari konsultasi saya pada salah satu dosen di fakultas pertanian mengatakan penyebab nilai E diantaranya jika mahasiswa tidak mengumpulkan/mengerjakan tugas, tidak mengikuti UTS dan UAS.

Saya mengikuti semuanya tanpa ada tugas yang terle-watkan. Seperti mengikuti proses perkuliahan dengan baik, datang ontime setiap hari, dan sikap saya terhadap dosen tidak ada masalah apapun.

Kriteria penilaian diawal kuliah dari dosen yang mem-beri saya nilai E yaitu 40% presentasi, 30% UTS, dan 30% UAS. Sedangkan ada seseorang mahasiswa lain yang tidak mengikuti presentasi dan jarang masuk, malah mendapat nilai B.

Setahu saya, sewajarnya, nilai E di dapat jika tidak mengikuti alurnya, sedang saya mengikuti semuanya, kemungkinan seburuk-buruknya C+. Jujur, kejadian ini membuat saya tertekan. Kemudian saya menemui dosen yang bersangkutan hingga akhirnya nilai saya yang E dapat berubah. Apakah ini semacam kekeliruan memasukkan nilai? Atau ada masalh lain yang menyebabkan saya dinilai E? Alangkah lebih baiknya jika ada penstandaran penilaian agar tidak terjadi kejadian seperti itu. Harapan saya semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi.

AS/ Agribisnis 2011

Muji, Pend. Matematika semester 4

Uneg-uneg saya buat UST banyak nih diantaranya:Pertama, Tempat sampah sulit ditemukan, ruangan juga kurang layak. Terus tingkatkan fasilitas umum

UST. Kedua, Sangat disayangkan kenapa di kampus keguruan

banyak saya jumpai mahasiswa merokok. Tolong hormati mahasiswa yang tidak merokok! Mari jaga atmosfer UST yang nyaman untuk kegiatan belajar.

Ketiga, Prosedur kaderisasi & perekrutan anggota Or-ganisasi di UST kok ribet ya???

Ariyanto. Pend. Matematika semester 6

Saran saya buat UST yaitu: Pertama, Perbanyak lagi kerjasamanya dengan berbagai institusi & perusahaan yang dapat meningkatkan kualitas sehingga ma-

hasiswanya bisa magang di berbagai perusahaaan sesuai dengan jurusan.

Kedua, Sebagai pelayan anak didik/mahasiswa, staf UST semestinya memudahkan pelayanan bagi mahasiswa bukan mempersulit dan terkesan tidak mau tahu.

Ketiga, Sedangkan bagi mahasiswa UST, perbanyak kegiatan atau program-program yang dapat meningkatkan kualitas mahasiswa sendiri

Ego. fak pertanian

Permudah Pelayanan Kampus

Aturan Merokok di KampusStandarisasi Penilaian

Bangga di UST

Foto bersama anggota LPM PEDAPA Tamansiswa dengan anggota magang pasca Diklat Dasar di

Pondok Pemuda Ambarbinangun

Page 3: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

3Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

EDITORIAL

Akreditasi merupakan hasil evaluasi sebuah Perguruan Tinggi. Bedasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2013 Perguruan Tinggi diwajibkan dapat memenuhi standar/tar-get yang harus di capai sebagai bagian dari sistem penjami-nan mutu.

Status akreditasi suatu Perguruan Tinggi merupakan cerminan kinerja Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Akreditasi menggambarkan mutu, efisiensi, serta relevansi suatu program studi yang di selenggarakan.

Proses Akreditasi itu sendiri dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan dua model Akreditasi, yaitu akreditasi Program Studi dan akreditasi Perguruan Tinggi. Untuk melakukan penilaian terhadap Program Studi, dilakukan akreditasi secara berkala, yaitu penilaian terhadap sarana dan prasarana, staf pengajar, maupun pengelolaan program pendidikannya.

Akreditasi menjadi hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi dan mutu lulusan. Akreditasi juga merupakan pengakuan pemerintah kepada suatu Perguruan Tinggi. Maka, dengan Akreditasi yang baik, suatu perguruan tinggi dianggap telah memenuhi standar mutu yang di tetapkan oleh BAN-PT.

Berbagai upaya dilakukan Perguruan Tinggi negeri maupun swasta di Indonesia untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi tersebut sehingga memenuhi persyaratan akreditasi. Mulai dari peningkatan kualitas sarana dan prasarana hingga yang lainnya.

Pentingnya akreditasi tentu di rasa oleh kampus kita sendiri, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Beberapa waktu lalu banyak terlihat spanduk-spanduk bertuliskan selamat datang kepada tim asesor BAN-PT. Asesor BAN-PT adalah tenaga pakar pada bidang ilmu, bidang studi, profesi dan atau praktisi yang mewakili BAN-PT dalam penilaian akreditasi program studi.

Yang paling terlihat adalah pembaharuan sarana dan prasarana, seperti pot bunga beserta tanaman yang biasanya tidak ada namun datang tiba-tiba ketika akan ada kunjungan langsung tim asesor BAN-PT dan hilang kembali ketika kunjungan tim asesor BAN-PT itu berakhir. Muncul wacana pot bunga beserta tanaman itu memang hanya menyewa untuk waktu penilaian akreditasi. Buka hanya pot bunga, pemolesan wajah Perguruan Tinggi saat diakreditasi juga terlihat dengan adanya ruang dadakan yang sebelumnya belum ada maupun penambahan dan perbaikan sarana fisik.

Pemandangan seperti itu bukan hal yang tabu lagi ada menjelang akreditasi. Juga bukan hanya UST yang melaku-kan hal seperti itu. Perlakuan itu sudah menjadi hal yang wajar ada. Hal tersebut merupakan upaya dalam mening-katkan kualitas sarana dan prasarana di dalam lingkungan kampus. Namun muncul pertanyaan mengapa hal-hal tersebut hanya ada saat akan dilakukan akreditasi saja? Ke-napa tidak dilakukan pengecekan serta perbaikan fasilitas secara berkala? Di luar kasat mata, pasti ada banyak hal yang UST upayakan demi meningkatkan kualitas kampus untuk mendapat penilaian akreditasi yang baik.[P]

Penjaga Lorong Pojok

PENDAPANews

Diterbitkan Oleh

PelindungPenasehat

Pemimpin UmumWakil Pemimpin Umum

Sekertaris UmumBendahara Umum

Pemimpin RedaksiWakil Pemimipin Redaksi

Sekertaris RedaksiRedaktur PelaksanaKoordinator Buletin

Koordinator webReporter

EditorLayout danArtisik

Dokumentasi danKepustakaan

Penelitian Dan Pengembangan

Staf Litbang

Pemimpin PerusahaanStaf Perusahaan

Jaringan Kerja

Alamat

E-MailWebsite

Pembaharuan Saat Akreditasi

Lembaga Pers Mahasiswa PENDAPA TamansiswaUniversitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Drs. H. Pardimin, M.Pd.Drs. Hadi Pangestu Rihardjo, S.T, M.T.

Taofiq Tri YudhantoHironimus P. JehadunMaryaniUmmi Lailatun N.

Nur Romdlon M.A.ErnawatiSuratmiEko BudionoEva YulianiIndra LevianaEva Yuliani, Syratmi, Gita Anisa, Isnan Waluyo, Eko Junianto, Lis Handayani, Liri Afri, Indra Leviana, Fitria S. Maharani, Basirun, Wisnu N. Cahyo.Desi Sri RahayuIsnan Waluyo, Armansyah, Hanung B. Yuniawan,

Putri Rizki Lestari

Seno Dwi Sulistyo

Eva Yuliani, Fitria S. Maha-rani, Suratmi, Achmad Fiqhi W. D.

Fadheil Wiza MunabariKhuriyatul Aeni, Ernawati

Ofirisha Utami (NA)

Jalan Batikan No. 02, Kompleks Perpustakaan UST Yogyakarta [email protected]. lpmpendapa.com

Page 4: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

4 Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

SOROT

Warga Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) sibuk menyambut tim akreditasi yang datang bulan Oktober kemarin. Lumrah rasanya

memermak diri sebelum akhirnya nanti dinilai oleh tim akreditasi. Kampus sesaat terasa lebih sejuk oleh hadirnya pot-pot berisi tanaman. Pemandangan serupa juga terjadi saat akreditasi Program studi (Prodi). “Mungkin demi menyambut tamu agar lebih enak di pandang,” jelas Drs. Hazairin Eko P, MS, Wakil Rektor (Warek) I.

Aturan akreditasi yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2003 mewajibkan setiap Perguruan Tinggi (PT) dapat memenuhi standar/target yang harus dicapai sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu eksternal. Misalnya, ukuran ruang dosen yang harus minimal 2x4 meter, hal-hal seperti itu tercantum dalam standar dan harus ditaati. Dewasa ini, akreditasi telah mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia dalam memilih tempat untuk men-empuh pendidikan. Masyarakat juga mulai memikirkan akreditasi sebagai jaminan peluang kerja.

Prof. Dr. Supriyoko, pengamat pendidikan sekaligus salah satu anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) memaparkan bahwa akreditasi meru-pakan potret kinerja suatu sekolah atau perguruan tinggi. Sementara urusan akreditasi PT dipegang oleh BAN PT

yang beranggotakan 15 orang dari seluruh Indonesia. BAN PT merupakan Badan Independen yang bertugas melaksanakan salah satu pasal dari UU No 12 Tahun 2012 ataupun UU No 22 Tahun 2013.

Selanjutnya, Ki Supriyoko yang juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UST menyampaikan 7 kriteria nilai dalam akreditasi terkhusus untuk Perguruan Tinggi baik negeri atau swasta. 7 kriteria tersebut memuat isi, proses, teknik, sarana prasarana, pengelolaan, pemberian nilai, dan pembiayaan. Misalnya, Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 yang mengatur jumlah semester untuk PT adalah dua, dan setiap semester memuat 14-16 minggu tatap muka dosen dan mahasiswa, sehingga tidak dirasa beban terlalu berat bagi dosen ataupun mahasiswa. Hal tersebut adalah contoh poin-poin dari standar kriteria akreditasi.

Bentuk kegiatan kemahasiswaan, fasilitas, bimbingan akademik dan bimbingan skripsi mahasiswa, lulusannya, jumlah dan pendidikan yang telah ditempuh dosen, jumlah dosen yang aktif melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, dana penelitian dan dana pengabdian masyara-kat, dan kerjasama institusi baik dalam negeri ataupun luar negeri, semua hal tersebut terpampang dalam borang akre-ditasi. Sehubungan dengan yang disampaikan pihak koper-tis mengenai borang akreditasi, Ki Supriyoko menuturkan, akreditasi suatu institusi atau PT yang bagus, dipengaruhi

Meneropong Wajah Akreditasi Pergurua Tnggi

“Akreditasi menjadi sata satu unsur yang harus dipenuhi Perguruan Tingi. Berjalannya waktu juga menempatkan akrediasi sebagai ukuran kualitas sebuah kampus. Tetapi untuk mencapai kualitas tersebut tak mudah. Berbagai cara pasti dilakukan Perguruan Tinggi agar diakui

sebagai yang berkualitas.”

Indra ‘14

Page 5: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

5Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

SOROToleh jajaran mahasiswa, dosen, karyawan, dan seluruh pi-hak. Jadi seluruh civitas akademika bertanggung jawab atas akreditasi suatu PT mengingat pentingnya akreditasi.

Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) sebagai badan misi penjaminan mutu, selalu mendukung PT, baik negeri maupun swasta. Hal ini dilakukan agar mereka mampu melakukan penjaminan mutu internal dan pen-dataan-pendataan internal sehingga siap mengisi borang akreditasi dan memberi saran untuk melengkapi data-data akreditasi. Ki Supriyoko menjelaskan, sistem penilaian akreditasi ada dua, akreditasi Program Studi (Prodi) dan akreditasi institusi/PT. “Syarat akreditasi suatu Institusi/PT, 75 % Prodinya harus sudah terakreditasi. Selain itu 14,82 % nilai akreditasi PT ditentukan oleh nilai akreditasi Prodi tersebut,” tambahnya.

Butuhkan Dana Besar ?

Terkait persoalan apakah untuk mendapatkan status akreditasi yang bagus pasti membutuhkan dana yang besar, Ki Supriyoko, pria paruh baya kelahiran asli Jogja dengan mantap mengiyakan. Jelasnya untuk membenahi sarana prasarana yang layak, suatu kampus pasti butuh dana yang memang besar. Untuk fasilitas skala kecil seperti sapu, sampai fasilitas akademik seperti buku-buku, perangkat pembelajaran, belum lagi fasilitas-fasilitas yang lain, belum lagi untuk dosen pengajar yang harus memenuhi standar minimal, misalnya dosen untuk strata 1, minimal harus S-2. Jika masih ada Dosen S-1 yang belum S-2, maka wajib bagi kampus untuk menyekolahkan dosen tersebut sampai S-2.

“Biaya besar bukan berarti dengan mengeluarkan uang sejumlah besar langsung kepada asesor untuk membayar nilai, tapi untuk melayakkan kualitas suatu PT sehingga se-cara otomatis kriteria-kriteria akreditasi sudah terpenuhi,” ungkap Ki Supriyoko. “Memang ada uang yang diberikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada asesor, tapi itu hanya sebatas untuk biaya inap, konsumsi, dan transportasi. Jadi kampus tidak perlu lagi memberikan uang tambahan,” pungkasnya. Sedangkan Ki Eko dengan gamblang menyebutkan nominal anggaran tiap prodi un-tuk visitasi akreditasi yang sudah berjalan sebesar 50 juta. “Tapi kalo yang sudah bagus nggak perlu lagi ada perbai-kan, misalnya untuk PGSD,”tambahnya.

UST sendiri telah mengajukan devisitasi beberapa bulan yang lalu. Penyerahan borang pada tanggal 10 Oktober 2013, kemudian BAN PT datang ke UST pada tanggal 6-8 November 2013. Sehingga pada bulan Maret 2014 nanti akreditasi institusi untuk UST sudah bisa turun. Mengenai adanya fakta tentang pot-pot yang terkesan da-dakan menjelang akreditasi, Ki Eko tidak mau menjawab dengan alasan profesionalitas. “Tidak akan saya jawab apa yang bukan ranah saya, tanyakan saja pada Warek II jika ingin tahu soal pot-pot dadakan itu,” jawabnya dengan senyum ramah diwajahnya.

Pentingnya Akreditasi

Prodi yang tidak terakreditasi tidak diperkenankan untuk meluluskan atau mengeluarkan ijazah. Prodi yang tidak terakreditasi otomatis izinnya distop. Namun, Ki Supri-yoko memaparkan, Faktanya dari 3.400 Perguruan Tinggi di Indonesia, baru 100 Perguruan tinggi yang terakreditasi dan sekitar 22.000 program studi yang telah terakreditasi. Beliau berharap jika suatu PT yang secara penilaian belum memenuhi 7 kriteria akreditasi, PT tersebut nantinya akan memperbaiki dan meningkatkan kelayakan demi kenya-manan dan kualitas dari kampus tersebut.

“Wajar bagi saya jika banyak mahasiswa yang gundah karena kampus tempat mereka kuliah akreditasinya masih C atau masih belum terakreditasi, mengingat pada dunia kerja akreditasi tempat calon karyawan sangat dipertim-bangkan,” tambah Ki Supriyoko.

Kusmendar yang merupakan mahasiswa terbaik UST pada wisuda Sabtu 30 November, menyetujui pentingnya akreditasi, karena selain mengarahkan pembelajaran ke arah manajemen, akreditasi merupakan peluang kita untuk mencari yang terbaik. Senada dengan Kusemndar, Ardy Syihabudin, mahasiswa Pendidikan Matematika semester 8 mengungkapkan bahwa syarat sah ijazah adalah akreditasi kampus. “Penting sekali Akreditasi. Tidak munafik bila kita butuh ijazah setelah lulus nanti untuk membantu cari kerja, meskipun tujuan utama kita kuliah memang untuk menuntut ilmu,” imbuhnya.

“Sah-sah saja jika sebuah universitas mengejar akre-ditasi, bahkan melakukan pengadaan fasilitas. Justru itu menandakan bahwa pihak universitas atau fakultas menge-tahui kekurangannya,” ucap Trio Yonatan, dosen Teknik Industri Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka).

Menurut Yonatan, fasilitas tersebut nantinya akan digunakan oleh mahasiswa, dan yang dinilai saat akreditasi bukan hanya adanya fasilitas, tapi implementasi fasilitas tersebut untuk bidang pendidikan terkait. Akreditasi meru-pakan salah satu bentuk sistem jaminan mutu eksternal, yaitu suatu proses yang digunakan lembaga berwenang dalam memberikan pengakuan formal bahwa suatu, insti-tusi mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan tertentu. Akreditasi melindungi masyarakat dari penipuan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, karenanya agar dinilai baik, perguruan tinggi sendiri harus ada penga-was internal, dan tentunya harus terpercaya.

Ki Eko memaparkan bahwa UST sedang berproses meningkatkan akreditasi, salah satu jalan yang ditempuh dengan memantau melalui Evaluasi Mutu Internal (EMI), suatu Instrumen di UST yang dapat dijadikan sebagai alat prakira. EMI memantau tiap semester untuk mengetahui Prodi mana yang skornya sudah memenuhi standar atau belum. Banyak hal yang harus diperhitungkan untuk kita mencapai akreditasi A. Misalnya salah satu syarat tersebut adalah transparansi accountabilitas public, yang berisi laporan tiap tahun baik tata kelola keuangan, laporan, yang di-pub-lish lewat web atau media masa.[p]

Bambang Supriyadi, Koordinator Kopertis V wilayah DI Yogyakarta menuturkan betapa pentingnya akreditasi.

Eva Yuliani(Tim : Gita Anisa, Eko Junianto, Hi-

ronimus P. Jehadun, Fitria S. Maharani)

Page 6: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

6 Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

Akreditasi, Harga Diri Perguruan Tinggi

Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang berjumlah 15 orang, diambil dari seluruh Indonesia. Poin-poin penilaiannya, mencangkup tujuh kriteria yang harus dicapai oleh perguruan tinggi baik negeri atau swasta yaitu memuat isi, proses, teknik, sarana prasarana, pengelolaan, pemberian nilai, dan pembiayaan. Setidaknya tujuh kriteria inilah yang harus diperhatikan oleh Perguruan Tinggi untuk mencapai niai akreditasi yang diinginkan.

Layaknya rumah yang didatangi oleh tamu agung, si tuan rumah pastilah akan mempersiapkan rumah mereka dengan sebaik-baiknya. Memperindah apa yang perlu diperindah dan mempermak apa yang harus dipermak. Fasilitas-fasilitas yang menunjang kenyamanan tamu, yang sebelumnya belum ada pastilah akan diadakan oleh si tuan rumah. Tujuannya agar tamu agung merasa nyaman be-rada di rumah itu, serta dapatlah sedikit menyombongkan diri kepada tamu agung bahwa rumahnya adalah rumah yang baik. Seperti rumah yang didatangi oleh tamu agung, Perguruan Tinggi pun juga mempersiakan persiapan mereka jauh-jauh hari ataupun dalam waktu dekat untuk menyambut datangnya tim akreditasi. Persiapan dilakukan dari memperbaiki sarana prasarana, mempermak wajah ataupun memperindah Perguruan Tinggi tersebut. Berlaku menjadi tamu pun, tim akreditasi pastilah akan diistime-wakan oleh pihak Perguruan Tinggi, untuk menimbulkan kesan nyaman. Tujauannya, tidak jauh berbeda dengan tujuan si tuan rumah yang didatangi tamu agung, sedikit perbedaanya terdapat pada standar yang ingin dicapai oleh suatu perguruan tinggi dimata tim asesor, namun tujuan yang utamanya adalah mendapatkan nilai terbaik dari si tim akreditasi. Nilai akreditasi yang keluar dari tim akredi-tasi inilah yang akan mewakili harga diri suatu Perguruan Tinggi dimata masyarakat umum ataupun calon maha-siswa, yang senantiasa berfikir praktis bahwa dimana suatu Perguruan Tinggi yang bermahkotakan akreditasi baik maka Perguruan Tinggi itu baik pula.[p]

OPINI

Tentu tak berlebihan jika saya menuliskan judul bahwa akreditasi adalah harga diri suatu Perguruan Tinggi atau institusi. Akreditasi bisa saya katakan

sebagai citra atau wajah paling terdepan yang membawa nama baik Perguruan Tinggi. Masyarakat umum ataupun calon mahasiswa menilai baik dan buruknya kualitas suatu Perguruan Tinggi dengan membandingkan nilai akreditasi yang didapat oleh Perguruan Tinggi tersebut. Penilaian praktis inilah yang sangat membedakan dan memilah antara Perguruan-perguruan Tinggi yang banyak diminati dengan yang kurang diminati oleh calon mahasiswa.

Penilaian dari masyarkat inilah yang tentu akan diman-faatkan oleh semua Perguruan Tinggi untuk merias dan memperbaikai citra mereka, dengan memaksimalkan nilai akreditasi. Berbenah dari sistem pendidikan serta infra-strutur baik akademik mapupun non-akademik akan coba dipermak oleh suatu Perguruan Tinggi, terutama poin-poin penilaian yang mendongkrak nilai akreditasi. Tentu itu tak hanya berlaku untuk Perguruan Tinggi yang belum mendapatkan akreditasi maksimal. Perguruan Tinggi yang sudah mengantongi akreditasi maksimal, katakanlah A, juga tak akan berdiam diri. Mereka pasti juga akan merias ataupun mempermak Perguruan Tinggi mereka, dengan tujuan mepertahankan nilai akreditasi yang telah diperoleh.

Perguruan Tinggi yang mendapatkan akreditasi A, akan berbeda dengan Perguruan Tinggi yang mendapat-kan akreditasi C atau bahkan yang belum mendapatkan akreditasi. Perguruan Tinggi yang mendapatkan akreditasi A tentu akan lebih baik. Dari segi tenaga pendidiknya, dosen-dosen yang terbaik dan bergelar tinggilah yang dipakai oleh Perguruan Tinggi tersebut. Hingga secara penilaian akreditasi, memanglah layak perguruan Tinggi tersebut mendapatkan akreditasi yang maksimal. Terlepas dari itu masih ada kriteria yang dinilai.

Nilai akreditasi yang didapat oleh Perguruan Tinggi tentu tak akan lepas dari proses penilaian akreditasi. Penilaian akreditasi sendiri dilakukan oleh Tim Badan

Indra ‘14

Oleh : Isnan Waluyo*

Page 7: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

7Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

KOLOM

dari yang mukanya jelek bisa menjadi rupawan dengan uang. Bahkan Shakespeare, penulis novel Romeo&Juliet, menyebut uang secara kusus sebagai dewa yang terlihat, mengubah semua kualitas manusia dan alam menjadi sebaliknya.

Banyak sekali manfaat yang didapat manusia dari uang. Karena memang pada dasarnya uang diciptakankan untuk membantu manusia dalam perdagangan. Namun sung-guh terbalik dan tidak tahu arah. Bagaimana tidak, banyak petinggi negara dan penguasa harus meninggalkan sanak saudara dan keluarga karena uang. Uang juga bisa meng-hilangkan nyawa orang ketika kasus perampokan yang berujung pada kematian. Semua itu terjadi karena uang.

Jual beli manusia juga tidak terlepas karena keingi-nan akan memiliki uang. Pembelian C.Ronaldo dari klub sepak bola Manchester United (MU) ke Real Madrid juga karena kebutuhan akan uang. Orang yang jahat dan bodoh bahkan bisa berubah dengan uang. Dan orang yang ingin pandai juga bisa bodoh karena uang. Seperti dicutikan-nya beberapa mahasiswa beberapa bulan lalu juga karena uang. Sehingga uang tampak sebagai sebuah kekuasaan yang mengganggu ikatan-ikatan sosial yang mengkalim menjadi entitasnya sendiri. “Ketika uang sebagai konsep nilai yang hidup, mengacaukan dan menukar segalanya, uang menjadi kebingungan dan menjadi transposisi dari segalanya, dunia yang terbalik kebingungan dan transposisi dari semua kualitas alam dan manusia,” tulis Erich Fromm dalam sebuah bukunya. Maka mari kita kembaikan uang sebagai alat tukar sebagaimana pada mulanya diciptakan.

Sebuah ajakan dari Marx kiranya perlu kita tanamkan dalam hidup, “Asumsikan manusia menjadi manusia dan hubungan dengan dunia menjadi hubungan yang ma-nusiawi.” Cinta hanya dapat ditukar dengan cinta bukan dengan uang dan jangan jadikan uang sebagai Dewa yang nyata.[p]

Seorang anak menangis minta “parang”. Dalam hati saya berkata sungguh anak yang sangat luar biasa, belum apa-apa sudah minta parang. Memang di desa

ini sebagian besar pendudukanya bekerja sebagai petani sehingga wajar jika di setiap rumah memiliki parang. Dari yang kecil hingga yang besar, yang pendek hingga yang panjangnya lebih dari satu meter. Namun anak kecil tanpa baju yang meminta parang pada ayahnya tadi ternyata bukan meminta parang yang seperti aku maksud. Anak itu menyebut uang Rp. 1000,- dengan parang. Sebab dalam uang kertas seribu rupiah itu tergambar jelas parang yang dipegang sang pahlawan asal Maluku, Patimura.

Sejak kecil kita juga sudah mengenal uang terutama uang kartal dibanding dengan uang giral. Uang sendiri belum pasti muncul pertama kalinya pada tahun berapa. Namun uang muncul seiring berjalannya waktu dan peradaban. Ketika manusia sudah mulai meninggalkan budaya barter menggunakan barang yang memang sedikit menyusahkan.

Dalam ilmu ekonomi tradisional, uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang dan jasa serta kekayaan berharga lainnya.

Di zaman yang modern ini pengertian tentang uang dan fungsinya sungguh bervariasi. Marx mendefenisikan uang sebagai perantara kebutuhan dan objek, antara ke-hidupan manusia dan alat untuk mempertahankan hidup. Selain sebagai alat tukar, uang juga merupakan salah satu barang menimbun kekayaan. Namun sekarang posisi dan fungsi dari uang lebih dari apa yang disampaikan oleh para tokoh ekonomi. Uang berfungsi sebagai alat tukar, Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung, namun apa jadinya ketika uang digunakan oleh manusia untuk membeli ma-nusia?

Uang lebih dari sekedar alat pembayaran yang sah, namun juga sebagai kebaikan tertinggi. Bagaimana tidak,

UangOleh : Hironimus P. Jehadun*

*Wakil Pemimpin Umum. LPM PENDAPA Tamansiswa

Page 8: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

8 Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

Sebuah novel filsafat yang disajikan dalam bentuk cerita. Jika biasanya filsafat dipaparkan dengan ba-hasa yang sangat ilmiah, dalam buku ini filsafat akan

disampaikan secara tidak sadar melalui peristiwa alogis gadis remaja berumur 14 tahun bernama Sophie. Cerita-kan diawali dengan berubahnya pola pikir Sophie tiba-tiba berubah setelah surat misterius menyusup ke kotak surat yang berada di depan rumahnya. Filsafat memang ilmu mengawang-awang. Artinya ilmu itu terlalu tinggi dan rumit, sehingga tidak mudah dicerna orang kebanyakan. Kebanyakan orang juga menganggap filsafat sebagai ilmu yang tidak realistis, konyol, kegiatan orang yang tidak pu-nya kerjaan.

Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, diramaikan oleh hiruk-pikuk pem-buru kenikmatan, karier, popularitas dan kekayaan, filsafat tampak sebagai verbalisme kosong. Namun novel filsafat ini mencoba menyadarkan kembali manusia akan penting-nya memaknai hidup sebagai manusia utuh yang pikirannya memang tidak sama dengan binatang. Dengan alur cerita setengah detektif dan memancing rasa ingin tahu, Alberto, pandai memancing Sophie untuk hanyut ke dalam duni-anya yang penuh filsafat. Alberto memulai dengan mema-sukkan surat dengan bantuan Hermes, si anjing cerdik, kedalam kotak surat Sophie yang isi nya” Siapakah kamu?”, namun di alamatkan untuk Hilde Moller Knag, gadis yang usia dan hari ulang tahunnya sama dengan Sophie. Waktu-waktu berikutnya surat itu muncul lagi, namun Alberto lebih berani, menyelipkan surat ke tempat-tempat pribadi Sophie. Hingga Sophie lama- lama dianggap gila setelah ibunya menyadari ada pemikiran aneh yang masuk ke dalam otak Sophie.

Mitos-mitos dijadikan sebagai titik awal filsafat lahir. Para filosof Yunani sadar, apa yang kebanyakan diper-cayai orang-orang pada zaman itu tidak selamanya benar. Diawali dengan filosof yang sibuk memikirkan dari mana binatang muncul, siapa yang membuat alam, apakah tum-buhan, hewan, dan manusia memiliki kekerabatan, semua itu adalah pertanyaan konyol sebagai batu loncatan perta-ma sebelum para filosof menciptakan teori-teorinya. Teori lingkaran, yang kemudian memunculkan teori gravitasi, irama alam yang memunculkan ilmu hukum, sampai pada

keberanian manusia dapat mendarat ke bulan untuk yang pertama kalinya. Para filosof yakin, manusia diciptakan bu-kan sekedar pasrah dengan segala atribut-atribut nilai yang diyakini nenek moyang.

Dimulai dari filosof pertama bernama Thales dari Miletus, Yunani yang hidupnya senang berkelana ke banyak negeri termasuk Mesir. Dia mengatakan untuk menghitung tinggi Pyramida dengan mengukur bayangannya pada saat tepat panjang bayangannya sama dengan tinggi badannya. Hingga pada 585 SM Thales meramalkan secara tepat ter-jadinya gerhana matahari. Disusul dengan filosof Anaxi-mander, anaximenes, Parmenides, Heraclitus, Empedocles, Anaxagoras, Democritus, Hippocrates, dan Hermes. Kemu-dian Socrates, sosok guru filsafat dengan ajarannya tentang naluri manusia akan kebijaksanaan, yang mati dihukum dengan meminum racun cemara karena mengecam keti-dakadilan dan menantang kekuasaan pada rajanya. Disusul kisah filosof Plato (murid Socrates), orang pertama yang mendirikan sekolah filsafatnya sendiri di sebuah hutan kecil di Athena. Sekolah pertama itu dinamai Academus den-gan subjek-subjek diskusinya adalah filsafat, matematika, dan olahraga. Sejak itu, ribuan akademi (sekarang dikenal sebagai sekolah) didirikan di seluruh dunia. Kemudian Aristoteles, mantan murid Plato justru beranggapan bahwa Plato telah menjungkirbalikkan segalanya. Alberto cerdik mengemas ilmu filsafatnya kepada Sophie dengan trik yang tidak lazim.

Masih banyak filosof dunia yang secara menyusup per-lahan ke dalam pikiran pembaca, novel filsafat ini mampu membius pembaca untuk mengetahui lebih jauh, lagi, dan lagi. Sampai pada ending cerita, ternyata Sophie dan Alberto adalah tokoh maya yang hanya dijadikan ayah Hilde sebagai tokoh-tokoh pengantar dalam buku filsafat Hilde yang merupakan kado dari ayah Hilde. Sophie menangis karena dirinya baru sadar bahwa dia tidak bisa hidup seperti Hilde yang seusia dengannya, namun Sophie bangga karena namanya terpampang di seluruh dunia sebagai buku filsafat yang melegenda sejak tahun 1993. Sophie lebih kekal dari pada Hilde.[p]

Filsafat di Dunia Sophie

Judul : Dunia Sophie (Sophie’s World)Penulis : Jostein GaarderPengantar : Dr. Bambang SugihartoPenerjemah : Rahmani AstutiPenerbit : PT Mizan PustakaTebal buku : 800 halamanTerbit Pertama : 1991Tahun Terbit : 2013Cetakan ke : X (Edisi Gold)

RESENSI

Dok

. PE

ND

APA

Oleh: Eva Yuliani*

*Koordinator Buletin

Page 9: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

9Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

PENDAPA SELINTAS

Sekilas menengok kalender akademik, tertera jadwal remidi. Pada tanggal 20-23 Januari sebagai pendaftaran dan pembayaran remidi, sedangkan

27 Januari – 3 Februari 2014 pelaksanaan remidi. Namun kenyataannya, jadwal tersebut hanya jadwal belaka tanpa realisasi. Beberapa mahasiswa yang sempat menaruh harapan bisa memperbaiki nilai lewat remidi pun terpaksa harus kecewa.

Drs. Hazairin Eko P., MS selaku Wakil Rektor I men-gungkapkan bahwa remidi sebagai implementasi peraturan pemerintah, bertujuan mengurangi masa studi mahasiswa. Seperti yang kita ketahui untuk S-1 rentang masa studinya adalah 4-7 tahun. “Diharapkan dengan diadakannya remidi, masa study-nya bisa berkurang. Karena tidak perlu mengu-lang,” terang Ki Eko yang menangani masalah akademik.

Ki Eko mengungkapkan, tidak adanya remidi karena ketidaksiapan kita dalam banyak hal. Ditambah beberapa Program Studi (Prodi) menyatakan tidak setuju dengan adanya remidi. Kalau remidi dijadikan opsional, nanti ada mahasiswa yang akan merasa dirugikan karena Prodinya tidak mengadakan remidi, sedangkan Prodi yang lain men-gadakan remidi.

Ki Eko juga menambahkan, keputusan ditiadakannya remidi telah diambil Desember lalu dan dimintakan kepada semua dekan untuk mengumumkan ke Prodi masing-mas-ing. Namun sepertinya hal ini belum sampai ke mahasiswa.

Deni, mahasiswa PBI 2012 mengatakan informasi yang diberikan kampus masih kurang jelas. “Banyak mahasiswa yang tidak bisa pulang kampung gara-gara menunggu kepastian remidial. Ujung-ujungnya informasi ini hanya hoax belaka”, tuturnya. Rani Aisyah Setyaningrum, ma-hasiswa PBI 2012 berharap jika tak ada remidi, sebaiknya ada kebijakan lain yang memudahkan mahasiswa, misalnya dosen lebih melihat kearah proses, bukan hasil, apalagi karena kedekatan personal. Sedikit berbeda, Matias Laba Maing Woluhering, mahasiswa PBI 2012 mngatakan “Saya rasa remidi itu tidak perlu. Karna akan membuat segala perjuangan di semester terlihat lebih gampang akhirnya, hanya dengan sebuah remidi.”[P]

Remidi Tidak Jadi Dilaksanakan

Eko Junianto

Page 10: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

10 Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

CERMIN

Tiba- tiba ada cicak yang terjun ke gelas minum-ku. Membuyarkan pikiran yang sedang sibuk menjadwal rencana hidupku yang semakin

berumur semakin jauh dari rencana saja. Aku tiba-tiba ingat saat aku masih sekolah kelas 6 SD. Diriku yang polos, rajin ngaji sama ustad di kampung bersama teman-teman sebayaku. Sejak masih kecil aku sangat memimpikan untuk dapat kuliah di kota Jogja. Ya, tempat yang mengenalkan aku dengan sosok laki-laki bernama Yudit. Laki-laki yang pertama kali mengajariku nikmatnya berpegangan tangan. Aku bermimpi desaku yang miskin lampu, sedikit pelajar, banyak sesajen, dan sepi, dapat aku sulap menjadi desa yang cerah dan ramai orang-orang pintar. Solusi yang ter-fikir olehku adalah dengan melanjutkan pendidikan jurusan Teknik Elektro.

Aku gadis pemalu, dari keluarga miskin yang sehari-harinya menghabiskan waktu di pasar untuk menjajakan buah rambutan. Tabungan itu aku kumpulkan hingga aku

bisa menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) tanpa sepeserpun aku meminta uang saku dari nenek kakeku. Ya, aku lahir dari ibu, katanya. Tapi sejak kecil belum pernah sekalipun aku menatap wajah ibu, bapakpun juga belum pernah aku lihat. Mungkin mereka hitam, seperti kulitku yang jarang menyentuh body lotion ini.

Aku ingat bagaimana aku mengumpulkan pundi-pundi uang untuk aku bisa kuliah di Jogja. Selesai SMA aku merantau ke Tangerang. Aku nekat berjualan batik punya temanku yang berasal dari Pekalongan, aku mengontrak di sana. Ya, lumayan nyaman, walaupun sering harus berkejar-kejaran dengan Satpol PP yang siap lalu-lalang untuk menangkap kuman-kuman jalanan seperti aku yang berjualan tanpa izin. Bukan karena aku tidak ingin taat,

Si PembunuhOleh : Eva Yuliani*

Indra

‘14

Page 11: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

11Buletin PENDAPA News Edisi V Bulan Februari 2014

tapi mahalnya biaya pangkal untuk menyewa kios. Aku rela sehari-harinya makan cukup nasi tempe. Sebulan sekali aku makan ayam goreng, lauk kesukaan nenekku. Sebulan sekali juga aku beli susu agar tubuhku tidak terlalu ker-ing dan nampak seperti korban busung lapar. Sebenarnya ingin, tidak usah capek-capek bekerja seperti ini. Aku ingin ikut les atau semacam bimbel seperti teman-teman SMA-ku dulu, agar bisa lolos tes kuliah di universitas negeri, agar biayanya murah dan keren. Tapi sudah kucoba di beberapa universitas di Jogja, dan aku gagal. Ya, aku memang tidak terlalu pintar.

Setiap kali aku berjualan batik. Iri rasanya melihat remaja-remaja yang sebaya denganku jalan-jalan bersama pacar-pacar mereka, teman-teman mereka, sambil pegang handphone keren yang bisa buat foto-foto, sambil pegang gadget keren yang bisa buat internetan, sambil nampang dengan baju-baju keren mereka, sambil bergaya di atas motor dan mobil mereka. Tapi kembali lagi, aku anak siapa juga aku belum tau. Makan nasi lauk yang asin saja sudah beruntung, gumamku pura-pura menenangkan diri.

Sesekali kulihat wajahku yang hitam, rambutku yang selama setahun sudah tidak aku jilbabi lagi. Aku sudah setahun kesal dengan Tuhan, yang katanya Maha Baik. Tapi Dia sering tidak adil terhadapku. Bertahun-tahun aku percaya nasihat ustadzku di kampung untuk mengenakan jilbab yang dia bilang wajib bagi perempuan, kini aku lepas. Aku sekarang lebih merasa nyaman dengan topiku sebagai penutup panas dikala aku berjualan. Aku merasa lebih gaul.

Ah, itu hanya sejarahku dulu, kini aku adalah seorang tahanan atas kasus pembunuhan. Kuliahku yang masih semester 7 jurusan Teknik Elektro salah satu universitas swasta di Jogja terpaksa terbengkalai. Tetangga di kam-pungku tidak tahu kalau gadis idola mereka sekarang adalah seorang pembunuh. Gadis yang biasa mereka elu-elukan atas kegigihannya dalam bercita-cita, kenyataannya harus pasrah di dalam sel. Kembali lagi air mata ini mene-tes pada sela-sela pipiku yang hitam tanpa jerawat.

Kembali lagi, ku ingat pertama kali Yudit menyapaku di kantin, bercanda dengan logat sundanya. Mengajak bepergian bersama, bergandengan tangan dan sesekali membelikan aku buku favoritku. Sebulan kemudian Yudit mengajakku bereksperimen tentang program elektro mag-net tanpa listrik katanya, aku di ajak Yudit ke kosnya. aku hanya berpikir simpel, aku jawab iya saja belajar di kosnya. Kutunggu Yudit 15 menit di kamar kosnya, mataku yang gentayangan menghinggapi tiap-tiap dinding, makin lama membuatku takut.

Laki-laki yang ku kenal tampak sopan di kampus itu, kutemui di kamar kosnya penuh dengan bermacam foto saru dan beberapa botol minuman. Lalu tiba-tiba “BET!” lampu kamar Yudit mati, dan pintu tertutup. Ada tangan yang melepaskan topi dari kepalaku, meletakkan tas ransel dari gendonganku. Tiba-tiba mulut Yudit mendekat tepat di telingaku. Ada rasa senang sesaat, tapi aku kemudian teriak. “Yudit, apa-apaan kamu! buka pintunya, mana kuncinya. Kita mau bereksperimen kan kamu bilang?” tanyaku dengan nada geram dan cemas. Tapi Yudit tidak peduli, dia hanya berbisik “Iya, kita akan bereksperimen sayang, kita sudah semester 7, sebentar lagi kita lulus, aku akan menikahimu, bapakku orang kaya Nani sayang...” katanya akan tinggal di Bandung,” jawabnya berusaha

merayuku dengan tangannya yang mulai membuka jaketku yang mirip tukang ojek.

“Kamu itu menarik sekali Nani sayang.., tidak perlu takut kamu aku sia-siakan,” suara Yudit terdengar amat manis dengan tangannya yang mulai menggerayangi kaki yang mulai menggigil. Aku berteriak sambil menggedor-ge-dor pintu, tapi sepertinya tidak ada penghuni kos lain yang peduli. Entah apa yang tengah mereka lakukan di sana.

Aku ingat wajah mungilku yang polos sedang asik bermain capung di lapangan juragan rambutan di kam-pungku. Aku ingat pesan nenek yang sangat menghargai martabat seorang perempuan. Tapi kini tubuhku ditikam Yudit, hampir aku tak bisa bergerak. Entah setan apa yang menyambar isi otak Yudit waktu itu. Aku tak pikir panjang lagi, pisau buah milik Yudit aku kibas-kibaskan di depan muka Yudit. “Kalau kamu tidak berhenti memperlakukan aku seperti seorang pelacur seperti sekarang ini, maka aku yang mati atau kamu yang mati!” tanyaku membentak.

“Hey... Naniku yang manis, sia-sia aku hidup kalau aku membiarkan kamu pergi, sudahlah, tidak perlu takut, rumah, pekerjaan, semua aku sudah siapkan buat kamu, setengah tahun lagi kita menikah” jawab Yudit sambil membuka kancing satu persatu pada kemeja rapinya.

Peristiwa setengah tahun yang lalu, kini hanya mem-buatku pandai menangis. Ingin aku menangis sampai air mata ini terkuras. Ya, Yudit mati di tanganku. Di tangan orang yang dulu sangat mengagumi dirinya. Dia tidak ingin melepasku, juga dia tidak mau aku mati bunuh diri, aku yang menusuk Yudit dengan pisau yang dulu Yudit pakai untuk mengupaskan buah sewaktu aku terbaring di rumah sakit. Aku sangat menghargai kehormatanku, menghargai perjuangan hidupku, menghargai keluarga Yudit. Tapi justru aku sendiri yang membunuhnya. Entah siapa yang bodoh.

Aku ingat lampu-lampu minyak yang tergantung di kampungku. Aku ingin segera bebas dari penjara setan ini dan bergegas memberi cahaya bagi kampung yang di anggap pemerintah sebagi predikat kampung tertinggal. Aku benci dengan pemerintah yang menurutku pembunuh rakyat jelata, rakyat jelata sepertiku, mereka kuras sampai buntu uang negara untuk kepentingan wudel dan nafsu. Mereka yang pembunuh massal, mereka yang penjahat. Bu-kan aku. Tapi lagi-lagi aku sering diteror perasaan bersalah, berani-beraninya aku menghabisi nyawa orang yang sangat tergila-gila dengan gadis yang berwajah standar sepertiku ini. Ingin aku bebas.

“Tapi dengan cara apa aku bisa bebas, wong segalanya sekarang ini harus ada duit pelumas”.

*Koordinator Buletin

Page 12: Buletin LPM PENDAPA Tamansiswa edisi akreditasi

Indra/PEN

DA

PA