bab iv tinjauan kritis terhadap konversi agama...
TRANSCRIPT
59
BAB IV
TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONVERSI AGAMA BPK.NARIYOTO DARI
PERSPEKTIF LEWIS R.RAMBO
Berdasarkan teori konversi agama dan teori motivasi pada Bab II, yang dihubungkan
dengan hasil penelitian pada bab III, maka pada bab IV akan dilakukan analisa mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi perpindahan agama (konversi agama) Bpk.Nariyoto dari
Sapta Darma menjadi Kristen. Dalam analisa ini yang menjadi acuannya ialah teori model
tingkatan sistemik (systemic stage model) dari proses konversi.
IV.1 Analisis terhadap proses konversi agama dari Bpk.Nariyoto
Konversi agama merupakan suatu tindakan yang diambil dalam rangka
perpindahan yang dilakukan dari suatu sistem kepercayaan atau agama menuju pada
sistem kepercayaan yang lain. Sistem kepercayaan atau yang lebih dikenal dengan
agama, di dunia tidak hanya terbatas pada agama-agama besar yang diakui oleh
pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia yang hanya mengakui 6 agama, yaitu:
Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu. Namun juga termasuk di
dalamnya berbagai aliran kebatinan, yang di negara Indonesia sendiri masih banyak
penganut dari aliran tersebut. Sapta Darma merupakan salah satu diantaranya, yang
penyebarannya meluas di sekitar pulau Jawa. Hal tersebut disebabkan pulau Jawa,
khususnya wilayah Jawa Timur sebagai tempat lahirnya ajaran-ajaran Sapta Darma.
Walaupun demikian, penyebaran dari ajaran Sapta Darma juga meluas di beberapa
daerah, seperti: Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera, juga
60
wilayah Jawa Tengah. Terkait dengan realita perpindahan sistem kepercayaan atau
agama yang terjadi pada salah satu penganut Sapta Darma di daerah Jawa Tengah,
khususnya keluruhan Tambakrejo, Ambarawa, yakni: keluarga Bpk.Nariyoto. Dengan
tindakan ini menggambarkan adanya tujuan untuk memperoleh kehidupan yang lebih
baik, dengan dipengaruhi berbagai macam faktor.
Pengambilan keputusan oleh Bpk.Nariyoto yang terwujud dalam tindakan
berpindahnya dari sistem kepercayaan atau perilaku Sapta Darma menjadi Kristen,
dalam kasus ini dapat dikatakan sebagai peristiwa yang cukup langkah. Maksudnya
ialah melihat latar belakang Bpk.Nariyoto ketika menjadi pengikut Sapta Darma,
dengan memiliki berbagai ilmu mistik, menjadikan segala sesuatu yang diinginkan
dapat diperoleh dengan mudah. Segala sesuatu menjadi mudah ketika ilmu-ilmu
tersebut turut campur tangan mengatasinya. Sangat berlawanan dengan sistem
kepercayaan Kristen, yang hanya mengandalkan penyerahan diri manusia kepada
Tuhan. Namun pada hakekatnya suatu konversi agama dapat terjadi tanpa memandang
profesi, budaya, usia, dari agama manapun, dimanapun dan kapanpun. Ketika
mengetahui hal-hal tersebut, konversi yang terjadi terhadap keluarga Bpk.Nariyoto
bukan lagi menjadi peristiwa yang membuat orang lain menjadi heran dan terkejut. Di
dukung faktor usia yang dewasa menjadikan konversi agama cukup mudah dilakukan,
disebabkan pengetahuan dan kebutuhan mereka yang semakin berkembang.
Dengan mengacu pada teori konversi dari Lewis R. Rambo, yang memaparkan dua
model, yakni: Model holistik (Holistic model) dan Model bertingkat (stage model) yang
terbagi menjadi systemic stage model (model tingkatan sistemik) dan sequential stage
model, maka penulis memilih model bertingkat (stage model) khususnya systemic stage
model (model tingkatan sistemik) dalam melakukan analisa. Hal itu disebabkan
terdapatnya tujuh unsur pendukung yang menjadikan teori tersebut menampakkan
61
kekompleksan dari konversi agama dibanding dengan model holistik yang hanya
terdapat empat unsur yang terkandung, berupa: kebudayaan, masyarakat, pribadi dan
sistem agama. Berangkat dari kekompleksan unsur yang terdapat di dalam model
bertingkat (stage model), maka dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
Bpk.Nariyoto ditemukan bahwa tingkatan yang pertama ialah adanya krisis dalam diri
Bpk.Nariyoto, kemudian diikuti dengan proses pencariannya terhadap agama yang
mengajarkan tentang Isa Rohulah atau Isa Almasih, sebagai tingkat kedua. Tingkat
ketiga hingga tingkat ketujuh, yaitu: konteks, pertemuan, interaksi, komitmen dan
konsekuensi atau dampak dalam kehidupan. Dalam kasus ini yang menjadi pemicu
dalam pengambilan keputusan berpindah agama dari Sapta Darma ke Kristen,
khususnya menjadi jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo ialah adanya krisis dalam
diri.
Krisis menjadi pusat penyebab, namun tidak menutup adanya hal-hal yang
mendukung berupa: pencarian, konteks, pertemuan, interaksi, komitmen dan
konsekuensi. Hal-hal tersebut antara satu dengan lainnya selalu berkaitan dan saling
mempengaruhi. Dari hal ini nampak bahwa model tingkatan sistematik yang dipaparkan
oleh Lewis R. Rambo menjadi tidak mutlak, dalam artian ketujuh tingkatan dapat
Krisis
Pencarian
Konsekuensi
Komitmen
Interaksi
Pertemuan
Konteks
62
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi dari permasalahan konversi agama
yang terjadi, khususnya dalam diri pelaku konversi.
Berdasarkan hasil penelitian, maka analisa akan dilakukan berdasarkan tingkatan
yang terdapat dalam kasus, yaitu:
IV.1.1 Analisa terhadap Krisis yang dialami Bpk.Nariyoto
Krisis yang dimiliki seseorang di dalam dirinya dapat berasal dari sesuatu yang
dibutuhkan, namun kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Selain itu juga adanya
sesuatu yang berasal dari luar diri, yang memberikan stimulus terkait dengan
kebutuhan yang belum terpenuhi tersebut. Dengan kata lain krisis dapat terjadi
ketika adanya perjumpaan antara sesuatu yang berasal dari dalam diri dalam bentuk
kebutuhan, dengan sesuatu dari luar (stimulus) baik itu yang bersifat abstrak
berupa informasi maupun yang bersifat konkret seperti benda. Konsep tersebut
dapat terjadi sebaliknya, dimana berawal dengan adanya sesuatu dari luar
(stimulus) yang berjumpa dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri berupa
kebutuhan. Hal inilah yang ditemukan dalam diri Bpk.Nariyoto. Keputusannya
dalam melakukan konversi agama diakibatkan adanya krisis dalam diri terkait
dengan informasi yang di dengar, yang berhubungan dengan Isa Rohulah sebagai
penyelamat manusia. Stimulus lainnya yang melengkapi yakni dengan pemberian
kitab Jayabaya yang dilakukan oleh pemimpin komunitas Sapta Darma tempat ia
berdomisili pada saat itu. Dengan realita tersebut memunculkan pemikiran bahwa
Bpk.Nariyoto memiliki kebutuhan yang pada saat itu belum diperolehnya ketika
berada di Sapta Darma. Kebutuhan tersebut ialah keselamatan. Berdasarkan hal
tersebut mempengaruhi keyakinannya terhadap ajaran Sapta Darma, dimana antara
hati yang ingin tetap setia pada ajaran tersebut menjadi tidak sejalan dengan
63
pikiran yang ingin memperoleh keselamatan, atau dengan kata lain kebimbangan
berada di dalam dirinya. Perasaan tersebut muncul ketika adanya keraguan pada
pilihan-pilihan yang ada, terkait dengan sesuatu yang dapat dipercaya.68 Oleh
karena itu, ketika adanya stimulus yang diberikan terhadap dirinya, dorongan
dalam diri menjadi semakin kuat, yang berujung pada tindakan yang dilakukan
guna memperoleh dan mencapai tujuan dalam bentuk kebutuhan.
Krisis yang dialami oleh Bpk.Nariyoto termasuk dalam golongan krisis iman,
sehingga di dalam krisis tersebut tersirat hal yang cukup penting dalam
perkembangan hidup, yakni perkembangan iman. Hal penting tersebut yaitu adanya
transisi atau peralihan dari ketergantungan terhadap kekuatan-kekuatan gaib,
beralih pada Yesus Kristus sebagai Tuhan. Hal ini merupakan bagian dari
pendewasaan iman Bpk.Nariyoto termasuk anggota keluarga lainnya, yakni mereka
mampu mandiri. Maksudnya ialah mereka bebas dari hal-hal yang selama ini
menjadi tempat yang kurang tepat dalam mereka bergantung.69
IV.1.2 Analisa terhadap pencarian dalam upaya menjawab kebutuhan
Tindakan pencarian dilakukan dalam rangka mencapai tujuan, yaitu memenuhi
kebutuhan. Pada saat kebutuhan terpenuhi, secara langsung akan mampu
mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi. Pencarian merupakan proses yang
lama, menjadikan perpindahan atau konversi yang dilakukan oleh pak Nari dan
keluarga membutuhkan waktu yang panjang. Dengan melihat intensitas
keberlangsungan proses dalam kasus ini, maka konversi agama ini termasuk pada
tipe volitional (perubahan bertahap).70 Proses pencarian dalam hal ini dapat terjadi
68 Saludin Muis, Kenali Kepribadian Anda dan Permasalahannya dari Sudut Pandang Teori Psikoanalisa,
(Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009), 50. 69 Thomas Keating, Krisis Iman, Krisis Kasih, (Jogjakarta: Kanisius, 1999), 18. 70 H.Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 82.
64
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: ideologi yang dimiliki oleh Sapta Darma sebagai
sistem kepercayaan awal Bpk.Nariyoto, yaitu keterbukaan terhadap agama lain.71
Sifat terbuka dalam Sapta Darma dihasilkan dari beberapa hal yakni: a) perspektif
sejarah dimana Sapta Darma termasuk dalam kebudayaan Jawa, yang merupakan
hasil dari pertemuan dan percampuran antara kebudayaan agama Hindu dan Budha.
b) Sistem kepercayaan berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu
Tuhan. c) ajaran Sapta Darma memfokuskan diri pada hubungan batin seseorang
dengan tuhan melalui sujud. Melihat hal-hal tersebut, memungkinkan terbukanya
peluang besar bagi penganut Sapta Darma, termasuk pak Nari untuk menentukan
serta mencari sistem kepercayaan atau agama yang sesuai. Hal kedua yang
mempengaruhi dalam proses pencarian pak Nari, yang berawal dari Gereja Isa
Almasih dan berujung pada komitmen menjadi jemaat GPIB ATK ialah
kekhusukan dalam beribadah. Terdapat kecenderungan bahwa hal ini erat
kaitannya dengan konsep peribadatan dalam Sapta Darma yang hanya melakukan
gerak tubuh (sujud) tanpa adanya kegaduhan, atau dengan kata lain melakukan
ibadah dengan khusuk.
Proses pencarian bertahap diawali dengan mencari ajaran agama yang
mengajarkan dan mengakui Isa Rohulah atau yang diyakini oleh Bpk.Nariyoto
sebagai Isa Almasih atau Tuhan Yesus, dimulai dari Krisen (GIA), Islam hingga
kembali Kristen (GPIB ATK). Melalui proses yang panjang, tiba pada titik ia akan
menemukan satu komunitas agama yang dianggap tepat. Konversi agama dari
Sapta Darma ke Kristen yang dilakukan Bpk.Nariyoto, juga berarti sebagai
tindakan pertobatan, dengan sifat: a) dari alam pikiran kosmis, ke alam pikiran
historis; b) perubahan dari orientasi masa lampau menjadi masa depan; c)
71 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Jogjakarta: Benteng 1999), 117.
65
perubahan terhadap pandangan dunia yang tertutp, akan menjadi terbuka; d) dari
dunia yang statis, berubah menjadi dunia yang dinamis; e) sikap yang eksklusif,
menjadi inklusif; f) dari pemikiran yang terfokus pada hal-hal yang jasmani,
berubah kepada yang rohani; g) dari yang mengandalkan hal-hal yang nampak,
berubah pada yang tidak nampak; h) dari yang selalu mementingkan sifat lahiriah,
akan menjadi batiniah; i) dari yang menekankan segala sesuatu pada ritual, berubah
menjadi etis; (j) dari tindakan yang diatur oleh dan dalam hukum-hukum, berubah
menjadi Injil; (k) dari sikap yang mengandalkan kekuatan sendiri, akan berubah
menjadi penyerahan total kepada pimpinan Tuhan. Perubahan sifat-sifat tersebut
terjadi secara berangsur-angsur, karena pada hakekatnya perubahan-perubahan
yang terjadi berkaitan dengan kehidupan rohani, tidak akan dapat terjadi secara
mendadak.72
Dengan melihat waktu lama yang diperlukan di dalam proses pencarian, maka
disini akan nampak sifat yang muncul yang mengiringi terjadinya konversi agama.
Sifat-sifat tersebut antara lain: kesabaran, kesungguhan dan semangat yang tinggi.
Dengan adanya sifat-sifat yang telah dipaparkan di atas, maka menjadi suatu nilai
lebih, bersifat positif terhadap adanya suatu proses dalam kehidupan.
IV.1.3 Analisa terhadap Konteks kehidupan yang terkait dalam proses konversi ke
agama Kristen
Konversi agama yang merupakan fenomena di dalam kehidupan agama
menjadi sangat kompleks, karena tidak hanya dipengaruhi oleh ketujuh unsur,
namun juga konteks pelaku konversi agama, seperti: krisis, waktu, etnis, tetangga,
keluarga, sistem politik maupun ekonomi hingga komunitas agama. Enam hal yang
72 A.C.Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),
18-19.
66
disebutkan pada bagian akhir, merupakan beberapa dari konteks kehidupan
manusia yang berpengaruh dalam proses konversi. Pengaruh tersebut adalah hal
yang pasti dan bersifat mutlak. Dengan demikian proses konversi Bpk.Nariyoto
dengan pasti diiringi oleh beberapa konteks. Dari hasil penelitian, maka ditemukan
empat konteks yang mendukung terjadinya perpindahan agama dari keluarga
tersebut, antara lain:
1. Profesi pada saat Bpk.Nariyoto termasuk dalam salah satu pengikut aliran Sapta
Darma, ialah seorang seniman (dalang, berperan dalam ketoprak maupun reog).
Selain itu juga sebagai penjual minum-minuman keras. Profesi merupakan salah
satu unsur yang berada di dalam macrocontext. Dengan demikian dari apa yang
dikerjakan oleh beliau merupakan usahanya dalam mencukupi kebutuhannya
bersama keluarga, serta menaikkan taraf kehidupan mereka. Dari hal ini nampak
bahwa sistem ekonomi beliau juga berpengaruh dalam prosesnya melakukan
konversi, khususnya pada profesinya sebagai seniman. Hal tersebut berkaitan
dengan konteks lingkungan sekitar tempat tinggal yang beragama Kristen,
permintaan dalam membantu kegiatan gereja, yang di dalamnya dikolaborasikan
dengan kebudayaan Jawa.
2. Tetangga yang termasuk dalam microcontext, juga menjadi pengaruh
disebabkan intensitas interaksi yang berlangsung. Maksudnya ialah ketika
keluarga Bpk.Nariyoto melakukan interaksi dengan tetangga yang dominan
adalah agama Kristen, khususnya sebagai jemaat GPIB ATK sektor
Tambakrejo, maka semakin besar peluang bagi pengaruh untuk bekerja
mempengaruhi mereka.
3. Konteks yang terdekat dalam kehidupan Bpk.Nariyoto adalah keluarga inti (the
nuclear family). Demikian halnya dengan konteks tetangga, konteks keluarga
67
juga termasuk dalam microcontext. Melalui interaksi dan melihat tindakan yang
dilakukan oleh anggota keluarga lainnya, menjadikan seseorang mudah untuk
melakukan konversi mengikuti agama salah satu anggota keluarga tersebut.
Maksudnya ialah dalam kasus Bpk.Nariyoto, anak bungsu yang bernama Nova
telah lebih dahulu mengikuti kegiatan gereja. Dengan adanya komunikasi
maupun melihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nova, maka sedikit
maupun banyak, akan berpengaruh pada diri Bpk.Nariyoto.
4. Kekaguman maupun ketertarikan pada kepribadian yang tegas dan keras dari
pendeta yang melayani di jemaat GPIB ATK, yaitu Pdt.Merziline Ch.Rssok. Hal
ini juga dapat dikategorikan pada microcontext, yang walaupun pada teori yang
dijelaskan oleh Lewis R. Rambo, tidak terdapat mengenai hal tersebut. Namun
masuknya hal tersebut pada kategori ini dengan alasan bahwa pendeta
merupakan pribadi yang kehidupannya tidak jauh dengan kehidupan
Bpk.Nariyoto serta keluarga.
Dengan demikian proses konversi agama yang dilakukan seseorang, tidak
dapat terjadi tanpa pengaruh dari hal-hal yang terkait dengan kehidupan pelaku
konversi (konteks).
IV.1.4 Analisa terhadap Pertemuan dengan agama yang baru
Fenomena konversi agama yang terjadi pada seluruh keluarga inti
Bpk.Nariyoto, memiliki perbedaan ditengah persamaan yang ada. Maksudnya ialah
keempat anak bersama istri memiliki cara maupun jalan tersendiri dalam berjumpa
dengan kekristenan yang sebenarnya, demikian juga Bpk.Nariyoto. Dari hal ini
menunjukkan bahwa konversi agama yang dilakukan oleh beberapa orang atau
yang di dalamnya terlibat seluruh anggota keluarga, memiliki latarbelakang yang
berbeda antara satu dengan lainnya. Namun pada umunya, dari latarbelakang
68
pribadi yang berbeda-beda, akan menjadi satu pada pertemuan terhadap agama
yang baru, dalam kasus ini yaitu GPIB ATK yang mewakili agama Kristen.
Pengalaman kehidupan yang dialamai oleh pribadi, juga termasuk dalam perbedaan
tersebut. Dalam artian bahwa yang dialami oleh masing-masing pribadi tentunya
akan berbeda-beda, dan berangkat dari pengalaman, akan membentuk serta
memperkokoh seseorang dalam pencarian yang berujung pada bertemunya dengan
agama baru. Dalam hal ini pengalaman yang terjadi pada keluarga Bpk.Nariyoto
adalah pengalaman rohani, dilihat sebagai pengaturan atau cara yang dilakukan
oleh Tuhan untuk mengubah kehidupan keluarga. Atau dengan kata lain adanya
intervensi Tuhan dalam kehidupan keluarga Bpk.Nariyoto agar bertemu dengan
berbagai pengajaran-Nya yang diterapkan oleh agama Kristen.
Serupa dengan konteks, dalam pertemuan diperlukan adanya keterlibatan hal-
hal maupun pihak lainnya. Pertemuan keluarga Bpk.Nariyoto dengan agama
Kristen yang sesungguhnya, yang diwakili oleh GPIB ATK, dapat terjadi dengan
keikutsertaan Bpk.Dariyanto sebagai penghubung antara anggota keluarga kepada
ibu Pdt.Merziline Ch.Ressok,S.Th. Demikian halnya dengan ibu pendeta, yang
menjadi penghubung antara anggota keluarga dengan kekristenan yang
sesungguhnya. Kekristenan yang sesungguhnya adalah agama Kristen yang tidak
memenjarakan pengikutnya dalam sebuah hukuman; peraturan-peraturan; serta
ritus yang diterapkan. Melainkan kerelaan maupun dorongan yang datangnya dari
hati, tanpa adanya paksaan untuk percaya kepada Tuhan Yesus.73 Terkait mengenai
pendeta yang melayani di jemaat tersebut, keikutsertaannya dalam menangani
proses konversi agama dari keluarga Bpk.Nariyoto, membutuhkan adanya
kharisma dan teladan. Karena ketika kedua hal tersebut tidak ditemukan dalam diri
73 A.C.Kruyt, 2008, 17.
69
seorang pemimpin, maka akan menjadi suatu kendala di dalamnya. Keteladanan
maupun kharisma di dalam diri seorang figur pemimpin agama, akan menjadi suatu
penilaian yang akan diambil oleh pelaku konversi agama. Dalam artian bahwa
pelaku konversi agama akan memiliki keyakinan penuh terhadap keputusannya
untuk berpindah, ketika melihat teladan serta kharisma yang memancarkan wibawa
yang tersirat dalam wewenangnya terhadap anggota yang akan dipimpin.74
Keteladanan maupun kharisma yang dimiliki oleh beliau dapat dilihat pada
pengaturannya terkait dengan penyerahan diri dari anggota keluarga untuk masuk
ke dalam GPIB ATK. Berbagai tindakan diambil dalam rangka memfasilitasi
keluarga untuk mengenal lebih dalam mengenai kekristenan, antara lain:
mengadakan pertemuan awal, perbincangan yang telah mengarah pada niat
menjadi orang Kristen yang benar atau dikenal dengan istilah konseling,
pengarahan untuk terlibat dalam ibadah, serta memberikan katekisasi. Penanganan
lebih khusus dilakukan pendeta terhadap Bpk.Nariyoto dalam hal melepaskan
berbagai kekuatan dan benda gaib yang dimiliki. Hal itu dilakukan karena melihat
suatu kebenaran dimana adanya kerangka berpikir dan bahkan lebih buruk lagi
yaitu penggunaan kekuatan gaib yang ada, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan badani manusia.75
IV.1.5 Analisa terhadap Interaksi yang mendukung proses konversi agama
Dalam kaitannya dengan interaksi, setelah menghubungkan antara hasil
penelitian dan teori maka ditemukan bahwa berawal dari bakat maupun
kemampuan dalam bidang seni yang dimiliki oleh Bpk.Nariyoto, mampu
mempersatukan berbagai perbedaan yang ada. Perbedaan usia: antara yang tua dan
74 A.C.Kruyt, 2008, 224. 75 A.C.Kruyt, 2008, 223.
70
muda; jenis kelamin: antara perempuan dan laki-laki, serta perbedaan profesi.
Dengan adanya hal tersebut, membuka peluang besar terciptanya hubungan baik
dengan semua pihak. Tidak hanya pihak jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo,
namun juga dari Gereja Isa Almasih, komunitas Sapta Darma serta rekan-rekan
muslim. Selain itu juga nampak bahwa Bpk.Nariyoto termasuk salah satu tokoh
seni yang populer di wilayah kelurahan Tambak Boyo dan sekitarnya, yang
menyebabkan warga mengaguminya. Hal itu dapat terjadi dengan dukungan sifat
yang ada dalam diri, yakni mudah bergaul dengan semua pihak, yang terwujud
dalam sikapnya yang menerima siapa pun. Namun ada indikasi bahwa sikap
tersebut terkait dengan ideologi Sapta Darma, yaitu keterbukaan.
IV.1.6 Analisa terhadap Komitmen pelaku konversi agama
Komitmen merupakan hasil dari serangkaian proses yang terjadi dalam rangka
konversi agama yang dilakukan oleh setiap individu, dan hal itu juga yang dialami
oleh keluarga Bpk.Nariyoto. Pada titik inilah nampak penyerahan diri dalam
mengikuti ajaran maupun melakukan ritus-ritus keagamaan, yakni agama Kristen,
khususnya yang diterapkan dalam GPIB. Melalui komitmen juga, keluarga
menunjukkan keseriusan dengan melakukan baptis dan sidi, atau yang disebut
dengan komitmen ritual. Dalam komitmen yang dilaksanakan oleh pihak keluarga
Bpk.Nariyoto, telah menjalankan lima unsur seperti yang dijelaskan oleh Lewis R.
Rambo, yaitu: membuat keputusan untuk berpindah ke agama Kristen; mengikuti
ritual-ritual agama Kristen; menyerahkan diri seutuhnya untuk melakukan ajaran-
ajaran Kristen; adanya kesaksian hidup yang tergambar pada bahasa-bahasa
Kristen yang mulai digunakan maupun rekonstruksi biografi; serta merumuskan
kembali motivasi mereka, yaitu menjadi pengikut Kristus yang melakukan ajaran-
ajarannya dengan sungguh.
71
IV.1.7 Analisa terhadap Konsekuensi dalam melakukan konversi agama bagi pelaku
konversi
Melihat realita konversi agama yang tidak hanya sebagai perpindahan
seseorang dari satu iman menuju iman yang lain, namun lebih luas lagi terkait
dengan kebudayaan agama yang satu, menuju pada kebudayaan agama yang lain.
Kebudayaan agama dalam hal ini antara lain: ritus, simbol dan bahasa. Selain itu
juga terkait dengan kelompok atau komunitas yang berbeda, sehingga tidak
menutup kemungkinan munculnya konsekuensi atau dampak dari lingkungan atau
bidang kehidupan sosial dari pelaku konversi agama.
Yang menarik dari konsekuensi yang diterima oleh Bpk.Nariyoto pada saat
melakukan konversi agama menjadi Kristen adalah penghancuran serta pelepasan
kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti yang dimilikinya. Hal
tersebut dapat menjadi bersifat positif ataupun negatif, sesuai dari sudut subyek
yang menilai. Maksudnya ialah bernilai positif ketika penilaian muncul dari pihak
yang tidak mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan mistiksisme, dimana
dukungan akan diberikan secara penuh terhadap penghancuran maupun pelepasan
hal-hal tersebut. Penilaian tersebut berangkat dari ajaran agama yang dengan tegas
menolak penggunaan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti.
Sedangkan ketika penilaian berasal dari pihak yang masih mempercayai maupun
yang telah melepaskan hal-hal tersebut, akan menilai bahwa hal itu bersifat negatif.
Penyebabnya ialah pemikiran mereka yang tertuju pada ketidakmampuan dalam
hal mendapatkan kembali berbagai kemudahan yang diperoleh ketika
menggunakan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti tersebut.
Dengan terjadinya hal tersebut, maka sinkritisme akan terus ada.
72
Konsekuensi yang harus diterima oleh Bpk.Nariyoto, yang datang dari
komunitas Sapta Darma. Dimana ketidakrelaan dengan keputusan yang diambil
oleh Bpk.Nariyoto untuk berpindah, namun tanpa disertakan perilaku yang
menunjukkan perasaan tersebut. Dalam hal ini ada indikasi bahwa adanya
hukuman yang diberikan kepada Bpk.Nariyoto, tanpa sepengetahuannya. Hukuman
dalam hal ini bukan menyangkut fisik, namun penilaian yang buruk terhadapnya,
seperti pengkhianat, murtad, maupun pembangkang. Namun pada intinya nampak
bahwa konversi agama yang dilakukan, berpengaruh pada penghayatan iman
Kristen yang dimiliki oleh keluarga, semakin mendalam.
Dengan melakukan analisa terhadap proses konversi agama yang dilakukan oleh
Bpk.Nariyoto dari Sapta Darma ke Kristen, maka ditemukan faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya proses konversi, yang terdapat dalam gambar proses di bawah ini :
5. INTERAKSI 1. KRISIS
6. KOMITMEN
3. KONTEKS
7. KONSEKUENSI/
2. PENCARIAN DAMPAK
4. PERTEMUAN
Penjelasan terhadap gambar:
1. Proses konversi agama dalam kasus Bpk.Nariyoto, diawali krisis antara hati dan
pikiran yang tidak lagi sejalan dikarenakan keraguan terhadap ajaran sebelumnya
serta pikiran yang ingin mencari dan menemukan keselamatan yang hanya
diperoleh ketika percaya dan mengikuti ajaran Isa Rohulah (Tuhan Yesus),
sedangkan hati berkeinginan untuk loyal kepada ajaran sebelumnya.
73
2. Pencarian dalam kasus konversi agama ini terdapat beberapa hal dari Sapta Darma
yang cenderung mempengaruhi dan membuka peluang besar untuk melakukan
konversi, yaitu: keterbukaan terhadap sistem kepercayaan lain dan kekhusukkan
dalam beribadah. Dengan adanya hal-hal tersebut pencarian agama yang
mengajarkan dan meyakini keselamatan hanya diperoleh di dalam Isa Rohulah
(Tuhan Yesus), dapat dipenuhi.
3. Pencarian erat kaitannya dengan konteks kehidupan Bpk.Nariyoto yang terdiri dari
empat konteks, yaitu: a) sistem ekonomi keluarga, yakni profesi Bpk.Nariyoto
sebagai seorang seniman (dalang, berperan dalam ketoprak maupun reog) ditengah
konteks sistem agama Kristen sebagai mayoritas memunculkan permintaan dalam
membantu kegiatan gereja, yang di dalamnya dikolaborasikan dengan kebudayaan
Jawa. b) Interaksi dengan tetangga yang dominan adalah agama Kristen, khususnya
sebagai jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo. c) Keluarga inti (the nuclear family)
khususnya anak bungsu yang bernama Nova, dan d) kekaguman pada kepribadian
yang tegas dan keras dari pendeta yang melayani di jemaat GPIB ATK, yaitu
Pdt.Merziline Ch.Rssok.
4. Pertemuan pada agama baru terjadi selain karena ketiga hal diatas, juga disebabkan
pengalaman rohani yang dapat membentuk maupun memperkokoh pak Nari dalam
mencari, dan berujung pada pertemuan dengan agama Kristen (GPIB ATK).
Pertemuan terjadi dibantu oleh konteks sekitar, dalam hal ini Bpk.Dariyanto
(keponakan) dan kharisma dan teladan yang dimiliki oleh ibu pendeta sebagai
seorang pemimpin jemaat.
5. Interaksi tetap terjalin dengan baik antara Bpk.Nariyoto dengan rekan-rekan di
Sapta Darma, GIA dan muslim. Hal ini didukung dengan sifat mudah bergaul,
74
sehingga ia menerima siapa pun. Ada indikasi bahwa sifat tersebut terkait dengan
sifat Sapta Darma, yaitu keterbukaan.
6. Terdapat satu titik penyerahan diri terhadap serangkain proses konversi agama yang
dilakukan pak Nari juga diikuti anggota keluarga, yaitu membuat komitmen untuk
menjadi anggota jemaat GPIB ATK dengan melakukan nikah gereja pada tanggal
26 Juli 2010, bertempat di GPIB ATK sektor Tambakrejo, serta baptis dan sidi pada
tanggal 30 Mei 2010 (keempat anak belum melakukan sidi).
7. Konsekuensi atau dampak yang timbul antara lain: penghancuran serta pelepasan
kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti yang dimilikinya;
ketidakrelaan dari rekan-rekan Sapta Darma dengan memberikan penilaian yang
buruk terhadapnya, tanpa sepengetahuan pak Nari, seperti pengkhianat, murtad,
maupun pembangkang; dan penghayatan iman Kristen yang dimiliki oleh keluarga,
semakin mendalam. Terkait dengan point akhir, ia mengakui bahwa keadaan
hidupnya semakin baik karena Tuhan. Hal itu nampak dari bidang ekonomi,
permintaan untuk memainkan wayang (dalang) tidak berkurang, namun justru
semakin banyak permintaan; ketiga anaknya telah mendapat kerja yang bagus,
sedangkan pendidikan yang lancar dari anak keempat, serta kehidupan keluarga
menjadi harmonis dan teratur.
IV.2 Refleksi Teologis
Keputusan dalam melakukan perpindahan dari sistem kepercayaan atau agama satu
ke yang lain, merupakan kebebasan yang dimiliki setiap individu. Serupa dengan Sapta
Darma yang tidak melarang pengikutnya berpindah agama, hal itu juga yang terdapat
dalam agama Kristen. Agama Kristen tidak memberikan suatu perintah atau hukum
terhadap orang-orang yang berpindah, karena keyakinan orang Kristen terhadap
75
hukuman yang akan diberikan oleh Allah sendiri terhadap dosa pribadi, dalam hal
mereka yang berpindah dari agama Kristen, yang melatarbelakangi hal tersebut terjadi.
Ketidaktersediaannya hukum maupun perintah juga berlaku bagi mereka yang dengan
kesungguhan hati menerima Allah di dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan
bergabung dalam komunitas agama Kristen. Gereja tidak dapat melarang atau
menghalangi mereka yang akan mengikuti ajaran Kristus. Hal itu dikarenakan di dalam
Alkitab, khususnya dalam Matius 19:14 tertulis: Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah
anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab
orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Dari hal ini nampak
bahwa Yesus sendiri menerima manusia yang datang kepada-Nya seperti seorang anak
yang datang kepada bapaknya, sebab sifat seorang anak yang penuh dengan kepolosan,
keterusterangan serta ketidakmampuan yang menyebabkan penyerahan diri kepada
sosok yang memiliki kemampuan lebih dibanding dirinya.
Konversi agama tidak hanya terkait dengan kebebasan, melainkan juga dengan
motivasi. Berbagai macam dorongan yang diperoleh dari dalam maupun luar diri, akan
sangat mempengaruhi pelaku konversi dalam mengambil keputusan serta bertindak
sesuai dengan keputusannya. Dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi,
semakin besar dorongan dari dalam diri untuk mencari, mengenal hingga mengikuti
Kristus. Itulah yang terjadi pada keluarga Bpk.Nariyoto. Keputusan dan tindakan yang
diambil oleh keluarga Bpk.Nariyoto dalam berpindah agama, merupakan tindakan yang
radikal. Karena keluarga tersebut telah bertobat dengan jalan menjauhkan serta tidak
lagi berhubungan dengan hal-hal gaib, atau berada pada jalan kegelapan, yang
kemudian masuk pada terang dengan mengikuti katekisasi, dibaptis dan sidi. Dengan
melakukan hal-hal tersebut, menandakan komitmen yang sungguh sebagai bagian
dalam jemaat maupun dalam diri Yesus Kristus.
76
Dengan melakukan serangkaian proses konversi agama, pada intinya ialah keluarga
mencari dan menginginkan keselamatan bagi hidup mereka. Oleh karena itu, mereka
memutuskan untuk menjadi pengikut-pengikut Kristus. Sebab di dalam Kristen,
mengajarkan serta meyakini bahwa melalui Yesus Kristus sebagai Tuhan yang mampu
menyelematkan manusia. Pernyataan tersebut diperkuat dalam Yohanes 10:9: “Akulah
pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar
dan menemukan padang rumput.” Melihat pernyataan tersebut, maka nampak
keputusan dan tindakan keluarga Bpk.Nariyoto sebagai sesuatu yang benar. Untuk
memperoleh hidup yang lebih baik lagi, dengan memperoleh keselamatan sebagai
tujuannya, maka mereka harus menemukan dan mengenal lebih dalam mengenai
Kristus sebagai Tuhan. Dan pengenalan tersebut hanya dapat ditemukan dengan
mengikuti ajaran-ajaran-Nya yang terdapat di dalam agama Kristen.