babii# kajianpustaka#...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi hepatitis
Hepatitis adalah suatu peradangan hati yang antara lain dapat disebabkan
oleh virus hepatitis B (VHB). Infeksi virus ini dapat mengakibatkan penyakit
infeksi pada hati yang berpotensial fatal dan merupakan salah satu penyakit yang
sering ditemukan dan menular (Juftrie et al., 2010). Infeksi VHB akut maupun
kronis dapat menyebabkan radang hati, gagal hati, sirosis hati, kanker hati dan
menimbulkan kematian. Diantara beberapa virus hepatitis, virus hepatitis B
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius karena manifestasinya sebagai
hepatitis akut dengan segala komplikasi serta risiko menjadi kronik. VHB sangat
berbahaya karena dapat bermanifestasi sebagai Chronic Carrier dan merupakan
sumber penularan bagi lingkungan (Gracey dan Burke, 1993).
Hepatitis virus adalah suatu infeksi sistemik yang terutama merusak hati.
Enam (6) jenis virus hepatitis telah diketahui:
1.Virus hepatitis A (VHA)
2. Virus Hepatitis B (VHB)
3. Virus Hepatitis C (VHC)
4. Virus Hepatitis D (VHD)
5. Virus hepatitis E (VHE)
6. Virus Hepatitis G (Isselbacher, 2000)
12
2.2 Virologi virus hepatitis B
Virus hepatitis B adalaha jenis virus hepadna yang tergolong kelompok
virus yang hepatotropik. Kelompok virus ini memiliki DNA dan hanya
menyerang sel-sel hati. Selain pada manusia, virus ini ditemukan juga pada hewan
yakni jenis Peking duck hepatitis virus dan tree squirrel, infeksi yang
ditimbulkannya tidak menular pada manusia. (Longo and Fauci, 2010).
Proses penemuan virus hepatitis B diawali dari temuan Blumberg, et al.,
(1965), yang melaporkan temuannya tentang adanya antigen Australia (HBsAg).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa antibodi yang terdapat dalam dua serum penderita
hemophilia yang sering mendapat transfusi darah ternyata bereaksi dengan salah
satu panel serum yang berasal dari suku Aborigin Australia. Karena itu, antigen
tersebut dinamakan antigen Australia. Pada tahun 1970, Dane, Cameron dan
Briggs menemukan partikel VHB berdiameter 42 nm disamping partikel HBsAg
22 nm- didalam serum darah penderita dengan antigen Australia positif. Partikel
tersebut sekarang dikenal sebagai partikel Dane yang merupakan virus utuh.
Virus hepatitis B (VHB) adalah virus yang species-specific yaitu virus
yang hanya menginfeksi manusia. Virus hepatitis B (partikel Dane) merupakan
partikel yang terdiri atas selubung luar yaitu hepatitis B surface antigen (HBsAg)
yang membungkus bagian dalam virus yang mengandung hepatitis B core antigen
(HBcAg), hepatitis B e antigen (HBeAg), dalam nukleiokapsid didapatkan kode
genetik yang terdiri dari partially double stranded DNA, DNA polymerase dan
suatu aktivitas protein kinase (Zuckerman and Thomas dalam Soemoharjo, 2008).
13
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron terhadap serum yang
mengandung antigen hepatitis B akan tampak tiga struktur morfologi yang khas
(WHO, 2002) yaitu
1. Partikel berbentuk tubuler atau filament yang berdiameter 22 nm, yang
mengandung lipid dari HBsAg.
2. Partikel bulat (sferis) berdiameter 27 nm nukleiokapsid terbuat dari 180
salinan protein inti yang mangandung polimerase dan VHB DNA
3. Partikel VHB sendiri yang berdiameter 42 sampai 47 nm, pada partikel
ganda diluar amplop berisi lipid dan tiga bentuk HBsAg yaitu partikel
Dane, HBsAg berbentuk Tubular dan HBsAg bulat (WHO, 2002).
Selanjutnya dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa partikel Dane
adalah VHB yang utuh yang terdiri dari pembungkus luar yang disebut Hepatitis
B Surface Antingen (HBsAg) dan di bagian dalam terdapat nukleokapsid atau
core berdiameter 27 nm, berbentuk heksagonal, tersusun oleh molekul tunggal
dengan DNA rangkap, mengandung 3200 pasangan basa (nukleotida) yang
merupakan genom dari VHB dan disebut sebagai Hepatitis B core Antigen
(HBcAg). Para peneliti selanjutnya menemukan antigen ketiga yang disebut
Hepatitis B e Antigen (HBeAg) yang dianggap sebagai komponen atau produk
dari core VHB (WHO, 2002;; Alestig, 2010) seperti pada Gambar 2.1.
14
Gambar 2.1 : Virus Hepatitis B (Partikel Dane) (Miyakawa & Mayumi 1985)
2.2.1. Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)
HBsAg terdapat dalam 3 bentuk yaitu HBsAg sebagai selubung partikel
Dane, partikel HBsAg lepas yang berbentuk bulat (sferik) dengan diamenter 22
nm dan partikel HBsAg yang berbentuk tubuler (filanen) dengan panjang antara
50-200 nm. Dalam perjalanan infeksi VHB ketiga bentuk partikel tersebut dapat
ditemukan dalam darah secara bersamaan. Pada infeksi VHB akut dapat dijumpai
pada saat munculnya gejala-gejala hepatitis, sedangkan pada infeksi hepatitis
kronik hal ini terjadi pada fase replikatif. Infeksi VHB muncul saat partikel
berbentuk sferik dan filament saja yang ada dalam peredaran darah, yaitu pada
fase integrasi yang merupakan fase non-replikafit (Summers et al dalam
Soewignjo, 2008). Jika konsentrasi HBsAg dalam darah 1000 – 1.000.000 kali
konsentrasi partikel Dane, bila mencapai 1013 partikel tiap cc serum ekivalen
dengan 500 mcg protein HBsAg/cc. HBsAg merupakan antigenik VHB, tetapi
tidak infeksius, tersusun atas karbohidrat, lipid dan protein. Protein HBsAg terdiri
15
dari 3 bentuk protein yaitu small protein, middle protein dan large protein. Small
protein dikode oleh gen S, Middle protein di oleh gen S dan pre-S2, sedangkan
Large protein dengan kode gen S, pre-S2, gen pre-S1. SHBs merupakan
polipeptida yang paling banyak terdapat dalam ketiga partikel HBsAg, sedangkan
middle protein (MBHs) termasuk komponen yang paling sedikit dan larga protein
(LHBs) terdapat lebih banyak dibanding middle protein (MHBs) pada HBsAg
virion dan partikel HBsAg tubuler tetapi hanya sedikit terdapat pada partiket
HBsAg bulat (Mulyanto, 1999;; Silverman, 1995).
Gambar 2.2 : Partikel HBsAg (Gerlich, 1991)
2.2.2. Hepatitis B Core Antigen (HBcAg)
HBcAg adalah komponen nukleokapsid VHB;; terdapat dalam sel hati dan
di dalam partikel Dane. Dengan pemeriksaan mikoroskop elektron, HBcAg
tampak sebagai partikel dengan diameter 27-28 nm terletak didalam nukleus sel
hati;; sedang HBsAg terdapat di dalam retikulum endoplasmik sitoplasma. Tidak
terdapat HBcAg bebas di dalam sirkulasi darah, antigen ini dapat dideteksi hanya
setelah selubung virus dipecahkan. HBcAg membawa serta DNA VHB dan DNA
16
polimerase. Terdapatnya HBcAg dalam hati merupakan petunjuk terjadinya
replikasi VHB yang aktif (Sherlock, 1993).
2.2.3.Hepatitis B e Antigen (HBeAg)
HBeAg merupakan komponen nukleokapsid seperti halnya dengan
HBcAg tetapi mempunyai determinan antigenik yang berbeda serta dapat
dideteksi dalam serum. Selain itu HBeAg berbeda dengan HBcAg karena HBeAg
dapat disekresi kedalam darah. HBeAg dalam serum menunjukkan adanya
partikel Dane dengan petanda imunologik dan biokemik VHB (HBcAg dan DNA
VHB). Beberapa ahli berpendapat bahwa HBeAg menunjukkan VHB yang sangat
infeksius dan secara tidak langsung menunjukkan infektifitas serum. Serum
HBsAg positif dengan HBeAg positif menunjukkan 1.000.000 kali lebih infeksius
dari pada serum HBsAg positif dengan anti-HBe positif (Vyas & Blum dalam
Merry, 2001).
HBeAg merupakan parameter dari replikasi virus, karena itu prevalensinya
berhubungan dengan konsentrasi HBsAg tinggi (2 mg/cc atau lebih) didapatkan
prevalensi HBeAg sebesar 80%;; sedang pada konsentrasi HBsAg antara
0,5mg/cc-1,5mg/cc, lebih sering didapatkan anti-HBe. Status HBeAg pada
pengidap kronik VHB dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk status
imunologik, etnik, sosio ekonomi/gizi, jenis kelamin dan umur host (Vranckx, et
al, 1992)
2.2.4. Deoxyribo Nucleic Acid Virus Hepatitis B (DNA VHB)
DNA VHB merupakan dua rantai yang asimentris dalam bentuk lingkaran.
Satu rantai panjang dan satu rantai pendek selalu berhubungan. Bentuk asimentris
17
ini diperlukan untuk replikasi genom dalam hepatosit. DNA VHB yang positif
dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh (partikel Dane) dalam
tubuh penderita. Hilangnya DNA VHB didahului oleh hilangnya HBsAg, HBeAg,
dan IgM anti-HBc, dalam hal ini proses penyembuhan sedang berlangsung
(Dienstag, 1994).
2.2.5. Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) Polymerase
DNA Polimerase merupakan enzim endogen VHB yang berhubungan
dengan partikel Dane dan terletak dibagian dalam HBcAg. Jika HBsAg positif
dengan kadar DNA polimerase yang tinggi, biasanya HBeAg juga positif. Jika
HBeAg positif dan DNA polimerase yang aktif menunjukkan bahwa VHB masih
aktif. Pengukuran DNA polimerase lebih teliti dibandingkan dengan pemeriksaan
HBeAg untuk mengukur partikel Dane yang beredar dalam darah (Lin et al,
1991).
2.2.6. Sifat- sifat Virus Hepatitis B
VHB stabil pada suhu -200 C sampai lebih dari 20 tahun dan tahan
terhadap pembekuan serta pencairan berulang kali. VHB stabil pada suhu 370 C
dan tahan terhadap iradiasi ultraviolet. Pada suhu 1000 C selama 10 menit, atau
suhu 600 C selama beberapa jam dan pada pH 2.4 selama 6 jam infektivitasnya
hilang tetapi antigenisitasnya tetap. Sodium hipoklorit 0.5% menyebabkan
hilangnya antigenisitas HBsAg dan infektivitas virion dalam waktu 3 menit, tetapi
dalam serum yang tidak diencerkan dibutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi lagi
(5%), (Rosenack, 1997;; Brooks et al., 2004;; Stephane et al, 2009).
18
2.3 Epidemiologi Infeksi Virus Hepatitis B
Selain menyebabkan hepatitis virus akut, infeksi virus hepatitis B
diketahui dapat menyebabkan penyakit hati kronik, seperti hepatitis kronik, sirosis
hati dan hepatoma. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 350 – 400 juta pengidap
virus hepatitis B, sekitar 250.000 kasus baru hepatoma per tahun dan sekitar 40%
dari penderita sirosis hati dengan HBsAg positif meninggal karena hepatoma
(Zuckerman and Harrison 1999 ;;WHO 2000;; Mulyanto 1997). Sekitar seperempat
dari pengidap tersebut berkembang menjadi hepatitis B kronik aktif. Di seluruh
dunia, sekitar 500.000 kematian terjadi setiap tahunnya karena sirosis hepatis dan
karsinoma hepatoseluler yang berkaitan dengan infeksi virus hepatitis B (Brooks
et al., 2004). Persentase pengidap virus hepatitis B pada populasi mulai kurang
dari 2% di area dengan tingkat endemisitas rendah hingga lebih dari 7% di area
dengan tingkat endemisitas tinggi (Kordi & Wallace, 2004). Di berbagai negara,
angka pengidap virus hepatitis B berkaitan dengan modus transmisi yang
predominan dan umur pada saat mendapatkan infeksi (Horvat & Tegtmeier,
2003).
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Afrika dan Asia
yaitu China, Vietnam, Korea, dimana 50-70 % dari penduduk berusia 30-40 tahun
pernah kontak dengan VHB, dan sekitar 10-15% menjadi pengidap hepatitis B
surface Antigen (HBsAg) (Carithers, 2001). Timor-Leste termasuk kelompok
daerah dengan endemisitas sedang 6,9%-8,1% (WHO, 2010;; Mulyanto, 1996).
Hepatitis B terjadi endemik dan infeksi lebih sering terjadi pada orang dewasa
dalam masyarakat perkotaan dan sosio ekonomi yang buruk. Pada tahun 1972-
19
1978 di Amerika angka prevalensi tertinggi pada golongan umur 15-29 tahun
(Fisher, 1983). Dari hasil beberapa penelitian di Indonesia bahwa frekuensi HBs
antigenemia pada kelompok dewasa sehat berkisar antara 3-17%, dengan
exposure rate mencapai 80%. angka exposure rate terhadap infeksi VHB berkisar
14% - 42% pada kelompok umur 1-10 tahun (Mulyanto, 1985). Sekitar 20%- 50%
dari penderita penyakit hati kronik adalah disebabkan oleh infeksi virus hepatitis
B (Forcione et al, 2002;; Soewignjo dan Mulyanto, 1984). Di Timor-Leste
frekuensi HBsAg positif yang menyebabkan kanker hati dan meninggal berkisar
antara 2,7% terjadi paling banyak pada kelompok umur 15 – 45 tahun (TLDHS,
2010).
Prevalensi infeksi virus hepatitis B berbeda-beda dari satu negara dengan
negara yang lain. Prevalensi terendah didapatkan di Amerika Utara dan Eropa
Barat dan Australia dimana infeksi tersebut hanya 0,1 - 0,5% dari total penduduk
yang sebagian kecil populasinya adalah pengidap sebagai akibat transmisi
horisontal di antara penduduk dewasa mudanya. Di Asia Tenggara dan Afrika Sub
Sahara, ditemukan 5-20% penduduk mengidap infeksi virus hepatitis B baik
sebagai akibat transmisi vertikal maupun transmisi horisontal dari satu anak ke
anak lainnya (Lee, 1997).
Prevalensi infeksi VHB tertinggi terdapat di Pulau Rapa di Samudera
Atlantik dimana 50% dari penduduk menjadi pengidap hepatitis. Komisi Hepatitis
World Health Organization (WHO, 2010) membagi prevalensi virus hepatitis B
menjadi 3 kelompok endemisitas yaitu prevalensi rendah < 2 %, prevalensi
sedang 2-7% dan prevalensi tinggi > 7 %.
20
Gambar 2.3 : Prevalensi HBsAg secara global berdasarkan geografis Setiap area di wilayah suatu negara dapat memperlihatkan prevalensi HBsAg
yang bervariasi (CDC, 2003d;; WHO, 2010).
Salah satu upaya pencegahan hepatitis B adalah melalui pemberian vaksin
dan atau Hepatitis B immune globulin (HBIG). Vaksin mengandung HBsAg yang
diproduksi ragi melalui teknik rekombinan DNA. Vaksin sangat efektif untuk
mencegah hepatitis B dan memiliki sedikit efek samping. HBIG mengandung
anti-HBs dengan titer yang tinggi, karena diperoleh dari penderita yang telah
sembuh dari hepatitis B. HBIG digunakan untuk memberikan proteksi pasif yang
cepat kepada individu yang terpapar darah yang mengandung HBsAg. Vaksin
hepatitis B dan HBIG dapat diberikan secara bersamaan dalam kasus-kasus
tertentu sebagai imunisasi pasif-aktif untuk memberikan proteksi segera dan
jangka panjang (Levinson & Jawetz, 2003).
2.3.1 Infeksi Virus Hepatitis B secara Global
Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu infeksi yang paling
umum terjadi di seluruh dunia dengan 400 juta orang diperkirakan menjadi karier
infeksi. Angka kematian yang berkaitan dengan karsinoma hepatoselular dan
21
komplikasi lainnya diperkirakan mencapai satu juta orang pertahun (Emmanuel
dan Inns, 2014).
2.3.2. Faktor risiko Infeksi VHB
Menurut WHO (2002), terdapat beberapa faktor risiko dan kelompok
berisiko terinfeksi VHB. Faktor risiko tersebut anatara lain:
2.3.2.1 Faktor risiko:
a. Transfusi darah
b. Penggunaan jarum suntik bergantian
c. Melalui hubungan seksual
d. Pria homeseksual
f Tato Permanen, Tindik, Akupuntur, Perawatan gigi, Imunisasi Masal,
pisau cukur atau silet
g Pasein imunosupresif
i Transplantasi
2.3.2.2 Kelompok berisiko antara lain:
a. Bayi yang dilahirkan dari ibu HBsAg dengan HBeAg positif
b. Penderita Hemophilia dan leukemia
c. Penderita yang mendapat hemodialisis
d. Penderita down syndrome dan retardasi mental
j Transmisi melalui tenaga kesehatan
k Anggota keluarga yang menderita infeksi VHB
l Status sosial ekonomi yang rendah dan higienis yang kurang
22
m Tinggal di daerah yang endemisitas tinggi
2.3.2.3 Kelompok yang mudah timbulnya kemungkinan persistensi
a. Penderita dengan defisiensi imunologi
b. Anak yang tinggal didaerah endemisitas tinggi
c. Genetik
d. Ras
Prevalensi infeksi VHB bervariasi secara luas dan berkorelasi dengan faktor risiko
infeksi, lamanya infeksi, dan cara transmisi (WHO, 2002).
Tabel 2. 1 Epidemiologi dan metode transmisi infeksi virus hepatitis B
Tinggi Sedang Rendah
Rata-rata (%) > 7 2-7 < 2
Distribusi geografis
Asia, Cina, kepulauan Pasifik, Afrika Sub-sahara, Alaska (Eskimo)
Mediteranian, Eropa
Timur,Ameriak Tengah, Jepang, Uni Sovyet, Afrika
Amerika Latin bagian selatan, Amerika Utara dan Eropa Barat.
Usia predominan saat Infeksi
Perinatal dan Balita Balita Dewasa
Rute predominan Infeksi
Maternal-fetal Perkutan
Perkutan Seksual
Seksual Perkutan
(Sumber : WHO, 2002)
2.2.3. Transmisi Virus Hepatitis B
2.2.3.1 Sumber Penularan infeksi Virus Hepatitis B
Perjalanan penyakit infeksi VHB, hati dan darah merupakan organ yang
mengandung HBsAg dengan konsentrasi tertinggi dibanding dengan organ lain.
23
Hal ini menyebabkan angka kejadian infeksi VHB pasca transfusi darah menjadi
sangat tinggi.
HBsAg dapat ditemukan dalam semen atau cairan selaput lendir vagina
penderita hepatitis B sehingga memungkinkan penularan melalui hubungan
seksual. Selain itu HBsAg dapat ditemukan dalam darah menstruasi (Himbawani,
et al.,1993).
Partikel HBsAg juga ditemukan pada air liur pengidap maupun penderita
hepatitis B tiga minggu setelah timbul gejala klinik, menghilang sebelum HBsAg
dalam serum menjadi negatif. Walaupun HBsAg pada air liur dengan daya infeksi
yang rendah namun dapat terjadi penularan melalui gigitan, ciuman atau melalui
hubungan seksual peroral (Sulaiman, et al., 1995;; Adimora, et al., 1994).
2.2.3.2. Cara Penularan Infeksi Virus Hepatitis B
Penularan infeksi VHB dapat melalui 2 cara yaitu:
Penularan secara vertikal dan penularan secara horizontal. Penularan secara
vertikal terjadi pada ibu hamil yang menderita hepatitis B akut atau pengidap
persisten VHB menularkan virus kepada bayi pada masa perinatalnya. Penularan
virus dari ibu hamil ke bayi melalui beberapa tahapan yakni:
1. Penularan VHB in utero yaitu penularan yang terjadi ketika bayi masih di
dalam uterus. Mekanisme terjadinya penularan VHB in utero sampai saat
ini belum diketahui dengan pasti karena salah satu fungsi dari plasenta
adalah proteksi terhadap bakteri atau virus. Barier ini rupanya tidak begitu
efektif seperti yang dinyatakan oleh Lin, et al (1997) bahwa robekan
plasenta atau terganggunya pembatas plasenta menyebabkan darah ibu
24
dengan partikel Dane masuk ke dalam sirkulasi bayi akibat kontraksi uterus.
VHB diperkirakan telah masuk ke dalam peredaran darah bayi lebih dari 1
minggu sebelum terjadinya persalinan yang memungkinkan VHB telah
mengadakan replikasi di dalam sel hati sehingga mengakibatkan tingginya
jumlah partikel VHB. Bayi dikatakan mengalami infeksi in utero jika dalam
1 bulan post partum sudah menunjukkan HBsAg positif. Prevalensi Infeksi
VHB in utero adalah sebesar 5-10% dari seluruh infeksi vertikal
(Soemoharjo, 2008).
2. Penularan perinatal yaitu penularan yang terjadi pada saat persalinan. Faktor
utama yang menyebabkan frekuensi penularan infeksi VHB perinatal adalah
jumlah virion yang terdapat dalam tubuh ibu. Sebagian besar ibu dengan
HBeAg positif akan menularkan infeksi VHB vertikal kepada bayi yang
dilahirkannya (Michielsen and Damme, 1999).
3 Penularan post natal yaitu penularan yang terjadi setelah bayi lahir misalnya
melalui ASI yang diduga tercemar oleh VHB lewat luka kecil dalam mulut
bayi (Surya, 1999;; Alvares, et al., 1997)
Sedangkan penularan secara horizontal adalah penularan dari seorang
penderita infeksi VHB atau pengidap VHB kepada orang lain. Sedangkan
jarum suntik, tato permanen, silet atau pisau cukur adalah faktor risiko
penularan. Penularan horizontal VHB dapat terjadi melalui berbagai cara
yaitu:
1. Penularan perkutan: cara ini terjadi melalui tusukan jarum atau benda lain
yang tercemar oleh bahan infeksius dari VHB. Misalnya melalui suntikan,
25
transfusi darah atau komponen darah, akupuntur, tato, tindik, tindakan
bedah, sirkumsisi, pisau cukur atau silet, imunisasi massal dengan
menggunakan 1 jarum atau tindakan medik lainnya. Penularan juga dapat
terjadi melalui gigitan pengidap. Penularan melalui gigitan serangga belum
dapat dibuktikan.
2. Penularan melalui selaput lendir atau mukosa yaitu melalui: mulut
misalnya sikat gigi, hubungan seksual secara oral, hubungan seksual
terutama pada multi-patner dan homoseksual (Wibawa, 1999;; Soemoharjo
and Gunawan, 1999;; Notatmojo, 1997).
2.3.3.3 Faktor yang mempengaruhi efektivitas penularan
Faktor yang mempengaruhi efektivitas penularan VHB yaitu:
1. Konsentrasi VHB
a. Indikator VHB yang paling praktis dan paling baik adalah tinggi
rendahnya konsentrasi HBeAg. HBeAg merupakan parameter dari
replikasi virus, karena itu prevalensinya berhubungan dengan
konsentrasi HBsAg. Pada konsentrasi HBsAg tinggi (2 mg/cc atau
lebih) didapatkan prevalensi HBeAg sebesar 80%;; sedang pada
konsentrasi HBsAg antara 0,05-1,5 mg/cc, lebih sering didapatkan
anti-Hbe. Status HBeAg pada pengidap kronik VHB dipengaruhi oleh
banyak faktor termasuk sistem imunologik, etnik, sosioekonomi/gizi,
jenis kelamin dan umur inang (Miyakawa and Mayumi dalam
Mulayanto, 1992).
b. Bila HBeAg (+) maka penularan akan terjadi pada 10-20% individu.
26
c. Bila HBeAg (-) kemungkinan penularan hanya 1-2,5% (lai et al,
2006).
d. Dalam penularan perinatal: bila HBeAg ibu (+), maka penularan dapat
terjadi pada 90-100% bayi yang dilahirkan.
e. Bila HBeAg ibu (-) maka penularan hanya terjadi pada 10-25% dari
bayi yang dilahirkan (Wen et al., 2013).
2. Lama paparan yaitu:
Penggunaan benda infeksius atau masuknya cairan yang terinfeksi
VHB ke dalam tubuh secara berulang dalam waktu lama memiliki
efektifitas penularan VHB yang lebih tinggi dibanding dengan
penggunaan benda tercemar yang hanya sekali atau tidak terulang.
Penularan VHB melalui hubungan seksual infeksi VHB mencapai 23-
42%, sedangkan penularan VHB perinatal melalui tusukan jarum yang
tercemar oleh darah yang mengandung HBsAg dan HBeAg positif (+)
menimbulkan infeksi VHB sebesar 10-20%. Hal ini disebabkan
hubungan suami istri terjadi berulang kali dan dalam waktu yang lebih
lama (Dientag, dalam peter,2012)
2. Cara masuk VHB kedalam tubuh yaitu:
a. Penularan perkutan HBsAg bisa (+) dalam waktu 1 minggu dan SGPT
sudah meningkat 6 minggu setelah penularan.
b. Penularan peroral HBsAg baru (+) 2 bulan setelah penularan dan
SGPT meningkat selama 3 bulan. Hal tersebut mungkin disebabkan
27
karena perbedaan jumlah virus yang berhasil masuk kedalam
peredaran dan mencapai hati (Wen et al.., 2013).
4. Volume Inokulum yaitu:
o Setelah transfusi dengan darah yang HBsAg (+) kemungkinan untuk
timbulnya infeksi sampai 75%.
o Sedangkan risiko untuk mendapat infeksi VHB setelah suntikan
dengan jarum yang tercemar oleh darah yang HBsAg (+) adalah
kurang dari 15%.
o Makin besar volume inokulum masa tunas dari penyakit makin
pendek dan gejala klinik makin berat (Atoillah, 2010).
2.4 Prevalensi Subtipe Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)
Pada tahun 1971, Le Bouvier memaparkan dua determinan subtipe yang
bersifat mutually exclusive, yaitu d dan y. Determinan subtipe ini berada di protein
permukaan bersama dengan determinan antigenik umum ”a” yang telah
dipaparkan sebelumnya oleh Levene dan Blumberg pada tahun 1969. Determinan
subtipe lainnya, w dan r, dipaparkan oleh Bancroft et al., 1972. Berdasakan pada
subdeterminan HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan
antibodi terhadap determinan“a”ini memberi kekebalan terhadap semua subtipe
VHB. Subdeterminan yang lain adalah d, y w dan r sehingga 4 determinan utama
mencakup adw, adr, ayw, dan ayr. Selain 4 determinan tersebut, mutasi jangka
panjang juga menghasilkan 9 subtipe minor. Pembagian genotipe dan subtipe ini
28
penting karena masing-masing mempunyai distribusi geografi tertentu (Apiradee,
et al. 1998;; Kidd-Ljunggren et al., 2002).
Pada tahun 1975, Couroucé et al. memperkenalkan subdeterminan w (w1-
w4), sehingga dikenal subtipe ayw1, ayw2, ayw3, ayw4, ayr, adw2, adw4, adrq-
dan adrq+. Pada tahun yang sama, Magnius et al. mengidentifikasi determinan q
(Magnius & Norder, 1995). Pada awalnya, determinan q dinyatakan terdapat pada
semua subtipe kecuali adw4, namun kemudian diketahui tidak terdapat pada
subtipe adr di region Pasifik (Kramvis et al., 2005). Pembagian subtipe adr
menjadi subdivisi q-positif dan q-negatif yang diperkenalkan oleh Couroucé-
Pauty et al. pada tahun 1983 menambah kompleksitas subtipe virus hepatitis B.
Determinan subtipe diekspresikan melalui substitusi sebuah asam amino.
Pada posisi 122, substitusi dengan lisin menunjukkan d, sedangkan substitusi
dengan arginin menunjukkan y. Pada posisi 160, substitusi dengan lisin
menunjukkan w, sedangkan substitusi dengan arginin menunjukkan r. Substitusi
asam amino tersebut terjadi sebagai akibat mutasi titik, yang mengubah asam
amino 122 dan atau 160 dari lisin menjadi arginin atau sebaliknya (Okamoto et
al., 1988). Reaktivitas determinan subtipe lainnya telah dipetakan pada posisi
asam amino 127, 134, 159 (Kramvis et al., 2005) serta 158, 159, 177 dan 178
(Norder et al., 1994).
29
Tabel 2.2 Asam amino yang menentukan determinan HBsAg
Posisi Asam Amino Spesifisitas
122 Lisin D
Arginin Y
127 Prolin w1 * / w2
Treonin w3
Leusin w4
134 Tirosin ayw2 / ayw3
Fenilalanin ayw1 / ayw4 / adw2 / adw4
158 Leusin adw4q-
159 Alanin ayw1
Valin adrq-
160 Lisin W
Arginin R
177 Alanin adrq-
178 Glutamin adw4q-
Sumber : (Norder et al., 1994;; dan Kramvis et al., 2005) Keterangan : ♣ * Reaktivitas w1 juga memerlukan asam amino Arg122, Phe134 dan atau Ala159. ♣ Subtipe adrq- memerlukan substitusi dengan asam amino Val159 dan atau Ala177.
Subtipe adw4q- memerlukan substitusi dengan asam amino Leu158 dan atau Gln178.
Penentuan subtipe virus hepatitis B telah digunakan untuk tujuan
epidemiologi (Kidd-Ljunggren et al., 2002) dan antropologi (Mulyanto et al.,
1997). Dalam dekade terakhir, penentuan subtipe secara bertahap digantikan oleh
penentuan genotipe (Kidd-Ljunggren et al., 2002). Penentuan subtipe virus
hepatitis B dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu (1)
enzyme immunoassay (EIA) dengan menggunakan antibodi monoklonal (Swenson
et al., 2001) dan (2) sekuensing yang dilanjutkan dengan menganalisis substitusi
asam amino pada posisi tertentu pada gen S (Liu et al., 2002).
30
Variasi geografik mempengaruhi frekuensi berbagai subtipe HBsAg.
Variasi geografik ini lebih banyak berhubungan dengan daerah tempat asal
individu dari pada daerah tempat tinggal individu, sehingga dapat membantu
menelusuri migrasi penduduk pengidap VHB di masa lampau Coucoure-Pauty
(dalam Mulyanto, 1992). Berbeda dengan subtipe adw, ayw, dan adr terdapat luas
di berbagai bagian dunia. Dilaporkan subtipe ayr sering ditemui daerah Oceania.
Subtipe ayw tersebar luas mulai dari Afrika Utara, Tengah dan Afrika Barat
melalui Mediterania sampai ke jazirah India. Di Afrika Timur, Eropa Utara,
Amerika, Asia bagian selatan. Subtipe adw terdapat di Australia sebagai suptipe
dominan dan di daerah Asia selatan seperti Okinawa, Taiwan, Filipina, Indonesia,
China Selatan, India Barat Daya (Okomoto,et al., 1988). Sedangkan subtipe adr
tersebar dari Asia Timur laut sampai Asia bagian selatan. Nepal merupakan salah
satu wilayah di Asia yang memiliki batas antara daerah adw dan ayw. Subtipe
tidak hanya diperlukan untuk menelususri migrasi purba tetatpi juga digunakan
untuk mengetahui tentang penyakit hepatitis B seperti pada penelitian yang
dilakukan di Jepang yaitu bahwa Subtipe HBsAg di Jepang menunjukkan
distribusi geografik yang berbeda dari Utara ke Selatan. Subtipe adr (79,6 %),
adw (17,6 %), ayw (0,4 %) dan subtipe ayr (0,9 %) dari 5082 pengidap HBsAg
asimtomatik di Jepang. Pada penderita hepatitis B akut, perbandingannya justru
terbalik;; subtipe adw lebih dominan dibanding subtipe adr (Mayumi dalam
Mulyanto, 1992).
31
2.5 Subtipe HBsAg dan Perjalanan Penyakit
Sebuah Penelitian yang dilakukan di Amerika mengatakan bahwa subtipe
HBsAg berpengaruh terhadap perjalanan penyakit. Pada pendonor donor darah,
penderita hepatitis akut terdapat subtipe adw dan ayw dengan frekuensi yang tidak
berbeda. Sedangkan pada hepatitis kronik, subtipe adw cenderung lebih banyak
menyebabkan infeksi yang mengakibatkan hepatitis kronik (Holland et al, dalam
Mulyanto,1993). Subtipe berpengaruh terhadap lamanya waktu inkubasi, hepatitis
B akut subtipe adw memiliki masa inkubasinya lebih pendek dari pada subtipe
ayw. Individu yang terinfeksi VHB dari subtipe adw cenderung lebih banyak yang
menjadi kronik dari pada yang terinfeksi dengan subtipe ayw. Pada pengidap
asimtomatik, prevalensi subtipe adr lebih tinggi dibanding subtipe ayr, tetapi pada
penderita penyakit hati subtipe ayr lebih tinggi dibanding subtipe adr (Gerety,
dalam Mulyanto, 1993). Subtipe adr lebih sering berhubungan dengan penyakit
hati kronik dan subtipe ayw cenderung lebih berhubungan dengan infeksi
sementara. Prevalensi subtipe ayw pada pendonor darah hanya 11% tetapi pada
hepatitis akut prevalensi 43% yaitu jauh lebih tinggi (Gebreselassie, 1986).
2.6. Distribusi Genotipe dan subgenotipe VHB
Berdasarkan pada perbedaan rangkaian nukleotide VHB dapat dibagi
menjadi genotipe dan subgenotipe, atau dapat juga disebut sebagai strain atau
substrain virus. Disebut sebagai suatu genotipe VHB tersendiri bila terdapat
perbedaan rangkaian lebih dari 8% pada seluruh genom antar suatu kelompok,
atau lebih dari 4% dalam seluruh rangkaian gen S, merupakan subgenotipe bila
terdapat perbedaan rangkaian antara 4%-8% dalam seluruh genom pada suatu
32
genotipe. Di Dunia terdadapat 10 genotipe (A-J), berdasarkan pada geografik dan
etnis (stuyver, et al., 2000;; Arauz-Ruiz, et al., 2002;; Chu, and Lok, 2002), dan 2
genotipe baru ditemukan yaitu genotipe I dari Vietnam dan Laos, dan genotipe J
dari Jepang (Olinger et al., 2008;; Tatematsu et al., 2009) Dstribusi geografik
genotipe dan subtipe bervariasi. Genotipe A dengan subtipe adw dan D (ayw)
predominan di Amerika Serikat, Eropa dan Sub-Sahara Afrika. Sedangkan
genotipe B dengan subtipe adw dan C (adr) mendominasi di Asia, dan Ocean,
genotipe D terdapat di Mediterania dan bagian Timur, genotipe E terdapat di
Afrika Barat, genotipe F dan H di Amerika sedangkan genotipe G di Amerika
Serikat (Kurbanov et al, 2010;; Sanchez et al, 2007).
Genotipe VHB telah dibagi-bagi lagi menjadi subgenotipe, yaitu
subgenotipe A1-6 pada genotipe A, B1-9 pada genotipe B, C1-C16 pada genotipe
C, D1-7 pada genotipe D dan E1-4 pada genotipe E dengan pengelompokan
geografis yang berbeda (Lusida et al.,2008;; Nurainy et al., 2010;; Mulyanto et al.,
2009, 2010, 2011, 2012;; Meldal et al., 2009). Secara umum subgenotipe C1
secara umun di Jepang, Korea dan China. C2 di China, South East Asia, dan
Bangladesh, dan C3 di Ocean, C4 pada orang Aborigin dari Australia (Norder et
al, 2004), C9 dan C10 terdapat di Dili (Mulyanto et al., 2010).
Pembagian genotipe dan subtipe ini penting karena masing-masing
mempunyai distribusi geografi tertentu (Apiradee, et al., 1998). Genotipe B dan C
banyak terdapat di daerah dengan endemisitas tinggi seperti Asia, dimana
penularan secara vertikal atau perinatal memegang peranan penting.
Sebaliknya genotipe A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan
33
transmisi horizontal. Perjalanan penyakit dan hasil akhir tidak tergantung pada
subtipe, tetapi laporan-laporan awal menunjukkan bahwa genotipe B berkaitan
dengan penyakit hati yang progresivitasnya tidak terlalu cepat dan kemungkinan
karsinoma hepatoselular menjadi lebih lambat dibanding genotipe C (Helene, et
al., 2004;; Maria, et al., 2003). Penelitian yang dilakukan di Jepang dan Taiwan
menunjukkan bahwa HBeAg positif dan rendahnya angka serokonversi HBeAg
lebih sering ditemukan pada penderita hepatitis B kronik yang terinfeksi genotipe
C dibandingkan genotipe B (Kao et al., 2003;; Kao, 2011). Selain itu konsentrasi
DNA VHB lebih tinggi pada penderita yang terinfeksi oleh genotipe C.
Disamping genotipe, variasi genetik VHB lainnya juga diketahui mempengaruhi
perjalanan penyakit hepatitis B kronik. Salah satu variasi genetik ini adalah
mutasi ganda basal core promotor (BCP) pada nukleiotida (nt) 1762 (A-T) dan nt
1764 (G-A) yang dilaporkan lebih sering ditemukan pada penderita yang
terinfeksi genotipe C dibandingkan genotipe B. Hasil penelitan ini secara
bersama-sama memperlihatkan bahwa genotipe C merupakan VHB yang agresif,
sehingga menyebabkan penyakit hati yang lebih progresif dengan prognosis yang
lebih jelek dibandingkan dengan genotipe B (Sunbul, 2014;; Yang et al., 2008).
Arti perbedaan subtipe HBsAg untuk kepentingan VHB sendiri sampai
sekarang belum diketahui. Namun, secara praktis subtipe HBsAg ini dipakai
untuk mempelajari epidemiologi VHB antara lain dengan melihat distribusi
geografik subtipe HBsAg seperti pada table 2.3. Di Europa Utara, Benua
Amerika, dan sebagian besar Australia subtipe yang terbanyak adalah adw. Di
Afrika Barat dan Afrika Utara, sekitar laut Tengah, Eropa Timur, Asia Tengah
34
dan India, subtipe yang terbanyak adalah ayw. Sedang di Jepang, Cina, Asia
Tenggara dan Pulau- Paulau Pasifik, subtipe utama adalah adr.
Tabel: 2.3 Hubungan antara genotipe dan subtipe virus hepatitis B serta distribusi geografisnya.
Genotipe Subtipe Daerah dominan
A Adw, ayw Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, Afrika
Tengah
B Adw, ayw1 Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam
C Adw,,adrq+,adrq,a
yr
Asia Tengara Taiwan, Korea, Cina, Jepang,
Polinesia, Vietnam
D
Ayw, ayw Daerah Mediterania, India
E Ayw Afrika Barat, Eropa selatan, Timur Tengah,
India
F Adw4q, adw, ayw Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia
G Adw Prancis, Amerika Serikat
H Adw4 Nikaragua, Meksiko, Kalifornia
(Sumber : Kramvis et al, dalam Mulyanto, 2012;; Arauz-Ruiz et al., 2002;; Kao, 2002;; dan Kramvis et al., 2005).
Genotipe virus hepatitis B juga memperlihatkan distribusi yang berbeda
secara geografis (Magnius & Norder, 1995). Prevalensi berbagai genotipe virus
hepatitis B di suatu area geografi dapat merefleksikan pola migrasi tertentu (Kidd-
Ljunggren et al., 2002). Setiap genotipe virus hepatitis B memperlihatkan
perbedaan dalam karakteristik virologik, karakteristik klinik dan status serologik
(Kao, 2002;; dan Kidd-Ljunggren et al., 2004). Sebagai contoh, mutasi precore
stop codon lebih sering terjadi pada virus hepatitis B genotipe B daripada
genotipe C. Manifestasi klinis dan respons terhadap terapi antivirus lebih buruk
35
pada penderita yang terinfeksi virus hepatitis B genotipe C daripada genotipe B
(Kao, 2002).
Penentuan genotipe virus hepatitis B dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode, yaitu (1) sekuensing yang dilanjutkan dengan perbandingan
homologi (analisis filogenetik), (2) polymerase chain reaction (PCR) restriction
fragment length polymorphism (RFLP), (3) PCR dengan primer spesifik-genotipe
(Kao, 2002), (4) reverse-phase hibridization line probe assay (LiPA) (Blitz et al.,
1998;; dan Swenson et al., 2001) dan (5) serologic genotyping assay, enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) dengan menggunakan antibodi monoklonal
terhadap epitop pre-S2 yang spesifik-genotipe (Usuda et al., 1999;; dan Moriya et
al., 2002).
2.7. Riwayat Alamiah Infeksi Virus Hepatitis B secara vertikal
Riwayat alamiah dari hepatitis B kronik (HBK) dapat dibagi dalam lima
(5) fase. Tidak semua penderita mengalami setiap fase, dan lamanya dari masing-
masing fase sangat bervariasi. Lima fase ini dapat diringkas sebagai berikut:
a. Fase 1: Fase Tolerasi Imun (Replikasi tinggi Imflamasi rendah)
Fase ini merupakan fase pertama infeksi yang ditandai dengan tingkat
toleransi kekebalan inang (host) meskipun adanya replikasi VHB yang aktif.
Kekurangan respon kekebalan inang (host) berarti bahwa tingkat alanine
aminotransferase (ALT) dan histologi hati biasanya normal. Replikasi VHB aktif
dan melepaskan VHB DNA, HbeAg dan HBsAg, dapat terdeteksi dalam serum.
Respon kekebalan yang terbatas pada produksi antibodi anti-HBc (merupakan
36
awal dari IgM dan kemudian IgG), tetapi tidak bertindak untuk menetralkan
infeksi VHB.
b. Fase 2: Immune Clearence (HBeAg Positif).
Fase hepatitis B kronik dengan HBeAg positif mulai begitu inang (host)
meningkatkan respon imun terhadap hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis B.
Oleh sebab itu, pada pemeriksaan ALT serum lebih tinggi menunjukkan respon
yang lebih kuat dan menunjukan bahwa ada kerusakan hepatosit yang lebih
banyak, dan hepatitis kronik aktif, sehingga bisa terlihat pada ultrasound hati
(USG) atau biopsi. Pada saat fase ini HBeAg dan HBsAg yang dapat terukur pada
tingkat 10-15% dan 0,5 -1% pertahun secara berturut-turut. Respon kekebalan
terhadap VHB cenderung menjadi episodik, dengan perkembangan ALT sampai
lima kali batas normal dan pengembangan produksi anti-HBc IgG, yang mungkin
sulit terdeteksi seperti pada infeksi VHB akut. Hepatitis aktif yang terjadi pada
fase ini dapat menyebabkan sirosis, dalam beberapa kasus akan sulit oleh karena
adanya dekompensasi hati dan karsinoma hepatoseluler. Penderita bersih yang
dengan HBeAg, akan melewati fase replikasi rendah, meskipun infeksi berikutnya
mungkin menjadi reaktif.
c. Fase 3: Fase Replikasi rendah
Penderita yang dalam fase replikasi rendah mempunyai replikasi VHB
minimal dan VHB DNA rendah atau tidak terdeteksi. Dalam keadaan demikian,
HBeAg negatif, tetapi HBsAg positif dikenal sebagai carrier (pembawa). Sekitar
37
10% pada fase ini akan berkembang menjadi hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif dan 10-20% akan berubah menjadi hepatitis B kronik yang HBeAg negatif.
d. Fase 4: Hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif
Hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif terjadi karena varian VHB yang
tidak bisa menghasilkan HBeAg., terjadi mutasi pada daerah inti genom,
meskipun virusnya masih berreplikasi secara aktif. Hepatitis B kronik dengan
HBeAg negatif bisa terjadi menyusul pada saat replikasi rendah atau fase hepatitis
B kronik dengan HBeAg positif dan biasanya akan tergambar pada tahap
berikutnya dalam perkembangan penyakit.
e. Fase 5: Fase dengan HBsAg negatif
Perkembangan terhadap pembersihan baik HBsAg maupun HBeAg
dikenal sebagai fase HBsAg negatif. Replikasi virus hepatitis B (VHB) bisa
berlangsung terus tetapi tidak terdeteksi dalam serum. Begitu pada fase HBsAg
negatif, ada hasil yang menunjukkan perbaikan dan risiko yang berkurang dari
komplikasi inti, meskipun VHB mungkin beraktivasi pada individu-individu yang
menerima terapi immunosupresif tetapi masih merupakan risiko untuk melakukan
donasi organ, (Aspinall, et al., 2011;; Catherine and Jhon, 2014)
38
Tabel : 2.4 Fase Infeksi Virus Hepatitis B
Fase dg
inf. ALT
VHB-
DNA HBeAg HBsAg Histo hati Ket.
Toleran-
kekebalan Normal Tinggi (+) (+) Normal
Infeksi diperoleh saat
dewasa
HBeAg
(+) Tinggi
Moderate/
Tinggi (+) (+)
Imflamasi
kronik
Dari beberapa mgg ke
tahun
Fase
replikatif
rendah
Normal
Rendah/td
k
terdeteksi
(-) (+)
Tergantung
pada
komplikasi
Reaktivasi dlm fase 2
atau 4
HBeAg (-)
Tinggi
bertaha
n
Moderat/
tinggi/naik
-turun
(-) (+) Inflamasi
kronik
Sulit untuk
membedakan dari fase
3 karena viral load
berfluktuasi
HBsAg (-) Normal Rendah (-) (-) Tergantung pd
komplikasi
Imunosupresi dpt
menyebabkan
reaktivasi
(sumber: Aspinall et al., 2011)
Gambar : 2.4 Skema diagram fase infeksi VHB kronik (Sumber : Aspinall, et al.,2011)
39
2.8 Struktur dan Komposisi HBsAg
Susunan HBsAg terdiri atas 3 macam yaitu protein, karbohidrat dan lipid,
yang mana ketiganya merupakan suatu glikoprotein yang terikat pada dua lapisan
lemak (Vyas & Blum, 1984). Polipeptida HBsAg mempunyai kemampuan untuk
mengikat sel-sel lipid serta mampu membentuk partikel lipoprotein. Ada
hubungan antara polipeptida HBsAg dengan lipid terdapat pada segmen
hidrofobik pertama dari 3 segmen hidrofobik yang terdapat pada polipeptida
protein S (Patzer 1984).
HBsAg tersusun atas 3 macam protein, masing-masing protein
menginduksi antibodi spesifik, karena itu dikenal tiga epitope pada HBsAg yaitu
antigen S, antigen pre-S2 dan antigen pre-S1 yang masing-masing terdapat pada
major protein, middle protein dan large protein (Neurath, et al., 1986).
Major protein merupakan rangkaian asam amino dan didapatkan dalam 2
bentuk yaitu bentuk glikoprotein dan nonglikoprotein. Kedua bentuk major
protein tersebut identik susunan asam aminonya (Machida et al., 1984). Major
protein tertier dan bentuknya ditentukan oleh susunan disulfida antar sistein.
Reaktifitas major protein sangat dipengaruhi oleh susunan disulfide tersebut.
Middle protein (pre-S2) merupakan rangkaian asam amino yanga terdapat dalam 2
bentuk yaitu glikoprotein dengan 2 komplek glikan dan glikoprotein dengan 1
komplek glikan. Large protein (pre- S1) merupakan rangkain asam amino, terdiri
atas 2 bentuk yaitu bentuk glikoprotein dan bentuk nonglikosilat (Heerman, et al
dalam Neuman et al, 1993).
40
HBsAg selubung VHB mengandung major protein, middle protein dan
large protein. Komposisi protein HBsAg bentuk tubuler identik dengan protein
HBsAg selubung VHB, sedang komposisi protein partikel HBsAg bulat
tergantung ada atau tidaknya replikasi virus. Pada pengidap kronik dengan
replikasi virus, partikel HBsAg bulat mengandung protein S dan protein pre S
dengan ratio yang sama dengan HBsAg selubung VHB tetapi dengan jumlah
protein pre-S1 hanya 5% HBsAg selubung. Pada keadaan tanpa replikasi virus,
kandungan protein HBsAg bentuk bulat sebagian besar protein S, protein pre-S2
hanya 1% dan tanpa protein pre-S1 (Takhashi, 1986). HBsAg bentuk bulat
tersusun atas 60 – 100 molekul protein, sekitar 25% dari luas HBsAg selubung
VHB (Heerman, et al., dalam Neuman et al, 1993).
2.8.1. Antigen Pre-S
Rangkain asam amino yang dianalisa dari berbagai subtipe HBsAg,
menunjukan bahwa protein pre-S menpunyai sifat-sifat yang berbeda dengan
protein S (Neurath, et al., 1986) yaitu :
a. Mempunyai sifat hidrofilik tinggi dan prosentase tinggi residu bermuatan
listrik.
b. Tidak mengandung residu sistein.
c. Diantara semua protein VHB, merupakan polipeptida yang susunan asam
aminonya tergantung pada subtipe HBsAg
d. Mempunyai sedikit persamaan dengan analog rangkaian DNA dari
Hepadna viridae non manusia.
41
Sifat –sifat ini memberi petunjuk bahwa protein pre-S merupakan bagian terluar
virion, merupakan sasaran bagi respon imun inang dan bertanggung jawab untuk
spesifitas virus yang hanya menginfeksi manusia dan beberapa primate lain. Pre-
S1 diduga berperan dalam mengatur keseimbangan sintesa partikel HBsAg bulat,
HBsAg tubuler dan HBsAg selubung virion, sedang protein pre-S2 merupakan
epitope yang imunodominan, meningkatkan imunogenisitas HBsAg. Selain itu
protein pre-S1 diduga mempunyai reseptor yang merupakan tempat menempelnya
VHB pada permukaan sel hati (Neurath, et al., 1987 ;; Ou & Rutter, 1987).
2.9 Struktur DNA Virion
Genom VHB mempunyai struktur yang khas dan tidak biasa yaitu
memiliki DNA yang sirkuler dan sebagian dalam keadaan berpasangan (partially
double stranded DNA). Untaian yang panjang atau L disebut (-) strand dengan
panjang tetap, sekitar 3200 nukleotida. Untaian yang pendek disebut (+) strand
mempunyai panjang yang bervariasi. Struktur sirkuler genom dipertahankan oleh
pasangan basa dari kedua strand sepanjang kurang lebih 200 nukleotida
(Robinson et al, dalam Mulyanto, 1993).
Ada 13 genom VHB lengkap dengan 4 subtipe adr, tiga subtipe ayw, lima
subtipe adw dan satu subtipe ayr. Ke 13 genom tersebut memiliki panjang rantai
ikatan yang bervariasi. Variasi panjang polinukleotida ini terjadi karena ada
nukleotida yang hilang ataupun yang bertambah. Analisa dari 13 genom tersebut
menunjukkan adanya mutasi titik. Perbedaan tersebut mencapai 10% untuk virus
yang berbeda subtipe, sedang untuk virus yang subtipe sama variasinya hanya
42
2%, kecuali untuk subtipe ayw yang berbeda kurang dari 2% dengan subtipe adr
(Okomoto, et al, dalam Neuman, 1993).
2.10. Organisasi Genetik Virus Hepatitis B
Secara umum organisasi genetik VHB dapat diperoleh dari sejumlah
analisa komperatif rangkaian 3200 nukleotida dari genom yang dikloning. Partikel
VHB mengandung genom DNA berbentuk lingkaran dan sebagian lingkaran
tersebut terdiri dari 2 rantai yang berpasangan. Salah satu dari dua rantai tersebut
tidak lengkap sebagai lingkaran panjang, sehingga mengandung gen yang
tumpang tindih untuk mengkode strukur protein. Seluruh rangkaian 13 genom
yang telah dikloning, menunjukkan adanya empat open reading frame (ORF)
besar pada salinan (-) strand. Selain itu peristiwa masuk ataupun hilangnya
nukleotida selalu merupakan kelipatan tiga, sehingga memungkinkan lestarinya
ORF. Sebaliknya ada ORF yang menetap pada salinan (+) strand;; karena itu
adalah minus strand mengandung seluruh kapasitas virus untuk mengkode
protein. Hal ini juga sesuai dengan mekanisme replikasi virus hepadna, yang
menyangkut suatu sintesa RNA (+) yang sesuai dengan (-) strand. Keempat ORF
tersebut S, (gene S) envelope, C (gene C) Core, P (gene P) polymerase, dan X
(gene X) X protein;;, dimana antara region S, C dan region X saling tumpang
tindih paling tidak antara satu region dengan region lain, sedang region P tumpang
tindih dengan tiga region yang lain ( gambar 2). Dengan demikian seluruh genom
VHB dibaca sepanjang satu setengah kali lipat;; ini sesuai dengan kenyataan
bahwa VHB merupakan virus DNA mamalia yang terkecil (Notoatmojo, 1997,
Ganem & Pollack, 1995).
43
Gambar 2.5 Peta Genome Ukuran setiap segmen pada genom virus hepatitis B. DNA virus hepatitis B adalah utas ganda sebagian (lingkaran merah dan biru). Utas yang utuh (lingkaran biru) menyandi
tujuh protein dari empat ORFs yang tumpang tindih (permukaan [S], core [C], polimerase [P] dan gen X [X]), yang diperlihatkan sebagai panah yang besar dan tiga regio lainnya yaitu pre-C, pre-S1 dan pre-S2. Ukuran asam amino (aa) dari setiap segmen diperlihatkan
di dalam kurung (Lee, 1997).
2.10.1. Regio S
Regio S/ pre-S mengkode sintesa protein HBsAg, yang dibagi menjadi
gene S, region pre-S1 dan region pre-S2. Gena S dan region pre-S2 mempunyai
panjang konstan pada semua subtipe VHB. Sebaliknya akhiran 5’ region pre-S1
dari subtipe adw, adr dan ayr mempunyai 33 nukleitida lebih panjang dibanding
subtipe ayw (Tiollais, et al. 1988). Gena S mengkode sintesa major protein yang
tersusun atas 226 asam amino, disebut juga protein S. Major protein terdiri atas
dua bentuk yaitu bentuk glikosilat dan bentuk non-glikosilat. Gena yang
menentukan subtipe HBsAg terletak pada region S. Determinan d/y terutama
ditentukan oleh posisi asam amino nomor 122 (lisin/arginine) dan determinan w/r
44
terutama ditentukan oleh posisi asam amino 160 yaitu arginin untuk determinan r
lisin untuk determinan w (Norder et al, 1991).
2.10.2. Regio pre-S
Regio pre-S2 dan gena S mengkode middle protein, merupakan
glikoprotein yang terdapat dalam dua bentuk yaitu satu glikan dan dua glikan.
Asam amino yang dikode oleh region pre-S2 mempunyai epitope yang dominan
pada permukaan HBsAg (Neurath, et al., 1985;; Rutgers et al., 1986).
Regio pre-S1, pre-S2 dan gena S mengkode sintesa large protein, yang
terdapat dalam bentuk glikosilat dan non-glikosilat. Panjang polipeptida pre-S1
bevariasi tergantung subtipe yaitu ayw, adw, adr dan ayr, Large protein sangat
penting dalam mengenali reseptor pada permukaan hepatosit, terutama asam
amino (Neurath, et al., 1986).
Pada fase replikasi virus, HBsAg virion dan partikel HBsAg tubuler dan
bulat mengandung large protein yang berbeda, Sebaliknya komposisi middle
protein pada ketiga partikel HBsAg adalah sama (Haerman, et al., 1991).
2.11 DNA Virus Dalam Hepatosit
Didalam hati, DNA virus dapat berada baik dalam keadaan bebas maupun
dalam bentuk terintegrasi dalam genom hepatosit. DNA bebas dan bentuk
terintegrasi biasanya tidak terdapat dalam satu penderita. Kalaupun kedua bentuk
tersebut terdapat dalam satu penderita, masing-masing dalam sel hepatosit yang
berbeda. Rangkaian DNA virus yang bersama/ berintegrasi dalam genom
hepatosit dapat di jumpai pada penderita hepatitis kronik tanpa sirosis, sebagian
45
besar DNA VHB terdapat pada pengidap HBsAg positif dengan HBeAg negatif
namun demikian dijumpai juga pada beberapa kasus dengan HBsAg negatif
(Mulyanto, 1993).
2.12 Penanda Serologik Infeksi Virus Hepatitis B
Petanda serologik dari infeksi virus hepatitis B bervariasi tergantung
apakah infeksi tersebut akut atau kronik. Petanda serologik yang pertama kali
muncul mengikuti infeksi akut adalah HBsAg, yang dapat dideteksi satu sampai
dua minggu pasca paparan dengan virus hepatitis B. Pada individu yang sembuh,
HBsAg tidak terdeteksi lagi dalam serum rata-rata sekitar tiga bulan pasca
paparan. HBeAg pada umumnya terdeteksi pada penderita dengan infeksi akut.
Keberadaan HBeAg dalam serum dikaitkan dengan titer virus hepatitis B yang
lebih tinggi dan infektivitas yang lebih besar (CDC, 2003a).
Bila individu terinfeksi VHB, tanda-tanda infeksi dapat diketahui melalui
pemeriksaan serologik baik terhadap antigen virus maupun terhadap respon imun
inang. Penanda serologik dari bagian core virion menujukkan berlangsungnya
replikasi virus;; dengan demikian hepatitis B e antigen (HBeAg) berkorelasi
dengan berlangsungnya replikasi virus. HBeAg muncul selama serangan akut,
kemudian menghilang bila penderit mengalami penyembuhan. HBeAg tetap
bertahan pada individu yang menderita penyakit kronik. Antibodi terhadap
HBeAg (anti-HBe), merupakan parameter kurang aktifnya virus dan petanda
relatif rendahnya infektifitas (Soemoharjo, 2008;; Mulyanto, 1993).
Hepatitsi B core antigen (HBcAg) tidak dapat dideteksi dalam darah,
berbeda dengan antibodinya (anti-HBc). Anti-HBc IgM titer tinggi dalam serum
46
menunjukkan adanya infeksi akut dan infeksifitas tinggi. IgM anti-HBc juga
berguna untuk menentukan apakah hepatitis tersebut karena VHB atau karena
superinfeksi oleh virus lain. Pada kasus hepatitis B fulminant IgM anti-HBc
merupakan satu-satunya petanda adanya infeksi VHB. Persistennya IgM anti-HBc
dalam serum menunjukkan berlangsungnya penyakit menuju kronik. Sebaliknya
titer rendah IgG anti-HBc dalam serum disertai dengan antibodi terhadap HBsAg
(anti-HBs) menandai infeksi yang telah sembuh;; tetapi titer tinggi IgG anti-HBc
dalam serum tanpa anti-HBs, menunjukkan tetap berlangsungnya replikasi virus.
Petunjuk yang paling sensitif dari replikasi virus adalah adanya DNA VHB dalam
serum (CDC, 1989;; Sherlock dan Thomas, 1983)
Penanda imunologi hepatitis B adalah dengan mendeteksi antigen dan
antibodi spesifik virus hepatitis B. Antigen pertama yang mencul yaitu antigen
surface (HBsAg). Antigen ini muncul dua minggu sebelum timbul gejala klinik,
menandakan bahwa penderita dapat menularkan VHB ke orang lain, dan biasanya
menghilang pada masa konvalesen dini. Apabila virus akut bereplikasi di
hepatosit, maka penanda yang selanjutnya muncul adalah antigen e (HBeAg).
Terdeteksi antigen ini menandakan bahwa orang tersebut dalam keadaan sangat
infeksius dan selalu ditemukan pada semua infeksi akut. Titer HBeAg berkorelasi
dengan kadar DNA VHB (Blackberg et al, 2000).
Antigen lain yaitu antigen core (HBcAg) yang hanya ada di dalam
hepatosit sehingga tidak dapat dideteksi dalam serum. Namun yang biasa
dideteksi adalah antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi ini dapat terdeteksi
segera setelah timbul gambaran klinis hepatitis dan menetap untuk seterusnya.
47
Antibodi ini merupakan penanda kekebalan yang paling jelas didapat dari infeksi
VHB, dan bukan dari vaksinasi. Antibodi ini terbagi menjadi fragmen IgM dan
IgG yang merupakan penanda untuk mendeteksi infeksi baru atau infeksi yang
sudah lama. IgM dan anti-Hbc terlihat pada awal infeksi dan bertahan lebih dari 6
bulan, sedangkan adanya antibody IgG anti Hbc menunjukkan kesembuhan dari
infeksi VHB secara alamiah di masa yang sudah lama atau infeksi VHB kronis
(Wang and Tang, 2009).
Bila seorang HBsAg positif lebih dari enam bulan maka individu tersebut
menderita infeksi virus hepatitis kronik, karena pada dasarnya hepatitis B akut
paling lama positif selama enam bulan. Faktor risiko terpenting untuk terjadinya
infeksi VHB menahun adalah umur penderita pada waktu terkena infeksi. Bila
terjadi pada waktu neonatus maka 90% bayi tersebut akan mengalami infeksi
kronik. Bila infeksi terjadi pada umur 1-5 tahun infeksi kronik sekitar 25-50% dan
semakin dewasa peluangnya semakin kecil. Pada pemeriksaan laboratorium
kelainan yang sering dijumpai adalah kelainan kadar transaminase dan petanda
serologi seperti HBsAg yang positif. Diagnosis infeksi kronik juga dapat dilihat
dengan cara histopatologi, walaupun gambaran histopatologi sangat sulit menilai
derajat keparahan penyakit, tetapi dengan menilai banyaknya partikel HBcAg
dalam inti jaringan sel hati melalui pewarnaan imunohistokimia, bisa
menunjukkan tingkat keparahan infeksi (Price, 2005;; Reherman & Nascimbeni,
2005).
Antibodi terhadap HBeAg (Anti-Hbe) muncul pada hampir semua infeksi
VHB dan berkaitan hilangnya virus-virus yang bereplikasi dan menurunnya daya
48
tular. Antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) akan terjadi setelah infeksi alamiah
atau dapat timbulkan oleh imunisasi. Antibodi ini timbul setelah infeksi membaik
dan berguna untuk memberikan kekebalan jangka panjang. Hepatitis akut
memiliki window periode, yaitu saat HBsAg sudah tidak terdeteksi namun anti-
HBs belum terbentuk.Anti-HBs mulai dihasilkan pada minggu 32, sedangkan
HBsAg sudah tidak ditemukan sejak minggu ke 24 (Wilson, 2005).
Tabel 2.5 : Petanda Serologik Infeksi Virus Hepatitis B
Petanda Makna HBsAg Pengidap akut atau kronik
IgM anti-HBc Hepatitis B akut (titer tinggi)
Hepatitis B kronik (titer rendah)
IgG anti-HBc Pernah terpapar hepatitis B (HBsAg -)
Hepatitis B kronik (HBsAg +)
Anti HBs Imun terhadap hepatitis B
HBeAg Salah satu petanda replikasi virus, infeksi
akut (IgM anti-HBc titer tinggi), Infeksi
kronik (IgG anti-HBc titier tinggi)
Anti - HBe Masa konvalesens (HBsAg -), atau infeksi
kronik (HBsAg +)
Pre – S Infeksi akut atau infeksi kronik replikafif
Anti-pre-S Hepatitis akut menuju sembuh (HBsAg +),
Imun terhadap hepatitis B (HBsAg -)
DNA VHB Infeksi akut atau infeksi kronik replikatif
Sumber : (Mulyanto, 1995)
2.13 Replikasi Virus Hepatitis B
Replikasi adalah suatu bentuk aktivitas perkembangbiakan virus di dalam
sel hati yang terinfeksi dapat berupa bahan-bahan genom protein virus, yang
menyusun progeny virus dan mengeluarkannya dari sel. Replikasi VHB terjadi di
49
dalam sel hati dan berlangsung melalui suatu perantara RNA. Siklus replikasi
VHB dibagi menjadi 7 (tujuh) tahap.
Siklus hidup VHB dimulai dengan attachment atau menempelnya partikel
Dane pada hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi dengan perantaraan
protein pre S1, protein pre- S2 dan lain-lain. Penempelan VHB
akan diikuti proses penetrasi VHB kedalam hepatosit, kemudian ditranspor
kedalam sitoplasma dan kemudian terjadi pelepasan DNA kedalam nukleus (tahap
1 sampai 3 pada Gambar 2.6).
DNA VHB yang masuk ke dalam nukleus mula-mula berupa dua rantai
DNA yang tidak sama panjang (partly doublestranded). Kemudian akan terjadi
proses DNA repair berupa pemanjangan rantai DNA yang pendek (DNA (+)
strand) sehingga menjadi dua untai DNA yang sama panjang (Fully double
stranded) atau covalently closed circle DNA (cccDNA) (tahap 4). Selanjutnya
terjadi pregenom RNA (RNA (+) dan beberapa mRNA. Translasi pre- genom
RNA akan menghasilkan protein core (HBcAg), HBeAg dan enzim polymerase,
sedangkan translasi mRNa lainnya akan menghasilkan protein yang dibutuhkan
(tahap 5- 6).
Selanjutnya terjadi proses encapsidation yaitu uptake pre-genom RNA
kedalam protein core (HBcAg), dilanjutkan dengan proses perakitan (assembly)
didalam sitoplasma. Proses maturasi genom dimulai dengan proses reversed
transcription pre-genom RNA menjadi DNA untai (-). Proses ini terjadi
bersamaan dengan degradasi pre-genom RNA. Dilanjutkan dengan proses
maturasi dengan cara sintesa DNA (+) strand (tahap 7).
50
Proses envelopment partikel core yang telah mengalami maturasi genom
terjadi didalam endoplasmik retikulum. Disamping itu juga terjadi sintesa partikel
VHB lainnya yaitu partikel tubular dan partikel bentuk bulat yang masing-masing
tidak mengandung partikel core dan genom VHB. Selanjutnya melalui aparatus
golgi disekresikan partikel-partikel Dane, partikel bentuk bulat dan tubular juga
HbeAg, dengan cara budding atau lisis langsung kedalam sirkulasi darah (Fields,
et al., 2005;; Zuckerman, et al., 2004)
Gambar 2.6 : Replikasi VHB (Zuckerman et al., 2004)
Replikasi menunjuk pada proses dimana virus menginfeksi sel yang
rentan, merepoduksi bahan-bahan genom dan protein virus, kemudian merakit
progeny virus yang infeksius. Pada proses replikasi virus, sintesa HBcAg terjadi
mendahului sintesa HBsAg, kemudian membungkus RNA (+) dan terbentuklah
pregenome virus. Selanjutnya terjadi sintesa DNA virus dari RNA(+) melalui
mekanisme transkripsi.
51
2.14 Imunologi Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B bukanlah suatu virus yang sitopatik. Kelainan sel hati
akibat infeksi virus hepatitis B yang disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap
hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan akhir untuk mengeliminasi VHB.
Pada kasus hepatitis B akut respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar
yang terkena VHB dengan demikian terjadi nekrosis sel yang mengandung VHB
dan terjadi gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Pada sebagian
penderita respon imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel hati yang
terinfeksi sehingga VHB tersebut tetap mengalami replikasi. Pada kasus dengan
hepatitis B kronik, respon imun tersebut ada, tetapi tidak sempurna sehingga
hanya terjadi nekrosis pada sebagian sel hati yang mengandung VHB dan masih
tetap ada sel hati yang terinfeksi yang tidak mengalami nekrosis. Dengan
demikian infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya. Pada pengidap HBsAg
asimtomatik respon imun tersebut sama sekali tidak efektif sehingga tidak ada
nekrosis sel hati yang terinfeksi dan virus tetap mengadakan replikasi tanpa
adanya gejala klinik (Soemohargjo, 2008).
2.15 Respon Imun Tubuh pada Infeksi Virus Hepatitis B
a. Antibodi terhadap Hbc (HbcAb)
HbcAb adalah antibodi yang pertama kali terdeteksi sekitar 8 minggu
setelah infeksi VHB. HbcAb terdiri dari IgM dan IgG, namun HbcAb tidak dapat
menetralisir virus. HbcAb bertahan di dalam serum setelah infeksi oleh VHB dan
antibodi ini merupakan IgG. Adanya IgM HbcAb yang tinggi mengindikasi fase
52
infeksi akut. Sedangkan keberadaan IgG HbcAb tanpa IgM HbcAb dapat
mengindikasikan penderita telah sembuh atau telah mendapat imunisasi.
b. ALT (Alanin aminotransferase) AST (Aspartat aminotransferase)
ALT dan AST adalah enzim yang diproduksi oleh sel hati yang dapat
dideteksi di dalam darah. Kadar normal ALT 0-40. Ketika sel hatik rusak, enzim
dilepas dan peningkatan kadar ALT dapat dideteksi di serum. Banyaknya ALT
dalam darah biasanyan digunakan sebagai indikator kerusakan sel hati. Setelah
infeksi terjadi pada saat bersamaan HbcAb terdeteksi dalam darah kadar ALT
dapat meningkat. Peningkatan ALT dapat disebabkan kerusakan sel hati. Pada
kasus infeksi akut, ALT mulai turun pada saat yang sama ketika antigen e sudah
tidak terdeteksi lagi dan akan turun menjadi normal ketika HbsAb muncul.
c. Interferon
Ketika sel hospes terpapar virus, sel tersebut biasanya memproduksi
substansi yang disebut dengan interferon. Interferon dapat meningkatkan respon
imun dan mencegah sel hati disekitarnya agar tidak terinfeksi oleh virus. Oleh
karena itu, interferon sering digunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan.
d. HBeAg
HBeAg muncul beberapa minggu setelah AbeAg tidak lagi ditemukan.
Keberadaan HbeAb merupakan tanda baik dan mengindikasikan terjadinya
penyembuhan.
53
e. HbsAb
Antibodi terakhir yang muncul adalah HbsAb. HbsAb bisa menetralisir
VHB. Keberadaannya merupakan indikator bahwa infeksi VHB telah diatasi.
HbsAb bisa disebabkan oleh vaksinasi dan meningkatnya daya tahan tubuh
terhadap virus hepatitis B. Walaupun sangat jarang, infeksi VHB dapat terjadi
pada orang telah divaksinasi. Hal ini bisa terjadi apabila penderita terinfeksi oleh
VHB yang berbeda, penderita mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh atau
pada bayi dan anak yang sistem imunnya belum berkembang dengan sempurna
(Radji, 2015).
Kerusakan sel hati yang terjadi adalah akibat respon imunologik tubuh
terhadap sel hati yang terinfeksi VHB. Manifestasi klinik yang terjadi sangat
tergantung pada reaksi imunologik tersebut, terutama imunitas seluler. Pada
hepatitis kronik yang menjadi antigen sasaran adalah HBcAg dan mungkin juga
HBeAg yang menempel pada permukaan membrane sel hati. Sel T sitolitik dan
Human Leucocyte Antigen (HLA) klas 1 inang memegang peran utama untuk
terjadinya lisis sel hati (Thomas et al, 1984).
Untuk mengenali HBcAg pada membrane sel hati, sel Tmengenali antigen
tersebut dalam bentuk glikoprotein HLA klas 1 (HLA-A, -B, C). Glikoprotein ini
sangat jarang muncul pada permukaan membran sel hati. Selama fase HBeAg
positif dari hepatitis B kronik, penampakan HLA kls 1 tersebut tidak berubah,
tetapi pada fase anti HBe yang telah berhasil mengiliminir hepatosit yang
mengandung virus replikatif, densitas protein HLA kls 1 tersebut naik secara
nyata. Perubahan ini didahului serokonversi HBeAg, terjadi pada sel yang
54
mengandung virus replikatif, maka hal ini mungkin merupakan faktor yang
mengakibatkan lebih efisiensinya lisis sel hepatosit yang terinfeksi (Thomas et al,
1984).
Setelah virus masuk kedalam tubuh maka akan segera muncul alfa
interferon yang akan mengaktifkan peran sel Natural Killer (NK). Meningkatnya
jumlah interferon alfa ini akan menyebabkan keluhan panas badan serta rasa
mual. Reaksi sel radang seperti limfosit T, CD4 muncul dan akan meningkat
setelah mengalami sensitisasi terhadap peptida nukleokapsid. Kerusakan sel hepar
yang terinfeksi oleh VHB disebabkan karena adanya ekspresi antigen pada
membran hepatosit yang disertai dengan ekspresi molekul MHC yang kemudian
(Zuckerman, et al., 2004).