bahan eritrosit
DESCRIPTION
fghjkTRANSCRIPT
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh.
ERITROSIT ( Sel Darah Merah)
Fungsi utama eritrosit adalah untuk pertukaran gas yang membawa oksigen dari paru menuju ke jaringan tubuh dan membawa karbondioksida (CO) dari jaringan tubuh ke paru. Eritrosit tidak mempunyai inti sel tetapi mengandung beberapa organel dalam sitoplasma. Sitoplasmadalam eritrosit berisi hemoglobin yang mengandung zat besi (Fe) sehingga dapat mengikat oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf dan berdiameter 7-8 mikron. Bentuk bikonkaf tersebut menyebabkan
eritrosit bersifat fleksibel sehingga dapat melewati pembuluh darah yang sangat kecil dengan baik. Bentuk eritrosit pada mikroskop biasanya tampak bulat berwarna merah dan dibagian tengahnya tampak lebih pucat, atau disebut (central pallor) diameter 1/3 dari keseluruhan diameter eritrosit. Eritrosit berjumlah paling banyak diantara sel-sel darah lainnya. Dalam satu milliliter darah terdapat kira-kira 4,5 6 juta eritrosit, oleh sebab itu darah berwarna merah. Eritrosit normal berukuran 6 8 Nm atau 80 100 fL (femloliter). Bila MCV kurang dari 80 fL disebut (mikrositik) dan jika lebih dari 100fL disebut (makrositik).
Kelainan Eritrosit
Kelainan eritrosit dapat digolongkan menjadi :
1) Kelainan berdasarkan ukuran eritrosit
Ukuran normal eritrosit antara 6,2 8,2 Nm (normosit)
Kelainan berdasarkan ukuran:
a) Makrosit
Ukuran eritrosit yang lebih dari 8,2 Nm terjadi karena pematangan inti eritrosit terganggu, dijumpai pada defisiensi vitamin B atau asam folat. Penyebab lainnya adalah karena rangsangan eritropoietin yang berakibat meningkatnya sintesa hemoglobin dan meningkatkan pelepasan retikulosit ke dalam sirkulasi darah. Sel ini didapatkan pada anemia megaloblastik, penyakit hati menahun berupa thin macrocytes dan pada keadaan dengan retikulositosis, seperti anemia hemolitik atau anemia paska pendarahan.
b) Mikrosit
Ukuran eritrosit yang kurang dari 6,2 Nm. Terjadinya karena menurunnya sintesa hemoglobin yang disebabkan defisiensi besi, defeksintesa globulin, atau kelainan mitokondria yang mempengaruhi unsur hem dalam molekul hemoglobin. Sel ini didapatkan pada anemia hemolitik, anemia megaloblastik, dan pada anemia defisiensi besi.
c) Anisositosis
Pada kelainan ini tidak ditemukan suatu kelainan hematologik yang spesifik, keadaan ini ditandai dengan adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak sama besar dalam sediaan apusan darah tepi (bermacam-macam ukuran). Sel ini didapatkan pada anemia mikrositik yang ada bersamaan anemia makrositik seperti pada anemia gizi.
2) Kelainan berdasarkan berdasarkan bentuk eritrosit
a) Ovalosit
Eritrosit yang berbentuk lonjong . Evalosit memiliki sel dengan sumbu panjang kurang dari dua kali sumbu pendek. Evalosit ditemukan dengan kemungkinan bahwa pasien menderita kelainan yang diturunkan yang mempengaruhi sitoskelekton eritrosit misalnya ovalositosis herediter.
b) Sferosit
Sel yang berbentuk bulat atau mendekati bulat. Sferosit merupakan sel yang telah kehilangan sitosol yang setara. Karena kelainan dari sitoskelekton dan membrane eritrosit.
c) Schistocyte
Merupakan fragmen eritrosit berukuran kecil dan bentuknya tak teratur, berwarna lebih tua. Terjadi pada anemia hemolitik karena combusco reaksi penolakan pada transplantasi ginjal.
d) Teardrop cells (dacroytes)
Berbentuk seperti buah pir. Terjadi ketika ada fibrosis sumsum tulang atau diseritropoesis berat dan juga dibeberapa anemia hemolitik, anemia megaloblastik, thalasemia mayor, myelofibrosi idiopati karena metastatis karsinoma atau infiltrasi myelofibrosis sumsum tulang lainnya.
e) Blister cells
Eritrosit yang terdapat lepuhan satu atau lebih berupa vakuola yang mudah pecah, bila pecah sel tersebut bisa menjadi keratosit dan fragmentosit. Terjadi pada anemia hemolitik mikroangiopati.
f) Acantocyte / Burr cells
Eritrosit mempunyai tonjolan satu atau lebih pada membrane dinding sel kaku. Terdapat duri-duri di permukaan membran yang ukurannya bervariasi dan menyebabkan sensitif terhadap pengaruh dari dalam maupun luar sel. Terjadi pada sirosis hati yang disertai anemia hemolitik, hemangioma hati, hepatitis pada neonatal.
g) Sickle cells (Drepanocytes)
Eritrosit yang berbentuk sabit. Terjadi pada reaksi transfusi, sferositosis congenital, anemia sel sickle, anemia hemolitik.
h) Stomatocyte
Eritrosit bentuk central pallor seperti mulut. Tarjadi pada alkoholisme akut, sirosis alkoholik, defisiensi glutsthione, sferosis herediter, nukleosis infeksiosa, keganasan, thallasemia.
i) Target cells
Eritrosit yang bentuknya seperti tembak atau topi orang meksiko. Terjadi pada hemogfobinopati, anemia hemolitika, penyakit hati.
3) Kelainan berdasarkan warna eritrosit
a) Hipokromia
Penurunan warna eritrosit yaitu peningkatan diameter central pallor melebihi normal sehingga tampak lebih pucat. Terjadi pada anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, thallasemia dan pada infeksi menahun.
b) Hiperkromia
Warna tampak lebih tua biasanya jarang digunakan untuk menggambarkan ADT.
c) Anisokromasia
Adanya peningkatan variabillitas warna dari hipokrom dan normokrom. Anisokromasia umumnya menunjukkan adanya perubahan kondisi seperti kekurangan zat besi dan anemia penyakit kronis.
d) Polikromasia
Eritrosit berwarna merah muda sampai biru. Terjadi pada anemia hemolitik, dan hemopoeisis ekstrameduler.
4) Kelainan berdasarkan benda inklusi eritrosit
a) Basophilic stipping
Suatu granula berbentuk ramping / bulat, berwarna biru tua. Sel ini sulit ditemukan karena distribusinya jarang.
b) Kristal
Bentuk batang lurus atau bengkok, mengandung pollimer rantai beta Hb A, dengan pewarnaan brilliant cresyl blue yang Nampak berwarna biru.
c) Heinz bodies
Benda inklusi berukuran 0,2 -22,0 Nm. Dapat dilihat dengan pewarnaan crystal violet / brillian cresyl blue.
d) Howell-jouy bodies
Bentuk bulat, berwarna biru tua atau ungu, jumlahnya satu atau dua mengandung DNA. Karena percepatan atau abnormalitas eritropoeisis. Terjadi pada anemia hemolitik, post operasi, atrofi lien.
e) Pappenheimer bodies
Berupa bintik, warna ungu dengan pewarnaan wright. Dijumpai pada hiposplenisme, anemia hemolitika.
Cara menghitung jumlah eritrosit Prinsip darah diencerkan dalam larutan isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisisLarutan pengencer yang digunakan :
a) Larutan hayem, terdiri dari:
- Natrium sulfat 5 g
- Natrium chloride 0,5 g
- Mercury chloride 0,5 g
- Aquadest add 200 ml
b) Larutan gowers, terdiri dari :
- Natrium sulfat 12,5 g
- Asam asetat glacial 33,3 ml
- Aquadest add 200 ml
Cara menghitung :
1) Mengisi pipet eritrosit
Darah dihisap sampai garis tanda 0,5 dan larutan pengencer sampai tanda 101
2) Mengisi kamar hitung
3) Menghitung jumlah sel dengan menggunakan mikroskop perbesaran sedang atau 40x
4) Hitunglah semua eritrosit yang terdapat dalam 5 bidang yang tersusun dari 16 bidang kecil.
Nilai normal jumlah eritrosit :
Laki-laki : 4,6 s/d 6,2 juta/ml
Wanita : 4,2 s/d 5,4 juta/ml
Kesalahan-kesalahan pada hitung eritrosit yaitu pada menghitung jumlah eritrosit memakai lensa objektif kecil yaitu perbesaran 10x, sehingga sangat tidak teliti hasilnya.
Akibat eritrosit yang berlebih dan kekurangan eritrosit :
a) Penurunan eritrosit
- Kehilangan darah (perdarahan)
- Anemia, infeksi kronis, leukemia, dan hidrasi berlebihan.
b) Peningkatan eritrosit
- Polisitemia vena
- Hemokonsentrasi
- Dehidrasi
- Penyakit kardio vaskuler
Nilai indeks eritrosit
1) Mean Corpuscular Volume (MCV), menggambarkan volume rata-rata eritrosit.
2) Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), menggambarkan rata-rata kandungan hemoglobin.
3) Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), menggambarkan kandungan hemoglobin rata-rata
dalam tiap eritrosit.
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi utama dari sel-sel darah merah, yang juga dikenal sebagai eritrosit, adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru
ke jaringan. Selain mengangkut hemoglobin, sel-sel darah merah juga mempunyai
fungsi lain. Contohnya, ia mengandung banyak sekali karbonik anhidrase, yang
mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan
dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonakt (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga merupakan dapar asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga sel darah merah
bertanggung jawab untuk sebagian besar daya pendaparan seluruh darah.
Sel darah merah normal, berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kirakira 7,8 mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5
mikrometer dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Volume rata-rata sel darah merah adalah 90 sampai 95 mikrometer kubik. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler. Sesungguhnya, sel darah merah merupakan suatu kantong yang dapat diubah menjadi berbagai bentuk.
Selanjutnya, karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk
menampung banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak akan meregangkan membran secara hebat, dan sebagai akibatnya, tidak akan
memecahkan sel, seperti yang akan terjadi pada sel lainnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi terpenting sel darah merah adalah transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dan jaringan. Suatu protein eritrosit, yaitu hemoglobin, memainkan peranan penting pada kedua proses tersebut.
Sehingga pada makalah ini penulis akan membahas metabolisme eritrosit dan juga
unsure-unsur lain yang berkaitan erat dengan proses metabolisme tersebut
Gambar 1 : Hasil scanning micrograf elektorn eritrosit manusia (H)
Dan kambing (G)
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Eritrosit
2.1.1. Komposisi Membran Eritrosit
Komposisi membran eritrosit seperti juga membran sel lainnya yaitu terdiri
dari :
Trilaminar structure
outer hydrophilic
Central hydrophobic
Inner hydrophilic
Protein
Integral : perpanjangan dari permukaan luar ke dalam
Perifer : permukaan sitoplasma di bawah lapisan lemak
Lipid Membran eritrosit :
95% lipid terdiri dari :
Kolesterol tidak teresterifikasi yang akan berpengaruh terhadap area permukaan:
permeabilitas cation pasif
Phospholipid bilayer mobilitasnya berkontribusi terhadap fluiditas membran
5% sisanya terdiri dari glicolipid dan Free fatty acids
Protein membran :
Integral (glycophorin A, B, C dan pita 3), pita 3 merupakan tempa mengikatkan
cytoskeleton terhadap lapisan lipid juga sebagai anion pertukaran protein. Perifer (dibentuk dari membran skeleton) yang berkontribusi terhadap bentuk sel, stabilitas membran, perubahan bentuk dan viscoelastic. Terdiri dari spectrin, actin,
ankyrin dan pita 4.1.
Karakteristik Eritrosit :
Karakteristik eritrosit yang utama yaitu perubahan bentuk hal ini penting karena eritrosit harus bersifat flexible untuk menyusup ke kapiler-kapiler yang sangat kecil. Peningkatan konsentrasi hemoglobin atau penurunan fluiditas dapat menurunkan kemampuan berubah bentuk. Akumulasi dari membran kalsium mengakibatkan sel kaku, berkerut dan mengurangi kemampuan berubah bentuk.
Permeabilitas juga dibutuhkan seperti H2), Cl-, HCO3- dapat melewati membran secara bebas. Pompa kation mengatur keseimbangan Na+ dan K-. Deviasi dari permeabilitas influk Natrium akan mengakibatkan sel berubah bentuk. Karena secara fungsi eritrosit berhubungan erat dengan hemoglobin, maka dibawah ini akan dibahas juga mengenai pembentukan hem sebagai unsur pembentuk hemoglobin.
2.1.2. Pembentukan Hem
Hem disintesis dari glisin dan suksinil KoA (Gbr. ), yang berkondensasi dalam reaksi awal membentuk asam -aminolevulinat (-ALA). Enzim yang mengkatalisis reaksi ini, -ALA sintase, memerlukan piridoksal fosfat. Dalam reaksi ini, glisin mengalami dekarboksilasi. Dalam reaksi kedua pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh -ALA dehidratase, 2 molekul -ALA menyatu untuk membentuk pirol porfobilinogen (Gbr. ). Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus vinil, membentuk protoporfirinogen. Jembatan metilen kemudian mengalami oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX (Gbr. ). Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (juga dikenal sebagai hem sintase)
2.1.3. Sumber Besi
Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary Allowance (RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15mg untuk wanita pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang mudah diserap. Besi nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena tumbuhan seringkali mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain yang membentuk kelat atau presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga mencegah penyerapannya. Di pihak lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan penyerapan besi non-hem dari saluran cerna. Penyerapan besi juga meningkat pada waktu dibutuhkan dengan mekanisme yang belum diketahui. Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+) (Gbr. ). Karena bersifat toksik, di dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein(Gbr. ). Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh protein, apotransferin.
Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi transferin. Besi dioksidasidari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai s eruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi biasanya hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang terutama disebabkan oleh kandungan transferinnya, adalah sekitar 300 g/dL. Penyimpanan besi terjadi di sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa,
dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini, protein penyimpan, apoferitin, membentuk
kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal sebagai feritin. Dalam keadaan normal, hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun, jumlah ini meningkat seiring dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah feritin di dalam darah adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di dalam tubuh. Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis yang diperatarai oleh reseptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.
2.1.4. Pengaturan Pembentukan Hem
Hem mengatur sintesisnya sendiri melalui mekanisme yang mempengaruhi enzim pertama dalam jalur, -ALA sintase (lihat Gbr. ) .Hem menekan pembentukan enzim ini, dan juga secara langsung menghambatnya. Dengan
demikian, terjadi pembentukan hem apabila kadar hem turun. Seiring dengan
peningkatan kadar hem, kecepatan sintesis hem berkurang.
Hem juga mengatur sintesis hemoglobin dengan merangsang pembentukan
protein globin. Hem mempertahankan kompleks inisiasi ribosom dalam keadaan
aktif.
Gambar 7 : Pengaturan pembentukan Hem
2.1.5. Fungsi Hemoglobin dan Kurva Kejenuhan
Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transpor oksigen dari paru-paru
ke jaringan-jaringan. Sel darah merah dalam darah arteri sistemik mengangkut
oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan karbon
dioksida (CO2) ke paru-paru. Ketika molekul hemoglobin memuat dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin mendorong satu sama lain(Gbr. 8 ). Ketika O2 dilepas, rantai-rantai tertarik-pisah (pulled apart),
memudahkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang mengakibatkan merendahnya afinitas molekul untuk O2. Pergerakan ini bertanggung jawab terhadap bentuk sigmoid kurve disosiasi O2 haemoglobin (Gbr. 9 ). P 50 (yakni, tekanan parsial O2 pada mana hemoglobin setengah jenuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan peningkatan afinitas untuk O2, kurva bergeser ke kiri (yakni, P 50 turun) sementara, dengan penurunan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kanan (yakni P 50 naik). Normal di dalam tubuh, pertukaran O2 bekerja di antara kejenuhan 95% (darah arteri) dengan tekanan O2 arteri rata-rata 95 mmHg dan kejenuhan 70% (darah vena) dengan tekanan O2 vena rata-rata 40 mmHg.Posisi kurve normal tergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2 dalam sel darah merah dan pada struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi tinggi 2,3-DPG, H+ atau CO2, dan adanya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (Hb S) menggeser kurve ke kanan sedangkan hemoglobin janin (Hb F) yang tidak dapat mengikat 2,3-DPG dan hemoglobin abnormal tertentu yang langka yang berhubungan dengan polisitemia menggeser kurve ke kiri karena hemoglobin ini kurang mudah melepas O2 daripada normal. Jadi oksigen binding/dissosiasi dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3-DPG. Gambar 8 : Diagram yang memperlihatkan pengaruh dari 2,3-DPG pada Interaksi Hemoglobin -Oksigen
Peran 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG)
Komponen dari 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG), dihasilkan dari intermediate glikolisis 1,3-bisphosphoglycerate, adalah suatu efektor allosterik yang kuat pada proterti binding oksigen hemoglobin. Jalur sintesis 2,3-BPG pada diagram di bawah ini. Jalur sintesis 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG) dalam eritrosit. Sintesis dari 2,3-BPG menggambarkan jalur reaksi dari konsumsi glukosa dalam eritrosit. Sintesis dari 2,3-BPG dalam eritrosit adalah penting untuk mengontrol afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Catatan bahwa ketika glukosa dioksidasi pada jalur ini, eritrosit kehilangan kemampuan untuk mengikat 2 mol ATP dari oksidasi glikolisis 1,3-BPG menjadi 3-phosphoglycerate melalui reaksi phosphoglycerate kinase.
Gambar 9 : Curva Disosiasi Oksigen-hemoglobin
2.1.6. Penguraian Hem
Hem diruaikan menjadi bilirubin, yang kemudian dikonjugasikan dengan
glukuronat dan diekskresikan dalam empedu (Gbr. 10 ). Walaupun hem dari
sitokrom dan mioglobin juga mengalami pengubahan menjadi bilirubin, sumber
utama pigmen empedu ini adalah hemoglobin. Setelah mencapai akhir masa
hidupnya (sekitar 120 hari), sel darah merah difagositosis oleh sel system
retikuloendotel. Globin mengalami pemutusan menjadi konstrituen asam aminonya,
dan besi dikembalikan ke simpanan besi tubuh. Hem mengalami oksidasi dan
pemutusan menjadi karbon monoksida dan biliverdin. Biliverdin direduksi menjadi
bilirubin, yang kemudian diangkut ke hati berkompleks dengan albumin serum.
Di hati, bilirubin diubah menjadi senyawa yang lebih larut dalam air dengan
mereaksikannya dengan UDP-glukuronat untuk membentuk biirlubin
monoglukuronida, yang diubah menjadi diglukuronida. Bilirubin bentuk
terkonjugasi ini diekskresikan ke dalam empedu.
Di usus, bakteri melakukan dekonjugasi bilirubin diglukuronida dan
mengubah bilirubin menjadi urobilinogen (Gbr. 10 ). Sebagian urobilinogen
diserap ke dalam darah dan diekskresikan melalui urin. Namun, sebagian besar
urobilinogen dioksidasi menjadi golongan urobilin, misalnya sterkobilin, dan
diekskresikan dalam feses. Pigmen-pigmen ini menyebabkan feses berwarna coklat.
Gambar 10 : Metabolisme Hemoglobin
2.2. Eritrosit (Sel Darah Merah)
Agar berhasil mengangkut hemoglobin untuk mengenai jaringan dan untuk perukaran gas yang baik, sel darah merah yang berdiameter 8 m, harus sanggup
melewati secara berulang-ulang mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 m, untuk menjaga hemoglobin dalam keadaan tereduksi dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotic walaupun terdapat konsentrasi protein (hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan totalnya sepanjang 120 hari kehidupan telah diperkirakan 300 mil. Untuk memenuhi fungsi ini, sel bersifat lentur, bikonkaf dengan kemampuan membentuk energi sebagai ATP dengan jalan anaerobic, glikolitik (Embden- Meyerhof) dan menghasilkan pereduksi sebagai NADH dengan jalan ini dan sebagai NADPH dengan shunt heksosa monofosfat. Gambar 11 : bentuk eritrosit yang melewati kapiler. Energi ATP diperlukan untuk kontraksi membran sel agar dapat merubah bentuk eritrosit memasuki pembuluh darah yang sangat kecil.
2.2.1. Metabolisme Sel Darah Merah
a. JALAN EMBDEN-MEYERHOF
Eritrosit tidak mempunyai mitokondria atau organel lainnya dan juga metabolisme di dalam sitoplasmanya sangat berkurang. Yang diperlukan untuk fungsinya tentu saja adalah penambahan glukosa yang dipecahkan melalui glikolisis menjadi laktat. Untuk setiap molekul glukosa yang digunakan, dihasilkan dua molekul ATP dan dengan demikian dua ikatan fostat berenergi tinggi. ATP ini menyediakan energi untuk pemeliharaan volume, bentuk dan kelenturan (flexibility) sel darah merah. ATP juga berfungsi menyediakan energi bagi Na+/K+ -ATPase, yang menjaga lingkungan ion di dalam eritrosit, dan ini memakai satu molekul ATP untuk menggerakkan tiga ion natrium ke luar dan dua ion kalium ke dalam sel. BPG (2,3-Bifosfogliserat) juga berasal dari pemecahan glukosa. Jalan Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim methhemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin yang tidak berfungsi (hemoglobin teroksidasi) yang mengandung besi Ferri (Fe3+OH)-yang diproduksi oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin setiap hari- untuk menjadi aktif berfungsi sebagai bentuk hemoglobin tereduksi (mengandung besi ferro, Fe2+).
b. JALAN HEKSOSA MONOFOSFAT (PENTOSA FOSFAT)
Kira-kira 5% glikolisis terjadi dengan cara oksidatif ini di mana glukosa 6-
fosfat dikonversi menjadi 6-fosfoflukonat dan terus menjadi ribulosa 5-fosfat.
NADPH dihasilkan dan berikatan dengan glutation (GSH) yang menjaga keutuhan
gugus sulfidril (-SH) dalam sel termasuk yang di dalam hemoglobin dan membran
sel darah merah. NADPH yang digunakan oleh methemoglobin reduktase lainnya
memelihara besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang fungsional aktif.
Selain itu dengan adanya O2 selalu terbentuk peroksida yang sangat reaktif,
yang juga harus dimusnahkan. Hal ini terjadi secara enzimatik dengan bantuan
glutation (GSH). Tripeptida (-Glu-Cys-Gly) yang atipikal ini membawa satu gugus
tiol pada sistein. Pada reduksi methemoglobin dan peroksida, gugus tiol tersebut
akan dioksidasi menjadi disulfida yang sesuai (GSSG). Regenerasi GSH dikatalisis
oleh glutation reduktase yang pada proses ini memerlukan NADPH sebagai
koenzim. (Lihat Gambar 12 di bawah ini)
2.2.2. Membran Sel Darah Merah
Ini merupakan lapisan lipid bipolar yang mengandung protein structural dan kontraktil dan banyak enzim serta antigen permukaan. Kira-kira 50% membran
adalah protein, 40% lemak dan sampai 10% karbohidrat. Lipid terdiri dari 60%
fosfolipid netral (terutama kolesterol) dan 10% glikolipid. Fosfolipid dan glikolipid adalah structural dengan gugus polar pada permukaan eksterna dan interna dan gugus nonpolar pada tengah membran. Karbohidrat terdapat hanya pada permukaan eksterna sedangkan protein diduga baik sebagai bagian tepi (perifer) ataupun integral, yang menembus bilamina lipid (lipid bilayer). Satu dari protein tersebut spektrin diduga structural pada permukaan dalam, yang memperthankan bentuk bikonkaf. Cacat protein ini dapat menerangkan abnormalitas bentuk membran sel darah merah, misalnya sferositosis herediter dan elliptositosis, sedangkan perubahan dalam komposisi lipid yang disebabkan abnormalitas congenital atau akuisita dalam kolesterol atau fosfolipid plasma dapat berkaitan dengan abnormalitas membran lain. Gambar 13 : Unit membran eritrosit dengan simpanan protein
2.2.3. Penghancuran Eritrosit
Ini terjadi setelah umur rata-rata 120 hari ketika sel dipindahkan ke ekstravaskular oleh makrofag system retikuloendotelial (RE), teristimewa dalam sumsum tulang tetapi juga dalam hati dan limpa. Mebabolisme sel darah merah perlahan-lahan memburuk karena enzim tidak diganti, sampai sel menjadi tidak mampu (non-viable), tetapi alasan yang tepat mengapa sel darah merah mati tidak jelas. Sel darah merah pecah membebaskan besi untuk sirkulasi melalui transferin plasma ke eritroblas sumsum, dan protoporfirin yang dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin beredar ke hati dimana ia dikonjugasikan dengan glukoronida yang dieksresi ke dalam usus melalui empedu dan dikonversi menjadi sterkobilinogen dan sterkobilin (diekskresi dalam feses). Sterkobilinogen dan sterkobilin sebagian diserap kembali (reabsorpsi) dan diekskresi dalam urin sebagai urobilinogen dan
urobilin. Fraksi kecil protoporfirin dikonversi menjadi karbon monoksida (CO) dan diekskresi melalui paru-paru. Rantai globin dipecah menjadi asam amino yang dipakai kembali (reutilisasi) untuk sintesis protein umum dalam tubuh. Hemolisis intravaskular (pemecahan sel darah merah di dalam pembuluh darah) memainkan peranan sedikit atau tidak sama sekali pada penghancuran sel darah merah.
2.2.4. Aktivitas Antioksidan pada Eritrosit
NADH, NADPH dan GSH diproduksi oleh metabolisme eritrosit. NADH diproduksi pada jalur glikolisis, sedangkan NADPH diproduksi pada jalur Phentosa Phosphat (PPP). Glutation (GSH) adalah suatu tripeptida yang disintesis oleh eritrosit dari asam amino glutamic acid, cystein dan glysin. Glutation dapat dengan mudah dioksidasi oleh grup sulfhydryl. GSH dipelihara dalam keadaan tereduksi oleh NADPH dan enzym glutation reduktase.
Reaksi Glutation :
O2 + H2O H2O2
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (Reaksi glutation peroksidasi)
GSSH + NADPH GSH + NADP (Reduksi oleh glutation reduktase)
Aktivitas NADH Methhemoglobin Reductase :
Hb(Fe3+) + NADH Hb(Fe2+) + NAD
Reaksi ini secara fisiologi sangat penting
Aktivitas NADPH Methemoglobin Reduktase :
Hb(Fe3+) + NADPH Hb(Fe2+) + NADP
Reaksi ini menjadi lebih penting bila konsentrasi methemoglobin dalam tubuh
tinggi.
BAB III
SIMPULAN
Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai
berikut :
1. Hemoglobin berfungsi untuk transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dan
jaringan
2. Hem adalah porfirin yang paling banyak dihasilkan dalam tubuh yang akan
membentuk hemoglobin, mioglobin dan sitokrom
3. Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transpor oksigen dari paruparu
ke jaringan-jaringan
4. Oksigen binding/disosiasi dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan
konsentrasi 2,3-DPG. Sintesis dari 2,3-BPG dalam eritrosit adalah penting
untuk mengontrol afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
5. Pada proses penguraian hem, hem akan diuraikan menjadi bilirubin yang
kemudian dikonjugasikan dengan glukoronat dan diekskresikan dalam
empedu
6. Struktur sel eritrosit bersifat lentur dan bikonkaf sehingga dapat berubahubah
ketika sel berjalan melewati kapiler yang sangat kecil.
7. Eritrosit tidak mempunyai mitokondria atau organel lainnya dan juga
metabolisme di dalam sitoplasmanya sangat berkurang, sehingga untuk
melaksanakan fungsinya diperlukan penambahan glukosa yang dipecahkan
melalui glikolisis menjadi laktat.
8. Metabolisme yang dominan pada eritrosit adalah glikolisis, PPP dan 2,3-
BPG. Glikolisis penting untuk menyediakan ATP untuk pompa oin
membran dan NADH untuk re-oksidasi methemoglobin. PPP menyediakan
NADPH untuk menjaga keadaan tereduksi dari glutation. Jika hal ini gagal,
maka pada RBC akan meningkat jumlah peroxide terutama hal ini akan
mengakibatkan lemahnya dinding sel dan akan menyebabkan hemolisis.
MAKALAH ILMIAH
METABOLISME ERITROSIT
DISUSUN OLEH :
MARIA KOMARIAH
NIP. 19991224199903 2 001
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2009
..
Sel Darah Merah (Eritrosit) Fungsi utama dari sel darah merah (eritrosit) adalah mentransfer hemoglobin. Eritrosit normal berbentuk bulat atau agak oval dengan diameter 7 8 mikron (normosit). Dilihat dari samping, eritrosit nampak seperti cakram atau bikonkaf dengan sentral akromia kira-kira - diameter sel. Dalam mengevaluasi morfologi sel darah merah pada sediaan apus, ada 4 hal yang harus diperlihatkan : 1. bentuknya (shape), 2. ukurannya (size), 3. warnanya (staining), dan 4. struktur intraselluler (structure). (Patologi klinik, 2006).
a. Morfologi Normal Sel Darah Merah Eritrosit normal kelihatan bundar dengan diameter 7,5 m dengan ketebalan tepi 2 m. Dari samping eritrosit kelihatan berbentuk seperti cakram dengan kedua permukaannya cekung (biconcav disk).
b. Morfologi Abnormal Sel Darah merah Kelainan eritrosit biasanya dinyatakan dengan perubahan ukuran, bentuk, dan warnanya (atau derajat hemoglobinnya).
- Kelainan ukuran eritrosit a. Mikrosit,
b. Makrosit,
- Kelainan Warna Eritrosit a. Hipokromia b. Hiperkromik - Kelainan Bentuk Eritrosit a. Ecchinocytes b. Elliptocytes c. Poikilocytes d. SchistocytesSickle cell e. Tear Drop Cell BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Eritrosit dan Hemoglobin Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1995). Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Williams, 2007). Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 m, dan tebal 2 m namun dapat berubah bentuk sesuai diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit mengandung kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit normal sekitar 5,4jt/ l didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Ganong, 1999).
Hemoglobin merupakan protein yang berperan paling besar dalam transpor oksigen ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru. Hemoglobin merupakan protein heme sama seperti myoglobin, myoglobin yang bersifat monomerik (mengandung satu subunit) banyak ditemukan di otot, sedangkan hemoglobin yang ditemukan di darah memiliki empat subunit polipeptida maka disebut tetramerik (Harper, 2003). Masing-masing subunit dari hemoglobin mengandung satu bagian heme dan suatu polipeptida yang secara kolektif disebut globin, terdapat dua pasang polipeptida dalam setiap molekul hemoglobin dimana 2 dari subunit tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 lainnya mengandung poipeptida jenis lain. Pada orang dewasa normal 2 subunit mengandung polipeptida rantai sedangkan subunit lainnya mengandung polipeptida , sehingga hemoglobin jenis ini disebut hemoglobin A dengan kode 22. Namun pada darah orang dewasa ditemukan sekitar 2,5% hemoglobin dengan polipeptida rantai yang disubtitusikan polipeptida rantai (Ganong, 1999).4
Heme yang terkandung dalam hemoglobin merupakan tertrapirol siklik dengan empat molekul pirol yang terhubung oleh jembatan -metilen. Stuktur ikatan ganda pada heme menyerap spektrum warna tertentu dan memberi warna merah gelap khas pada hemoglobin maupun myoglobin (Harper, 2003).
Gambar 2.1. Struktur heme yang menunjukkan 4 molekul pirol yang terhubung dan membentuk cincin disertai satu molekul Fe2+ di tengah struktur tersebut.
(Harper, 2003)
Tiap hemoglobin dapat mengikat empat molekul O2, satu molekul untuk tiap subunit/hemenya. Pada proses pengikatan oksigen ini terjadi fenomena yang disebut cooperative binding, yaitu molekul oksigen dalam satu struktur tetramer hemoglobin akan mudah berikatan bila sudah ada molekul oksigen yang telah berikatan. Fenomena ini memungkinkan pengikatan oksigen dari paru-paru dan pelepasan oksigen yang maksimal ke jaringan (Harper, 2003). Selain mengangkut oksigen ke jaringan, hemoglobin juga berperan dalam mengangkut CO2 yang merupakan hasil sampingan respirasi dan proton (H+) dari jaringan perifer. Namun afinitas ikatan CO2 lebih tinggi daripada O2, sehingga tingginya kadar CO2 dapat menurunkan kemampuan transpor oksigen dari hemoglobin (Ganong, 1999)
Pengikatan CO2 terjadi pada ujung terminal polipeptida hemoglobin, ikatan ini membentuk karbamat yang merupakan 15% dari keseluruhan dari CO2 dalam darah vena, sisa CO2 dalam darah vena berbentuk bikarbonat yang merupakan hasil reaksi antara CO2 dengan asam karbonat (H2CO3) yang terjadi dalam eritrosit. Hemoglobin yang telah mengalami deoksigenasi akan mengikat satu proton untuk dua molekul oksigen yang dilepas, reaksi ini menambah sifat buffer darah. Penurunan pH ini ditambah reaksi karbamasi menjaga keseimbangan pH darah dan membantu pelepasan oksigen (Harper, 2003). 5
1.2. Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin Proses pembentukan eritrosit yang disebut sebagai eritropoiesis merupakan proses yang diregulasi ketat melalui kendali umpan balik. Pembentukan eritrosit dihambat oleh kadar hemoglobin diatas normal dan dirangsang oleh keadaan anemia dan hipoksia. Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada bulan kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke sumsum tulang (Williams, 2007). Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya tulang-tulang tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung proksimal femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada tulang-tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan adiposit. Pada periode stress hematopoietik tubuh dapat melakukan reaktivasi pada limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk memproduksi sel darah, keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis ekstramedular (Munker, 2006).
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal (Ganong, 1999). Eritropoietin bersirkulasi di darah dan menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang dinamai hypoxia induced factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen yang tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati (Williams, 2007). Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam kobalt, androgen, adenosin dan katekolamin melalui sistem -adrenergik. Namun perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia (Harper,2003).
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem cell beserta turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini menimbulkan beberapa efek seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi diferensiasi sel-sel eritroid.
c. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit (Hoffman,2005). Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit (bakal platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki inti, bertambah banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari sel prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian
waktu dalam 24 jam pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana terjadi remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi matur (Munker, 2006).
Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian setelah terbentuk -aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali kedalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin. Proses pembentukan heme dapat dilihat di gambar 2.2. dan gambar 2.3. (Harper, 2003).
Gambar 2.2. Pembentukan heme dari Glisin + Suksinil-KoA sampai porphobilinogen
(Harper, 2003)8
Gambar 2.3. Reaksi dari ALA sampai coproporphyrinogen III terjadi di sitoplasma, reaksi berlanjut sampai didapati protoporfirin yang mengalami penambahan Fe2+ dan menjadi heme. (Harper, 2003)
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan pengecualian eritrosit matur yang tidak memiliki mitokondria, namun hampir 85% heme dihasilkan oleh sel prekursor eritroid pada sumsum tulang dan hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi melalui mekanisme umpan balik oleh enzim -aminolevulinat sintase (ALAS), ALAS tipe 1 ditemukan pada hati sedangkan ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid. Heme tampaknya bekerja melalui molekul aporepresor bekerja sebagai regulator negatif terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa sintesis ALAS1 tinggi saat kadar heme rendah dan hampir tidak terjadi saat kadar heme tinggi. Selain sintesis hemoglobin, heme juga dibutuhkan enzim hati sitokrom P450 untuk memetabolisme zat lain, keadaan ini dapat meningkatkan kerja ALAS1 (Harper, 2003). 9
1.3. Olahraga Anaerobik dan Aerobik Pembagian kedua tipe olahraga ini didasari oleh cara penghasilan energi serta metabolisme dan konsumsi oksigennya. Olahraga anaerobik sering juga disebut sebagai latihan kekuatan/strength training sementara olahraga aerobik disebut sebagai latihan ketahanan/endurance training. Yang termasuk olahraga anaerobik adalah angkat beban, lari sprint, berenang 50 meter, dll. Sedangkan yang termasuk olahraga aerobik adalah lari jarak jauh/marathon, basket, sepak bola, berenang jarak jauh, jogging, dll.
Olahraga Anaerobik merupakan aktivitas fisik yang memerlukan letupan energi relatif besar dalam waktu singkat, keadaan ini menuntut penghasilan energi yang cepat melalui proses glikolisis tanpa memerlukan oksigen. Tanpa suplai dan utilisasi oksigen yang adekuat, hidrogen yang terbentuk dari proses glikolisis gagal teroksidasi; pada keadaan ini, piruvat akan bereaksi dengan hidrogen membentuk laktat. Keadaan ini memungkinkan penghasilan ATP berkesinambungan dengan fosforilasi anaerobik pada tingkat substrat. Glikogen pada aktivitas fisik anaerobik ini dapat digolongkan sebagai bahan bakar cadangan yang diaktivasi saat perbandingan kebutuhan oksigen dengan suplai oksigen mencapai 1:0 (Katch, 2011).
Pada individu yang terlatih dalam olahraga anaerobik, terjadi peningkatan ambang batas kenaikan asam laktat darah, peningkatan ini berarti bahwa individu tersebut dapat melakukan aktivitas anaerobik lebih sebelum mengalami letupan peningkatan asam laktat darah. Asam laktat yang diproduksi otot ini dapat ditransfer ke otot lain untuk dikonversi kembali menjadi piruvat atau bahkan diikutkan ke proses aerob, keadaan ini memungkinkan satu sel otot mensuplai substrat penghasil energi ke sel otot lainnya (Katch, 2011). Jadi sebagian besar laktat akan dioksidasi otot sebelum memasuki peredaran darah, hal ini menjelaskan fenomena peningkatan ambang batas laktat pada individu yang melakukan latihan kekuatan dimana otot cenderung mengalami hipertrofi sehingga kapasitas oksidasi dan penampungan laktat relatif lebih besar. Selain dioksidasi di otot, laktat dalam aliran darah akan direaksikan kembali menjadi glukosa dalam hati.10
Olahraga aerobik, berbeda dengan olahraga anaerobik, membutuhkan penghasilan energi yang relatif kecil namun berkesinambungan dalam jangka waktu lebih lama (lebih dari 2 atau 3 menit). Untuk memenuhi kebutuhan ini tubuh mengambil jalur metabolisme aerobik yang menghasilkan lebih banyak ATP per substrat yang dibutuhkan. Pada individu yang terlatih dalam olahraga aerobik, pemakaian oksigen akan lebih efisien karena tubuh memasuki fase konsumsi oksigen stabil lebih cepat daripada individu tidak terlatih. Fase konsumsi oksigen stabil yang lebih cepat dicapai ini berarti hanya terjadi sintesis ATP anaerobik yang singkat, sehingga individu terlatih mengkonsumsi oksigen lebih banyak dengan penghasilan energi yang lebih efisien dan defisit oksigen lebih sedikit dibanding individu tak terlatih.
Peningkatan fungsi aerob ini merupakan perubahan dari beberapa sistem seperti serabut otot yang lebih efisien (terjadi peningkatan vaskularisasi dan jumlah serta ukuran mitokondria), kapasitas pernafasan yang lebih besar dan efisien untuk menunjang kebutuhan oksigen, sistem kardiovaskuler, dll (Tipton,2003). Salah satu mekanisme kompensasi untuk membantu utilisasi dan suplai oksigen ke otot adalah peningkatan penyimpanan oksigen otot dalam myoglobin serta transpor oksigen melalui hemoglobin eritrosit. Perubahan-perubahan ini secara teoritis lebih signifikan pada orang yang terlatih dalam olahraga aerobik dibandingkan olahraga anaerobik (Katch, 2011).
Tingkat olahraga dapat diukur melalui frekuensi, intensitas dan durasi aktivitas yang dilakukan. Idealnya olahraga dilakukan tiga sampai lima sesi dalam satu minggu dengan durasi 30 sampai 60 menit tiap sesinya. Intensitas atau beratnya olahraga memegang peranan besar dalam olahraga yang dilakukan, agar menimbulkan hasil yang optimal diperlukan latihan dengan intensitas tinggi yang umumnya diukur dengan detak jantung yang dicapai. Perhitungan ini dilakukan dengan mengukur detak jantung maksimal yang merupakan 220kali/menit dikurangi umur individu yang melakukan olahraga, lalu hasil yang didapat dikalikan 80%. Hasil akhir tersebut adalah target detak jantung yang dicapai dan dipertahankan saat individu melakukan olahraga (Michelli, 2011).11
1.4. Perubahan Sistemik Akibat Olahraga Olahraga atau aktivitas fisik mempunyai kecenderungan memberikan beban kerja yang lebih pada tubuh. Bila beban ini diberikan terus menerus pada tubuh, maka berbagai sistem dalam tubuh akan mengalami perubahan untuk bekerja lebih efisien dibawah tambahan beban tersebut. Beberapa sistem organ yang terlibat adalah sistem respiratori, sistem kardiovaskular, endokrin, dan sistem neuromuskular (Katch, 2011).
Sistem respiratorik atau pernafasan memegang peranan penting dalam olahraga, selain berperan dalam pemasukan oksigen ke tubuh, sistem ini juga mengatur pengeluaran CO2 dari tubuh, regulasi suhu tubuh melalui pengeluaran uap air, dan juga keseimbangan asam-basa yang cenderung bergeser saat aktivitas fisik. Pada olahraga tipe aerobik, sistem pernafasan meningkat terutama untuk memenuhi kebutuhan penghantaran oksigen, sedangkan pada olahraga anaerobik adaptasi sistem ini lebih kepada penyeimbangan asam-basa akibat produksi laktat yang tinggi.
Sistem kardiovaskular, seperti sistem respirasi, juga terlibat dalam berbagai fungsi seperti penghantaran oksigen dan nutrisi ke jaringan yang membutuhkan, transport zat sisa, regulasi panas tubuh dan keseimbangan asam-basa darah. Sistem ini bekerja bersama-sama dengan sistem lainnya untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat aktivitas fisik. Tekanan darah merupakan salah satu parameter yang mengalami kompensasi paling cepat pada sistem ini, olahraga tipe endurance/ketahanan meningkatkan tekanan darah untuk memenuhi kebutuhan perfusi jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkan. Keadaan ini berbeda dengan olahraga tipe kekuatan yang meningkatkan tekanan darah akibat otot-otot rangka yang bekerja menekan arteriol perifer dan meningkatkan resitensi vaskular. Pada individu yang terlatih dengan olahraga aerobik dapat ditemukan peningkatan ukuran jantung (massa otot dan volume ruang jantung) dan volume plasma yang lebih signifikan dibanding individu yang terlatih dengan olahraga anaerobik (Katch, 2011). 12
Berbeda dengan kedua sistem yang telah dibahas, sistem neuromuskular mengalami perubahan yang lebih dapat diamati secara makroskopis. Secara umum terdapat dua tipe serabut otot; serabut fast-twitch dan slow-twitch. Serabut tipe fast-twitch merupakan otot dengan kemampuan menghasilkan energi cepat dengan proses metabolisme anaerob, sedangkan serabut slow-twitch bergantung pada metabolisme aerob sebagai sumber energinya. Pada individu yang terlatih dalam olahraga tipe anaerobik, pada ototnya ditemukan peningkatan ukuran sel (hipertropi) akibat peningkatan serabut aktin-miosin, enzim-enzim glikolitik, penurunan jumlah mitokondria dan warna otot cenderung lebih pucat. Sedangkan pada otot individu yang terlatih dalam olahraga aerobik ditemukan peningkatan jumlah maupun ukuran mitokondria, vaskularisasi, enzim-enzim mitokondria dan myoglobin sehingga warna otot tampak lebih merah (Tipton, 2003).
1.5. Pengaruh Olahraga terhadap Hemoglobin Secara umum olahraga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh terutama pada otot-otot skeletal, peningkatan metabolisme ini bertujuan meningkatan produksi energi (ATP) untuk memenuhi kebutuhan energi untuk aktivitas tersebut. Peningkatan metabolisme ini diikuti peningkatan kebutuhan O2, untuk memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran CO2serta panas diperlukan kerja terpadu berbagai mekanisme kardiovaskular dan pernafasan. Perubahan sirkulasi akan meningkatkan aliran darah ke otot, sementara sirkulasi yang adekuat ke jaringan lain harus dipertahankan (Ganong, 1999).
Aktivitas fisik yang terus menerus tersebut akan menimbulkan keadaan hipoksia pada tubuh, pada level seluler keadaan hipoksia ini akan memicu faktor transkripsi HIF-1 (hypoxia induced factor-1) yang berperan dalam adaptasi jaringan terhadap keadaan rendah oksigen, HIF-1 pada jaringan di ginjal dan hati akan memicu teranskripsi gen eritropoietin sehingga akan dihasilkan eritropoietin yang akan dilepas ke peredaran darah (Williams, 2007). Teori ini juga didukung oleh penelitian yang memaparkan individu yang hidup di dataran rendah dengan kondisi rendah oksigen pada dataran tinggi, kondisi hipoksia yang terus menerus ini didapati meningkatkan kadar hemoglobin secara signifikan (Calbet, 2002) 13
Eritropoeitin pada peredaran darah akan melewati sumsum tulang hematopoetik (red marrow) dan berikatan pada reseptornya di sel bakal, ikatan ini memicu maturasi sel bakal tersebut menjadi sel prekursor eritroid yang akan mengalami maturasi melalui serangkaian reaksi degan sitokin-sitokin seperti stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan thromopoietin (Hoffman, 2005). Peningkatan produksi dan jumlah eritrosit akibat olahraga ini akan meningkatkan kadar hemoglobin total dalam darah, peningkatan konsentrasi hemoglobin ini akan meningkatkan uptake oksigen maksimal meskipun parameter hematologi lainnya tidak banyak berubah (Tipton, 2003).
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sel darah merah atau eritrosit merupakan sel yang paling sederhana yang ada
di dalam tubuh. Eritrosit tidak memiliki nukleus dan merupakan sel terbanyak
dalam darah. Eritrosit mengandung hemoglobin, yaitu protein yang mengandung
besi, berperan dalam transpor oksigen dan karbondioksida di dalam tubuh. Oleh
karena itu eritrosit sangat diperlukan dalam proses oksigenasi organ tubuh.
Dengan mengetahui keadaan eritrosit, secara tidak langsung dapat diketahui juga
keadaan organ tubuh seseorang (Brown, 1993; Hoffbrand, Petit; 1996; Gaspard,
1998; Uthman, 2000; Perkins, 2003).
Beberapa pemeriksaan yang dapat menggambarkan parameter penting dari
fungsi dan struktur eritrosit di dalam tubuh antara lain hitung eritrosit, hemoglobin
dan hematokrit. Hitung eritrosit atau red blood cell count (RBC) adalah
menghitung jumlah total eritrosit dalam darah. Nilai rujukan normal eritrosit
adalah 4-5 juta/mm3. Hemoglobin (Hb) adalah protein dalam eritrosit yang
bertugas mengangkut oksigen. Hematokrit (Ht) adalah jumlah eritrosit dalam 100
ml darah (Perkins, 2003). Ketiga parameter di atas biasa digunakan untuk
menegakkan adanya anemia (Glader, 2003).
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan massa eritrosit
dengan akibat oksigenasi jaringan tidak dapat terpenuhi (Evatt et al, 1992;
Gaspard, 1998; Glader, 2003; Perkins, 2003; Syafrizal Syafei, 2004). Secara
praktis ada 3 parameter untuk menegakkan adanya anemia yaitu: kadar
hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit. Dari perhitungan ketiga parameter
tersebut dapat diperoleh nilai rata-rata eritrosit. Nilai rata-rata eritrosit terdiri dari
Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Evatt et al, 1992; Desai,
Isa-Pratt, 2000; Davey & Elghetany, 2001; Glader, 2003; Perkins, 2003;
Rachmawati dkk., 2003).