buletin issn : 1693 - 3265 volume 11, nomor 1, … perbankan dan kebanksentralan buletin issn : 1693...

145
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

Upload: phungtram

Post on 07-Jun-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur

Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal

Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

Page 2: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci

Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,

Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum

Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 4: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume

11 Nomor 1, Edisi Januari – April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.

Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,

Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil

penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai

Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia

Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum;

Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi

artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini.

Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook

Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H.,

MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan

Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif

Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H.

Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai

dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, April 2013

Redaksi

i

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan

Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.................... 1 - 18

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;

Munawar Kholil, S.H., M.Hum.

Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.......................................... 19 - 38

Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.

Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan....................................... 39 - 69

Alex Kurniawan S.H., M.H.

Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal.................................................................... 71 - 94

Josua Sitompul, S.H., IMM.

Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah.................................................................................... 95 - 105

Dayanto, S.H., M.H.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.......................... 107 - 110

Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.................... 111 - 137

Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2013

iii

Page 7: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

A. Pendahuluan

Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang

berkaitan dengan posisi kelembagaan dan

independensinya amat dipengaruhi oleh theory of

delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi

menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber

daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada

organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan

mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh

kepada decetion making role of governing bodies

dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan

negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah

perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar

1

KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN

DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT1

Oleh :

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;

Munawar Kholil, S.H., M.Hum2

Abstrak

Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya

gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling

berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process intitutionalized” (teori

kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi,

perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip

dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan

terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat

berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan

kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang

diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat

independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan

nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan.

Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.

1 Sebagian Analisis Penelitian “Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012

2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Page 9: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

(market) yang berkembang dalam dinamika

masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan

pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang

demikian ini juga mempengaruhi penyusunan

konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi

Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara

yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,

selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi

konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai

ekonomi sama sekali.

Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut

sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak

ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal

perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut

sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.

Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan

secara serentak dan sering dikenal sebagai ”Bill of

Rights” karena isinya menyangkut hak asasi.

Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara

terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks

konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu

pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai

persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem

perekonomian seperti yang lazim diatur dalam

konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun

ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian

dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan

kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,

perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,

ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya

mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi

di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-

ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan

anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi

negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar

dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan

dalam manajemen kekayaan alam yang secara

langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau

sosialisme.

Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang

menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai

sekarang tidak pernah mengatur mengenai

perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi

penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah

tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan

konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,

ketentuan mengenai perekonomian bukanlah

merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan

konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis

dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme

pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan

American exeptionalism, yang terwujud dalam

absennya gerakan sosial yang mempengaruhi

konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,

dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah

Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai

bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang

berhubungan dengan perekonomian tersebut.3

Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan

pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan

pengelolaan sumber daya perekonomian dan

pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan

ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan

pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.

B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of

Delegation Monetery menuju Theory of

Combines Process Intitutionalized

Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan

kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation

monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan

bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu

kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral

dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan

pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh

6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan

ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi

kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama

di negara-negara yang berpendapatan rendah,

menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3 Cass R. Sunstein, “Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.

Page 10: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara

berkembang, Bank Sentral mengarah kepada

instrumen moneter dengan campur tangan politik

yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.

Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat

jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara

komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali

diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan

yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini

menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam

derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui

perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat

politik menciptakan lingkungan negara yang lemah

akan memberikan dorongan yang besar untuk

menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.

Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank

Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,

struktur Bank Sentral–relasi dengan Parlemen, kepala

negara, kabinet, atau kementerian–akan ditentukan

oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.

Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,

sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-

Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang

merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan

saham pribadi. Struktur pemerintahan akan

menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam

tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya

mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa

perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana

dan organ pengawas.5 Kelima, faktor konstitusi.

Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak

mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya

sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang

menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.

Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis

tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk

mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan

peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi

di negara-negara yang mengalami transisi biasanya

mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan

rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.

Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan

Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat

detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai

The Federal Reserve System di Amerika Serikat

termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai

ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai

ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-

Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu

tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral

1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun

2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan

tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami

perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7

Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur

kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya

gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan

pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan

yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan

ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process

intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan).

Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di

dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan

pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya

menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip

dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang

saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang

bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk

melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.

Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas

mata rantai saling ketergantungan yang menuntut

adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan

itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

4 Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).

5 Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, “The Very Uncertain Prospect of ‘Global’ Convergence in Corporate Governance,” Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321–362.

6 Lihat: Eva Gutiérrez, “Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean,” IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).

7 Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, “Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence,” European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 1569–1593.

Page 11: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

yang kemudian membuat penyesuaian baru yang

diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan

itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.

Berdasarkan argumen menurut ”theory of combines

process intitutionalized”, maka relasi antara parlemen

dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan

keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan

Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian

jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan

itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada

negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu

tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut.

Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian

jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur

lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya

terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral

menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika

berselisih dengan Pemerintah.

Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat

berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5

(lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut

tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan

di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia,

Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia,

Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,

Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,

Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,

Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,

Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur

direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti

antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,

Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,

Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan

Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,

4

8 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).

9 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.

11 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.

12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.

17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.

18 Bank of Slovenia Act of July 2002.

19 “Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.

20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.

21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendment–RT I 1999,16, 271.

24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.

28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999.

29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.

30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.

31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).

32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 12: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,

Hongaria38, Latvia39, Lithuania40, dan Filipina.41 Kelima,

tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan

Gubernur seperti di Afrika Selatan42, Peru43, dan

Thailand.44

Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara

Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-

kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal

penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah

dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara

berkembang, kecenderungan campur tangan

Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan

kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti

Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,

Côte d’Ivoire, Guinée Bissau, Mali, Niger, Senegal

danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai

salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara

menganut ketentuan ini kecuali negara seperti

Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal

Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan

negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar

ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali

di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,

Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang

ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan

menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i)

Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral

dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu

tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan

intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar

pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan

Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan

umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.

Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45

mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah

pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di

bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-

masing isu tersebut.

Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara

menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah

antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan

bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang,

sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil

dan yang besar tetap saja mampu melakukan

pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya

mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal

Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun

hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank

Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam

komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur

(Governor) secara otomatis merupakan Ketua

(Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang

Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam)

anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki

seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam)

anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang

5

33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002.

34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.

35 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.

36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.

37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002.

38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992.

42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.

43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.

44 Bank of Thailand Act 2485.

45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.

46 Berger et al (2006)

47 Istilah lain adalah Presiden.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 13: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada

menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang

Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota

Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director

meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,

dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang

mewakili Menteri Keuangan.

Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-

ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau

syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada

syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,

misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,

keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain

seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan

internasional seperti persyaratan di Kolumbia.

Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk

Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan

harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan

serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara

menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan

Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa

Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman

8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,

calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina

menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk

keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya

40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-

rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat

dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur

berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas

rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas

sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan

berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.

Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan

Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,

ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang.

Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah

satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di

Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada

waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk

pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan

warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan

oleh International Monetery Fund dan diambil dari

negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas

setempat memberikan kewargenaraan dan mereka

dicalonkan kembali.

Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme

fit and proper test untuk tercapai standar moralitas

tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan

tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak

meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani

hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim

diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya

tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan

dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat

itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak

terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon

yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.

Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan

pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank

Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.

Sebagai contoh di The Federal Reserve System

mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat

dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan

Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk

masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali

selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua

anggota Executive Board (termasuk Presiden dan

wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa

jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih

kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan

Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan

Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali

masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur

maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.

Masalah pengusulan, pengangkatan, dan

pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-

masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The

Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk

nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman

dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur

oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,

6

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 14: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank

Sentral, sementara untuk anggota masing-masing

dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1

orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri

Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing

1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi

Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan

Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang

lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur

diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,

sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan

masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.

Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan

persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya

diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran

Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota

Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya

terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria,

Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali

Parlemen.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek

dan Jo Anne Morrist48 terhadap 100 Bank Sentral

menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan

Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:

(i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak

31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12

negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak

17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri

sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak

12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang

menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara.

Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa

mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi

sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan

Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)

memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23

negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri

sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan

Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan

Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)

memerlukan persetujuan yang menggabungkan

sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49

Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,

pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur

pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:

(i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme

dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)

mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan

Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah

secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak

Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan

demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah

dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral

diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.

Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan

pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama

diantara banyak negara, yang pada garis besarnya

mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat non-

politik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,

Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan

menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.

Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara

Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen

seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan

kondisi tertentu seperti di Rumania.

C. Praksis di Indonesia

Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank

Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal

15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur

diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter

untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.

Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang

terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau

7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi

7

49 Ibid.

48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, “Central Bank Governance: A Survey of Board and Management”, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 15: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17

menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan

Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya

belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi

tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,

kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara

itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris

Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia

sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat

Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar

musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan

ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political

independence terbatas.

Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,

rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan

mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan

dilakukan oleh Presiden secara pribadi50 seperti yang

berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan

dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii)

pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;

(iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian

dilakukan oleh Presiden secara pribadi51; (vi) terdapat

ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan

kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan

(vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali

karena kedudukannya.

Political independence bagi Bank Indonesia meningkat

cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.

1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan

Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi

Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.

Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3

Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan

Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,

juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral

yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman

di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau

hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan

bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan

keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan

pengalaman terutama berhubungan dengan karier

calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,

keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang

berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam

hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak

mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi

minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih

mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada

ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat

karir di Bank Sentral.

Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan

pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.

1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,

dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior

merupakan wewenang penuh dari Presiden,

sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh

Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-

banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,

Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak

oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib

mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu

tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden

wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi

Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan

yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi

Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya

masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5

(lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu

kali masa jabatan.

8

50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998).

51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 16: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur

diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.

23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,

Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam

masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti

melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun

menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk

waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa

alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan

pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada

kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap

yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau

cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan

tugas dengan baik; atau karena kehilangan

kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap

anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan

Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan

Gubernur tidak dapat dihukum karena telah

mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan

tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai

tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh

merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena

kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43

mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam

Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa

hak suara atau veto.

Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank

Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat

ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah

sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan

Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan

itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati

akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2

(dua) orang calon–Agus Martowardoyo55 dan Raden

Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan

pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit

and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan

menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh

Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang

sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan

yang kemudian memancing perdebatan seru di balik

drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang

penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai

upaya politis untuk ”mempengaruhi” independensi

BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan

kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan

dalam hubungan antarlembaga negara.

Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian

jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-

9

52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.

53 YPPI diduga mengalirkan ”dana gelap” sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang

menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI.

54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.

55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006.

56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

Page 17: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi

Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi

Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang

berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang

diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta

agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk

mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar

indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak

dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan

dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu

dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan

perubahan terhadap undang-undang bank sentral

yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot

Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak

mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis

oleh Kwik Kian Gie57, proses perubahan undang-

undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah

mencapai keberhasilan.

Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,

Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara

mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari

posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak

penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)

untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang

Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat

menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi

yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun

1967.58 Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri

(2001-2004) yang beruntung karena pada masa

jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak

mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan

Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.

Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,

pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur

menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal

pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung

norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)

pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;

(iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau

persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah

5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan

masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam

masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan

undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam

masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan

untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena

kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur

Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)

pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh

Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan

mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan

tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada

keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu

tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali

menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat

diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;

(vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena

kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan

secara berkala.

Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No.

23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung

norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan

Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan

mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu;

(iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan

penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat

diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut

syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat

kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat

10

57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81.

58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang ”berprestasi” karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.

Page 18: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali

karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan

jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil

Pemerintah dalam Dewan Gubernur.

Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan

Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan

perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan

Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat

umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara

Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan

moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian

dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,

perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,

kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2

(dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas

dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi

moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak

dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh

sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk

dalam kualifikasi ”persetujuan” Dewan Perwakilan

Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.

Apalagi ”persetujuan” tidak semata-mata kata akhir,

akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai

pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai

kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika

proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai

dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan

atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh

kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi

moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah

klausula undang-undang mengenai ”mempunyai

keahlian dan pengalaman” utnuk kompetensi

profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat

sebagai lembaga politik?

Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang

hendak dicari adalah ”the values an individualplaces

on the benefits of a central bank position.” Seperti

dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori

ini maka, “This is a series of decisions that takes into

account the effects switching jobs might have on

both his personal and professional lives.”59 Dengan

adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka

akan timbul suatu penilaian bahwa “Rational

candidates seeking to maximize their electoral

prospects must go hunting where the ducks are,

tailoring their appeal to those prospective voters who

are both likely to turn out and susceptible to

conversion”.60 Selanjutnya, “The important question

here is whether the candidates know where there

are ducks and, having found them, if they can

distinguish the live birds from the decoys. More

specifically, if a potential candidate does not think

that there are enough voters in the area where he

lives who will support his candidacy, he will likely

choose not to run for office.”61

Di dalam praktik, “persetujuan” Dewan Perwakilan

Rakyat menjalankan mekanisme “fit and proper test”

untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur

yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri

tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya

merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan “fit and proper test”

itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat

resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan

Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-

masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan

secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;

(iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti

dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan

terkait untuk melaksanakan “fit and proper test” dan

ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

11

59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.

60 Ibid.

61 Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 19: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

kemudian melaksanakan kegiatan “fit and proper

test” yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

kemudian menetapkan keputusan untuk menerima

atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,

yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

kemudian menyampaikan secara resmi keputusan “fit

and proper test” kepada Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan

yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan

Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan

pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut

Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan

kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya

mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan

terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.

Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai

mekanisme dan pelaksanaan “fit and proper test”

persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat

“pengujian” yang tidak tegas apakah mencakup

kompetensi moralitas atau kompetensi profesional

calon. Sebuah “fit and proper test” yang menilai

calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-

Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota

Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji

kompetensi moralitas guna menemukan calon yang

mempunyai “kepribadian dan kecakapan yang tidak

tercela” seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib

Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme

“hearing” di Senat Amerika Serikat dalam menentukan

calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak

pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa

“fit and proper test” oleh lembaga politik semacam

Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian

terhadap penilaian komptensi profesional calon.

Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik

kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi

dasar pendapat untuk menyatakan validitas “fit and

proper test.” Sebagai sebuah realitas politik yang

kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses

semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap

Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan

di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,

akan tetapi persoalan yang sangat penting di

Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara

calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir

persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi

partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji

kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam

putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63

Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap

makna “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat itu

sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.

34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64

Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian

pertama kali pada masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi

Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu

orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan

pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65

Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional

Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa

pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional

12

62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 20: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun

2008 dan 2010.66 Sekalipun pada awalnya dikritik

oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu

calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama

ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.

Artinya “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat

menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang

diajukan oleh Presiden hanya satu.

Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian

jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi

jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calon–Agus

Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk

mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan

setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada

18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap

calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.

Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri

Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur

Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak

pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian

Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia

berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan

bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu

untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan

penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas

dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi

Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan

Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin

Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober

2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik

pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon

akan menjadi konvensi ketatanegaraan.

Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat

erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam

kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami–

yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan

independensi itu–sekurang-kurangnya terhadap 3

(tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan

antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak

berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,

inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan

moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi

secara keseluruhan, meskipun terpisah namun

kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,

perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap

saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat

Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,

maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,

inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili

kepentingan masyarakat pada umumnya.

Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian

jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang

memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status

kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan

nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme

itu guna menghindari politicking yang berlebihan.

Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,

hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket

pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri

mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan

masing-masing hanya satu calon untuk kemudian

dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,

dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian

jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan

calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada

Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.

Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur

dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan

Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan.

Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia

13

66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satu-satunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 21: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

sebagai organ konstitusi dengan status yang

independen, maka tugas dan wewenang Gubernur

dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola

sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas

moneter menurut ketentuan Undang-Undang.

Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan

baru berdasarkan ”theory of combines process

intitutionalized”, penting untuk dilakukan prosedur

pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik

terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna

menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan

political appointee, dapat saja diatur bahwa calon

Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria

Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden

dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon

yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan

menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau

jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang

disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/

Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan

fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian

jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir

dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu,

penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal

dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang

memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut

mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan

Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

2004.

D. Kesimpulan

Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia

yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan

status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia

harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama,

walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan

rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin

independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah

dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan

bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan

sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan

fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau

kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya

pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang

demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,

nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan

mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 22: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Abner S. Greene, “Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking”, 1994, University Chicago Law Review Vol.

61.

Adam N. Steinman, “A Constitution for Judicial Lawmaking”, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64.

Adam Posen, “Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics”,

dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University

Press, 2003.

Amy J. Weisman, “Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian

Federation”, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10.

Alison Marston Danner, “Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the

Independent Counsel”, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55.

Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave.

Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila.

Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian

Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita.

Allan Drazen, “Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization”, Journal of Applied Economics, Vol. V, No.

1, May 2002.

Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam

Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Bernard Schwartz, “Curiouser and Curiouser: The Supreme Court’s Separation of Powers Wonderland”, Notre Dame Law

Review, 1990, Vol. 65.

Bill Orr, “Are the IMF and the World Bank on the right tack?”, ABA Banking Journal, Marc 1990.

Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., “The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations”, Economic

History, 2005, Vol. 32, No. 4.

Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.

DAFTAR PUSTAKA

15

Page 23: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press.

Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000.

B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, “Inflation targeting: A new framework for monetary policy?”,The Journal of Economic

Perspectives, Vol.11, No. 2 1997.

Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American

Congress, 1774–1789, Stanford, Stanford University Press.

Carl Levin, “The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance”, 1987, Hofstra

Law Review, No. 16.

C.D. Romer, ”Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?”, The American Economic Review, 2006,

Vol. 76, No. 3.

Christopher A. Ford, “The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience”, Case West of Journal

International Law, 1996, Vol. 28 No. 3.

Clive B. Briault, et.al., “Independence and Accountability”, Bank of England Working Papers Series, No. 49.

Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi

Press.

John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy,

New York, Cambridge University Press, New York, 2002.

John Ferejohn and Charles Shipan, “Congressional Inuence on Bureaucracy”, Journal of Law, Economics, and Organization,

1990, Vol. 6.

John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65.

Maqdir Ismail, “Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia”, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September

2006.

Marc Flandreau, “The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 1870-

1880”, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04.

M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 24: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta,

Penerbit Kanisius.

Martin A. Rogoff, “The French (R)evolution of 1958–1998”, Columbia Journal of Europe, Vol. 3.

Martin S. Flaherty, “The Most Dangerous Branch”, 1988, Yale Law Journal No. 105.

P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press.

R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western

Ontario, Canada.

R.B. Barsky,” The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation”, Journal of Monetary Economics,

2007, Vol. 19, No. 1.

R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, “A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model”, Journal of Political

Economy, 2003, Vol. 91.

Rett R. Ludwikowski, “Mixed” Constitutions – Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot”, Birmigham

International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16.

Robert Elgie, “Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence”, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3.

Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press.

Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard

University Press.

Stanley Fisher, “Central Bank Independence Revisited”, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2.

Stephen G Cecchetti, “Making Monetary Policy: Objectives and Rules”, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16,

No. 4.

Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company,

New York.

Sain Gailmard dan John W. Patty, “Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure”, Working Paper Series

September 2008.

Skully Ahsan & Wickramanayake, “Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy

Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006.

Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 25: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York,

Oxford University Press.

Stephen L. Carter, “The Independent Counsel Mess”, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988.

Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni.

Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia.

Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press.

Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown.

Thomas W. Merrill, “The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco

Advertising”, New York University Law Review, Vol. 93, 1999.

Thomas O. Sargentich, “The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers”, Cornell Law

Review, 1997, Vol. 72.

T.J. Jordan, “Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence”, Weltwirschaftliches Archive

Vol 133.

Ubdaibir S. Das, et.al., “Financial Regulators”, A Quartley Magazine of the IMF, 2002.

V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , “Institutions and Policies”, Economic Policy , 1991, Vol. 6.

V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, “Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial

Countries”, Economic Policy, 1991, Vol. 6.

Wahyudi Djafar, “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara

Hukum di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010.

William B. Gwyn, “The Indeterminacy of Separation of Powers”, George Washington Law Review, 1999.

William Poole, “Central Bank Transparancy: Why and How?”, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank

of Philadelphia, 2001, No. 30.

18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 26: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

A. Pendahuluan

Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional

maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi

dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,

maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan

berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam

Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini

dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand

yang kemudian berimbas pada penambahan beban

perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk

Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi

minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan

waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan

perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan ke kondisi sebelum krisis.3

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali

terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino

effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat

yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan

kesulitan solvabilitas serta berdampak pada

dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-

negara besar yang ada di dunia, yang antara lain

menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan

sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis

kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-

negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,

Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4

3 Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta, hal. 1.

4 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.

19

OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN1

Oleh :

Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2

Abstrak

Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di

dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh

karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry

effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi

serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas

Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran

dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi

normal maupuan kondisi krisis.

Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.

1 Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul “Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia”, pada Agusutus 2012.

2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Page 27: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa

salah satu penyebab runtuhnya perekonomian

Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah

tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di

bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus

Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan

nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga

kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika

menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian

menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep

pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional

dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu

Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan

agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan

tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.

Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di

bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah

menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan

yang dinamis dan saling terkait antar masing masing

subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun

kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan

entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi

yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini

bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun

lembaga pembiayaan non bank lainnya secara

sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan

suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga

dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko

finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup

konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang

dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh

karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan

sistem keuangan nasional di kemudian hari6.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro

mengatakan bahwa “The blurring effect causes two

interdependent phenomena: (1) the emergence of

financial conglomerates, which is likely to produce

important changes in the nature and dimensions of

the individual intermediaries, as well as in the degree

of consolidation of the banking and financial industri;

and (2) growing securitization of the traditional forms

of banking activity and the proliferation of sophisticated

ways of bundling, repackaging, and trading risks,

which weaken the classic distinction between equity,

debt, and loans, bringing changes in the nature and

dimensions of the financial markets”7. Dengan adanya

blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk

pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,

pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan

non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari

fenomena tersebut.

Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga

mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu

pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu

perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,

yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah

Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila

melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,

maka bentuk Single Financial Authority merupakan

solusi yang terbaik.8

Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri

pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam

Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun

1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,

dimana dikatakan bahwa; “Tugas mengawasi Bank

akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor

jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan

Undang-undang”, yakni Undang-undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan

ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi

20

7 DonatoMasciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.

8 Ibid, hal. 2

5 Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

6 Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta, hal. 9.

Page 28: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya

terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 20109

namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22

November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya

lembaga ini.

Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan

bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah

memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya

adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik

dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal

tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas

Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan

microprudential dan macroprudential.

Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat

dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga

Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,

haruslah memiliki informasi yang cukup atas

pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.

Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup

informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang

dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi

lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti

tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of

Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,

dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka

dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak

akan optimal.

Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano

mengemukakan bahwa “The Central Bank of 48

Countries (57% of total) have the authority of banking

supervison and of these 48 countries, 39 (81%)

are developing and emerging economies.”10

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk

pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara

negara berkembang adalah fungsi pengawasan

yang tetap berada di bawah Bank Sentral.

Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik

struktur finansial antara negara berkembang dengan

negara maju seperti adanya penggunaan sistem

perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa

dan Jepang, menggunakan Universal Banking System

sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang

terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang

seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial

Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga

pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara

terintegerasi.

Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan

juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini

dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang

pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku

kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah

bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas

Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa

keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu

permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin

pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila

Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut

bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat

berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard

antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga

sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang

dilakukan akan berupa pengawasan yang “tebang

pilih” dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan

yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank

Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan

baru.

B. Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa

Keuangan dengan Bank Indonesia dalam

Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia

Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tujuan

tunggal yakni untuk mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan

moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran yang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

21

9 Vide Pasal 34 ayat (2) UU 3/04 tentang Bank Indonesia.

10 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute, hal. 10.

Page 29: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

aman dan efisien serta pengaturan dan pengawasan

bank. Sebagai evaluasi atas dua krisis keuangan besar

yang menimpa Indonesia, yakni krisis keuangan asia

1997/1998 dan krisis keuangan global 2008/2009,

maka sebagai upaya untuk menghindarkan krisis

atau setidaknya meminimalkan dampak ketika krisis

di masa akan datang, sekaligus membantu Bank

Indonesia untuk fokus dalam tugasnya mencapai

kestabilan moneter maka pengaturan dan pengawasan

bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Namun demikian, pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan dengan serangkaian ketentuannya, dirasa

memiliki potensi untuk menimbulkan konflik antara

Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia.

1. Konflik dalam Sumber Pendanaan Otoritas

Jasa Keuangan

Anggaran pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan

merupakan salah satu hal yang cukup banyak

disoroti oleh berbagai kalangan, baik akademisi,

praktisi perbankan maupun dari pihak Bank

Indonesia sendiri. Hal tersebut dikarenakan di

dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 21 tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan

bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki

kewenangan untuk menarik pungutan terhadap

setiap pelaku di sektor jasa keuangan yang mana

salah satunya berasal dari sektor perbankan, dan

sehubungan dengan kewenangan itu pula maka

setiap pelaku di sektor jasa keuangan kemudian

dibebani dengan kewajiban untuk membayar

pungutan tersebut.

Secara filosofis, pungutan yang dikenakan oleh

Otoritas Jasa Keuangan ini pada hakikatnya

ditujukan sebagai sumber alternatif dalam

pendanaan operasional Otoritas Jasa Keuangan,

yang mana pada awalnya, sumber pendanaan

Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN.

Sehingga dengan adanya pungutan yang diterima

oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tentunya

diharapkan akan membuat Otoritas Jasa Keuangan

lebih independen karena akan membuat Otoritas

Jasa Keuangan menjadi tidak tergantung pada

pemerintah. Hal tersebut, sejalan dengan yang

disampaikan oleh Sigit Pramono, dimana ia

mengatakan bahwa jika dana operasional Otoritas

Jasa Keuangan berasal dari APBN, maka

independensi Otoritas Jasa Keuangan tentu akan

sangat minim.11

Namun demikian, dengan adanya konsep

pungutan yang dilakukan oleh lembaga pengawas

terhadap objek pengawasannya, maka tentu akan

berpotensi sangat besar untuk menimbulkan suatu

ekses, yang pada gilirannya akan memberikan

dampak negatif pada independensi, akuntabilitas

serta kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan dalam

melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan

dalam sektor jasa keuangan.

a) Timbulnya Moral Hazards

Salah satu permasalahan yang berpotensi

untuk muncul apabila Otoritas Jasa Keuangan

mengenakan pungutan adalah adanya

pandangan bahwa pungutan tersebut akan

berpotensi menimbulkan moral hazard antara

Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas

dengan para pelaku sektor jasa keuangan,

dalam hal ini perbankan misalnya, selaku objek

yang diawasi, sehingga sangat dikhawatirkan

nantinya pengawasan yang dilakukan oleh

Otoritas Jasa Keuangan akan berupa

pengawasan yang “tebang pilih” dan tidak

Independen.

Pemberlakuan kewenangan untuk melakukan

pungutan ini, diawali oleh pandangan bahwa

apabila mengacu kepada bentuk pendanaan

operasional BaFin di Jerman maupun APRA

di Australia, maka dapat diketahui bahwa

para auditee juga melakukan pembayaran

kepada lembaga pengawas tersebut, sehingga

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

22

11 Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id.

Page 30: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

independensi dari lembaga pengawas menjadi

lebih independen karena tidak tergantung dari

anggaran negara. Namun disini penulis

berpendapat bahwa, meskipun sisi positif dari

ketentuan mengenai pungutan ini adalah akan

memberikan independensi terhadap Otoritas

Jasa Keuangan, khususnya dalam hal financial

independence, namun pembentuk Undang-

undang juga seharusnya memperhatikan

bahwa kondisi sosial-bisnis di suatu negara

tentu berbeda dengan kondisi sosial-bisnis di

negara lainnya. Sementara apabila melihat

Indonesia sendiri, dapat diketahui bahwa

kondisi sosial-bisnis di Indonesia sebagai Negara

berkembang, khususnya di dalam industri

sektor jasa keuangan seperti perbankan

misalnya, masih sangat rentan terhadap moral

hazards yang berkembang.

Moral Hazard yang penulis maksud dalam hal

ini adalah bahwa tingkat kedisiplian seperti

dalam hal pelaksanakan Good Corporate

Governance oleh para auditee akan cenderung

menurun seiring dengan meningkatnya celah-

celah hukum dalam ketentuan perundang-

undangan, sehingga nantinya akan

memberikan dampak pada kepercayaan

masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.

Pasal 37 UU Otoritas Jasa Keuangan yang

memberikan ketentuan adanya pungutan ini,

dapat dikatakan merupakan celah hukum

yang sangat berpotensial menimbulkan moral

hazards tersebut. Hal ini dikarenakan dengan

adanya pungutan ini, maka dikhawatirkan

bahwa para auditee akan lebih cenderung

untuk berpikir bahwa lebih baik membayar

untuk tidak diawasi, daripada membayar

namun diawasi dengan lebih ketat, dan

sekalipun memang harus diawasi maka

auditee yang membayar dengan nilai yang

lebih tinggi tentu memiliki daya tawar untuk

menekan Otoritas Jasa Keuangan agar

melakukan pengawasan secara lebih longgar

daripada pengawasan yang dilakukan terhadap

auditee yang membayar dengan nilai yang

lebih kecil.

Sehubungan dengan pendapat di atas, dan

seperti yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, perbankan merupakan sektor

jasa keuangan yang memiliki 2 (dua)

karakteristik utama. Pertama, perbankan

merupakan sektor jasa keuangan yang tumbuh

dan berkembang atas dasar kepercayaan dari

masyarakat, yang mana terlihat dari adanya

penghimpunan dana yang berasal dari

masyarakat. Sementara karakteristik kedua,

adalah bahwa perbankan merupakan sektor

jasa keuangan yang sangat rentan terhadap

berbagai macam risiko, baik risiko kredit, risiko

likuiditas, risiko hukum, risiko operasional

maupun risiko sistemik.

Apabila dengan adanya pungutan yang

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini

kemudian mengakibatkan pengawasan

menjadi lebih longgar atau tidak prudent,

maka nantinya fungsi pengawasan yang

pada hakikatnya ditujukan untuk dapat

meminimalisir risiko-risiko di sektor perbankan

sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat

terhadap sektor perbankan, tidak akan

tercapai. Sehingga pada gilirannya nanti, akan

memberikan dampak terhadap stabilitas sistem

keuangan yang merupakan tanggung jawab

macroprudential dari Bank Indonesia.

b) Biaya Ekstra

Selain potensi moral hazards yang akan

mungkin ditimbulkan, permasalahan lainnya

adalah dengan adanya pungutan ini, maka

nantinya akan membebani industri perbankan.

Hal ini dikarenakan, sebagai sektor yang sangat

rentan terhadap risiko, maka Bank Indonesia

selaku bank sentral memiliki kewenangan

untuk menentukan besaran jumlah Giro Wajib

Minimum yang harus disediakan oleh setiap

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

23

Page 31: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

bank,12 sementara Lembaga Penjamin

Simpanan selaku lembaga penjamin dalam

sektor perbankan, juga mewajibkan kepada

setiap bank untuk membayar premi secara

berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan

sebagai bentuk penjaminan.13

Apabila sektor perbankan kemudian dibebani

lagi dengan biaya tambahan berupa adanya

kewajiban pungutan yang harus dikeluarkan

oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,

maka tentu akan sangat membebani

operasional perbankan, yang mana hal tersebut

tentunya akan berimbas pada jumlah dana

yang dapat dikucurkan oleh bank kepada

masyarakat dalam bentuk kredit.

Permasalahan alokasi kredit tersebut patut

untuk dikhawatirkan, karena hingga saat ini,

salah satu permasalahan yang dihadapi oleh

Bank Indonesia adalah terkait kurang

optimalnya alokasi kredit yang dilakukan oleh

perbankan, karena meskipun Bank Indonesia

telah menurunkan BI Rate secara signifikan,

namun pertumbuhan Loan to Deposit Ratio

(LDR) belum meningkat sesuai dengan apa

yang diharapkan, sehingga Bank Indonesia

selalu mencari jalan untuk mengarahkan

perbankan agar dapat menekan biaya

operasionalnya, serta menurunkan bunga

pinjaman. Dengan demikian, alokasi kredit

dapat lebih ditingkatkan, sehingga dapat

mendorong perkembangan ekonomi.

Permasalahannya adalah apabila industri

perbankan kemudian harus dibebani lagi

dengan biaya ekstra untuk membiayai

operasional Otoritas Jasa Keuangan, maka

dikhawatirkan LDR perbankan akan terganggu,

lebih dari sebelum adanya Otoritas Jasa

Keuangan. Dengan demikian, dikhawatirkan

tanggung jawab Bank Indonesia di bidang

moneter nantinya akan terganggu.

2. Konflik dalam Disparitas Kewenangan

Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki

tanggung jawab untuk mencapai dan menjaga

stabilitas moneter sekaligus stabilitas sistem

keuangan. Kedua stabilitas tersebut merupakan

adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan

harus selalu disinergikan untuk mencapai

kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan

kebijakan moneter memiliki dampak terhadap

stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, dimana

stabilitas keuangan merupakan pondasi dasar

dalam penentuan arah kebijakan moneter untuk

mencapai stabilitas moneter.

Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa secara

umum stabilitas sistem keuangan memperlihatkan

ketahanan keuangan terhadap goncangan

perekonomian, sehingga fungsi intermediasi,

sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap

berjalan dengan semestinya. Sementara stabilitas

moneter hanya dapat terwujud dengan adanya

stabilitas sistem keuangan, karena sistem keuangan

merupakan media transmisi kebijakan moneter.14

Selanjutnya, dikatakan pula bahwa stabilitas

menjadi penting karena sistem keuangan yang

stabil akan menciptakan kepercayaan para

penyimpan dana dan investor untuk menanamkan

dananya pada lembaga keuangan. Dengan

kestabilan sistem keuangan, akan mendorong

fungsi intermediasi keuangan yang efisien,

sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan

pertumbuhan ekonomi, mendorong semakin

beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi

sumber daya perekonomian.15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

24

12 Vide PBI No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.

13 Vide Pasal 6 ayat (1) butir a jo. Pasal 9 butir c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

14 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 136.

15 Ibid., hal. 137.

Page 32: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap

stabilitas sistem keuangan dilakukan dengan dua

pendekatan, yakni macroprudential dan

microprudential. Dalam prakteknya otoritas yang

melaksanakan macroprudential membutuhkan

akses yang cepat dan mudah terhadap data

microprudential dan kewenangan resmi tanpa

hambatan untuk memperoleh data tambahan

lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global

yang terjadi telah membrikan pelajaran bahwa

sangat diperlukan hubungan yang erat antara

kewenangan dalam microprudential dan

kewenangan dalam macroprudential dalam

merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada

saat genting. Namun dengan adanya otoritas jasa

keuangan, berarti ada pemisahan secara tegas

antara pengawasan yang bersifat microprudential

dan pengawasan yang bersifat macroprudential

terhadap lembaga keuangan/bank di Indonesia.

Padahal kedua aspek microprudential dan

macroprudential adalah aspek yang sulit untuk

dipisahkan karena keduanya akan saling

mempengaruhi sehingga dalam perkembangan

pemikiran di beberapa negara yang menerapkan

pemisahan justru ada upaya untuk menyatukan

kembali.16

Di Korea Selatan misalnya, pemisahan

kelembagaan otoritas pemangku kewenangan

makromoneter dan mikroperbankan yang

dilakukan pada tahun 1999, atas saran dari IMF,

justru berujung pada kurang pekanya institusi

pemangku otoritas keuangan di negara tersebut

dalam merespon guncangan krisis pada tahun

2008. Bank of Korea (BoK), sebagai institusi

pemegang otoritas makromoneter menjadi lemah

dan tidak memiiliki akses langsung pada kondisi

perbankan pada saat yang krusial. Sebab akses

pada data dan kondisi perbankan dimonopoli

oleh satu institusi lain, yakni Financial Supervisory

Services (FSS) yang memiliki kedudukan sejajar

dengan BoK.17

a) Arah Kebijakan

Selama ini, kebijakan Bank Indonesia di sektor

moneter dibuat dengan memperhatikan

kebijakan di sektor perbankan dan sistem

pembayaran, sehingga kebijakan di ketiga

sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan

saling mendukung. Hal ini dapat dilakukan

karena Bank Indonesia memiliki kewenangan

baik kewenangan secara macroprudential,

maupun secara microprudential, sehingga

Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk

mengumpulkan informasi yang dibutuhkan

dari masing-masing sektor secara cepat dan

menyeluruh, dan selanjutnya dijadikan dasar

untuk mengeluarkan kebijakan.

Ferguson menyatakan bahwa hubungan

antara kebijakan moneter, kelancaran sistem

pembayaran dan kondisi perbankan merupakan

hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena

informasi yang diperoleh Bank Sentral dari

pengawasan bank memiliki peran yang sangat

penting dalam proses pembuatan kebijakan

moneter, begitupun sebaliknya dimana

stabilitas sektor moneter memberikan

kontribusi yang sangat besar bagi arah

pengembangan sektor perbankan. Sehingga

dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Bank

Sentral dapat mengeluarkan kebijakan moneter

yang baik karena memiliki kewenangan

terhadap pengawasan bank, dan sebaliknya

Bank Sentral dapat pula mengeluarkan

peraturan yang tepat terhadap pengembangan

perbankan, karena Bank Sentral memiliki

kewenangan di bidang moneter.18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

25

17 Ibid.,hal. 168.

18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .16 Ibid.,hal. 167.

Page 33: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Sehubungan dengan pendapat diatas, penulis

berpendapat bahwa apabila kewenangan

microprudential dipisahkan dari Bank Indonesia

selaku Bank Sentral, maka dikhawatirkan arah

perkembangan kebijakan perbankan yang

dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, akan

cenderung dilakukan tanpa melihat bagaimana

dampak dari kebijakan perbankan tersebut

terhadap sektor moneter. Hal ini dikarenakan

arah kebijakan moneter dan perbankan

cenderung untuk bertolak belakang antara

satu dengan lainnya. Ini dapat dilihat dimana

otoritas moneter cenderung untuk menaikan

rate, yang mana hal tersebut ditujukan agar

target inflasi dapat dicapai dengan baik ataupun

dijaga kestabilannya. Sementara disisi lain,

perbankan ingin agar rate yang rendah agar

bank dapat melakukan investasi dengan lebih

banyak. Penyesuaian dari kedua pandangan

seperti ini diperlukan, karena apabila ratenya

telalu tinggi, maka investasi tidak akan lancar,

sehingga pergerakan dan pertumbuhan

perekonomian negara menjadi lambat.

Sementara apabila ratenya terlalu rendah,

maka pergerakan arus ekonomi dapat menjadi

terlalu cepat, sehingga tidak bagus pula

bagi pertumbuhan ekonomi negara. Oleh

karenanya, maka Bank Sentral pada dasarnya

memerlukan kewenangan microprudential

dan macroprudential agar kebijakan yang

dikeluarkan dapat mensinergikan antara

kebijakan moneter dan kebijakan sistem

keuangan.

Pendapat penulis diatas juga didukung oleh

pendapat Haubrich yang juga mengatakan

bahwa permasalahan adanya pemisahan

kewenangan microprudential tidak hanya

terletak pada keterbatasan Bank Sentral untuk

secara cepat dan tepat waktu dalam mengakses

dan mendapatkan informasi perbankan

yang dibutuhkan, tetapi juga terletak pada

pengumpulan infomasi yang digunakan

lembaga pengawas, sangat berbeda dengan

informasi yang dibutuhkan oleh Bank Sentral

selaku otoritas moneter. Hal ini dikarenakan

lembaga pengawas hanya akan terfokus untuk

menjaga kesehatan industri perbankan,

sehingga secara alamiah akan memiliki

pandangan yang berbeda dengan pandangan

dari otoritas moneter.19

Pihak dari Bank Indonesia mengatakan bahwa,

selama ini ketika kewenangan microprudential

masih dimiliki oleh Bank Indonesia, maka Bank

Indonesia akan terbantu dalam menentukan

arah kebijakannya, karena dalam setiap

kebijakan moneter yang dikeluarkan atau dalam

perhitungan risiko didalam sistem pembayaran,

khususnya terkait kebijakan macroprudential

yakni stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia

selalu mempertimbangkan kondisi micro yang

ada di sektor perbankan. Contohnya adalah

ketika negara sedang menghadapi krisis

ekonomi, maka BI Rate yang ditentukan pun

akan menyeseuaikan dengan kondisi micro

dari sektor perbankan. Hal ini dapat dilihat

ketika kondisi perbankan sedang baik atau

kondisi perekonomian sedang lesu, maka BI

Rate akan dipertahankan atau diturunkan,

dengan demikian penyaluran kredit dari bank

akan lebih lancar. Sementara ketika perbankan

sedang tidak sehat atau pertumbuhan

perekonomian terlalu cepat, maka BI Rate akan

dinaikan, dengan demikian kondisi permodalan

dari perbankan dapat senantiasa terjaga, dengan

terjaganya permodalan dari bank, maka potensi

untuk collapse-nya bank akan terminimalisir.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

26

18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .

19 Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland, hal. 8.

Page 34: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Dengan berbagai pendapat diatas, maka

penulis berpendapat bahwa dengan adanya

pengalihan kewenangan microprudential

kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka potensi

konflik yang paling rentan terjadi adalah kondisi

dimana masing-masing otoritas, yakni Bank

Indonesia selaku otoritas moneter dan Otoritas

Jasa Keuangan selaku otoritas perbankan,

akan mengeluarkan kebijakan yang cenderung

yang saling bertentangan satu sama lainnya

apabila informasi yang dimiliki oleh masing-

masing otoritas tidaklah secara menyeluruh.

b) Sistem Pembayaran

Sistem pembayaran merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari sistem keuangan dan

perbankan suatu negara. Keberhasilan sistem

pembayaran akan menunjang perkembangan

sistem keuangan dan perbankan, sebaliknya

risiko ketidaklancaran atau kegagalan sistem

pembayaran akan berdampak negatif pada

kestabilan ekonomi secara keseluruhan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem

pembayaran perlu diatur dan dijjaga keamanan

serta kelancarannya oleh bank sentral, sekaligus

sebagai otoritas sistem pembayaran.20

Sejalan dengan hal diatas, Bank Indonesia

selaku Bank Sentral dan otoritas sistem

pembayaran di Indonesia tentu kemudian

memiliki kewenangan dan tanggung jawab

sebagai lembaga settlement,21 yang mana

bertugas untuk mengatur mekanisme transaksi

atau pelunasan warkat antar bank, serta

melakukan penilaian terhadap risiko-risiko

yang sedang/atau akan dihadapi oleh bank-

bank selaku peserta kliring.22

Penulis menilai bahwa, potensi terjadinya

konflik dalam pengalihan kewenangan

microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan

juga dapat dilihat dari sistem pembayaran ini,

dimana risiko-risiko dalam perbankan hanya

dapat diketahui oleh Bank Indonesia apabila

Bank Indonesia memiliki informasi yang cukup

terkait perbankan, dan informasi yang

dibutuhkan tersebut hanya dapat diakses

secara penuh apabila Bank Indonesia memiliki

kewenangan dalam microprudential. Apabila

kewenangan microprudential tersebut

kemudian dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan,

maka di khawatirkan Bank Indonesia selaku

lembaga settlement tidak akan dapat

melakukan penilaian terhadap risiko secara

penuh terhadap bank peserta kliring, sehingga

ditakutkan nantinya Bank Indonesia tidak

dapat/terlambat dalam mengatasi kesulitan

bank, apabila tiba-tiba terdapat bank yang

mengalami gagal bayar atau terlambat bayar.

Salah satunya adalah terkait kontrol terhadap

risiko sistemik, yaitu risiko yang muncul ketika

suatu bank tidak dapat mengatasi atau

terlambat mengatasi risiko kredit atau risiko

likuiditas yang berkepanjangan, dan ketika

hal tersebut berdampak pada bank-bank

lainnya, dan terlambat untuk diantisipasi secara

cepat oleh bank sentral, maka tentu akan

berdampak pada stabilitas sistem keuangan

secara menyeluruh.

Jika dengan pengalihan microprudential ini

mengakibatkan Bank Indonesia tidak dapat

atau terlambat mengakses informasi-informasi

yang diperlukan dalam pengaturan risiko,

maka tentu akan memicu timbulnya potensi

kekacauan stabilitas keuangan yang seharusnya

dijaga oleh Bank Indonesia, karena salah satu

pilar dari kestabilan sistem keuangan adalah

kelancaran sistem pembayaran.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

27

20 Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta, hal. 209

21 Vide Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

22 Bank Indonesia, Op.Cit., hal. 210.

Page 35: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

c) Lender of Last Resort

Potensi konflik yang sangat dikhawatirkan

oleh Bank Indonesia maupun berbagai praktisi

perbankan lainnya apabila terjadi pemisahan

microprudential dan macroprudential dari

Bank Indonesia adalah kekhawatiran akan

menjadi kurang optimalnya fungsi Bank

Indonesia sebagai lender of last resort (LoLR)

ketika negara sedang menghadapi krisis.

Haubrich mengatakan bahwa dalam kondisi

krisis keuangan, peran Bank Sentral menjadi

sangat penting. Hal tersebut didukung dengan

adanya kewajiban dari Bank Sentral untuk

mengatasi krisis keuangan, sehingga untuk

dapat menjalankan kewajiban tersebut dengan

baik, Bank Sentral tentu harus memiliki

pengetahuan dan informasi yang cukup

mengenai aspek microprudential, yakni berupa

informasi mengenai kondisi perbankan dan

bagaimana perbankan beroperasi secara

harian.23 Hal tersebut dikarenakan, meskipun

aspek microprudential hanya berkutat dalam

upaya menjaga kesehatan individual perbankan,

namun konsekuensi dari kegagalan individual

perbankan dapat meruntuhkan perekonomian

negara secara menyeluruh, oleh karenanya

Bank Sentral harus dapat memiliki dan

mengakses informasi yang cukup dalam aspek

microprudential agar dapat meminimalisir

dampak krisis yang sedang/akan terjadi.24

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank

Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia,

memiliki fungsi sebagai lender of last resort

sebagai upaya untuk menyelamatkan bank-

bank yang mengalami kesulitan likuiditas,

ataupun solvabilitas. Fungsi LoLR yang dimiliki

oleh Bank Indonesia ini diwujudkan dalam

berbagai fasilitas yang diberikan, baik FPJP/S,

FLI/S, maupun FPD. Hal yang kemudian

dikhawatirkan ketika terjadi pengalihan

kewenangan microprudential adalah bahwa

LoLR dikhawatirkan tidak akan dapat dijalankan

dengan maksimal apabila Bank Indonesia tidak

memiliki atau terlambat untuk mengolah data

bank yang harus segera diselamatkan. Dengan

adanya keterlambatan atau kelalaian tersebut,

maka penanganan krisis pun akan menjadi

bermasalah, dan pada gilirannya akan

membahayakan sistem keuangan negara

secara keseluruhan.

Keterlambatan dan kelalaian dalam menangani

krisis ini dapat dilihat dari kasus Northern

Bank di Inggris, dimana kondisi pada saaat

itu adalah dengan adanya pemisahan

microprudential dari Bank of England (BoE)

yang dialihkan kepada Financial Services

Agency (FSA), maka mengakibatkan BoE tidak

memiliki informasi yang cukup terkait kondisi

Northern Bank, hal tersebut dikarenakan

seluruh informasi yang dimiliki terkait aspek

microprudential dari perbankan hanya terdapat

di FSA. Alhasil, ketika terjadi krisis, BoE tidak

dapat menjalankan LoLR tepat pada waktunya,

karena BoE harus mengkaji ulang kondisi bank

sebelum dapat memberikan bantuan likuiditas

darurat sehingga akhirnya Northern Bank

telah di rush terlebih dahulu oleh nasabahnya,

sebelum sempat diantisipasi oleh BoE.

Dari pengalaman dari BoE ini, maka dapat

dilihat bahwa pada saat kondisi krisis,

kecepatan memperoleh informasi yang

lengkap merupakan faktor yang sangat

penting, sehingga apabila Bank Sentral

memiliki informasi yang lengkap, maka Bank

Sentral dapat mengambil kebijakan yang tepat

sesegera mungkin untuk mengatasi

permasalahan yang ada dan sekaligus

mencegah memburuknya keadaan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

28

23 Haubrich, Op.Cit., hal. 9.

24 Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 13.

Page 36: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Dengan beralihnya kewenangan

microprudential dari Bank Indonesia ke Otoritas

Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan Bank

Indonesia akan menjadi kurang responsif

dalam mengatasi krisis khususnya terkait

pelaksanaan LoLR ini, sehingga sangat

dikhawatirkan pengalaman yang menimpa

BoE dan FSA, akan turut dialami oleh Bank

Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

3. Konflik dalam Dewan Komisioner

Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan

menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan adalah

lembaga yang independen dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya, bebas dari campur

tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang

secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”,

namun independensi tersebut menjadi sedikit

dipertanyakan dikala di dalam Pasal 1 jo. Pasal 10

UU Otoritas Jasa Keuangan, diatur bahwa Otoritas

Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komiisioner

(DK), berjumlahkan 9 (sembilan) orang dan 2 (dua)

anggota diantaranya merupakan ex-officio dari

Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia.

Salah satu landasan adanya ex-officio pada

keanggotaan DK ini adalah adanya pemikiran

bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas

di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan

keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, yakni

otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, maka

diperlukan keterwakilan dari kedua otoritas tersebut

secara ex-officio. Hal tersebut dimaksudkan agar

koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan

di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan

dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus,

ex-officio dirasa diperlukan untuk memastikan

kebutuhan koordinasi dan pertukaran informasi

untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem

keuangan.25

Namun dengan keberadaan ex-officio didalam

keanggotan DK inilah yang penulis khawatirkan

akan berdampak pada kinerja masing-masing

lembaga, baik Otoritas Jasa Keuangan maupun

Bank Indonesia. Kekhawatiran tersebut dilandasi

pemikiran bahwa dengan adanya ex-officio ini,

maka nantinya dalam setiap pengambilan

keputusan tidak akan lepas dari conflict of interest

di dalam Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri, sehingga

akan menimbulkan permasalahan tersendiri.

Potensi timbulnya conflict of interest yang

dimaksud dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 2

jo. Pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan,

dimana dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan

dipimpin oleh DK yang bersifat kolektif dan

kolegial. Sifat kolektif dan kolegial ini, apabila

berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (2) UU

Otoritas Jasa Keuangan, memiliki artian bahwa

setiap pengambilan keputusan DK dilakukan

secara bersama-sama dan didasarkan musyawarah

untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan

dan kekeluargaan di antara anggota DK.

Permasalahan yang timbul adalah apabila ternyata

dalam musyawarah tersebut tidak mendapatkan

satu suara, atau terdapat pertentangan diantara

anggotanya, maka menurut pasal 24 ayat (7) UU

Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan bahwa

keputusan akan ditetapkan berdasarkan suara

terbanyak. Dengan demikian, maka tentu

memberikan akibat yakni setiap anggota yang

kalah suara harus tunduk dan turut serta

bertanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan

suara terbanyak.

Konsekuensi itulah, yang menurut Harry Azhar

akan berpotensi menimbulkan gejolak di dalam

DK Otoritas Jasa Keuangan, karena seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam

keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, terdapat

2 (dua) ex-officio yang terdiri dari Bank Indonesia

dan Kementerian Keuangan. Dengan adanya

kedua ex-officio ini, maka dikahawatirkan akan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

29

25 Vide Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 37: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

mengakibatkan timbulnya perdebatan mengenai

arah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini

dikarenakan, Bank Indonesia dan Kementrian

Keuangan dapat diumpamakan sebagai dua kubu

raksasa, yang mana telah berkembang dengan

culture yang berbeda selama bertahun-tahun,

sehingga tentu pola pikir atau pandangan yang

menjadi pegangan dari kedua unsur ini tentu

akan berbeda, dan dengan sifat kolektif kolegial

ini, maka tiap kubu ini dikhawatirkan akan

mempertahankan argument yang menguntungkan

lembaganya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan

pun akan tergantung dari bagaimana tarik ulur

dari kedua belah pihak ini.

Selain itu pula, dengan adanya tarik ulur dalam

argumentasi terkait keputusan di dalam Otoritas

Jasa Keuangan ini pula, maka dikhawatirkan

pengambilan keputusan di Otoritas Jasa Keuangan

akan “mandek” sehingga berakibat pada inefisiensi

kinerja Otoritas Jasa Keuangan yang tentunya

berakibat pada keterlambatan koordinasi dan

informasi kepada Bank Indonesia dalam hal

pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, khususnya

ketika sedang mengalami krisis.

Disisi lain, apabila mengacu pada Pasal 4 UU Bank

Indonesia, dapat diketahui bahwa Bank Indonesia

adalah lembaga negara yang independen dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya serta

bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau

pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut,

penulis berpendapat bahwa dengan adanya ex-

officio dari Bank Indonesia yang diwakili oleh

anggota dewan gubernur Bank Indonesia, yang

mana kemudian diketahui bahwa ex-officio ini

merupakan anggota dalam struktur keanggotaan

DK Otoritas Jasa Keuangan, akan menimbulkan

konsekuensi juridis berupa setiap keputusan yang

dikeluarkan oleh DK Otoritas Jasa Keuangan,

tentu akan mengikat pula terhadap setiap anggota

DK Otoritas Jasa Keuangan, termasuk di dalamnya

Bank Indonesia sebagai anggota ex-officio.

Dengan demikian, penulis menilai bahwa dengan

adanya ex-officio dari Bank Indonesia ini, maka

secara tidak langsung dapat berimbas pada

terlanggarnya Independensi Bank Indonesia yang

seharusnya bebas dari campur tangan pihak

manapun.

C. Upaya Optimalisasi Pengaturan dan Pengawasan

Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa

Keuangan

Sungguh ironis, ketika Indonesia tengah sibuk

membangun Otoritas Jasa Keuangan, negara lain

yang sebelumnya telah memisahkan pengawasan

banknya dari Bank Sentral, kini mulai mengarah untuk

mengembalikan wewenang pengawasan bank kepada

bank sentralnya. Inggris sebagai pelopor berdirinya

lembaga sejenis Otoritas Jasa Keuangan, bahkan telah

mengembalikan peran FSA ke dalam BoE. Selain itu,

Jerman pun, dicanangkan tengah serius menggodok

rencana mengembalikan fungsi pengawasan Bafin

kepada Bundesbank.26

Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa

penggunaan sistem pengawasan perbankan dan

pengelolaan moneter yang terpisah diarasa tidak

efisien dalam mewujudkan sistem keuangan yang

sehat dan stabil. Misalnya ketika terjadi likuiditas,

Bank Sentral akan bergerak kurang cepat karena

keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga

pengawas.27 Bahkan berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano,

dapat diketahui bahwa Negara-negara berkembang

lebih memilikih sistem pengawasan yang berada di

bawah Bank Sentral.28

Memang harus diakui bahwa pembentukan suatu

lembaga baru selalu menimbulkan konsekuensi

tersendiri, khususnya mengenai Otoritas Jasa Keuangan

ini sendiri. Meskipun demikian, pembentukan Otoritas

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

30

26 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 241.

27 Loc.Cit.

28 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, Loc.Cit.

Page 38: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Jasa Keuangan sudah saatnya disambut dengan baik

dan pola konstruksi pemikiran yang harus dibangun

kedepannya adalah pemikiran mengenai upaya yang

harus dilakukan agar dapat mendorong optimalisasi

pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya.

1. Pembangunan Koordinasi antar Lembaga

Terkait

Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan

Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme

koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Hal

tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan tugas

Otoritas Jasa Keuangan, potensi benturan antara

Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lainnya,

khususnya Bank Indonesia. Oleh karenanya

diperlukan mekanisme koordinasi yang perlu

dibangun dengan baik. Selain itu, untuk mencapai

sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan

krisis, sharing information antar otoritas sangat

diperlukan baik dalam kondisisi normal maupun

kondisi krisis.

Pihak BAPEPAM – LK mengungkapkan bahwa

koordinasi tersebut akan dibangun dengan

membangun mekanisme komunikasi secara rutin

antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia,

Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian

Keuangan, dengan demikian diharapkan akan

terbangun sarana pertukaran informasi yang

terintegrasi sehingga Otoritas Jasa Keuangan dan

Bank Indonesia dapat berbagi seluruh informasi

tentang perbankan dengan menjaga kerahasiaan

secara optimal. Dengan demikian, pertukaran

informasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan

Bank Indonesia ketika menangani bank yang

mengalami kesulitan likuiditas dapat dilakukan

dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan secara

bertahap, dimana pada awalnya akan dibentuk

berbagai macam MoU antara Otoritas Jasa

Keuangan dengan lembaga-lembaga terkait, baik

yang bersifat Nasional maupun yang bersifat

Internasional.

Sementara menurut penulis, koordinasi yang

dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas

Jasa Keuangan dapat mencontoh keberhasilan

yang dilakukan oleh FSA dan BoE di Jepang. Hal

tersebut dapat dilihat, dimana dengan adanya

pengalihan fungsi pengawasan kepada Financial

Supervision Agency (FSA), maka Bank of Japan

(BoJ) hanya menangani mengenai perumusan

dan implementasi dari ketentuan dan kebijakan

sistem moneter. Namun demikian, BoJ tetap

memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas

sistem keuangan, dan oleh karenanya maka BoJ

memiliki kewenangan untuk melakukan on-site

examination terhadap bank maupun lembaga

keuangan non-bank. Dengan kewenangan

tersebut, BoJ bisa mendapatkan informasi yang

lengkap terkait kesehatan lembaga keuangan

secara harian, sehingga fungsi lender of last resort

yang diemban oleh BoJ dapat dijalankan dengan

baik. Selain itu, koordinasi yang dibangun juga

berupa adanya kewenangan dari BoJ untuk

memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan

ketika diperlukan, begitupun sebaliknya.29

Selain itu, koordinasi yang dilakukan oleh APRA

dengan RBA di Australia pun dapat dijadikan

contoh, hal ini dapat dilihat dimana ketika fungsi

pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan

kepada APRA, RBA kemudian memiliki fokus

dalam menentukan kebijakan moneter, menjaga

stabilitas sistem keuangan dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran. Khusus mengenai stabilitas

sistem keuangan dan kelancaran sistem

pembayaran, RBA selaku Bank Sentral kemudian

membentuk 2 (dua) Department baru yang mana

secara struktural berada di bawah Bank Sentral,

yakni a) Financial Stability Department yang

bertugas untuk melakukan analisis sistem

keuangan di Australia dan sistem keuangan secara

global; dan b) Payment Policy Department yang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

31

29 The Group of Thirty, Op.Cit., hal. 150.

Page 39: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

bertugas untuk menangani sistem kliring,

menganalisa sistem pembayaran dan mendukung

kerangka/mekanisme sistem pembayaran.

Sementara kordinasi dengan APRA dibangun

dengan membentuk The RBA/APRA Coordination

Committee, dimana dalam satu tahun terdapat

jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan

APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan

untuk membahas perkembangan sistem keuangan

dan perbankan di Australia. Selain itu, RBA dan

APRA dapat pula melakukan pertemuan-

pertemuan informal manakala kedua lembaga

tersebut merasa membutuhkan pertukaran

informasi.30

2. Alokasi Sumber Daya Manusia

Salah satu aspek terpenting agar kinerja

pengaturan dan pengawasan perbankan adalah

dengan meningkatkan manajemen sumber daya

manusia (SDM) yang dimiliki oleh Otoritas Jasa

Keuangan, baik terhadap kepemimpinan DK,

maupun terhadap setiap pegawai, khususnya

yang berugas sebagai pengawas. Sehubungan

dengan hal itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal

yang perlu diperhatikan agar kinerja pengaturan

dan pengawasan perbankan dapat lebih

dioptimalkan, yakni:

a) Kepemimpinan, artinya bahwa apabila terdapat

pemimpinan yang memiliki karakter yang kuat

dan independen, maka kinerja Otoritas Jasa

Keuangan akan dapat terjaga dengan baik;

b) Pembenahan Organisasi. Dalam hal ini,

pembenahan tidak hanya dilakukan terhadap

kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, namun

diperlukan juga pembenahan terhadap

kelembagaan Bank Indonesia. Artinya bahwa

dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan,

maka struktur di dalam Bank Indonesia tentu

akan berubah, oleh karenanya diperlukan

sejumlah penyesuaian di dalam Bank Indonesia,

khususnya terkait upaya meningkatkan kinerja

dalam kebijakan moneter dan kelancaran

sistem pembayaran; dan

c) Menjaga Kualitas SDM, artinya bahwa Otoritas

Jasa Keuangan merupakan lembaga yang

dibentuk untuk mewujudkan suatu mekanisme

yang lebih profesional dan kredibel. Oleh

karenanya, pola rekrutmennya terhadap

pegawai perlu dijaga secara baik. Salah satunya

adalah dengan menerapkan competency-based

recruitment system yang terbuka dan dilakukan

oleh pihak yang independen.

Selain ketiga hal diatas, permasalahan kompetensi

dan kecukupan jumlah SDM juga merupakan

salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam

rangka optimalisasi kinerja Otoritas Jasa Keuangan.

Hal ini dikarenakan dalam melakukan pengawasan

perbankan, diperlukan jumlah pengawas yang

cukup dan memiliki kompetensi yang baik.

Permasalahannya adalah apabila semua pengawas

Bank Indonesia ditarik menjadi pegawai Otoritas

Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan pengawasan

yang dilakukanpun tidak akan berbeda dengan

yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia.

Padahal alasan didirikannya Otoritas Jasa

Keuangan adalah adanya ketidakpercayaan

terhadap kemampuan pengawas Bank Indonesia

dalam melakukan pengawasan bank. Sehingga

apabila kemudian pengawas Otoritas Jasa

Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan

bank, hanya merupakan pegawai yang di eksodus

dari pengawas Bank Indonesia, maka pengawasan

yang dilakukan pun tidak akan ada bedanya,

sehingga bentuk alokasi SDM seperti ini hanya

akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia.31

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

32

30 K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta, hal. 11.

31 Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta, hal. 7.

Page 40: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Oleh karenanya penulis berpendapat, diperlukan

suatu pembaharuan atau revitalisasi mekanisme

atau standarisasi terhadap metode pengawasan

yang dilakukan oleh pengawas. Dengan demikan

maka celah-celah yang selama ini dianggap tidak

berhasil diatasi oleh pegawai Bank Indonesia, akan

dapat diatasi oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan.

3. Peningkatan Good Corporate Governance

Bismar Nasution mengungkapkan bahwa

permasalahan utama yang dihadapi industri

keuangan, khususnya perbankan saat ini,

sebenarnya bukanlah dikarenakan telah

menyatunya berbagai produk lintas sektoral,

namun lebih terkait lemahnya penerapan Good

Corporate Governance (GCG), dan permasalahan

GCG tidak akan selesai hanya dengan beralihnya

kewenangan pengawasan.32

Hal tersebut dapat dilihat dimana kasus BLBI

maupun kasus Bank Century, sebenarnya berasal

dari permasalahan internal dari bank-bank itu

sendiri. Salah satunya adalah dikarenakan bank-

bank tersebut tidak melaksanakan GCG di dalam

manajemen bank itu sendiri dengan baik, sehingga

terpaksa Bank Indonesia harus menanggulangi

penyelesaian permasalahan atas krisis insolvensi

yang menimpa bank-bank bermasalah tersebut

agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih

besar terhadap perekonomian nasional apabila

krisis tersebut tidak segera ditangani.

Saat ini, seperti kata Halim Alamsyah, upaya untuk

memperkuat GCG pada bank-bank, mutlak

diperlukan. Hal tersebut ditujukan agar kepentingan

nasabah dan industri perbankan dapat terlindungi,

karena tanpa GCG maka industri perbankan tidak

dapat berkembang secara cepat dan sehat.33

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja

Otoritas Jasa Keuangan untuk menciptakan GCG

dalam rangka memperkuat kondisi internal

perbankan nasional, mutlak diperlukan agar

Perbankan Nasional dapat melihat bahwa GCG

bukan hanya sekedar aksesori belaka, tetapi

merupakan suatu sistem nilai dan praktek yang

sangat fundamental agar berbagai kasus yang

menimpa dunia perbankan tidak terulang kembali

di kemudian hari.

4. Penyesuaian Sistem Perbankan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

terdapat dua sistem perbankan yang berlaku di

dunia, yaitu commercial banking system dan

universal banking system. Di dalam commercial

banking system, terdapat aturan yang melarang

bank melakukan kegiatan non-bank seperti

asuransi. Sementara universal banking system,

membolehkan bank melakukan kegiatan usaha

non-bank seperti investasi dan asuransi.

Layaknya negara-negara berkembang pada

umumnya, saat ini apabila berdasarkan Pasal 10

jo. Pasal 14 UU Perbankan, dapat dilihat bahwa

bentuk sistem perbankan yang berlaku di

Indonesia adalah commercial banking system,

dimana kegiatan usaha perbankan masih harus

terpisah dengan kegiatan usaha non-bank lainnya.

Oleh karenanya, struktur pengawasan yang

dilakukanpun pada umumnya berupa institutional

approach ataupun functional aproach, dimana

contohnya adalah seperti yang selama ini

diterapkan di Indonesia, yakni dengan BI untuk

pengawasan perbankan dan BAPEPAM-LK untuk

pengawasan non-perbankan.

Namun seiring dengan globalisasi yang terjadi

di sektor jasa keuangan, maka perkembangan

produk-produk jasa keuangan pun semakin

berkembang, sehingga menyebabkan terjadinya

konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi

ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait

33

32 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 219.

33 Halim Alamsyah dalam Donald Banjarnahor, 2011, “Perkuat GCG, BI akan Sempurnakan Aturan”.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 41: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

pengaturan dan pengawasan, karena produk-

produk yang dihasilkan sudah sedemikian

menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi

yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas

perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas

pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus

diakui bahwa meskipun Indonesia menganut

commercial banking system, namun dengan

seiring perkembangan bisnis di dalam industri

keuangan, maka penulis menilai bahwa secara

perlahan Indonesia telah memasuki era universal

banking system.

Kemudian dengan pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan, khususnya terkait pengaturan di dalam

Pasal 5 UU Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat

bahwa struktur pengawasan yang dianut oleh

Indonesia telah berubah menjadi integerated

approach, padahal sistem pengawasan tersebut

pada umumnya hanya diterapkan di negara-

negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang,

yang mana hal tersebut dikarenakan negara-

negara tersebut secara konstitusionil memang

menganut universal baniking system. Oleh

karenanya, agar pengaturan dan pengawasan

perbankan kedepannya dapat dijalankan dengan

lebih optimal, harus diadakan suatu pembaharuan

sistem perbankan, yang mana pembaharuan

tersebut secara konstitusionil harus dinyatakan

secara tegas bahwa industri perbankan dapat

melakukan usaha diluar perbankan, atau universal

banking system. Hal ini haruslah dilakukan, agar

dapat memberikan peluang investasi yang lebih

besar kepada para pelaku sektor jasa keuangan,

sekaligus memberikan kepastian hukum terkait

perlindungan kepada para nasabah/konsumen

sektor jasa keuangan apabila dikemudian hari

terjadi kasus seperti Antaboga Sekuritas dan Bank

Century.

D. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian

memberikan beberapa saran dan pendapat, sehingga

diharapkan pelaksanaan kinerja Otoritas Jasa Keuangan

dapat berjalan dengan baik dikemudian hari:

1. Meskipun berdasarkan Pasal 7 UU Otoritas Jasa

Keuangan dikatakan bahwa pengawasan

microprudential sepenuhnya telah beralih dari

Bank Indonesia menjadi kewenangan Otoritas

Jasa Keuangan, namun penulis berpendapat

bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem

keuangan dan agar dapat menjalankan fungsi

lender of last resort tepat pada waktunya, maka

penulis berpendapat bahwa seperti halnya BoJ,

Bank Indonesia selayaknya memiliki kewenangan

untuk melakukan daily on-site examination, yang

mana ketentuan tersebut harus dituangkan

kedalam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan,

dengan demikian potensi terhambatnya pertukaran

informasi akan lebih diminimalisir.

2. Pungutan yang akan dikenakan Otoritas Jasa

Keuangan merupakan hal yang sangat krusial,

oleh karenanya harus secepatnya diatur lebih

lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan,

khususnya terkait besaran nominal yang harus

dikeluarkan oleh para pelaku sektor jasa keuangan.

Penulis sendiri berpendapat bahwa agar pungutan

ini nantinya tidak membebani industri perbankan,

maka sebaiknya sumber pungutan ini merupakan

dana yang dibagi dua dengan premi yang harus

dikeluarkan kepada LPS.

3. Masih mengenai pungutan tersebut, di dalam

pasal 37 ayat (5) UU Otoritas Jasa Keuangan,

dikatakan bahwa “apabila pungutan yang

diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan

Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun anggaran

berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan kepada

kas negara”. Ketentuan di dalam pasal ini

menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri, yang

mana membuat Otoritas Jasa Keuangan seakan-

akan menjelma sebagai suatu BUMN sehingga

pungutan yang diterima apabila “berlebih” akan

menjadi pemasukan bagi negara. Penulis

berpendapat bahwa, ketentuan pasal ini kurang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

34

Page 42: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

tepat, karena selama ini ketentuan biaya yang

harus dikeluarkan oleh bank, baik GWM di Bank

Indonesia maupun premi kepada Lembaga

Penjamin Simpanan, merupakan pengeluaran

yang sifatnya untuk menjaga likuiditas bank

sehingga hak-hak nasabah dapat terlindungi,

artinya dana yang dikeluarkan oleh bank pun

pada saat diperlukan akan berfungsi untuk

menolong bank tersebut pula. Sehingga apabila

terdapat kelebihan pembiayaan di dalam GWM

dan Premi, tentu akan memberikan keuntungan

kepada industri perbankan. Sementara di dalam

Pasal 37 ayat (5) ini, mengharuskan kelebihan

pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa

Keuangan haruslah disetor ke negara, maka

penulis merasa hal tersebut tentulah tidak

memberikan manfaat apa-apa, khususnya kepada

pihak perbankan. Selain itu, ketentuan mengenai

pungutan, pada dasarnya ditujukan agar Otoritas

Jasa Keuangan mendapatkan financial

independence sehingga tidak tergantung pada

APBN. Apabila terdapat kelebihan dana yang

kemudian harus diserahkan kepada negara,

dikhawatirkan financial independence ini akan

sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, penulis

berpendapat ketentuan di dalam pasal 37 ayat

(5) harus diatur lebih lanjut, atau dilakukan judicial

review.

4. Berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, ditentukan bahwa suatu peraturan

perundang-undangan yang dibuat haruslah

memberikan suatu kejelasan tujuan, sehingga

tidaklah boleh menimbulkan suatu ambiguitas

ataupun multitafsir. Namun, ternyata di dalam

UU Otoritas Jasa Keuangan, masih terdapat

beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir,

yang mana dirasa penulis bertentangan antara

yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat

dilihat didalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU

Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa

“….pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang

bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan

pada saat pungutan dari pihak yang melakukan

kegiatan sektor jasa keuangan di industri

keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan

operasional…..”. Pasal ini dirasa penulis

bertentangan dengan Penjelasan Pasal 37 ayat

(1) yang menyatakan bahwa “…..Pungutan

digunakan untuk membiayai anggaran Otoritas

Jasa Keuangan yang tidak dibiayai APBN..”. Kedua

penjelasan pasal tersebut bertentangan, karena

di dalam penjelasan pasal 34 ayat (2), dapat

disimpulkan bahwa sumber pendanaan utama

Otoritas Jasa Keuangan adalah pungutan,

sehingga APBN hanya digunakan ketika pungutan

tersebut belumlah cukup membiayai operasional

Otoritas Jasa Keuangan. Sementara di dalam

penjelasan pasal 37 ayat (1), dapat disimpulkan

bahwa sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan

adalah APBN, sehingga pungutan hanya dikenakan

ketika pendanaan dari APBN belumlah cukup

membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan.

Dari pengaturan kedua pasal ini, penulis menilai

bahwa kedua pasal ini menimbulkan multitafsir

dan ambiguitas sehingga penilaian tiap orang

akan berbeda-beda, padahal seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, suatu peraturan

perundang-undangan yang baik haruslah tidak

menimbulkan multitafsir. Oleh karenanya,

ketentuan terkait kedua pasal ini perlu diatur

lebih lanjut atau dilakukan judicial review.

5. Sehubungan dengan pembentukan suatu otoritas

jasa keuangan yang ditujukan untuk mengatur

dan mengawasi sektor jasa keuangan secara

terintegerasi, maka tentu diperlukan pula suatu

mekanisme yang mengatur mengenai penanganan

pada saaat negara menghadapi krisis keuangan,

yakni dengan mekanisme Jaring Pengaman Sistem

Keuangan (JPSK). JPSK maupun Otoritas Jasa

Keuangan merupakan dua hal yang sama-sama

penting, tanpa adanya pengaturan lebih jelas

mengenai JPSK yang dituangkan dalam suatu

peraturan perundang-undangan, maka penulis

khawatir Indonesia akan kurang tanggap dalam

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

35

Page 43: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

memitigasi gejolak krisis yang suatu saat akan

terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya,

pengaturan mengenai JPSK harus segera dibentuk.

6. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan

pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank

Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka

tentu Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang

dibentuk sebagai acuan Bank Indonesia dalam

rangka pembangunan dan pengembangan

industri perbankan, tentu menjadi tidak relevan

lagi hal tersebut dikarenakan keenam pilar API

telah menjadi tugas dan kewenangan dari Otoritas

Jasa Keuangan, oleh karenanya perlu restrukturisasi

lebih lanjut mengenai API, apabila API masih

diberlakukan oleh Bank Indonesia, maka tentu

pilar-pilar di dalamnya harus dirubah dan

disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki

Bank Indonesia pasca terbentuknya Otoritas Jasa

Keuangan. Sementara apabila API kemudian

dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka

tentu API harus direstrukturisasi ulang dikarenakan

Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya berfungsi

untuk membangun dan menjaga industri

perbankan, melainkan mencakup seluruh industri

di sektor jasa keuangan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

36

Page 44: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan

Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta.

Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan,

Bank Indonesia, Jakarta.

Donato Masciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law,

University of the Pacific, San Fransisco.

Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal

Reserve Bank Of Cleveland.

K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta.

Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian

Development Bank Institute.

Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian

Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan

Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta.

Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial

Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands.

Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id

Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta.

Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”,

Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.

Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”,

Jakarta.

UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009

UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

DAFTAR PUSTAKA

37

Page 45: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam

Rupiah dan Valuta Asing

38

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 46: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

A. PENDAHULUAN

Sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi nasional

meningkat secara pesat. Kurs Rupiah cenderung stabil,

investasi asing terus meningkat. Swasta diberi

kesempatan meminjam kepada kreditur asing.

Stabilnya nilai rupiah itu membuat para peminjam

merasa tak perlu untuk melindungi nilainya terhadap

mata uang asing. Tidak ada perlindungan terhadap

rupiah itu belakangan menimbulkan masalah besar

pada saat Indonesia dihantam krisis moneter.

Permasalahan ekonomi dunia diawali pada Juli 1997,

pada saat itu mata uang sejumlah negara asia, yaitu

Korea Selatan, Thailand, Malaysia merosot drastis,

nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama

Dollar terus memburuk. Permasalahan itu berdampak

kepada perekonomian Indonesia. Hal tersebut diawali

dengan merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap mata

uang Amerika Serikat. Gejolak kurs itu membuat

sejumlah bank mengalami kerugian, terutama bank

yang mempunyai pinjaman dalam mata uang asing

dan tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta

asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak

kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-

flow) menyebabkan kesulitan likuiditas.1

39

KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN LIKUIDASI BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA SEBELUM

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Oleh :

Alex Kurniawan S.H., M.H.

Abstrak

Akibat tekanan krisis pada tahun 1997, 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL). Selain likuidasi

16 Bank pada tahun 1997 juga terdapat pencabutan ijin usaha bank yang terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005.

Dalam prakteknya pelaksanaan likuidsi untuk 16 BDL menghadapi beberapa kendala, khususnya pada saat likuidasi telah

melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin

Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan

penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah

(Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.

Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likudasi

menghadapi berbagai permasalahan hukum, akibatnya untuk penyelesaian 4 bank dalam likuidasi yang dicabut izin

usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (“enggan”) untuk menerima penyerahan

aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 BDL tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama.

Kata Kunci : Likuidasi, BLBI, Perbankan, Bank Dalam Likuidasi

1 Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

Page 47: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Akibat semakin banyak bank mengalami saldo debet

yang bersifat sistemik, Bank Indonesia menganggap,

kewenangan yang dimilikinya sebagai lender of the

last resort, sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-undang

Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, tak

cukup untuk mengatasi likuiditas. Bank Indonesia

lalu membawa permasalahan ini kepada Pemerintah.

Pemerintah mengambil jalan menutup bank yang

tidak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk

mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan nasional, simpanan nasabah di

bank yang ditutup diberikan bantuan likuditas melalui

Bank Indonesia.2

Namun mengingat tekanan krisis semakin berat dan

kepercayaan terhadap perekonomian nasional semakin

merosot, akhirnya Pemerintah mengundang IMF untuk

memberikan bantuan teknis dan pinjaman.

Pada tanggal 31 Oktober 1997 letter of intent (LoI)

Indonesia-IMF ditandatangani. Letter of Intent berisi

sejumlah langkah yang akan dilakukan Pemerintah

Indonesia untuk menyehatkan perekonomian. LoI

Oktober 1997 itu antara lain berisi sebagai berikut:

1. Restrukturisasi yang dilakukan secara

komprehensif merupakan kunci keberhasilan;

2. Bank-bank insolvent yang tidak sanggup

membayar kewajibannya yang tak mungkin

diselamatkan, ditutup. Bank-bank lemah namun

masih bisa diselamatkan diharuskan menyusun

dan melaksanakan rencana rehabilitasinya.

3. Program restrukturisasi terdiri dari empat bagian.

Pelaksanaannya dibantu IMF, Bank Dunia dan

Bank Pembangunan Asia. Due dillingence

terhadap bank dilakukan untuk mengetahui

derajat kesehatannya. Bank sehat tetap di bawah

Bank Indonesia, sedangkan yang tidak sehat

disembuhkan di BPPN.

4. Seluruh biaya yang berkaitan dengan penutupan

bank dan rehabilitasi bank Pemerintah menjadi

beban Pemerintah melalui APBN. Caranya dengan

menerbitkan surat utang (bond) yang dijamin

Pemerintah.

Dalam rangka menindaklanjuti LoI IMF tanggal 31

Oktober 1997 juga, pada 1 November 1997

Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan,

mencabut izin usaha 16 Bank, sehingga berstatus

Bank Dalam Likuidasi. Pengurus bank diperintahkan

mengadakan RUPS Luar Biasa guna membubarkan

badan hukum bank. Tim Likuidasi masing-masing

bank dibentuk, yang pembentukannya diatur dalam

Surat Menteri Keuangan RI Nomor Peng-86/MK/1997

tentang pencabutan izin usaha bank umum.

Sebagai tindak lanjut LoI IMF tersebut selain 16 bank

dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL)3, juga

4 bank dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO), 10

bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan 39 bank

sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Selain

itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah

melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap

10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank

umum.

Sementara likuidasi 16 Bank yang dicabut ijin usahanya

pada tahun 1997 belum selesai, Bank Indonesia

mencabut lagi ijin usaha bank pada tahun 2004 yaitu

PT. Bank Dagang Bali dan PT. Bank Asiatic yang dicabut

ijin usahanya secara bersamaan oleh Bank Indonesia

yaitu pada tanggal 8 April 2004. Di samping itu

terdapat 2 bank yang sebelumnya merupakan bank

BBKU yaitu PT. Bank Ratu dan PT. Bank Prasidha yang

tidak dapat diselesaikan oleh BPPN karena terdapat

gugatan dari pemegang sahamnya, sehingga baru

40

3 Ke-16 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi pada 1 November 1997 itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, Anrico Bank, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Sejahtera Bank Umum, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta Dhanamanunggal.

2 Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

Page 48: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dilakukan pencabutan izin usaha dan dilakukan proses

likuidasi pada tahun 2004. Selanjutnya terdapat bank

yang dicabut izin usahanya pada tanggal 13 Januari

2005 yaitu PT. Bank Global Internasional Tbk. Penyebab

bank-bank tersebut dicabut ijin usahanya berbeda

dengan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tahun

1997. Penyebab bank tersebut dicabut ijin usahanya

bukan akibat krisis tetapi karena kondisi kesehatan

bank yang memburuk dan terjadinya fraud yang

dilakukan oleh pemegang saham bank.

Dalam prakteknya pelaksanaan likuidasi untuk 16

Bank Dalam Likuidasi menghadapi baberapa kendala,

yaitu antara lain:

1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5

tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim

Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggung-

jawaban kepada RUPS karena masih adanya aset

dan kewajiban BDL yang belum dapat diselesaikan.

2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan

untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa

likuidasi dan masa lelang

3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara

penyelesaian aset dan kewajiban yang masih

tersisa apabila batas waktu likuidasi berakhir.

4. Pertanggungjawaban likuidasi yang diajukan

kepada pemegang saham, apabila pertanggung-

jawaban tersebut ditolak oleh pemegang saham

maka likuidasi menjadi tidak selesai.

Selanjutnya dalam menghadapi kendala tersebut Bank

Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian

likuidasi 14 BDL4 dengan cara penyerahan seluruh

sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada

Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai

pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada

Pemerintah. Adapun pertimbangan digunakannya

penyelesaian dengan cara tersebut adalah:

a. Harus segera diambil langkah penyelesaian agar

biaya operasional tidak bertambah.

b. Kreditur dalam hal ini yang terbesar adalah

Pemerintah karena telah membayarkan dana

penjaminan, berhak memperoleh pembayaran

secara maksimal.

Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas,

Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam

Likuidasi menghadapi berbagai permasalahan, yaitu:

a. Berbagai permasalahan hukum yang melekat pada

aset.

b. Dokumen yang tidak sempurna.

c. Permasalahan penetapan harga jual aset dan nilai

tagih piutang.

Akibatnya untuk penyelesaian 4 bank5 dalam likuidasi

yang dicabut izin usahanya pada periode tahun

2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap

(“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4

BDL tersebut padahal ke 4 bank dalam likudasi tersebut

mempunyai permasalahan yang hampir sama.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas

dan untuk memfokuskan pembahasan pada topik

“Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi

Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Lembaga Penjamin Simpanan”, maka perlu

dirumuskan mengenai pokok permasalahan yang

akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian

likudasi bank dengan cara penyerahan aset bank

dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur

mayoritas?

2. Bagaimanakah kekuatan hukum Tim Likuidasi

dalam penyelesaian likuidasi tersebut?

41

4 Dari 16 BDL terdapat 2 BDL yaitu PT. Bank Andromeda (DL) telah selesai likuidasinya karena telah menyelesaikan kewajiban dana talangan Pemerintah dan PT. Bank Umum Majapahit (DL) yang sudah menyelesaikan likuidasi karena sudah tidak mempunyai aset yang dapat dicairkan.

5 Dari Bank yang dilkuidasi pada tahun 2004/2005 terdapat 1 bank yang telah menyelesaikan proses likudasinya yaitu Pt. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi)

Page 49: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Alternatif penyelesaian likuidasi bank selain dengan

cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada

Pemerintah sebagai kreditur mayoritas?

C. PEMBAHASAN

1. Analisa Hukum Terhadap Penyelesaian

Likuidasi 16 Bank Yang Dicabut Izin Usahanya

Pada Tahun 1997

Penyelesaian likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi

adalah dengan cara menyerahkan sisa aset

Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada

Pemerintah selaku kreditur mayoritas, sebelum

RUPS mengenai pertanggungjawaban akhir Tim

Likuidasi. Dengan berbagai ragam permasalahan

hukum yang terjadi dalam penyelesaian Bank

Dalam Likuidasi, dan dengan memperhatikan

bahwa hukum positif tidak mengatur permasalahan

yang ada, penyelesaian likuidasi dengan cara

demikian merupakan solusi hukum yang dapat

diterapkan untuk menambah penerimaan negara

sebagai pengembalian dana penjaminan yang

telah diberikan.

Alternatif penyelesaian likuidasi bank ini terdapat

beberapa nilai positifnya walaupun terdapat

beberapa kendala atau kelemahan dalam

pelaksanaanya.

a. Penyelesaian aset kredit

Ditinjau dari hukum perdata kedudukan

Pemerintah atas aset yang diserahkan oleh

Tim Likuidasi dapat dilihat berdasarkan jenis

aset yang berikan yaitu: Untuk jenis aset berupa

aset kredit secara perdata merupakan piutang

bank kepada nasabah debiturnya, piutang ini

merupakan piutang atas nama.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU

Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai

penyediaan uang atau tagihan yang

dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga.

Dalam UU Perbankan istilah kredit memiliki

arti khusus yaitu meminjamkan uang dengan

menunjuk perjanjian pinjam meminjam sebagai

acuan dari perjanjian kredit.6 Perjanjian pinjam

meminjam dalam KUH Perdata diatur dalam

Pasal 1754, yaitu:

“Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan

mana pihak yang satu memberikan kepada

pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-

barang yang menghabis karena pemakaian

dengan syarat bahwa pihak yang belakangan

ini akan mengembalikan sejumlah yang sama

dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Dalam pemberian kredit bank akan mengikat

debitur dengan perjanjian kredit. Perjanjian

kredit adalah perjanjian pokok, dengan

perjanjian jaminan merupakan acessor-nya.

Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan

bergantung pada perjanjian pokok. Dalam

perjanjian kredit apabila debitor menerima

semua ketentuan dan persyaratan yang

ditentukan oleh bank maka ia berkewajiban

untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa kredit

merupakan piutang atas nama, maka apabila

jenis piutang ini akan dialihkan kepada pihak

lain maka menurut Pasal 613 KUHPerdata yang

mengatur tentang cessie menyebutkan bahwa

“penyerahan akan piutang-piutang atas nama

dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan

dengan jalan membuat sebuah akta otentik

42

6 Ibid.

Page 50: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

atau di bawah tangan, dengan mana hak-

hak atas kebendan itu dilimpahkan kepada

orang lain”

Tagihan tertentu disebut sebagai tagihan atas

nama berdasarkan ciri, krediturnya tertentu

dan diketahui dengan baik oleh debitur.7

Tagihan kepada order adalah tagihan-tagihan

yang menunjuk orang tertentu kepada siapa

tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan

hak untuk memindahkannya kepada orang

lain melalui endosemen, sedangkan tagihan

atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihan-

tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi

untuk memnudahkan pengalihannya) tidak

tertentu.8

Karena dalam Pasal 613 KUHPerdata objek

penyerahan yang diatur adalah tagihan atas

nama dan benda benda tak bertubuh lainnya,

maka pasal tersebut sebenarnya mau

memberikan petunjuk bagaimana kepemilikan

suatu tagihan atas nama dan benda tak

bertubuh lainnya bisa beralih dari pemilik yang

satu (pemilik asal/ceden) kepada pemilik yang

baru (cessionaris).

Jadi apabila cessie itu dilakukan oleh Tim

Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

613 KUHPerdata, maka terjadi peralihan hak

atas piutang tersebut dari Tim Likuidasi kepada

Pemerintah. Jadi Pemerintahlah yang menjadi

pemilik piutang itu.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal

584 KUHPerdata yaitu “Hak milik atas sesuatu

kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara

lain, melainkan dengan pemilikan, karena

perlekatan, karena daluwarsa, karena

pewarisan, baik menurut undang-undang

maupun menurut surat wasiat, dan karena

penunjukan atau penyerahan berdasar atas

suatu peristiwa perdata untuk memindahkan

hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka

unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan

Pasal 584 KUHPerdata adalah:9

1. Adanya penyerahan;

2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;

3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak

milik;

4. Dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas dengan benda itu.

Tindakan menyerahkan tidak pernah berdiri

sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan

buntut dari suatu peristiwa perdata/rechtitel.

Peristiwa perdata/rechtitel adalah dasar dari

tindakan menyerahkan yang bisa timbul dari

undang-undang, seperti kewajiban mengganti

rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal

1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas

dasar adanya pembayaran yang tidak terutang

(Pasal 1359 BW dan 1360 BW). Kewajiban

penyerahan juga bisa timbul berdasarkan

perjanjian yaitu pada perjanjian obligatoir.10

Dalam cessie, karena cessie merupakan

perjanjian, maka sesuai dengan ciri perjanjian

terhadap penyerahan oleh cedent harus ada

penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya

penyerahan dan penerimaan, maka cessie

telah terlaksana dengan baik.

43

9 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

10 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).

7 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).

8 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

Page 51: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya

yang melalui suatu penyerahan bisa menjadikan

orang lain sebagai pemilik benda yang

diserahkan adalah mereka yang mempunyai

kewenangan tindakan pemilikan, yang pada

umumnya adalah sipemilik benda atau

kuasanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

hak milik atas suatu tagihan nama, berdasarkan

penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika

penyerahan itu:11

1. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata

(rechetitel)

2. Dituangkan dalam suatu akta;

3. Diserahkan oleh pemilik benda yang

bersangkutan.

Apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan

tindakan Tim Likuidasi menyerahkan aset kredit

kepada Pemerintah, perlu dilihat apakah Tim

Likuidasi merupakan pihak yang berhak atau

pihak yang secara hukum dapat dianggap

sebagai pemilik pituang.

Terkait dengan hal tersebut ketentuan likudasi

(Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran

dan Likuidasi Bank) mengatur sebagai berikut:

Pasal 10

(1)Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh

Tim Likuidasi.

(2)Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,

tanggung jawab dan kepengurusan bank

dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.

(3)Dalam melaksanakan tugasnya Tim

Likuidasi berwenang mewakili bank dalam

likuidasi dalam segala hal yang berkaitan

dalam penyelesaian hak dan kewajiban

bank tersebut.

Ketika bank masih beroperasi aset kredit

merupakan aset milik bank, pada saat bank

tersebut dilikuidasi maka aset tersebut menjadi

aset Bank Dalam Likuidasi. Begitupun dengan

kepengurusannya. Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 diatas

mengatur Tim Likuidasi merupakan pihak yang

dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi. Mengacu

pada ketentuan likudasi tersebut maka Tim

Likuidasi merupakan pihak yang berhak dan

berwenang untuk menyerahkan aset kredit

tersebut kepada Pemerintah.

Selanjutnya untuk kepentingan penagihan

piutang itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal

613 ayat (2) KUH Perdata yaitu:

“Penyerahan yang demikian bagi si berhutang

tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan

itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis

disetujui dan diakuinya”.

Jadi penyerahan piutang dari Bank Dalam

Likuidasi yang dalam hal ini dilakukan oleh Tim

Likuidasi kepada Pemerintah cq Kementerian

Keuangan baru mengikat debitur setelah terjadi

pengalihan itu diberitahukan kepada debitur

sesuai Pasal 613 (KUHPerdata).

b. Penyelesaian Aset Properti

Aset properti yang diserahkan terdiri dari 2

macam:

a. Barang Jaminan Yang Diambil Alih (BJDA)

b. Aset tetap milik pemegang saham bank,

baik yang diserahkan oleh pemegang

saham maupun yang disita Tim Likuidasi

dari pemegang saham.

Tindak lanjut atas serah terima aset tetap/BJDA

dilakukan pembuatan Akta Kuasa Jual.

Selanjutnya atas aset tetap/Barang Jaminan

Yang Diambil Alih pencairannya dilakukan

melalui mekanisme penjualan lelang. Hasil

bersih lelang tersebut akan menjadi pengurang

kewajiban dari Bank Dalam Likuidasi.

44

11 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010).

Page 52: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Barang Jaminan Yang Diambil Alih atau dikenal

pula dengan istilah Agunan yang Diambil Alih

(AYDA) adalah aktiva yang diperoleh Bank,

baik melalui pelelangan maupun diluar

pelelangan berdasarkan penyerahan secara

sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan

kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik

agunan dalam hal debitur tidak memenuhi

kewajibannya kepada Bank.

Barang Jaminan Yang Diambil Alih ini

merupakan aset milik bank sehingga setelah

bank dilikuidasi merupakan aset Bank Dalam

Likuidasi, oleh karena itu Tim Likuidasi sebagai

pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi

berwenang untuk menyerahkan aset tersebut

kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah.

Jaminan dalam kredit bank dapat berupa hak

tanggungan atas tanah, surat-surat berharga

ataupun fiducia atas barang-barang bergerak.

Dengan penyerahan yang dilakukan oleh

Tim Likuidasi maka BJDA itu beralih kepada

Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berhak

untuk mengambil pelunasan yang diambil alih

tersebut. Untuk mengambil alih jaminan itu

haru diperhatikan ketentuan Pasal 16 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang mengatur bahwa “ (1) Jika

piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan

beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan,

atau sebab sebab lain, Hak Tanggungan

tersebut ikut beralih karena hukum kepada

kreditor yang baru. (2) Beralihnya Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang

baru kepada Kantor Pertanahan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut peralihan

jaminan dari Bank Dalam Likuidasi kepada

Pemerintah didaftarkan oleh Pemerintah.

Demikan pula halnya dengan BJDA yang diikat

dengan fiducia. Pemerintah sebagai kreditur

baru wajib mendaftarkan peralihan tersebut.

Jika pendaftaran ini belum dilakukan maka

peralihan tersebut tidak mengikat bagi pihak

ketiga.

c. Penyerahan Aset Pemegang Saham

Kepada Pemerintah

Apakah aset milik pemegang saham dapat

diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada

Pemerintah.

Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,

Pembubaran dan Likuidasi Bank, mengatur

sebagai berikut:

Pasal 24

(1)Dalam hal harta kekayaan bank dalam

likuidasi tidak cukup untuk memenuhi

seluruh kewajiban bank dalam likuidasi

tersebut maka kekurangannya wajib

dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota

dewan komisaris serta pemegang saham

yang turut serta menjadi penyebab kesulitan

keuangan yang dihadapi oleh bank atau

menjadi penyebab kegagalan bank.

(2)Dalam hal direksi bank yang dicabut izin

usahannya tidak bersedia melaksanakan

tugas dan kewajiban berkaitan dengan

pencabutan izin usaha bank, atau direksi

dalam keadaan tidak hadir, maka tanpa

mengurangi tanggung jawab direksi yang

bersangkutan, untuk kepentingan nasabah

penyimpan dana Bank Indonesia

membentuk Tim Pengelola Sementara

untuk menjalankan fungsi direksi sampai

dengan terbentuknya Tim Likuidasi.

(3)Direksi yang tidak bersedia melaksanakan

tugas dan kewajiban berkaitan dengan

pencabutan izin usaha, pembubaran dan

likuidasi bank, atau yang dengan sengaja

tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), dapat dikategorikan telah

melakukan pelanggaran terhadap Peraturan

Pemerintah ini, dan dapat dikenakan

ancaman pidana dan sanksi administratif

sebagaimana tercantum dalam Pasal 23.

45

Page 53: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan ketentuan di atas, bukan hanya

pemegang saham bahkan pengurus pun

apabila menjadi penyebab kesulitan keuangan

yang dihadapi oleh bank atau menjadi

penyebab kegagalan bank maka mereka

bertanggung jawab untuk membayar

kewajiban bank apabila aset bank dalam

likuidasi tidak mencukupi untuk membayar

kewajiban bank dalam likuidasi.

Mengenai apakah pemegang saham dapat

diminta pertanggungjawaban untuk membayar

kewajiban bank. Dr. Zulkarnain Sitompul

berpendapat bahwa ada dua pendekatan

hukum yang dapat digunakan. Menggunakan

hukum perusahaan, Perseroan Terbatas (PT)

adalah badan hukum yang memiliki hak dan

tanggung jawab terpisah dengan pemegang

sahamnya. Sebagai badan hukum, Perseroan

Terbatas memiliki utang dan kewajiban lainnya

atas namanya sendiri. Hal tersebut berarti

bahwa baik utang maupun kewajiban

perusahaan bukan merupakan tanggung jawab

pemegang saham. Demikian pula sebaliknya

perseroan tidak bertanggung jawab terhadap

utang dan kewajiban para pemegang

sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat

dikecualikan apabila terdapat kondisi yang

dalam hukum perusahaan disebut pierce the

corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis

adalah pertama, terjadi penipuan (fraud)

atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak

ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan

perseroan. Kedua, pemegang saham tidak

memperlakukan perseroan sebagai badan

yang terpisah akan tetapi menggunakannya

untuk kepentingan pribadi. Ketiga, perseroan

kekurangan modal. Keempat, kondisi lainnya

yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness)

apabila perseroan tetap diakui sebagai badan

hukum. Piercing the corporate veil dapat pula

dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan

untuk mencegah terjadinya penipuan atau

untuk menciptakan keseimbangan (equity).

Sementara itu teori hukum perusahaan

mengajarkan bahwa Perseroan Terbatas harus

dikelola sesuai dengan ketentuan dalam

anggaran dasar perseroan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Anggaran

dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan

dengan Pemerintah. Terkait erat dengan tujuan

perusahaan. Direksi wajib menggunakan

kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai

tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable

discretion yang harus dijalankan dengan iktikad

baik untuk mencapai tujuan perusahaan.

Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu

kecuali mereka bersalah karena melakukan

penipuan (fraud) dan misappropriation.

Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai

dengan tujuan atau kewenangannya maka

secara hukum direksi telah melakukan ultra

vires (di luar kewenangan). Konsekwensinya

membayar ganti rugi dan ancaman pidana

serta keterkaitannya dengan keabsahan

perjanjian.12

Terkait dengan prinsip piercing the corporate

veil ini, M Yahya Harahap, SH berpendapat

bahwa dakam rangka meningkatkan tegaknya

keadilan dan mencegah ketidakwajaran, pada

keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip

keterpisahan perseroan dari pemegang saham

secara kasuistik perlu disingkirkan dan dihapus

dengan cara menembus tembok atau tabir

perseroan atas perisai tanggung jawab

terbatas.13 Konsekuensi hukum atas

penyingkapan tabir atau piercing the corporate

veil ini adalah:

46

12 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diambil dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggung-jawab-pemilik_pilar.pdf.

13 M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Page 54: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

- Hilang atau hapus perlindungan tanggung-

jawab terbatas pemegang saham yang

digariskan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.14

- Dengan sendirinya pemegang saham ikut

memikul risiko bersama-sama dengan

perseroan dari harta pribadi pemegang

saham yang bersangkutan.

Menggunakan pendekatan hukum perbankan15

yang secara tegas mengatur pemilik bank

bertanggung jawab penuh atas kewajiban

bank apabila mereka ikut menyebabkan

terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-

undang Perbankan mengancam pemegang

saham dengan pidana penjara minimal 7

tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar,

apabila pemegang saham menyuruh dewan

komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya

untuk melakukan atau tidak melakukan

tindakan yang mengakibatkan bank tidak

melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan bank terhadap

hukum perbankan. Ancaman pidana yang

sama juga berlaku bagi komisaris, direksi,

pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan

bank. Faktanya bank yang dicabut ijin usahanya

banyak yang tidak mentaati rambu-rambu

hukum yang telah ditetapkan, misalnya bank

melakukan pelanggaran batas maksimum

pemberian kredit dan melakukan transaksi

fiktif. Dengan kondisi seperti itu dan ketentuan

hukum perusahaan dan perbankan sebagai-

mana dikemukakan di atas konsekwensi

hukumnya jelas. Pertama, bahwa terbatasnya

tanggung jawab pemegang saham telah hilang

sehingga mereka bertanggung jawab secara

pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus

diambil untuk membayar seluruh kewajiban

bank. Kedua, komisaris, direksi atau pejabat

eksekutif lainnya yang bukan pemegang

saham juga bertanggung jawab secara pribadi

karena tidak mengurus bank sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka

juga dapat diambil untuk membayar kewajiban

bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu

diterapkan.

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas,

maka dalam kasus Bank Dalam Likuidasi yang

terkait dengan penggunaan dana Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia dan dana Penjaminan

Pemerintah dapat dipastikan bahwa terdapat

beberapa pemegang saham Bank Dalam

Likuidasi yang dapat diminta pertanggung-

jawaban untuk membayar kewajiban Bank

Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.

d. Kedudukan Pemerintah Sebagai Pihak

Yang Menerima Aset Bank Dalam Likudasi

Pasal 584 KUHPerdata mengatur bahwa “Hak

milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh

dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan,

karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena

pewarisan, baik menurut undang-undang

maupun menurut wasiat, dan karena

penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas

suatu peristiwa perdata untuk memindahkan

hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka

unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan

Pasal 584 KUHPerdata adalah:16

47

16 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: National Legal Reform Program, Gramedia 2010).

14 Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”

15 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggung-jawab-pemilik_pilar.pdf

Page 55: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

1. Adanya penyerahan;

2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;

3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak

milik;

4. Dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas dengan benda itu.

Menurut Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas

sesuatu kebendaan dapat diperoleh antara

lain karena penyerahan berdasarkan atas suatu

peristiwa perdata termasuk memindahkan hak

milik dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas atas kebendaan itu.

Dalam proses penyerahan aset Bank Dalam

Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah,

peristiwa perdatanya adalah pembayaran dana

talangan Pemerintah dalam hal ini dapatlah

dikatakan bahwa bank telah melakukan in

betaling geving (pelunasan) untuk menutup

hutangnya kepada Pemerintah. In betaling

geving (pelunasan) ini pada hakekatnya dapat

juga dikatakan suatu novasi objektif.17

J. Satrio berpendapat bahwa Novasi objektif

didasarkan pada Pasal 1413 sub 1, jelasnya

atas dasar kata-kata “membuat perikatan

hutang baru” dan disini kata perikatan hutang

harus diartikan sebagai kewajiban perikatan

atau prestasi perikatan atau dengan perkataan

lain objek perikatannya. Objek perikatan antara

lain meliputi objek prestasi daripada perikatan

yang bersangkutan dan penggantian yang

dimaksud di sini adalah penggantian objek

prestasi perikatan.18

Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah

ada diganti dengan perikatan lain. Novasi

obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau

mengubah isi daripada perikatan. Penggantian

perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas

suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi

lain. Misalnya kewajiban untuk membayar

sejumlah uang tertentu diganti dengan

kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang

tertentu.

2. Kewenangan Tim Likuidasi dalam

menjalankan tugasnya setelah jangka waktu

likuidasi berakhir

Berbeda dengan dengan penyelesaian 16 Bank

Dalam Likuidasi, penyelesaian 4 Bank Dalam

Likuidasi19 sampai tulisan ini dibuat masih belum

mendapatkan solusi penyelesaian mengingat:

1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama

5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun

Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan

pertanggungjawaban kepada Rapat Umum

Pemegang Saham karena masih adanya aset

dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi.

2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan

untuk mencairkan aset setelah berakhirnya

masa likuidasi dan masa lelang

3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur

tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang

masih tersisa apabila batas waktu likuidasi

terlewati.

4. Kementerian Keuangan selaku kreditur

mayoritas dan selaku pihak yang telah

memberikan dana talangan untuk

membayarkan kewajiban Bank Dalam Likuidasi

kepada nasabah penyimpan belum bersedia

melakukan serah terima sisa aset dari 4 Bank

Dalam Likuidasi yang dilikuidasi tahun 2004/

2005.

48

17 Prof. Dr. Siti Ismijati, Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011.

18 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).

19 Pada tahun 2004/2005 sebenarnya ada 5 bank yang dicabut ijin usahanya yaitu: PT. Bank Ratu, PT. Bank Prasidha, PT. Bank Dagang Bali, PT. Bank Asiatic, dan PT. Bank Global. Namun PT. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi) sudah menyelesaikan likuidasinya dengan cara menyerahkan sisa aset kepada Pemerintah.

Page 56: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Penyelesaian dengan cara penyerahan sisa aset

Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah menurut

penulis merupakan alternatif penyelesaian atau

merupakan solusi yang cukup ideal walaupun

terdapat beberapa kelemahan/permasalahan yang

dihadapi Pemerintah selaku pihak penerima aset.

Namun demikian dalam hal Pemerintah memutuskan

untuk tidak dapat menerima aset 4 Bank Dalam

Likuidasi sebagai pembayaran kewajiban Bank

Dalam Likuidasi tersebut, maka perlu dicari solusi

penyelesaian lain mengingat proses penyelesaian

likuidasi yang sudah hampir berjalan selama sekitar

8 tahun, padahal ketentuan likuidasi yang berlaku

hanya memberi batas selama 5 tahun 180 hari.

Untuk itu sebelum dikaji mengenai solusi dengan

cara apa penyelesaian likuidasi 4 Bank Dalam

Likuidasi, perlu terlebih dahulu dikaji mengenai

kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan

tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir

termasuk bagaimana memperkuat kewenaagan

Tim Likuidasi dari sisi hukum.

a. Pemberian Kewenangan Tim Likuidasi

Setelah Jangka Waktu Likuidasi Berakhir.

Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal

12 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1999 mengatur sebagai berikut:

(1) Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan

dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)

tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya

Tim Likuidasi.

(2)Dalam hal likuidasi bank tidak dapat

diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-

mana dimaksud dalam ayat (1), penjualan

harta bank dalam likuidasi dilakukan secara

lelang.

Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR

diatur sebagai berikut:

(1)Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya

secara efisien dan efektif sehingga dapat

menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu

singkat.

(2)Apabila penyelesaian tugas sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat

kesulitan yang tinggi maka jangka waktu

yang diperkenankan adalah selama- lamanya

5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim

Likuidasi.

(3)Apabila Likuidasi Bank tidak dapat

diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-

mana dimaksud dalam ayat (2), penjualan

harta Bank dilakukan secara lelang.

(4)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang

Negara atau lembaga lain atas permohonan

Tim Likuidasi dengan menggunakan

metode harga penawaran tertinggi.

(5)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4) diselesaikan selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 180 hari

sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan

Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2).

Salah satu permasalahan yang cukup krusial

dalam penyelesaian likuidasi bank baik bank

yang dilikuidasi pada tahun 1997 maupun

2004/2005 adalah masalah kewenangan Tim

Likuidasi setelah jangka waktu likudasi

sebagaimana ditentukan dalam ketentuan

likuidasi telah berakhir.

Setelah jangka waktu likuidasi berakhir Tim

Likuidasi mulai mendapat hambatan dalam

melaksanakan tugasnya, khususnya dalam

melakukan upaya penagihan kepada para

debiturnya. Hambatan tersebut antara lain

muncul pada saat Tim Likuidasi melakukan

gugatan untuk melakukan penagihan kepada

debitur. Terkait dengan permasalahan ini salah

satu contoh adalah kasus gugatan dari PT. Bank

Pinaesaan (Dalam Likuidasi) kepada debiturnya

PT. AMF (sebuah lembaga keuangan non-bank

yang salah satu usahanya adalah menerbitkan

menerbitkan promisory note). Dalam mengelola

dana pada PT. Bank Pinaesaan (dalam Likuidasi),

49

Page 57: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Tim Likuidasi menempatkan sebagian dananya

dengan membeli promisory note kepada PT.

AMF, namun pada saat Tim Likuidasi akan

mencairkan promisory note tersebut sesuai

dengan perjanjian yang disepakati, PT. AMF

melakukan wanprestasi yaitu tidak dapat

menyediakan dana untuk mencairkan promisory

note milik PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi).

Karena wanprestasi tersebut Tim Likuidasi PT.

Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) menggungat

PT. AMF. Namun dalam putusan Pengadilan

Jakarta Pusat No. 121/PDT.G/2005/PN.JKT.PST

gugatan tersebut di tolak oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa

Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam

Likuidasi) tidak dalam kapasitasnya sebagai

Tim Likuidasi karena berdasarkan ketentuan

likudasi jangka waktu likuidasi telah berakhir.

Dengan memperhatikan permasalahan di atas,

pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi

untuk tetap melaksanakan tugasnya

menyelesaikan proses likuidasi (melakukan

penjualan aset dan membayar kewajiban Bank

Dalam Likuidasi) setelah berakhirnya jangka

waktu likuidasi menjadi sangat diperlukan

untuk kelancaran proses likuidasi.

Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal

12 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan

Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank

mengatur bahwa Pelaksanaan likuidasi bank

wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling

lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal

dibentuknya Tim Likuidasi. Dalam hal likuidasi

bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan

secara lelang.

Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KE/DIR

tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,

Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum

mengatur bahwa:

(1)Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya

secara efisien dan efektif sehingga dapat

menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu

singkat.

(2)Apabila penyelesaian tugas sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat

kesulitan yang tinggi maka jangka waktu

yang diperkenankan adalah selama-lamanya

5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim

Likuidasi.

(3)Apabila Likudasi Bank tidak dapat

diselesaikan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),

penjualan harta Bank dilakukan secara

lelang.

(4)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang

Negara atau lembaga lain atas permohonan

Tim Likuidasi dengan menggunakan metode

harga penawaran tertinggi.

(5)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4) diselesaikan selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 180 hari

sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan

Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2).

Berdasarkan ketentuan di atas sudah tegas

bahwa jangka waktu likuidasi adalah paling

lama 5 Tahun dan apabila tidak selesai maka

dapat dilanjutkan dengan melakukan

pelelangan. Dengan ketentuan tersebut apakah

otomatis Tim Likuidasi juga sudah tidak

berwenang untuk menyelesaikan tugasnya

dalam proses likuidasi bank.

Atas permasalahan tersebut Prof. DR. Phillipus

M. Hadjon berpendapat bahwa20 “Ketentuan

5 Tahun 180 hari merupakan persoalan cacat

di dalam pengaturannya. Berakhirnya jangka

50

20 Prof. DR. Philipus M. Hadjon, Diskusi Terbatas Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, (Jakarta: Bank Indonesia, 8 November 2004).

Page 58: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

waktu 5 tahun 180 hari tidak secara otomatis

Tim Likuidasi bubar sebab Tim Likuidasi

mempunyai legalitas. Oleh karena itu selama

Tim Likuidasi belum dibubarkan oleh Rapat

Umum Pemegang Saham maka Tim Likuidasi

masih memiliki kewenangan untuk melakukan

pencairan aset dan menyelesaikan kewajiban

Bank Dalam Likuidasi”.

Berangkat dari pendapat tersebut penulis

berpendapat bahwa secara hukum kewenangan

Tim Likuidasi untuk melakukan tugasnya dalam

menyelesaikan proses likuidasi Bank Dalam

Likuidasi harus diperkuat dengan dasar hukum

yang memadai. Oleh karena itu untuk

memperkuat kedudukan hukum Tim Likuidasi

adalah dengan memberikan kewenangan

kepada Tim Likuidasi untuk dapat melakukan

tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi

walaupun jangka waktu likuidasi telah berakhir

(memperpanjang jangka waktu tugas Tim

Likuidasi). Terdapat beberapa cara yang dapat

dilakukan untuk memperpanjang jangka waktu

pelaksanaan tugas Tim Likuidasi, yaitu:

a. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi

berdasarkan keputusan Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS).

b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas

pengawas Bank Dalam Likuidasi.

c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi melalui penetapan pengadilan.

b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi

berdasarkan keputusan Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS)

Dalam ketentuan likuidasi (Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI

No. 32/53/KEP/DIR) diatur bahwa Tim Likuidasi

dibentuk dan dibubarkan oleh Rapat Umum

Pemegang Saham.

Pasal 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992

tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan

SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan

posisi RUPS sebagai lembaga yang cukup sentral

dimana bank setelah izin usahanya dicabut

oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan

untuk mengadakan RUPS guna membubarkan

badan hukum bank dan membentuk Tim

Likuidasi untuk kemudian melaui dilakukan

proses likuidasi.21

Hal ini berbeda dengan ketentuan likuidasi

yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

yang mengatur bahwa ketika bank bermasalah

dan diputuskan untuk tidak diselamatkan,

dan oleh karenanya LPS membayarkan dana

penjaminan kepada nasabah Bank Dalam

Likuidasi, LPS mengambil alih wewenang

RUPS. Untuk keperluan pemberesan atas aset

dan kewajiban BDL tersebut LPS membentuk

Tim Likuidasi yang akan bertanggungjawab

kepada LPS (bukan kepada RUPS).

Selain pada saat pembentukan Tim Likuidasi

dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa

kewenangan Tim Likuidasi juga dalam hal

pembubaran atau pengakhiran likuidasi.

Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

1999 mengatur dalam hal Tim Likuidasi

dibentuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham,

Tim Likuidasi wajib menyusun Neraca Akhir

Likuidasi guna dilaporkan kepada Bank

Indonesia dan dipertanggungjawabkan kepada

Rapat Umum Pemegang Saham.

51

21 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)

Page 59: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dalam hal neraca akhir likuidasi telah disetujui

Bank Indonesia, dan Rapat Umum Pemegang

Saham telah menerima pertangungjawaban

Tim Likuidasi maka Rapat Umum Pemegang

Saham:

a. meminta Tim Likuidasi:

- mengumumkan berakhirnya likuidasi

dan perseroan dengan menempatkan

dalam Berita Negara Republik Indonesia

dan dalam surat kabar harian yang

mempunyai peredaran luas;

- memberitahukan kepada instansi yang

berwenang;

- memberitahukan kepada Departemen

Perindustrian dan Perdagangan agar

nama badan hukum bank tersebut

dicoret dari Daftar Perusahaan;

b. membubarkan Tim Likuidasi.

Berdasarkan ketentuan di atas dalam proses

likuidasi Rapat Umum Pemegang Saham

berperan dalam proses pengakhiran likuidasi

yaitu dalam bentuk menerima pertanggung-

jawaban Tim Likuidasi dan juga melakukan

pembubaran Tim Likuidasi.

Selanjutnya terkait dengan kedudukan Tim

Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25

Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,

Pembubaran dan Likuidasi diatur sebagai

berikut:

Pasal 10 mengatur bahwa:

(1)Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh

Tim Likuidasi.

(2)Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,

tanggung jawab dan kepengurusan bank

dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.

(3)Dalam melaksanakan tugasnya Tim

Likuidasi berwenang mewakili bank dalam

likuidasi dalam segala hal yang berkaitan

dalam penyelesaian hak dan kewajiban

bank tersebut.

Selanjutnya Pasal 13 mengatur sebagai berikut:

(1)Dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya anggota Tim Likuidasi

dilarang memperoleh keuntungan untuk

diri sendiri.

(2)Anggota Tim Likuidasi bertanggung jawab

secara pribadi apabila dalam melaksanakan

tugasnya melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Selanjutnya dalam Pasal 20 SK Dir BI No.

32/53/KEP/DIR diatur bahwa tanggung jawab

pengelolaan bank beralih dari pengurus bank

kepada Tim Likuidasi.

Pasal 25 ayat (2) mengatur wewenang Tim

Likuidasi antara lain:

- mewakili Bank Dalam Likuidasi di dalam

dan di luar pengadilan.

- memutuskan hubungan kerja terhadap

pegawai.

Memperhatikan ketentuan likuidasi di atas,

sebagian tugas dan wewenang Tim Likuidasi

menurut penulis hampir sama dengan tugas

dan wewenang Direksi pada Bank yang

masih beroperasi. Begitupun dengan

pengangkatannya, Tim Likuidasi dan Direksi

sama-sama diangkat oleh Rapat Umum

Pemegang Saham. Sehubungan dengan itu

maka wajar apabila disebutkan bahwa dalam

ketentuan likuidasi ini kedudukan Rapat Umum

Pemegang Saham masih cukup sentral.

Berdasarkan uraian di atas, maka perpanjangan

tugas Tim Likuidasi setelah jangka waktu

likuidasi berakhir dapat dilakukan melalui

keputusan Rapat Umum Pemegang Saham,

adapun jangka waktu perpanjangan tersebut

disesuaikan dengan kondisi Bank Dalam

Likuidasi tersebut.

Namun demikian perpanjangan jangka waktu

atau pemberian kewenangan kepada Tim

Likuidasi melalui keputusan Rapat Umum

52

Page 60: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Pemegang Saham sangat tergantung dari

itikad baik para pemegang saham untuk

menyelesaikan likuidasi. Tanpa itikad baik dari

para pemegang saham untuk memberikan

kewenangan kepada Tim Likuidasi pelaksanaan

Rapat Umum Pemegang Saham tidak akan

terjadi, dan tidak ada pihak lain termasuk

otoritas pengawas bank dalam likuidasi dalam

hal ini Bank Indonesia yang bisa memaksa

para pemegang saham untuk melakukan rapat.

c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi melalui penetapan pengadilan.

Peranan pengadilan dalam ketentuan likuidasi

antara lain adalah atas permohonan dari

Bank Indonesia, mengeluarkan penetapan

pembubaran badan hukum bank, penunjukan

tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dalam hal para pemegang saham

tidak dapat menyelenggarakan Rapat Umum

Pemegang Saham untuk memutuskan hal

tersebut.

Mengingat peranan pengadilan dalam

menetapkan pembentukan Tim Likuidasi,

apakah pengadilan juga dapat mengeluarkan

putusan/penetapan untuk memberikan

kewenangan kepada Tim Likuidasi (menetapkan

perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi)

guna menyelesaikan tugasnya dalam proses

likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.

Untuk mengajukan pernetapan tersebut pihak

yang berkepentingan harus mengajukan

permohonan kepada Ketua Pengadilan.

Permohonan atau gugatan voluntair adalah

permasalahan perdata22 yang diajukan dengan

surat permohonan yang ditandatangani oleh

pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan

kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat

tinggal pemohon.23

Perkara permohonan termasuk dalam

pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan

permohonan yang diajukan itu, hakim akan

memberikan suatu penetapan. Pengadilan

Negeri hanya berwenang untuk memeriksa

dan mengabulkan permohonan (penetapan),

apabila hal itu ditentukan dalam undang-

undang atau yurisprudensi.24

Dalam undang-undang tidak ada ketentuan

yang mengatur mengenai perpanjangan jangka

waktu Tim Likuidasi ataupun ketentuan yang

mengatur mengenai proses likuidasi ketika

jangka waktunya berakhir, namun dalam

yurisprudensi setidaknya telah ada 2 penetapan

Pengadilan Negeri yang mengeluarkan

penetapan perpanjangan masa tugas Tim

Likuidasi, yaitu Penetapan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 321/PDT.P/2003/

PN.JAKSEL tanggal 17 Nopember 2003 adalah

penetapan untuk perpanjangan masa tugas

Tim Likuidasi Bank Industri (DL) dan Penetapan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

20/PDT.P/2004/PN.JAKSEL tanggal 9 Februari

2004 untuk perpanjangan masa tugas Tim

Likuidasi PT. Bank Harapan Sentosa (DL).

Berdasarkan yurisprudensi di atas, maka salah

satu cara yang dapat dilakukan untuk

memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi

adalah dengan mengajukan permohonan

kepada Pengadilan Negeri.

53

22 M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

23 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).

24 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).

Page 61: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

d. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku

otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi

Kedudukan Bank Indonesia dalam ketentuan

likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 tahun

1999 dan SK Dir Bi No. 32/53/KEP/DIR) adalah

sebagai berikut:

- melakukan pengawasan atas pelaksanaan

pembubaran badan hukum dan likuidasi

bank.

- memberikan persetujuan terhadap calon

anggota Tim Likuidasi.

- meminta kepada Pengadilan untuk

melakukan pembubaran badan hukum Bank,

penunjukan Tim Likuidasi, memerintahkan

pelaksanaaan likuidasi sesuai dengan

ketentuan dan memerintahkan agar Tim

Likuidasi mempertanggungjawabkan

pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia,

dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham

tidak dapat diselenggarakan.

- memberhentikan Tim Likuidasi apabila tidak

dapat menjalankan tugas dengan baik dan

atau terbukti melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

- memberikan persetujuan Neraca Akhir

Likuidasi.

- menerima laporan dan

pertanggungjawaban Neraca Akhir

Likuidasi yang disusun oleh Tim Likuidasi,

dalam hal Tim Likuidasi dibentuk

berdasarkan penetapan pengadilan.

- meminta Tim Likuidasi: mengumumkan

berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan

menempatkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia dan dalam surat kabar

yang mempunyai peredaran luas;

memberitahukan kepada instansi yang

berwenang; memberitahukan kepada

Departemen Perindustrian dan Perdagangan

agar nama badan hukum bank tersebut

dicoret dari daftar perusahaan.

- membubarkan Tim Likuidasi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1999, Rapat Umum Pemegang Saham

memang masih mempunyai kedudukan yang

cukup sentral karena masih berperan dalam

pembentukan Tim Likuidasi dan sekaligus

pembubarannya. Namun demikian peraturan

likuidasi tersebut sudah mengantisipasi dalam

hal pemegang saham tidak kooperatif dalam

pelaksanaan likuidasi (karena biasanya likuidasi

bank merupakan sesuatu yang dihindari oleh

para pemegang saham). Dalam prakteknya

hampir selalu pemegang berusaha untuk

melawan tindakan penutupan bank tersebut.

Tidak jarang pula pemegang saham yang

menggugat Bank Indonesia sebagai lembaga

yang mempunyai otoritas untuk mencabut

izin usaha bank.

Berangkat dari pemikiran tersebut dalam

ketentuan likuidasi diatur bahwa apabila

pemegang saham tidak dapat mengadakan

rapat umum pemegang saham untuk

melakukan pembubaran badan hukum dan

pembentukan Tim Likuidasi, maka Bank

Indonesia sebagai otoritas pengawas bank

dalam likuidasi diberikan wewenang untuk

meminta ke pengadilan untuk menetapkan

pembentukan Tim Likuidasi. Bahkan untuk

pengakhiran likuidasi dan pembubaran Tim

Likuidasi bagi Tim Likuidasi yang dibentuk

berdasarkan Penetapan Pengadilan, Bank

Indonesia lah yang melakukan pembubaran

Tim Likuidasi tersebut.

Dalam proses likuidasi bank, kedudukan Bank

Indonesia selain sebagai pengawas juga

bertindak sebagai regulator untuk Bank Dalam

Likuidasi. Dengan posisi Bank Indonesia

tersebut Bank sebagai lembaga negara

mempunyai kewenangan publik dalam

melaksanakan tugasnya termasuk dalam

menyelesaikan permasalahan likuidasi bank.

54

Page 62: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Bank Indonesia sebagai lembaga administrasi

negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu

untuk bertindak atas inisiatif sendiri

menyelesaikan berbagai permasalahan pelik

yang membutuhkan penanganan secara cepat,

sementara peraturan terhadap permasalahan

itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu

dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga

legislatif yang kemudian dalam hukum

administrasi negara diberikan kewenangan

bebas berupa diskresi.

S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan

diskresi, discretion (Inggris), discretionair

(Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai

kebebasan bertindak atau mengambil

keputusan dari para pejabat administrasi negara

yang berwenang dan berwajib menurut

pendapat sendiri.

Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi

Pemerintahan yang berupa dokumen-dokumen

yang mengandung materi penetapan yang

bersifat konkrit, individual dan final dalam

hukum administrasi disebut dengan keputusan

(Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen

yang mengandung materi pengaturan yang

bersifat umum disebut peraturan (regeling).

Sedangkan peraturan kebijaksanaan adalah

(beleid regels), adalah merupakan produk

hukum yang lahir dari kewenangan mengatur

kepentingan umum secara mandiri atas dasar

prinsip freies ermessen.25

Berdasarkan terori yang diuraikan di atas Bank

Indonesia sebagai badan admintrasi negara

mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan

diskresi atau peraturan kebijaksanaan untuk

memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi

atau memperpanjang jangka waktu kerja Tim

Likuidasi. Sebagaimana disebutkan di atas,

bahwa diskresi digunakan untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan penting dan mendesak

serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif.

Penyelesaian likuidasi merupakan permasalahan

yang bersifat penting dan mendesak. Penting

karena terkait dengan kepastian hukum dalam

penyelesaian likuidasi termasuk penyelesaian

pengembalian uang penjaminan Pemerintah

yang digunakan bank untuk mengembalikan

dana nasabah. Bersifat mendesak karena proses

likuidasi bank telah berlangsung lama dan

telah melewati jangka waktu yang ditentukan

oleh ketentuan.

Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas

bank dalam likuidasi punya cukup landasan

hukum untuk memberikan kewenangan

kepada Tim Likudasi setelah jangka waktu

likuidasi berakhir.

3. Alternatif Penyelesaian Likuidasi 4 Bank Yang

Dicabut Ijin Usahanya Tahun 2004/2005

Seperti telah diuraikan di atas, pemberian

kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah masa

likuidasi berakhir atau pemberian kewenangan

kepada Tim Likuidasi untuk menyelesaikan

likuidasi Bank Dalam Likuidasi diperlukan untuk

memberikan landasan hukum bagi Tim Likuidasi

dalam menyelesaikan likuidasi Bank Dalam

Likuidasi. Baik dengan cara penyelesaian likuidasi

melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi

kepada Pemerintah maupun dengan alternatif

penyelesaian yang lain.

Terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang

dapat ditempuh untuk menyelesaikan proses

likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi dalam hal

penyelesaian dengan jalan penyerahan sisa aset

Bank Dalam Likuidasi tidak dapat dilakukan.

55

25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.

Page 63: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan

sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada

Balai Harta Peninggalan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri

Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun

1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan

menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan

adalah unit pelaksana penyelenggara hukum

di bidang harta peninggalan dan perwalian

dalam lingkungan Departemen Kehakiman,

yang berada di bawah dan bertanggungjawab

langsung kepada Direktur Jenderal Hukum

dan Peraturan Perundangundangan melalui

Direktur Perdata.26

Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang

tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta

Peninggalan adalah unit pelaksana teknis dalam

lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia selanjutnya membidangi perwalian,

pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan

tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat

keterangan waris, dan kepailitan.27

Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini secara

struktural Balai Harta Peninggalan merupakan

unit organisasi sekaligus unit kerja yang berada

dibawah dan oleh karenanya bertanggung

jawab langsung kepada Direktur Jenderal

Administrasi Hukum Umum Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia melalui Direktorat Perdata. Tugas-

tugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia

diatur secara terpisah di berbagai peraturan

perundangan yang ada, yang pada pokoknya

antara lain sebagai berikut:

a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan

anak-anak yang belum dewasa selama

belum ditunjuk seorang wali atas mereka

(Pasal 359 KUHPerdata atau disebut juga

Wali Sementara).

b. Sebagai wali pengawas (Pasal 356

KUHPerdata)

c. Mewakili kepentingan anak-anak belum

dewasa dalam hal ada pertentangan

dengan kepentingan wali (Pasal 370

KUHPerdata)

d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak

belum dewasa dalam hal pengurusan itu

dicabut dari wali mereka (Pasal 338

KUHPerdata)

e. Pengampuan atas anak yang masih dalam

kandungan (Pasal 348 KUHPerdata)

f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat

wasiat (Pasal 41 dan 42 OV dan Pasal 937

dan Pasal 942 KUHPerdata).

g. Pengurusan harta peninggalan yang tidak

ada kuasanya (onbeheerde

nalatenschappen; Pasal 1126, Pasal 1127

dan 1128 KUHPerdata), demikian pula

pengurusan barang-barang peninggalan

dari penumpang-penumpang dan awak

kapal yang meninggal dunia, hilang atau

tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stb.

1886/131).

h. Pengurusan boedel-boedel dari orang-

orang yang tidak hadir (boedel van

afwezigen), (Pasal 463 KUHPerdata).

Tugas Balai Harta Peninggalan mewakili dan

mengurus kepentingan orang-orang (badan

hukum) yang karena hukum atau putusan

hakim tidak dapat menjalankan sendiri

kepentingannya berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sehingga

dapat terpenuhi perlindungan atau terayominya

hak asasi manusia, khususnya yang karena

hukum dan penetapan pengadilan dianggap

tidak cakap bertindak di bidang hak milik

(personal right) berdasarkan peraturan

56

26 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan

27 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

Page 64: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

perundang-undangan yang berlaku.28 Secara

lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu

melakukan pengawasan dalam hal Perwalian,

Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang

tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan

orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak

hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat

terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan

Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan

tugas baru yang merupakan amanah dari Bank

Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil

transfer dana secara tunai yang tidak diklaim

oleh pihak yang mentransfer maupun pihak

yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang perbankan29, sehingga

secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan

merupakan lembaga yang diharapkan dapat

memberikan pelayanan hukum di bidang harta

peninggalan bagi yang membutuhkan.30

Dalam Rancangan Undang-Undang Balai Harta

Peninggalan, tugas Balai Harta Peninggalan

adalah:31

Melaksanakan penyelesaian masalah perwalian,

pengampuan, ketidakhadiran, dan harta

peninggalan tidak terurus.

a. Melaksanakan penyelesaian pembukaan

dan pendaftaran surat wasiat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

b. Membuat surat keterangan waris.

c. Melaksanakan penyelesaian masalah

kepailitan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Dengan memperhatikan tugas-tugas dari Balai

Harta Peninggalan, baik yang berlaku sekarang

maupun yang tercantum dalam Rancangan

Undang-Undang. Terdapat beberapa tugas

dari Balai Harta Peninggalan yang bisa

dikaitkan dengan pengurusan sisa aset Bank

Dalam Likuidasi, yaitu mengurus harta

peninggalan yang tidak terurus, dan mengurus

harta kekayaan orang (subyek hukum) yang

dinyatakan tidak hadir.

b. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan

untuk mengurus harta kekayaan orang

(subyek hukum) yang dinyatakan tidak

hadir

Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid)

diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463 - 465.

Abdul Kadir Muhammad mengemukakan

unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai

berikut:32

1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu

anggota keluarga mungkin suami, mungkin

istri, mungkin anak.

2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya

tidak ada di lingkungan keluarga dimana

mereka berdiam serta mempunyai hak dan

kewajiban hukum.

3. Bepergian atau meninggalkan tempat

kediaman, artinya menuju dan berada di

tempat lain karena suatu keperluan atau

tanpa keperluan.

4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan

persetujuan dan sepengetahuan anggota

keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa

diketahui oleh anggota keluarga.

5. Tak diketahui dimana tempat ia berada,

artinya tempat lain yang dituju dan dimana

ia berada tidak diketahui sama sekali,29 Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

30 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

31 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

57

32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).

Page 65: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

karena yang bersangkutan tidak memberi

kabar atau karena sulit berkomunikasi.

Tidak memberi kabar mungkin karena ada

halangan, misalnya terjadi perang,

pemberontakan, kecelakaan, bencana

alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang

dengan sengaja supaya tidak berurusan

lagi dengan keluarganya (putus asa).

Ketidakhadiran tidak hanya berlaku untuk

orang perseorangan namun dalam prakteknya

berlaku juga untuk subjek hukum (badan

hukum). Unsur-unsur suatu obyek tertentu

untuk dapat dinyatakan ketidakhadiran

seseorang sehubungan dengan pengurusan

hartanya yaitu:33

1. Adanya orang yang telah meninggalkan

tempat tinggalnya;

2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak

hadir untuk memenuhi kepentingannya

atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah

berakhir;

3. Adanya harta kekayaan dari orang yang

dinyatakan tak hadir;

4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna

mengurus seluruh atau sebagian harta

kekayaan itu;

5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri

setempat tentang ketidakhadiran

(afweizigheid) seseorang;

6. Adanya permintaan dari yang

berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan.

Setelah menerima salinan Penetapan dari

Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan

sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus

harta orang yang dinyatakan tidak hadir

diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal

456, 463, 464, KUHPerdata.

Dalam penetapan ketidakhadiran dapat

sekaligus ditunjuk Balai Harta Peninggalan

setempat yang akan bertugas mengurus dan

yang mewakili serta membela segala

kepentingan si tak hadir itu selama

ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak

mengurangi kewenangan hakim untuk

menunjuk seorang atau lebih dari keluarga

sedarah atau semenda dari si yang tak hadir

atau kepada isteri atau suaminya untuk

keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata).

Selanjutnya setelah penetapan tentang

ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap, maka pengurus atau

wakilnya akan melaksanakan segala tindakan

pengurusan maupun tindakan pemilikan bila

perlu sesuai dengan kepentingan atau

kekayaan tak hadir dimaksud.

Permohonan itu bisa karena permohonan yang

diajukan oleh pihak yang berkepentingan

dengan harta kekayaan tak hadir itu sesuai

dengan prosedur dan syarat-syarat yang

diperlukan, yang tentu saja sebelum keputusan

dikeluarkan sangat diperlukan adanya tahapan-

tahapan yang harus dilalui oleh baik organ

negara di satu pihak maupun warga

masyarakat di pihak lain. Dalam praktek

tahapan itu didahului dengan meletakkan atau

menempelkan pengumuman selama 3 x 2

minggu berturut-turut di papan pengumuman

yang terdapat di Pengadilan Negeri setempat

dan sesudah lampau waktu tersebut maka

Pengadilan Negeri akan memutuskan untuk

menerbitkan penetapan (beschikking)

ketidakhadiran dimaksud. Penetapan Hakim

yang dimaksudkan menjadi dasar bagi Balai

Harta Peninggalan setempat dalam

melaksanakan tugasnya sebagai pengurus

harta kekayaan serta yang mewakili dan yang

membela segala kepentingan dari si tak hadir

tadi, akan tetapi penetapan hakim dimaksud

baru dapat dilaksanakan oleh Balai Harta

Peninggalan setempat sesudah penetapan itu

58

33 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

Page 66: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

mempunyai kekuatan hukum (in kracht van

gewijsde).34

Apabila dikaitkan dengan penyelesaian likuidasi

sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu apakah

yang dimaksud dengan subjek hukum ini

termasuk Pemerintah yang dalam hal ini

merupakan kreditur Bank Dalam Likuidasi.

Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum

dalam tindakan perdata, maka Pemerintah

merupakan badan hukum, karena menurut

Apeldoorn, negara, propinsi, kotapraja dan

lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya

saja pendiriannya tidak dilakukan secara

khusus, melainkan tumbuh secara historis.35

Pemerintah dianggap sebagai badan hukum,

karena Pemerintah menjalankan kegiatan

komersial (acts jure gesionis).

Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat

di temukan dalam pasal 1653 BW, yang

menyebutkan:

“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan

orang-orang sebagai badan hukum juga di

akui undang-undang, entah badan hukum itu

diadakan oleh kekuasaan umum atau di akui

sebagai demikian, entah pula badan hukum

itu di terima sebagai yang di perkenankan

atau telah didirikan untuk suatu maksud

tertentu yang tidak bertentangan dengan

undang-undang atau kesusilaan”.

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa

hal yang dapat dijadikan dasar untuk

mendukung penyelesaian likudasi dengan

penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi

kepada Balai Harta Peninggalan, yaitu:

1. Adanya subjek hukum yang tidak hadir,

dalam hal ini kreditur Bank Dalam Likuidasi.

Untuk menentukan ketidak hadiran ini

harus dilakukan pengumuman bagi para

kreditur atau apabila krediturnya

Pemerintah, Pemerintah dapat menyatakan

tidak hadir dan pernyataan tersebut yang

dijadikan sebagai dasar penetapan hakim

mengenai ketidakhadiran tersebut.

2. Adanya harta kekayaan dari orang yang

dinyatakan tak hadir, dalam hal ini sisa

aset Bank Dalam Likuidasi.

3. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna

mengurus seluruh atau sebagian harta

kekayaan itu, alasan yang mendesak dalam

hal ini adalah penyelesaian likuidasi bank

yang berlarut-larut, ketentuan yang ada

tidak mengaturnya dan terdapat potensi

pengembalian keuangan negara.

4. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri

setempat tentang ketidakhadiran

(afweizigheid) seseorang;

5. Adanya permintaan dari yang

berkepentingan dalam hal ini bisa

dilakukan oleh Tim Likuidasi ataupun oleh

Bank Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka

pemikiran penyelesaian likuidasi bank dengan

cara menyerahkan pengurusan kepada Balai

Harta Peninggalan patut dipertimbangkan

diatur dalam Undang-undang tentang Balai

Harta Peninggalan yang saat ini sedang

dilakukan pembahasan oleh Pemerintah.

c. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan

dalam mengurus harta peninggalan yang

tidak terurus

Pengertian peninggalan yang tidak terurus

(Onbeheerde) adalah tidak ada yang

menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126

59

34 Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009).

35 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 67: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak

terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128

KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan

yaitu ”Jika suatu warisan terbuka, tidak

seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli

waris yang dikenal menolaknya, maka

dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”.

Berdasarkan ketentuan di atas, Unsur-unsur

harta tak terurus antara lain:36

1. Adanya orang yang meninggal dunia;

2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh

almarhum/almarhumah;

3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli

waris menolak adanya warisan tersebut;

4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan

pengurusan harta peninggalan itu;

Dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan,

definisi Harta Peninggalan tidak terurus adalah

suatu warisan yang tidak seorangpun

menggugat atau semua ahli waris yang dikenal

menolaknya.37

Proses pengurusan harta peninggalan diawali

dengan adanya Penetapan dari Pengadilan

Negeri Setempat akan adanya ketidakhadiran

maupun harta tak terurus. Pengurusan harta

tak terurus dilakukan dengan adanya proses

pemeriksaan harta peninggalan seseorang

yang telah meninggalan dunia yang akta

kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan

Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta

Peninggalan. Setelah menerima laporan

kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan

wajib mengurus harta tersebut dengan

melakukan langkah-langkah antara lain:38

1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu;

2. Melakukan penyegelan terhadap budel

tersebut;

3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri

setempat;

4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa

Keuangan;

5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan

sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar

pengumuman mengenai pemanggilan para

ahli waris atau pihak yang berkepentingan;

Terkait dengan langkah-langkah yang harus

dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam

RUU tentang Balai Harta Peninggalan diatur

bahwa:

1. Apabila suatu warisan terbuka, tidak ada

seorangpun yang menggugat atau semua

ahli waris yang dikenal menolaknya maka

warisan tersebut merupakan harta

peninggalan tak terurus.

2. Balai Harta Peninggalan demi hukum

ditugaskan menjalankan pengurusan atas

setiap harta peninggalan tidak terurus

dan wajib memberitahukannya kepada

kejaksaan.

3. Dalam hal ada perbedaan pendapat

mengenai harta peninggalan terurus atau

tidak terurus maka atas permintaan yang

berkepentingan atau atas usul jaksa demi

kepentingan umum, pengadilan

mengeluarkan penetapan.

4. Dalam jangka waktu paling lambat 14

(empat belas) hari setelah adanya penetapan,

pengadilan wajib menyampaikan salinan

penetapan tersebut kepada Balai Harta

Peninggalan.

60

36 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

37 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

38 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 68: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

5. Balai Harta Peninggalan wajib

mengumumkan adanya harta tidak terurus

sebagaimana dalam surat kabar dan Berita

Negara.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan

penyelesaian likuidasi bank, setelah Tim

Likuidasi diberikan perpanjangan waktu untuk

menyelesaikan likuidasi namun masih terdapat

aset yang tidak dapat dicairkan dan Bank

Indonesia sebagai pengawas bank dalam

likuidasi sudah memandang likuidasi harus

segera diakhiri. Aset tersebut ditawarkan

kepada kreditur, dalam hal kreditur melakukan

penolakan atau menolak untuk menerima

aset bank dalam likuidasi tersebut. Tim

Likuidasi dapat meminta pengadilan untuk

mengeluarkan penetapan bahwa aset tersebut

merupakan harta yang tidak terurus. Atas

dasar penetapan pengadilan tersebut maka

pengurusan aset tersebut diserahkan kepada

Balai Harta Peninggalan.

Atas dasar pemikiran tersebut maka pengaturan

penyelesaian likuidasi bank dalam likuidasi

dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan

merupakan salah satu solusi penyelesaian

permasalahan likuidasi bank.

d. Memberikan tugas penyelesaian likuidasi

bagi Balai Harta Peninggalan

Selain pemikiran yang telah diuraikan di atas,

terdapat alasan lain yang dapat digunakan

sebagai landasan usulan penyelesaian

permasalahan likuidasi melalui Balai Harta

Peninggalan, yaitu dalam RUU tentang Balai

Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan

diberikan tugas tambahan yaitu melaksanakan

penyelesaian asset eks bank dalam likuidasi.

Dasar pemikiran tersebut adalah dengan

melihat bahwa salah satu tugas dari Balai Harta

Peninggalan dapat bertindak selaku kurator

dalam kepailitan.

Tugas Balai Harta Peninggalan untuk

menyelesaikan kepailitan telah diatur dalam

Pasal 13 Peraturan Kepailitan Stb. 1905 No.

217. Kemudian sekarang diatur dalam Pasal

1 angka 5 jo. Pasal 70 ayat (1) huruf a UU

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU). Dalam undang-undang tersebut

disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta

Peninggalan atau orang perseorangan yang

diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus

dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan

Undang-Undang ini.

Secara esensial terdapat persamaan karakter

antara kepailitan dan likuidasi bank. Keduanya

merupakan lembaga exit policy dengan fokus

menyelesaikan hak dan kewajiban atas suatu

badan hukum yang tidak dapat lagi menjalankan

usahanya.39

Terkait dengan permasalahan ini Zulkarnain

Sitompul40 berpendapat bahwa secara teoritis,

terdapat dua mekanisme penyelesaian bank

bermasalah yaitu melalui proses kepailitan dan

melalui proses likuidasi. Pada awalnya di banyak

negara, hukum perbankan tidak mengatur

kepailitan bank. Bank bermasalah diselesaikan

dengan hukum kepailitan umum. Bank yang

ijin usahanya dicabut dilikuidasi berdasarkan

ketentuan hukum perusahaan. Kemudian,

di negara-negara yang hukum kepailitannya

tidak memberikan perlindungan yang cukup

bagi nasabah dan kreditur lainnya atau tidak

memberikan perlindungan bagi sistem

perbankan, prosedur likuidasi khusus

61

39 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)

40 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 69: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

diberlakukan bagi bank dan diatur dalam

hukum perbankan. Alasannya adalah

penerapan hukum kepailitan umum kepada

bank bermasalah menimbulkan kesulitan. Pada

saat krisis perbankan misalnya, pengadilan

akan kewalahan menyelesaikan banyaknya

bank bermasalah. Kondisi ini menjadi

pembenaran terhadap pengecualian bank dari

prosedur kepailitan melalui pengadilan. Oleh

karena itu bank-bank bermasalah diselesaikan

melalui mekanisme extra judicial.

Berdasarkan pendapat di atas ditinjau dari sisi

lembaganya likuidasi dan kepailitan mempunyai

beberapa kesamaan. Selanjutnya dari sisi

pelaksanaanya dapat kita perbandingkan antara

tugas kurator dengan tugas Tim Likuidasi.

Berdasarkan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU), Kurator berwenang

melaksanakan tugas pengurusan dan/atau

pemberesan atas harta pailit sejak tanggal

putusan pailit diucapkan meskipun terhadap

putusan tersebut diajukan kasasi atau

peninjauan kembali.

Begitupun dengan Tim Likuidasi dalam

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran

dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Tugas

Tim Likuidasi adalah melakukan tindakan

penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank

sebagai akibat pencabutan izin usaha dan

pembubaran badan hukum bank.

Terdapat beberapa kesamaan antara tugas

dan wewenang kurator dengan tugas dan

wewenang Tim Likuidasi yaitu:41

a. Pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Dalam ketentuan likuidasi diatur juga

bahwa Tim Likuidasi bertugas untuk

pemberesan aset Bank Dalam Likuidasi.

b. Mengumumkan putusan hakim tentang

pernyataan pailit dalam berita negara dan

surat kabar yang ditetapkan hakim

pengawas. Begitupun dalam ketentuan

likuidasi diatur mengenai kewajiban

mengumumkan.

c. Menyelamatkan harta pailit. Dalam

ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang

untuk melakukan penyelamatan aset Bank

Dalam Likuidasi termasuk melakukan

gugatan.

d. Menyusun inventaris harta pailit. Tim

Likuidasi juga diwajibkan untuk menyusun

neraca berupa neraca verifikasi dan neraca

akhir likuidasi.

e. Menyusun daftar hutang dan piutang harta

pailit. Dalam likuidasi hal ini tercantum

dalam neraca verifikasi.

f. Berwenang membuka surat yang ditujukan

pada si pailit (yang berkaitan dengan harta

pailit). Kedudukan Tim Likuidasi adalah

bertindak untuk dan atas nama Bank Dalam

Likuidasi oleh karena itu Tim Likuidasi

berwenang untuk melalukan segala

tindakan yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban Bank Dalam Likuidasi.

g. Memindahtangankan harta pailit,

menyimpan harta pailit dan membungakan

uang tunai. Dalam ketentuan likuidasi hal

ini termasuk dalam wewenang Tim

Likuidasi dalam menyelesaian pencairan

aset dan pembayaran kewajiban Bank

Dalam Likuidasi.

h. Berwenang untuk membuat perdamaian.

Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi

berwenang untuk melakukan perundingan

dan tindakan lainnya dalam rangka

penjualan harta kekayaan dan penagihan

terhadap para debitur.

62

41 Perbandingan antara tugas dan kewenagan kurator sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR.

Page 70: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Kurator harus menyampaikan laporan

kepada hakim pengawas mengenai keadaan

harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap

3 bulan. Untuk Tim Likuidasi penyampaian

pelaporan kepada Bank Indonesia.

j. Selama menjalankan tugasnya dapat diganti

dengan kurator oleh pengadilan setiap

waktu setelah memanggil dan mendengar

Kurator, dan mengangkat kurator lain dan

atau mengangkat kurator tambahan.

Dalam ketentuan likudasi kewenangan

untuk mengganti Tim Likuidasi merupakan

kewenangan Bank Indonesia.

k. Sebagai pengemban tugas pengurusan

terhadap harta pailit, kurator mempunyai

hak untuk mendapatkan imbalan sebagai-

mana ketentuan Pasal 76 UU No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),

bahwa imbalan jasa yang dibayarkan kepada

kurator ditetapkan berdasarkan pedoman

yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya

dibidang hukum dan perundang-undangan.

Pedoman imbalan jasa kurator berpedoman

pada Keputusan Menteri Kehakiman RI

No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang

Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator

dan Pengurus. Ketentuan mengenai

pemberian honor dan fee kepada Tim

Likuidasi juga diatur dalam ketentuan

likuidasi.

Dengan memperhatikan uraian di atas, terdapat

beberapa kesamaan antara likuidasi dengan

kepailitan juga antara tugas kurator dan tugas

Tim Likuidasi. Sehubungan dengan itu apabila

Balai Harta Peninggalan yang selama ini telah

melakukan tugas sebagai korator, dan

mengingat karakteristik yang sama antara

tugas kurator dengan Tim Likuidasi, maka

secara praktek Balai Harta Peninggalan juga

dalam melakukan tugas Tim Likuidasi dalam

menyelesaikan proses likuidasi. Oleh karena

itu cukup berdasar apabila dalam undang-

undang tentang Balai Harta Peninggalan yang

sedang disusun diatur juga mengenai tugas

Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan

likuidasi dan dapat bertindak sebagai Tim

Likuidasi.

e. Penyelesaian likudasi melalui penyerahan

sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada

Pemegang Saham.

Alternatif penyelesaian ini merupakan salah

satu alternatif yang pernah ditawarkan oleh

Bank Indonesia kepada Kementerian Keuangan

dalam rangka penyelesaian likuidasi bank yang

disampaikan melalui surat Bank Indonesia

Nomor 6/4/GBI/DPIP Tanggal 9 Juni 2004

Tentang Penyelesaian Akhir Likuidasi 16 Bank

Dalam Likuidasi. Yaitu alternatif penyelesaian

dengan cara Tim Likuidasi mengagendakan

penyelesaian sisa aset yang merupakan hak

Pemerintah dalam pelaksanaan RUPS dan

meminta RUPS menetapkan sisa aset diserahkan

kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

1999 mengatur bahwa setelah pelaksanaan

tahap pembayaran yang terakhir, masih

terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi

membagikan sisa dimaksud kepada para

pemegang saham secara pro rata. Selanjutnya

tagihan yang timbul setelah proses likuidasi

dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi

yang menjadi hak pemegang saham.

Kemudian Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.

25 Tahun 1999 mengatur dalam hal harta

kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup

untuk memenuhi seluruh kewajiban bank

dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya

wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan

anggota dewan komisaris serta pemegang

saham yang turut serta menjadi penyebab

kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank

atau menjadi penyebab kegagalan bank.

63

Page 71: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Selanjutnya dalam Pasal 32 SK Dir BI No.

32/53/KEP/DIR sebagai ketentuan pelaksanaan

dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999

diatur Dalam rangka melakukan tugas untuk

membagikan sisa harta kepada pemegang

saham berlaku ketentuan:

a. Apabila setelah pelaksanaan tahap

pembayaran terakhir masih terdapat

kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan

sisa harta dimaksud kepada para pemegang

saham secara pro rata sesuai dengan

kepemilikan jumlah saham.

b. Tagihan yang timbul setelah proses likuidasi

dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi

yang menjadi hak pemegang saham.

Ketentuan likuidasi mengatur penyerahan aset

bank dalam likuidasi kepada pemegang saham

dilakukan dalam hal seluruh kewajiban bank

dalam likuidasi telah diselesaikan dan masih

terdapat sisa aset. Tentunya kondisi tersebut

akan jarang ditemui dalam kasus bank dalam

likuidasi. Karena kondisi bank dalam likuidasi

secara umum masih punya banyak kewajiban

kepada kreditur dalam hal ini yang paling

banyak kepada Pemerintah, dan masih terdapat

aset yang tidak dapat dicairkan karena aset

bank dalam likuidasi banyak aset yang

bermasalah.

Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI

No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi Rapat

Umum Pemegang Saham sebagai lembaga

yang cukup sentral dimana bank setelah izin

usahanya dicabut oleh Bank Indonesia,

kemudian diperintahkan untuk mengadakan

RUPS guna membubarkan badan hukum bank

dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian

melalui dilakukan proses likuidasi. Selain itu

pada akhir likuidasi Tim Likuidasi diwajibkan

untuk mempertanggungjawabkan hasil

kerjanya kepada pemegang saham sebelum

Tim Likuidasi tersebut dibubarkan oleh

pemegang saham melalui Rapat Umum

Pemegang Saham.

Sehubungan dengan posisi pemegang saham

seperti itu maka terdapat kemungkinan apabila

proses likuidasi sudah tidak dapat dilanjutkan

oleh Tim Likuidasi karena kewajiban Bank

Dalam Likuidasi masih ada dan masih terdapat

aset yang tidak dapat dicairkan, maka pada

akhir likuidasi yaitu pada saat Tim Likuidasi

mempertanggungjawabkan hasil kerjanya

kepada Rapat Umum Pemegang Saham,

sekaligus dalam Rapat Umum Pemegang

Saham tersebut, Tim Likuidasi menyerahkan

seluruh aset dan kewajiban kepada Pemegang

Saham.

Namun demikian dalam Rapat Umum

Pemegang Saham harus diputuskan bahwa

setiap pencairan aset bank dalam likuidasi

oleh pemegang saham harus digunakan untuk

membayar kewajiban kepada kreditur dalam

hal ini Pemerintah. Untuk memperkuat hasil

keputusan Rapat Umum Pemegang Saham

tersebut masing-masing pemegang saham

perlu diikat secara hukum yaitu dengan

membuat pernyataan bahwa setiap pencairan

aset akan digunakan untuk membayar

kewajiban kepada kreditur dalam hal ini

Pemerintah.

Tentunya pemilihan alternatif penyelesaian

seperti ini diperlukan itikad baik dari para

pemegang saham untuk menyelesaikan

likuidasi dan menyelesaikan kewajiban kepada

Pemerintah. Karena apabila pemegang saham

tidak beritikad baik dan malah sebaliknya

mereka membuat keputusan yang

menguntungkan para pemegang saham, maka

tindakan tersebut akan menimbulkan potensi

hilangnya pengembalian uang Pemerintah.

64

Page 72: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

4. Pengaturan Pengakhiran Likuidasi Bank

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin

Simpanan

Tidak seperti halnya ketentuan likuidasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang

masih mendudukan posisi pemegang saham dalam

posisi yang cukup sentral yaitu berperan dalam

pembentukan dan pembubaran Tim Likuidasi dan

juga berpengaruh dalam menerima pertanggung-

jawaban hasil kerja Tim Likuidasi, dalam UU LPS

diatur bahwa segala hak dan wewenang

pemegang saham, termasuk hak dan wewenang

RUPS diambil alih oleh LPS. Dengan dilakukannya

pengambilalihan segala hak dan wewenang

pemegang saham, termasuk hak dan wewenang

RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan

kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh LPP.

Kewenangan melakukan pemberesan aset dan

kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan

pengembalian (recovery) dana penjaminan.42

Dengan pengambilalihan segala hak dan

wewenang pemegang saham, termasuk hak dan

wewenang RUPS oleh LPS mengakibatkan

pelaksanaan likuidasi oleh Tim Likuidasi menjadi

terbebas dari pengaruh para pemegang saham

sehingga Tim Likuidasi dapat menjalankan tugasnya

lebih profesional tanpa adanya campur tangan

dari pemegang saham.

Begitupun juga halnya terkait dengan pengakhiran

likuidasi, Peraturan LPS (PLPS) rupanya telah

meminimalkan segala kemungkinan terjadinya

kebuntuan dalam proses pengakhiran likuidasi

seperti yang selama ini terjadi. Dalam PLPS Nomor

1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank, diatur bahwa

dalam hal masih terdapat aset yang belum bisa

dicairkan dalam waktu 3 bulan sebelum berakhirnya

jangka waktu pelaksanaan likuidasi (maksimal 4

tahun), Tim Likuidasi melakukan evaluasi mengenai

potensi sisa aset. Dalam hal masih terdapat potensi

pencairan aset maka Tim Likuidasi mengajukan

perpanjangan jangka waktu likuidasi untuk

menyelesaikan pencairan sisa aset tersebut.

Adapun syarat perpanjangan tersebut yaitu: a.

Perkiraan nilai pencairan aset melebihi biaya yang

dibutuhkan untuk pencairan aset tersebut termasuk

biaya operasional likuidasi akibat dari perpanjangan

tersebut, dan b. jangka waktu pelaksanaan

likuidasi bank masih dapat diperpanjang.

Dalam hal tidak terdapat potensi pencairan aset,

maka Tim Likuidasi dapat melakukan:

a. penghapusan aset yang sebelumnya dinilai nihil

dalam Neraca Sementara Likuidasi43 (sebelum

melakukan penghapusan aset tersebut Tim Likuidasi

wajib memberitahukan rencana penghapusan

aset tersebut kepada LPS paling lambat 7 hari

sebelum tanggal penghapusan aset tersebut dan

wajib melaporkan hasilnya kepada LPS); dan b.

menawarkan sisa aset selain aset sebagaimana

huruf a sebagai pembayaran non tunai kepada

LPS selaku kreditur prioritas.

Dalam hal LPS menolak penawaran sisa aset

tersebut atau masih terdapat sisa aset setelah

dilaksanakan pembayaran dalam bentuk non tunai

kepada LPS maka Tim Likuidasi menawarkan sisa

aset tersebut kepada kreditur selain LPS sesuai

urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat

(1).44

65

42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.

43 Neraca sementara likuidasi adalah neraca pertanggal pencabutan ijin usaha yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan neraca penutupan yangtelah diaudit dengan memperhitungkan aset berdasarkan nilai likuidasi (vide Pasal 1 angka 19 PLPS No. 1/PLPS/2011).

44 Pasal 38 PLPS No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank mengatur bahwa ururan pembayaran adalah: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak terutang; f. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak kreditur lainnya.

Page 73: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Apabila sampai dengan batas waktu yang

ditentukan tidak ada kreditur yang bersedia atau

tidak memberikan tanggapan untuk menerima

sisa aset sebagai pembayaran non tunai maka

kreditur yang bersangkutan dianggap melepaskan

haknya terhadap sisa aset yang ditawarkan

tersebut. Dalam kondisi demikian namun masih

terdapat kewajiban yang belum diselesaikan maka

Tim Likuidasi mengajukan penghapusan sisa aset

kepada LPS sebagai RUPS. Atas sisa aset tersebut

LPS dapat melakukan penagihan/pencairan baik

oleh LPS sendiri maupun menunjuk pihak lain.45

5.1.Simpulan dan Saran

Atas dasar hasil analisa dan dengan mengacu dari

berbagai literatur, berdasarkan sumber data baik

primer maupun sekunder, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan

aset dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah

sebagai kreditur mayoritas dan sebagai pihak

yang menggantikan kedudukan nasabah

penyimpan secara hukum mempunyai dasar

yang kuat. Oleh karena itu penyelesaian

likuidasi bank dengan cara tersebut merupakan

alternatif yang patut dipertimbangkan untuk

penyelesaian likuidasi bank yang dicabut izin

usahanya pada periode 2004/2005.

2. Secara hukum pemberian kewenangan kepada

Tim Likuidasi setelah berakhirnya jangka waktu

likuidasi mutlak diberikan, hal ini diperlukan

untuk memberikan legitimasi kepada Tim

Likuidasi sehingga menunjang kelancaran Tim

Likuidasi dalam melaksanakan tugasnya untuk

menyelesaikan likuidasi.

3. Terdapat beberapa alternatif yang dapat

ditempuh untuk menyelesaikan likuidasi selain

dengan pola penyelesaian melalui penyerahan

sisa aset bank dalam likuidasi kepada

Pemerintah, yaitu dengan cara:

a. Penyerahan pengurusan likuidasi kepada

Balai Harta Peninggalan. Solusi penyelesaian

dengan cara ini secara hukum dimungkinkan,

sehingga dapat menjadi pertimbangan

untuk dijadikan materi undang-undang

tentang Balai Harta Peninggalan yang

sekarang sedang disusun oleh Pemerintah.

b. Melalui penyerahan sisa aset bank dalam

likuidasi kepada pemegang saham, dimana

dalam penyerahan tersebut pemegang

saham harus dimintakan komitmen bahwa

setiap pencairan aset bank dalam likuidasi

tersebuit diprioritaskan untuk membayar

kewajiban bank dalam likuidasi kepada

para krediturnya yang dalam hal ini kreditur

terbesar adalah Pemerintah.

5.2.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai

masukan atas permasalahan tersebut kiranya perlu

dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Bank Indonesia dan Pemerintah agar segera

mengambil sikap dalam menyelesaikan

permasalahan likuidasi bank khususnya

penyelesian likuidasi bank yang dicabut izin

usahanya pada tahun 2004/2005.

2. Proses likuidasi harus segera diselesaikan karena

akan menimbulkan berbagai dampak hukum,

yaitu:

a. Tidak adanya kepastian hukum dalam

penyelesaian likuidasi bank.

b. Penurunan nilai aset BDL yang berpotensi

mengurangi pengembalian uang Pemerintah.

c. Biaya Operasional yang tetap harus dibayar

oleh BDL termasuk honor TL dan Staf

Pendukung sehingga akan mengurangi

pengembalian uang Pemerintah.

d. Kemungkinan adanya tuntutan dari

kreditur dan pemegang saham atas aset

yang masih dikelola oleh Tim Likuidasi,

sehingga akan berpotensi mengurangi

jumlah aset yang dapat dikuasai oleh

Pemerintah sebagai pembayaran kewajiban

BDL kepada Pemerintah.

66

45 Pasal 45 PLPS No. 1/PLPS/20011.

Page 74: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan

pengurusan likuidasi kepada Balai Harta

Peninggalan kiranya perlu dilakukan kajian

oleh Pemerintah sehingga dapat dijadikan

materi dalam undang-undang tentang Balai

Harta Peninggalan yang saat ini tengah disusun

oleh Pemerintah.

67

Page 75: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).

J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).

M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia

2010).

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.

Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak

Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

Siti Ismijati, Prof. Dr., Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu

Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen

Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011.

Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak

diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, Medan 2009).

Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2006)

Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).

Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari

http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

DAFTAR PUSTAKA

68

Page 76: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.

Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank

Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI,

1994).

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Balai Harta Peninggalan

Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

69

Page 77: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 78: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

A. Latar Belakang

Keterhubungan manusia di seluruh dunia dan

keteraksesan terhadap informasi secara global adalah

dua manfaat perkembangan teknologi informasi yang

fundamental. Dengan Internet, informasi dapat diakses

dan tersebar secara cepat dan luas. Berbagai informasi

yang dahulu sangat sulit diperoleh karena terbentur

waktu dan tempat kini dapat diakses dengan mudah

di Internet. Lagu-lagu luar negeri era 50-an, 60-an,

atau 70-an yang pada zamannya hanya dapat dimiliki

oleh segelintir orang dalam piringan hitam besar kini

dapat diakses oleh anak berumur 10 tahun. Video

klip serta film-film terbaru sudah dapat dinikmati

bahkan diunduh dari berbagai website, seperti

4shared.com, youtube.com, dan onlinewatchmovie.net.

Skandal-skandal besar yang dilakukan oleh para

birokrat2 dan selebritis maupun peristiwa baik yang

penting maupun yang dianggap remeh3 yang terjadi

di ujung belahan dunia kini tersedia di cyberspace.

Informasi-informasi ini dapat diakses secara bebas

71

PERLINDUNGAN PRIVASI DAN DATA PRIBADI:SUATU TELAAHAN AWAL

Oleh :

Josua Sitompul, S.H., IMM.1

Abstrak

Dalam era digital, semakin banyak produk yang diubah dalam bentuk digital dan diperdagangkan melalui berbagai

mekanisme transaksi elektronik. Data pribadi telah menjadi komoditas yang harus diserahkan sebelum pengguna atau

pelanggan menikmati produk yang ia pilih. Hal ini dapat mengancam privasi seseorang. Sebagai salah satu negara yang

sedang berkembang, Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan, salah satunya, membangun regulasi yang kuat untuk

melindungi privasi dan data pribadi. Artikel ini mendiskusikan konsep perlindungan privasi dalam Konstitusi Indonesia

dan penerapannya dalam beberapa undang-undang. Kesimpulannya, perlindungan terhadap privasi bukan suatu perhatian

utama para pendiri Republik dalam penyusunan UUD 1945. Akan tetapi, perubahan signifikan terjadi sejak reformasi.

Berdasarkan pembahasan perubahan konstitusi Indonesia dan beberapa undang-undang dalam artikel ini, kesimpulan

lain yang dapat diangkat untuk dikembangkan ialah bahwa Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan

dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi, termasuk privasi, sepanjang sesuai dengan Pancasila. Perlindungan

terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi, dan perlindungan

terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi. Pengembangan regulasi untuk melindungi

data pribadi perlu dititikberatkan pada perlindungan terhadap diri pibadi.

Kata Kunci : privasi, data pribadi; perlindungan

1 Kasie Penindakan, Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

2 Skandal Silvio Berlusconi misalnya dari http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-14960214, diakses tanggal 29 Desember 2011.

3 Foto bayi pasangan selebritis Bollywood, Aishwarya Raid an Abhishek Bachchan, dihargai Rp2.6 milar, diakses 29 Desember 2011 dari http://www.lintas.me/article/4ecdd3c760e53726a6000899.

Page 79: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan gratis; yang dibutuhkan hanya Internet serta

komputer, laptop, atau smartphone. Di sisi lain, dengan

bantuan Internet, transaksi berbagai produk dapat

dilakukan dengan cepat dan mudah. Kita hanya perlu

memilih4 barang atau jasa yang dibutuhkan dari

berbagai penyedia, mengisi data yang diperlukan

pada format yang tersedia, membayarnya dengan

menggunakan kartu kredit ataupun uang elektronik

seperti paypal, dan menunggu produk. Demikian pula

dengan aplikasi-aplikasi menarik dalam smartphone

seperti whatsApp, ChatOn, dan Email yang dapat

mengintegrasikan semua kontak yang pengguna

miliki sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi.

Akan tetapi, dalam melakukan transaksi elektronik

seperti ini, seseorang memberikan data kepada pihak

yang kemungkinan besar ia tidak kenal. Informasi

mengenai nama, alamat, email, dan nomor yang

dapat dihubungi serta nomor kartu kredit adalah data

yang lazim dipersyaratkan dalam suatu transaksi

secara elektronik. Begitu juga dengan penggunaan

aplikasi atau layanan dalam smartphone. Penyedia

layanan aplikasi kerap meminta akses terhadap kontak,

SMS, MMS, bahkan gambar atau video yang ada

dalam gadget pengguna.

Setelah transaksi dilakukan, setelah produk telah

diterima oleh pembeli, selama pengguna masih

menggunakan layanan aplikasi, apa yang dilakukan

oleh penyedia terhadap data yang telah diberikan?

As, Neft (2003) mengingatkan “[t]here is an enormous

amount of information about is in other people’s

hands, and one thing is certain – some of us will be

harmed by it. We just don’t know who, when, or

how badly.5 Apakah akan segera dihapus, tetap

disimpan, atau ditransaksikan dengan pihak lain?

Bagaimana pengguna dapat mendapatkan kepastian

bahwa data yang ia berikan tidak disalahgunakan?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi isu penting

dalam wacana perlindungan terhadap privasi,

sebagaimana telah diangkat dalam berbagai media

belakangan ini.6 Kondisi ini membawa pada satu

pertanyaan penting, yaitu bagaimana sistem hukum

di Indonesia perlu dikembangkan untuk melindungi

privasi – secara khusus data pribadi – warga negara

dalam dunia siber?

Sebagai negara yang memiliki pengguna Internet

sebanyak 30 juta dalam regional Asia dan tingkat

pertumbuhan internet yang meningkat sebesar

1,400% dalam kurun waktu 2000-20107, privasi dalam

cyberspace tentunya harus menjadi concern utama

berbagai pihak. Pertumbuhan pengguna facebook8

di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2009 dengan

jumlah 2.3 juta meningkat menjadi 20.7 juta pengguna

di tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah pengguna

menjadi 35.1 juta; dengan kata lain pertumbuhan

pengguna facebook di Indonesia dalam kurun waktu

2009-2011 adalah 1,412%. Statistik ini menjadikan

Indonesia menjadi negara kedua pengguna facebook

terbesar setelah Amerika Serikat.9 Internet juga

72

4 Dalam hasil pencarian buku di amazon.com, ada 4.384 textbooks yang memuat kata privacy sebagai judul, sedangkan dalam hasil pencarian aksesoris komputer di ebay.com, ada 30.325 halaman yang masing-masing halaman memuat 50 produk. diakses 29 December 2011.

5 Nehf, James P., Recognizing the Societal Value in Information Privacy (January 20, 2003). Washington Law Review, Vol. 78, pp. 1-92, 2003. Diakses dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=1989235

6 Kebocoran Data Pribadi Gawat, Senin 18 Februari 2013, 08:16 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/18/08161710/Kebocoran. Data.Pribadi.Gawat, tanggal 14 Maret 2013; UU Cybercrime Sangat Penting bagi Indonesia, Selasa, 12 Maret 2013, 04:47, diakses dari http://www.beritasatu.com/digital-life/101381-uu-cybercrime-sangat-penting-bagi-indonesia.html, tanggal 14 Maret 2013.

7 Suber Internet World Stats, http://www.internetworldstats.com/stats.htm dan http://www.internetworldstats.com/stats3.htm, diakses pada 11 Januari 2011.

8 Facebook merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memberikan berbagai layanan interaktif. Sebelum dapat menggunakan layanan yang diberikan facebook, seseorang harus melakukan registrasi dengan memberikan informasi nama, alamat email, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Setelah melakukan registrasi, pengguna dapat menambahkan berbagai informasi lainnya dalam akun yang diberikan facebook, seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, kegemaran (buku, makanan, musik, film). Pengguna juga dapat memperbarui status mereka, atau menambahkan foto atau video pribadi. Facebook menghubungkan antara pengguna dan teman-temannya serta kelompok yang diminati. Semua informasi yang diberikan pengguna dapat memberi petujuk mengenai siapa, karakter, termasuk status sosial pengguna.

9 http://www.nickburcher.com/2011/04/facebook-usage-statistics-1st-april.html, diakses tanggal 30 Desember 2011.

Page 80: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

memberikan dampak positif pada kegiatan transfer

dana di Indonesia. Penyelesaian akhir transaksi

pembayaran yang dilakukan transaksi dapat dilakukan

secara seketika (real-time). Berdasarkan catatan Bank

Indonesia, pada tahun 2009 rata-rata transaksi kliring

setiap hari di Indonesia tercatat 341 ribu dengan total

nominal mendekati Rp6.5 triliun. Berdasarkan Sistem

Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, untuk

periode yang sama, rata-rata setiap hari mencapai

47 ribu transaksi dengan total nominal hampir Rp178

triliun.

Salah satu konsep pengaturan dalam dunia siber ialah

perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata

diberikan pula dalam dunia siber. Dalam dunia riil

terdapat masyarakat yang terdiri dari kumpulan

manusia yang saling berinteraksi yang membutuhkan

aturan dalam bersikap tindak mulai dari norma sosial

sampai hukum, yaitu norma yang memberikan sanksi

yang memaksa dari negara. Dunia siber terdiri dari

masyarakat yang berasal dari dunia nyata dan akibat

aktivitas dalam dunia siber dapat berdampak nyata

dalam dunia riil. Oleh karena itu, dalam dunia siber

dibutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat yang

ada dan berinteraksi di dalamnya. Mengingat dalam

dunia riil perlindungan terhadap privasi merupakan

isu penting karena privasi merupakan salah satu hak

asasi yang diakui dalam konstitusi di banyak Negara,

maka seharusnya, privasi seseorang dalam dunia siber

juga harus dilindungi sebagai hak asasi. Bagaimana

Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia

membangun konsep perlindungan privasi dan

perlindungan data pribadi? Pemahaman ini akan

memberikan dasar yang kuat untuk menentukan

konsep perlindungan privasi dalam dunia siber, termasuk

pengembangan peraturan perundang-undangan terkait.

Privasi merupakan terminologi yang umum digunakan

masyarakat dan merupakan subjek yang telah dibahas

oleh sarjana dari berbagai sisi.10 Akan tetapi, terlepas

banyaknya tulisan yang telah dihasilkan maupun

pembahasan akademis yang diselenggarakan, usaha

mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup privasi

adalah seperti usaha mendefinisikan dan menentukan

ruang lingkup hukum, yaitu usaha yang perlu

meskipun tidak dapat komprehensif dan konklusif.

Solove (2002) menilai bahwa penentuan konsep

privasi sangat penting dalam pembentukan hukum

dan kebijakan; privasi merupakan bagian penting

dari kemerdekaan seseorang, demokrasi, dan

kesejahteraan sosial.11 Solove mengakui bahwa privasi

masih merupakan konsep yang samar karena masih

terus berkembang seiring perkembangan waktu,

teknologi, dan zaman.

Mengingat privasi bukanlah konsep asali yang diatur

dalam Konstitusi Indonesia pertama, untuk memahami

ruang lingkup dan konsep privasi yang dianut dalam

Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia,

perlu dibahas terlebih dahulu konsep privasi yang

berlaku secara internasional dan mengambil salah

contoh best practices yang berlaku di negara Amerika

Serikat. Negara ini memiliki sejarah perkembangan

privasi dalam sistem hukum common law yang

panjang serta didukung dengan literatur yang

memadai. Konsep-konsep yang dianut oleh negara

tersebut dijadikan pisau analisa dalam memahami

privasi dalam Konstitusi dan perundang-undangan.

Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai

sejarah pengaturan privasi dalam Konstitusi serta

pengaturan privasi dalam beberapa undang-undang,

yaitu UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2008 tentang

ITE, UU Perbankan, serta UU KIP. Dalam tulisan ini

ditegaskan bahwa perlindungan data pribadi

merupakan bagian dari perlindungan privasi

seseorang.

73

10 Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan privasi adalah hak untuk menyendiri (the right to be let alone).

11 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law review, Vol. 90, hal. 1093.

Page 81: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

B. Pengaturan Privasi di Amerika Serikat

1. Sejarah Pengaturan Privasi

Pengaturan privasi di Amerika Serikat memiliki

sejarah yang panjang.12 Pada masa revolusi di

Amerika Serikat, pengaturan privasi ditekankan

kepada kebebasan warga negara dari gangguan

yang dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan

penggeledahan atau penyitaan berdasarkan surat

perintah yang tidak spesifik tanpa ada bukti yang

cukup untuk melakukan tindakan-tindakan

tersebut. Akibatnya, munculah pergolakan untuk

menegakkan hak privasi yang mendorong

diterbitkannya Bill of Rights yang dikukuhkan

dalam Amandemen Konstitusi yang Ketiga13,

Keempat14 dan Kelima.15,16

Selain penggeledahan dan penyitaan, masalah

privasi di Amerika Serikat juga muncul terkait

dengan sensus penduduk, persuratan, dan

telegrafi. Sensus penduduk yang diadakan

pertama kali tahun 1790 hanya meminta warga

untuk menjawab empat pertanyaan. Hasil sensus

dipublikasikan di tempat umum agar warga dapat

memperbaiki informasi jika terjadi kekeliruan.

Akan tetapi, pada tahun 1860, pertanyaan

bertambah menjadi hampir 150 pertanyaan yang

juga meminta informasi pribadi. Kebijakan

publikasi hasil sensus tetap berlangsung hingga

pada tahun 1870. Ketika sensus tahun 1890,

reaksi masyarakat sangat keras karena dalam

sensus tersebut dimintakan informasi pribadi

mengenai riwayat penyakit, ketidakmampuan,

kondisi keuangan seseorang. Menanggapi gejolak

tersebut, Kongres mengeluarkan pengaturan

untuk merahasiakan hasil sensus penduduk.17

Demikian juga dalam penyelenggaraan telegrafi

yang menimbulkan permasalahan privasi. Teknologi

telegrafi yang dipatenkan pada tahun 1837 atas

nama Samule Morse, berkembang pesat sebagai

alternatif media komunikasi. Akan tetapi, seiring

dengan perkembangan teknologi telegrafi,

teknologi penyadapanpun semakin berkembang.

Pada Perang Sipil (Civil War) yang terjadi dalam

kurun waktu 1861 – 1865, penyadapan terhadap

telegraf menjadi salah satu metode penting untuk

mengumpulkan informasi mengenai rencana dan

kekuatan musuh. Meskipun Perang Sipil telah

diselesai, praktik penggunaan penyadapan telegraf

untuk mengumpulkan informasi tetap dilaksanakan.

Hal ini menimbulkan gejolak yang besar di

masyarakat sehingga pada tahun 1880, rancangan

undang-undang untuk melindungi privasi telegraf

dikemukakan di Kongres.18

Dengan semakin berkembangnya teknologi

kamera dan fotografi serta persuratkabaran, usaha

perlindungan terhadap privasi menghadapi

lingkungan yang baru. Distribusi surat kabar

meningkat dengan pesat karena berkembangnya

74

17 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:6.

18 Priscilla Regan dalam Robert Ellis Smith, Ben Franklin’s Web Site: Privacy and Curiosity from Plymouth Rock to the Internet 12 (2000), supra note 18 hal 69, dalam Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1: 7-1:8.

12 Daniel J. Solove, 2006, A Brief History of Information Privacy Law, http://papers.ssrn.com/sol3/papers. cfm?abstract_id=914271 diakses 17 November 2010.

13 Third Amendment to the US Constitution: “No Soldier shall, in time of peace be quartered in any house, without the consent of the Owner, nor in time of war, but in a manner to be prescribed by law.”

14 Foruth Amendment to the US Consitution: “The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.”

15 Fifth Amendment to the US Consitution: “No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”

16 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:4-1:5.

Page 82: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

“yellow journalism”, yaitu jurnalisme yang memuat

berita yang tidak mementingkan kebenaran dan

keakuratan informasi, tetapi mementingkan berita

utama yang menarik untuk meningkatkan oplah.19

Berita skandal-skandal dan gossip terhadap orang-

orang tanpa fakta yang akurat menimbulkan

keresahan masyarakat yang besar. Hal inilah yang

menjadi latar belakang Warren dan Brandeis (1890)

menerbitkan sebuah artikel “The Right to Privacy”.

Warren dan Brandeis melihat adanya kekosongan

hukum dalam melindungi privasi seseorang.

Menurut mereka, sejarah Sistem Common Law

telah menunjukkan bahwa hukum melindungi

properti dan pribadi seseorang. Akan tetapi, seiring

perkembangan waktu, lingkup terhadap “properti”

dan “pribadi” berubah. Perlindungan terhadap

“properti” mencakup tidak hanya yang berwujud,

tetapi juga yang tidak berwujud. Sedangkan

perlindungan terhadap “pribadi” tidak hanya

terhadap fisik seseorang, tetapi juga perasaan dan

intelektualitas. Sistem hukum Common Law telah

mengenal adanya pengaturan mengenai larangan

menciderai tubuh seseorang, dan telah memperluas

pengaturan tersebut hingga larangan mencoba

menciderai seseorang. Selain perlindungan

terhadap fisik seseorang, hukum juga melindungi

martabat atau nama baik orang dengan melalui

pelarangan terhadap penyerangan kehormatan

atau nama baik seseorang (slander atau libel).

Tidak hanya itu saja, hukum juga dinilai perlu

untuk melindungi inteliktualitas seseorang

sehingga dikembangkanlah pengaturan tentang

intellectual property yang meliputi hak cipta,

paten, merk, dan rahasia datang. Kemudian telah

dikembangkan pula pengaturan mengenai “the

law of nuisance” yaitu perlindungan terhadap

kenyamanan (easement) yang melarang seseorang

untuk melakukan tindakan yang menimbulkan

ketidaknyamanan kepada orang lain, baik berupa

bau, kebisingan, asap, dan sebagainya.

Warren dan Brandeis menegaskan bahwa hukum

juga harus mengatur privasi yaitu “the right to be

let alone”.20 Yang mereka maksud dengan privasi

ialah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan

diri yang meliputi emosi, pikiran, atau perasaan

dalam berbagai bentuk aktivitas tanpa ada

gangguan, khususnya gangguan dalam bentuk

publikasi atas dan dalam bentuk akses terhadap

hasil ekspresinya tanpa ada persetujuan dari orang

tersebut. Selain itu, termasuk ruang lingkup privasi

ialah segala informasi yang berkaitan dengan

seseorang; informasi tersebut biasanya berasal

dari ekspresi atau aktivitas sehari-hari, seperti fakta

mengenai hubungan seseorang dengan orang

lain. Tujuan dari perlindungan privasi menurut

mereka adalah “the peace of mind or the relief

afforded by the ability to prevent any publication

at all”. Dengan demikian, seseorang dapat

mengembangkan kehidupan pribadinya dengan

maksimal.

Warren dan Brendeis mengemukakan bahwa pada

dasarnya sistem common law telah memberikan

perlindungan terhadap privasi dengan memberikan

hak kepada setiap orang untuk menentukan

sampai sejauhmana segala aspek pribadinya akan

atau dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.

Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk

mengekspresikan dirinya, dan terhadap hasil

ekspresinya – dalam bentuk tulisan, lukisan, ucapan

atau bentuk lainnya – setiap orang juga diberikan

hak untuk membatasi publikasi terhadap hasil

ekspresinya itu. Lebih lanjut menurut mereka21

perlindungan terhadap privasi berbeda dengan

perlindungan terhadap nama baik seseorang

karena pada dasarnya nilai perlindungan terhadap

75

19 http://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_journalism, diakses pada 8 Februari 2011. Dua surat kabar yang pada waktu itu menghadirkan Yello Jurnalism ialah New York World dan New York Journal.

20 Warren dan Brandeis, Ibid.

21 Warren dan Brandeis, Op.cit.

Page 83: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

privasi bersifat spiritual. Sedangkan nilai

perlindungan terhadap nama baik (pengaturan

mengenai libel dan defamation) bersifat materil.

Perlindungan terhadap privasi juga berbeda dengan

perlindungan terhadap kekayaan intelektual.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

esensi privasi bersifat spiritual, maka perlindungan

yang diberikan oleh hukum seharusnya berupa

ketenangan batin seseorang (peace of mind).

Di lain pihak, hukum hak atas kekayaan intelektual

memberikan perlindungan terhadap hasil

intelektualitas seseorang yang bernilai ekonomis

berupa keuntungan yang dapat diperoleh dari

produksi dan pendistribusian hasil intelektualitas

yang dimaksud. Sebuah diary yang berisi rahasia

pribadi seseorang dan dipublikasi oleh orang lain

tanpa persetujuannya mungkin tidak melanggar

hak atas kekayaan intelektual, tetapi dapat

melanggar hak privasi pemilik diary karena yang

tidak dikehendaki oleh pemilik justeru publikasi

terhadap konten yang terdapat dalam diary

tersebut, dan bukanlah keuntungan yang timbul

dari publikasi buku yang dimaksud.

Warren dan Brendeis mengakui bahwa ruang

lingkup hak privasi perlu diperjelas, tetapi sebagai

gambaran, beberapa pedoman pengaturan

terhadap hak privasi dapat dilihat dari aspek-

aspek berikut.

a. Hak privasi tidak melarang publikasi hal-hal

yang berkaitan dengan kepentingan publik

atau kepentingan umum. Akan tetapi,

seseorang tetap memiliki hak untuk memilih

untuk tidak mempublikasi informasi tanpa

persetujuannya. Beberapa aspek yang menurut

mereka masuk dalam ruang lingkup privasi

ialah kehidupan pribadi, kebiasaan, hubungan

atau relasi seseorang.

b. Pengaturan terhadap privasi tidak melarang

publikasi privasi seseorang berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan,

atau berdasarkan perintah pengadilan atau

otoritas lain yang berwenang.

c. Hak privasi menjadi hilang dalam hal orang

yang bersangkutan memberikan persetujuan

terhadap publikasi atas informasi pribadinya.

d. Yang menjadi esensi dari perlindungan

terhadap privasi bukanlah benar atau tidaknya

informasi yang dipublikasikan, tetapi

perlindungan terhadap publikasi informasi

tanpa persetujuan orang yang berhak.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa

artikel Warren dan Brendies mempengaruhi sistem

hukum common law di Amerika Serikat dengan

mulai diterimanya pengaturan hukum privasi dalam

bentuk tort (privacy tort). Pada awalnya privacy

tort diterapkan dalam kasus seperti publikasi foto

seorang perempuan yang sedang menjalani operasi

caesar, pemasangan kamera tersembunyi di dalam

kamar yang disewa oleh pasangan, publikasi

penyakit seorang wanita yang menurutnya

memalukan, dan publikasi gambar telanjang yang

diambil oleh polisi, serta penggunaan gambar

seseorang untuk kepentingan iklan tanpa

persetujuan.22

Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, William

Prosser23 mengumpulkan preseden-preseden tort

kasus invasi terhadap privasi dan

mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori,

yaitu:

1) penerobosan (intrusi) ke dalam kehidupan

pribadi seseorang, seperti mencari informasi

pribadi seseorang dengan melakukan

penyadapan;

2) pengungkapan fakta-fakta yang memalukan

tentang seseorang kepada publik, misalnya

mempublikasikan kebiasaan seseorang

memakan kotoran hidung;

76

22 Danielle Keats Citron, Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106.

23 William L. Prosser, Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.

Page 84: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3) publikasi yang membuat masyarakat salah

menilai seseorang, seperti gossip-informasi yang

tidak lengkap dan cenderung dibuat samar;

4) penggunaan atribut dari identitas seseorang

untuk mengambil keungungan tanpa

persetujuan, seperti penggunaan foto

seseorang untuk iklan tanpa persetujuan;

2. Ruang Lingkup Privasi

Solove menegaskan bahwa banyak sarjana

berusaha untuk menentukan ruang lingkup privasi

dengan memberikan kriteria-kriteria privasi untuk

membedakan terminologi tersebut dengan

terminologi lainnya. Tujuan memberikan batasan

mengenai konsep privasi ialah untuk menentukan

karakteristik-karakteristik yang unik dari privasi

sehingga penggunaan terminologi ‘privasi’ dapat

mencakup hal-hal yang termasuk dalam ruang

lingkup privasi itu sendiri.24

Lebih lanjut menurutnya, konsep privasi sangat

dipengaruhi secara terus menerus oleh

perkembangan sejarah dan budaya masyarakat.

Oleh karena itu, konsep privasi dapat berubah

dan meluas cakupannya sehingga apa yang dulu

dianggap bagian dari publik dapat menjadi suatu

hal yang pribadi. Salah satu bagian penting dalam

perkembangan sejarah dan budaya masyarakat

ialah perkembangan teknologi yang juga

mempengaruhi konsep privasi dari masa ke masa.

Hukum, menurutnya, harus memberikan

kelenturan yang besar untuk mengkonsepsikan

masalah-masalah privasi.25

Perkembangan ruang lingkup privasi juga diangkat

oleh Jerry Kang (1998).26 Kang membagi ruang

lingkup privasi ke dalam tiga kelompok. Kelompok

pertama adalah privasi dalam arti ruang fisik, yaitu

bahwa seseorang memiliki ruang fisik pribadi yang

terpisah dari publik dan tidak boleh dilanggar oleh

siapapun. Konsep ruang fisik ini didasarkan pada

Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat.

Kelompok kedua ialah privasi dalam arti kebebasan

seseorang untuk menentukan pilihan tanpa campur-

tangan atau intervensi dari pemerintah atau orang

lain. Kelompok terakhir ialah privasi dalam arti

hak yang diberikan kepada seseorang untuk

mengontrol pemrosesan informasi pribadinya; yang

termasuk dalam pemrosesan ialah pengumpulan,

pengungkapan dan penggunaan. Menurut Kang,

ketiga kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan

satu sama lain secara tegas.

Menurut Kang, perlindungan terhadap privasi

dapat didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung

dalam privasi. Pertama, pengaturan mengenai

privasi dapat melindungi diri dari hal-hal yang

memalukan; dalam budaya tertentu, pengungkapan

tindakan atau kelakuan seseorang dapat

mempermalukan orang tersebut meskipun kelakuan

atau tindakan tersebut tidak dapat disalahkan.

Misalnya tindakan buang air kecil; semua orang

melakukannya, tetapi mengambil foto orang yang

melakukan buang air kecil dan menaruhnya di

internet dapat mempermalukan orang tersebut.

Kedua, pengaturan terhadap privasi memberikan

dasar dalam hubungan yang bersifat intim;

kebebasan seseorang untuk memberikan informasi

kepada orang lain yang dapat mengungkapkan

dirinya sebenarnya dapat menciptakan hubungan

yang bersifat intim, seperti persahabatan atau

kekasih. Oleh karena itu, privasi terhadap informasi

seperti ini perlu dilindungi. Ketiga, perlindungan

terhadap privasi melindungi seseorang dari

penggunaan informasi pribadi yang tidak sesuai.

Penyalahgunaan tersebut dapat terjadi dengan

dua cara. Pertama, penggunaan informasi yang

tidak benar atau sesuai dapat berdampak pada

keputusan yang keliru. Informasi mengenai catatan

tindakan kriminal seseorang dapat membuat orang

77

24 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, 2002, California Law Review, Vol 90, hal. 1095-1096.

25 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Vol. 90: 1087, 1088-1154, Hal. 1146.

26 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, April 1998, Vol. 50, No. 4, hal.202-1203.

Page 85: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Kedua,

pengambilan dan penggunaan informasi yang

benar untuk tujuan selain peruntukkannya dapat

menimbulkan kerugian. Pengambilan informasi

nomor telepon dari buku kuning dan

menggunakannya untuk melakukan penipuan

atau pengumpulan informasi kartu kredit

seseorang yang melakukan transaksi elektronik

dengan bantuan skimmer dan menggunakannya

untuk melakukan transaksi online adalah contoh-

contoh yang dimaksud.27

Kang mengambil ruang lingkup privasi informasi

dari the National Information Infrastructure tentang

Privacy and the National Information Infrastructure:

Principles for Providing and Using Personal

Information, bahwa yang dimaksud dengan privasi

terhadap informasi ialah “an individual’s claim to

control the terms under which personal

information – information identifiable to an

individual – is acquired, disclosed, and used.”28

Ruang lingkup privasi terhadap informasi ialah:

1. Informasi pribadi (personal information), yang

dimaksud dengan informasi pribadi ialah

“information identifiable to the individual”29.

“Pribadi” memiliki makna hubungan antara

informasi tertentu dengan seseorang, sehingga

terlepas apakah informasi tersebut bersifat

sensitif, privat, atau memalukan.30

2. Informasi yang bukan pribadi (nonpersonal

information). Untuk ruang lingkup privasi ini,

Jerry Kang mengemukakan konsep “residual

privacy interest”31 terhadap informasi yang

bukan pribadi, khususnya mengenai anonimitas.

Menurutnya, meskipun informasi telah dibuat

samar karena individu yang memberikan

informasi telah diganti menjadi sosok anonim,

orang tersebut masih memiliki hak privasi

terhadap sisa informasi sepanjang ia memiliki

kepentingan terhadap informasi tersebut karena

ia berhak atas seluruh proses, mulai dari

pengumpulan, pengungkapan, dan penggunaan

informasi. Selain itu, menurut Kang, dalam

hal informasi dapat menggambarkan suatu

grup secara langsung, tetapi tidak secara

langsung menggambarkan seseorang dalam

grup tersebut, informasi yang dimaksud

termasuk bagian dari informasi pribadi. Akan

tetapi ia menegaskan bahwa hak privasi hanya

diberikan kepada individu, dan bukan grup

atau organisasi.

Lebih lanjut, Solove juga mengajukan konsep

taksonomi dari privasi dengan menentukan

masalah-masalah yang dapat mengganggu privasi,

khususnya tindakan-tindakan yang melanggar

privasi. Melalui taksonomi ini, diharapkan sistem

hukum dapat memahami ruang lingkup privasi

dan membentuk aturan-aturan hukum yang

melindungi privasi. Dalam taksonomi yang

dimaksud, terminologi “privasi” adalah terminologi

payung32 dan model taxonomi yang dibangun

78

27 Jerry Kang, hal. 1212-1214.

28 Jerry Kang, hal. 1205. Lihat juga Privacy Working Group Information Policy Committee Information Infrastructure Task Force (IITF), 6 Juni 1995, diakses dari http://aspe.hhs.gov/datacncl/niiprivp.htm pada tanggal 2 Januari 2012. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa perhatian utama tentang pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi telah ditegaskan sejak tahun 1995.

29 Diambil dari IITF

30 Jerry Kang, hal. 1206-1207. Informasi dapat mengarahkan kepada atau menggambarkan seseorang dengan tiga cara: (a) hubungan antara penulis informasi dan seseorang. Suatu informasi dapat dibuat atau disiapkan oleh seseorang dalam suatu komunikasi antara dirinya dengan pihak lain. Informasi tersebut dapat berupa surel pribadi, atau foto-foto pribadi; (b) informasi dapat mendeskripsikan seseorang selain berdasarkan hubungan antara penulis dan seseorang. Contohnya adalah informasi mengenai golongan darah, jenis kelamin, tanggal lahir, tinggi dan berat-

badan, sidik jari, atau DNA. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai seseorang, termasuk hubungan sosial, catatan kriminal, atau tingkat pendidikannya serta aktivitas yang dilakukannya; (c) informasi selain dua kategori tersebut tetapi masih bersifat pribadi jika informasi tersebut dipetakan lebih jauh. Nomor Keamanan Sosial (Social Security Number) bukanlah informasi yang dibuat oleh seseorang dan juga tidak menyatakan aktivitasnya. Akan tetapi, dengan menggunakan alat atau perangkat tertentu, SSN dapat memberikan informasi yang detail mengenai kehidupan seseorang.

31 Jerry Kang, hal. 1209.

32 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review Vol. 154, No. 3, January 2006, pp. 477 s.d. 560.

Page 86: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Solove menempatkan individu sebagai pusat dari

privasi. Ia mengajukan empat kelompok tindakan

yang dapat melanggar privasi, yaitu pengumpulan

informasi, pengolahan informasi, diseminasi

informasi, dan invasi.

3. Konstitusionalitas Privasi terhadap Informasi

Terkait dengan privasi terhadap informasi, Cate

dan Litan (2001)33 memberikan argumen bahwa

berdasarkan Konstitusi di Amerika Serikat,

perlindungan terhadap hak privasi sebagai hak

asasi baik dalam dunia konvensional maupun

dunia siber hanya diterapkan terhadap tindakan

yang dilakukan pemerintah.34 Mereka mengangkat

fakta bahwa Amandemen Keempat Konstitusi

Amerika Serikat35 ditujukan untuk melindungi

privasi seseorang dari campur tangan pemerintah

karena perlindungan yang diberikan hanya

ditujukan kepada penggeledahan dan penyitaan

yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini

aparat penegak hukum. Akan tetapi, di sisi lain,

berbagai pihak telah melihat perlunya perlindungan

terhadap privasi terhadap sektor privat, seperti

pembatasan dalam pengumpulan dan penggunaan

informasi pribadi dalam bisnis. Sayangnya, konsep

tersebut masih belum didukung dalam putusan-

putusan pengadilan di negara Amerika. Oleh

karena itu, mereka mengusulkan bahwa urgensi

perlindungan privasi terhadap sektor privat dapat

didasarkan pada Amendement Pertama Konstitusi

AS.36

Kang (1998) juga memiliki kesimpulan yang serupa.

Ia melihat pengumpulan informasi pribadi oleh

para pihak yang bertransaksi secara garis besar

tidak diatur oleh undang-undang. Amerika Serikat

tidak memiliki satu undang-undang privasi yang

komprehensif (omnibus) yang mengatur sektor

privat atau swasta dalam mengelola informasi

pribadi, seperti dimiliki di beberapa negara Eropa.

Pengaturan informasi pribadi di Amerika Serikat

beragam, tergantung dari cara penerimaannya,

siapa yang melakukan, dan bagaimana informasi

tersebut akan digunakan.37 Sayangnya, menurut

Kang, hukum federal di Amerika tidak mengatur

perlindungan informasi privasi seseorang terhadap

invasi yang dilakukan oleh sektor privat atau

swasta karena doktrin state action38 yang dianut

di Amerika, dan ketidakjelasan sampai sejauh

mana Konstitusi melindungi informasi privasi

seseorang. Dengan demikian, sistem tort mengenai

invasi terhadap privasi di Amerika tidak memberikan

pembatasan yang efektif terhadap pengelolaan

informasi.39

Ada beberapa statuta yang mengatur sektor

tertentu mengenai informasi pribadi, seperti

konsumen kartu kredit, pendidikan, komunikasi

elektronik, catatan kendaraan bermotor. Akan

tetapi, tidak ada dari statuta tersebut yang

membatasi para pihak yang bertransaksi untuk

mengumpulkan informasi.40

79

33 Fred Cate and Robert E. Litan, Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, tanggal 30 Desember 2011.

34 Cate dan Litan, hal. 4.

35 The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.

36 Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.

37 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50, 1998 , hal. 1230.

38 Doktron state action adalah konsep hukum di Amerika Serikat yang mengakui bahwa perlindungan yang diberikan Konstitusi – seperti dalam Amandement XIV dan I – hanya dimaksudkan kepada kewenangan memaksa negara terhadap individu, dan bukan kewenangan memaksa yang dilakukan individu terhadap individu lainnya, http://rationalwiki.org/wiki/State_action_doctrine, diakses 1 Maret 2012.

39 Kang, hal. 1230-1231. Kang mengangkat contoh bahwa Privacy Act Amerika yang diundangkan tahun 1974 juga hanya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan bukan terhadap sektor swasta.

40 Jerry Kang, hal. 1232.

Page 87: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Fan (2011) juga mengangkat wacana bahwa

sistem hukum Amerika Serikat masih mencari

konstitusionalitas perlindungan privasi terhadap

informasi.41 Menurut Fan – secara hipotetis –

Konstitusi memberikan perlindungan tersebut

berdasarkan pemahaman bahwa hak privasi

terhadap informasi lahir dari intuisi moral

masyarakat yang menuntut adanya keseimbangan

kewenangan antara negara dan warganya,

termasuk pembatasan kewenangan negara dalam

melakukan invasi terhadap privasi seseorang.

Lebih lanjut menurut Fan, meskipun dalam

Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas

tertulis eksistensi hak tersebut, perlindungan hak

privasi tetap tercakup dalam Konstitusi karena

pada dasarnya perlindungan terhadap privasi

merupakan perlindungan terhadap kebebasan

yang dilindungi Konstitusi, khususnya berdasarkan

Amandemen XIV Konstitusi AS.42 Seseorang bebas

memutuskan pilihan tanpa ada campur tangan

orang lain, termasuk pemerintah. Konstitusi

melindungi kebebasan seseorang karena pada

dasarnya manusia adalah makhluk otonom, dan

ada hubungan yang kuat antara privasi dengan

otonomi manusia, yaitu bahwa konsep privasi

adalah penegasan dari kebebasan manusia dari

interferensi orang lain. Privasi adalah bagian dari

ruang seseorang yang dapat dibawanya dan

bagian itu dilindungi dari gangguan yang tidak

diinginkan, termasuk hak seseorang untuk

mengungkap jati dirinya sebagai bentuk

otonomitas seseorang.43

Meskipun dalam Amandemen XIV tidak

menyebutkan adanya perlindungan terhadap

privasi secara eksplisit, hakim pada kasus Griswold

v. Connecticut memberikan pertimbangan bahwa

perlindungan privasi dapat ditemukan dalam

‘penumbra’44 dan ‘emanasi’ (pancaran) Konstitusi.

Namun demikian, beberapa pengadilan yang

menekankan legalitas memberikan pertimbangan

bahwa menginterpretasikan secara sangat luas

mengenai hak konstitusi yang tidak secara tegas

menyatakan hak tersebut merupakan suatu

tindakan yang tidak tepat sistem yurisprudensi.45

Fan mengemukakan bahwa “privacy is a

transitional lens that helps us view liberty in a

new light.” Intuisi dapat menjadi salah satu

pedoman yang sangat kuat dalam memberikan

pertimbangan hukum di pengadilan karena intusi

menyatukan pengalaman yang mungkin sulit

untuk diterjemahkan secara perkataan. Akan

tetapi Fan juga mengingatkan bahwa intuisi dapat

menimbulkan bias sehingga penggunaan intuisi

perlu dilakukan secara berhati-hati.46

C. Pengaturan Privasi dalam Instrumen Internasional

dan Regional

1. The Universal Declaration of Human Rights

The Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

merupakan pernyataan resmi Sidang Umum

Perserikatan Bangsa-bangsa yang berisi pengakuan

80

41 Marry D. Fan, Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011.

42 Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika terhadap Griswold v. Connecticut adalah salah satu perlindungan terhadap privasi seseorang dalam menentukan pilihan. Permasalahan dalam sengketa antara Negara Bagian Connecticut dan Grisworld adalah bahwa hukum Negara Bagian Connecticut pada waktu itu melarang segala bentuk penggunaan obat atau alat yang dapat mencegah pembuahan. Griswold membuka klinik kontrol kelahiran di Connecticut yang mengakibatkan ia ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah karena telah menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kelahiran. Terhadap keputusan tersebut, Griswold melakukan banding dengan dasar bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi oleh undang-undang Connecticut telah melanggar Amandemen XIV Konstitusi AS; Supreme Court memutuskan bahwa hukum Connecticut tersebut telah melanggar Konstitusi. Amandemen XIV Konsitusi AS: ‘no state shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law...nor deny any person the equal protection of the laws.”

43 Fan menyarikan dari pertimbangan Hakim Distrik Robert Carter, hal. 14.

44 Penumbra ialah bayangan kabur yang terjadi pada saat gerhana bulan.

45 The Sixth Circuit in J.P. v. DeSanti, dalam Fan, hal. 14.

46 Fan, hal. 27.

Page 88: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia pada tahun 1948. UDHR merupakan

respons negara-negara terhadap kejahatan

kemanusiaan yang terjadi pada waktu Perang

Dunia II. Isi deklarasi ini menekankan perlindungan

hak-hak asasi manusia sebagai individu. Kemudian,

pada tahun 1966, UDHR dijadikan dua instrumen

internasional, yaitu International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) dan the International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR). Ketiganya disebut sebagai The

International Bill of Human Rights. Pada dasarnya

ICCPR mengatur pembatasan kewenangan negara

terhadap hak-hak asasi individu. Hak-hak sipil dan

politik sebagai hak asasi yang diatur dalam ICCPR

merupakan hak-hak negatif, yaitu hak-hak yang

akan terpenuhi apabila peran negara terbatas. Di

lain pihak, ICESCR mewajibkan peranan negara

dalam memenuhi hak-hak asasi manusia di bidang

ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain,

peranan aktif negara dibutuhkan untuk menjamin

pemenuhan hak asasi manusia.47

Perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi

dinyatakan dalam Pasal 12 UDHR.48 Lebih lanjut,

privasi dikategorikan sebagai hak asasi manusia

dalam bidang sipil dan politik yang diatur dalam

Pasal 17 ICCPR, yaitu:

(1)No one shall be subjected to arbitrary or

unlawful interference with his privacy, family,

home or correspondence, nor to unlawful

attacks on his honour and reputation.

(2)Everyone has the right to the protection of

the law against such interference or attacks.

Pasal 17 ICCPR memberikan perlindungan dari

gangguan terhadap privasi, keluarga, rumah, atau

korespondensi yang dilakukan secara sewenang-

wenang dan tidak sah, termasuk pelanggaran

terhadap martabat atau reputasi seseorang. Yang

dimaksud “tidak sah” (unlawful) adalah tindakan

yang dilakukan tidak berdasarkan perundang-

undangan. Dengan kata lain, gangguan terhadap

privasi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah

perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud

dengan “sewenang-wenang” (arbitrary) ialah

tindakan yang dilakukan melampaui kewenangan

yang diberikan perundang-undangan. Dengan

kata lain, meskipun perundang-undangan

memberikan kewenangan untuk mengganggu/

melanggar privasi seseorang, kewenangan tersebut

tidak boleh digunakan secara subjektif oleh

pengemban kewenangan. Kewenangan-

kewenangan yang dapat menimbulkan gangguan

atau pelanggaran terhadap privasi harus disebutkan

secara eksplisit dan detail dalam perundang-

undangan, termasuk situasi-situasi yang diizinkan

oleh perundang-undangan mengenai gangguan

terhadap privasi. Oleh karena itu, tindakan

intersepsi atau penyadapan terhadap alat

komunikasi termasuk perekaman percakapan pada

dasarnya merupakan hal yang dilarang.49

Penerapan dari ketentuan ini ialah, antara lain,

penggeledahan terhadap rumah seseorang harus

dibatasi hanya terhadap pencarian alat bukti yang

diperlukan dan tidak boleh menimbulkan gangguan

atau ancaman. Selain itu, pengumpulan dan

penyimpanan informasi dalam komputer, bank

data, dan media lainnya, oleh pemerintah, individu,

atau institusi harus diatur dengan undang-undang

sehingga informasi mengenai kehidupan pribadi

seseorang tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak

memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang

81

47 Ifdal Kasim, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, hal. 2, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, pada tanggal 17 Desember 2011.

48 Yaitu “no one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.”

49 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

Page 89: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

untuk menerima, mengolah dan menggunakan

informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap individu

harus diberikan hak untuk mengetahui data

pribadinya yang dapat disimpan dan untuk tujuan

apa. Setiap individu juga berhak untuk memeriksa

datanya yang dikontrol oleh instansi pemerintah,

individu, atau institusi privat lainnya. Individu juga

diberikan hak untuk mengubah atau mengganti

informasi yang pernah diberikannya pada

pemerintah, instutusi privat, dan individu.50

Meskipun ICCPR tidak memberikan definisi atau

ruang lingkup privasi, tetapi Pasal 17 ICCPR

memberikan dasar bagi perlindungan terhadap

informasi pribadi sebagai hak asasi manusia.

Selain itu, prinsip penting lainnya ialah bahwa

perlindungan terhadap informasi pribadi seseorang

menjadi tanggung jawab pihak yang mengumpulkan

atau menyimpan informasi yang dimaksud, seperti

pemerintah, pelaku usaha, atau komunitas.

2. Directive 95/46/EC

Directive 95/46/EC on the Protection of Individuals

with Regard to the Processing of Personal Data

on the Free Movement of Such Data (Directive

95/46/EC) merupakan instrumen regional Uni

Eropa yang ditetapkan pada tahun 1995.

Perlindungan terhadap data pribadi, menurut

instrumen ini, sebagaimana terlihat dari judulnya,

merupakan bagian dari usaha perlindungan

terhadap pribadi. Lebih tegasnya menurut

instrumen ini, sistem pemrosesan data didesain

untuk mengabdi pada manusia dan sistem yang

dibangun harus menghormati hak-hak dan

kebebasan-kebebasan mendasar, khususnya hak

privasi. Sistem pemrosesan data dilain pihak juga

harus memiliki dampak positif dengan memberikan

kontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial,

ekspansi perdagangan serta kesejahteraan individu.

Data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi

yang terkait dengan individu yang teridentifikasi

atau dapat diidentifikasi. Sedangkan yang dimaksud

dengan pemrosesan data ialah segala bentuk

pengoperasian atau pengelolaan data pribadi baik

secara otomatis maupun manual yang mencakup

pengumpulan, perekaman, pengorganisasian,

penyimpanan, penyesuaian, penggunaan,

pengungkapan, pendiseminasian, dan penghapusan

data pribadi.

Negara-negara anggota menyadari adanya

perbedaan tingkatan perlindungan terhadap privasi

yang dapat membatasi transmisi data pribadi dari

satu negara anggota ke negara anggota lainnya.

Instrumen ini bertujuan untuk menghilangkan

hambatan pemrosesan data dengan menyesuaikan

tingkat perlindungan data di negara-negara

anggota, bukan dengan menurunkan tingkat

perlindungan privasi tetapi dengan memastikan

bahwa perlindungan privasi diberikan dalam

tingkatan yang tinggi. Beberapa prinsip penting

dalam pemrosesan data yang diatur dalam

instrumen ini ialah, antara lain, pertama pemrosesan

data pribadi harus dilakukan secara sah dan sesuai

hukum (lawful) serta fair terhadap individu yang

bersangkutan. Pada dasarnya, untuk dapat

dikatakan sah dan sesuai hukum, pemrosesan

data pribadi harus didasarkan pada persetujuan

dari individu tersebut, dan didasarkan pada

perlindungan terhadap kepentingan individu yang

merupakan bagian penting dari hidupnya.

Pemrosesan data disebut fair apabila individu

memahami bahwa data pribadinya diolah, dan ia

dapat mengetahui proses pengolahannya, serta

mengetahui dari mana data tentang dirinya

diperoleh, dan mendapatkan informasi tersebut

dengan akurat dan lengkap. Kedua, data yang

diproses harus secukupnya, relevan, dan tidak

berlebihan dalam hubungannya dengan tujuan

pemrosesan data. Ketiga, tujuan yang dimaksud

harus dinyatakan secara eksplisit dan sah serta

ditentukan pada saat pengumpulan data.

82

50 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

Page 90: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Negara anggota dapat menentukan secara spesifik

kondisi-kondisi dimana data pribadi dapat

diungkapkan kepada pihak ketiga untuk

kepentingan marketing. Akan tetapi, terhadap

hal ini, individu yang bersangkutan diberikan hak

untuk menolak pemrosesan data tersebut dengan

tidak dikenakan biaya dan tanpa perlu menyatakan

alasan penolakannya.

Perlindungan data pribadi warga negara-negara

anggota tidak hanya diberikan dalam pemrosesan

data dalam lingkup perdagangan negara-negara

anggota, tetapi juga dalam hal perdangangan

internasional. Maksudnya, perlindungan data

pribadi yang diproses di luar negara anggota harus

sama dengan standar yang diberikan negara

anggota berdasarkan Directive 95/46/EC. Apabila

negara ketiga tidak dapat memberikan jaminan

yang sama maka transfer data pribadi kepada

negara ketiga tidak boleh dilakukan.

3. APEC Privacy Framework

Negara-negara anggota APEC menyadari

pentingnya perlindungan privasi terhadap informasi

(information privacy) dan pengaturan pertukaran

informasi negara anggota. Negara anggota juga

menyadari bahwa rendahnya kepercayaan dan

keyakinan konsumen terhadap perlindungan privasi

dan keamanan transaksi secara online adalah

kondisi yang dapat menghambat perkembangan

perdagangan secara elektronik. Teknologi yang

ada memudahkan pengumpulan, penyimpanan,

dan pengaksesan informasi secara global yang

memberikan manfaat besar baik secara ekonomi

maupun sosial bagi pelaku usaha, individu,

termasuk pemerintah. Akan tetapi di sisi lain,

teknologi yang ada juga membuat individu semakin

sulit untuk memiliki kontrol terhadap data pribadi

mereka. APEC Privacy Framework merupakan

“ethical information practices in on- and off-lne

context to bolster the confidence of individuals

and businesses”.

APEC Privacy Framework menegaskan sembilan

prinsip dalam perlindungan privasi terhadap

informasi. Prinsip pertama ialah harus ada

perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan

terhadap informasi yang diberikan individu.

Sehubungan dengan itu, perlu ada pengaturan

mengenai kewajiban yang memperhitungkan

resiko dan pengaturan sanksi yang sesuai dengan

penyalahgunaan. Kedua, pengelola informasi

pribadi harus menyediakan informasi yang jelas

dan dapat diakses dengan mudah mengenai

kebijakan dan tindakan mereka terhadap informasi

pribadi. Ketiga, pengumpulan informasi pribadi

harus dibatasi hanya kepada informasi yang relevan

dengan tujuan pengumpulan, dan informasi harus

diperoleh secara sah dan sesuai hukum (lawful),

serta fair dan patut. Pengumpulan informasi harus

dilakukan berdasarkan pemberitahuan kepada,

atau persetujuan dari individu yang bersangkutan.

Sehubungan dengan itu, prinsip keempat

menegaskan bahwa penggunaan informasi pribadi

yang telah dikumpulkan harus digunakan hanya

untuk memenuhi tujuan dari pengumpulan, dan

tujuan lain yang sama dengan itu.

Prinsip kelima mengatur bahwa sepanjang

dimungkinkan, individu harus mendapat

mekanisme yang jelas dan dapat dimengerti dan

diakses dengan mudah dalam menentukan pilihan

terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan

pengungkapan informasi pribadi mereka. Keenam,

informasi pribadi harus terjaga keakuratan,

kelengkapan, dan keterbaruannya sesuai dengan

tujuan penggunaan informasi. Ketujuh, pengelola

informasi pribadi harus melindungi informasi

pribadi yang ada padanya dengan menerapkan

berbagai bentuk pengamanan yang proporsional

untuk menghadapi resiko seperti kehilanggan

atau akses yang tidak sah, perusakan, penggunaan,

pengubahan, pengungkapan, serta bentuk

penyalahgunaan lainnya. Kedelapan, individu

harus dapat menerima konfirmasi dari penggelola

informasi mengenai pengelolaan informasi yang

ia berikan. Individu juga harus dapat berkomunikasi

83

Page 91: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dengan pengelola, termasuk mempertanyakan

keakuratan informasi, dan dapat meminta

pengelola untuk memperbaiki, mengubah, atau

menghapus informasi. Terakhir, pengelola informasi

harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut di atas.

Apabila pengelola akan mentransfer informasi

pribadi kepada orang atau organisasi lain, baik

dalam lingkup domestik maupun internasional,

ia harus memperoleh persetujuan dari individu,

atau mengambil langkah-langkah yang hati-hati

untuk memastikan bahwa pihak penerima

informasi akan melindungi informasi tersebut

konsisten dengan prinsip-prinsip yang dimaksud.51

Menurut Green (2012), APEC Privacy Framework

merupakan instrumen regional yang paling lemah

melindungi privasi dibandingkan EU Directive atau

OECD. Directive 95/46/EC, di lain pihak merupakan

instrumen regional yang paling banyak digunakan

sebagai acuan dalam penyusunan regulasi privasi.

Dari 39 negara di luar Eropa yang ia teliti, 33

diantaranya dipengaruhi oleh Directive 95/46/EC

dalam penyusunan regulasi privasi. Bahkan

menurutnya, Directive 95/46/EC memiliki potensi

untuk dijadikan sebagai instrumen internasional.52

D. Pengaturan Privasi dalam Perundang-undangan

di Indonesia

1. Perkembangan Pengaturan Privasi dalam

Konstitusi

Pengaturan hak privasi sebagai hak asasi manusia

dalam konstitusi dan peraturan perundang-

undangan di Indonesia telah dimulai pada sidang-

sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan

Persiapan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk

pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan

menyusun rancangan UUD 1945. Dalam sidang-

sidang tersebut, pendapat Soekarno dan Soepomo

di satu sisi serta pendapat Mohammad Hatta dan

Muhammad Yamin di sisi lain membentuk dua

kutub aliran mengenai urgensi pengaturan hak

warga negara dalam konstitusi pertama Indonesia.

Soekarno dan Soepomo berargumen bahwa hak

warga negara tidak perlu dimasukkan dalam

konstitusi. Menurut Soekarno, pengaturan hak

warga negara dalam konstitusi Indonesia

merupakan ciri negara yang berlandaskan paham

liberalisme serta individualisme. Paham-paham

yang merupakan buah dari revolusi Perancis

tersebut telah menyebabkan lahirnya imperalisme

dan kapitalisme dan menimbulkan berbagai

permasalahan besar di dunia. Konstitusi Indonesia

seharusnya tidak berdasarkan liberalisme dan

individualism, tetapi berlandaskan paham

kekeluargaan, gotong-royong, serta keadilan sosial.53

Soepomo memiliki cara pandang yang berbeda

mengenai tidak-perlu-diaturnya hak warga negara

dalam konstitusi. Ia berargumen bahwa negara

Indonesia harus dibangun berdasarkan konsep

negara integralistik, yaitu kesatuan antara negara

dan seluruh rakyatnya. Dalam konsep negara

integralistik, individu merupakan suatu bagian

organik dari negara sehingga “hak individu menjadi

84

51 Beberapa kritik terhadap instrumen ini adalah bahwa APEC Privacy Framework merupakan instrumen yang lebih lemah dalam mengatur privasi dibandingkan instrumen internasional lainnya. Selain itu, instrumen ini tidak mengatur perlindungan data secara rinci. Implementation of the APEC Privacy Framework in National Regulation, Abu Bakar Munir, Workshop on International Data Sharing and Biometric Identification, Singapore, 2-3 Juli 2009 diakses dari http://www.hideproject.org/downloads/ws-singapore/HIDE_WS-Annex_ IIId-Presentation_Abu_Bakar_Bin_Munir-20090702.pdf pada tanggal 18 Maret 2013.

52 Greenleaf, Graham , The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299. 53 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.

Page 92: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tidak relevan dalam paham negara integralistik,

yang justeru relevan adalah kewajiban asasi kepada

negara”.54

Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad

Yamin tegas perpendapat perlunya mencantumkan

hak warga negara dalam konstitusi. Hatta menilai

bahwa kekuasaan yang besar yang diberikan

kepada negara dapat melahirkan otoritarianisme

seperti yang terjadi di Jerman sekitar tahun 1940an,

sedangkan negara Indonesia akan didasarkan pada

kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengaturan

hak warga negara dalam konstitusi merupakan

pertanggungjawaban negara kepada rakyat.

Ia menekankan bahwa diantara berbagai hak

warga negara yang perlu diatur dalam konstitusi,

hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan

merupakan hak yang harus dimunculkan dalam

konstitusi. Yamin menegaskan bahwa pengaturan

hak warga negara dalam konstitusi merupakan

satu keharusan dalam memberikan perlindungan

kepada warga negara yang merdeka.55

Konsep Hatta dan Yamin diterima untuk

dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945

tetapi dalam lingkup yang terbatas, yaitu bahwa

hak yang diatur dalam UUD merupakan hak warga

negara, dan bukan hak asasi manusia – hak hakiki

yang melekat sebagai seorang manusia.56

Terminologi hak asasi manusia tidak dijumpai

dalam pembukaan, batang tubuh, maupun

penjelasan UUD 1945.57

Menurut Purbopranoto (1975) pengaturan

hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan

terus berkembang dan akan tetap menjadi

permasalahan hukum. Perumusan hak asasi

manusia dalam UUD 1945 bukanlah perumusan

akhir. Meskipun pengaturan hak asasi akan terus

berkembang, tetapi, menurutnya, pengaturan

tersebut haruslah didasarkan pada Pancasila

sebagai kristalisasi nilai dan norma kehidupan

bangsa dan negara Indonesia.58 Dengan kata lain,

konstitusi sebagai sumber dari segala sumber

hukum dapat mengatur hak-hak asasi manusia

sesuai dengan perkembangan dalam bangsa

Indonesia dengan tetap berpegang pada nilai-

nilai Pancasila.

Purbopranoto melihat bahwa perumusan hak asasi

manusia dalam UUD 1945 belum disusun secara

sistematis, dan hanya ada empat pasal yang

mengatur hak asasi manusia, yaitu Pasal 27, Pasal

28, Pasal 29, dan Pasal 30. Keempat pasal ini

merupakan inti dasar kenegaraan berdasarkan

perundingan pada pendiri bangsa pada waktu itu

yang terdiri dari berbagai aliran.59 Perumusan UUD

1945 hanya memakan waktu 40 (empat puluh)

hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 s.d. 16 Juli 1945.60

Ketergesa-gesaan inipun diakui oleh Soekarno’

Konstitusi Indonesia adalah UUD kilat.61

Abdul Hakim mencermati bahwa dalam

penyusunan Konsitusi ada begitu banyak

keberagaman yang harus disatukan, seperti budaya,

aliran pemikiran, dan kepentingan di antara

golongan masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri

85

54 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.

55 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238-239.

56 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 240.

57 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), hal. 61.

58 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4, hal. 13.

59 Kuntjoro Purbopranoto, hal. 28.

60 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995.

61 Majda el-Muhtaj, hal. 72, mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. hal. 426.

Page 93: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

republik ini belum menekankan pada perlindungan

hak asasi manusia, tetapi membangun checks and

balances antar organ-organ negara legislatif,

eksekutif, dan yudikatif.62

Hak privasi belum diatur dalam naskah asli

konstitusi karena – apabila dihubungkan dengan

diskusi para pendiri republik mengenai urgensi

pengaturan hak warga negara dalam konstitusi–

pengaturan hak privasi dianggap sebagai

penerimaan faham individualisme dan liberalisme

yang kuat ditentang pada waktu itu ke dalam

sistem pemerintahan serta budaya dan norma

masyakarat Indonesia.

Perdebatan pengaturan hak asasi manusia dalam

konstitusi juga muncul pada pembahasan UUD

Republik Indonesia Serikat63 dan UUD Sementara.

Dalam sidang-sidang Konstituante di tahun 1957-

1959, konsep hak asasi manusia sebagai natural

rights telah diterima.64 Dalam Bagian 5 UUD RIS

diatur mengenai “Hak dan Kebebasan Dasar

Manusia”. Demikian juga dalam Bagian V UUD

Sementara diatur mengenai “Hak-hak dan

Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”.

Purbopranoto memberikan catatan penting

mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam

tiga konstitusi Indonesia. Menurutnya hak-hak

asasi yang diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal

29, dan Pasal 30 UUD 1945 didasarkan pada

“hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni”

sedangkan pengaturan hak asasi dalam UUD

Sementara “sudah terang dipengaruhi oleh

Universal Declaration of Human Rights tahun

1948 … dan Konstitusi RIS tahun 1949.” Karena

pengaruh Universal Declaration of Human Rights

tersebut maka “titik berat perumusan UUDS itu

adalah terlegak pada perlindungan hak-hak azasi

manusia sebagai individu.”65

Menurut Purbopranoto, Pasal 12 Universal

Declaration of Human Rights66 telah dimasukkan

dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUD RIS dan UUD

Sementara.67 Akan tetapi mencermati perumusan

dalam kedua konstitusi tersebut, pengaturan

privasi sebagai bagian penting dari Pasal 12

Universal Declaration of Human Rights tidak

diatur. Hal ini menunjukkan bahwa privasi masih

merupakan simbol dari individualisme dan

liberalisme barat yang masih bertentangan – atau

setidak-tidaknya belum dapat diterima – dalam

sistem pemerintahan serta budaya bangsa.68

Oleh karena itu, melihat perkembangan

pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi

sejak tahun 1945 hingga 1950, dapat disimpulkan

bahwa negara Indonesia terbuka untuk menerima

ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui

secara Internasional sebagai hak asasi serta terbuka

untuk mengaturnya dalam Konstitusi. Akan tetapi,

penerimaan dan pengaturan hak asasi manusia

dalam Konstitusi harus berdasarkan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara

dan “ruh murni bangsa” Indonesia; Pancasila

merupakan ideologi bangsa dalam menerima atau

menolak suatu paham, termasuk menerima atau

menolak suatu hak atau kebebasan yang diakusi

sebagai hak asasi manusia dalam instrumen

internasional ke dalam Konstitusi Indonesia.

86

65 Purbopranoto, Hal. 51.

66 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

67 Purbopranoto, Apendix.

68 Tahun 1959, Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden, membubarkan Konstituante dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam Dekrit itu, Presiden memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945.

62 Abdul Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 318.

63 UUD RIS 1949 berlaku sejak 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950, sedangkan UUD Sementara berlaku sejak 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959.

64 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 241.

Page 94: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Demikian juga dengan penerimaan privasi sebagai

hak dasar manusia dalam Konstitusi. Perlindungan

terhadap privasi memiliki semangat atau paham

individualis. Paham perlindungan terhadap privasi

merupakan paham yang dinilai banyak pihak

termasuk para pendiri bangsa sebagai bagian dari

paham liberal. Oleh karena itu, tidak tolak

penerimaan dan pengaturan privasi sebagai bagian

dari hak asasi manusia Indonesia juga harus

didasarkan pada “ruh murni bangsa” yang

terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai asali

bangsa Indonesia ialah komunalistik. Terhadap

nilai asali komunalistik ini, Supomo menegaskan

bahwa kolektivisme atau komunalistik merupakan

bagian penting yang hidup dalam hukum adat

Indonesia, satu sistem hukum yang tidak dimiliki

oleh negara-negara lain pada umumnya yang

menjadi karakter bangsa. Dalam hukum adat,

esensi kedudukan seorang individu berada dalam

hubungannya dengan masyarakat. Menurut

Supomo ‘dalam hukum adat Indonesia itu bukanlah

individu yang primair tetapi masyarakat. Dalam

suasana hukum adat orang itu terutama adalah

anggota masyarakatnya.’69 Manusia sejak awalnya

memiliki sifat komunal, dan bukan individual.

Menurutnya “manakala ada pertentangan antara

kepentingan seseorang dengan kepentingan

masyarakat, maka haruslah kepentingan seseorang

itu tunduk, sebab kepentingan masyarakat itu

adalah kepentingan semua warga (kepentingan

umum)... Di sinilah letak prinsip yang merupakan

azas kehidupan bangsa kita yang asli, yakni yang

menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat

bersama yang bersifat kolektif dan tidak

individualistis atau perseorangan.”70

Berdasarkan pemikiran Supomo dan Purbopranoto

di atas, dapat ditegaskan di sini bahwa pada intinya

setiap manusia memiliki dua sifat dasar yang saling

berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam

diri manusia, yaitu sifat individu – yaitu manusia

sebagai pribadi kodrati – dan sifat komunal atau

sosial – manusia sebagai bagian dari masyarakat.

Privasi sebagai hak asasi manusia dapat diletakkan

dalam Konstitusi berdasarkan sila kemanusiaan

yang adil dan beradab. Karena sila ini merupakan

dasar dari pengaturan hak atau kebebasan asasi

manusia, termasuk tanggung jawab seseorang

terhadap Negara.71 Sebagaimana diungkapkan

oleh Purbopranoto bahwa perikemanusiaan

mencakup “segala pandangan hidup yang tertuju

pada manusia, baik dalam pergaulannya dalam

masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan

negara.” Berpijak pada konsep ini, pengaturan

privasi dalam Konstitusi negara Indonesia dapat

diterima dalam konteks komunalistik yang

merupakan sifat asli bangsa, artinya perlindungan

terhadap privasi seseorang tunduk kepada

kepentingan umum. Dalam hal tidak ada

kepentingan umum yang menjadi penghalang,

privasi merupakan hak dasar yang harus dijunjung

tinggi.

Perubahan signifikan mengenai pengaturan hak

asasi manusia dalam konsitusi terjadi setelah

reformasi dimulai di Tahun 1998. Dalam kurun

waktu 4 tahun (1999 – 2002), Konstitusi RI telah

diamandemen sebanyak empat kali.72 Pengaturan

hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan

hasil Amandemen II berdasarkan keputusan sidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 7-18

Agustus 2000. Dalam Konstitusi Amandemen II

ditambahkan satu bab tentang Hak Asasi Manusia

87

69 Purbopranoto, hal. 51.

70 Purbopranoto, hal. 64-65.

71 Purbopranoto, hal. 50.

72 Amandemen I merupakan hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen I menekankan mengenai fungsi dan kewenangan Presiden. Amandemen III merupakan hasil Sidang Umum MPR tanggal 1-9 November 2001. Dalam Konstitusi ditambahkan ketentuan, antara lain Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR kembali melakukan sidang dan menghasilkan Amandemen IV yang merupakan penyempurnaan dan penambahan pasal-pasal terkait dengan Dewan Pertimbangan Agung, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Page 95: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(dalam BAB XA). Pengaturan hak asasi manusia

dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen telah

mengakomodir beberapa pengaturan-pengaturan

hak asasi dalam ICCPR maupun ICESCR. Kemudian

ketentuan dalam BAB XA diatur lebih lanjut dalam

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (UU HAM).

Dalam UUD NRI 1945 tidak digunakan terminologi

“privasi”. Konstitusi Indonesia juga tidak mengatur

secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai

hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan

pernyataan yang tegas bahwa perlindungan

terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak

asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat

berupa perlindungan terhadap keamanan dan

kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan

dalam mengekspresikan dirinya secara emosional.

Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian

dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam

dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi

merupakan bagian dari perlindungan terhadap

privasi yang merupakan bagian dari perlindungan

terhadap diri seseorang.

2. Ruang Lingkup Privasi berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “privasi”

didefinisikan dengan “kebebasan pribadi” atau

“keleluasaan pribadi”.73 Meskipun definisi yang

sederhana ini belum dapat menjelaskan ruang

lingkup privasi, tetapi definisi ini dapat dijadikan

patokan dasar, yaitu bahwa ruang lingkup privasi

adalah kebebasan-kebebasan atau keleluasaan-

keleluasaan yang diberikan peraturan perundang-

undangan kepada seseorang sebagai pribadi atau

individu. Dalam bagian di bawah ini, diulas secara

umum mengenai pengaturan yang terkait dengan

perlindungan privasi, khususnya data pribadi dalam

beberapa undang-undang.

a. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

(UU HAM)

UU HAM juga tidak memberikan ruang lingkup

yang tegas mengenai privasi. Pasal 4 UU HAM

mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

dan persamaan di hadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak-hak manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

dan oleh siapapun. Tidak ada penjelasan

apakah ‘hak privasi’ diterjemahkan sebagai

‘hak kebebasan pribadi’. Jika demikian, ruang

lingkup privasi menjadi sangat luas karena

pada Bagian Kelima dalam BAB III UU HAM

diatur mengenai ruang lingkup hak atas

kebebasan pribadi. Dalam bagian tersebut,

hak atas kebebasan pribadi meliputi hak:

1) untuk tidak diperbudak atau diperhamba74;

2) atas keutuhan pribadi baik rohani maupun

jasmani75;

3) untuk memeluk agama dan beribadah76;

4) untuk memilih dan mempunyai keyakinan

politik77;

5) hak untuk mempunyai, mengeluarkan dan

menyebarluaskan pendapat78;

6) untuk berkumpul, berapat, dan berserikat

untuk maksud-maksud damai79;

7) mendirikan partai politik atau organisasi

lainnya80;

88

73 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses 23 Desember 2011.

74 Pasal 20 UU 39/1999.

75 Pasal 21 UU 39/1999.

76 Pasal 22 UU 39/1999.

77 Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999.

78 Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999.

79 Pasal 24 ayat (1) UU 39/1999.

80 Pasal 24 ayat (2) UU 39/1999.

Page 96: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8) menyampaikan pendapat di muka umum,

termasuk hak untuk mogok81;

9) memiliki, memperoleh, mengganti, atau

mempertahankan status

kewarganegaraannya serta memilih

kewarganegaraan82; dan

10)secara bebas bergerak, berpindah, dan

bertempat tinggal dalam, serta

meninggalkan dan masuk kembali ke

wilayah negara Republik Indonesia.83,84

Akan tetapi, batasan yang lebih sempit dapat

mengacu dalam Pasal 31 ayat (1) UU HAM.

Dalam pasal tersebut diatur bahwa tempat

kediaman siapapun tidak boleh diganggu.

Kemudian dalam penjelasannya disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “tidak boleh

diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan

kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat

kediamannya. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)

UU HAM, salah satu privasi dapat diartikan

sebagai “kehidupan pribadi”. Konteks atau

ruang lingkup privasi dari pasal ini adalah

kehidupan pribadi (privasi) dalam kediaman

seseorang. Maksudnya, seseorang memiliki

kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak

atau berbuat apa saja dalam kediamannya,

dan kebebasan itu tidak boleh diganggu oleh

siapapun juga.

UU HAM menekankan bahwa semua hak dan

kebebasan yang diatur di dalamnya hanya

dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-

undang. Demikian juga dengan privasi, terlepas

makna yang terkandung dalam privasi bersifat

luas atau sempit, pembatasan terhadap privasi

hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan

undang-undang.85

b. UU ITE

UU ITE mempersamakan hak pribadi dengan

hak privasi. Dalam penjelasan Pasal 26 UU ITE

diatur bahwa hak pribadi (privacy rigths)

mencakup (a) hak untuk menikmati kehidupan

pribadi dan bebas dari segala macam

gangguan; (b) hak untuk dapat berkomunikasi

dengan Orang lain tanpa tindakan dimata-

matai; (c) hak untuk tidak diawasi akses

informasi tentang kehidupan pribadi dan data

seseorang; dan (d) hak untuk menikmati

perlindungan data pribadi yang dipertukarkan

atau ditransaksikan secara elektronik. Yang

dimaksud dengan data Pribadi adalah data

perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat,

dan dijaga kebenaran serta dilindungi

kerahasiaannya.86

Lebih jauh diatur dalam PP 82/2012 sebagai

peraturan pelaksanaan UU ITE, penyelenggara

Sistem Elektronik dibebani kewajiban untuk

menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan

Data Pribadi yang dikelolanya. Selain itu,

Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib

menjamin bahwa perolehan, penggunaan,

dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan

persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali

ditentukan lain oleh peraturan perundang-

undangan, serta wajib menjamin penggunaan

atau pengungkapan data dilakukan

berdasarkan persetujuan dari pemilik Data

Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan

yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi

pada saat perolehan data. Tidak hanya itu

saja, Penyelenggara Sistem Elektronik juga

wajib memberitahukan secara tertulis kepada

pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan

dalam perlindungan rahasia Data Pribadi yang

dikelolanya.

89

81 Pasal 25 UU 39/1999.

82 Pasal 26 UU 39/1999.

83 Pasal 27 UU 39/1999.

84 Perlu ditelaah lebih lanjut apakah ketentuan dalam Pasal 20 s.d. Pasal 27 UU 39/1999 dapat disebut sebagai hak privasi (hak pribadi).

85 Pasal 73 UU ITE. 86 Pasal 1 butir 27 PP 82/2012

Page 97: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. UU Perbankan

Aspek perlindungan terhadap privasi atau data

pribadi yang diangkat dari UU Perbankan dan

aturan terkaitnya ialah aspek rahasia bank dan

aspek penggunaan data nasabah. Pengaturan

mengenai rahasia bank merupakan bagian

penting dalam perlindungan privasi, khususnya

data pribadi nasabah. Pengaturan ini merupakan

satu langkah preventif dalam menjaga

kepercayaan nasabah penyimpan. Ruang

lingkup rahasia bank ialah segala sesuatu yang

berhubungan dengan keterangan mengenai

nasabah penyimpan dan simpanannya.87 Bank

Wajib merahasiakan keterangan mengenai

Nasabah Penyimpan dan simpanannya.

Pengecualian terhadap kewajiban ini ialah

bahwa untuk kepentingan perpajakan,

kepentingan penyelesaian utang-piutang,

kepentingan peradilan dalam perkara pidana,

bank wajib memberikan keterangan mengenai

Nasabah Penyimpan dan simpanannya.

Pembukaan rahasia bank wajib terlebih dahulu

memperoleh perintah atau izin tertulis dari

pimpinan Bank Indonesia. Pengecualian lainnya

terhadap kewajiban menjaga rahasia bank ialah

untuk kepentingan tukar menukar informasi

antar bank, dan permintaan/persetujuan tertulis

dari nasabah atau kuasanya serta permintaan

ahli waris yang sah. Selain itu, keterangan

mengenai nasabah selain nasabah penyimpan

bukan merpakan keterangan yang wajib

dirahasiakan oleh bank.88

Terkait dengan kewajiban menjaga rahasia

bank, bank juga wajib menerapkan transparansi

informasi mengenai penggunaan data pribadi

nasabah.89 Yang dimaksud dengan data pribadi

nasabah ialah identitas yang lazim disediakan

oleh nasabah kepada bank dalam rangka

melakukan transaksi keuangan dengan bank.90

Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari

nasabah dalam hal bank akan memberikan

dan/atau menyebarluaskan data pribadi

nasabah kepada lain untuk tujuan komersial,

yaitu penggunaan data pribadi untuk

memperoleh keuntungan. Dalam permintaan

persetujuan tersebut, bank wajib terlebih

dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi

dari pemberian atau penyebarluasan data

pribadi kepada pihak lain. Permintaan

persetujuan dapat dilakukan bank sebelum

atau sesudah nasabah melakuken transaksi

yang berkaitan dengan produk bank. Nasabah

harus menandatangani formulir khusus –

sebagai bentuk persetujuan – yang memberikan

kewenangan bagi bank dalam memberikan

atau menyebarluaskan data pribadinya. Apabila

bank akan menggunakan data pribadi

seseorang atau sekelompok orang dari pihak

lain untuk tujuan komersial, bank wajib

memiliki jaminan tertulis dari pihak tersebut

bahwa orang atau sekelompok orang yang

dimaksud telah memberikan persetujuan

tertulis kepada pihak lain itu untuk

menyebarkan data pribadi mereka.91

d. UU KIP

UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik (KIP)92 juga memberikan gambaran

90

90 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

91 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

92 UU KIP dibentuk dalam rangka mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan, program, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. UU 14/2008 juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

87 Pasal 1 butir 28 UU Perbankan.

88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.

89 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

Page 98: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengenai hak pribadi.93 Menurut undang-

undang ini, yang dimaksud dengan Informasi

Publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan,

dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu

badan publik yang berkaitan dengan

penyelenggara dan penyelenggaraan negara

dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan

badan publik lainnya serta informasi lain yang

berkaitan dengan kepentingan publik.94

Informasi Publik yang tidak dapat diberikan

oleh badan publik kepada publik, antara lain

adalah informasi yang berkaitan dengan hak-

hak pribadi.95 Hak pribadi yang dimaksud

adalah privasi dalam konteks informasi “yang

bersifat pribadi” atau informasi yang merupakan

“rahasia pribadi seseorang” yang tidak dapat

diungkap kepada pihak lain. Menurut UU KIP

informasi tersebut termasuk Informasi Publik

yang dikecualikan, yaitu:

(a) Informasi Publik yang apabila dibuka dapat

mengungkapkan isi akta otentik yang

bersifat pribadi dan kemauan terakhir

ataupun wasiat seseorang;

(b) Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

(1) riwayat dan kondisi anggota keluarga;

(2) riwayat, kondisi dan perawatan,

pengobatan kesehatan fisik, dan psikis

seseorang;

(3)kondisi keuangan, aset, pendapatan,

dan rekening bank seseorang;

(4)hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan

kapabilitas, intelektualitas, dan

rekomendasi kemampuan seseorang;

dan/atau

(5)catatan yang menyangkut pribadi

seseorang yang berkaitan dengan

kegiatan satuan pendidikan formal dan

satuan pendidikan nonformal.

E. Beberapa Catatan

Berpijak pada konsep privasi yang dikemukakan oleh

Warren dan Brandeis yang kemudian diterima dalam

sistem common law di Amerika, perlindungan

terhadap privasi mengandung tiga unsur. Pertama,

esensi dari perlindungan terhadap privasi ialah tidak

adanya gangguan dari pihak manapun terhadap

seseorang dalam mengekspresikan dirinya dengan

berbagai bentuk atau cara. Kedua, tujuan dari

perlindungan privasi ialah untuk memberikan “the

peace of mind or the relief afforded by the ability to

prevent any publication at all”. Dengan demikian,

seseorang dapat mengembangkan kehidupan

pribadinya dengan maksimal. Ketiga, satu-satunya

dasar pihak lain untuk dapat mempublikasi ekspresi

atau hasil ekspresi seseorang adalah persetujuan

orang yang bersangkutan; pengecualiannya adalah

adanya ketentuan peraturan perundang-undangan,

perintah pengadilan, atau otoritas yang berwenang.

Ruang lingkup privasi sama banyaknya dengan jumlah

ranting pohon beringin. Menentukan ruang lingkup

privasi membutuhkan waktu dan usaha yang besar–

jika tidak dapat dikatakan mustahil. Konsep privasi

merupakan konsep yang terus berkembang dari masa

ke masa. Konsep privasi yang dikemukakan Warren

dan Brandeis pada awalnya mengangkat satu pihak

yang disoroti secara tajam oleh masyarakat sebagai

pihak selain pemerintah yang berpotensi melanggar

privasi, yaitu pers. Akan tetapi, seiring dengan

perkembangan teknologi, bermunculan pihak lain

yang dapat mengumpulkan dan pengungkapkan

informasi seseorang secara global, mulai dari

penyelenggara email atau situs jejaring sosial sampai

pada penyelenggara transaksi elektronik. Pihak yang

mengelola informasi memiliki kewenangan yang besar

dalam mengolah informasi yang diberikan. Mereka

memiliki akses terhadap sebagian kehidupan pribadi

91

93 Salah satu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik ialah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. (Pasal 6 ayat (3) huruf c UU 14/2008)

94 Pasal 1 butir 2 UU KIP.

95 Pasal 6 ayat (3) huruf a.

Page 99: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

seseorang. Oleh karena itu, kewenangan yang

dimaksud berpotensi melanggar privasi orang lain

sehingga sudah sepatutnya kewenangan dan

kemampuannya ini dibatasi.

Setiap data memiliki nilai. Nilai tersebut bisa berupa

nilai non-ekonomis dan ekonomis yang dapat

dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Demikian juga

data pribadi. Data pribadi memiliki nilai bagi orang

yang memberikan, yang mengolah, atau pihak lain

yang terkait. Data pribadi seseorang merupakan

bagian dari privasi individu tersebut; perlindungan

terhadap data pribadi merupakan bagian dari

perlindungan privasi seseorang. Lebih tegasnya,

perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian

dari perlindungan terhadap individu atau pribadi

sebagai hak asasi yang diatur dalam Konstitusi.

Teknologi memudahkan masyarakat dalam melakukan

transaksi dengan cepat dan efisien. Teknologi juga

memudahkan pemrosesan data dalam rangka agregasi,

integrasi, dan klasifikasi. Setiap individu yang

melakukan transaksi secara online, atau setiap individu

yang memberikan informasi pribadinya sebagai salah

satu syarat penggunaan layanan, pada batas tertentu

akan sampai pada suatu kondisi bahwa ia tidak punya

pilihan selain mengungkap identitas atau memberikan

data pribadinya agar transaksi tersebut dapat

berlangsung atau layanan yang dimaksud dapat

digunakan. Pada saat itu nilai data pribadi harus

dipertukarkan dengan layanan yang diberikan dalam

satu transaksi elektronik. Penyalahgunaan teknologi

juga memudahkan penyalahgunaan data pribadi,

baik yang sifatnya mengganggu privasi maupun

sampai kepada tindak pidana.

Masyarakat mengharapkan data pribadinya terjaga

kerahasiaan, integritas, serta ketersediaannya.

Masyarakat mengharapkan pihak yang mengumpulkan

dan mengolah data pribadinya dapat bertindak dengan

sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair dan beritikad

baik. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab

untuk membangun, memfasilitasi, dan

mengembangkan sistem perlindungan data warga

negara yang menghargai dan melindungi privasi

(pribadi) warga negara. Sistem yang dimaksud juga

harus dapat memenuhi kebutuhan pengembangan

perekonomian dan perdagangan baik domestik

maupun internasional serta peningkatan kesejahteraan

masyarakat, termasuk harus dapat melindungi

kepentingan nasional.

Konstitusi Indonesia tidak mengatur secara tegas

perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi

Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang

tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi

seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan

terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan

terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang,

termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya

secara emosional. Perlindungan terhadap privasi

merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri

pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap

data pribadi merupakan bagian dari perlindungan

terhadap privasi yang merupakan bagian dari

perlindungan terhadap diri seseorang. Oleh karena

itu, pembentukan regulasi terkait privasi dan data

pribadi perlu menitikberatkan pada perlindungan

terhadap diri pribadi seseorang dari berbagai aspek,

termasuk keamanan, kenyamanan, dan kebebasan

dalam mengekspresikan diri secara emosional.

Perundang-undangan Indonesia telah mengatur

perlindungan terhadap privasi, termasuk data pribadi,

secara parsial. Tampaknya pembentukan regulasi

mengenai data pribadi dalam transaksi elektronik

akan lebih memungkinkan daripada pembentukan

undang-undang omnibus mengenai privasi.

92

Page 100: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Literatur

Barker, Lucius J. dan Barker Jr., Twiley W. (editors). 1978. Civil Liberties and the Constitution: Cases and Commentaries,

3rd Edition, Prentice Hall. Inc, New Jersey, United States.

Cate, Fred dan Litan, Robert E. Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for

Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001,

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, diakses 30 Desember 2011.

Citron, Danielle Keats. Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal

Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106.

d’Entreves, Maurizio Passerin dan Vogel, Ursula. Ed. 2000. Public & Private: Legal, Political, and Pholosophical Perspective,

(Routledge, Taylor & Francis Group), New York, US.

el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen

UUD 1945 Tahun 2002), Prenada Media, Jakarta.

Greenleaf, Graham, The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation

of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research

Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN:

http://ssrn.com/abstract=1960299.

Fan, Marry D. Constitutionalizing Information Privacy by Assumption,

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011.

Kang, Jerry, Information Privacy in Cyberspace Transactions. Stanford Law Review, Vol. 50, p. 1193, 1998,

http://ssrn.com/abstract=631723, diakses 18 Maret 2013.

Kasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X,

Tahun 2005, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, diakses dari 17 Desember 2011.

Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Penerbit Koalisi untuk Kebebasan

Informasi, Cetakan II.

Laski, Harold J. 1948. Liberty in Modern State, London, George Allen & UNWIN Ltd.

Lau, Lawrence J. “Economic Growth in the Digital Era”, http://www.stanford.edu

/~ljlau/Presentations/Presentations/031129.pdf, diakses pada 17 Januari 2011.

DAFTAR PUSTAKA

93

Page 101: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights, 6th Edition, Oceana Publications, Inc, United States.

Nusantara, Abdul Hakim G. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan

Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 313 s.d. 323.

Pollack, Ervin H. (Editor). 1971. Human Rights, Amintaphill I. Jay Steward Publications, Inc. New York, United States.

Prosser, William L. Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.

Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4 EYD PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Reitman, Alan. Ed. 1968. The Price of Liberty Perspectives on Civil Liberties by Members of the ACLU, W.W. Norton &

Company, Inc, First Edition, US.

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.

Solove, Daniel J. dan Schwartz, Paul M. 2011. Information Privacy Law, Fourth Edition, United States: Wolters Kluwer.

________. Conceptualizing Privacy. California Law Review, Vol. 90, p. 1087, 2002. http://ssrn.com/abstract=313103,

diakses 17 Maret 2013.

________. A Brief History of Information Privacy Law. PROSKAUER ON PRIVACY, PLI, 2006; GWU Law School Public Law

Research Paper No. 215, http://ssrn.com/abstract=914271, diakses 18 Maret 2013.

________. A Taxonomy of Privacy. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, No. 3, p. 477, January 2006; GWU

Law School Public Law Research Paper No. 129, http://ssrn.com/abstract=667622, diakses 18 Maret 2013.

Stone, Richard. 1997. Textbook on Civil Liberties, 2nd Edition, Blackstone Press Limited, Great Britan.

Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890

http://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/privacy/Privacy_brand_warr2 .html, diakses 31 Januari 2011.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949

Undang-Undang Dasar Sementara 1950

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

94

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 102: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

A. PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini masalah pengelolaan keuangan daerah

banyak mendapatkan sorotan tajam dari publik.

Media massa hampir tiap hari menampilkan kasus-

kasus yang menyangkut pengelolaan keuangan

daerah secara tidak bertanggung jawab pada berbagai

instansi pemerintah daerah dari tingkat Propinsi

sampai tingkat Kabupaten/Kota. Pengelolaan secara

tidak bertanggung jawab ini hadir dalam bentuk

berbagai praktek korupsi keuangan daerah. Padahal

dalam melaksanakan tugas menciptakan keadilan

sosial bagi rakyat di saerah, maka pengelolaan

keuangan daerah merupakan aspek vital dalam

pengelolaan negara secara keseluruhan.

Akibat kegagalan pengelolaan keuangan tersebut

maka keberadaan pemerintahan negara dalam

bahaya, terjadi kegonjangan ekonomi, politik, dan

sosial yang bukan saja akan mengakibatkan

pembangunan kehidupan bangsa mengalami stagnasi

tetapi lebih jauh dari itu akan terjadi kemunduran

dan bahkan kegentingan.

Pemeriksaan terhadap 480 laporan keuangan

pemerintah daerah tahun 2006 oleh BPK hasilnya

sangat menyedihkan. Dari sejumlah itu hanya ada

tiga daerah yang menyandang opini paling tinggi

atau wajar tanpa pengecualian terhadap laporan

keuanganya. Selain itu sejumlah pelanggaran juga

mencuat dalam pemeriksaan diatas. Bahkan

dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik

korupsi dengan berbagai modus.

Dari hasil pemeriksaan BPK diatas bisa disimpulkan

bahwa masih banyak daerah yang performansinya

buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar

pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran

95

PERSPEKTIF YURIDIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH

Oleh :

Dayanto, S.H., M.H. 1

Abstrak

Penulis dalam tulisan ini menguraikan berbagai bentuk pengawasan yang diatur secara yuridis dalam berbagai

ketentuan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Di tengah pengelolaan keuangan daerah yang rentan

dengan praktik korupsi dan berbagai perilaku penyalahgunaan kewenangan (on misbruik van recht), maka pengawasan

sebagai bagian yang vital dalam proses pengelolaan keuangan daerah perlu dioptimalkan melalui peningkatan

profesionalisme pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembaga-lembaga pengawas, pemantapan

sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas, serta membuka ruang partisipasi masyarakat

secara demokratis dalam proses pengawasan.

Kata Kunci: Pengawasan, Keuangan Daerah

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, dilahirkan di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2005) dan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (2011) dengan konsentrasi Hukum Kenegaraan. Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon 2013-2017. email: [email protected]

Page 103: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan

proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat

ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun

performansi anggaran dengan baik, padahal

perkembangan teknologi telematika telah menyajikan

solusi yang berhubungan dengan hal itu. Hasil

pemeriksaan BPK terasa kontradiktif ketika kita

membuka LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggung-

jawaban) Kepala Daerah2.

Relevansi pengelolaan keuangan daerah ditemukan

dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara yang diatribusi dari Pasal

23C UUD NRI 1945. Dalam Pasal (1) UU No. 17 tahun

2003 mendefenisikan Keuangan Negara sebagai

semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang

maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik

negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut. Sedangkan Pasal (2) UU No. 17

Tahun 2003 menegasakan bahwa keuangan negara

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (1 ) ayat 1,

meliputi:

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan

dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas

layanan umum pemerintah negara dan membayar

tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara;

d. Pengeluaran negara;

e. Penerimaan daerah;

f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain

yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah

dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah

dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan

menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara (UUKN) ditegaskan bahwa:

Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,

efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mewajibkan

kepada setiap penyelenggara negara untuk

mengartikulasikan nilai-nilai ketertiban, ketaatan pada

aturan, efisiensi, ekonomis, efektifitas, transparansi,

dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan

negara, dimana yang dimaksud dengan pengelolaan

adalah mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,

penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan

pertanggungjawaban.3

Khusus mengenai pengawasan sebagai bagian dari

elemen pengelolaan, dibentuk lembaga pengawasan

dengan berbagai klasifikasi sifatnya baik pengawasan

intern maupun pengawasan ekstern untuk menjalankan

fungsi dan kewenangan pengawasan itu dapat

ditemukan pada level konstitusional (UUD) maupun

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

B. KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI

KEUANGAN NEGARA

Sejak awal kedudukan keuangan negara yang sangat

vital dalam aktivitas kehidupan bernegara itu telah

disadari oleh para pendiri bangsa (the founding father

and mother) dengan mengatur perihal keuangan

negara ini kedalam Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal

Keuangan” yang terdiri satu pasal yakni Pasal 23.

96

2 Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 23 Mei 2013.

3 Nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang bertumpu pada good governance yakni pengelolaan keuangan Negara yang bernuansa solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta partisipatif. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2, hlm. 47

Page 104: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Terjadinya reformasi pada tahun 1998 yang salah satu

agendanya adalah perubahan konstitusi, maka materi

pengaturan dalam Bab VIII UUD 1945 yang sebelumnya

hanya terdiri dari satu pasal, kini mengalami diversifikasi

menjadi lima pasal dan bahkan pada Bab VIII UUD

1945 (lama) yang sebelumnya mengatur tentang

suatu Badan Pemeriksaan keuangan didalam Pasal

23 ayat (5), maka pada perubahan UUD 1945 ini

ditambahkan dengan Bab VIIIA tentang Badan

Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga buah pasal.

Transformasi dari negara hukum formil yang juga

disebut sebagai nachtwachterstaat atau negara jaga

malam menjadi negara hukum materil yang juga

disebut welfare state atau negara kesejateraan di

penghujung abad ke-20, maka menyejahterakan

rakyatnya merupakan tugas utama negara yang

harus dilakukan secara aktif dan dinamis.4 Hukum

keuangan negara di Indonesia juga berada pada alur

perkembangan ini.

Mengenai keuangan daerah, Peraturan Pemerintah

No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, memberi

definisi:

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban

Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah

Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di

dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam

kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(Pasal 1 angka 1).

Konsepsi yang demikian tidaklah terpaut jauh dengan

kerangka definisi keuangan negara yang diatur tiga

tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara. Selain itu, memperbincangkan

diskursus keuangan daerah tidaklah bisa dipisahkan

dengan konstruksi hukum Pemerintahan Daerah

(local governance) yang diatur dalam UU Nomor 32

Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, karena

bagaimanapun, urusan keuangan daerah akan

menjadi local policy (kebijakan lokal/daerah).

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUKN, keuangan

negara didefinisikan sebagai:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian dalam Pasal 2 UUKN menegasakan bahwa

keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 1 ayat (1), meliputi :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan

dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas

layanan umum pemerintah negara dan membayar

tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara;

d. Pengeluaran negara;

e. Penerimaan daerah;

f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan

daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah

dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah

dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan

menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;

Menurut Jimly Asshiddiqie5, ruang lingkup keuangan

negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal (2)

UUKN tersebut terjadi perluasan pengertian keuangan

4 Lihat Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 28-30 . Lihat juga E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, hlm.21

97

5 Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 196-197

Page 105: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

negara. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 23E

ayat (2) UUD 1945 pada Perubahan Ketiga yang

menentukan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan

negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai

dengan kewenangannya”. Padahal, pada ketentuan

sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup

hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR

dibidang pengawasan keuangan.

Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung

maksud untuk memperluas pengertian keuangan

negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak

terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga

dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) di daerah-daerah.

Dengan demikian, keuangan daerah merupakan

bagian yang inheren dalam keuangan negara. Artinya

ketika membicarakan keuangan negara berarti secara

otomatis juga menyagkut didalamnya keuangan

daerah. Karena itu ruang lingkup dan asas-asas

pengelolaan keuangan daerah mengacu pada ruang

lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan negara.

Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara,

meliputi: Perencanaan keuangan negara; Pelaksanaan

keuangan negara; Pengawasan keuangan negara;

dan Pertanggung jawaban keuangan negara6.

C. PENGAWASAN TERHADAP KEUANGAN DAERAH

1. Pengertian dan Klasifikasi Pengawasan

Menurut W. Riawan Tjandra7 pengawasan

merupakan sarana untuk menghubungkan target

dengan realisasi setiap program/kegiatan/proyek

yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.

Berbagai pendapat ahli tentang pengawasan yang

di identifikasi oleh Syafiie8, antara lain Lyndal F.

Urwick yang mengartikan pengawasan adalah

upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan

peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi

yang telah dikeluarkan.

Bagi Sondang Siagian, pengawasan adalah proses

pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan

organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan

yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang

telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu

menurut George R Terry, pengawasan dapat

dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang

harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang

dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila

perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga

pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras

dengan standar.

Jika dikaitkan dengan pengawasan terhadap

keuangan negara maka berbagai pengertian di

atas mempertegas bahwa bahwa pengawasan

merupakan ruang lingkup yang tidak bisa

dipisahkan dari pengelolaan keuangan negara

secara keseluruhan. Artinya pengawasan

merupakan unsur yang integral dalam proses

pengelolaan keuangan negara, sehingga

pengelolaan keuangan negara itu dapat sesuai

dengan yang direncanakan.

Berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan,

Fachruddin9, mengklasifikasikan pengawasan

sebagai berikut:

1. Pengawasan dipandang dari “kelembagaan”

yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol,

dapat diklasifikasikan atas:

98

6 Lihat Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 15

7 W. Riawan Tjandra, 2006. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm. 130

8 Syafiie, dalam Ibid, hlm. 131

9 Dalam Ibid, hlm. 133-135

Page 106: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Kontrol intern (internal control),

pengawasan yang dilakukan oleh suatu

badan/organ yang secara struktural masih

termasuk organisasi dalam lingkungan

pemerintah. Bentuk kontrol semacam ini

dapat digolongkan sebagai jenis kontrol

tekhnis-administratif atau built-in control;

b. Kontrol ekstern (external control),

pengawasan yang dilakukan oleh badan/

organ yang secara struktur organisasi berada

di luar pemerintah dalam arti eksekutif.

2. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan

pengawasan, meliputi hal-hal berikut:

a. Kontrol a-priori, pengawasan dilakukan

sebelum dilakukan tindakan atau

dikeluarkannya suatu keputusan atau

ketetapan pemerintah atau peraturan

lainnya yang menjadi wewenang

pemerintah. Kontrol a-priori mengandung

unsur pengawasan preventif yaitu untuk

mencegah atau menghindarkan terjadinya

kekeliruan;

b. Kontrol a-pasteriori, pengawasan dilakukan

sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau

ketetapan pemerintah atau sesudah

terjadinya tindakan pemerintah.

Pengawasan ini mengandung bentuk

pengawasan represif yang bertujuan

mengoreksi tindakan yang keliru.

3. Pengawasan dipandang dari aspek yang

diawasi, dapat diklasifikasi atas:

a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas),

pengawasan dimaksudkan untuk menilai

segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid).

Kontrol peradilan atau judicial control

secara umum masih dipandang sebagai

pengawasan segi hukum (legalitas)

walaupun terlihat adanya perkembangan

baru yang mempersoalkan pembatasan

itu;

b. Pengawasan dari segi “kemanfaatan”

(opportunitas), pengawasan dimaksudkan

untuk menilai segi kemanfaatan

(doelmatigheid). Kontrol internal secara

hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian

segi hukum (rechtmatigheid) sekaligus segi

kemanfaatan (opportunitas).

4. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan

dapat dibedakan atas:

a. Pengawasan “negatif repressif”,

pengawasan yang dilakukan setelah suatu

tindakan dilakukan;

b. Pengawasan “negatif preventif” atau

positif, pengawasan yang dilakukan dengan

cara badan pemerintah yang lebih tinggi

menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah

yang lebih rendah.

5. Disamping itu, masih dipandang dari cara

pengawasan dengan mengutip pendapat

Hertogh, pengawasan dapat dibedakan pula

atas:

a. Pengawasan unilateral (unilateral control),

pengawasan yang penyelesaiannya secara

sepihak dilakukan oleh pengawas;

b. Pengawasan refleksif (reflexive control),

pengawasan yang penyelesaiannya

dilakukan melalui proses timbal balik melalui

dialog dan negosiasi antara pengawas dan

yang diawasi.

2. Pengawasan Internal

Dalam ayat (1) dan (2) Pasal 58 UU No. 1 tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN)

ditentukan bahwa:

(1)Dalam rangka meningkatkan kinerja,

transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan

keuangan negara, Presiden selaku Kepala

Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan

sistem pengendalian intern di lingkungan

pemerintah secara menyeluruh.

99

Page 107: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(2)Sistem pengendalian intern sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

peraturan pemerintah.

Ketentuan pasal ini memiliki setidak-tidaknya dua

makna penting dalam pengelolaan keuangan

negara. Pertama, pengaturan tentang perlunya

keberadaan sistem pengendalian intern untuk

meningkatkan kinerja, transparansi, dan

akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Kedua, memberikan kewenangan atribusi bagi

Presiden sebagai kepala pemerintah untuk

mengatur dan menyelenggarakan sistem

pengendalian intern di lingkungan pemerintah

melalui peraturan pemerintah.

Sementara itu, berdasarkan penjelasan Pasal 58

Ayat (1) UUPN bahwa Menteri Keuangan selaku

Bendahara Umum Negara menyelenggarakan

sistem pengendalian intern di bidang

perbendaharaan, Menteri/pimpinan lembaga

selaku pengguna anggaran/pengguna barang

menyelenggarakan sistem pengendalian internal

bidang pemerintahan masing-masing, dan

Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut

dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern

di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Terkait dengan itulah maka diterbitkan Peraturan

Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagai

amanat Pasal 58 Ayat (2) UUPN. Dimana dalam

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3)

Peraturan Pemerintah tentang SPIP itu disebutkan

bahwa :

(1)Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang

integral pada tindakan dan kegiatan yang

dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan

dan seluruh pegawai untuk memberikan

keyakinan memadai atas tercapainya tujuan

organisasi melalui kegiatan yang efektif dan

efisien, keandalan pelaporan keuangan,

pengamanan aset negara, dan ketaatan

terhadap peraturan perundang-undangan.

(2)Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang

selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem

Pengendalian Intern yang diselenggarakan

secara menyeluruh di lingkungan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah.

(3)Pengawasan Intern adalah seluruh proses

kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan,

dan kegiatan pengawasan lain terhadap

penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi

dalam rangka memberikan keyakinan yang

memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan

sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan

secara efektif dan efisien untuk kepentingan

pimpinan dalam mewujudkan tata

kepemerintahan yang baik.

Selanjutnya untuk menopang sistem pengendalian

intern ini maka Peraturan Pemerintah No. 60

Tahun 2008 tentang SPIP mengisyaratkan adanya

berbagai aparat pengawas intern pemerintah

(APIP)10, yakni, Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP,

Inspektorat Jenderal atau nama lain Inspektorat

Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.

a. Inspektorat Propinsi dan Inspektorat

Kabupaten/Kota

Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60

Tahun 2008 tentang SPIP juga mengisyaratkan

adanya Inspektorat Provinsi dan Inspektorat

Kabupaten/Kota sebagai aparat pengawas intern

di daerah (Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Dalam

Pasal 1 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah

tentang SPIP ini, ditegaskan bahwa, Inspektorat

Provinsi adalah aparat pengawasan intern

pemerintah yang bertanggung jawab langsung

kepada Gubernur sedangkan Inspektorat

Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern

pemerintah yang bertanggung jawab langsung

kepada bupati/walikota.

100

10 Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

Page 108: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan

terhadap seluruh kegiatan dalam rangka

penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja

perangkat daerah provinsi yang didanai dengan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

provinsi. Sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota

melakukan pengawasan terhadap seluruh

kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas

dan fungsi satuan kerja perangkat daerah

kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota11.

Sementara itu dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2005 tentang

Pedoman pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ditegaskan

bahwa:

1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan

di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas

Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan

kewenangannya.

2. Aparat Pengawas Intern Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

Inspektorat Jenderal Departemen, Unit

Pengawasan Lembaga Pemerintah Non

Departemen, Inspektorat Provinsi, dan

Inspektorat Kabupaten/Kota.

3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat

pengawas pemerintah.

4. Pejabat pengawas pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh

Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga

Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat,

oleh Gubernur ditingkat provinsi, dan oleh

Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan,

pemindahan, pemberhentian dan peningkatan

kapasitas pejabat pengawas pemerintah daerah

diatur dengan peraturan Menteri.

Dalam Pasal 25 PP No. 75 Tahun 2005 tersebut

menentukan bahwa Inspektur Provinsi dalam

pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab

kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam

pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab

kepada Bupati/ Walikota. Inspektur Provinsi dalam

pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,

mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah

Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam

pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,

mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota.

3. Pengawasan Eksternal

a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Secara historis, cikal bakal gagasan

pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan

berasal dari Raad Van Rekenkamer pada

zaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai

external auditor terhadap kinerja keuangan

pemerintah.

Dalam Pasal 23E UUD NRI 1945, ditegaskan

bahwa BPK adalah lembaga yang bebas dan

mandiri yang berwenang untuk memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab tentang

keuangan negara12. Dimana hasil pemeriksaan

keuangan negara itu diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah13.

Kedudukan BPK yang bebas dan mandiri ini

selaras dengan salah satu asas pengelolaan

keuangan negara yakni asas pemeriksaan

keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas

dan mandiri sebagai asas yang memberikan

101

11 Lihat Pasal 49 Ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

12 Lihat Pasal 23E Ayat (1) UUD NRI 1945: “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”

13 Lihat Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI 1945: “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya”.

Page 109: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kebebasasn bagi badan pemeriksa keuangan

untuk melakukan pemeriksaan keuangan

negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh

siapapun.

Selain itu, kedudukan kelembagaan BPK ini

sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan

legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan

dengan fungsi pengawasan yang dijalankan

oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan

demikian, laporan hasil pemeriksaan yang

dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau

disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.

Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI yang disahkan

pada perubahan ketiga ini secara drastis

memperluas pengertian keuangan negara.

Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil

pemeriksaan keuangan itu cukup hanya

diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri

merupakan partner DPR dibidang pengawasan

keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini

sudah terkandung maksud untuk memperluas

pengertian keuangan negara yang harus

diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas

hanya dalam hubungannya dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi

juga dengan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) di daerah-daerah.14

Dari jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas

BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga

perluasan yang dapat dicatat disini15. Pertama,

perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan

APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan

APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan

dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua,

perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang

dilakukan tidak saja dilaporkan PRD di tingkat

pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD

Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.

Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga

atau badan/badan hukum yang menjadi objek

pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelum

hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau

pemerintahan yang merupakan subjek hukum

tata negara dan/atau subjek hukum administrasi

negara meluas sehingga mencakup pula organ-

organ yang merupakan subjek hukum perdata

seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun

perusahaan swasta dimana di dalamnya

terdapat kekayaan negara.

Dalam BAB III Undang-Undang No. 15 Tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa diatur ketentuan

mengenai tugas dan wewenang BPK. Pada

Pasal 6 Ayat (3) ditegaskan bahwa Pemeriksaan

BPK mencakup pemeriksaan keuangan,

pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan

tujuan tertentu. Penjelasan umum Undang-

Undang No. 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara menguraikan tentang

lingkup kewenangan BPK untuk melakukan 3

(tiga) jenis pemeriksaan, yakni:

1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan

atas laporan keuangan pemerintahan pusat

dan pemerintahan daerah. Pemeriksaan

keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam

rangka memberikan pernyataan opini

tentang tingkat kewajaran informasi yang

disajikan dalam laporan keuangan

pemerintah.

2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan

atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta

pemeriksaan atas aspek efektifitas yang

lazim dilakukan bagi kepentingan

manajemen oleh aparat pengawas intern

pemerintah. Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945

102

14 Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi ….op.cit. hlm. 196-197

15 Ibid

Page 110: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengamanatkan BPK untuk melaksanakan

pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan

negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk

mengidentifikasikan hal-hal yang perlu

menjadi perhatian lembaga perwakilan.

Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan

kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang

dibiayai dengan keuangan negara/daerah

diselenggarakan secara ekonomis dan efisien

serta memenuhi sasarannya secara efektif.

3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,

adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan

tujuan khusus, di luar pemeriksaan

keuangan dan pemeriksaan kinerja.

Termasuk dalam pemeriksaan atas hal-hal

yang berkaitan dengan keuangan dana

pemeriksaan investigasi.

Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan

kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan,

yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan

pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam

tahap perencanaan mencakup kebebasan

dalam menentukan objek yang akan diperiksa,

kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur

tersendiri dalam undang-undang atau

pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus

dari lembaga perwakilan.

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK

dapat mempertimbangkan informasi dari

pemerintah, bank sentral, dan masyarakat.

Informasi dari pemerintah termasuk dari

lembaga independen yang dibentuk dalam

upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan

nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan

Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk

hasil penelitian dan pengembangan kajian,

pendapat dan keterangan organisasi profesi

terkait, berita media massa, pengaduan

langsung dari masyarakat.

Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan

investigatif guna mengungkap adanya indikasi

kerugian negara/daerah/ atau unsur pidana.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur

pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut

kepada instansi yang berwenang sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan. Hasil

pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun

dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan

segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai.

Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat

menyusun laporan interim pemeriksa. Laporan

interim pemeriksa diterbitkan sebelum suatu

pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan

tujuan untuk segera dilakukan tindakan

pengamanan dan/atau pencegahan

bertambahnya kerugian. Pemeriksaan keuangan

akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja

akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan

rekomendasi sedangkan pemeriksaan dengan

tujuan tertentu akan menghasilkan rekomendasi.

Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat

diberikan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan

keuangan, yakni :

a. opini wajar tanpa pengecualian

(unqualified opinion)

b. opini wajar dengan pengecualian (qualified

opinion)

c. opini tidak wajar (adversed opinion)

d. pernyataan menolak memberikan opini

(disclaimer of opinion)

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan

keuangan pemerintah oleh BPK kepada DPRD

selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah

menerima laporan keuangan dari Pemerintah

Daerah. Selain disampaikan kepada DPRD,

laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan

oleh BPK kepada pemerintah.

103

Page 111: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Propinsi/Kabupaten/Kota

Pasal 292 dan 343 Undang-Undang No. 27

Tahun 2009 tentangMajelis Permusayawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (UU MD3), menegaskan bahwa

DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai

fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan;

Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka

representasi rakyat di provinsi/Kabupaten/kota.

Dalam Pasal 293 dan Pasal 344 UU MD3, DPRD

provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan

wewenang untuk melaksanakan pengawasan

terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan

anggaran pendapatan dan belanja daerah

provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan

suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang

DPRD adalah melaksanakan pengawasan

terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan

dan belanja daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Fungsi pengawasan terhadap pengelolaan

keuangan daerah yang dilakukan oleh memiliki

relasi yang erat dengan BPK, hal ini berkaitan

dengan perluasan lingkup keuangan negara

yang meliputi keuangan daerah dimana BPK

diberikan tanggung jawab utama untuk

melakukan audit (pemeriksaan) terhadap

pengelolaan keuangan negara, termasuk di

dalamnya keuangan daerah.

D. PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Di pandang dari sudut kelembagaan maka secara

yuridis dalam pengawasan keuangan daerah di

Indonesia dikenal dua macam bentuk pengawasan

yakni: Pengawasan Internal dan Pengawasan

Eksternal.

2. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan

untuk melakukan Pengawasan Internal terhadap

keuangan daerah adalah: Inspektorat Propinsi

dan Inspektorat Kabupaten/Kota.

3. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan

untuk melakukan pengawasan Eksternal terhadap

keuangan daerah adalah: Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

Saran

Dari uraian diatas maka beberapa hal yang dapat

disarankan adalah:

1. Perlunya peningkatan profesionalisme dalam

melakukan proses pengawasan baik secara

internal maupun secara eksternal oleh lembaga-

lembaga yang diberikan kewenangan.

2. Perlunya sinergitas dan koordinasi yang erat antar

berbagai lembaga pengawas sehingga proses

pengawasan dapat berlangsung secara

berkesinambungan dan tidak tumpang-tindih

(overlapping).

3. Perlunya membuka ruang partisipasi masyarakat

secara demokratis dalam proses pengawasan atas

pengelolaan keuangan negara.

104

Page 112: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 20 Februari

2010.

Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari

Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan,

Volume 10, Nomor 2.

Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

RI, Jakarta.

Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta.

Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006.

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, 1960.

DAFTAR PUSTAKA

105

Page 113: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 114: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

15/1/PBI/2013 18 Februari 2013 DPIP Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan

107

Page 115: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 116: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013

109

Tanggal Satker PerihalPeraturan

15/1/DPNP 15 Januari 2013 DPNP Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

15/2/DPNP 04 Februari 2013 DPNP Kepemilikan Tunggal pada

15/3/DPM 28 Februari 2013 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiahkepada Bank.

15/4/DPNP 06 Maret 2013 DPNP Kepemilikan Saham Bank Umum

15/5/DSM 06 Maret 2013 DSM Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

15/6/DPNP 08 Maret 2013 DPNP Kegiatan Usaha Bank Umum

15/7/DPNP 08 Maret 2013 DPNP Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan ModalInti

15/8/DPbS 27 Maret 2013 DPbS Pembukaan Jaringan Kantor BUS dan UUS Berdasarkan ModalInti

15/9/DSM 27 Maret 2013 DSM Penerimaan Devisa Hasil Eksport

15/10/DPNP 28 Maret 2013 DPNP Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) BankUmum yang Disampaikan kepada BI.

15/11/DPNP 08 April 2013 DPNP Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum

15/12/DASP 08 April 2013 DASP Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana danPenatausahaan Surat Utang Negara

15/13/DASP 12 April 2013 DASP Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran denganMenggunakan Kartu dan Uang Elektronik oleh BPR danLembaga

15/14/DPNP 24 April 2013 DPNP Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 PerihalLaporan Berkala BankUmum

15/15/DPNP 29 April 2013 DPNP Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum

Page 117: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

110

Tanggal Satker PerihalPeraturan

15/16/DInt 29 April 2013 DInt Perlaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri

15/17/DInt 29 April 2013 DInt Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan

15/18/DASP 30 April 2013 DASP Perubahan Atas SEBI No. 11/13/DASP tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nilai Nominal Nota Debit dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 118: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Tentang Lembaga Pengelola

Informasi Perkreditan

Berlaku : Sejak tanggal 18 Februari 2013

Latar Belakang

Sejak tahun 1975, Bank Indonesia telah mengelola informasi perkreditan dalam rangka mendukung pelaksanaan

tugas sebagai otoritas moneter dan perbankan, serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung

kelancaran penyaluran penyediaan dana dan manajemen risiko. Penyediaan informasi perkreditan oleh Bank Indonesia

masih terbatas pada produk informasi yang bersifat standar, dengan cakupan data mayoritas dari perbankan dan beberapa

lembaga keuangan non bank.

Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif

dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Sebagaimana international best

practices, pada umumnya produk informasi perkreditan yang lebih komprehensif disediakan oleh pengelola informasi

perkreditan yang dikelola swasta (private credit bureau).

Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan

oleh swasta yang selanjutnya akan dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Melalui LPIP,

nantinya diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan yang lebih komprehensif akan terpenuhi,

sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem

keuangan.

Pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013

a. Persyaratan bagi pihak yang akan mendirikan LPIP, antara lain:

1) Badan hukum LPIP wajib berbentuk Perseroan Terbatas;

2) Modal disetor LPIP minimal Rp50 Milyar;

3) Kepemilikan saham maksimal oleh satu pihak adalah ≤ 51%; dan

4) Pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP adalah badan hukum Indonesia.

b. Tahapan perizinan LPIP yaitu dibagi menjadi 2 (dua): persetujuan prinsip dan izin usaha.

c. Jenis kegiatan usaha LPIP yaitu menghimpun dan mengolah data perkreditan dan/atau data lainnya untuk menghasilkan

informasi perkreditan.

d. Persyaratan pengurus LPIP antara lain minimal 1 Direktur LPIP memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai

informasi perkreditan.

111

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013

Page 119: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

e. Sumber data LPIP yaitu data perkreditan dan/atau data lainnya, baik yang bersumber dari lembaga keuangan maupun

non lembaga keuangan.

f. Pengelolaan data yang dilakukan LPIP, dimana LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga

akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Selain itu LPIP wajib menempatkan server dan database di

dalam wilayah Republik Indonesia.

g. Kewajiban LPIP untuk menyediakan informasi perkreditan yang mempunyai nilai tambah.

h. Pihak-pihak yang dapat diberikan informasi perkreditan adalah Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, LPIP

lain, Debitur atau Nasabah, dan/atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

i. Penanganan dan penyelesaian pengaduan khususnya kewajiban bagi LPIP untuk memiliki kebijakan dan prosedur

tertulis.

j. Pengawasan oleh BI terhadap LPIP mencakup on-site dan off-site. Pengawasan on-site dilakukan melalui pemeriksaan

langsung, sedangkan off-site dilakukan dengan analisa terhadap laporan-laporan yang disampaikan oleh LPIP kepada

BI.

k. Jenis-jenis laporan yang disampaikan LPIP meliputi: laporan bulanan, laporan semesteran, laporantahunan, rencana

bisnis tahunan, dan laporan insidentil lainnya.

l. Sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan LPIP berdasarkan PBI ini, yaitu tegurantertulis, kewajiban

pembayaran, dan pencabutan izin usaha.

112

Page 120: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi

Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

Berlaku : Tanggal 15 Januari 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan pengaturan kembali dari SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari

2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Latar belakang dan tujuan penerbitan SE BI ini adalah

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi informasi, meningkatkan good governance, dan mendorong

persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang

lebih baik.

2. Pokok-pokok pengaturan kembali dalam SE BI ini meliputi antara lain:

a. Penambahan segmen kredit baru di dalam pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni SBDK

kredit mikro. Kredit mikro adalah kredit yang disalurkan kepada usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro

berdasarkan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

b. Terdapat penegasan bahwa SBDK merupakan suku bunga terendah yang dipergunakan sebagai indikator besaran

suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh Bank kepada nasabah.

c. Semua Bank umum konvensional wajib mempublikasikan SBDK ke masyarakat serta melaporkan tabel komponen

perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia.

d. Sebagai salah satu bentuk edukasi dan transparansi kepada nasabah, Bank wajib memberikan informasi mengenai

SBDK dan suku bunga kredit dalam surat pemberitahuan persetujuan kredit (offering letter) atau dokumen

lainnya kepada calon debitur sebelum penandatanganan perjanjian kredit.

e. Publikasi SBDK melalui surat kabar dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni,

September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan yang bersangkutan.

f. Kewajiban pelaporan dan publikasi SBDK memiliki masa transisi sebagai berikut:

1. Bagi Bank yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih pada

posisi akhir bulan Desember 2012 dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), kewajiban pelaporan dan

kewajiban publikasi untuk segmen kredit mikro dilakukan sejak posisi akhir bulan Februari 2013.

2. Bagi Bank yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada

posisi akhir bulan Desember 2012 dalam LBU, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan kewajiban

publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR)

dilakukan sejak posisi akhir bulan Juni 2013.

g. Dengan berlakunya SE BI ini maka SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi

Suku Bunga Dasar Kredit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013

113

Page 121: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/2/DPNP tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal

pada Perbankan Indonesia

Berlaku : Sejak tanggal 4 Februari 2013

Latar Belakang

Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada

Perbankan Indonesia, maka perlu diatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan penerapannya.

Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia

dengan cara merger atau konsolidasi, membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan, dan membentuk Fungsi

Holding.

Pokok-Pokok Pengaturan meliputi antara lain:

1. Terdapat 3 (tiga) opsi dalam melakukan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, yaitu:

a. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya.

b. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company/BHC).

c. Membentuk Fungsi Holding.

2. Bank Indonesia memberikan insentif dalam rangka merger atau konsolidasi untuk memenuhi kebijakan kepemilikan

tunggal pada perbankan Indonesia yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif

dalam rangka konsolidasi perbankan. Selain itu, juga diatur mengenai tata cara dan batas waktu pelaksanaan merger

atau konsolidasi, serta kewenangan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon

Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan/atau calon pengurus Bank hasil merger atau konsolidasi.

3. Pengaturan mengenai BHC, antara lain:

a. Tata cara dan batas waktu pelaksanaan pembentukan BHC dan pengalihan saham dari PSP kepada BHC.

b. Tugas BHC.

c. Permodalan BHC.

d. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang bertindak sebagai BHC.

e. Kewenangan Bank Indonesia untuk menyetujui atau menolak permohonan pembentukan BHC dan calon PSP

dan/atau pengurus BHC.

4. Pengaturan mengenai Fungsi Holding, antara lain:

a. Jenis PSP yang dapat membentuk Fungsi Holding, yaitu hanya PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia

dan instansi Pemerintah Republik Indonesia.

b. Tata cara dan batas waktu pembentukan Fungsi Holding.

c. Kewenangan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas pembentukan Fungsi Holding.

114

Page 122: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

5. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan

terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank,

termasuk melakukan pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan.

6. BHC dan Fungsi Holding menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia seperti:

a. program kerja strategis BHC atau Fungsi Holding.

b. Laporan pengawasan BHC atau Fungsi Holding terhadap Bank.

c. Laporan prudential lainnya.

7. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal

12 Desember 2007 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan : Surat Edaran No. 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah

kepada Bank

Berlaku : 18 Maret 2013

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal

Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam

transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah

yang dilakukan oleh pedagang valuta asing (PVA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia dalam

mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.

II. Penyempurnaan pengaturan meliputi:

1. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh PVA hanya dalam

bentuk uang kertas asing secara fisik. Penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut dapat

dilakukan melalui pemindahbukuan antar rekening.

2. Permintaan valuta asing oleh perusahaan penyelenggara transfer dana kepada bank dengan nilai nominal di atas

USD 100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan

underlying nasabah yang bukan merupakan PVA.

3. Penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan oleh PVA apabila melakukan

pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank.

4. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 18 Maret 2013, namun khusus ketentuan yang mengatur Pedagang Valuta

Asing diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2013.

115

Page 123: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan

Saham Bank Umum

Berlaku : Sejak tanggal 6 Maret 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No.14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.

2. Pokok-pokok pengaturan SE BI ini meliputi antara lain:

a. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham bank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan induk

diatur berikut ini.

1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Pemda yang akan mendirikan atau mengakuisisi bank dipersamakan

dengan batas kepemilikan bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% untuk masing-masing

Pemda.

2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Perusahaan Induk di bidang Perbankan yang dibentuk untuk

memenuhi PBI Kepemilikan Tunggal dikecualikan dari batas maksimum kepemilikan saham. Namun apabila

kemudian perusahaan induk tersebut akan melakukan akuisisi bank lainnya, maka batas maksimum kepemilikan

saham adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan

Indukdi bidang Perbankan tersebut.

b. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham

dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan dalam PBI Kepemilikan

Saham Bank Umum.

c. Setelah tanggal 31 Desember 2013, Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum

kepemilikan saham dapat meningkatkan kepemilikan saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham

Bank. Sedangkan bagi Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan

saham Bank dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan

sahamnya.

d. Pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum

kepemilikan saham, apabila perubahan pengendalian dimaksud berupa:

1. Perubahan pemegang saham Bank langsung atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT); dan/atau

2. Perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase

kepemilikan PSPT pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank.

e. Persyaratan khusus bagi calon PSP berupa WNA/badan hukum asing dan calon pemegang saham Bank yang

akan memiliki saham lebih dari 40% berupa penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal

Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian 1 (satu) tahun terakhir.

Sedangkan pemenuhan persyaratan peringkat investasi yang digunakan adalah posisi peringkat investasi paling

lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP bank.

116

Page 124: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

f. Pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada calon pemegang saham untuk memiliki saham bank lebih dari

40% dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Persetujuan untuk memiliki saham bank sebesar 40% terlebih dahulu;

2. Persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan

untuk meningkatkan kepemilikan saham apabila bank yang dimiliki memiliki TKS dan GCG 1 atau 2 selama

3 periode berturut-turut dalam periode 5 tahun.

g. Komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia bagi PSP asing, dikaitkan dengan prioritas

pembangunan Indonesia mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dikeluarkan

Bapenas.

h. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan asing atau lembaga keuangan asing yang akan memiliki

saham bank lebih dari 40% wajib mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal termasuk

rekomendasi bahwa otoritas home country PSP Bank akan mendukung kebijakan otoritas pengawas di tempat

kedudukan Bank (host country) di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja

Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank (host country).

i. Calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% wajib pula memiliki komitmen

untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang dimiliki jika Bank yang dimiliki

diperkirakan mengalami kesulitan memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko di masa yang akan datang.

j. Kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah

hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah paling lama akhir Desember 2028.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/5/DSM Tanggal 7 Maret 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan

Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

Berlaku : 7 Maret 2013

1. Surat Edaran Nomor 15/5/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri merupakan

ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 Tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas

Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.14/24/DSM tanggal 7 September 2012 perihal Pelaporan Kegiatan

Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank.

2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup:

a. Penyesuaian Batas Waktu Penyampaian Laporan (BWPL) dan Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan (BWPKL)

apabila hari terakhir jatuh pada hari Sabtu, Minggu, libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

menjadi hari kerja selanjutnya.

b. Perubahan sanksi denda maksimum untuk laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap dari semula Rp20.000.000,-

(dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).

117

Page 125: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Perubahan sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan dari semula Rp1.000.000,- (satu juta Rupiah) setiap

hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah) menjadi Rp500.000,- (lima

ratus ribu Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah).

d. Perhitungan hari keterlambatan yang semula berdasarkan hari kalender menjadi hari kerja.

e. Perubahan sanksi denda tidak menyampaikan laporan dari semula Rp20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah)

menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).

f. Subjek sanksi denda dikenakan kepada pelapor yang sudah melewati 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian

laporan pertama.

g. Perubahan rekening pembayaran sanksi denda pelaporan dari rekening kas negara menjadi rekening Bank Indonesia.

h. Perubahan batas waktu penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda dari semula akhir

bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima pelapor menjadi akhir bulan berikutnya setelah tanggal

penerbitan surat penetapan sanksi.

3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2013 dan berlaku surut sejak pelaporan data

PL bulan Desember 2012 yang disampaikan pada bulan Januari 2013.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/6/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Kegiatan Usaha Bank

Umum berdasarkan Modal Inti

Berlaku : Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan:

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/26/PBI/2012

tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mewajibkan

Bank melakukan identifikasi dan menyampaikan action plan atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan

kelompok kegiatan usaha Bank berdasarkan modal inti (BUKU) serta mengajukan permohonan untuk memperoleh

persetujuan sebelum menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang bukan merupakan produk dan aktivitas

dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi.

Substansi Pengaturan:

1. Bank dapat melakukan kegiatan usaha berupa penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai cakupan produk

dan aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU. BUKU dibedakan menjadi 4 kelompok, BUKU 1 sampai dengan

BUKU 4. Semakin tinggi modal inti Bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat

diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilaksanaakan oleh Bank.

2. Penerbitan produk dan aktivitas baru Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU;

b. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau aktivitas yang belum pernah dilaksanakan

sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan

produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut;

118

Page 126: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan

persetujuan dari Bank Indonesia;

d. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau

memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia;

dan

e. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk

atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan

manajemen risiko bagi Bank Umum.

3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia adalah produk atau aktivitas yang

bukan merupakan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi antara lain meliputi:

a. Penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang dan atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas, serta sekuritisasi

aset;

b. Aktivitas treasury berupa structured product dan credit derivative;

c. Keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance, kustodian, wali amanat, dan trust; dan

d. Kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelengaraan kliring, penyelenggara Alat Pembayaran dengan

Menggunakan Kartu (APMK) dan penyelenggara Uang Elektronik (e-money), phone banking, SMS banking, mobile

banking, dan internet banking.

4. Produk atau aktivitas baru yang tidak wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia antara lain meliputi:

a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan,

sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima serta penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat

berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank lain;

b. aktivitas penjualan produk-produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Utang

Negara (SUN) dan aktivitas agen penjual Obligasi Ritel Indonesia (ORI);

c. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksa Dana pendapatan tetap, penempatan pada

SBI, dan pembelian surat berharga korporasi;

d. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain Penempatan antar Bank,

penerimaan pinjaman antar Bank;

e. penerimaan pinjaman dari pihak lain, misalnya pinjaman antar Bank dan pinjaman dari non Bank seperti lembaga

multilateral; dan

f. pengembangan dari produk atau aktivitas konvensional yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya

oleh Bank.

5. Tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pencantuman rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang belum pernah diterbitkan atau

dilaksanakan oleh Bank dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan penerbitan atau pelaksanaan

aktivitas baru;

b. Pengajuan permohonan Persetujuan Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas paling lambat 60 (enam puluh)

hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan

c. Pengajuan laporan Realisasi Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas Baru kepada Bank Indonesia paling

lama 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan.

119

Page 127: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

6. Bank wajib melakukan identifikasi terhadap produk atau aktivitas Bank yang telah diterbitkan atau dilaksanakan tetapi

tidak menjadi cakupan produk atau aktivitas BUKU Bank. Selanjutnya, Bank harus menyampaikan rencana tindak

(action plan) atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan BUKU Bank yang dapat berupa:

a. Rencana penambahan Modal inti; atau

b. Rencana penyesuaian Kegiatan Usaha.

7. Rencana tindak wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dan Bank

Indonesia melakukan penilaian atas rencana tindak Bank. Berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia, Bank wajib

melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan

Juni 2013.

8. Bank wajib melakukan penambahan Modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha yang mencakup produk dan

aktivitas, kegiatan valuta asing, dan kegiatan Penyertaan Modal paling lama:

a. 3 (tiga) tahun sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui oleh Bank Indonesia; atau

b. 5 (tahun) sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui Bank Indonesia, bagi Bank yang dimiliki Pemerintah

Daerah.

9. Bab Peralihan dalam SE ini diatur antara lain mengenai:

a. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada

akhir bulan Desember 2012.

b. Bagi Bank yang sebelum berlakunya SE Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai

dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian

Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia.

c. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi

persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013.

d. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu

memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan

bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar

penyesuaian BUKU Bank.

e. Informasi yang harus disampaikan dalam Rencana tindak pemenuhan Modal Inti dan Rencana tindak penyesuaian

Kegiatan Usaha adalah sebagaimana diatur dalam SE BI ini.

f. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan SE Bank Indonesia ini

wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa

harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk

atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank.

g. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi

persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU, namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk

tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau

mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan

LPS.

10.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dengan berlakunya SE Bank Indonesia ini, maka SE Bank Indonesia

No.11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku.

120

Page 128: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/7/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Pembukaan

Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti

Berlaku : Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan:

• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012

tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

• SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang

memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank

(Theoretical Capital). Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk

melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan

pembangunan nasional.

Substansi Pengaturan:

1. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai

dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank Umum dan pemerataan pembangunan dalam masing-

masing zona.

2. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk

setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling

jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh.

3. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk

masing-masing Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari

BUKU 1 dan 2.

4. Bank Umum memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada

(existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru.

5. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan

alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September.

6. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana

Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.

7. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan

jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi

Modal Inti.

121

Page 129: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan

Kantor apabila Bank menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20%

dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio kredit.

9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai

lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit kepada UMKM

paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio kredit, dan melakukan pemupukan modal.

10.Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) untuk menetapkan

jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank.

11.Perhitungan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan

Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September.

12.Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM

dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank

mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.

13.Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3

atau BUKU 4 diatur sebagai berikut:

a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC

(kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau

b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan

1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6.

14.Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan

ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat

melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4.

15.Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah

dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan

kantor pusatnya.

16.Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang

Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor

pusat di provinsi hasil pemekaran.

17.Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku,

dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut.

18.Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan

alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi

RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.

122

Page 130: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

19.Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan

Desember 2012.

20.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan

Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti

Berlaku : Tanggal 27 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan:

• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012

tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

• SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang

memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank

(Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. Selain itu,

dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah

yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.

Substansi Pengaturan:

1. SE ini berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).

2. Delivery channel dan layanan syariah tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank.

3. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai

dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing

zona.

4. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk

setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling

jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh.

5. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk

masing-masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1

dan 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi

induknya.

6. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing)

dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. Yang dimaksud dengan kantor Bank yang sudah ada

(existing) adalah kantor yang telah berdiri kurang atau sama dengan 2 (dua) tahun. Perhitungan alokasi Modal

Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.

123

Page 131: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

7. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan

alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September.

8. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana

Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.

9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan

jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi

Modal Inti.

10.Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan

Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah

20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan. Penilaian

pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah

penyaluran pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional

yang menjadi induknya secara konsolidasi.

11.Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai

lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan pembiayaan kepada

UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan, dan melakukan

pemupukan modal.

12.Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM) untuk menetapkan

jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi (rasio BOPO

dan Net Interest Margin) dihitung menggunakan pencapaian rasio efisiensi UUS dan Bank Umum Konvensional yang

menjadi induknya secara konsolidasi.

13.Perhitungan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana

Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September.

14.Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada

UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada

saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia

15.Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3

atau BUKU 4 diatur sebagai berikut:

a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC

(kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau

b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan

1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6.

16.Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud dalam angka 15 untuk Bank

Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:

124

Page 132: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP

berupa KC atau KCP konvensional atau syariah.

b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah.

17.Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan

ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat

melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4.

18.Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah

dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan

kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran

wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada

Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran.

19.Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku,

dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut.

20.Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan

alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi

RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.

21.Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan

Desember 2012.

Peraturan : Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor

Berlaku : 27 Maret 2013

Ringkasan :

1. Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor merupakan ketentuan pelaksanaan dari

Peraturan Bank Indonesia No.14/25/PBI/2012 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang

Luar Negeri.

2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini mencakup:

a. Istilah/terminologi yang umum dalam perdagangan internasional didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan

umum, seperti operational leasing, financial leasing, dan usance L/C.

b. Aturan tentang kewajiban penerimaan DHE termasuk pemberian contoh-contohnya, seperti penerimaan DHE

tidak wajib dikonversi ke rupiah dan penerimaan DHE dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dari yang

tercantum di PEB.

125

Page 133: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Ketentuan mengenai penyampaian data, keterangan, dan informasi berikut contohnya, antara lain nilai DHE

yang disampaikan dalam laporan rincian transaksi ekspor adalah nilai setelah memperhitungkan biaya-biaya,

cara penghitungan selisih kurang antara nilai DHE dan nilai PEB, serta jenis dokumen pendukung yang harus

disampaikan eksportir.

d. Penghitungan dan mekanisme pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE kepada

eksportir, seperti penyampaian surat pemantauan penerimaan DHE kepada eksportir/pemilik barang terkait belum

terpenuhinya ketentuan penerimaan DHE sebelum dikeluarkannya surat pengenaan sanksi serta penyampaian

tembusan surat pengenaan sanksi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta instansi terkait.

e. Tatacara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor, yaitu antara lain berupa bukti-bukti yang

harus disampaikan eksportir serta kegiatan verifikasi oleh Bank Indonesia atas bukti-bukti tersebut.

3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 2013.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomer 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan

Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank

Indonesia

Berlaku : Sejak tanggal 28 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan:

• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/17/PBI/2012

tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust).

• SE ini mengatur bahwa Bank wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha penitipan dengan pengelolaan secara

berkala untuk setiap kantor unit kerja Trustee kepada Bank Indonesia.

• SE ini memberikan pedoman penyusunan laporan kegiatan Trust kepada seluruh Bank Umum.

Substansi Pengaturan:

1. Pokok-pokok pengaturan SE ini adalah mengenai mekanisme, format dan bentuk laporan yang disertai petunjuk

teknis penyusunan laporan kegiatan Trust.

2. Laporan yang disampaikan paling kurang mencakup informasi mengenai:

a. Sumber Daya Manusia unit kerja Trustee

b. Perjanjian Trust dan Settlor.

c. Kegiatan Trust.

d. Posisi Aset dan Kewajiban Trust.

3. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

126

Page 134: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek Bagi Bank Umum

Berlaku : Tanggal 8 April 2013

Latar Belakang Pengaturan:

• Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No.14/16/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

• SE BI ini mengatur FPJP terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan,

persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan

penggunaan FPJP.

• Pada saat SE BI ini mulai berlaku, SE BI No.10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka

Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Substansi Pengaturan:

I. Persyaratan FPJP

1. Umum

a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP adalah Bank yang:

1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek

2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi

3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal

sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.

b. FPJP diberikan sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai

dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan

oleh Bank.

c. Pencairan FPJP sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan

jangka waktu FPJP.

d. Jangka waktu FPJP:

1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 hari kalender.

2) Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan

paling lama 90 hari kalender.

e. Biaya bunga FPJP sebesar tingkat suku bunga Lending Facility ditambah 100 basis poin.

2. Agunan FPJP

a. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik Bank berupa SBI, SBIS, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit.

b. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal:

1) Bank memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau

2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN.

127

Page 135: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal:

1) Bank memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan

FPJP; atau

2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi.

II. Pengajuan FPJP

1. Permohonan FPJP. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana

kebutuhan FPJP pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB.

2. Permohonan perpanjangan FPJP. Apabila pada saat FPJP jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJP,

Bank dapat memperpanjang FPJP dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJP sesuai kebutuhan.

3. Permohonan Penambahan Plafon FPJP. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJP Bank dapat mengajukan

penambahan plafon FPJP sesuai kebutuhan, dengan ketentuan:

a. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJP;

b. Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan

c. Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko.

III. Perhitungan Nilai Agunan FPJP

1. Agunan berupa SBI dan/atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJP.

2. Agunan berupa SBN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJP,

3. Agunan berupa Obligasi Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar:

a. 120% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas.

b. 135% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat teratas.

c. 140% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat kedua teratas.

d. 145% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas.

4. Agunan berupa Aset Kredit

a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai baki debet Aset Kredit 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan

FPJP.

b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon

FPJP yang dijamin dengan Aset Kredit.

IV. Persetujuan FPJP

Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP dalam hal:

1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau

perpanjangan FPJP.

2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan

perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.

128

Page 136: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

V. Pelaksanaan Pemberian FPJP

1. Pencairan FPJP. Dalam hal permohonan FPJP disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJP sebesar

kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi

plafon FPJP yang disetujui.

2. Pemantauan FPJP

a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas

Bank pada setiap akhir hari kerja.

b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJP.

c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJP

secara harian.

d. Penghentian pencairan FPJP. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJP dalam hal:

1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil resiko Bank

2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut:

a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP.

b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan.

e. Pengakhiran FPJP, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJP dalam hal:

1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJP sehingga nilai sisa plafon

lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan.

2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut:

a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP setelah

jangka waktu berakhir; dan

b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya

atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJP.

VI.Pelunasan FPJP

1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJP saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi

kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut

sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJP.

2. Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan

mendahulukan pembayaran biaya bunga FPJP kemudian pelunasan pokok FPJP.

VII.Eksekusi Agunan FPJP

Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP dalam hal:

1. FPJP jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJP, atau perjanjian FPJP diakhiri; dan

2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi biaya bunga dan/atau nilai

pokok FPJP.

129

Page 137: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

VIII.Biaya FPJP

Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban Bank penerima FPJP, antara lain berupa:

1. biaya bunga FPJP sampai dengan FPJP dilunasi;

2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJP dan pengikatan agunan FPJP;

3. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi di otoritas

penatausahaan surat berharga dimaksud;

4. biaya proses eksekusi agunan;

5. biaya lainnya terkait pemberian FPJP.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/12/DASP tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat

Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

Berlaku : 8 April 2013

Ringkasan :

1. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara

Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing Di Pasar Perdana Domestik, maka untuk Surat Edaran Bank Indonesia

(SE BI) No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 tentang Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana dan

Penatausahaan Surat Utang Negara (SUN) perlu dilakukan perubahan. Perubahan ini disebabkan karena ketentuan

lama belum mengatur pelaksanaan lelang tambahan untuk SUN (Green shoe option).

2. Pengertian dari Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) adalah penjualan SUN di Pasar Perdana dalam mata uang

rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang.

3. Salah satu perubahan di dalam SE BI ini yaitu terhitung mulai tanggal 8 April 2013, kenaikan incremental bid yield

lelang SUN di pasar perdana akan berubah dari 1/32 akan menggunakan kelipatan 1/100.

4. Mekanisme setelmen atas hasil Lelang SUN dan/atau Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) sesuai dengan

sistem akan menggunakan opsi batal seluruhnya (gross to net).

5. Bank Indonesia mengadakan Lelang SUN Tambahan berdasarkan rencana Lelang SUN Tambahan yang ditetapkan

oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Lelang SUN Tambahan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB

sampai dengan pukul 12.00 WIB dan/atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Menteri cq. Direktur

Jenderal Pengelolaan Utang.

6. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur mengenai:

a. Tata cara lelang

1) Ketentuan dan persyaratan

2) Pelaksanaan lelang

3) Penentuan pemenang lelang

4) Pengumuman hasil lelang

130

Page 138: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Tata cara penatausahaan SUN

1) Setelmen hasil lelang

2) Setelmen hasil lelang buyback

3) Setelmen Obligasi Ritel Negara (ORI)

4) Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung

5) Prosedur pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok

6) Setelemen transaksi SUN di pasar sekunder

7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2013.

8. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal

Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah

diubah dengan SE BI No12/30/DASP tanggal 10 November 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik

(Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank

Berlaku : Sejak diterbitkan yaitu 12 April 2013 dan berlaku surut sejak tanggal 1 November 2012

Ringkasan :

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan karena adanya perubahan formulir dan penambahan jenis informasi yang

dilaporkan untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (Electronic

Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU).

2. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup:

a. ruang lingkup laporan;

b. format dan jenis laporan;

c. tata cara penyampaian laporan secara on-line dan off-line;

d. tata cara penyampaian laporan dalam hal terjadi gangguan teknis; dan

e. hak akses.

3. Perubahan formulir yang wajib disampaikan oleh pelapor yaitu:

a. Form 301 Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit;

b. Form 302 Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit;

c. Form 303 Laporan Bulanan Acquirer;

d. Form 304 Laporan Bulanan Infrastruktur;

e. Form 305 Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement);

f. Form 306 Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik (Electronic Money);

g. Form 307 Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit;

h. Form 309 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan

Permasalahan Yang Diadukan);

131

Page 139: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Form 310 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan Yang

Diselesaikan Dalam Masa Laporan);

j. Form 311 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan);

k. Form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan

l. Form 313 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa).

4. Penambahan jenis informasi yang wajib disampaikan oleh pelapor adalah informasi yang terkait dengan Uang

Elektronik (Electronic Money) bagi pelapor yang berupa Lembaga Selain Bank (LSB) yang menyelenggarakan kegiatan

Uang Elektronik (Electronic Money) yang dilaporkan melalui form:

a. Form 302, Form 306, Form 309, Form 310, Form 311, Form 312, Form 313 dalam hal LSB bertindak sebagai

Penerbit Uang Elektronik (Electronic Money).

b. Form 303, Form 304, dan Form 306 dalam hal LSB bertindak sebagai Acquirer Uang Elektronik (Electronic Money).

c. Form 305 dalam hal LSB bertindak sebagai Perusahaan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian

Akhir untuk Uang Elektronik (Electronic Money).

5. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.10/4/UKMI tanggal 8

Februari 2008 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank

Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/14/DPNP tanggal 24 April 2013 perihal Perubahan

Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan

Berkala Bank Umum

Berlaku : 24 April 2013

Ringkasan :

1. Penyempurnaan SE BI mengenai LBBU dilakukan dalam rangka:

a. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran

Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan

b. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku

Bunga Dasar Kredit.

2. Penyempurnaan dilakukan untuk formulir:

a. laporan risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) (Formulir 9.a), sesuai dengan SE BI No. 14/21/DPNP

tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman

Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan

Memperhitungkan Risiko Pasar.

Penyempurnaan tersebut meliputi penyelarasan dengan kategori portofolio dan bobot risiko terkait kategori

portofolio sesuai SE BI mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit.

132

Page 140: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

b. laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) (Formulir 14), sesuai dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari

2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit.

Penyempurnaan tersebut meliputi penambahan kolom informasi kredit mikro dan penghapusan baris informasi

terkait cadangan kerugian penurunan nilai.

3. Laporan terkait SBDK mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan April 2013, yang disampaikan pada periode

penyampaian I bulan Mei 2013, sedangkan Laporan terkait risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book)

mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan Juni 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Juli

2013.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan

Good Corporate Governance Bagi Bank Umum

Berlaku : Tanggal 29 April 2013

Latar Belakang Pengaturan:

Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Surat Edaran tersebut adalah terbitnya ketentuan mengenai Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) yang menetapkan Good Corporate

Governance (GCG) sebagai salah satu faktor dalam penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, sehingga perlu dilakukan

harmonisasi dengan ketentuan mengenai GCG yang telah ada sebelumnya.

Pokok-Pokok Pengaturan:

1. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank

Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.

2. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan

mengintegrasikan faktor-faktor penilaian ke dalam 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance

process, dan governance outcome.

3. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan

GCG dilakukan terhadap 11 (sebelas) Faktor Penilaian Pelaksanaan GCG, yaitu:

1) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;

2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;

3) kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite;

4) penanganan benturan kepentingan;

5) penerapan fungsi kepatuhan;

6) penerapan fungsi audit intern;

7) penerapan fungsi audit ekstern;

8) penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern;

9) penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures);

133

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Page 141: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

10)transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan GCG, dan pelaporan internal;

dan

11)rencana strategis Bank.

Selain kesebelas faktor tersebut, perlu diperhatikan pula informasi lainnya terkait penerapan GCG Bank.

4. Penilaian pelaksanaan GCG Bank dilakukan secara individual maupun secara konsolidasi.

5. Peringkat Faktor GCG ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat

4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat Faktor GCG yang lebih kecil mencerminkan penerapan GCG yang lebih baik.

6. Laporan Penilaian Sendiri (Self Assessment) Pelaksanaan GCG dalam Laporan Pelaksanaan GCG yang disampaikan

kepada Bank Indonesia dan stakeholders Bank lainnya disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan

Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir.

7. Bagi Bank yang memperoleh Peringkat GCG 3,4, atau 5 wajib menyampaikan action plan. Action plan disampaikan

sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank

Umum. Namun, Bank dapat menyampaikan action plan lebih awal, bersamaan dengan penyampaian Laporan

Penilaian (self assessment) Pelaksanaan GCG secara individual.

8. Laporan pelaksanaan action plan GCG berikut waktu penyelesaian dan kendala/hambatan penyelesaiannya (apabila

ada) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan action

plan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian Tingkat Kesehatan

Bank Umum.

9. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP, maka beberapa aturan di bawah ini dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku:

a. Surat Edaran BI No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank

Umum;

b. Lampiran III.4 Penilaian Faktor Good Corporate Governance (GCG) dalam Surat Edaran BI No.13/24/DPNP tanggal

25 Oktober 2011 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 Tanggal 29 April 2013 Perihal Pelaporan

Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri

Berlaku : sejak 29 April 2013

Ringkasan :

1. Surat Edaran BI No.15/16/DInt tanggal 29 April 2013 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank

Indonesia No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran

ini mencabut Surat Edaran No.13/1/DInt tanggal 20 Januari 2012 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri

yang hanya berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

134

Page 142: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran:

3. Sanksi administratif berupa denda mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada

bulan Februari 2014.

4. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka surat Edaran Bank Indonesia No. 13/1/DInt tanggal

20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri masih tetap berlaku untuk penyampaian Laporan

ULN sampai dengan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

135

Semula MenjadiNo.

A. Batas akhir Laporan Data Pokoko ULN dan/atau perubahannya serta laporan Data Rekapitulasi ULN.

B. Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan.

C. Pengenaan sanksi denda atas ketidaklengkapan dan/atau ketidak- benaran Laporan data rekapitulasi ULN berupa Realisasi dan Posisi ULN

D. Subjek sanksi denda

E. Pembayaran sanksi administratif berupa denda.

F. Kondisi force majeure

Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan untuk setiap pelapor dengan jumlah keseluruhan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).

Tidak diatur

Pelaporan baru

Ke rekening Kas Negara

Tidak diatur

Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah)

Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).

Pelapor yang sudah melewati 3 periode penyampaian laporan terhitung sejak pertama kali melapor

Ke rekening Bank Indonesia.

Disesuaikan dengan PBI 14/21/PBI/2012

Page 143: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan

Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri,

dan Informasi Keuangan

Berlaku : Sejak tanggal 29 April 2013

Ringkasan :

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan PBI No.14/21/PBI/2012 tanggal

21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang mengintegrasikan ketentuan Lalu

Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL).

2. Surat Edaran Bank Indonesia ini bertujuan untuk pengaturan teknis pelaporan kegiatan LLD, khususnya laporan

rencana utang luar negeri, perubahan rencana utang luar negeri, dan informasi keuangan, yang akan dilakukan

secara on-line mulai tanggal 1 Agustus 2013.

3. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini terdiri dari:

a. Jenis perusahaan yang menjadi pelapor

b. Cakupan laporan

c. Format laporan dan tata cara pelaporan

d. Penyampaian laporan

e. Tata cara pengenaan sanksi

f. Analisis manajemen resiko

4. Pokok-pokok pengaturan dalam SE BI ini mencakup:

136

PengaturanRuang lingkup

Cakupan laporan

Tata cara penyampaian laporan

1. Laporan rencana ULN jangka panjang untuk 1 thn berjalan terdiri dari:a. Laporan rencana ULN baru dan perpanjangan (roll over) ULN lamab. Analisis manajemen risikoc. Penilaian peringkat

2. Laporan Perubahan Rencana ULN, mencakup perubahan recana ULN dan analisis manajemen risiko

3. Informasi Keuangan mencakup:a. Laporan keuangan tahunanb. Laporan keuangan interim

Dilakukan secara Online, melalui website pelaporan seluruh kegiatan LLD: https://www.bi.go.id/lkpbuv2 (media offline hanya digunakan apabila terdapat gangguan teknis pada website pelaporan, yaitu dengan media email attachment, CD/flashdisk, atau media lainnya).

Page 144: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013.

5. Pengenaan sanksi mulai berlaku sejak pelaporan Rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat tanggal

15 Maret 2014.

6. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.12/37/DInt tanggal

23 Desember 2010 perihal Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator

Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/18/DASP tanggal 30 April 2013 perihal Perubahan Atas

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/13/DASP Tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nominal

Nota Debet Dan Transfer Kredit Dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.

Berlaku : Sejak 31 Mei 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran dan memberikan

alternatif layanan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan transfer kredit melalui Sistem Kliring Nasional

Bank Indonesia (SKNBI).

2. Perubahan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yaitu merubah batas nominal transfer kredit yang

dapat dikliringkan melalui Kliring Kredit dalam penyelenggaraan SKNBI yang sebelumnya paling banyak sebesar

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi menjadi paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah) per transaksi.

137

PengaturanRuang lingkup

Batas waktu penyampaian laporan

Toleransi keterlambatan

Sanksi

1. Laporan Rencana ULN jangka panjang disampaikan paling lambat tgl.15 Maret tahun berjalan.

2. Laporan Perubahan Rencana ULN disampaikan paling lambat tgl.1 Juli tahun berjalan.

3. Laporan Informasi Keuangan:a. Laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat tgl.15 Juni

tahun berjalan (untuk laporan tahunan periode Januari s.d. Desember tahun sebelumnya).

b. Laporan keuangan interim disampaikan paling lambat tgl.15 Desember (untuk laporan interim periode Januari s.d. Juni tahun berjalan)

Sejak batas waktu penyampaian laporan yang telah ditetapkan s.d. akhir bulan berjalan.

Pelapor yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan.

Page 145: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, … PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013 Keterkaitan Posisi Bank Indonesia

138

Halaman ini sengaja dikosongkan