blok regional dibandingkan dengan anestesi umum untuk sectio caesarea dan pengaruh pada neonatus
TRANSCRIPT
BLOK REGIONAL DIBANDINGKAN DENGAN ANESTESI UMUM UNTUK SECTIO
CAESAREA DAN PENGARUH PADA NEONATUS ; PENELITIAN BERBASIS
POPULASI
Charles S Algert*1, Jennifer R Bowen†2, Warwick B Giles†3,
Greg E Knoblanche†4, Samantha J Lain†1 and Christine L Roberts†1
ABSTRAK
Latar Belakang: guidelines anestesi merekomendasikan anestesi regional untuk sebagian besar
tindakan sectio caesarea karena terdapat resiko kegagalan saat pemasangan intubasi dan juga
terjadi aspirasi jika menggunakan anestesi umum. Namun, anestesi umum dianggap aman
terhadap fetus, berdasarkan bukti bukti yang masih sangat terbatas dan masih digunakan untuk
tindakan sectio caesarea.
Metode: cohort pada sectio caesarea dengan indikasi (sectio caesarea ulangan yang
direncanakan, kegagalan kemajuan persalinan dan fetal distres) yang dilakukan dalam periode
1998 sampai dengan tahun 2004 (N 50.806). Dibandingkan antara yang menggunakan anestesi
umum dengan spinal maupun epidural, dinilai pengaruh terhadap kebutuhan intubasi neonatus
dan skor apgar 5 menit (apgar5) < 7.
Hasil: resiko untuk terjadi efek samping meningkat pada sectio caesarea yang menggunakan
anestesi umum pada ketiga indikasi dan merata di semua rumah sakit. Resiko relative terluas
untuk kelompok resiko ringan yaitu pada sectio caesarea ulangan ; resiko relatif pada resusitasi
dengan intubasi adalah 12,6 (95% confidence interval 7.6, 21.7) dan resiko relative untuk apgar5
adalah 13.4 (95% confidence interval 9.2, 19.4). resiko terbesar secara nyata terdapat pada sectio
yang tanpa perencaan dengan indikasi fetal distres; terdapat lima intubasi tambahan setiap 100
tindakan dan enam apgar5 < 7 untuk setiap 100 tindakan.
Kesimpulan: Pengaruh terbesar terhadap bayi dengan menggunakan anestesi umum adalah
ketika dengan indikasi fetal distres. Peningkatan resiko efek merugikan pada neonatus harus
dipertimbangkan ketika teknik anestesi umum digunakan.
LATAR BELAKANG
Secara international, guideline anestesi untuk obstetri merekomendasikan digunakan spinal dan
epidural dibandingkan menggunakan anestesi umum untuk sebagian besar sectio caesarea (SC).
Alasan utama rekomendasi digunakan anestesi blok karena resiko kegagalan intubasi
endeotrakeal dan aspirasi cairan gaster pada wanita hamil pada anestesi umum. Sementara
terdapat bukti bahwa anestesi umum berhubungan dengan peningkatan kebutuhan resusitasi
neonatus. Bukti tentang indikasi spesifik tindakan SC dengan tingkat kebutuhan resusitasi
selanjutnya masih sangat terbatas. Penelitian sebelumnya biasanya hanya berbasis satu rumah
sakit saja dan rendahnya penelitian yang menghubungkan dengan pengaruh terhadap neonatus
seperti skor apgar 5 menit. Khusunya berdasarkan sub-kelompok berdasarkan indikasi tindakan
SC seperti keadaan darurat. Penelitian observasional, biasanya tidak melihat resiko, karena
keadaan darurat yang membingungkan seperti perdarahan antepartum yang dapat sebagai
indikasi anestesi umum dan juga menyebabkan buruknya status bayi lahir. Sebuah sitematik
review anestesi untuk SC termasuk hanya dua penelitian secara acak dengan total 10 pada apgar5
<7 dan satu percobaan dengan terapi oksigen. Meta analisis dan lainnya yang menggunakan
keasaman darah tali pusat sebagai outcome, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa
anestesi regional lebih superior daripada GA dalam hal pengaruh terhadap neonatus.
Meskipun penggunaan GA telah menurun dan penggunaan anestesi regional telah meningkat,
baik SC direncanakan (elektif) maupun yang tidak direncanakan (emergensi) masih
menggunakan GA. GA dapat dianggap anestesi tercepat pada situasi darurat karena menghindari
kemungkinan kegagalan teknik blok regional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
resiko relative resiko resusitasi neonatus dengan intubasi dan dari skor apgar5 <7 saat SC
dilakukan dengan GA dan dibandingan dengan teknik anestesi regional, berdasarkan indikasi
yang spesifik dan tingkat resiko untuk neonatus. Tujuan berikutnya adalah untuk menguji apakah
resiko efek merugikan ini bervariasi berdasarkan perbedaan level rumah sakit.
METODE
Populasi penelitian ini mencakup semua bayi lahir hidup melalui tindakan SC di New South
Wales (NSW), Australia periode 1 Januari 1998 sampai 31 Desember 2004. Data diperoleh dari
identifikasi database mengenai populasi terkait. The Midwives Data Collection (MDC) adalah
suatu lembaga survey mengenai semua kelahiran di NSW dengan umur kehamilan ≥ 20 minggu
atau berat lahir ≥ 400 gram. Data pasien telah di catat di bagian penerimaan semua rumah sakit,
termasuk ICD10 kode diagnostik yang terkait dengan penerimaan awal. Baik MDC dan data
penerimaan kelahiran tersedia dari tahun 1998 sampai dengan 2004. Data yang tidak terkait
dengan anesthesia juga tersedia di MDC pada tahun 2005 dan 2006. Penelitian ini disetujui oleh
populasi di NSW dan Health Services Research Ethics Committee dan The university of Sidney
Human Research Ethics Committee.
MDC mengumpulkan data tentang karakteristik ibu, kehamilan, proses persalinan, penerimaan
dan keadaan neonates. Hal ini juga termasuk kotak centang untuk untuk keterangan teknik
anestesi yang digunakan baik spinal, epidural dan/ GA saat pengiriman. Dalam penelitian ini,
blok regional termasuk beberapa data dimana teknik spinal dan/ epidural (termasuk kombinasi
spinal/ epidural) juga dicatat. Hasil dan teknik penghitungan dalam penelitian ini juga dilaporkan
pada MDC. Berbeda dengan dengan rekam medis, MDC mencatat lebih spesifik mengenai
persetujuan (kappa > 0,75) untuk GA pada SC, epidural dan spinal anestesi, resusitasi neonates
dan skor apgar5 dan hampir semua persetujuan SC. Hanya terdapat 4 SC yang tidak di catat
teknik anestesi dan hanya 80 (0,06%) yang hilang untuk skor apgar5.
Tindakan SC dikategorikan “direncanakan” jika diputuskan sebelum waktu persalinan dan
dikategorikan “tidak direncanakan” jika diputuskan setelah persalinan telah dimulai. Pengiriman
dimana tercatat sebagai regional blok selain GA disebut sebagai konversi ke GA dan barangkali
mewakili regional blok yang gagal dilakukan. Rumah sakit telah di kelompokkan menjadi 3
kategori : “large public” dimana tersedia pelayanan untuk obstetric beresiko tinggi dan staff
anestesi berada di tempat selama 24 jam, “other public” dan “private”.
Penilaian utama pada bayi yaitu kebutuhan resusitasi dengan intubasi saat bayi lahir dan skor
apgar 5 menit, yang dibagi menjadi < 7 atau ≥ 7. Skor apgar5 yang kurang dari 7 berhubungan
dengan peningkatan resiko kematian dan gangguan neurologis. Penilaian pada bayi ini
dibandingkan dari SC dengan teknik GA dan beberapa teknik blok regional. Kategori analisis
untuk GA termasuk yang rujukan awal GA atau regional blok yang dikonversikan menjadi GA.
Untuk mengontrol faktor pembaur pada indikasi, perbandingan dibuat menjadi 3 kelompok
resiko yang ditentukan berdasarkan indikasi SC. Resiko ringan sebagai kelompok kehamilan
yang direncanakan untuk dilakukan SC ulangan, resiko sedang sebagai kelompok kehamilan
dengan partus lama tetapi tidak terdapat tanda fetal distress dan kelompok ketiga sebagai
kelompok resiko berat yaitu SC yang tidak direncanakan (emergensi) karena terdapat tanda fetal
distress. Criteria inklusi yaitu usia ibu 22-44 tahun, usia kehamilan 38 sampai 41 minggu, dan
kehamilan tunggal. Kehamilan yang dilaporkan disertai dengan hipertensi, oligohidramnion,
polihiodramnion, antepartum hemmorhage, atau perawatan untuk suspek kelainan pada bayi
dieksklusikan karena akan mempengaruhi pemilihan untuk teknik anestesi dan juga keadaan
neonatus. Kelahiran kemudian juga dibatasi pada presentasi non-sungsang > 10 th persentil umur
kehamilan dan pada wanita > 38 minggu di NSW yaitu 2660 g, ini adalah berat minimal yang
masuk kedalam analisis penelitian ini. Resiko relative, risk difference dan 95% confidence
interval dihitung untuk setiap indikasi dan/ kelompok resiko. Risk difference adalah perbedaan
tingkat hasil yang absolute antar kelompok dan dalam penelitian ini mengukur tingkat efek
samping yang terjadi dengan GA.
Untuk menguji dampak variasi pada level pelayanan anestesi yang tersedia, resiko intubasi dan
apgar5 <7 kemudian di kelompokkan berdasarkan tingkat rumah sakit untuk setiap grup/
kelompok. Risk difference untuk setiap kategori rumah sakit dihitung dan disajikan secara luas
dan heterogenitas dari efek di hitung menggunakan l-squere (I2). Nilai I2 memperkirakan
presentase variasi antara sub-kelompok (tingkat rumah sakit dalam hal ini). Yang ini dikarenakan
efek heterogenitas daripada suatu kesempatan.
HASIL
Dari tahun 1998 sampai dengan 2004 terdapat 592.125 rujukan untuk persalinan. Penurunan
terjadi setiap tahun 0,9% dari 85.072 pada tahun 1998 menjadi 84.288 di tahun 2004. Wanita
yang dikirim untuk dilakukan SC mengalami peningkatan tajam, mencapai 41,5% dari 16.216
pada tahun 1998 menjadi 22.904 pada tahun 2004. Selama periode ini SC dengan menggunakan
teknik GA mengalami penurunan (lihat table 1). Penurunan penggunaan GA lebih banyak pada
kelompok yang dilakukan SC terencana (elektif) daripada SC yang tidak direncanakan (25.0% vs
18.3%). “private hospital” paling rendah dalam penggunaan GA dan “other public hospital”
mempunyai tingkat tertinggi dalam penggunaan GA. Data MDC tahun 2006 menunjukkan
penurunan dalam penggunaan GA : 1654 SC yang tidak terencana menggunakan GA (15,3%)
dan 1627 SC terencana menggunakan GA (10.5 %). Kegagalan blok regional terjadi pada
keduanya, baik SC terencana ataupun tidak terencana.
Selama periode penelitian ini terdapat 137.987 rujukan untuk SC, 69.437 adalah kehamilan tanpa
tanda resiko pada janin sebelum dikirim. Dari sejumlah pengiriman ini, dimasukkan ke dalam
tiga indikasi SC yang spesifik dan akhirnya dipilih 50.806 kelahiran hidup. RR dan risk
difference untuk resusitasi dengan intubasi dan apgar5 <7 pada specific indikasi SC terlihat pada
table 2. Untuk ulangan SC yang direncanakan dengan regional blok, keduanya baik intubasi
(0.09%) dan apgar5 <7 (0.17%) menunjukkkan kejadian yang sangat jarang. RR saat GA
digunakan untuk SC ulangan mengalami peningkatan hebat, dan jika pengiriman dengan resiko
rendah peningkatan resiko pada GA yaitu 1 dengan intubasi dan 2 apgar5 /100 pengiriman.
Peningkatan resiko karena GA meningkat pada kasus kegawatan indikasi , begitu juga dengan
indikasi fetal distress terdapat 5 ekstra intubasi/ 100 pengiriman dengan GA dan 6 ekstra
apgar5<7. Diantara bayi yang memerlukan intubasi yang dilakukan dengan GA memiliki tingkat
lebih tinggi pada apgar5 <7 jika dibandingkan dengan regional blok : 42% vs 20% untuk ulangan
SC yang direncanakan (P=0.06), 51% vs 21% untuk persalinan lama (P< 0.01) dan 57% vs 34%
untuk fetal distress (P- 0.001).
Kelompok lain secara terpisah sejumpah 3473 kehamilan kecil yang dikirim pada usia kehamilan
38 sampai 41 minggu dengan sc yang tidak di rencanakan juga di analisis, 30.0% diantaranya
dilakukan SC dengan GA. Disini kebutuhan antenatal meningkat baik intubasi (RR = 3.4. 95%
CL 2,4. 4,8) dan apgar <7 (RR = 4,3. 95% cl 3,1. 5.9), ketika SC dilakukan dengan GA.
GA dilakukan lebih sering pada “other public hospital” lainnya dari semua kelompok resiko.
Untuk pengiriman ulangan SC dengan resiko rendah, 22.5% dilakukan dengan GA di “other
public hospital” dibandingkan dengan 14.4% di “large public hospital” dan 9.0% pada “private
hospital”. Untuk kelompok dengan partus lama, 25,4% GA dilakukan di “other public hospital”,
9.6% di “large hospital” dan 9.4% di “private hospital”. Untuk SC yang tidak di rencanakan
untuk fetal distress 39.0% dilakukan GA di “other public hospital”, 24.0% dilakukan GA di
’’large hospital” dan 14.9% dilakukan GA di “private hospital”.
Tabel 1 menunjukkan risk difference untuk resusitasi dengan intubasi dan untuk nilai apgar5 <7
untuk tiap kelompok indikasi, untuk setiap kategori rumah sakit. Untuk semua indikasi SC dan
mencakup semua level rumah sakit, hasil yang diharapkan lebih pada regional blok dibandingkan
GA. Grup SC ulangan yang di rencanakan menunjukkan tidak ada perbedaan dalam tingkat
intubasi diberbagai level rumah sakit (heterogenitas I2=0%). Tetapi disana terdapat heterogenitas
kuat untuk apgar <7 (I2=75%). Hal ini mungkin terpengaruh oleh rumah sakit pribadi, yang
mempunyai nilai terendah untuk apgar5 <7 setelah GA (1,4%) dan angka tertinggi setelah
regional blok (0.2%). Hasil risk difference terkecil (1.2 apgar5 <7 ekstra/ 100 pengiriman dengan
GA). Untuk kelompok partus lama terdapat heterogenitas kuat resiko difference untuk intubasi
(I2=8.2%) dan hasil apgar5 (I2=52%). Heterogenitas didorong oleh nilai relative yang tinggi
untuk intubasi (5.4%) dan apgar5 <7 (5.4%) di rumah sakit umum besar dengan GA, sedangkan
untuk rumah sakit umum lainnya dan rumah sakit pribadi mempunyai nilai intubasi <2.5%
setelah GA. Untuk kelompok indikasi fetal distress, terdapat nilai risk difference yang kuat untuk
intubasi (I2=72%) dan heterogenitas yang lemah untuk apgar5 <7 (I2=7). Hal ini karena
rendahnya nilai relative untuk intubasi (3.9%) dan apgar5 <7 (5.7%) di rumah sakit pribadi
setelah GA.
DISKUSI
Penelitian ini merupakan penelitian terluas untuk membandingkan efek metode anestesi pada SC
dengan menilai keadaan neonates dan juga dilakukan pengontrolan faktor pembauran yang
spesifik baik dari resiko kehamilan dan indikasi untuk SC. Kita telah menunjukkan ada resiko
yang signifikan untuk neonates baik dari kebutuhan resusitasi dengan intubasi dan rendahnya
skor apgar5 menit, untuk berbagai indikasi. RR terbesar baik efek samping yang terjadi pada
resiko rendah SC ulangan yang direncanakan dengan GA, tetapi resiko yang berlebihan yang di
sebabkan oleh GA untuk kiriman emergensi dengan fetal distress dimana infant sudah akan telah
dikompromisikan sampai batas waktu yang ditentukan. Tidak hanya dengan GA untuk
peningkatan resiko intubasi, tetapi itu juga meningkatkan probabilitas apgar5 <7 dibandingkan
dengan intubasi setelah dilakukan regional blok.
Hasil sama juga dilaporkan oleh Negara berkembang, penggunaan GA untuk SC di NSW
menurun dan penggunaan spinal anestesi menjadi lebih tersebar luas. Bagaimanapun, GA masih
tetap digunakan untuk 12.6% pada pengiriman SC tahun 2006 diseluruh level rumah sakit negara
ini. Penelitian ini embuat bukti kuat tentang guideline rekomendasi regional blok lebih tepat
daripada GA untuk sebagian besar SC dan bermanfaat untuk neonates dan juga untuk ibu. RR
baik untuk intubasi maupun apgar 5 menit menurun hebat jika menggunakan regional blok untuk
semua 3 kelompok resiko dan semua 3 level rumah sakit. Meskipun penelitian ini didasarkan
pada pengamatan data, itu mencakup pengiriman dalam jumlah banyak dari semua populasi.
Kelompok indikasi SC membuat perbandingan dan mengontrol factor pembaur. Hasil untuk
resiko tinggi fetal distress dianggap masih menjadi factor pembaur ketika sebab yang tepat serta
factor gawat janin yang tidak dilaporkan. Namun perdarahan dan gangguan hipertensi maternal
dan preterm di eksklusikan. RR dari apgar 5 <7 sangat mungkin bagus pada kelompok tersebut
(RR =4.7 jika GA digunakan), dan itu terlihat tidak mungkin bahwa seleksi bias ini dapat
dijelaskan dengan cara ini. Peningkatan angka intubasi seperti pada kegawatan indikasi untuk Sc
meningkat secara konsisten dengan peningkatan dalam nilai apgar <7.
Penelitian anestesi berbasis populasi sebelumnya di Tasmania telah menemukan secara
signifikan peningkatan resiko intubasi dan apgar1 <4 baik ulangan atupun SC untuk pertama kali
dengan teknik GA dan RR untuk intubasi =10.8 (95% CI 3.2, 36.0) ketika SC emergensi
dilakukan dengan GA. Penelitian di US baru baru ini, termasuk kelahiran dari 14 universitas
berbasis rumah sakit menunjukkan baik apgar1 ≤ 3dan apgar5 ≤ 3 tetapi tidak spesifik
berdasarkan indikasi SC. Penelitian observasional lain telah menemukan peningkatan kebutuhan
untuk resusitasi ketika menggunakan GA. Bagaimanapun, ini semua terbatas pada kekuatan
statistic untuk pantauan apgar dan terus berlanjut sampai dua penelitian terakhir. Kontrolan atau
peringkat untuk indikasi SC juga tidak ada. Penelitian dengan 3940 pengiriman di sebuah rumah
sakit tipe 3 telah menggunakan 3 kelompok indikasi SC (elektif, mendesak, darurat) yang hampir
sama dengan penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan signifikan dalam
kebutuhan intubasi dan rendahnya apgar5 untuk kelompok SC mendesak dan darurat, tetapi tidak
terlalu bermakna untuk yang menggunakan elektif dan tidak tidak mengontrol seperti halnya
umur kehamilan. Randomized trial anestesi untuk SC tidak selalu mempunyai jumlah pengiriman
yang sedikit tetapi mungkin karena keterbatasan generalisability. Sebagai contoh randomized
trial dengan lebih dari 5 apgar5 <7 kejadian dari kehamilan yang terpengaruh dari pre-eklamsia
berat.
Keterbatasan penelitian ini adalah infant di catat hanya saat kelahiran sampai keluar dari rumah
sakit tanpa di amati selanjutnya. Apgar5 <7 biasanya berkaitan dengan asfiksia, tetapi apakah
apgar5 <7 akibat GA juga mempunyai nilai prognosis yang sama dengan asfiksia. Bahwa efek
samping yang sementara akibat GA untuk batas waktu tertentu adalah wajar pada bayi dengan
resiko rendah, beban terbesar adalah ketika terjadi pada bayi yang sudah di duga mempunyai
indikasi fetal distress. Yang dalam penelitian ini secara signifikan resiko baik intubasi dan
apgar5 <7 meningkat jika pengiriman menggunakan GA.
Keunggulan dari penelitian ini sangat luas baik dari validitasnya, berbasis data populasi. Seperti
semua database, dapat terjadi kesalahan pencatatan factor resiko untuk SC. Namun, untuk
hipertensi maternal telah menunjukkan manifestasi yang lebih serius, yang dapat membuat
kesakitan maternal yang lebih sering dilaporkan. Jika itu berlaku untuk komplikasi selama
kehamilan, maka akan lebih banyak dilaporkan sebagai sebagai penyebab efek pada neonates.
Variasi pengalaman dan ketrampilan anestesi atau dokter kandungan mungkin bertanggung
jawab pada resiko yang terjadi pada GA, sebagai bukti terjadinya heterogenitas disetiap level
rumah sakit. Namun perbandingan disemua level rumah sakit lebih cenderung menggunakan
regional blok disbanding GA.
KESIMPULAN
Keprihatinan mengenai efek GA pada neonates lebih terfokus pada status asam basa, resusitasi
dan apgar skor menit 1, dengan asumsi bahwa efek GA pada neonates pada waktu singkat awal
kehidupan. Peningkatan intubasi neonates setelah GA dalam penelitian ini memperlihatkan suatu
ancaman dan rendahnya apgar5 yang persisten dapat menyebabkan efek merusak lebih lama
daripada segera setelah pengiriman. Peningkatan secara hebat untuk tindakan intubasi dan nilai
apgar 5 <7 terjadi pada bayi yang paling rentan: yang di indikasikan untuk dilakukan SC karena
indikasi fetal distress. Dokter mungkin harus lebih sadar akan efek GA untuk SC baik pada yang
direncanakan ataupun SC darurat
CRITICAL APPRAISAL
Validitas
1. Apakah terkumpul sampel yang jelas dan representative pada satu titik
tertentu dalam perjalanan penyakit mereka?
Idealnya harus memasukkan seluruh memasukkan seluruh pasien yang
mengalami penyakit tertentu dan hidup dan penelitian dilakukan segera
setelah penyakit timbul
Keadaan pasien harus di definisikan dengan jelas
Peneliti harus meneliti seluruh pasien pada saat gejala klinik timbul
(inception cohort)
Ya
2. Apakah follow up dilakukan cukup panjang dan lengkap?
Harus diikuti sampai terjadinya outcome yang objectif
Lamanya pengamatan tergantung pada perjalanan penyakit
Ya
3. Apakah criteria outcome yang objektif dilakukan secara blind?
Outcome telah didefinisikan secara jelas
Penilaian outcome dilakukan secara objektif melalui teknik blind
terhadap karakteristik dan prognosis pasien
Ya
4. Jika sub-grup dengan prognosis yang berbeda diidentifikasi, apakah Ya
dilakukan penyesuaian terhadap factor prognosis yang penting
Dengan multiple regresi analisis dapat dinilai factor yang berpengaruh
(confounding factor)
IMPORTANCE
1. Seberapa besar outcome ini terjadi untuk jangka panjang?
X year survival rate
Case fatality
Median kelangsungan hidup
Survival curve
Rekurensi
Relaps
Remisi
jurnal ini memang
tidak melihat
outcome jangka
panjang tetapi
outcome yang
segera dan sangat
penting bagi
neonates
(resusitasi dan
skor apgar 5
menit)
2. Seberapa presisi estimasi prognosis?
95% Confidence Interval = p +/- 1.96 x SE
standard Error (SE) =
P : proporsi pasien yang mengalami kejadian
N : jumpah pasien
95% CI = 1.0% -
6.7%
APPLICABLE
1. Apakah pasien dalam penelitian ini serupa dengan pasien kita?
Dinilai karakteristik demografis dan klinis pasien kita, bandingkan
dengan penelitian
ya
2. Apakah bukti ini akan memberikan pengaruh penting secara klinis
tentang sesuatu yang akan anda tawarkan kepada pasien anda?
Apakah bermanfaat mengendalikan factor resiko
Do more good than harm
ya
Kesimpulan critical appraisal :
Valid
Penting
Dapat diterapkan
http://doktercilix.blogspot.com/2013/03/jurnal-anestesi.html
GAMBARAN PENATALAKSANAAN PASIEN PASCAOPERATIF DENGAN ANESTESI UMUM DI RUANG PEMULIHAN INSTALASI BEDAH SENTRAL RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH BIMA
Description of MANAGEMENT PostOperative patients with General ANESTHESIA At Recovery Room Central operationing theatre distric general hospital at Bima
Jubair, SKM.M.Kes, A.Haris, SST.M.Ph, Muhtar, S.Kep.Ns.
Program Studi Keperawatan Bima Politeknik Kesehatan Depkes Mataram
ABSTRAK
Latar belakang: Ruang pemulihan mempunyai angka cidera dan tuntutan pengadilan yang tinggi di rumah sakit. Resiko ini berkurang jika perawatan pascaoperatif di ruang pemulihan dilakukan secara optimal. Instalasi Bedah Sentral RSUD setiap hari rata – rata melayani 2-3 pasien operasi dengan anestesi umum. Association of Operating Room Nursing (AORN), menyatakan bahwa tanggung jawab perawat perioperatif tidak berakhir dengan penutupan luka dan pemasangan balutan. Langkah-langkah tindakan keamanan dan tindakan keperawatan harus berlangsubg terus menerus selama tahap pascaoperatif.
Tujuan : Mendapatkan gambaran tentang penatalaksanaan pasien pascaoperatif dengan anestesi umum dan mengetahui rata–rata lama perawatan diruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral RSUD Bima.
Metode :Deskriptif dengan pendekatan observasional crossectional.Pengambilan sampel dengan purposive sampling.Instrumen berupa lembar observasi berdasarkan prosedur tetap RSUD Bima, disesuaikan dengan standar American Society of Post Anesthesia Nurses,dan Association of Operating Room Nursing.
Hasil : Penatalaksanaan pasien pascaoperatif meliputi serah teriam pasien dengan petugas kamar operasi 81,6% baik,pengelolaan jalan nafas 68,7% baik, Pengelolaan keamanan 60,5% baik, Pengelolaan cairan 73,5% kurang, Pengelolaan hipotermia 46,2% baik, Penilaian aldrete skor 83,6% baik, Pendokumentasian 61,9% cukup, serah terima dengan petugas ruang perawatan 83,6% baik.
Kesimpulan : Penatalaksanaan pasien pascaoperatif 51% baik,46,3% cukup, 2,7% kurang .Rata–rata lama perawatan di ruang pemulihan 35,9 menit.
Kata Kunci : Penatalaksanaan Pascaoperasi, Anestesi umum, Ruang pemulihan
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, menyebabkan perubahan indikasi pembedahan. Saat ini pembedahan dilakukan dengan berbagai macam indikasi diantaranya untuk diagnostik, kuratif, rekonstruktif bahkan untuk tujuan paliatif. Pembedahan juga dilakukan sesuai dengan tingkat urgensinya seperti kedaruratan dan elektif. Pembedahan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan yang dilakukan dikamar operasi dan memerlukan perawatan pascaoperatif di rumah sakit (Brunner and Suddarth, 2002). Kemajuan teknologi juga telah mengubah prosedur pembedahan menjadi lebih kompleks dan perkembangan alat pemantauan hemodinamik menjadi sangat sensitif, sehingga meminimalkan komplikasi, akan tetapi peran sentuhan manusia masih sangat diperlukan dalam perawatan pascaoperatif (Brunner and Suddarth, 2002).
Fase pascaoperatif bisa terjadi kegawatan, sehingga perlu pengamatan serius dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis sampai pengaruh anestesi berkurang dan kondisi umum stabil. Perawat di ruang pemulihan bertanggungjawab memberikan perawatan pada pasien pascaoperatif(Long,1996). Peranan perawat diruang pemulihan sangat diperlukan dalam memberikan bantuan keperawatan dan mengontrol komplikasi dan kembalinya fungsi-fungsi tubuh yang optimal (Bagian anestesiologi FKUI,1991). Hal ini mengharuskan perawat mempunyai pengetahuan yang memadai dalam semua aspek perawatan perioperatif (Brunner and Suddarth, 2002).
Association of Operating Room Nursing (AORN), menyatakan bahwa tanggung jawab perawat perioperatif tidak berakhir dengan penutupan luka dan pemasangan balutan. Langkah-langkah tindakan keamanan dan tindakan keperawatan harus berlangsung terus menerus selama tahap pascaoperatif (Rothrock,1990).
Ruang pemulihan mempunyai angka cidera dan tuntutan pengadilan yang tinggi dibanding area lain dirumah sakit. Periode pemulihan pasca anestesi sangat tergantung pada perawatan pascaoperatif di ruang pemulihan, resiko ini berkurang jika perawatan pascaoperatif di ruang pemulihan dilakukan secara optimal sampai pasien sadar sepenuhnya. Penatalaksanaan pascaoperatif dan pemulihan dari anestesi sangat memerlukan pengetahuan dan ketrampilan keperawatan yang profesional (Rothrock,1990).
Instalasi Bedah Sentral Rumah sakit Umum Daerah Bima, selama tahun 2008 melayani pembedahan sebanyak 1020 pasien, rata-rata 85 pasien setiap bulan. Tindakan pembedahan yang menggunakan anestesi lokal sebanyak 125 pasien (12,25 %), anestesi regional sebanyak 7 pasien (6,7 %), dan operasi dengan anestesi umum 888 pasien (87,04%). Dalam satu bulan rata – rata 74 pasien atau 2-3 pasien setiap hari yang dilakukan operasi dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Bima (Rekam Medis RSUD Bima, 2008).
Survey yang telah dilakukan pada tanggal 26 Juni dan 27 Juni 2009 di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Bima, didapatkan pasien pascaoperatif yang dirawat di ruang pemulihan sebanyak 2-3 pasien. Dimana semua pasien tidak dilakukan observasi tanda-
tanda vital, dan tidak dilakukan penilaian dengan Aldrete score, sebelum pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
Semua pasien yang dirawat di ruang pemulihan sebelum dipindah ke ruang perawatan, harus mendapat tindakan dan penilaian yang tepat, tentang tingkat kesadaran, respirasi, sirkulasi, keseimbangan cairan, dan mengontrol perdarahan, agar tidak menyebabkan komplikasi yang bisa berakibat kematian pada pasien, sehingga perlu diperhatikan penatalaksanaan pasien pascaoperatif.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis berusaha meneliti tentang gambaran penatalaksanaan pasien pascaoperatif yang dilakukan diruang pemulihan di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Bima.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Bima. Sehingga hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan institusi rumah sakit, institusi pendidikan keperawatan serta bagi pengembangan profesi keperawatan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan observasional crossectional. Penelitian ini dilaksanakan di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral RSUD Bima.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pascaoperatif dengan anestesi umum yang dirawat di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral RSUD Bima. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pasien pascaoperatif dengan anestesi umum yang dirawat di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Bima selama periode waktu tanggal 1 Nopember 2009 sampai dengan 10 Januari 2010, dengan kriteria: 1) pasien pascaoperasi jenis pembedahan sedang atau besar, 2)usia diatas 15 tahun. Kriteria eksklusi 1) Pasien pelayanan bedah sehari, 2) Anestesi umum digabung anestesi regional, 3) Menjalani perawatan lanjut di ICU.
Penelitian ini terdiri atas variabel tunggal yaitu penatalaksanaan pasien pascaoperatif dengan anestesi umum di ruang pemulihan Instalasi Bedah Sentral RSUD Bima.
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui gambaran penatalaksanaan pasien pascaoperatif dengan anestesi umum di ruang pemulihan adalah lembar observasi yang dibuat berdasar prosedur tetap keperawatan kamar operasi dan anestesi tahun 2004 yang dimodifikasi dengan standar keperawatan perioperatif dari Journal Association of Operating Room Nursing (AORN) tahun 1997 dan American Society of Post Anesthesia Nurses (ASPAN) tahun 1987 dan Standar Perawatan Pascaoperatif menurut Brunner dan Suddart tahun 2002 . Instrumen untuk menentukan lamanya pasien menjalani perawatan di ruang pemulihan menggunakan jam, yang sudah dikalibrasi yang ada di ruang pemulihan.
Penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan ada delapan tahap yang diobservasi, masing-masing tahap mempunyai kriteria kurang, cukup dan baik, ditampilkan dalam distribusi frekuensi, kemudian menggunakan uji proporsi (P).
Untuk menentukan lamanya perawatan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan menggunakan kriteria cepat jika lama perawatan ≤ 60 menit, lama jika > 60 menit, yang ditampilkan dalam distribusi frekuensi dan uji proporsi, kemudian dihitung rata-rata lama perawatan di ruang pemulihan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Tabel 1 : Distribusi Frekuensi Responden Penatalaksanaan pascaoperatif di ruang Pemulihan IBS RSUD Bima, Nopember 2009-Januari 2010. n : 147
No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
1. Jenis kelamin
Laki-laki 71 48,3
Perempuan 76 51,7
1. Usia
12 – 18 tahun 14 9,5
19 – 40 tahun 71 48,3
41 – 65 tahun 62 42,2
1. Jenis Pembedahan
Sedang 75 51,0
Besar 72 49,0
Sumber: Data primer, Agustus 2009-Januari2010.
2. Penatalaksanaan Pasien Pascaoperatif
Penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan dalam penelitian ini terdiri atas delapan tindakan yang diobservasi, selengkapnya lihat tabel 2 berikut :
Tabel 4.2 : Frekuensi Tindakan Penatalaksanaan yang dilakukan di Ruang Pemulihan IBS RSUD Bima, Nopember 2009-Januari 2010. n : 147
Jenis tindakan Kurang Cukup Baik
f % f % f %
Serah terima 1 0 0 27 18,4 120 81,6
Pengelolaan jalan nafas 6 4,1 40 27,2 101 68,7
Pengelolaan keamanan 4 2,8 54 36,7 89 60,5
Pengelolaan cairan 108 73,5 26 17,7 13 8,8
Pengelolaan hipotermia 36 24,5 43 29,3 68 46,2
Menilai Aldrete 3 2,1 21 14,3 123 83,6
Dokumentasi 3 2,0 91 61,9 53 36,1
Serah terima 2 2 1,4 22 15,0 123 83,6
Sumber: Data primer, Agustus 2009-Januari2010.
Keterangan :
Serah terima 1 :Serah terima dengan petugas ruang operasi
Serah terima 2 :Serah terima dengan petugas ruang perawatan
a. Serah terima antara petugas kamar operasi dengan petugas ruang pemulihan
Berdasarkan tabel 2 menunjukan bahwa 81,6% pasien pascaoperatif dilakukan serah terima dengan baik. Hal ini sesuai dengan kriteria yang dianjurkan oleh American Society of Post Anesthesia Nurses (1987) yang mengatakan bahwa setelah pasien diterima di ruang pemulihan, prosedur serah terima harus dilakukan secara verbal dan diberikan secara langsung kepada petugas ruang pemulihan. Hal ini sesuai dengan prosedur tetap keperawatan pasien pascaoperatif yang disusun oleh RSUD Bima tahun 2004, tetapi belum ada pedoman tertulis tentang serah terima pasien di ruang pemulihan yang disusun oleh RSUD Bima, sehingga keadaan ini memungkinan adanya kelalaian, dan belum ada legalitas tindakan yang dilakukan selama serah terima.
Menurut Brunner and Suddarth (2002) bahwa dalam serah terima pasien pascaoperatif meliputi diagnosis medis dan jenis pembedahan, usia,kondisi umum, tanda -tanda vital, kepatenan jalan
nafas, obat-obat yang digunakan, masalah yang terjadi selama pembedahan, cairan yang diberikan, jumlah perdarahan, informasi tentang dokter bedah dan anestesi.
b. Pengelolaan Jalan nafas
Dari 147 responden 6 responden (4,1%) kurang dalam pengelolaan jalan nafas 40 responden (27,2%) dinyatakan cukup dan 101 respondan (68,7%) dilakukan pengelolaan jalan nafas dengan baik.
Menurut Brunner and Suddarth (2002) bahwa kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali setiap 15 menit diikuti dengan sistem kardiovaskuler. Tujuan utama tindakan ini adalah mempertahankan ventilasi pulmonal dan mencegah hipoksemia dan hiperkapnea.
Prosedur pengelolaan jalan nafas yang dilakukan di ruang pemulihan RSUD Bima sama dengan prosedur yang disarankan oleh American Society of Post Anesthesia Nurses (1987) dan Brunner and Suddarth (2002).
c. Pengelolaan keamanan
Empat responden (2,8%) tidak dilakukan tindakan pengamanan, 54 responden (36,7%) dilakukan dengan kriteria cukup dan 89 responden (60,5%) dilakukan tindakan keamanan dengan baik.
Pengelolaan keamanan dilakukan dengan baik sebanyak 60,5% responden, keadaan sesuai dengan prosedur tetap yang dibuat RSUD Bima. Brunner and Suddarth (2002) mengatakan setiap pasien pascaoperatif diamankan dengan pengikat untuk menahan selimut dan merestrain pasien, pagar sisi tempat tidur harus terpasang untuk menjaga agar pasien tidak terjatuh.
Tindakan yang dilakukan di ruang pemulihan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut,adalah melakukan tindakan pengamanan pasien diantaranya memasang pengaman pada tempat tidur (Journal AORN Februari 1997).
Pasien yang tidak dilakukan pengamanan merupakan kelalaian petugas ruang pemulihan, karena dalam prosedur tetap mengatakan bahwa setiap pasien pascaoperatif harus dipasang strain pada tempat tidur.
d. Pengelolaan cairan
Berdasarkan hasil penelitian 73,5% pasien pascaoperatif kurang dalam pengelolaan cairan artinya kebutuhan cairan pascaopertif di ruang pemulihan tidak diperhatikan.
Hal ini terjadi karena tidak adanya prosedur tetap dalam penatalaksanaan pasien pascaopertif di ruang pemulihan RSUD Bima, dan tidak adanya lembar monitor cairan selama perawatan di ruang pemulihan.
Keadaan ini tidak sesuai dengan pedoman perawatan pasacaoperatif di ruang pemulihan yang disarankan American Society of Post Anesthesia Nurses (1987) yang mengatakan masukan dan keluaran cairan perlu diukur secara teliti di ruang pemulihan. Cairan intravena perlu diatur, dan dicatat jumlah cairan yang masuk. Keluaran cairan ditentukan dengan pemantauan melalui urin, drain, dan jumlah perdarahan (Rothrock,J.,C.,1999).
Pemantauan cairan pascaopertif di ruang pemulihan sangat diperlukan karena bila pasien bisa mengalami hipovolemia dan hipervolemia. Hipovolemia terjadi karena perdarahan dan penguapan tubuh bertambah karena pemberian gas anestesi yang kering dan luka operasi yang lebar menambah penguapan tubuh meningkat sehingga kehilangan cairan lebih banyak.Hipervolemia pada pasien pascaoperatif disebabkan pemberian cairan intravena melebihi 30% dari yang seharusnya, kesalahan dalam pemantauan hemodinamik (Thaib M.,R.,1989).
e. Pengelolaan hipotermia
Berdasarkan hasil penelitian tindakan pengelolaan hipotermia 36 responden (24,5%) dinyatakan kurang, 43 responden (29,3%) dinyatakan sedang dan 68 responden (46,2%) dilakukan dengan baik.
Prosedur tetap tentang pengelolaan hipotermia di ruang pemulihan yang belum dibuat RSUD Bima, dan tidak semua pasien mengalami hopotermia sehingga pengelolaan ini sering tidak mendapat perhatian.
Brunner and Suddarth (2002) berpendapat bahwa Pasien yang mengalami anestesi mudah menggigil, selain itu pasien menjalani pemejanan lama terhadap dingin dalam ruang operasi dan menerima cairan intravena yang cukup banyak sehingga harus dipantau terhadap kejadian hipotermia 24 jam pertama pascaoperatif. Association of Operating Room Nursing (1997) menyarankan ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman, dan selimut disediakan untuk mencegah menggigil (Rothrock,J.,C.,1999).
f. Menilai dengan Aldrete score
Untuk penilaian pasien layak pindah dari ruang pemulihan dengan aldrete skor, 3 responden (2,1%) dinyatakan kurang, 21 responden (14,3%) dinyatakan sedang dan 123 responden (83,6%) dilakukan dengan baik.
Penilaian pasien dengan Aldrete skor hampir semua dilakukan dengan baik. Keadaan ini sesuai dengan kriteria dan pedoman penilaian unit perawatan pascaoperatif yang disarankan oleh Brunner and Suddarth (2002). Keadaan ini didukung oleh adanya prosedur tetap RSUD Bima tentang penilaian kesadaran dengan Aldrete skor.
Hal ini merupakan suatu kelalaian yang perlu mendapat perhatian karena menurut Joint Commisionon Accreditation of healthcare Organization telah mengemukakan penafsiran standar anestesi mengenai pemindahan pasien dari ruang pemulihan adalah tanggungjawab yang merawat pasien8. Issues Interpretation on anesthesia Standards 1988 menyatakan isi standar
tersebut dipenuhi dengan dua cara yaitu menulis dan menandatangani instruksi pemindahan apakah pasien siap dipindahkan atau belum (Rothrock,J.,C.,1999)..
g. Serah Terima dengan petugas ruang perawatan
Serah terima antara perawat ruang pemulihan dengan perawat ruang perawatan 2 responden (1,4%) dinyatakan kurang, 22 responden (15%) mempunyai nilai cukup dan 123 responden (83,6%) dilakukan dengan baik.
Pelaksanaan serah terima secara keseluruhan baik, akan tetapi belum ada pedoman serah terah terima secara tertulis dari RSUD Bima, sehingga tidak mempunyai legalitas, dan belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman serah terima yang disarankan oleh Brunner and Suddarth (2002) dan American Society of Post Anesthesia Nurses (1987).
Faktor keamanan harus dipertimbangkan dalam memindahkan pasien dari ruang pemulihan.Sebelum dipindahkan. Laporan yang perlu disampaikan meliputi prosedur operasi yang dilakukan,kondisi umum pasien,kejadian pascaanestesi, informasi tentang balutan, drain, alat pemantauan, obat yang diberikan, cairan yang masuk dan keluar dan informasi lain yang ditentukan oleh protokol institusi, informasi kepada keluarga tentang kondisi pasien (Rothrock,J.,C.,1999).
h. Dokumentasi
Berdasarkan hasil penelitian hanya 53 responden (36,1%) dilakukan dengan baik, hal ini disebabkan karena catatan lembar pendokumentasian di ruang pemulihan tidak sesuai dengan yang disarankan oleh American Society of Post Anesthesia Nurses (ASPAN).
Catatan pendokumentasian di ruang pemulihan RSUD Bima tidak mencantumkan tentang keadaan dan pengelolaan cairan pasien pascaoperatif, tidak ada data tentang keadaan hipotermia. Pendokumentasian laporan serah terima dari ruang pemulihan ke petugas ruang perawatan belum semua dilakukan oleh petugas.
Secara keseluruhan penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan adalah sebagai berikut :
Tabel 3 : Distribusi Frekuensi penatalaksanaan pasien pascaoperatif Ruang Pemulihan IBS RSUD Bima, Nopember 2009-Januari 2010. n : 147
Kriteria frekuensi %
Kurang 4 2,7
Cukup 68 46,3
Baik 75 51,0
Total 147 100,0
Sumber: Data primer, Nopember 2009-Januari 2010.
3. Lama Waktu Perawatan Di Ruang Pemulihan
Dari 147 responden didapatkan data tentang lamanya perawatan di ruang pemulihan adalah sebagai berikut :
Tabel 4 : Distribusi Frekuensi lama perawatan di ruang pemulihan IBS RSUD Bima, Nopember 2009-Januari 2010. n : 147
Lama Perawatan Frekuensi Persentase (%)
15-30 menit 68 46.25
31-45 menit 23 15,7
46-60 menit 56 38,1
61-75 menit 0 0
76-90 menit 0 0
91-105 menit 0 0
106-120 menit 0 0
Total 147 100
Sumber : Data primer, Nopember 2009-Januari 2010.
Tabel 4 menunjukan bahwa lama perawatan dengan interval 15 sampai 30 menit merupakan frekuensi paling banyak yaitu 68 responden (46,25%), Lama perawatan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan ≤60 menit sebanyak 147 responden (100%). Rata-rata lama perawatan di ruang pemulihan adalah 35,9 menit.
Berdasarkan hasil penelitian, lama perawatan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan ≤60 menit sebanyak 147 responden (100%), dengan rata-rata lama perawatan di ruang pemulihan adalah 35,9 menit. Menurut Direktorat Jendral Pelayanan Medik dan Keperawatan Departemen Kesehatan tahun 2002 bahwa ketergantungan pasien di ruang pemulihan adalah 60 menit, sehingga lama perawatan di ruang pemulihan RSUD Bima lebih cepat dari standar yang telah dibuat oleh Direktorat Jendral Pelayanan Medik dan Keperawatan Departemen Kesehatan tahun 2002.
Pada 56 responden (38,1%) lama perawatan diruang pemulihan pada rentang yang lebih lama yaitu 46-60 menit. Berdasarkan pengamatan di ruang pemulihan sebab dari lamanya perawatan di ruang pemulihan pada responden tersebut adalah karena terlambatnya petugas dari ruang perawatan mengambil pasien pascaoperatif diruang pemulihan 3 responden (12%) akibat efek samping dan komplikasi anestesi umum.
Berdasarkan wawancara tidak struktur dengan petugas ruang perawatan saat serah terima pasien didapatkan bahwa keterlambatan pengambilan pasien dikarenakan ada hambatan berupa kurangnya tenaga, dan waktu pengambilan pasien bersamaan dengan pertukaran jaga pagi dan jaga sore.
Beberapa faktor ikut menentukan lamanya pasien di ruang pemulihan. Dalam penelitian ini tidak meneliti fator-faktor yang mempengaruhi lamanya perawatan di ruang pemulihan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Gambaran penatalaksanaan pasien pascaoperatif meliputi serah terima dengan petugas kamar operasi 81,6% baik, pengelolaan jalan nafas 68,7% baik, pengelolaan keamanan 60,5% baik, pengelolaan cairan 73,5% kurang, pengelolaan hipotermia 46,2% baik, penilaian dengan Aldrete 83,6% baik, pendokumentasian 61,9% cukup, serah terima dengan petugas ruang perawatan 83,6% baik. Secara keseluruhan penatalaksanaan pascaoperatif adalah 75 responden dilakukan dengan baik (51%), 68 responden (46,3%) dengan kriteria cukup, dan 4 responden (2,7%) dengan kriteria kurang.
2. Rata-rata lama perawatan di ruang pemulihan adalah 35,9 menit. Lama perawatan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan 100% ≤60 menit.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu peningkatan kerjasama yang baik dalam penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan antara petugas kamar operasi, petugas ruang pemulihan dan petugas ruang perawatan.
2. Penambahan prosedur tetap untuk pengelolaan cairan, pengelolaan hipotermia, dan serah terima sesuai dengan prosedur yang sudah direkomendasikan sehingga ada standarisasi dan legalitas dalam melakukan tindakan di ruang pemulihan.
3. Peningkatan dalam pengelolaan cairan dan hipotermia sesuai dengan rekomendasi dari American Society of Post Anesthesia Nurses (ASPAN).
4. Perbaikan dalam catatan di ruang pemulihan terutama dalam hal pengelolaan cairan dan hipotermia dan pengelolaan keamanan untuk menghindari kelalaian dalam penatalaksanaan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan.
5. Dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat kualitas penatalaksanaan pasien diruang pemulihan dan mencari faktor-faktor yang menentukan lama perawatan pasien pascaoperatif di ruang pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta,Jakarta
Brunner and Suddarth, 2002,Keperawatan Medikal Bedah,EGC,Jakarta.
Direktorat Pelayanan Keperawatan,Direktorat Jendral Pelayanan Medik,2002, Standar Keperawatan Rumah Sakit, Depkes, jakarta
Drajat MT,1991,Anestesiologi, Aksara Medisina, Salemba, Jakarta.
Long, B.,C.,1996, Perawatan Medikal Bedah, Edisi II, Yayasan IAPK, Padjajaran, Bandung
Journal AORN, 26 Februari 2005, Inspiring Tomorrow Perioperative Nurses, www.studenkitptt.pdf.com
Journal AORN Februari 1997, Patient outcomes:standards of Perioperative Care,www.findarticles.com/p/articles.
Rothrock,J.,C.,1999, Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, EGC, Jakarta.
Thaib M.,R.,1989, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta
http://dikeskotabima.wordpress.com/2010/12/23/gambaran-penatalaksanaan-pasien-pascaoperatif-dengan-anestesi-umum-di-ruang-pemulihan-instalasi-bedah-sentral-rumah-sakit-umum-daerah-bima/