bimiki-edisi-2

52
BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Upload: pipitinges

Post on 20-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

bimiki

TRANSCRIPT

  • BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

  • Kata pengantar

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala yang dimiliki oleh organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI). Berkala ini ditebitkan guna memberikan informasi tentang informasi-informasi terbaru dalan dunia keperawatan dan memberikan sarana kepada mahasiswa keperawatan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya maupun artikel ilmiah yang lain.

    BIMIKI ini secara garis besar menyajikan artikel-artikel ilmiah yang bersikan informasi terbaru tentang keperawatan, termasuk di dalamnya terdapat penelitian asli, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu keperawatan dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Berkala ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa saja, namun juga insane keperawatan pada umumnya.

    Atas diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia edisi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada seluruh penulis yang berperan aktif, tim penyusun, mitra bebestari dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan berkala ini.

    Penyusun

  • Sambutan Pemimpin Umum

    Rasa syukur yang berlipat ganda, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) pada edisi kedua ini. Setelah melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang tiada henti dari semua pihak yang selalu turut memberikan dukungan atas keberhasilan BIMIKI ini. Tantangan merupakan bukan suatu penghalang kesuksesan.

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk menghasilkan berkala mahasiswa keperawatan elektronik yang memberi peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah yang berbasis ilmu dan teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukannya sebuah wadah yang mampu menjadi penampung hasil kreativitas mahasiswa khususnya terkait publikasi artikel ilmiah.

    Penerbitan berkala ini terselenggara atas kerja sama berbagai pihak, antara lain dari organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) yang diampu langsung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan dan Penelitian (PENDPEL) bekerja sama dengan HPEQ Students, serta dukungan berbagai institusi keperawatan di Indonesia. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan yang tiada akhir, dalam membangun arus keprofesionalan dalam keperawatan dengan menunjang sistem long life learning, dan menutup segala keterbatasan informasi keilmiahan terbaru bagi mahasiswa keperawatan.

    Harapan yang besar ketika keberadaan berkala ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Bermula manfaat ditujukan kepada mahasiswa keperawatan di belahan daerah Indonesia manapun, semoga berkala ini dapat mempermudah dalam mengakses informasi-informasi ilmiah terbaru, maupun wadah penampung kreativitas mahasiswa keperawatan.

    Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMIKI edisi kedua ini. Sempurna merupakan hal yang masih jauh untuk diucapkan, oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Hidup mahasiswa! Kobarkan selalu semangat muda, karena suatu saat kitalah pejuangnya.

    Susunan redaksi

    Pimpinan Utama:

    Hella Meldy Tursina

    Pimpinan Redaksi:

    Fitri Arkham Fauziah

    Sekretaris:

    Muhammad Jauhar

    Bendahara:

    Prasetyo Aji Nugroho

    Tim Redaksi:

    Ade Martiwi

    Muhammad Zulfatul Ala

    Nurita Aryakhiyati

    Weni Widya Shari

    Tim Layouter dan Tata Letak:

    Putri Darari Ardriati

    Taufik Isnanto

    Tim Promosi:

    Anisa Hidayah

    Eka Afdi Septiyono

    Nahla Jovial Nisa

  • DAFTAR ISI

    Literatur Review1. PERAWATAN LUKA DENGAN MADU MANUKA

    Nazwar Hamdani, Anita Fauzia Rahman, Deis Isyana Putri,Meilita Enggune, Yani Trihandayani...............................................................................................

    Penelitian Asli1. ANALISA PERSEPSI DAN KESIAPAN DOSEN

    FKIK UNSOED TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)Arif Eko Yuniawan1 Wastu Adi Mulyono, M.Kep2 Dwi Setiowati, M.Kep2...............................

    2. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN KETERAMPILANDETEKSI DINI PERTUMBUHAN ANAK PADA KADER POSYANDUDI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II BANTUL YOGYAKARTASuis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum..........................................................................

    3. PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGANRahma Nur Faizin, Ibrahim Rahmat, Sumarni.......................................................................................

    4. PENGARUH PEMBERIANUSAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP TINGKAT DEPRESI SISWA SEKOLAH DASARKELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN SLEMAN YOGYAKARTALindri Riahawa N., Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas Machira.................................................

    5. PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAHTERHADAP TINGKAT KECEMASAN SISWA SEKOLAH DASARKELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI SEYEGANRisma Isnaini, Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas Machira...........................................................

    Tinjauan Pustaka1. DELiMa SARANA PENYELAMATAN UNTUK DIABETIKA

    Anisa Hidayah, Erawati Werdiningsih, Nuzul Sri Hertanti, Haryani.....................................................

  • INTISARILuka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ. Bahan yang sering digunakan dalam perawatan luka adalah Sodium Klorida 0,9 %. Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun. Larutan yang juga sering digunakan untuk perawatan luka adalah larutan povodine-iodine. Dewasa ini madu mempunyai nilai penting untuk pengobatan tradisional dan dapat digunakan untuk mengurangi resiko infeksi klinik dan meningkatkan proses penyembuhan luka.

    Tujuan kajian literatur ini adalah untuk menganalisa efektivitas pengggunaan madu khususnya madu Manuka pada pasien dengan luka, mengingat adanya penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan yang dilakukan sebelumnya yang hasilnya efektif terhadap penyembuhan luka dengan menggunakan madu. Artikel didapat dari pencarian elektronik melalui MEDLINE, CINAHL, SCHOLARGOOGLE dan PROQUEST dengan kriteria inklusi jurnal yang diterbitkan dalam kurun waktu antara tahun 2002-2012 dan bisa mengakses full text. Lima jurnal yang ada menjelaskan secara konsisten mengenai manfaat madu Manuka Manuka Honey meningkatan insiden penyembuhan, lebih berkhasiat dalam pengurangan pengelupasan dan memiliki tingkat infeksi yang rendah, Penggunaan madu Manuka sebagai dressing pada perawatan luka secara statistik signifikan dalam menurunkan pH dan ukuran luka

    Kata Kunci : Madu Manuka, Perawatan Luka, Penyembuhan Luka.

    PENDAHULUANLuka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 1997). Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995). Bahan yang sering digunakan dalam perawatan luka adalah Sodium Klorida 0,9 %. Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida.

    Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium klorida atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 1999).

    Larutan yang juga sering digunakan untuk perawatan luka adalah larutan povodine-iodine. Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang dikombinasi dengan bahan lain (Lilley & Aucker, 1999). Larutan ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif, spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan residu (Sodikin, 2002). Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa kandungan fiskal dan kimiawi dalam madu, seperti kadar keasaman dan pengaruh osmotik, berperan besar membunuh kuman-kuman (Dixon, 2003). Madu memiliki sifat anti bakteri yang membantu mengatasi

    PERAWATAN LUKA DENGAN MADU MANUKA Nazwar Hamdani R1 Anita Fauzia Rahman2 Deis Isyana Putri3 Meilita Enggune4 Yani Trihandayani5

    1,2,3,4,5 Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Keperawatan FIK UNPADEmail: [email protected], [email protected]

    BIMIKILITERATUR REVIEW

  • infeksi pada luka dan anti inflamasinya dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan (Hamad, 2008).

    Beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada luka melalui peningkatan jaringan granulasidan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Suguna et al., 1992;1993; Aljady et al.,2000). Dalam Ann Plast. Surg, edisi bulan Februari 2003, dilakukan sebuah uji coba terhadap 60 orang Belanda yang terkena luka dengan berbagai jenis tipe luka. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa penggunaan madu efektiv bagi setiap orang yang sakit atau luka. Madu cepat membereskan luka dan tidak menimbulkan efek samping ketika digunakan untuk menyembuhkan luka (Syafaka, 2008). Dalam The Journal of Family Practise (2005) dikatakan bahwa proses penyembuhan luka terjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan terapi farmakologis, terbukti dalam waktu dua minggu jaringan granulasi pada luka diabetik tumbuh. Madu juga mengandung antibiotika sebagai antibakteri dan antiseptik menjaga luka. Molan (1997, dalam Saptorini, 2003) mengatakan sifat antibakteri dari madu membantu mengatasi infeksi pada perlukaan dan aksi anti inflamasinya dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan. Madu juga merangsang tumbuhnya jaringan baru, sehingga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit (Saptorini, 2003).

    Kebanyakan madu adalah monofloral, seperti contohnya Manuka honey. Beberapa lainnya mungkin berasal dari 26 floral yang berbeda, dan itu juga mempengaruhi kandungan antibakterial yang secara signifikan berbeda (Allen et al., 1991). Manuka (pohon teh) adalah tanaman kecil/ semak-semak asli dari New Zealand dan Australia Selatan. Tanaman Manuka dikenal dengan nama Maori di New Zealand, dan pohon teh adalah nama yang biasa digunakan di Australia. Tanaman Manuka mempunyai efek antibakterial dan mempunyai kandungan antibakterial yang tinggi dari madu yang dihasilkannya. Tanaman

    Manuka yang dikenal juga sebagai tanaman Maori mengandung antibakterial yang kuat dan unik yang dikenal dengan UMF (Unique Manuka Factor).

    METODE PENELITIANMetode yang digunakan dalam telaah jurnal ini adalah mengumpulkan dan menganalisis artikel-artikel penelitian mengenai terapi hipotermi pada pasien setelah henti jantung. Artikel didapat dari pencarian elektronik yang ada dalam MEDLINE, CINAHL, SCHOLARGOOGLE dan PROQUEST dengan menggunakan kata kunci spesifik untuk penyembuhan luka, perawatan luka, madu manuka. Kriteria inklusi pada review jurnal ini adalah penelitian dengan jurnal yang diterbitkan dalam kurun waktu antara tahun 2002-2012 dan studi yang bisa mengakses full text.

    HASIL DAN PEMBAHASANMenurut Gethin dan Cowman (2008) perbandingan penggunaan manuka honey dengan hydrogel dalam kemampuan pengelupasan dan penyembuhan luka pada vena ulcer yang diteliti pada 4 minggu dan 12 minggu. Setelah empat minggu, 80% (n = 86) dari semua luka mengalami penurunan pengelupasan > 50%. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada minggu ke 4 antara perlakuan dengan menggunakan manuka honey dan hydrogel. Pengurangan pengelupasan minimal 50% pada minggu 4 dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi untuk penyembuhan pada 12 minggu di semua kelompok Epithelisasi terlihat pada tahap awal pada kelompok Manuka Honey dan perbedaan ini bermakna (signifikan) secara statistik (v2 = 9.906; p = 0.042). Kelompok Manuka Honey mengalami penurunan 34% dalam ukuran rata-rata dan 13% pada kelompok Hydrogel therapy, perbedaan ini bermakna secara statistik (z =-4.609; p

  • ukuran luka. Tetapi, untuk menentukan kemanjuran agen penyembuhan harus dievaluasi selama setidaknya 12 minggu. Luka yang dirawat dengan Manuka Honey memiliki keunggulan secara statistic setelah 12 minggu pada ukuran dan durasi.

    Menurut Thomas, Hamdan, Hailes, Walker (2011) Dari total 19 pasien yang awalnya akan dijadikan sampel, dua diantaranya lost to follow up sehingga tidak bisa diikuti perkembangannya. Dari 17 pasien yang tersisa (15 pria, 2 wanita) dengan rentang usia 17-64 tahun, didapatkan hasil sebagai berikut :

    1. Rata-rata waktu saat pasien mendapatkan terapi Manuka Honey pertama kali post operasi = 93 hari

    2. Rata-rata waktu penyembuhan luka pasien setelah mndapatkan terapi Manuka Honey = 65 hari

    3. Satu orang pasien tidak dilanjutkan terapinya karena mengalami reaksi inflamasi

    4. Dua orang pasien mengalami kekambuhan kembali beberapa bulan setelah luka sembuh sempurna dengan Manuka Honey

    Terapi perawatan luka dengan Manuka Honey menunjukkan hasil yang efektif sebagai treatment untuk pasien dengan PSD kronis atau berulang, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan protokol/metode yang tepat demi mendapatkan hasil yang lebih optimal dalam penyembuhan luka post operasi.

    Menurut Coulboum, Hampton, Tadej (2009) Algivon adalah suatu Mannuronic Calcium Alginate yang mengandung antibakterial honey yang dapat melindungi dengan cara aksi de-sloughing osmotik dan mengontrol bau atau eliminasi. Exudat dari luka akan bergabung dengan madu dan alginate sehingga membentuk komplek gel honey. Hal ini akan memberikan lingkungan yang ideal untuk penyembuhan luka.

    Kandungan Manuka honey pada Algivon ini mempunyai efek osmotik yang dapat mengurangi bau pada luka dengan cara menghilangkan bakteri selama pemberian gel complex ini dan menjaga lingkungan agar tetap lembab yang dapat menunjang

    pada proses penyembuhan luka. Akan tetapi bila selama penggunaan algivon ini menimbulkan rasa yang tidak nyaman yang tidak dapat dihilangkan dengan pemberian analgetik, maka sebaiknya dressing dilepaskan dan jangan dilanjutkan.Algivon hendaknya diganti setiap hari, tetapi dressing ini juga dapat digunakan sampai dengan 7 hari. Hasil studies dari 10 pasien yang dilakukan evaluasi selama pemberian Algivon selama 2 minggu periode. Hasil evaluasi menunjukkan adanya perubahan dari luka ditinjau dari bau, nyeri, cairan luka dan proses penyembuhan. Nyeri adalah tanda yang buruk dari luka kompleks, dan bisa dimungkinkan dengan penggunaan Algivon honey ini akan meningkatkan rasa nyeri. Yang pasti, fungsi osmotik dari madu dapat berimplikasi pada nyeri luka. Dalam studi ini tidak semua kasus nyerinya dapat berkurang. Pada aktivitas bakterial saat balutan diambil pada hari pertama dan hari ke-14. Dan hasilnya tidak diragukan lagi bahwa Algivon mempunyai efek anti bakterial, sedangkan untuk cost efektiveness algivon lebih hemat bila dibandingkan dengan jenis dressing yang lainnya, karena efek dari antibakterialnya dapat mempercepat proses penyembuhan.

    Menurut Gethin, Cowman, Conroy (2008) Penurunan pH luka setelah dilakuakan perawatan mengguanakan madu Manuka secra statistik signifikan (P

  • dan makrofag dan mengontrol aktivitas enzim.Menurut Gethin dan Cowman (2005) Penelitian

    dilakukan dengan mengamati 8 kasus ulserasi kaki dengan consecutive sampling. Semua luka dibalut sekali atau 2 kali seminggu. Rata-rata ukuran luka di awal 5-62 cm2 dan diakhir perawatan setelah 4 mgg, diamati rata-rata ukuran luka menjadi 2-25 cm2. Beberapa pasien melaporkan merasa nyeri saat dioleskan madu pada luka. Secara umum efek madu sangat baik. Rata-rata berkurang nya luas area luka 54.8% setelah periode 4 minggu.

    Profesional perawat percaya bahwa penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter.P, 1998). Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Winter (1962) mengatakan bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering.

    Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering, dan ini merangsang perkembangan balutan luka modern ( Potter. P, 1998). Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis balutan le:mbab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering (Thompson. J, 2000). Rowel (1970) menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab ( Potter. P, 1998)

    Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya memakai normal saline (Dewi, 1999). Citotoxic agent seperti

    povidine iodine, asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka karena dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. (Walker. D, 1996) Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lainInfeksiInfeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.Sirkulasi (hipovolemia) dan OksigenasiSejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.HematomaHematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.Benda asingBenda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    8

  • sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus).DiabetesHambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.Keadaan LukaKeadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.UsiaAnak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.NutrisiPenyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.

    Cara Kerja Manuka HoneyPertama, madu memberikan efek osmotik pada dasar luka yaitu menarik cairan dari jaringan luka yang lebih dalam ke permukaan (Chirife et al. 1982). Proses ini membantu membersihkan dan menghilangkan jaringan devitalisasi (Chirife et al. 1982).

    Kedua, madu mempertahankan lingkungan luka tetap lembab (Condon 1993, Cooper 2001, Molan 2001), yang memfasilitasi terjadinya otolisis (Sieggreen & Malkebust 1997, Baharestani 1999, Ayello & Cuddigan 2004). Selain otolisis, Manuka Honey juga dapat menurunkan luka pH (Gethin et al. 2008). Penelitian menunjukkan penurunan yang signifikan secara statistik (p

  • yaitu Pseudomonas aeruginosa, Group A Streptococci dan Meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Didapatkan bahwa madu manuka bisa menghalangi masuknya bakteri ke dalam jaringan yang merupakan langkah penting dalam inisiasi infeksi akut. Jika madu manuka bisa mencegah masuknya bakteri ke jaringan maka hal ini akan menghalangi pembentukan biofilm, yaitu lapisan yang bisa melindungi bakteri dari antibiotik dan memungkinkannya menjadi infeksi terus menerus.

    Hasil terakhir yang didapatkan di laboratorium menunjukkan bahwa madu Manuka bisa membuat MRSA lebih sensitif terhadap antibiotik seperti oxacillin, hal ini berarti efektif membalikkan resistensi antibiotik. Ini menunjukkan bahwa antibiotik yang ada mungkin lebih efektif melawan infeksi yang sudah resisten terhadap obat jika penggunaannya dikombinasikan dengan madu manuka(Cooper, 2011). Menurut Prof Cooper bahwa menemukan kombinasi yang efektif dengan antibiotik sehingga bisa bekerja secara klinis pada pasien. Selain itu madu manuka kemungkinan tidak menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap madu.

    KESIMPULAN SARANKonsep perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat penyembuhan luka adalah dengan mempertahankan lingkungan luka tetap lembab dan dalam suasana asam (Balance Moist)Madu dapat digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka ulkus kaki, luka dekubitus,ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca operasi, serta luka bakar.

    Perlunya penelitian lebih lanjut tetatang kombinasi penggunaan antara antibiotik dengan madu untuk mempercepat proses penyembuhan luka.Perlu adanya standar operating prosedur utnuk perawatan luka dengan menggunakan madu

    DAFTAR PUSTAKA1. Bachsinar B, Bedah Minor, Hipokrates, Jakarta, 1995.2. Coulboum A, Hampton S & Tadej M, Discuss the Use of

    Algivon Dressing in the Treatment of Complex Wounds, Joumal of Community Nursing, volume 23, June 2009

    3. Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S, Pedoman Tindakan Medik dan Bedah, EGC Jakarta 2000.

    4. Gethin G and Cowman S, Manuka Honey vs. Hydrogel a Prospective, Open label, Multicentre, Randomised Controlled Trial to Compare Desloughing Efficacy and Healing Outcomes in Venous Ulcers, Jurnal/Journal of Clinical Nursing, 18, 466474, 2008

    5. Gethin G, Cowman S, Case Series of Use of Manuka Honey in Leg Ulceration. International Wound Journal, Mar; 2 (1) : 10-5, 2005

    6. Gethin G, Cowman S, Conroy R M, The Impact of Manuka Honey Dressings on the Surface pH of Chronic Wounds, International Wound Journal Vol 5 No 2, 2009

    7. Illustrated Guide, Little Brown, Boston, USA, 1992.8. Kaplan Kaplan NE, Hentz VR, Emergency

    Management of Skin and Soft Tissue Wounds, An Illustrated Guide, Little Brown, Boston, USA, 1992.

    9. Oswari E, Bedah dan perawatannya, Gramedia, Jakarta, 199310. Puruhito, Dasar-daasar Teknik Pembedahan, AUP Surabaya, 1987.11. Saleh M, Sodera VK, Ilustrasi Ilmu Bedah

    Minor, Bina Rupa Aksara, Jakarta 1991.12. Thomas M., Hamdan M, Hailes, Walker M, Manuka Honey as

    an Effective Treatment for Chronic Pilonidal Sinus Wounds, Journal of Wound care vol 2 0 , no 5 2 8 1 1 , November 2 0 1 1

    13. Thorek P, Atlas Teknik Bedah, EGC , Jakarta, 1994.14. Wind GG, Rich NM, Prinsip-prinsip

    Teknik Bedah, Hipokrates Jakarta, 1992.15. Zachary CB, Basic Cutaneous Surgery, A Primer in

    Technique, Churchill Livingstone, London GB, 1990

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    10

  • ANALISA PERSEPSI DAN KESIAPAN DOSEN FKIK UNSOED TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)

    Arif Eko Yuniawan1 Wastu Adi Mulyono, M.Kep2 Dwi Setiowati, M.Kep21 Student of Nursing Departement, Faculty of Medicine and Health Sciences, Jenderal Soedirman University, Purwokerto

    2 Basic Nursing Departement, Nursing Departement, Faculty of Medicine and Health Sciences, Jenderal Soedirman University, Purwokerto

    INTISARILatar Belakang: Interprofessional Education (IPE) dapat mendorong praktik kolaboratif untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. FKIK Unsoed telah mengenal konsep ini tetapi belum mengadopsi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti mispersepsi dan ketidaksiapan dari mahasiswa, dosen, dan pengelola. Persepsi dan kesiapan mahasiswa terhadap IPE dilaporkan sangat baik, demikian juga dengan fasilitator. Analisis persepsi dan kesiapan juga perlu dilakukan pada dosen sebagai salah satu komponen penting IPE.Tujuan: Penelitian ini menganalisis persepsi dan kesiapan dosen terhadap IPE di FKIK Unsoed.Metode: Rancangan cross sectional dipersiapakan untuk meneliti 73 sampel dosen FKIK dari jurusan kedokteran, kesehatan masyarakat, keperawatan, farmasi, kedokteran gigi, dan ilmu gizi. Interprofessional Education Perceptions Scale (IEPS) dan Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dimodifikasi dan dipakai sebagai instrumen pengukuran.Hasil: Paling banyak responden dari kedokteran (26,0%), perempuan (57,5%), pernah berkolaborasi (95,5%), dan bekerja < 10 tahun (76,7%). Persepsi (84,9%) dan kesiapan (94,5%) adalah baik dan sama diantara dosen di semua jurusan dengan nilai p 0,606 dan 0,535 secara berurutan.Kesimpulan: Persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE di setiap jurusan adalah baik. Terdapat hubungan positif yang lemah tetapi bermakna antara persepsi dan kesiapan dosen.Saran: FKIK perlu membentuk bagian khusus untuk mengelola IPE. Penelitian lanjutan perlu menggali lebih dalam tentang teknis model pembelajaran IPE.

    Kata Kunci: Interprofessional education, persepsi, kesiapan, dosen.

    ABSTRACTBackground: Interprofessional Education (IPE) improves collaborative practices that enhance service quality. The concept has been exposed, but FKIK has not adopted. Multifactors might responsible such IPE misperceived among students, lecturers, and managers. Students perceptions were reported well, so did facilitators. A similar analysis was needed for lecturers as they are IPEs important components.Objective: This research was to analyse lecturers perception and readiness for IPE at FKIK Unsoed.Method: Cross sectional design was set to investigate 73 FKIK lecturers from departments: medicine, public health, nursing, dentist, pharmacy, and nutrition. Modified Interprofessional Education Perceptions Scale (IEPS) and Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) were tested before appliying.Results: Most respondent are medicine departments lecturers (26.0%), female (57.5%), experienced collaboration (95.9%), 10 years worked (76.7%). Both perception (84.9%) and readiness (94.5%) for facilitating IPE were good and equal among lecture at departments by p value 0.606 and 0.535 respectively. There was a positive, and weak correlation but significant between perception and readiness (r: 0.302; p: 0.009)Conclusion: Lecturers of FKIK Unsoed at departments have good perception and good readiness for IPE. There was positive and weak but significant correlation between lecturers perception and readiness.Recomendation: FKIK Unsoed was recommended to develop a special department to manage IPE. Following studies were recommended to explore thoroughly for identifying technical learning model.

    Keywords: Interprofessional education, perception, readiness, lecturers.

    BIMIKIPENELITIAN ASLI

  • PENDAHULUAN Tuntutan pelayanan kesehatan yang berkualitas semakin meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Keith (2008) menyatakan kunci dari pelayanan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang efisien adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang efektif antar tenaga kesehatan.

    Salah satu upaya untuk mewujudkan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah dengan memperkenalkan sejak dini paktik kolaborasi melalui proses pendidikan (WHO, 2010). Interprofessional education (IPE) adalah salah satu konsep pendidikan terintegrasi untuk peningkatan kemampuan kolaborasi. IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program studi kesehatan yang berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan.

    Mahasiswa sudah memiliki persepsi dan kesiapan yang positif terhadap IPE. Penelitian yang dilakukan oleh Sedyowinarso dkk., (2011) menunjukkan mahasiswa kesehatan Indonesia memiliki persepsi yang baik terhadap IPE sebanyak 73,62% dan sebanyak 79,90% mahasiswa memiliki kesiapan yang baik terhadap IPE. Keberhasilan proses pendidikan interprofesional di perguruan tinggi tidak dapat terlepas dari peran dosen. Inisiatif mahasiswa untuk belajar bersama dapat terjadi jika terfasilitasi oleh lingkungannya seperti sistem dan juga tenaga dosen.

    FKIK Unsoed sudah mulai terpapar dengan IPE terbukti dari diselenggarakannya beberapa seminar nasional maupun internasional yang mengangkat tema IPE. Akan tetapi wujud konkrit penerapan IPE di FKIK Unsoed masih belum terlihat. Oleh karena itu dibutuhkan riset untuk meneliti persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE.

    METODEPenelitian dengan rancangan cross sectional dipersiapakan untuk meneliti 73 sampel dosen FKIK dari jurusan kedokteran, kesehatan masyarakat, keperawatan, farmasi, kedokteran gigi, dan ilmu gizi. Instrumen pengukuran menggunakan Interprofessional

    Education Perceptions Scale (IEPS) dan Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) yang dimodifikasi. Penelitian ini menggunakan purposive sampling yang mengacu pada kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditetapkan oleh peneliti.

    HASILAnalisis UnivariatKarakteristik RespondenResponden pada penelitian ini adalah 73 orang dosen yang terdiri dari dosen-dosen jurusan kedokteran umum, kesehatan masyarakat, keperawatan, farmasi, kedokteran gigi, dan program studi ilmu gizi.Paling banyak responden dari kedokteran (26,0%), perempuan (57,5%), pernah berkolaborasi (95,5%), dan bekerja < 10 tahun (76,7%).

    Persepsi terhadap IPEMayoritas dosen pengajar FKIK Unsoed mempunyai persepsi terhadap IPE dalam kategori baik (84,9%), 15,1% dalam kategori sedang dan tidak ada dosen dengan persepsi buruk. Secara lebih lanjut peneliti menjabarkan distribusi kategori persepsi terhadap IPE berdasarkan jurusan tempat dosen FKIK Unsoed mengajar.

    Secara berurutan persepsi dosen berdasarkan masing-masing jurusan tempat mengajar yang berada pada kategori baik mulai dari persentase yang paling tinggi adalah dosen program studi ilmu gizi (100%), jurusan farmasi (92,9%), kedokteran umum (89,5%), kedokteran gigi (85,7%), keperawatan (76,9%) dan yang terakhir kesehatan masyarakat (75%).

    Selanjutnya untuk mengetahui lebih dalam tentang persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE, dilakukan analisis terhadap komponen persepsi terhadap IPE yang meliputi 1) kompetensi dan otonomi, 2) persepsi kebutuhan untuk bekerja sama, 3) bukti bekerja sama dan 4) pemahaman terhadap profesi lain. Seluruh komponen persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE dalam kategori baik. Persentase komponen baik yang paling tinggi yaitu pada komponen bukti bekerja sama (90,4%) dan yang paling rendah yaitu pada

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 201312

  • komponen pemahaman terhadap profesi lain (63%).

    Kesiapan terhadap IPEMayoritas dosen FKIK Unsoed memiliki kesiapan terhadap IPE dalam kategori baik (94,5%). Kemudian gambaran kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan jurusan menunjukkan bahwa kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi IPE berada pada kategori baik. Secara berurutan mulai dari persentase yang paling tinggi adalah dosen jurusan farmasi (100%), kedokteran gigi (100%), kedokteran umum (94,7%), kesehatan masyarakat (93,8%), keperawatan (92,3%) dan yang terakhir program studi ilmu gizi (75%).Variabel kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE, dilakukan analisis lebih dalam pada komponen kesiapan terhadap IPE yang meliputi 1) teamwork dan kolaborasi, 2) identitas profesi dan 3) peran dan tanggung jawab. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa seluruh komponen kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE dalam kategori baik. Persentase komponen baik yang paling tinggi yaitu pada komponen teamwork dan kolaborasi (98,6%) dan yang paling rendah yaitu pada komponen peran dan tanggung jawab (63,0%).

    Analisis BivariatPerbandingan persepsi terhadap IPEUji komparatif terhadap persepsi dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan. Uji komparatif ini menggunakan uji parametrik yaitu One-Way ANOVA. Sebelum menentukan jenis uji, peneliti melakukan uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah responden pada masing-masing kelompok termasuk jumlah sampel kecil (Dahlan, 2009). Hasil uji normalitas menghasilkan sebaran data normal.

    Hasil uji menunjukkan bahwa signifikansi persepsi p > 0,05 (0,606), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan.

    Uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed

    terhadap IPE selanjutnya dilakukan berdasarkan karakteristik responden jenis kelamin, pengalaman berkolaborasi dan lama mengajar. Hasil uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan jenis kelamin dan pengalaman berkolaborasi menggunakan uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan. Uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan lama mengajar menggunakan uji Mann-Whitney juga menghasilkan tidak ada perbedaan.

    Perbandingan kesiapan terhadap IPEUji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan menggunakan uji Kruskall-Wallis karena distribusi data tidak normal. Hasil uji menunjukkan bahwa signifikansi kesiapan p> 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan.

    Uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE selanjutnya dilakukan berdasarkan karakteristik responden jenis kelamin, pengalaman berkolaborasi dan lama mengajar. Hasil uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan jenis kelamin dan lama mengajar menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan. Uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan pengalaman berkolaborasi menggunakan uji t tidak berpasangan juga menghasilkan tidak ada perbedaan.

    Hubungan antara persepsi dan kesiapanData nilai persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berupa data numerik yang terdistribusi normal dilakukan uji korelatif untuk menilai seberapa kuat hubungan di antara kedua variabel tersebut. Jenis uji yang digunakan yaitu uji Pearson Product Moment. Hasil uji diperoleh nilai sig 0,009 yang menunjukkan bahwa korelasi antara nilai persepsi dan kesiapan adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar 0,302 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah.

    ---Arif Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013 13

  • PEMBAHASANAnalisis UnivariatKarakteristik respondenPembagian karakteristik responden mengacu pada penelitian serupa yang dilakukan oleh Curran et al (2007). Hasil penelitian menyebutkan dari beberapa jenis karakteristik yang berhubungan dengan sikap dan kesiapan dosen pengajar terhadap keja sama interdisipliner dan IPE adalah jenis kelamin dan pengalaman bekerja kolaborasi interdisipliner sebelumnya (Curran, et al 2007). Sejalan dengan Turner (1999) yang menyebutkan bahwa latar belakang profesi memengaruhi kesiapan terhadap IPE.

    Menurut Thoha (2004) dalam Fauziah (2010) perbedaan karakteristik responden menyebabkan perbedaan dalam memersepsikan sesuatu, termasuk persepsi terhadap IPE. Menurut Hawk (2002) perbedaan latar belakang profesi dapat mempengaruhi persepsi terhadap IPE. Hal ini terlihat dari penelitian yang mengatakan terdapat perbedaan persepsi yang bermakna berdasarkan jenis profesinya (p=0,001).

    Persepsi terhadap IPEHasil pengukuran persepsi menunjukkan bahwa mayoritas dosen pengajar FKIK Unsoed mempunyai persepsi terhadap IPE dalam kategori baik (84,9%), sebanyak 15,1% responden memiliki persepsi dalam kategori sedang dan tidak ada satu pun dosen FKIK Unsoed yang memiliki persepsi yang buruk terhadap IPE. Pengkuran persepsi menggunakan 18 pernyataan dengan pilihan Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Pernyataan yang mendekati sangat setuju diantaranya yaitu Orang-orang dalam profesi saya membutuhkan kontribusi dari profesi lain dalam bekerja, Orang-orang dalam profesi saya merupakan orang-orang yang terampil, Orang-orang dalam profesi saya senang untuk berbagi informasi dan pengetahuan dengan profesi lain dan Orang-orang dalam profesi saya berusaha untuk memahami kemampuan dan kontribusi dari profesi lain.

    Hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa dosen FKIK Unsoed memiliki kepercayaan diri dengan kompetensi

    dan otonomi profesinya dan menunjukkan setiap profesi kesehatan membutuhkan kerja sama dengan profesi lain, serta menunjukkan pemahaman yang baik terhadap profesi lain. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suter et al (2009) menyatakan profesi kesehatan di kota Alberta, Edmonton dan Canada mempunyai persepsi yang positif terhadap pentingnya pemahaman terhadap profesi lain.

    Nilai rerata keempat komponen persepsi menunjukkan bahwa komponen pemahaman terhadap profesi lain memiliki rerata yang paling rendah. Sejalan dengan Cameron et al (2009) dalam Fauziah (2010) menunjukkan peserta IPE Faculty Development Course in May 2006 mempunyai persepsi yang positif terhadap IPE, tetapi pemahaman terhadap profesi lain mempunyai persentase terendah. Menurut Hall (2005) kurang maksimalnya pemahaman terhadap profesi lain disebabkan masih adanya kerancuan peran di antara profesi kesehatan seperti dokter dan perawat. Oleh karena itu penerapan IPE dalam sistem pembelajaran diharapkan dapat memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing profesi (Fauziah, 2010).

    Kesiapan terhadap IPEHasil pengukuran kesiapan dosen FKIK Unsoed mayoritas mempunyai kesiapan terhadap IPE dalam kategori baik (94,5%), lebih dari tujuh belas kali lipat dari jumlah dosen yang berada pada kategori kesiapan sedang (5,5%) dan tidak ada dosen yang berada pada kategori kesiapan buruk. Menurut Barr (1998) dosen dengan kesiapan yang baik untuk memfasilitasi IPE akan lebih membantu mahasiswa untuk mencapai kompetensi IPE yang diharapkan.

    Pengukuran kesiapan menggunakan 19 pernyataan dengan pilihan Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Dari pernyataan tersebut diketahui jawaban responden yang mendekati sangat setuju diantaranya yaitu kemampuan kerja sama tim merupakan hal yang sangat penting, belajar bersama mahasiswa profesi kesehatan lain akan membantu mahasiswa menjadi anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih baik. Sementara jawaban tidak setuju muncul pada

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 201314

  • pernyataan tidak penting bagi mahasiswa profesi kesehatan untuk belajar bersama dan saya tidak mau membuang-buang waktu saya untuk mendidik mahasiswa profesi lain. Jawaban responden tersebut menunjukkan bahwa dosen FKIK Unsoed menyadari pentingnya untuk belajar berkolaborasi.

    Hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran IPE ini adalah kejelasan standar kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga adanya IPE akan memperjelas kontribusi setiap profesi kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh Sedyowinarso (2011) bahwa meskipun IPE dirancang untuk kelompok, pada akhirnya bertujuan untuk pengembangan masing-masing individu.

    Komponen kesiapan IPE dibagi menjadi tiga komponen. Secara berurutan nilai rata-rata komponen kesiapan yang paling tinggi adalah komponen teamwork dan kolaborasi (98,6%), kemudian identitas profesi (90,4%) dan terakhir adalah komponen peran dan tanggung jawab (63%). Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryakhiyati (2011) yang menunjukkan komponen teamwork dan kolaborasi memiliki nilai tertinggi sedangkan peran dan tanggung jawab memiliki nilai terendah pada dosen FK UGM.

    Nilai tertinggi yang ditunjukkan pada komponen teamwork dan kolaborasi dapat diasumsikan bahwa dosen FKIK Unsoed telah menyadari bahwa dengan model pemebalajaran terintegrasi seperti IPE ini dapat menjadikan mahasiswa siap untuk bekerja dalam tim. Sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa dalam IPE, diharapkan setiap mahasiswa memiliki kemampuan untuk: 1) berbagi sumber daya, keahlian dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama dalam praktik kolaboratif, 2) membangun komitmen dan mempertahankan partisipasi dalam suatu tim interprofesional, 3) mengenali saat ada ketidak sesuaian dalam praktik kolaborasi tersebut, 4) mengatasi masalah dan konflik menggunakan teknik penyelesaian masalah dan manajemen konflik yang

    tepat, 5) menggunakan pengambilan keputusan yang sesuai dengan tim kolaborasi (Interprofessional Education Consortium, 2002 dalam Fauziah, 2010)

    Nilai rendah yang ditunjukkan pada komponen peran dan tanggung jawab dapat diasumsikan bahwa pemahaman antar profesi kesehatan tentang peran masing-masing profesi kesehatan pada dosen FKIK Unsoed perlu ditingkatkan. Pemahaman tentang peran dan tanggung jawab masing-masing profesi membuat profesional di bidang kesehatan akan memahami apa yang sebenarnya akan dilakukan tiap-tiap profesi dalam pekerjaannya (Gilbert et al, 2005). Dengan mengetahui peran dan tanggung jawab setiap profesi, maka pelaksana pembelajaran IPE akan semakin siap untuk bekerja bersama dalam tim (Morison et al, 2003).

    Analisis BivariatPerbandingan persepsi terhadap IPEUji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi berdasarkan kelompok jurusan dan karakteristik responden. Hasil uji One-Way ANOVA persepsi dosen FKIK Unsoed berdasarkan jurusan tempat mengajar menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE dengan signifikansi persepsi > 0,05 yaitu 0,606.

    Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2010) yang menyebutkan tidak ada perbedaan persepsi mahasiswa profesi pendidikan dokter dan ilmu keperawatan terhadap IPE. Meichati (2006) dalam Fauziah (2010) menyebutkan bahwa luas dan kualitas persepsi dipengaruhi oleh perhatian dan pengalaman masa lalu. Tidak adanya perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed dimungkinkan karena dosen FKIK Unsoed telah terpapar dengan model pembelajaran IPE melalui kegiatan seminar yang dilakukan pihak fakultas. Selain itu data dari bagian kepegawaian FKIK Unsoed menunjukkan bahwa beberapa dosen juga mengajar di beberapa jurusan yang berbeda.

    Hasil uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed berdasarkan karakteristik jenis kelamin (p=0,859), pengalaman berkolaborasi (p=0,802) dan lama

    ---Arif Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013 15

  • mengajar (0,729) menunjukkan tidak ada perbedaan. Menurut Anderson et al (2006) menyatakan bahwa dosen dengan pengalaman mengajar lebih sedikit akan lebih peduli pada pekerjaan mengajar bersama dengan mahasiswa yang mendukung proses belajar dan diskusi. Dalam kondisi ini peran dosen sebagai role model sangat penting untuk memastikan mahasiswa merasa nyaman dalam pembelajaran IPE (Forte et al, 2009).

    Perbandingan kesiapan terhadap IPEUji komparatif dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE antara keenam kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukkan nilai p>0,05 yaitu 0,535 yang dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi IPE yang bermakna antara dua kelompok jurusan tempat mengajar. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Aryakhiyati (2011) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p= 0,032, kemudian dilakukan uji analisis Post Hoc yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata nilai kesiapan dosen kedokteran dan keperawatan serta perbedaan kesiapan rerata nilai kesiapan dosen kedokteran dan gizi.

    Penerapan IPE sangat membutuhkan role model yaitu dosen pendidik yang berkomitmen terhadap IPE dan lingkungan pembelajaran yang mendukung terciptanya teamwork dan mampu menggabungkan teori dan prakatik (Gaudet et al, 2007 dalam Aryakhiyati, 2011). Kesiapan yang baik dari seluruh dosen FKIK Unsoed terhadap IPE merupakan potensi FKIK Unsoed untuk mengembangkan model pembelajaran IPE ini.

    Hasil uji komparatif nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi IPE berdasarkan karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, pengalaman berkolaborasi dan lama mengajar menunjukkan tidak ada perbedaan nilai kesiapan yang bermakna. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Curran et al (2007) yang menyatakan terdapat perbedaan kesiapan dosen yang bermakna antara dosen laki-laki dan perempuan,

    dengan dosen perempuan memiliki rerata nilai sikap yang lebih tinggi secara bermakna. Penelitian yang dilakukan Aryakhiyati (2011) menunjukkan adanya perbedaan rerata nilai kesiapan dosen FK UGM yang bermakna berdasarkan pengalaman mengajar.

    Hubungan persepsi dan kesiapanUji korelatif persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE menggunakan uji Pearson Product Moment karena jenis data penelitian ini berupa numerik yang terdistribusi normal. Uji Pearson digunakan untuk menilai seberapa kuat hubungan di antara kedua variabel tersebut. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p< 0,05 yang dapat diinterpretasikan terdapat korelasi yang bermakna antara kedua variabel. Nilai korelasi Pearson sebesar 0,302 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah. Hubungan yang muncul di antara kedua variabel ini dapat terjadi karena adanya persamaan komponen di antara keduanya, yaitu komponen bukti bekerja sama dengan teamwork dan kolaborasi.

    Salah satu outcome yang diharapkan dalam penerapan IPE adalah terjadinya teamwork dan kolaborasi yang kuat antar profesional kesehatan dari disiplin ilmu yang berbeda. Responden dalam penelitian ini mayoritas mempersepsikan bahwa pembelajaran terintegrasi akan meningkatkan penerapan kolaborasi interdisipliner dalam tatanan klinik yang akan membantu mahasiswa untuk siap menjadi tim pelayanan kesehatan yang lebih baik, sehingga dosen FKIK Unsoed menyatakan sangat terbuka dan siap untuk mengajar pada kelompok belajar mahasiswa dari profesi kesehatan yang berbeda-beda.

    Persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed yang menunjukkan kategori baik berdasarkan hasil pengukuran menggunakan modifikasi instrumen IEPS dan RIPLS merupakan nilai positif bagi FKIK Unsoed ketika akan menerapkan model pembelajaran IPE lebih lanjut. Tahapan selanjutnya yang akan dilakukan oleh FKIK Unsoed adalah tahap bergerak (moving) sebagaimana teori berubah. Kurt Lewin (1951) dalam Hidayat (2008) menyatakan bahwa pada tahap moving ini terjadi apabila seseorang telah

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 201316

  • memiliki informasi yang cukup serta kesiapan untuk berubah. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa FKIK Unsoed sudah dapat untuk mulai menerapkan model pembelajaran IPE karena telah memiliki persepsi dan kesiapan yang baik terhadap IPE.

    Kekuatan korelasi yang lemah (0,302) berdasarkan hasil uji Pearson antara variabel persepsi dan kesiapan menunjukkan bahwa untuk membentuk kesiapan yang baik dalam penerapan IPE di FKIK Unsoed yang menjadi perhatian lebih lanjut bukan lagi membentuk persepsi dosen, melainkan faktor-faktor lain juga yang mempengaruhi penerapan IPE di institusi pendidikan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Sedyowinarso (2011) mengungkapkan bahwa hal yang harus dipersiapkan untuk menerapkan IPE adalah dimulai dengan penyamaan pemahaman mengenai IPE sehingga terbentuknya kesepakatan antar fakultas profesi kesehatan dan sinkronisasi birokrasi serta bagian administrasi khusus untuk mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran IPE. Selain itu ditindaklanjuti dengan menyediakan fasilitas, pengajar, standar kurikulum dan penyelenggaraan IPE. Kemudian perlu adanya dukungan secara eksternal yaitu kebijakan dan regulasi dari universitas maupun pemerintah bagian terkait. Kerja sama dengan mitra lahan praktik pun perlu direncanakan secara detail.

    KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:Responden terbanyak berasal dari dosen pengajar jurusan kedokteran umum. Mayoritas responden perempuan, memiliki pengalaman berkerja dalam tim multiprofesi, dan bekerja kurang dari 10 tahun.Mayoritas dosen FKIK Unsoed memiliki persepsi baik terhadap IPE dan tidak ada nilai persepsi yang buruk.

    Kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi pembelajaran IPE mayoritas baik tanpa ada kategori buruk. Tidak terdapat perbadaan bermakna baik dalam persepsi maupun kesiapan dosen terhadap IPE berdasarkan karakteristik jurusan, pengalaman berkolaborasi,

    jenis kelamin, maupun pengalaman kerja.Terdapat hubungan positif yang lemah antara

    persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE. Uji kemaknaan menunjukkan hubungan yang bermakna antara kedua. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan perhatian terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhi IPE selain persepsi untuk meningkatkan kesiapan FKIK Unsoed dalam menerapkan IPE.

    SARANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan yang dibuat, beberapa saran dari peneliti terkait IPE adalah:

    Institusi pendidikan disarankan untuk mulai mengembangkan model pembelajaran IPE dalam kurikulum pendidikan karena tidak ada resistensi akibat persepsi yang buruk, selain itu mayoritas dosen sudah memiliki kesiapan yang baik. Agar model pembelajaran IPE dapat berkembang di FKIK Unsoed, sebuah bagian khusus diperlukan untuk mengelola dan melakukan manajemen terhadap pelaksanaan IPE. Aplikasi IPE dalam kurikulum dan pengelolaannya dapat mencontoh University of Queensland.

    Penelitian selanjutnya, diharapkan menggali lebih dalam mengenai model pembelajaran IPE secara kualitatif dan mengembangkan teknik-teknik dan metode pelaksanaannya. Penerapan IPE dalam kurikulum pendidikan memerlukan penjelasan teknis dalam aplikasinya agar IPE dapat berjalan secara efektif dan efisien.

    DAFTAR PUSTAKA1. Anderson, E., Manek, N., & Davidson, A. (2006). Evaluation

    of model for maximizing interprofessional education in an acute hospital. Journal of Interprofessional Care; 20(2): 182-194.

    2. Aryakhiyati, N. (2011). Analisis sikap dan kesiapan dosen fk ugm terhadap interprofessional education (IPE). Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

    3. Barr, H. (1998). Competent to collaborate: Towards a competency-based model for interprofessional education. Journal of Interprofessional Care 12: 181-187.

    4. Curran, V.R. Deacon, D.R. & Fleet, L. (2007). Attitudes of health sciences faculty members towards interprofessional teamwork and education. Blackwell Publishing, Learning in Health and Social care, 7 (3):145-156.

    5. Fauziah, F.A. (2010). Analisis gambaran persepsi dan kesiapan mahasiswa profesi FK UGM terhadap interprofessional education di tatanan pendidikan klinik. Skripsi Program Studi Ilmu

    ---Arif Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013 17

  • Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.6. Forte, A. & Fowler, P. (2009). Participation in interprofessional

    education : An evaluation of student and staff experiences. Journal of Interprofessional Care, 23(1): 58-66.

    7. Gilbert, J.H.V. (2005). Interprofessional education for collaborative, Patient-Centered Practice. Nursing Leadership volume 18 number 2.

    8. Hall, P. (2005). Interprofessional teamwork: Professional cultures as barriers. Journal of Interprofessional Care Suplement 1: 188-196.

    9. Hawk, C., Buckwalter, K., Byrd, L., Cigelman, S., Dofman, L., Ferguson, K., (2002). Health professions students perceptions of interprofessional relationships. Academic Medicine, 77(04): 354-357.

    10. Hidayat, A. A. A. (2008). Pengantar konsep dasar keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

    11. Morison, S., Boohan, M., Moutray, M., & Jenkins, J. (2004). Developing pre-qualification inter-professional education for nursing and medical medical students: sampling student attitudes to guide development. Nurse Education in Practice 4: 20-29.

    12. Sedyowinarso, M., Fauziah, F. A., Aryakhiyati, N., Julica, M. P., Sulistyowati, E., Masriati, F. N., Olam, S. J., Dini, C., Afifah, M., Meisudi, R., & Piscesa, S. (2011). Persepsi dan kesiapan mahasiswa dan dosen profesi kesehatan terhadap model pembelajaran pendidikan interprofesi. Proyek HPEQ-Dikti.

    13. Suter, E., Arndt, J., Arthur, N., Parboosingh, J. Taylor, E., & Deutschlander, S., (2009). Role understanding and effective communication as core competencies for collaborative practice. Journal of Interprofessional Care 23(1): 41-51.

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 201318

  • HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN KETERAMPILAN DETEKSI DINI PERTUMBUHAN ANAK PADA KADER POSYANDU DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II BANTUL

    YOGYAKARTASuis Galischa Wati 1), Sri Hartini 2), Ema Madyaningrum 2)

    1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM

    INTISARILatar Belakang: Deteksi dini gangguan pertumbuhan anak merupakan salah satu program posyandu untuk mengurangi angka kematian anak di Indonesia, termasuk di Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta. Keterampilan kader dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan deteksi ini. Teori sebelumnya menyebutkan bahwa keterampilan turut dipengaruhi oleh pengetahuan dan motivasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader.Tujuan: Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak di Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta.Metode: Penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Dilaksanakan pada bulan November 2012. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan dilakukan pada satu waktu. Subjek penelitian berjumlah 41 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Cluster dan Proportional sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Pearson Product Moment.Hasil: Kader poyandu (n=41) rata-rata memiliki tingkat pengetahuan sedang (61%), tingkat motivasi tinggi (61%), dan tingkat keterampilan sedang (65,9%). Hasil perhitungan hubungan antara pengetahuan dan keterampilan kader didapatkan rho=0.789 dan p=0,01; hasil perhitungan hubungan antara motivasi dan keterampilan didapatkan nilai p=0.969.Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan kader; tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan keterampilan kader.

    Kata kunci: pertumbuhan anak, pengetahuan, motivasi, keterampilan, posyandu.

    ABSTRACTBackground: Early detection of childrens growth is one of posyandus program to minimizing child mortality in Indonesia, including in Sewon II Health center. Skills of posyandu cadres considered as a factor affecting the success rate of detection. Previous theory states that skills influenced by the knowledge and motivation. Therefore it is necessary to do research about relationship between knowledge and motivation with cadres skills.Objective: Identify association between knowledge and motivation with skills of posyandu cadres in early detection of children growth at Sewon II Health Center Bantul, Yogyakarta. Method: The study was a descriptive correlation with cross sectional design. Data were obtained through questionnaire and observation was undertaken at one time, in November 2012. Subject of the study involving 41 respondents. Samples were taken through cluster and proportional sampling techniques. Bivariate analysis used Pearson Product Moment test.Result: Posyandu cadres (n=41 people) had average knowledge (61%), high motivation (61%), and average skills (65.9%). Score of correlation between knowledge and skills was rho = 0.789 and p = 0.01; score of correlation between motivation and skills was p = 0.969.Conclusion: There was significant association between knowledge and skills; there was no significant association between motivation and skills of cadres.

    Keywords: Children growth, knowledge, motivation, skill, posyandu.

    BIMIKIPENELITIAN ASLI

  • PENDAHULUANHasil survei Badan Pusat Statistik di tahun 2010 menyatakan bahwa dari total jumlah penduduk di Indonesia 22.960.000 diantaranya adalah balita, yakni mencapai 10% dari total jumlah populasi. Sayangnya peningkatan jumlah tersebut tidak selalu diimbangi dengan peningkatan kualitas kesehatan pada balita, salah satunya dalam aspek pertumbuhan, dimana dari tahun ke tahun permasalahan mengenai pertumbuhan balita di Indonesia masih saja ditemukan. Pada tahun 2000-2003 prevalensi balita dengan kasus gizi kurang tercatat sebanyak 26,1%, 27,3%, dan 27,5% sedangkan survey pada tahun 2010 menunjukkan 17,9% anak di Indonesia menderita gizi kurang, 4,9% gizi buruk, 17,1% gangguan pertumbuhan pendek, dan 18,5% sangat pendek 4.

    Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan anak merupakan bagian dari kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) oleh Departemen Kesehatan RI. Tujuannya adalah untuk mendeteksi secara dini gangguan pertumbuhan pada anak sehingga dapat dilakukan intervensi lebih awal5. Deteksi ini dilakukan dengan cara pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala sesuai dengan jadwal deteksi. Semakin awal tanda dan gejala gangguan pertumbuhan tersebut diketahui maka akan semakin mudah pula penanganannya. Deteksi ini biasa dilakukan mulai dari tingkat pelayanan kesehatan dasar salah satunya adalah posyandu.

    Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan strategi jangka panjang pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian anak di Indonesia salah satunya dengan melaksanakan deteksi dini pertumbuhan6. Saat ini terdapat sebanyak 266.827 posyandu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan 5.654 diantaranya terdapat di provinsi D.I.Yogyakarta6. Pada kenyataannya pelaksanaan deteksi dini pertumbuhan anak oleh kader posyandu saat ini belum optimal. Dari keseluruhan jumlah anak balita di Indonesia hanya sekitar 26,8% yang dilakukan penimbangan secara rutin, 49,4% dilakukan 4 kali penimbangan dalam 6 bulan, dan

    3,8% diantaranya bahkan tidak pernah ditimbang dalam kurun waktu 6 bulan terakhir4. Mahmudiono menyebutkan bahwa 61% kader posyandu dibeberapa wilayah kurang teliti dan 97% tidak akurat dalam melakukan penimbangan8. Kegiatan posyandu kian meredup dan kualitasnya mengalami penurunan, dari total jumlah posyandu yang ada di Indonesia saat ini hanya 50% saja yang diperkirakan masih aktif dengan tingkat partisipasi 40-60%9. Tinggi rendahnya mutu pelayanan posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan kader posyandu sebagai penggerak dan pelaksana kegiatan posyandu10. Motivasi atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu tindakan juga dapat berpengaruh pada perilakunya11.

    Puskesmas Sewon II terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di wilayah tersebut terdapat sebanyak 46 posyandu balita yang dibagi kedalam dua wilayah yakni 22 posyandu dari wilayah Bangunharjo dan 24 posyandu dari wilayah Panggungharjo dengan kader rata-rata berjumlah 5 orang disetiap posyandunya. Penimbangan balita dilakukan secara rutin setiap satu bulan sekali dengan jadwal kunjungan puskesmas antara tanggal 1-23. Kader posyandu di wilayah tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai deteksi dini pertumbuhan anak. Selain itu di wilayah tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak.

    Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenaiHubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Keterampilan Deteksi Dini Pertumbuhan Anak pada Kader Posyandu di Wilayah Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta.

    METODEPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Dilaksanakan di Griya Lare Utami (Children House) wilayah Dusun Bakung Bangunharjo Sewon Bantul

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    20

  • dengan jumlah responden sebanyak 41 kader, 20 responden berasal dari Desa Bangunharjo dan 21 responden berasal dari Desa Panggungharjo, pada bulan November 2012. Sebagai responden penelitian adalah mereka yang memenuhi kriteria inklusi: berusia 30-50 tahun, berpendidikan minimal SMP, dan bersedia menjadi responden penelitian. Sebagai kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: kader posyandu yang tidak mengikuti kegiatan penelitian secara keseluruhan. Teknik pengambilan sampel menggunakan Cluster dan Proportional sampling. Untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji Product Moment dari Pearson dengan mengorelasikan skor dari masing-masing variabel. Untuk mengukur tingkat pengetahuan kader digunakan kuesioner yang dibuat oleh peneliti berdasarkan buku panduan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK)5 yang telah diuji validitas sebanyak 21 item pertanyaan dengan skor berkisar antara 0-21. Pengetahuan dikatakan rendah jika skor < 12, sedang jika skor 12-16, dan tinggi jika skor>1631. Motivasi diukur dengan menggunakan kuesioner motivasi dari Uno12 sebanyak 13 item pertanyaan dengan rentang skor antara 13-52. Motivasi dikatakan rendah jika skor < 39, sedang jika skor 39 x < 49, tinggi jika 4929. Tingkat keterampilan kader diukur dengan menggunakan instrumen berupa checklist yang terdiri dari 15 poin sesuai dengan buku panduan SDIDTK5 dengan skor berkisar antara 0-15. Apabila skor40-50 tahun 19 46,3 Jumlah 41 100 Tingkat SMP 13 31,7 Pendidikan SMA/Sederajat 22 53,7 D3/Sarjana 6 14,6 Jumlah 41 100 Lama menjadi 5 tahun 26 63,4 Kader > 5 tahun 15 36,6 Jumlah 41 100

    Sumber : Data Primer

    Distribusi kader posyandu berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 2 dan distribusi kader posyandu berdasarkan karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

    Tabel 2. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan tingkat pengetahuan November 2012 (n=41)

    Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) Rendah 8 19, 5

    Sedang 25 61 Tinggi 8 19, 5 Jumlah 41 100

    Sumber : Data primer Tabel 3. Distribusi tingkat pengetahuan berdasarkan karakteristik kader posyandu

    di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n=41) Karakteristik Responden Tingkat Pengetahuan Jumlah Rendah Sedang Tinggi F(%) F % F % F % Umur 30-40 tahun 3 7,3 14 34,1 5 12,2 22(53,7%) >40-50 tahun 5 12,2 11 26,8 3 7,4 19(46,3%)

    Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%) Tingkat SMP 5 12,2 8 19,5 0 0 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 3 7,3 14 34,1 5 12,2 22(53,7%)

    D3/Sarjana 0 0 3 7,3 3 7,4 6(14,6%) Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%) Lama menjadi 5 tahun 2 4,9 17 41,4 7 17,2 26(63,4%) Kader > 5 tahun 6 14,6 8 19,5 1 2,4 15(36,6%) Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%)

    Sumber : Data primer

    Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kader paling banyak memiliki tingkat pengetahuan sedang dengan rata-rata skor: 13,78 2,57 SD.

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum---

    21

  • Berdasarkan olah data diketahui bahwa sebanyak 61% kader memiliki tingkat motivasi tinggi dalam deteksi dini pertumbuhan anak dengan rata-rata skor: 44,05 4,52SD. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

    Tabel 4. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II berdasarkan tingkat motivasi November 2012 (n=41)

    Tingkat Motivasi Frekuensi Persentase (%) Rendah 0 0

    Sedang 16 39 Tinggi 25 61

    Jumlah 41 100 Sumber : Data primer

    Data mengenai distribusi tingkat motivasi berdasarkan karakteristik kader posyandu selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:

    Tabel 5. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan karakteristik kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n = 41).

    Karakteristik Responden Tingkat Motivasi Jumlah Rendah Sedang Tinggi F(%) F % F % F % Umur 30-40 tahun 0 0 11 26,8 11 26,8 22(53,7%) >40-50 tahun 0 0 5 12,2 14 34,1 19(46,3%) Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%)

    Tingkat SMP 0 0 6 14,6 7 17,1 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 0 0 9 22 13 31,7 22(53,7%)

    D3/Sarjana 0 0 1 2,4 5 12,2 6(14,6%) Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%)

    Lama menjadi 5 tahun 0 0 11 26,8 15 36,6 26(63,4%) Kader > 5 tahun 0 0 5 12,2 10 24,3 15(36,6%) Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%) Sumber : Data primer

    Keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak paling banyak berada pada tingkat sedang dengan rata-rata skor: 11,83 2,07 SD. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

    Kader yang memiliki keterampilan sedang tersebut paling banyak berusia 30-40 tahun, berpendidikan SMA/Sederajat, dan telah menjadi kader selama 5 tahun. Distribusi keterampilan berdasarkan karakteristik kader posyandu selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

    Tabel 7. Distribusi tingkat keterampilan berdasarkan karakteristik kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n=41).

    Karakteristik Responden Tingkat Keterampilan Jumlah Rendah Sedang Tinggi F(%) F % F % F % Umur 30-40 tahun 4 9,8 14 34,1 4 9,8 22(53,7%) >40-50 tahun 3 7,3 13 31,7 3 7,3 19(46,3%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%) Tingkat SMP 4 9,8 9 22 0 0 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 2 4,9 16 39 4 9,8 22(53,7%)

    D3/Sarjana 1 2,4 2 4,8 3 7,3 6(14,6%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%) Lama menjadi 5 tahun 5 12,2 15 36,6 6 14,7 26(63,4%) Kader > 5 tahun 2 4,9 12 29,2 1 2,4 15(36,6%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%)

    Sumber : Data primer

    Hasil uji korelasi antara pengetahuan dengan keterampilan kader posyandu menunjukkan nilai p = 0,01 dengan nilai r = 0,789. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

    Tabel 8. Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan kader di wilayah Puskesmas Sewon II dalam deteksi dini pertumbuhan anak (n=41)

    Variabel independen Variabel dependen r p Pengetahuan Keterampilan 0,789 0, 01

    *Pearson Product Moment test

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    22

    Tabel 6. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan tingkat keterampilan

    Tingkat Keterampilan Frekuensi Persentase (%) Rendah 7 17, 05

    Sedang 27 65, 9 Tinggi 7 17, 05 Jumlah 41 100

    Sumber : Data primer

  • Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini ditemukan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dan memiliki kekuatan korelasi yang kuat dengan arah korelasi positif yang berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan kader maka semakin tinggi pula tingkat keterampilan kader.

    Hasil analisis data mengenai hubungan antara motivasi dengan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak, didapatkan hasil sesuai dengan tabel 9. sebagai berikut:

    Tabel 9. Hubungan antara tingkat motivasi dengan keterampilan kader di wilayah Puskesmas Sewon II dalam deteksi dini pertumbuhan anak (n=41)

    Variabel independen Variabel dependen p Motivasi Keterampilan 0, 969

    *Pearson Product Moment test

    Data tersebut menunjukkan bahwa nilai p = 0,969. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara motivasi dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak.

    PEMBAHASANKarakteristik RespondenHasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniasih15 yang didukung oleh pernyataan Latief et al. 26 yang menyebutkan bahwa 71% kader posyandu rata-rata berusia 40 tahun. Menurut Hurlock17 usia 30-40 tahun merupakan usia dewasa awal yang merupakan masa penyesuaian diri dan memanfaatkan kebebasan yang dimilikinya. Anderson dalam Meppiere27

    mengungkapkan pada tahap tersebut seseorang mulai memiliki kematangan psikologis dan mulai berorientasi pada tugas, memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya, dan kemauan untuk belajar.

    Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui bahwa responden paling banyak berpendidikan SMA/Sederajat (53,7%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa 57% kader posyandu berpendidikan SMA/Sederajat13.

    Utomo28 juga menyebutkan bahwa 47% kader posyandu di Yogyakarta berpendidikan SMA/Sederajat.

    Dalam penelitian ini responden paling banyak telah bekerja sebagai kader posyandu selama 5 tahun (63,4%) dengan rata-rata lama menjadi kader 5,78 tahun 1,036 SD. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kader posyandu di wilayah tersebut tergolong baru karena menurut Enardi6 kader posyandu dikatakan baru apabila mereka memiliki masa kerja di posyandu 5 tahun dan dikatakan lama apabila mereka sudah bekerja di posyandu > 5 tahun.

    Pengetahuan KaderHasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa 59,1% dan 60% kader posyandu rata-rata memiliki tingkat pengetahuan sedang mengenai standar pemantauan pertumbuhan anak12,13. Sebagian besar responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang tersebut berusia 30-40 tahun, berlatar belakang pendidikan SMA/Sederajat, dan telah bekerja sebagai kader posyandu selama 5 tahun.

    Martoatmojo14 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan kader posyandu dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya. Akan tetapi Kurniasih15 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya, karena pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah jumlah paparan informasi yang tidak didapatkan melalui pendidikan formal. Menurut Evita12 tingkat pengetahuan kader posyandu juga dipengaruhi oleh usia dan masa kerja.

    Azwar29 juga menyebutkan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dapat berpengaruh pada tingkat pengetahuannya. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa kader posyandu yang bekerja 5 tahun justru memiliki tingkat pengetahuan lebih baik dibandingkan dengan kader yang telah bekerja > 5 tahun hal

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum---

    23

    Tabel 6. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan tingkat keterampilan

    Tingkat Keterampilan Frekuensi Persentase (%) Rendah 7 17, 05

    Sedang 27 65, 9 Tinggi 7 17, 05 Jumlah 41 100

    Sumber : Data primer

  • tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya keaktifan kader dalam mengakses sumber-sumber informasi baru terkait standar pemantauan pertumbuhan anak, karena berdasarkan keterangan yang diperoleh selama ini kader hanya belajar dan memperoleh informasi yang berasal dari kader-kader pendahulunya dari mulut kemulut.

    Pelatihan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang12. . Berdasarkan informasi yang diperoleh diketahui bahwa kader posyandu di wilayah tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak sesuai dengan standar SDIDTK, sehingga memungkinkan bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan kader posyandu yang tidak terlalu tinggi.

    Motivasi KaderMenurut beberapa penelitian, orang-orang yang biasanya menjadi seorang sukarelawan adalah orang-orang yang telah berusia separuh baya, memiliki tingkat sosial ekomoni menengah, berjenis kelamin perempuan, sudah menikah, berpendidikan minimal SMA/Sederajat, dan mempunyai anak yang masih dalam usia sekolah30. Orientasi dan tujuan yang jelas dari suatu program, materi kegiatan yang menarik, kegiatan atau program yang berkelanjutan (follow-up), suasana komunitas yang sangat akrab, dan kedekatan diantara volunteer juga turut mempengaruhi motivasi kader untuk terlibat dalam suatu kegiatan. Menurut Hurlock17 usia >40-50 termasuk dalam dewasa menengah, pada usia ini seseorang cenderung memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja dan mulai berorientasi pada tugasnya. Usia ini juga termasuk dalam usia produktif yang memungkinkan seseorang memiliki semangat dan motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai kader posyandu1. Motivasi yang dimiliki oleh kader posyandu juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut diantaranya adalah keinginan untuk membantu masyarakat dalam pelayanan kesehatan, memajukan dusun, dan menambah wawasan tentang kesehatan13.

    Keterampilan Kader.Keterampilan seseorang dapat dipengaruhi oleh usia dan lama masa kerja19. Akan tetapi pernyataan tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Enardi dan Pudjiraharjo yang menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk meyakini bahwa orang-orang yang telah lama bertugas dalam suatu pekerjaan. memiliki kinerja yang lebih baik dari orang yang belum lama bekerja6, 20. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa kader yang bekerja 5 tahun justru memiliki keterampilan yang lebih baik dibandingkan dengan kader yang telah bekerja >5 tahun. Perubahan perilaku memerlukan proses yang kompleks dan waktu yang relatif lama serta dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penguat seperti fasilitas, serta sarana, dan prasarana21.

    Hubungan Pengetahuan dengan KeterampilanTeori Green et al. 24 menyatakan bahwa keterampilan seseorang dipengaruhi oleh faktor diluar perilaku salah satunya adalah pengetahuan. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan kader keduanya berada pada tingkat sedang.

    Hubungan Motivasi dengan KeterampilanHasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Bertnus21 yang mengatakan bahwa keterampilan seseorang dipengaruhi oleh motivasi. Theory of Reasoned Action menyatakan bahwa praktek dipengaruhi oleh kehendak, sedangkan kehendak dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif, dengan kata lain keterampilan seseorang dipengaruhi oleh gejala kejiwaannya salah satunya adalah motivasi22. Teori Attribusi atau Expectancy Theory menyatakan bahwa orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki kemampuan yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, begitu pula orang yang berkemampuan tinggi tetapi motivasinya rendah24. Oleh karena itu tidak ada jaminan untuk meyakini bahwa orang yang memiliki motivasi yang tinggi juga memiliki keterampilan yang tinggi pula.

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia---

    24

  • KESIMPULANKesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dan tidak ada hubungan antara motivasi dengan keterampilan kader.

    SARANBerdasarkan hasil penelitian ini maka sebagai pihak yang berperan sebagai penanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan posyandu peneliti menyarankan kepada puskesmas untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak diantaranya dengan menyelenggarakan kegiatan penyuluhan kesehatan, pembimbingan, dan pelatihan. Revitalisasi kader juga perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan posyandu. Selain itu sebagai masukan dan dorongan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor apasajakah yang dapat mempengaruhi pengetahuan, motivasi, dan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak.

    DAFTAR PUSTAKA1. BPS. Sensus Penduduk. Data Kependudukan 2010 [dikutip 2012

    Feb 23].Tersedia dalam: URL: http:// sp2010. bps. go. id/ index.php. 2. Hadi, H. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya

    Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional [tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2005.

    3. Depkes RI. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2004.

    4. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2010[dikutip 2012 Feb 23]. Tersedia dalam: URL: http: //www. Kesehatan anak. depkes. go. id/ images/ data/ laporan-riskesdas-2010. Pdf.

    5. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006.

    6. Enardi, OP.,Wijanarka, A., Rialihanto, MP. Hubungan Karakteristik Kader Posyandu dengan Presisi, dan Akurasi Dalam Menimbang Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Jurnal Gizi Kita 2010;11(1): 17-25.

    7. Depkes RI. Data Posyandu Nasional 2009[dikutip 2012 Feb 23]. Tersedia dalam: URL: http://www. bankdata. depkes. go. id/nasional/public/report/create tablepti.

    8. Mahmudiono, T. Understanding the Increased of Child Height for Age Index during the Decline Coverage of Posyandu Using Intrinsic, Extrinsic and Macro-Environmental Factors Approach. The Indonesian Journal of Public Health 2007; 4(1).

    9. Jahari, A. Masalah Gagal Tumbuh Balita Masih Tinggi: Adakah yang Kurang Dalam Kebijkan Program Gizi di Indonesia?. Jurnal Gizi Indonesia 2008;31(2): 123-138.

    10. Khaidir. Pengaruh Pelatihan Berdasarkan Kompetensi Terhadap Pengetahuan, dan Keterampilan Kader Gizi Dalam Pengelolaan Kegiatan Posyandu di Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara [Tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2005.

    11. Emilia, O. Promosi Kesehatan Dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia, 2008.

    12. Evita, J. Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan, Keterampilan, dan Kepatuhan Kader Posyandu Dalam Menerapkan Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara [Tesis]. Yogyakarta : Univ. Gadjah Mada, 2009.

    13. Kuscahyani. Hubungan Antara Motivasi Dengan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kinerja Kader Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Godean II Desa Sidokarto Godean Sleman Yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

    14. Martoatmodjo, S. Studi Evaluasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, 1982.

    15. Kurniasih. Hubungan Motivasi dan Pengetahuan dengan Prestasi Posyandu di Desa Bangunjiwo Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan I Kabupaten Bantul [Skripsi]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2008.

    16. Noor, M. Motivasi Kader Dalam Implementasi Gerbangmas Posyandu di Kabupaten Tanah Laut [Tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2009.

    17. Hurlock, Elizabet. Psikologi Perkembangan Anak Edisi 5. Jakarta: Erlangga, 2001.

    18. Sulistyaningrum.Implementasi Posyandu dan Supervisi Puskesmas [dikutip 2012 Juli 14]. Tersedia dalam : URL: http//: pdf. kq5.org/ Optimasi-Fermentasi.

    19. Lestari, W. Pengaruh Pelatihan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Bidan di Kabupaten Banjar [Tesis].Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2010.

    20. Pudjiraharjo, S. Hubungan Sikap dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

    21. Bertnus. Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan[dikutip 2013 Januari 23]. Tersedia dalam: URL: http: //Digilib. unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-taufikhida-5749-2-babii.pdf.

    22. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

    23. Mandasari, Dewi. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Keterampilan Kader Posyandu Dalam Menimbang Balita Di Posyandu Puskesmas Kotobaru Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar [Skripsi]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2010.

    24. Green, L.W., Kreuter,M.W., Deeds, G.S., Patridge, B.A. Health Education Planning Diagnostic Approach. California: Mayfield Publishing, 1980.

    25. Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 2002.26. Latief D, Wibisono, Sastroamodjojo S, Sastroasmoro S, Kurniawan

    A, Hernawati I, Minarto, and Bernstein B. Family Nutrition and Under-Five Child Health (FN-CH) Program in Indonesia, A Review of the Programs and their Overall Achievements, with Recommendations for Priority Actions to Reduce Remaining Gaps and Disparities. Jakarta: The Directorate-General of Community Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia, 2000.

    27. Mappiare, Andi. Psikologi Orang Dewasa Bagi Penyesuaian dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1983.

    28. Utomo, Iwu D. Village Family Planning Volunteers in Indonesia: Their Role in the Family Planning Programme. Elsevier: Reproductive Health Matters. 2006:14(27):7382.

    29. Azwar, S. Sikap Manusia:Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

    30. Thomas., Hewitt. A Latin Grammar In The Crude Form. USA: University of Michigan, 2001.

    31. Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

    BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

    ---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum---

    25

  • PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH

    DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN

    Rahma Nur Faizin1, Ibrahim Rahmat2, Sumarni31Student of Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

    2Undergraduate Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University3Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

    INTISARILatar Belakang: Standar nilai Ujian Nasional (UN) yang semakin meningkat menyebabkan siswa SD mengalami kecemasan. Adanya kecemasan tersebut dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional/ EQ siswa belum optimal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan EQ dapat meningkatkan EQ seseorang. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi yang dapat meningkatkan EQ sehingga siswa lebih siap dalam menghadapi UN, yaitu dengan pemberian UKJS. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian UKJS terhadap tingkat kecerdasan emosional siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Seyegan, Sleman, Yogyakarta.Metode: Penelitian experiment dengan metode pretest-posttest control group design dilakukan pada 114 siswa SD kelas VI yang terbagi 57 responden kelompok intervensi dan 57 responden kelompok kontrol. Bar-On Emotional Quotient Inventory: Youth Version digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional pada penelitian ini.Hasil: Pada kelompok intervensi rerata kecerdasan emosional dari pre test ke post test terjadi peningkatan, sehingga dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna. Pada kelompok kontrol rerata kecerdasan emosional dari pre test ke post test terjadi penurunan, sehingga dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan: Pemberian UKJS efektif dalam meningkatkan skor kecerdasan emosional siswa SD kelas VI dalam menghadapi ujian nasional di Seyegan, Sleman, Yogyakarta.

    Kata Kunci: kecerdasan emosional, sekolah dasar, ujian nasional, usaha kesehatan jiwa sekolah

    ABSTRACTBackground: Increasing standard score of national test causes anxiety to students. The emergence of anxiety shows that emotional quotient (EQ) of the students is not yet optimized. Some studies indicate that EQ education program can increase someones EQ. Thus intervention is needed to increase EQ in order that students are more prepared in taking national test through school mental health effort supplementation.Objective: To identify effect of school mental health effort implementation to EQ of elementary school students of grade VI in taking national test at Seyegan, Sleman, Yogyakarta.Method: The study was an experiment with pre test post test control group design involving 114 students of grade VI comprising 57 students as intervention and 57 students as control group. Bar-On Emotional Quotient Inventory: Youth Version was used to assess EQ of the students.Result: Average EQ of the intervention group increased from pre test to post test; thus there was significant difference. Average EQ of the control group decreased from pre test to post test; thus there was no significant difference.Conclusion: School mental health effort implementation was effective to increase score of EQ of the students of grade VI in taking national test at Seyegan, Sleman, Yogyakarta.

    Keywords: emotional quotient, elementary school, national test, school mental health effort

    BIMIKIPENELITIAN ASLI

  • PENDAHULUANKelulusan siswa Sekolah Dasar (SD) dipengaruhi oleh Ujian Nasional (UN) yang merupakan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa SD yang menunjukkan gejala kecemasan dan depresi saat menghadapi ujian 1,2. Berdasarkan kasus tersebut, dapat diidentifikasi bahwa kecerdasan emosional anak belum optimal dikarenakan kurangnya kemampuan mengatasi tuntutan dalam hal ini menghadapi UN. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa