bebas, berbhineka, berindonesia menjadi muslim dalam rekonstruksi pemikiran ahmad wahib.pdf

20
75 75 75 75 75 Bebas, Berbhineka, Berindonesia: Menjadi Muslim dalam Rekonstruksi Pemikiran Ahmad Wahib Sidiq Fatonah Bahkan... aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus-menerus berproses menjadi aku. Ahmad Wahib, 1 Desember 1969 Islam Indonesia mengalami proses keberulangan sejarah. Perdebatan Piagam Jakarta di awal kemerde- kaan, menjamurnya partai-partai Islam di tahun 1950- an, dan menguatnya radikalisme Islam di era 1980-an, yang semuanya kembali mengemuka di era reformasi, adalah contoh tentang keberulangan sejarah itu. Inilah yang menyebabkan mengapa kita yang hidup di era

Upload: frank-adams

Post on 05-Sep-2015

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 7575757575

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia:Menjadi Muslim dalam Rekonstruksi

    Pemikiran Ahmad Wahib

    Sidiq Fatonah

    Bahkan... aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari,dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, akubukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus-menerus berprosesmenjadi aku.

    Ahmad Wahib, 1 Desember 1969

    Islam Indonesia mengalami proses keberulangansejarah. Perdebatan Piagam Jakarta di awal kemerde-kaan, menjamurnya partai-partai Islam di tahun 1950-an, dan menguatnya radikalisme Islam di era 1980-an,yang semuanya kembali mengemuka di era reformasi,adalah contoh tentang keberulangan sejarah itu. Inilahyang menyebabkan mengapa kita yang hidup di era

  • 7676767676

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    2000-an, penting membaca Ahmad Wahib, seorangintelektual yang hidup di tahun 1960-1970-an.

    Wahib hidup dengan tantangan seperti yang kitahadapi. Di awal Orde Baru, konteks Wahib tumbuh, dandi era reformasi, kita menyaksikan (umat) IslamIndonesia berusaha mendefinisikan dirinya kembali.Setidaknya terdapat tiga isu penting dalam keduakonteks tersebut: permasalahan muslim normatif,hubungan muslim dengan agama lain, dan dikotomi(Islam) politik dan negara (Indonesia). Dengankesamaan konteks itu, mengkaji pemikiran Wahibadalah usaha membuktikan bahwa pemikiran-pemi-kirannya telah melampaui zamannya.

    Artikel ini berangkat dari sebuah pertanyaan: ba-gaimanakah memposisikan muslim di tengah kebhinekaankeagamaan dan hidup berwarga negara di Indonesia?Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebutdengan berfokus pada tiga pembahasan, yaitu: (1)bagaimanakah seharusnya menjadi muslim; (2) bagai-manakah seharusnya menjadi muslim di dalam kebhine-kaan beragama; dan (3) bagaimanakah seharusnya menjadimuslim dalam konteks kewarganegaraan. Melaluirekonstruksi pemikiran Ahmad Wahib, saya berargumenbahwa kebebasan individual adalah prasyarat dalammengkontekstualisasikan Islam di tengah kebhinekaankeberagamaan dan kewarganegaraan di Indonesia.

  • 7777777777

    Me-Wahib dan (Islam) IndonesiaMe-Wahib dan (Islam) IndonesiaMe-Wahib dan (Islam) IndonesiaMe-Wahib dan (Islam) IndonesiaMe-Wahib dan (Islam) Indonesiayang Berprosesyang Berprosesyang Berprosesyang Berprosesyang Berproses

    Me-Wahib, proses menemukan kepribadian diriAhmad Wahib, agaknya berkorelasi positif denganproses mendefinisikan Islam di Indonesia. Wahib danIndonesia sama-sama sedang berproses.

    Wahib lahir di Madura, sebuah pulau seribu pesan-trenkarena memang hampir seluruh desa di Maduramemiliki pesantren. Keberadaan pesantren inilah yangmenyebabkan terjadinya proses institusionalisasi Islamdi Madura, sehingga Islam sangat mewarnai struktur sosialdi pulau tersebut. Beberapa penelitian tentang Maduratelah menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkandari segala aspek kehidupan, baik ekonomi (de Jonge1989), pendidikan (Mansurnoor 1990), maupun keseni-an (Bouvier 2005) dalam masyarakat Madura. TetapiWahib tumbuh di dalam sebuah keluarga yang bolehdikatakan pemberontak pada zamannya. Sang ayah,Sulaiman, adalah seorang rasionalis. Ini dibuktikan lewatkeberaniannya mengkritik dua kitab fikih terkenal, Sullamdan Safina, yang dianggapnya kadaluarsa; menolak segalajimat dan buku-buku primbon; serta memasukkan anakperempuannya ke sekolah umum (Wahib 1982: 142-143).Wahib, agaknya, mewarisi sikap rasional ayahnya itu.

    Sebagian besar founding fathers Indonesia adalahmuslim, di antaranya Wahid Hasjim, Abikusno, Kahar

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 7878787878

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    Muzakkir, Sukarno, Hatta, dan Supomo. Bahkan, tigatokoh pertama menghendaki agar Islam dijadikan dasarnegara Indonesia. Namun ditolak oleh tiga tokoh yanglain, misalnya Hatta yang mengatakan, Al-Quranterutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitabhukum... Kita tidak akan membangun sebuah negaradengan suatu pemisahan antara agama dan negara,melainkan suatu pemisahan antara masalah-masalahkeagamaan dan masalah-masalah kenegaraan (Effendy,1998: 86). Pendirian Hatta didukung oleh Soepomo.Dan, atas usul Soekarno, Pancasila akhirnya berhasilmenjadi dasar negara Indonesia. Dari sini, meskipunmuslim, para founding fathers tersebut berdiri di ataslandasan rasional, bukan agama (Islam).

    Landasan rasional tersebut lahir dari sebuah kenya-taan bahwa Indonesia bukan hanya didiami oleh pendu-duk muslim, tetapi terdapat pula penduduk yang meng-anut Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan agama-agamalokal, seperti Kejawen, Kaharingan, Tengger, dan lainsebagainya. Dengan demikian, cara berpikir rasional,adalah upaya berpikir melampaui sekat sebuah agama.

    Wahib pun demikian. Model berpikir rasionalnya,yang diwarisi dari sang ayah, kemudian bertemu dengankomunitas di luar Islam maupun ideologi-ideologi yangberseberangan dengannya. Misalnya, saat berjumpadengan Romo Stolk dan Romo Willenborg, yang mem-

  • 7979797979

    beri kesan arti pentingnya pluralisme, seperti dalamcatatannya, bagaimana aku disuruh membenci pemelukKristen-Katholik? Atau, saat tinggal bersama teman-teman dari PKI, PNI atau PSI, Wahib sulit mengklaimmereka sebagai musuh ideologi, bagaimana aku disuruhmemusuhi PNI, aku punya teman-teman baik di kalang-an mereka (Wahib 1982: 39-41).

    Me-Wahib agaknya terus mengiringi perjalananmenjadi Indonesia. Pemikiran Wahib melampauikonteks ketika tokoh ini hidup. Meski catatan hariannyaditulis di era 1960-1970-an, namun relevansi catatanharian itu masih terasa sampai sekarang.

    Menjadi MuslimMenjadi MuslimMenjadi MuslimMenjadi MuslimMenjadi MuslimArtikel ini pertama-tama mencoba memaparkan

    permasalahan muslim Indonesia kini, yaitu tentangmuslim normatif. Muslim normatif adalah sebuahpenamaan bagi para pengusung ajaran-ajaran Islamsecara literal, dalam arti menerapkan ajaran-ajaran Islamseperti konteks masa Nabi Muhammad dahulu. Yangmenjadi masalah, penerapan ini mensyaratkan campurtangan negara dan tak jarang dilakukan dengan keke-rasan. Sebagai contoh adalah isu penerapan syariat Islamdi Indonesia dan pembubaran Ahmadiyah di Indonesia.Yang terakhir bahkan memunculkan aksi kekerasan,seperti yang dilakukan massa Front Pembela Islam

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 8080808080

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    (FPI) terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untukKebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)pada Juni 2008 lalu. Peristiwa ini adalah bukti bagaimanakekerasan identik dengan muslim normatif sekaligusmenunjukkan betapa tinggi sikap intoleransi merekaterhadap komunitas lain.

    Wacana muslim normatif paling tidak menyentuhtiga masalah mendasar: klaim kebenaran, pluralitas umatberagama, dan kewarganegaraan Indonesia. BagaimanaWahib menjawab tiga tantangan itu?

    Andaikata Tuhan sendiri juga berpendapat bahwainti dari Islam itu tauhid, apakah itu tidak menunjukkanbahwa Tuhan itu egoistis? tulis Wahib tanggal 29 Maret1970 (1982: 132-133). Dari secuil catatan itu, kita bisabelajar dua hal dari Wahib. Pertama, seorang muslimharus berani mempertanyakan sesuatu yang dianggapfinal, seperti masalah-masalah tentang Tuhan sekalipun.Kedua, berani memposisikan sesuatu yang dianggapfinal itu dalam kerangka pikir historis.

    Jika dilihat dari sejarah Islam, cara berpikir tauhiddapat membuat pengusungnya bertindak anarki: me-ngesakan Tuhan dan menghancurkan sesuatu yangdisandingkan dengan-Nya. Anarki Muhammad binAbd al-Wahab adalah sebuah contoh. Dengan meng-gandeng kekuatan Muhammad bin al-Saud, atas namapurifikasi Islam, Muhammad bin Abd al-Wahab berupaya

  • 8181818181

    mengganyang segala kekuatan yang berseberangandengannya. Hal-hal yang bertentangan dengan Islam,seperti filsafat atau sufi, harus dipurifikasikan sesuaidengan preseden Nabi Muhammad pada zamannya (el-Fadl, 2005).

    Dengan demikian, tauhid adalah sebuah persepsi.Apabila dipahami salah akan melahirkan kekerasan,seperti kasus anarki Muhammad bin Abd al-Wahab.Lantas, bagaimana mendudukkan tauhid secara propor-sional? Wahib menganggap tauhid merupakan paradigmaketuhanan bagi umat Muhammad abad ketujuh (Wahib1982: 118). Sebagai sebuah paradigma, maka apabilasudah tidak sesuai dengan zamannya, kemunculanparadigma ketuhanan lain adalah sesuatu yang niscaya.Wahib karenanya mengandaikan tauhid sebagai para-digma progresif tentang ketuhanan. Dengan paradigmaprogresif itu pula Wahib memandang wahyu dan agama.Tentang wahyu, Wahib berpendapat (1982: 114-115),...wahyu Tuhan turun terus secara tak langsung padamanusia-manusia yang berusaha sesudah Muhammad.Tentang agama, Wahib berujar, ...agama tidak bolehdimutlakkan (sebagai bentuk dan struktur tertentu) kalautidak ingin hancur (Wahib 1982: 127-128).

    Di mata Wahib (1982: 38), ada dua nilai dalam Islam:nilai yang kontekstual dan nilai yang tetap. Nilai yangkontekstual memprasyaratkan kalau nilai-nilai yang

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 8282828282

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnya-lah hukum-hukum Islam itu berkembang. Sedangkan,untuk nilai-nilai yang tetap, Wahib menyebutnyadengan a well tested framework of values, berupa keadil-an, persamaan dan toleransi (Wahib, 1982: 104).

    Pembedaan Wahib tentang nilai kontekstual dannilai tetap secara implisit merupakan kritik terhadapkaum muslim normatif yang berpendapat Islam telahfinal. Menganggap final ajaran Islam berarti memutlak-kan Islam itu sendiri. Bukankah yang mutlak hanyalahTuhan? Interpretasi progresif terhadap nilai-nilaikontekstual Islam kemudian mendesak untuk terus-menerus dilakukan.

    Dalam memahami Islam, Wahib memandang bahwasejarah Muhammad menempati posisi lebih tinggidaripada al-Quran dan hadis. Al-Quran dan hadishanyalah bagian saja dari sejarah hidup Muhammad.Dengan melihat sejarah Muhammad, Wahib berharapproses objektivikasi ajaran-ajaran universal Islam dapatditangkap. Sejarah Muhammad ini meliputi strukturmasyarakat, struktur ekonomi, hubungan denganbangsa-bangsa lain, kondisi kebudayaan waktu itu, danlain-lain (Wahib 1982: 123).

    Melalui proses pemahaman terhadap sejarah Muham-mad, Wahib mengharapkan munculnya pembaruanIslam yang terus menerus: suatu gerakan yang selalu

  • 8383838383

    dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencaridan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudahbenar, yang lebih baik dari yang sudah baik (Wahib,1982: 77). Dan pembaruan akan terlaksana melalui duakerja: kerja interpretatif, di mana pembaruan diletak-kan sebagai proses dan mengandalkan akal sebagai alatmemahami Islam; dan kerja kreatif di mana pembaru-an merupakan implementasi pemikiran Islam danmengandalkan akal sebagai konsepsi-konsepsi tentangIslam itu sendiri (Wahib, 1982: 95).

    Namun, mesti diingat bahwa pembaharuan tidak bisadilaksanakan tanpa adanya kebebasan. Sebab dengankebebasan, akal menjadi bebas bergerak untuk terusmenginterpretasikan Islam, bahkan menentukan manayang baik dan mana yang buruk. Bukan al-Quran atauhadis sebagai penentu baik dan buruk, demikian Wahib,melainkan akal. Penggunaan akal ini juga menjadi suatucara untuk memposisikan Islam secara netral sekaligus meng-eliminasi klaim kebenaran apologetis atas nama Islamjargonnya yang terkenal Islam is the best solutionyangmuncul baik dalam sikap merasa paling benar maupundalam sikap apriori yang berusaha menanamkan ide-idedi luar Islam sebagai ide-ide Islam (Wahib, 1982: 22).

    Wahib tidak ingin mendewakan akal, mengganggapakal sebagai segalanya dan mengalahkan Islam. Namun,ia hanya ingin menekankan bahwa akal adalah alat untuk

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 8484848484

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    berpikir kreatif, dan itu dimungkinkan hanya denganadanya kebebasan. Dengan demikian, kebebasanberpikir adalah syarat sah menjadi muslim ala Wahib.Melalui kebebasan berpikir itu, akal diberi kesempatanuntuk mempertanyakan ajaran-ajaran Islam yangdianggap telah final. Melalui kebebasan berpikir itu pula,pembaruan ajaran-ajaran kontekstual Islam menjadiniscaya. Lalu, bagaimanakah kebebasan berpikirdilaksanakan dalam lingkup kebhinekaan beragama?

    Menjadi Muslim di Tengah KebhinekaanMenjadi Muslim di Tengah KebhinekaanMenjadi Muslim di Tengah KebhinekaanMenjadi Muslim di Tengah KebhinekaanMenjadi Muslim di Tengah KebhinekaanBerpikir bebas di mata Ahmad Wahib bukan hanya

    bebas untuk diri sendiri, melainkan juga bebas bagiorang lain. Kebebasan bagi diri sendiri kemudian menun-tut pengakuan kebebasan orang lain. Di sinilah artipenting toleransi, tidak sekadar menghargai, tetapimengakui eksistensi kebebasan orang lain. Toleransi,menurut Wahib (1982: 29), bisa diwujudkan denganmembiarkan orang lain menentukan sikap denganperasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isihatinya sendiri.

    Dalam pandangan Ahmad Wahib, toleransi meliputi(1982: 178-179): sesama Islam tapi berbeda perspektif(seperti NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, atau Persis);penganut agama non-Islam; orang-orang bertuhan tapitidak beragama; orang-orang tidak bertuhan, tapi ber-

  • 8585858585

    agama (fungsional) (semisal komunisme atau sosial-isme); dan mereka yang tidak bertuhan dan tidakberagama. Pendeknya, visi toleransi Wahib ini sanggupmenjangkau seluruh lapisan masyarakat, tidak hanyakomunitas beragama, tapi juga komunitas tidak ber-agama, bahkan ateis sekalipun.

    Memang kebebasan adalah sesuatu yang pribadi,tetapi ketika dikontekskan dalam hubungan antarmanu-sia, kebebasan merupakan toleransi itu sendiri. Bersikaptoleran terhadap kebebasan orang lain berarti meman-dang kehidupan rohani orang lain sebagai hak pribadi-nya yang tidak dapat diganggu gugat atau dikendalikandari luar (Wahib, 1982: 179). Dengan demikian, bagiWahib, toleransi berusaha memanusiakan manusiasebagai manusia seutuhnya, bukan memandang manusiaatas dasar identitas agamanya.

    Pada level negara multikultur seperti Indonesia,toleransi Wahib penting untuk menggiatkan keharmo-nisan agama-agama di Indonesia, khususnya masalahdikotomi muslim normatif dan muslim kontekstual,dilema mayoritas-minoritas, dan masalah eksklusivitasberagama. Mengacu pada toleransi seperti dikemukakanWahib tersebut, meski kelompok muslim normatif tidaksetuju dengan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia,semestinya penolakan mereka tidak dilaksanakan de-ngan kekerasan, tetapi dengan toleransi.

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 8686868686

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    Satu contoh lain adalah penerapan syariah Islam diIndonesia. Dalam kehidupan masyarakat multikultur,isu penerapan syariah Islam merupakan sesuatu yangwajar. Yang menjadi persoalan adalah apabila isu pene-rapan ini sampai merugikan agama-agama non-Islam.Lebih parah lagi, apabila syariah hanya dijadikan saranauntuk menerapkan sistem pemerintahan otoriter atasnama Islam.

    Islam memang menjadi agama mayoritas masyarakatIndonesia. Sentimen mayoritas inilah yang kerapkalimelahirkan tendensi ke arah memasukkan ajaran-ajaranIslam ke dalam nilai-nilai universal yang dapat diterimasemua agama di Indonesia. Pertanyannya, apakahmungkin mengobjektivikasikan nilai-nilai Islam agarditerima semua agama di Indonesia? Dalam konteksrelasi mayoritas-minoritas, pertanyaan tersebut meng-giring kepada perdebatan tentang keadilan. Golonganminoritas, seperti pemeluk Kristen, Katolik, Budha,Hindu, Kaharingan, Tengger dan lain sebagainya, ten-tunya akan mengajukan pertanyaan balik: adilkahmenerapkan ajaran-ajaran Islam ke dalam masyarakatmultikultur di Indonesia?

    Politik mayoritas dapat melahirkan eksklusivitasumat beragama, atau malah sikap fanatik. Politikmayoritas, seperti isu penerapan syariat Islam, bolehjadi merupakan reaksi atas persaingan terhadap go-

  • 8787878787

    longan minoritas. Inilah yang, meminjam istilah BryanTurner, disebut the rituals of intimacy, ritual-ritualkeintiman. Menurut Bryan S. Turner (2008: 61),ritual-ritual keintiman menyediakan solusi-solusi ataspertanyaan how to behave towards strangers who are notco-religionists and how to maintain religious purity insocieties that are secular. Ritual-ritual ini dapat berupasikap atau tindakan seseorang kepada orang lain.Meminjam konsep Bourdieu tentang habitus, BryanTurner lebih lanjut menegaskan bahwa ritual kein-timan lahir dari habitus yang kemudian membentuketika nilai suatu komunitas dan menjadi titik tolakuntuk bersikap.

    Turner (2008: 63) mengklaim bahwa kekuatan ritual-ritual keintiman mempengaruhi sikap-sikap eksklusif.Dalam konteks Indonesia, sikap muslim normatif tidakterbiasa hidup bersama dengan kelompok lain yangberbeda, seperti Ahmadiyah, Kristen, Katolik, dansebagainya, muncul dari kebiasaan muslim normatif yanghanya mau berteman dengan muslim normatif lain.Bagaimana lantas mendobrak sikap eksklusif tersebut?Di sinilah kebebasan dan toleransi Ahmad Wahib mene-mukan signifikansinya. Kebebasan menjadi jaminanhidup bersama yang tidak harus bersepakat dalam kesa-maan, melainkan berbhineka tetapi dalam satu Indonesia.Pada sisi lainnya, toleransi dibutuhkan untuk menjamin

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 8888888888

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    kebebasan tersebut: agar kebebasan satu golongan tidakmenganggu kebebasan golongan lain.

    Kebebasan dan toleransi Ahmad Wahib kiranyasangat penting dalam konteks kebhinekaan (khususnyaagama) di Indonesia. Kebebasan adalah jaminan bagiinterpretasi kreatif doktrin-doktrin al-Quran dan hadis.Sementara toleransi adalah garansi bagi setiap agama diIndonesia untuk hidup secara bebas dan inklusif.

    Menjadi Muslim di IndonesiaMenjadi Muslim di IndonesiaMenjadi Muslim di IndonesiaMenjadi Muslim di IndonesiaMenjadi Muslim di IndonesiaSekarang, bagaimana kebebasan dan toleransi Ahmad

    Wahib berimplikasi bagi kehidupan berwarganegara diIndonesia? Menjadi muslim, selain dituntut untukmenjadi muslim yang berbhineka, dituntut pula untukmenjadi muslim dalam konteks keindonesiaan. Iniadalah tantangan muslim selanjutnya: bagaimana umatmuslim memberi kontribusi bagi kehidupan bernegara(citizenship).

    Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya terlebihdulu ingin mendiskusikan apakah Islam, sebagai agama,akan menjadi ancaman bagi eksistensi negara (Indone-sia)? Pertanyaan ini menjadi persoalan bagi pihak-pihakyang mengklaim dirinya sebagai muslim kaffah (muslimholistik), apakah ia harus tunduk pada aturan Islam,dan menghiraukan aturan-aturan negara Indonesia.Diskusi tentang Islam dalam konstelasi politik dunia

  • 8989898989

    memang tidak bisa dipisahkan dari jejaring sosial(imajinatif) masyarakat muslim. Dalam hal ini, Arabsebagai tempat kelahiran Islam menjadi kiblat politikkomunitas muslim di dunia, dan era keemasan Muham-mad kerap dianggap motivator persatuan umat Islamdunia untuk meraih kembali kejayaan Islam tersebut.Isu-isu tentang pendirian negara Islam atau khilafahIslam merupakan bukti bahwa Islam telah menjadiideologi.

    Bagi Wahib (1982: 174-176), ...ideologi khususuntuk umat Islam tidak mutlak. Bisa perlu bisa tidakperlu dan bahkan bisa pula naif. Yang pokok adalah Islammerupakan nafas pribadi. Dengan demikian, mengacupada Wahib, negara Islam atau khilafah Islam, maupunideologi Islam merupakan interpretasi subjektif sebagianumat muslim, bukan kondisi objektif yang inheren dalamIslam itu sendiri. Menurutnya, penerapan suatu modelnegara dalam Islam, baik teokratis atau demokratis,termasuk masalah pragmatis, bukan ideologis. Artinya,penerapan model kenegaraan tersebut diserahkansepenuhnya kepada manusia, tidak merujuk pada suatuajaran Islam atau preseden sejarah muslim pada suatumasa.

    Indonesia adalah negara sekulardalam hal ini, se-kular dipahami sebagai proses: sekularisasi. Dan sekular-isasi tidak sama dengan sekularisme. Yang pertama,

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 9090909090

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    menurut Wahib (1982: 79), netral agama; sedangkanyang kedua bersifat anti agama. Bagi Wahib, paling tidakada tiga prinsip sekularisasi: (1) kontinyu, yang berartisekularisasi merupakan proses kreatif yang dikerjakansecara terus menerus, dan produknya berubah mengikutiwaktu dan perkembangan pemikiran; (2) kontekstual,dalam pengertian bahwa sekularisasi adalah usahamenemukan the other significance of realities; (3) religionis private bussiness, sehingga produk sekularisasi sepe-nuhnya merupakan tanggung jawab manusia sebagaimakhluk yang diberi otoritas penuh oleh Tuhan untukberpikir bebas (Wahib, 1982: 79-80).

    Dengan demikian, sekularisasi berarti proses me-nafsirkan realitas secara bebas sesuai dengan kebu-tuhan zaman. Realitas, yang dimaksud di sini, adalahsesuatu yang datang dari ajaran-ajaran agama, atauyang datang dari penghayatan, perasaan, perenungan,dan penglihatan terhadap alam sekitar dan zaman.Melalui pemahaman ini, sekularisasi menjangkau nilai-nilai (yang dianggap) sakral dan nilai-nilai (yangdipandang) profan sekaligus. Singkatnya, tujuansekularisasi adalah penafsiran kontekstual yangapplicable dengan zaman dan ruang tertentu.

    Dalam konteks keindonesiaan, sekularisasi diperlu-kan untuk mencari format yang tepat guna merumuskankonsep hidup bernegara di Indonesia. Tentu, konsep ini

  • 9191919191

    harus bisa memberikan manfaat maksimal bagi semuagolongan di Indonesia, dan mampu mengeliminasikerugian yang diderita oleh golongan tertentu. Pancasilaadalah produk sekularisasi dari syariat Islam, bahkan ajaransemua agama-agama di Indonesia. Hal ini bisa dilihatdalam sila-sila Pancasila yang berisi nilai-nilai universaldalam konteks keindonesiaan, seperti ketuhanan,keadilan, persatuan, musyawarah, dan pemerataan.

    Lalu, bagaimana seharusnya negara memposisikandiri di hadapan warga negaranya? Menurut Turner(2002: 272-273), ada tiga konsepsi hubungan negaradan agama: tradisi Amerika, tradisi Perancis, dan tradisiJerman. Ketiga model ini memiliki karakteristiknyamasing-masing.

    Tradisi Amerika menganut paham liberal. Beragamadalam paham ini adalah privat, sementara berwarga-negara adalah hak politik. Oleh karena itu, negara harusmampu menjamin kebebasan warganya untukmelaksanakan praktik-praktik keagamaan. TradisiPerancis menganut paham republik. Berbeda denganAmerika, Perancis mengontrol kebebasan setiap war-ganya untuk bersikap. Hal ini dilakukan untukmempertahankan persatuan penduduk. Oleh sebab itu,kebebasan beragama dibatasi. Memakai jilbab di ranahpublik, misalnya, merupakan musuh bagi nilai-nilaiuniversal di Perancis. Lain halnya dengan tradisi

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 9292929292

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    Jerman. Campur tangan negara atas urusan warganyadigunakan untuk membangun kepribadian moral wargaitu sendiri. Pendidikan karenanya merupakan prasyaratpenting untuk menciptakan kondisi masyarakat yangbaik. Kenyataan ini berhubungan dengan konsepbildung, di mana kewarganegaraan dan pembangunanmasyarakat sipil merupakan komponen penting dalampembangunan peradaban.

    Dari ketiga tradisi tersebut, Indonesia agaknya meru-pakan gabungan dari tradisi Amerika dan Perancis. Disatu pihak, negara menjamin kebebasan warganya untukmenjalankan praktik-praktik keagamaan. Namun, dipihak lain, kebebasan ini berbatas. Sementara pendapatWahib yang menyatakan bahwa religion is privatebussiness dekat dengan tradisi liberal Amerika. Keun-tungannya, setiap golongan agama dan kepercayaan diIndonesia dapat menjalankan dengan bebas apa yangdiyakininya benar. Namun, kerugiannya, akan timbulberaneka ragam agama dan kepercayaan yang justrumembahayakan pembangunan civil society di Indonesia,sebab rakyat di tingkat grassroots belum siap menerimaberbagai agama.

    Di sinilah, kemudian perlu untuk merekonstruksikonsep religion is private bussiness. Negara memangwajib melindungi warganya untuk melaksanakanpraktik-praktik agama. Tetapi, umat beragama seharus-

  • 9393939393

    nya juga mendukung tindakan negara tersebut; dengancara mensekularisasikan ajaran-ajaran agama menujunilai-nilai universal yang dapat mendukung kehidupanberwarganegara secara harmonis.

    Jadi, beragama sebagai bagian dari konsep berwarga-negara seharusnya bisa mempertimbangkan yang lainsebagai bagian dari diri kita. Umat muslim, maupunumat beragama yang lain, harus sanggup memberikankontribusi politik kepada negara. Bukan sekadarkontribusi politik golongan, tetapi sekularisasi politikgolongan tersebut untuk meraih keharmonisan hidupsebagai warga negara. Kebebasan beragama merupakanhak berwarga negara.

    PenutupPenutupPenutupPenutupPenutupSebagai kata penutup, saya ingin menegaskan bahwa

    kreatif merupakan prasyarat menjadi muslim. Kebhine-kaan merupakan prasyarat menjadi muslim di hadapankaum beragama lain. Sementara keindonesiaan merupa-kan prasyarat menjadi muslim dalam kehidupanbernegara di Indonesia.

    Namun, kreatif, kebhinekaan, dan keindonesiaanakan sia-sia tanpa kehadiran kebebasan, toleransi, dansekularisasi. Kebebasan dibutuhkan agar agama tampillebih dinamis sesuai dengan konteks zamannya. Tole-ransi diperlukan agar tercipta kehidupan harmonis

    Bebas, Berbhineka, Berindonesia

  • 9494949494

    Pembaharuan tanpa Apologia?

    antarumat beragama. Sekularisasi diperlukan agar kaumberagama bisa ikut ambil bagian dalam proses pemba-ngunan menuju kesejahteraan dan kemakmuran negeriini.