badan penelitian dan pengembangan kota …...laporan akhir “kajian kriteria kemiskinan di kota...
TRANSCRIPT
1 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
1.1. Latar Belakang
Menghapus segala bentuk kemiskinan merupakan salah satu
tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam agenda SDGs di
Indonesia selama 15 tahun ke depan. Propinsi Kalimantan Tengah
sebagai salah satu wilayah di Indonesia, masih terdapat penduduk
yang masuk dalam kriteria miskin. Meskipun angka kemiskinan
makro Provinsi Kalimantan Tengah semakin menurun, namun
hingga tahun 2017 masih terdapat 139.161 orang masuk kategori
miskin. Mayoritas penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah
berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur,
Kapuas dan Seruyan. Sebesar 42,83 persen dari total penduduk
miskin di Provinsi Kalimantan Tengah tinggal di empat kabupaten
ini. Sedangkan Kota Palangka Raya, sebagai Ibukota Propinsi
Kalimantan Tengah, memiliki jumlah penduduk miskin kedua
terendah (3,75%) setelah Kabupaten Sukamara (3,73%) (BPS
Kalimantan Tengah, 2017).
Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan bahwa,
kemiskinan sering dianalogikan dengan sifat kekurangan dan
ketidakberdayaan. Analogi ini mengakibatkan definisi kemiskinan
2 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
menjadi sangat luas, sehingga kita kesulitan untuk memahaminya.
Pengukuran kemiskinan adalah isu yang senantiasa menjadi
perdebatan karena sulit diukur sehingga perlu kesepakatan
mengenai pendekatan pengukuran yang dipakai (BPS Kalimantan
Tengah, 2017). Keberagaman pandangan tentang kemiskinan
menunjukan bahwa masalah kemiskinan merupakan fenomena
multi dimensi.
Hingga saat ini masih terdapat berbagai perbedaan dalam
pengukuran indikator kemiskinan yang dilakukan berbagai pihak,
baik yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian
Sosial RI, BKKBN, Bank Dunia, Bappenas, dan Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Ada berbagai
pendekatan dalam memahami kemiskinan, antara lain pendekatan
kebutuhan dasar (basic need), pendekatan rumah tangga
(household), pendekatan berkarakteristik nilai local (local value),
pendekatan kesenjangan wilayah (regional disparity).
Diantara semua pendekatan itu, pendekatan kebutuhan dasar
yang paling banyak dipakai, sebagaimana yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Konsep kemiskinan yang digunakan
oleh BPS adalah kemampuan seseorang atau rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Berdasarkan
pendekatan ini, BPS merumuskan kemiskinan sebagai
ketidakmampuan seseorang atau rumah tangga dari sisi ekonomi
3 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran. Pengeluaran per kapita per bulan
dipakai sebagai variable yang akan dibandingkan dengan besarnya
nilai Garis Kemiskinan (GK) untuk menentukan seseorang
dikategorikan miskin atau tidak miskin. Seseorang yang mempunyai
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah GK,
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Disamping penilaian berdasarkan kriteria BPS, Kemensos
menambahkan bahwa, penilaian kemiskinan tidak hanya ditandai
dengan rendahnya pendapatan, kemiskinan juga dapat ditandai
dengan tidak adanya kesempatan mencapai standar hidup tertentu
seperti kecukupan pangan, kesehatan, keterlibatan dengan
lingkungan sosial, penghargaan masyarakat, serta pendidikan yang
memadai. Masalah kemiskinan juga dapat ditandai dengan adanya
kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan
dalam menyampaikan aspirasi (AntaraNews.Com,2015).
Adanya berbagai perbedaan dalam pengukuran terhadap
kriteria kemiskinan dapat menghasilkan penarikan kesimpulan yang
juga berbeda. SMERU (2016) menunjukkan bahwa, dari berbagai
kriteria untuk menentukan kemiskinan atau penduduk miskin yang
ditetapkan oleh berbagai lembaga, dan berdasarkan studi-studi yang
pernah dilakukan SMERU, disimpulkan bahwa untuk menentukan
kemiskinan di Indonesia diperlukan kearifan lokal bagi para
4 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
pemangku kepentingan, seperti pemerintah lokal, organisasi
nonpemerintah, dan lembaga lainnya. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa karakteristik kemiskinan di suatu wilayah
berbeda dengan karakteristik kemiskinan di wilayah lain.
Berkaitan dengan upaya penurunan angka kemiskinan di Kota
Palangka Raya, Pemerintah Kota Palangka Raya sangat menyadari
bahwa untuk menyusun strategi dan penanggulangan kemiskinan
itu diperlukan data dan informasi tentang realitas kemiskinan baik
untuk target kewilayahan maupun target sasaran (kelompok
masyarakat secara langsung). Data pendekatan kewilayahan
(geografis) dalam penanggulangan kemiskinan ini penting bagi
penyusunan staregi pembangunan berkepentingan. Sedangkan data
yang lebih mikro (target sasaran secara langsung), diperlukan untuk
menghasilkan informasi bagi penentuan intervensi kebijakan
peningkatan kesejahteraan rumahtangga miskin secara
kewilayahan.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikaji kriteria
kemiskinan yang sesuai dengan kebutuhan lokal bagi pemangku
kepentingan di Kota Palangka Raya. Penyusunan kriteria
kemiskinan untuk Kota Palangka Raya ini dilakukan dengan
menyelaraskan berbagai kriteria kemiskinan yang telah dihasilkan
oleh lembaga-lembaga yang ada. Hal ini perlu dilakukan agar
nantinya penggunaan kriteria kemiskinan tersebut relevan atau
5 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tepat sasaran dengan berbagai program bantuan penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Kota Palangka Raya
Masyarakat miskin dapat diidentikkan sebagai Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Dalam usaha memberikan
pelayanan sosial untuk mengatasi masalah PMKS diperlukan
sumber yang dapat dipergunakan dan mendukung, sehingga
masalah atau kebutuhan yang didapat oleh PMKS dapat teratasi.
Untuk mengatasi PMKS tersebut, Pemerintah Kota Palangka Raya
tidak bisa bekerja sendiri. Peran serta dari seluruh elemen
pemerintah dan masyarakat, baik lembaga maupun perorangan
sangat diperlukan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS) yang ada di kota
Palangka Raya. Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 2012, potensi-potensi sumber
dimasyarakat yang dapat berkontribusi menangani permasalahan
sosial diidentifikasi sebanyak 12 (dua belas) jenis, yang selanjutnya
disebut Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).
Mengingat pentingnya data kemiskinan untuk bahan
pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Kota Palangka Raya dan pentingnya keberadaan Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam membantu
menangani masalah sosial. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian
mengenai kriteria kemiskinan rumah tangga di Kota Palangka Raya
6 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dan kontribusi PSKS dalam penanganan masalah sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah kajian
ini adalah:
1. Apakah pengukuran kemiskinan rumah tangga yang digunakan
untuk penilaian masyarakat miskin selama ini sudah sesuai
dengan kebutuhan program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan Pemerintah Kota Palangka Raya.
2. Bagaimana kontribusi Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS) dalam pengentasan kemiskinan di Kota Palangka Raya?.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari kajian ini adalah untuk mengetahui kriteria
rumah tangga miskin yang sesuai dengan kebutuhan Pemerintah
Kota Palangka Raya dan mengetahui kontribusi potensi dan sumber
kesejahteraan sosial dalam penanganan masalah sosial khususnya
dalam pengentasan kemiskinan di Kota Palangka Raya.
Selanjutnya tujuan dari kajian ini, adalah sebagai berikut:
1. Menyusun kriteria kemiskinan rumah tangga di Kota Palangka
Raya yang sesuai dengan kebutuhan program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Kota Palangka Raya.
2. Mengidentifikasi Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial(PSKS)
dan Menilai kontribusi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS) dalam pengentasan kemiskinan di Kota Palangka Raya.
7 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
1.3. Hasil dan Manfaat
Hasil kajian ini adalah :
1. Tersusunnya kriteria kemiskinan rumah tangga yang sesuai
dengan kebutuhan penyusunan program pengentasan
kemiskinan di Kota Palangka Raya
2. Teridentifikasinya Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS) di Kota Palangka Raya dan kontribusi Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam penanganan masalah sosial,
khususnya pengentasan kemiskinan di Kota Palangka Raya.
Manfaat kajian ini adalah
1. Sebagai rekomendasi bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam
pengambilan kebijakan pengentasan kemiskinan di Kota
Palangka Raya,
2. Sebagai rekomendasi bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam
penguatan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang
ada di Kota Palangka Raya.
1.4. Ruang Lingkup
1.4.1. Ruang Lingkup Wilayah
Berdasarkan data masyarakat Kota Palangka Raya yang
masuk dalam daftar Basis Data Terpadu (BDT) PFM Tahun 2018
yang di keluarkan oleh Dinas Sosial Kota Palangka Raya, maka
ruang lingkup wilayah kajian ini adalah diarahkan pada 5 (lima)
8 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Kecamatan di Kota Palangka Raya yaitu Kecamatan: Pahandut;
Sabangau; Jekan Raya; Bukit Batu; dan Rakumpit.
1.4.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan kajian ini adalah ::
1. Melakukan komparasi terhadap pengukuran kriteria kemiskinan
rumah tangga yang dilakukan oleh: a) Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Palangka; b) Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) Kota Palangka Raya; c) Dinas Sosial Kota
Palangka Raya.
2. Menyusun kriteria pengukuran kemiskinan yang sesuai dengan
kebutuhan Pemerintah Kota Palangka Raya dalam penanganan
masalah kemiskinan.
3. Mengidentifikasi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial dalam
penanganan masalah sosial di Kota Palangka Raya
4. Merumuskan strategi di dalam upaya meningkatkan kontribusi
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam
penanganan masalah sosial di Kota Kota Palangka Raya
9 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
1.5. Keluaran
Keluaran yang hendak dicapai dari kegiatan kajian ini adalah:
1. Tersedianya kriteria pengukuran kemiskinan yang sesuai dengan
kebutuhan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan
Pemerintah Kota Palangka Raya
2. Terumuskannya rekomendasi kriteria kemiskinan rumah tangga
yang sesuai dengan kebutuhan program pengentasan kemiskinan
yang dilakukan Pemerintah Kota Palangka Raya
3. Teridentifikasinya Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial yang ada
di Kota Palangka Raya
4. Terumuskannya rekomendasi arahan kebijakan pengembangan
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Kota Palangka
Raya.
10 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
2.1. Konsep Kemiskinan
2.1.1. Pengertian Kemiskinan
Pandangan konvensional, kemiskinan adalah keadaan dimana
seseorang atau sekelompok orang tidak memiliki pendapatan yang
cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan minimum secara layak.
Pandangan konvensionalini hanya memandang kemiskinan dari sisi
ekonomi saja.
Sedangkan menurut Handler dan Hasenfeld (2007),
kemiskinan dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu dari sisi: 1)
ekonomi dan 2) sosial. Pertama, dari sisi ekonomi, yaitu berfokus
pada identifikasi pendapatan untuk membeli sekeranjang barang
dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan minimal. Kedua,dari sisi sosial
yang terkait dengan tidak hanya pemenuhan aspek materi, tapi juga
kemampuan untuk dapat berpartisipasi secara optimal sebagai
anggota masyarakat. Pendekatan sosial ini didasarkan pada prinsip
moral, bahwa setiap orang harus dapat memanfaatkan beragam
sumber untuk mengembangkan kapasitas mereka dan
mendapatkan kepuasan serta kehidupan yang produktif.
Selanjutnya, menurut Bank Dunia dalam Houghton dan
Kandker (2009) kemiskinan memiliki cakupan yang lebih luas,
11 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
karena terminologi yang digunakan adalah terminologi
kesejahteraan. Dalam konteks ini, orang dikatakan miskin tidak
terbatas pada ketidakmampuannya secara ekonomi dalam
memenuhi kebutuhan hidup minimum, sebagaimana dirumuskan
pandangan konvensional, namun kemiskinan seseorang juga sangat
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi lain, seperti kapabilitas individu
yang relatif rendah dan ketidakberfungsian sosial.
Kemiskinan dapat juga didefinisikan sebagai kondisi
ketidakberuntungan. Menurut Chambers (1996) lima
ketidakberuntungan pada keluarga miskin, yaitu kerentanan,
kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan
ketidakberdayaan. Chambers menjelaskan bahwa masyarakat
miskin umumnya ditandai ketidakberdayaan (powerless) untuk 1)
memenuhi kebutuhan dasar; 2) melakukan usaha produktif; 3)
menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi; 4) menentukan nasib
sendiri; dan 5) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin.
Chambers (1981) dalam Istiana (2011) mengatakan, bahwa
inti dari masalah kemiskinan adalah adanya ’jebakan perampasan’
(deprevation trap). Dalam konteks ini, kemiskinan dilihat dari dua
sisi, yaitu kemiskinan wilayah dan kemiskinan individu. ’Jebakan
perampasan’ dapat diklasifikasikan menjadi lima aspek
ketidakberuntungan (disadvantages) pada kelompok keluarga
miskin, yang terdiri dari: (a) keterbatasan kepemilikan aset (poor);
12 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
(b) kondisi fisik yang lemah (physically weak); (c) keterisolasian
(isolation); (d) kerentanan (vulnerable); dan (e) ketidakberdayaan
(powerless).
Lima aspek ketidakberuntungan menurut Chambers tersebut
menyebabkan kondisi seseorang, kelompok, dan masyarakat
menjadi miskin. Secara faktual, tingkat kemiskinan suatu rumah
tangga yang ditandai dengan keterbatasan pemilikan aset (poor)
terkait erat dengan tingkat kesehatan dan pendidikan. Rendahnya
penghasilan keluarga miskin menyebabkan keluarga tersebut tidak
mampu memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan, sehingga
mereka hidup dalam kondisi fisik yang lemah (physically weak) dan
dalam kondisi ketidakberdayaan (powerless). Hal ini menjadikan
mereka hidup dalam kerentanan (vulnerable) dan keterisolasian
(isolation). Kondisi ini menyebabkan keluarga miskin terperangkap
dalam lingkaran kemiskinan. Dengan demikian, untuk mengatasi
masalah kemiskinan langkah pertama yang diambil adalah
meningkatkan jangkauan atau aksesibilitas masyarakat miskin
terhadap layanan publik, khususnya kesehatan dan pendidikan.
Menurut BPS dan Depsos RI (2003) kemiskinan dimaknai
sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimal untuk hidup layak (inability of the individual to meet
basic needs). Konsep tersebut sejalan dengan konsep Sen Meier
(1989) yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah ’the failure to
13 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
have certain minimum capabilities’. Definisi ini mengacu pada
standar kemampuan minimal tertentu, apabila penduduk tidak
mampu melebihi kemampuan minimum tersebut, maka dapat
dianggap sebagai miskin. Perhitungan penduduk miskin di
Indonesia mengikuti konsep ini. Artinya, penduduk yang secara
pendapatan tidak/kurang bisa memenuhi kebutuhan dasar minimal
dianggap miskin. Definisi kemiskinan dengan satu dimensi (ekonomi
semata) dengan standar pemenuhan kebutuhan dasar serta garis
kemiskinan nampaknya kurang memadai untuk menggambarkan
realitas kemiskinan yang sebenarnya. Pandangan ini terlalu sempit
karena masalah kemiskinan tidak hanya sebatas masalah material
saja. Penyebab kemiskinan dapat berasal dari berbagai hal, mulai
dari ketidakadilan distribusi pendapatan, ketimpangan pendidikan,
ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, ketidakmerataan aset,
baik antar wilayah maupun antar daerah dan sebagainya.
Biro Pusat Statistik (2006) membagi kemiskinan menjadi dua,
yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif
didasarkan pada ketidakmampuan seseorang untuk mencapai
standar kehidupan tertentu yang ditetapkan oleh masyarakat
setempat, sehingga proses penentuannya sangatlah subyektif.
Dalam mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin,
garis kemiskinan relatif mencukupi untuk digunakan, kendati perlu
disesuaikan dengan tingkat pembangunan negara secara
14 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
keseluruhan. Misalnya garis kemiskinan US 1$ per hari mungkin
bermanfaat di Vietnam, ketika 27% penduduk tergolong miskin
dengan standar ini (Haugton, 2000). Sedang kemiskinan absolut
ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang dalam
mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kebutuhan pokok
minimum ini diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal
dengan istilah ’garis kemiskinan’. Garis kemiskinan absolut ini tidak
berubah dalam hal standar hidup, karenanya garis kemiskinan
absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum.
Garis kemiskinan menurut Biro Pusat Statistik merupakan
sejumlah uang yang diperlukan oleh setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan makan yang setara dengan 2.100 kalori per
orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari
perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan
aneka barang/jasa lainnya. Individu yang pengeluarannya lebih
rendah daripada garis kemiskinan disebut penduduk miskin, yang
terdiri dari penduduk fakir dan penduduk fakir miskin.
Fakir miskin menurut PP No 42 Tahun 1981 tentang
Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin dan Pola
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dimaknai sebagai seseorang
yang sama sekali tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang
15 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai mata
pencaharian pokok tetapi tidak mencukupi. Lebih jauh Undang-
Undang No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
mendefinisikan Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan atau mempunyai sumber
mata pencaharian, tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan
keluarganya. Kelompok fakir miskin dan rentan miskin (seperti
anak-anak, lansia, wanita, dan penyandang disabilitas) inilah yang
menjadi amanah konstitusi sebagai sasaran/target untuk menerima
bantuan negara dalam rangka melindungi dan menyediakan hak-
hak dasar dan atau meningkatkan kemampuan dasar mereka,
sehingga hidup mereka relatif sejahtera.
Kemiskinan dalam konsep kesejahteraan sosial dimaknai
sebagai masalah sosial (ketunaan, keterasingan, kerentanan,
keterlantaran) yang disandang oleh seseorang atau sekelompok
warga masyarakat yang menyebabkan mereka mengalami
keterbatasan tingkat kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial
yang dimaksud menurut UU No 11 Tahun 2009 adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga
negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan dirinya
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pendapat lain
menyatakan, bahwa kemiskinan bukanlah menyangkut masalah
16 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
material saja tetapi juga menyangkut faktor yang lebih luas.
Heru Nugroho (2000) mengemukakan, kemiskinan merupakan
masalah multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor
ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. Terkait dengan aspek
budaya, Lewis (1988) mendefinisikan budaya kemiskinan sebagai
suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di
kalangan masyarakat. Saifuddin (2005) menjelaskan budaya
kemiskinan ini merupakan cara hidup yang khas dikembangkan
oleh stratum terbawah masyarakat kapitalistik dalam upaya
merespon kondisi deprivasi ekonomi yang senjang. Lebih jauh
dikemukakan, bahwa ciri-ciri budaya kemiskinan yaitu kurang
efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga
utama masyarakat.
Friedman dalam Edy Suharto (2005) mendefinisikan
kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, meliputi modal
produktif dan aset (misalnya tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber-sumber keuangan (pendapatan, kredit yang
memadai), organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan dan tujuan bersama (partai politik, koperasi,
kelompok usaha, kelompok simpan pinjam), network atau jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan,
17 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dan keterampilan serta informasi yang berguna untuk memajukan
hidup.
Kemiskinan menurut World Summit for Social Development di
Kopenhagen, Denmark tahun 1995 memiliki wujud majemuk.
Dalam konteks tersebut, 117 negara peserta mengadopsi deklarasi
dan program aksi termasuk komitmen untuk menghapus ‛absolute
poverty‛ dan menurunkan ‛overall poverty‛. Absolute poverty
didefinisikan sebagai suatu kondisi yang dicirikan kekurangan
parah atas kebutuhan dasar manusia, termasuk pangan, air minum
aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, perumahan, pendidikan, dan
informasi.
Bappenas (2004) mendefinisikan istilah kemiskinan sebagai
kondisi seseorang atau sekelompok masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak mampu memenuhi hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan
yang sehat, rasa aman, baik bagi kaum laki-laki maupun
perempuan, dan persamaan derajat.
18 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
2.1.2. Bentuk dan Jenis Kemiskinan
Kemiskinan memiliki 4 bentuk jika dipandang sebagai
permasalahan multidimensional. Adapun keempat bentuk
kemiskinan tersebut adalah (Suryawati, 2004):
1) Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi di mana pendapatan
seseorang atau sekelompok orang berada di bawah garis kemiskinan
sehingga kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan standar
untuk pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan
yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Di sini, garis kemiskinan diartikan sebagai pengeluaran rata-
rata atau konsumsi rata-rata untuk kebutuhan pokok berkaitan
dengan pemenuhan standar kesejahteraan. Bentuk kemiskinan
absolut ini paling banyak dipakai sebagai konsep untuk
menentukan atau mendefinisikan kriteria seseorang atau
sekelompok orang yang disebut miskin.
2) Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif diartikan sebagai bentuk kemiskinan yang
terjadi karena adanya pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat sehingga
menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan atau ketimpangan
19 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
standar kesejahteraan. Daerah yang belum terjangkau oleh
program-program pembangunan seperti ini umumnya dikenal
dengan istilah daerah tertinggal.
3) Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural adalah bentuk kemiskinan yang terjadi
sebagai akibat adanya sikap dan kebiasaan seseorang atau
masyarakat yang umumnya berasal dari budaya atau adat istiadat
yang relatif tidak mau untuk memperbaiki taraf hidup dengan tata
cara moderen. Kebiasaan seperti ini dapat berupa sikap malas,
pemboros atau tidak pernah hemat, kurang kreatif, dan relatif pula
bergantung pada pihak lain.
4) Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan yang
disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang
pada umumnya terjadi pada suatu tatanan sosial budaya ataupun
sosial politik yang kurang mendukung adanya pembebasan
kemiskinan. Bentuk kemiskinan seperti ini juga terkadang memiliki
unsur diskriminatif.
Bentuk kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan
yang paling banyak mendapatkan perhatian di bidang ilmu sosial
terutama di kalangan negaranegara pemberi bantuan/pinjaman
20 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
seperti Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia. Bentuk
kemiskinan struktural juga dianggap paling banyak menimbulkan
adanya ketiga bentuk kemiskinan yang telah disebutkan
sebelumnya (Jarnasy, 2004).
Setelah dikenal bentuk kemiskinan, dikenal pula dengan jenis
kemiskinan berdasarkan sifatnya. Adapun jenis kemiskinan
berdasarkan sifatnya adalah:
1) Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terbentuk
sebagai akibat adanya kelangkaan sumber daya alam dan minimnya
atau ketiadaan pra sarana umum (jalan raya, listrik, dan air bersih),
dan keadaan tanah yang kurang subur. Daerah-daerah dengan
karakteristik tersebut pada umumnya adalah daerah yang belum
terjangkau oleh kebijakan pembangunan sehingga menjadi daerah
tertinggal.
2) Kemiskinan Buatan
Kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
system moderenisasi atau pembangunan yang menyebabkan
masyarakat tidak memiliki banyak kesempatan untuk menguasai
sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi secara merata.
Kemiskinan seperti ini adalah dampak negatif dari
pelaksanaan konsep pembangunan (developmentalism) yang
umumnya dijalankan di negara-negara sedang berkembang. Sasaran
21 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi tinggi mengakibatkan
tidak meratanya pembagian hasil-hasil pembangunan di mana
sektor industry misalnya lebih menikmati tingkat keuntungan
dibandingkan mereka yang bekerja di sektor pertanian.
Kedua jenis kemiskinan di atas seringkali masih dikaitkan
dengan konsep pembangunan yang sejak lama telah dijalankan di
negara-negara sedang berkembang pada dekade 1970an dan 1980an
(Jarnasy, 2004).
2.1.3. Indikator Kemiskinan
Indikator Kemiskinan Menurut Bank Dunia
Pada level internasional, Bank Dunia menyatakan, indikator
utama kemiskinan adalah terbatasnya kepemilikan tanah dan
modal, terbatasnya sarana dan prasarana standar, perbedaan
kesempatan kerja, perbedaan layanan kesehatan yang layak,
perbedaan kesempatan kerja yang layak, perbedaan kualitas
sumberdaya manusia, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan
yang buruk (bad governance) dan pengelolaan sumber daya alam
yang berlebihan, tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan
(environmental sustainable).
Garis kemiskinan yang dipakai Bank Dunia adalah
pendapatan penduduk rata-rata 1 dolar AS bentuk satuan PPP per
kapita per hari (Deaton,2005). Sedangkan negara maju, seperti
22 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Eropa menetapkan 1/3 dari nilai PDP per tahun sebagai garis
kemiskinan. Oleh karena itu, Kemiskinan menurut Bank Dunia
adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan layak dengan
penghasilan USD 1,00 per hari.
Indikator Kemiskinan Menurut BKKBN
Pada awal pemerintahan Orde Baru, data yang dipakai
pemerintah, termasuk data keluarga, terpencar di masing-masing
departemen sesuai dengan kepentingannya. Sistem dan prosedurnya
pun berbeda-beda antara satu departemen dan departemen lainnya
sehingga sulit untuk digabungkan menjadi data nasional.
Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional secara
khusus mencatat dan melakukan pemantauan keluarga di Indonesia
dan hasilnya dikumpulkan dalam satu pangkalan data yang bersifat
nasional. Sistem pendataan ini dilakukan secara konsisten dengan
pelaporan bulanan dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas)
kepada BKKBN Pusat, antara lain, tentang data jumlah pengguna
kontrasepsi. Pada 1985 BKKBN mengembangkan sistem
pendataannya dan melakukan survei perencanaan keluarga
nasional. Pada 1994 BKKBN menambah dua bagian dalam
surveinya, yaitu ukuran kesejahteraan keluarga dan karakteristik
demografi keluarga. Bagian kesejahteraan keluarga digunakan
untuk penargetan keluarga miskin yang dibagi dalam lima kategori
kesejahteraan, yaitu keluarga prasejahtera (Pra-KS), keluarga
23 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sejahtera 1 (KS1), keluarga sejahtera 2 (KS2), keluarga sejahtera 3
(KS3), dan keluarga sejahtera 3 plus (KS3 Plus).
Dalam penentuan kesejahteraan keluarga, BKKBN
menggunakan 23 indikator, yaitu:
1. Anggota keluarga belum melaksanakan ibadah menurut
agamanya;
2. Seluruh anggota keluarga tidak dapat makan minimal dua kali
sehari;
3. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda
untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian;
4. Bagian terluas dari lantai rumah adalah tanah;
5. Bila anak sakit, tidak dibawa ke sarana kesehatan;
6. Anggota keluarga tidak melaksanakan ibadah agamanya secara
teratur;
7. Keluarga tidak makan daging/ikan/telur minimal sekali
seminggu;
8. Setiap anggota keluarga tidak memperoleh satu stel pakaian
baru dalam setahun;
9. Tidak terpenuhinya luas lantai rumah minimal delapan meter
persegi per penghuni;
10. Ada anggota keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir;
11. Tidak ada anggota keluarga berumur 15 tahun ke atas yang
berpenghasilan tetap;
24 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
12. Ada anggota keluarga berumur 10–60 tahun yang tidak bisa
baca-tulis;
13. Ada anak berumur 5–15 tahun yang tidak bersekolah;
14. Jika keluarga telah memiliki dua anak atau lebih, tidak
memakai kontrasepsi;
15. Keluarga dapat meningkatkan pengetahuan agamanya;
16. Sebagian penghasilan keluarga ditabung;
17. Keluarga minimal dapat makan bersama sekali dalam sehari dan
saling berkomunikasi;
18. Keluarga ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat;
19. Keluarga melakukan rekreasi di luar rumah minimal sekali
sebulan;
20. Keluarga dapat mengakses berita dari surat kabar, radio, televisi
ataupun majalah;
21. Anggota keluarga dapat menggunakan fasilitas transportasi
lokal;
22. Keluarga berkontribusi secara teratur dalam aktivitas sosial;
dan
23. Minimal satu anggota keluarga aktif dalam pengelolaan lembaga
lokal.
Sebuah keluarga dikategorikan sebagai Pra-KS bila belum bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal atau
belum bisa memenuhi indikator 1 hingga 5, KS1 bila memenuhi
25 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
indikator 1 hingga 5, KS2 bila memenuhi indikator 1 hingga 14, KS3
bila memenuhi indikator 1 hingga 21, dan dikategorikan KS3 Plus
bila memenuhi seluruh indikator 1 hingga 23. Pendataan
berdasarkan kriteria tersebut dilakukan secara berjenjang. Kader
desa, pembantu pembina keluarga berencana desa (PKBD), dan sub-
PPKBD mendata keluarga di tingkat desa. Kemudian penyuluh
lapangan Keluarga Berencana (PLKB) membuat rekapitulasi hasil
pendataan tersebut untuk dilaporkan ke tingkat kecamatan. Di
tingkat kecamatan pengawas PLKB membuat rekapitulasi dari data
desa-desa yang ada di wilayahnya, kemudian petugas di tingkat
kabupaten/kota mengolah data yang diperoleh dari kecamatan-
kecamatan.
Pada saat terjadi krisis ekonomi 1997/1998, BKKBN
menggolongkan keluarga miskin menjadi Keluarga Prasejahtera Plus
(KPS+), yakni keluarga yang memenuhi kriteria KPS ditambah lima
kriteria lainnya, yaitu: (i) kepala keluarga terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK); (ii) anak putus sekolah; (iii) tidak mampu
berobat bila sakit; (iv) tidak mampu makan dua kali sehari; dan (v)
tidak mampu mengonsumsi lauk-pauk yang berprotein.
Data BKKBN ini telah digunakan baik oleh pemerintah
maupun lembaga swasta untuk penargetaan programnya seperti
Program Takesra/Kukesra, dan GN-OTA. Bahkan pada saat krisis
ekonomi 1997/1998, data BKKBN digunakan untuk penargetan
26 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
program-program JPS, misalnya, Program Operasi Pasar Khusus
Beras oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
Indikator Kemiskinan Menurut BPS pada PSE05
Badan Pusat Statistik pada 2005 melakukan pendataan untuk
penargetan Program Bantuan Langsung Tunai dengan berpedoman
pada Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005. Sistem pendataan
ini disebut Pendataan Sosial-Ekonomi Penduduk Tahun 2005, atau
lebih dikenal sebagai PSE05. Tujuan PSE05 adalah memperoleh
daftar nama dan alamat rumah tangga miskin, urutan rumah
tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya di
kabupaten/kota, dan klasifikasi rumah tangga miskin bila
digolongkan menjadi sangat miskin, miskin, dan hampir miskin.
Pendataan dilakukan dalam unit wilayah Satuan Lingkungan
Setempat (SLS) sebagai basis wilayah kerja. SLS terkecil di wilayah
Indonesia pada umumnya adalah rukun tetangga (RT), atau banjar
di Bali, jurong di Sumatra Barat, dan kampung atau dusun di
wilayah yang belum menggunakan RT.
Dalam menentukan rumah tangga miskin, BPS menggunakan
14 indikator untuk menentukan apakah suatu rumah tangga layak
dikategorikan miskin. Keempat belas variabel tersebut adalah:
1. Luas bangunan;
2. Jenis lantai;
3. Jenis dinding;
27 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
4. Fasilitas buang air besar;
5. Sumber air minum;
6. Sumber penerangan;
7. Jenis bahan bakar untuk memasak;
8. Frekuensi membeli daging, ayam, dan susu dalam seminggu;
9. Frekuensi makan dalam sehari;
10. Jumlah stel pakaian baru yang dibeli dalam setahun;
11. Akses ke puskesmas/poliklinik;
12. Akses ke lapangan pekerjaan;
13. Pendidikan terakhir kepala rumah tangga; dan
14. Kepemilikan beberapa aset.
Dalam PSE05, sebuah rumah tangga dikatakan miskin
apabila:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per
orang;
2. Lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari
tanah/bambu/kayu murahan;
3. Dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat dari
bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa
diplester;
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama rumah
tangga lain menggunakan satu jamban;
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik;
28 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
6. Air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak
terlindung/sungai/air hujan;
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu
bakar/arang/minyak tanah;
8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam
seminggu;
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun;
10. Hanya mampu makan satu/dua kali dalam sehari;
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di
puskesmas/poliklinik;
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani
dengan luas lahan 0,5 ha, buruhtani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan;
13. pendidikan terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak
tamat sekolah dasar (SD)/hanya SD; dan
14. tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai
minimal Rp500.000 seperti sepeda motor (kredit/nonkredit),
emas, hewan ternak, kapal motor ataupun barang modal
lainnya.
Dengan menggunakan kriteria tersebut BPS mendatangi
kantong-kantong kemiskinan untuk memperoleh informasi dari
ketua satuan lingkungan setempat, seperti ketua RT ataupun kepala
29 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dusun, tentang rumah tangga yang betul-betul miskin. Berdasarkan
informasi itu, BPS mendatangi dan mewawancarai kepala atau
anggota rumah tangga tersebut secara lebih terperinci.
Hasil pendataan rumah tangga miskin kemudian ditentukan
skornya 1 atau 0. Skor 1 menunjukkan variabel yang
mengidentifikasi rumah tangga miskin, skor 0 menunjukkan
variabel yang mengidentifikasi rumah tangga tidak miskin. Semakin
banyak skor 1 yang dimiliki sebuah rumah tangga, semakin miskin
rumah tangga tersebut. Meskipun demikian, indikasi rumah tangga
miskin satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya sehingga
diperlukan pembobotan sebagai penimbang dalam penghitungan
rumah tangga miskin.
Dari pembobotan tersebut kemudian dihitung nilai indeks
untuk memperoleh kategori keparahan kemiskinan suatu rumah
tangga yang dibedakan menjadi rumah tangga sangat miskin, rumah
tangga miskin, rumah tangga mendekati miskin, dan rumah tangga
tidak miskin.
Indikator Kemiskinan Menurut BPS pada PPLS 2008
Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya mengurangi jumlah
dan tingkat kemiskinan melalui berbagai program. Dalam hal
sasaran program, pemerintah memperbarui sasaran
programnya─misalnya untuk Program BLT─dengan memperbarui
datanya. Pada tahun 2008, pemerintah melalui BPS memperbarui
30 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
data penerima program dengan melakukan pemutakhiran data
PSE05 dan dinamai Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)
2008. Pemutakhiran data ini dilakukan pada Oktober 2008 dan
dimaksudkan agar manfaat Program BLT menjangkau kalangan
yang lebih luas, yaitu rumah tangga yang terkena dampak kenaikan
harga BBM. Oleh karena itu, pendataan PPLS 2008 tidak hanya
menjaring rumah tangga sangat miskin dan miskinsebagaimana
dalam PSE05, tetapi juga rumah tangga yang mendekati miskin.
Pemutakhiran data PSE05 dalam PPLS 2008 menggunakan
pendekatan karakteristik rumah tangga dengan 14 variabel kualitatif
penjelas kemiskinan, yaitu
1. Luas lantai per kapita,
2. Jenis lantai,
3. Jenis dinding,
4. Fasilitas buang air besar,
5. Sumber air minum,
6. Sumber penerangan,
7. Bahan bakar,
8. Pembelian daging/ayam/susu,
9. Frekuensi makan,
10. Pembelian pakaian baru,
11. Kemampuan berobat,
12. Lapangan usaha kepala rumah tangga,
31 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
13. Pendidikan kepala rumah tangga, dan
14. Aset yang dimiliki.
Pada tahun 2000 Biro Pusat Statistik melakukan studi kriteria
penduduk miskin untuk mengetahui karakteristik rumah tangga
yang mampu mencerminkan kemiskinan secara konseptual /
pendekatan kebutuhan dasar/garis kemiskinan. Hal ini sangat
penting karena pengukuran makro (basic needs) tidak dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan rumah tangga atau penduduk
miskin di lapangan. Informasi ini berguna untuk penentuan sasaran
rumah tangga program pengentasan (intervensi program) dan hasil
dari Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKM) 2000 ini
menetapkan delapan variabel yang dianggap logik dan operasional
untuk menentukan rumah tangga miskin di lapangan. Delapan
variabel tersebut adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, air
minum/ketersediaan air bersih, jenis jamban/WC, kepemilikan
asset, pendapatan, pengeluaran, dan konsumsi lauk pauk.
Indikator Kemiskinan Menurut Departemen Sosial
Kriteria kemiskinan menurut Departemen Sosial (2007) antara
lain:
1. Rendahnya penghasilan;
2. Terbatasnya pemilikan rumah tinggal yang layak huni;
3. Pendidikan dan keterampilan yang rendah;
4. Hubungan sosial dan akses informasi terbatas;
32 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5. Angka buta huruf (dewasa) adalah proporsi penduduk usia 15
tahun ke atas yang tidak bisa membaca dan menulis dalam
huruf latin atau lainnya;
6. Penolong persalinan oleh tenaga tenaga tradisional, yaitu dukun,
keluarga atau tetangga;
7. Penduduk tanpa akses air bersih;
8. Penduduk tanpa akses sanitasi;
9. Angka kesakitan, yaitu proporsi penduduk yang mempunyai
gangguan kesehatan sehingga menyebabkan terganggunya
aktivitas sehari-hari; dan
10. Angka pengangguran adalah proporsi penduduk yang termasuk
dalam angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan,
mempersiapkan suatu usaha, tidak mencari pekerjaan karena
merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, dan
sudah mendapat pekerjaan tetapi belum memulai pekerjaan.
Dalam Keputusan Mensos RI No. 146/HUK/2013 tentang
Kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu disebutkan 11
kriteria Sasaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
Nasional , yaitu:
1. Aspek matapencaharian/pendapatan, yakni tidak mempunyai
sumber pencaharian dan/atau mempunyai mata pencaharian
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar.
33 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
2. Aspek jenis pengeluaran, yakni sebagian besar pengeluaran
digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok dengan
sangat sederhana.
3. Aspek pemenuhan kebutuhan kesehatan, yakni tidak mampu
atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis,
kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah.
4. Aspek pemenuhan kebutuhan sandang, yakni tidak mampu
membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap
anggota rumah tangga.
5. Aspek pemenuhan kebutuhan pendidikan, yakni mempunyai
kemampuan menyekolahkan anaknya hanya sampai jenjang
pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama.
6. Aspek kondisi dinding rumah/tempat tinggal, yakni mempunyai
dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan
kondisi tidak baik/kualitas kurang/berlumut atau tembok
tidak diplester.
7. Aspek kondisi lantai/tempat tinggal, yakni kondisi lantai
terbuat dari tanah atau kayu/ semen/ keramik dengan kondisi
tidak baik/kualitas rendah.
8. Aspek kondisi atap rumah/tempat tinggal, yakni atap terbuat
dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi
tidak layak.
9. Aspek kondisi penerangan rumah/tempat tinggal, yakni
34 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari
listrik atau listrik tanpa meteran.
10. Aspek luas lantai rumah/tempat tinggal , yakni luas lantai
rumah kecil kurang dari 8 m2/ orang
11. Aspek sumber air minum, yakni mempunyai sumber air minum
berasal dari sumur atau mata air tak terlindungi/air sungai/air
hujan/lainnya.
Indikator Kemiskinan Menurut Pemerintah Kota Palangka
Raya/Dinas Sosial
Acuan untuk kategorik rumah tangga miskin di Kota Palangka
Raya adalah :
1. Kepala Keluarga berpenghasilan dibawah Rp. 600.000,- (enam
ratus ribu rupiah) perbulan
2. Tempat Tinggal yang kurang dari 8 (delapan) m².
3. Jenis tempat tinggal Atap Lantai Dinding (Aladin) yang
berkualitas rendah, kurang memadai, bahan kayu/bambu atau
rumbia, lantai masih tanah/cor biasa.
4. Tidak memiliki fasilitas MCK yang layak sesuai sanitasi utk
kesehatan masyarakat.
5. Memiliki anak usia sekolah yang tidak bisa disekolahkan karena
ketidakadaan biaya sekolah.
6. Hanya mengkonsumsi sumber protein (susu, daging
35 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
merah/ayam) dalam 1 minggu sekali.
7. Tidak mampu untuk membayar biaya pengobatan di fasilitas
kesehatan (faskes) apabila sakit
2.1.4. Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan
yang menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-
makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population)
yang telah ditetapkan (BPS, 2004). Kelompok referensi ini
didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang
hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan.
Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat
diartikan sebagai batas konsumsi minimum dari kelompok
masyarakat marjinal yang berada pada referensi pendapatan sedikit
lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya,
indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan pendapatan
dalam memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli
minimum masyarakat di suatu daerah. Konsumsi yang
dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi konsumsi untuk
sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan
(Suryawati, 2004).
36 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
2.2. Masalah Sosial, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS)
2.2.1. Masalah Sosial
Masalah sosial merupakan suatu fenomena yang mempunyai
berbagai dimensi. Oleh karena itu untuk memahami berbagai
masalah kesejahteraan sosial, maka harus dimengerti dahulu apa
masalah sosial itu sendiri, agar dapat mengetahui karakteristik dan
batas-batas dari masalah kesejahteraan sosial, sehinggga dapat
mengklasifikasikanya.
Secara sederhana konsep masalah sosial seringkali dikaitkan
dengan masalah yang tumbuh atau berkembang dalam kehidupan
komunitas. Namun demikian berdasar dimensi sosiologi tidak
semua masalah dan/atau berkembang dalam suatu kehidupan
komunitas adalah masalah sosial. Istilah sosial disini tidaklah
identik dengan komunitas, namun hanya menunjukkan bahwa
masalah itu berkaitan dengan tata interaksi, interrelasi dan
interdependensi antar-anggota komunitas. Dengan kata lain, istilah
sosial dalam masalah sosial menunjukkan bahwa masalah itu
berkaitan dengan perilaku masyarakat. Oleh karena itu secara
teoritik, ada banyak faktor penyebab terhadap tumbuh dan/atau
berkembangnya suatu masalah sosial.
Secara umum, faktor penyebab itu meliputi faktor struktural,
yaitu pola-pola hubungan antar individu dalam kehidupan
37 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
komunitas, dan faktor kultural, yaitu nilai-nilai yang tumbuh
dan/atau berkembang dalam kehidupan komunitas. Adanya
perubahan atas kedua faktor itulah, yang selama ini diteorikan
sebagai faktor penyebab utama munculnya suatu masalah sosial.
(Singgih, 2006).
Jensen (1992) dalam Suharto (2005) mengartikan masalah
sebagai: “Perbedaan antara harapan dan kenyataan atau sebagai
kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang
seharusnya”. Selanjutnya Soetomo (2008) menyatakan bahwa,
masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak
diinginkan oleh sebagian besar masyarakat. Hal itu disebabkan
karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan
harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial
yang berlaku. Kondisi masalah sosial juga dipertegas oleh Horton
dan Leslie (1982) yang menyatakan bahwa, masalah sosial adalah:
“Suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan
serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif”.
Dapat disimpulkan bahwa masalah sosial memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Kondisi yang dirasakan banyak orang, dimana suatu masalah
baru dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila kondisinya
dirasakan oleh banyak orang.
b. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan, dimana penilaian
38 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi
sebagai masalah sosial. Suatu kondisi dapat dianggap sebagai
masalah sosial oleh masyarakat tertentu tetapi tidak oleh
masyarakat lainnya. Ukuran baik atau buruk sangat tergantung
pada nilai atau norma yang dianut masyarakat.
c. Kondisi yang menuntut pemecahan. Suatu kondisi yang tidak
menyenangkan senantiasa menuntut pemecahan. Umumnya ,
suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan jika masyarakat
merasa bahwa kondisi tersebut memang dapat dipecahkan
d. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara
kolektif. Masalah sosial berbeda dengan masalah individual,
masalah individu dapat diatasi secara individual, sedangkan
masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial
seperti aksi sosial
Setiap masyarakat dimanapun senantiasa memiliki masalah
dan kebutuhan. Agar mencapai tujuan yang diharapkan,
penanganan masalah harus dimulai dari perumusan masalah sosial.
Penanganan masalah sosial harus mampu merespon masalah dan
kebutuhan manusia dalam masyarakat yang senantiasa berubah,
meningkatkan keadilan serta hak azasi manusia, serta mengubah
struktur masyarakat yang menghambat pencapaian usaha dan
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, dalam prakteknya,
penanganan masalah sosial kerap diimplementasikan ke dalam
39 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
program-program kegiatan dari, bagi dan bersama individu,
keluarga, kelompok sosial, organisasi sosial dalam mencapai tujuan
sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
2.2.2. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
Pengertian kesejahteraan menurut kamus bahasa Indonesia
berasal dari kata sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa,
makmur, dan selamat (terlepas dari segala macam gangguan,
kesukaran, dan sebagainya). Kata sejahtera mengandung pengertian
bahasa sansekerta “catera” yang berarti payung. Catera dalam
konteks kesejahteraan berarti orang yang sejahtera, yakni orang
yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan,
ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidup aman dan tentram,
baik lahir maupun batin (Purwana, 2014). Kesejahteraan secara
umum dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang,
pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Pengertian kesejahteraan sosial bukanlah hal yang baru, baik
dalam wacana global maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa,
misalnya, memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-
kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu
individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan
40 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan
kepentingan keluarga dan masyarakat. Pengertian ini menekankan
bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang
kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir yang
diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun
swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau
memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan
peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat
(Suharto, 2005)
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-
cita kemerdekaan dan muara agenda pembangunan negara, oleh
karena itu UUD 1945 mengamanatkan tanggung jawab pemerintah
dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan
kesejahteraan sosial juga menjadi tanggung jawab daerah termasuk
didalamnya Pemerintah Kota Palangka Raya
Sumber merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan
suatu masalah. Dari definisi tersebut, maka pengertian sumber
kesejahteraan sosial adalah sumber atau potensi yang dapat
digunakan dalam Usaha Kesejahteraan Sosial atau Praktek
Pekerjaan Sosial. Selanjutnya penjelasan mengenai jenis sumber,
yaitu:
41 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
a. Sumber internal dan eksternal
Sumber internal dapat berupa kemampuan intelektual,
imaginasi, kreativitas, motivasi, kegairahan, karakter moral
kekuatan dan ketahanan fisik/jasmani, stamina,
ketampanan/kecantikan serta pengetahuan. Sedang sumber
eksternal dapat berupa harta kekayaan, prestise, mata
pencaharian sanak-saudara yang kaya, teman yang berpengaruh
dan hak jaminan.
b. Sumber formal dan non-formal
Sumber formal dapat berupa tokoh-tokoh formal, organisasi-
organisasi yang secara formal mewakili masyarakat seperti guru,
pekerja sosial, badan konseling, dan badan-badan sosial
pemberdayaan. Sedangkan sumber non-formal dapat berupa
dukungan emosional maupun sosial dari kerabat, teman serta
tetangga. Sumber tersebut merupakan bagian dari sistem sumber
pertolongan alamiah.
c. Sumber manusia dan non-manusia
Sumber manusia adalah orang-orang yang mempunyai
kemampuan dan kekuatan untuk digali dan dimanfaatkan untuk
membantu memecahkan permasalahan PMKS. Sedangkan
sumber non-manusia adalah sumber-sumber material atau
benda.
42 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
d. Sumber simbolik-pertikularistik, kongkrit-universal dan
pertukaran nilai
Sumber simbolik-partikularistik dapat berupa informasi dan
status sosial seseorang. Informasi dan status sosial seseorang di
dalam masyarakat mempunyai arti simbolik yang khusus dan
dapat dipergunakan sebagai sumber yang dapat digali dan
dimanfaatkan. Sumber kongkrit-universal dapat berupa
pelayanan-pelayanan maupun benda-benda kongkrit. Sedangkan
sumber pertukaran nilai dapat berupa kasih sayang maupun
uang.
Selain sumber-sumber yang telah disebutkan, ada juga
sumber-sumber yang berasal dari masyarakat yang disebut juga
dengan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Potensi
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) merupakan bentuk keterlibatan
dari masyarakat dan dunia usaha untuk membantu dalam
penanggulangan masalah kesejahteraan sosial. Dimana peran
masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi sosial, yayasan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi.
Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012,
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disebut
PSKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat yang dapat berperan serta untuk menjaga,
43 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
menciptakan, mendukung, dan memperkuat penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Adapun yang termasuk dan memenuhi kriteria sebagai Potensi
Sumber Kesejahteraan Sosial adalah sebagai berikut:
1. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik
di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam
pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial.
Kriteria :
a. telah bersertifikasi pekerja sosial profesional; dan
b. melaksanakan praktek pekerjaan sosial.
2. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) adalah warga masyarakat yang
atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial serta
didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan
kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang
kesejahteraan sosial.
Kriteria :
a. Warga Negara Indonesia;
b. laki-laki atau perempuan usia minimal 18 (delapan belas)
tahun;
44 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
c. setia dan taat pada Pancasila dan Undang-Undangan Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. bersedia mengabdi untuk kepentingan umum;
e. berkelakuan baik;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. telah mengikuti pelatihan PSM; dan
h. berpengalaman sebagai anggota Karang Taruna sebelum
menjadi PSM.
3. Taruna Siaga Bencana (Tagana) adalah seorang relawan yang
berasal dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif
dalam penanggulangan bencana.
Kriteria untuk dapat diangkat menjadi Tagana :
a. generasi muda berusia 18 (delapan belas) tahun sampai
dengan 40 (empat puluh) tahun;
b. memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
penanggulangan bencana;
c. bersedia mengikuti pelatihan yang khusus terkait dengan
penanggulangan bencana;
d. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan
e. setia dan taat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Lembaga Kesejahteraan Sosial selanjutnya disebut LKS adalah
organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan
45 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
Kriteria :
a. mempunyai nama, struktur dan alamat organisasi yang jelas;
b. mempunyai pengurus dan program kerja;
c. berbadan hukum atau tidak berbadan hukum; dan
d. melaksanakan/mempunyai kegiatan dalam bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
5. Karang Taruna adalah Organisasi sosial kemasyarakatan sebagai
wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat
yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan
tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama
generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak di
bidang usaha kesejahteraan sosial.
Kriteria :
a. organisasi kepemudaan berkedudukan di desa/kelurahan;
b. laki-laki atau perempuan yang berusia 13 (tiga belas) tahun
sampai dengan 45 (empat puluh lima) tahun dan berdomisili
di desa;
c. mempunyai nama dan alamat, struktur organisasi dan
susunan kepengurusan; dan
d. keanggotaannya bersifat stelsel pasif.
46 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
6. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga selanjutnya
disebut (LK3) adalah Suatu Lembaga/Organisasi yang
memberikan pelayanan konseling, konsultasi,
pemberian/penyebarluasan informasi, penjangkauan, advokasi
dan pemberdayaan bagi keluarga secara profesional, termasuk
merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain yang benar-benar
mampu memecahkan masalahnya secara lebih intensif.
Kriteria :
a. Organisasi Sosial;
b. aktifitas memberikan jasa layanan konseling, konsultasi,
informasi, advokasi, rujukan;
c. didirikan secara formal; dan
d. mempunyai struktur organisasi dan pekerja sosial serta
tenaga fungsional yang profesional.
7. Keluarga Pioner adalah keluarga yang mampu mengatasi
masalahnya dengan cara-cara efektif dan bisa dijadikan panutan
bagi keluarga lainnya.
Kriteria:
a. keluarga yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga;
b. keluarga yang mempunyai prilaku yang dapat dijadikan
panutan;
c. keluarga yang mampu mempertahankan keutuhan keluarga
dengan prilaku yang positif; dan
47 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
d. keluarga yang mampu dan mau menularkan perilaku positif
kepada keluarga lainnya.
8. Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat
yang selanjutnya disebut (WKSBM) adalah Sistim kerjasama
antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang
terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan
pendukungnya.
Kriteria :
a. adanya sejumlah perkumpulan, asosiasi, organisasi/kelompok
yang tumbuh dan berkembang di lingkungan RT / RW /
Kampung / Desa / kelurahan / nagari / banjar atau wilayah
adat;
b. jaringan sosial yang berada di RT / RW / Kampung / Desa /
Kelurahan / nagari / banjir atau wilayah adat; dan
c. masing-masing perkumpulan, asosiasi, organisasi kelompok
tersebut secara bersama-sama melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara sinergis di
lingkungan.
9. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial adalah wanita yang
mampu menggerakkan dan memotivasi penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di lingkungannya.
Kriteria :
48 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
a. berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 59 (lima
puluh sembilan) tahun;
b. berpendidikan minimal SLTP;
c. wanita yang mempunyai potensi untuk menjadi/sudah
menjadi pemimpin dan diakui oleh masyarakat setempat;
d. telah mengikuti pelatihan kepemimpinan wanita di bidang
kesejahteraan sosial; dan
e. memimpin usaha kesejahteraan sosial terutama yang
dilaksanakan oleh wanita di wilayahnya.
10. Penyuluh Sosial :
a. Penyuluh Sosial Fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang mempunyai jabatan ruang lingkup, tugas,
tanggung jawab, wewenang, untuk melaksanakan kegiatan
penyuluhan bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Kriteria Penyuluh sosial fungsional:
a. berijazah sarjana (S1)/ Diploma IV;
b. paling rendah memiliki pangkat Penata Muda, Golongan
III/a;
c. memiliki pengalaman dalam kegiatan penyuluhan sosial
paling singkat 2 (dua) tahun;
d. telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan
fungsional penyuluh sosial;
e. usia paling tinggi 50 (lima puluh) tahun; dan
49 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
f. setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan
pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
(DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun
terakhir.
b. Penyuluh Sosial Masyarakat adalah tokoh masyarakat (baik dari
tokoh agama, tokoh adat, tokoh wanita, tokoh pemuda) yang
diberi tugas, tanggung jawab wewewang dan hak oleh pejabat
yang berwenang bidang kesejahteraan sosial (pusat dan daerah)
untuk melakukan kegiatan penyuluhan bidang penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Kriteria Penyuluh sosial masyarakat :
a. memilki pendidikan minimal SLTP/sederajat;
b. berusia antara 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 60
(enam puluh) tahun;
c. tokoh agama/tokoh masyarakat/tokoh pemuda/tokoh
adat/tokoh wanita;
d. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM);
e. Taruna Siaga Bencana (Tagana);
f. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamantan (TKSK);
g. Pendamping Keluarga Harapan (PKH);
h. Petugas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (Petugas
LK3);
i. Manager Kesejahteraan Sosial tingkat desa (Kepala Desa);
50 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
j. memiliki pengaruh terhadap masyarakat tempat domisili;
k. memiliki pengalaman berceramah atau berpidato;
l. paham tentang permasalahan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS); dan
m. memahami pengetahuan tentang Potensi Sumber
Kesejahteraan Sosial.
11. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan yang selanjutnya
disebut TKSM adalah Tenaga inti pengendali kegiatan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kecamatan.
Kriteria :
a. berasal dari unsur masyarakat;
b. berdomisili di kecamatan dimana ditugaskan;
c. pendidikan minimal SLTA, diutamakan D3/S1;
d. diutamakan aktifis karang taruna atau PSM;
e. berusia 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 50 (lima
puluh) tahun;
f. berbadan sehat (keterangan dokter/puskesmas);
g. diutamakan yang sudah mengelola UEP; dan
h. SK ditetapkan oleh Kementerian Sosial.
12. Dunia Usaha adalah organisasi yang bergerak di bidang usaha,
industri atau produk barang atau jasa serta Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta/atau wirausahawan
beserta jaringannya yang peduli dan berpartisipasi dalam
51 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung
jawab sosial.
Kriteria :
a. peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial; dan
b. membantu penanganan masalah sosial.
52 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
3.1. Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan dalam kegiatan Kajian Kriteria
Kemiskinan di Kota Palangka Raya dan Kontribusi Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah
Sosial ini adalah metode descriptive analysis, yaitu pemecahan
masalah aktual secara sistematis dari data yang diperoleh dan
dikumpulkan untuk selanjutnya disusun, ditabulasi, dianalisis serta
dijelaskan baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Metode penelitian yang relevan adalah pendekatan kuantitatif
dan kualitatif. Kedua pendekatan ini menunjukkan strategi
penelitian yang berbeda. Metode kuantitatif menggunakan teknik
terstruktur dari pengumpulan dan pengukuran data, sedangkan
metode kualitatif mengaplikasikan teknik yang kurang terstruktur
dan kontak langsung dengan orang dan tempat yang diteliti
(Bryman, 2004). Kedua metode tersebut dapat digunakan secara
bersama. Penggunaan lebih dari satu metode dalam sebuah
penelitian dikenal sebagai trianggulasi metode.
53 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
3.2. Lokasi ,Pengambilan Sampel dan Waktu Penelitian
Penentuan lokasi kajian dilakukan dengan metode purposive
pada 5 (lima) wilayah Kecamatan yang ada di Kota Palangka Raya.
Selanjutnya dari masing-masing wilayah Kecamatan tersebut
ditentukan 1 (satu) kelurahan dengan jumlah KK miskin terbanyak
berdasarkan Rekapitulasi Basis Data Terpadu (BDT) PFM 2018 yang
diperoleh dari Dinas Sosial Kota Palangka Raya. Lokasi yang sudah
ditetapkan akan digunakan untuk pengambilan data baik yang
berkaitan dengan pengukuran kriteria kemiskinan maupun yang
berkaitan dengan identifikasi Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial (PSKS).
Penentuan jumlah sampel dalam kajian ini dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan mendasarkan pada pada data populasi
penduduk miskin sebagaimana Rekapitulasi Basis Data Terpadu
(BDT) PFM 2018 yang diperoleh dari Dinas Sosial Kota Palangka
Raya. Mengingat adanya keterbatasan tenaga , waktu dan biaya
dalam pelaksanaan kajian ini, maka pengambilan sampel penduduk
miskin ditentukan secara sengaja yaitu diambil masing-masing
sebanyak 20 orang dari setiap kelurahan pada setiap kecamatan,
sehingga total sampel yang diambil adalah sebanyak 100 orang.
Secara rinci lokasi dan jumlah sampel dalam kajian ini sebagaimana
pada tabel 3.1.
54 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 3.1. Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel.
No. Kecamatan/Kelurahan Jumlah
Penduduk
Miskin (KK) *)
Sampel (orang)
1. Kecamatan Pahandut
a. Kelurahan Pahandut 1.592 20
2. Kecamatan Jekan Raya
b. Kelurahan Palangka 1.121 20
3. Kecamatan Bukit Batu
c. Kelurahan Tangkiling 423 20
4. Kecamatan Sabangau
d. Kelurahan Kalampangan 444 20
5. Kecamatan Rakumpit
e. Kelurahan Mungku Baru 67 20
Total 3.647 100
Sumber: *) Data BDT-PFM, Dinas Sosial Kota Palangka Raya (2018)
Waktu pelaksanaan kajian baik mulai dari tahap persiapan
hingga penyerahan laporan akhir dilaksanakan selama 4 (empat)
bulan yaitu mulai bulan Juli 2018 sampai dengan Oktober 2018.
3.3. Metode Pengumpulan Data
3.3.1. Jenis Data
Data penelitian ini yang dikumpulkan terdiri dari 2 (dua) jenis
sumber data, yakni:
1. Data Primer, yaitu data utama yang diperoleh langsung dari
obyek penelitian melalui wawancara dengan responden dan atau
informan berbagai pihak yang telah ditentukan secara sengaja
(purposive sampling) dan secara insendentil (insendental
sampling) menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner), sehingga
55 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi secara
langsung pada obyek yang dikaji.
Data primer yang dibutuhkan dalam kajian ini meliputi :
a. Data rumah tangga miskin, menggunakan 14 kriteria miskin
dari BPS, yaitu :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2
per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bamboo
/ kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu
berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama
dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan
listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak
terlindung/ sungai/ air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu
bakar/ arang/ minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu
kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam
56 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di
puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani
dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per
bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak
sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual
dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor
kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya
b. Data Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor : 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, yaitu:
1. Pekerja Sosial Profesional
2. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)
3. Taruna Siaga Bencana (Tagana)
4. Lembaga Kesejahteraan Sosial
57 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5. Karang Taruna
6. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga
7. Keluarga pioneer
8. Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis
Masyarakat (WKSBM)
9. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial
10. Penyuluh Sosial
11. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSM)
12. Dunia usaha
2. Data sekunder, yaitu data pendukung yang diperoleh melalui
dokumen dan arsip-arsip dari berbagai instansi terkait serta
referensi kepustakaan lainnya, sehingga diharapkan dapat
digunakan untuk menambah datadan informasi terkait dengan
permasalahan yang dikaji.
3.3.2. Teknik Survei Data
Beberapa teknik survei data di lapangan dalam kegiatan
kajian ini, meliputi:
1. Observasi langsung, yaitu teknik pengumpulan data di lapangan
dengan melihat secara langsung situasi dan kondisi eksisting
lokasi kajian.
2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung menggunakan kuisioner kepada responden
58 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
maupun informan.
3. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan
pelacakan terhadap dokumen/arsip dari pihak instansi terkait
dan melakukan perekaman/pengambilan gambar terhadap
kondisi eksisting di lapangan.
Tahapan penelitian ini diatur sebagai berikut.
1. Tahap pertama, adalah melakukan observasi ke lapangan
kemudian melakukan wawancara awal dengan masyarakat
berkaitan dengan rumah tangga miskin.
2. Tahap kedua, adalah melakukan wawancara dengan masyarakat
yang masuk dalam kategori miskin, dan mengidentifikasi PSKS
yang ada di wilayah kajian
3. Tahap ketiga, adalah melakukan wawancara dengan pimpinan
wilayah (Camat, Kepala Desa, Ketua RT/RW), wawancara dengan
PSKS di wilayah kajian yang sudah diidentifikasi sebelumnya.
4. Tahap keempat, adalah melakukan wawancara dengan pimpinan
Pemerintah Kota Palangka Raya dan SOPD terkait berkenaan
dengan kebijakan dalam pengentasan kemiskinan dan penguatan
kontribusi PSKS dalam penanganan masalah sosial di Kota
Palangka Raya
59 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
3.3.3. Kaji Banding
Kaji banding, yaitu teknik pengumpulan data dengan
melakukan kunjungan ke suatu daerah lain yang dinilai telah
memiliki pengalaman dan banyak menciptakan terobosan
(pembuatan peraturan/kebijakan, inovasi kegiatan, dll) dalam upaya
pengentasan kemiskinan dan penguatan PSKS di wilayahnya. Hasil
kaji banding tersebut digunakan untuk menambah dan melengkapi
data dan informasi yang ada.
3.4. Metode Analisis Data
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan tersebut digunakan untuk menggali dan mengumpulkan
data dan informasi terkait kriteria penduduk miskin dan identifikasi
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Kota Palangka
Raya, yang nantinya digunakan sebagai acuan kebijakan bagi
Pemerintah Kota Palangka Raya dalam mengimplementasikan
program-program yang berkaitan dengan upaya pengentasan
kemiskinan di Kota Palangka Raya. Data dan informasi hasil kajian
diolah, dianalisis dan diinterpretasikan secara komprehensif
sehingga mampu menjabarkan temuan penelitian, kesimpulan dan
rekomendasi penelitian secara valid dan akurat sesuai kaidah
ilmiah.
60 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Sebagaimana pendekatan penelitian yang digunakan, maka
untuk menjawab tujuan penelitian 1 (pertama) menggunakan
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif yakni untuk mengukur
kriteria kemiskinanrumah tangga di Kota Palangka Raya.
Selanjutnya untuk menjawab tujuan penelitian 2 (kedua)
menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, yakni
untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan kontribusi Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam penanganan masalah
sosial di Kota Palangka Raya.
3.5. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Tahapan pelaksanaan kegiatan Kajian Kriteria Kemiskinan
Rumah Tangga di Kota Palangka Raya dan Kontribusi Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial Dalam Penanganan Masalah Sosial,
seperti terlihat pada tabel berikut:
No Kegiatan
Bulan
Juli Agustus September Oktober
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Tahap Persiapan:
a. Penyusunan
KAK
b. Pembentukan
Tim Kerja
c. Pengumpulan
Bahan Kajian
d. Penugasan
Tenaga Peneliti, Survei dan
Pengolah Data
2 Penyusunan
Proposal Kegiatan
3 Ekspose
Awal/Seminar
Pendahuluan
61 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No Kegiatan
Bulan
Juli Agustus September Oktober
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
4 Pelaksanaan
Kegiatan Survei
dan Pengambilan Data Lapangan
5 Kaji Banding Luar
Daerah
6 Pengolahan dan
Analisis Data
7 Penyusunan Draft
Laporan Kegiatan
8 Ekspose
Akhir/Seminar Hasil
9 Penyerahan
Dokumen Hasil
Kegiatan
10 Distribusi
Dokumen Hasil
Kegiatan
62 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
4.1. Gambaran Umum Kota Palangka Raya
4.1.1. Kondisi Geografis, Topografis dan Demografis
Kota Palangka Raya secara resmi ditetapkan sebagai ibukota
Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Juli 1957. Secara
geografis Kota Palangka Raya terletak pada 113°30’—114°07’
Bujur Timur dan 1°35’—2°24’ Lintang Selatan. Luas keseluruhan
wilayah Kota Palangka Raya adalah 2.853,52 Km2 berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2013 tentang
Batas Daerah Kota Palangka Raya dengan Kabupaten Katingan,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2013 tentang
Batas Daerah Kota Palangka Raya dengan Kabupaten Pulang Pisau,
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 75 Tahun 2013 tentang
Batas Daerah Kota Palangka Raya dengan Kabupaten Gunung Mas.
Secara administratif, Kota Palangka Raya berbatasan dengan:
1). Sebelah Utara: Kabupaten Gunung Mas; 2). Sebelah Timur:
Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Pulang Pisau; 3). Sebelah
Selatan: Kabupaten Pulang Pisau; dan 4). Sebelah Barat:
Kabupaten Katingan. Secara umum Kota Palangka Raya dapat
dikatakan memiliki 3 wajah, yaitu wajah perkotaan, wajah
63 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
pedesaan dan wajah hutan. Kondisi ini merupakan tantangan
tersendiri bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam
perencanaan pembangunan. Dengan wilayah seluas 2.853,52
Km2 Kota Palangka Raya merupakan wilayah administrasi kota
terluas di Indonesia. Berdasarkan Perda Nomor 32 Tahun 2002,
Kota Palangka Raya dibagi menjadi 5 kecamatan dan 30 kelurahan
, untuk jelasnya seperti disajikan pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1. Luas Wilayah Administrasi, Jumlah RT dan RW Berdasarkan Kelurahan di Kota Palangka Raya
No. Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah Jumlah
(Km2) (%) RT RW
1 Pahandut, ibukota Pahandut
Pahandut 8.2 0.29 96 26
Panarung 23.1 0.81 50 15
Langkai 8.88 0.31 69 17
Tumbang Rungan 22.98 0.81 2 1
Tanjung Pinang 48.26 1.69 11 4
Pahandut Seberang 7.95 0.28 11 4
Sub Total Kecamatan Pahandut 119.37 4.18 239 67
2 Sabangau, ibukota Kalampangan
Kereng Bangkirai 323.43 11.33 19 3
Sabaru 151.83 5.32 13 3
Kalampangan 42.29 1.48 30 5
Kameloh Baru 63.75 2.23 5 1
Bereng Bengkel 19.43 0.68 6 1
Danau Tundai 40.77 1.43 2 1
Sub Total Kecamatan Sabangau 641.50 22.48 75 14
3 Jekan Raya, ibukota Palangka
Menteng 31.27 1.10 84 16
Palangka 22.49 0.79 125 25
Bukit Tunggal 274.15 9.61 95 16
Petuk Katimpun 59.62 2.09 7 2
Sub Total Kecamatan Jekan Raya
387.53 13.58 311 59
64 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Lanjutan Tabel 4.1.
No. Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah Jumlah
(Km2) (%) RT RW
4 Bukit Batu, ibukota Tangkiling
Marang 128.64 4.51 7 2
Tumbang Tahai 60.91 2.13 7 2
Banturung 57.78 2.02 5 3
Tangkiling 83.88 2.94 11 3
Sei Gohong 97.91 3.43 11 3
Kanarakan 100.61 3.53 4 1
Habaring Hurung 73.44 2.57 7 2
Sub Total Kecamatan Bukit Batu 603.17 21.14 52 16
5 Rakumpit, ibukota Mungku Baru
Petuk Bukit 299.91 10.51 5 2
Pager Jaya 197.73 6.93 3 1
Panjehang 39.44 1.38 2 1
Gaung Baru 53.77 1.88 1 1
Petuk Barunai 155.7 5.46 3 1
Mungku Baru 193.37 6.78 3 1
Bukit Sua 162.03 5.68 2 1
Sub Total Kecamatan Rakumpit 1,101.95 38.62 19 8
Total Kota Palangka Raya 2,853.52 100 696 164
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, 2018.
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, diketahui bahwa kecamatan
terluas adalah Kecamatan Rakumpit sebesar 1.1.01,95 Km2 atau
38,62% luas wilayah Kota Palangka Raya, dan Kecamatan Pahandut
memiliki luas terkecil sebesar 119,37 Km2 atau 4,18% dari luas
wilayah Kota Palangka Raya. Sementara kelurahan terluas adalah
Kelurahan Petuk Bukit di Kecamatan Rakumpit sebesar 299,91
Km2, dan kelurahan tersempit adalah Kelurahan Pahandut Seberang
di Kecamatan Pahandut dengan luas sebesar 7,95 Km2.
Topografi Kota Palangka Raya terdiri atas tanah datar dan
berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Ketinggian wilayah
65 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
di atas permukaan laut cukup variatif antar wilayah kecamatan,
namun demikian terdapat juga bukit berbatu di Kelurahan
Tangkiling Kecamatan Bukit Batu dengan kemiringan > 40%.
Secara rata-rata ketinggian di atas permukaan laut wilayah
kecamatan masing-masing dapat dilihat pada tabel 4.2. sebagai
berikut:
Tabel 4.2. Ketinggian Wilayah Di Atas Permukaan Laut (DPL)
Menurut Kecamatan, 2016
Sumber: Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2018
Morfologi wilayah perencanaan merupakan daerah dataran
rendah dengan ketinggian rata-rata < 30 Meter di atas permukaan
laut. Sementara daerah morfologi pegunungan rendah dengan
ketinggian antara 30 – 60 Meter membentang dari arah Utara ke
Selatan dan membagi lembah aliran Sungai Kahayan dan Sungai
Rungan di bagian Barat. Jenis tanah yang ada di Kota Palangka
Raya meliputi podsol, regosol, organosol, aluvial, litosol dan podsolik
merah kuning yang menyebar di sekitar bantaran sungai dan danau.
Kondisi iklim di Kota Palangka Raya menurut klasifikasi
Schmid dan Ferguson termasuk ke dalam kelas Af (iklim tropis)
Kecamatan Ibukota Kecamatan Tinggi (meter)
Pahandut Pahandut 17
Sabangau Kalampangan 8
Jekan Raya Bukit Tunggal 17
Bukit Batu Tangkiling 26
Rakumpit Mungku Baru 29
66 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tanpa musim kemarau yang nyata atau pada bulan terkering
bersuhu 320C. Sementara menurut klasifikasi Oldeman, termasuk
ke dalam kelas B1 karena terdapat bulan basah selama 7 bulan
berturut-turut sedangkan bulan kering hanya selama 5 bulan.
Badan Meterologi dan Geofisika Kota Palangka Raya melakukan
pengamatan dan perekaman terhadap kondisi iklim di Kota
Palangka Raya. Sepanjang tahun 2017 temperatur rata-rata di
Kota Palangka Raya adalah 27,28°C, temperatur minimum 21,4°C
pada terjadi bulan Juli dan maksimum 35,2°C pada bulan
September. Kelembaman udara berkisar antara 65—95% dengan
kelembaman rata-rata tahunan sebesar 82,89%. Curah hujan
tahunan di wilayah Kota Palangka Raya pada tahun 2017 yang
tercatat sebagai yang tertinggi adalah 168 mm dengan rata-rata 16,7
mm. Hasil pencatatan ini menunjukkan nilai yang lebih rendah
dibandingkan catatan pada beberapa tahun sebelumnya. Kecepatan
angin di Kota Palangka Raya sepanjang tahun 2017 berada di
kisaran 2—22 knot dengan rata-rata tahunan sebesar 5,3 knot.
Kecepatan angin yang cukup besar terjadi pada bulan Agustus
dan November yang mencapai kecepatan sampai 22 knot. Kejadian
ini merupakan bagian dari kondisi cuaca ekstrim yang melanda
wilayah Kalimantan Tengah dalam tahun 2017.
Kota Palangka Raya memiliki 3 (tiga) sungai, yakni Sungai
Kahayan, Rungan dan Sabangau. Keberadaan tiga sungai tersebut
67 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dengan anak-anak sungainya merupakan prasarana transportasi
alam yang sangat penting bagi masyarakat lokal setempat karena
menghubungkan wilayah Kota Palangka Raya dengan wilayah lain
sekitarnya. Sebagian besar penduduk Kota Palangka Raya
memanfaatkan air permukaan tanah dangkal seluas 193.752,79 Ha
(72,34%) sebagai air untuk memenuhi kebutuhan hidup, selebihnya
lagi memanfaatkan air sungai atau air tanah menengah datar
sebagai sumber air bersih seluas 74.098,21 Ha (27,66%) (Direktorat
Jenderal Geologi Umum, 2007).
Secara demografis, Kota Palangka Raya memiliki jumlah
penduduk yang terus bertambah. Pertambahan penduduk yang
cepat, penyebaran penduduk yang tidak merata dan kualitas
penduduk yang rendah merupakan ciri-ciri permasalahan penduduk
Indonesia pada umumnya, termasuk di Kota Palangka Raya. Secara
rinci jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk
sebagaimana pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk , Rumah Tangga dan Tingkat kepadatan Penduduk di Kota Palangka Raya
No. Kecamatan
/Kelurahan
Luas
Wilayah
(Km2)
Penduduk
(jiwa)
Rumah
Tangga
(KK)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/
Km2)
(KK/
Km2)
1 PAHANDUT 119.37 96,723 24,778 810 208
Pahandut 8.2 30,856 7,867 3,763 959
Panarung 23.1 25,496 6,387 1,104 276
Langkai 8.88 31,556 8,413 3,554 947
68 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Lanjutan Tabel 4.3.
No. Kecamatan
/Kelurahan
Luas
Wilayah
(Km2)
Penduduk
(jiwa)
Rumah
Tangga
(KK)
Kepadatan Penduduk
(jiwa/
Km2)
(KK/
Km2)
Tumbang Rungan 22.98 779 169 34 7
Tanjung Pinang 48.26 3,206 727 66 15
Pahandut
Seberang 7.95 4,830 1,215 608 153
2 SEBANGAU 641.50 17,922 4,435 28 7
Kereng Bangkirai 323.43 7,735 1,854 24 6
Sabaru 151.83 3,532 833 23 5
Kalampangan 42.29 4,419 1,181 104 28
Kameloh Baru 63.75 733 157 11 2
Bereng Bengkel 19.43 1,235 334 64 17
Danau Tundai 40.77 268 76 7 2
3 JEKAN RAYA 387.53 143,508 38,828 370 100
Menteng 31.27 46,838 13,312 1,498 426
Palangka 22.49 51,622 13,903 2,295 618
Bukit Tunggal 274.15 42,367 10,908 155 40
Petuk Katimpun 59.62 2,681 705 45 12
4 BUKIT BATU 603.17 14,039 3,703 23 6
Marang 128.64 966 209 8 2
Tumbang Tahai 60.91 2,535 674 42 11
Banturung 57.78 4,270 1,134 74 20
Tangkiling 83.88 3,344 908 40 11
Sei Gohong 97.91 1,578 417 16 4
Kanarakan 100.61 432 116 4 1
Habaring Hurung 73.44 914 245 12 3
5 RAKUMPIT 1,101.95 3,475 2,754 3 2
Petuk Bukit 299.91 989 268 3 1
Pager Jaya 197.73 371 104 2 1
Panjehang 39.44 276 73 7 2
Gaung Baru 53.77 248 56 5 1
Petuk Barunai 155.7 726 183 5 1
Mungku Baru 193.37 659 158 3 1
Bukit Sua 162.03 206 47 1 1
6 Kota Palangka Raya
2,853.52 275,667 72,633 97 26
Sumber: BPS Kota Palangka Raya, 2018.
69 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Penyebaran penduduk yang tidak merata per kecamatan
bahkan hingga per kelurahan akan mengakibatkan pemanfaatan
sumberdaya manusia menjadi tidak atau kurang efektif dan
produktif. Jumlah penduduk Kota Palangka Raya tahun 2017
sebanyak 275.667 jiwa yang terdiri dari 141.179 jiwa laki-laki dan
134.488 jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 97
jiwa/Km2. Sementara jumlah rumahtangga tahun 2017 sebanyak
74.498 rumahtangga dengan rata-rata anggota rumahtangga
sebanyak 3 – 4 orang. Penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan
Jekan Raya hingga 52,06% dari jumlah penduduk Kota Palangka
Raya dengan kepadatan penduduk mencapai 370 jiwa/Km2,
sedangkan penduduk terjarang terdapat di Kecamatan Rakumpit
hanya 1,26% dari penduduk Kota Palangka Raya dengan kepadatan
3 jiwa/Km2 (Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, 2018).
Secara umum jumlah penduduk Kota Palangka Raya terus
meningkat, dan laju pertumbuhan penduduk pertahun berkisar 2 –
3% pertahun. Peningkatan yang cukup besar sekitar 3% terjadi di 3
kecamatan yaitu Kecamatan pahandut dan Kecamatan Jekan Raya ,
yang juga sebagai wilayah Ibukota Palangka Raya, dan Kecamatan
Sebangau yang merupakan wilayah dengan karakteristik peralihan
antara perdesaan dan perkotaan. Secara rinci perkembangan
penduduk dan laju pertumbuhan penduduk sebagaimana pada tabel
4.4.
70 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 4.4. Perkembangan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kecamatan di Kota Palangka
Raya Tahun 2016 – 2017
No. Wilayah
Jumlah Penduduk
(jiwa)
Laju Pertumbuhan
(%)
2016 2017
1 Kec. Pahandut 93,894 96,723 3.01
2 Kec. Sabangau 17,398 17,922 3.01
3 Kec. Jekan Raya 139,312 143,508 3.01
4 Kec. Bukit Batu 13,749 14,039 2.11
5 Kec. Rakumpit 3,404 3,475 2.09
Kota Palangka Raya 267,757 275,667 2.95
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, 2018.
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, diketahui bahwa jumlah
penduduk Kota Palangka Raya pada tahun 2017 meningkat
dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak 275.667 jiwa, dengan
laju pertumbuhan sebesar 2,95%. Menurut prediksi Badan Pusat
Statistik (BPS), bahwa pertumbuhan penduduk Kota Palangka Raya
setiap tahun akan terus meningkat. Dengan mempertimbangkan
kemajuan di masa mendatang diprediksikan bahwa pada tahun
2020 nanti jumlah penduduk Kota Palangka Raya meningkat
menjadi 299.691 jiwa.
Pada tahun 2017, rasio jenis kelamin penduduk di Kota
Palangka Raya sebesar 105, yang berarti bahwa di antara 105 orang
penduduk laki-laki terdapat 100 orang penduduk perempuan.
Perbandingan penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk
71 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
perempuan sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir (2012 – 2016).
Demikian pula jumlah penduduk umur 15 tahun ke atas pada
tahun 2017 sebanyak 207.493 orang dan penduduk usia
kerja/produktif berjumlah 199.211 orang dengan rasio beban
tanggungan sebesar 38, yang berarti bahwa pada setiap 100
penduduk usia produktif menanggung sebanyak 38 orang penduduk
lanjut usia dan di bawah umur 15 tahun.
4.1.2. Ketenagakerjaan.
Kondisi ketenaga kerjaan di Kota Palangka Raya dicerminkan
dari data banyaknya angkatan kerja yang tersedia baik yang sudah
bekerja maupun yang masih mencari pekerjaan. Jika dilihat dari
jumlah angkatan kerja yang tersedia berdasarkan jenis kelamin,
diketahui bahwa, secara umum jumlah angkatan kerja laki-laki
lebih banyak dari angkatan kerja perempuan. Hal ini juga terlihat
dari data pada tahun 2017, dimana rasio jenis kelamin penduduk di
Kota Palangka Raya sebesar 105, yang berarti bahwa di antara 105
orang penduduk laki-laki terdapat 100 orang penduduk perempuan.
Perbandingan penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk
perempuan sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir (2012 – 2016).
Secara rinci gambaran jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas
berdasarkan ketenagakerjaan sebagaimana pada tabel 4.5.
72 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis kegiatan dan Jenis Kelamin di Kota Palangka Raya,
2017
No. Jenis Kegiatan Utama Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Angkatan Kerja 81,770 47,703 129,473
1. Bekerja 77,245 42,825 120,070
2. Pengangguran Terbuka 4,525 4,878 9,403
2 Bukan angkatan 24,545 53,475 78,020
1. Sekolah 13,826 12,456 26,282
2. mengurus Rumah Tangga 7,449 39,904 47,353
3. Lainnya 3,270 1,115 4,385
Total 106,315 101,178 207,493
3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 76.91 47.15 62.40
4 Tingkat Pengangguran 5.53 10.23 7.26
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, 2018.
Jumlah penduduk umur 15 tahun ke atas tahun 2017
sebanyak 207.493 orang dengan 129.473 orang termasuk angkatan
kerja. Dari jumlah tersebut terdapat 120.070 orang yang bekerja
yang terdiri dari 77.245 laki-laki dan 42.825 orang perempuan,
dengan demikian tingkat partisipasi angkatan kerja Kota Palangka
Raya sebesar 62,40%. Sebagian besar angkatan kerja yang bekerja
tersebut, bekerja pada lapangan utama non pertanian seperti
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel (36,8%) dan
kegiatan jasa kemasyarakatan sosial dan perseorangan (33,94%),
sedangkan lapangan utama pertanian, jumlah angkatan kerja yang
bekerja hanya sebanyak 4,92%. Secara rinci gambaran jumlah
penduduk yang bekerja pada beberapa lapangan utam sebagaimana
tabel 4.6.
73 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Jenis Lapangan Utama dan Jenis
Kelamin di Kota Palangka Raya, 2017
No. Lapangan Pekerjaan Utama Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan 5,252 693 5,945
2 Pertambangan dan
penggalian 2,735 423 3,158 3 Industri Pengolahan 3,998 1,162 5,160 4 Listrik, Gas, dan Air 1,107 604 1,711
5 Bangunan 10,573 429 11,002
6 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel 24,758 19,801 44,559
7 Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 2,878 545 3,423
8 Keuangan, Asuransi, Usaha
Persewaan, Bangunan, Tanah dan Jasa 4,010 822 4,832
9 Jasa Kemasyarakatan,
Sosial dan Perorangan 21,934 19,066 41,000
Jumlah 77,245 43,545 120,790
Sumber: Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2018.
Dari keseluruhan angkatan kerja yang ada di Kota Palangka
Raya, masih terdapat penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang
dikategorikan sebagai pengangguran terbuka yaitu angkatan kerja
yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan, yang jumlahnya
mencapai 7,26 % dari total angkatan kerja, yaitu sebanyak 9.403
jiwa yang terdiri dari 4.525 jiwa laki-laki dan 4,878 jiwa perempuan.
Data pencari kerja yang ada di Dinas Tenaga Kerja Kota
Palangka Raya menunjukkan kenaikan jumlah tenaga kerja. Pada
tahun 2015 jumlah pencari kerja sebanyak 811 orang, tahun 2016
74 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sebanyak 1.920 orang, dan pada tahun 2017 meningkat hampir dua
kali lipat menjadi sebanyak 2.252 orang. Gambaran angkatan kerja
berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan sebagaimana pada
tabel 4.7.
Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Palangka Raya, 2017
No. Pendidikan tertinggi yang
Ditamatkan
Angkatan Kerja
Bekerja Pengang-
guran Jumlah %
1 Tidak/Belum Tamat SD 3,277 299 3,576 2.76
2 Sekolah Dasar 16,600 762 17,362 13.41
3 Sekolah Menengah Pertama 20,299 1,183 21,482 16.59
4 Sekolah Menengah 34,661 3,850 38,511 29.74
5 Sekolah Menengah Kejuruan 12,999 1,433 14,432 11.15
6 Diploma I/II/III 5,038 286 5,324 4.11
7 Universitas 27,196 1,590 28,786 22.23
Jumlah 120,070 9,403 129,473 100
Sumber: Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2018.
Dalam tiga tahun tersebut pencari kerja di Kota Palangka
Raya didominasi oleh tamatan perguruan tinggi disusul tamatan
SMA dan sederajat (29,74%) diikuti angkatan kerja yang memiliki
tingkat pendidikan universitas (22,23%). Komposisi pencari kerja
berdasarkan jenis kelamin dalam tiga tahun tersebut menunjukkan
jumlah yang seimbang antara pencari kerja laki-laki dan
perempuan.
75 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Gambaran kondisi pengangguran terbuka pada angkatan
kerja yang masih berada pada usia produktif tersebut, tentunya
memerlukan berbagai kebijakan dari pemerintah Kota Palangka
Raya yang dapat membuka atau menciptakan lapangan pekerjaan
baru agar dapat menyerap angkatan kerja yang masih menganggur
atau mendorong angkatan kerja tersebut agar mau berwirausaha
dengan dampingan dari pemerintah Kota Palangka Raya. Upaya
yang dilakukan tersebut pada akhirnya akan dapat mengurangi
tingkat pengangguran di Kota Palangka Raya dan secara langsung
atau tidak langsung dapat menurunkan angka kemiskinan yang ada
di Kota Palangka Raya.
4.2. Kondisi Kemiskinan di Kota Palangka Raya.
Empat puluh persen kelurahan di Kota Palangka Raya ini
diklasifikasikan sebagai daerah perkotaan. Secara umum, penduduk
miskin di Kalimantan Tengah berada di perkotaan sehingga Kota
Palangka Raya memiliki tingkat kemiskinan terendah setelah
Kabupaten Sukamara. Dengan tingkat kepadatan penduduk
tertinggi, pada kota ini akan ditemukan 4 hingga 5 orang miskin
atau setidaknya satu rumah tangga miskin di setiap km2 (BPS
Propinsi Kalimantan Tengah (2017). Secara umum perkembangan
penduduk miskin di Kota Palangka Raya sebagaimana pada tabel
4.8.
76 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 4.8. Perkembangan Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan dan Indeks Kemiskinan Kota Palangka Raya Tahun 2012 –
2017
No. Tahun
Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/
Bulan)
Indeks Kemiskinan
(ribu jiwa) (%) Kedalaman
(P1) Keparahan
(P2)
1 2012 10,10 4,24 258,381 0,46 0,10
2 2013 9,70 3,94 281,323 0,48 0.09
3 2014 9,68 3,81 299,328 0,41 0,09
4 2015 10,25 3,91 307,796 0,51 0,11
5 2016 9,96 3,75 324,082 0,41 0,06
6 2017 9,91 3,62 345,417 0,51 0,14
Sumber: BPS Propinsi Kalimantan Tengah, 2018.
Ukuran lain itu untuk memahami kemiskinan adalah Indeks
Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap index/P1) dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/P2). P1 adalah rata-
rata jarak pengeluaran orang-orang miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai P1 semakin jauh rata-rata
pengeluaran orang miskin tersebut dari garis kemiskinan. P2 adalah
menggambarkan disparitas kemiskinan di antara orang miskin itu
sendiri. Semakin tinggi nilai P2 semakin tinggi ketimpangan
pengeluaran diantara penduduk miskin
Sejak tahun 2003 - 2017 tingkat kemiskinan di wilayah Kota
Palangka Raya sudah relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
tingkat kedalaman kemiskinan (P1) Tahun 2003 sebesar 1,13
menurun pada tahun 2017 menjadi sebesar 0,51. Sedangkan
77 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tingkat keparahan kemiskinan (P2) pada tahun 2003 sebesar 0,26
menurun pada tahun 2017 menjadi sebesar 0,14. Jika menyasar
tepat pada penduduk miskin, usaha pengentasan kemiskinan di
kota ini relatif lebih mudah dibandingan dengan wilayah lain. Rata-
rata jarak pengeluaran orang-orang miskin terhadap garis
kemiskinan (P1) relatif paling rendah dibandingkan wilayah lain.
Begitu juga dengan tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang
menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara sesama
penduduk miskin yang relatif kecil. Hal ini memberi sinyal bagi
stakeholder untuk dapat melakukan program pengentasan
kemiskinan yang sejenis kepada mereka (BPS Propinsi Kalimantan
Tengah (2017).
Pada tahun 2017, sebanyak 9,91 ribu orang hidup dengan
kurang dari Rp. 345.417/bulan. Sebesar 65,66 persen dari total
pengeluaran perkapita dikeluarkan untuk makanan. Dari sisi
pendidikan, sebesar 82,27 persen penduduk miskin usia 15 tahun
ke atas merupakan tamatan SD/SLTP dan 17,73 persen yang
memilik ijazah SLTA ke atas. Angka Partisipasi Sekolah penduduk
miskin usia 7-12 tahun dan usia 13-15 tahun sebesar 100 persen.
Secara rinci gambaran penduduk miskin menurut pengeluaran
perkapita untuk makanan, menurut status bekerja, menurut
pendidikan yang ditamatkan dan menurut angka melek huruf dan
angka partisipasi sekolah sebagaimana pada tabel 4.9.
78 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 4.9. Kondisi Penduduk Miskin Berdasar Pengeluaran, Status Bekerja, Pendidikan dan Angka Melek Huruf dan
Partisipasi SekolahTahun 2017.
No. Uraian Jumlah (%)
1 Pengeluaran Per Kapita untuk makanan menurut status miskin
a. Miskin 65,66
b. Tidak Miskin 51,91 c. Total (Miskin + Tidak Miskin) 52,41
2 Penduduk Miskin Usia 15 thn ke Atas menurut status bekerja
a. Tidak Bekerja 53,14
b. Bekerja di Sektor Pertanian
c. Bekerja di Luar Sektor Pertanian 46,86
3 Penduduk Miskin Usia 15 thn ke Atas menurut
Pendidikan yang Ditamatkan a. < SD b. Tamat SD/SLTP 82,27 c. SLTA+ 17,73
4 Angka Melek Huruf dan Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Miskin
1. Angka Melek Hurup a. 15 -24 Tahun 100 b. 15 - 55 Tahun 100 Angka Partisipasi Sekolah
a. 7 -12 Tahun 100 b. 13 - 15 Tahun 100
Sumber: BPS Propinsi Kalimantan Tengah, 2018.
Berbeda dengan penilaian penduduk miskin yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, data penduduk
miskin yang disediakan oleh Dinas Sosial Kota Palangka Raya
didasarkan pada penilaian berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT)
PFM, yang menghasilkan penilaian dengan jumlah yang sedikit
79 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
berbeda, dimana jumlah penduduk miskin berdasarkan penilaian
BPS Kota Palangka Raya pada tahun 2017 adalah sebanyak 9,91
ribu jiwa, sedangkan data yang dikeluarkan Dinas Sosial Kota
Palangka Raya adalah sebanyak 10,44 ribu jiwa (14,8% dari total
Jumlah penduduk Kota Palangka Raya. Secara rinci sebagaimana
pada tabel 4.10.
Tabel 4.10. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Berdasarkan
Kecamatan dan Kelurahan di Kota Palangka Raya.
No. Kecamatan/
Kelurahan
Rumah
Tangga
(KK)
Penduduk
(Jiwa)
Penduduk Miskin *)
(KK) % (Jiwa) %
1 Kec. Pahandut
1 Pahandut 7,867 30,856 1,592 20.2 6,388 20.7
2 Panarung 6,387 25,496 438 6.9 1,774 7.0
3 Langkai 8,413 31,556 1,105 13.1 4,390 13.9
4 Tumbang Rungan 169 779 115 68.0 444 57.0
5 Tanjung Pinang 727 3,206 357 49.1 1,623 50.6
6 Pahandut Seberang 1,215 4,830 596 49.1 2,384 49.4
Sub Total 1 24,778 96,723 4,203 17.0 17,003 17.6
2 Kec. Sabangau
1 Kereng Bangkirai 1,854 7,735 374 20.2 1,510 19.5
2 Sabaru 833 3,532 173 20.8 731 20.7
3 Kalampangan 1,181 4,419 444 37.6 1,424 32.2
4 Kameloh Baru 157 733 157 100.0 613 83.6
5 Bereng Bengkel 334 1,235 219 65.6 892 72.2
6 Danau Tundai 76 268 62 81.6 215 80.2
Sub Total 2 4,435 17,922 1,429 32.2 5,385 30.0
3 Kec. Jekan Raya
1 Menteng 13,312 46,838 603 4.5 2,400 5.1
2 Palangka 13,903 51,622 1,121 8.1 4,469 8.7
3 Bukit Tunggal 10,908 42,367 884 8.1 3,483 8.2
4 Katimpun 705 2,681 223 31.6 944 35.2
Sub Total 3 38,828 143,508 2,831 7.3 11,296 7.9
80 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Lanjutan tabel 4.10.
No. Kecamatan/
Kelurahan
Rumah
Tangga (KK)
Penduduk (Jiwa)
Penduduk Miskin *)
(KK) % (Jiwa) %
4 Kec. Bukit Batu
1 Marang 209 966 135 64.6 495 51.2
2 Tumbang Tahai 674 2,535 368 54.6 1,386 54.7
3 Banturung 1,134 4,270 327 28.8 1,145 26.8
4 Tangkiling 908 3,344 423 46.6 1,517 45.4
5 Sei Gohong 417 1,578 155 37.2 610 38.7
6 Kanarakan 116 432 90 77.6 338 78.2
7 Habaring Hurung 245 914 181 73.9 633 69.3
Sub Total 4 3,703 14,039 1,679 45.3 6,124 43.6
5 Kec. Rakumpit
1 Petuk Bukit 268 989 65 24.3 242 24.5
2 Pager 104 371 31 29.8 115 31.0
3 Panjehang 73 276 42 57.5 169 61.2
4 Gaung Baru 56 248 21 37.5 96 38.7
5 Petuk Barunai 183 726 40 21.9 169 23.3
6 Mungku Baru 158 659 67 42.4 383 58.1
7 Bukit Sua 47 206 31 66.0 133 64.6
Sub Total 5 889 3,475 297 33.4 1,307 37.6
Kota Palangka Raya 72,633 275,667 10,439 14.4 41,115 14.9
Sumber: BPS Propinsi Kalimantan Tengah, 2018. *) Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) PFM 2018.
Pada table 4.10 menunjukkan bahwa jika dibandingkan
dengan total jumlah penduduk yang ada di masing-masing wilayah
kecamatan, jumlah penduduk miskin (penerima manfaat) cukup
menyebar di 5 (lima) kecamatan yang ada di Kota Palangka Raya.
Jika jumlah penduduk di masing-masing wilayah kecamatan dinilai
berdasarkan jumlah masyarakat penerima bantuan program
pengentasan kemiskinan (Basis Data Terpadu PFM) Dinas Sosial
Kota palangka Raya, maka terlihat bahwa persentase penduduk
81 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
miskin yang terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Bukit Batu
(46,7%), sedangkan yang terendah terdapat di wilayah Kecamatan
Jekan Raya (7,5%).
82 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.1. Gambaran Umum Kota Yogyakarta
Filosofi pembentukan Kota Yogyakarta bertumpu pada
keberadaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang secara
spesifik memancarkan citra kota dan membangun ’image’
Kota Yogyakarta sebagai Kota Budaya, Kota Perjuangan, Kota
Pendidikan dan Kota Pariwisata. Hal ini terbentuk atas
berkembangnya fungsi‐fungsi pelayanan kota yang sejalan dengan
tumbuh dan berkembangnya pembangunan wilayah perkotaan
Yogyakarta. Gambaran umum perkembangan Kota Yogyakarta
memperlihatkan peta potensi pengembangan wilayah
berdasarkan aspek geografi dan demografi, aspek kesejahteraan
masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah.
5.1.1. Aspek Geografi.
A. Luas dan Letak Wilayah
Kota Yogyakarta memiliki luas sekitar 32,5 Km2 atau 1,02%
dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak
terjauh dari Utara ke Selatan kurang lebih 7,5 km dan dari Barat
ke Timur kurang lebih 5,6 km. Secara geografis, kota ini terletak
antara 110o24’1”‐ 110o28’53” Bujur Timur dan antara
83 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
07o15’24”‐07o49’26” Lintang Selatan.
Secara administratif, KotaYogyakarta terdiri dari 14
kecamatan dan 45 kelurahan dengan batas wilayah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Sleman (Kecamatan Depok dan
Kecamatan Mlati)
Sebelah Timur : Kabupaten Sleman (Kecamatan Depok dan
Kecamatan Berbah) dan Kabupaten Bantul
(Kecamatan Banguntapan)
Sebelah Selatan : Kabupaten Bantul (Kecamatan Banguntapan
dan Kecamatan Sewon)
Sebelah Barat : Kabupaten Sleman (Kecamatan Gamping) dan
Kabupaten Bantul (Kecamatan Kasihan)
Secara umum Kota Yogyakarta memiliki posisi strategis
antara lain sebagai ibukota Provinsi dan pusat kegiatan regional
yang mencakup kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
bagian Selatan.
84 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Gambar 5.1. Peta Administrasi Kota Yogyakarta
Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14
Kecamatan, 45 Kelurahan, 616 Rukun Warga (RW) dan 2.532
Rukun Tetangga (RT). Kecamatan Umbulharjo merupakan
kecamatan yang wilayahnya paling luas yaitu 812 Ha atau
sebesar 24,98% dari luas Kota Yogyakarta, sedangkan kecamatan
yang wilayahnya paling sempit adalah Kecamatan Pakualaman
85 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dengan luas 63 Ha atau sebesar 1,94% luas Kota Yogyakarta.
Berikut luas masing‐ masing kecamatan di Kota Yogyakarta. Secara
rinci pembagian administrasi dan luas wilayah Kota Yogyakarta
sebagaimana pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Pembagian Administrasi dan Luas Wilayah Kota
Yogyakarta
No. Kecamatan Kelurahan Luas Area
(km2)
Jumlah
RW
Jumlah
RT
1 Mantrijeron
Gedongkiwo 0.9 18 86
Suryodiningratan 0.85 17 70
Mantrijeron 0.86 20 75
Total 1 2.61 55 231
2 Kraton
Patehan 0.4 10 44
Panembahan 0.66 18 78
Kadipaten 0.34 15 53
Total2 1.40 43 175
3 Mergangsan
Brontokusuman 0.93 23 84
Keparakan 0.53 13 58
Wirogunan 0.85 24 76
Total 3 2.31 60 218
4 Umbulharjo
Giwangan 1.26 13 42
Sorosutan 1.68 18 70
Pandean 1.38 13 52
Warungboto 0.83 9 38
Tahunan 0.78 12 50
Muja‐muju 1.53 12 55
Semaki 0.66 10 34
Total 4 8.12 87 341
5 Kotagede
Prenggan 0.99 13 57
Purbayan 0.83 14 58
Rejowinangun 1.25 13 49
Total 5 3.07 40 164
6 Gondokusuman
Baciro 1.06 21 87
Demangan 0.74 12 44
Klitren 0.68 16 63
Kotabaru 0.71 4 20
86 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No. Kecamatan Kelurahan Luas Area (km2)
Jumlah
RW
Jumlah
RT
Terban 0.8 12 58
Total 6 3.99 65 272
7 Danurejan
Suryatmajan 0.28 14 43
Tegalpanggung 0.35 16 66
Bausasran 0.47 12 49
Total 7 1.10 42 158
8 Pakualaman
Purwokinanti 0.33 10 47
Gunungketur 0.3 9 36
Total 8 0.63 19 83
9 Gondomanan
Prawirodirjan 0.67 18 61
Ngupasan 0.45 13 49
Total 9 1.12 31 110
10 Ngampilan
Notoprajan 0.37 8 50
Ngampilan 0.45 13 70
Total 10 0.82 21 120
11 Wirobrajan
Patangpuluhan 0.44 10 51
Wirobrajan 0.67 12 58
Pakuncen 0.65 12 56
Total 11 1.76 34 165
12 Gedongtengen
Pringgokusuman 0.46 22 85
Sosromenduran 0.5 14 54
Total 12 0.96 36 139
13 Jetis
Bumijo 0.58 13 57
Gowongan 0.46 13 52
Cokrodiningratan 0.66 11 57
Total 13 1.70 37 166
14 Tegalrejo
Tegalrejo 0.82 12 47
Bener 0.57 7 26
Kricak 0.82 13 61
Karangwaru 0.7 14 56
Total 14 2.91 46 190
Total 32.50 616 2532
Sumber : Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2017
87 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.1.2. Aspek Demografi
Jumlah penduduk di Kota Yogyakarta pada tahun 2017
menurut data BPS mencapai 422.732 jiwa. Jumlah penduduk di
Kota Yogyakarta mengalami fluktuasi, dengan kecenderungan
meningkat. Menurut kecamatan, jumlah penduduk paling tinggi
berada di Kecamatan Umbulharjo (90.775 jiwa atau 21,47
persen), selanjutnya yaitu Kecamatan Gondokusuman (47.461
jiwa atau 11,23 persen). Sementara itu, jumlah penduduk paling
rendah yaitu di Kecamatan Pakualaman (9.341 jiwa atau 2,21
persen), selanjutnya yaitu Kecamatan Gondomanan (13.697 jiwa
atau 3,24 persen). Tinggi atau rendah jumlah penduduk di Kota
Yogyakarta lebih dipengaruhi oleh luas wilayah, di mana Kecamatan
Umbulharjo dan Kecamatan Gondokusuman dengan jumlah
penduduk yang tinggi, memiliki wilayah yang lebih luas
dibandingkan dengan kecamatan lain. Begitu pula sebaliknya,
Kecamatan Pakualaman dan Kecamatan Gondomanan yang berada
di bagian tengah Kota Yogyakarta dengan jumlah penduduk yang
rendah, memiliki luas wilayah yang lebih kecil. Pola yang sama
juga ditunjukkan jumlah penduduk pada tahun‐tahun sebelumnya.
Penyebaran penduduk yang tidak merata per kecamatan bahkan
hingga perkelurahan akan mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya
manusia menjadi tidak atau kurang efektif dan produktif. Secara
rinci jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk
88 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sebagaimana pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Tingkat kepadatan Penduduk di Kota Yogyakarta
No. Kecamatan/
Kelurahan
Luas
Area
(km2)
Rumah
Tangga
(KK)
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(KK/
Km2)
(jiwa/
Km2)
1 Kec. Mantrijeron
Gedongkiwo 0.9 4,657 13,993 5,174 15,548
Suryodiningratan 0.85 3,661 11,105 4,307 13,065
Mantrijeron 0.86 3,421 10,200 3,978 11,860
Total 1 2.61 11,739 35,298 4,498 13,524
2 Kec. Kraton
Patehan 0.4 1,979 5,896 4,948 14,740
Panembahan 0.66 3,080 9,206 4,667 13,948
Kadipaten 0.34 2,263 3,661 6,656 10,768
Total 2 1.40 7,322 18,763 5,230 13,402
3 Kec. Mergangsan
Brontokusuman 0.93 3,442 10,760 3,701 11,570
Keparakan 0.53 3,230 9,954 6,094 18,781
Wirogunan 0.85 3,703 11,272 4,356 13,261
Total 3 2.31 10,375 31,986 4,491 13,847
4 Kec. Umbulharjo
Giwangan 1.26 2,354 7,620 1,868 6,048
Sorosutan 1.68 4,850 15,178 2,887 9,035
Pandean 1.38 3,895 12,064 2,822 8,742
Warungboto 0.83 2,863 9,024 3,449 10,872
Tahunan 0.78 2,886 9,054 3,700 11,608
Muja‐muju 1.53 3,341 10,667 2,184 6,972
Semaki 0.66 1,658 5,153 2,512 7,808
Total 4 8.12 21,847 68,760 2,691 8,468
5 Kec. Kotagede
Prenggan 0.99 3,563 11,072 3,599 11,184
Purbayan 0.83 3,235 10,073 3,898 12,136
Rejowinangun 1.25 3,782 12,390 3,026 9,912
Total 5 3.07 10,580 33,535 3,446 10,923
Lanjutan Tabel 5.2.
89 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No. Kecamatan/
Kelurahan
Luas
Area
(km2)
Rumah
Tangga
(KK)
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(KK/
Km2)
(jiwa/
Km2)
6 Kec. Gondokusuman
Baciro 1.06 3,961 12,224 3,737 11,532
Demangan 0.74 2,830 8,686 3,824 11,738
Klitren 0.68 3,096 9,493 4,553 13,960
Kotabaru 0.71 860 2,718 1,211 3,828
Terban 0.8 3,035 9,166 3,794 11,458
Total 6 3.99 13,782 42,287 3,454 10,598
7 Kec. Danurejan
Suryatmajan 0.28 1,547 4,665 5,525 16,661
Tegalpanggung 0.35 2,932 9,199 8,377 26,283
Bausasran 0.47 2,362 7,316 5,026 15,566
Total 7 1.10 6,841 21,180 6,219 19,255
8 Kec. Pakualaman
Purwokinanti 0.33 2,077 6,221 6,294 18,852
Gunungketur 0.3 1,491 4,495 4,970 14,983
Total 8 0.63 3,568 10,716 5,663 17,010
9 Kec. Gondomanan
Prawirodirjan 0.67 3,057 9,346 4,563 13,949
Ngupasan 0.45 1,876 5,664 4,169 12,587
Total 9 1.12 4,933 15,010 4,404 13,402
10 Kec. Ngampilan
Notoprajan 0.37 2,586 8,131 6,989 21,976
Ngampilan 0.45 3,268 10,430 7,262 23,178
Total 10 0.82 5,854 18,561 7,139 22,635
11 Kec. Wirobrajan
Patangpuluhan 0.44 2,469 7,601 5,611 17,275
Wirobrajan 0.67 3,028 9,352 4,519 13,958
Pakuncen 0.65 3,453 10,793 5,312 16,605
Total 11 1.76 8,950 27,746 5,085 15,765
12 Kec. Gedongtengen
Pringgokusuman 0.46 4,125 12,549 8,967 27,280
Sosromenduran 0.5 2,545 7,661 5,090 15,322
Total 12 0.96 6,670 20,210 6,948 21,052
90 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Lanjutan Tabel 5.2.
No. Kecamatan/ Kelurahan
Luas
Area (km2)
Rumah
Tangga (KK)
Penduduk (jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(KK/
Km2)
(jiwa/
Km2)
13 Kec. Jetis
Bumijo 0.58 3,404 10,299 5,869 17,757
Gowongan 0.46 2,665 8,018 5,793 17,430
Cokrodiningratan 0.66 2,897 8,918 4,389 13,512
Total 13 1.70 8,966 27,235 5,274 16,021
14 Kec. Tegalrejo
Tegalrejo 0.82 2,966 9,124 3,617 11,127
Bener 0.57 1,611 4,851 2,826 8,511
Kricak 0.82 4,240 13,401 5,171 16,343
Karangwaru 0.7 3,140 9,837 4,486 14,053
Total 14 2.91 11,957 37,213 4,109 12,788
Total Kota Yogyakarta 32.50 133,384 408,500 4,104 12,569
Sumber: BPS Kota Yogyakarta, 2018.
Secara umum jumlah penduduk Kota Yogyakarta terus
meningkat, dan laju pertumbuhan penduduk pertahun berkisar 0 –
2,46% pertahun. Sebagian besar laju pertumbuhan penduduk di
Kota Yogyakarta adalah kurang dari 1%, bahkan di Kecamatan
Pakualaman tercatat hampir tidak ada pertumbuhan penduduk.
Peningkatan pertumbuhan penduduk yang cukup besar terjadi di 3
kecamatan yaitu Kecamatan Kotagede (2,46%), Kecamatan
Umbulharjo (2,38%) dan Kecamatan Tegalrejo (1,26%), Secara rinci
perkembangan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk
sebagaimana pada tabel 5.3.
91 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 5.3. Perkembangan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kecamatan di Kota Palangka
Raya Tahun 2016 – 2017
No. Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa)
Laju
Pertumbuhan (%)
2016 2017
1 Mantrijeron 33,103 33,406 0.92
2 Kraton 17,564 17,575 0.06
3 Mergangsan 30,475 30,666 0.63
4 Umbulharjo 88,667 90,775 2.38
5 Kotagede 36,165 37,055 2.46
6 Gondokusuman 47,160 47,461 0.64
7 Danurejan 19,019 19,128 0.57
8 Pakualaman 9,341 9,341 0.00
9 Gondomanan 13,603 13,697 0.69
10 Ngampilan 16,932 17,031 0.58
11 Wirobrajan 25,831 25,992 0.62
12 Gedongtengen 18,216 18,388 0.94
13 Jetis 23,911 23,983 0.30
14 Tegalrejo 37,757 38,234 1.26
Kota Yogyakarta 417,744 422,732 1.19
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta,2017 dan 2018.
Berdasarkan Tabel 5.3 di atas, diketahui bahwa jumlah
penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2017 meningkat
dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak 422.732 jiwa, dengan
laju pertumbuhan sebesar 1,19%. Menurut prediksi Badan Pusat
Statistik (BPS), bahwa pertumbuhan penduduk Kota Yogyakarta
setiap tahun akan terus meningkat. Dengan mempertimbangkan
kemajuan di masa mendatang diprediksikan bahwa pada tahun
2020 nanti jumlah penduduk Kota Yogyakarta meningkat menjadi
92 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
438.761 jiwa, dan pada tahun 2025 jumlah penduduk Kota
Yogyakarta meningkat menjadi 466.950 jiwa.
Pada tahun 2017, rasio jenis kelamin penduduk di Kota
Yogyakarta sebesar 95, yang berarti bahwa di antara 95 orang
penduduk laki-laki terdapat 100 orang penduduk perempuan.
Perbandingan penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk
perempuan sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir (2012 – 2016).
Demikian pula jumlah penduduk umur 15 tahun ke atas pada
tahun 2017 sebanyak 213.591 orang dan penduduk usia
kerja/produktif berjumlah 204.237 orang dengan rasio beban
tanggungan sebesar 284, yang berarti bahwa pada setiap 100
penduduk usia produktif menanggung sebanyak 284 orang
penduduk lanjut usia dan di bawah umur 15 tahun.
5.1.3. Aspek Ketenagakerjaan.
Kondisi ketenagakerjaan di Kota Yogyakarta dicerminkan dari
data banyaknya angkatan kerja yang tersedia baik yang sudah
bekerja maupun yang masih mencari pekerjaan. Jika dilihat dari
jumlah angkatan kerja yang tersedia berdasarkan jenis kelamin,
diketahui bahwa, secara umum jumlah angkatan kerja laki-laki
lebih banyak dari angkatan kerja perempuan. Tenaga kerja
merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam proses
pembangunan di suatu wilayah. Semakin besar jumlah tenaga kerja,
93 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
lebih-lebih apabila disertai dengan ketrampilan dan keahlian yang
cukup memadai, akan semakin pesat pula perkembangan
pembangunan di wilayah tersebut. Secara rinci gambaran jumlah
penduduk berusia 15 tahun keatas berdasarkan ketenagakerjaan
sebagaimana pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis kegiatan dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta,
2017
No. Jenis Kegiatan Utama Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Angkatan Kerja 118,550 106,463 225,013
1. Bekerja 111,395 102,196 213,591
2. Pengangguran Terbuka 7,155 4,267 11,422
2 Bukan angkatan 46,538 70,826 117,364
1. Sekolah 23,856 23,867 47,723
2. mengurus Rumah Tangga 15,391 41,918 57,309
3. Lainnya 7,291 5,041 12,332
Total 165,088 177,289 342,377
3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 71.81 60.05 65.72
4 Tingkat Pengangguran 6.04 4.01 5.08
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta, 2018.
PAda Tabel 5.4 diketahui bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) di Kota Yogyakarta pada tahun 2017 sebesar 65,72
persen. Bila diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, maka
tingkat TPAK perempuan 60,05 persen lebih kecil dibandingkan
TPAK laki-laki yang mencapai 71,81persen. Tingkat pengangguran
pada tahun 2017 sebesar 5,08 persen. Jika dilihat dari jenis kelamin
tingkat pengangguran laki-laki sebesar 6,06 persen lebih tinggi
dibandingkan tingkat pengangguran perempuan yang hanya 4,01
94 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
persen. Sedangkan menurut lapangan usaha, sektor Perdagangan
Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel mendominasi pasar kerja
di Kota Yogyakarta dengan persentase 43,44 persen pada tahun
2017. Kemudian diikuti sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan
Perorangan sebesar 27,93 persen dan sektor Industri Pengolahan
hanya 12,58 persen. Secara rinci gambaran jumlah penduduk yang
bekerja pada beberapa lapangan utama sebagaimana tabel 5.5.
Tabel 5.5. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Jenis Lapangan Utama dan Jenis
Kelamin di Kota Yogyakarta, 2017
No. Lapangan Pekerjaan Utama Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan 399 0 399
2 Pertambangan dan penggalian 929 0 929
3 Industri Pengolahan 13,409 13,455 26,864
4 Listrik, Gas, dan Air 792 0 792
5 Bangunan 5,846 1,085 6,931
6 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah
Makan dan Hotel 42,576 50,210 92,786
7 Angkutan, Pergudangan dan
Komunikasi 10,194 2,395 12,589
8 Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan, Bangunan, Tanah dan Jasa 8,126 4,509 12,635
9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan
Perorangan 29,124 30,542 59,666
Jumlah 111,395 102,196 213,591
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2018.
Jumlah Pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi tahun 2017 sebanyak 3.429 jiwa yang terdiri dari
1.577 laki-laki dan 1.852 perempuan. Sebagian besar dari pencari
95 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
kerja tersebut berpendidikan SMU/Sederajat yaitu 64,92 persen,
kemudian diikuti yang S1/Sederajat (24,15 persen), berpendidikan
Diploma (5,05 persen), dan sisanya (5,88) berpendidikan S2, SMP,
dan SD.. Sebagian besar angkatan kerja yang bekerja tersebut,
bekerja pada lapangan utama non pertanian seperti Perdagangan
Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel (43,44%) dan kegiatan jasa
kemasyarakatan sosial dan perseorangan (27,93%), sedangkan
lapangan utama pertanian, jumlah angkatan kerja yang bekerja
hanya sebanyak 0,19%. Gambaran angkatan kerja berdasarkan
tingkat pendidikan yang ditamatkan sebagaimana pada tabel 5.6.
Tabel 5.6. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Palangka
Raya, 2017
No. Pendidikan tertinggi yang
Ditamatkan
Angkatan Kerja
Bekerja Pengangguran Jumlah
1 Tidak/Belum Pernah Sekolah 273 0 273
2 Tidak/Belum Tamat SD 9,998 333 10,331
3 Sekolah Dasar 20,045 276 20,321
4 Sekolah Menengah Pertama 30,195 495 30,690
5 Sekolah Menengah 47,019 3,847 50,866
6 Sekolah Menengah Kejuruan 44,789 3,342 48,131
7 Diploma I/II/III 17,548 382 17,930
8 Universitas 43,724 2,747 46,471
Jumlah 213,591 11,422 225,013
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2018.
96 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Dalam tiga tahun tersebut pencari kerja di Kota Yogyakarta
didominasi oleh tamatan perguruan tinggi disusul tamatan SMA dan
sederajat (29,74%) diikuti angkatan kerja yang memiliki tingkat
pendidikan universitas (22,23%). Komposisi pencari kerja
berdasarkan jenis kelamin dalam tiga tahun tersebut menunjukkan
jumlah yang seimbang antara pencari kerja laki-laki dan
perempuan.
Gambaran kondisi pengangguran terbuka pada angkatan
kerja yang masih berada pada usia produktif tersebut, tentunya
memerlukan berbagai kebijakan dari pemerintah Kota Palangka
Raya yang dapat membuka atau menciptakan lapangan pekerjaan
baru agar dapat menyerap angkatan kerja yang masih menganggur
atau mendorong angkatan kerja tersebut agar mau berwirausaha
dengan dampingan dari pemerintah Kota Palangka Raya. Upaya
yang dilakukan tersebut pada akhirnya akan dapat mengurangi
tingkat pengangguran di Kota Palangka Raya dan secara langsung
atau tidak langsung dapat menurunkan angka kemiskinan yang ada
di Kota Palangka Raya.
5.2. Karakteristik Kemiskinan di Kota Yogyakarta.
Kemiskinan merupakan indikator makro yang dapat
memberikan informasi terkait seberapa banyak penduduk suatu
wilayah yang belum sejahtera. Selain itu pula, kemiskinan dapat
97 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dipergunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan yang
telah dilakukannya. Kompleksitas kemiskinan tidak hanya terkait
dengan upaya pengentasan penduduk miskin namun juga
mencakup implementasi pembangunan dan efektivitas program di
bidang ekonomi dan sosial.
Perkembangan jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta
selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami penurunan,
meskipun pada tahun 2015 terjadi kenaikan (36 ribu jiwa) namun
selama dua tahun terakhir (2016 dan 2017) sudah mengalami
penurunan (32,6 dan 32,2 ribu jiwa). Secara rinci gambaran kondisi
kemiskinan di Kota Yogyakarta sebagaimana pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Perkembangan Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan dan Indeks Kemiskinan Kota Yogyakarta Tahun 2013 – 2017
No. Tahun
Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan
Indeks Kemiskinan
(ribu jiwa)
(%) (Rp/Kapita/
Bulan) Kedalaman
(P1) Keparahan
(P2)
1 2013 35.6 8.82 353,602 1.24 0.27
2 2014 35.6 8.67 366,520 1.14 0.26
3 2015 36,0 8.75 383,966 1.06 0.23
4 2016 32.6 7.70 401,193 1.05 0.19
5 2017 32.2 7.64 423,815 1.58 0.48
Sumber: BPS Propinsi DIY, 2018.
Garis kemiskinan adalah garis batas yang membedakan
antara kelompok penduduk miskin dan tidak miskin. Garis ini
menunjukkan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh individu untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik kebutuhan
98 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
makanan maupun non makanan (BPS DIY, 2018). Penduduk dengan
nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan akan dikategorikan
sebagai pen duduk miskin. Sebaliknya penduduk dengan jumlah
pengeluaran yang lebih besar dari nilai garis kemiskinan
dikategorikan sebagai bukan penduduk miskin. Garis kemiskinan
biasanya dibuat lebih dari satu. Hal ini diperlukan untuk
mengakomodir perbedaan karakteristik wilayah, terutama dalam
kaitannya dengan harga komoditi dan pola konsumsi yang berbeda
antar wilayah. Dalam hal ini, garis kemiskinan dibedakan menjadi
garis kemiskinan daerah perkotaan dan garis kemiskinan daerah
perdesaan. Selain itu, garis kemiskinan juga dibedakan menurut
kabupaten/kota. Secara umum garis kemiskinan yang ditetapkan di
Kota Yogyakarta selama lima tahun terakhir selalu mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2013 adalah sebesar Rp. 353.602
meningkat sebesar 19,86% pada tahun 2017 menjadi sebesar Rp.
423.815.
Indeks kedalaman kemiskinan digunakan untuk mengetahui
jarak antara rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin terhadap
garis kemiskinan. Semakin besar nilai indeks P1 menunjukkan
bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauh
dari garis kemiskinan. Dengan demikian, semakin besar nilai P1
maka semakin besar pula upaya yang diperlukan untuk
mengentaskan penduduk miskin dari keterpurukannya. Kota
99 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Yogyakarta juga menunjukkan adanya kecenderungan nilai indeks
P1 yang meningkat dalam rentang waktu 2013 – 2017. Pada tahun
2013, nilai indeks P1 Kota Yogyakarta tercatat sebesar 1,24 dan
sempat menyentuh angka 1,04 pada tahun 2016. Namun pada
tahun 2017, indeks P1 di daerah ini meningkat menjadi 1,58.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian mengingat dengan
meningkatnya indeks P1 menunjukkan semakin besarnya usaha
yang diperlukan untuk melakukan pengentasan kemiskinan. Selain
itu, peningkatan indeks P1 juga menunjukkan semakin terpuruknya
penduduk miskin karena rata-rata pengeluarannya semakin
menjauhi garis kemiskinan.
Indeks keparahan kemiskinan (P2) menunjukkan tingkat
kesenjangan pengeluaran antara penduduk miskin. Dari lima
kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta, Kota Yogyakarta merupakan
wilayah dengan nilai indeks P2 yang relatif paling rendah untuk
kurun waktu empat tahun terakhir. Rata-rata indeks P2 Kota
Yogyakarta adalah 0,29 per tahun. Bahkan pada tahun 2016, nilai
P2 kota ini mencapai nilai terendahnya yaitu 0,19 yang sekaligus
menunjukan rendahnya tingkat kesenjangan pengeluaran antara
penduduk miskin di Kota Yogyakarta.
100 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.3. Indeks Pembangunan Manusia Kota Yogyakarta.
Bank Dunia dalam salah satu publikasi yang dirilis
menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam pembangunan adalah
memperbaiki kualitas kehidupan manusia, terutama di negara-
negara miskin dan terbelakang. Perbaikan kualitas kehidupan
memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi,
namun masih ada syarat-syarat lainnya yang juga harus
diperjuangkan yaitu kualitas pendidikan yang lebih baik,
peningkatan nutrisi dan kesehatan, pemberantasan kemiskinan,
perbaikan kualitas lingkungan hidup, pemerataan kesempatan,
peningkatan kebebasan individu serta pelestarian aneka ragam
budaya (Bank Dunia, 2001). Untuk mengkaji perbandingan
pencapaian pembangunan, khususnya pembangunan manusia
antarwilayah dan antarnegara beserta perkembangan antarwaktu
diperlukan sebuah indikator yang mampu merepresentasikan
berbagai aspek dan dimensi dalam pembangunan manusia secara
berkelanjutan.
Salah satu upaya yang ditempuh oleh United Nation
Development Programme (UNDP) adalah merilis Human
Development Index (HDI) sebagai ukuran untuk menilai dan
menganalisis keberhasilan atau kinerja pembangunan manusia
dalam suatu wilayah sejak tahun 1990 (Human Development
Reports, 1990). Selanjutnya secara berkala, indeks tersebut
101 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan manusia
antarwilayah di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Dalam
ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, HDI
diterjemahkan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Dalam perkembangannya IPM sudah dihitung dan disajikan
sampai level provinsi dan kabupaten/kota oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). IPM Kota Yogyakarta pada kondisi awal tahun 2010
tercatat sebesar 82,72 dan meningkat secara bertahap menjadi
85,49 pada tahun 2017. Berdasarkan klasifikasinya, maka IPM Kota
Yogyakarta pada tahun 2017 termasuk dalam kategori IPM sangat
tinggi (IPM ≥80). Level IPM di daerah ini termasuk dalam lima
kabupaten/kota yang memiliki nilai IPM tertinggi secara nasional.
Bahkan, IPM Kota Yogyakarta tercatat menempati peringkat tertinggi
secara nasional di atas Kota Jakarta Selatan dalam beberapa tahun
terakhir. Secara umum, pencapaian angka tersebut menggambarkan
kualitas pembangunan manusia di Kota Yogyakarta yang lebih baik
dibandingkan dengan semua kabupaten/kota di Indonesia. Secara
rinci perkembangan indeks pembangunan manusia Kota Yogyakarta
seperti pada Tabel 5.8.
102 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 5.8. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Kota
Yogyakarta, 2013-2017
No. Indikator Penyusun Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Tahun
2013 2014 2015 2016 2017
1 Angka Harapan Hidup (AHH) 74.05 74.05 74.25 74.3 74.35
2 Harapan Lamanya Sekolah (HLS) 15.89 15.97 16.32 15.23 16.82
3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 11.36 11.39 11.41 11.42 11.43
4 Pengeluaran Per Kapita Riil (PPP) 16.65 16.755 17.317 17.770 18.005 5 Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) 83.61 83.78 84.56 85.32 85.49
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2018.
Tingginya level IPM Kota Yogyakarta ditopang oleh tingginya
capaian keempat indikator penyusunnya, terutama angka harapan
lama sekolah dan pengeluaran perkapita rill yang disesuaikan.
Indikator harapan lama sekolah Kota Yogyakarta berada pada level
16,82 tahun dan berada di peringkat kedua tertinggi secara
nasional. Indikator pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan
sudah mencapai level Rp18,0 juta setahun dan berada dalam
kelompok lima besar daerah dengan pengeluaran per kapita riil
tertinggi secara nasional. Sementara, indikator angka harapan hidup
dan rata-rata lama sekolah masing-masing tercatat pada level 74,35
tahun dan 11,43 tahun. Capaian rata-rata lama sekolah Kota
Yogyakarta berada pada posisi sepuluh besar secara nasional,
sementara angka harapan hidupnya berada dalam posisi 25 besar
secara nasional.
103 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.4. Kondisi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Di
Kota Yogyakarta.
5.4.1. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
Kemiskinan di Kota Yogyakarta menuntut kehadiran
pemerintah, terutama Dinas Sosial Kota Yogyakarta sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu
tugas dan fungsi dinas sosial adalah menyelenggarakan program
kesejahteraan sosial, dan salah satunya adalah penanggulangan
kemiskinan yang merupakan salah satu bagian dari permasalahan
kesejahteraan sosial.
Permasalahan sosial yang terjadi di Kota Yogyakarta semakin
kompleks, dan terus berkembang. Kondisi ini menuntut Pemerintah
Kota Yogyakarta untuk memberikan prioritas terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Hal ini relevan dengan
populasi dan kompleksitas permasalahan sosial yang ada di Kota
Yogyakarta yang cenderung mengalami peningkatan. Pemerintah
Kota Yogyakarta melalui Dinas Sosial berupaya dalam
menangani permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS).
104 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah
perseorangan, keluarga kelompok, dan atau masyarakat yang
karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi
kebutuhan hidupnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial
secara memadai dan wajar. Ada 26 jenis PMKS menurut Permensos
RI 08 Tahun 2012, namun di Kota Yogyakarta, hanya terdata 25
jenis PMKS. Gambaran perkembangan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial di Kota Yogyakarta seperti pada tabel 5.9
Tabel 5.9. Perkembangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Yogyakarta Tahun 2013 – 2016
No. Jenis PMKS 2013 2014 2015 2016
1 Anak yg menjadi korban tindak kekerasan/diperlakukan salah 47 39 21 0
2 Anak yg memerlukan perlindungan khusus 0 5 11 0
3 Kelompok Minoritas 117 117 0 0 4 Korban Bencana Alam 0 0 299 0 5 Korban Bencana Sosial 0 0 72 0 6 Korban Trafficking 0 0 0 1 7 Bekas warga binaan lembaga
Pemasyarakatan 665 710 743 16 8 Anak yg berhadapan dengan
hukum 0 0 0 17 9 Gelandangan 9 7 8 18 10 Anak Jalanan 57 54 42 27 11 Tuna Susila 74 77 10 35 12 Pengemis 32 31 24 35 13 Pekerja Migran Bermasalah
Sosial 34 298 181 35 14 Anak Balita Terlantar 17 17 32 45 15 Korban Tindak Kekerasan 183 173 172 67 16 Pemulung 6 15 27 73 17 Korban Penyalahgunaan Nafza 250 238 178 103
105 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
18 Keluarga bermasalah Sosial Psikologis - - 170 185
19 Anak dengan kedisabilitasan 256 334 253 229 20 Anak terlantar 433 403 331 307 21 Orang dgn HIV/AID (ODHA) - - 943 806 22 Perempuan Rawan Sosial
Ekonomi - - 1227 1174 23 Penyandang Disabilitas 2319 2344 1819 1725 24 Lanjut usia terlantar 2031 1981 1578 1759
25 Fakir Miskin - - 20,253 20,253
Jumlah 6,530 6,843 28,394 26,910
Sumber: Dinas Sosial Kota Yogyakarta, 2018
Pada tabel 5,9 diketahui bahwa dari 26 PMKS yang ada, hanya
terdapat 25 PMKS yang terdata di Dinas Sosial Kota Yogyakarta.
Dari 25 PMKS tersebut, penduduk yang masuk dalam kategori fakir
miskin atau orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi
tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang
layak bagi kehidupan dirinya dan keluarganya, jumlahnya sangat
besar atau mencapai 75,26% dari total keseluruhan PMKS yang ada
di Kota Yogyakarta. Jenis PMKS lainnya yang jumlahnya cukup
banyak adalah lanjut usia terlantar (6,54%), Penyandang Disabilitas
(6,41%), Perempuan rawan sosial ekonomi (4,36%), dan orang
dengan HIV/AID (ODHA) (3,0%). Sementara beberapa jenis PMKS
lainnya jumlahnya kurang dari 1%. Berdasarkan gambaran jumlah
tersebut, penanganan jenis PMKS fakir miskin di wilayah Kota
Yogyakarta menjadi salah satu prioritas utama.
106 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.4.2. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
dapat berperan serta untuk menjaga, menciptakan, mendukung dan
memperkuat penyelenggaraan kesejahteraan sosial. PSKS
merupakan potensi dan kemampuan yang ada dalam masyarakat
baik manusiawi, sosial maupun alami, yang dapat digali dan
didayagunakan untuk mencegah, menjaga, menciptakan,
mendukung dan memperkuat usaha-usaha kesejahteraan sosial
yang dilaksanakan. Secara rinci gambaran jumlah PSKS yang ada di
Kota Yogyakarta sebagaimana pada tabel 5.10
Tabel 5.10. Perkembangan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Kota Yogyakarta Tahun 2013 – 2017
No. PSKS 2013 2014 2015 2016 2017
1 Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) 1,158 1,057 1,049 1,049 1,144
2 Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) 176 90 67 66 67
3 Personal Tagana 93 56 108 108 75
4 Karang Taruna 45 45 45 45 45 5 Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga (LK3) 2 2 3 3 3
6 Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM) 12 22 21 21 21
7 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) 14 14 14 14 14
8 Dunia Usaha yang Bergerak di Bidang UKS 15 15 15 15
Jumlah 1,500 1,301 1,322 1,321 1,384
Sumber: Dinas Sosial Kota Yogyakarta, 2018
107 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Pada tabel 5.10 diketahui bahwa, dari 12 jenis PSKS yang
seharusnya ada sesuai dengan peraturan Menteri Sosial RI Nomor
08 tahun 2012 tentang pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), akan tetapi hanya terdapat 8
jenis PSKS yang ikut serta dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, antara lain: 1) Pekerja Sosial MAsyarakat
(PSM); 2) Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS); 3) Personal Tagana; 4)
Karang Taruna; 5) Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3); 6)
Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM); 7) Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan; 8) Dunia Usaha yang
Bergerak di Bidang UKS. Dari ke 8 (delapan) jenis PSKS tersebut, jenis
Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang paling banyak ikut serta
dalam berbagai kegiatan untuk memperkuat penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, dimana jumlahnya adalah sebanyak 1.144
orang. Meskipun sejak tahun 2013 – 2016 terjadi penurunan jumlah
PSM, akan tetapi pada tahun 2017, jumlah PSM yang terlibat
meningkat kembali.
Dari hasil wawancara dengan pihak Dinas Sosial Kota
Yogyakarta diketahui bahwa, masih banyak berbagai program dan
Sumber daya kesejahteraan sosial yang dinamakan Potensi dan
Sumber kesejahteraan sosial (PSKS) tersebut belum banyak
diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat
108 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.4.3. Program dan Kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Sosial
Kota Yogyakarta.
Permasalahan sosial yang terjadi di Kota Yogyakarta semakin
kompleks, dan terus berkembang. Kondisi ini menuntut Pemerintah
Kota Yogyakarta untuk memberikan prioritas terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Hal ini relevan dengan
populasi dan kompleksitas permasalahan sosial yang ada di Kota
Yogyakarta yang cenderung mengalami peningkatan. Berbagai
permasalahan sosial tersebut menuntut pemecahan yang
terencana, sistematis dan berkelanjutan. Untuk itu, Dinas Sosial
Dinas Sosial Kota Yogyakarta memiliki 6 program dan 14 kegiatan
yang salah satu dari beberapa program tersebut bertujuan untuk
mengatasi berbagai permasalahan kesejahteraan sosial. Secara rinci
jenis program dan kegiatan serta penganggaran untuk mendukung
pelaksanaan program sebagaimana pada tabel 5.10.
Tabel 5.10. Program, Kegiatan Anggaran Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Kota Yogyakarta
No. Program Kerja Kegitan yang di lakukan Anggaran Perubahan
Tahun 2017 (Rp)
1 Program
Pelayanan Administrasi
Perkantoran
Penyediaan rapat-rapat
koordinasi dan Konsultasi
Penyediaan Jasa, Peralatan
dan Perlengkapan Kantor
Penyediaan Jasa
Pengelolaan Perkantoran
230.240.000
752.401.350
353.556.800
2 Program Peningkatan
Sarana
Prasarana
Aparatur
Pemeliharaan
Rutin/Berkala Gedung/Bangunan Kantor
Pemeliharaan
Rutin/Berkala Kendaraan
Dinas Operasional
230.066.000
435.517.000
109 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
3 Program
Peningkatan
Pengembangan Sistem
Pelaporan
Capaian
Kinerja dan
Keuangan
Penyusunan Dokumen
Perencanaan,
Pengendalian, dan Laporan
Capaian Kinerja SKPD
65.760.000
4 Program
Perlindungan dan Jaminan
Sosial
Perlindungan Sosial
Jaminan dan Bantuan
Sosial
Pelayanan Anak di Rumah
Pengasuhan Anak Wilopo
Projo
Pelayanan di Rumah Pelayanan Sosial Lanjut
Usia Terlantar Budhi
Dharma
657.194.250
699.849.000
897.053.300
1.442.945.444
Lanjutan Tabel 5.10.
No. Program Kerja Kegitan yang di lakukan Anggaran Perubahan
Tahun 2017 (Rp)
5 Program
Advokasi dan Rehablitasi
Sosial
Rehabilitasi Penyandang
Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS)
Advokasi dan Pendampingan Penyandang
Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS)
437.551.600
929.859.600
6 Program Data,
Informasi dan
Pemberdayaan
Sosial
Pendataan PMKS dan PSKS
Pemberdayaan Potensi
Kesejahteraan Sosial (PSKS)
1.177.107.300
702.994.100
Sumber: Dinas Sosial Kota Yogyakarta, 2018
Pada tabel 5.10 diketahui bahwa, dari 6 program dan 14
kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kota Yogyakarta,
terdapat 3 program yang berkaitan dengan penanganan masalah
kesejahteraan sosial, yaitu: 1) Program Perlindungan dan Jaminan
Sosial, dengan kegiatannya berupa perlindungan sosial, jaminan
dan bantuan sosial, pelayanan anak asuh, dan pelayanan orang
110 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
lanjut usia dan terlantar; 2) Program Advokasi dan Rehabilitasi
Sosial yang memiliki kegiatan rehabilitasi , advokasi dan
pendampingan bagi PMKS, dan; 3) Program Data, Informasi dan
Pemberdayaan Sosial, yang melakukan pendataan PMKS dan PSKS
serta melakukan pemberdayaan pada PSKS. Dalam melaksanakan
program dan kegiatan tersebut, Dinas Sosial Kota Yogyakarta
didukung oleh anggaran pemerintah daerah yang tertera dalam
DPPA Tahun 2017. Besarnya anggaran yang dialokasikan untuk
masing-masing program tersebut menunjukkan adanya perhatian
penuh dari Pemerintah Kota Yogyakarta agar penyelenggaran
kesejahteraan sosial dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
5.5. Penyusunan dan Penetapan Parameter Kemiskinan Di Kota
Yogyakarta.
5.5.1. Latar Belakang Penyusunan Parameter Kemiskinan.
Penyusunan dan penetapan parameter kemiskinan di Kota
Yogyakarta dimulai dari adanya pemikiran pimpinan daerah
(Walikota Yogyakarta) pada waktu tahun 2007, yang memandang
perlu dilakukan pendataan warga miskin dengan kriteria tetap
mengacu kepada kriteria kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah
(BPS) dan dengan penyesuaian pada penilaian dengan karakteristik
lokal (spesifik lokal). Oleh karena itu, pemerintah Kota Yogyakarta
secara sistematis, terarah, dan terukur telah menempatkan program
111 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu agenda penting
yang harus diselesaikan. Titik keberhasilan program
penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta adalah
ditetapkannya parameter dan indikator kemiskinan wilayah kota
Yogyakarta.
Dengan memperhatikan adanya variasi antar daerah di Indonesia,
sepatutnyalah bila parameter untuk mengukur tingkat kemiskinan
bersifat konstektual menyesuaikan dengan situasi setiap daerah.
Tidak ada lagi memaksakan parameter yang disusun pemerintah
pusat sebagai satu-satunya model yang harus berlaku secara
universal diseluruh daerah. Perumusan parameter lokal ini
selanjutnya digunakansebagai pedoman kebijakan pengentasan
kemiskinan disetiap daerah yang didanai APBD.
5.5.2. Penetapan Peraturan Pemerintah Daerah
Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melaksanakan kebijakan
penanggulangan kemiskinan telah mengeluarkan Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 227 Tahun 2007 yang kemudian diubah
dengan Keputusan Walikota Yogyakarta nomor 470/KEP/2007
tentang perubahan Lampiran Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 227 Tahun 2007 menetapkan parameter keluarga miskin
Kota Yogyakarta. Parameter tersebut diharapkan sebagai pedoman
penentuan sasaran program penanggulangan kemiskinan semua
112 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
instansi di Kota Yogyakarta. Keseragaman dan kesepakatan
indikator ini adalah salah satu aspek penting untuk meminimalkan
kesalahan atau bias sasaran.
Parameter tersebut merupakan indikator komposit yang
tersusun dari sektor fisik, ekonomi, sosial dan lainnya. Masing-
masing sektor dikembangkan dalam dimensi dan indikator sehingga
mudah pengukurannya. Indikator tersebut merupakan kombinasi
beberapa model penanggulangan kemiskinan yang sudah ada
sebelumnya seperti indikator kebutuhan dasar yang dikembangkan
BPS, Indikator Keluarga Sejahtera yang dikembangkan oleh BKKBN,
dan indikator model pembangunan manusia yang dikembangkan
UNDP. Langkah -langkah yang dilakukan, antara lain:
1. Indikator Kemiskinan. Penajaman indikator kemiskinan
dilakukan dengan menggunakan kombinasi metode yakni: FGD,
analisis data sekunder dai survei yang dilakukan Dinkessos Kota
Yogyakarta, dan analisis data primer untuk menguji indikator
yang terbentuk
2. Peserta Diskusi. Adalah yang dapat memberikan banyak
informasi tentang kemiskinan yang ada, yakni: Masyarakat
miskin, tokoh masyarakat (ketua RW, RT, dll) dan aparat
pemerintahan kelurahan, aparat pemerintah kecamatan, dan
instansi terkait.
113 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
3. Wilayah FGD didasarkan pada pertimbangan : a) yang mewakili
sektor usaha (misal, usaha pertanian, industri, dll); b) yang
mewakili keunikan tertentu (misal, pinggir sungai, dll)
4. Tahapan FGD. Dilakukan sesuai dengan informan, yaitu: a) FGD
dgn masyarakat miskin; b) FGD dengan tokoh masyarakat dan
aparat pemerintahan (Kelurahan); c) FGD dengan aparat
Kecamatan, dan; d) FGD dengan instansi terkait.
5. Materi Diskusi. Materi disusun sesuai dengan identifikasi
kategori kondisi ekonomi. Peserta mendiskusikan sebab-akibat
kemiskinan serta menentukan prioitas dari setiap determinan
penentu kemiskinan.
6. Penentuan Bobot dan Indikator Kemiskinan. Bobot digunakan
untuk menentukan tingkat kepentingan suatu indikator. Nilai
Bobot berkisar 0 – 100 persen. Semakin besar bobot suatu
indikator semakin penting indikator tersebut dalam mengukur
kemiskinan. Penentuan besarnya bobot indikator kemiskinan
dihitung berdasarkan hasil Focus Group Discsussion (FGD)
perwakilan masyarakat miskin di tiap-tiap kelurahan.
Setelah melalui proses diskusi dalam forum koordinasi antar
lembaga/instansi tingkat kota oleh Komite Penanggulangan
Kemiskinan Daerah Kota Yogyakarta, langkah awal adalah mencari
persamaan-persamaan konsep dari masing-masing indikator dasar
114 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
yang dipakai oleh sektoral departemen. Dari rangkuman berbagai
indikator diatas maka dikembangkan parameter kemiskinan yang
disepakati secara bersama-sama oleh masing-masing instansi di
Kota Yogyakarta untuk selanjutnya diusulkan untuk menjadi
Keputusan Daerah yang secara formal menjadi acuan oleh semua
pihak sebagai indikator kemiskinan.
Beberapa contoh keputusan Pemerintah Kota Yogyakarta
paling awal (2007) dan paling terakhir (2017) yang secara formal
menjadi acuan oleh semua pihak sebagai indikator kemiskinan,
antara lain :
1. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 616/KEP/2007 tentang
Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanggulangan Kemiskinan dan
Pengangguran Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011. Adapun
rumusan parameter kemiskinan tersebut adalah sebagai berikut:
115 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Aspek Parameter Bobot
1. Pendapatan dan Aset
1. Pendapatan rata-rata anggota keluarga setiap bulan kurang dari Rp.150.000,-
2. Kepala Keluarga tidak bekerja. 3. Keluarga tidak memiliki
barang selain tanah yang bernilai lebih dari Rp.
500.000,- 4. Status tempat tinggal bukan
milik sendiri. 5. Jenis bahan bakar untuk
memasak yang digunakan sehari-hari bukan gas.
6. Jenis alat penerangan yang digunakan bukan listrik atau listrik tetapi bukan milik sendiri.
8
5
5
2
3
2
2. Pangan 1. Keluarga tidak mampu memberi makan Anggota keluarga 3 kali setiap hari.
2. Keluarga tidak mampu membeli dan menyediakan lauk daging/ayam atau susu 1 kali dalam seminggu.
12
8
3. Sandang 1. Keluarga hanya bisa membeli pakaian baru bagi Anggota keluarga maksimal 1 kali dalam satu tahun
5
4. Papan 1. Luas tempat tinggal rata-rata tiap Anggota keluarga kurang dari 8 meter persegi.
2. Jenis bahan lantai bidang terluas dari tempat tinggal berupa tanah/bambu /kayu kualitas rendah.
3. Jenis bahan dinding bidang terluas dari tempat tinggal berupa bambu/kayu/bahan lain berkualitas rendah/tembok tanpa plester atau diplester kualitas rendah
3
3
4
116 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Aspek Parameter Bobot
5. Kesehatan 1. Keluarga tidak mampu mengobatkan anggota keluarga yang sakit di Puskesmas.
2. Sumber air minum yang digunakan berasal dari sumber air tidak terlindung.
3. Kebiasaan membuang air besar di sungai/MCK
umum/Milik tetangga.
5
5
5
6. Pendidikan 1. Pendidikan Kepala Keluarga maksimal hanya lulus SD
2. Terdapat anak usia sekolah yang DO
5
10
7. Sosial 1. Keluarga tidak mengikuti aktivitas lingkungan sama sekali
5
Kriteria/Stratifikasi Miskin: a. Fakir
Miskin/Miskin Sekali
b. Miskin c. Hampir Miskin d. Tidak Miskin
Jumlah Bobot antara 76 – 100
Jumlah Bobot antara 51 – 75
Jumlah Bobot antara 31 – 50
Jumlah Bobot antara 0 – 30
Kode:
FM
M HM TM
2. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 482 Tahun 2017 tentang
Penetapan Parameter Pendataan Penduduk dan Keluarga
Sasaran Jaminan perlindungan Sosial di Kota. Kriteria yang
ditetapkan sebanyak 7 aspek dengan 17 Parameter. Adapun
rumusan pendataan penduduk tersebut adalah sebagai berikut:
117 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Aspek Parameter Bobot
1. Pendapatan dan Aset
1. Suami dan Istri tidak bekerja 2. Pendapatan rata-rata anggota
keluarga per bulan selama 3 bulan terakhir sampai dengan Rp.401.193,-
3. Status kepemilikan bangunan mengontrak dengan nilai kontrak bangunan sampai dengan Rp. 4.000.000
4. Keluarga tidak memiliki barang yang bernilai lebih dari Rp. 1.800.000,-
5. Penerangan listrik dengan daya 450 sampai dengan 900 kWh dan tagihan kurang dari Rp. 75.000.
8
10
6
3
3
2. Papan 1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per anggota keluarga.
2. Jenis bahan dinding tempat tinggal lebih dari 50% berupa bambu/kayu/tembok tanpa plester
8
10
3. Pangan 3. Keluarga tidak mampu memberi makan Anggota keluarga 3 kali setiap hari.
4. Keluarga tidak mampu membeli dan menyediakan lauk daging/ayam/ikan sebanyak 2 kali dalam seminggu.
6
9
4. Sandang 1. Keluarga hanya bisa membeli pakaian baru bagi Anggota
keluarga maksimal 1 kali dalam satu tahun, dluar pakaian seragam
3
5. Kesehatan 1. Keluarga tidak mampu berobat kecuali yang disubsidi pemerintah.
2. Sumber air minum dan masak bukan dari PDAM.
3. Tempat membuang air besar tidak di mandi Cuci kakus (MCK).
5
2
5
118 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Aspek Parameter Bobot
6. Pendidikan 1. Pendidikan Kepala Keluarga maksimal lulus SMP
2. Terdapat tanggungan anggota keluarga lebih dari satu yang bersekolah di Sekolah menengah Atas
3. Terdapat anak usia sekolah yang Drop Out (DO) atau tidak melanjutkan ke jenjang
pendidikan sampai dengan SEkolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan karena alasan ekonomi
4
10
9
7. Sosial 1. Keluarga tidak dapat kegiatan sosial karena waktunya habis untuk mencari nafkah
2
Kriteria/Stratifikasi Miskin: a. KMS 1 b. KMS 2 c. KMS 3
Bobot:
Jumlah Bobot antara 76 – 100
Jumlah Bobot antara 51 – 75
Jumlah Bobot antara 31 – 50
5.5.3. Hasil Kaji Banding ke Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber dari Pusat
Studi dan Kebijakan UGM, yang diwakili oleh Dr. Pande Made Kuta
Negara, M.Si, diperoleh beberapa informasi dan masukan yang
berguna nantinya sebagai bahan dalam rangka penyusunan kriteria
kemiskinan spesifik lokal di Kota Palangka Raya. Informasi dan
masukan tersebut, antara lain:Pemerintah Kota Yogyakarta
menggunakan variabel yang dianggap penting dan berperan dalam
penentuan kriteria miskin sesuai dengan kondisi Kota Yogyakarta.
119 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
1. Parameter dan Indikator yang ditetapkan dapat lebih
mencerminkan kondisi riil masyarakat dalam mengukur kondisi
kesejahteraan masyarakatnya.
2. Dalam konteks makro, adanya perbedaan dengan data dari BPS
yang juga mengukur kemiskinan tidak perlu dipertentangkan,
karena nilai guna diantara keduanya sangat berbeda. Parameter
dan Indikator kemiskinan yang digunakan BPS lebih bersifat
makro dan merupakan ukuran yang dapat diperbandingkan
antar wilayah. Sementara itu ukuran yang digunakan oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta lebih bersifat mikro, hanya
mencerminkan kondisi di wilayah tersebut.
3. Dalam konteks kebijakan, ukuran yang digunakan oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta akan lebih dapat diterapkan
langsung oleh pemegang kebijakan karena ukuran-ukuran yang
digunakan memang benar-benar ukuran yang berlaku dalam
tingkat lokal.
4. Ukuran Indikator dan Parameter yang disusun Pemerintah Kota
Yogyakarta, dapat disesuaikan dengan dinamika sosial ekonomi
dan budaya masyarakat, sehingga memiliki sensitivitas dalam
mengukur kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu penajaman
paramater dan indikator selalu dilakukan, menyesuaikan dengan
perubahan kondisi masyarakat Kota Yogyakarta.
120 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5.
6.
7.
6.1. Karakteristik Umum Rumah Tangga Miskin di Kota
Palangka Raya.
Karakteristik responden digunakan untuk mengetahui
keragaman dari responden. Hal tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi dari
responden dan kaitannya dengan masalah dan tujuan kajian
tersebut. Karakteristik umum responden dalam kajian ini terdiri dari
tiga karakter, yakni: berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan kepala
keluarga, dan umur. Deskripsi mengenai karakteristik responden
penelitian di uraikan sebagai berikut:
6.1.1. Jenis Kelamin
Kriteria responden berdasarkan jenis kelamin digunakan
untuk membedakan responden kepala keluarga laki-laki dan
perempuan. Umumnya kepala keluarga berjenis kelamin laki-laki.
Akan tetapi, kepala keluarga dari responden keluarga miskin di Kota
Palangka Raya lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu
sebesar 59,30%. Hal ini disebabkan adanya perceraian dan suami
yang telah meninggal. Secara rinci jumlah responden berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6.1.
121 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel. 6.1. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kelamin
Kecamatan kelurahan Jenis Kelamin (%) Total
L P % Orang
Pahandut Pahandut 41.67 58.33 100.00 24
Jekan Raya Palangka 50.00 50.00 100.00 22
Bukit Batu Tangkiling 45.45 54.55 100.00 22
Sabangau Kalampangan 39.13 60.87 100.00 23
Rakumpit Mungku Baru 27.27 72.73 100.00 22
Jumlah 40.70 59.30 100.00 113
Sumber: Data Primer, 2018.
Perempuan sebagai kepala keluarga memang rentan menjadi
miskin karena umumnya menjadi tulang punggung satu-satunya
dalam keluarga. Hal ini semakin parah apabila anak yang dimiliki
masih harus dalam pengasuhan. Fenomena perempuan sebagai KK
dari keluarga miskin terjadi di seluruh kecamatan survey.
Persentase tertinggi berada di Mungku Baru. yaitu sebesar 72,73%.
Sedangkan persentase terendah berada pada Kelurahan
kalampangan.
6.1.2. Pekerjaan Kepala Keluarga
Memiliki pekerjaan adalah salah satu untuk mengurangi
tingkat kemiskinan. Sebagian besar responden memiliki pekerjaan
yaitu sebesar 71,15%. Sedangkan sisanya sebesar 28,85 tidak
memiliki pekerjaan. Alasan tidak memiliki pekerjaan karena sulit
mencari lapangan pekerjaan dan rendahnya pendidikan. Secara
rinci gambaran responden berdasarkan kepemilikan pekerjaan
utama sebagaimana pada tabel 6.2.
122 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel. 6.2. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Pekerjaan Utama
Kecamatan kelurahan Status Pekerjaan Utama (%)
Ada Tidak Ada Total
Pahandut Pahandut 54.17 45.83 100.00
Jekan Raya Palangka 86.36 13.64 100.00
Bukit Batu Tangkiling 86.36 13.64 100.00
Sabangau Kalampangan 65.22 34.78 100.00
Rakumpit Mungku Baru 63.64 36.36 100.00
Jumlah Rata-rata 71.15 28.85 100.00
Sumber: Data Primer, 2018.
Secara umum responden rumah tangga miskin memiliki
pekerjaan utama (71,15%), dan sebagian lainnya tidak memiliki
pekerjaan (28,85%). Responden yang banyak tidak memiliki
pekerjaan utama adalah responden di Kelurahan Pahandut
(45,83%), diikuti responden yang berada di Kelurahan Mungku Baru
(36,36%) dan Kelurahan Kalampangan (34,78)
6.1.3. Umur Kepala Keluarga
Di dalam analisis demografi, struktur umur penduduk
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok umur muda,
dibawah 15 tahun; (b) kelompok umur produktif, usia 15 – 64
tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas. Struktur
umur penduduk dikatakan muda apabila proporsi penduduk umur
muda sebanyak 40% atau lebih sementara kelompok umur tua
kurang atau sama dengan 5%. Sebaliknya suatu struktur umur
penduduk dikatakan tua apabila kelompok umur mudanya
sebanyak 30% atau kurang sementara kelompok umur tuanya lebih
123 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
besar atau sama dengan 10%.
Kriteria responden berdasarkan umur dibagi kedalam lima
kategori yakni kurang dari 30 tahun , 31-40 tahun, 41 – 50 tahun,
51 – 60 tahun dan lebih dari 60 tahun. Penduduk dengan umur
produktif memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan
penghasilan karena masih memiliki fisik yang sehat dan kuat. Oleh
karena itu, jika KK dari rumah tangga miskin tersebut sudah renta,
akan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan tanpa bantuan
dari pemerintah. Secara rinci jumlah responden berdasarkan umum
kepala keluarga sebagaimana pada tabel 6.3.
Tabel. 6.3. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Umur
Kecamatan kelurahan Kepala Keluarga Berdasarkan Umur (%) Total
< 30 thn
31-40 thn
41-50 thn
51-60 thn
>60 thn
% Total
(orang)
Pahandut Pahandut 16.67 20.83 33.33 25.00 4.17 100 24
Jekan Raya Palangka 0.00 36.36 18.18 31.82 13.64 100 22
Bukit Batu Tangkiling 4.55 36.36 27.27 13.64 18.18 100 22
Sabangau Kalampangan 21.74 13.04 26.09 26.09 13.04 100 23
Rakumpit Mungku Baru 22.73 31.82 22.73 13.64 9.09 100 22
Jumlah 13.14 27.68 25.52 22.04 11.62 100 113
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa hanya sebagian kecil
responden yang berada pada usia >60 tahun, yaitu sekitar 11,62 %.
Daerah yang paling banyak memiliki responden berumur >60 tahun
adalah kelurahan Tangkiling yaitu sebesar 18,18%. Sedangkan
daerah yang paling sedikit memiliki responden berumur >60 tahun
Kelurahan pahandut, yaitu sebesar 4,17%. Jumlah Responden yang
124 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
lebih muda di daerah survey sangat tinggi yaitu lebih dari 80%.
Responden yang lebih muda mayoritas berada pada rentang umur
31-40 tahun, 41-50 tahun dan 51-60 tahun dengan persentase
masing-masing sebesar 27,68%, 25,52% dan 22,04%.
Pergeseran struktur umur muda ke umur tua produktif akan
membawa konsekuensi peningkatan pelayanan pendidikan terutama
pendidikan tinggi dan kesempatan kerja. Sedangkan pergeseran
struktur umur produktif ke umur tua pada akhirnya akan
mempunyai dampak terhadap persoalan penyantunan penduduk
usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial ekonomi
diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia lanjut
dari keluarga ke institusi. Apabila keadaan ini terjadi, maka
tanggung jawab pemerintah akan menjadi bertambah berat (Kasto
dalam Prijono, 1995)
6.2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kota Palangka Raya
Karakteristik rumah tangga miskin diperlukan untuk
mengetahui seberapa jauh komponen penilaian untuk menilai
rumah tangga miskin dapat menggambarkan kondisi rumah tangga
miskin, dan apakah dari komponen penilaian tersebut sesuai
dengan kebutuhan Pemerintah Kota Palangka Raya untuk
melakukan pendataan rumah tangga miskin yang akan digunakan
sebagai data untuk merencanakan program pemberdayaan
masyarakat miskin di Kota Palangka Raya. Masing-masing
125 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
karakteristik rumah tangga miskin akan diuraikan sebagai berikut:
6.2.1. Luas Bangunan
Bangunan rumah memiliki fungsi baik secara fisik dan
psikologis. Fungsi bangunan rumah adalah cara bangunan itu dapat
melayani pemakainya dalam suatu kegiatan yang mengandung
proses yaitu baik sebagai tempat berlindung manusia dari pengaruh
sekitar (Alam), sebagai tempat beristirahat/ tidur setelah beraktifitas
dan sebagai wadah untuk aktifitas-aktifitas harian manusia. seperti
: mandi, makan, masak, dll. Secara umum tidak ada standar
khusus yang menjelaskan ukuran ideal sebuah ruangan atau
rumah. Ukuran rumah ideal tidak dapat ditentukan oleh ukuran
m2, tetapi idealnya sebuah rumah sangat tergantung pada jumlah
calon penghuni. Baik rumah besar maupun kecil apabila dapat
memenuhi kebutuhan penghuninya itu sudah ideal.
Hasil survey menunjukan bahwa rata-rata luas bangunan
perorang di Kota Palangka Raya adalah sebesar 8,30m2. Luas
bangunan/orang paling tinggi terdapat di Kelurahan Tangkiling
yaitu sebesar 10,72m2. Sedangkan yang paling rendah berada di
Kecamatan Mungku Baru yaitu sebesar 6,83m2. Secara secara rinci
gambaran luas bangunan tempat tinggal responden sebagaimana
tabel 6.4.
126 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 6.4. Kondisi Bangunan Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin Menurut Luas Bangunan dan Jumlah Penghuni Di Kota
Palangka Raya
Kecamatan Kelurahan
Rata-rata Luas
Bangunan
Rata-rata Jumlah
penghuni
Rata-rata Luas bangunan/orang
(m2) (Orang) (orang/m2)
Pahandut Pahandut 40.08 5 8.02
Jekan Raya Palangka 31.00 4 7.75
Bukit Batu Tangkiling 42.86 4 10.72
Sabangau Kalampangan 41.04 5 8.21
Rakumpit Mungku Baru 27.32 4 6.83
Jumlah Rata-rata 36.46 4 8.30
Sumber: Data Primer, 2018.
Menurut BPS, rumah tangga masuk dalam kategori miskin
jika luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per
orang. Jika mengacu pada kriteria BPS tersebut, maka daerah yang
paling banyak memenuhi kriteria ini adalah Kelurahan Palangka
dan Mungku Baru dengan rata-rata luas bangunan/orang masing-
masing sebesar 7,75m2 dan 6.83m2.
6.2.2. Jenis Lantai
Lantai adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan, baik
terbuat dari marmer, keramik, granit, tegel/teraso, semen, kayu,
tanah dan lainnya. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa
sebagian besar responden memiliki rumah dengan jenis lantai
berbahan kayu (papan kayu) baik jenis kayu kuat maupun kayu
biasa. Namun demikian, masih ditemui responden dengan kondisi
lantai rumah yang menggunakan semen, sedangkan responden yang
127 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
memiliki lantai keramik, hanya terdapat pada responden yang
berada di Kelurahan Pahandut.. Secara rinci gambaran kondisi
lantai rumah tempat tinggal responden sebagaimana table 4.8.
Tabel 6.5. Kondisi Bangunan Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin
Menurut Jenis Lantai Rumah Di Kota Palangka Raya
Kecamatan kelurahan
Jenis Lantai Rumah (%)
Total Keramik Semen
Kayu
Kuat Biasa
Pahandut Pahandut 12.50 16.67 0.00 70.83 100
Jekan Raya Palangka 0.00 18.18 0.00 81.82 100
Bukit Batu Tangkiling 0.00 0.00 77.27 22.73 100
Sabangau Kalampangan 0.00 17.39 82.61 0.00 100
Rakumpit Mungku Baru 0.00 22.73 72.73 4.55 100
Jumlah Rata-rata 2.50 14.99 46.52 35.98 100
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar responden
memiliki rumah dengan lantai kayu yang kuat yaitu sebesar 46,52%.
Jenis kayu yang digunakan tersebut adalah meranti dan belangiran.
Kedua jenis kayu ini termasuk dalam kategori cukup kuat.
Sedangkan responden yang menggunakan lantai dari kayu biasa
adalah sebesar 35,98%. Jenis lantai yang paling sedikit digunakan
adalah keramik yaitu sebesar 2,50%.
Daerah yang paling banyak menggunakan kayu kuat sebagai
lantai adalah Kalampangan, Tangkiling dan Mungku Baru dengan
persentase masing-masing sebesar 82,61%, 77,27% dan 72,73%.
Sedangkan daerah yang paling banyak menggunakan kayu biasa
adalah Palangka dan Pahandut dengan persentase masing-masing
128 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sebesar 81,82% dan 70,83%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga masuk dalam
kategori miskin jika lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari
tanah/bambu/kayu murahan. Apabila menggunakan kriteria ini
maka sebagian besar responden di 3 daerah yaitu Kalampangan,
Tangkiling dan Mungku Baru tidak memenuhi kriteria ini karena
lebih dari 70 persen respondennya memiliki lantai dari kayu kuat.
Tingginya responden yang menggunakan kayu kuat sebagai lantai
rumah disebabkan karena kalimatan Tengah memang memiliki
banyak kayu kuat sehingga harganya relatif murah jika
dibandingkan di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kriteria ini memiliki
bobot yang rendah jika diterapkan di Kota palangka Raya.
6.2.3. Jenis Dinding
Dinding adalah sisi luar/batas dari suatu bangunan atau
penyekat dengan bangunan fisik lain. Bentuk dinding dapat terdiri
dari dinding tembo, dinding kayu (papan), dinding kulit
kayu/bambu/rumbia dan dinding campuran antara bahan tersebut.
Di Wilayah Kajian hampir sebagian besar (86,9%) rumah tempat
tinggal responden memiliki dinding berbahan kayu (papan) baik dari
jenis kayu yang kuat maupun kayu biasa, dan sebagian kecil yang
memiliki dinding tembok dan jenis dinding lainnya. Secara rinci
kondisi dinding rumah tempat tinggal responden sebagaimana tabel
6.6.
129 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 6.6. Kondisi Bangunan Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin Menurut Jenis Dinding Rumah Di Kota Palangka Raya
Kecamatan kelurahan
Jenis Dinding Rumah (%)
Total Tembok
Kayu Lainnya Kuat Biasa
Pahandut Pahandut 16.67 4.17 79.17 0.00 100
Jekan Raya Palangka 13.64 0.00 86.36 0.00 100
Bukit Batu Tangkiling 0.00 72.73 27.27 0.00 100
Sabangau Kalampangan 21.74 69.57 4.35 4.35 100
Rakumpit Mungku Baru 4.55 4.55 86.36 4.55 100
Jumlah Rata-rata 11.32 30.20 56.70 1.78 100
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar responden
memiliki rumah dengan dinding dari kayu biasa, yaitu sebesar
56,70%. Sedangkan kayu kuat dan tembok masing-masing sebesar
30,20% dan 11,32%. Daerah yang paling banyak menggunakan
kayu bias adalah Palangka, Mungku Baru dan Pahandut dengan
persentase masing-masing sebsar 86,36%, 86,36% dan 79,17%.
Sedangkan daerah yang paling banyak menggunakan kayu kuat
adalah Tangkiling dan Kalampangan dengan persentase masing-
masing sebesar 72,73% dan 69,57%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga masuk dalam
kategori miskin jika dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat
dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa
diplester. Apabila menggunakan kriteria ini, maka sebagian besar
responden yang menggunakan kayu biasa (56,70%) memenuhi
kriteria ini. Biasanya, untuk menghemat biaya, rumah tangga
miskin akan menggunakan bahan kayu yang lebih murah
130 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dibandingkan bahan untuk lantai. Oleh karena itu, kriteria jenis
dinding memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan kriteria jenis
lantai.
6.2.4. Fasilitas WC.
Salah satu kegiatan sanitasi dasar adalah penanganan
pembuangan tinja/kotoran. Secara umum metode pembuangan
tinja/kotoran yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai
berikut : a) Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi;
b)Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin
memasuki mata air atau sumur; c) Tidak boleh terkontaminasi air
permukaan: d) Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan
lain; e) Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar atau, bila
memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal
mungkin; f) Jamban harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak
sedap dipandang; g) Metode pembuatan dan pengoperasian harus
sederhana dan tidak mahal. Secara rinci gambaran fasilitas WC yang
dimiliki responden rumah tangga miskin sebagaimana pada tabel
6.7.
131 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 6.7. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Fasilitas WC yang Dimiliki Di Kota Palangka Raya
Kecamatan kelurahan
Fasilitas WC (%)
Total WC Sendiri
Jamban WC
Bersama
Pahandut Pahandut 83.33 12.50 4.17 100
Jekan Raya Palangka 63.64 27.27 9.09 100
Bukit Batu Tangkiling 72.73 4.55 22.73 100
Sabangau Kalampangan 82.61 8.70 8.70 100
Rakumpit Mungku Baru 68.18 18.18 13.64 100
Jumlah Rata-rata 74.10 14.24 11.66 100
Sumber: Data Primer,2018.
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar responden
memiliki WC sendiri baik yang berada di dalam atau di luar rumah,
yaitu sebesar 74,10%. Sedangkan yang menggunakan WC bersama
hanya sebesar 11,66%. Masih ditemukan responden yang
menggunakan jamban di sungai ,yaitu sebesar 14,24%. Hal ini bisa
dimaklumi karena kota Palangka Raya dilintasi banyak sungai.
Daerah yang paling banyak memiliki WC sendiri adalah
Pahandut dan Kalampangan yaitu masing-masing sebesar 83.33%
dan 82,61%. Daerah yang paling banyak menggunakan WC bersama
adalah Tangkiling dan Mungku Baru yaitu masing-masing sebesar
22,73% dab 13,64%. Sedangkan daerah yang paling banyak
menggunakan Jamban di Sungai adalah Palangka dan Mungku
Baru yaitu masing-masing sebesar 27,27% dan 18,18%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga masuk kategori
miskin jika tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama
rumah tangga lain menggunakan satu WC. Jika menggunakan
132 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
kriteria ini maka sebagian responden (74,10%) tidak memenuhi
kriteria ini. Tampaknya sebagian besar masyarakat Kota Palangka
Raya telah memahami pentingnya memiliki WC sendiri, sehingga
keterbatasan ekonomi tidak mempengaruhi keingnan mereka
memiliki WC sendiri. Oleh karena itu, kriteria ini memiliki bobot
yang rendah.
6.2.5. Sumber air minum
Kebutuhan akan air bersih terutama utk konsumsi menjadi
salah satu penunjang kesehatan masyarakat.-Air bersih adalah air
yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum. Pada akhirnya
ketersediaan air bersih sangat mempengaruhi kesehatan penduduk.
Penduduk yang miskin akan sulit mendapat air bersih dan keadaan
ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Secara umum responden yang
berada di wilayah kajian sudah memiliki sarana sumber air bersih yang
cukup baik yaitu berasal dari sumur pompa/bor. Gambaran mengenai
kondisi akses masyarakat terhadap sumber air minum yang dimiliki,
secara rinci sebagaimana pada table 6.8.
133 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 6.8. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Sumber Air Minum yang Dimiliki Di Kota Palangka Raya
Kecamatan Kelurahan
Sumber Air Minum (%)
Total sumur
timba
Sumur
Pompa/Bor Sungai
Air
Hujan
isi
ulang
Pahandut Pahandut 0.00 95.83 4.17 0.00 0.00 100
Jekan Raya Palangka 9.09 90.91 0.00 0.00 0.00 100
Bukit Batu Tangkiling 4.55 95.45 0.00 0.00 0.00 100
Sabangau Kalampangan 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 100
Rakumpit Mungku Baru 0.00 95.45 0.00 0.00 4.55 100
Jumlah Rata-rata 2.73 95.53 0.83 0.00 0.91 100
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa 95,53% responden
menggunakan sumur pompa/bor sebagai sumber air bersih. Daerah
yang paling banyak menggunakan sumur pompa/bor adalah
Kalampangan,yaitu sebesar 100%. Ditemukan responden yang
menggunakan isi ulang didaerah MungkuBaru, yaitu sebesar 0,91%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga di katakana miskin
jika air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak
terlindung/sungai/air hujan. Jika menggunakan kriteria BPS ini
maka banyak sekali responden yang tidak memenuhi kriteria ini.
Oleh karena itu, kritgeria ini memiliki bobot yang rendah jika
diterapkan di Kota Palangka Raya.
6.2.6. Jenis bahan bakar untuk memasak
Kebutuhan bahan bakar untuk keperluan rumah tangga
miskin sudah banyak bergeser dari penggunaan bahan bakar kayu
atau minyak tanah menjadi bahan bakar gas. Kondisi ini terutama
disebabkan oleh kemudahan akses untuk mendapatkan sumber
134 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
bahan bakar tersebut, khususnya rumah tangga miskin yang tinggal
di wilayah perkotaan. Sedangkan rumah tangga miskin yang berada
di wilayah pedesan, alternatif selain penggunaan bahan bakar gas
masih cukup tersedia, misalnya penggunaan kayu bakar. Secara
rinci kondisi rumah tangga miskin berdasarkan penggunaan bahan
bakar sebagaimana pada tabel 6.9.
Tabel 6.9. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Penggunaan Bahan Bakar yang Dimiliki Di Kota Palangka Raya
Kecamatan Kelurahan Penggunaan Bahan Bakar (%)
Total Kayu Minyak Tanah LPG
Pahandut Pahandut 41.38 13.79 44.83 100
Jekan Raya Palangka 35.48 6.45 58.06 100
Bukit Batu Tangkiling 25.93 0.00 74.07 100
Sabangau Kalampangan 12.50 0.00 87.50 100
Rakumpit Mungku Baru 29.17 12.50 58.33 100
Jumlah Rata-rata 28.89 6.55 64.56 100
Hasil survey menunjang bahwa 64,56 persen responden
menggunakan LPG 3kg sebagai bahan bakar untuk memasak.
Sedangkan responden yang menggunakan kayu bakar dan minyak
tanah masing-masing sebesar 28.89% dan 6.55%. Daerah yang
paling banyak menggunakan LPG 3kg adalah kalampangan dan
Tangkiling dengan persentase masing-masing sebesar 87,50 dan
74,07%. Daerah yang paling banyak menggunakan kayu bakar
adalah Pahandut dan Palangka dengan persentase masing-masing
sebesar 41,38% dan 35,48%. Sedangkan daerah yang paling banyak
menggunakan Minyak tanah adalah Pahandut dan Mungku Baru,
135 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
yaitu masing-masing sebesar 13,79% dan 12,50%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga dikatakan miskin
jika bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu
bakar/arang/minyak tanah. Jika menggunakan kriteria ini maka
sebagian besar responden (64,56%) tidak memenuhi kriteria ini.
Selain itu, kayu bakar,arang dan minyak tanah tidak cocok sebagai
kriteria bahan bakar masyarakat miskin di Kota Palangka Raya.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut. 1) kayu merupakan
bahan bakar yang cukup melimpah sehingga penggunaan kayu
bakar bukan berarti rumah tangga tersebut miskin. 2) penggunaan
arang tidak lazim digunakan sebagai sumber bahan bakar untuk
memasak di Kota palangka Raya. 3) Minyak tanah cukup sulit
ketersediaannya di Kota Palangka Raya. 4) LPG 3 kg relatif lebih
murah karena mendapatkan subsidi dari pemerintah. Oleh karena
itu, kriteria ini memiliki bobot yang rendah jika diterapkan di Kota
Palangka Raya.
6.2.7. Sumber Penerangan
Kemudahan bagi warga masyarakat yang tinggal di wilayah
perkotaan adalah dalam hal penyediaan sumber penerangan yang
diperlukan, khususnya penerangan listrik. Meskipun kondisi rumah
tangga miskin di asosiasikan dengan kekurangan dalam hal
pemenuhan berbagai kebutuhan rumah tangga, akan tetapi dengan
mudahnya akses untuk mendapatkan sumber penerangan yang
136 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tersedia, sehingga sebagian besar rumah tangga miskin menjadikan
pengeluaran untuk penerangan listrik menjadi kebutuhan utama.
Gambaran penggunaan sumber penerangan bagi responden rumah
tangga miskin sebagaimana pada tabel 6.10.
Tabel 6.10. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Penggunaan Sumber Penerangan yang Dimiliki Di Kota Palangka
Raya
Kecamatan kelurahan
Pengguna Sumber Penerangann (%)
Total
Listrik Panel Surya
Pelita
Pahandut Pahandut 95.83 0.00 4.17 100
Jekan Raya Palangka 100.00 0.00 0.00 100
Bukit Batu Tangkiling 100.00 0.00 0.00 100
Sabangau Kalampangan 100.00 0.00 0.00 100
Rakumpit Mungku Baru 100.00 0.00 0.00 100
Jumlah Rata-rata 99.17 0.00 0.83 100
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa 99,17% responden
menggunakan listrik sebagai sumber penerangan. Sumber listrik
responden tersebut ada yang milik sendiri dan sebagian kecil
berbagi dari listrik orang lain. Masih ditemukan responden yang
menggunakan pelitata di pahandut, yaitu sebesar 4,17%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga masuk dalam
kategori miskin jika sumber penerangan rumah tangga tidak
menggunakan listrik. Jika menggunakan kriteria BPS, maka lebih
dari 90% responden tidak memenuhi kriteria ini. Oleh karena itu
tampaknya kriteria ini harus dilengkapi dengan kapasitas listrik dan
kepemilikan listrik (sendiri atau berbagi dengan orang lain).
137 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
6.2.8. Akses ke lapangan pekerjaan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, seperti tingkat
pendapatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, dan
kondisi lingkungan. Ketidakmampun untuk mengakses berbagai
faktor-faktor tersebut menyebabkan masyarakat tersebut dapat
dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Kondisi lainnya adalah
ketidakmampuan untuk mengakses lapangan pekerjaan yang
menyebabkan suatu masyarakat dapat dikategorikan sebagai
pengangguran dan dianggap sebagai salah satu penyebab utama
timbulnya kemiskinan absolut.
Mereka yang tidak bekerja atau menganggurtentu tidak akan
memperoleh pendapatan, sementara yang setengah menganggur
akan memperoleh pendapatan yang rendah. Sejauh ini masalah
pengangguran dan setengah pengangguran pada dasarnya
disebabkan oleh salah satu dari dua penyebab atau keduanya.
Penyebab pertama adalah sempitnya peluang kerja dan penyebab
kedua adalah pertumbuhan angkatan kerja yang terlalu tinggi.
Gambaran kondisi rumah tangga miskin menurut kepemilikan
pekerjaan utama secara rinci dapat dilihat pada tabel 6.11.
138 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Tabel 6.11. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Status Pekerjaan Utama yang Dimiliki Di Kota Palangka Raya
Kecamatan kelurahan Status Pekerjaan Utama (%) Rata-rata
Penghasilan/bln (Rp) Ada Tidak Ada Total
Pahandut Pahandut 54.17 45.83 100.00 1,065,384
Jekan Raya Palangka 86.36 13.64 100.00 1,021,052
Bukit Batu Tangkiling 86.36 13.64 100.00 1,536,842
Sabangau Kalampangan 65.22 34.78 100.00 1,060,000
Rakumpit Mungku Baru 63.64 36.36 100.00 835,700
Jumlah Rata-rata 71.15 28.85 100.00 1,103,796
Sumber: Data Primer, 2018.
Hasil survey menunjukan bahwa 71,15 % responden
memiliki pekerjaan. Daerah dengan responden bekerja terbanyak
adalah Kelurahan Palangka dan Kelurahan Tangkiling dengan
persentase masing-masing sebesar 86,36%. Daerah dengan
responden tidak bekerja paling tinggi adalah Kelurahan Pahandut,
yaitu sebesar 45,83%. Rata-rata penghasilan responden adalah Rp.
1.103.796/bulan. Daerah yang paling tinggi penghasilannya adalah
Tangkiling, yaitu sebesar Rp. 1.536.842. sedangkan yang paling
rendah adalah Mungku Baru,yaitu sebesar Rp. 835.100.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga dikatakan miskin
jika sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani
dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan,
buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di
bawah Rp. 600.000 per bulan. Jika menggunakan kriteria ini maka
sebagian responden (71,15%) tidak memenuhi kriteria ini. Oleh
karena itu, sebaiknya kriteria ini dimodifikasi dengan pendekatan
139 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
pendapatan/orang. Sehingga semakin banyak anggota keluarga,
maka pendapatan/orang semakin sedikit. Selain itu, dapat juga
dengan meningkatkan batas pendapatan terendah menjadi lebih
dari Rp. 600.000, mengingat harga barang-barang dikota Palangka
Raya relatif lebih mahal di bandingkan kota yang ada di Pulau
Jawa.
6.2.9. Kepemilikan Beberapa Aset
Asset dapat diartikan sebagai sumber daya ekonomi yang
dikuasai atau dimiliki oleh masyarakat dan mempunyai manfaat
ekonomi sosial serta dapat diukur dalam satuan uang. Menurut
Syamsul Amar (2002:104), kemiskinan relatif terlihat dari
ketimpangan pemilikan asset produksi terutama tanah sebagai
lahan pertanian dan ketimpangan distribusi pendapatan antar
kelompok masyarakat. Meratanya distribusi penguasaan lahan akan
sangat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan masyarakat,
karena lahan adalah faktor produksi utama bagi masyarakat dalam
menciptakan pendapatan keluarga.
Salim (1997:14) menyebutkan bahwa tempat tinggal sangat
mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Suasana atau tempat tinggal
yang bersih, sehat, dan teratur sesuai dengan selera keindahan
penghuninya akan lebih menimbulkan suasana tenang sehinggga
suasana tempat tinggal sangat berpengaruh terhadap kenyamanan
anggota keluarga untuk tinggal. Kepemilikan asset yang dimiliki oleh
140 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
keluarga miskin meliputi: 1) Kepemilikan lahan (lahan pertanian); 2)
Kepemilikan tempat tinggal (status rumah yang ditempati); 3)
Kepemilikan kendaraan (kendaraan atau alat transportasi yang
dimiliki). Dalam kajian ini kepemilikan aset dilihat dari kepemilikan
terhadap barang-barang seperti sepeda motor, emas, hewan ternak, ,
kapal motor, dan lainnya. Emas merupakan barang investasi yang
paling mudah dijual. Hasil survey menunjukan bahwa rumah tangga
yang memiliki emas rata-rata sebanyak 34,31%. Daerah yang
respondennya paling banyak memiliki emas adalah Pahandut dan
Palangka, yaitu masing-masing sebesar 42.86% dan 34,78%. Secara
rinci gambaran kepemilikan aset responden rumah tangga miskin
sebagaimana pada tabel 6.12
Tabel 6.12. Kondisi Rumah Tangga Miskin Menurut Aset yang
Dimiliki Di Kota Palangka Raya
Kecamatan kelurahan
Jenis Aset(%)
Sepeda Motor
Emas Hewan Ternak
Kapal Motor
Lainnya
Pahandut Pahandut 17.86 42.86 0.00 3.57 35.71
Jekan Raya Palangka 4.00 24.00 0.00 8.00 64.00
Bukit Batu Tangkiling 17.24 37.93 20.69 17.24 6.90
Sabangau Kalampangan 47.83 34.78 13.04 0.00 4.35
Rakumpit Mungku Baru 24.00 32.00 0.00 0.00 44.00
Jumlah Rata-rata 22.18 34.31 6.75 5.76 30.99
Sumber: Data primer, 2018.
Barang lain yang mudah dijual adalah sepeda motor dan
hewan ternak. Hasil survey menunjukan rumah tangga yang
memiliki sepeda motor rata-rata sebanyak 22,18% dengan
kepemilikan sepeda motor paling banyak di daerah Kalampangan,
141 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
yaitu sebanyak 47,83%. Sedangkan rata-rata kepemilikan ternak
sebesar 6,75%, dimana daerah yang paling banyak memiliki ternak
adalah Tangkiling yaitu sebesar17,24%.
Berdasarkan kriteria BPS, rumah tangga masuk kriteria
miskin jika tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual
dengan nilai minimal Rp500.000 seperti sepeda motor
(kredit/nonkredit), emas, hewan ternak, kapal motor ataupun
barang modal lainnya. kepemilikan asset yang mudah dijual adalah
sama dengan tabungan yang setiap saat bisa diuangkan dengan
segera. Rumah tangga yang mampu menyisihkan sebagian
penghasilan menjadi asset berarti memiliki kemampuan finansial
yang cukup baik. Responden di Kota Palangka Raya yang memiliki
asset ini tidak terlalu besar,yaitu tidak mencapai 40%. Oleh karena
itu, kriteria ini memiliki bobot yang tinggi jika diterapkan di Kota
Palangka Raya.
142 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
7.1. Kondisi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Permasalahan sosial yang terjadi di Kota Palangka Raya
semakin kompleks, dan terus berkembang. Kondisi ini menuntut
Pemerintah Kota Palangka Raya untuk memberikan prioritas
terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dinas Sosial
Kota Palangka Raya sebagai salah satu perangkat kerja Pemerintah
Kota Palangka Raya, mempunyai tugas membantu Walikota
Palangka Raya dalam melaksanakan urusan pemerintahan di
bidang Sosial yang menjadi kewenangan daerah dan tugas
pembantuan yang diberikan kepada daerah. Tugas dimaksud
meliputi perumusan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan
teknis dan supervise, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan di
bidang perlindungan jaminan sosial, rehabilitasi sosial,
pemberdayaan sosial, dan penanganan fakir miskin.
Sesuai dengan Visi Dinas Sosial Kota Palangka Raya, yaitu
“Terwujudnya Peningkatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Bagi PMKS dan PSKS Kota Palangka Raya. , maka penekanan
143 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
program dan kegiatan lebih difokuskan pada penanganan PMKS dan
PSKS yang ada di Kota Palangka Raya. Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah perseorangan, keluarga
kelompok, dan atau masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik
secara jasmani, rohani maupun sosial secara memadai dan wajar.
Ada 26 jenis PMKS menurut Permensos RI 08 Tahun 2012, namun
di Kota Palangka Raya, hanya terdata 25 jenis PMKS. Gambaran
perkembangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota
Palangka Raya seperti pada tabel 7.1
Tabel 7.1. Perkembangan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) di Kota Palangka Raya
No PMKS Satuan 2017 2018
2. Anak Terlantar Jiwa 270 270
3. Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Jiwa 25 25
4. Anak Jalanan Jiwa 35 35
5. Anak dengan Kedisabilitasan (ADK) Jiwa 85 85
6. Anak Korban Tindak Kekerasan Jiwa 30 30
7. Anak yang memerlukan Perlindungan Khusus
Jiwa 30 30
8. Lanjut Usia Terlantar Jiwa 359 359
- Lanjut Usia Produktif Jiwa 266 266
- Lanjut usia Non Produktif Jiwa 93 93
9. Penyandang Disabilitas Jiwa 633 633
10. Tuna Susila Jiwa 472 472
11. Gelandangan Jiwa 120 120
12. Pengemis Jiwa 127 127
13. Pemulung Jiwa 95 95
14. Kelompok Minoritas Kelompok 115 115
15. Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP)
Jiwa 25 25
16. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Jiwa 35 35
17. Korban Penyalahgunaan NAPZA Jiwa 100 100
144 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No PMKS Satuan 2017 2018
18. Korban Trafficking Jiwa 5 5
19. Korban Tindak Kekerasan Jiwa 45 45
20. Pekerja Migran Bermasalah Sosial Jiwa 15 15
21. Korban Bencana Alam KK - -
22. Korban Bencana Sosial KK 77
23. Perempuan Rawan Sosial Ekonomi Jiwa 55 55
24. Fakir Miskin
- PKH KK 2.391 3.671
- Penerima Bantuan Iuran JKN (APBN)
Jiwa 35.543 35.543
- Penerima Bantuan Iuran Jamkes (APBD)
Jiwa 19.794 25.751
25. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis
KK 15 15
26. Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kelompok - -
Sumber: Dinas Sosial Kota Palangka Raya, 2018
Pada tabel 7.1 diketahui bahwa dari 26 PMKS yang ada, hanya
terdapat 25 PMKS yang terdata di Dinas Sosial Kota Palangka Raya.
Dari 25 PMKS tersebut, penduduk yang masuk dalam kategori fakir
miskin atau orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi
tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang
layak bagi kehidupan dirinya dan keluarganya, jumlahnya sangat
besar atau mencapai lebih dari 90% dari total keseluruhan PMKS
yang ada di Kota Palangka Raya. Jenis PMKS lainnya yang
jumlahnya cukup banyak adalah penyandang disabilitas,
Perempuan rawan sosial ekonomi (Tuna Susila) , dan lanjut usia
terlantar. Sementara beberapa jenis PMKS lainnya jumlahnya
kurang dari 1%. Berdasarkan gambaran jumlah tersebut,
penanganan jenis PMKS fakir miskin di wilayah Kota Palangka Raya
menjadi salah satu prioritas utama.
145 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
7.2. Kondisi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
dapat berperan serta untuk menjaga, menciptakan, mendukung dan
memperkuat penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) merupakan bentuk keterlibatan
dari masyarakat dan dunia usaha untuk membantudalam
penanggulangan masalah kesejahteraan sosial. Dimana peran
masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi sosial, yayasan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi. Diharapkan keberadaan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dapat dioptimalkan
fungsinya, sehingga keberadaanya bisa lebih di rasakan oleh
masyarakat di dalam meningkatkan kepekaannya terhadap
masalah-masalah sosial. Secara rinci gambaran jumlah PSKS yang
ada di Kota Yogyakarta sebagaimana pada tabel 7.2
Tabel 7.2. JUmlah Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Kota Palangka Raya Tahun 2017 – 2018
No. Jenis PSKS 2018
1 Pendamping PKH 25
2 Pekerja Sosial 5
3 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) 5
4 Pekerja Sosial Masyarakat (PSM): 146
1. Kec. Pahandut 45
2. Kec. Jekan Raya 29
3. Kec. Sabangau 1
4. Kec. Bukit Batu 12
146 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No. Jenis PSKS 2018
5. Kec. Rakumpit 59
5 Karang Taruna 11
1. Kec. Pahandut 3
2. Kec. Jekan Raya 2
3. Kec. Sabangau 5
4. Kec. Bukit Batu 1
5. Kec. Rakumpit -
6 Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) 35
7 Personal Tagana 32
8 Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) 1
9 Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM)
7
Jumlah 267
Sumber: Dinas Sosial Kota Palangka Raya, 2018
Pada tabel 7.2 diketahui bahwa, dari 12 jenis PSKS yang
seharusnya ada sesuai dengan peraturan Menteri Sosial RI Nomor
08 tahun 2012 tentang pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), akan tetapi hanya terdapat 9
jenis PSKS yang ikut serta dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Dari ke 9 (sembilan) jenis PSKS tersebut, jenis
Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang paling banyak ikut serta
dalam berbagai kegiatan untuk memperkuat penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, dimana jumlahnya adalah sebanyak 146
orang.
Dari hasil wawancara selama pengambilan data terhadap
responden maupun masyarakat diluar responden diketahui bahwa ,
untuk beberapa jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
147 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
sebagian sudah mengetahui keberadaannya, misalnya Karang
Taruna, PSM, Tagana, akan tetapi mengenai peran mereka dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum banyak dipahami.
KArang Taruna selama ini dipahami hanya sebagai organisasi yang
mewadahi remaja dan pemuda untuk berorganisasi dan belum
banyak diketahui peran Karang Taruna dalam membantu
penyelenggaraan kesejahteraan sosial, misalnya penanganan
penayandang masalah sosial termasuk maupun fakir miskin.
Keberadaan Taruna Tangga Bencana (Tagana) diketahui sebagai
tenaga sukarela yang banyak membantu pemerintah dalam hal
penanganan bencana (misal, membantu pemadaman kebakaran
hutan dan lahan).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak aparat Kelurahan
diketahui bahwa, tenaga PSKS yang banyak berperan dalam
membantu masyarakat adalah tenaga Pekerja Sosial Masyarakat,
dan keberadaannya diketahui aparat Kelurahan. Sedangkan Karang
Taruna meskipun organisasinya ada dan tercatat (ada SK
Pembentukan), akan tetapi banyak dari organisasi Karang Taruna
tersebut yang tidak aktif dalam menjalankan kegiatan
organisasinya.
Secara umum diketahui bahwa, masih banyak berbagai
program dan Sumber Daya Kesejahteraan Sosial yang dinamakan
Potensi dan Sumber kesejahteraan Sosial (PSKS) tersebut belum
148 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat. banyaknya
program kesejahteraan sosial yang digulirkan pemerintah tidak akan
berhasil jika masyarakat tidak mau ikut berperan atau
berpartisipasi dalam pelaksanaannya.
Harapan masyarakat termasuk aparat pemerintahan setempat
(Kelurahan) mengenai peran Kader PSKS, adalah dapat menjadi
pemicu dan pemacu dalam menggerakkan masyarakat, baik dalam
penyelenggaraan kegiatan yang bersifat sosial, misalnya
mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat khususnya para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti Fakir
Miskin, anak terlantar, penyandang Disabilitas, harus dilakukan
bersama dengan masyarakat termasuk seluruh Kader PSKS.
Sedangkan kegiatan yang bersifat ekonomi, diharapkan peran Kader
PSKS dapat menjadi contoh penggerak usaha-usaha ekonomi di
wilayahnya (Kelurahan). Misalnya, kegiatan ekonomi melalui
Kelompok Usaha bersama (KUBE) yang terbentuk di lingkungan
masyarakat yang digulirkan pemerintah dapat melibatkan Kader
PSKS lebih banyak lagi, sehingga secara langsung atau tidak
langsung masyarakat lain dapat meniru jika program ekonomi
tersebut dapat berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar.
Hasil wawancara dengan pihak Dinas Sosial Kota palangka
Raya menyatakan bahwa, program pengembangan Kelompok Usaha
149 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Bersama (KUBE) sebagai salah satu upaya untuk penanggulangan
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin di Kota Palangka
Raya. Selama lima tahun terakhir (2013-2017) sudah terbentuk 96
KUBE produksi dengan anggota sebanyak 960 orang, dan 9 KUBE
E-Warung dengan jumlah anggota 90 orang.
Program KUBE bertujuan untuk mengurangi angka
kemiskinan di Kota Palangka Raya dengan pendekatan spesifik
melalui tahapan membangun kesadaran berkelompok untuk
kemandirian masyarakat miskin, kebersamaan dan kesetiakawanan
sosial, ekonomi produktif dengan mengembangkan usaha yang
mampu memberi nilai tambah ekonomis dan kemandirian melalui
infrastruktur ekonomi-sosial yang berkelanjutan. Tahap
pengembangan KUBE dilakukan melalui lima tahapan, yaitu :
a) Tahap Persiapan (Orientasi dan Observasi; Registrasi dan
ldentifikasi; Perencanaan Program Pelaksanaan; Penyuluhan
Sosial Umum; Bimbingan Pengenalan Masalah; Bimbingan
Motivasi dan; Evaluasi Persiapan)
b) Tahap Pelaksanaan (Seleksi Calon Keluarga Binaan Sosia! (kbs);
Pembentukan Pra Kelompok Dan Kelompok;
Pemilihan/penentuan Jenis Usaha Peralihan; Peralihan
Ketrampilan Anggota Kube; Pemberian Bantuan Makanan Atau
Santunan; Bantuan Stimulan Permodalan; Pendampingan Dan
Evaluasi)
150 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
c) Tahap Pengembangan Usaha (bimbingan pengembangan usaha;
Pemberian bantuan pengembangan usaha; Pendampingan dan
evaluasi)
d) Tahap Kemitraan Usaha (lnventarisasi sumber-sumber yang ada;
Membuat kesepakatan-kesepakatan; Pelaksanaan kemitraan
usaha; Bimbingan kemitraan usaha; Perluasan jaringan
kemitraan usaha; Evaluasi)
e) Tahap Monitoring dan Evaluasi (Pengendalian dan monitoring
proses pelaksanaan yang sedang berjalan; Evaluasi terhadap
keberhasilan yang sudah dicapai)
7.2. Program dan Kegiatan Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial di Kota Palangka Raya.
Sesuai dengan Visi Dinas Sosial Kota Palangka Raya, yakni
“Terwujudnya Peningkatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Bagi PMKS dan PSKS Kota Palangka Raya”. Untuk mewujudkan
visi tersebut, maka dirumuskan misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan keberfungsian sosial masyarakat dan
potensi/sumber kesejahteraan .
2. Mewujudkan kualitas SDM aparatur yang handal, berdedikasi
dan profesional.
3. Memperkuat ketahanan sosial melalui upaya memperkecil
kesenjangan sosial dengan memberikan perhatian kepada
151 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
masyarakat yang kurang beruntung dan rentan kesejahteraan
sosial.
Terdapat berbagai kebijakan dan program yang disusun untuk
mencapai visi dan misi Dinas Sosial tersebut, antara lain:
A. Kebijakan Dinas Sosial Kota Palangka Raya:
1. Memperluas jangkauan penanganan masalah kesejahteraan
sosial fakir miskin, lanjut usia terlantar, anak dan balita
terlantar, penyandang cacat, tuna sosial, korban tindak
kekerasan dan orang terlantar.
2. Peningkatan mutu penanganan bencana dan korban bencana.
3. Peningkatan kualitas SDM aparatur yang profesional dan
handal.
4. Peningkatan mutu pelayanan dan perlindungan kesejahteraan
sosial anak dan lanjut usia.
5. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pelayanan
kesejahteraan sosial.
6. Penumbuhan kemitraan dengan dunia usaha dalam
peningkatan kesejahteraan sosial.
7. Peningkatan sistem informasi kesejahteraan sosial.
B. Program Dinas Sosial Kota Palangka Raya.
Permasalahan sosial yang terjadi di Kota Palangka Raya
semakin kompleks, dan terus berkembang. Kondisi ini menuntut
152 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Pemerintah Kota Palangka Raya untuk memberikan prioritas
terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Berbagai
permasalahan sosial tersebut menuntut pemecahan yang
terencana, sistematis dan berkelanjutan. Untuk itu, Dinas Sosial
Kota Palangka Raya memiliki 13 program yang bertujuan untuk
mengatasi berbagai permasalahan kesejahteraan sosial. Secara rinci
jenis program dan kegiatan serta penganggaran untuk mendukung
pelaksanaan program sebagaimana pada tabel 7.3.
Tabel 7.3. Program dan Anggaran Kegiatan Dinas Sosial Kota Palangka Raya.
No. Program Kerja
Anggaran
Perubahan Tahun 2018(Rp)
1 Program Pelayanan Administrasi Perkantoran 719.341.400
2 Program Peningkatan Sarana dan
Prasarana Aparatur 329.892.402
3 Program peningkatan disiplin aparatur
4 Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur 50.000.000
5 Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan
152.806.600
6 Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Lainnya
647.138.800
7 Program Pelayanan dan Rehabilitasi
Kesejahteraan Sosial 56.993.220
8 Program Pembinaan Anak Terlantar 92.352.000
9 Program Pembinaan Para Penyandang
Cacat dan Trauma 157.704.000
153 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
No. Program Kerja
Anggaran
Perubahan Tahun 2018(Rp)
10 Program Pembinaan Eks Penyandang
Penyakit Sosial (Eks Narapidana, PSK, Narkoba dan Penyakit Sosial Lainnya)
186.143.800
11 Program Pemberdayaan Kelembagaan
Kesejahteraan sosial 223.526.300
12 Program Peningkatan Kesiapsiagaan Bencana 130.000.000
13 Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi
30.800.000
Sumber: Dinas Sosial Kota Palangka Raya, 2018
Pada tabel 7.3 diketahui bahwa, dari 13 program yang
dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kota Yogyakarta, program untuk
pemberdayaan Potensi dan Smber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
masih sangat kurang. Hanya terdapat 1 kegiatan yang secara
langsung berkaitan dengan pemberdayaan PSKS yaitu fasilitas
komunikasi PMKS dan PSKS pada Program Program Pemberdayaan
Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial(PMKS) , dimana pendanaan anggaran
untuk kegiatan fasilitas komunikasi PMKS dan PSKS tersebut
adalah sebesar Rp.61.082.500. Diharapkan alokasi penganggaran
untuk pemberdayaan PSKS di Kota Palangka Raya dapat meningkat,
mengingat, keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tidak
lepas dari peran serta masyarakat, khususnya Kader-kader PSKS
yang sudah dibina maupun kader-kader PSKS yang baru dan akan
direkrut untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial masyarakat.
154 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
8.1. Penyusunan Kriteria Kemiskinan
Dari berbagai kriteria untuk menentukan kemiskinan atau
penduduk miskin yang ditetapkan oleh berbagai lembaga,
disimpulkan bahwa untuk menentukan kemiskinan di Indonesia
diperlukan kearifan lokal bagi para pemangku kepentingan, seperti
pemerintah lokal, organisasi nonpemerintah, dan lembaga lainnya.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karakteristik kemiskinan
di suatu wilayah berbeda dengan karakteristik kemiskinan di
wilayah lain.
Penentuan/kriteria penduduk miskin dapat dilihat
berdasarkan kelompok variabel dan variabel-variabelnya. Kelompok
variabel mencakup kepemilikan kekayaan/aset, kepemilikan hewan
ternak, status perkawinan, jenis kelamin kepala keluarga, tingkat
pendidikan kepala keluarga dan pasangannya, status bekerja atau
tidak, sektor pekerjaan, akses kepada lembaga keuangan, konsumsi
makanan dan indikator kesehatan, indikator kesejahteraan lainnya,
serta partisipasi politik dan akses informasi. Variabel -variabel yang
termasuk dalam kelompok kepemilikan aset adalah kulkas, telepon,
kipas angin, pendingin udara (AC), parabola, DVD/VCD player,
155 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
televisi berwarna, televisi hitam putih, radio, tape recorder,
komputer, mesin jahit, telepon genggam, perlengkapan elektronik
lainnya, sepeda motor, mobil, sepeda, tanah, dan rumah.
Kepemilikan hewan ternak oleh keluarga meliputi kepemilikan atas
ayam, kambing, atau sapi. Status pernikahan kepala keluarga
adalah menikah atau tidak menikah. Jenis kelamin kepala keluarga
adalah laki-laki atau perempuan.
Variabel lain dalam penentuan kemiskinan adalah tingkat
pendidikan kepala keluarga dan pasangannya. Adapun dalam hal
bekerja, indikatornya adalah apakah kepala keluarga bekerja,
pasangannya bekerja, atau bahkan ada anggota keluarga yang
bekerja. Untuk sektor pekerjaan, indikatornya adalah apakah
keluarga bekerja di sektor pertanian, industri, perdagangan, jasa,
ataukah keluarga tersebut menerima transfer dari keluarga lain
(pengangguran). Dalam hal akses keluarga terhadap lembaga
keuangan, indikatornya adalah apakah keluarga tersebut memiliki
tabungan. Sementara itu, dalam hal konsumsi makanan,
indikatornya adalah apakah keluarga tersebut makan minimal dua
kali dalam sehari, dan apakah keluarga tersebut makan
daging/ikan/telur minimal sekali seminggu. Dalam hal kesehatan,
indikatornya adalah apakah keluarga tersebut berobat ke
pengobatan modern bila sakit, apakah air minumnya diambil dari
sumur yang terlindung, apakah keluarga tersebut memiliki kamar
156 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
mandi sendiri, apakah luas rumahnya minimal 8 m per anggota
keluarga, apakah rumahnya berlantai tanah, dan apakah ada anak
balita dalam keluarga tersebut yang meninggal pada tiga tahun
terakhir.
Indikator kesejahteraan lainnya adalah penggunaan sumber
penerangan listrik, ada/tidaknya anggota keluarga yang masih
dalam usia sekolah namun putus sekolah (dropped-out/DO), jumlah
orang yang menjadi tanggungan kepala keluarga, dan apakah ada
anggota keluarga yang menjadi korban kejahatan dalam setahun
terakhir. Selain variabel-variabel tersebut, perlu dipertimbangkan
variabel-variabel lain yang merupakan kekhasan lokal (local
specific). Oleh karena itu, dalam penentuan kriteria penduduk
miskin ini digunakan variabel-variabel yang secara nasional sama,
ditambah dengan variabel-variabel lain yang merupakan kekhasan
daerah masing-masing.
Berdasarkan hasil kajian dengan mengkomparasikan
beberapa parameter penetapan keluarga miskin yang ada baik yang
secara resmi digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), Penetapan
Paramater hasil kaji banding di Kota Yogyakarta, dan penerapan
parameter BPS yang digunakan sebagai dasar dalam survei terhadap
responden rumah tangga miskin di Kota Palangka Raya pada 5
(lima) Kelurahan di 5 Kecamatan di Kota Palangka Raya, tim peneliti
mengusulkan parameter pendataan penduduk dan keluarga sasaran
157 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
jaminan perlindungan sosial, yang diharapkan parameter tersebut,
mendapatkan pembahasan lebih lanjut melalui forum Focus Group
Discussion (FGD) untuk mendapatkan kesepakatan secara bersama-
sama oleh masing-masing instansi di Kota Yogyakarta untuk
selanjutnya diusulkan untuk menjadi Keputusan Daerah yang
secara formal menjadi acuan oleh semua pihak sebagai indikator
kemiskinan.
Usulan Paramater Pendataan Penduduk Miskin/Keluarga
Sasaran Perlindungan Sosial di Kota Palangka Raya.
Aspek Parameter Bobot
8. Pendapatan dan Aset
6. Suami dan Istri tidak bekerja 7. Pendapatan rata-rata anggota
keluarga per bulan selama 3 bulan terakhir sampai dengan Rp.345.417,-
8. Status kepemilikan bangunan
mengontrak dengan nilai kontrak bangunan sampai dengan Rp. 5.000.000
9. Keluarga tidak memiliki barang yang bernilai lebih dari Rp. 2.000.000,-
10. Penerangan listrik dengan daya 450 sampai dengan 900 kWh dan tagihan kurang dari Rp. 100.000.
11. Penggunaan bahan bakar LPG (3 Kg) minimal 1 tabung per bulan.
9. Papan 3. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per anggota keluarga.
4. Jenis bahan dinding tempat tinggal lebih dari 50% berupa
bambu/kayu/tembok tanpa plester
158 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Aspek Parameter Bobot
10. Pangan 5. Keluarga tidak mampu memberi
makan Anggota keluarga 3 kali setiap hari.
6. Keluarga tidak mampu membeli dan menyediakan lauk daging/ayam/ikan sebanyak 2 kali
dalam seminggu.
11. Sandang 2. Keluarga hanya bisa membeli
pakaian baru bagi Anggota keluarga maksimal 1 kali dalam satu tahun, diluar pakaian seragam
12. Kesehatan 4. Keluarga tidak mampu berobat kecuali yang disubsidi pemerintah.
5. Sumber air minum dan masak bukan dari PDAM.
6. Tempat membuang air besar tidak di
mandi Cuci kakus (MCK).
13. Pendidikan 4. Pendidikan Kepala Keluarga
maksimal lulus SMP 5. Terdapat tanggungan anggota
keluarga lebih dari satu yang bersekolah di Sekolah menengah Atas
6. Terdapat anak usia sekolah yang
Drop Out (DO) atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan sampai dengan SEkolah Menengah
Atas/Sekolah Menengah Kejuruan karena alasan ekonomi
14. Sosial 2. Keluarga tidak dapat mengikuti kegiatan sosial karena waktunya
habis untuk mencari nafkah
8.2. Strategi Pemberdayaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial (PSKS)
Kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi yang harus
diwujudkan bagi seluruh warga negara di dalam pemenuhan
kebutuhan materi, antara lain: spiritual, dan sosial agar dapat
159 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini merupakan salah satu
amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia 1945. Namun pada kenyataannya permasalahan
yang berkaitan dengan Kesejahteraan Sosial cenderung meningkat
baik kualitas maupun kuantitas. Masih banyak warga negara belum
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena kondisinya yang
mengalami hambatan fungsi sosial, akibatnya mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dan tidak dapat
menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pembangunan kesejahteraan sosial saat ini pada umumnya
belum termasuk bidang pembangunan yang cukup berpihak pada
penyediaan anggaran yang memuaskan, namun demikian program
kegiatan yang telah dilaksanakan telah nyata dan mampu
memberikan kontribusi dalam penanganan permasalahan
kesejahteraan seperti penanganan kemiskinan, penanganan korban
bencana alam dan penanganan PMKS lainnya. Untuk itu perlu
disusun beberapa strategi pengembangan PSKS, meliputi:
1. Strategi Peningkatan Kualitas SDM Kesejahteraan Sosial.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012, disebutkan
sumberdaya manusia (SDM) penyelenggara kesejahteraan sosial,
terdiri atas: (a). Tenaga Kesejahteraan Sosial; (b). Pekerja Sosial
160 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Profesional; (c). Relawan Sosial; dan (d). Penyuluh sosial. Sumber
daya manusia sebagaimana dimaksud, dapat terdiri dari unsur
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Dalam kasus ini,
peningkatan SDM kesejahteraan sosial, dibedakan menjadi dua,
yaitu SDM kesejahteraan sosial yang PNS di Dinas Sosial dan SDM
kesejahteraan sosial dari unsur masyarakat. Dengan demikian,
peningkatan SDM kesejahteraan sosial baik yang PNS maupun non
PNS, diperlukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga penyelenggara
kesejahteraan sosial yang profesional dan memiliki kompetensi
tinggi dalam upaya memberikan pelayanan yang optimal dan
berkualitas di bidang kesejahteraan sosial sehingga mampu
mendukung tujuan pembangunan kesejahteraan sosial.
Strategi peningkatan SDM kesejahteraan sosial PNS, dapat
dilaksanakan melalui tiga hal, yakni: pertama, peningkatan
pengetahuan dan keterampilan melalui kediklatan, kedua,
optimalisasi SDM kesejahteraan sosial melalui kebijakan mutasi dan
promosi, dan; ketiga membuka kesempatan yang seluasluasnya
bagi pegawai untuk bisa meningkatkan ketrampilan, keahlian dan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, peningkatan
SDM kesejahteraan sosial non-PNS dilaksanakan melalui pembinaan
dan penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Sosial maupun lembaga
lain melalui kediklatan.
161 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Selama ini, profesionalitas SDM kesejahteraan sosial dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial seringkali dipersoalkan.
Disamping jumlahnya yang terbatas, keberadaan SDM
kesejahteraan sosial kerap dipandang kapasitasnya belum cukup
memadai sesuai dengan pengalaman, keahlian, serta bidang
tugasnya. Hal tersebut disebabkan ketidaksesuaian latar belakang
pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki SDM tersebut, maupun
ketidaksesuaian penugasan mereka untuk bekerja pada berbagai
instansi sosial.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Sosial Kota
Palangka Raya, diketahui bahwa Sumber Daya Manusia merupakan
hal yang mendasar yang belum terpenuhi sehingga akhirnya
berdampak langsung pada pelayanan, hal ini karena dengan semakin
berkembangnya Kota Palangka Raya, maka permasalahan sosial yang timbul
dimasyarakat juga akan semakin banyak dan beragam. Sementara SDM yang
tersedia belum sepenuhnya memenuhi kualifikasi kompetensinya. Dalam
konteks ini, Pemerintah Kota Palangka Raya perlu memberdayakan
SDM kessos (tingkat kota, kecamatan, kelurahan, para kader PSM,
Karang Taruna, Tagana, Organisasi Sosial). Kegiatan pendidikan dan
pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia (SDM) kesejahteraan sosial, sehingga diharapkan tercipta
profesionalisme dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Peningkatan SDM kesejahteraan sosial bagi Aparatur PNS,
162 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
dapat dilakukan dengan mengikuti berbagai diklat, seperti; diklat
manajemen pekerjaan sosial bagi aparatur, Diklat Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial, Diklat Kepemimpinan Tingkat III dan IV
di lingkungan Kementerian Sosial, atau juga mengikuti pendidikan
kedinasan program D-3, D-4, Sp-1, dan S-2 yang diselenggarakan
STKS Bandung.
2. Strategi Peningkatan Sarana dan Prasarana Kesejahteraan
Sosial.
Sarana dan prasarana merupakan sumberdaya kesejahteraan
sosial yang berbentuk fisik. Sarana dan prasarana dimaksudkan
untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyelenggara
kesejahteraan sosial yang memadai agar pelaksanaan tugas
kesejahteraan sosial dapat diselenggarakan dengan efektif dan
efisien. Sumber pembiayaan untuk sarana dan prasarana dapat
disediakan melalui APBD Kota, baik secara sektoral maupun lintas
sektoral, maupun sumber-sumber lain yang tidak mengikat.
Pembiayaan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
tingkat Kota, kecamatan, dan kelurahan, yang berkaitan dengan
tunjangan jabatan fungsional dan professi, biaya operasional
petugas sosial PNS, serta sarana dan prasarana bersumber dari
APBD, yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan pagu
program (UU No. 16 Tahun 2006). Secara umum, sarana dan
prasarana mencakup segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan
163 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam
pelaksanaan pekerjaan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
Kaitannya dengan kesejahteraan sosial, sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial merupakan kebutuhan dasar untuk
terselenggaranya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang baik.
Sarana dan prasarana kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 huruf b Undang-undang Nomor; 11 tahun 2009,
meliputi:
a. Panti sosial;
b. Pusat rehabilitasi sosial;
c. Pusat pendidikan dan pelatihan;
d. Pusat kesejahteraan sosial;
e. Rumah singgah;
f. Rumah perlindungan sosial.
Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, sarana dan
prasarana mempunyai peranan yang tidak kalah penting. Sarana
dan prasarana pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana
tersebut di atas, harus memiliki standar minimum yang ditetapkan.
Sedangkan dalam hal sarana dan prasarana rehabilitasi atau lebih
dikenal dengan istilah the tools of rehabilitation, sarana dan
prasarana rehabilitasi terbagi menjadi 4 kategori, antara lain:
1. Program, merupakan suatu rencana prosedur yang luas yang
164 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
diprakarsai dan dilaksanakan oleh kelompok-kelompok atau
perorangan tentang rehabilitasi secara umum.
2. Pelayanan (services), merupakan penerapan dari gabungan
antara bakat dan metode, yang pada umumnya bersifat
profesional atau teknis yang mendatangkan hasil yaitu
meringankan akibat-akibat dari masalah yang dihadapi.
3. Tenaga yang terlibat (personel), merupakan berbagai personel
yang terlibat dalam proses rehabilitasi, terdiri dari; dokter
(umum dan spesialis), perawat, terapis fisik, terapis
penempatan kerja, terapis korektif, terapis bicara dan
pendengaran, pekerja sosial dan medical social work, psikolog
klinis dan konselor, guru (umum dan khusus), konsultan
latihan kerja, direktur dan staf administrasi pada pusat-pusat
rehabilitasi, sheltered workshop dan sekolah-sekolah luar biasa.
Selain tenaga tersebut, masih terdapat lagi orang-orang atau
anggota masyarakat yang dapat berpartisipasi secara tidak
langsung dalam memprakarsai atau melaksanakan salah satu
atau beberapa program rehabilitasi. Diantaranya adalah:
volunteeers, pencari dana (fundraisers), buruh dan pengusaha,
kelompok orang tua, kelompok-kelompok keagamaan, dan lain-
lain. tanpa adanya pengertian, kerjasama dan bantuan dari
orangorang tersebut maka usaha-usaha yang dilakukan untuk
para tenaga profesional tidak akan berhasil dengan baik.
165 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
4. Fasilitas, merupakan fasilitas yaitu sesuatu yang dapat
memperlancar suatu tindakan atau pelaksanaan suatu
kegiatan. dalam hubungannya dengan urusan medis dan
rehabilitasi, fasilitas terdiri dari: Rumah Sakit atau panti
rehabilitasi (khusus bagi rehabilitasi), lembaga atau pusat
rehabilitasi, sheltered workshop (tempat berusaha yang
dilindungi/dibantu), pusat-pusat latihan kerja dan sekolah-
sekolah luar biasa, perlengkapan/peralatan (equipment),
perlengkapan yang digunakan dan diperlukan dalam
melaksanakan program rehabilitasi terdiri dari berbagai jenis
dan jumlahnya sangat banyak sesuai dengan jumlah profesi
yang terlibat.
Ketersediaan berbagai sarana dan prasarana tersebut dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sangat penting. Sarana dan
prasarana adalah tempat berbagai yang dapat menunjang pranata
sosial dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka
penyelenggaraan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal
rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial
kepada pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial. Ketersediaan
sarana dan prasarana dapat membantu mempermudah
penyelenggara kesejahteraan sosial dalam menjalankan aktivitasnya
dibidang kesejahteraan sosial sesuai dengan rencana yang telah
disusun, sehingga dapat dicapai target penyelesaian tugas dan
166 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tanggungjawabnya secara tepat waktu dan baik, dimana hal
tersebut mendorong tingkat keberhasilan pencapaian pekerjaan di
bidang kesejahteraan sosial.
Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kota palangka Raya,
penyediaan sarana prasarana dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial masih terbatas. Sarana dan prasarana mendasar dan mutlak
ada yang saat ini belum tersedia untuk menunjang pekerjaan sosial
yaitu:
1. Rumah singgah, pernah ada namun sudah beralih fungsi untuk
Kantor SKPD lain yaitu di Jl. Badak dan di Jl Tjilik Riwut km. 6,5
(komplek disnaker) Kota Palangka Raya.
2. Gudang Logistik, pernah ada namun sudah beralih fungsi untuk
Kantor SKPD lain yaitu di Jalan Badak Kota Palangka Raya
3. Sekretariat Tagana, berfungsi sebagai markas komando dan
pembinaan
4. Sekretariat Sistem Layanan Rujukan Terpadu dengan Instansi
Terkait beserta perlengkapannya, berfungsi sebagai pusat
penanganan PMKS
5. Rumah Pelayanan Trauma Center beserta perlengkapannya,
berfungsi sebagai tempat pelayanan dan asessment bagi PMKS
yang mengalami trauma.
3. Strategi Peningkatan IPTEK Kesejahteraan Sosial.
167 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
Pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya iklim
inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas
sumberdaya manusia (SDM), yang pada gilirannya dapat menjadi
sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Selain itu iptek
menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi
sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan
demikian, peningkatan kemampuan iptek sangat diperlukan untuk
meningkatkan standar kehidupan bangsa dan negara, serta
kemandirian dan daya saing bangsa Indonesia di mata dunia.
Pemanfaatan, pengembangan, dan penggunaan iptek dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial diarahkan untuk dapat
mempercepat pelayanan kesejahtaraan sosial, meningkatkan
kualitas rehabilitasi, pencegahan dini bencana, dan peningkatan
kualitas pemberdayaan berbasis diklat dan bintek. Perlu
digarisbawahi pula bahwa pengembangan dan peningkatan iptek
kesejahteraan sosial harus juga didukung oleh SDM kesejahteraan
sosial yang berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan, penataan
sistem kelembagaan, serta penyediaan sarana dan prasarana, dan
pembiayaan yang memadai. Peningkatan iptek kesejahteraan sosial
harus diiringi oleh kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan
penguasaan teknologi, ilmu pengetahuan terapan dan ilmu
pengetahuan dasar kesejahteraan sosial secara seimbang dalam
hubungan yang dinamis dan efektif dalam rangka mendukung
168 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
tujuan pembangunan kesejahteraan sosial di Kota Palangka Raya.
4. Strategi Peningkatan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial.
Kelembagaan adalah suatu pola hubungan dan tatanan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat, diwadahi
dalam suatu jaringan atau organisasi, yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi dengan
ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik aturan formal dan non-formal untuk bekerjasama demi
mencapai tujuan yang diinginkan.
Kelembagaan sosial masyarakat dalam konteks pembangunan
kesejahteraan sosial menjadi salah satu komponen penting di
samping pemerintah dan dunia usaha. Kelembagaan sosial
masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai agen sosialisasi
perubahan terencana yang tumbuh dari masyarakat dan atau
diprakarsai oleh pemerintah. Lebih dari itu, dapat berperan sebagai
perekat dan penguat keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan-
kegiatan yang ada di lingkungan masyarakat. Dalam konteks
pemberdayaan, suatu kegiatan dapat bertahan lama dan
berkelanjutan apabila didukung oleh kelembagaan lokal yang
berakar pada masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan
kelembagaan sosial masyarakat dalam kerangka mendukung
program pemberdayaan sosial, dilakukan beberapa upaya sebagai
berikut: (1) Pemberdayaan karang taruna; (2) Pemberdayaan
169 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
organisasi sosial; (3) Pemberdayaan pekerja sosial masyarakat; (4)
Pengembangan wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat di
tingkat desa; dan (5) Pemberdayaan tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan (TKSK) di tingkat kecamatan. Serangkaian kegiatan
pemberdayaan tersebut akan memperkuat potensi sumberdaya
kesejahteraan sosial dari dimensi kelembagaan sosial masyarakat.
Peran karang taruna, organisasi sosial, pekerja sosial
masyarakat, wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat, dan
tenaga kesejahteraan sosial kecamatan sangat vital untuk
mengoptimalkan peran serta masyarakat di tingkat lokal dan akar
rumput. Untuk itu, perlu dilakukan revitalisasi
terhadapkelembagaan yang telah lama eksis seperti karang taruna
dan penguatan kapasitas kepada institusi yang baru tumbuh seperti
TKSK. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, juga dapat
dilakukan dengan;
a) Meningkatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam
mendukung upaya-upaya penyelenggaraan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi PMKS;
b) Membentuk jejaring kerja sama pelaku-pelaku Usaha
Kesejahteraan Sosial (UKS), masyarakat dan dunia usaha,
termasuk organisasi sosial tingkat lokal;
c) Peningkatan peran dan jejaring sosial dengan
mengembangkan pola kemitraan guna mempercepat serta
170 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
menjangkau pelayanan sosial yang lebih luas dan merata
sekaligus menciptakan sistem sumber kesejahteraan sosial
yang ada secara mandiri dan sinergis;
d) Pemantapan dan pembinaan organisasi sosial, dunia usaha
dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan secara kreatif,
koodinatif dan saling mendukung melalui pola pembinaan
berkelanjutan, kerja sama, dan berorientasi program
pengembangan yang mengarah pada penciptaan peluang
pasar dan usaha ekonomis produktif.
e) Memperkuat dan pengembangan berbagai pola pemberdayaan
masyarakat yang menekankan pada potensi dan sumber daya
lokal dan insani sebagai basis pembangunan kesejahteraan
sosial;
f) Peningkatan pelayanan sosial dan bantuan sosial yang
mengacu pada kebutuhan riil dan kelayakan serta bermanfaat
berdasarkan prinsipberkeadilan dan manfaat;
g) Pemberiaan pelayanan dan bantuan stimulan serta penguatan
permodalan usaha melalui kelompok-kelompok usaha
masyarakat lembaga keuangan mikro yang handal dan
profesional;
h) Pemberdayaan potensi individu, keluarga, kelompok,
komunitas dan masyarakat melalui berbagai bimbingan,
santuan, bantuan sosial serta keterampilan berusaha.
171 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
i) Penguatan dan pelibatan aktif peran pemuda dan tenaga
sukarela dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan
penanganan berbagai masalah sosial melalui pelatihan-
pelatihan dasar dan teknis.
j) Penciptaan dan pembinaan lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial yang mampu mengelola dan memberikan pelayanan
serta perlindungan sosial kepada masyarakat yang membutuh
pemecahan masalah atau pertolongan dalam mengatasi
masalahnya;
k) Pendayagunaan sumber dana sosial (PSDS) melalui berbagai
sosialisasi dan pemantapan pelaksanaan, penyiapan dan
perizinan usaha kesejahteraan sosial.
Beberapa program kegiatan peningkatan kelembagaan
kesejahteraan sosial yang sudah dilakukan oleh Dinas Sosial
KotaPalangka Raya, yaitu:
A. Bersumber dari APBD:
1. Penataran Profesi PSM dan Tenaga Penyuluh
2. Bimbingan TKSM Tingkat Dasar
3. Bimbingan Pemantapan TKSM
4. Pemantapan PSM
5. Pemberian asistensi bagi PMKS penyandang disabilitas
6. Pelatihan keterampilan bagi PMKS lanjut usia terlantar
produktif
172 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
7. Program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
8. Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak
terlantar
9. Pendayagunaan penyandang disabilitas dan eks. Trauma
10. Pemberian alat bantu bagi penyandang disabilitas tidak mampu
11. Pelatihan ketrampilan dan bantuan usaha bagi eks penyandang
penyakit sosial
12. Sosialisasi Napza dan bantuan stimulan usaha
13. Penertiban dan PengawasanTuna Sosial
14. Bantuan Usaha KUBE Jasa E-Warong dan RPK
15. Verifikasi dan Proses administrasi Korban Bencana
16. Kedaruratan Logistik
17. Pembinaan Tagana
18. Pembinaan Pengelolaan Sumber Kessos
19. Bantuan Sapras LKS
20. Sosialisasi Pelayanan Orsos
21. Kegiatan Ziarah
22. Pembinaan PSKS
23. Sunatan Massal
24. Sosialisasi Jaminan Sosial Penerima Bantuan Iuran
B. Bersumber dari APBN:
1. KUBE Jasa e-warong (Baru)
2. KUBE UEP Produksi (Baru)
3. Pemberian bantuan bagi kube Lanjutan
173 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
5. Strategi Pengembangan Organisasi dan Manajemen
Kesejahteraan Sosial.
Program pengembangan organisasi dan manajemen
kesejahteraan sosial ditujukan untuk meningkatkan kualitas
manajemen dan profesionalisme lembaga pelayanan kesejahteraan
sosial. Melalui pengembangan organisasi dan manajemen
kesejahteraan sosial, diharapkan tidak terjadi lagi tumpang tindih
dalam pelaksanaan fungsi organisasi dan manajemen dalam
pengelolaan program kesejahteraan sosial.
Dalam tata kelola organisasi dan manajemen SDM dilakukan
penataan organisasi dan tata laksana dinas, pengelolaan
kepegawaian, pembinaan jabatan fungsional pekerja sosial. Dalam
pengembangan organisasi dan manajemen kesejahteraan sosial
diatur secara terencana mengenai:
1. Pelaksanaan analisis jabatan, pengorganisasian dan
ketatalaksanaan bidang;
2. Pelaksanaan urusan pengadaan dan pengembangan pegawai;
3. Pelaksanaan urusan mutasi dan kesejahteraan pegawai; dan
4. Pelaksanaan urusan pembinaan jabatan fungsional pekerja
sosial.
Pengembangan organisasi dan manajemen sumber daya
manusia kesejahteraan sosial di Dinas Sosial Kota Palangka Raya,
174 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
akan menentukan agenda, sasaran, serta program Dinas Sosial yang
juga harus bersifat lintas kaitan dan lintas koordinasi. Sasaran ini
ditetapkan untuk mewujudkan sinkronisasi kebijakan bidang SDM
kesejahteraan sosial baik di tingkat kota maupun kecamatan;
peningkatan kinerja pelayanan; kepastian waktu; transparansi; dan
responsif terhadap permasalahan sosial yang berkembang di daerah;
konsolidasi program dan anggaran; pengelolaan dan pendayagunaan
SDM kesejahteraan sosial, dan penataan struktur organisasi dan
prosedur kerja perangkat pemerintah (dinas, balai, dan UPT) agar
sejalan dengan semangat pembangunan kesejahteraan sosial.
Untuk mendukung kegiatan itu, dilakukan upaya sebagai
berikut:
1. Pemberian dukungan penataan dokumen yang terkait dengan
prosedur dan tata kerja organisasi dan kepegawaian;
2. Penyebaran SDM kesejahteraan sosial melalui rotasi, mutasi,
dan promosi secara transparan dan proporsional;
3. Dukungan sistem informasi manajemen kepegawaian;
4. Terselenggaranya peningkatan kompetensi dan kapasitas
pegawai.
175 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
9.1. Kesimpulan
Dari hasil kajian terhadap kriteria kemiskinan rumah tangga
di Kota Palangka dan Kontribusi Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial di Kota Palangka Raya, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Indikator yang paling menonjol dalam mencirikan kemiskinan di
Kota Palangka Raya adalah kepemilikan asset dan jenis dinding
rumah. Sedangkan Indikator lainnya perlu dibahas secara
mendalam dengan stakeholder terkait.
2. Penilaian pada indikator sumber penerangan masih belum
menggambarkan kondisi riil rumah tangga miskin, karena belum
ada informasi mengenai daya listrik yang digunakan dan
kepemilikan listrik (sendiri atau berbagi dengan orang lain).
3. Penilaian terhadap Indikator jenis bahan bakar yang digunakan
belum memasukkan informasi mengenai penggunaan bahan
bakar LPG 3 kg.
4. Kontribusi PSKS dalam penyelenggaraan kesejahteraan masih
terbatas,hal ini dikarenakan untuk memperkuat penyelenggaraan
kesejahteraan sosial masih sedikit,hal ini terlihat dari penyediaan
176 Laporan Akhir “Kajian Kriteria Kemiskinan DI Kota Palangka Raya dan Kontribusi
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penanganan Masalah Sosial”
Tahun 2018
penganggaran untuk penguatan PSKS masih sedikit.
5. Penyediaan sarana prasarana penyelenggaraan kesejahteraan
sosial masih terbatas
9.2. Rekomendasi Kebijakan
Dari hasil kesimpulan hasil kajian kemiskinan rumah tangga
dan kontribusi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial di Kota
Palangka Raya,dapat di ajukan beberapa rekomendasi kebijakan,
antara lain :
1. Perlu dilaksanakan FGD mulai tingkat terbawah
(RT/RW,Kelurahan) hingga ketingkat Kecamatan dan Kota
Palangka Raya,untuk menetapkan indikator penetapan rumah
tangga miskin,agar ditemukan kesesuaian dan kesepakatan
semua stake holder terkait.
2. Sebagai Koordinator Tim Penyusunan dan Penetapan Indikator
Kemiskinan Rumah Tangga adalah Dinas Sosial Kota Palangka
Raya.
3. Indikator yang sudah mendapatkan kesepakatan semua stake
holder, diusulkan untuk ditetapkan dalam Peraturan Walikota
Palangka Raya.
4. Perlu peningkatan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
5. Perlu peningkatan anggaran untuk penyediaan sarana prasarana
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih terbatas.