buletin issn : 1693 - 3265 volume 11, nomor 3 ... buletin yang berbahagia, buletin hukum perbankan...

131
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013 Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013

Upload: vuque

Post on 02-May-2018

251 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia

Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum

Perbankan Indonesia

Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia

Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013

Page 2: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci

Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,

Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum

Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali
Page 4: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pembaca Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor

3, September-Desember 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.

Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,

Bank Indonesia telah melakukan berbagai penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin

menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yaitu mengenai

Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undnag-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Artikel ini disarikan dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Drs. Paripurna, SH, LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa

Tonralipu, SH, LLM; Veri Antoni, SH, MH dan Dian Agung Wicaksono, SH, LLM.

Selain itu, Buletin juga menurunkan artikel mengenai Foreign Account Tax Compliance (Fatca) Dan Tinjauan Singkat

Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia, yang ditulis oleh Fransiska Ari Indrawati, SH, LLM; Hak Milik Atas Rumah Sebagai

Jaminan Fidusia, yang ditulis oleh Dr. Urip Santoso, SH, MH; serta Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem

Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang, yang ditulis oleh Nadir, SH, MH.

Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai

dengan Desember 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2013

Redaksi

i

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali
Page 6: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia....................................................................................................................... 1 - 40

Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM;

Veri Antoni, S.H., M.Hum.; Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.

Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum

Perbankan Indonesia .............................................................................................................................. 41 - 53

Fransiska Ari Indrawati, S.H., LLM.

Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia ...................................................................................... 55 - 66

Dr. Urip Santoso, S.H., MH.

Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang................ 67 - 82

Nadir, S.H., MH.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013............ 83 - 86

Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013...... 87 - 124

Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

VOLUME 11, NOMOR 3, SEPTEMBER - DESEMBER 2013

iii

Page 7: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali
Page 8: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

1

KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Disusun oleh:1

Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM.

Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM.

Veri Antoni, S.H., M.Hum.

Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.

Abstrak

Keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,

jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan diri sebagai

pemrakarsa, dengan catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa

RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU

yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut BI memilih

jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat diajukan. Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan

dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu RUU. Derajat

ini berpegang pada definisi legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan

lembaga pemerintah non-departemen. Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan lembaga yang dapat mengusulkan

atau memprakarsai RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang kewenangan BI.

Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah

Konstitusi atas kerugian konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah

sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran

atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi

BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau

belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak

yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian

konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan

dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.

1 Dosen FH UGM

Page 9: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

A. Latar Belakang

Membahas mengenai Bank Indonesia (BI) sebagai

bank sentral, tentu tidak dapat dilepaskan dari desain

konstitusional yang menyatakan bahwa negara

memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya

diatur dengan UU.2 Hal tersebut menunjukkan adanya

pengakuan secara konstitusional terhadap eksistensi

bank sentral dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BI.

Pengaturan lebih lanjut mengenai bank sentral

“dengan undang-undang” (bij de wet geregeld)

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945) inilah yang sejatinya menjadi

konstruksi utama dalam memberikan arah pengaturan

mengenai bank sentral di Indonesia. Pengaturan lebih

lanjut inilah yang dapat mendudukkan dan

memberikan desain spesifik mengenai kewenangan,

kelembagaan, dan kedudukan bank sentral (Bank

Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Salah satu aspek utama dalam desain bank sentral

adalah terkait kemandirian bank sentral dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab

secara historis ketidakmandirian bank sentral

merupakan salah satu penyebab utama terjadinya

krisis ekonomi sebelum dilakukannya perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).3 Dalam

perjalanan selanjutnya, beriringan dengan proses

perubahan UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) juga melakukan proses penggantian

Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1968 tentang

Bank Sentral, yang memberi kedudukan kepada BI

sebagai pembantu pemerintah dalam melaksanakan

kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh

Dewan Moneter, sehingga BI pada saat itu merupakan

bagian integral dari pemerintah.4 Oleh karena itu,

DPR bersama Presiden akhirnya bersepakat

memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia

sebagai bank sentral melalui UU Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia.

Pemberian kemandirian kepada BI bertujuan agar BI

tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah. Namun,

dalam perjalanannya kemandirian BI yang diberikan

oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 direvisi melalui UU

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang

meredefinisi kemandirian BI dengan memberikan

pembatasan dalam hal melaksanakan tugas dan

kewenangannya. Hal ini dipandang penting sebab

diperlukan koordinasi yang lebih erat antara BI sebagai

pemegang otoritas moneter dengan Pemerintah

sebagai pemegang otoritas fiskal dan sektor riil dalam

rangka mewujudkan kestabilan nilai rupiah.5 Redefinisi

atas terminologi independensi BI dapat diartikan

sebagai bentuk degradasi level kemandirian BI sebagai

lembaga negara yang independen atau pula dimaknai

sebagai bentuk konkretisasi independensi.

Revisi kemandirian dan luasan cakupan “interaksi”

BI setidak-tidaknya dapat mempengaruhi kemandirian

BI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya

dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Di luar

pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, salah satu

bentuk “interaksi” tersebut adalah peran DPR dalam

penentuan anggaran BI berdasarkan Pasal 60 UU

Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir

dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), yang

menentukan bahwa anggaran operasional BI harus

dimintakan persetujuan dari DPR. Bahkan dalam

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

4. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

5. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

2 Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012, hlm. 1.

Page 10: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

perkembangan kekinian di tengah wacana adanya

revisi UU BI, DPR juga menghendaki adanya

persetujuan DPR terlebih dahulu dalam penetapan

anggaran kebijakan yang sebelumnya hanya wajib

dilaporkan secara khusus kepada DPR.

Bukan hanya itu, desain UU BI saat ini juga sangat

dominan aspek pengawasan dari DPR. Hal tersebut

dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (4) UU BI yang

mengatur bahwa kinerja Dewan Gubernur dan

Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. DPR juga

kemudian berwenang memberikan persetujuan

menurut Pasal 62 ayat (3) UU BI bilamana Pemerintah

hendak memberikan injeksi modal karena modal BI

kurang dari Rp2Trilyun. Tentu pengaturan mengenai

modal minimum BI merupakan hal yang tidak tepat

mengingat BI bukanlah commercial entity.

Beranjak dari permasalahan tersebut di atas, maka

perlu kemudian dimaknai kembali substansi

kemandirian yang dilekatkan kepada BI, yang mana

desain kemandirian tersebut sepenuhnya merupakan

pilihan kebijakan (legal policy) yang dituangkan

dengan UU khusus yang mengatur susunan,

kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan

independensi bank sentral. Sebagai lembaga negara

yang independen, yang bebas dari campur tangan

Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya.6

Menjadi hal yang harus ditelaah lebih lanjut untuk

melibatkan BI dalam proses pembentukan UU yang

mengatur lebih lanjut terkait kewenangan BI sebagai

bank sentral di Indonesia. Pelibatan BI semata dalam

kerangka menjaga konsistensi independensi bank

sentral sebagai lembaga negara yang diamanatkan

oleh konstitusi. Keterlibatan BI penting khususnya

dalam mengawal pembentukan UU yang terkait

dengan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung

jawab dan independensi agar kemudian substansi

UU tersebut koheren dan dapat diimplementasikan

dengan tepat oleh BI.

Peluang BI untuk dapat turut membahas RUU

sebenarnya terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi,

“Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang

pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika

materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan

lembaga negara atau lembaga lain.”7 Pasal a quo

membuka peluang BI untuk turut serta dalam tahap

pembicaraan tingkat I dalam pembentukan suatu

RUU yang substansi terkait dengan kewenangan

lembaga negara yang lain. Peluang tersebut menjadi

bernilai sangat politis karena frasa yang mengatur

hanya berbunyi “dapat diundang” dan bukan “harus

mengundang”. Padahal bila memang substansi yang

diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan

kewenangan lembaga negara yang lain sudah

sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib untuk

diundang, sehingga apa yang diatur dalam UU

tersebut sejalan dan dapat diimplementasikan oleh

lembaga yang terkait.

Sejatinya, keterlibatan bank sentral dalam proses

pengusulan RUU bukan lagi hal baru dalam konteks

kebanksentralan di dunia. Bank Sentral Cyprus (Cyprus

Central Bank/CCB) mengusulkan RUU terkait

restrukturisasi sektor perbankan yang terkena krisis,

yakni dengan merekomendasikan pengajuan

mendesak dan pemberlakuan segera menjadi UU

Reorganisasi dan Pemulihan Sistem Perbankan Cyprus

oleh Parlemen Cyprus.8 RUU tersebut akhirnya

7 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

8 Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

6 Bagian Konsiderans Menimbang huruf d dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

Page 11: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

disahkan oleh 26 suara, dengan 2 suara menolak

dan 25 abstain.9 Fakta tersebut cukup memberikan

ilustrasi bahwa pelibatan bank sentral dalam proses

pembahasan RUU adalah sebuah hal yang dapat

dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan

pula kajian mendalam untuk menganalisis peluang

keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia.

B. Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan

di Indonesia

1. Desain Kelembagaan Bank Indonesia sebagai

Bank Sentral yang Mandiri

a. Pengaturan Bank Sentral dalam Konstitusi

Sebelum masa reformasi terdapat tiga

konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,

yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945), Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949), dan

UUD Sementara 1950 (UUDS 1950). Ketiganya

memberikan rumusan pengaturan yang

berbeda terkait bank sentral, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945). Berdasarkan pembahasan

rancangan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI

(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tidak

ditemukan adanya usulan ataupun

pembahasan mengenai bank sentral.

Pembahasan yang mengemuka saat itu

lebih banyak terkait dengan hal keuangan

dan anggaran negara serta perekonomian

dan kesejahteraan sosial secara umum.

Namun demikian, dalam penjelasan Pasal

23 UUD 1945 yang dibuat kemudian dan

untuk pertama kalinya diumumkan dalam

Berita Negara Republik Indonesia, termuat

keterangan mengenai bank sentral.10

Penjelasan Pasal 23 UUD 1945

menyebutkan bahwa, “Kedudukan Bank

Indonesia yang akan mengeluarkan dan

mengatur peredaran uang kertas,

ditetapkan dengan undang-undang”.11

2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat

1949 (KRIS 1949). Bank sentral dalam

KRIS 1949 diatur dalam Pasal 164 ayat (4)

dan Pasal 165. Pasal 164 ayat (4)

menyatakan, “Pengeluaran alat-alat

pembayaran yang sah dilakukan oleh atau

atas nama Republik Indonesia Serikat

ataupun Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat

(1) menyatakan, “Untuk Indonesia ada

satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2),

“Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan

pengaturan tatanan dan kekuasaannya

dilakukan dengan undang-undang

Federal”.

3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950

(UUDS 1950). Pengaturan bank sentral

dalam UUDS 1950 terdiri atas tiga ayat

yang terdapat dalam Bab IV tentang

Keuangan, yaitu Pasal 109 ayat (4), Pasal

110 ayat (1) dan (2). Pasal 109 ayat (4)

menyebutkan, “Pengeluaran alat-alat

4

9 Ella Syafputri, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.

10 Penjelasan ini dibuat oleh Soepomo untuk kepentingan sosialisasi naskah UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946, judulnya ditulis dengan kata “tentang”, yaitu: “Pendjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia”, bukan “Penjelasan Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia” sebagai judul dokumen.

11 Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, eksistensi

konstitusional Bank Indonesia sebagai nama dan sebagai institusi bank sentral sudah diungkapkan secara eksplisit. Sayangnya, ketentuan tersebut hanya terdapat dalam penjelasan, yang meskipun sudah diberlakukan sebagai bagian dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, tetapi tidak bersifat imperatif. Oleh karena itu, sebelum Undang-Undang tentang Bank Indonesia disusun, atas kebutuhan ketika itu, maka Bank Negara Indonesia Tahun 1946 yang dibentuk lebih dahulu yang disamping merupakan Bank Komersial atau Bank yang melaksanakan tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 12: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

pembayaran yang sah dilakukan oleh atau

atas nama Pemerintah Republik Indonesia

ataupun oleh Bank Indonesia”. Sedangkan

Pasal 101 ayat (1), “Untuk Indonesia ada

satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2)

menyebutkan, “Penunjukan sebagai Bank

Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan

kekuasaannya dilakukan dengan undang-

undang”.

Setelah masa reformasi, Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

(selanjutnya disebut MPR RI) menggarisbawahi

salah satu kebijakan reformasi pembangunan

yang harus dilakukan guna penyelamatan dan

normalisasi kehidupan nasional adalah

restrukturisasi dan penyehatan perbankan.12

Proses restrukturisasi dan penyehatan

perbankan harus dimulai dengan mewujudkan

bank sentral yang tidak dapat diintervensi

oleh pemerintah. Sebab menurut MPR RI,

salah satu penyebab melemahnya

perekonomian nasional pada saat itu adalah

sistem perbankan yang tidak mandiri.

Ketidakmandirian ini dikarenakan adanya

kewenangan pemerintah untuk melakukan

intervensi terhadap bank sentral.13 Berbeda

dengan tiga UUD sebelumnya, hanya UUD

1945 Hasil Amandemen IV yang secara tegas

menyebutkan tentang independensi bank

sentral,14 dengan rumusan Pasal 23D UUD

NRI Tahun 1945 bahwa, “Negara memiliki

suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab, dan

independensinya diatur dengan undang-

undang”.

Pencantuman independensi ke dalam batang

tubuh konstitusi juga terjadi perbedaan

pendapat. Perbedaan pendapat ini tercatat

dalam Risalah Rapat Pleno ke-14 Panitia Ad-

Hoc I Badan Pekerja MPR, tertanggal 14 Maret

2002. Pendapat yang setuju, misalnya, diwakili

oleh Lukman Hakim dari F-PPP, dengan

pertimbangan karena pada masa lalu bank

sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh

pemerintah, maka larangan terhadap intervensi

ini harus dilakukan dengan cara menegaskan

independensi bank sentral dalam UUD.15

Pendapat yang sama diungkapkan Gregorius

Seto Harianto dari F-PDKB bahwa telah ada

kesepakatan dalam amandemen UU Nomor

23 Tahun 1999 untuk mempertahankan

independensi Bank Indonesia dalam

melaksanakan tugasnya.

Pendapat yang tidak setuju pencantuman

independensi dalam batang tubuh konstitusi,

misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari

F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi

itu cukup dicantumkan dalam undang-undang,

karena bank sentral itu hanya independensi

dari kekuasaan pemerintah. Pendapat seperti

ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari

F-TNI/POLRI, dengan alasan menimbulkan

implikasi politik, karena akan timbul multi

interpretasi selain menimbulkan kekakuan.

Tidak perlunya independensi ini dicantumkan

dalam konstitusi juga dinyatakan oleh

Soedijarto dari F-UG, karena independensi

dinilai cukup dinyatakan dalam undang-

undang. Pendapat ini juga menjadi pendapat

A.M. Lutfi dari F-Reformasi.

5

12 Lihat Bab IV, huruf a, butir c Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

13 Lihat Bab II, huruf a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor

X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 185-186. 15 Ibid., hlm. 185.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 13: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Selain masalah independensi bank sentral,

masalah lain yang cukup pelik menjadi

perdebatan adalah status Bank Indonesia

sebagai lembaga negara. Hal ini terkait dengan

tidak adanya penjelasan dalam undang-

undang tentang kedudukan Bank Indonesia

sebagai lembaga negara yang independen,

yang dapat dikategorikan sama dengan

lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan

Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (2) Ketetapan MPR RI

Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan

Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi

Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga

Tinggi Negara.16

Dalam keterangan pemerintah yang

dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada

Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret

1999 dinyatakan bahwa:

[…] Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak

bisa, karena governance agency dia tidak bisa

karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan

swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara,

tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private

agency, bukan governance agency, bukan

sebagai lembaga tinggi negara. Ini suatu

agency, suatu lembaga bukan pemerintahan

tapi punya negara. […].17

Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh

Departemen Kehakiman memberikan

penjelasan pada Rapat Panitia Kerja ke-2,

tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia

sebagai lembaga negara yang independen

sejajar dengan menteri dan peraturan yang

dibuatnya pun sejajar dengan keputusan

Menteri.18

Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas

secara jelas mendudukkan Bank Indonesia

sebagai lembaga negara, bukan merupakan

lembaga tinggi negara. Adapun mengenai

kesetaraan antara Bank Indonesia dengan

lembaga tinggi negara dalam menjalankan

fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja

antara Bank Indonesia dengan pemerintah

dalam kedudukannya sebagai lembaga negara

yang independen sebagaimana diatur dalam

Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU Nomor

23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.

Dengan statusnya yang spesial ini, meminjam

istilah Klaus Stern, maka Bank Indonesia harus

dilihat sebagai “the highest executive state

bodies”19, dengan “its designation as an

authority is applicable only to a very restricted

extent”20. Hal tersebut yang kemudian

membuat Ellen Kennedy menyimpulkan bahwa

bank sentral adalah “[…] is not a constitutional

branch like the judiciary, legislative or executive,

the Bundesbank operate in constitutive manner

and its norm of monetary stability is more like

a constitutional principle.”21

6

16 Ibid., hlm. 149.

17 Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 62. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 352.

18 Sekretariat Komisi VIII, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 79. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 353.

19 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK, hlm. 111. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 356.

20 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, Op.cit., hlm. 110. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, hlm. 80.

21 Ellen Kennedy, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London, hlm. 11. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Loc.cit.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 14: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas,

pasca reformasi desain kelembagaan Bank

Indonesia sebagai bank sentral merupakan

reaksi atas pengalaman ketika Bank Indonesia

dengan mudah diintervensi pemerintah, yang

berakibat Bank Indonesia tidak dapat

melaksanakan fungsinya secara baik, sehingga

melahirkan isu independensi Bank Indonesia.

Desain kelembagaan Bank Indonesia atas

dasar respon pengalaman masa lalu

dibandingkan pertimbangan akademis yang

lebih bersifat teoritis membuat desain Bank

Indonesia menjadi lembaga yang “unik” bila

dibandingkan dengan lembaga-lembaga

negara lainnya.

b. Pengaturan Bank Sentral dalam Undang-

Undang

Sebagaimana telah juga dikutip di atas, Pasal

23D UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan

bahwa, “Negara memiliki suatu bank sentral

yang susunan, kedudukan, kewenangan,

tanggung jawab, dan indipendensinya diatur

dengan undang-undang”. Berdasarkan

ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945

tersebut, meskipun ketentuan konstitusional

tentang bank sentral hanya terdiri dari satu

pasal, namun terkandung substansi yang

mendasar. Pertama, negara ditegaskan

memiliki “satu bank sentral”. Suatu bank

sentral itu menunjukkan kepada satu lembaga

yang berfungsi sebagai bank sentral dengan

nama yang tidak ditentukan secara eksplisit.

Kedua, bank sentral yang dimaksudkan itu

mempunyai susunan, kewenangan, tanggung

jawab, dan kedudukan yang independen.

Ketentuan mengenai susunan, kewenangan,

tanggung jawab, dan independensinya akan

diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Menariknya, bilamana dibandingkan dengan

lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Presiden, maka kedudukan Bank Indonesia

dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia

tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD

NRI Tahun 1945, tetapi hanya ditentukan

dalam UU. Bank Indonesia adalah lembaga

negara yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun

1945, tetapi kewenangannya diberikan oleh

UU. Oleh karenanya, sangatlah sulit untuk

mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah

state agency (dalam perspektif state agency

adalah lembaga atau institusi yang dibentuk

oleh undang-undang)22, sebab Bank Indonesia

adalah Bank Sentral Republik Indonesia

sebagaimana ditentukan lewat UU Bank

Indonesia. Akibatnya, susunan, kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab, dan

independensi bank Indonesia, sepenuhnya

bergantung pada kesepakatan (konsensus)

antara DPR dan Presiden, selaku pemegang

kekuasaan membentuk UU.

Dinamika pengaturan tersebut terlihat dari

rumusan desain Bank Indonesia pada UU yang

mengatur tentang Bank Indonesia. Pasal 4

UU Nomor 23 Tahun 1999 menyebutkan

bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara

yang independen, bebas dari campur tangan

Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya,

kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur

dalam UU Bank Indonesia. Kemudian, pada

Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagai

perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999,

rumusan desain Bank Indonesia mengalami

perubahan, khususnya pada bagian luasan

independensi yang dilekatkan pada Bank

Indonesia.

Dalam aturan perubahan disebutkan bahwa

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang

independen dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, bebas dari campur tangan

7

22 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 10.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 15: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya,

kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur

dalam UU Bank Indonesia. Penambahan frasa

“dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya” menunjukkan dinamika

desain independensi Bank Indonesia yang

ditentukan oleh substansi pengaturan dalam

UU Bank Indonesia.

Salah satu bentuk konsekuensi pemberian

independensi kepada Bank Indonesia adalah

diberikannya kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk mengatur atau

membuat/menerbitkan peraturan yang

merupakan pelaksanaan undang-undang.23

Keleluasaan dalam mengatur ini merupakan

salah satu perwujudan kemandirian yang

dimiliki oleh Bank Indonesia. Selain diberi

kewenangan untuk mengatur atau

membuat/menerbitkan peraturan, Bank

Indonesia juga diberi keleluasaan dalam

mengatur struktur, kepegawaian, keuangan,

dan bahkan penggajian bagi Gubernur, Deputi

Senior Gubernur, dan para Deputi Bank

Indonesia. Dengan demikian, kemandirian

tidak hanya sebatas pembentukan peraturan

perundang-undangan saja, tetapi juga diberi

kemandirian dalam menentukan dan

mengatur organisasinya.

Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 1999 juga

memberikan kewenangan Bank Indonesia

untuk secara langsung mengusulkan dan

menetapkan anggaran tahunan dan

memberitahukannya ke DPR dan Presiden.24

Konstruksi ini sangat mengukuhkan

kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi

sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab tidak

ada lembaga negara lain dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang dapat secara

langsung mengajukan anggarannya kepada

DPR dan Presiden, melainkan harus melalui

proses penganggaran yang normal, yaitu

melalui proses anggaran pendapatan dan

belanja negara sebagaimana diatur dalam

Pasal 23 UUD 1945.25

Kemandirian mengusulkan dan menetapkan

penganggaran secara normatif mulai direduksi

dengan dilakukannya perubahan terhadap UU

Nomor 23 Tahun 1999 melalui UU Nomor 3

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999. Perubahan

tersebut secara spesifik difokuskan pada

penyesuaian mekanisme perumusan kebijakan

moneter dan penataan kembali kelembagaan

Bank Indonesia sebagai penanggung jawab

otoritas kebijakan moneter.26 Kedua hal ini

menjadi fokus perubahan karena dengan

perubahan ini diharapkan dapat memperkuat

akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas

Bank Indonesia tanpa mengurangi makna

independensi lembaga negara.27

UU Nomor 3 Tahun 2004 dinilai melakukan

pembatasan terhadap independensi yang

dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan UU

Nomor 23 Tahun 1999 dengan memberi

batasan kata “independensi” dalam Pasal 4

ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999, yaitu

menambahkan frasa “dalam melaksanakan

8

23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

24 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

25 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 9.

26 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 16: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

tugas dan wewenangnya”. Dengan

ditambahkannya frasa ini, makna independensi

dibatasi hanya dalam melaksanakan tugas

dan kewenangan saja dan tidak pada bidang

lain. Artinya, DPR dan Presiden dapat dimaknai

sepakat untuk mereduksi derajat independensi

yang telah mereka berikan melalui UU Nomor

23 Tahun 1999 atau mengkonkretkan makna

independensi yang dimiliki Bank Indonesia.

2. Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga

Negara Lain

a. Hubungan Bank Indonesia dengan Dewan

Perwakilan Rakyat

Dalam rangka menelaah hubungan Bank

Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

perlu ditelaah kembali ketentuan Pasal 4 UU

Nomor 3 Tahun 2004, yang menyatakan

bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara

yang independen dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, bebas dari campur tangan

Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk

hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU

Bank Indonesia. Tugas dan wewenang yang

dimaksud dalam Pasal 4 tersebut dijabarkan

dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Bank Indonesia,

yang mana disebutkan bahwa fungsi atau

tujuan utama dari Bank Indonesia memelihara

kestabilan nilai rupiah.28 Untuk mencapai

tujuan tersebut, Bank Indonesia diberi

kewenangan untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijaksanaan moneter, dan

mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran.29

Ketentuan Pasal 4 tersebut menjadi penting

ketika dinyatakan bahwa Bank Indonesia

adalah lembaga negara independen, bebas

dari campur tangan pemerintah atau pihak

lain, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.

Rumusan tersebut kemudian disambung

dengan frasa “kecuali untuk hal-hal yang

secara tegas diatur dalam undang-undang

ini”, maka dengan demikian rumusan Pasal

tersebut bila dimaknai secara argumentum a

contrario berarti Pemerintah dan DPR hanya

dapat mencampuri urusan Bank Indonesia

untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU

Bank Indonesia. Dengan demikian, “campur

tangan” tersebut dijabarkan dalam relasi yang

tercermin dalam Pasal 58, 58A, dan 59.

Pada umumnya hubungan antara bank sentral

dengan parlemen diatur secara umum

terutama dalam bentuk pertanggungjawaban

bank sentral kepada parlemen. Parlemen

mempunyai hak untuk melakukan evaluasi

terhadap rencana dan kegiatan bank sentral.

Hal ini terjadi karena dianggap parlemen telah

mendelegasikan wewenang dan kekuasaannya

dalam kebijakan moneter, sehingga parlemen

berwenang untuk meminta pertanggung-

jawaban dari bank sentral. Parlemen pada

umumnya mempunyai hak dan kesempatan

untuk memberikan penilaian dan melakukan

review performance dari bank sentral dalam

hubungannya dengan kebijakan moneter.

Sementara bank sentral pun mempunyai hak

dan kewajiban untuk memberikan penjelasan

dan pembenaran atas kebijakan tersebut.

Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank

Indonesia wajib menyampaikan laporan

tahunan, yang memuat antara lain: (a)

pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada

tahun sebelumnya; dan (b) rencana kebijakan,

penetapan sasaran, dan langkah-langkah

pelaksanaan tugas dan wewenang Bank

Indonesia untuk tahun yang akan datang

9

28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

Page 17: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

dengan memperhatikan perkembangan laju

inflasi serta kondisi ekonomi dan keuangan.30

Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) disebutkan

dalam hal DPR memerlukan penjelasan

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

pelaksanaan tugas dan wewenangnya,

termasuk dalam rangka penilaian terhadap

kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib

menyampaikan penjelasan secara tertulis.31

Selain laporan tahunan, berdasarkan Pasal 58

ayat (2), Bank Indonesia diwajibkan juga untuk

menyampaikan laporan triwulan secara tertulis

tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya

kepada DPR dan Pemerintah.32 Laporan

triwulan tersebut kemudian dievaluasi oleh

DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian

tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur

dan Bank Indonesia.33

Lebih jauh dalam Pasal 58A disebutkan, untuk

membantu DPR dalam melaksanakan fungsi

pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank

Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam

upaya meningkatkan akuntabilitas,

independensi, transparansi, dan kredibilitas

Bank Indonesia.34 Selanjutnya, dalam hal DPR

menghendaki pemeriksaan secara khusus

mengenai satu masalah atau kegiatan tertentu,

maka DPR dapat meminta BPK melakukan

pemeriksaan terhadap Bank Indonesia.

b. Hubungan Bank Indonesia dengan

Pemerintah

Sama halnya dengan Dewan Perwakilan

Rakyat, ketentuan Pasal 4 UU Bank Indonesia

memberikan batasan relasi antara Bank

Indonesia dengan Pemerintah, bahwa

pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri

urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang

memang diatur dalam UU Bank Indonesia.

Oleh UU Bank Indonesia hal tersebut dijabarkan

dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 52,

53, 54, 55, dan 56 UU Nomor 23 Tahun 2009

jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.

Ketentuan Pasal 52 menetapkan bahwa Bank

Indonesia bertindak sebagai pemegang kas

pemerintah.35 Dalam kedudukannya sebagai

pemegang kas terdapat kewajiban Bank

Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo

pemerintah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pasal 53 mengatur

tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai

penerima pinjaman luar negeri untuk menata

usahakan, serta menyelesaikan tagihan dan

kewajiban keuangan Pemerintah terhadap

pihak luar negeri.

Pasal 54 ayat (1) mengatur kewajiban

pemerintah untuk pendapat dan mengundang

Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang

membahas masalah ekonomi, perbankan dan

keuangan terutama yang berkaitan dengan

tugas dan kewenangan Bank Indonesia untuk

10

30 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

31 Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

32 Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

33 Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

34 Pasal 58A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

35 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

Page 18: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

memberikan pendapat dan pertimbangan

kepada pemerintah mengenai APBN serta

kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas

dan wewenang Bank Indonesia.36 Ketentuan

ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank

Indonesia dengan pemerintah sebagai badan

hukum, yang dapat disejajarkan dengan

lembaga tinggi negara lainnya, yang dalam

hal ini adalah pemerintah.

Selanjutnya, Pasal 55 memuat kewajiban

pemerintah berkonsultasi dengan Bank

Indonesia, jika pemerintah berkeinginan untuk

menerbitkan surat-surat hutang negara.37

Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat

hutang itu tidak berakibat negatif terhadap

kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan

penjualan surat hutang itu dilakukan sesuai

kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah.

Penerbitan surat hutang Bank Indonesia dapat

memberikan bantuan kepada pemerintah.

Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk

membeli surat-surat hutang negara di pasar

primer untuk diri sendiri, kecuali surat hutang

berjangka pendek yang diperlukan dalam

operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia

diperkenankan untuk membeli surat hutang

negara di pasar primer dalam rangka

pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu

terhadap hutang negara berjangka paling lama

satu tahun.

Ketentuan tersebut semakin menegaskan posisi

Bank Indonesia sebagai agen yang membantu

pemerintah dalam menerbitkan surat-surat

hutang, sehingga pada saat yang sama

undang-undang melarang Bank Indonesia

untuk mengambil keuntungan dari penerbitan

surat-surat hutang ini, namun sebagai agen,

Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli

surat-surat hutang hanya untuk dalam keadaan

darurat atau hanya terhadap surat-surat utang

berjangka pendek.

C. Keterlibatan Bank Indonesia dalam Memprakarsai

Rancangan Undang-Undang

1. Proses dan Tahapan Pembentukan Undang-

Undang

Pembentukan undang-undang adalah bagian dari

aktivitas dalam mengatur masyarakat,38 yang

terdiri atas gabungan individu-individu manusia

dengan segala dimensinya39. Sebagai negara

hukum, sudah semestinya pembangunan hukum

nasional dilakukan secara terencana, terpadu,

dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional

yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban

rakyatnya. Oleh karena itu, dalam rangka

pembangunan hukum nasional, pembentukan

suatu peraturan perundang-undangan diatur

dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang mengatur cara dan metode yang pasti, baku,

dan standar yang mengikat semua lembaga yang

berwenang dalam membentuk peraturan

perundang-undangan.

Sejatinya, UU Nomor 12 Tahun 2012 bukanlah

yang pertama dalam menjadi panduan, melainkan

merupakan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

11

38 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.

39 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan

undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai makhluk mono-dualis jiwa-raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri makhluk Tuhan. Lihat dalam Ibid.

36 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

37 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

Page 19: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

undangan. Penggantian tersebut dilatarbelakangi

oleh kelemahan dan kekurangannya dalam

menampung perkembangan kebutuhan

masyarakat mengenai aturan pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik.

Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 10 Tahun

2004, antara lain:40

a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 banyak yang menimbulkan kerancuan

atau multi tafsir sehingga tidak memberikan

suatu kepastian hukum;

b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak

konsisten;

c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai

dengan perkembangan atau kebutuhan hukum

dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan; dan

d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur

dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 10

Tahun 2004 tersebut, terdapat materi muatan

baru yang ditambahkan, antara lain:41

a. penambahan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu

jenis Peraturan Perundang-undangan dan

hierarkinya ditempatkan setelah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan

Perundang-undangan yang tidak hanya untuk

Prolegnas dan Prolegda melainkan juga

perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan

lainnya;

c. pengaturan mekanisme pembahasan

Rancangan Undang-Undang tentang

Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu

persyaratan dalam penyusunan Rancangan

Undang-Undang atau Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota;

e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang

Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan

tenaga ahli dalam tahapan pembentukan

peraturan perundang-undangan; dan

f. penambahan teknik penyusunan Naskah

Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang

ini.

Pada Sub-bab ini diuraikan proses dan tahapan

pembentukan undang-undang. Tahapan kegiatan

tersebut mencakup kegiatan perencanaan

undang-undang, penyusunan undang-undang,

pembahasan rancangan undang-undang, dan

pengesahan rancangan undang-undang menjadi

undang-undang.

a. Perencanaan Undang-Undang

Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011

menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan

undang-undang dilakukan dalam Program

Legislasi Nasional atau disingkat Prolegnas.

Prolegnas adalah instrumen perencanaan

program pembentukan undang-undang yang

disusun secara terencana, terpadu, dan

sistematis,42 yang merupakan skala prioritas

program pembentukan undang-undang dalam

rangka mewujudkan sistem hukum nasional.43

12

40 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

41 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

42 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

43 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 20: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Dalam penyusunannya, Prolegnas disusun

daftar rancangan undang-undang didasarkan

atas: (a) perintah Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)

perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat; (c) perintah Undang-Undang lainnya;

(d) sistem perencanaan pembangunan nasional;

(e) rencana pembangunan jangka panjang

nasional; (f) rencana pembangunan jangka

menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan

rencana strategis DPR; dan (h) aspirasi dan

kebutuhan hukum masyarakat.44

Muatan dalam Prolegnas adalah program

pembentukan undang-undang dengan

berisikan judul rancangan undang-undang,

materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan

peraturan perundang-undangan lainnya.

Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan

peraturan perundang-undangan lainnya

merupakan keterangan mengenai konsepsi

rancangan undang-undang yang meliputi: (a)

latar belakang dan tujuan penyusunan; (b)

sasaran yang ingin diwujudkan; dan (c)

jangkauan dan arah pengaturan.45

Prolegnas disusun oleh DPR dan Pemerintah,

yang ditetapkan untuk jangka menengah dan

tahunan berdasarkan skala prioritas

pembentukan rancangan undang-undang.

Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka

menengah dilakukan pada awal masa

keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk

jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka

menengah tersebut dapat dievaluasi setiap

akhir tahun bersamaan dengan penyusunan

dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan,

sedangkan penyusunan dan penetapan

Prolegnas prioritas tahunan sebagai

pelaksanaan Prolegnas jangka menengah

dilakukan setiap tahun sebelum penetapan

Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.46

Penyusunan Prolegnas antara DPR dan

Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui

alat kelengkapan DPR yang khusus menangani

bidang legislasi.47 Menurut UU Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, alat kelengkapan DPR yang

khusus menangani bidang legislasi disebut

dengan Badan Legislasi sebagaimana

diterangkan dalam Pasal 99 sampai dengan

Pasal 103.

Sebelum penyusunan Prolegnas secara bersama

antara DPR dengan Pemerintah, masing-masing

dari DPR dan Pemerintah menyusun rencana

Prolegnas-nya masing-masing. Badan Legislasi

(Baleg) DPR bertanggungjawab untuk

mengoordinasikan penyusunan Prolegnas di

lingkungan DPR. Dalam penyusunan Prolegnas

di lingkungan DPR tersebut, dilakukan dengan

mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,

anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.

Sedangkan, penyusunan Prolegnas di

lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan

13

44 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

45 Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

46 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

47 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 21: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

pemerintahan di bidang hukum atau dalam

hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyusunan Prolegnas dalam lingkungan DPR

diatur dengan Peraturan DPR. Sedangkan

ketentuan lanjutan mengenai tata cara

penyusunan Prolegnas di lingkungan

pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

Untuk dapat menjadi Prolegnas yang sah, hasil

penyusunan Prolegnas antara DPR dan

Pemerintah harus disepakati menjadi Prolegnas

dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.

Penetapan Prolegnas yang disetujui kemudian

ditetapkan dengan Keputusan DPR.48 Dalam

Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka

yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian

internasional tertentu; (b) akibat putusan

Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara; (d)

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan

(e) penetapan/pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang.49

Namun demikian, dalam keadaan tertentu,

DPR atau Presiden dapat mengajukan

rancangan undang-undang di luar Prolegnas

dengan cakupan: (a) untuk mengatasi keadaan

luar biasa, keadaan konflik, atau bencana

alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang

memastikan adanya urgensi nasional atas

suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat

disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR

yang khusus menangani bidang legislasi dan

menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum.50 Dari daftar

hasil penyusunan Prolegnas, rancangan

undang-undang yang telah melalui pengkajian

dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah

Akademik.51

b. Penyusunan Undang-Undang

Suatu rancangan undang-undang dapat

berasal dari DPR, Presiden atau DPD52. Dalam

melakukan penyusunan rancangan peraturan

perundang-undangan dilakukan sesuai dengan

teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan. Teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan tersebut telah ditentukan

dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011.53

Khusus rancangan undang-undang yang

berasal dari DPD harus melalui DPR. Rancangan

undang-undang yang berasal dari DPD tersebut

hanya yang berkaitan dengan kewenangannya,

yaitu: (a) otonomi daerah; (b) hubungan pusat

dan daerah; (c) pembentukan dan pemekaran

serta penggabungan daerah; (d) pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya; dan (e) perimbangan keuangan pusat

dan daerah.54

14

50 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

51 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

52 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012

perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

53 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

54 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

48 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

49 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 22: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Semua rancangan undang-undang yang

berasal dari ketiga lembaga tersebut harus

disertai Naskah Akademik. Kewajiban adanya

naskah akademik tidak berlaku bagi rancangan

undang-undang mengenai: (a) Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara; (b) penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang menjadi Undang-Undang; atau (c)

pencabutan Undang-Undang atau pencabutan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang.55 Namun demikian, semua rancangan

undang-undang di atas disertai dengan

keterangan yang memuat pokok pikiran dan

materi muatan yang diatur.

Rancangan undang-undang yang berasal dari

DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,

gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR

yang khusus menangani bidang legislasi atau

DPD. Sedangkan rancangan undang-undang

yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh

menteri atau pimpinan lembaga pemerintah

non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas

dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan

rancangan undang-undang, menteri atau

pimpinan lembaga pemerintah non-

kementerian terkait membentuk panitia antar

kementerian dan/atau antar non-kementerian.

Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi rancangan undang-undang yang

berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat

kelengkapan DPR yang khusus menangani

bidang legislasi, dalam hal ini adalah Badan

Legislasi. Sedangkan harmonisasi, pembulatan,

dan pemantapan konsepsi rancangan undang-

undang yang berasal dari Presiden

dikoordinasikan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum.

Mengenai usulan rancangan undang-undang

yang berasal dari DPD disampaikan secara

tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan

DPR dan tentu saja disertai dengan naskah

akademik. Oleh pimpinan DPR, usulan tersebut

disampaikan kepada alat kelengkapan DPR

yang khusus menangani bidang legislasi untuk

dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi rancangan undang-

undang. Dalam melakukan harmonisasi,

pembulatan, dan pemantapan konsepsi

rancangan undang-undang dapat

mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD

yang mempunyai tugas di bidang perancangan

undang-undang untuk membahas usul

rancangan undang-undang. Selanjutnya Badan

Legislasi menyampaikan laporan tertulis

mengenai hasil harmonisasi kepada pimpinan

DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam

rapat paripurna.56

Rancangan undang-undang dari DPR

disampaikan dengan surat pimpinan DPR

kepada Presiden. Selanjutnya Presiden

menugasi menteri yang mewakili untuk

membahas rancangan undang-undang

bersama DPR dalam jangka waktu paling lama

60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat

pimpinan DPR diterima. Menteri yang ditunjuk

tersebut mengoordinasikan persiapan

pembahasan dengan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum. Sebaliknya, rancangan

undang-undang yang berasal dari Presiden

diajukan dengan surat Presiden kepada

15

55 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana telah diatur dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

56 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 23: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat

penunjukan menteri yang ditugasi mewakili

Presiden dalam melakukan pembahasan

rancangan undang-undang bersama DPR.

Selanjutnya DPR mulai membahas rancangan

undang-undang usulan Presiden tersebut

dalam jangka waktu paling lama 60 (enam

puluh) hari terhitung sejak surat Presiden

diterima. Apabila dalam satu masa sidang DPR

dan Presiden menyampaikan rancangan

undang-undang mengenai materi yang sama,

yang dibahas adalah rancangan undang-

undang yang disampaikan oleh DPR dan

rancangan undang-undang yang disampaikan

Presiden digunakan sebagai bahan untuk

dipersandingkan.57

c. Pembahasan Rancangan Undang-Undang

Setiap pembahasan rancangan undang-undang

dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau

menteri yang ditugasi. Sedangkan pembahasan

rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,

selain dilakukan oleh DPR bersama Presiden,

juga dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan

rancangan undang-undang tertentu yang

terkait diwakili oleh alat kelengkapan yang

membidangi materi muatan rancangan

undang-undang yang dibahas.58 Selain terlibat

dalam pembicaraan I untuk bidang tertentu

di atas, DPD juga memberikan pertimbangan

kepada DPR atas rancangan undang-undang

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan

agama.59

Dalam pembahasan rancangan undang-

undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat

pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri

atas Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan

Tingkat II.

1) Pembicaraan Tingkat I

Pembicaraan tingkat I dilaksanakan dalam

rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat

Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran,

atau rapat Panitia Khusus. Dalam

Pembicaraan tingkat I tersebut dilakukan

dengan kegiatan sebagai berikut:

a) Pengantar musyawarah;

Dalam pengantar musyawarah sebagai

bagian dalam kegiatan pembicaraan

tingkat I dilaksanakan dengan urutan

sebagai berikut: (a) Dalam hal

rancangan undang-undang berasal dari

DPR, maka DPR memberikan

penjelasan dan Presiden menyampaikan

pandangan jika rancangan undang-

undang berasal dari DPR. Apabila

rancangan undang-undang berkaitan

dengan kewenangan DPD, maka DPD

menyampaikan pandangannya; (b)

Dalam hal rancangan undang-undang

berasal dari Presiden, maka Presiden

memberikan penjelasan dan fraksi

memberikan pandangan jika rancangan

undang- undang berasal dari Presiden.

Apabila rancangan undang-undang

16

59 Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

57 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

58 Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 24: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

berkaitan dengan kewenangan DPD,

maka DPD menyampaikan

pandangannya.

b) Pembahasan Daftar Inventarisasi

Masalah;

Daftar inventarisasi masalah diajukan

oleh Presiden jika rancangan undang-

undang berasal dari DPR. Dan

sebaliknya, bila rancangan undang-

undang berasal dari Presiden, maka

daftar inventarisasi masalah diajukan

oleh DPR. Selain itu, sepanjang

berkaitan dengan kewenangan DPD,

maka DPR mempertimbangkan usul

dari DPD.

c) Penyampaian Pendapat Mini.

Penyampaian pendapat mini

disampaikan pada akhir pembicaraan

tingkat I oleh fraksi, dan Presiden. DPD

juga menyampaikan pendapat mini jika

rancangan undang-undang berkaitan

dengan kewenangan DPD. Namun

demikian, dalam hal DPD tidak

menyampaikan pandangannya baik

rancangan undang-undang yang

berasal dari Presiden maupun DPR yang

terkait dengan kewenangannya dan

tidak menyampaikan pendapat mini,

maka pembicaraan tingkat I tetap

dilaksanakan.

Dalam pembicaraan tingkat I ini, juga dapat

diundang pimpinan lembaga negara atau

lembaga lain jika materi rancangan undang-

undang berkaitan dengan lembaga negara

atau lembaga lain terkait.

2) Pembicaraan Tingkat II

Pembicaraan tingkat II dilaksanakan dalam

rapat paripurna yang merupakan

pengambilan keputusan dalam rapat

paripurna dengan kegiatan: (1)

penyampaian laporan yang berisi proses,

pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,

dan hasil pembicaraan tingkat I; (2)

pernyataan persetujuan atau penolakan

dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara

lisan yang diminta oleh pimpinan rapat

paripurna; dan (3) penyampaian pendapat

akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri

yang ditugasi. Apabila persetujuan dari

tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan

tidak dapat dicapai secara musyawarah

untuk mufakat, pengambilan keputusan

dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Dan apabila rancangan undang-undang

tidak mendapat persetujuan bersama

antara DPR dan Presiden, rancangan

undang-undang tersebut tidak boleh

diajukan lagi dalam persidangan DPR masa

itu.60

Suatu rancangan undang-undang dapat

ditarik kembali sebelum dibahas bersama

oleh DPR dan Presiden. Namun, rancangan

undang-undang yang sedang dibahas

hanya dapat ditarik kembali berdasarkan

persetujuan bersama DPR dan Presiden.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penarikan kembali rancangan undang-

undang ini diatur dengan Peraturan DPR.61

d. Pengesahan Rancangan Undang-Undang

Menjadi Undang-Undang

Suatu rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama oleh DPR dan Presiden

disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada

Presiden untuk disahkan menjadi undang-

17

60 Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

61 Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 25: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

undang. Penyampaian rancangan undang-

undang tersebut dilakukan dalam jangka

waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung

sejak tanggal persetujuan bersama.62

Rancangan undang-undang yang telah

disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden

untuk disahkan menjadi undang-undang

disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan

tanda tangan dalam jangka waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan

undang-undang tersebut disetujui bersama

oleh DPR dan Presiden. Namun, dalam hal

rancangan undang-undang tersebut tidak

ditandatangani oleh Presiden dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak rancangan undang-undang tersebut

disetujui bersama, maka rancangan undang-

undang tersebut sah menjadi undang-undang

dan wajib diundangkan. Namun, kalimat

pengesahannya menjadi berbeda dengan

pencantuman kalimat pengesahannya

berbunyi: “Undang-Undang ini dinyatakan

sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”. Kalimat pengesahan

khusus tersebut harus dibubuhkan pada

halaman terakhir undang-undang sebelum

pengundangan naskah undang-undang ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.63

Berkaitan dengan pendelegasian peraturan

perundang-undangan harus ada kejelasan

waktu penetapan peraturan pelaksanaannya,

baik berupa peraturan pemerintah maupun

peraturan lainnya sebagai pelaksanaan undang-

undang tersebut. Penetapan peraturan

pemerintah dan peraturan lainnya yang

diperlukan dalam penyelenggaraan

pemerintahan namun tidak didasarkan atas

perintah suatu undang-undang dikecualikan

atau tidak memerlukan batasan waktu.

Dalam konteks mencari peluang Bank

Indonesia dalam memprakarsai Rancangan

Undang-Undang peluang keterlibatan tersebut

terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Pasal a quo

membuka peluang Bank Indonesia untuk

terlibat dalam pembicaraan tingkat I karena

pimpinan lembaga negara atau lembaga lain

dapat diundang jika materi Rancangan

Undang-Undang berkaitan dengan lembaga

negara atau lembaga lain tersebut.64 Peluang

tersebut sepenuhnya menjadi domain

kewenangan DPR selaku “tuan rumah” yang

memegang fungsi legislasi. DPR “dapat”

mengundang dan tidak diberikan suatu

keharusan untuk “mengundang” lembaga

negara lain walaupun secara awam diketahui

bahwa substansi RUU yang sedang dibahas

adalah kewenangan lembaga negara yang

lain. Padahal bila memang substansi yang

diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan

kewenangan lembaga negara yang lain, sudah

sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib

untuk diundang, sehingga apa yang diatur

dalam UU tersebut sejalan dan dapat

diimplementasikan oleh lembaga yang terkait.

2. Pendekatan Komparatif Peran Bank Sentral

dalam Memprakarsai Rancangan Undang-

Undang

Berbicara mengenai keterlibatan Bank Indonesia

dalam memprakarsai rancangan undang-undang

18

62 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

63 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

64 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 26: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

dapat dirujuk perkembangan peran bank sentral

di berbagai negara di dunia. Hal tersebut menjadi

penting untuk diperhatikan, mengingat dewasa

ini kecenderungan untuk menjadikan bank sentral

bersifat independen semakin menguat, sejalan

dengan berlangsungnya perkembangan

pemikiran-pemikiran baru yang mempengaruhi

terjadinya perubahan peran bank sentral di seluruh

dunia. Hal tersebut ditegaskan oleh Forrest Capiey,

Charles Goodhart, dan Norbert Schnadt yang

menyebutkan:

In the last few years discussion and debate has

switched from operational techniques (e.g. interest

rate control versus monetary base control: rules

versus discretion) towards concern with structure,

incentives and accountability, in short to most of

the issues that come together under the heading

of central bank independence.65

Kecenderungan yang terjadi di dunia dipengaruhi

adanya mindstream bahwa pemberian

independensi dapat menjadi solusi atas

permasalahan moneter yang menjadi ancaman

laten kondisi perekonomian suatu negara. Namun

demikian, pemberian independensi kepada bank

sentral juga memerlukan “keahlian politik”

mengelola kemandirian tersebut sehingga dapat

mencapai tujuan untuk menciptakan inflasi yang

rendah. Hal tersebut menyiratkan bahwa

independensi yang diberikan melalui sebuah

pengaturan (dalam undang-undang atau yang

sejenis) lebih bersifat sebagai advokasi akademik

daripada sebuah solusi. Hal tersebut ditegaskan

oleh Capiey, Goodhart, dan Schnadt, yaitu:

This latter view, that the establishment of an

independent central bank will largely succeed, or

fail, depending on its 'political' skills in holding

together a low inflation constituency, implies that

the passage of Acts to grant such independence

will be much less of a panacea than its, more

credulous (academic) advocates would hope. A

danger in this context is that 'independence' may

get over sold as the solution to the ills of the

monetary system, just as monetary targeting,

exchange rate floating, and so many prior economic

nostrums were often given exaggerated credence

in some quarters, to their own subsequent

detriment.66

Merujuk pada penjelasan di atas, independensi

yang diberikan pada bank sentral harus dapat

dikelola secara politik oleh bank sentral, sehingga

dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal

tersebut menjadi problematik karena pengaturan

dan kadar independensi di berbagai negara

lazimnya dituangkan dalam suatu produk hukum

yang setara dengan undang-undang, yang

notabene dibentuk melalui proses politik di

parlemen. Hal tersebut dikuatkan oleh Stanley

Fischer yang menegaskan bahwa independensi

yang diberikan kepada bank sentral sangat

bergantung pada legislasi yang mengatur kadar

independensi itu sendiri, yaitu:

Control over the supply of money and credit gives

the central bank potentially enormous power. In

countries where the central bank has sufficient

independence to determine interest rate, the

goals towards which that power should be

deployed are often specific in legislation.67

Kondisi tersebut merupakan hal yang dilematis,

karena pada satu sisi bank sentral, khususnya di

negara berkembang, diharapkan lebih merdeka

dari tekanan politik,68 namun secara desain

independensinya dipengaruhi oleh proses politik

19

65 Forrest Capiey, Charles Goodhart, Norbert Schnadt, “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK, hlm. 35.

66 Ibid., hlm. 240. 67 Stanley Fischer, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working

Paper Series, No. 5064, March 1995, hlm. 4. 68 Central Banks in developing countries tend to have more independence

from political and commercial pressures than most other organisations, and also tend to be better financed. Lihat dalam C.A.E. Goodhart, “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-10-25, hlm. 36.

Page 27: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

itu sendiri. Maka dari itu, peluang untuk melibatkan

bank sentral dalam pembahasan draf undang-

undang yang berkaitan dengan kewenangan dan

tanggung jawab bank sentral diperlukan, bukan

dalam konteks mencampurkan locus kewenangan

bank sentral dengan parlemen atau pemerintah

sebagai pembentuk undang-undang, melainkan

semata sebagai upaya untuk menjaga kadar

independensi bank sentral yang dituangkan dalam

berbagai pengaturan yang terkait dengan

kewenangan dan tanggung jawab bank sentral.

Ikhtiar menjaga kadar independensi dalam

substansi pengaturan yang mengatur kewenangan

dan tanggung jawab bank sentral menjadi hal

yang penting untuk mewujudkan dua jenis

independensi yang diperkenalkan oleh Fischer

sebagai goal Independence dan instrumen

independence, yaitu:

These two approaches point to different forms of

CBI. Guy Debelle and Fischer (1995) and Fischer

(1995) introduce the distinction between goal

independence and instrument independence. A

central bank that is given control over the levers

of monetary policy and allowed to use them has

instrument independence; a central bank that sets

its own policy goals has goal independence.69

Berdasarkan hal tersebut, maka independensi

bank sentral juga dapat dimaknai dalam konteks

keterlibatannya dalam menentukan arah kebijakan

hukum, khususnya yang menyangkut pelaksanaan

kewenangannya.

Dalam kondisi yang sedikit berbeda, Marcis Apinis

pun menegaskan bahwa bank sentral yang tidak

terlibat dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan

keuangan (financial supervision function) sudah

seharusnya diberikan kewenangan untuk terlibat

dalam proses pembentukan Undang-Undang yang

terkait dengan fungsi pengawasan keuangan yang

dilakukan oleh lembaga lain, yaitu:

In the jurisdictions where the NCBs do not perform

the supervisory function, the NCBs have

nevertheless remained involved in supervision in

many different ways, they have a substantial

involvement in the preparation of legislation

relating to supervision; [...].70

Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan bank

sentral menjadi penting untuk diikutsertakan

dalam proses pembentukan undang-undang,

bahkan pada pembentukan Undang-Undang yang

notabene tidak mengatur mengenai bank sentral

secara langsung, tetapi hanya pengaturan

bersinggungan dengan kewenangan bank sentral

dalam bidang moneter.

Dalam konteks yang lebih relevan, hasil penelitian

Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika

Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi

Kotkas, Marek Porzycki and Milan Vetrák telah

memotret keterlibatan bank sentral dalam proses

legislasi di beberapa negara di Eropa Tengah dan

Timur, yaitu Bulgaria, Republik Ceko, Estonia,

Hungaria, Latvia, Slovakia, dan Polandia. Negara

di kawasan Eropa Timur dan Tengah tersebut

memiliki konteks perkembangan demokrasi dan

pendewasaan politik yang hampir sama dengan

konteks Indonesia sebagai negara-negara pecahan

Uni Soviet. Negara-negara tersebut, selain telah

melibatkan bank sentral dalam proses legislasi

yang terkait dengan kewenangan dan tanggung

jawab bank sentral, tetapi juga memiliki desain

pengaturan yang hampir serupa dengan Indonesia

dalam hal kebanksentralan, terlebih bila merujuk

desain bank sentral dalam konstitusi masing-

masing negara.

20

69 Stanley Fischer, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995, hlm. 202.

70 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010, hlm. 5.

Page 28: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Dalam hal praktik keterlibatan bank sentral dalam

proses legislasi di Bulgaria, pelibatan bank sentral

tidak secara tegas disebutkan dalam konstitusi

ataupun undang-undang, namun Bulgarian

National Bank dapat turut membahas proses

penyusunan undang-undang melalui Standing

Committee yang dibentuk oleh National Assembly

of the Republic of Bulgaria, yang membuka proses

pembahasan rancangan undang-undang diikuti

oleh pihak-pihak yang berkepentingan.71 Peluang

yang dibuka oleh National Assembly of the Republic

of Bulgaria dapat dimaklumi sebab Bulgaria

menganut sistem pemerintahan Parlementer72

yang dalam hal ini National Assembly of the

Republic of Bulgaria memiliki kewenangan dalam

bidang legislatif sekaligus mengontrol jalanannya

pemerintahan yang dilakukan oleh parlemen.73

Bulgarian National Bank tidak dijelaskan secara

rinci dalam Constitution of the Republic of

Bulgaria, namun konstitusi hanya menggariskan

kewenangan National Assembly of the Republic

of Bulgaria untuk memilih dan memberhentikan

Governor of the Bulgarian National Bank.74 Namun

demikian, walaupun secara normatif peluang

pelibatan bank sentral hanya melalui norma

representatives of legal entities, namun dalam

praktik Bulgarian National Bank terlibat secara

aktif dan dapat mempengaruhi proses pembahasan

rancangan undang-undang. Hal tersebut secara

tegas dicatat sebagai hasil penelitian Marcis Apinis,

et al., yaitu:

In Bulgaria, the Government establishes

interinstitutional working groups where draft laws

are discussed and benefit from the expertise of

all the public bodies involved. Although legislation

does not expressly provide for the BG-NCB’s

involvement in the process of making primary law

governing supervision, in practice, the BG-NCB

influences the drafting of the primary law through

its participation in interinstitutional working groups

on the preparation of legal acts to such extent

that the BG-NCB may even draft the legislative

provisions.75

Bank sentral negara lain yang juga terlibat dalam

proses legislasi adalah Czech National Bank. Seperti

halnya Bulgaria, Republik Ceko juga menganut

sistem pemerintahan parlementer, namun demikian

dalam hal keterlibatan bank sentral dalam proses

sudah jauh lebih jelas dibandingkan dengan

Bulgaria. Hal yang sangat membedakan adalah

kewenangan terlibat dalam mempersiapkan

rancangan undang-undang yang terkait dengan

kewenangan dinyatakan secara eksplisit dalam

Article 38 of Act of Czech National Bank, dengan

rumusan sebagai berikut:76

(1)The Czech National Bank, together with the

Ministry of Finance, shall prepare and submit

to the Government draft legislation on the

currency and the circulation of money, and

draft legislation concerning the status,

competence, organisation and activities of the

CNB, save for financial market supervision, the

payment system and electronic money issuance.

21

71 Article 28 of the Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013):(3) Any member of a Standing Committee may invite individuals or

representatives of legal entities, concerned with the issues considered by the Committee, to attend its meeting.

(4) Representatives of trade unions, professional and industries’ associations, on their request, shall attend the meetings, submit written opinions and participate in the Standing Committees’ deliberations on draft legislation concerning their activities and issues of interest, in compliance with the rules established by the committees. The opinions shall be published on the relevant committee webpage of the National Assembly Internet site.

72 Article 1 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “Bulgaria shall be a republic with a parliamentary form of government.”

73 Article 62 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National

Assembly shall be vested with the legislative authority and shall exercise parliamentary control.”

74 Article 8 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National

Assembly shall: elect and remove the Governor of the Bulgarian National Bank and the heads of other institutions established by law;”

75 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm. 14.

76 Article 38 of the Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.

Page 29: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

(2)The Czech National Bank shall cooperate with

the Ministry of Finance in preparing draft

legislation in the areas of the financial market,

the payment system, regulation of electronic

money issuance, foreign exchange

management and the adoption of the single

currency, the euro, in the Czech Republic.

Sebenarnya Constitution of the Czech Republic

pun hanya secara ringkas mengatur fungsi dan

kelembagaan bank sentral, yaitu:77

(1)The Czech National Bank is the central bank

of the State. Its activities are primarily oriented

towards currency stability; it is possible to

interfere with its activities exclusively on the

basis of law.

(2)The status, jurisdiction, and other details are

set down by law.

Bila hal tersebut dibandingkan dengan pengaturan

dalam UUD NRI Tahun 1945, setidaknya

Constitution of the Czech Republic memang lebih

jelas dalam pengaturannya, karena disebutkan

tugas dan fungsi dasar dari bank sentral. Adapun

untuk penjabaran lebih lanjut dari tugas dan fungsi

tersebut Constitution of the Czech Republic juga

menyerahkan pada legal policy pembentuk undang-

undang sebagaimana pula diamanatkan dalam

desain konstitusional bank sentral di Indonesia.

Hampir sama dengan Bulgaria, Eesti Pank (Central

Bank of the Republic of Estonia) pun terlibat

dalam proses legislasi, namun melalui norma

pengaturan yang bersifat implisit. Dalam

Constitution of the Republic of Estonia hanya

menyebutkan kewenangan dasar Bank of Estonia

berupa hak eksklusif untuk menerbitkan mata

uang Estonia, mengelola sirkulasi dan menjaga

stabilitas mata uang, serta tugas lain yang sesuai

dengan hukum dan melaporkan pelaksanaan

tugasnya kepada Riigikogu (The Parliament of

Estonia).78

Dalam Bank of Estonia Act tidak diberikan

pengaturan yang eksplisit menyatakan Bank of

Estonia dapat terlibat dapat proses legislasi. Namun

berdasarkan hasil penelitian Marcis Apinis, et al.,

Bank of Estonia dapat menginisiasi penyusunan

undang-undang maupun menyiapkan draf

keseluruhan dari undang-undang dengan kerja

sama antara Ministry of Finance, Bank of Estonia,

dan Financial Supervision Authority, yang mana

Ministry of Finance yang bertugas memasukkan

draf tersebut kepada Parliament of Estonia.79

Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses

legislasi sejatinya sangat sumir, karena hanya

disandar pada norma “The Bank of Estonia advises

the Government of the Republic in matters of

economic policy”.80 Sejatinya bila hendak dirunut,

keterlibatan Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan

dari format kerja sama antara Ministry of Finance,

Bank of Estonia, dan Financial Supervision

Authority yang dituangkan dalam sebuah

Cooperation Agreement. Secara eksplisit memang

Bank of Estonia tidak memiliki kewenangan untuk

terlibat dalam proses legislasi, namun Ministry of

Finance sebagai wakil dari pemerintah tentu

memiliki kewenangan tersebut, sedangkan untuk

Financial Supervision Authority memang secara

eksplisit disebutkan memiliki kewenangan

mengajukan proposal untuk mengajukan

pembentukan atau revisi undang-undang yang

terkait dengan sektor finansial,81 yang justru

kewenangan seperti ini tidak diberikan kepada

Bank of Estonia.

22

77 Article 98 of the Constitution of the Czech Republic.

78 Article 111-112 of the Constitution of the Republic of Estonia.

79 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm.15.

80 Article 4 paragraph (2) of the Bank of Estonia Act.

81 Article 6 paragraph (1) number 5 of the Financial Supervision Authority Act, “The functions of the Supervision Authority in fulfilling the objectives of financial supervision are to: make proposals for the establishment and amendment of Acts and other legislation concerning the financial sector and related supervision, and participate in the drafting of such Acts and legislation;”

Page 30: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Dalam Cooperation Agreement antara Ministry

of Finance, Bank of Estonia, dan Financial

Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja

sama untuk merancang bersama peraturan dan

panduan di bidang keuangan.82 Hal ini seolah

menggabungkan kewenangan ketiga organ yang

bekerja sama dalam sebuah forum bersama.

Namun demikian, secara tidak disadari sejatinya

forum kerja sama tersebut telah mereduksi

independensi Bank of Estonia, walaupun secara

normatif independensi tersebut dijamin oleh

Article 3 verse (1) of Constitution of the Republic

of Estonia.83

Pada praktik di Hungaria, Magyar Nemzeti Bank

(Hungarian National Bank) secara eksplisit diberikan

kewenangan untuk mengajukan usulan legislasi

yang ditujukan kepada pemerintah. Hal tersebut

secara tegas dituangkan dalam Article 58 of Act

CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank

berikut:84

(1) In order to maintain the stability of the financial

intermediary system, the MNB may submit a

proposal to the Government to adopt legal

regulations or to make legislative proposals,

or to any member of the Government for

adopting legal regulations. The MNB may

decide to make this proposal in a public

announcement.

(2) In response to any proposal of the MNB

submitted to the Government as defined in

paragraph (1), on behalf of the Government

the Minister responsible for the regulation of

the money, capital and insurance markets; and

in the event of a proposal submitted to a

member of the Government, the member of

the Government shall inform the MNB within

15 working days of receipt or publication of

the proposal – through public channels if the

proposal has been announced in the public –

of the launch of a procedure directed at

adopting a legal act or at initiating a legislative

proposal; – in the event of legislative proposal–

of the deadline for presenting a draft law to

the Parliament, or in the event of regulation

in a decree, the deadline for its publication in

the official journal; or in the absence of the

above, of the reasons for such a decision.

(3) If the deadline defined in paragraph (2) expired

without any actions taken, the addressee of

the proposal shall immediately inform the

MNB – through public channels if the proposal

has been announced in the public – of the

reasons for delay, and – if the addressee is in

agreement with the proposal – of the new

deadline for presenting a draft law to the

Parliament, or of its publication in the official

journal.

Berbekal pengaturan tersebut sudah sangat kuat

dasar Hungarian National Bank untuk mengajukan

usulan legislasi yang terkait dengan lingkup

kewenangannya, yang pada sisi yang lain tetap

terdapat jaminan atas independensinya85 dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam

bidang moneter86.

23

82 Article 4 of the Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007.

83 Article 3 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Estonia,

“The Bank of Estonia operates independently of other government agencies. The Bank of Estonia reports on its activities to the Riigikogu and is not subordinate to the Government of the Republic or any other executive agency of the government or to any third party.”

84 Article 58 of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.

85 Article 1 paragraph (2) of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank, “The MNB, and the members of its bodies shall be independent in carrying out their task and meeting their obligations conferred upon them by this Act, and shall neither seek nor take instructions from the Government, or the institutions, bodies or offices of the European Union, with the exception of the European Central Bank (hereinafter the ‘ECB’), or from the governments of Member States or any other organisation or political party. The Government as well as all other institutions shall adhere to this principle and shall not attempt to influence the MNB and its bodies in the course of the performance of their tasks.”

86 Article 41 paragraph (1) of the Constitution of Hungary, “The Hungarian National Bank shall be the central bank of Hungary. The Hungarian National Bank shall be responsible for the monetary politics in a manner provided by separate law.”

Page 31: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Kondisi yang terjadi Latvia serupa dengan praktik

yang terjadi Estonia, yaitu kewenangan menyusun

draf terdapat Financial and Capital Market

Commission,87 yang mana sebenarnya tidak ada

keharusan bagi Financial and Capital Market

Commission untuk berkonsultasi dengan Latvijas

Banka (Bank of Latvia). Namun, konsultasi tersebut

dimungkinkan dilakukan dengan adanya

kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga

ini, sebagaimana yang terjadi di Estonia. Hanya

saja dalam kerja sama ini hanya dilakukan antara

Financial and Capital Market Commission dan

Bank of Latvia.88

Pada praktik di Slovakia terdapat keunikan

tersendiri. Pengaturan tentang Národná banka

Slovenska (National Bank of Slovakia) mirip dengan

pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu:89

(1)The National Bank of Slovakia is an independent

central bank of the Slovak Republic. The

National Bank of Slovakia may, within its scope

of power, issue generally binding legal

regulations if it is so empowered by a law.

(2)The highest administration body of The

National Bank of Slovakia is the Bank Council

of the National Bank of Slovakia.

(3)Details according to paragraphs 1 and 2 shall

be laid down by a law.

Walaupun sama dalam desain konstitusi, namun

National Bank of Slovakia memiliki desain legal

policy yang berbeda dengan Bank Indonesia.

National Bank of Slovakia diberikan kewenangan

secara spesifik oleh Act on the National Bank of

Slovakia untuk mengajukan usulan legislasi, yaitu:90

(1)The National Bank of Slovakia shall submit

draft legislation to the Government in the

areas of money circulation.

(2)The National Bank of Slovakia shall, together

with the Ministry of Finance of the Slovak

Republic (hereinafter referred to as the

“Ministry”), submit to the Government draft

legislation in the area of foreign exchange

relations, the payment systems and the

provision of payment services and the financial

market including banking and the position

and competence of the National Bank of

Slovakia.

(3)The provisions of paragraphs (1) and (2) shall

be without prejudice to the functions and

powers of institutions and bodies of the

European Union in the field of legislation,

under separate legal provisions, nor to the

duty to consult draft legislation with the

European Central Bank to the extent laid down

in a separate legal provision.

Pengaturan di atas menunjukkan 2 (dua)

mekanisme pengajuan usulan legislasi yang dapat

dilakukan oleh National Bank of Slovakia, yaitu:

(1) mengajukan usul secara mandiri spesifik dalam

bidang peredaran uang; dan (2) mengajukan usul

melalui kerja sama dengan Ministry of Finance

dalam bidang hubungan valuta asing, sistem

pembayaran, penyediaan layanan pembayaran,

dan pasar keuangan, termasuk pula terkait

perbankan dan posisi dan kompetensi bank sentral.

Terlepas dari kedua mekanisme tersebut, tetapi

norma pengaturan tersebut dapat memberikan

dasar hukum yang kuat bagi bank sentral untuk

terlibat dalam proses legislasi yang terkait dengan

kewenangan bank sentral.

24

87 Article 6 paragraph (8) of the Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012), “The Commission shall have the following functions: to analyse regulatory requirements pertaining to financial and capital market and draft proposals for their improvement and harmonisation with the regulatory requirements Community;”

88 Article 2.1.6 of the Cooperation Agreement between Financial and

Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009. 89 Article 56 of the Constitution of the Slovak Republic.

90 Article 30 of the Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll.

Page 32: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pada praktik di Polandia, Narodowy Bank Polski

(National Bank of Poland) tidak memiliki

kewenangan mengajukan usulan legislasi

sebagaimana pengaturan di Slovakia, namun

National Bank of Poland diberikan keharusan untuk

menyajikan pendapat pada pembahasan rancangan

undang-undang mengenai aktivitas bank dan

rancangan undang-undang yang penting untuk

sistem perbankan.91 Keharusan tersebut dinilai

cukup untuk menangkap kepentingan bank sentral

dalam proses pembentukan undang-undang yang

berkaitan dengan kewenangan bank sentral.

Selain negara-negara di Eropa Timur dan Tengah,

praktik di negara Amerika Latin juga memiliki sisi

kompabilitas yang relatif sama dengan konteks

Indonesia, yaitu sebagai negara berkembang yang

sedang mengalami masa demokratisasi seperti

halnya Indonesia. Selain itu, negara-negara di

Amerika Selatan, seperti Venezuela dan Peru,

relatif memiliki sistem ketatanegaraan yang sejenis

dengan Indonesia, yaitu menganut sistem

pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan

kompleksitas sistem kepartaian multipartai, yang

mengindikasikan pluralitas masyarakat yang relatif

sejenis dengan konteks Indonesia.

Kedua negara tersebut dipandang relevan untuk

diperbandingkan dengan Indonesia dengan 4

(empat) alasan, yakni: (1) merupakan negara

berbentuk republik;92 (2) menganut sistem

pemerintahan presidensial;93 (3) ketentuan

mengenai bank sentral disebutkan dalam konstitusi

dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;94

dan (4) bank sentral independen dalam

melaksanakan fungsi dan kewenangannya.95

Dengan demikian, maka menjadi relevan untuk

memperbandingkan bank sentral Indonesia

dengan bank sentral di Venezuela dan Peru,

khususnya tentang keterlibatan bank sentral

dalam proses legislasi.

Dalam Law on The Central Reserve Bank of Peru

tidak terdapat pasal yang mengatur secara eksplisit

mengenai kewenangan The Central Reserve Bank

of Peru untuk terlibat dalam proses legislasi.

Namun, peluang keterlibatan The Central Reserve

Bank of Peru dalam proses legislasi khususnya

dalam mengajukan inisiatif rancangan undang-

undang justru dijamin dalam Constitution of Peru,

yakni dalam Article 107 yang mengatur bahwa:

Both the President of the Republic and the

congressmen have the right to initiative in law-

making. The same right, in matters within their

competence, is also enjoyed by the other State

branches, autonomous public agencies, regional

and local governments, and professional

associations. Likewise, citizens possess the right

to initiative in accordance with the law”.96

Berdasarkan hal tersebut maka, The Central Reserve

Bank of Peru sebagai a legal entity governed by

public law97 mempunyai hak yang sama untuk

mengajukan inisiatif pembentukan rancangan

undang-undang.

Bila dibandingkan dengan Indonesia, setidaknya

terdapat 2 (dua) perbedaan mendasarkan perihal

akses The Central Reserve Bank of Peru dan Bank

Indonesia dalam proses legislasi, yakni: Pertama,

hak The Central Reserve Bank of Peru untuk

menginisiasi pembentukan rancangan undang-

25

95 Lihat Article 2 of the Law on the Central Bank of Venezuela. Lihat Article 1 of the Law on the Central Reserve Bank of Peru. Lihat juga Article 86 of the Constitution of Peru.

96 Lihat Article 107 of the Constitution of Peru.

97 Lihat Article 1 of the Law on The Central Reserve Bank of Peru.

91 Article 21 paragraph (4) of the Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).

92 Lihat Article 1 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 43 and 48 of the Constitution of Peru.

93 Lihat Article 162, 226, 228, and 233 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 90, 111, 112, and 113 of the Constitution of Peru.

94 Lihat Article 318 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 83 of the Constitution of Peru.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 33: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

undang dijamin dalam konstitusi negaranya,

sedangkan hal tersebut sama sekali tidak diatur

dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, hak untuk

menginisiasi pembentukan rancangan undang-

undang The Central Reserve Bank of Peru seperti

halnya yang disebutkan dalam Article 107 sama

halnya dengan hak inisiatif Presiden dan anggota

kongres dalam menginisiasi rancangan undang-

undang. Hal tersebut berarti The Central Reserve

Bank of Peru mempunyai kedudukan yang sama

dalam mengajukan inisiatif pembentukan

rancangan undang-undang. Dengan demikian,

akses The Central Reserve Bank of Peru dalam

mengajukan inisiasi pembentukan rancangan

undang-undang jelas lebih terjamin dibandingkan

dengan akses Bank Indonesia dalam menginisiasi

pembentukan rancangan undang-undang.

Lebih lanjut perihal keterlibatan The Central Bank

of Venezuela dalam proses legislasi. Keterlibatan

bank sentral Venezuela dalam proses legislasi

tidak diatur secara khusus baik dalam Constitution

of Bolivarian Republic of Venezuela maupun dalam

Law on The Central Bank of Venezuela. Namun,

peluang keterlibatan The Central Bank of

Venezuela untuk terlibat dalam proses legislasi

tersirat pada Article 112 of the Constitution of

Bolivarian Republic of Venezuela, yang mengatur

bahwa, “During the process of debating and

approval of bills, the National Assembly or Standing

Committees shall consult the other organs of the

State, the citizenry and organized society to hear

their opinion about the same [....]”.98 Berdasarkan

hal tersebut, maka dalam proses pembahasan

dari rancangan undang-undang National Assembly

maupun Standing Committees dapat meminta

pendapat dari organ negara lainnya, antara lain

The Central Bank of Venezuela.

Belajar dari negara-negara tersebut sedikit banyak

menggambarkan kedudukan bank sentral dalam

politik negara yang memunculkan kompromi

antara peneguhan independensi dan kebutuhan

legislasi bank sentral. Dengan melihat berbagai

praktik bank sentral dalam konteks legislasi, maka

dapat disimpulkan bahwa keterlibatan bank

sentral dalam proses legislasi merupakan hal yang

lazim dan penting dalam rangka mewujudkan

stabilitas perekonomian nasional menjaga kadar

independensi bank sentral itu sendiri. Hal ini

menjadi wajar sebagai bentuk dinamika99

kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia untuk

menjaga stabilitas moneter dalam perekonomian

negara. Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang

wajar jika Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

Republik Indonesia diberikan peluang untuk dapat

memprakarsai atau setidak-tidaknya terlibat dalam

proses pembahasan penyusunan undang-undang

yang berkaitan dengan kewenangannya.

3. Peluang Bank Indonesia Memprakarsai

Rancangan Undang-Undang

Amandemen konstitusi telah mengubah wajah

ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.

Penataan kelembagaan negara yang mengarah

pada kehidupan yang lebih demokratis merupakan

ciri keberhasilan dari perubahan konstitusi. Salah

satu penataan tersebut adalah dengan penguatan

kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Penguatan BI sebagai salah satu lembaga negara

yang diakui konstitusi tidak lepas dari konteks

reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan

yang kuat dan bersih (strong and clean government)

dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance) dimulai dari pembentukan peraturan

perundang-undangan dan pembentukan lembaga

seterusnya mengakomodasi kepentingan publik

secara melembaga.100

26

98 Lihat Article 112 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.

99 Praktik dinamika kewenangan juga terjadi dalam konteks kewenangan yudisial, yang bergeser dari menguji peraturan perundang-undangan berkembang menjadi membatalkan peraturan perundang-undangan.

100Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010, hlm. 24.

Page 34: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Dalam upaya penguatan kelembagaan BI dilakukan

secara bertahap dimulai dengan lahirnya UU Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan

lebih mempertegas kewenangan Bank Indonesia,

yaitu pelaksana otoritas moneter.101 Konsekuensi

dari pelaksanaan kewenangan tersebut berdasar

evaluasi atas praktik ketatanegaraan masa lalu,

yang kemudian menjadikan BI sebagai lembaga

negara yang independen terpisah dari cabang

kekuasaan eksekutif. Pemerintah ataupun

kekuasaan apapun tidak boleh mencampuri

pelaksanaan kewenangan BI.

Desain kelembagaan yang sudah ditentukan dalam

UU tersebut kemudian diajukan pada pembahasan

amandemen UUD untuk dimasukkan dalam

ketentuan konstitusi. Persoalan eksistensi bank

sentral, penamaan dengan menggunakan Bank

Indonesia, dan permasalahan menyangkut

independensi adalah pembahasan yang menguras

energi Panitia Ad-Hoc Perubahan UUD 1945.

Dari amandemen pertama sampai terakhir,

perdebatan atas eksistensi BI seakan tidak

mendapatkan penyelesaian, sehingga diputuskan

untuk menciptakan ketentuan yang bersifat

kompromistis, yaitu Pasal 23D yang berbunyi,

“Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,

kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan

independensinya diatur dengan undang-undang.”

Dalam ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945

hanya menyebutkan bahwa bank sentral

merupakan bank yang independen, namun tidak

dijelaskan sejauh mana batas independensinya

dan hanya diserahkan kepada pembentuk undang-

undang untuk mengatur luasan lingkup makna

independensinya.

Bank Indonesia sebagai bank sentral penting untuk

diberikan Independensi sebagaimana dikatakan

Arend Lijphart yang menyatakan, “A central bank

can be made particularly strong if its independence

is enshrined not just in a central bank charter but

in the constitution”.102 Hal tersebut senada dengan

yang disampaikan Boediono sebagai Menteri

Keuangan pada saat pembahasan amandemen

UUD 1945 yang menyatakan:

[…] Kebanyakan dari bukti-bukti atau data-data

internasional menunjukkan memang ada korelasi

positif negara yang mempunyai bank sentral yang

diberi independensi […] biasanya mempunyai

prestasi pengendalian inflasi yang lebih baik. […]

Oleh sebab itu, maka sejak satu dasawarsa atau

sedikit lebih akhir-akhir ini memang kecenderungan

umum dari pendapat para pakar di dunia adalah

memang sebaiknya bank sentral itu diberi satu

kewenangan untuk independen. Independen

dalam menentukan kebijakan moneternya.103

Dalam UU yang mengatur independensi BI,

dicantumkan bahwa, “Bank Indonesia adalah

lembaga negara yang independen, bebas dari

campur tangan Pemerintah, dan atau pihak-pihak

lainnya, kecuali untuk yang secara tegas diatur

dalam undang-undang ini.”104 Lebih lanjut, dalam

penjelasan Pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan:

Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang

independen di bidang tugasnya berada di luar

pemerintahan dan lembaga lain sebagaimana

ditetapkan dalam undang-undang ini. Dalam

pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia

menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat. Selain itu, laporan keuangan Bank

Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa

Keuangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa

102Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, hlm. 302.

103Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun

1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 266.

104Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

27

101Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

Page 35: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Keuangan disampaikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat.105

Independensi BI semata untuk mencapai tujuan

BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah.106

Kemandirian BI tersebut nyatanya telah direduksi

oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana

telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan, bahkan

dalam revisi UU BI yang baru sangat dominan

dalam aspek pengawasan daripada memperjelas

tugas, fungsi dan wewenang BI. Hal tersebut

tentunya secara ketatanegaraan menjadi suatu

masalah sebab tanpa kejelasan dan kepastian

hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang

BI akan menghambat peran BI dalam perekonomian

nasional. Oleh karena itu, menjadi penting untuk

melibatkan BI dalam proses legislasi yang berkaitan

dengan kelembagaan BI, baik menyangkut fungsi,

tugas wewenang maupun kewajibannya.

Dalam kaitan dengan keterlibatan BI dalam

membentuk undang-undang, maka harus

diperhatikan dasar kewenangan untuk melakukan

hal tersebut. Hal ini penting, sebab sebagaimana

pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa

pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari

penegakan hukum yang sangat penting untuk

diperhatikan.107 Dari pandangan itu, Kelsen

mengelaborasi lebih lanjut, bahwa menurutnya

pembentukan hukum dapat ditentukan menurut

dua cara yang berbeda, yaitu norma lebih tinggi

dapat menentukan: (1) organ dan prosedur

pembuatan norma yang lebih rendah; dan

(2) isi norma yang lebih rendah.108 Teori yang

dikemukakan Kelsen ini membatasi organ mana

yang memiliki kewenangan dalam membentuk

peraturan perundang-undangan.

UUD sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia

telah menentukan kelembagaan apa yang memiliki

wewenang legislasi di Indonesia. UUD memberikan

atribusi kewenangan membentuk UU kepada DPR

dan Presiden, dan pada beberapa masalah spesifik

dengan melibatkan DPD. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden berhak

mengajukan rancangan undang-undang kepada

Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan, Pasal 20

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang. Membandingkan

kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa lembaga

negara yang diberikan kekuasaan membentuk

undang-undang adalah DPR. Namun, dalam

pembahasan undang-undang dan persetujuan

perlu dilakukan bersama antara DPR dengan

Presiden. Selain itu, dalam Pasal 22D UUD NRI

Tahun 1945 pada pokoknya menyatakan bila

terkait dengan kewenangan DPD, maka DPD dapat

mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas

RUU tersebut bersama DPR dan Presiden.

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan BI,

yang harus dijawab adalah apakah BI memiliki

peluang untuk terlibat dalam proses pembentukan

undang-undang dan apakah dimungkinkan secara

yuridis untuk terlibat. Jawaban atas pertanyaan

tersebut jika mengacu pada pendapat Hans Kelsen

tentang delegasi kewenangan dari norma tertinggi

atas organ pembentuk undang-undang, maka BI

tidak termasuk di dalamnya. Sebab konstitusi

membatasi kekuasaan membuat undang-undang

adalah DPR yang menyertakan Presiden dan DPD.

Namun, jika menafsirkan lebih lanjut pendapat

Kelsen di atas, maka kewenangan membentuk

28

105Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

106Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

107Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, hlm. 163. 108 Ibid., hlm. 167.

Page 36: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

peraturan harusnya tidak saja diberikan oleh norma

tertinggi kepada norma rendah, tetapi juga dapat

lahir dari kewenangan yang muncul dari norma

yang mengatur itu sendiri. Maknanya, kekuasaan

membentuk undang-undang tetap berada pada

lembaga-lembaga yang ditentukan konstitusi,

namun juga dalam pengaturan lebih lanjut tentang

pembentukan undang-undang yang

memungkinkan membuka peluang kepada

lembaga atau entitas lain untuk terlibat.

Mencermati dan menelaah UU BI yang telah direvisi

dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, sejatinya terbuka

peluang BI untuk terlibat dalam penyusunan

RUU dan dalam proses pembentukan undang-

undang. Dalam Pasal 7 UU BI terdapat ayat yang

mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki

keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Dalam Pasal

7 UU BI dinyatakan bahwa, “Untuk mencapai

tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank

Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara

berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus

mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah

di bidang perekonomian.”109 Dari ketentuan

tersebut didapati bahwa dalam mencapai tujuannya

BI harus mempertimbangkan kebijakan umum

yang diambil pemerintah di bidang ekonomi.

Pengaturan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 1999

jo. UU Nomor 3 Tahun 2004 dapat menjadi pintu

masuk bagi BI sebagai pemrakarsa RUU yang

terkait dengan tugas dan kewenangannya, yaitu:110

(1)Pemerintah wajib meminta pendapat Bank

Indonesia dan/atau mengundang Bank

Indonesia dalam sidang kabinet yang

membahas masalah ekonomi, perbankan dan

keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank

Indonesia atau masalah lain yang termasuk

kewenangan Bank Indonesia.

(2)Bank Indonesia wajib memberikan pendapat

dan pertimbangan kepada Pemerintah

mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang

berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank

Indonesia.

Dalam ayat (1) tidak dibatasi secara limitatif

“pembahasan masalah” yang dimaksud. Frasa

“masalah ekonomi, perbankan dan keuangan

yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau

masalah lain yang termasuk kewenangan Bank

Indonesia”, membuka peluang keluasan cakupan

keterlibatan BI bekerja sama dengan Pemerintah,

termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU.

Argumentasi tersebut dikuatkan dalam pengaturan

pada ayat (2), pada frasa yang menyatakan, “Bank

Indonesia wajib memberikan pendapat dan

pertimbangan kepada Pemerintah mengenai

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa BI

memang dapat turut serta dan bahkan wajib

memberikan pendapat dan pertimbangan dalam

pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari

RAPBN ini kemudian menjadi bahan utama bagi

presiden untuk membuat RUU APBN.

Dengan menggunakan penafsiran ekstensif, tidak

dapat dipungkiri bahwa RUU APBN adalah masuk

dalam nomenklatur RUU pula.111 Dengan demikian,

secara implisit sejatinya BI memiliki kewenangan

dalam mempersiapkan bahan dari RAPBN yang

kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam

mengajukan RUU APBN. Peluang tersebut diperluas

lagi melalui frasa “kebijakan lain yang berkaitan

dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia”.

Peluang tersebut dapat menjadi pintu bagi BI untuk

29

109Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

110Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

111Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 37: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

terlibat dalam mempersiapkan bahan dari RUU

yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.

Selain dalam UU BI, peluang tersebut juga terbuka

melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yang menyatakan, “Dalam pembicaraan

tingkat satu dapat diundang pimpinan lembaga

negara atau lembaga lain jika materi Rancangan

Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara

atau lembaga lain.” Terlebih dengan ketentuan

Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang mengatur mengenai Pembicaraan Tingkat

I yang terdiri dari: (a) pengantar musyawarah; (b)

pembahasan daftar inventaris masalah; dan (c)

penyampaian pendapat mini, semakin memberikan

jalan bagi BI untuk dapat turut mengawal bahan

RUU yang telah diajukan oleh BI, baik itu RUU

melalui jalur Presiden, DPR, ataupun DPD.

Upaya untuk membuka keterlibatan lembaga

negara/lembaga lain tersebut, yang dibutuhkan

adalah perubahan pada aturan pelaksana, yang

dalam hal ini adalah Tata Tertib DPR atau Peraturan

Presiden yang mengatur mengenai tata cara

persiapan RUU. Dalam Pasal 99 ayat (1) Peraturan

DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib,

dinyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang

dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.112

Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka

kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain

untuk mengajukan RUU, selama masih terkait

dalam lingkup kewenangannya. Tentu saja

kemudian usulan RUU dari lembaga

negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi

menjadi RUU usulan DPR.

Pada jalur eksekutif, untuk membuka pintu inisiasi

RUU perlu adanya perubahan pada Peraturan

Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Perlu Hanya diperlukan perluasan makna dari

terminologi “pemrakarsa”, yang sejauh ini hanya

sempit terbatas pada “menteri/pimpinan lembaga

pemerintah non-departemen yang mengajukan

usul penyusunan Rancangan Undang-Undang

[...]”,113 perlu untuk lebih diperluas lagi dengan

melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang

terkait dengan kewenangannya. Tentu saja

konsekuensi dari jalur ini adalah akuisisi usulan

RUU tersebut menjadi RUU usulan Pemerintah.

Selain itu, harus dicermati pula bahwa Perpres a

quo sejatinya merupakan amanat dari UU Nomor

10 Tahun 2004, yang notabene sudah digantikan

substansi dan keberlakuannya oleh UU Nomor

12 Tahun 2011. Sedangkan, UU Nomor 12 Tahun

2011 juga memerintahkan untuk dibentuknya

Perpres yang mengatur lebih lanjut mengenai

tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang.114 Dengan demikian, peluang untuk

memperluas terminologi “pemrakarsa” sangat

dimungkinkan sejalan dengan pembentukan

Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (4) UU Nomor

12 Tahun 2011.

Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,

setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan

BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan

tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,

30

112Pasal 99 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

113Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

114Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 38: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat

3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu,

BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan

catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah

dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa

RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU

dari jalur DPR. Namun, opsi ini sangat tergantung

pada perubahan peraturan yang saat ini masih

berlaku sebagaimana telah diuraikan di atas.

Melalui posisi sebagai pemrakarsa, BI dapat

memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI

atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam

proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI

untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait

dengan tugas dan kewenangannya.

BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun

suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas,

kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU

yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara

DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat

diajukan. Pada langkah ini, BI mempercayakan

sepenuhnya pembahasan kepada lembaga yang

dititipi dan tidak turut aktif dalam pembahasan,

kecuali atas undangan pihak yang dititipi. Dalam

pilihan ini setiap jalur yang dipilih BI memiliki

implikasi masing-masing atas keberhasilan dalam

menjaga kepentingan BI.

Apabila yang dipilih adalah jalur DPR, maka

keunggulannya adalah posisi DPR sebagai

pemegang kekuasaan membentuk undang-

undang. Apabila DPR telah mengajukan RUU dan

secara bersamaan Presiden atau DPD juga

melakukan hal yang sama, maka RUU dari DPR

yang akan dibahas, sedangkan yang lain hanya

digunakan sebagai pembanding saja.115

Kelemahan dari pemilihan jalur ini adalah DPR

bukanlah mewakili satu kepentingan saja. Di

dalam institusi DPR terdapat polarisasi suara yang

membawa kepentingan politik masing-masing

partai politik, bahkan kepentingan politik masing-

masing anggota DPR, sehingga akan susah untuk

menemukan kebulatan suara di dalamnya.

Sedangkan bila melalui jalur Pemerintah,

keuntungannya adalah adanya locus kewenangan

yang berhimpitan antara Pemerintah dan BI, yaitu

dalam bidang moneter dan fiskal, yang notabene

keduanya dulu adalah sama-sama ranah kekuasaan

eksekutif. Selain itu, melalui Pemerintah lebih

mudah untuk dicapai kesepahaman kepentingan

politik mengenai substansi RUU. Kelemahan atas

pilihan ini adalah himpitan kewenangan antara

BI dan Pemerintah, mengakibatkan kecenderungan

Pemerintah untuk mereduksi kewenangan BI.

Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila

BI dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat

memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI

atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam

proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI

untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait dengan

tugas dan kewenangannya. BI dapat mendorong

adanya perubahan UU BI yang di dalamnya secara

spesifik memberikan kewenangan mengusulkan

RUU yang terkait dengan kewenangan BI, baik

ditentukan secara limitatif ataukah tidak. Gagasan

ini merujuk pada praktik yang terjadi di Hungaria,

Slovakia, dan Republik Ceko yang kesemuanya

menentukan secara eksplisit kewenangan untuk

mengusulkan RUU yang terkait dengan

kewenangan bank sentral. Dengan demikian, akan

lebih memberikan kepastian hukum kepada BI

dalam mengajukan RUU.

Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem

adalah BI mempertimbangkan peluang untuk

mengubah UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini

31

115Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 39: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

merujuk pada praktik yang telah dilaksanakan di

Peru, yang mana peluang Peruvian Central Bank

untuk ikut mengajukan RUU diatur secara implisit

dalam norma di level konstitusi. Dengan demikian,

tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan

RUU terbuka lebar. Bahkan Bank Indonesia dapat

secara independen mengawal draf RUU yang

diusulkannya, dari pengajuan sampai dengan RUU

disahkan sebagai UU.

Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan

dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh

Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan

suatu RUU.116 Derajat ini berpegang pada definisi

legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa

hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga

pemerintah non-departemen.117 Selain itu, hanya

menteri yang dapat ditunjuk oleh Presiden menurut

UU untuk melakukan pembahasan RUU bersama

DPR melalui sebuah Surat Presiden.118 Pada porsi

ini keterlibatan BI sangat bergantung pada

kemauan dan kesediaan leading sector untuk

mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu

RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan

BI. Opsi ini telah seperti yang diterapkan di negara

Venezuela yang mana pelibatan Venezuela Central

Bank tergantung pada kebutuhan Pemerintah,

dalam hal ini Menteri Keuangan untuk meminta

pertimbangan Venezuela Central Bank atas

pembahasan rancangan undang-undang.

Pada porsi ini, posisi Bank Indonesia menjadi pihak

yang pasif menunggu kemurahan hati leading

sector untuk mengundang dan melibatkan BI

dalam penyusunan RUU. Pilihan ini membuat BI

menjadi sangat tergantung pada will pemerintah

untuk turut terlibat dalam penyusunan RUU. Pilihan

ini menjadi kurang relevan, karena bila RUU yang

dibahas terkait dengan tugas dan kewenangan

BI, maka seyogyanya Bank Indonesia terlibat dalam

proses penyusunan RUU tersebut.

BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan

diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam

pembahasan suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak

bertindak selaku pemrakarsa atau pihak yang

mengajukan, namun sebatas menjadi pihak yang

turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU

yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI.

Permohonan pengajuan diri BI terlibat dalam

proses pembahasan berpijak pada rumusan

pengaturan pada UU BI yang memungkinkan BI

turut serta dalam pembahasan kebijakan lain

terkait tugas dan kewenangannya.119

Derajat keterlibatan ini menggunakan penafsiran

norma bahwa dalam “Pembicaraan Tingkat I dapat

diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga

lain jika materi Rancangan Undang-Undang

berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga

lain” dan norma bahwa “Pemerintah wajib

meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau

mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet

yang membahas masalah ekonomi, perbankan

dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank

Indonesia atau masalah lain yang termasuk

kewenangan Bank Indonesia”.

Keaktifan BI untuk mengajukan diri sebagai pihak

dalam pembahasan merupakan pilihan yang relatif

besar kemungkinannya untuk berhasil sebab

Pemerintah memiliki kewajiban mengundang

32

116Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

117Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata

Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

118Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

119Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).

Page 40: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

untuk BI, sedangkan pada di sisi yang lain BI

merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam

Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai

lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang

dibahas berkaitan dengan kewenangan lembaga

negara/lembaga lain tersebut.

Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan

lembaga yang dapat mengusulkan atau

memprakarsai RUU dalam hal pembangunan

hukum di bidang kewenangan BI. Hal seperti

halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI

dapat membangun kerja sama dengan

Kementerian Keuangan misalnya, spesifik dalam

hal perancangan usulan RUU yang terkait

kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait

dengan kewenangan Kementerian Keuangan.

Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses

legislasi sejatinya sangat sumir, karena keterlibatan

Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan dari format

kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of

Estonia, dan Financial Supervision Authority yang

dituangkan dalam sebuah Cooperation Agreement.

Dalam Cooperation Agreement antara Ministry

of Finance, Bank of Estonia, dan Financial

Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja

sama untuk merancang bersama peraturan dan

panduan di bidang keuangan. Kondisi yang terjadi

Latvia serupa dengan praktik yang terjadi Estonia,

yaitu kewenangan menyusun draf terdapat

Financial and Capital Market Commission, yang

mana sebenarnya tidak ada keharusan bagi

Financial and Capital Market Commission untuk

berkonsultasi dengan Latvijas Banka (Bank of

Latvia). Namun, konsultasi tersebut dimungkinkan

dilakukan dengan adanya kesepakatan kerja sama

antara kedua lembaga ini, sebagaimana yang

terjadi di Estonia. Hanya saja dalam kerja sama

ini hanya dilakukan antara Financial and Capital

Market Commission dan Bank of Latvia.

Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI

mengajukan permohonan pengujian UU terhadap

UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian

konstitusional yang diderita oleh BI dengan

keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah

sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan

permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI

Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas

fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.

Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama

ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan

norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya

BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait

kewenangan BI tentu membawa dampak yang

signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan

konstitusional BI, yang tentu mengarah pada

munculnya kerugian konstitusional yang diderita

oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk

menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam

proses legislasi UU yang terkait dengan

kewenangan BI.

Pilihan ini lebih membawa kepastian hukum sebab

Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal

10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011

merupakan materi muatan dalam undang-undang

dan akan ditindaklanjuti baik oleh Presiden

maupun DPR untuk diajukan sebagai Rancangan

Undang-Undang. Implikasi atas jalur pengujian

konstitusional atas undang-undang memiliki dua

kemungkinan, yaitu diterima atau ditolak. Jika

permohonan BI diterima, maka hal tersebut akan

membawa keuntungan bagi BI untuk kepastian

hukum sesuai yang dimohonkan, sedangkan

apabila ditolak, maka akan mengukuhkan yang

sudah ada dan hal tersebut menjadi risiko yang

harus ditanggung oleh BI.

Dalam setiap penerapan gagasan dan/atau

peraturan baru dalam sistem hukum membawa

implikasi terhadap sistem lama yang sudah

berjalan. Hal ini juga berlaku pada gagasan

keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang

berkaitan dengan tugas dan kewenangannya.

Masing-masing gagasan memiliki kelebihan dan

kekurangan, sehingga harus mempertimbangkan

33

Page 41: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

segala kemungkinan yang terjadi sebelum

menentukan pilihan yang akan diterapkan.

D. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

terdapat peluang untuk melibatkan Bank Indonesia

dalam proses pembentukan Rancangan Undang-

Undang dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia. Peluang BI untuk dapat turut membahas

RUU sebenarnya terbuka secara normatif melalui

beberapa Pasal, yakni: Kesatu, Pasal 7 ayat (1) UU

Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004

yang mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki

keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, Pasal

54 UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun

2004 menjadi pintu masuk bagi Bank Indonesia

sebagai pemrakarsa RUU yang terkait dengan tugas

dan kewenangannya. Frasa “masalah ekonomi,

perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan

tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk

kewenangan Bank Indonesia”, membuka peluang

keluasan cakupan keterlibatan BI bekerja sama dengan

Pemerintah, termasuk di dalamnya untuk

memprakarsai RUU. Argumentasi tersebut dikuatkan

dalam pengaturan pada ayat (2), pada frasa yang

menyatakan, “Bank Indonesia wajib memberikan

pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah

mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa

BI memang dapat turut serta dan bahkan wajib

memberikan pendapat dan pertimbangan dalam

pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN

ini kemudian menjadi bahan utama bagi presiden

untuk membuat RUU APBN. Dengan menggunakan

penafsiran ekstensif, tidak dapat dipungkiri bahwa

RUU APBN adalah masuk dalam nomenklatur RUU

pula. Dengan demikian, secara implisit sejatinya BI

memiliki kewenangan dalam mempersiapkan bahan

dari RAPBN yang kemudian menjadi dasar utama

Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang

tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain

yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank

Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu

bagi BI untuk terlibat dalam mempersiapkan bahan

dari RUU yang lain, selama dalam lingkup kewenangan

BI.

Ketiga, Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menjadi peluang pula, “Dalam pembicaraan tingkat

satu dapat diundang pimpinan lembaga negara atau

lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang

berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga

lain.” Keempat, jalur lain adalah perubahan pada

aturan pelaksana, yang dalam hal ini adalah Tata

Tertib DPR atau Peraturan Presiden yang mengatur

mengenai tata cara persiapan RUU. Dalam Pasal 99

ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Tata Tertib, dinyatakan bahwa Rancangan Undang-

Undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.

Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka

kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk

mengajukan RUU, selama masih terkait dalam lingkup

kewenangannya. Usulan RUU dari lembaga

negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi menjadi

RUU usulan DPR.

Perlu adanya perubahan pada Peraturan Presiden

Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan

Rancangan Peraturan Presiden. Hanya diperlukan

perluasan makna dari terminologi “pemrakarsa”,

yang sejauh ini hanya sempit terbatas pada “menteri/

pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang

mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-

Undang [...]”, perlu untuk lebih diperluas lagi dengan

melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang terkait

dengan kewenangannya. Tentu saja konsekuensi dari

jalur ini adalah akuisisi usulan RUU tersebut menjadi

RUU usulan Pemerintah.

Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,

setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan BI

dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas

dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur

34

Page 42: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)

alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan

diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua

perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka

BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah

atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga

memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang

berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan

lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut

BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD

untuk selanjutnya dapat diajukan.

Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila BI

dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat memilih

langkah untuk mengusulkan revisi UU BI atau revisi

tahapan proses legislasi dalam UU Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, sehingga dapat

mengakomodasi peran BI dalam proses legislasi dan

bahkan memungkinkan BI untuk mengajukan sendiri

RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangannya.

Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah

BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah

UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini merujuk pada

praktik yang telah dilaksanakan di Peru, yang mana

peluang Peruvian Central Bank untuk ikut mengajukan

RUU diatur secara implisit dalam norma di level

konstitusi. Dengan demikian, tentu peluang Bank

Indonesia untuk mengajukan RUU terbuka lebar.

Bahkan Bank Indonesia dapat secara independen

mengawal draf RUU yang diusulkannya, dari

pengajuan sampai dengan RUU disahkan sebagai UU.

Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan

undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri

untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu

RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik

formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat

dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah

non-departemen. Pada porsi ini keterlibatan BI sangat

bergantung pada kemauan dan kesediaan leading

sector untuk mengajak BI dalam melakukan

penyusunan suatu RUU yang terkait dengan tugas

dan kewenangan BI. Pada porsi ini, posisi Bank

Indonesia menjadi pihak yang pasif menunggu

kemurahan hati leading sector untuk mengundang

dan melibatkan BI dalam penyusunan RUU. Pilihan

ini membuat BI menjadi sangat tergantung pada will

pemerintah untuk turut terlibat dalam penyusunan

RUU.

BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan

diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam pembahasan

suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak bertindak selaku

pemrakarsa atau pihak yang mengajukan, namun

sebatas menjadi pihak yang turut dilibatkan dalam

proses pembahasan RUU yang terkait dengan tugas

dan kewenangan BI. Permohonan pengajuan diri BI

terlibat dalam proses pembahasan berpijak pada

rumusan pengaturan pada UU BI yang memungkinkan

BI turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait

tugas dan kewenangannya. Keaktifan BI untuk

mengajukan diri sebagai pihak dalam pembahasan

merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya

untuk berhasil sebab Pemerintah memiliki kewajiban

mengundang untuk BI, sedangkan pada di sisi yang

lain BI merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam

Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai

lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang dibahas

berkaitan dengan kewenangan lembaga

negara/lembaga lain tersebut.

Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan

lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai

RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang

kewenangan BI. Hal seperti halnya yang diterapkan

di Estonia dan Latvia. BI dapat membangun kerja sama

dengan Kementerian Keuangan misalnya, spesifik

dalam hal perancangan usulan RUU yang terkait

kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait

dengan kewenangan Kementerian Keuangan. Dalam

Cooperation Agreement antara Ministry of Finance,

Bank of Estonia, dan Financial Supervision Authority

ditegaskan bahwa kerja sama untuk merancang

bersama peraturan dan panduan di bidang keuangan.

Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI

mengajukan permohonan pengujian UU terhadap

UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian

35

Page 43: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

konstitusional yang diderita oleh BI dengan

keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah

berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan

permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI

Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas

fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.

Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini

norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma

konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam

proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan

BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap

pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang

tentu mengarah pada munculnya kerugian

konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut

setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI

harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait

dengan kewenangan BI.

36

Page 44: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

37

A. Buku

Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta.

Kennedy, Ellen, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute

of International Affairs, Pinter Publishers, London.

Lijphart, Arend, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University

Press, New Haven and London.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa

Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,

Jakarta.

Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia,

Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.

___________________, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank

Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.

Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,

1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

B. Antologi

Capiey, Forrest, et al., “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of

Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge,

UK.

Stern, Klaus, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years

of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK.

C. Artikel Jurnal

Apinis, Marcis, et al., “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European

Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European

Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Page 45: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Fischer, Stanley, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995.

_____________, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of

the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January

6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995.

Goodhart, C.A.E., “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-

10-25.

Ismail, Maqdir, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010.

___________, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia,

Vol. 4, No. 2, Juni 2007.

Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan

Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010.

Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012.

D. Makalah

Rahardjo, Satjipto, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan

Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.

E. Sumber Internet

Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”,

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-

Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.

Syafputri, Ella, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”,

http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April

2013.

F. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam

Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

38

Page 46: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3843).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan

Presiden.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

G. Sumber Lain

The Constitution of the Czech Republic.

The Constitution of Hungary.

The Constitution of the Republic of Bulgaria.

The Constitution of the Republic of Estonia.

The Constitution of the Slovak Republic.

The Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.

The Constitution of Peru.

The Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.

The Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013

Coll.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

39

Page 47: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

The Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last

amended by Act No. 403/2010 Coll.

The Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).

The Bank of Estonia Act.

The Act on The Central Bank of Venezuela.

The Act on The Central Reserve Bank of Peru.

The Financial Supervision Authority Act.

The Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with

amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012).

The Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013,

Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013).

The Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December

2007.

The Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009.

Noted : Strongly recommended : review : NP.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

40

Page 48: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

A. Pendahuluan

Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)

merupakan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah

Amerika Serikat yang mewajibkan Foreign Financial

Institutions (FFI) atau lembaga keuangan asing untuk

melaporkan kepada Internal Revenue Service (IRS)

atas aset finansial yang disimpan oleh wajib pajak

Amerika Serikat (AS). FFI yang telah menandatangani

perjanjian dengan IRS memiliki kewajiban untuk

melaporkan kepemilikan rekening wajib pajak AS

kepada IRS.

MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI

ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA

Oleh :

Fransiska Ari Indrawati, S.H, LLM1

Abstrak

Pada tahun 2010 pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan ketentuan perpajakan yang dinamakan Foreign

Account Tax Compliance Act atau disingkat dengan FATCA. Pengaturan FATCA ini dilatarbelakangi antara lain terjadinya

krisis keuangan di AS di tahun 2008 yang salah satu faktor penyebabnya adalah penghindaran pajak dalam jumlah besar

oleh warga negara Amerika Serikat yang memiliki pendapatan luar negeri. FATCA diharapkan dapat mencegah penghindaran

pajak sehingga dapat menambah pendapatan pemerintah AS.

FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk melaporkan kepada Internal Revenue Service, badan pemerintah

AS yang menangani perpajakan, atas rekening finansial yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki lembaga

asing dimana Wajib Pajak AS tersebut memiliki kepemilikan yang substansial.

FATCA akan diimplementasikan pada tanggal 1 Juli 2014. Pemerintah AS telah memberikan opsi kepada hampir

seluruh negara dimana warga negara AS berada untuk menerapkan atau tidak menerapkan FATCA. Pemerintah AS akan

mengenakan 30% withholding tax terhadap seluruh pendapatan Foreign Financial Institutions (FFI) yang berasal dari

AS misalnya pendapatan dari dividen, bunga dan asuransi apabila FFI ataupun negara dimana FFI tersebut berada tidak

menerapkan FATCA. Namun demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena penerapan withholding tax tersebut

yaitu dengan: (i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii) menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA) yang

terdiri atas Model 1 IGA dan Model 2 IGA.

Penerapan FATCA telah mendapat dukungan dari forum G20. Indonesia sebagai salah satu anggota G20 diharapkan

dapat mengimplementasikan ketentuan ini untuk mendukung terjadinya pencegahan penghindaran pajak yang sudah

menjadi perhatian di forum internasional dan terutama untuk menghindari pengenaan withholding tax sebesar 30%

yang akan dikenakan oleh pemerintah AS kepada FFI.

1 Penasehat Hukum Bank Indonesia

41

Page 49: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

FATCA dikeluarkan oleh Pemerintah AS untuk

menghindari penyembunyian pajak yang berasal dari

pendapatan luar negeri (offshore tax evasion) dan

kedepannya FATCA diharapkan dapat menjadi

standard ketentuan yang digunakan seluruh dunia

untuk mencegah penghindaran pajak yang terjadi2.

Forum G20 juga mendukung penuh upaya untuk

mencegah penghindaran pajak di dunia internasional

sebagaimana dikemukakan Communiqué of Finance

Ministers and Central Bank Governors pada April 20133.

Dalam G20 Leaders Declaration, forum G20 juga

mengungkapkan bahwa transparansi pajak dan

pertukaran data otomatis (automatic exchange of

information) antar anggota diperlukan sebagai salah

satu upaya penghindaran pajak4. Forum G20 juga

telah berkomitmen untuk memulai pertukaran data

otomatis terkait pajak yang akan dilakukan pada akhir

tahun 2015. Hal ini menunjukkan adanya komitmen

dari forum internasional dalam mendukung transparansi

pajak dan mencegah penghindaran pajak mengingat

penghindaran pajak saat ini menjadi isu yang telah

mendunia. Tentu Indonesia diharapkan dapat juga

mendukung komitmen yang telah disepakati dalam

forum internasional tersebut khususnya mengenai

upaya mencegah terjadinya penghindaran pajak.

Terkait dengan upaya pencegahan penghindaran

pajak oleh Pemerintah AS, terhitung sejak tanggal

1 Juli 2014 Pemerintah AS akan mengenakan 30%

withholding tax terhadap seluruh pembayaran kepada

FFI yang berasal dari sumber pendapatan di AS seperti

dividen, bunga dan asuransi apabila FFI tersebut tidak

memiliki komitmen untuk melaporkan pajak kepada

Pemerintah AS (cq. Internal Revenue Service). Namun

demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena

penerapan withholding tax tersebut yaitu dengan:

(i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii)

menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA).

Kajian singkat ini akan membahas lebih lanjut

mengenai ruang lingkup FATCA dan wacana

penerapan FATCA ditinjau dari sudut pandang hukum

perbankan di Indonesia.

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Pelaporan FATCA

Berikut ini pengertian dan ruang lingkup FATCA

berdasarkan Summary of FATCA Reporting for US

Taxpayers yang disarikan dari situs resmi IRS5.

1. Foreign Financial Institution/FFI sebagai subyek

FATCA

FFI yang merupakan subyek pelapor dalam FATCA

adalah lembaga penyimpan (depository institutions),

lembaga penjaminan (custodial institutions),

lembaga investasi (investment entities), dan

perusahaan asuransi tertentu (certain insurance

companies). Sedangkan pihak yang dikecualikan

dari pelaporan FATCA ini adalah lembaga

pemerintah/badan yang dimiliki pemerintah,

organisasi internasional, bank sentral yang tidak

memiliki kegiatan perbankan komersial, dan dana

pensiun.

2. Pengertian Wajib Pajak AS dan aset finansial Yang

Dilaporkan

Dalam situs IRS6, IRS menginformasikan bahwa

FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk

melaporkan kepada IRS atas rekening finansial

yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki

lembaga asing dimana Wajib Pajak AS memiliki

kepemilikan yang substansial. Lembaga yang

memiliki kewajiban pelaporan tidak hanya terbatas

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

5 Lihat http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summary-of-FATCA-Reporting-for-U.S.-Taxpayers.

6 Ibid.

2 Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx.

3 Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013, diakses melalui http://www.g20.org/documents/

4 G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013, diakses melalui http://www.g20.org/news/20130906/782776427.html

Page 50: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

pada bank, namun lembaga keuangan lainnya

seperti lembaga investasi, broker, dan perusahaan

asuransi tertentu. Berikut ini merupakan ruang

lingkup Wajib Pajak AS dan batasan nilai aset

finansial yang dikehendaki pelaporannya oleh

FATCA.

a. Wajib Pajak AS berdomisili di luar negeri

Wajib Pajak AS dikategorikan sebagai Wajib

Pajak yang berdomisili di luar negeri apabila

pihak tersebut merupakan warga negara AS

dimana memiliki kewajiban pajak pada negara

asing tersebut dan telah tinggal di negara

tersebut atau negara lain setidaknya selama

330 (tiga ratus tiga puluh) hari berturut-turut

dari periode 12 (dua belas) bulan. Wajib Pajak

tersebut harus menggunakan formulir 8938

untuk menyampaikan laporan pajak penghasilan

dengan klasifikasi sebagai berikut:

1) menikah dan menyampaikan laporan pajak

penghasilan gabungan serta memiliki total

aset finansial di negara lain lebih dari

USD400,000 pada hari terakhir di tahun

pajak atau lebih dari USD600,000 pada

setiap saat selama tahun pajak. Ketentuan

ini tetap berlaku meskipun hanya pihak

suami/istri yang berdomisili di luar negeri.

2) Bukan pihak yang menikah dan tidak

menyampaikan laporan pajak penghasilan

gabungan serta memiliki total aset finansial

di negara lain lebih dari USD200,000 pada

hari terakhir di tahun pajak atau lebih dari

USD300,000 pada setiap saat selama tahun

pajak.

b. Wajib Pajak AS berdomisili di AS

Wajib Pajak berikut ini harus menggunakan

formulir 8938 untuk menyampaikan laporan

pajak penghasilan dengan klasifikasi sebagai

berikut:

1) Tidak menikah dan total aset finansial lebih

dari USD50,000 pada hari terakhir di tahun

pajak atau lebih dari USD75,000 pada

setiap saat selama tahun pajak.

2) Menikah dan menyampaikan laporan pajak

penghasilan gabungan serta memiliki total

aset finansial di negara lain lebih dari

USD100,000 pada hari terakhir di tahun

pajak atau lebih dari USD150,000 pada

setiap saat selama tahun pajak.

3) Menikah namun menyampaikan laporan

pajak penghasilan terpisah serta memiliki

total aset finansial di negara lain lebih dari

USD50,000 pada hari terakhir di tahun

pajak atau lebih dari USD75,000 pada

setiap saat selama tahun pajak.

Yang dimaksud dengan aset finansial di negara

lain yang wajib dilaporkan sesuai FATCA adalah

seluruh aset luar negeri baik berbentuk rekening

ataupun non rekening yang ditujukan untuk

investasi dan bukan digunakan untuk kegiatan

perdagangan atau bisnis. Contoh investasi

tersebut antara lain saham dan surat berharga

asing, instrumen finansial asing, kontrak dengan

pihak non US, dan interest di lembaga asing.

Namun demikian, terdapat aset finansial yang

dikecualikan dari pelaporan dalam FATCA yaitu

aset berupa:

1) Rekening finansial yang di tatausahakan

oleh lembaga AS yang meliputi lembaga

keuangan asing cabang AS, kantor cabang

luar negeri dari lembaga keuangan AS,

dan kantor cabang luar negeri dari anak

perusahaan dari perusahaan AS;

2) Beneficial interest atas trust dan properti

di luar negeri;

3) Bunga/pendapatan dari jaminan sosial,

asuransi sosial dan program serupa lainnya

dari pemerintah asing.

c. Opsi Penerapan FATCA

Terkait dengan pelaporan sebagaimana diatur

dalam FATCA, Pemerintah AS akan

mengenakan 30% withholding tax, kepada

FFI yang tidak memiliki kewajiban melaporkan

Wajib Pajak AS, untuk setiap penerimaan yang

berasal dari sumber pendapatan AS seperti

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 51: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

dividen, bunga dan asuransi terhadap institusi

keuangan asing. Namun demikian, Pemerintah

AS menawarkan opsi agar FFI tidak terkena

penerapan withholding tax tersebut yaitu

sebagai berikut:

1. FFI Menandatangani perjanjian dengan IRS

(FFI Agreement)

FFI menandatangani perjanjian dengan IRS

yang dituangkan dalam FFI Agreement.

Dalam perjanjian ini, FFI setuju untuk

berpartisipasi dalam FATCA dengan

menandatangani perjanjian langsung

dengan IRS dimana FFI wajib melaksanakan

kewajiban dalam FFI Agreement tersebut

tanpa turut campur dari pemerintah negara

dimana FFI tersebut berdomisili.

Konsep FFI Agreement tersebut tersedia

dalam situs resmi IRS yaitu http://www.irs.

gov/pub/irs-drop/n-13-69.pdf, dimana

konsep tersebut mengatur pokok-pokok

perjanjian antara lain sebagai berikut:

kewajiban untuk melakukan due diligence

bagi FFI, persyaratan untuk memberikan

deposit, kewajiban pelaporan informasi dan

pengembalian pajak, prosedur kepatuhan

yang wajib dilaksanakan oleh FFI, dst.

Berdasarkan draft FFI Agreement tersebut,

FFI dipersyaratkan antara lain untuk

melakukan due diligence dalam rangka

mengidentifikasi rekening yang dimiliki

oleh warga negara AS dan secara tahunan

melaporkan informasi terkait rekening

tersebut kepada IRS.

2. Penandatanganan Intergovernmental

Agreement (IGA)

Pemerintah AS melalui US Treasury

Department mengembangkan dua model

IGA sebagai alternatif cara untuk penerapan

FATCA yaitu:

a) Model 1 IGA (pendekatan Pemerintah

ke Pemerintah)

Dalam Model 1 IGA ini, negara yang

merupakan partner FATCA menanda-

tangani perjanjian dengan Pemerintah

AS untuk mengumpulkan informasi

terkait rekening warga AS dari seluruh

FFI yang masuk dalam wilayah jurisdiksi

dan untuk selanjutnya secara otomatis

bertukar informasi melalui IRS. Dalam

hal ini, FFI tidak perlu menandatangani

perjanjian dengan IRS karena

pengumpulan informasi dari FFI akan

dikoordinir oleh Pemerintah di negara

yang bersangkutan.

Perjanjian Model 1 IGA ini dituangkan

dalam bentuk Agreement between the

Government of the United States of

America and the Government of [FATCA

Partner] to Improve International Tax

Compliance and to Implement FATCA,

yang konsepnya tersedia dalam situs

resmi Pemerintah AS yaitu http://www.

treasury.gov/resource-center/tax-policy/

treaties/Pages/FATCA.aspx.

b) Model 2 IGA

Dalam Model 2 IGA, pemerintah negara

setempat menandatangani perjanjian

dengan IRS dan selanjutnya pemerintah

negara setempat tersebut mewajibkan

FFI untuk melakukan pendaftaran ke

IRS untuk selanjutnya mengikuti

ketentuan dalam FFI Agreement.

Melalui model ini, FFI melaporkan

langsung kepada IRS secara tahunan ,

tanpa melalui pemerintah negara

setempat, atas seluruh informasi

rekening wajib pajak AS termasuk

ringkasan informasi rekening wajib

pajak AS meskipun belum mendapatkan

persetujuan dari pemilik rekening untuk

44

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 52: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

dilaporkan ke IRS (non-consenting

account). Melalui kerjasama Model 2

ini, IRS dapat meminta pemerintah

negara yang merupakan partner FATCA,

informasi rekening individual yang

mendasari ringkasan informasi yang

dilaporkan oleh FFI terkait non

consenting account.

Perjanjian Model 2 IGA ini berupa

Agreement between the Government

of the United States of America and

the Government of [FATCA Partner] for

Cooperation to Facilitate the

Implementation of FATCA, yang

konsepnya tersedia dalam situs resmi

Pemerintah AS yaitu

http://www.treasury.gov/resource-

center/tax-policy/treaties/Pages/FATCA.

aspx.

C. Pro dan Kontra Wacana Penerapan FATCA

Terkait dengan wacana penerapan FATCA, berikut ini

pro dan kontra secara umum terkait dengan opsi

yang dimiliki dalam wacana penerapan FATCA dari

sisi perbankan yaitu:

1. Tidak menerapkan FATCA

Dalam hal Indonesia memutuskan untuk tidak

menerapkan FATCA maka Pemerintah AS akan

mengenakan 30% withholding tax atas

penerimaan pendapatan FFI yang berasal dari

sumber pendapatan di AS seperti dividen, bunga

dan asuransi. Berikut ini adalah pro dan kontra

bagi Indonesia bila tidak menerapkan FATCA

dimaksud.

2. Menerapkan FATCA melalui FFI Agreement

Dalam hal bank-bank di Indonesia memutuskan

untuk berpartisipasi dalam FFI Agreement, berikut

ini adalah pro dan kontra bagi Indonesia atas hal

dimaksud.

45

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

KontraPro

• Indonesia tidak memiliki ketentuan yang dapat memaksa Wajib Pajak AS sebagai Nasabah Penyimpan untuk memberikan permintaan, persetujuan atau kuasanya untuk menginformasikan rekening yang bersangkutan kepada pihak ketiga.

• Dengan tidak menerapkan FATCA maka Indonesia tidak mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA.

• Dengan tidak diterapkannya FATCA, Indonesia tidak mendukung komitmen forum Internasional untuk bersama-sama berupaya mencegah terjadinya penghindaran pajak.

• 30% Withholding Tax akan mengurangi pendapatan bank di Indonesia yang memiliki pendapatan di AS dari dividen, bunga dan asuransi.

Page 53: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

46

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

KontraPro

• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.

• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.

• Bank Indonesia harus memahami FATCA dan mensosialisasikan wacana penerapan FATCA kepada bank-bank di Indonesia serta untuk selanjutnya menyerahkan keputusan kepada bank untuk ikut serta dalam FFI Agreement atau tidak.

• Pemerintah Indonesia tidak dapat memantau bank-bank yang ikut/tidak ikut serta dalam FFI Agreement karena keinginan bank sendiri ikut serta dalam FFI Agreement.

• Jika bank tidak patuh dalam FFI Agreement yang telah disepakati maka IRS akan sulit untuk memberikan sanksi lain kepada bank kecuali sebagaimana tertera dalam FFI Agreement. Sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap FFI Agreement dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia sulit menjembatani permasalahan ini.

• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagai-mana dimaksud FFI Agreement menjadi tanggung jawab pihak bank dan IRS. Dalam hal ini, otoritas pengawas mencampuri penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam FFI Agreement karena otoritas pengawas bukan merupakan pihak yang menandatangani perjanjian tersebut.

• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank yang merupakan Wajib Pajak AS.

• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS, sebagaimana hal ini diatur dalam UU Perbankan.

Page 54: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

3. Menerapkan FATCA melalui

Intergovernmental Agreement

Dalam hal pemerintah Indonesia memutuskan

untuk berpartisipasi dalam Intergovernmental

Agreement, berikut ini adalah pro dan kontra bagi

Indonesia atas hal dimaksud.

Model 1 IGA

47

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

KontraPro

• FFI Agreement antara lain mewajibkan FFI untuk menutup rekening Wajib Pajak AS apabila yang bersangkutan tidak patuh memiliki dampak hukum bagi bank yaitu potensi gugatan dari pemilik rekening yang telah ditutup oleh bank.

KontraPro

• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.

• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.

• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.

• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.

• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.

• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada Pemerintah Indonesia untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.

Page 55: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

KontraPro

• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini.

• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA.

• Pemerintah dapat menentukan sistem pelaporan kepada IRS yang akan digunakan namun Pemerintah harus tetap menentukan mekanisme pelaporan yang akan dilakukan dari bank kepada Pemerintah sebagai pihak yang mengkoordinir pelaporan tersebut.

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Model 2 – IGA

KontraPro

• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.

• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.

• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.

• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.

Page 56: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

D. Tinjauan Singkat Penerapan FATCA dari Aspek

Hukum Perbankan

1. Ketentuan Rahasia Bank

Dari aspek hukum perbankan, penerapan FATCA

erat kaitannya dengan ketentuan mengenai rahasia

bank yaitu ketentuan mengenai pemberian

informasi oleh bank mengenai nasabah dan

rekening simpanannya sebagaimana diatur dalam

UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun

1998 (selanjutnya disebut “UU Perbankan”).

Seluruh bank di Indonesia terikat dengan ketentuan

rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam UU

Perbankan sehingga pemberian informasi terkait

nasabah bank termasuk nasabah bank yang

merupakan Wajib Pajak AS wajib tunduk pada

ketentuan rahasia bank tersebut.

Ketentuan rahasia bank diatur dalam Pasal 40 UU

Perbankan yang menyatakan bahwa bank wajib

merahasiakan keterangan mengenai nasabah

penyimpan dan simpanannya kecuali untuk hal-

hal berikut ini:

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

49

KontraPro

• Pemerintah Indonesia yang memutuskan mengenai penerapan FATCA pada bank-bank sehingga bank wajib menaati keputusan tersebut dan untuk selanjutnya menaati ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam FATCA.

• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.

• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini.

• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA.

• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada bank untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.

• Mekanisme pelaporan langsung dari bank kepada IRS dapat menjadi kendala bagi bank khususnya terkait standarisasi sistem pelaporan diantara bank-bank.

Page 57: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

a. kepentingan perpajakan (vide Pasal 41 UU

Perbankan);

b. penyelesaian piutang bank (vide Pasal 41A UU

Perbankan);

c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana

(vide Pasal 42 UU Perbankan);

d. perkara perdata antara bank dengan

nasabahnya (vide Pasal 43 UU Perbankan);

e. dalam rangka tukar menukar informasi antar

bank (vide Pasal 44 UU Perbankan); dan

f. atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari

Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis

(vide Pasal 44A UU Perbankan).

Ketentuan pelaksanaan dari UU Perbankan

mengenai rahasia bank diatur lebih lanjut dalam

PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan

Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis

Membuka Rahasia Bank (selanjutnya disebut “PBI

Rahasia Bank”) yang mengatur bahwa Bank wajib

merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan

dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan

dan Simpanan Nasabah (vide Pasal 2 PBI Rahasia

Bank) kecuali untuk:

a. kepentingan perpajakan;

b. penyelesaian piutang Bank yang sudah

diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan

Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;

c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;

d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata

antara Bank dengan Nasabahnya;

e. tukar menukar informasi antar Bank;

f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari

Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis;

dan

g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah

Penyimpan yang telah meninggal dunia.

Terkait dengan wacana penerapan FATCA di

Indonesia, tentu perlu dipertimbangkan

pelaksanaan penerapan FATCA agar tidak

melanggar UU Perbankan ataupun ketentuan

perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut diatas, UU Perbankan

secara jelas melarang bank untuk menginformasikan

keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan

simpanannya kepada pihak lain kecuali kepada

pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal

44 UU Perbankan yaitu pejabat pajak untuk

kepentingan perpajakan, Kepala Badan Urusan

Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan

Piutang Negara, polisi, jaksa atau hakim untuk

kepentingan peradilan, serta pihak lain yang

disetujui oleh nasabah penyimpan.

Pemberian informasi kepada pihak lain misalkan

IRS dapat dilakukan sepanjang memenuhi Pasal

44A UU Perbankan. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 44A UU Perbankan, penyampaian informasi

kepada pihak tertentu diperbolehkan sepanjang

telah terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa

dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis

dan bank wajib memberikan keterangan mengenai

simpanan Nasabah Penyimpan kepada pihak yang

ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.

Dengan demikian terkait dengan wacana

penerapan FATCA, bank dapat menginformasikan

kepada Pemerintah ataupun pihak ketiga atas

rekening yang dimiliki Wajib Pajak AS sepanjang

terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa dari

pemilik rekening terlepas dari opsi yang dipilih

Pemerintah Indonesia nantinya dalam menerapkan

FATCA.

Namun demikian, telah disadari bahwa saat ini

belum terdapat ketentuan yang memaksa nasabah

penyimpan khususnya Wajib Pajak AS untuk

memberikan persetujuannya kepada bank untuk

memberikan keterangan mengenai dirinya dan

simpanannya sebagaimana dalam Pasal 44A UU

Perbankan. Hal ini dapat menjadi salah satu

kendala dalam penerapan FATCA nantinya dari

sisi hukum perbankan dan pemerintah perlu

mencari solusi pengaturan atas hal tersebut.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

50

Page 58: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Solusi pengaturan yang mungkin dapat ditelaah

lebih lanjut pro dan kontra-nya antara lain sebagai

berikut:

a. Melakukan perubahan/amandemen UU

Perbankan terkait pengaturan mengenai

pemberian informasi nasabah penyimpan dan

simpanannya agar dapat mengakomodir

penerapan FATCA ataupun penerapan

komitmen dalam forum internasional dalam

rangka mencegah penghindaran pajak;

b. Menerbitkan ketentuan yang mewajibkan bank

untuk mengidentifikasi pemilik rekening yang

merupakan Wajib Pajak AS dan meminta

pemilik rekening yang bersangkutan untuk

menandatangani persetujuan atau kuasa

kepada Bank untuk menginformasikan

rekeningnya kepada Pemerintah Indonesia.

Bila pemilik rekening tidak bersedia untuk

memberikan persetujuan tersebut, maka Bank

dapat melakukan tindakan yang diperlukan

terkait keberadaan rekening pemilik rekening

yang merupakan Wajib Pajak AS tersebut

antara lain dengan menutup rekening tersebut.

2. Ketentuan APU-PPT

Wacana penerapan FATCA di Indonesia juga dapat

dikaitkan dengan ketentuan APU-PPT sebagaimana

diatur dalam PBI No.14/27/PBI/2012 tentang

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan

Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank

Umum (selanjutnya disebut “PBI APU-PPT”)

terutama ketentuan yang mengatur mengenai

kewajiban bank untuk mengenal nasabah melalui

Customer Due Diligence.

Pasal 10 PBI APU-PPT mengatur bahwa bank wajib

melakukan prosedur Customer Due Diligence

(CDD) yang merupakan kegiatan identifikasi,

verifikasi dan pemantauan yang dilakukan bank

untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan

profil calon nasabah, Walk-in Customer atau

nasabah. Dengan adanya CDD ini, Bank wajib

mengetahui calon nasabahnya termasuk tentang

kewarganegaraan calon nasabahnya tersebut.

Lebih lanjut, ketika melakukan pembukaan

rekening untuk pertama kali, Pasal 12 jo. Pasal

14 PBI APU-PPT mewajibkan Bank untuk meminta

informasi untuk mengetahui profil calon nasabah,

yang meliputi:

a. Identitas, yang mencakup:

1) nama lengkap termasuk nama alias apabila

ada;

2) nomor dokumen identitas;

3) alamat tempat tinggal sesuai dokumen

identitas dan alamat tempat tinggal lain

apabila ada;

4) tempat dan tanggal lahir;

5) kewarganegaraan;

6) pekerjaan;

7) jenis kelamin;

8) status perkawinan; dan

b. Identitas Beneficial Owner (bila ada);

c. Sumber dana;

d. Perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun;

e. Maksud dan tujuan hubungan usaha atau

transaksi yang akan dilakukan calon nasabah

dengan Bank;

f. NPWP; dan

g. Informasi lain untuk mengetahui profil calon

nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang

diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan

perundang-undangan lainnya yang terkait.

Dalam ketentuan ini, khusus untuk calon nasabah

maka bank wajib mengidentifikasi nasabah yang

memiliki kewarganegaraan AS dan dapat

memperkirakan apakah yang bersangkutan dapat

dikategorikan sebagai wajib pajak AS yang tunduk

dalam FATCA atau tidak, khususnya dengan

memperhatikan nilai transaksi dalam 1 (satu)

tahun yang akan dilakukan. Untuk kedepannya,

sebagai syarat tambahan pembukaan rekening,

Bank dapat meminta dokumen tambahan berupa

persetujuan/kuasa untuk menginformasikan

rekeningnya tersebut kepada IRS dalam rangka

penerapan FATCA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

51

Page 59: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Untuk existing customer, dengan adanya kewajiban

Bank untuk menatausahakan dokumen/informasi

mengenai nasabah, maka bank perlu melakukan

pengkinian data terhadap informasi dan dokumen

tersebut. Cara pengkinian data tersebut diatur

dalam Pasal 29 PBI APU-PPT yaitu:

a. Melakukan pemantauan terhadap informasi

dan dokumen Nasabah;

b. Menyusun laporan rencana pengkinian data;

dan

c. Menyusun laporan realisasi pengkinian data.

Dengan adanya pengkinian data tersebut,

setidaknya Bank dapat mengetahui informasi

terkini mengenai nasabah termasuk dapat

menetapkan nasabah yang memiliki kewarga-

negaraan AS sebagai pihak yang diwajibkan untuk

dilaporkan rekeningnya berdasarkan FATCA

termasuk profil transaksi dari nasabah tersebut.

Dalam hal FATCA diterapkan di Indonesia, maka

ketentuan APU-PPT dapat mendukung pelaksanaan

penerapan FATCA tersebut khususnya pelaksanaan

due diligence dan pengkinian data oleh Bank.

E. Kesimpulan

FATCA merupakan regulasi Pemerintah AS yang tidak

dapat dihindarkan pemberlakuannya di Indonesia.

Pilihan yang dihadapkan saat ini adalah ikut turut

menerapkan FATCA atau pengenaan withholding

tax sebesar 30% bagi seluruh bank ataupun FFI

lainnya yang memiliki pendapatan di AS. Pemerintah

Indonesia harus segera menentukan sikap sebelum

diberlakukannya FATCA tersebut pada tanggal 1 Juli

2014.

Forum internasional, seperti G20 dan OECD, sangat

mendukung adanya transparansi pajak dan mencegah

upaya penghindaran pajak sehingga penerapan FATCA

di Indonesia menjadi pilihan yang utama bagi Indonesia

dalam rangka mendukung komitmen internasional

tersebut.

Selanjutnya mengenai model perjanjian untuk

menerapkan FATCA, Indonesia sebaiknya menerapkan

FATCA dengan menggunakan Model 1 IGA yang

nampaknya lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia

sebagaimana tercermin dalam pro dan kontra

sebagaimana disebutkan diatas.

Penerapan FATCA dengan Model 1 - IGA tersebut

wajib tetap mengikuti ketentuan pembukaan rahasia

bank sebagaimana diatur dalam UU Perbankan dan

berdasarkan Pasal 44A UU Perbankan, bank di

Indonesia dapat memberikan informasi mengenai

rekening Wajib Pajak AS kepada Pemerintah AS sesuai

dengan permintaan, persetujuan atau kuasa Wajib

Pajak AS sebagai pemilik rekening di bank tersebut.

Sehubungan dengan pengaturan Pasal 44A UU

Perbankan tersebut dan terkait dengan penerapan

FATCA, maka bank di Indonesia perlu melakukan hal-

hal sebagai berikut:

a) Melakukan identifikasi rekening-rekening yang

dimiliki oleh Wajib Pajak AS;

b) Meminta persetujuan atau kuasa dari pemilik

rekening agar Bank dapat menginformasikan

rekening tersebut kepada IRS (vide Pasal 44A UU

Perbankan).

Kendala yang dapat dihadapi dalam penerapan FATCA

dari sisi UU Perbankan tersebut antara lain pemilik

rekening tidak mau memberikan persetujuan/kuasa

kepada bank untuk menginformasikan keterangan

nasabah penyimpan dan simpanannya untuk

selanjutnya disampaikan kepada IRS, sehingga

kedepannya pemerintah Indonesia perlu mencarikan

solusi pengaturan yang tepat mengenai hal ini.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

52

Page 60: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013.

G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013.

Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui

http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx.

Summary of FATCA Reporting for US Taxpayers, diakses melalui http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summary-

of-FATCA-Reporting-for-U.S.-Taxpayers.

UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun 1998

PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank

PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi

Bank Umum

DAFTAR PUSTAKA

53

Page 61: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali
Page 62: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pendahuluan

Pada mulanya, ketentuan tentang perumahan diatur

dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1964 tentang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor

6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan

(Lembaran Negara Tahun 1962 No. 40, Tambahan

lembaran Negara Republik Indonesia No. 2476) menjadi

Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 3,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.

2611). Undang-undang No. 41 Tahun 1964 dinyatakan

tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun

1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran

Negara Tahun 1992 No. 23, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia No. 3469). Undang-undang No. 4

Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi

oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara

Tahun 2011 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 5188).

Pengertian rumah disebutkan dalam Pasal 1 angka 7

Undang-undang No. 1 Tahun 2011, yaitu bangunan

gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang

layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat

dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Rumah yang ditempati atau dihuni diharapkan tidak

sekedar rumah, tetapi rumah yang layak huni dalam

lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011

menetapkan jenis rumah dibedakan berdasarkan pelaku

pembangunan dan penghunian yang meliputi:

a. Rumah komersial

Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan

dengan tujuan mendapatkan keuntungan sesuai

kebutuhan masyarakat.

b. Rumah umum

Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan

untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat

berpenghasilan rendah.

Rumah umum dapat mendapatkan bantuan dan

kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah.

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIAOleh :

Dr. Urip Santoso, S.H, MH.1

Abstrak

Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset

bagi pemiliknya. Rumah sebagai aset, maka rumah mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dinilai dengan uang. Oleh

karena rumah mempunyai nilai ekonomis, maka rumah dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Rumah yang

dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah yang sifatnya dimiliki. Hak milik atas rumah tanpa tanah dapat dijadikan

jaminan utang dengan dibebani Fidusia. Dokumen yang diserahkan sebagai jaminan Fidusia adalah surat tanda bukti

pemilikan rumah. Jaminan Fidusia dibuktikan dengan Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat oleh Notaris. Lahirnya

Jaminan Fidusia adalah sejak Akta Pembebanan Fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti

Jaminan Fidusia diterbitkan Sertipikat Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.

Kata kunci : Hak milik, rumah, fidusia, akta, sertipikat

1 Dosen Hukum Agraria dan Hukum Perumahan Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga

55

Page 63: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

c. Rumah swadaya

Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas

prakarsa dan upaya masyarakat.

Rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa dan

upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun

berkelompok.

Rumah swadaya dapat memperoleh bantuan dan

kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah.

d. Rumah khusus

Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan

dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan khusus.

Yang dimaksud dengan “kebutuhan khusus”, antara

lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi,

permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah

sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat

miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk

juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya

terpencar dan rumah di wilayah perbatasan wilayah

negara. Rumah khusus disediakan oleh Pemerintah

dan/atau Pemerintah Daerah.

e. Rumah negara

Rumah negara adalah rumah yang dimiliki negara

dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang

pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.

Rumah negara disediakan oleh Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah.

Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 2011

menetapkan bentuk rumah, yaitu:

a. Rumah tunggal

Rumah tunggal adalah rumah yang mempunyai

kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan

tidak dibangun tepat pada batas kaveling.

b. Rumah deret

Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau

lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu

atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi

masing-masing mempunyai kaveling sendiri.

c. Rumah susun

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat

yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi

dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional, baik dalam arah horizontal atau vertikal,

dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing

dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama

untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian

bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011

menetapkan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah

deret, dan/atau rumah susun dapat di atas tanah:

a. Hak Milik

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan

terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah

dengan mengingat ketentuan Pasal 6 Undang-undang

No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria

(UUPA).

b. Hak Guna Bangunan, baik di atas tanah negara

maupun di atas tanah Hak Pengelolaan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan

dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan

miliknya, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu

paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan diperbaharui

haknya untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh)

tahun.

c. Hak Pakai atas tanah negara

Hak Pakai adalah hak untuk mempergunakan dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung

oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik

tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau

perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-

undang No. 5 Tahun 1960.

Rumah berfungsi sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya,

artinya rumah tersebut mempunyai nilai ekonomis bagi

pemiliknya. Hak yang dimiliki pemilik rumah terhadap

rumahnya, adalah:

a. Menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan

fungsinya;

b. Memberikan hak kepada orang lain untuk menghuni

rumahnya dengan cara bukan sewa menyewa;

56

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 64: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

c. Menyewakan rumahnya kepada orang lain;

d. Menjual rumahnya kepada orang lain;

e. Menghibahkan rumahnya kepada orang lain;

f. Menukarkan rumahnya dengan rumah milik orang

lain;

g. Melelang rumahnya dalam kaitannya dengan

pelunasan utang;

h. Menjaminkan rumahnya ke dalam utang piutang;

i. Mewariskan rumahnya kepada ahli warisnya.

Rumah sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya dan

mempunyai nilai ekonomis dapat dijadikan jaminan utang

oleh pemiliknya. Utang dengan jaminan rumah dapat

dijadikan bagi pemiliknya untuk mengembangkan usaha

(bisnis) atau keperluan lainnya.

Bentuk rumah yang dapat dijadikan jaminan utang

adalah rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun.

Tidak setiap jenis rumah dapat dijadikan jaminan utang.

Jenis rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah

rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,

sedangkan jenis rumah yang tidak dapat dijadikan

jaminan utang adalah rumah khusus dan rumah negara.

Rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum

dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut

dapat diperjualbelikan oleh pemilik rumah kepada orang

lain. Rumah khusus tidak dapat dijadikan jaminan utang

sebab rumah tersebut dibangun dalam rangka memenuhi

kebutuhan untuk transmigrasi, permukiman kembali

korban bencana alam, dan rumah sosial untuk

menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim

piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk

pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan

lokasinya dan rumah di wilayah perbatasan negara.

Demikian pula, rumah negara juga tidak dapat dijadikan

jaminan utang sebab rumah negara sifatnya bukan untuk

dimiliki, akan tetapi hanya dihuni oleh pegawai negeri

dan/atau pejabat negara atau pejabat Pemerintah.

Lembaga jaminan yang mewadahi hak milik atas rumah

sebagai jaminan utang adalah Hak Tanggungan apabila

yang dijadikan jaminan utang adalah rumah beserta hak

atas tanahnya, yang diatur dalam Undang-Undang No.

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dan Jaminan

Fidusia apabila yang dijadikan jaminan utang adalah

rumah tidak beserta tanahnya, yang diatur dalam Undang-

Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah

pengaturan hak milik atas rumah sebagai jaminan Fidusia

dan mekanisme pembebanan hak milik atas rumah

sebagai jaminan Fidusia.

Pembahasan

1. Pengaturan Jaminan Fidusia Atas Rumah

Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Kawasan Permukiman tidak mengatur hak milik

atas rumah sebagai Jaminan Fidusia. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1

Tahun 2011, rumah sebagai aset bagi pemiliknya yaitu

rumah mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya

sehingga dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Jaminan Fidusia.

Pertama kali diatur, bahwa rumah susun dan hak

milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan

utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah Pasal

12 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang

Rumah Susun, yaitu:

(1)Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu

berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan

jaminan utang dengan :

a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik

atau Hak Guna Bangunan;

b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai

atas tanah negara.

(2)Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

beserta rumah yang akan dibangun sebagai

jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk

membiayai pelaksanaan pembangunan rumah

susun yang telah direncanakan di atas tanah yang

bersangkutan dan yang pemberian kreditnya

dilakukan secara bertahap sesuai dengan

pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.

57

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 65: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pembebanan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun

1985, yaitu: “Dengan tidak mengurangi ketentuan

Pasal 12, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat

dijadikan jaminan utang dengan:

a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik

atau Hak Guna Bangunan;

b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai

atas tanah negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-

undang No. 16 Tahun 1985 dapat dijelaskan bahwa:

a. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah

susun dapat dibebani hipotik jika tanahnya Hak

Milik atau Hak Guna Bangunan;

b. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah

susun dapat dibebani fidusia jika tanahnya Hak

Pakai atas tanah negara.

Undang-undang No. 16 Tahun 1985 dilaksanakan

oleh Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang

Rumah Susun. Pembebanan rumah susun atau hak

milik atas satuan rumah susun dengan dibebani hipotik

atau fidusia diatur dalam Pasal 43 nya, yaitu: “Dalam

hal terjadi pembebanan atas rumah susun, pendaftaran

hipotik atau fidusia yang bersangkutan dilakukan

dengan menyampaikan:

a. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang

bersangkutan;

b. akta pembebanan hipotik atau fidusia;

c. surat-surat lainnya yang diperlukan untuk

pembebanan.

Pasal 15 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Permukiman mengatur hak milik atas

rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani

Fidusia, yaitu :

(1)Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.

(2)a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan

dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah

yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama

dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta

Tanah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4

Tahun 1992 menyatakan bahwa pemilikan rumah

oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan

tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan

utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh

pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan

jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan

rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta

tanahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani hipotek.

Undang-undang No. 16 Tahun 1985, Undang-undang

No. 4 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah No. 4

Tahun 1988 mengatur bahwa rumah susun, hak milik

atas satuan rumah susun, dan rumah dapat dijadikan

jaminan utang dengan dibebani fidusia, tetapi tidak

memberikan pengertian tentang fidusia dan tidak

mengatur tata cara (prosedur) pembebanan fidusia.

7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-undang

No. 4 Tahun 1992 diundangkan Undang-undang No.

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tanggal 30

September 1999. Fidusia merupakan istilah yang

sudah lama dikenal di Indonesia, namun Undang-

undang yang mengatur tentang fidusia baru ada

tahun 1999 dengan Undang-undang No. 42 Tahun

1999. Fidusia menurut Munir Fuady, juga disebut

dengan istilah “Penyerahan Hak Milik Dengan

Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya disebut

dengan istilah lengkapnya Fiduciare Eigendom

Overdracht, sedangkan dalam Bahasa Inggrisnya

disebut dengan istilah lengkapnya Fiduciary Transfer

of Ownership.2

58

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, h. 151.

Page 66: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 42

Tahun 1999, yang dimaksud fidusia adalah hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam

penguasaan pemilik benda. Selanjutnya, dalam Pasal

1 angka 2 nya dinyatakan bahwa jaminan fidusia

adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak

bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan

Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor

lainnya.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.

42 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa objek Jaminan

Fidusia, adalah :

a. Benda bergerak, meliputi :

1. benda bergerak berwujud;

2. benda bergerak tidak berwujud.

b. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dibebani dengan Hak Tanggungan.

Bangunan termasuk rumah yang menjadi objek

Jaminan Fidusia disebutkan dalam Penjelasan Pasal

15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1992, yaitu:

a. Pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas

tanah, dengan persetujuan dengan tertulis pemilik

hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang

dengan dibebani Fidusia;

b. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah,

rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Fidusia.

Rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat

berdiri di atas tanah haknya sendiri, atau berdiri di

atas tanah Hak Milik orang lain. Kalau rumah yang

mau dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia

berada di atas tanah milik orang lain, maka harus

mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

pemilik tanah. Objek Jaminan Fidusia adalah rumah

saja tanpa hak atas tanah. Dari aspek hak atas tanah

yang di atasnya berdiri bangunan rumah dapat

dijelaskan:

a. Rumah yang berdiri di atas tanah haknya

sendiri

Rumah yang berdiri di atas tanah haknya sendiri,

yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah berstatus

Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai.

b. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik

orang lain

Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang

lain, yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah

berstatus Hak Guna Bangunan atas tanah Hak

Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, atau Hak

Sewa Untuk Bangunan.

Syarat rumah tidak beserta tanah, baik yang berdiri

di atas tanahnya sendiri atau berdiri di atas tanah Hak

Milik orang lain yang menjadi objek Jaminan Fidusia

adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan rumah

sewa. Jenis rumah yang dapat dijadikan objek Jaminan

Fidusia adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan

rumah umum, sedangkan rumah khusus dan rumah

negara tidak dapat menjadi objek Jaminan Fidusia.

Pemilikan rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik

orang lain, yang pembangunan rumahnya atas

persetujuan dari pemilik tanah merupakan penerapan

asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding

beginsel). Menurut Djuhaendah Hasan, dinyatakan

bahwa dalam asas pemisahan horizontal, pemilikan

atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri

di atas tanah itu adalah berbeda. Asas pemisahan

horizontal memisahkan tanah dengan benda lain yang

melekat pada tanah itu.3 Ter Haar yang pendapatnya

dikutip oleh Iman Sudiyat menyatakan bahwa, tanah

adalah terpisah dari segala sesuatu yang melekat

padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda

59

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

3 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 76.

Page 67: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

yang berada di atas tanah itu. Sehingga pemilik atas

tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat

berbeda.4 Dalam asas pemisahan horizontal, bangunan

dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan

satu kesatuan, pemilikan atas tanah tidak selalu

memiliki bangunan atau tanaman yang ada di atasnya,

dan perbuatan hukum mengenai tanah tidak selalu

meliputi bangunan atau tanaman yang ada di atasnya

kecuali diperjanjikan lain Di samping asas pemisahan

horizontal, terdapat asas perlekatan (accessie beginsel),

yaitu bangunan atau tanaman di atas tanah merupakan

satu kesatuan, pemilikan atas tanah termasuk memiliki

bangunan atau tanaman yang ada di atasnya, dan

perbuatan hukum mengenai tanah meliputi pula

bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah

kecuali diperjanjikan lain.

Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun

1996 diterapkan asas pemisahan horizontal, yaitu:

a. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak

Pengelolaan

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus

Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak

Pengelolaan.

b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus

Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak

Milik.

c. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus

Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan.

d. Hak Pakai atas tanah Hak Milik

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus

Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik.

e. Hak Sewa Untuk Bangunan

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus

Hak Sewa yang berasal dari tanah Hak Milik.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun

1999 dinyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak

jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan

Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor

lainnya. Berdasarkan ketentuan ini, bangunan rumah

yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia

dengan syarat bangunan rumah tersebut merupakan

rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,

bukan rumah negara atau rumah khusus, baik yang

berdiri di atas tanah haknya sendiri maupun di atas

tanah Hak Milik orang lain yang sifat penguasan

rumahnya adalah dimiliki bukan sewa.

Ketentuan hak milik atas rumah sebagai Jaminan

Fidusia dapat disebutkan, yaitu:

a. Pemberi Fidusia adalah pemilik rumah yang juga

pemegang hak atas tanah atau pemilik rumah

yang bukan pemilik tanah sebagai debitor atau

pihak yang berutang;

b. Penerima Fidusia adalah perseorangan atau badan

hukum yang memberikan utang kepada Pemberi

Fidusia sebagai kreditor atau pihak yang

berpiutang;

c. Objek Jaminan Fidusia adalah bangunan rumah

saja tidak beserta tanahnya yang sifat penguasaan

rumahnya dimiliki bukan sewa;

d. Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari

suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian

utang piutang antara Pemberi Fidusia dan Penerima

Fidusia;

e. Secara riil, Penerima Fidusia hanya berfungsi

sebagai pemegang jaminan, bukan sebagai pemilik

yang sebenarnya;

f. Hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya

sebagai objek Jaminan Fidusia diserahkan secara

yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima

Fidusia yang dibuktikan dengan Akta Jaminan

Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan notaris;

60

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

4 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 54.

Page 68: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

g. Untuk memenuhi keterbukaan, Jaminan Fidusia

wajib didaftarkan oleh Penerima Fidusia ke Kantor

Pendaftaran Fidusia, yaitu Kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Provinsi untuk dicatat dalam Daftar Buku Fidusia

dan diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai

tanda bukti Jaminan Fidusia;

h. Setiap janji yang memberi kewenangan kepada

Penerima Fidusia untuk memiliki rumah yang

menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor

cidera janji adalah batal demi hukum;

i. Hak Penerima Fidusia untuk mengeksekusi hak

milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia jika ada

wanprestasi dari pihak Pemberi Fidusia sebagai

debitor;

j. Apabila hutang Pemberi Fidusia dilunasi, maka

hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia

harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia;

k. Jika hasil penjualan hak milik atas rumah sebagai

Jaminan Fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka

sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada

Pemberi Fidusia.

2. Mekanisme Pembebanan Hak Milik Atas Rumah

Sebagai Jaminan Fidusia

Syarat sahnya Jaminan Fidusia atas pemilikan rumah

harus memenuhi 3 (tiga) tahapan yang bersifat

kumulatif, yaitu:

a. Adanya Perjanjian Utang Piutang

Pemilik rumah membutuhkan uang untuk suatu

keperluan atau pengembangan usaha (bisnis).

Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia berhutang

kepada pihak lain, misalnya bank. Utang piutang

itu dituangkan dalam perjanjian utang piutang

antara pemilik rumah sebagai Pemberi Fidusia

atau debitor dan pihak bank sebagai Penerima

Fidusia atau kreditor.

Perjanjian utang piutang ini sebagai perjanjian

pokok dalam Jaminan Fidusia. Perjanjian utang

piutang ini dapat dibuat dengan akta autentik

yaitu aktanya dibuat oleh notaris, atau dibuat

dengan akta di bawah tangan, yaitu aktanya

dibuat oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia.

Utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada

Penerima Fidusia atau kreditor dengan jaminan

berupa hak milik atas rumah yang dimiliki oleh

Pemberi Fidusia atau debitor.

Utang piutang antara Pemberi Fidusia atau debitor

dan Penerima Fidusia atau kreditor yang dituangkan

dalam bentuk perjanjian tertulis merupakan

perjanjian pokok dalam Jaminan Fidusia.

b. Adanya Akta Jaminan Fidusia

Untuk memberikan jaminan utang Pemberi Fidusia

atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,

Pemberi Fidusia atau debitor menyerahkan secara

yuridis hak milik atas rumah tidak beserta hak atas

tanahnya kepada Penerima Fidusia atau kreditor.

Penyerahan hak milik atas rumah tidak beserta

hak atas tanahnya sebagai jaminan utang

merupakan perjanjian ikutan atau perjanjian

tambahan atau bersifat accessoir dari perjanjian

pokok berupa perjanjian utang piutang.

Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 Tahun

1999, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan

dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu

prestasi. Yang dimaksud perjanjian ikutan

(perjanjian accessoir) adalah perjanjian yang

mengikuti perjanjian lain yang disebut perjanjian

pokok, dan berakhir apabila perjanjian pokoknya

berakhir.5

Pada Jaminan Fidusia terdapat 2 (dua) perjanjian,

yaitu perjanjian utang piutang sebagai perjanjian

pokok, dan penyerahan secara yuridis jaminan

berupa objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia

atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor

sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan

yang bersifar accessoir.

61

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

5 Sutan Remy Syahdeni, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, h. 42.

Page 69: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Untuk menjamin pelunasan utang Pemberi Fidusia

atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,

maka dilakukan penyerahan secara yuridis hak

milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya

oleh Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima

Fidusia atau kreditor.

Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah

sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia

kepada Penerima Fidusia adalah surat bukti

kepemilikan bangunan gedung rumah. Pengaturan

surat tanda bukti kepemilikan bangunan gedung

diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2002

tentang Bangunan Gedung dan Peraturan

Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun

2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam Pasal 8

ayat (1) Undang-undang No. 28 Tahun 2002

ditetapkan bahwa setiap bangunan gedung harus

memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:

a) status hak atas tanah, dan/atau izin

pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b) status kepemilikan bangunan gedung; dan

c) izin mendirikan bangunan gedung, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005

mengatur status kepemilikan bangunan gedung,

yaitu:

(1)Status kepemilikan bangunan gedung

dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan

bangunan gedung yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung

fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan

hasil kegiatan pendaftaran bangunan gedung.

(2)Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan

kepada pihak lain.

(3)Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan

pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) harus mendapat

persetujuan pemilik tanah.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti

kepemilikan bangunan gedung diatur dengan

Peraturan Presiden.

Hak milik atas rumah yang diserahkan secara yuridis

sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia

kepada Penerima Fidusia adalah surat tanda bukti

kepemilikan rumah. Hambatan dan permasalahan

penyerahan yuridis hak milik atas rumah sebagai

Jaminan Fidusia adalah sampai sekarang belum

ada surat tanda bukti kepemilikan rumah.

Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah

sebagai jaminan utang dibuktikan dengan Akta

Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan

notaris.

Pengertian notaris disebutkan dalam Pasal 1 angka

1 Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang ini. Produk dari tugas

notaris adalah akta notaris, pengertian akta notaris

disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang

No. 2 Tahun 2014, yaitu akta otentik yang dibuat

oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan

tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang

ini.

Akta otentik menurut Pasal 1868 Burgerlijk

Wetboek (BW), adalah akta di dalam bentuk yang

ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan

dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa

untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuatnya.6

Unsur utama yang merupakan essensialia agar

terpenuhi syarat formal bahwa suatu akta

merupakan akta otentik, yaitu:

62

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985, h. 419.

Page 70: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

a. di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-

undang;

b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;

c. akta itu dibuat oleh dan dihadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu dan di

tempat dimana akta itu dibuat.7

Pendapat yang sama tentang unsur-unsur akta

otentik dikemukakan oleh Wawan Setiawan, yaitu:

a. bentuk akta harus ditentukan oleh Undang-

undang, artinya tidak boleh ditentukan oleh

perangkat peraturan perundang-undangan di

bawah Undang-undang;

b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;

c. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum

dalam wilayah jabatannya.8

Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW, suatu akta

dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi

3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:

a. bentuk akta ditentukan oleh Undang-undang;

b. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta;

c. akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah

(wilayah) kerjanya.

Kewenangan notaris untuk membuat akta

ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-undang No.

2 Tahun 2014, yaitu:

(1)Notaris berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan

ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta otentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan

akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan

akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang

lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

(2)Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan

menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan

dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dan asli surat-surat di bawah

tangan berupa salinan yang memuat uraian

sebagaimana ditulis dan digambarkan

dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan foto

kopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum

sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan

pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang;

(3)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999

menetapkan bahwa Akta Jaminan Fidusia yang

dibuat oleh notaris sekurang-kurangnya memuat:

a) identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;

b) data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;

c) uraian mengenai benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia;

d) nilai penjaminan; dan

e) nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

c. Adanya Pendaftaran Jaminan Fidusia

Untuk terwujudnya tertib administrasi, asas

publisitas, dan jaminan kepastian hukum bagi

kreditor terhadap kreditor lainnya, maka hak milik

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

63

7 Irawan Soerodjo, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003, h. 250.

8 Wawan Setiawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996, h. 12.

Page 71: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

atas rumah yang dibebani dengan Jaminan Fidusia

wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup

tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama

kali di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan

secara bertahap didirikan di setiap wilayah ibukota

provinsi. Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia

belum didirikan di tiap kabupaten/kota, maka

wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota

provinsi meliputi seluruh kabupaten/kota yang

berada di lingkungan wilayahnya. Saat ini, Kantor

Pendaftaran Fidusia baru didirikan di ibukota

provinsi. Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Kantor

Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Provinsi.

Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan

oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan

melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan

Fidusia. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia

memuat:

a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;

b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama,

dan tempat kedudukan notaris yang memuat

akta Jaminan Fidusia;

c. data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;

d. uraian mengenai benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia;

e. nilai penjaminan; dan

f. nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan

Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal

yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran.

Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia

ke Kantor Pendaftaran Fidusia menjadi tanda

lahirnya Jaminan Fidusia.

Sebagai tanda bukti terjadinya Jaminan Fidusia,

Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertipikat

Jaminan Fidusia dan menyerahkan kepada

Penerima Fidusia pada tanggal yang sama dengan

tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari

Buku Daftar Fidusia. Jaminan Fidusia lahir pada

tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya

Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 42

Tahun 1999 ditetapkan bahwa dalam Sertipikat

Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA”. Berdasarkan kata-kata ini, Sertipikat

Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang

dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah

langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui

pengadilan dan bersifat final serta mengikat para

pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.9

Apabila Pemberi Fidusia wanprestasi, eksekusi

terhadap hak milik atas rumah yang menjadi objek

Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a) pelaksanaan title eksekutorial oleh Penerima

Fidusia;

b) penjualan rumah yang menjadi objek Jaminan

Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri

melalui pelelangan umum serta mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c) penjualan di bawah tangan yang dilakukan

berdasarkan kesepakatan Pemberi Fidusia dan

Penerima Fidusia jika dengan cara demikian

dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan para pihak.

Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan,

Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan

tersebut kepada Pemberi Fidusia. Apabila hasil

eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

64

9 Sutan Remy Syahdeni, Op.cit., h. 45.

Page 72: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang

belum terbayar.

Hapusnya hak milik atas rumah sebagai Jaminan

Fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal

26 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yaitu:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia

berupa hak milik atas rumah;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh

Penerima Fidusia; dan

c. rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia

musnah.

Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor

Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan

Fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai

hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya

rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia

tersebut. Dengan hapusnya Jaminan Fidusia,

Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan

Jaminan Fidusia dari Daftar Buku Fidusia. Kantor

Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan

yang menyatakan Sertipikat Jaminan Fidusia yang

bersangkutan tidak berlaku lagi.

Hambatan dan permasalahan yuridis yang muncul

berkaitan dengan hak milik atas rumah tidak

beserta tanahnya dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Fidusia adalah sampai sekarang belum

ada surat tanda bukti kepemilikan bangunan

rumah yang menjadi perintah Undang-undang

No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah

No. 36 Tahun 2005. Atas dasar hambatan dan

permasalahan ini, dalam pelaksanaan hak milik

atas rumah tidak beserta tanahnya yang menjadi

objek Jaminan Fidusia akan menemui kesulitan

penjaminannya, yaitu rumah yang diserahkan

secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada

Penerima Fidusia sebagai Jaminan Fidusia tidak

ada surat tanda bukti kepemilikannya.

Penutup

Rumah mempunyai fungsi sebagai aset bagi pemiliknya,

maka rumah mempunyai nilai ekonomis yang dapat

dinilai dengan uang, sehingga rumah dapat dijadikan

jaminan utang. Apabila yang dijadikan jaminan utang

adalah rumah tidak beserta hak atas tanahnya, maka

lembaga jaminannya adalah Fidusia. Rumah yang dijadikan

jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah

rumah yang sifatnya dimiliki bukan bukan rumah sewa.

Mekanisme pembebanan jaminan Fidusia adalah rumah

adalah adanya perjanjian utang piutang antara pemilik

rumah sebagai debitur dengan pihak lain (bank) sebagai

kreditur, adanya Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat

oleh notaris, dan pendaftaran Jaminan Fidusia kepada

Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan

Fidusia diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia oleh Kantor

Pendaftaran Fidusia.

Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar hak

milik atas rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Jaminan Fidusia, maka Pemerintah Daerah harus

melaksanakan perintah Undang-undang No. 28 Tahun

2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005

untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur

surat tanda bukti kepemilikan bangunan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

65

Page 73: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

66

Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi

Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Setiawan, Wawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat

Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996.

Soerodjo, Irawan, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita,

Jakarta, 1985.

Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Syahdeni, Sutan Remy, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”,

Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999.

Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris.

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung.

DAFTAR PUSTAKA

Page 74: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

A. Pendahuluan

Konsideran Undang Undang Nomor 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat menegaskan, pembangunan bidang

ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya

kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.

Mencermati isi konsideran tersebut, bahwa demokrasi

dalam bidang ekonomi menghendaki adanya

kesempatan yang sama bagi warga Negara untuk

berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran

barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif

dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.

Selain itu, bahwa setiap orang yang berusaha di

Indonesia harus berada dalam situasi persaingan usaha

yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan

adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku

usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan

yang telah di laksanakan.

Pada dasarnya setiap pelaku usaha yang melakukan

aktivitas usahanya di dunia ini dalam bentuk apapun

tiada lain yang menjadi tujuan utama adalah

keberuntungan dan keberhasilan yang banyak, namun

semua itu ada rule of law dalam melakukan kegiatan

usahanya, apabila pelaku usaha melakukan

pelanggaran terhadap peraturan yang ada, maka

akan di kenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang

berlaku pada saat ini.

POLITIK HUKUM PERSAINGAN USAHA MENUJU SISTEM PERSAINGAN SEHAT DI MASA YANG

AKAN DATANG

Oleh :

Nadir, S.H., MH. 1

Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan

Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim

Email: [email protected]

Abstrak

Pertumbuhan dan perkembangan prekonomian negara Indonesia sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh

persaingan usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sedangkan

persaingan yang sehat akan ditentukan oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi (the legal policy development

of economics); kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy to fair competition); politik pembentukan hukum

perspektif undang-undang (law making proses); dan proses pengambilan keputusan dalam pembentukan hukum

persaingan usaha (decision making of proces).

Kata Kunci: politik hukum, persaingan usaha, sistem persaingan sehat

1 Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan Madura Jawa Timur .

67

Page 75: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Persaingan pada dasarnya merupakan hal yang

manusiawi dan wajar di lakukan dalam kehidupan

bersama, sebab dengan adanya culture competition

telah mendorong pelaku usaha untuk berkreasi dan

berinovasi yang pada gilirannya pelaku usaha

memperoleh kemajuan dan peningkatan kualitas

hidupnya. Kemajuan dan peningkatan kualitas hidup

yang diperoleh dari culture competition secara fair

and properly serta sehat berupa usaha peningkatan

baik dalam bidang teknologi maupun dalam manajerial

usaha dengan melalui proses maupun dilakukan

dengan usaha yang efektif dan efisien yang selalu

membawa kebaikan dalam kehidupan bersama,

sangatlah wajar jika manusia dalam dunia ini semuanya

berlomba-lomba untuk memenangkan apa yang

namanya keberuntungan dan keberhasilan yang luar

biasa, akan tetapi tidak menghalalkan segala cara

dengan sikut kanan sikut kiri untuk memenangkan

keberuntungan itu.2

Sebaliknya jika suatu persaingan dilandasi dengan

suatu iktikat buruk, persaingan tersebut selalu

dilakukan dengan usaha yang tidak sehat, yang

hasilnya adalah merugikan pihak lain yakni pihak

sesama pelaku usaha maupun konsumen. Keadaan

semacam ini akan menimbulkan masalah hukum.

Usaha tidak sehat dan tidak wajar ini dapat dilakukan

dengan variasi bentuk seperti dalam bentuk

pembajakan, pembajakan tenaga ahli, Oligopoli,

Penetapan harga, Pembagian wilayah, Pemboikotan,

Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian

tertutup, Perjanjian dengan pihak luar Negeri, Posisi

dominan maupun usaha lain misalnya dengan

penyelundupan pajak, sehingga ia tidak harus

mengeluarkan biaya untuk itu yang tentunya ia dapat

menjual produknya dengan perolehan laba yang lebih

banyak.3

Berdasarkan fenomena persaingan usaha di atas,

persaingan tidak selalu mengarah pada hal yang

positif, maka masalah seperti ini sudah seharusnya

mendapat perhatian dengan memberikan

perlindungan hukum yang secukupnya bagi pelaku

usaha atau bisnis yang jujur. Perlindungan hukum

yang dimaksud adalah dengan mengatur secara

tersendiri masalah ini dalam peraturan perundang-

undangan, tentang batas-batas pengertian dari

perbuatan yang digolongkan sebagai persaingan

yang sehat dan perbuatan yang di golongkan sebagai

persaingan yang tidak sehat, sehingga lahirlah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak sehat, namun demikian adanya Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 ini tidak cukup memadai untuk

menangani peroblematika persaingan usaha di masa-

masa mendatang. Oleh karena itu, penulis memberikan

gagasan politik hukum persaingan usaha menuju

sistem persaingan usaha sehat di masa yang akan

datang.

B. Kebijakan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi

(The Legal Policy Development of Economics)

Penguasaan 80% (delapan puluh persen) permukaan

bumi dan 75% (tujuh puluh lima persen) populasi

dunia selama kurun waktu berabad-abad oleh bangsa

Eropa, telah menciptakan krisis berkepanjangan di

Negara-negara jajahannya. Krisis berkepanjangan itu

kemudian harus pula diperberat oleh akibat PD ke I,

PD ke II yang akhirnya tidak hanya menciptakan krisis

baru di Negara-negara jajahannya, tetapi juga hampir

di seluruh kawasan dunia. PD II telah menciptakan

penderitaan dan kemunduran ekonomi yang dahsyat,

yang akhirnya membangkitkan kesadaran masyarakat

bangsa-bangsa untuk membenahi kehancuran global.4

Setelah PD ke II konsentrasi orientasi masyarakat

internasional benar-benar terpusat pada pembangunan

ekonomi global. Kerja sama regional dan bilateral

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

2 Djoko Imbawani, Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ. Widyagama Malang, 2002, hlm. 56

3 Ibid.4 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung,

2003), hlm. 169

Page 76: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

menjadi semacam trend baru yang kebanyakan

terfokus pada kerja sama ekonomi. Kemajuan

teknologi dan ilmu pengetahuan segera membawa

perubahan-perubahan besar diberbagai Negara.

Masyarakat Eropa merancang kerja sama ekonomi

regional, seperti juga yang dilakukan oleh Negara-

negara Amerika Utara, Tengah dan Selatan. PBB juga

telah mengambil peran yang sangat penting dalam

perkembangan baru yang serba cepat itu, melalui

badan-badan khususnya, International Bank for

Recornstruction Development (IBRD), Economic and

Social Council (ECOSOC), majelis umum (general

assembly), dewan keamanan (security council) dan

badan-badan lainnya.5

Pada tahun 1970-an beberapa Negara anggota

masyarakat internasional telah menunjukkan kemajuan

yang sangat mengagumkan, tetapi bersamaan dengan

itu berkembang pula permasalahan baru yang sangat

serius, yaitu kesenjangan yang semakin tajam antara

kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-

negara maju dengan Negara-negara berkembang.

Negara-negara maju yang terdiri dari 20% (dua puluh

persen) penduduk dunia menikmati sekitas 2/3 (dua

pertiga) penghasilan dunia. Sementara Negara-negara

berkembang yang berpopulasi 50% (lima puluh persen)

dari penduduk dunia, menikmati 1/8 (satu perdelapan)

pendapatan dunia, dan negara-negara miskin yang

berpenduduk sekitar 30% (tiga puluh persen) dari

penduduk dunia, hanya menikmati 3 (tiga) persen

dari pendapatan dunia.6

Keadaan buruk ini diakibatkan oleh antara lain:

Pertama, keterpusatan modal dan teknologi, keahlian,

dan informasi pada negara-negara maju. Kedua,

kemelaratan dan kemiskinan Negara-negara ketiga

sebagai akibat kolonialisme. Ketiga, jumlah penduduk

yang besar pada Negara-negara ketiga, yang

cenderung lebih merupakan beban bagi mereka.

Keempat, kemunduran ilmu pengetahuan, teknologi

dan informasi pada Negara-negara itu. Kelima,

mahalnya biaya yang harus dipertaruhkan oleh negara-

negara ketiga bagi setiap bentuk kerja sama

pembangunan dan bantuan modal dari Negara-negara

maju. Keenam, besarnya tekanan Negara-negara

maju terhadap negara-negara berkembang sebagai

konsekuensi dari perbedaan dan kesenjangan potensi

pada kedua kelompok Negara itu. Keseluruhan kondisi

global ini mensyaratkan satu hal penting yang bersifat

absolut, yaitu pembangunan. Makna pembangunan

bagi Negara-negara maju adalah perjuangan untuk

menguasai potensi ekonomi, kesejahteraan, dan

perjuangan untuk mempertahankan perkembangan

serta kemajuan untuk kepentingan masa kini dan

masa depan bangsanya. Sedangkan makna

pembangunan bagi Negara-negara yang berkembang

adalah perjuangan untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan, perjuangan untuk

menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, keahlian,

dan informasi, serta perjuangan untuk melakukan

tekanan-tekanan ekonomi dari Negara-negara maju.7

Kedua karakter orientasi pembangunan ekonomi itu

segera menunjukkan perbedaan yang sangat tajam.

Jika pembangunan ekonomi di Negara-negara maju

telah berorientasi pada pengejaran pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan, maka pembangunan

ekonomi di Negara-negara berkembang masih

berorientasi pada pembangunan sendi-sendi

pembanguan ekonomi itu, dan bersamaan dengan

itu, mereka harus pula berjuang melawan tekanan-

tekanan ekonomi dari Negara-negara maju. Hal ini

mengakibatkan perluasan makna pembangunan bagi

Negara-negara berkembang dan menjadikannya

bentuk perjuangan yang bersifat ganda.8

Untuk mencapai tujuan yang berat dan kompleks itu,

menurut Lili Rasjidi suatu proses pembangunan

membutuhkan perencanaan yang cermat. Perencanan

ini antara lain juga mencakup jaminan dan

69

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

5 Ibid.

6 Ibid.170

7 Ibid, hlm. 170-171

8 Ibid, hlm. 171

Page 77: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

perlindungan hukum terhadap keteraturan,

kelancaran, dan keseluruhan proses dan hasil-hasil

dari pembangunan itu, dan karenanya dibutuhkan

suatu instrumen yang mampu memberikan jaminan,

perlindungan, kepastian, dan arah bagi pembangunan

itu. Instrumen itu adalah hukum. Pada masyarakat

hukum Negara-negara berkembang, pembangunan

hukum bermakna lebih kompleks lagi, tidak hanya

menyangkut pengadaan hukum-hukum baru,

melainkan juga termasuk reformasi konsep dan

hampir seluruh komponen sistem hukum. Bertolak

dari kenyataan ini, pembangunan hukum merupakan

suatu permasalahan yang lebih bersifat global

daripada sekedar bersifat lokal.

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan bahwa

pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka

Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan,

antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan

rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai

di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di

berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan

bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis

Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan

Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi

lainnya. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai

selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang

ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan,

khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum

terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan

globalisasi perekonomian serta dinamika dan

perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-

an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga

dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum

membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat

berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor

ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode

tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk

kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga

pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan

usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar

merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha

yang tidak sehat.

Fenomena di atas telah berkembang dan didukung

oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil

keputusan (decision making) dengan para pelaku

usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung,

sehingga lebih memperburuk keadaan.

Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu

kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,

serta cenderung menunjukkan corak yang sangat

monopolistik dan liberalistik.

Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan

mendapatkan kemudahan-kemudahan yang

berlebihan, sehingga berdampak kepada kesenjangan

sosial. Munculnya konglomeratisasi dan sekelompok

kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh

semangat kewirausahaan sejati merupakan salah

satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi

menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.

Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,

menuntut masyarakat untuk mencermati dan menata

kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha

dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan

wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang

sehat, efektif dan efisien serta terhindarnya pemusatan

kekuatan ekonomi pada pelaku usaha perorangan

atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

yang merugikan masyarakat yang bertentangan

dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang menyertai kehidupan manusia di

abad modern ini, maka perkembangan hukumpun

tidak dapat dikesampingkan di tengah kedidupan

intelektual manusia yang serba canggih lebih-lebih

dalam melakukan transaksi perdagangan baik secara

nasional maupun transnasional. Hukum harus mampu

mengendalikan dan merekayasa kehidupan manusia

termasuk perkembangan politiknya dalam setiap

70

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 78: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

aktivitasnya karena esensinya tidak ada suatu aktivitas

di dunia ini yang lepas dari prakarsa hukum, sehingga

setiap tatanan kehidupan manusia diatur oleh hukum

di mana hukum sebagai instrumen untuk mengatur

kehidupannya.

Sudarsono menegaskan bahwa di dalam kehidupan

sehari-hari terdapat sesuatu yang sangat penting

untuk dapat mengatur kehidupan masyarakat, sesuatu

tersebut adalah hukum. Pada prinsipnya hukum adalah

kenyataan dan pernyataan yang beraneka ragam

untuk menjamin adanya penyesuaian kebebasan dan

kehendak seseorang dengan orang lain. Berdasarkan

asumsi ini hukum pada dasarnya mengatur hubungan

antara manusia di dalam masyarakat berdasarkan

prinsip-prinsip yang beraneka ragam pula. Oleh karena

itu, setiap orang di dalam masyarakat wajib taat dan

mematuhinya.9

Para sosiolog yang berorientasi pada hukum antara

lain Emile Durkheim, Max Weber, Roscoe Pound.

Durkheim mengemukakan bahwa dalam setiap

masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas

organis, dan ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas

mekanis selalu terdapat dalam masyarakat sederhana,

hukumnya bersifat represif yang diasosiasikan seperti

dalam hukum pidana. Sementara dalam solidaritas

organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern,

hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti

dalam hukum perdata.

Dalam kaitan ini Max Weber yang terkenal dengan

teori “Ideal type-nya” ia mengemukakan bahwa di

dalam hukum terdapat 4 (empat) tipe ideal yaitu,

pertama, Irasional formal. Kedua, Irasional material.

Ketiga, Rasional formal (dalam masyarakat modern

dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum),

dan keempat, Rasional material.

Pada dasarnya hukum sudah mengatur sedemikan

rupa tentang perbuatan manusia yang harus dilakukan

dan yang tidak boleh dilakukan. Namun demikian,

tidak memungkiri dan tidak mengesampingkan realita

empirik bahwa seringkali hukum yang dirumuskan

di dalam peraturan perundang-undangan tidak

memenuhi bahkan kurang mampu mengatur dan

mengikuti, serta menggali perkembangan masyarakat

dengan segala sikap tindaknya.

Sementara itu, hukum adalah suatu tata perbuatan

manusia, “tata perbuatan” mengandung arti suatu

sistem aturan. Hukum bukan satu aturan semata,

seperti dikatakan demikian, melainkan. hukum adalah

seperangkat peraturan yang dipahami dalam satu

kesatuan yang sistemik, tidak mungkin untuk

memahami hakikat hukum hanya dengan

memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang

mempersatukan berbagai peraturan khusus dari satu

tata hukum perlu dimaknai agar hakikat hukum

dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang

jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk

tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat

dipahami dengan sempurna.10 mulai dari asal-muasal

serta perkembangannya.

Ketika hukum diperankan sebagai alat rekayasa sosial

(law as a tool of social engineering) tak pelak

menempatkan peraturan perundang-undangan pada

posisi yang sangat penting dalam mengatur tata

kehidupan masyarakat. Konsep hukum sebagai alat

rekayasa sosial pertamakali diperkenalkan oleh Roscoe

Pound, di mana konsep tersebut dipopulerkan di

Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja yang

mengetengahkan konsep Roscoe Pound tentang

perlunya memfungsikan “law as a tool of social

engineering” di Indoensia.11 Mochtar berargumentasi

bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk

merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan

71

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

9 Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Jakarta, 1991), hlm. 1

10 Hans kelsen, General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi (Jakarta, 2007), hlm. 3

11 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum Indonesia. (Jakarta, 1994), hlm. 231

Page 79: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pemerintah (eksekutif) sangatlah diperlukan oleh

negara-negara yang sedang berkembang jauh melebihi

kebutuhan negara-negara industri maju yang telah

mapan. Negara-negara maju telah memiliki mekanisme

hukum yang telah berjalan untuk mengakomodasi

perubahan-perubahan dalam masyarakatnya.

Sedangkan negara-negara yang tengah berkembang

tidaklah demikian. Padahal harapan-harapan dan

keinginan masyarakat-masyarakat di negara-negara

yang sedang berkembang akan terwujudnya

perubahan-perubahan yang membawa perbaikan

taraf hidup amatlah besar melebihi harapan-harapan

yang diperlukan oleh masyarakat-masyarakat di

negara-negara yang telah maju.12

Berbagai studi tentang hubungan hukum dan

pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa

pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa

pembaharuan hukum. Secara umum ada 3 (tiga)

tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami

oleh suatu negara mulai dari negara berkembang

sampai menjadi negara maju, yaitu Pertama, unifikasi

(unification) dengan titik berat bagaimana mencapai

integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan

kesatuan nasional. Kedua, industrialisasi

(industrialization) dengan fokus perjuangan untuk

pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, dan

tahap Ketiga, negara kesejahteraan (social welfare)

di mana tugas negara terutama adalah melindungi

rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan

kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan fokus

utama kesejahteraan rakyat.13

Negara-negara maju telah berhasil melalui ke tiga

tahapan atau tingkatan pembangunan tersebut satu

demi satu dengan baik dan memerlukan waktu yang

cukup lama. Sedangkan negara-negara yang sedang

berkembang ingin mencapai ketiga tahapan atau

tingkatan pembangunan tersebut secara sekaligus

dan bersamaan. Di suatu negara pembangunan yang

baik adalah pembangunan yang dilakukan secara

komprehensif. Artinya pembangunan selain mengejar

pertumbuhan ekonomi semata, juga harus

memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan

hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah

diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan,

baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan

budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah,

sedang dan akan dilakukan oleh Pemerintah akan

mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan.14

Sementara studi mengenai hukum dan pembangunan

dapat diketahui, setidaknnya ada 5 (lima) kualitas

hukum yang kondusif bagi perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan, yaitu (1) stabilitas

(stability), (2) dapat diramalkan (predictability), (3)

keadilan (fairness), (4) pendidikan (education), dan

(5) pengembangan profesi hukum (the special

development abilities of the lawyer). Stabilitas dan

predictability adalah merupakan prasyarat untuk

berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat

berperan, terutama bagi negara-negara yang

masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan

ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional

mereka. Sedangkan stabilitas berarti hukum berpotensi

untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.15

Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum,

persamaan di hadapan hukum, dan standar

sikap/perlakuan Pemerintah, dan lain-lain akan

72

12 Mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung, 1986), hlm. 2-7

13 Daniel Suryana, ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”. Wisconsin Law Review No. 3 (1972) hlm. 778, dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

14 Daniel Suryana, Ibid.

15 Daniel Suryana, Ibid.

Page 80: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan

mencegah campur tangan Pemerintah yang terlalu

dominan. Sedangkan pendidikan dan pengembangan

profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang

harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat

berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan

hukum dan pembangunan ekonomi.

Partisapasi masyarakat dalam pembangunan sangat

diperlukan, terutama dalam era globalisasi ekonomi

melalui media pasar bebas, yang sebenarnya bukan

hal baru bagi Indonesia, karena sudah sejak lama,

masa perdagangan rempah-rempah, masa tanam

paksa (culture stelsel) di mana modal swasta zaman

kolonial dengan buruh paksa. Sedangkan globalisasi

ekonomi sekarang ini merupakan manifestasi baru

dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem

ekonomi internasional.

Globalisasi ekonomi diikuti globalisasi hukum, maka

materi muatan berbagai Undang-undang dan

perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif

harus mengadopsi kaedah-kaedah dan

diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan

internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-

batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi

perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta

kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-

hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi

ekonomi baru.

Pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus

selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi

pembangunan dan politik hukum pembangunan serta

politik pembangunan masyarakat secara intern dan

transdisipliner secara holistik dan sistematik, sehingga

dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum

ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum

yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat

dan kepentingan umum (public interest).

Untuk itu, pendekatan ekonomi terhadap hukum,

akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi

ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dan

antar negara dengan negara lainnya baik secara

nasional, regional maupun internasional. Program

legislasi nasional di masa mendatang perlu memberikan

prioritas pada Undang-undang yang berkaitan dengan

masalah, persaingan usaha, ekonomi untuk

pembangunan dan demokratisasi ekonomi guna

mencapai efektivitas dan efisiensi, serta memenuhi

fungsi hukum sebagai sebagai instrumen usaha/bisnis

dalam memberikan kepastian bagi sesama palaku

usaha, konsumen dan masyarakat umum.

C. Kebijakan Hukum Dalam Persaingan Usaha

(legal policy to fair competition)

Dalam mengkaji persaingan usaha teori hukum

berfungsi untuk menganalisis pengaturan dan

implementasi doktrin dan asas-asas hukum universal

yang dimaksudkan untuk menciptakan persaingan

usaha yang sehat, serta implementasi makna demokrasi

ekonomi yang bersumber dari Pasal 33 UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena larangan

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

adalah mengatur permasalahan ekonomi dalam

perdagangan, maka selain menggunakan teori dan

konsep-konsep ilmu hukum, juga digunakan teori

dan konsep-konsep ilmu ekonomi sebagai alat bantu

guna melengkapi analisis sebagai jawaban terhadap

isu hukum yang diteliti. Kemudian filsafat hukum

juga digunakan sebagai refleksi terhadap aturan-

aturan hukum yang akan dibahas, dan sebagai refleksi

tentang landasan dari kenyataan.

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah

diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5

tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif

(ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan

dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup

atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan

penegakan hukum (law enforcement Approach) yang

benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari

lembaga yang memiliki wewenang melakukan

penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun

73

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 81: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa hukum

yang diproyeksikan dalam bentuk kodifikasi undang-

undang tidak akan lengkap dan tidak mungkin

lengkap dalam mengatur suatu obyek tertentu. Namun

demikian, secara substansial Undang-undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengatur

dengan jelas dan terinci tentang perjanjian-perjanjian

yang dilarang, kegiatan-kegiatan yang dilarang, serta

posisi dominan, sehingga tidak ada alasan bagi pelaku

usaha dalam melakukan aktivitas usahanya untuk

tidak mengindahkan apa yang diperbolehkan dan

apa yang dilarang di dalam Undang-undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang barang kali

ke depan perlu dilakukan review kembali mengingat

perkembangan persaingan usaha yang sangat massif

san substantif dalam mendorong pertumbuhan

perekonomian Indonesia di masa-masa mendatang.

D. Politik Pembentukan Hukum Perspektif Undang-

Undang (Law Making Proses)

Robert Meagher dan David N. Smith mengemukakan,

bahwa suatu proses pembentukan hukum (undang-

undang) adalah sebagai berikut:16

1. Pertama sekali dimulai dengan dicarinya formulasi

policy yang dibentuk melalui sejumlah diskusi oleh

sekompok orang;

2. Tahap berikutnya barulah dibentuk lembaganya,

yakni perundang-undangannya;

3. Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap

implementasi atau pelaksanaan dari undang-

undang tersebut. Dalam tahap pelaksanaan ini

akan menimbulkan beberapa masalah yang perlu

mendapat pemecahan;

4. Dalam tahap proses pemecahan permasalahan ini

pada akhirnya timbul perwujudan yang sebenarnya

dari undang-undang tersebut.

Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum

sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut

oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas

pembentukannya. Proses ini berbeda pada setiap

kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana,

pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses

penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum

atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan

kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-

kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam

masyarakat Negara yang menganut sistem Eropa

Kontinental (civil law system) atau tradisi hukum sipil,

pembentukannya dilakukan oleh legislatif. Sedangkan

dalam masyarakat Negara yang menganut tradisi

hukum kebiasaan (common law system)

kewenangannya terpusat pada hakim (judges as a

central of legal action).17

Di samping kedua tradisi tersebut, terdapat juga

kecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi

tersebut. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat pada

Negara-negara ketiga, tetapi juga pada Negara yang

pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari

kedua tradisi besar itu, seperti Inggris, Negara-negara

Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini tampak

sebagai penjelajahan baru dari peradaban intelektual

manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan

formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan dan

tujuan-tujuannya sebagai suatu Negara hukum. Dalam

formulasi kombinatif ini fungsi pembentukan hukum,

dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif

maupun badan-badan administratif yang melakukan

fungsi semacam itu. Risikonya memang tidak kecil,

karena perluasan formulasi semacam itu dapat

mengaburkan kompetensi dari setiap komponen

pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas

74

16 Lihat Loebby Loqman, Pra pradilan di Indonesia (Jakarta, 1990), hlm. 11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai.., Op.Cit, hlm.162-163

Page 82: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga

dapat mengakibatkan overlapping substansi atau

perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum,

maka masalah serius yang segaris dengan lintasan

masalah ini adalah kekaburan hukum. Setiap prinsip,

pembicaraan tentang komponen pembentukan

hukum, hakikatnya meliputi pembicaraan tentang

personil pembentuknya, institusi pembentuknya,

proses pembentukannya dan bentuk hukum hasil

bentukannya.18

Adanya pandangan bahwa hukum sebagai sistem

tertutup merupakan salah satu kelemahan dari

Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem

hukum bersifat terbuka, seberapa besar toleransi

hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk

ke dalam pergulatan internal sistem hukum.

Secara prosedural dalam optik pembentukan hukum

di Indonesia, desain hukum persaingan usaha menjadi

kental bermuatan politik atau versi politik. Hal ini

dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak

mungkin menutup diri dari sistem-sistem lain ketika

hukum harus dibentuk oleh lembaga politik.

Di sini jelas kelihatan bahwa hukum adalah produk

politik. Hal ini sesungguhnya hanya dapat dibenarkan

apabila dilihat dari arus energi saja. Sementara jika

dilihat dari aspek informasi (material), hukum adalah

produk budaya. Oleh karena itu, diskursus aliran-

aliran filsafat hukum seperti yang dikemukakan di

depan, menjadi makin relevan apabila dikaji dari

perspektif Parsonian.

Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain

ditunjukkan secara sangat baik oleh Talcott Parson

dengan Teori Sibernetika-nya19. Dalam teorinya, Parson

menyebutkan tentang ada 4 (empat) sub sistem :

budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa

melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari

arus energi, sub sistem ekonomi menempati

kedudukan paling kuat, diikuti sub sistem politik,

baru kemudian sub sistem sosial (di mana hukum ada

di dalamnya), dan diakhiri oleh sub sistem budaya.

Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), sub

sistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh

sub sistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pada

subsistem ekonomi.

Jika Parson menggunakan teori Cybernetics untuk

menjelaskan hukum sekedar sebagai bagian dan

sistem norma belaka dalam sistem sosial, maka hal

tersebut bertolak belakang dengan prinsip-prinsip

Cybernetics yang dibangun oleh pencetusnya, yakni

Norbert Wiener, karena Wiener pemilik teori

Cybernetics20 ini justru menempatkan hukum sebagai

pusat kekuatan, pengendali, dan pengikat keseluruhan

unsur-unsur sistem sosial. Perbedaan esensial

penggunaan teori Cybernetics ini dalam hubungan

dengan analisis hukum telah menunjukkan bahwa

orang semacam Parson telah menggunakan teori-

teori mekanis secara berlawanan atau mengingkari

esensi teori-teori Cybernetics, sehingga mengakibatkan

tidak objetifnya hasil penggunaan teori-teori itu.

Kekeliruan semacam itu adalah kekeliruan umum

yang terjadi pada abad ke-20-an. Pertama, sebagai

akibat masih dominannya pendekatan mekanis-

analitis. Kedua, dilakukannya pemaksaan penerapan

pendekatan-pendekatan itu dalam ilmu-ilmu bukan

mekanis. Ketiga, terlibatnya ahli-ahli ilmu tertentu

dalam menganalisis objek ilmu yang bukan objeknya.21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

75

20 Norbert Wiener dalam bukunya “The Human of Human Being Cybernetics and Society, (1950 : 32) sebagaimana yang dikutip oleh Lili Rasjidi dan Wyasa Putra “Hukum Sebagai Suatu Sistem” (2003 : 66) mengemukakan bahwa Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism systemmachine system) yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Cybernetics diambil dari kata Yunani “Kubernetis” yang sama artinya dengan “steersman” tau “governor” yang dalam bahasa Indonesi dapat dipadankan dengan istilah “alat” atau “pengatur” (on an engine)

21 Periksa Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai..........., Loc.Cit, hlm. 67

18 Ibid, hlm. 163

19 Periksa Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung, 1985),

Page 83: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Lebih lanjut Wiener mengekukakan, bahwa hukum

merupakan pusat pengendalian komunikasi antar

individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan

sebagai tujuannya. Hukum itu diciptakan oleh

pemegang kekuasaan yang menurut premis yang

mendahuluinya disebut sebagai central organ.

Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan

dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu,

penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksi

hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara

demikian, setiap individu diharapkan berperilaku

sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud

karenanya.

Jika melihat pandangan Winer bahwa hukum

merupakan pusat pengendalian komunikasi antar

individu, maka jika tesis Winer ini diproyeksikan dalam

konteks persaingan usaha antar sesama pelaku usaha,

sangat jelas hukum merupakan sarana (instrumen)

pengatur antar sesama pelaku usaha dalam

menjalankan aktivitas usahanya agar senantiasa

mematuhi aturan yang ada sehingga akan terwujud

persaingan yang sehat jika hukum sebagai

pengendalinya, karenanya lahirnya Undang-undang

Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.

Konsep hukum menurut pandangan Wiener di atas,

pada dasarnya sudah mengarah kepada penggunaan

hukum tertulis. Hal itu bisa dilihat dari kalimat “hukum

diciptakan oleh pemegang kekuasaan yang menurut

premis yang mendahuluinya disebut sebagai central

organ”.

Nampaknya penggunaan hukum tertulis sebagai alat

rekayasa sosial sudah menjadi trend dari ciri sistem

hukum modern, di mana ciri tersebut dikembangkan

oleh Marc Galanter sebagai orang ahli sosiologi

hukum. Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem

hukum modern itu.22

Pertama, Aturan-aturan dalam hukum modern itu

bersifat seragam. Maksudnya, ketika diterapkan,

bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi.

Penerapannya tidak lagi mengenal diskriminasi

berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin,

dan lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena

teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat teritorial

daripada personal.

Kedua, Hukum modern bersifat transaksional. Artinya,

hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan

hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-

menawar antar mereka. Di sini tidak lagi dikenal

bahwa laki-laki harus diberi hak lebih besar daripada

wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada

yang muda.

Ketiga, Hukum modern bersifat universalistik. Putusan

atas perkara-perkara yang serupa, biasanya adalah

sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang

dan dapat diramalkan.

Keempat, Sistem hukum itu bersifat hirarkis. Di situ

ada jenjang-jenjangnya. Tingkat yang lebih rendah

akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,

putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada

pengadilan tinggi, dan seterusnya putusan pengadilan

tinggi oleh Mahkamah Agung.

Kelima, Sistemnya diorganisasikan secara birokratis.

Untuk mencapai adanya keseragaman dalam putusan

(universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan

yang disusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum

dengan demikian menjadi makin impersonal (mekanis).

Keenam, Sistem hukum modern itu adalah rasional.

Maksudnya, sistem tersebut dapat dipelajari dan

dimengerti oleh semua orang. Pada hal, dulu hanya

orang-orang tertentu yang diyakini dapat menafsirkan

maksud suatu norma hukum. Teknik-teknik teologikal

dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu

telah digantikan oleh teknik-teknik fungsional.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

76

22 Pendapat Galanter tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Malang, 2006). In-Trans Publishing. hlm. 1-3

Page 84: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Ketujuh, Sistem itu dijalankan oleh para profesional.

Sistem peradilan, misalnya, tidak lagi bersifat ad hoc.

Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purna

waktu (full-timer). Mereka juga adalah lulusan

pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.

Kedelapan, Sistemnya menjadi lebih teknis dan

kompleks. Maksudnya adalah bahwa sistem hukum

modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-

orang kebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli,

yakni orang-orang yang tahu seluk beluk sistem ini.

Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang

menjembatani antara peradilan dengan pribadi-pribadi

yang berperkara. Peran para “general agents” sudah

digantikan oleh “lawyers”.

Kesembilan, Sistem hukum modern itu dapat diubah

atau diganti. Di sini tidak ada sesuatu yang sakral.

Perundang-undangan telah menggantikan peran

hukum adat yang lamban itu.

Sementara itu, proses pembentukan hukum harus

mengacu kepada asas-asas hukum sebagai pijakan

dari muatan nilai dan sekaligus sebagai cita hukum

itu sendiri dalam keberlakuannya. Gagasan tentang

asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental

dalam suatu sistem hukum ditemukan kembali dari

banyak teoritisi hukum. Paul Scholten misalnya

menguraikan asas hukum sebagai “pikiran-pikiran

dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem

hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-

aturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-

ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat

dipandang sebagai penjabarannya”23

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum

merupakan “jantungnya” peraturan hukum, karena

menurut Satjipto asas hukum adalah landasan yang

paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini

berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada

akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.

Kecuali disebut landasan, asas hukum layak disebut

sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau

merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas

hukum tidak akan habis kekuatannya dengan

melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan

tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-

peraturan selanjutnya.24

Oleh kerena itu Paton menyebutnya sebagai suatu

sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan

berkembang dan ia menunjukkan, bahwa hukum

itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan

belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas

hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar

kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu

disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-

nilai dan tuntutan-tuntutan etis. apabila membaca

suatu peraturan hukum, mungkin tidak menemukan

pertimbangan etis di situ. Tetapi asas hukum

menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian

itu, atau setidak-tidaknya bisa merasakan adanya

petunjuk kearah itu.25

Mendasarkan definisi yang diberikan oleh Scholten

tersebut di atas, Bruggink menyatakan, peranan dari

asas hukum sebagai meta-kaidah berkenaan dengan

kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Namun

yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum

itu harus dipandang sebagai bentuk yang kuat atau

yang lemah dari meta-kaidah.26

Dalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum

itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah

berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan

demikian secara prinsipil dapat dibedakan dari jenis

kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan ini,

misalnya menunjuk asas hukum sebagai kaidah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

77

23 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta (Bandung, 1999), hlm. 119-120

24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung, 1986), hlm. 85

25 Ibid

26 J.J.H. Bruggink, Refleksi........., Op. Cit, hlm. 120

Page 85: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah

perilaku. Asas-asas hukum hanya akan memberikan

argumen-argumen bagi pedoman perilaku yang harus

diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan

pedoman (bagi pelaku).

Dalam hal kedua (bentuk yang lemah), asas-asas

hukum itu tampaknya dapat dianggap termasuk dalam

tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku.

Namun memiliki juga fungsi sejenis seperti kaidah

perilaku. Jadi hanya terdapat suatu perbedaan gradual

saja antara asas hukum dan kaidah perilaku. Dalam

pandangan ini maka asas hukum adalah kaidah yang

berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas

hukum ini memainkan peranan pada interpretasi

terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan

wilayah penerapan kaidah hukum. Berdasarkan itu

maka asas dapat dinyatakan termasuk tipe meta

kaidah. Asas hukum itu juga sekaligus merupakan

perpanjangan dari kaidah perilaku, karena asas hukum

juga memberikan arah pada perilaku yang

dikehendaki.27

Para ahli juga memberikan uraian tentang beberapa

perbedaan antara asas hukum dengan kaidah perilaku

(aturan hukum). Pendapat yang banyak dianut oleh

banyak teoritisi adalah bahwa asas hukum bersifat

umum sedangkan kaidah perilaku (aturan hukum)

bersifat khusus. Dengan “umum” dimaksudkan

bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang

lebih luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar

wilayahnya, makin lebih umum kaidan hukumnya,

makin lebih abstrak aturan hukum yang dirumuskannya.

Dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum sebagai

kaidah penilaian fundamental adalah kaidah hukum

yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah

“umum”, berarti bahwa ia dalam penerapannya harus

dikhususkan dengan mengarahkannya pada situasi

faktual. Ini sesungguhnya berarti bahwa kaidah hukum

itu tidak cukup jelas mengharuskan, bagaimana orang

seharusnya berprilaku dalam situasi faktual itu. Dalam

hal kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya.

Kaidah hukum yang khusus ini, yang timbul dari aturan

hukum yang dirumuskan lebih konkrit, memberikan

pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum

sebagai kaidah hukum yang umum hanya memberikan

suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru di dalam

kaidah perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus

memperoleh bentuk yang sedemikian rupa, sehingga

memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan,

misalnya dengan jalan memberikan suatu hak atau

meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.28

Perbedaan kedua antara asas hukum dan kaidah

perilaku (aturan hukum) antara lain diajukan oleh

Paul Scholten dan berada dalam garis pikiran dari

perbedaan pertama. Scholten berpendapat bahwa

aturan hukum memiliki isi yang jauh lebih konkrit,

yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan

hukum dapat diterapkan secara langsung. Berlawanan

dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum

memiliki daya kerja secara tidak langsung, yakni

menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap

aturan hukum. Aturan hukum terbentuk karena

pembentuk undang-undang dalam pembentukan

aturannya atau hakim dalam pengambilan putusan

hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas hukum

yang satu terhadap yang lain.29

Dalam perspektif pembentukan peraturan,

Montesquieu dalam karyanya L’esperit des Lois

sebagaimana dikutip oleh Sumali dari Disertasi Hamid.

S. Attamimi mengemukakan sejumlah persyaratan

yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, yakni:30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

78

27 Ibid.

28 Ibid, hlm. 124

29 Ibid, hlm. 125

30 vide Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UU (Perpu) (Malang, 2002), hlm. 124-125 pendapat tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting.........., Op.Cit, hlm. 22

Page 86: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Pertama, gaya penuturannya hendaknya padat dan

sederhana. Ini mengandung arti bahwa penguataraan

dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan

retorik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan

dan mubazir;

Kedua, istilah-istilah yang dipilih hendaknya bersifat

mutlak dan relatif, sehingga dengan demikian

memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan

pendapat yang individual; Kedua, hukum hendaknya

membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual

dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis

dan hipotetis;

Ketiga, hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam

bahasa yang tinggi, oleh karena ia ditujukan kepada

rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata,

bahasa hukum tidak untuk latihan penggunaan logika

melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa

dipahami oleh orang rata-rata; Keempat, hukum

hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan

pengecualian, pembatasan atau pengubahan,

gunakan semua itu jika benar-benar diperlukan;

Kelima, hukum hendaknya tidak bersifat debatable

(argumentatif) adalah bahaya merinci alasan-alasan

karena hal itu akan menimbulkan konflik; Keenam,

lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya

mempertimbangkan masak-masak dan mempunyai

manfat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan

sendi-sendi pertimbangan dasar keadilan dan hakekat

permasalahan sebab hukum yang lemah tidak perlu

dan tidak adil akan membawa seluruh sistem

perundang-undangan mendapat citra buruk dan

menggoyahkan legitimasi negara.

Berkenaan dengan asas-asas pembentukan hukum

dalam konsep undang-undang di Indonesia, Attamimi

mengemukakan tiga macam asas yang secara

berurutan disusun sebagai berikut:31

1. Cita Hukum Indonesia, yaitu Pancasila di samping

sebagai rechtsidee juga merupakan norma

fundamental negara;

2. Asas bernegara berdasarkan atas hukum dan asas

pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.

Berdasarkan prinsip ini Undang-undang sebagai

alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam

keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan

batas penyelenggaraan pemerintahan

3. Asas lainnya yang meliputi asas formal dan asas

material.

Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku, atau

hukum yang akan berlaku di Indonesia, maka harus

tahu tentang cita hukum yang akan dibangun. Oleh

karena itu, apakah cita hukum itu,? Cita hukum adalah

terjemahan dari kata Rechtsidee. Menurut A. Hamid

S. Attamimi32 mengemukakan bahwa cita hukum

(Rechtsidee) perlu dibedakan dengan dari pemahaman

atau konsep tentang hukum (Rechtsbegriff). Cita

hukum ada di dalam cita kita. Sedangkan pemahaman

atau konsep tentang hukum merupakan kenyataan

dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai yang

di inginkan (wertbezogene), dengan tujuan mengabdi

kepada nilai yang ingin dicapai (einewertezu dienen),

dan dalam pemahaman atau konsep tentang hukum

terhampar, bahwa hukum adalah kenyataan yang

bertujuan mencapai nilai-nilai hukum, mencapai cita

hukum. Dengan perkataan lain, pemahaman atau

konsep tentang hukum bertujuan merealisasi cita

hukum yang ada pada gagasan, rasa, cipta, dan

pikiran kedalam kenyataan. Rudolf Stammler (1856-

1939) seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neo

kantian, berpendapat bahwa cita hukum ialah

konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi

mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan

masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang

pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita

masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

79

32 Oetojo Oesman dan Alfian (Ed), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta, 1990), hlm. 67-6831 Ibid, hlm. 127

Page 87: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

mungkin dicapai. Namun cita hukum memberi manfaat

karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum

dapat menguji hukum yang berlaku, dan kepada cita

hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai

usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang

adil. Oleh karena itu, menurut Stammler keadilan

adalah usaha atau tindakan mengarahkan hukum

positif kepada cita hukum. Dengan demikian, maka

hukum yang adil (rechtigesrecht) ialah hukum positif

yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum

untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.

Sementara Gustav Radbruch (1878-1949) seorang

ahli filsafat hukum yang beraliran neo kantian dari

mazhab Baden atau mazhab Jerman barat Daya,

menegaskan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi

sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang

menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak,

melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar

yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan

bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan

maknanya sebagai hukum, sebagaimana diketahui,

Radbruch termasuk dalam mazhab yang berusaha

menjembatani dualisme das sein dan das sollen,

dengan mengkonstruksikan lingkup ketiga, yaitu

kebudayaan.33

Sedangkan di sisi lain Gustav Radbruch (1878-1949)

dalam bukunya yang berjudul Outline of Legal

Philosophy sebagaimana yang dikutip oleh Mukthie

Fadjar mengemukakan bahwa hukum adalah ciptaan

manusia, dan sebagai setiap ciptaan mahluk hanyalah

dimengerti dengan citanya.34

Dalam pembentukan hukum tidak tertulis dan

pembentukan hukum tertulis, cita hukum berperan

dengan cara yang berlain-lainan. Pada yang pertama

cita hukum secara langsung mempengaruhi kesusilaan

perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat

dalam menghasilkan cara dan kesusilaan umum dalam

membentuk kebiasaan, tata kelakuan, adat-istiadat,

dan hukum. Sedangkan pada yang kedua, cita hukum

mempengaruhi perorangan dan masyarakat secara

tidak langsung. Dengan perkataan lain dalam

pembentukan hukum tidak tertulis, tahapan-tahapan

dari cara kebiasaan, dari kebiasaan ketata keberlakuan,

dari tata keberlakuan ke tata adat-istiadat, dan dari

adat- istiadat ke hukum, semuanya berlangsung

melalui endapan-endapan nilai yang berjenjang-

jenjang, terjadi di bawah bimbingan cita moral dan

cita hukum yang ada dalam masyarakat. Sedangkan

dalam pembentukan hukum tertulis tahapan-tahapan

yang membentuk endapan-endapan nilai tersebut

tidak terjadi, dan karena itu tidak ditemui. Cita hukum

tidak langsung mengawasi pembentukan hukum,

lebih-lebih cita moral. Dalam hal pembentukan hukum

tidak tertulis, hubungan antara cita hukum dan sistem

norma hukum tidak terjadi disintegrasi, karena sistem

norma hukum terbentuk dari endapan-endapan nilai

yang telah tersaring oleh peri laku masyarakat sendiri

melalui penerimaan individu-individu dalam keluarga,

keluarga ke keluarga dalam suku, dan suku-suku

dalam marga, serta marga-marga dalam Negara. Lain

halnya dengan pembentukan hukum tertulis. Hukum

dan sistem norma hukum dibentuk oleh perorangan

atau kelompok perorangan, baik sebagai pejabat-

pejabat maupun sebagai wakil-wakil rakyat. Hubungan

antara cita hukum dengan sistem norma hukum

bergantung kepapada kesadaran dan penghayatan

para pejabat dan para wakil rakyat tersebut terhadap

cita hukum yang ada dalam masyarakat yang memang

mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif dalam

pembentukan hukum tersebut, dan karena

pembentukan hukum tertulis tidak berlangsung melalui

tahapan-tahapan endapan nilai, maka kemungkinan

terjadinya disintegrasi antara cita hukum dan sistem

norma hukum besar sekali.35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

80

33 Ibid, hlm. 68-69

34 Gustav Radbruch, Outline of Legal Philosophy, Terjemahan oleh YBP (Yogyakarta, 1957), hlm. 7, dalam Mukthie Fadjar, Tipe Negera Hukum (Malang, 2004), hlm. 9 35 Oetojo Oesman dan Alfian , Op.Cit, hlm. 80

Page 88: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

E. Simpulan

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah

diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5

tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif

(ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan

dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup

atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan

penegakan hukum (law enforcement Approach) yang

benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari

lembaga yang memiliki wewenang melakukan

penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pertumbuhan

dan perkembangan perekonomian negara Indonesia

sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh persaingan

usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik

sekarang maupun di masa yang akan datang,

sedangkan persaingan yang sehat akan ditentukan

oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi

(The Legal Policy Development of Economics);

kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy

to fair competition); politik pembentukan hukum

perspektif undang-undang (Law Making Proses); dan

proses pengambilan keputusan dalam pembentukan

hukum persaingan usaha (Decision Making of Proces).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

81

Page 89: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Bruggink, J.J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Imbawani, Djoko. 2002. Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ.Widyagama Malang, 2002.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung. Binacipta.

Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi. Jakarta. Bee Media Indonesia.

Loqman, Loebby. 1990. Pra pradilan di Indonesia. Jakarta.

Oesman, Oetojo & Alfian (ed). 1990. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa dan Bernegara. Jakarta. BP7.

Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung. Mandar Maju.

Rahardjo, Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional.

Bandung. Alumni.

Sudarsono, 1991. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta.

Sirajuddin, et.al. 2006. Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Malang. In-Trans Publishing.

Suryana, Daniel. ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas

M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”.

Wisconsin Law Review No.3 (1972), dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan

Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan

dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.

Wignyosoebroto, Soetandyo.1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan

Hukum di Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada.

DAFTAR PUSTAKA

82

Page 90: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

15/7/PBI/2013  26-09-2013  DKMP  Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum

pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing 

15/8/PBI/2013  07-10-2013  DPM  Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank 

15/9/PBI/2013  30-10-2013  DPSP  Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat

Berharga Negara 

15/10/PB/12013  01-11-2013  DPU  Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah Yang dimusnahkan

Tahun 2011 dan Tahun 2012 

15/11/PBI/2013  22-11-2013  DPNP  Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal 

15/12/PBI/2013  12-12-2013  DPNP  Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum 

15/13/PBI/2013  24-12-2013  DPbS  Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum Syariah 

15/14/PBI/2013  24-12-2013  DPbS  Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah 

15/15/PBI/2013  24-12-2013  DKMP  Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta

Asing bagi Bank Umum Konvensional 

15/16/PBI/2013  24-12-2013  DKMP  Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi

Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah 

15/17/PBI/2013  24-12-2013  DPM  Transaksi SWAP Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia 

83

Page 91: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali
Page 92: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013

85

Tanggal Satker PerihalPeraturan

15/37/DSta  05-09-2013  DSta  Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah 

15/38/DPM  10-09-2013  DPM  Perubahan Ketujuh atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka 

15/39/DPNP  17-09-2013  DPNP  Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat 

15/40/DKMP  24-09-2013  DKMP  Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor 

15/41/DKMP  01-10-2013  DKMP  Perhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam Rupiah 

15/42/DPM  08-10-2013  DPM  Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank 

15/43/DPNP  21-10-2013  DPNP  Perubahan atas SEBI No.15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR 

15/44/DPbS  24-10-2013  DPbS  Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah 

15/45/DPNP  18-11-2013  DPNP  Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat 

15/46/DPSP  20-11-2013  DPSP  Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara 

15/47/DSta  02-12-2013  DSta  Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 

Page 93: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

86

Tanggal Satker PerihalPeraturan

15/48/DSta  02-12-2013  DSta  Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum. 

15/49/DPKL  05-12-2013  DPKL  Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan 

15/50/DPbS  30-12-2013  DPbS  Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum Syariah 

15/51/DPbS  30-12-2013  DPbS  Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit Usaha Syariah 

15/52/DSta  30-12-2013  DSta  Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum 

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 94: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Peraturan : PBI No.15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah

dan Valuta Asing

Berlaku : Sejak tanggal 1 Oktober 2013

Ringkasan:

Latar Belakang Pengaturan :

1. Untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika

perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap memperhatikan peran bank dalam menjalankan

fungsi intermediasi.

2. Untuk mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal penguatan

likuiditas bank dilakukan melalui kebijakan giro wajib minimum.

Substansi Pengaturan :

1. Ketentuan mengenai GWM Primer dalam Rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.

2. Perubahan ketentuan mengenai GWM Sekunder dilakukan sebagai berikut:

a. GWM Sekunder dinaikkan secara bertahap mulai tanggal 1 Oktober 2013;

b. Sertifikat Deposito Bank Indonesia diperhitungkan sebagai komponen GWM Sekunder mulai tanggal 1 Oktober

2013; dan

c. Kisaran LDR Target diubah menjadi antara 78% - 92% dan mulai berlaku mulai tanggal 2 Desember 2013.

3. Tahapan kenaikan GWM Sekunder:

a. Sebesar 3% sejak 1 Oktober 2013 s.d. 31 Oktober 2013;

b. Sebesar 3,5 % sejak 1 November 2013 s.d. 1 Desember 2013; dan

c. Sebesar 4% sejak 2 Desember 2013.

4. Pengenaan denda atas pelanggaran ketentuan GWM Sekunder serta perhitungan jasa giro tidak mengalami perubahan

sebagaimana ketentuan yang berlaku saat ini.

5. Perhitungan KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif untuk GWM LDR tidak mengalami

perubahan sebagaimana ketentuan yang berlaku selama ini.

87

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013

Page 95: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank

Berlaku : mulai tanggal 7 Oktober 2013

Ringkasan :

I. Latar belakang dan Tujuan

Sesuai dengan tujuan yang diamanatkat UU untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah

satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan

bagi pencapaian tujuan tersebut. Stabilitas nilai tukar rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat

khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.

Sementara itu, dinamika yang terjadi di pasar valuta asing domestik dapat menimbulkan risiko ketidakpastian

pergerakan nilai tukar kepada pelaku ekonomi. Sebagai upaya untuk memitigasi risiko tersebut, pelaku ekonomi

perlu melakukan Transaksi Lindung Nilai terhadap kegiatan ekonominya dengan menggunakan instrumen derivatif

antara lain forward dan swap. Diharapkan pula bahwa Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan oleh pelaku ekonomi

dapat mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik.

II. Materi Pengaturan

1. Nasabah dapat melakukan Transaksi Lindung Nilai kepada Bank.

2. Ruang lingkup Nasabah:

a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau

b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, termasuk Badan Usaha

Milik Negara (BUMN).

3. Transaksi Lindung Nilai terdiri dari:

a. Transaksi Lindung Nilai Beli; dan/atau

b. Transaksi Lindung Nilai Jual.

4. Transaksi Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar

(plain vanilla) antara lain dengan cara Transaksi Forward dan Transaksi Swap.

5. Pelaksanaan Transaksi Lindung Nilai mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai:

a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.

b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah.

c. Transaksi derivatif.

d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah.

e. Laporan harian bank umum.

88

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 96: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

6. Pengaturan underlying Transaksi Lindung Nilai Beli:

a. wajib dilakukan berdasarkan underlying kegiatan ekonomi, antara lain berupa pembayaran utang dalam valuta

asing, kegiatan ekspor impor, dan kegiatan investasi.

b. wajib didukung dokumen underlying ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Beli paling banyak sebesar nilai nominal underlying kegiatan ekonomi

yang tercantum di dalam dokumen kegiatan pendukung.

d. Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Beli paling lama sama dengan jangka waktu underlying kegiatan ekonomi

yang tercantum dalam dokumen kegiatan pendukung.

7. Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. Terdapat

pengecualian bahwa penyelesaian secara netting diperbolehkan untuk:

a. transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang mengalami force majeure; atau

b. perpanjangan Transaksi Lindung Nilai dari beberapa kegiatan ekonomi.

Pengecualian penyelesaian Transaksi Lindung Nilai juga berlaku untuk Nasabah Bank yaitu pihak yang menggunakan

jasa Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Transaksi valuta asing terhadap

rupiah.

8. Pengaturan perlakuan akuntansi:

a. Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai tunduk pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku

dan dapat menerapkan hedge accounting.

b. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari Transaksi Lindung Nilai yang memenuhi kriteria akuntansi Lindung

Nilai (hedge accounting) sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, merupakan

pendapatan atau biaya dalam rangka Lindung Nilai.

9. Pengaturan sanksi mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai:

a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.

b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah.

c. Transaksi derivatif.

d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah.

e. Laporan harian bank umum.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

Berlaku : Mulai tanggal 30 Oktober 2013

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan atas PBI Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan

Penatausahaan Surat Berharga Negara.

2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan rencana Pemerintah menerbitkan Surat Utang

Negara (SUN) dalam valuta asing di pasar perdana domestik.

89

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 97: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

3. Perubahan-perubahan dalam PBI ini meliputi:

a. pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN, yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah,

diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam mata uang Rupiah dan valuta asing; dan

b. penambahan sarana penatausahaan SBN yaitu selain melalui Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System

(BI-SSSS), penatausahaan SBN dilakukan melalui sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2013.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang

Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012

Berlaku : 1 November 2013

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan

Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012.

2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk menjalankan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan

oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

3. Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi:

a. Kriteria uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia;

b. Tata cara pemusnahan uang Rupiah;

c. Informasi jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik

Indonesia (LNRI) secara periodik, yakni 1 (satu) tahun sekali;

d. Data uang Rupiah yang dimusnahkan menurut jenis pecahan, jumlah bilyet dan/atau keping dan nilai nominal,

serta disajikan per triwulan;

e. Periode data uang Rupiah yang dimusnahkan adalah sejak berlakunya UU Mata Uang yaitu periode tanggal 28

Juni 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan periode tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan tanggal

31 Desember 2012 (sebagai lampiran dari PBI).

4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2013.

90

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 98: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tanggal November 2013 tentang Prinsip

Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal

Berlaku : Tanggal 22 November 2013

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal mengatur kembali

kegiatan penyertaan modal, yang merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank, antara lain

persyaratan umum berupa persyaratan tingkat kesehatan sebelum Bank dapat melakukan penyertaan modal, dan

jumlah maksimum penyertaan modal yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang dimilikinya.

Pengaturan dalam PBI ini juga memberikan peluang bagi bank untuk dapat melakukan divestasi penyertaan modal

atas inisiatif sendiri dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu, disamping divestasi penyertaan modal yang

diwajibkan karena ketentuan.

2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain:

a. Umum

1) Bank hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,

sedangkan unit usaha syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat

melakukan kegiatan penyertaan modal sementara.

2) Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk setiap kali melakukan penyertaan modal, termasuk

penyertaan modal lanjutan.

3) Penyertaan modal dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui pasar modal dengan tujuan hanya untuk

investasi jangka panjang (bukan untuk jual beli saham).

b. Pengaturan Total Portofolio dan Alokasi Penyertaan Modal serta Penyertaan Modal di Luar Negeri

1) Jumlah seluruh portofolio penyertaan modal ditetapkan paling tinggi sebesar penyertaan modal sesuai

pengelompokan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU), sebagaimana telah diatur dalam ketentuan

Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.

2) Bank dilarang melakukan penyertaan modal melebihi batas penyediaan dana sebagaimana telah diatur dalam

ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit.

3) Kegiatan penyertaan modal di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh bank sesuai pengelompokan bank

berdasarkan BUKU.

c. Pengaturan Persyaratan dan Tata Cara Penyertaan Modal

1) Persyaratan penyertaan modal adalah sebagai berikut:

a) rencana penyertaan modal telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB);

b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko baik secara individual

maupun konsolidasi;

c) memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua), selama:

i. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau

ii. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut apabila calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau

perusahaan di luar negeri.

91

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 99: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

d) tidak mengganggu kelangsungan usaha bank dan tidak meningkatkan profil risiko bank secara signifikan;

e) memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh Direksi bank dan disetujui oleh Dewan Komisaris

bank; dan

f) memiliki sistem pengendalian intern yang memadai.

2) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM sesuai profil risiko bagi bank umum

syariah maka rasio KPMM ditetapkan paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen).

3) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan penyertaan modal kepada Bank Indonesia

paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum penyertaan modal dilakukan, dengan melampirkan dokumen dan

informasi yang diwajibkan.

4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penyertaan modal akan diberikan Bank Indonesia setelah

mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan bank serta kelayakan dan kesesuaian

kegiatan penyertaan modal yang akan dilakukan oleh Bank.

5) harus merealisasikan rencana penyertaan modal paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh

Bank Indonesia. Apabila bank tidak merealisasikan penyertaan modal dalam kurun waktu tersebut, persetujuan

Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.

d. Pelampauan Batasan Penyertaan Modal Sesuai BUKU dan Penyampaian Rencana Tindak

1) Dalam hal jumlah seluruh portofolio penyertaan modal melampaui batasan penyertaan modal sesuai BUKU

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, karena:

a) penurunan modal inti;

b) peningkatan penyertaan modal pada Investee; dan/atau

c) penurunan modal bank

maka bank wajib menyampaikan rencana tindak berupa rencana tindak pemenuhan persyaratan modal inti

dan/atau modal bank atau penyesuaian jumlah penyertaan modal.

2) Rencana tindak disampaikan paling lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya pelampauan batasan

penyertaan modal, untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.

3) Penyelesaian rencana tindak dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Bank Indonesia.

e. Divestasi Penyertaan Modal

1) Bank wajib melakukan divestasi penyertaan modal apabila:

a) Penyertaan modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan

Bank dan/atau peningkatan profil risiko bank secara signifikan; atau

b) atas rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak dan/atau perintah dari Bank Indonesia.

2) Bank dapat melakukan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a) Penyertaan modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima) tahun;

b) dicantumkan dalam RBB;

c) divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis bank;

d) divestasi dilakukan paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari saham yang dimiliki;

e) divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar;

f) divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan; dan

g) telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.

92

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 100: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri akan diberikan

Bank Indonesia, setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis kewajaran dan kesesuaian rencana

divestasi atas insiatif sendiri.

4) Divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri harus direalisasikan paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan

Bank Indonesia.

f. Penyertaan Modal oleh Perusahaan Anak.

1) Dalam hal perusahaan anak Bank melakukan penyertaan modal, maka:

a) penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan/atau

di perusahaan penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham; dan

b) penyertaan modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas perusahaan

anak.

2) Perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 1)a) merupakan perusahaan yang

didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan untuk menunjang kegiatan usaha bank melalui sistem pembayaran.

g. Lain-lain

Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi penyertaan modal atau menolak permohonan

penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri, berdasarkan pertimbangan tertentu sebagai berikut:

1) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian

nasional atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional;

2) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan

perbankan di Indonesia; dan/atau

3) penyertaan modal atau rencana penyertaan modal bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun

di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank

Indonesia.

h. Pengenaan Sanksi kepada Bank.

Pengenaan sanksi kepada bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah.

Peraturan : PBI No.15/12/PBI/2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal

Minimum Bank Umum

Berlaku : Tanggal 1 Januari 2014

I. Latar Belakang Pengaturan

1. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional

maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh

kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas

permodalan Bank sesuai dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III.

93

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 101: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

2. Peningkatan kualitas permodalan Bank dilakukan melalui penyesuaian komponen dan persyaratan instrumen

modal serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Selanjutnya, Peningkatan kuantitas permodalan Bank dicapai

melalui kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa Capital Conservation Buffer,

Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa

Capital Surcharge.

II. Substansi Pengaturan

1. Peningkatan kualitas permodalan melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai dengan

kerangka Basel III antara lain:

a. Komponen modal inti (Tier 1) yang terdiri atas:

1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi dalam bentuk saham

biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran dividen/imbal hasil.

2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen modal inovatif yang berupa

saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, pembayaran

dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak memiliki fitur step up.

b. Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat subordinasi, memiliki jangka waktu

paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step up

2. Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR dan modal inti

utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara

individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.

3. Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) di atas

kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang ditetapkan sebagai berikut:

a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang tergolong

dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya secara bertahap;

b. Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen)

dari ATMR bagi seluruh Bank; dan

c. Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima

persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.

4. Jangka waktu penyesuaian rasio permodalan, pemberlakuan komponen modal, dan pembentukan tambahan

modal sebagai penyangga (buffer) adalah sebagai berikut:

94

Ketentuan KeteranganTanggal

Sampai dengan 31 Desember 2014 pemenuhan rasio modal inti minimum dan rasio modal inti utama minimum mengacu pada komponen modal sebagaimana diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Rasio modal inti minimum sebesar 6% dari ATMR dan rasio modal inti utama minimum sebesar 4,5% dari ATMR wajib dipenuhi Bank.

1 Januari 2014

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 102: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2014.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/13/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah

Berlaku : 24 Desember 2013

Ringkasan :

1. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate

governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Bank, meningkatkan

efisiensi dan pengembangan industri perbankan syariah, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI

No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012

tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum.

2. Kantor Bank Umum Syariah (Bank) meliputi:

a. kantor Bank di dalam negeri antara lain berupa kantor pusat, Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang

Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas, dan Kegiatan Pelayanan Kas; dan

b. kantor Bank di luar negeri berupa Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya.

95

Ketentuan KeteranganTanggal

Pengaturan komponen modal dan pengaturan lainnya dalam PBI No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga PBI yang baru mulai berlaku secara penuh.

1. 0,625% dari ATMR mulai 1 Januari 20162. 1,25% dari ATMR mulai 1 Januari 20173. 1,875% dari ATMR mulai 1 Januari 20184. 2,5% dari ATMR mulai 1 Januari 2019

Berdasarkan penilaian atas kondisi makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dari tahun 2016.

Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang.

Persyaratan komponen modal dalam ketentuan ini mulai berlaku.

Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Conservation Buffer mulai berlaku secara bertahap.

Kewajiban Bank untuk membentuk Countercyclical Buffer mulai berlaku.

Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB mulai berlaku bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.

1 Januari 2015

1 Januari 2016

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 103: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

3. Bank dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki hubungan kepemilikan

dengan Bank, dalam bentuk kegiatan LSB dan/atau Jasa Konsultasi. BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan

Bank adalah BUK yang merupakan PSP Bank (parent bank) atau PSP BUK juga merupakan PSP Bank (sister bank).

4. Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan pembukaan, perubahan status,

pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau

penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja

pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum.

5. Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan

pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan,

pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB. Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen

tersebut.

6. Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan,

perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank serta pembukaan, pemindahan, dan/atau

penghentian kegiatan LSB setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank adalah kajian yang disampaikan Bank, yang

memuat paling kurang:

a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan;

b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor Bank;

c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis

keuangan; dan

d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang

lainnya.

7. Kajian mengenai jaringan kantor Bank disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk

tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis Bank.

8. Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor Bank

mempertimbangkan aspek mikro (individual Bank) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas sistem keuangan,

dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara lain upaya

pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan,

perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan

kepada kepentingan nasional.

9. Bank yang akan membuka jaringan kantor selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini juga wajib memenuhi

ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan

Modal Inti Bank.

10.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank khusus untuk

Kantor Wilayah dan Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor

Pusat Bank Umum wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan

berikutnya .

96

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 104: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah

Berlaku : 24 Desember 2013

Ringkasan :

11. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate

governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Unit Usaha

Syariah (UUS), memperkuat stuktur kelembagaan UUS, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI

No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012

tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum.

12.Kantor UUS meliputi:

a. kantor UUS di dalam negeri antara lain berupa Kantor Cabang Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah , Kantor

Fungsional Syariah, Kantor Kas Syariah, Kegiatan Pelayanan Kas Syariah, dan kegiatan Layanan Syariah; dan

b. kantor UUS di luar negeri berupa Kantor Cabang Syariah dan jenis-jenis kantor lainnya.

13.Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status,

pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia

setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat

Bank Umum.

14.BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat

Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS.

Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen tersebut.

15.Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan,

perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS setahun ke depan dalam rencana bisnis UUS

adalah kajian yang disampaikan BUK yang memiliki UUS, yang memuat paling kurang:

a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan;

b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor UUS;

c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis

keuangan; dan

d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya.

16.Kajian mengenai jaringan kantor UUS disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk

tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS. Kajian

jaringan kantor UUS dapat disatukan dengan kajian mengenai jaringan kantor lain dari BUK yang memiliki UUS.

17.Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor UUS

mempertimbangkan aspek mikro (individual BUK yang memiliki UUS) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas

sistem keuangan dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara

lain upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan,

97

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 105: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan

kepada kepentingan nasional.

18.BUK yang memiliki UUS yang akan membuka jaringan kantor UUS selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini

juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan

Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

19.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS khusus untuk

Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum

wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 15/15/PBI/2013 tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib

Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional

Berlaku : 24 Desember 2013

1. Latar Belakang

a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia

di dalam ketentuan GWM.

b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan

pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM primer, pemberian

kelonggaran dalam pemenuhan ketentuan GWM LDR bagi bank yang terkena pembatasan kegiatan usaha tertentu

oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, serta pemeriksaan bank oleh BI terkait

kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM.

2. Rasio GWM

Kewajiban GWM untuk bank umum konvensional ditetapkan sebagai berikut:

a. GWM Rupiah:

• GWM Primer sebesar 8% dari DPK Rupiah.

• GWM Sekunder sebesar 4% dari DPK Rupiah.

• GWM LDR sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas

dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target (78% - 92%) dengan memperhatikan selisih antara KPMM

Bank dan KPMM Insentif.

• Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun

kepada bank yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK.

• Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap GWM Sekunder dan GWM LDR.

b. GWM dalam valuta asing sebesar 8% dari DPK dalam valuta asing.

3. Rekening Giro Bank

a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank

Indonesia.

98

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 106: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

4. Perhitungan GWM

a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian.

b. Pemenuhan GWM Primer Rupiah, GWM LDR Rupiah dan GWM valas dilakukan dengan membandingkan saldo

Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam

1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya.

c. Pemenuhan GWM Sekunder Rupiah dilakukan dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN dan/atau excess

reserve setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada

2 masa laporan sebelumnya.

d. Perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan dengan parameter kisaran LDR Target adalah 78% - 92%,

KPMM Insentif sebesar 14%, Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 dan Parameter Disinsentif Atas sebesar

0,2, sebagai berikut:

• Jika LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR Bank sebesar 0% dari DPK dalam Rupiah.

• Jika LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara

Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK Rupiah.

• Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka

GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan batas

atas LDR Target, dan DPK Rupiah.

• Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif,

maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% dari DPK Rupiah.

e. Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR terhadap Bank yang

sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana atas

dasar permintaan OJK.

f. KPMM Bank dalam perhitungan GWM LDR adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan OJK dengan rincian sebagai

berikut:

• KPMM posisi akhir bulan September untuk perhitungan GWM LDR bulan Desember, Januari dan Februari;

• KPMM posisi akhir bulan Desember untuk perhitungan GWM LDR bulan Maret, April dan Mei;

• KPMM posisi akhir bulan Maret untuk perhitungan GWM LDR bulan Juni, Juli dan Agustus; dan

• KPMM posisi akhir bulan Juni untuk perhitungan GWM LDR bulan September, Oktober dan November;

g. DPK Rupiah dan valas terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya.

5. Jasa Giro

a. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu 3% dari DPK dalam Rupiah dari

pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah.

b. Jasa giro diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun dan diberikan apabila

Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM Rupiah.

c. Jasa giro tersebut dikreditkan paling lambat 2 hari kerja setelah periode perhitungan pemenuhan kewajiban GWM.

6. Pemeriksaan oleh BI

Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan

GWM yang dapat dilakukan dengan cara:

• Melakukan pemeriksaan langsung;

• Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau

• Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.

99

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 107: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM

Bank yang melanggar ketentuan GWM dikenakan denda sebagai berikut:

a. GWM Rupiah:

- Sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 hari overnight dari JIBOR

dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari

kerja pelanggaran.

- Apabila pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban

membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank

Indonesia.

- Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan

tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana sanksi pelanggaran GWM.

b. GWM Valas:

Sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening

Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang

dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia.

c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM

sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah dan/atau bagi bank yang mendapatkan

kelonggaran pemenuhan GWM LDR.

8. Mekanisme koreksi terhadap pemberian jasa giro atau pengenaan denda

a. Dalam hal terjadi koreksi terhadap pemberian jasa giro:

BI dapat langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam

ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.

b. Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda:

BI dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam

ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro

Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 15/16/PBI/2013 Tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib

Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Berlaku : 24 Desember 2013

1. Latar Belakang

a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia

di dalam ketentuan GWM.

b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan

pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM dan pemeriksaan

bank oleh BI terkait kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM.

2. Rasio GWM

GWM untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah ditetapkan sebagai berikut:

100

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 108: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

a. GWM Rupiah

• GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK Rupiah.

• Bank dengan rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah kurang dari 80% dan:

- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp1 triliun - Rp10 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah

sebesar 1% dari DPK Rupiah;

- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp10 triliun - Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah

sebesar 2% dari DPK Rupiah;

- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah sebesar 3%

(tiga persen) dari DPK Rupiah.

- Bank yang memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah sebesar 80% atau lebih dan/atau yang memiliki

DPK Rupiah sampai dengan Rp1 triliun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM.

• BI dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun kepada bank

yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK.

• Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap kewajiban tambahan GWM.

b. GWM dalam valuta asing sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing.

3. Rekening Giro Bank

a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank

Indonesia.

4. Perhitungan GWM

a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian.

b. Pemenuhan GWM berdasarkan perbandingan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam

1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya.

c. DPK Rupiah terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya. DPK valas terdiri dari giro,

simpanan berjangka dan kewajiban lainnya.

5. Rasio Pembiayaan

Rasio pembiayaan dihitung dengan membandingkan jumlah pembiayaan Rupiah terhadap DPK Rupiah pada akhir

masa laporan dari laporan 2 periode sebelumnya.

6. Pemeriksaan oleh BI

BI berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan GWM yang

dapat dilakukan dengan cara:

• Melakukan pemeriksaan langsung;

• Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau

• Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.

7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM

a. GWM Rupiah:

- Kewajiban membayar sebesar 125% dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran,

terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari pelanggaran.

101

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 109: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

- Jika data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA tidak tersedia, sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan

deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumya dari

seluruh Bank.

- Jika pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban

membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank

Indonesia.

- Jika saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan

tersebut dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari Tingkat

Indikasi Imbalan SIMA.

b. GWM valas:

Kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada

Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem

akunting Bank Indonesia.

c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM

sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah.

8. Mekanisme koreksi atas pengenaan denda

Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda maka BI dapat langsung mendebet atau mengkredit

Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank

Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk

Rekening Giro Valas Bank.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada

Bank Indonesia

Berlaku : Tanggal 24 Desember 2013

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas PBI No. 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai yang

dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mendukung terciptanya pasar keuangan yang dalam dan sehat dengan

tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik. Dukungan ini dilakukan antara lain melalui aktivitas lindung nilai

Bank kepada Bank Indonesia untuk memitigasi risiko pergerakan nilai tukar rupiah. Hal ini sejalan dengan upaya Bank

Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah.

II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :

1. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah;

b. Jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai

Bank kepada Bank Indonesia; dan

c. Nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal

Underlying Transaksi.

102

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 110: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

2. Bank yang melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia harus termasuk dalam klasifikasi Bank

yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga).

3. Bank dapat menyampaikan kontrak lindung nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu paling lama 3

tahun, melalui Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, atau

12 bulan.

4. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia ditetapkan paling sedikit sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh

juta US Dollar) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu

juta US Dollar).

5. Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia diatur sebagai berikut:

a. Persyaratan perpanjangan:

1) menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku;

2) menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam

Kontrak Lindung Nilai;

3) dalam hal jenis Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank, maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap

Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank;

dan

4) jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sebesar sisa

jangka waktu Kontrak Lindung Nilai.

b. Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6

(enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan.

c. Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting.

6. Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan satu

Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

7. Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan tingkat premi atau diskon dari Transaksi Swap Lindung Nilai

kepada Bank Indonesia.

8. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam valuta US Dollar terhadap Rupiah, dengan

menggunakan kurs JISDOR sebagai kurs spot US Dollar terhadap rupiah.

9. Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada

Bank Indonesia dan dokumen fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah.

10.Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

11.Setelmen secara netting untuk perpanjangan transaksi meliputi:

a. Netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan;

b. Netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan;

c. Netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank pada setiap

periode perpanjangan.

103

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 111: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

12.Sanksi bagi Bank yang melakukan setiap pelanggaran pada setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank

Indonesia:

a. Teguran tertulis; dan/atau

b. Kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia

dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak sebesar

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

13. Sanksi bagi Bank yang tidak memenuhi kewajiban setelmen:

a. Teguran tertulis; dan

b. Kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :

1) suku bunga Fed Fund ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban pembayaran

dalam valuta US Dollar;

2) suku bunga BI rate yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban

pembayaran dalam Rupiah.

14.Dengan diberlakukannya PBI ini maka PBI Nomor 7/36/PBI/2005 tanggal 30 September 2005 tentang Transaksi

Swap Lindung Nilai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

104

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 112: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Peraturan : Surat Edaran No. 15/37/DSta Perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan

Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Berlaku : 5 September 2013

Ringkasan:

1. Ketentuan ini mengatur kewajiban penyusunan dan penyampaian Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan

Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam rangka mendukung pengambilan kebijakan di bidang

moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan.

2. Laporan yang disampaikan oleh Bank terdiri atas Laporan Per Kantor, Laporan Gabungan, Laporan Perusahaan Anak,

Laporan Konsolidasi.

3. Bank Pelapor menyampaikan Laporan secara lengkap untuk setiap cakupan. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki

posisi, transaksi, atau mutasi, Bank Pelapor tetap harus menyampaikan form header.

4. Dalam menyusun Laporan, Bank Pelapor berpedoman kepada:

a. Pedoman Penyusunan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit

Usaha Syariah (Lampiran I), yang mengatur mengenai cara pengisian, jumlah form, dan bentuk form yang harus

disampaikan kepada Bank Indonesia.

b. Petunjuk Teknis Kamus Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usah

Syariah (Lampiran II), yang mengatur mengenai cara pembuatan instance document, struktur data, dan nama tag.

c. Petunjuk Teknis Single Reporting Platform (SRP) (Lampiran III), yang mengatur mengenai cara penyampaian laporan

dan melihat status Laporan yang telah disampaikan.

5. Dalam menyampaikan laporan:

a. Bank Pelapor harus memiliki sandi kantor Bank Pelapor sebelum menyampaikan Laporan.

b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia.

c. Bank Pelapor dapat menyampaikan Laporan dan/atau Koreksi Laporan secara offline bila memenuhi persayaratan

tertentu.

6. Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan

dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang tercantum pada tanda terima penyampaian Laporan dimana

tanda terima tersebut diberikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi oleh Bank

Indonesia.

105

RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013

Page 113: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

7. Pertanyaan yang berkaitan dengan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah

dan Unit Usaha Syariah disampaikan kepada:

a. Help Desk Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350, Telp. 021-29818000, email: [email protected]

atau

b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/38/DPM tanggal 10 September 2013 perihal Perubahan

Ketujuh Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar

Terbuka

Berlaku :

1. Penyempurnaan ketentuan dilakukan pada pokoknya untuk mengakomodir hal-hal sebagai berikut:

a. Penyempurnaan aturan minimum holding period SBI.

b. Penyempurnaan aturan Term Deposit yang meliputi persyaratan early redemption dan perhitungan biaya early

redemption Term Deposit.

2. Sejak tanggal Surat Edaran ini berlaku, ketentuan minimum holding period SBI yang mengatur minimum kepemilikan

SBI sebelum dapat ditransaksikan kepada pihak lain diubah, dari yang semula 6 bulan (182 hari kalender) menjadi

1 bulan (28 hari kalender).

3. Beberapa pengaturan terkait 1 month holding period SBI :

a. Setiap pihak yang akan mentransaksikan SBI harus memegang SBI minimal 1 bulan (28 hari kalender). Transaksi

dimaksud mencakup antara lain transaksi repo, penjualan secara outright, hibah dan pengagunan.

b. Transaksi dengan Bank Indonesia dikecualikan dari pengaturan 1 month holding period. Dengan demikian SBI

dapat ditransaksikan dengan BI sebelum dimiliki selama 1 bulan (28 hari kalender).

c. Transaksi dengan second leg :

1) Terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo sell and buyback )

a) Untuk memenuhi ketentuan 1 month holding period, transaksi dilakukan paling singkat 1 bulan (28 hari

kalender).

b) Ditransaksikan kembali :

(1)Dalam hal second leg berhasil, SBI dapat ditransaksikan kembali setelah dimiliki paling singkat 1 bulan

(28 hari kalender) sejak setelmen second leg transaksi dimaksud.

(2)Dalam hal second leg gagal dan berlaku sebagai transaksi outright, SBI dimaksud dapat ditransaksikan

1 bulan (28 hari kalender) sejak kepemilikan berpindah yaitu sejak setelmen first leg transaksi dimaksud.

2) Tidak terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo collateralized borrowing, pledge dan securities lending

and borrowing)

a) Dalam hal transaksi dimaksud sudah jatuh waktu dan berhasil dilakukan setelmen second leg, maka pemilik

SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI dimaksud.

b) Namun dalam hal transaksi dimaksud merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum

aturan 1 month holding period berlaku maka SBI dimaksud baru dapat ditransaksikan 1 bulan (28 hari

kalender) sejak SBI dimiliki.

106

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 114: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

4. Sub-Registry sebagai pihak yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI milik nasabahnya, wajib untuk

menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi aturan 1 month holding period.

5. Transaksi yang merupakan bagian dari transaksi yang sudah dilakukan sebelum aturan 1 month holding period SBI,

tunduk pada ketentuan butir II.9 SE Ekstern 13/13/DPM tanggal 9 Mei 2011 Perihal Perubahan atas Surat Edaran

Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka sampai dengan transaksi

dimaksud jatuh waktu.

6. Atas pelanggaran ketentuan minimum holding period, pemilik SBI atau Sub-Registry dapat dikenakan sanksi berupa

teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai nominal transaksi SBI yang tidak memenuhi

persyaratan, paling sedikit sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah) per hari.

7. Bank Indonesia menghapus persyaratan jangka waktu Term Deposit yang dapat diajukan untuk dilakukan early

redemption.

8. Atas early redemption Term Deposit, Peserta OPT dikenakan biaya dengan perhitungan sebagai berikut :

9. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai efektif berlaku pada tanggal 12 September 2013.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/39/DPNP tanggal 17 September 2013 Tentang Perubahan

Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/20/DKBU tanggal 22 MEI 2013 Perihal Laporan Bulanan

Bank Perkreditan Rakyat

Berlaku : Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (17 September 2013) dan berlaku surut

sejak tanggal 13 September 2013

1. Surat Edaran diterbitkan karena sebagai upaya mengatasi permasalahan dalam penyampaian Laporan Bulanan, serta

guna menjaga kesinambungan dan kualitas data yang dikelola oleh Bank Indonesia.

2. Penyampaian Laporan Bulanan periode Agustus sampai Oktober 2013 masih menggunakan format lama melalui

aplikasi web integrasi dengan berpedoman pada SE No. 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan

BPR sebagaimana diubah terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010.

3. Apabila BPR Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan secara on line maka dimungkinkan untuk

menyampaikan secara off line dalam bentuk CD atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi

kepada BI yang membawahi Kantor Pusat BPR.

107

NominalTerm Deposit yang di early redemption

Repo rateLending facility

RRT Tingkat DiskontoTerm Deposit Pada Saat Diterbitkan)( —X X

Sisa Jangka Waktu360

Biaya =

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 115: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

4. Khusus untuk Laporan Bulanan periode Agustus 2013, penyampaian Laporan Bulanan dan/atau Koreksi Laporan

Bulanan dilakukan paling lambat akhir September 2013 secara on line melalui ekstranet BI. Jika BPR tidak menyampaikan

sampai dengan akhir September 2013, BPR dikenakan sanksi keterlambatan.

5. BPR selain wajib menyampaikan Laporan Bulanan sesuai angka 2 di atas, juga menyampaikan Laporan Bulanan

dengan format baru yang mengacu pada SE No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 dalam rangka uji coba.

6. Laporan Bulanan posisi November 2013 telah mengacu pada SE Ekstern No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013.

Peraturan : Surat Edaran Ekstern Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan

Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan

Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan

Kendaraan Bermotor

Berlaku : Sejak tanggal 30 September 2013

Ringkasan:

SE ini menginduk pada PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan PBI tentang Penerapan Manajemen

Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pokok-pokok pengaturan dalam SE adalah sebagai berikut:

1. Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV) berlaku untuk :

a. Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti (KPP/KPP iB), meliputi KPR/KPR iB, KPRS/KPRS iB, KPRukan/KPRukan iB, dan

KPRuko/KPRuko iB; dan

b. Kredit/Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti (KKBP/KKBP iB).

2. LTV dan FTV ditetapkan paling tinggi sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :

3. Penentuan urutan fasilitas kredit/pembiayaan dalam perhitungan LTV/FTV harus memperhitungkan seluruh fasilitas

KPP/KPP iB dan KKBP/KKBP iB yang telah diterima debitur/nasabah di bank yang sama maupun bank lainnya.

108

FK/FP 1Kredit/Pembiayaan*)

& Tipe Agunan FK/FP 2 FK/FP 3

KPR Tipe > 70 70% 60% 50%

KPRS Tipe > 70 70% 60% 50%

KPR Tipe 22 - 70 - 70% 60%

KPR Tipe 22 - 70 80% 70% 60%

KPR Tipe s.d. 21 - 70% 60%

KPRuko/KPRukan - 70% 60%

FP 1Pembiayaan & Tipe

Agunan (MMQ & IMBT) FP 2 FP 3 dst

KPR Tipe > 70 80% 70% 60%

KPRS Tipe > 70 80% 70% 60%

KPR Tipe 22 - 70 - 80% 70%

KPR Tipe 22 - 70 90% 80% 70%

KPR Tipe s.d. 21 - 80% 70%

KPRuko/KPRukan - 80% 70%

Keterangan: *) khusus pembiayaan, hanya untuk pembiayaan dengan akad murabahah dan istishna’FK = Fasilitas Kredit; FP = Fasilitas Pembiayaan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Page 116: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

4. Dalam hal perjanjian KPP/KPP iB antara Bank dan debitur/nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat

bersamaan dan/atau beberapa perjanjian KPP/KPP iB terhadap beberapa Properti yang dilakukan pada tanggal yang

sama, Bank wajib menetapkan urutan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan urutan nilai agunan dimulai dari nilai

agunan yang paling rendah.

5. Pengaturan atas hal-hal yang harus dipenuhi Bank dalam rangka melaksanakan pengaturan LTV/FTV, antara lain

persyaratan dokumen, perlakuan debitur suami dan istri, dan penerapan prinsip kehati-hatian berupa pengaturan

top up kredit atau pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.

6. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas KPP/KPP iB jika Properti yang dijadikan agunan belum

tersedia secara utuh dimana fasilitas tersebut hanya dapat diberikan untuk fasilitas KPP/KPP iB pertama dan harus

memenuhi persyaratan lainnya dalam rangka prinsip kehati-hatian.

7. Pengaturan minimum down payment (DP) untuk kredit/pembiayaan kendaraan bermotor yaitu 25% untuk kendaraan

bermotor roda dua, 30% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan non produktif, dan 20%

untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif.

8. Penerapan prinsip kehati-hatian berupa larangan pemberian kredit/pembiayaan untuk uang muka atau down payment.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/41/DKMP Tanggal 1 Oktober 2013 Perihal Perhitungan Giro

Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam

Rupiah

Berlaku : Sejak tanggal 1 Oktober 2013

Ringkasan:

Latar Belakang Pengaturan:

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 PBI No. 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas PBI No.

12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, tata

cara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio

(GWM LDR) dalam Rupiah akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI). Sehubungan dengan itu

maka SE BI ini mengatur lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan GWM Sekunder dan GWM LDR dalam rupiah.

Substansi Pengaturan:

1. GWM Sekunder dalam Rupiah

a. Pemenuhan tahapan GWM Sekunder adalah sebagai berikut :

1) Sebesar 2,5% dari DPK dalam Rupiah sampai dengan tanggal 30 September 2013.

2) Sebesar 3% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2013.

3) Sebesar 3,5% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 1 Desember

2013.

4) Sebesar 4% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 2 Desember 2013.

109

Page 117: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

b. Komponen yang diperhitungkan sebagai cadangan dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah adalah

Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga Negara (SBN) dan/atau

Excess Reserve.

c. SBI, SDBI, dan SBN yang diperhitungkan dalam GWM Sekunder dalam rupiah mencakup untuk seluruh jenis dan

jangka waktu surat berharga, namun tidak termasuk SBN yang tidak dapat diperdagangkan (untradeable).

d. Penetapan nilai SBI, SDBI, dan SBN yang dimiliki Bank dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening

surat berharga Bank di BI-SSSS pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.

e. Nilai SBI, SDBI, dan SBN yang digunakan dalam perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah adalah nilai pasar

(market value) yang tercantum di BI-SSSS.

2. GWM LDR dalam Rupiah.

a. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:

1) Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78%

2) Batas atas LDR Target ditetapkan:

- sebesar 100% sampai dengan tanggal 1 Desember 2013;

- sebesar 92% sejak tanggal 2 Desember 2013.

3) Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target dikenakan GWM LDR sebesar 0%.

4) Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian

antara Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1), selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank,

dan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.

5) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif

(saat ini ditetapkan 14%) akan dikenakan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas

(saat ini sebesar 0,2), selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam Rupiah.

6) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target namun memiliki KPMM sama atau lebih besar dari

KPMM Insentif (saat ini ditetapkan 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%.

b. Perhitungan LDR Bank diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.

3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari rata-

rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overninght) dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,

terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran.

4. Ketentuan dalam SE Ekstern ini mulai berlaku pada 1 Oktober 2013.

Peraturan : Surat Edaran Nomor: 15/42 /DPM perihal Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank

Tanggal : 8 Oktober 2013

I. Ketentuan ini merupakan aturan pelaksanaan dari PBI No. 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada

Bank, terkait dokumen penyelesaian transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai.

II. Meteri pengaturan meliputi :

110

Page 118: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

1. Pengaturan dokumen yang digunakan sebagai bukti diperkenankannya penyelesaian Transaksi Lindung Nilai tanpa

pemindahan dana pokok secara penuh (netting) sesuai Pasal 5 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 PBI:

a. Transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai oleh Bank dan/atau Nasabah yang mengalami

kejadian luar biasa (force majeure), dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai yang masih outstanding; dan

(2)dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh pihak berwenang, yang menerangkan bahwa kejadian luar biasa

tersebut dialami oleh Bank dan/atau Nasabah yang bertransaksi.

b. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas kegiatan

ekspor/impor, dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang diperpanjang; dan

(2) fotokopi letter of credit (L/C), invoice, Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang

(PIB), salinan dokumen bill of lading (B/L), atau dokumen sejenis.

c. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas dana usaha,

modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan

modal minimum Bank, dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan dokumen bukti setoran modal dari

kantor pusat.

(2)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan laporan keuangan Bank; atau

(3)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan perjanjian pinjaman sub-ordinasi

Bank.

d. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas penyertaan

langsung di sektor riil, dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan

(2) fotokopi bukti penyertaan langsung yang dilakukan oleh kantor pusat atau penanam modal (investor).

e. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas pinjaman

luar negeri dalam valuta asing, dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan

(2) fotokopi surat perjanjian kredit (loan agreement) dan/atau dokumen utang terkait lainnya.

f. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas Surat Utang

Negara (SUN), saham dan obligasi korporasi, dokumen paling kurang meliputi:

(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan

SUN;

(2)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan

saham; atau

(3)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan

obligasi korporasi.

2. Nilai nominal perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai paling

banyak sebesar nilai nominal underlying dari transaksi dimaksud.

3. Frekuensi dan jangka waktu perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung

Nilai yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sesuai dengan jangka waktu underlying yang tercantum dalam

bukti dokumen.

111

Page 119: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia NO.15/43/DPNP tanggal 21 Oktober 2013 Tentang Perubahan

Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan

Tahunan Dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat

1. Surat Edaran ini diterbitkan karena adanya perpanjangan masa uji coba dan parallel run penyampaian Laporan Bulanan

BPR yang semula sampai dengan Laporan Bulanan posisi bulan Juli 2013 diperpanjang hingga posisi bulan Oktober

2013. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menjaga kesinambungan dan konsistensi data yang dikelola

oleh Bank Indonesia yaitu antara Laporan Bulanan BPR dengan Laporan Publikasi BPR, maka dipandang perlu untuk

melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan

Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat.

2. Perubahan tersebut mengatur tentang tata cara dan format Laporan Keuangan Publikasi yang wajib diumumkan BPR

dan disampaikan kepada Bank Indonesia untuk periode Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September

2013, sebagai berikut:

a. Khusus untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 mengacu pada tata cara dan format

lampiran I A Surat Edaran Bank Indonesia No.15/43/DPNP Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 15/29/DKBU Tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan

Rakyat.

b. Rekaman data Laporan Keuangan Publikasi yang disampaikan kepada Bank Indonesia posisi bulan September

2013 secara on-line yang mengacu pada Lampiran 1A sebagaimana huruf a di atas, tidak mencakup rasio Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Cash

Ratio pada Tabel 4 mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan informasi lainnya.

3. Selanjutnya, terhitung untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2013 dan laporan-laporan

Publikasi BPR berikutnya sepenuhnya mengacu pada format lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU

tanggal 31 Juli 2013 tersebut di atas.

4. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 21 Oktober 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS tanggal 22 Oktober 2013 perihal Fasilitas

Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah

Berlaku : Tanggal 22 Oktober 2013

Latar Belakang Pengaturan:

• Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (FPJPS) sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012.

• SE ini mengatur FPJPS terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan,

tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJPS.

112

Page 120: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Substansi Pengaturan:

I. Persyaratan FPJPS

1. Umum

a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJPS adalah Bank yang:

1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek.

2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi.

3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal

sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.

b. FPJPS diberikan sebesar plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai

dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan

oleh Bank.

c. Pencairan FPJPS sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan

jangka waktu FPJPS.

d. Jangka waktu FPJPS:

1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 14 hari kalender.

2) Jangka waktu FPJPS dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan

paling lama 90 hari kalender.

e. Imbalan atas penggunaan FPJPS sebesar yang dihitung berdasarkan perkalian antara jumlah pokok FPJPS,

tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia

sebesar 90% (sembilan puluh persen), dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.

Tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS adalah tingkat realisasi imbalan sebelum

didistribusikan pada bulan terakhir atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1

(satu) bulan dari Bank penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia.

2. Agunan FPJPS

a. Bank menjamin FPJPS dengan agunan milik Bank berupa SBIS SBSN, Obligasi Syariah Korporasi (Sukuk Korporasi)

dan/atau aset Pembiayaan.

b. Sukuk Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal:

1) Bank memiliki SBIS dan/atau SBSN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS; atau

2) Bank tidak memiliki SBIS dan/atau SBSN.

c. Aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal:

1) Bank memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan

FPJPS; atau

2) Bank tidak memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi.

d. Dalam hal setelah memperoleh FPJPS yang dijamin oleh sebagian atau seluruhnya dengan aset Pembiayaan,

Bank memiliki surat berharga (SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi) yang memenuhi syarat untuk menjadi

agunan FPJPS, Bank wajib mengganti aset Pembiayaan yang diagunkan dengan surat berharga tersebut.

II. Pengajuan FPJPS

1. Permohonan FPJPS.

Bank dapat mengajukan permohonan FPJPS paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJPS

pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB.

2. Permohonan perpanjangan FPJPS.

113

Page 121: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

a. Apabila pada saat FPJPS jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJPS, Bank dapat memperpanjang

FPJPS dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJPS sesuai kebutuhan. Permohonan perpanjangan

FPJPS dapat berdiri sendiri atau dapat diikuti dengan penambahan plafon FPJPS. Dalam hal permohonan

perpanjangan FPJPS diikuti dengan penambahan plafon FPJPS, besarnya jumlah plafon perpanjangan

diperhitungkan dengan nilai pokok FPJPS jatuh tempo dengan tetap memenuhi persyaratan FPJPS sebagaimana

dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.

b. Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB sampai

dengan 12.00 WIB.

3. Permohonan Penambahan Plafon FPJPS.

a. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJPS Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJPS sesuai

kebutuhan, dengan ketentuan:

1) Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJPS;

2) Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan

3) Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko.

b. Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB

sampai dengan 12.00 WIB selama periode FPJPS.

III.Perhitungan Nilai Agunan FPJPS

1. Agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan SBIS.

2. Agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan

SBSN.

3. Agunan berupa Sukuk Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar:

a. 120% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas.

b. 135% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat teratas.

c. 140% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat kedua teratas.

d. 145% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas.

4. Agunan berupa aset Pembiayaan

a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai saldo pokok aset Pembiayaan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal

permohonan FPJPS.

b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon

FPJPS yang dijamin dengan aset Pembiayaan.

IV.Persetujuan FPJPS

Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJPS dalam hal:

1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau

perpanjangan FPJPS.

2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan

perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.

V. Pelaksanaan Pemberian FPJPS

1. Pencairan FPJPS. Dalam hal permohonan FPJPS disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJPS

sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang

tidak melebihi plafon FPJPS yang disetujui.

114

Page 122: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

2. Pemantauan FPJPS

a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas

Bank pada setiap akhir hari kerja.

b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJPS.

c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJPS

secara harian.

d. Penghentian pencairan FPJPS. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJPS dalam hal:

1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil risiko Bank

2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut:

a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS; dan

b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan.

e. Pengakhiran FPJPS, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJPS dalam hal:

1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJPS sehingga nilai sisa plafon

lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan

2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut:

a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS setelah

jangka waktu berakhir; dan

b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya

atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJPS

VI. Pelunasan FPJPS

1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJPS saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi

kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut

sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJPS.

2. Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan

mendahulukan pembayaran imbalan FPJPS kemudian pelunasan pokok FPJPS.

VII.Eksekusi Agunan FPJPS

Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJPS dalam hal:

1. FPJPS jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJPS, atau perjanjian FPJPS diakhiri; dan

2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi imbalan dan/atau nilai

pokok FPJPS.

VIII.Biaya FPJPS

Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJPS menjadi beban Bank penerima FPJPS, antara lain berupa:

1. imbalan FPJPS sampai dengan FPJPS dilunasi;

2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJPS dan pengikatan agunan FPJPS;

3. biaya proses eksekusi agunan;

4. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Sukuk Korporasi di otoritas

penatausahaan surat berharga dimaksud; dan

5. biaya lainnya terkait pemberian FPJPS.

115

Page 123: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

X. Lain-lain

1. Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar aset Pembiayaan beserta dokumen-dokumen pendukungnya

yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai agunan FPJPS.

2. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 setiap 6 (enam)

bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.

3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan

yang bersangkutan dalam bentuk hardcopy dan softcopy dengan menggunakan format excel.

4. Untuk pertama kali laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan untuk posisi Juni 2013 yang

disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia

ini.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/45/DPNP/2013 tanggal 18 November 2013 tentang

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012

perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat

Berlaku : Sejak tanggal ditetapkan

Ringkasan:

1. Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilakukan dalam rangka:

a. menindaklanjuti penyempurnaan organisasi satuan kerja Bank Indonesia, dan

b. menindaklanjuti beberapa hal yang memerlukan penyesuaian pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

2. Penyempurnaan dilakukan untuk:

a. Perubahan alamat penyampaian permohonan Uji Kemampuan dan Kepatutan New Entry.

b. Penyempurnaan pengertian menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah

disepakati dengan Bank Indonesia.

c. Penyempurnaan mekanisme pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu.

d. Penyempurnaan Lampiran 1a, Lampiran 1b, Lampiran 2a, Lampiran 2b dan Lampiran 2c.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara

di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

Berlaku : 20 November 2013

Ringkasan :

10.Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/12/DASP Tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara

Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara.

116

Page 124: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

11.Surat Edaran ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN)

dalam valuta asing oleh Pemerintah sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 Tentang

Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik.

12.Perubahan yang mendasar dalam Surat Edaran ini meliputi pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN,

yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah, diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam

mata uang Rupiah dan valuta asing;

13. Lelang SUN dalam valuta asing di pasar perdana domestik dapat diikuti oleh:

a. Orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia, perusahaan, usaha bersama,

asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi baik Indonesia ataupun asing, yang didirikan atau bertempat kedudukan

di wilayah Republik Indonesia;

b. Bank Indonesia; dan

c. Lembaga Penjamin Simpanan.

Pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. memenuhi persyaratan administrasi; dan

b. teregistrasi dalam daftar investor yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia; sebagaimana

ketentuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.

14.Pihak sebagaimana dimaksud pada butir 2.a mengikuti lelang melalui Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri

untuk mengikuti lelang dan sedang tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang.

15.Pelaksanaan Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dilaksanakan melalui sarana Bloomberg

dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Persiapan

Peserta Transaksi menyampaikan paling banyak 2 (dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi

Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dan menyampaikan updating data dimaksud kepada

Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan.

b. Pengumuman lelang

Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang (antara lain jenis dan seri SUN, tanggal lelang, target indikatif,

tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, alokasi nonkompetitif, daftar peserta transaksi) melalui:

1) Bloomberg kepada pegawai yang telah ditunjuk;dan

2) Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia

kepada Peserta Transaksi.

c. Pengajuan penawaran

1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran sebagai berikut:

a) Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan/atau

b) Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non Competitive Bidding).

117

Page 125: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/47/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan atas

Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas

Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Berlaku : 2 Desember 2013

Ringkasan :

1. Rincian Perubahan Pada Lampiran I – Pedoman Penyusunan LSMK Bulanan BUS dan UUS.

tabel disini

118

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak adaa gunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

• Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)• Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah yaitu sejumlah

dana yang diterima oleh Bank dari nasabah penyewa dalam rangka pembiayaan ijarah

Menambahkan sandi kualitas AYDA, yaitu 2,3,4. Untuk AYDA yang waktu perolehannya sebelum tanggal 24 Maret 2011 dapat mengisi semua jenis kualitas (1 s.d 5). Sedangkan untuk AYDA yang waktu perolehannya mulai tanggal 24 maret 201 harus mengisi kualitas Lancar (sandi 1) atau Macet (sandi 5)

Menambahkan sandi 59 - Uang Muka Ijarah dari Penyewa

1. Form 6 - Rincian Tagihan Spot dan Forward

2. Form 7 - Rincian Surat Berharga yang Dimiliki

3. Form 9 - Rincian Tagihan Akseptasi

4. Form 10 - Rincian Piutang Murabaah

5. Form 11 - Rincian Piutang Istishna'

6. Form 12 - Rincian Piutang Qardh

7. Form 13 - Rincian Pembiayaan Bagi Hasil

8. Form 14 - Rincian Pembiayaan Sewa

9. Form 20 - Rincian Aset yang Diambil Alih (AYDA)

10. Form 40 - Rincian Rupa-Rupa Liabilitas

Deskripsi PerubahanNo Form

Laporan Per Kantor

Page 126: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

119

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)

Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah

11. Form 4 - Rincian Tagihan Spot dan Forward

12. Form 5 - Rincian Surat Berharga Yang Dimiliki

13. Form 6 - Rincian Tagihan Akseptasi

14. Form 11 - Rincian Pembiayaan Sewa

Deskripsi PerubahanNo Form

Laporan Perusahaan Anak

2. Rincian Perubahan Lampiran II – Petunjuk Teknis Kamus Data.

Deskripsi PerubahanNo Bagian

Menambahkan versi kamus data 1.1.0

Menambahkan validasi antar form BSMS64 dan BSMS30

Menambahkan base item di BSMS64, BSMA65, dan BSMK1

BSMS5Menambahkan filter pada validasi BS-IF_CekRKDVVls sehingga melakukan penjumlahan hanya pada jenis mata uang selain Rupiah (IDR)

BSMS14Menambahkan validasi : jika pada kolom Waktu perolehan (di176) terisi sebelum 24 Maret 2011, kolom Kualitas boleh diisi 1, 2, 3, 4, atau 5. Jika waktu perolehan tanggal 24 Maret 2011 dan setelahnya, maka hanya bisa diisi 1 atau 5.

BSMS30Menambahkan sandi 59 (Uang Muka Ijarah dari Penyewaan) pada tabel referensi untuk kolom Jenis Instrumen (si308).

BSMS64, BSMS30Jumlah nilai pada kolom 'Uang Muka Ijarah' pada BSMS64 harus sama dengan Jumlah nilai pada Kolom 'Jumlah Bulan Laporan' (mi313) BSMS30 dengan jenis instrumen 59

BSMS31Menambahkan sandi 060 (Pinjaman Subordinasi Tanpa Jangka Waktu Kumulatif) pada tabel referensi Modal Pinjaman Syariah untuk Kolom 'Jenis Instrumen' (si314)

1. BAB VI

2. Lampiran 2

3. Lampiran 3

4. Lampiran 4

Page 127: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

120

Deskripsi PerubahanNo Bagian

BSMS34Menambahkan validasi: kolom status instrumen hanya boleh diisi jika jenis instrumen diisi Forward (sandi 90) pada BSMS34.

BSMS48, BSMS50, BSMS52, BSMS54, BSMS56, BSMS58, BSMS62, BSMS64, BSMS35, BSMS36, BSMA49, BSMA51, BSMA53, BSMA57, BSMA59, BSMA63, BSMA61, BSMA65Menghapus sandi 300 pada tabel referensi untuk kolom 'Jenis Agunan' (si27)

BSMS37Mengubah acuan kolom untuk validasiBS-IF_CekAHBPembiayaanHapusBuku dan BS-IF_CekAHBBlnHapusBuku dari kolom 10 Baki Debet Aset Produktif Dihapus Buku (mi387) ke kolom 8 Jumlah Aset Produktif dihapus buku (mi385) BSMG73CekATMR : ATMR Resiko boleh diisi dengan nilai lebih besar atau sama dengan 0. (ATMR Resiko Kredit tetap harus > 0)Menambahkan validasi sehingga status kantor pelapor harus diisi "Kantor Pusat” (Sandi 1) untuk Form Info Pokok Gabungan

BSMA51, BSMA53, BSMA55, BSMA63, BSMA65Menghapus validasi TA_CekGolonganNasabah sehingga kolom Golongan Nasabah Tertagih (si421) dapat diisi sandi bank pelapor sendiri (Di dalam perusahaan anak)

BSMS1, BSMS2, BSMS4, BSMS45, BSMA1, BSMA46, BSMG1, BSMG47, BSMK1, BSMK2 (Semua Closed Table)Menambahkan validasi untuk mengecek jumlah base harus sama jumlah base yang sudah ditetapkan.

Semua Open TableMenambahkan validasi untuk mewajibkan RowID

Seluruh InstanceMenambahkan validasi untuk memastikan unit yang dilaporkan dalam rupiah (IDR)Menambahkan validasi untuk memastikan nama file instance dan nama scema yang digunakan sudah sesuai.

3. Pertanyaan yang berkaitan dengan pelaporan dapat disampaikan ke:

a. Contact Center Bank Indonesia, Telp. 500131, email: [email protected]

b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat

Page 128: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/48/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan

Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan

Harian Bank Umum

Berlaku : 16 Desember 2013

Ringkasan :

1. Menambahkan jenis surat berharga Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dengan sandi 4 pada Form 301:

Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder.

2. Khusus untuk jenis surat berharga SDBI, sandi bank pembeli (kolom 5) tidak boleh sama dengan sandi bank penjual

(kolom 9) dan hanya boleh diisi dengan sandi bank di Indonesia.

Ringkasan Surat Edaran Nomor 15/49/DPKL tanggal 5 Desember 2013

Latar Belakang Pengaturan

a. Surat Edaran (SE) Ekstern perihal LPIP diterbitkan sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP);

b. Dalam rangka mengukur kesiapan dan kesinambungan kegiatan pengelolaan LPIP, diperlukan adanya pengaturan

lebih lanjut mengenai mekanisme perizinan LPIP, serta pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia kepada

LPIP untuk meyakini bahwa operasional LPIP dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan tujuan dari

keberadaan LPIP.

c. SE Ekstern perihal LPIP mencakup ketentuan pelaksanaan mengenai perizinan LPIP, operasional LPIP, pengawasan

LPIP, penanganan keluhan, dan hak serta kewajiban LPIP.

Substansi Pengaturan

1. LPIP hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia. Pemberian izin

dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

a. persetujuan prinsip; dan

b. izin usaha.

2. Bentuk badan hukum LPIP adalah Perseroan Terbatas.

3. Pemegang saham LPIP wajib berbadan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia (BHI) pemegang saham LPIP dapat

dimiliki oleh BHI atau BHI dengan badan hukum asing (BHA) secara kemitraan.

4. Perubahan modal disetor, pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris memerlukan

persetujuan dari Bank Indonesia.

5. Setiap LPIP memiliki kewajiban untuk menjaga data, memiliki sistem yang andal, memiliki kebijakan dan prosedur

operasional dalam pedoman tertulis, serta memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang menggunakan

informasi perkreditan.

6. Pengaturan mengenai sumber dan alur data, biaya perolehan Data Kredit, perolehan data LPIP untuk kepentingan

Bank Indonesia, dan pengelolaan data LPIP.

7. Pengaturan mengenai syarat, ketentuan, serta pihak yang diizinkan untuk dapat memperoleh informasi perkreditan

dari LPIP.

121

Page 129: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

8. Pengaturan mengenai pelaksanaan mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan dari masyarakat dalam

hal terdapat kesalahan atau ketidakbenaran data yang dikelola oleh LPIP.

9. Pengaturan mengenai pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia kepada LPIP untuk meyakini bahwa operasional

LPIP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, untuk menjaga kesinambungan operasional LPIP, serta menjaga

kepentingan masyarakat terkait data yang dikelola oleh LPIP.

10.Pengaturan mengenai prosedur dan mekanisme penghentian kegiatan usaha LPIP.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/50/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan

Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum

Syariah

Berlaku : Tanggal 30 Desember 2013

Latar Belakang Pengaturan:

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013

tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.

Substansi Pengaturan:

1. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank (Kantor Wilayah,

Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, Kantor Fungsional dan Kantor Pelayanan Kas) serta rencana

pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan Layanan Syariah Bank (LSB) wajib dicantumkan dalam

rencana bisnis Bank disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari SE ini.

2. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank

serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB untuk pertama kali disampaikan paling

lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud disampaikan bersamaan dengan penyampaian

rencana bisnis Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis Bank.

3. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan

kantor Bank serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dan/atau penyampaian

laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai

dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh

satuan kerja kepatuhan Bank dengan menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.

4. Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank serta pelaksanaan

pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online oleh Bank kepada Bank

Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).

122

Page 130: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Wilayah dan Kantor

Fungsional Bank selama belum dapat dilaporkan secara online melalui LKPBU, wajib dilaporkan secara offline setiap

bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya dengan menggunakan contoh format surat

sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/51/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan

Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit

Usaha Syariah.

Berlaku : Tanggal 30 Desember 2013

Latar Belakang Pengaturan:

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013

tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah.

Substansi Pengaturan:

5. Unit Usaha Syariah (UUS) dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan memenuhi persyaratan paling

kurang:

a. Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan

usaha dalam valuta asing;

b. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai;

c. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah terkait kegiatan usaha dalam valuta asing; dan

d. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan transaksi dalam valuta asing.

6. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS (Kantor Cabang

Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah, Kantor Kas Syariah, Kantor Fungsional Syariah, Kantor Pelayanan Kas

Syariah) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis UUS disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari

SE ini.

7. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS

untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud

disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS sebagaimana diatur dalam

ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis UUS.

8. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan

kantor UUS dan/atau penyampaian laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh

BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek

list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh satuan kerja kepatuhan BUK yang memiliki UUS dengan

menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.

123

Page 131: BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3 ... Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013

9. Proses pencabutan izin usaha UUS atas permintaan BUK yang memiliki UUS dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu

persetujuan persiapan pencabutan izin usaha dan pencabutan izin usaha. Permohonan persetujuan persiapan

pencabutan izin usaha dan permohonan pencabutan izin usaha UUS diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada

Bank Indonesia disertai dengan dokumen sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.

10.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan secara

online oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).

11.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Fungsional Syariah

UUS selama belum dapat dilaporkan secara online, wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima)

hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui LKPBU dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana

ditetapkan dalam SE ini.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/52/DSta Tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan

Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan

Harian Bank Umum

Berlaku : 3 Maret 2014

Ringkasan:

1. Menambahkan informasi yang harus disampaikan oleh bank kustodian mengenai rekening efek (securities account)

Bukan Penduduk pada form 407: Posisi Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri Jangka Pendek Bank. Informasi yang

disampaikan meliputi 6 (enam) komponen yaitu:

a. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 80)

b. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 81)

c. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 82)

d. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 83)

e. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 84)

f. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 85)

2. Total transaksi sebagaimana dimaksud pada butir 1.a sampai dengan 1.f tersebut di atas tidak akan diperhitungkan

sebagai komponen PLN Jangka Pendek Bank yang dikecualikan.

124