bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. kebijakan …
TRANSCRIPT
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Fiskal pada Masa Umar bin Khattab
Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab dipandang
sebagai Khalifah yang sukses dalam meningkatkan serta
mewujudkan umat Islam di tengah-tengah umat yang semakin hari
semakin luas jangkauannya. Terdapat beberapa karakteristik
dalam kepemimpinannya yang berhasil dalam pengembangan umat
Islam, baik dalam pengembangan umat Islam, baik dalam
kehidupan sosial, politik, maupun kehidupan ekonomi.
Dalam bidang politik serta ekonomi, Umar bin Khattab sudah
berhasil memperluas kekuasaan politiknya hingga persia, Mesir
dan Syiria.Ekspansi daerah ini, dilengkapi pula dengan seperangkat
peraturan baru, di samping memperbaiki dan mengadakan
perubahan terhadap peraturan-peraturan yang ada. Misalnya,
menyusun dewan-dewan (jawata-jawatan), mendirikan baitul maal,
membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas,
mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan
pos, menciptakan tahun hijrah, dan mengadakan hisbah
(pengawasan terhadap pasar dan pengontrolan terhadap timbangan
68
dan takaran), pengawasan kesehatan dan sebagainya.120
Dalam pengaturan perekonomian negara, Umar
merencanakannya dengan matang, memberikan pengarahan serta
pemecahan kala menghadapi permasalahan. Upaya ini pula
diterapkan dalam masyarakat yang bermacam macam, antara kaum
Arab Badui dengan penduduk Irak, Persia serta Syam, serta
masyarakat Mesir, ialah wujud masyarakat yang heterogen antara
kaum muslim serta ahli kitab, dan didalam komposisi masyarakat
muslim yang terdiri atas golongan Muhajirin serta Anshar. Mereka
semua telah membantu dakwah Nabi Muhammad saw, serta
sebagian dari mereka sudah masuk Islam pasca penaklukan kota
Mekkah.
Dalam konteks Ekonomi Islam, ternyata sepeninggal Nabi
Muhammad saw, kehidupan ekonomi masyarakat Islam masih
belum tertata dengan baik, bahkan dengan terus menjadi luasnya
wilayah kekuasaan Islam, nyatanya perkara ekonomi yang
dihadapipun semakin banyak.121
Apalagi pada zaman Abu Bakar
120
Muhadi Zainuddin dan Abd. Mustaqim, Studi kepemimpinan Islam:
Telaah Normatif dan Historis Cet II, (Semarang: Putra Mediatama Press, 2008),
hlm.69. 121
Qutb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 16 dalam Azda Aulia Fajri,
Skripsi: “Kebijakan Khalifah Umar Ibn Khattab dalam Menanggulangi Kemiskinan”,
(Semarang : UIN Sultan Agung, 2018), hlm. 4.
69
yang banyak hadapi pemberontakan dari golongan munafik,
terdapatnya nabi palsu serta suku-suku yang ingin keluar dari
kekuasaan.
Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tersebut,
Khalifah Umar bin Khattab (dari 12 H s/d 23 H/ 634 M s/d 644 M)
membuat beberapa kebijakan atau terobosan yang berbeda dengan
Nabi Miuhammad saw serta Khalifah Abu Bakar ra dalam bidang
perekonomian untuk meningkatkan kehidupan ekonomi
masyarakat serta negara yang dipimpinnya.122
1. Pendapatan pada masa Umar bin Khattab
a. Baitul Maal
Seiring dengan wilayah kekuasaan Islam yang
semakin meluas pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab, pendapatan negara juga mengalami kenaikan
yang signifikan. Hal ini tentu saja memerlukan
pengelolaan yang baik. Setelah melakukan musyawarah
dengan para pemuka sahabat, Khalifah Umar bin Khattab
mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta
Baitul Maal secara langsung namun dikeluarkan secara
122
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab: Sebuah Biografi Cet.
VIII, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Lintera Antarnusa, 2008), hlm. 15.
70
bertahap sesuai kebutuhan. Baitul Maal yang pada saat itu
didirikan oleh Rasulullah saw, dan diteruskan oleh Abu
Bakar Al-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada
masa pemerintahan Umar bin Khattab. Kontribusi terbesar
yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab adalah
pembangunan administrasi yang tertata dengan rapih.123
Dalam catatan sejarah, pada tahun 16 H pembangunan
institusi Baitul Maal dilatarbelakangi oleh kedatangan
Abu Hurairah yang saat itu sedang menjabat sebagai
Gubernur bahrain dengan membawa harta hasil
pengumpulan pajak al-kharaj sebesar 500.000 dirham.
Karena jumlah yang sangat besar itu Khalifah Umar
berinisiatif memanggil dan mengajak musyawarah para
sahabat tentang penggunaan dan Baitul Maal tersebut.
Setelah diskusi panjang, Khalifah Umar memutuskan
untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Maal, tetapi
akan disimpan sebagai cadangan dana, baik untuk
keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun
123
M. A. Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rashida,
Journal of Islamic Banking and Finance, Vol.2 No. 4, 1985, hlm. 51.
71
kebutuhan umat lainnya.124
Selanjutnya, pada tahun yang sama, didirikan Madinah
sebagai pusat lembaga Baitul Maal pertama kalinya,
kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabang di
ibukota provinsi. Untuk mengawasi lembaga tersebut,
ditunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara
dean Abdurrahman ibn Ubaid Al-Qari dan Muayqab
sebagai wakilnya. Setelah penaklukan Syiria, Sawad
(Irak) dan Mesir, pendapatan Baitul Maal mengalami
kenaikan secara substansial, kharaj dari Sawad mencapai
seratus juta dinar serta Mesir dua juta Dinar.125
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
pendirian Baitul Maal membawa dampak positif dalam
pemerintahan Umar bin Khattab sebagai tempat untuk
mengatur keuangan Negara dan pelaksana kebijakan
fiskal. Namun meskipun demikian, dalam kebijakan yang
diterapkan Baitul Maal, Khalifah tidak diperbolehkan
menggunakan harta Baitul Maal untuk kepentingan
pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah
124
Ibid. 125
Ibid.
72
untuk setiap tahunnya adalah sebesar 5000 dirham, dua
stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan
musim dingin serta seekor binatang sebagai kendaraan
dalam menunaikan ibadah haji.126
Dalam pendistribusian harta Baitul Maal, Para pejabat
tidak memiliki wewenang dalam membuat keputusan
yang berkaitan dengan Baitul Maal meskipun memiliki
wewenang dan tanggung jawab. Kekayaan negara
diperuntukkan untuk golongan-golongan tertentu dalam
masyarakat dan darus dipergunakan sesuai dengan
prinsip-prinsip Al-Quran.127
Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta kaum
Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya
berperan sebagai pemegang amanah. Negara bertanggung
jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-
anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai
penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-
orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus
tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani yang
126
Ibid. 127
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016), hlm. 61.
73
membunuh seorang kristiani untuk menyelamatkan
nyawanya, serta memberikan pinjaman tanpa bunga untuk
tujuan komersil, seperti Umar yang pernah meminjam
sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya.128
Dalam pendistribusian harta Baitul Maal, khalifah
Umar bin Khattab mendirikan departemen-departemen,
yaitu:129
a. Departemen Pelayanan Militer
Departemen ini mempunyai fungsi untuk
menyalurkan dana bantuan kepada orang-orang yang
terlibat dalam peperangan. Besarnya dana bantuan
yang didapat ditentukan oleh jumlah tanggungan
keluarga setiap penerima dana.
b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif
Departemen ini mempunyai tanggung jawab
dalam pembayaran gaji para hakim dan pejabat
eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal,
yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi
128
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 52 129
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bakti
Wakaf, 1995), hlm. 169-173
74
kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik
suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan
jikapun terdapat perbedaan, hal itu tetap dalam batas-
batas kewajaran.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam
Departemen ini menyalurkan bantuan dana bagi
penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta
keluarganya, seperti guru dan juru dakwah
d. Departemen Jaminan Sosial
Departemen ini berfungsi untuk menyalurkan
dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-
orang yang menderita.
Pada Tahun 20 H, Khalifah Umar membentuk
sitem diwan bersamaan dengan reorganisasi Baitul
Maal.130
Dalam hal ini, ia menunjuk sebuah komite
nassab ternama yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib,
Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Mut‟im untuk
membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan
130
Irfan Mahmud Ra‟ana, Op. Cit., hlm.155.
75
tingkat kepentingan dan golongannya.131
Daftar
tersebut disusun secara berurutan dimulai dari orang-
orang yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan Nabi Muhammad Saw, para sahabat yang ikut
berperang dalam Perang Badar dan Uhud, para
imigran ke Abysinia dan Madinah, para pejuang
perang Qadasiyyah atau orang-orang yang
menghadiri perjanjian Hudaibiyah, dan seterusnya.
Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga
mendapat tunjangan sosial.132
Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa peran Baitul
Maal dalam tata kelola keuangan Negara memiliki peran
yang sangat penting ditambah lagi dengan pendirian
cabang Baitul Maal di ibukota dan pembentukan
departemen-departemen memudahkan Umar bin Khattab
dalam mengelola keuangan sehingga lebih terstruktur.
b. Kharaj
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, jumlah
kharaj yang dibayar masih sangat terbatas sehingga sistem
131
Ibid., hlm. 156. 132
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 51.
76
administrasi yang terperinci tidak diperlukan. Selama
pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam
semakin meluas karena banyaknya daerah-daerah yang
ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara
damai. Hal ini memunculkan permasalahan baru,
kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap
kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan. Para
tentara dan para sahabat terkemuka menuntut untuk tanah
taklukkan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat
dalam peperangan sementara sebagian kaum muslimin
yang lain tidak menyetujui pendapat tersebut. Muadz bin
Jabal, salah satu orang yang tidak menyetujui pendapat itu
mengatakan.
“Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya
tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan
menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan
meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik
seseorang saja. Ketika generasi selanjutnya datang dan
mereka mempertahankan Islam dengan sangat berani
namun mereka tidak akan menemukan apapun yang
77
tersisa. Oleh karena itu, carilah sebuah rencana yang baik
dan tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang
akan datang kemudian.”133
Untuk menentukan kebijakan apa yang akan diambil
atas kepemilikan tanah tersebut, Umar mengadakan
pertemuan dengan para komandan militer dan pemimpin
pasukan di Djabiya. Setelah perdebatan panjang, Khlaifah
Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah
tersebut sebagai fa‟i, dan prinsip yang sama digunakan
untuk kasus-kasus yang akan datang. Sayyidina Ali yang
tidak hadir pada pertemuan itu karena sedang
menggantikan posisi Umar sebagai khalifah di Madinah,
diriwayatkan idak sepenuhnya setuju dengan pandangan
Umar. Ia berpendirian bahwa seluruh pendapatan Baitul
Maal harus di distribusikan seluruhnya tanpa menyisakan
sedikitpun sebagai cadangan.134
Khalifah Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah
taklukan kepada kaum Muslimin, tetapi membiarkan
tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat
133
Ibid., hlm. 53-54. 134
Ibid.
78
membayar kharaj dan jizyah. Umar memiliki alasan atas
kebiajkannya itu, menurutnya penaklukkan yang
dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi tanah
yang sangat luas sehingga apabila tanah tersebut dibagi-
bagikan dikhawatirkan akan mengarah pada praktik tuan
tanah. Khalifah Umar juga melarang bangsa Arab untuk
menjadi petani karena mereka bukan ahlinya.
Menurutnya, pemberian lahan pertanian kepada yang
bukan ahlinya sama saja dengan perampasan hak-hak
publik. Ia juga menegaskan bahwa negara berhak untuk
mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan
pemiliknya dengan memberikan ganti rugi secukupnya.135
Kharaj sendiri merupakan pajak khusus yang
diberlakukan negara atas tanah-tanah produktif yang
dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu negara
memiliki hak untuk menyita tanah yang berpotensi namun
ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar alasan
kemaslahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak
negara dalam penentuannya. Dan negara sebaiknya
135
Ibid., hlm. 35-39
79
menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi
perekonomian yang ada.136
Pembayaran pajak terbagi menjadi dua bagian sesuai
keadaan tanah atau bumi, yaitu:137
1) Bumi yang pemiliknya sudah memasuki Islam. dalam
kodisi seperti ini tanah itu menjadi sah kepunyaan
orang muslim sehingga tidak ada kewajiban
membayar kharaj.
2) Bumi perdamaian yaitu setiap bumi yang
penduduknya membuat perjanjian perdamaian dengan
negara Islam untuk tetap memiliki tanah mereka.
Dalam kondisi seperti ini, tanah tersebut tidak akan
diganggu gugat dengan syarat membayar kharaj.
Dalam penarikan kharaj, cara yang digunakan pada
masa Umar bin khattab dibagi dalam dua bagian :138
1) Muqassamah. Sistem ini ditetapkan berdasarkan hasil
dari porsi tanah tersebut yaitusepertiga atau setengah
ketika selesai panen dan harus diserahkan kepada
136
Al-Fadli, “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Perspektif Ekonomi
Islam”, Jurnal Islamika, Vol. 15 No. 1, 2015, hlm. 38. 137
Ibid. 138
Muhammad Qal‟ahji, Op. Cit., hlm. 332 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 17.
80
Baitul Maal.
2) Wazifah.Sistem ini mewajibkan pemilik tanah
membayar jika telah lewat satu tahun dengan
ketetapan yang berlaku.
Jika dilihat dari sistem yang dipakai pada masa Umar
bin Khattab, Umar menetapkan tarif atau besaran kharaj
dan membaginya berdasarkan tanah produktif dan non-
produktif. Untuk tanah produktif, besaran tarif ditetapkan
dari hasil tanah setelah panen. Sedangkan untuk tanah non
produktif, Umar menetapkan pajak setelah lewat masa
satu tahun. Maka dapat dipahami bahwa penetapan kharaj
sangat diperlukan untuk mengantisipasi agar terpenuhinya
kesejahteraan dan kemaslahatan umat.
c. Zakat
Pada masa Rasulullah saw, jumlah kuda di Arab
tergolong sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh
kaum muslimim karena akan digunakan untuk kebutuhan
pribadi dan jihad. Misalkan pada perang Badar, pasukan
kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang hanya
memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan suku Bani
81
Quraizha (5H), ada 36 kuda yang dimiliki pasukan kaum
muslimin. Di tahun yang sama, Hudaybiyah memiliki
sekitar dua ratus kuda. Zakat diwajibkan atas barang-
barang yang memiliki produktivitas, maka budak atau
kuda yang dimiliki kaum Muslimin saat itu tidak
dibebankan zakat.139
Pada periode selanjutnya, kegiatan beternak dan
memperdagangkan kuda dilaksanakan secara besar-
besaran di Syiria dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam
lainnya. Kuda pada saat itu mempunyai nilai jual yang
fantastis, pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab
Taghlabi diperkirakan berniali 20.000 dirham. Karena
perdagangan kuda yang semakin marak, orang-orang
Islam yang terlibat dalam perdagangan menanyakan
kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syria tentang kewajiban
membayar zakat kuda dan budak. Abu Ubaidah
mengatakan bahwa tidak ada zakat atas keduanya.
Kemudian, diusulkanlah kepada Khalifah agar ditetapkan
kewajiban zakat atas keduanya. Akhirnya, sejak saat itu
139
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm.55.
82
ditetapkan zakat kuda setelah saat itu terjadi penolakan
oleh Khalifah Umar. Zakat kuda ditetapkan sebesar satu
dinar.140
Di antara beberapa barang, Abu Bakar membebani
zakat terhadap war, sejenis rumput herbal yang digunakan
dalam pembuatan bedak dan parfum. Sementara itu, Umar
mengenakan khums zakat atas karet yang ditemukan di
semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, serta hasil
laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai
hadiah dari Allah SWT.141
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa
pemilik sarang lebah tidak ingin membayar usyr tetapi
menginginkan sarang-sarang lebah tersebut agar
dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila
mereka bersedia membayar usyr maka sarang lebah
mereka akan dilindungi. Namun, jika mereka menolak
maka sarang lebah tersebut tidak akan memperoleh
perlindungan. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar
mebedakan madu yang diperoleh dari pegunungan dengan
140
Ibid., hlm. 55. 141
Ibid., hlm. 55.
83
madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan
adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan
sepersepuluh untuk madu jenis kedua.142
Zakat pada awalnya diwajibkan tidak di tetapkan
kadar dan jumlahnya, namun hanya diwajibkan untuk
memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun kewajiban
membayar zakat dengan kadar dan nisab itu ditetapkan
ketika Rasulullah hijrah ke Madinah.
Pada masa kekhalifahan Umar pendapatan zakat
sebagai pendapatan negara sangat melimpah. Umar yang
diangkat menjadi khalifah sudah mengeluarkan fatwa
sebagai kebijakannya tentang zakat. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan Umar mengenai Zakat adalah:143
1) Zakat barang-barang perniagaan,
2) Zakat mata uang emas dan perak,
3) Zakat binatang ternak,
4) Zakat sayur-sayuran dan buah-buahan,
5) Zakat madu yang dijual bukan untuk dikonsumsi,
142
Ibid., hlm. 56. 143
Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, al-Fatawa wa al-„Aqidah Amirul
Mukminim Umar ibn al-Khathtab Cet II, Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya :
Risalah Gusti, 2003), hlm. 96-116 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 14.
84
6) Zakat kuda yang diperjual-belikan.
Berdasarkan penjelasan mengenai kebijakan mengenai
zakat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat
sebagai instrument fiskal telah dijadikan sebagai
pendapatan utama. Dalam prinsip maqashid syariah
keberadaan zakat dapat memelihara kebutuhan
dhaururiyat yaitu memelihara jiwa dan harta. Zakat
menjadi solusi untuk masalah rakyat sehingga zakat
mempunyai nilai lebih dalam hal kemaslahatan rakyat,
karena dengan adanya zakat dapat membatu
perekonomian umat muslim.
d. Usyr
Sebelum kedatangan Islam, pembayaran pajak (usyr)
jual-beli (maqs) sudah biasa dilakukan oleh setiap suku
atau kelompok yang tinggal di pedesaan sebesar sepuluh
persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap
transaksi. Namun, setelah Islam datang dan menjadi
sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab,
inisiatif diambil oleh nabi untuk mendukung usaha
perdagangan dengan menghapus bea masuk antar
85
provinsi. Disebutkan bahwa pembebanan sepersepuluh
hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis)
diriwayatkan sebagai kebijakan pertama pada masa
Umar.144
Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi
yang meminta izin kepada khalifah memasuki Muslim
agar dapat melaksanakan perdagangan dengan membayar
sepersepuluh dari nilai barang. Umar akhirnya
memberikan izin setelah berkonsultasi dengan dengan
beberapa sahabat yang lain. Namun, ada kasus khusus
sewaktu Abu Musa Al-Asy‟ari menulis pesan kepada
Umar yang menyatakan bahwa pedagang Muslim
dikenakan pajak sepersepuluh di tanah harbi. Kemudian
disarankan oleh Khalifah Umar agar membalasnya dengan
mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normaal
kepada mereka. Alasan ditetapkan hukum usyr adalah jika
tidak diterapkan atas dagangan orang kafir dari dagangan
mereka yang diambil modalnya, maka harga barang
dagangan mereka akan lebih mahal dibandingkan dengan
barang kaum muslimin dan pada akhirnya akan merugikan
144
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56.
86
kaum muslimin sendiri. Jadi usyr harus ditetapkan karena
orang-orang kafir yang mendatangi negara Islam dengan
tujuan untuk berdagang kebanyakan melakukan
monopoloi perdagangan di daerah Islam ditambah lagi
dalam negara Islam terdapat barang yang sama dengan
yang dibawa oleh orang kafir harbi.145
Umar bin Khattab juga menetapkan usyr karena
penyebaran Islam yang semakin meluas. Dengan
bertambahnya penyebaran Islam menyebabkan
pendapatan usyr juga bertambah. Khalifah Umar
menerapkan usyr karena melihat negara-negara luar
menetapkan sepersepuluh kepada setiap orang yang
melewati negaranya. Maka dari itu, Umar ingin
mengetahui berapa jumlah yang diambil dari pedagang-
pedagang muslim yang melewati negara tersebut untuk
melakukan perdagangan.
Dalam sejarah Islam, penduduk yang pertama kali
dipungut pajak dari harta usyr adalah masyarakat Ming dari
kaum kafir harbi, hukum usyr bukan bersumber dari al-
145
Ibid.
87
Qur‟an atau al-hadits. Usyr bersumber dari ijtihad khalifah
Umar dan kesepakatan para sahabat setelah dilakukan
musyawarah oleh Umar.
Ijtihad Umar bin khattab adalah semua barang yang
dibawa oleh para pedagang saat melewati perbatasan negara
baik dalam bentuk uang atau barang yang diperdagangkan.
Ijtihad lainnya yang dilakukan khalifah Umar selama
menjabat sebagai pemimpin adalah membedakan
pengambilan harta usyr dari orang Islam, kafir Dzimmi dan
pedagang yang ikut memerangi orang Islam. Harta usyr
diterapkan kepada kafir dzimmi dan tidak untuk kafir Harbi,
dengan alasan karena orang-orang Dzimmi mendapatkan
perlindungan dari orang Muslim. Sedangkan untuk kafir
Harbi sangat sulit diminta usyr maupun harta jizyahnya.
Adapun ketentuan usyr yang diterapkan pada masa
Umar sebagai berikut:
1) Pajak usyr diterapkan hanya pada harta perdagangan,
maka selain barang dagangan tidak akan dikenakan
pajak usyr.146
146
Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 101 dalam Sulaeman Jajuli,
88
2) Ada perbedaan versi pajak usyr dalam tingkat
ukurannya. Tingkat ukuran yang paling umum
ditetapkan adalah 2,5% untuk perdagangan muslim, 5%
untuk kafir dzimmih, dan 10% untuk kafir harbi dengan
asumsi harga barang melebihi dua ratus dirham.147
Ziyad
ibn Hudair, seorang asyir atau pengumpul usyr di
jembatan Efrat menyatakan biasanya hanya
mengumpulkan usyr dari para pedagang Roma saja.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kafir harbi yang
tinggal di negara Islam selama periode 6 bulan atau
kurang dikenai sepuluh persen dan apabila
memperpanjang masa tinggal hingga satu tahun, mereka
dikenakan pajak sebesar 5%.148
3) Pajak perdagangan nabati dan kurma Syria sebesar 50%.
Hal ini dikarenakan untuk memperlancar arus
pemasukan bahan makanan ke kota-kota.149
4) Menurut sumber dijelaskan bahwa khalifah Umar
setelah beberapa waktu, beliau menurunkan
hlm. 15.
147 Adiwarman Azwar Karim, Op. Coit., hlm.. 71.
148 M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56.
149 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
102.
89
presentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum.
Hal ini dilakukan untuk mendorong import barang-
barang tersebut dikota ditambah lagi karena kaum
muslimin saat itu benar-benar membutuhkan kedua
barang tersebut.150
5) Khalifah Umar juga tidak memungut pajak usyr dua kali
dalam setahun walaupun barang tersebut diperbarui.151
Karena, pernah ada sebuah kasus tentang seorang
Taghlibi yang datang ke wilayah Islam untuk menjual
kudanya. Kuda tersebut bernilai 20.000 dirham setelah
dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir. Oleh
karena itu, Zaid memintanya untuk membayar 5%
sebagai usyr yaitu 1000 dirham. Uang tersebut sudah
dibayarkan tetapi kuda tersebut tidak terjual sehingga ia
menarik kembali kudanya. Beberapa waktu berlalu,
Taghlibi tersebut datang kembali bersama kudanya
namun pemungut pajak meminta kembali usyr
kepadanya. Ia menolak untuk membayar dan
mengadukan permasalahan ini kepada Umar. Setelah
150
Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit., hlm. 72. 151
Ibid.
90
mendengar permasalahan tersebut, Umar
mengintruksikan para pegawainya agar tidak menarik
usyr dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut
diperbarui.152
Dalam berbagai kajian yang disajikan diatas, maka dapat
dipahami bahwa usyr diberlakukan kepada barang dagangan
yang masuk ke dalam wilayah Islam dengan menetapkan
batas minimal yaitu 200 dirham.Hal ini bertujuan untuk
mengendalikan peredaran barang.Usyr mempunyai peran
sebagai instrument fiskal dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan rakyat.
e. Ghanimah
Ghanimah adalah harta yang dirampas orang-orang
Islam dari tentara kafir melalui jalan perang.153
Dalam
ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar, sebagai
contoh pada saat penaklukan Negeri Syam. Harta rampasan
perang banyak didapatkan oleh orang-orang Islam. Inilah
yang menjadi dasar dalam kebijakan pembagian ghanimah
yang dibuat oleh Umar. Pembagian ghanimah terbagi
152
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56. 153
Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm. 83 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4.
91
menjadi tiga macam, antara lain:154
1) Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala
Negara, harta ini tidak boleh dibagi-bagikan.
2) Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan ibnu sabil. Setelah Rasul wafat, Abu Bakar
menghentikan bagian Rasul dan kerabat Rasul,
menggantikannya ke fakir miskin. Kemudian, hal ini
diikuti oleh Umar yang membagikannya kepada fakir,
miskin, dan ibnu sabil.
3) Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut
bereperang
Mengenai tentara, Umar mempunyai beberapa syarat
untuk tentara-tentara Islam dalam mendapatkan bagian
ghanimah anatra lain:155
a) Ikut Berperang. Pernah ada kisah tentang Bani
Athraid (Penduduk Basrah yang berperang dengan
penduduk Mah). Saat itu, Bani Athraid meminta
bantuan kepada Amar bin Yasir dari Kufah yang
154
Ibid., hlm. 84-86 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4. 155
Ibid., 86-87 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4.
92
datang setelah perang selesai, Ammar berkata:
“Kami termasuk yang diikutkan dalam pembagian
harta rampasan kalian.” Kemudian seorang lelaki
dari Bani Athraid berkata bahwa “wahai orang yang
tepotong telinganya (telinga beliau terpotong akibat
dari peperangan), kamu mau mendapatkan bagian
harta itu?” lalu Ammar berkata, “Kalian telah
mencela telinga yang paling saya cintai ini.”
kemudian beliau mengirim surat kepada Umar dan
Umar menjawabnya: “Harta rampasan itu hanya
untuk orang-orang yang ikut perang.”
b) Merdeka, Umar berkata “seorang hamba sahaya
tidak mempunyai hak bagian atas harta rampasan
perang jika dia ikut bersama tuannya, tetapi jika dia
ikut perang atas kehendaknya sendiki, maka dia
mendapatkan bagian,” dan Umar mengatakan dalam
tulisannya, “setiap hamba sahaya yang berperang
dan tidak bersama tuannya, maka berikan dia seperti
bagian orang merdeka.”
93
c) Baligh, Umar tidak membagikan ghanimah kepada
tentara yang belum baligh.
Maka dapat peneliti simpulkan bahwa ghanimah adalah
harta yang diambil dari musuh melalui cara perang. Bentuk-
bentuk harta yang diambil tersebut bisa berupa harta
bergerak, harta tidak bergerak dan tawanan perang. Namun
pada masa Umar bin Khattab, ditetapkan bahwa jenis harta
yang boleh diambil oleh pasukan Islam yang telah
memenangkan peperangan adalah harta bergerak saja.
Karena harta bergerak yang sesuai dengan „urf atau
kebiasaan.
f. Jizyah
Jizyah pada awalnya hanya diharuskan untuk kaum
lelaki bukan kepada kaum wanita ataupun anak-anak, sebab
lelakilah yang paling banyak melakukan peperangan
sementara wanita dan anak-anak tidak turut berperang. Jika
seorang kafir dzimmi masuk Islam, maka jizyah dihapuskan
darinya. Rasulullah bersabda “tidak ada jizyah untuk
seorang muslim.”156
156
Esti Alfiah, “Pemikiran Ekonomi Umar bin Khattab tentang Kebijakan
94
Ada empat golongan yang mendapat kewajiban
membayar jizyah :157
a) Ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
b) Orang yang memiliki sesuatu yang menyerupai kitab,
yaitu orang-orang Majusi.
c) Orang Mutad, yaitu orang yang pada awalnya beragama
Islam kemudian keluar daru Islam dan pindah ke agama
lain.
d) Orang-orang Nasrani dari Bani Taghlib
Orang-orang Nasrani dari Bani Taghlib merupakan
orang Arab yang sebelumnya Jahiliyyah kemudian
masuk Nasrani. Umar pernah mengajak mereka agar
masuk Islam tapi mereka tidak menyetujuinya.
Kemudian Umar mengajak mereka untuk berdamai dan
diharuskan membayar pajak. Mereka berkata, “Kami
adalah orang Arab, ambilah harta kami sebagaimana
kalian mengambilnya dari saudara kalian, yaitu atas
nama shadaqah.” Lalu Umar menjawabnya, “Kami
tidak akan mengambil shadaqah dari orang musyrik.”
Fiskal”, Jurnal Ekonomi AL-INTAJ, Vol. 3 No. 1, 2017, hlm. 60.
157 Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm.315 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm.
6.
95
Lalu Nu‟man bin Zur‟ah mengusulkan kepada Umar
untuk menerima permintaan mereka, agar Bani Taghlib
tidak membantu musuh pemerintah Islam yaitu Negara
Rum karena ada diantara mereka yang bergabung
dengan Negara Rum. Oleh sebab itulah, Umar
menyetujui untuk mengambil upeti, akan tetepai Umar
melipat gandakan zakat atau shadaqah yang diambil.158
Adapun kebijakan jizyah Umar bin Khattab sebagai
berikut :
1) Umar bin Khattab menetapkan jizyah untuk kaum lelaki
dengan standar sebagai berikut :159
TABEL 4.1
Penetapan Tarif Jizyah
Penghasilan Jumlah Keterangan
Tinggi 48
dirham
Orang kaya, seperti pekerja
penukaran mata uang atau
pemilik swalayan, pemilik
barang-barang langka, pedagang
dan dokter.
Menengah 24
dirham
158
Ibid., hlm. 317 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 6. 159
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 65-66 dalam Esti Alfiah, hlm. 60.
96
Minim 12
dirham
Orang miskin yang bekerja
seperti penjahit, penenun,
penjualan minuman dan
semacamnya.
Sumber: Badri Yatim, 2002
2) Khalifah Umar memberikan keringanan kepada
golongan berikut ini :160
a) Penjaga kuil dan para pendeta yang hanya tinggal di
rumah. Namun apabila mereka kaya, maka tetap
dikenakan jizyah. Jika mereka memberikan harta
kepada orang yang mengurusi rumahnya, maka
jizyah akan dikenakan pada pemilik rumah tersebut.
Jika dia tidak mengaku atas kepemilikannya dan
telah disumpah dengan nama Allah atau menurut
keyakinannya, bahwa di tidak memiliki sepeserpun
hartanya, maka ia dibiarkan dan tidak dipungut
jizyah.
b) Lelaki tua yang sudah tidak lagi dapat bekerja dan
tidak bisa melakukan apa-apa.
c) Orang yang masuk Islam. Apabila kafir dzimmi
160
Ibid., hlm 67-68.
97
masuk Islam, maka jizyah tersebut dihapuskan
darinya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
“tidak dikenakan jizyah bagi orang yang muslim.”
Dalam kebijakan mengenai jizyah di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa jizyah merupakan pajak
yang ditetapkan kepada kaum non muslim atas jaminan
tinggal di wilayah Islam, kebebasan menjalankan agama
dan perlindungan atas hidup.
g. Fa’i
Dalam salah satu kitab tafsir, harta fa‟i dijelaskan
didapatkan bukan dari dari peperangan tetapi harta murni
yang didapatkan dari orang-orang kafir dengan cara sukarela
tanpa paksaan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tafsir
Ibn Katsir, “Fa‟i adalah harta yang diambil dari orang-
orang kafir dengan tanpa ada peperangan didalamnya dan
tanpa pengerahan kuda atau unta.”161
Pembagian harta fa‟i dibagi menjadi lima bagian
sebagaimana Umar berpendapat harta fa‟i dalam pembagian
sama dengan ghanimah yaitu seperlima dari ghanimah
161
Sulaeman Jajuli, Op. Cit., hlm. 17.
98
dibagikan kepada Allah dan RasulNya, Kerabat Rasul, Anak
Yatim, Fakir Miskin, Ibnu Sabil. Sedangkan sisanya
dibagikan kepada mereka yang ikut pertempuran.162
Umar pernah mengumpulkan orang-orang dan
mengatakan kepada mereka.
“Saya ingin menempatkan harta fa‟i ini sesuai dengan
tempatnya agar setiap orang bisa mendapatkan manfaatnya”.
Jika dilihat dari kebijakan yang digunakan Umar bin
Khattab, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Umar
harta fa‟i harus diambil seperlimanya.163
Penggunaan
seperlima harta fa‟i digunakan seperti penggunaan
seperlima harta rampasan (ghanimah). Dalam
pembagiannya, Abu Bakar dan Umar sudah menghilangkan
bagian Rasulullah setelah beliau wafat dan memberikannya
untuk makan kuda atau membuat pedang, dan tidak
mewariskan kepada para sanak keluarganya.164
Pembagian
harta fa‟iuntuk kerabat Rasul tadinya diberikan Abu bakar
danUmar pada awal pemerintahannya. Setelah itu Umar
162
Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm. 65 dalam Ali Ridho, “Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab”, Jurnal Al‟-Adl, Vol.6 No. 2, 2013, hlm. 11. 163
Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm.66 dalam Ali Ridho, hlm. 12. 164
Ibid., hlm.66 dalam Ali Ridho, hlm. 13.
99
menghapus pembagian harta fa‟i untuk kerabat Rasul sebab
Umar dalam ijtihad-nya bahwa surah al-Hasyr yang
membahas harta fa‟i menyebutkan kerabat Rasul
memperoleh bagian, kemudian oleh Umar ayat tersebut di-
naskh dengan surah al-Anfal yang membahas tentang
pembagian ghanimah bahwa ayat tersebut tidak
menyebutkan bagian yang wajib diterima oleh kerabat
Rasul. Sehingga Umar tidak membagikan bagian fa‟i
kepada Kerabat Rasul.165
Dalam penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat
dipahami bahwa fa‟i merupakan harta yang diperoleh dari
orang-orang kafir seperti halnya ghanimah. Namun fa‟I
diperoleh berdasarkan kerelaan hati dan tergolong sedekah
sedangkan ghanimah diperoleh dengan paksa setelah
kemenangan.
2. Belanja Negara pada masa Umar bin Khattab
Dalam menetapkan kebijakannya, Khalifah Umar
menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai pedoman. Selain itu
Umar juga melanjutkan kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW
165
Ibid., hlm.68-69 dalam Ali Ridho, hlm. 14.
100
dan khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Namun dalam kebijakan
yang diterapkan Umar, beliau menambahkan pembaharuan
kebijakan dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat
pada zaman tersebut.166
Dengan demikian, khalifah Umar bin Khattab menerapkan
prinsip keadilan dalam mendistribusikan harta Baitul Maal.
Menurutnya dalam menetapkan bagian seseorang dari harta
negara harus diperhitungkan kesulitan yang dihadapi, karenanya
keadilan dalam memperjuangakan Islam harus dipertahankan
dan dibalas dengan sebaik-baiknya.167
a. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Pendapatan negara yang telah didapatkan akan
digunakan dalam berbgai pembiayaan umum. Terbagi
menjadi empat bagian belanja negara, yaitu:168
1) Khusus untuk mengeluarkan harta zakat, yaitu kaum
fakir miskin, orang yang menangani zakat, orang yang
terpikat oleh Islam, budak, orang yang terjerat hutan,
Sabilillah dan Ibnu Sabil.
166
Esti Alfiah, Op. Cit., hlm. 66 167
Afzalurrahman, Op. Cit., hlm. 164 168
Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 108-109 dalam Sulaeman
Jajuli, hlm. 14.
101
2) Khusus untuk pengeluaran dari seperlima harta
rampasan, yaitu untuk Allah SWT.
3) Khusus untuk pengeluaran harta yang diberikan kepada
Baitul Maal berupa barang temuan dan peninggalan
yang tidak memiliki ahli warisnya. Maka pemasukan ini
akan diberikan sebagai infaq kepada kaum fakir.
4) Khusus untuk pembiayaan kemaslahatan umum. Dalam
hal ini, digunakan dari sumber pemasukan jizyah, kharaj
dan usyr.
Ada perbedaan menurut pendapat Adiwarman Azwar
Karim dan pendapat Muhammad Hidayat yang dikutip Irfan
Mahmud Ra‟ana tentang klasifikasi dan alokasi pendapatan
negara, yaitu:169
1) Pendapatan zakat dan usyr. Pendapat ini didistribusikan
di tingkat lokal dan apabila terdapat surplus, sisa
pendapatannya disimpan di Baitul Maal pusat dan
diberikan kepada delapan ashnaf.
2) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini
didistribusikan kepada fakir miskin untuk membiayai
169
Adiwarman Azwar karim, Op. Cit., hlm. 74.
102
kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah
seorang muslim atau bukan.
3) Pendapatan kharaj, fa‟i, jizyah, usyr (pajak
perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini
digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana
bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
4) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan dalam
pembayaran para pekerja, pemeliharaan anak-anak
terlantar dan dana sosial lainnya.
Dari perbedaan kedua alokasi pendapatan ini, dapat
dilihat bahwa pada masa Umar pendapatan dikelola dengan
maksimaal dan dengan sistem yang jelas. Walaupun
terdapat perbedaan yang terletak pada penamaan/istilah saja.
b. Tunjangan
Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing
golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara
umum, jumlah tunjangan yang diberikan adalah sebagai
berikut:170
170
M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 51.
103
TABEL 4.2
Daftar Tunjangan Pengalokasian Pendapatan Negara
No Penerima Jumlah
1. Aisyah dan Abbas ibn Abdul Muthalib Masing-masing
12.000 dirham.
2. Para istri nabi selain Aisyah Masing-masing
10.000 dirham.
3. Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badar Masing-masing
5.000 dirham.
4. Para Pejuang Uhud dan migran ke Abysinia Masing-masing
4.000 dirham.
5. Kaum Muhajirin sebelum peristiwa Fathul
Makkah
Masing-masing
3.000 dirham.
Sumber: M. A. Sabzwari,1985.
Orang-orang Makkah yang bukan termasuk kaum
Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah
25 dinar, kaum Muslimin yang tinggal di Yaman, Syiria dan
Irak mendapat tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham,
serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui
masing-masing mendapat 100 dirham. Selain itu, kaum
Muslimin mendapat tunjangan pensiun berupa gandum,
minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Peran
negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan
kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga
104
negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi
dalam sejarah dunia.171
c. Belanja Umum Negara
Pengelokasian harta Baitul Maal yang paling penting
adalah dana pensiun, dilanjutkan dana pertahanan negara
dan dana pembangunan.172
1) Pengeluaran Zakat
Orang yang berhak menerima zakat adalah: 173
a) Orang fakir
b) Orang miskin
c) Pengurus zakat
d) Muallaf
e) Memerdekakan budak
f) Orang Berhutang
g) Pada jalan Allah (sabilillah)
h) Orang yang sedang dalam perjalanan
Delapan golongan ini yang berhak mendapatkan
zakat pada masa khalifah Umar. Namun, khalifah Umar
pernah menghentikan pemberian dana zakat untuk
171
Ibid., hlm. 53. 172
Ibid., hlm. 205 173
Ibid.
105
muallaf, memerdekakan budak dan pemberian zakat
kepada satu ahlul bait.174
2) Seperlima harta rampasan
Yang berhak menerima harta rampasan perang
adalah Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil.175
3) Pembiayaan Fasilitas Umum
Pembiayaan kemaslahatan umum termasuk seluruh
pembiayaan atas perangkat kenegaraan dan pemberian
pelayanan kepada rakyat, seperti menggaji karyawan
yang bekerja di kantor-kantor negara, pembiayaan jasa
sosial, asuransi dan pembiayaan atas berbagai tempat
dan perumahan umum serta perencanaan yang telah
dibuat oleh negara untuk kemaslahatan warga negara.176
174
Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 111-117. 175
Rawwas Muhammad, Op. Cit., hlm. 65. 176
Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 128-144.
106
B. Kebijakan Fiskal pada masa Umar Bin Khatab dan
relevansinya di Indonesia
1. Baitul Maal dan Kementerian Keuangan
Dalam setiap pemerintahan, sebuah negara memerlukan
instansi yang mengatur keuangan agar keuangan negara dapat
dikelola dengan baik. Hal ini lah yang membuat pengelola
keuangan di suatu negara memiliki peran yang sangat penting.
Pada masa kepemimpinan atau kekhalifahan Umar bin
khattab, Umar juga membentuk lembaga pengelola keuangan
untuk mengatur kebijakan fiskal di negara yang dipimpinnya.
Pengelola keuangan pada masa khalifah Umar dikenal dengan
nama Baitul Maal.
Baitul Maal adalah salah satu kontribusi Umar yang terbesar
dalam membentuk administrasi yang baik dalam menjalankan
roda pemerintahan. Khalifah Umar membuat kebijakan dengan
mendirikan Baitul Maal secara permanen di Ibu kota kemudian
membangun cabang-cabangnya di daerah-daerah. Hal ini
dilakukan Umar agar dapat mengelola keuangan negara sebagai
cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan
107
lain untu Ummah.177
Tujuan dasar dari membuat Baitul Maal
adalah untuk mengawasi harta dan mengatur urusan pendapatan
dan pengeluaran.
Melirik pada pemerintahan di Indonesia yang juga memiliki
lembaga atau instansi yang bertindak sebagai pengelola
keuangan. Jika pada masa Umar dibangun Baitul Maal, maka
pada pemerintahan di Indonesia keuangan negara dikelola oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.178
Untuk itu maka penelitian ini perlu mendeskripsikan hal-hal
yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan salah satunya
visi dan misi sebagai berikut :
Visi :
Menjadi Pengelola keuangan Negara untuk mewujudkan
perekonomian Indoensia yang produktif, kompetitif, inklusif,
dan berkeadilan untuk mendukung visi dan misi Presiden dan
Wakil Presiden: “Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”.
Misi :
177
M.A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 46. 178
Ali Fikri, Op. Cit., hlm. 208.
108
a Menerapkan kebijakan fiskal yang responsif dan
berkelanjutan,
b Mencapai tingkat pendapatan negara yang tinggi melalui
pelayanan prima serta pengawasan dan penegakan hukum
yang efektif,
c Memastikan belanja negara yang berkeadilan, efektif,
efisien, dan produktif,
d Mengelola neraca keuangan pusat yang inovatif dengan
risiko minimum,
e Mengembangkan proses bisnis inti berbasis digital dan
pengelolaan sumber daya manusia yang adaptif sesuai
kemajuan teknologi.
Dilihat dari tujuan dibentuknya lembaga pengelola
keuangan ini, dapat diketahui bahwa kedua lembaga ini sama
sama memiliki tujuan sebagai pelaksana kebijakan fiskal.
Persamaan dan perbedaan dari kedua lembaga ini juga dapat
dilihat dari dalam daftar tabel di bawah.
109
TABEL 4.3
Perbedaan dan Persamaan Baitul Maal
No Keterangan Baitul Maal Kementerian Keuangan
1. Fungsi Sebagai Kebijakan Fiskal Sebagai Kebijakan
Fiskal
2. Bendahara
Negara
Dikelola oleh Bendahara
Negara yaitu Abdullah ibn
Irqam dan Abdurrahman
ibn Ubaid Al-Qari yang
ditunjuk langsung oleh
Umar bin Khattab.
Dikelola oleh Menteri
Keuangan yang dipilih
langsung oleh Presiden
Republik Indonesia
dalam jangka waktu
lima tahun.
3. Pedoman
Negara
Berpedoman pada Al-
Qur‟an dan Hadits serta
ijtihad-ijtihad bersama
sahabat.
Berpedoman pada
undang-undang yang
berlaku.
Sumber: Kementerian Keuangan, 2020.
Dari perbedaan pedomaan yang dipakai dapat dipastikan
kedua lembaga tersebut juga memiliki perbedaan dalam
pelaksanaan kebijakan fiskalnya.
Umar bin Khattab membagi pendapatan (devisa) negara dan
pendistribusian pendapatan negara (belanja negara) menjadi
empat bagian, seperti pada tabel di bawah :
110
Tabel 4.4
Devisa dan Belanja Negara di masa Umar bin Khattab
Pendapatan Negara Tujuan Penggunaan
Zakat dan Usyr Pendapatan ini didistribusikan di
tingkat lokal dan jika terdapat
surplus, sisa pendapatan tersebut
disimpan di Baitul Maal pusat dan
dibagikan kepada delapan ashnaf.
Ghanimah (khums) dan
Sedekah
Pendapatan ini didistribusikan
kepada fakir miskin atau untuk
membiayai kesejahteraan mereka
tanpa membedakan apakah ia
seorang Muslim atau bukan.
Kharaj, Fa‟i, Jizyah,
dan Sewa Tanah
Pendapatan ini digunakan untuk
membayar dana pensiun dan dana
bantuan serta untuk membiayai
biaya operasional administrasi
kebutuhan militer, dan sebagainya.
Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk
membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar,
dan dana sosial lainnya
Sumber: Gustafa, 2007.
Namun Kementerian keuangan mengatur APBN (anggaran
pendapatan belanja negara) yang sangat berbeda dengan APBN
pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pendapatan negara
111
hanya dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan pajak dan
pendapatan non pajak. Untuk belanja negara, Kementerian
Keuangan mendistribusikan pendapatan negara sebagai Belanja
Pemerintahan Pusat dan mentransfer ke daerah-daerah serta
dana desa.179
TABEL 4.5
Pendapatan Negara Indonesia Tahun 2018 dan 2019
(Triliun Rupiah)
Uraian Tahun
2018 2019 2020
Pendapatan Dalam Negeri Rp 1.894,7 Rp 2.165,1 Rp 2.233,2
G. Penerimaan dalam Negeri Rp 1.893,5 Rp 2.164,7 Rp 2.232,7
3. Penerimaan Perpajakan Rp 1.618,1 Rp 1.786,4 Rp 1.865,7
4. Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp 275,4 Rp 378,3 Rp 367,0
B. Penerimaan Hibah Rp 1,2 Rp 0,4 Rp 0,5
Belanja Negara Rp 2.220,7 Rp 2.461,1 Rp 2. 540,4
C. Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.454,5 Rp 1.634,3 Rp 1.683,5
D. Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 766,2 Rp 826,8 Rp 856,9
Sumber: Informasi APBN, 2018-2020.
Jika dilihat tujuan pengeluaran maka dapat dikatakan kedua
kebijakan tersebut memiliki misi yang sama yaitu untuk
kemaslahatan rakyat. Namun ada perbedaan mendasar terkait
pos perbendaharaan harta negara. Di zaman Umar, pos
perbendaharaan negara dipisahkan sesuai pendapatan dan
179
Informasi APBN 2020, (https://www.kemenkeu.go.id/apbn2020)
112
dikeluarkan sesuai kekhususan tujuan pendistribusian yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan Pemenrintahan
Indonesia menggabungkan seluruh pendapatan dan
mengeluarkannya sesuai perencanaan APBN.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang praktik Baitul
Maal maka Peneliti melakukan wawancara dengan salah satu
prakisi kebijakan terkait penerapan Baitul Maal di Indonesia
dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H.
“Praktek Baitul Maal dalam praktek perpajakan dan
penganggaran yang berlaku di beberapa negara dikenal
dengan earmarking taxes atau earmarking revenues.
Dimana penerimaan pajak atau penerimaan lain dari sebuah
objek pajak/penerimaan dialokasikan secara spesifik kepada
sektor tertentu. Di Indonesia, praktek earmarking taxes
sudah diterapkan secara parsial, khususnya yang berkaitan
dengan beberapa pajak daerah seperti pajak penerangan
jalan. Artinya dalam APBD, belum ada penerapan
earmarking dalam pengalokasian belanja negara. Namun
beberapa alokasi dana bagi hasil yang didaerahkan ada
sebagian alokasi yang diterima oleh daerah harus
dialokasikan secara spesifik untuk sektor tertentu. Salah
satunya dana bagi hasil (hal ini diatur dalam UU
Perimbangan Keuangan) 0,5 persen dialokasikan ke sektor
pendidikan atau persekian persen dana bagi hasil masuk
yang diterima oleh daerah dialokasikan untuk sektor
kesehatan (hal ini diatur dalam UU Masuk). Apakah
memungkinkan earmarkingtaxes secara penuh diterapkan
dalam pengganggaran APBN? Secara keseluruhan (seluruh
sumber penerimaan) di earmarking ke sektor tertentu sangat
sulit diaplikasikan. Hal ini didasarkan pada pembagian
kewewenangan pelayan publik dan penerimaan antar level
pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan
113
kewenangan tersebut terbagi menjadi wajib dan pilihan.
Dengan adanya pembagian kewenangan ini akan
menyulitkan earmarking taxes. Penerapan earmarking taxes
sendiri hanya dimungkinkan dilakukan pada level
pemerintahan daerah bukan pusat.”180
Dari hasil wawancara tersebut, Zulfan mengatakan bahwa
praktek Baitul Maal atau earmarking taxes di Indonesia sudah
dilaksanakan secara parsial namun menurut Zulfan tidak
memungkinkan dan sangat sulit untuk diaplikasikan jika
earmarking taxes dilaksanakan secara penuh di Indonesia.
Pendapat ini diperkuat oleh Prof. Maya Panorama S.E., M.
Si., Ph.D yang mengatakan bahwa:
“Earmarking Taxes tidak bisa diterapkan secara penuh di
indonesia karena beberapa faktor. Faktor pertama karena
Indonesia memiliki dua ekonomi yang mana Indonesia
berkomitmen untuk melakukan duel ekonomi sistem, yaitu
sistem berbasis syariah dan sistem berbasis konvensional.
Faktor kedua karena penerapan earmarking taxes hanya
diperuntukkan untuk alokasi pembangunan dana daerah
tetapi pada sektor-sektor tertentu. Kemudian terkait
pengalokasian dana untuk Baitul Maal yang membedakan
pos perbendaharaan sesuai pendistribusiannya hal ini
dikarenakan kebijakan fiskal di zaman Umar bin Khattab
dikelola oleh satu badan yaitu Baitul Maal sehingga
pengalokasian dana bisa dikeluarkan sesuai kekhususan
tujuan pendistribusian. Sedangkan di Indonesia dana-dana
tidak dikelola oleh satu badan naungan, seperti misalnya
zakat yang dikelola oleh Baznas.”181
180
Wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H selaku Perancang
Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama pada Pusat Perancangan UU Badan
Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 2 Januari 2021. 181
Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli
114
Dari hasil wawancara bersama narasumber, maka dapat
dipahami bahwa Praktek Baitul Maal di Indonesia tidak bisa
diterapkan secara penuh karena sistem ekonomi di Indonesia
yang menerapkan sistem ekonomi campuran berbasis syariah
dan konvensional yang berbasis pada landasan Pancasila.
Earmarking taxes tidak dapat diterapkan secara penuh karena
earmarking taxes memang diperuntukkan untuk dana
pembangunan desa seperti pajak penerangan jalan. Jadi, dana
yang dialokasiakan untuk beberapa sektor tertentu tidak bisa
dialihfungsikan untuk pembiayaan sektor lainnya. Lalu terkait
pendistribusian yang dikhususkan, Baitul Maal memang
mempunyai wewenang lebih untuk mengatur semua pendapatan
sehingga dapat mengatur pendapatan itu sesuai kebutuhan
sedangkan di Indonesia dana-dana dikelola oleh badan
tersendiri, tidak dikhususkan seperti pada zaman Umar bin
Khattab.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Baitul Maal dan
Kementerian Keungan relevan secara parsial untuk diterapkan
namun hanya untuk ruang lingkup daerah Karena menerapkan
Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.
115
konsep baitul Maal secara penuh sangat sulit dilakukan di
Indonesia.
2. Zakat pada Masa Khalifah Umar bin Khattab dan Zakat di
Indonesia
Zakat adalah salah satu rukun Islam dari lima rukun Islam.
Selain itu, zakat ternyata mempunyai efek yang cukup besar
bagi kesejahteraan masyarakat jika dapat dikelola dengan baik.
Zakat memiliki peranan dalam pertumbuhan ekonomi antara
lain :182
1) Zakat merupakan sarana penting dalam fungsi perbaikan
mata uang,
2) Zakat merupakan tambahan dan pengembangan harta,
3) Zakat dapat mewujudkan keseimbangan ekonomi,
4) Zakat dapat mewujudkan keseimbangan sosial.
Hal ini, telah dimanfaatkan oleh Umar bin Khattab dalam
kepemimpinannya. Khalifah Umar mengelola dana zakat
dengan sangat baik dengan menjadikan zakat sebagai
pendapatan utama negara. Setelah khalifah Abu Bakar
memerangi orang-orang yang malas membayar zakat,
182
Sulaeman Jajuli, Op. Cit., hlm. 14.
116
pendapatan negara meningkat secara signifikan dan sangat
melimpah.183
Jika dilihat di masa sekarang, nyatanya zakat bukan
merupakan pendapatan pokok negara Indonesia seperti pada
masa Umar bin Khattab. Masyarakat Indonesia memberikan
zakat layaknya sedekah langsung kepada yang membutuhkan
ataupun melalui lembaga-lembaga pengelolanya.
Di dalam konteks kenegaraan, zakat seharusnya menjadi
bagian utama dalam penerimaan negara dengan masuk ke dalam
kerangka kebijakan fiskal negara. Zakat juga harusnya bisa
dikelola oleh negara dan ditegakkan hukumnya dalam peraturan
perundang-undanagn agar mengatur berbagai aspek tentang
zakat.
Zakat akan senantiasa dipungut oleh negara sepanjang
masih ada orang yang wajib zakat, serta tidak akan dihentikan
kewajiban ini walaupun harta zakat yang terkumpul di Baitul
Maal melimpah sedangkan orang yang menerimannya tidak ada
di dalam negara. Jadi, fungsi negara dalam mengelola zakat
hanya semata-mata bagian dari ibadah terhadap Allah SWT,
183
Ibid.
117
bukan untuk pembangunan ekonomi.
Zakat termasuk salah satu dari lima nilai instrumental Islam
yang strategis serta sangat berpengaruh pada tingkah laku
ekonomi masyarakat dan pembangunan ekonomi tampaknya
akan terus menjadi populer di Indonesia. Indikasi positif ini
selain disebabkan oleh pemahaman menjalankan perintah
agama di kalangan umat Islam terus meningkat dalam beberapa
tahun terakhir, dan dorongan untuk membayar zakat juga datang
dari pemerintah.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, zakat
memiliki potensi yang besar. Pengelolaan zakat yang
maksimaal tidak hanya bisa didistribusikan pada sektor
ekonomi, tetapi juga pada sektor produktif yang lebih tinggi
tingkatannya. Namun sayangnya, potensi zakat yang sebenarnya
belum dapat digali secara maksimaal karena zakat dianggap
sebagai sumbangan sukarela dan negara pun tidak dapat
mewajibkan masyarakatnya untuk membayar. Dengan
menjadikan zakat sebagai kebijakan fiskal, maka potensi zakat
dapat dirasakan.
Dalam mengetahui apakah zakat bisa dijadikan sebagai
118
kebijakan fiskal atau tidak, maka Peneliti melakukan
wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah.
“Zakat sebagai kebijakan fiskal sulit diterapkan. Hal ini
didasarkan pada prinsip zakat merupakan kewajiban agama
bukan kewajiban menurut negara dan hanya spesifik pada
agama Islam. Sedangkan pajak sebagai salah satu instrumen
fiskal merupakan aturan wajib menurut negara tetapi tidak
wajib menurut agama dan bersifat universal. Hal ini
menegaskan bahwa, sulit untuk menjadikan zakat sebagai
salah satu sumber penerimaan di dalam APBN meskipun
bisa saja di earmarking untuk pembinaan dan pelayanan
agama Islam akan lebih ideal jika pengelolaan zakat yang
tersentralisasi pada satu lembaga tertentu yang
beranggotakan seluruh kelompok/organisasi keagamaan
Islam di Indonesia dan pengelolaannya mengedepankan
prinsip good clean governance. Dengan tersentralisasi,
dampak positif dari zakat yang kemudian disalurkan akan
lebih efektif dan dapat mengedepankan pemerataan wilayah
maupun individu pengelolaan zakat.”184
Dari hasil wawancara, dapat dipahami bahwa sulit untuk
menjadikan zakat sebagai kebijakan fiskal karena ada garis
besar mengenai kewajiban agama dan kewajiban Negara. Zakat
memang merupakan salah satu instrument fiskal yang potensial
namun dalam konteks agama dan hanya menjurus pada agama
Islam saja. Faktanya Indonesia bukan hanya terbatas agama
Islam namun juga terdiri dari beberapa agama lainnya. Zulfan
juga memandang bahwa baik zakat dan pajak adalah dua hal
184
Wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H selaku Perancang
Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama pada Pusat Perancangan UU Badan
Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 2 Januari 2021.
119
yang berbeda. Zakat merupakan kewajiban terhadap agama
sedangkan Pajak merupakan kewajiban terhadap Negara.
Untuk mengukur lebih dalam tentang zakat, Peneliti juga
melakukan wawancara dengan informan lain yaitu Kiki Mikail,
M.A.
“Membuat suatu lembaga atau intitusi Negara mengenai
zakat sulit untuk dilakukan. Kalaupun hal tersebut
dilakukan, harus ada payung hukum terlebih dahulu.
Apakah nanti pemerintah dan DPR menyetujui
pembentukan sebuah badan atau lembaga resmi yang
mengurus serta mengelola khusus zakat.”185
Menurut Kiki Mikail, untuk menerapkan zakat sebagai
kebijakan fiskal harus dibentuk sebuah lembaga atau institusi
Negara mengenai zakat. Namun hal ini sulit untuk diwujudkan,
kalaupun hal tersebut dilakukan harus berdasarkan hukum yang
disetujui oleh pemerintah. Pendapat ini juga diperkuat oleh
Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D.
“Zakat itu merupakan kewajiban yang dibuat oleh agama
sedangkan pajak itu merupakan kewajiban yang dibuat oleh
aturan pemerintah. Di Indonesia Pajak dan zakat tidak bisa
disamaratakan, karena di zaman Umar dengan lingkaran
penduduk muslim yang besar sehingga dikenakan zakat
sedangkan Indonesia tidak bisa menerapkan kewajiban
zakat untuk seluruh umat karena kembali lagi Indonesia
bukanlah Negara Islam jadi peraturan yang digunakan pun
185
Wawancara dengan Kiki Mikail, M.A selaku Akademisi Bidang Politik
Islam/Pengamat Kebijakan Politik Timur tengah pada Tanggal 30 Desember 2020.
120
dijalankan sesuai administratitif Negara republik. Jadi,
solusinya adalah Badan Amil Zakat harus proaktif kepada
masyarakat muslim untuk mengingatkan kewajiban dan
zakat juga bisa dijadikan zakat produktif seperti dilakukan
pelatihan pembinaan keterampilan sehingga dana zakat
dapat mempunyai manfaat lebih.”186
Dari hasil wawancara di atas, maka dapat dipahami bahwa
zakat tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai kebijakan
fiskal walaupun sebenarnya zakat mempunyai potensi yang
lebih untuk perkembangan perekonomian Indonesia. Jadi, solusi
yang dapat dilakukan adalah yang pertama, untuk membuat
zakat menjadi sumber daya yang efektif yaitu dengan Badan
Amil Zakat yang proaktif, dimana Badan Amil Zakat dapat
lebih aktif lagi dalam mengingatkan dan mengumpulkan dana
zakat dari masyarakat. Yang kedua, zakat produktif dimana
dana zakat bisa dialihfungsikan untuk pelatihan pembinaan
keterampilan sehingga dana zakat dapat terus diputar dan dapat
lebih bermanfaat untuk masyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan zakat tidak relevan untuk diterapkan
di Indonesia sebagai kebijakan fiskal karena Indonesia
mengkomodir enam agama yang diakui dan sah dimata Negara
186
Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli
Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.
121
sehingga zakat tidak bisa dijadikan aturan untuk semua agama.
Meskipun di zaman Umar bin Khattab zakat diterapkan hanya
untuk muslim, namun permasalahan mendasarnya di Indonesia
umat muslim juga diwajibkan membayar pajak yang sama
dengan umat non muslim. Sehingga apabila hal ini terjadi, dapat
menimbulkan pro dan kotra di kalangan umat Muslim jika pajak
dan zakat dijadikan sebagai kebijakan fiskal karena akan terjadi
kewajiban ganda bagi umat muslim itu sendiri.
C. Ghanimah dan RUPBASAN
Peperangan dalam Islam buhan hanya sekedar adu kekuatan
di medan perang sebagaimana umumnya perang. Bukan pula
tentang pembumihangusan sebuah daerah untuk dijarah
kekayaannya, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara
barat. Perang dalam Islam dilandasi oleh Aqidah Islam,
ditetapkan dengan syariat Islam untuk membebaskan manusia
dari dalam melawan ke dzoliman. Jadi, Perang dalam Islam
ditujukan untuk menyebarkan kebaikan Islam bagi seluruh
alam.
Melawan kedzoliman tidak hanya dilakukan pada masa
122
peradaban Islam. Indonesia pun sekarang sedang berjuang
melawan kedzoliman yang terus menerus menjajah Indonesia.
Jika pada masa peradaban Islam, Islam berperang melawan
orang-orang kafir, maka hal itu berbeda dengan Indoensia yang
berperang melawan korupsi.
Dalam kedua aspek ini, peperangan yang dilakukan ini
banyak membuahkan hasil. Di masa Umar bin Khattab. Dalam
ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar, sebagai contoh
pada saat penaklukan Negeri Syam. Harta rampasan perang
banyak didapatkan oleh orang-orang Islam. Harta rampasan
perang ini digunakan dalam membantu perekonomian pada
masa itu.
Ghanimah yang dihasilkan dari peperangan melwan orang
kafir, mempunyai kesamaan dalam harta rampasan yang
dihasilkan dari peperangan melawan korupsi di Indonesia.
Harta-harta rampasan tersebut di simpan dalam Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau yang dikenal dengan
Rupbasan. Rupbasan sendiri adalah tempat barang-barang sitaan
negara. Namun terdapat perbedaan dalam hal pengelolaan
ghanimah dan barang-barang sitaan di Rupbasan.
123
Seperlima dari Ghanimah didistribusikan kepada fakir
miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa
membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan dan sisanya
dibagikan kepada mereka yang ikut dalam peperangan.
Sedangkan pengelolaan barang sitaan merupakan wewenang
jaksa/penyidik atau pejabat yang berwewenang sebagai barang
bukti dalam perkara pidana yaitu akan dilaksanakan lelang
terhadap barang-barang tersebut. Berdasarkan keputusan jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor KEP-089/J.A/8/1988 tentang
penyelesaian barang Rampasan
Pasal 1, Yang dimaksud dengan barang rampasan dalam
Keputusan ini adalah barang bukti yang berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dinyatakan dirampas untuk Negara.
Pasal 2, Jaksa Agung Republik Indonesia menetapkan dan
mengendalikan kebijaksanaan penyelesaian barang rampasan
dengan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3, penyelesaian barang rampasan dilakukan dengan
cara dijual lelang melalui Kantor Lelang negara atau
dipergunakan bagi kepentungan Negara, kepentingan sosial atau
124
dirusak samapai tidak dapat dipergunakan lagi.
Pasal 4, Tenggang waktu untuk menyelesaikan barang
rampasan selambat-lambatnya empat bulan setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Untuk meneliti lebih lanjut mengenai harta rampasan,
Peneliti melakukan wawancara dengan Merlysa Prima Zufni,
S.H., M.H.
“Segala hal yang berkaitan dengan harta rampasan akan
dikembalikan ke negara dan negara mempunyai hak penuh
atas harta rampasan tersebut.”187
Dari hasil wawancara tersebut, penulis menarik kesimpulan
bahwa Barang rampasan negara yang telah ditetapkan untuk
disita akan dilakukan pelelangan. Hasil dari pelelangan atas
barang sitaan tersebut akan dimasukkan ke kas Negara. Seperti
yang dikatan Merlysa bahwa semua harta rampasan adalah
milik Negara dan akan dikembalikan kepada Negara.
Penulis juga melakuan wawancara dengan narasumber lain,
yaitu Fadilah Mursid, M.H., M.H.I.
“Ghanimah dan Sitaan yang diberlakukan di Indonesia
mungkin tidak sama persis, tapi secara substansi jika dilihat
dari aturan KUHP, undang-undang korupsi ataupun aturan
187
Wawancara dengan Merlysa Prima Zufni, S.H., M.H. selaku Ajun
Jaksa/Kasubsi Pertimbangan Hukum Perdata Kejaksaan Negeri Kab. Sumedang pada
tanggal 31 Desember 2021.
125
dalam pelelangan. Ketika ada suatu tindakan pidana korupsi,
kejahatan tersebut dapat disita maka harta sitaan tersebut
akan dikembalikan ke Negara. Jadi dapat dikatakan sitaan
ini adalah bentuk rampasan secara legal. Harta sitaan itu
akan disita kemudian dilelang untuk dimasukkan ke dalam
kas Negara untuk kemaslahtan rakyat. Jadi, menurut saya
secara substansi Ghanimah dan harta sitaan memiliki
kesamaan walaupun mekanismenya berbeda.”188
Dari hasil wawancara tersebut, Fadilah Mursyid mengatakan
bahwa secara substansi Ghanimah dan Barang rampasan
Negara/Barang sitaan memiliki kesamaan walau tidak sama
persis dan mekanismenya berbeda. Karena hakikatnya, baik
Ghanimah dan Rupbasan sama-sama akan difungsikan sebagai
kepentingan Negara.
Jadi, jelas dapat ditentukan bahwa Ghanimah dan Rupbasan
tidak memiliki kerelavanan karena pada hakikatnya Ghanimah
diperuntukkan untuk kepentingan perang sedangkan di
Indonesia tidak terjadi peperangan jadi Ghanimah tidak bisa
diterapkan di Indonesia. Walaupun begitu, Ghanimah dan
Rupbasan memiliki kesamaan konsep yaitu untuk kepentingan
negara dan segala kebijakannya akan dikembalikan untuk
negara.
188
Wawancara dengan Fadilah Mursid, S.H., M.H.I, selaku Akademisi
Bidang Hukum Ekonomi Syariah/ Anggota dewan Syariah Nasional MUI Provinsi
Sumatera Selatan pada tanggal 31 desember 2020.
126
D. Pajak pada Masa Umar binKhattab dan Pajak di Indoensia
Pajak adalah kontribusi wajib yang dibebankan kepada
warga negara. Pajak sudah ditetapkan bahkan pada masa
Rasulullah Saw. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab,
Umar juga menetapkan pajak dalam meningkatkan
perekonomian.
Umar menetapkan beberapa jenis pajak, yaitu sebagai
berikut:
a. Kharaj
b. Usyr
c. Jizyah
Di Indonesia juga ditetapkan beberapa jenis pajak, yaitu ;
a. Pajak penghasilan (Pph)
b. Pajak pertambahan Nilai (PPN)
c. Bea Masuk
d. Pajak materai
e. Pajak Buni dan bangunan
f. Pajak daerah
Selanjutnya akan dibahas satu persatu tentang pajak di atas.
127
a. Kharaj dan Pajak Bumi Bangunan
Kharaj sendiri adalah pajak yang ditetapkan atas tanah
sebanyak hasil atau uang persatuan lahan. Sedangkan di
Indonesia juga ditetapkan pajak atas tanah yaitu Pajak Bumi
dan bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan dilihat
dari keadaan bumi dan bangunannya. Dasar perhitungan
PBB adalah perkalian tarif o,5% dengan NJKP (nilai jual
kena pajak). Sedangkan NJKP dapat diperoleh dari 20%
NJOP (Nilai jual objek pajak).
Kharaj menerapkan tarif berdasarkan hasil dari porsi
tanah tersebut yaitu sepertiga atau setengah ketika selesai
panen dan pajak setiap bumi ketika telah melewati masa
satu tahun. Sedangkan PBB juga ditetapkan pada bumi dan
bangunan. Sedangkan untuk hasil pertanian, Indonesia
menerapkan pajak atasnya dengan bentuk pajak hasil
pertanian.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai kebijakan
kharaj, peneliti melakukan wawancara bersama Mashudi
Daud, S.H., M.H.I.
“Kondisi di Indonesia yang notabene negara pancasila
dengan 6 agama yang diakui tidak bisa disamakan
128
dengan pemerintahan Umar bahkan bisa dikatakan sulit
diterapkan. Umar bin Khattab mewajibkan kharaj
kepada non muslim karena mereka tidak diwajibkan
membayar zakat hasil bumi. Adapun di Indonesia, PBB
hanya untuk tanah dan bangunan bukan untuk hasil
perkebunan. Implementasinya, semua bentuk bangunan
dan tanah mendapatkan ketentuan rumusan pajak yang
sama, seluruh tanah dan bangunan dikenakan PBB
berdasarkan NJOP yang ditetapkan masing-masing
daerah. PBB tidak mencakup pajak atas hasil alam
dikarenakan hal itu diatur tersendiri dalam Pajak Hasil
Pertanian.”189
Dari hasil wawancara di atas menyebutkan bahwa
kharaj memiliki perbedaan dengan PBB. Hal ini
dikarenakan tujuan dibentuknya kharaj karena
diperuntukkan untuk non muslim sedangkan PBB
merupakan kewajiban yang ditujukan untuk semua
masyarakat Indonesia.
Maka dapat dipahami bahwa antara kharaj dan PBB
yang ada di Indonesia memiliki kesamaan sebagai
kewajiban yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
Keduanya dibebankan atas tanah/bumi dan memiliki
manfaat. Jika dilihat dari manfaatnya hasil dari keduanya
digunakan untuk mendukung Negara dan untuk
189
Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Hakim Peradilan
Agama Bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.
129
kemaslahatan rakyat. Sedangkan, perbedaan keduanya dapat
dilihat dari dua aspek baik subjek maupun objek dari
keduanya. Kharaj diperuntukkan untuk non muslim oleh
pemerintah Islam dan tidak dibebankan untuk umat muslim
atas manfaat lahan pertanian atau lahan lainnya, namun
berbeda dengan kharaj, PBB dibebankan kepada seluruh
warga Negara tanpa terkecuali atas semua lahan baik bumi
dan bangunan.
Jika dilihat dari hubungan antara PBB dan kharaj
sebagai Negara yang mempunyai wilayah yang luas. Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kharaj tidak relevan
diterapkan di Indonesia. Potensi untuk memaksimalkan
pendapatan dengan membuat kebijakan terhadap objek
pajak bisa meningkatkan pendapatan Negara. Namun
pendapatan PBB yang diperoleh harus dialokasikan dengan
maksimal untuk tujuan kemaslahatan umat seperti masa
Umar bin Khattab.
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kharaj tidak relevan diterapkan di Indonesia namun
PBB dapat dimaksimalkan dengan mempertimbangkan
130
maqashid syariah.
b. Usyr dan Bea Masuk
Usyr dikenal dengan pajak perdagangan atau bea masuk.
Usyr ditetapkan hanya pada barang-barang yang nilainya
lebih dari 200 dirham.190
Usyr yang diprakarsai oleh Umar
menetapkan pajak hanya satu kali dalam satu tahun
meskipun pedagang memasuki wilayah Arab lebih dari
sekali dalam setahun. Seperti halnya kebijakan pajak
perdagangan yang diberlakukan di wilayah Arab. Indonesia
juga menerapkan hal yang sama tentang pajak perdagangan
keluar dan masuknya wilayah Indonesia yaitu bea masuk
dan keluar
Meski sama-sama diterapkan untuk pajak perdagangan,
Usyr dan bea masuk memiliki perbedaan dalam cara
pemungutannya. Khalifah Umar mengambil usyr kepada
tiga golongan yaitu orang Islam, kafir zimmi, dan kafir
harbi. Dalam hal ini, ketiga golongan memiliki 3 perbedaan
besaran pajak. Ada perbedaan versi pajak usyr dalam tingkat
ukurannya. Tingkat ukuran yang paling umum ditetapkan
190
Adiwarman Azwar Karim, hal. 71
131
adalah 2,5% untuk perdagangan muslim, 5% untuk kafir
dzimmih, dan 10% untuk kafir harbi dengan asumsi harga
barang melebihi dua ratus dirham.191
Sedangkan tarif bea masuk dan keluar ditetapkan sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.010/2019 tentang ketentuan Kepabeanan, Masuk
dan Pajak. Berdasarkan peraturan tersebut, terhadap barang
kiriman impor akan dikenakan bea sebagai berikut :
1) FOB<USD 3 = dibebaskan dari Bea Masuk dan
dikenakan PPN sebesar 10 %
2) FOB USD 3 s.d USD 1.500 = dikenakan Bea Masuk
sebasar 7,5 % dan dikenakan PPN sebesar 10%
3) Terhadap barang kiriman impor dengan nilai FOB
melebihi USD 1.500 = dikenakan Bea Masuk, dikenakan
PPN dan dikenakan pajak dalam rangka Impor.
4) Perhitungan pajak di atas tidak berlaku untuk barang
khusus yaitu Tas, Sepatu, Produk Tekstil dan Buku.
Perhitungan pajak untuk barang khusus adalah sebagai
berikut.
191
Ibid.
132
a) Tas (HS 4204) = dikenakan Bea Masuk sebesar 15
%-20%, dikenakan PPN 10% dan PPh sebesar 7,5%-
10%
b) Sepatu (HS 64) = dikenakan Bea Masuk sebesar
25%-30%, dikenakan PPN 10% dan PPh sebesar
7,5%-10%
c) Produk Tekstil (HS 61,63,63) = Dikenakan Bea
Masuk Sebesar 15%-25%, dikenakan PPN 10% dan
PPh sebesar 7,5%-10%
d) Buku (HS 49.01 s.d 49.04) = dibebaskan dari bea
Masuk, PPN dan PPh
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pengambilan tarif
Usyr disesuaikan dengan tiga golongan seperti yang
dijelaskan di atas, sedangkan Pengambilan tarif Bea Masuk
disesuaikan dengan FOB (Free On Board).
Untuk mengetahui lebih lanjyt mengenai Bea Masuk,
penulis melakukan wawancara bersama Raja Martua
Harahap, A.Md.
“Pengenaan tarif pajak melalui persetujuan DPR dengan
pertimbangan (menyesuaikan perkembangan jaman).
Penetapan tarif bea masuk juga dipungut berdasarkan
karakteristik-karakteristik yang sudah diatur undang-
133
undang. Karakteristik-karakteristik tersebut terbagi
menjadi empat, yaitu: Konsumsi perlu dikendalikan,
Peredarannya perlu diawasi, Pemakainnya dapat
menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup, Pemakainnya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Menurutnya, keempat karakteristik di atas di tetapkan
demi keadilan dan kemaslahatan. Seperti contohnya
pengenaan masuk terhadap rokok karena seperti poin
terakhir, pembebanan pungutan negara harus ditetapkan
demi keadilan dan keseimbangan.”192
Dari hasil wawancara diatas disimpulkan bahwa
penetapan tarif karakteristik-karakteristik bea masuk yang
sudah diatur dalam undang-undang di tetapkan demi
keadilan dan kemaslahatan. Sama seperti halnya usyr yang
ditetapkan demi kemaslahatan rakyatnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa
pemberlakuan bea masuk di Indonesia sama dengan konsep
usyr. Bea masuk dan usyr sama-sama memungut tarif atas
barang dagangan yang masuk ke suatu wilayah. Keduanya
juga memiliki batas minimal, seperti halnya usyr yang
menetapkan batas minimal menggunakan dirham dan bea
masuk yang menggunakan USD. Tujuan diberlakukannya
usyr dan bea masuk juga sama, yaitu dijakdikan sebagai
192
Wawancara dengan Raja Martua Harahap, A.Md selaku Pegawai
Pelaksana Bal Kanwil Beamasuk Sumatera bagian barat pada tanggal 30 desember
2021.
134
pemasukan Negara yang dimanfaaatkan untuk kemaslahatan
rakyat. Batas minimal yang ditetapkan juga sama-sama
bertujuan untuk mengendalikan peredaran barang impor
yang masuk. Namun, usyr dalam penetapan tarifnya
dikenakan berdasarkan agama sedangkan tarif bea masuk
ditetapkan tarifnya tanpa memandang agama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa usyr relevan dengan bea
masuk. Namun, praktek bea masuk yang diterapkan di
Indonesia sudah disesuaikan dengan kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah.
c. Jizyah
Jizyah adalah pajak yang ditetapkan kepada kaum laki-
laki non-muslim, merdeka, balig, berakal, sehat, dan kuat
sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Jadi, jelas
Jizyah ditetapkan terhadap warga negara demi menjaga
keamanan diri, harta, kelangsungan hidup, keadilan, dan
kesejahteraan, serta sebagai pembendaharaan negara dalam
melaksanakan tugas-tugas negara di bidang
pemerintahan.193
193
Mardiasmo, Op. Cit., hlm.1.
135
Dalam pemerintahan Indonesia, tidak ditetapkan jizyah
seperti pada masa pemerintahan Islam. hal ini patut
dipertanyakan, mengapa?
Sejak Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 19
Agustus 1945 ditetapkan telah dikatakan bahwa “segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jaminan
tersebut tertulis dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang
sampai saat ini tidak mengalami perubahan. Selain pasal
tersebut, dirumuskan juga pasal 29 ayat (2) UUD 1945
bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.194
Untuk memahami lebih lanjut tentang kebijakan jizyah,
maka Penulis melakukan wawancara dengan narasumber
yaitu ahli hukum Mashudi Daud, S.H., M.Hi.
“Dalam konteks negara pancasila, indonesia terdiri dari
enam agama yang diakui dan diberi kebebasan bagi para
pemeluknya. Spirit toleransi harus diberlakukan di
194
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) tentang Hak dan Kewajiban
Warga Negara dan Pasal 29 ayat (2) tentang Kebebasan beragama.
136
seluruh agama yang diakui dan diberi jaminan dalam
menjalankan agama dan kepercayaannya, hal ini
tertuang dalam pasal 29 UUD Negara Republik
Indonesia.”195
Dari hasil wawancara di atas, dapat dipahami bahwa
permasalahan yang menyangkut tentang kebebasan rakyat
untuk beragama merupakan persoalan yang sangat riskan
dan berujuang pada diskriminasi agama.Oleh karena itu,
jizyah tidak relevan diterapkan di Indonesia yang
menerapkan UUD 1945 sebagai landasan hukum dan
menjamin kebebasan berkeyakinan bagi seluruh warganya.
E. Kebijakan Fa’i
Harta Fa‟i adalah harta-harta yang didapatkan dari non
muslim dalam keadaan damai atau setelah berakhir peperangan.
Seperti halnya jizyah, harta fa‟i juga tidak bisa ditetapkan di
Indonesa.
Indonesia bukanlah wilayah yang sedang terjadi peperangan
antara muslin dan kafir. Indonesia justru negara damai yang di
dalamnya hidup berdampingan antara muslim dan non muslim.
195
Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Hakim Peradilan
Agama Bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.
137
Keduanya terikat sebagai warga negara Indonesia yang
memiliki kewajiban membayar pajak. Jika pada akhirnya hal ini
diterapkan di Indonesia akan memicu perpecahan dan
permusuhan antara umat beragama di Indonesia. Pendapat ini
diperkuat dengan hasil wawancara dari narasumber Mashudi
daud, S.H., M.H.I.
“Ada perbedaan kondisi pada zaman Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin dengan keadaan dan kondisi di
Indonesia. Jadi, Fa‟i tidak dapat direlevansikan di
Indonesia.”196
Dari hasil wawancara tersebut, maka dapat dipahami bahwa
Keadaan di Indonesia memiliki perbedaan kondisi dengan
zaman Rasulullah maupun Khulafaur Rasyidin.Oleh karena itu,
kebijakan fa‟i di zaman umar tidak relevan dengan keadaan di
Indonesia.Karena bisa menimbulkan perpecahan antar agama.
Indonesia yang berlandaskan pancasila sebenarnya sangat
relevan dengan nilai-nilai ekonomi Islam.Orientasi Ekonomi Islam
yang membawa kemaslahatan bagi umat sangat didukung oleh
konsep keadilan dalam sila kelima pancasila. Hal itulah yang
menjadi dasar pemikiran Umar bin Khattab terhadap kesejahteraan
196
Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Ahli Hukum
bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.
138
rakyatnya. Dengan spirit ekonomi Islam yang semakin tumbuh di
Indonesia, akan semakin membuka jalan mengimplementasikan
konsep dari berbagai tokoh Muslim untuk kemaslahatan bersama,
meskipun dengan cara dan kebijakan yang berbeda namun dengan
tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan (falah).
Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D mengatakan bahwa
Konsep-konsep pemikiran ekonom muslim mempunyai
kemungkinan untuk diterapkan. Karena, Ekonomi konvensional
bersumber dari ekonomi Islam, kemudian ekonomi Islam stagnant
dan ekonomi konvensional berkembang. Sebagai manusia tentu dia
akan mencari yang lebih baik, ketika dia melakukan sesuatu lalu
gagal tentu dia akan menari alat yang lebih baik. Jika, ekonomi
Islam mau diterapkan di Indonesia maka ekonomi Islam harus
membuktikan terlebih dahulu bahwa ekonomi Islam merupakan alat
yang baik dan menutupi kekurangan ekonomi konvensional.197
Dari Pengkajian tentang Kebijakan Fiskal di masa Umar bin
Khattab dan relevansinya di Indonesia di atas, maka dapat dipahami
bahwa konsep-konsep pemikiran ekonomi Islam menungkinkan
untuk diimplementasikan di Indonesia dan sejalan dengan prinsip
yang diimplementasikan di Indonesia.
197
Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli
Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.