biografi pahlawan

59
Biografi Cut Nyak Dien Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar. Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki. Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak: "Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini?

Upload: udinsan

Post on 25-Jun-2015

7.749 views

Category:

Education


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Biografi  pahlawan

Biografi Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah

oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"

Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Page 2: Biografi  pahlawan

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964

Page 3: Biografi  pahlawan

Biografi Teuku Umar

Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di

Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional

yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.

Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang

pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra,

yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak

Teuku Umar.

Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama

pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia

berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur

ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya

Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani,

dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang

keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak

pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang

pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.

Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia

20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.

Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak

Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan

gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri

pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim

Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan

Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan

Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap

pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan

bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah

berjuang dalam medan tempur.

Page 4: Biografi  pahlawan

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun

kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893,

Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata

dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki

tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah

atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud

memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar

kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku

Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk

legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda

dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg

amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku

Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi

perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda

pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan

Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang

bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut,

sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van

Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk

menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh

menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di

Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar

dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai

nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak

di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah

lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Page 5: Biografi  pahlawan

BIOGRAFI H AGUS SALIM

Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran". Dia Lahir

di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Dia menjadi anak

keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena

kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain

karena dia anak yang cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa

asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS

(Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan

predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya

untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia

patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah

cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian

beasiswa pemerintah pada Kartini: “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin

melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau,

yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar

sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri

Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak

memungkinkan.”

Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda,

karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi.

Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim.

Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena

usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim

tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari

keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh

pemerintah sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?

Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai

penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu

agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya, serta

mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche

Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional. Karir politik Agus Salim

berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 915. Ketika kedua

Page 6: Biografi  pahlawan

tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka

terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-

1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam”

tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.

Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI

menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto

menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian

berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya

tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah

bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti

Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah

mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto

sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.

Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di

sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres

Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus

Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari

kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di

depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya. Agus Salim

pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan

Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam

Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah

pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.

Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The

Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.

Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan,

bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana

dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya,

Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya,

kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya

Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat

pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang

Page 7: Biografi  pahlawan

juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda. Agus Salim wafat pada 4

November 1954 dalam usia 70 tahun.

RADEN AJENG KARTINI

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, danlain sebagainya.

Page 8: Biografi  pahlawan

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Page 9: Biografi  pahlawan

Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

Page 10: Biografi  pahlawan

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman denganmenunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Page 11: Biografi  pahlawan

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

BIOGRAFI BUNG TOMO

Sutomo atau di kenal dengan panggilan Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2

November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau

adalah tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya.

Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan,

mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan tanggal 17

Agustus 1945.

Untuk lebih dekat lagi pada Bung Tomo dengan membawa semangat nya untuk motivasi Kita

jadi lebih baik lagi berikut adalah sedikit kisah Kehidupan bung tomo yang bisa silahkan anda

cermati untuntuk mengambil sisi positip supaya kita juga termotivasi.

Sutomo (Surabaya, 3 Oktober 1920 – Makkah, 7 Oktober 1981) atau Bung Tomo adalah

pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk

melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA dan berakhir dengan peristiwa

pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di sebuah

perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan

ekspor-impor Belanda.

Page 12: Biografi  pahlawan

Ia juga pernah bekerja sebagai polisi di kota Praja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat

Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor untuk perusahaan mesin jahit

“Singer”.

Sutomo dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Pendidikan menjadi hal penting yang

harus diperoleh Sutomo dan keluarganya. Sutomo berkepribadian ulet, pekerja keras, daya

juangnya sangat tinggi. Di Usia mudanya Sutomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Ia

juga bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944 ia anggota Gerakan

Rakyat Baru .

Sejak kedatangan sekutu dan pasukan NICA di Surabaya, Bung Tomo berjuang mati-matian

mempertahankan Surabaya dari cengkeraman Sekutu dan NICA. Bung Tomo memiliki pengaruh

kuat di kalangan pemuda dan para pejuang. Ia dengan lantang membakar semangat pejuang

untuk bertempur habis-habisan melawan pasukan sekutu. Pertempuran tersebut dipicu oleh

tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan pejuang. Meskipun kekuatan

pejuang tidak seimbang dengan kekuatan pasukan sekutu, namun peristiwa pertempuran 10

November tercatat sebagai peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia

Sekitar tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Ia sempat menjadi

Menteri negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim

pada 1955-1956 pada kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga pernah menjadi anggota

DPR 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia. Pada masa pemerintahan orde Baru, Bung Tomo

banyak mengkritik kebijakan Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng.

Akibatnya tanggal 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Padahal

jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Satu tahun setelah di

tahan Bung Tomo kemudian di bebaskan dan tidak banyak aktif dalam kehidupan politik.

Bung Tomo dikenal sebagai muslim yang taat beribadah. Beliaupun wafat ketika menunaikan

ibadah Haji di padang Arafah Makkah tanggal 7 Oktober 1981.Jenazah Bung Tomo dibawa

kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di

Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Page 13: Biografi  pahlawan

JENDERAL SOEDIRMAN

Jenderal Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 24 Januari

1916 dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun karena

penyakit tuberkulosis dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki,

Yogyakarta.

Jenderal Soedirman lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid

Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem,

adalan keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh

R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari

Siyem. Jenderal Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa.

Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai

tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi

guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Pengetahuan militernya diperoleh dari pasukan Jepang melalui pendidikan. Setelah

menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah.

Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih

menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal

memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, Ia selalu mengutamakan kepentingan

orang banyak banyak dan bangsanya di atas kepentingan pribadinya, bahkan kepentingan

kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo,

pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen

dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang ini,

Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk

menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia

kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas

Page 14: Biografi  pahlawan

dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman

terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai

menderita penyakit tuberkulosis, namun dia tetap terjun dalam beberapa perang gerilya

melawan pasukan NICA Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali setelah Jepang

menyerah.

Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan

pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember

1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran

melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman

melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran

terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan

Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan

Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai

Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak

melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Jendral Soedirman tetap terjun ke medan perang saat terjadi agresi militer Belanda II di Ibukota

Yogyakarta. Saat itu Ibukota RI dipindahkan ke Yogya karena Jakarta sudah dikuasai

Belanda.Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda

tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Kondisi kesehatan Jenderal

Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya

sejak lama. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara

Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarnodan Mohammad

Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi

genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali

melakukan perang gerilya.

Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke

gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Soedirman

pulang dari gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk

memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh

perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda. Setelah Belanda

menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja

Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden

Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal

Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang

dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.

Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar

Page 15: Biografi  pahlawan

sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh

beberapa jenderal di RI sampai sekarang.

DEWI SARTIKA BIOGRAFI

Biografi Raden Dewi Sartika adalah Pahlawan pendidikan kaum wanita Indonesia,

pahlawan nasional, sekaligus tokoh panutan di kalangan masyarakat Sunda. 

Ia bersama Kartini adalah tokoh perempuan terkemuka Indonesia. Totalitasnya dalam

memperjuangkan pendidikan terutama bagi kaum perempuan di akui dan diberikan

apresiasi pemerintah dengan memberinya gelar pahlawan nasional sejak tahun 1966.

Dewi Sartika adalah putri pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas.

Ayahnya seorang patih di Bandung. Kedua Orang tuanya adalah pejuang kemerdekaan

yang pernah diasingkan di Ternate (maluku). Setelah kedua orang tuanya di asingkan,

Dewi Sartika kemudian di asuh pamannya (Patih Aria) yang tinggal di Cicalengka.

Biodata Dewi Sartika 

Nama                                        Raden Dewi Sartika

tanggal lahir dewi sartika Cinean, 11 September 1947

Wafat Tasikmalaya, 11 September 1947

Penghargaan Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden

RI no 152/1966

Riwayat hidup Raden Dewi Sartika

Page 16: Biografi  pahlawan

Semasa hidupnya, Dewi Sartika amat gigih memperjuangkan nasib dan harkat kaum

perempuan. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum

perempuan. Di rumahnya,  Dewi Sartika mengajar anggota keluarga dan kaum

perempuan disekitarnya mengenai berbagai keterampilan seperti membaca, menulis,

memasak, dan menjahit. 

 

Pada tanggal 16 Juli 1904 beliau mendirikan Sakola Istri atau sekolah perempuan di

Kota Bandung. Sekolah ini menjadi lembaga pendidikan bagi perempuan yang pertama

kali di dirikan di Hindia Belanda.

Tahun 1913 Sakola Istri kemudian diganti namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri.

Tahun 1913 mendirikan organisasi Kautamaan Istri di tasikmalaya yang menaungi

sekolah-sekolah yang didirikan Dewi Sartika.Tahun 1929 Sakola Kautamaan Istri

Berganti nama lagi menjadi Sekolah Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda

dibangunkan gedung baru yang besar dan lengkap.

Sejak kecil Dewi Sartika memang telah memiliki jiwa pendidik. Beliau sering

mengajarkan baca tulis dan berlatih berbahasa Belanda kepada anak-anak para

pembantu di Kepatihan. Pola pembelajaran yang dilakukan dengan cara sambil

bermain sehingga ia amat disenangi anak-anak didiknya. 

 

Langkah yang dilakukan Dewi Sartika sejak kecil ini berdampak luas sehingga nama

Dewi Sartika di kenal luas oleh masyarakat sebagai seorang pendidik, terutama di

kalangan perempuan.

 

Dewi Sartika menikah tahun 1906, dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata yang

juga berprofesi sebagai pendidik sehingga keduanya memiliki kesamaan visi dalam

meajukan pendidikan di lingkungan masyarakatnya.

Setelah terjadi Agresi militer Belanda tahun 1947, Dewi Sartika ikut mengungsi

bersama-sama para pejuang yang terus melakukan perlawanan untuk

mempertahankan kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, Dewi Sartika sudah lanjut usia

dan Wafat tanggal 11 September 1947 di Cinean Jawa Barat. Makam Beliau kemudian

di pindahkan ke Bandung.

Page 17: Biografi  pahlawan

PANGERAN DIPONEGORO BIOGRAFI

Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) Makamnya berada di Makassar. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Page 18: Biografi  pahlawan

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Latar Belakang Perang Diponegoro Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat

Page 19: Biografi  pahlawan

“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Mr. PROF. MUHAMMAD YAMIN, SH

Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus

1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 ) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia

dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di

Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno. Ia menikah dengan

Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan

Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan,

Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan

menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing,

khususnya kesusastraan Belanda.

Biodata Muhammad Yamin

Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah

jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada

bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ;

maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu

yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa

Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga

merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama

sepuluh tahun .

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat

penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang

kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa

Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa

muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an sehingga tahun 1933,

Page 20: Biografi  pahlawan

Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama

bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.

Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih

menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis

yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain,

serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan

Rabindranath Tagore.

[sunting] Politik

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian

bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan

beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan

bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis

Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia

dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa

resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.

Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga

Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada

tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak,

Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda.

Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden

Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan

yang penting dalam pemerintahannya.

Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang

terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.

Page 21: Biografi  pahlawan

PATTIMURA

Pattimura, memiliki nama asli Thomas Matulessy (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan,

Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun).Ia

adalah putra Frans Matulesi dengan Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura

versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura

tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama

Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah

putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk

di Seram Selatan".

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda.

Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah

dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu

kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio

modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang

mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki

seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila

ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah

pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-

temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara

genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya

sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai

mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik

yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan

kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),

pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat

Page 22: Biografi  pahlawan

London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus

merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian

tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku

maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih

untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam

pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial Belanda pada

tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.

Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk

selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan

Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817,

Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan

panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai

panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.

Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan

pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun

benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja

Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang

persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang

Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan

kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk

menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di

darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain

Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang

menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,

pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon

dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu

muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan

mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.

Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN

PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia...... Pahlawan Nasional

Indonesia. Ketuhanan yang maha esa Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

kemerdekaan bagi seluruh rakyat indonesia.

Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy

Page 23: Biografi  pahlawan

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas

Mattulessy yang identik Kristen. Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum

minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.

IMAM BONJOL

Biografi Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perang Padri

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan

Page 24: Biografi  pahlawan

Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri [3]. Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya “Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Penyerangan benteng kaum Paderi di Bonjol oleh Belanda dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Page 25: Biografi  pahlawan

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut

ROBERT WOLTER MONGINSIDI

Robert lahir di desa Mamalayang, Manado, pada tanggal 14 Februari 1925.

Pada saat pecahnya Perang Pasifik, ia baru duduk di kelas 2 MULO (setingkat Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama). Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki sekolah bahasa Jepang.

Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)

Kemerdekaan RI yang diproklamirkan bulan Agustus 1945, menempatkan pulau-pulau di luar

Pulau Jawa dan Sumatera dalam posisi yang sulit. Pasalnya, seluruh kegiatan diplomasi pada

saat itu dipusatkan di Jawa karena pemimpin-pemimpin RI bermukim di pulau tersebut.

Sedangkan daerah-daerah di luar Jawa dijadikan sasaran utama politik diplomasi Belanda untuk

mengucilkan para pemimpin RI di Jawa. Selain itu, kehadiran tentara Belanda dan keterbatasan

dana maupun perbekalan, juga menjadi kendala tersendiri bagi para pejuang RI.

Sesudah proklamasi kemerdekaan, Mongisidi bergabung dalam barisan para pejuang pembela

kemerdekaan di Ujungpandang. Tak lama kemudian, pasukan NICA/Belanda mendarat di

Makassar dan menduduki wilayah lainnya di Sulawesi, seperti Ujungpandang. Kedatangan

pasukan itu disambut dengan perlawanan oleh para pemuda di berbagai tempat.

Bentrokan bersenjata dengan pejuang-pejuang Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653

Sulawesi Selatan pun sering terjadi. Para pemuda pejuang harus menerapkan strategi Wakil

Panglima Besar (1962-1965) Ketua MPRS (1966-1972)

perang gerilya untuk menghadapi kekuatan tentara Belanda karena ketidakseimbangan, baik

dari segi jumlah maupun peralatan. Nama Wolter Monginsidi mulai dikenal masyarakat pada

saat ia memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda dalam kota pada 27 Oktober 1945.

Setelah Belanda berhasil berkuasa penuh atas kota Ujungpandang, pejuang-pejuang

mengundurkan diri ke luar kota dan memusatkan kekuatan di Polombangkeng. Untuk

Page 26: Biografi  pahlawan

menyatukan tenaga perjuangan, dibentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Raja Gowa ke-16,

dinobatkan pada tahun 1653

Sulawesi Selatan (LAPRIS). Monginsidi sendiri diangkat menjadi sekretaris jenderal. Dengan

jabatan itu, Monginsidi bertugas merencanakan operasi-operasi militer. Untuk mengetahui

rahasia musuh, tak jarang ia memasuki kota dan menyamar sebagai Kapolri (1968-1971)

polisi Tentara Belanda. Dengan begitu, ia dapat menentukan sasaran serangan. Belanda pun

menghadapi kesulitan serta kerugian besar.

Maka untuk menghentikan perjuangan para pemuda itu, Belanda mengadakan razia besar-

besaran pada 28 Februari 1947. Monginsidi yang tetap pada penyamarannya ikut terjaring

dalam razia itu. Pemuda itu pun ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Beberapa bulan

kemudian, tepatnya pada 27 Oktober 1947, ia berhasil meloloskan diri dan menimbulkan

kekacauan di kalangan tentara Belanda. Razia pun diperketat, tak sia-sia, sembilan hari

kemudian Monginsidi kembali ditangkap.

Belanda membujuknya bekerja sama. Dengan tegas bujukan itu ditolaknya. Penolakan itu

berbuah vonis hukuman mati dari pengadilan kolonial Belanda. Meski ia menyadari nyawanya

terancam, namun sebagai pejuang sejati, keputusan pengadilan tersebut diterimanya dengan

tabah. Ia pun menolak untuk meminta ampun. Masyarakat menjadi gempar, lalu mengajukan

permohonan supaya hukuman tersebut dibatalkan. Tetapi, penguasa Belanda tetap pada

pendiriannya.

Pada 5 September 1949, di saat tanda-tanda perdamaian mulai tampak dengan dimulainya

perundingan Konferensi Meja Bundar, bangsa Indonesia dikejutkan dengan berita kematian

Robert Wolter Monginsidi. Monginsidi dibawa ke Pacinang untuk menjalani hukuman mati.

Dengan tenang ia menghadapi regu penembak dan menolak untuk menutup mata dengan kain.

Tangan kirinya memegang Injil, sedangkan tangan kanan mengepalkan tinju sambil

memekikkan teriak "Merdeka!", seakan tanpa sedikitpun dihinggapi rasa takut menyambut

butiran peluru yang menembus dadanya. Di selnya terdapat secarik kertas yang terselip dalam

kitab Injil. Kertas tersebut berisi kata-kata, "Setia hingga terakhir dalam keyakinan." Pada

tanggal 10 November 1950, kuburannya dipindahkan ke Taman Lihat Daftar Pahlawan Nasional

pahlawan Ujungpandang.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Robert Wolter Monginsidi dianugerahi gelar Lihat Daftar

Pahlawan Nasional

pahlawan Nasional berdasarkan SK Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia

Page 27: Biografi  pahlawan

Presiden RI No.088/TK/Tahun 1973, Tanggal 6 Nop 1973. e-ti

Andi Sultan Daeng Radja

Haji Andi Sultan Daeng Radja (lahir di Matekko, Gantarang, 20 Mei 1894 – meninggal di Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Mei 1963 pada umur 68 tahun) adalah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan. Ia adalah putra pertama pasangan Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah. Ia merupakan pendiri Masjid Tua di Ponre yang pada jamannya terbesar di Sulawesi Selatan.Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool(Sekolah Rakyat) tiga tahun di Bulukumba. Tamat dari Volksschool, beliau melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere School(ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar.Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1913, Sultan Daeng Radja yang saat itu, masih berusia 20 tahun diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling Makassar. Bebeberapa bulan kemudian, beliau diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Tanggal 7 Januari 1915 diangkat menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua.Selanjutnya, beliau dipindahkan lagi ke Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk. Dari Sinjai ditugaskan ke Takalar dan mendapat jabatan wakil kepala pajak. Selanjutnya ditugaskan ke Enrekang dengan jabatan kepala pajak. Tahun 1918, beliau ditugaskan sebagai Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar.Tanggal 2 April 1921, pemerintah mengeluarkan surat keputusan mengangkat Sultan Daeng Radja menjadi pejabat sementara Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng Daeng Malette yang mengundurkan diri karena tidak bisa bekerjasama lagi dengan pemerintah kolonial Belanda. Pengunduran diri Andi Mappamadeng tersebut hingga kini masih menjadi kontroversi, sebab Andi Mappamadeng Daeng Malette merupakan sepupu satu kali dari Sultan Daeng Radja. Pada waktu itu pula, Sultan Daeng Radja mendapat kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad) Bulukumba.Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke Bulukumba, mendorong Dewan Hadat Gantarang (Adat Duapulua) mengadakan rapat memilih calon kepala adat. Rapat tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi Regen (Kepala Adat) Gantarang. Jabatan ini diembannya hingga pemerintahan Belanda menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.

Page 28: Biografi  pahlawan

Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada Landraad Bulukumba. Setelah proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pemerintah NICA menuduh Andi Sultan Daeng Radja terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia tidak lagi digunakan sebagai pemerintah.NICA kemudian menahan dan mengasingkan Sultan Daeng Radja ke Menado, Sulawesi Utara. Tanggal 8 Januari 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja kemudian dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Bulukumba. Pada 1 Juli 1950 Andi Sultan Daeng Radja mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan digantikan oleh putranya Andi Sappewali Andi Sultan.Setelah mundur dari jabatannya selaku Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati pada kantor Gubernur Sulsel. Tanggal 4 April 1955, beliau ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat menjadi residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden. Setahun kemudian beliau diangkat menjadi Anggota Konstituante. Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun. Semasa hidupnya, Andi Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

S E J A R A H P E R J U A N G A N A N D I S U L T A N D A E N G R A D J A

Andi Sultan Daeng Radja berjuang menentang penjajahan kolonial Belanda dimulai sejak masih menjadi siswa di Opdeling School Voor Indlandsche Ambtenar (OSVIA) di Makassar. Ketidak-sukaan Sultan Daeng Radja terhadap pemerintah kolonial dipicu oleh kesewenangan dan penindasan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat Bulukumba.Semangat untuk membela rakyat dan bangsa Indonesia yang terpateri dalam jiwa Sultan Daeng Radja, semakin berkobar saat beliau aktif mengikuti perkembangan dan pertumbuhan organisasi kebangsaan yang muncul di Pulau Jawa. Seperti Budi Utomo dan Serikat Dagang Islam yang didirikan sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda.Semangat Sultan Daeng Radja untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, membuat dia secara diam-diam mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Sepulang mengikuti kongres ini, tekad Sultan Daeng Radja semakin berkobar untuk mengusir kolonial Belanda dari Indonesia.Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, Andi Sultan Daeng Radja diutus sebagai wakil Sulsel mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta. PPKI adalah badan yang bekerja mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.Usai mengikuti rapat PPKI, Sultan Daeng Radja, langsung pulang ke Bulukumba untuk memberi penjelasan kepada rakyatnya mengenai hasil rapat PPKI dan menyusun rencana dalam rangka menindaklanjuti persitiwa bersejarah kemerdekaan RI. Kabar kemerdekaan RI yang disampaikan Sultan Daeng Radja, disambut rasa haru dan gembira oleh seluruh rakyat Bulukumba.Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja sebelum kemerdekaan RI dan sesudah kemerdekaan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, ternyata membuat khawatir NICA. Apalagi, Sultan Daeng Radja menyatakan tidak bersedia bekerjasama dengan NICA. Tanggal 2 Desember 1945 NICA menangkap Andi Sultan Daeng Radja di kediamannya, Kampung Kasuara, Gantarang.Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibawa ke Makassar untuk ditahan. Pemerintah kolonial berharap, penangkapan Sultan Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat Bulukumba.

Page 29: Biografi  pahlawan

Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan beliau semakin membangkitkan perlawanan rakyat Bulukumba terhadap NICA.Para pejuang Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin. Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR.Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal 17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan hukuman pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya mendapat penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 Nopember 2006, Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara pada tanggal 9 November 2006.

SISINGAMANGARAJA

Sisingamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sisingamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Sisingamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun. Sebagaimana dengan Sisingamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim pada masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak. Pada masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak lama kemudian, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi. Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada 19 Februari 1878, serangan mulai dilancarkan pasukan Sisingamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Sisingamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige, selaku basis pasukan Sisingamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.

Page 30: Biografi  pahlawan

Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Sisingamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya. Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Sisingamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya Si Hapas Pili, mati ketika itu. Ia pun melakukan Wakil Panglima Besar (1962-1965) Ketua MPRS (1966-1972) perang gerilya. Sisingamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara. Ketika untuk kedua kalinya Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Sisingamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi dimana selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda. Pada kurun waktu itu, Sisingamangaraja XII tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Pejuang dari Aceh Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya, perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Sisingamangaraja XII. Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Sisingamangaraja menolak tawaran itu.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit melawan Belanda yang menewaskan hampir seluruh keluarganya. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Pejuang dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya bernama Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun. Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit melawan Belanda yang menewaskan hampir seluruh keluarganya. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Sisingamangaraja XII

Page 31: Biografi  pahlawan

bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Raja Sisingamangaraja XII gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumatera Utara. (Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Selain dua putra dan putrinya gugur, tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan Wakil Panglima Besar (1962-1965) Ketua MPRS (1966-1972) perang gerilya. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Sisingamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Sisingamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.

PONG TIKU

Pong Tiku dilahirkan di Pangala, Toraja, Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653

Sulawesi Selatan pada tahun 1846. Sebagai anak seorang pemimpin adat yang mempunyai

pengaruh besar di Pangala dan daerah sekitarnya, Pong Tiku sering diajak sang ayah untuk

menghadiri pertemuan dengan para pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah

untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan.

Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin adat,

kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat. Saat terjadi konflik bersenjata yang

melibatkan Pangala dan daerah Baruppu, ia mengambil alih kepemimpinan pasukan dari ayahnya

yang sudah memasuki usia senja.

Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena

Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di

sekitarnya. Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada

akhirnya peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.

Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai

menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai

alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang

dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga sulit dicapai oleh

pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu.

Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun

benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja. Persiapan yang

telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi gempuran

Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan-

Page 32: Biografi  pahlawan

kerajaan di Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653

Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil

ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan

September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian

komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada

Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua

senjatanya kepada Belanda.

Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya,

tentu saja permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda

dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke

Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906,

kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.

Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade

pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong

Tiku. Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit pun

ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan

Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.

Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding

benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap

menyebabkan peperangan tak seimbang. Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita

kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng. Pong Tiku pun

terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan

benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan

Oktober 1906.

Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya

dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri

upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan

benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng

tersebut meskipun masa gencatan senjata belum berakhir.

Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng

Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah di Raja Gowa ke-16,

dinobatkan pada tahun 1653

Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat

serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan

diri. Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat

perjuangan melawan Belanda.

Page 33: Biografi  pahlawan

Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lilikan pada

awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani

surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada dalam

tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.

Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati

Belanda di tepi Sungai Sa'dan. Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan

terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke

tangan Belanda.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Pong Tiku alias Ne'baso dianugerahi gelar Lihat Daftar

Pahlawan Nasional

pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 73/TK/Tahun 2002,

tanggal 6 November 2002.

TAN MALAKA

Tan Malaka dianggap sebagai sosok yang misterius karena kerap menggunakan nama samaran

dan kemunculannya yang tanpa bisa diduga. Seperti saat penangkapan yang dilakukan Jepang

terhadap beberapa tokoh yang dianggap anti Jepang. Salah satu tokoh yang ditangkap adalah

BM Diah, seorang Lihat Daftar Wartawan

wartawan pemimpin harian Merdeka. Tan Malaka yang kala itu menggunakan nama samaran

Husin mendatangi istri BM Diah guna menanyakan kebenaran kabar penangkapan suaminya.

Belakangan istri BM Diah baru mengetahui bahwa pria yang mengaku bernama Husin itu adalah

Tan Malaka.

Pemilik nama asli Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka ini lahir di Pandan Gading, Sumatera

Barat, 19 Februari 1896. Pendidikan formal yang ditempuhnya adalah Europese Kweekschool di

Harleem, Belanda. Setelah itu, ia mengambil kursus calon kepala sekolah di Europese

Hoofdakte Cursus. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di negeri kincir angin tersebut, ia pun

kembali ke Tanah Air.

Setibanya dari Belanda, ia menjadi pengajar di Deli, Sumatera Timur. Meski tak lagi bermukim

di Belanda, ia masih tetap menjalin komunikasi melalui surat dengan rekan-rekannya di sana.

Selain itu, ia juga produktif dalam menuangkan pemikirannya lewat tulisan. Ia banyak menulis

artikel yang dimuat dalam surat kabar berbahasa Belanda terbitan Semarang milik aliran

Bolshevick yaitu Het Vrije Woord yang berarti Kata yang Bebas.

Pada tahun 1922 terjadi pemogokan besar-besaran yang dilakukan para buruh pegadaian. Aksi

massal tersebut dipimpin oleh seorang anggota Ketua Sarekat Islam (SI)

Page 34: Biografi  pahlawan

Sarekat Islam, Suryopranoto yang kemudian mendapat julukan dari Belanda sebagai Raja

Pemogokan (Stakingkoning). Akibat dari peristiwa tersebut, sebagai salah seorang anggota

partai politik, Tan Malaka pun terkena getahnya. Ia ditangkap kemudian diasingkan ke Belanda.

Meskipun tengah menjalani masa pengasingan bukan berarti hal tersebut menghentikan

kiprahnya di dunia politik. Hal ini dibuktikan ketika ia mewakili partainya dalam Komintern Uni

Soviet.

Setelah menjalani masa pengasingan di Belanda, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1942.

Kepulangannya ke Tanah Air berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang. Sebagai seorang

anak bangsa yang peduli pada nasib kaumnya, ia pun tak tinggal diam. Ia turut berjuang

melakukan perlawanan dengan terlibat dalam gerakan bawah tanah. Ia juga menyambangi

presiden pertama RI, Soekarno. Dalam dua kali pertemuannya dengan sang proklamator itu,

Tan Malaka berhasil membuat Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)

Bung Karno terkesan dengan strategi revolusioner, terutama penekanannya pada mobilisasi

umum dan persatuan nasional. Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)

Bung Karno pun menyatakan keinginannya agar strategi Tan Malaka itu dijadikan pedoman

perjuangan bila ia dan Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956)

Bung Hatta ditangkap oleh tentara Inggris.

Bersama Mr. Subardjo, ia membujuk Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-

1966)

Presiden Soekarno supaya menandatangani semacam "testamen" atau surat wasiat yang

menyebutkan bahwa Tan Malaka sebagai ahli waris politiknya. Namun, Hatta campur tangan

dengan meminta agar nama-nama seperti Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Wongsonegoro

ditambahkan pada daftar nama-nama orang yang akan melanjutkan kepemimpinan perjuangan

kemerdekaan.

Dalam perkembangan selanjutnya testamen tersebut seakan kehilangan relevansi politiknya.

Hal tersebut dikarenakan semakin vokalnya para anggota KNIP sebagai badan perwakilan rakyat

serta keengganan pihak Inggris untuk menangkap Soekarno dan Hatta.

Di samping itu, nama Tan Malaka juga ikut dirugikan dengan disebarkannya testamen tersebut.

Pada tahun 1946, ia ditangkap dengan tuduhan menggerakkan rakyat menentang persetujuan

Linggarjati antara Belanda dan Indonesia. Rupanya itu bukan tuduhan terakhir yang ditujukan

padanya. Tak lama berselang, ia kembali dituduh terlibat dalam peristiwa kudeta terhadap

pemerintah pada tanggal 3 Juli 1946. Akan tetapi pengadilan berhasil membuktikan bahwa

dirinya tak bersalah karena tidak terlibat dalam peristiwa tersebut. Setelah menjalani

persidangan, Tan Malaka pun dibebaskan dari segala tuntutan.

Page 35: Biografi  pahlawan

Kegiatan politik Tan Malaka semakin berlanjut dengan keanggotaannya di KNI (Komite Nasional

Indonesia). Dalam komite tersebut ia menentang adanya FDR (Front Demokrasi Rakyat)

pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin yang di kemudian hari memimpin pemberontakan PKI di

Madiun. Meskipun sama-sama anggota partai tetapi berbeda aliran, Tan Malaka memandang

dirinya sebagai seorang ideolog serta lambang revolusi, bukan sebagai seorang politikus yang

aktif bekerja dalam kabinet. Karena perbedaan tersebut, ia kemudian memilih jalan sendiri

dengan mendirikan Partai Murba.

Keterlibatan pejuang yang sering dipandang misterius itu berakhir ketika kekalutan keadaan

politik Indonesia yang masih muda pada tahun 1949. Ia ditangkap pasukan gerilya pro-RI dan

ditembak mati tanpa diketahui kuburnya.

SULTAN HASANUDDIN

Muhammad Bakir atau I Mallambosi Daeng Karaeng Bonto Mangape yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin lahir di Ujungpandang tahun 1631. Ia merupakan putera kedua Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15 yang dinobatkan menjadi raja Gowa ke-16 pada tahun 1653.

Sebenarnya sebagai putera kedua, Hasanuddin tidak berhak atas tahta kerajaan Gowa. Akan tetapi, saat sang ayah mangkat pada tahun 1665, para pembesar kerajaan sepakat untuk menobatkannya sebagai Raja Gowa. Pilihan itu didasarkan atas prestasi yang dicapainya sewaktu ayahnya masih memerintah.

Sejak awal, Hasanudin memang sudah dipersiapkan untuk menjadi raja, sehingga keahlian yang berkaitan dengan pemerintahan diajarkan kepadanya. Ia sudah sering diutus oleh ayahnya ke beberapa kerajaan lain di Indonesia, seperti Banten dan Raja Kerajaan Mataram Mataram untuk mengadakan perjanjian kerja sama perdagangan dan pertahanan. Saat itu, kesultanan Gowa menguasai lalu lintas perdagangan wilayah timur Nusantara.

Pada masa pemerintahan ayahnya, Belanda sudah mendirikan beberapa kantor dagang di Kepulauan Mantan Sersan Militer Inggris Maluku dan berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah tersebut. Hal itu merupakan ancaman bagi kerajaan Gowa. Setelah Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk bersama-sama menghadapi Belanda.

Ketegangan dengan kongsi dagang Belanda memuncak ketika Hasanuddin naik tahta memerintah Gowa. Kehendak Belanda untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah menyebabkan benturan dengan kerajaan ini. Kebijakan monopoli itu sangat menyinggung kedaulatan Kerajaan Gowa dan dapat mengancam kehidupan ekonomi Kerajaan Gowa yang sebagai kerajaan maritim sangat tergantung pada usaha perdagangan. Sementara itu, beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Gowa. Arung Palakka dari Kerajaan Bone dengan dibantu Raja Soppeng mengadakan pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat dikalahkan Hasanuddin.

Sekadar catatan, ada satu hal yang patut diperhatikan dalam perjuangan Hasanudin, yaitu masalah dengan Raja Bone, Arung Palakka. Gowa dan Bone sebenarnya sama-sama bersikap

Page 36: Biografi  pahlawan

anti Belanda. Namun perlakuan pasukan Gowa yang pernah melakukan pembunuhan terhadap keluarga Raja Bone, menjadikan dendam pribadi terhadap Kerajaan Gowa, meskipun kejadian itu terjadi sebelum Hasanuddin naik tahta sebagai raja. Di pihak lain, Arung Palakka mau membantu Belanda dengan satu syarat bahwa Belanda tidak mengganggu kedaulatan Kerajaan Bone. Dengan strategi seperti itu, Bone memang berhasil mempertahankan kemerdekaannya sampai beberapa generasi. Kepandaian Belanda dalam berdiplomasi menyebabkan Bone dan kerajaan taklukan lainnya selalu dapat dimanipulasi untuk melawan kerajaan-kerajaan yang anti-Belanda. Pada tahun 1660, meletus perang antara Gowa dan Belanda. Perang itu diakhiri dengan perdamaian. Tetapi, perdamaian itu terlalu banyak merugikan Gowa. Pada tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal De Walvisch yang memasuki perairan Makassar tanpa izin karena dikejar oleh pasukan Gowa, kandas di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam disita oleh Gowa. Dua tahun kemudian kapal VOC De Leeuwin juga tenggelam di Pulau Dayang-dayang. Seratus anak buah kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan di Gowa. Untuk menyelidiki kapal tenggelam tersebut, VOC mengirim 14 orang pegawainya ke tempat kandasnya kapal tanpa memberitahu kepada sultan. Kehormatan Hasanuddin merasa dilanggar dengan tindakan tersebut sehingga para pegawai VOC itu pun ditawan lalu dibunuh.

Pada tahun 1665 Gubernur Jenderal Joan Mattsuijker mengutus Joan van Wesenhagen ke Gowa untuk berdamai dengan Hasanuddin, tetapi perundingan damai itu ditolak. Alasannya, syarat-syarat yang ditentukan VOC merugikan kerajaan Gowa. Menghadapi perlawanan itu, pada bulan November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat dari Batavia menuju Gowa. Armada itu berkekuatan 21 kapal perang dengan membawa 1.000 orang tentara, 600 di antaranya adalah serdadu Belanda. Dengan kekuatan sebesar itu pada tanggal 21 Desember 1666, Hasanuddin kembali memaklumkan perang kepada Belanda. Dalam perang ini Belanda dibantu oleh beberapa kerajaan yang dapat mereka pengaruhi. Beberapa buah benteng pertahanan Gowa yaitu Samba Opu, Panakupang, dan Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653 Ujung Pandang dihujam meriam. Serangan itu mendapat balasan dari kerajaan Gowa.

Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin ditembus sehingga ia mengubah taktik serangan. Ia menggerakkan armadanya ke Buton, tetapi di daerah pedalaman mereka mendapat perlawanan dari penduduk. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan berlayar menuju Bantaeng. Di tempat itu mereka mendapat perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi, pasukan Belanda kembali ke Buton.

Perlawanan Raja Gowa itu sepenuhnya didukung oleh kelompok bangsawan di Istana raja, ditambah dengan militansi tentara kerajaan menambah kekuatan pasukan. Tidak mengherankan bila orang Belanda menjuluki Sultan Hasanudin sebagai Haanstjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan (jago) dari Timur". Julukan ini berdasarkan kenyataan bahwa semenjak pecah perang, armada dagang Belanda di kawasan Laut Sulawesi, Laut Mantan Sersan Militer Inggris Maluku (Ternate), bahkan di Kawasan Kalimantan tidak pernah aman dari gangguan armada Raja Gowa itu.

Di perairan Buton, berkobar pertempuran, Belanda dibantu Arung Palakka. Akibatnya Gowa kewalahan. Pimpinan Gowa Karaeng Bontomaranu, Datu Luwu, dan Sultan Bima ditawan Belanda. Pertempuran berkobar kembali. Karena kekuatan tidak seimbang, Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari Banteng menuju Gowa. Karena pertempuran yang terus berkobar mendatangkan kerugian banyak di pihak Gowa, Sultan Hasanuddin bersedia membuat perjanjian dengan VOC. Perjanjian yang mengakhiri perang itu disebut Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667.

Page 37: Biografi  pahlawan

Perjanjian itu sangat merugikan Gowa. Oleh karena itu, Hasanuddin yang merasa dirinya terlalu tertekan oleh isi perjanjian itu kembali menyusun kekuatan dan pada bulan April 1668 kembali melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi di beberapa tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan yang gigih. Tetapi, akhirnya ia terpaksa mengakui keunggulan lawannya. Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat dan terakhir kerajaan Gowa, yakni benteng Sombaopu jatuh ke tangan Belanda. Sebanyak 272 buah meriam disita Belanda termasuk meriam pusaka "Anak Makassar". Dengan jatuhnya benteng tersebut, kekuatan Sultan Hasanuddin semakin lemah. Lima hari kemudian ia mengundurkan diri dari takhta kerajaan. Pemerintahan Kerajaan Gowa pun kemudian diserahkan kepada puteranya Sultan Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (1945-1946) Amir Hamzah. Namun, Hasanuddin tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670. Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Hasanuddin Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional dianugerahi gelar Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional berdasarkan SK Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973, 6 Nov 1973.

KH AHMAD DAHLAN

Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Pendiri Muhammadiyah 1912 Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia mendirikan Pendiri Muhammadiyah 1912 Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.

Pada saat Pendiri Muhammadiyah 1912 Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian Pendiri Muhammadiyah 1912 Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. 1) Atas jasa-jasa KH Pendiri Muhammadiyah 1912 Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam. Ketiga, dengan

Page 38: Biografi  pahlawan

organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian Lihat Daftar Tokoh Perempuan wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan Lihat Daftar Tokoh Perempuan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

Diasuh di Lingkungan Pesantren Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta pada masa itu.

Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya Lihat Daftar Tokoh Perempuan perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). 2)Idem

Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy.

Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta.

Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Page 39: Biografi  pahlawan

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

KAPTEN CZI TNI ANUMERTA PIERRE TENDEAN.

Meski masih muda dan berpangkat perwira pertama, nama pria kelahiran Jakarta 21 Pebruari

1939 ini layak disejajarkan dengan para seniornya yang telah perwira tinggi sebagai Lihat Daftar

Pahlawan Nasional

Pierre Tendean yang ketika itu merupakan ajudan Jenderal AH. Nasution, salah satu jenderal

yang menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan gerombolan PKI, mengaku bahwa dirinyalah

Nasution kepada gerombolan PKI demi menjaga keselamatan atasannya tersebut.

Kemiripan wajahnya dengan Jenderal AH. Nasution ditambah suasana pagi yang belum begitu

terang membuat gerombolan PKI mempercayai pengakuannya sehingga membawanya sebagai

Nasution. Dengan demikian pengejaran terhadap Jenderal AH. Nasution yang sedang melarikan

diri pun dengan sendirinya berhenti. Tindakannya tersebut menjadi salah satu faktor lolosnya

Jenderal Nasution dari penculikan dan pembunuhan tersebut. Nasution kemudian hari menjadi

satu-satunya jenderal yang bisa menjadi saksi hidup dari peristiwa berdarah tersebut.

Menjadi tentara sejak awal, sudah menjadi cita-cita dari pria yang bernama lengkap Pierre

Andreas Tendean ini. Ayahnya yang seorang dokter sebenarnya menghendakinya mengikuti

jejaknya. Namun selepas menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Bagian B di Semarang pada

tahun 1958, dia kemudian masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) yang kemudian

berganti nama menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) di Bandung.

Page 40: Biografi  pahlawan

Dengan tekad yang kuat di samping watak yang baik membuat prestasinya di militer berhasil

baik. Ketika masih menjalani pendidikan, dia sudah diangkat menjadi komandan Batalyon

Taruna serta sebagai Ketua Senat Korps Taruna. Ketika masih Kopral Taruna, dia diberikan tugas

praktek lapangan di kesatuan Zeni Tempur Operasi Saptamarga di daerah Sumatera Timur yang

ketika itu sedang mengalami Pemberontakan PRRI/Permesta.

Menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan

merupakan tugas pertamanya setelah menamatkan pendidikan Akmil Jurtek-nya pada tahun

1962. Tugas ini dipegangnya hanya setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan

Sekolah Intelijen. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah intelijen, dia pun pernah

melakukan tugas penyusupan ke wilayah Malaysia yang ketika itu sedang bermusuhan dengan

Indonesia.

Dan sejak April 1965, dia diangkat menjadi ajudan Lihat Daftar Menteri

Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/

Kasab) Jenderal AH. Nasution.

Ketika pemberontakan Gerakan 30 September PKI berlangsung dini hari 1 Oktober 1965, Pierre

sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut

membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah. Sementara gerombolan PKI yang

sudah kelabakan karena tidak menemukan Nasution yang sudah sempat melarikan diri,

kemudian bertemu dengan Pierre Tendean.

Kejelian dari seorang prajurit yang sudah mengecap pendidikan intelijen ini dengan cepat

menangkap adanya sesuatu yang membahayakan jiwa atasannya. Sehingga ketika gerombolan

PKI bertanya di mana Nasution, dia dengan meyakinkan mengatakan dirinyalah Nasution.

Kemiripan wajah Pierre dengan Nasution ditambah remang-remangnya cahaya di pagi buta itu

membuat gerombolan PKI langsung percaya bahwa Pierre adalah Nasution lalu membawanya

pergi.

Besoknya, dia bersama enam perwira lainnya ditemukan telah menjadi mayat di satu sumur tua

di daerah Lubang Buaya. Ketujuh Perwira Angkatan Darat itu kemudian dimakamkan di Taman

Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional

pahlawan Kalibata, Jakarta. Kini namanya begitu harum semerbak sebagai seorang Pahlawan

Revolusi.

Page 41: Biografi  pahlawan

Atas jasa-jasanya kepada negara, Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Andreas Tendean dianugerahi

gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia

Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, tgl 5 Oktober 1965