bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. kebijakan …

72
67 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Fiskal pada Masa Umar bin Khattab Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab dipandang sebagai Khalifah yang sukses dalam meningkatkan serta mewujudkan umat Islam di tengah-tengah umat yang semakin hari semakin luas jangkauannya. Terdapat beberapa karakteristik dalam kepemimpinannya yang berhasil dalam pengembangan umat Islam, baik dalam pengembangan umat Islam, baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun kehidupan ekonomi. Dalam bidang politik serta ekonomi, Umar bin Khattab sudah berhasil memperluas kekuasaan politiknya hingga persia, Mesir dan Syiria.Ekspansi daerah ini, dilengkapi pula dengan seperangkat peraturan baru, di samping memperbaiki dan mengadakan perubahan terhadap peraturan-peraturan yang ada. Misalnya, menyusun dewan-dewan (jawata-jawatan), mendirikan baitul maal, membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun hijrah, dan mengadakan hisbah (pengawasan terhadap pasar dan pengontrolan terhadap timbangan

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

67

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Fiskal pada Masa Umar bin Khattab

Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab dipandang

sebagai Khalifah yang sukses dalam meningkatkan serta

mewujudkan umat Islam di tengah-tengah umat yang semakin hari

semakin luas jangkauannya. Terdapat beberapa karakteristik

dalam kepemimpinannya yang berhasil dalam pengembangan umat

Islam, baik dalam pengembangan umat Islam, baik dalam

kehidupan sosial, politik, maupun kehidupan ekonomi.

Dalam bidang politik serta ekonomi, Umar bin Khattab sudah

berhasil memperluas kekuasaan politiknya hingga persia, Mesir

dan Syiria.Ekspansi daerah ini, dilengkapi pula dengan seperangkat

peraturan baru, di samping memperbaiki dan mengadakan

perubahan terhadap peraturan-peraturan yang ada. Misalnya,

menyusun dewan-dewan (jawata-jawatan), mendirikan baitul maal,

membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas,

mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan

pos, menciptakan tahun hijrah, dan mengadakan hisbah

(pengawasan terhadap pasar dan pengontrolan terhadap timbangan

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

68

dan takaran), pengawasan kesehatan dan sebagainya.120

Dalam pengaturan perekonomian negara, Umar

merencanakannya dengan matang, memberikan pengarahan serta

pemecahan kala menghadapi permasalahan. Upaya ini pula

diterapkan dalam masyarakat yang bermacam macam, antara kaum

Arab Badui dengan penduduk Irak, Persia serta Syam, serta

masyarakat Mesir, ialah wujud masyarakat yang heterogen antara

kaum muslim serta ahli kitab, dan didalam komposisi masyarakat

muslim yang terdiri atas golongan Muhajirin serta Anshar. Mereka

semua telah membantu dakwah Nabi Muhammad saw, serta

sebagian dari mereka sudah masuk Islam pasca penaklukan kota

Mekkah.

Dalam konteks Ekonomi Islam, ternyata sepeninggal Nabi

Muhammad saw, kehidupan ekonomi masyarakat Islam masih

belum tertata dengan baik, bahkan dengan terus menjadi luasnya

wilayah kekuasaan Islam, nyatanya perkara ekonomi yang

dihadapipun semakin banyak.121

Apalagi pada zaman Abu Bakar

120

Muhadi Zainuddin dan Abd. Mustaqim, Studi kepemimpinan Islam:

Telaah Normatif dan Historis Cet II, (Semarang: Putra Mediatama Press, 2008),

hlm.69. 121

Qutb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 16 dalam Azda Aulia Fajri,

Skripsi: “Kebijakan Khalifah Umar Ibn Khattab dalam Menanggulangi Kemiskinan”,

(Semarang : UIN Sultan Agung, 2018), hlm. 4.

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

69

yang banyak hadapi pemberontakan dari golongan munafik,

terdapatnya nabi palsu serta suku-suku yang ingin keluar dari

kekuasaan.

Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tersebut,

Khalifah Umar bin Khattab (dari 12 H s/d 23 H/ 634 M s/d 644 M)

membuat beberapa kebijakan atau terobosan yang berbeda dengan

Nabi Miuhammad saw serta Khalifah Abu Bakar ra dalam bidang

perekonomian untuk meningkatkan kehidupan ekonomi

masyarakat serta negara yang dipimpinnya.122

1. Pendapatan pada masa Umar bin Khattab

a. Baitul Maal

Seiring dengan wilayah kekuasaan Islam yang

semakin meluas pada masa pemerintahan Umar bin

Khattab, pendapatan negara juga mengalami kenaikan

yang signifikan. Hal ini tentu saja memerlukan

pengelolaan yang baik. Setelah melakukan musyawarah

dengan para pemuka sahabat, Khalifah Umar bin Khattab

mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta

Baitul Maal secara langsung namun dikeluarkan secara

122

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab: Sebuah Biografi Cet.

VIII, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Lintera Antarnusa, 2008), hlm. 15.

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

70

bertahap sesuai kebutuhan. Baitul Maal yang pada saat itu

didirikan oleh Rasulullah saw, dan diteruskan oleh Abu

Bakar Al-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada

masa pemerintahan Umar bin Khattab. Kontribusi terbesar

yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab adalah

pembangunan administrasi yang tertata dengan rapih.123

Dalam catatan sejarah, pada tahun 16 H pembangunan

institusi Baitul Maal dilatarbelakangi oleh kedatangan

Abu Hurairah yang saat itu sedang menjabat sebagai

Gubernur bahrain dengan membawa harta hasil

pengumpulan pajak al-kharaj sebesar 500.000 dirham.

Karena jumlah yang sangat besar itu Khalifah Umar

berinisiatif memanggil dan mengajak musyawarah para

sahabat tentang penggunaan dan Baitul Maal tersebut.

Setelah diskusi panjang, Khalifah Umar memutuskan

untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Maal, tetapi

akan disimpan sebagai cadangan dana, baik untuk

keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun

123

M. A. Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rashida,

Journal of Islamic Banking and Finance, Vol.2 No. 4, 1985, hlm. 51.

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

71

kebutuhan umat lainnya.124

Selanjutnya, pada tahun yang sama, didirikan Madinah

sebagai pusat lembaga Baitul Maal pertama kalinya,

kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabang di

ibukota provinsi. Untuk mengawasi lembaga tersebut,

ditunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara

dean Abdurrahman ibn Ubaid Al-Qari dan Muayqab

sebagai wakilnya. Setelah penaklukan Syiria, Sawad

(Irak) dan Mesir, pendapatan Baitul Maal mengalami

kenaikan secara substansial, kharaj dari Sawad mencapai

seratus juta dinar serta Mesir dua juta Dinar.125

Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa

pendirian Baitul Maal membawa dampak positif dalam

pemerintahan Umar bin Khattab sebagai tempat untuk

mengatur keuangan Negara dan pelaksana kebijakan

fiskal. Namun meskipun demikian, dalam kebijakan yang

diterapkan Baitul Maal, Khalifah tidak diperbolehkan

menggunakan harta Baitul Maal untuk kepentingan

pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah

124

Ibid. 125

Ibid.

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

72

untuk setiap tahunnya adalah sebesar 5000 dirham, dua

stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan

musim dingin serta seekor binatang sebagai kendaraan

dalam menunaikan ibadah haji.126

Dalam pendistribusian harta Baitul Maal, Para pejabat

tidak memiliki wewenang dalam membuat keputusan

yang berkaitan dengan Baitul Maal meskipun memiliki

wewenang dan tanggung jawab. Kekayaan negara

diperuntukkan untuk golongan-golongan tertentu dalam

masyarakat dan darus dipergunakan sesuai dengan

prinsip-prinsip Al-Quran.127

Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta kaum

Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya

berperan sebagai pemegang amanah. Negara bertanggung

jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-

anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai

penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-

orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus

tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani yang

126

Ibid. 127

Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2016), hlm. 61.

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

73

membunuh seorang kristiani untuk menyelamatkan

nyawanya, serta memberikan pinjaman tanpa bunga untuk

tujuan komersil, seperti Umar yang pernah meminjam

sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya.128

Dalam pendistribusian harta Baitul Maal, khalifah

Umar bin Khattab mendirikan departemen-departemen,

yaitu:129

a. Departemen Pelayanan Militer

Departemen ini mempunyai fungsi untuk

menyalurkan dana bantuan kepada orang-orang yang

terlibat dalam peperangan. Besarnya dana bantuan

yang didapat ditentukan oleh jumlah tanggungan

keluarga setiap penerima dana.

b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif

Departemen ini mempunyai tanggung jawab

dalam pembayaran gaji para hakim dan pejabat

eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal,

yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi

128

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 52 129

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bakti

Wakaf, 1995), hlm. 169-173

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

74

kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik

suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan

jikapun terdapat perbedaan, hal itu tetap dalam batas-

batas kewajaran.

c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam

Departemen ini menyalurkan bantuan dana bagi

penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta

keluarganya, seperti guru dan juru dakwah

d. Departemen Jaminan Sosial

Departemen ini berfungsi untuk menyalurkan

dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-

orang yang menderita.

Pada Tahun 20 H, Khalifah Umar membentuk

sitem diwan bersamaan dengan reorganisasi Baitul

Maal.130

Dalam hal ini, ia menunjuk sebuah komite

nassab ternama yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib,

Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Mut‟im untuk

membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan

130

Irfan Mahmud Ra‟ana, Op. Cit., hlm.155.

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

75

tingkat kepentingan dan golongannya.131

Daftar

tersebut disusun secara berurutan dimulai dari orang-

orang yang mempunyai hubungan kekerabatan

dengan Nabi Muhammad Saw, para sahabat yang ikut

berperang dalam Perang Badar dan Uhud, para

imigran ke Abysinia dan Madinah, para pejuang

perang Qadasiyyah atau orang-orang yang

menghadiri perjanjian Hudaibiyah, dan seterusnya.

Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga

mendapat tunjangan sosial.132

Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa peran Baitul

Maal dalam tata kelola keuangan Negara memiliki peran

yang sangat penting ditambah lagi dengan pendirian

cabang Baitul Maal di ibukota dan pembentukan

departemen-departemen memudahkan Umar bin Khattab

dalam mengelola keuangan sehingga lebih terstruktur.

b. Kharaj

Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, jumlah

kharaj yang dibayar masih sangat terbatas sehingga sistem

131

Ibid., hlm. 156. 132

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 51.

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

76

administrasi yang terperinci tidak diperlukan. Selama

pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam

semakin meluas karena banyaknya daerah-daerah yang

ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara

damai. Hal ini memunculkan permasalahan baru,

kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap

kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan. Para

tentara dan para sahabat terkemuka menuntut untuk tanah

taklukkan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat

dalam peperangan sementara sebagian kaum muslimin

yang lain tidak menyetujui pendapat tersebut. Muadz bin

Jabal, salah satu orang yang tidak menyetujui pendapat itu

mengatakan.

“Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya

tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan

menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan

meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik

seseorang saja. Ketika generasi selanjutnya datang dan

mereka mempertahankan Islam dengan sangat berani

namun mereka tidak akan menemukan apapun yang

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

77

tersisa. Oleh karena itu, carilah sebuah rencana yang baik

dan tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang

akan datang kemudian.”133

Untuk menentukan kebijakan apa yang akan diambil

atas kepemilikan tanah tersebut, Umar mengadakan

pertemuan dengan para komandan militer dan pemimpin

pasukan di Djabiya. Setelah perdebatan panjang, Khlaifah

Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah

tersebut sebagai fa‟i, dan prinsip yang sama digunakan

untuk kasus-kasus yang akan datang. Sayyidina Ali yang

tidak hadir pada pertemuan itu karena sedang

menggantikan posisi Umar sebagai khalifah di Madinah,

diriwayatkan idak sepenuhnya setuju dengan pandangan

Umar. Ia berpendirian bahwa seluruh pendapatan Baitul

Maal harus di distribusikan seluruhnya tanpa menyisakan

sedikitpun sebagai cadangan.134

Khalifah Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah

taklukan kepada kaum Muslimin, tetapi membiarkan

tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat

133

Ibid., hlm. 53-54. 134

Ibid.

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

78

membayar kharaj dan jizyah. Umar memiliki alasan atas

kebiajkannya itu, menurutnya penaklukkan yang

dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi tanah

yang sangat luas sehingga apabila tanah tersebut dibagi-

bagikan dikhawatirkan akan mengarah pada praktik tuan

tanah. Khalifah Umar juga melarang bangsa Arab untuk

menjadi petani karena mereka bukan ahlinya.

Menurutnya, pemberian lahan pertanian kepada yang

bukan ahlinya sama saja dengan perampasan hak-hak

publik. Ia juga menegaskan bahwa negara berhak untuk

mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan

pemiliknya dengan memberikan ganti rugi secukupnya.135

Kharaj sendiri merupakan pajak khusus yang

diberlakukan negara atas tanah-tanah produktif yang

dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu negara

memiliki hak untuk menyita tanah yang berpotensi namun

ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar alasan

kemaslahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak

negara dalam penentuannya. Dan negara sebaiknya

135

Ibid., hlm. 35-39

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

79

menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi

perekonomian yang ada.136

Pembayaran pajak terbagi menjadi dua bagian sesuai

keadaan tanah atau bumi, yaitu:137

1) Bumi yang pemiliknya sudah memasuki Islam. dalam

kodisi seperti ini tanah itu menjadi sah kepunyaan

orang muslim sehingga tidak ada kewajiban

membayar kharaj.

2) Bumi perdamaian yaitu setiap bumi yang

penduduknya membuat perjanjian perdamaian dengan

negara Islam untuk tetap memiliki tanah mereka.

Dalam kondisi seperti ini, tanah tersebut tidak akan

diganggu gugat dengan syarat membayar kharaj.

Dalam penarikan kharaj, cara yang digunakan pada

masa Umar bin khattab dibagi dalam dua bagian :138

1) Muqassamah. Sistem ini ditetapkan berdasarkan hasil

dari porsi tanah tersebut yaitusepertiga atau setengah

ketika selesai panen dan harus diserahkan kepada

136

Al-Fadli, “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Perspektif Ekonomi

Islam”, Jurnal Islamika, Vol. 15 No. 1, 2015, hlm. 38. 137

Ibid. 138

Muhammad Qal‟ahji, Op. Cit., hlm. 332 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 17.

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

80

Baitul Maal.

2) Wazifah.Sistem ini mewajibkan pemilik tanah

membayar jika telah lewat satu tahun dengan

ketetapan yang berlaku.

Jika dilihat dari sistem yang dipakai pada masa Umar

bin Khattab, Umar menetapkan tarif atau besaran kharaj

dan membaginya berdasarkan tanah produktif dan non-

produktif. Untuk tanah produktif, besaran tarif ditetapkan

dari hasil tanah setelah panen. Sedangkan untuk tanah non

produktif, Umar menetapkan pajak setelah lewat masa

satu tahun. Maka dapat dipahami bahwa penetapan kharaj

sangat diperlukan untuk mengantisipasi agar terpenuhinya

kesejahteraan dan kemaslahatan umat.

c. Zakat

Pada masa Rasulullah saw, jumlah kuda di Arab

tergolong sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh

kaum muslimim karena akan digunakan untuk kebutuhan

pribadi dan jihad. Misalkan pada perang Badar, pasukan

kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang hanya

memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan suku Bani

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

81

Quraizha (5H), ada 36 kuda yang dimiliki pasukan kaum

muslimin. Di tahun yang sama, Hudaybiyah memiliki

sekitar dua ratus kuda. Zakat diwajibkan atas barang-

barang yang memiliki produktivitas, maka budak atau

kuda yang dimiliki kaum Muslimin saat itu tidak

dibebankan zakat.139

Pada periode selanjutnya, kegiatan beternak dan

memperdagangkan kuda dilaksanakan secara besar-

besaran di Syiria dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam

lainnya. Kuda pada saat itu mempunyai nilai jual yang

fantastis, pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab

Taghlabi diperkirakan berniali 20.000 dirham. Karena

perdagangan kuda yang semakin marak, orang-orang

Islam yang terlibat dalam perdagangan menanyakan

kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syria tentang kewajiban

membayar zakat kuda dan budak. Abu Ubaidah

mengatakan bahwa tidak ada zakat atas keduanya.

Kemudian, diusulkanlah kepada Khalifah agar ditetapkan

kewajiban zakat atas keduanya. Akhirnya, sejak saat itu

139

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm.55.

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

82

ditetapkan zakat kuda setelah saat itu terjadi penolakan

oleh Khalifah Umar. Zakat kuda ditetapkan sebesar satu

dinar.140

Di antara beberapa barang, Abu Bakar membebani

zakat terhadap war, sejenis rumput herbal yang digunakan

dalam pembuatan bedak dan parfum. Sementara itu, Umar

mengenakan khums zakat atas karet yang ditemukan di

semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, serta hasil

laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai

hadiah dari Allah SWT.141

Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa

pemilik sarang lebah tidak ingin membayar usyr tetapi

menginginkan sarang-sarang lebah tersebut agar

dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila

mereka bersedia membayar usyr maka sarang lebah

mereka akan dilindungi. Namun, jika mereka menolak

maka sarang lebah tersebut tidak akan memperoleh

perlindungan. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar

mebedakan madu yang diperoleh dari pegunungan dengan

140

Ibid., hlm. 55. 141

Ibid., hlm. 55.

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

83

madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan

adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan

sepersepuluh untuk madu jenis kedua.142

Zakat pada awalnya diwajibkan tidak di tetapkan

kadar dan jumlahnya, namun hanya diwajibkan untuk

memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun kewajiban

membayar zakat dengan kadar dan nisab itu ditetapkan

ketika Rasulullah hijrah ke Madinah.

Pada masa kekhalifahan Umar pendapatan zakat

sebagai pendapatan negara sangat melimpah. Umar yang

diangkat menjadi khalifah sudah mengeluarkan fatwa

sebagai kebijakannya tentang zakat. Kebijakan-kebijakan

yang dilakukan Umar mengenai Zakat adalah:143

1) Zakat barang-barang perniagaan,

2) Zakat mata uang emas dan perak,

3) Zakat binatang ternak,

4) Zakat sayur-sayuran dan buah-buahan,

5) Zakat madu yang dijual bukan untuk dikonsumsi,

142

Ibid., hlm. 56. 143

Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, al-Fatawa wa al-„Aqidah Amirul

Mukminim Umar ibn al-Khathtab Cet II, Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya :

Risalah Gusti, 2003), hlm. 96-116 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 14.

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

84

6) Zakat kuda yang diperjual-belikan.

Berdasarkan penjelasan mengenai kebijakan mengenai

zakat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat

sebagai instrument fiskal telah dijadikan sebagai

pendapatan utama. Dalam prinsip maqashid syariah

keberadaan zakat dapat memelihara kebutuhan

dhaururiyat yaitu memelihara jiwa dan harta. Zakat

menjadi solusi untuk masalah rakyat sehingga zakat

mempunyai nilai lebih dalam hal kemaslahatan rakyat,

karena dengan adanya zakat dapat membatu

perekonomian umat muslim.

d. Usyr

Sebelum kedatangan Islam, pembayaran pajak (usyr)

jual-beli (maqs) sudah biasa dilakukan oleh setiap suku

atau kelompok yang tinggal di pedesaan sebesar sepuluh

persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap

transaksi. Namun, setelah Islam datang dan menjadi

sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab,

inisiatif diambil oleh nabi untuk mendukung usaha

perdagangan dengan menghapus bea masuk antar

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

85

provinsi. Disebutkan bahwa pembebanan sepersepuluh

hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis)

diriwayatkan sebagai kebijakan pertama pada masa

Umar.144

Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi

yang meminta izin kepada khalifah memasuki Muslim

agar dapat melaksanakan perdagangan dengan membayar

sepersepuluh dari nilai barang. Umar akhirnya

memberikan izin setelah berkonsultasi dengan dengan

beberapa sahabat yang lain. Namun, ada kasus khusus

sewaktu Abu Musa Al-Asy‟ari menulis pesan kepada

Umar yang menyatakan bahwa pedagang Muslim

dikenakan pajak sepersepuluh di tanah harbi. Kemudian

disarankan oleh Khalifah Umar agar membalasnya dengan

mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normaal

kepada mereka. Alasan ditetapkan hukum usyr adalah jika

tidak diterapkan atas dagangan orang kafir dari dagangan

mereka yang diambil modalnya, maka harga barang

dagangan mereka akan lebih mahal dibandingkan dengan

barang kaum muslimin dan pada akhirnya akan merugikan

144

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56.

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

86

kaum muslimin sendiri. Jadi usyr harus ditetapkan karena

orang-orang kafir yang mendatangi negara Islam dengan

tujuan untuk berdagang kebanyakan melakukan

monopoloi perdagangan di daerah Islam ditambah lagi

dalam negara Islam terdapat barang yang sama dengan

yang dibawa oleh orang kafir harbi.145

Umar bin Khattab juga menetapkan usyr karena

penyebaran Islam yang semakin meluas. Dengan

bertambahnya penyebaran Islam menyebabkan

pendapatan usyr juga bertambah. Khalifah Umar

menerapkan usyr karena melihat negara-negara luar

menetapkan sepersepuluh kepada setiap orang yang

melewati negaranya. Maka dari itu, Umar ingin

mengetahui berapa jumlah yang diambil dari pedagang-

pedagang muslim yang melewati negara tersebut untuk

melakukan perdagangan.

Dalam sejarah Islam, penduduk yang pertama kali

dipungut pajak dari harta usyr adalah masyarakat Ming dari

kaum kafir harbi, hukum usyr bukan bersumber dari al-

145

Ibid.

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

87

Qur‟an atau al-hadits. Usyr bersumber dari ijtihad khalifah

Umar dan kesepakatan para sahabat setelah dilakukan

musyawarah oleh Umar.

Ijtihad Umar bin khattab adalah semua barang yang

dibawa oleh para pedagang saat melewati perbatasan negara

baik dalam bentuk uang atau barang yang diperdagangkan.

Ijtihad lainnya yang dilakukan khalifah Umar selama

menjabat sebagai pemimpin adalah membedakan

pengambilan harta usyr dari orang Islam, kafir Dzimmi dan

pedagang yang ikut memerangi orang Islam. Harta usyr

diterapkan kepada kafir dzimmi dan tidak untuk kafir Harbi,

dengan alasan karena orang-orang Dzimmi mendapatkan

perlindungan dari orang Muslim. Sedangkan untuk kafir

Harbi sangat sulit diminta usyr maupun harta jizyahnya.

Adapun ketentuan usyr yang diterapkan pada masa

Umar sebagai berikut:

1) Pajak usyr diterapkan hanya pada harta perdagangan,

maka selain barang dagangan tidak akan dikenakan

pajak usyr.146

146

Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 101 dalam Sulaeman Jajuli,

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

88

2) Ada perbedaan versi pajak usyr dalam tingkat

ukurannya. Tingkat ukuran yang paling umum

ditetapkan adalah 2,5% untuk perdagangan muslim, 5%

untuk kafir dzimmih, dan 10% untuk kafir harbi dengan

asumsi harga barang melebihi dua ratus dirham.147

Ziyad

ibn Hudair, seorang asyir atau pengumpul usyr di

jembatan Efrat menyatakan biasanya hanya

mengumpulkan usyr dari para pedagang Roma saja.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kafir harbi yang

tinggal di negara Islam selama periode 6 bulan atau

kurang dikenai sepuluh persen dan apabila

memperpanjang masa tinggal hingga satu tahun, mereka

dikenakan pajak sebesar 5%.148

3) Pajak perdagangan nabati dan kurma Syria sebesar 50%.

Hal ini dikarenakan untuk memperlancar arus

pemasukan bahan makanan ke kota-kota.149

4) Menurut sumber dijelaskan bahwa khalifah Umar

setelah beberapa waktu, beliau menurunkan

hlm. 15.

147 Adiwarman Azwar Karim, Op. Coit., hlm.. 71.

148 M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56.

149 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.

102.

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

89

presentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum.

Hal ini dilakukan untuk mendorong import barang-

barang tersebut dikota ditambah lagi karena kaum

muslimin saat itu benar-benar membutuhkan kedua

barang tersebut.150

5) Khalifah Umar juga tidak memungut pajak usyr dua kali

dalam setahun walaupun barang tersebut diperbarui.151

Karena, pernah ada sebuah kasus tentang seorang

Taghlibi yang datang ke wilayah Islam untuk menjual

kudanya. Kuda tersebut bernilai 20.000 dirham setelah

dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir. Oleh

karena itu, Zaid memintanya untuk membayar 5%

sebagai usyr yaitu 1000 dirham. Uang tersebut sudah

dibayarkan tetapi kuda tersebut tidak terjual sehingga ia

menarik kembali kudanya. Beberapa waktu berlalu,

Taghlibi tersebut datang kembali bersama kudanya

namun pemungut pajak meminta kembali usyr

kepadanya. Ia menolak untuk membayar dan

mengadukan permasalahan ini kepada Umar. Setelah

150

Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit., hlm. 72. 151

Ibid.

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

90

mendengar permasalahan tersebut, Umar

mengintruksikan para pegawainya agar tidak menarik

usyr dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut

diperbarui.152

Dalam berbagai kajian yang disajikan diatas, maka dapat

dipahami bahwa usyr diberlakukan kepada barang dagangan

yang masuk ke dalam wilayah Islam dengan menetapkan

batas minimal yaitu 200 dirham.Hal ini bertujuan untuk

mengendalikan peredaran barang.Usyr mempunyai peran

sebagai instrument fiskal dan dimanfaatkan untuk

kemaslahatan rakyat.

e. Ghanimah

Ghanimah adalah harta yang dirampas orang-orang

Islam dari tentara kafir melalui jalan perang.153

Dalam

ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar, sebagai

contoh pada saat penaklukan Negeri Syam. Harta rampasan

perang banyak didapatkan oleh orang-orang Islam. Inilah

yang menjadi dasar dalam kebijakan pembagian ghanimah

yang dibuat oleh Umar. Pembagian ghanimah terbagi

152

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 56. 153

Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm. 83 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4.

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

91

menjadi tiga macam, antara lain:154

1) Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala

Negara, harta ini tidak boleh dibagi-bagikan.

2) Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk Allah,

Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, dan ibnu sabil. Setelah Rasul wafat, Abu Bakar

menghentikan bagian Rasul dan kerabat Rasul,

menggantikannya ke fakir miskin. Kemudian, hal ini

diikuti oleh Umar yang membagikannya kepada fakir,

miskin, dan ibnu sabil.

3) Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut

bereperang

Mengenai tentara, Umar mempunyai beberapa syarat

untuk tentara-tentara Islam dalam mendapatkan bagian

ghanimah anatra lain:155

a) Ikut Berperang. Pernah ada kisah tentang Bani

Athraid (Penduduk Basrah yang berperang dengan

penduduk Mah). Saat itu, Bani Athraid meminta

bantuan kepada Amar bin Yasir dari Kufah yang

154

Ibid., hlm. 84-86 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4. 155

Ibid., 86-87 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 4.

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

92

datang setelah perang selesai, Ammar berkata:

“Kami termasuk yang diikutkan dalam pembagian

harta rampasan kalian.” Kemudian seorang lelaki

dari Bani Athraid berkata bahwa “wahai orang yang

tepotong telinganya (telinga beliau terpotong akibat

dari peperangan), kamu mau mendapatkan bagian

harta itu?” lalu Ammar berkata, “Kalian telah

mencela telinga yang paling saya cintai ini.”

kemudian beliau mengirim surat kepada Umar dan

Umar menjawabnya: “Harta rampasan itu hanya

untuk orang-orang yang ikut perang.”

b) Merdeka, Umar berkata “seorang hamba sahaya

tidak mempunyai hak bagian atas harta rampasan

perang jika dia ikut bersama tuannya, tetapi jika dia

ikut perang atas kehendaknya sendiki, maka dia

mendapatkan bagian,” dan Umar mengatakan dalam

tulisannya, “setiap hamba sahaya yang berperang

dan tidak bersama tuannya, maka berikan dia seperti

bagian orang merdeka.”

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

93

c) Baligh, Umar tidak membagikan ghanimah kepada

tentara yang belum baligh.

Maka dapat peneliti simpulkan bahwa ghanimah adalah

harta yang diambil dari musuh melalui cara perang. Bentuk-

bentuk harta yang diambil tersebut bisa berupa harta

bergerak, harta tidak bergerak dan tawanan perang. Namun

pada masa Umar bin Khattab, ditetapkan bahwa jenis harta

yang boleh diambil oleh pasukan Islam yang telah

memenangkan peperangan adalah harta bergerak saja.

Karena harta bergerak yang sesuai dengan „urf atau

kebiasaan.

f. Jizyah

Jizyah pada awalnya hanya diharuskan untuk kaum

lelaki bukan kepada kaum wanita ataupun anak-anak, sebab

lelakilah yang paling banyak melakukan peperangan

sementara wanita dan anak-anak tidak turut berperang. Jika

seorang kafir dzimmi masuk Islam, maka jizyah dihapuskan

darinya. Rasulullah bersabda “tidak ada jizyah untuk

seorang muslim.”156

156

Esti Alfiah, “Pemikiran Ekonomi Umar bin Khattab tentang Kebijakan

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

94

Ada empat golongan yang mendapat kewajiban

membayar jizyah :157

a) Ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.

b) Orang yang memiliki sesuatu yang menyerupai kitab,

yaitu orang-orang Majusi.

c) Orang Mutad, yaitu orang yang pada awalnya beragama

Islam kemudian keluar daru Islam dan pindah ke agama

lain.

d) Orang-orang Nasrani dari Bani Taghlib

Orang-orang Nasrani dari Bani Taghlib merupakan

orang Arab yang sebelumnya Jahiliyyah kemudian

masuk Nasrani. Umar pernah mengajak mereka agar

masuk Islam tapi mereka tidak menyetujuinya.

Kemudian Umar mengajak mereka untuk berdamai dan

diharuskan membayar pajak. Mereka berkata, “Kami

adalah orang Arab, ambilah harta kami sebagaimana

kalian mengambilnya dari saudara kalian, yaitu atas

nama shadaqah.” Lalu Umar menjawabnya, “Kami

tidak akan mengambil shadaqah dari orang musyrik.”

Fiskal”, Jurnal Ekonomi AL-INTAJ, Vol. 3 No. 1, 2017, hlm. 60.

157 Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm.315 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm.

6.

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

95

Lalu Nu‟man bin Zur‟ah mengusulkan kepada Umar

untuk menerima permintaan mereka, agar Bani Taghlib

tidak membantu musuh pemerintah Islam yaitu Negara

Rum karena ada diantara mereka yang bergabung

dengan Negara Rum. Oleh sebab itulah, Umar

menyetujui untuk mengambil upeti, akan tetepai Umar

melipat gandakan zakat atau shadaqah yang diambil.158

Adapun kebijakan jizyah Umar bin Khattab sebagai

berikut :

1) Umar bin Khattab menetapkan jizyah untuk kaum lelaki

dengan standar sebagai berikut :159

TABEL 4.1

Penetapan Tarif Jizyah

Penghasilan Jumlah Keterangan

Tinggi 48

dirham

Orang kaya, seperti pekerja

penukaran mata uang atau

pemilik swalayan, pemilik

barang-barang langka, pedagang

dan dokter.

Menengah 24

dirham

158

Ibid., hlm. 317 dalam Jamaludin Kusnadi, hlm. 6. 159

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 65-66 dalam Esti Alfiah, hlm. 60.

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

96

Minim 12

dirham

Orang miskin yang bekerja

seperti penjahit, penenun,

penjualan minuman dan

semacamnya.

Sumber: Badri Yatim, 2002

2) Khalifah Umar memberikan keringanan kepada

golongan berikut ini :160

a) Penjaga kuil dan para pendeta yang hanya tinggal di

rumah. Namun apabila mereka kaya, maka tetap

dikenakan jizyah. Jika mereka memberikan harta

kepada orang yang mengurusi rumahnya, maka

jizyah akan dikenakan pada pemilik rumah tersebut.

Jika dia tidak mengaku atas kepemilikannya dan

telah disumpah dengan nama Allah atau menurut

keyakinannya, bahwa di tidak memiliki sepeserpun

hartanya, maka ia dibiarkan dan tidak dipungut

jizyah.

b) Lelaki tua yang sudah tidak lagi dapat bekerja dan

tidak bisa melakukan apa-apa.

c) Orang yang masuk Islam. Apabila kafir dzimmi

160

Ibid., hlm 67-68.

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

97

masuk Islam, maka jizyah tersebut dihapuskan

darinya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,

“tidak dikenakan jizyah bagi orang yang muslim.”

Dalam kebijakan mengenai jizyah di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa jizyah merupakan pajak

yang ditetapkan kepada kaum non muslim atas jaminan

tinggal di wilayah Islam, kebebasan menjalankan agama

dan perlindungan atas hidup.

g. Fa’i

Dalam salah satu kitab tafsir, harta fa‟i dijelaskan

didapatkan bukan dari dari peperangan tetapi harta murni

yang didapatkan dari orang-orang kafir dengan cara sukarela

tanpa paksaan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tafsir

Ibn Katsir, “Fa‟i adalah harta yang diambil dari orang-

orang kafir dengan tanpa ada peperangan didalamnya dan

tanpa pengerahan kuda atau unta.”161

Pembagian harta fa‟i dibagi menjadi lima bagian

sebagaimana Umar berpendapat harta fa‟i dalam pembagian

sama dengan ghanimah yaitu seperlima dari ghanimah

161

Sulaeman Jajuli, Op. Cit., hlm. 17.

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

98

dibagikan kepada Allah dan RasulNya, Kerabat Rasul, Anak

Yatim, Fakir Miskin, Ibnu Sabil. Sedangkan sisanya

dibagikan kepada mereka yang ikut pertempuran.162

Umar pernah mengumpulkan orang-orang dan

mengatakan kepada mereka.

“Saya ingin menempatkan harta fa‟i ini sesuai dengan

tempatnya agar setiap orang bisa mendapatkan manfaatnya”.

Jika dilihat dari kebijakan yang digunakan Umar bin

Khattab, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Umar

harta fa‟i harus diambil seperlimanya.163

Penggunaan

seperlima harta fa‟i digunakan seperti penggunaan

seperlima harta rampasan (ghanimah). Dalam

pembagiannya, Abu Bakar dan Umar sudah menghilangkan

bagian Rasulullah setelah beliau wafat dan memberikannya

untuk makan kuda atau membuat pedang, dan tidak

mewariskan kepada para sanak keluarganya.164

Pembagian

harta fa‟iuntuk kerabat Rasul tadinya diberikan Abu bakar

danUmar pada awal pemerintahannya. Setelah itu Umar

162

Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm. 65 dalam Ali Ridho, “Kebijakan

Ekonomi Umar bin Khattab”, Jurnal Al‟-Adl, Vol.6 No. 2, 2013, hlm. 11. 163

Muhammad Rawwas, Op. Cit., hlm.66 dalam Ali Ridho, hlm. 12. 164

Ibid., hlm.66 dalam Ali Ridho, hlm. 13.

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

99

menghapus pembagian harta fa‟i untuk kerabat Rasul sebab

Umar dalam ijtihad-nya bahwa surah al-Hasyr yang

membahas harta fa‟i menyebutkan kerabat Rasul

memperoleh bagian, kemudian oleh Umar ayat tersebut di-

naskh dengan surah al-Anfal yang membahas tentang

pembagian ghanimah bahwa ayat tersebut tidak

menyebutkan bagian yang wajib diterima oleh kerabat

Rasul. Sehingga Umar tidak membagikan bagian fa‟i

kepada Kerabat Rasul.165

Dalam penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat

dipahami bahwa fa‟i merupakan harta yang diperoleh dari

orang-orang kafir seperti halnya ghanimah. Namun fa‟I

diperoleh berdasarkan kerelaan hati dan tergolong sedekah

sedangkan ghanimah diperoleh dengan paksa setelah

kemenangan.

2. Belanja Negara pada masa Umar bin Khattab

Dalam menetapkan kebijakannya, Khalifah Umar

menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai pedoman. Selain itu

Umar juga melanjutkan kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW

165

Ibid., hlm.68-69 dalam Ali Ridho, hlm. 14.

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

100

dan khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Namun dalam kebijakan

yang diterapkan Umar, beliau menambahkan pembaharuan

kebijakan dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat

pada zaman tersebut.166

Dengan demikian, khalifah Umar bin Khattab menerapkan

prinsip keadilan dalam mendistribusikan harta Baitul Maal.

Menurutnya dalam menetapkan bagian seseorang dari harta

negara harus diperhitungkan kesulitan yang dihadapi, karenanya

keadilan dalam memperjuangakan Islam harus dipertahankan

dan dibalas dengan sebaik-baiknya.167

a. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara

Pendapatan negara yang telah didapatkan akan

digunakan dalam berbgai pembiayaan umum. Terbagi

menjadi empat bagian belanja negara, yaitu:168

1) Khusus untuk mengeluarkan harta zakat, yaitu kaum

fakir miskin, orang yang menangani zakat, orang yang

terpikat oleh Islam, budak, orang yang terjerat hutan,

Sabilillah dan Ibnu Sabil.

166

Esti Alfiah, Op. Cit., hlm. 66 167

Afzalurrahman, Op. Cit., hlm. 164 168

Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 108-109 dalam Sulaeman

Jajuli, hlm. 14.

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

101

2) Khusus untuk pengeluaran dari seperlima harta

rampasan, yaitu untuk Allah SWT.

3) Khusus untuk pengeluaran harta yang diberikan kepada

Baitul Maal berupa barang temuan dan peninggalan

yang tidak memiliki ahli warisnya. Maka pemasukan ini

akan diberikan sebagai infaq kepada kaum fakir.

4) Khusus untuk pembiayaan kemaslahatan umum. Dalam

hal ini, digunakan dari sumber pemasukan jizyah, kharaj

dan usyr.

Ada perbedaan menurut pendapat Adiwarman Azwar

Karim dan pendapat Muhammad Hidayat yang dikutip Irfan

Mahmud Ra‟ana tentang klasifikasi dan alokasi pendapatan

negara, yaitu:169

1) Pendapatan zakat dan usyr. Pendapat ini didistribusikan

di tingkat lokal dan apabila terdapat surplus, sisa

pendapatannya disimpan di Baitul Maal pusat dan

diberikan kepada delapan ashnaf.

2) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini

didistribusikan kepada fakir miskin untuk membiayai

169

Adiwarman Azwar karim, Op. Cit., hlm. 74.

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

102

kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah

seorang muslim atau bukan.

3) Pendapatan kharaj, fa‟i, jizyah, usyr (pajak

perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini

digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana

bantuan serta untuk menutupi biaya operasional

administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

4) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan dalam

pembayaran para pekerja, pemeliharaan anak-anak

terlantar dan dana sosial lainnya.

Dari perbedaan kedua alokasi pendapatan ini, dapat

dilihat bahwa pada masa Umar pendapatan dikelola dengan

maksimaal dan dengan sistem yang jelas. Walaupun

terdapat perbedaan yang terletak pada penamaan/istilah saja.

b. Tunjangan

Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing

golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara

umum, jumlah tunjangan yang diberikan adalah sebagai

berikut:170

170

M. A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 51.

Page 37: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

103

TABEL 4.2

Daftar Tunjangan Pengalokasian Pendapatan Negara

No Penerima Jumlah

1. Aisyah dan Abbas ibn Abdul Muthalib Masing-masing

12.000 dirham.

2. Para istri nabi selain Aisyah Masing-masing

10.000 dirham.

3. Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badar Masing-masing

5.000 dirham.

4. Para Pejuang Uhud dan migran ke Abysinia Masing-masing

4.000 dirham.

5. Kaum Muhajirin sebelum peristiwa Fathul

Makkah

Masing-masing

3.000 dirham.

Sumber: M. A. Sabzwari,1985.

Orang-orang Makkah yang bukan termasuk kaum

Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah

25 dinar, kaum Muslimin yang tinggal di Yaman, Syiria dan

Irak mendapat tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham,

serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui

masing-masing mendapat 100 dirham. Selain itu, kaum

Muslimin mendapat tunjangan pensiun berupa gandum,

minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Peran

negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan

kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga

Page 38: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

104

negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi

dalam sejarah dunia.171

c. Belanja Umum Negara

Pengelokasian harta Baitul Maal yang paling penting

adalah dana pensiun, dilanjutkan dana pertahanan negara

dan dana pembangunan.172

1) Pengeluaran Zakat

Orang yang berhak menerima zakat adalah: 173

a) Orang fakir

b) Orang miskin

c) Pengurus zakat

d) Muallaf

e) Memerdekakan budak

f) Orang Berhutang

g) Pada jalan Allah (sabilillah)

h) Orang yang sedang dalam perjalanan

Delapan golongan ini yang berhak mendapatkan

zakat pada masa khalifah Umar. Namun, khalifah Umar

pernah menghentikan pemberian dana zakat untuk

171

Ibid., hlm. 53. 172

Ibid., hlm. 205 173

Ibid.

Page 39: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

105

muallaf, memerdekakan budak dan pemberian zakat

kepada satu ahlul bait.174

2) Seperlima harta rampasan

Yang berhak menerima harta rampasan perang

adalah Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim,

orang-orang miskin dan ibnu sabil.175

3) Pembiayaan Fasilitas Umum

Pembiayaan kemaslahatan umum termasuk seluruh

pembiayaan atas perangkat kenegaraan dan pemberian

pelayanan kepada rakyat, seperti menggaji karyawan

yang bekerja di kantor-kantor negara, pembiayaan jasa

sosial, asuransi dan pembiayaan atas berbagai tempat

dan perumahan umum serta perencanaan yang telah

dibuat oleh negara untuk kemaslahatan warga negara.176

174

Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 111-117. 175

Rawwas Muhammad, Op. Cit., hlm. 65. 176

Quthb Ibrahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 128-144.

Page 40: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

106

B. Kebijakan Fiskal pada masa Umar Bin Khatab dan

relevansinya di Indonesia

1. Baitul Maal dan Kementerian Keuangan

Dalam setiap pemerintahan, sebuah negara memerlukan

instansi yang mengatur keuangan agar keuangan negara dapat

dikelola dengan baik. Hal ini lah yang membuat pengelola

keuangan di suatu negara memiliki peran yang sangat penting.

Pada masa kepemimpinan atau kekhalifahan Umar bin

khattab, Umar juga membentuk lembaga pengelola keuangan

untuk mengatur kebijakan fiskal di negara yang dipimpinnya.

Pengelola keuangan pada masa khalifah Umar dikenal dengan

nama Baitul Maal.

Baitul Maal adalah salah satu kontribusi Umar yang terbesar

dalam membentuk administrasi yang baik dalam menjalankan

roda pemerintahan. Khalifah Umar membuat kebijakan dengan

mendirikan Baitul Maal secara permanen di Ibu kota kemudian

membangun cabang-cabangnya di daerah-daerah. Hal ini

dilakukan Umar agar dapat mengelola keuangan negara sebagai

cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan

Page 41: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

107

lain untu Ummah.177

Tujuan dasar dari membuat Baitul Maal

adalah untuk mengawasi harta dan mengatur urusan pendapatan

dan pengeluaran.

Melirik pada pemerintahan di Indonesia yang juga memiliki

lembaga atau instansi yang bertindak sebagai pengelola

keuangan. Jika pada masa Umar dibangun Baitul Maal, maka

pada pemerintahan di Indonesia keuangan negara dikelola oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia.178

Untuk itu maka penelitian ini perlu mendeskripsikan hal-hal

yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan salah satunya

visi dan misi sebagai berikut :

Visi :

Menjadi Pengelola keuangan Negara untuk mewujudkan

perekonomian Indoensia yang produktif, kompetitif, inklusif,

dan berkeadilan untuk mendukung visi dan misi Presiden dan

Wakil Presiden: “Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan

berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”.

Misi :

177

M.A. Sabzwari, Op. Cit., hlm. 46. 178

Ali Fikri, Op. Cit., hlm. 208.

Page 42: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

108

a Menerapkan kebijakan fiskal yang responsif dan

berkelanjutan,

b Mencapai tingkat pendapatan negara yang tinggi melalui

pelayanan prima serta pengawasan dan penegakan hukum

yang efektif,

c Memastikan belanja negara yang berkeadilan, efektif,

efisien, dan produktif,

d Mengelola neraca keuangan pusat yang inovatif dengan

risiko minimum,

e Mengembangkan proses bisnis inti berbasis digital dan

pengelolaan sumber daya manusia yang adaptif sesuai

kemajuan teknologi.

Dilihat dari tujuan dibentuknya lembaga pengelola

keuangan ini, dapat diketahui bahwa kedua lembaga ini sama

sama memiliki tujuan sebagai pelaksana kebijakan fiskal.

Persamaan dan perbedaan dari kedua lembaga ini juga dapat

dilihat dari dalam daftar tabel di bawah.

Page 43: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

109

TABEL 4.3

Perbedaan dan Persamaan Baitul Maal

No Keterangan Baitul Maal Kementerian Keuangan

1. Fungsi Sebagai Kebijakan Fiskal Sebagai Kebijakan

Fiskal

2. Bendahara

Negara

Dikelola oleh Bendahara

Negara yaitu Abdullah ibn

Irqam dan Abdurrahman

ibn Ubaid Al-Qari yang

ditunjuk langsung oleh

Umar bin Khattab.

Dikelola oleh Menteri

Keuangan yang dipilih

langsung oleh Presiden

Republik Indonesia

dalam jangka waktu

lima tahun.

3. Pedoman

Negara

Berpedoman pada Al-

Qur‟an dan Hadits serta

ijtihad-ijtihad bersama

sahabat.

Berpedoman pada

undang-undang yang

berlaku.

Sumber: Kementerian Keuangan, 2020.

Dari perbedaan pedomaan yang dipakai dapat dipastikan

kedua lembaga tersebut juga memiliki perbedaan dalam

pelaksanaan kebijakan fiskalnya.

Umar bin Khattab membagi pendapatan (devisa) negara dan

pendistribusian pendapatan negara (belanja negara) menjadi

empat bagian, seperti pada tabel di bawah :

Page 44: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

110

Tabel 4.4

Devisa dan Belanja Negara di masa Umar bin Khattab

Pendapatan Negara Tujuan Penggunaan

Zakat dan Usyr Pendapatan ini didistribusikan di

tingkat lokal dan jika terdapat

surplus, sisa pendapatan tersebut

disimpan di Baitul Maal pusat dan

dibagikan kepada delapan ashnaf.

Ghanimah (khums) dan

Sedekah

Pendapatan ini didistribusikan

kepada fakir miskin atau untuk

membiayai kesejahteraan mereka

tanpa membedakan apakah ia

seorang Muslim atau bukan.

Kharaj, Fa‟i, Jizyah,

dan Sewa Tanah

Pendapatan ini digunakan untuk

membayar dana pensiun dan dana

bantuan serta untuk membiayai

biaya operasional administrasi

kebutuhan militer, dan sebagainya.

Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk

membayar para pekerja,

pemeliharaan anak-anak terlantar,

dan dana sosial lainnya

Sumber: Gustafa, 2007.

Namun Kementerian keuangan mengatur APBN (anggaran

pendapatan belanja negara) yang sangat berbeda dengan APBN

pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pendapatan negara

Page 45: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

111

hanya dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan pajak dan

pendapatan non pajak. Untuk belanja negara, Kementerian

Keuangan mendistribusikan pendapatan negara sebagai Belanja

Pemerintahan Pusat dan mentransfer ke daerah-daerah serta

dana desa.179

TABEL 4.5

Pendapatan Negara Indonesia Tahun 2018 dan 2019

(Triliun Rupiah)

Uraian Tahun

2018 2019 2020

Pendapatan Dalam Negeri Rp 1.894,7 Rp 2.165,1 Rp 2.233,2

G. Penerimaan dalam Negeri Rp 1.893,5 Rp 2.164,7 Rp 2.232,7

3. Penerimaan Perpajakan Rp 1.618,1 Rp 1.786,4 Rp 1.865,7

4. Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp 275,4 Rp 378,3 Rp 367,0

B. Penerimaan Hibah Rp 1,2 Rp 0,4 Rp 0,5

Belanja Negara Rp 2.220,7 Rp 2.461,1 Rp 2. 540,4

C. Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.454,5 Rp 1.634,3 Rp 1.683,5

D. Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 766,2 Rp 826,8 Rp 856,9

Sumber: Informasi APBN, 2018-2020.

Jika dilihat tujuan pengeluaran maka dapat dikatakan kedua

kebijakan tersebut memiliki misi yang sama yaitu untuk

kemaslahatan rakyat. Namun ada perbedaan mendasar terkait

pos perbendaharaan harta negara. Di zaman Umar, pos

perbendaharaan negara dipisahkan sesuai pendapatan dan

179

Informasi APBN 2020, (https://www.kemenkeu.go.id/apbn2020)

Page 46: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

112

dikeluarkan sesuai kekhususan tujuan pendistribusian yang

ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan Pemenrintahan

Indonesia menggabungkan seluruh pendapatan dan

mengeluarkannya sesuai perencanaan APBN.

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang praktik Baitul

Maal maka Peneliti melakukan wawancara dengan salah satu

prakisi kebijakan terkait penerapan Baitul Maal di Indonesia

dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H.

“Praktek Baitul Maal dalam praktek perpajakan dan

penganggaran yang berlaku di beberapa negara dikenal

dengan earmarking taxes atau earmarking revenues.

Dimana penerimaan pajak atau penerimaan lain dari sebuah

objek pajak/penerimaan dialokasikan secara spesifik kepada

sektor tertentu. Di Indonesia, praktek earmarking taxes

sudah diterapkan secara parsial, khususnya yang berkaitan

dengan beberapa pajak daerah seperti pajak penerangan

jalan. Artinya dalam APBD, belum ada penerapan

earmarking dalam pengalokasian belanja negara. Namun

beberapa alokasi dana bagi hasil yang didaerahkan ada

sebagian alokasi yang diterima oleh daerah harus

dialokasikan secara spesifik untuk sektor tertentu. Salah

satunya dana bagi hasil (hal ini diatur dalam UU

Perimbangan Keuangan) 0,5 persen dialokasikan ke sektor

pendidikan atau persekian persen dana bagi hasil masuk

yang diterima oleh daerah dialokasikan untuk sektor

kesehatan (hal ini diatur dalam UU Masuk). Apakah

memungkinkan earmarkingtaxes secara penuh diterapkan

dalam pengganggaran APBN? Secara keseluruhan (seluruh

sumber penerimaan) di earmarking ke sektor tertentu sangat

sulit diaplikasikan. Hal ini didasarkan pada pembagian

kewewenangan pelayan publik dan penerimaan antar level

pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan

Page 47: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

113

kewenangan tersebut terbagi menjadi wajib dan pilihan.

Dengan adanya pembagian kewenangan ini akan

menyulitkan earmarking taxes. Penerapan earmarking taxes

sendiri hanya dimungkinkan dilakukan pada level

pemerintahan daerah bukan pusat.”180

Dari hasil wawancara tersebut, Zulfan mengatakan bahwa

praktek Baitul Maal atau earmarking taxes di Indonesia sudah

dilaksanakan secara parsial namun menurut Zulfan tidak

memungkinkan dan sangat sulit untuk diaplikasikan jika

earmarking taxes dilaksanakan secara penuh di Indonesia.

Pendapat ini diperkuat oleh Prof. Maya Panorama S.E., M.

Si., Ph.D yang mengatakan bahwa:

“Earmarking Taxes tidak bisa diterapkan secara penuh di

indonesia karena beberapa faktor. Faktor pertama karena

Indonesia memiliki dua ekonomi yang mana Indonesia

berkomitmen untuk melakukan duel ekonomi sistem, yaitu

sistem berbasis syariah dan sistem berbasis konvensional.

Faktor kedua karena penerapan earmarking taxes hanya

diperuntukkan untuk alokasi pembangunan dana daerah

tetapi pada sektor-sektor tertentu. Kemudian terkait

pengalokasian dana untuk Baitul Maal yang membedakan

pos perbendaharaan sesuai pendistribusiannya hal ini

dikarenakan kebijakan fiskal di zaman Umar bin Khattab

dikelola oleh satu badan yaitu Baitul Maal sehingga

pengalokasian dana bisa dikeluarkan sesuai kekhususan

tujuan pendistribusian. Sedangkan di Indonesia dana-dana

tidak dikelola oleh satu badan naungan, seperti misalnya

zakat yang dikelola oleh Baznas.”181

180

Wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H selaku Perancang

Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama pada Pusat Perancangan UU Badan

Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 2 Januari 2021. 181

Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli

Page 48: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

114

Dari hasil wawancara bersama narasumber, maka dapat

dipahami bahwa Praktek Baitul Maal di Indonesia tidak bisa

diterapkan secara penuh karena sistem ekonomi di Indonesia

yang menerapkan sistem ekonomi campuran berbasis syariah

dan konvensional yang berbasis pada landasan Pancasila.

Earmarking taxes tidak dapat diterapkan secara penuh karena

earmarking taxes memang diperuntukkan untuk dana

pembangunan desa seperti pajak penerangan jalan. Jadi, dana

yang dialokasiakan untuk beberapa sektor tertentu tidak bisa

dialihfungsikan untuk pembiayaan sektor lainnya. Lalu terkait

pendistribusian yang dikhususkan, Baitul Maal memang

mempunyai wewenang lebih untuk mengatur semua pendapatan

sehingga dapat mengatur pendapatan itu sesuai kebutuhan

sedangkan di Indonesia dana-dana dikelola oleh badan

tersendiri, tidak dikhususkan seperti pada zaman Umar bin

Khattab.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Baitul Maal dan

Kementerian Keungan relevan secara parsial untuk diterapkan

namun hanya untuk ruang lingkup daerah Karena menerapkan

Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.

Page 49: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

115

konsep baitul Maal secara penuh sangat sulit dilakukan di

Indonesia.

2. Zakat pada Masa Khalifah Umar bin Khattab dan Zakat di

Indonesia

Zakat adalah salah satu rukun Islam dari lima rukun Islam.

Selain itu, zakat ternyata mempunyai efek yang cukup besar

bagi kesejahteraan masyarakat jika dapat dikelola dengan baik.

Zakat memiliki peranan dalam pertumbuhan ekonomi antara

lain :182

1) Zakat merupakan sarana penting dalam fungsi perbaikan

mata uang,

2) Zakat merupakan tambahan dan pengembangan harta,

3) Zakat dapat mewujudkan keseimbangan ekonomi,

4) Zakat dapat mewujudkan keseimbangan sosial.

Hal ini, telah dimanfaatkan oleh Umar bin Khattab dalam

kepemimpinannya. Khalifah Umar mengelola dana zakat

dengan sangat baik dengan menjadikan zakat sebagai

pendapatan utama negara. Setelah khalifah Abu Bakar

memerangi orang-orang yang malas membayar zakat,

182

Sulaeman Jajuli, Op. Cit., hlm. 14.

Page 50: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

116

pendapatan negara meningkat secara signifikan dan sangat

melimpah.183

Jika dilihat di masa sekarang, nyatanya zakat bukan

merupakan pendapatan pokok negara Indonesia seperti pada

masa Umar bin Khattab. Masyarakat Indonesia memberikan

zakat layaknya sedekah langsung kepada yang membutuhkan

ataupun melalui lembaga-lembaga pengelolanya.

Di dalam konteks kenegaraan, zakat seharusnya menjadi

bagian utama dalam penerimaan negara dengan masuk ke dalam

kerangka kebijakan fiskal negara. Zakat juga harusnya bisa

dikelola oleh negara dan ditegakkan hukumnya dalam peraturan

perundang-undanagn agar mengatur berbagai aspek tentang

zakat.

Zakat akan senantiasa dipungut oleh negara sepanjang

masih ada orang yang wajib zakat, serta tidak akan dihentikan

kewajiban ini walaupun harta zakat yang terkumpul di Baitul

Maal melimpah sedangkan orang yang menerimannya tidak ada

di dalam negara. Jadi, fungsi negara dalam mengelola zakat

hanya semata-mata bagian dari ibadah terhadap Allah SWT,

183

Ibid.

Page 51: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

117

bukan untuk pembangunan ekonomi.

Zakat termasuk salah satu dari lima nilai instrumental Islam

yang strategis serta sangat berpengaruh pada tingkah laku

ekonomi masyarakat dan pembangunan ekonomi tampaknya

akan terus menjadi populer di Indonesia. Indikasi positif ini

selain disebabkan oleh pemahaman menjalankan perintah

agama di kalangan umat Islam terus meningkat dalam beberapa

tahun terakhir, dan dorongan untuk membayar zakat juga datang

dari pemerintah.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, zakat

memiliki potensi yang besar. Pengelolaan zakat yang

maksimaal tidak hanya bisa didistribusikan pada sektor

ekonomi, tetapi juga pada sektor produktif yang lebih tinggi

tingkatannya. Namun sayangnya, potensi zakat yang sebenarnya

belum dapat digali secara maksimaal karena zakat dianggap

sebagai sumbangan sukarela dan negara pun tidak dapat

mewajibkan masyarakatnya untuk membayar. Dengan

menjadikan zakat sebagai kebijakan fiskal, maka potensi zakat

dapat dirasakan.

Dalam mengetahui apakah zakat bisa dijadikan sebagai

Page 52: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

118

kebijakan fiskal atau tidak, maka Peneliti melakukan

wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah.

“Zakat sebagai kebijakan fiskal sulit diterapkan. Hal ini

didasarkan pada prinsip zakat merupakan kewajiban agama

bukan kewajiban menurut negara dan hanya spesifik pada

agama Islam. Sedangkan pajak sebagai salah satu instrumen

fiskal merupakan aturan wajib menurut negara tetapi tidak

wajib menurut agama dan bersifat universal. Hal ini

menegaskan bahwa, sulit untuk menjadikan zakat sebagai

salah satu sumber penerimaan di dalam APBN meskipun

bisa saja di earmarking untuk pembinaan dan pelayanan

agama Islam akan lebih ideal jika pengelolaan zakat yang

tersentralisasi pada satu lembaga tertentu yang

beranggotakan seluruh kelompok/organisasi keagamaan

Islam di Indonesia dan pengelolaannya mengedepankan

prinsip good clean governance. Dengan tersentralisasi,

dampak positif dari zakat yang kemudian disalurkan akan

lebih efektif dan dapat mengedepankan pemerataan wilayah

maupun individu pengelolaan zakat.”184

Dari hasil wawancara, dapat dipahami bahwa sulit untuk

menjadikan zakat sebagai kebijakan fiskal karena ada garis

besar mengenai kewajiban agama dan kewajiban Negara. Zakat

memang merupakan salah satu instrument fiskal yang potensial

namun dalam konteks agama dan hanya menjurus pada agama

Islam saja. Faktanya Indonesia bukan hanya terbatas agama

Islam namun juga terdiri dari beberapa agama lainnya. Zulfan

juga memandang bahwa baik zakat dan pajak adalah dua hal

184

Wawancara dengan K. Zulfan Andriansyah, S.H selaku Perancang

Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama pada Pusat Perancangan UU Badan

Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 2 Januari 2021.

Page 53: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

119

yang berbeda. Zakat merupakan kewajiban terhadap agama

sedangkan Pajak merupakan kewajiban terhadap Negara.

Untuk mengukur lebih dalam tentang zakat, Peneliti juga

melakukan wawancara dengan informan lain yaitu Kiki Mikail,

M.A.

“Membuat suatu lembaga atau intitusi Negara mengenai

zakat sulit untuk dilakukan. Kalaupun hal tersebut

dilakukan, harus ada payung hukum terlebih dahulu.

Apakah nanti pemerintah dan DPR menyetujui

pembentukan sebuah badan atau lembaga resmi yang

mengurus serta mengelola khusus zakat.”185

Menurut Kiki Mikail, untuk menerapkan zakat sebagai

kebijakan fiskal harus dibentuk sebuah lembaga atau institusi

Negara mengenai zakat. Namun hal ini sulit untuk diwujudkan,

kalaupun hal tersebut dilakukan harus berdasarkan hukum yang

disetujui oleh pemerintah. Pendapat ini juga diperkuat oleh

Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D.

“Zakat itu merupakan kewajiban yang dibuat oleh agama

sedangkan pajak itu merupakan kewajiban yang dibuat oleh

aturan pemerintah. Di Indonesia Pajak dan zakat tidak bisa

disamaratakan, karena di zaman Umar dengan lingkaran

penduduk muslim yang besar sehingga dikenakan zakat

sedangkan Indonesia tidak bisa menerapkan kewajiban

zakat untuk seluruh umat karena kembali lagi Indonesia

bukanlah Negara Islam jadi peraturan yang digunakan pun

185

Wawancara dengan Kiki Mikail, M.A selaku Akademisi Bidang Politik

Islam/Pengamat Kebijakan Politik Timur tengah pada Tanggal 30 Desember 2020.

Page 54: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

120

dijalankan sesuai administratitif Negara republik. Jadi,

solusinya adalah Badan Amil Zakat harus proaktif kepada

masyarakat muslim untuk mengingatkan kewajiban dan

zakat juga bisa dijadikan zakat produktif seperti dilakukan

pelatihan pembinaan keterampilan sehingga dana zakat

dapat mempunyai manfaat lebih.”186

Dari hasil wawancara di atas, maka dapat dipahami bahwa

zakat tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai kebijakan

fiskal walaupun sebenarnya zakat mempunyai potensi yang

lebih untuk perkembangan perekonomian Indonesia. Jadi, solusi

yang dapat dilakukan adalah yang pertama, untuk membuat

zakat menjadi sumber daya yang efektif yaitu dengan Badan

Amil Zakat yang proaktif, dimana Badan Amil Zakat dapat

lebih aktif lagi dalam mengingatkan dan mengumpulkan dana

zakat dari masyarakat. Yang kedua, zakat produktif dimana

dana zakat bisa dialihfungsikan untuk pelatihan pembinaan

keterampilan sehingga dana zakat dapat terus diputar dan dapat

lebih bermanfaat untuk masyarakat.

Jadi, dapat disimpulkan zakat tidak relevan untuk diterapkan

di Indonesia sebagai kebijakan fiskal karena Indonesia

mengkomodir enam agama yang diakui dan sah dimata Negara

186

Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli

Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.

Page 55: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

121

sehingga zakat tidak bisa dijadikan aturan untuk semua agama.

Meskipun di zaman Umar bin Khattab zakat diterapkan hanya

untuk muslim, namun permasalahan mendasarnya di Indonesia

umat muslim juga diwajibkan membayar pajak yang sama

dengan umat non muslim. Sehingga apabila hal ini terjadi, dapat

menimbulkan pro dan kotra di kalangan umat Muslim jika pajak

dan zakat dijadikan sebagai kebijakan fiskal karena akan terjadi

kewajiban ganda bagi umat muslim itu sendiri.

C. Ghanimah dan RUPBASAN

Peperangan dalam Islam buhan hanya sekedar adu kekuatan

di medan perang sebagaimana umumnya perang. Bukan pula

tentang pembumihangusan sebuah daerah untuk dijarah

kekayaannya, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara

barat. Perang dalam Islam dilandasi oleh Aqidah Islam,

ditetapkan dengan syariat Islam untuk membebaskan manusia

dari dalam melawan ke dzoliman. Jadi, Perang dalam Islam

ditujukan untuk menyebarkan kebaikan Islam bagi seluruh

alam.

Melawan kedzoliman tidak hanya dilakukan pada masa

Page 56: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

122

peradaban Islam. Indonesia pun sekarang sedang berjuang

melawan kedzoliman yang terus menerus menjajah Indonesia.

Jika pada masa peradaban Islam, Islam berperang melawan

orang-orang kafir, maka hal itu berbeda dengan Indoensia yang

berperang melawan korupsi.

Dalam kedua aspek ini, peperangan yang dilakukan ini

banyak membuahkan hasil. Di masa Umar bin Khattab. Dalam

ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar, sebagai contoh

pada saat penaklukan Negeri Syam. Harta rampasan perang

banyak didapatkan oleh orang-orang Islam. Harta rampasan

perang ini digunakan dalam membantu perekonomian pada

masa itu.

Ghanimah yang dihasilkan dari peperangan melwan orang

kafir, mempunyai kesamaan dalam harta rampasan yang

dihasilkan dari peperangan melawan korupsi di Indonesia.

Harta-harta rampasan tersebut di simpan dalam Rumah

Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau yang dikenal dengan

Rupbasan. Rupbasan sendiri adalah tempat barang-barang sitaan

negara. Namun terdapat perbedaan dalam hal pengelolaan

ghanimah dan barang-barang sitaan di Rupbasan.

Page 57: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

123

Seperlima dari Ghanimah didistribusikan kepada fakir

miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa

membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan dan sisanya

dibagikan kepada mereka yang ikut dalam peperangan.

Sedangkan pengelolaan barang sitaan merupakan wewenang

jaksa/penyidik atau pejabat yang berwewenang sebagai barang

bukti dalam perkara pidana yaitu akan dilaksanakan lelang

terhadap barang-barang tersebut. Berdasarkan keputusan jaksa

Agung Republik Indonesia Nomor KEP-089/J.A/8/1988 tentang

penyelesaian barang Rampasan

Pasal 1, Yang dimaksud dengan barang rampasan dalam

Keputusan ini adalah barang bukti yang berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dinyatakan dirampas untuk Negara.

Pasal 2, Jaksa Agung Republik Indonesia menetapkan dan

mengendalikan kebijaksanaan penyelesaian barang rampasan

dengan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3, penyelesaian barang rampasan dilakukan dengan

cara dijual lelang melalui Kantor Lelang negara atau

dipergunakan bagi kepentungan Negara, kepentingan sosial atau

Page 58: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

124

dirusak samapai tidak dapat dipergunakan lagi.

Pasal 4, Tenggang waktu untuk menyelesaikan barang

rampasan selambat-lambatnya empat bulan setelah putusan

pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Untuk meneliti lebih lanjut mengenai harta rampasan,

Peneliti melakukan wawancara dengan Merlysa Prima Zufni,

S.H., M.H.

“Segala hal yang berkaitan dengan harta rampasan akan

dikembalikan ke negara dan negara mempunyai hak penuh

atas harta rampasan tersebut.”187

Dari hasil wawancara tersebut, penulis menarik kesimpulan

bahwa Barang rampasan negara yang telah ditetapkan untuk

disita akan dilakukan pelelangan. Hasil dari pelelangan atas

barang sitaan tersebut akan dimasukkan ke kas Negara. Seperti

yang dikatan Merlysa bahwa semua harta rampasan adalah

milik Negara dan akan dikembalikan kepada Negara.

Penulis juga melakuan wawancara dengan narasumber lain,

yaitu Fadilah Mursid, M.H., M.H.I.

“Ghanimah dan Sitaan yang diberlakukan di Indonesia

mungkin tidak sama persis, tapi secara substansi jika dilihat

dari aturan KUHP, undang-undang korupsi ataupun aturan

187

Wawancara dengan Merlysa Prima Zufni, S.H., M.H. selaku Ajun

Jaksa/Kasubsi Pertimbangan Hukum Perdata Kejaksaan Negeri Kab. Sumedang pada

tanggal 31 Desember 2021.

Page 59: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

125

dalam pelelangan. Ketika ada suatu tindakan pidana korupsi,

kejahatan tersebut dapat disita maka harta sitaan tersebut

akan dikembalikan ke Negara. Jadi dapat dikatakan sitaan

ini adalah bentuk rampasan secara legal. Harta sitaan itu

akan disita kemudian dilelang untuk dimasukkan ke dalam

kas Negara untuk kemaslahtan rakyat. Jadi, menurut saya

secara substansi Ghanimah dan harta sitaan memiliki

kesamaan walaupun mekanismenya berbeda.”188

Dari hasil wawancara tersebut, Fadilah Mursyid mengatakan

bahwa secara substansi Ghanimah dan Barang rampasan

Negara/Barang sitaan memiliki kesamaan walau tidak sama

persis dan mekanismenya berbeda. Karena hakikatnya, baik

Ghanimah dan Rupbasan sama-sama akan difungsikan sebagai

kepentingan Negara.

Jadi, jelas dapat ditentukan bahwa Ghanimah dan Rupbasan

tidak memiliki kerelavanan karena pada hakikatnya Ghanimah

diperuntukkan untuk kepentingan perang sedangkan di

Indonesia tidak terjadi peperangan jadi Ghanimah tidak bisa

diterapkan di Indonesia. Walaupun begitu, Ghanimah dan

Rupbasan memiliki kesamaan konsep yaitu untuk kepentingan

negara dan segala kebijakannya akan dikembalikan untuk

negara.

188

Wawancara dengan Fadilah Mursid, S.H., M.H.I, selaku Akademisi

Bidang Hukum Ekonomi Syariah/ Anggota dewan Syariah Nasional MUI Provinsi

Sumatera Selatan pada tanggal 31 desember 2020.

Page 60: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

126

D. Pajak pada Masa Umar binKhattab dan Pajak di Indoensia

Pajak adalah kontribusi wajib yang dibebankan kepada

warga negara. Pajak sudah ditetapkan bahkan pada masa

Rasulullah Saw. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab,

Umar juga menetapkan pajak dalam meningkatkan

perekonomian.

Umar menetapkan beberapa jenis pajak, yaitu sebagai

berikut:

a. Kharaj

b. Usyr

c. Jizyah

Di Indonesia juga ditetapkan beberapa jenis pajak, yaitu ;

a. Pajak penghasilan (Pph)

b. Pajak pertambahan Nilai (PPN)

c. Bea Masuk

d. Pajak materai

e. Pajak Buni dan bangunan

f. Pajak daerah

Selanjutnya akan dibahas satu persatu tentang pajak di atas.

Page 61: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

127

a. Kharaj dan Pajak Bumi Bangunan

Kharaj sendiri adalah pajak yang ditetapkan atas tanah

sebanyak hasil atau uang persatuan lahan. Sedangkan di

Indonesia juga ditetapkan pajak atas tanah yaitu Pajak Bumi

dan bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan dilihat

dari keadaan bumi dan bangunannya. Dasar perhitungan

PBB adalah perkalian tarif o,5% dengan NJKP (nilai jual

kena pajak). Sedangkan NJKP dapat diperoleh dari 20%

NJOP (Nilai jual objek pajak).

Kharaj menerapkan tarif berdasarkan hasil dari porsi

tanah tersebut yaitu sepertiga atau setengah ketika selesai

panen dan pajak setiap bumi ketika telah melewati masa

satu tahun. Sedangkan PBB juga ditetapkan pada bumi dan

bangunan. Sedangkan untuk hasil pertanian, Indonesia

menerapkan pajak atasnya dengan bentuk pajak hasil

pertanian.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai kebijakan

kharaj, peneliti melakukan wawancara bersama Mashudi

Daud, S.H., M.H.I.

“Kondisi di Indonesia yang notabene negara pancasila

dengan 6 agama yang diakui tidak bisa disamakan

Page 62: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

128

dengan pemerintahan Umar bahkan bisa dikatakan sulit

diterapkan. Umar bin Khattab mewajibkan kharaj

kepada non muslim karena mereka tidak diwajibkan

membayar zakat hasil bumi. Adapun di Indonesia, PBB

hanya untuk tanah dan bangunan bukan untuk hasil

perkebunan. Implementasinya, semua bentuk bangunan

dan tanah mendapatkan ketentuan rumusan pajak yang

sama, seluruh tanah dan bangunan dikenakan PBB

berdasarkan NJOP yang ditetapkan masing-masing

daerah. PBB tidak mencakup pajak atas hasil alam

dikarenakan hal itu diatur tersendiri dalam Pajak Hasil

Pertanian.”189

Dari hasil wawancara di atas menyebutkan bahwa

kharaj memiliki perbedaan dengan PBB. Hal ini

dikarenakan tujuan dibentuknya kharaj karena

diperuntukkan untuk non muslim sedangkan PBB

merupakan kewajiban yang ditujukan untuk semua

masyarakat Indonesia.

Maka dapat dipahami bahwa antara kharaj dan PBB

yang ada di Indonesia memiliki kesamaan sebagai

kewajiban yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

Keduanya dibebankan atas tanah/bumi dan memiliki

manfaat. Jika dilihat dari manfaatnya hasil dari keduanya

digunakan untuk mendukung Negara dan untuk

189

Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Hakim Peradilan

Agama Bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.

Page 63: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

129

kemaslahatan rakyat. Sedangkan, perbedaan keduanya dapat

dilihat dari dua aspek baik subjek maupun objek dari

keduanya. Kharaj diperuntukkan untuk non muslim oleh

pemerintah Islam dan tidak dibebankan untuk umat muslim

atas manfaat lahan pertanian atau lahan lainnya, namun

berbeda dengan kharaj, PBB dibebankan kepada seluruh

warga Negara tanpa terkecuali atas semua lahan baik bumi

dan bangunan.

Jika dilihat dari hubungan antara PBB dan kharaj

sebagai Negara yang mempunyai wilayah yang luas. Maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa kharaj tidak relevan

diterapkan di Indonesia. Potensi untuk memaksimalkan

pendapatan dengan membuat kebijakan terhadap objek

pajak bisa meningkatkan pendapatan Negara. Namun

pendapatan PBB yang diperoleh harus dialokasikan dengan

maksimal untuk tujuan kemaslahatan umat seperti masa

Umar bin Khattab.

Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa kharaj tidak relevan diterapkan di Indonesia namun

PBB dapat dimaksimalkan dengan mempertimbangkan

Page 64: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

130

maqashid syariah.

b. Usyr dan Bea Masuk

Usyr dikenal dengan pajak perdagangan atau bea masuk.

Usyr ditetapkan hanya pada barang-barang yang nilainya

lebih dari 200 dirham.190

Usyr yang diprakarsai oleh Umar

menetapkan pajak hanya satu kali dalam satu tahun

meskipun pedagang memasuki wilayah Arab lebih dari

sekali dalam setahun. Seperti halnya kebijakan pajak

perdagangan yang diberlakukan di wilayah Arab. Indonesia

juga menerapkan hal yang sama tentang pajak perdagangan

keluar dan masuknya wilayah Indonesia yaitu bea masuk

dan keluar

Meski sama-sama diterapkan untuk pajak perdagangan,

Usyr dan bea masuk memiliki perbedaan dalam cara

pemungutannya. Khalifah Umar mengambil usyr kepada

tiga golongan yaitu orang Islam, kafir zimmi, dan kafir

harbi. Dalam hal ini, ketiga golongan memiliki 3 perbedaan

besaran pajak. Ada perbedaan versi pajak usyr dalam tingkat

ukurannya. Tingkat ukuran yang paling umum ditetapkan

190

Adiwarman Azwar Karim, hal. 71

Page 65: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

131

adalah 2,5% untuk perdagangan muslim, 5% untuk kafir

dzimmih, dan 10% untuk kafir harbi dengan asumsi harga

barang melebihi dua ratus dirham.191

Sedangkan tarif bea masuk dan keluar ditetapkan sesuai

dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

199/PMK.010/2019 tentang ketentuan Kepabeanan, Masuk

dan Pajak. Berdasarkan peraturan tersebut, terhadap barang

kiriman impor akan dikenakan bea sebagai berikut :

1) FOB<USD 3 = dibebaskan dari Bea Masuk dan

dikenakan PPN sebesar 10 %

2) FOB USD 3 s.d USD 1.500 = dikenakan Bea Masuk

sebasar 7,5 % dan dikenakan PPN sebesar 10%

3) Terhadap barang kiriman impor dengan nilai FOB

melebihi USD 1.500 = dikenakan Bea Masuk, dikenakan

PPN dan dikenakan pajak dalam rangka Impor.

4) Perhitungan pajak di atas tidak berlaku untuk barang

khusus yaitu Tas, Sepatu, Produk Tekstil dan Buku.

Perhitungan pajak untuk barang khusus adalah sebagai

berikut.

191

Ibid.

Page 66: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

132

a) Tas (HS 4204) = dikenakan Bea Masuk sebesar 15

%-20%, dikenakan PPN 10% dan PPh sebesar 7,5%-

10%

b) Sepatu (HS 64) = dikenakan Bea Masuk sebesar

25%-30%, dikenakan PPN 10% dan PPh sebesar

7,5%-10%

c) Produk Tekstil (HS 61,63,63) = Dikenakan Bea

Masuk Sebesar 15%-25%, dikenakan PPN 10% dan

PPh sebesar 7,5%-10%

d) Buku (HS 49.01 s.d 49.04) = dibebaskan dari bea

Masuk, PPN dan PPh

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pengambilan tarif

Usyr disesuaikan dengan tiga golongan seperti yang

dijelaskan di atas, sedangkan Pengambilan tarif Bea Masuk

disesuaikan dengan FOB (Free On Board).

Untuk mengetahui lebih lanjyt mengenai Bea Masuk,

penulis melakukan wawancara bersama Raja Martua

Harahap, A.Md.

“Pengenaan tarif pajak melalui persetujuan DPR dengan

pertimbangan (menyesuaikan perkembangan jaman).

Penetapan tarif bea masuk juga dipungut berdasarkan

karakteristik-karakteristik yang sudah diatur undang-

Page 67: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

133

undang. Karakteristik-karakteristik tersebut terbagi

menjadi empat, yaitu: Konsumsi perlu dikendalikan,

Peredarannya perlu diawasi, Pemakainnya dapat

menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau

lingkungan hidup, Pemakainnya perlu pembebanan

pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Menurutnya, keempat karakteristik di atas di tetapkan

demi keadilan dan kemaslahatan. Seperti contohnya

pengenaan masuk terhadap rokok karena seperti poin

terakhir, pembebanan pungutan negara harus ditetapkan

demi keadilan dan keseimbangan.”192

Dari hasil wawancara diatas disimpulkan bahwa

penetapan tarif karakteristik-karakteristik bea masuk yang

sudah diatur dalam undang-undang di tetapkan demi

keadilan dan kemaslahatan. Sama seperti halnya usyr yang

ditetapkan demi kemaslahatan rakyatnya.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa

pemberlakuan bea masuk di Indonesia sama dengan konsep

usyr. Bea masuk dan usyr sama-sama memungut tarif atas

barang dagangan yang masuk ke suatu wilayah. Keduanya

juga memiliki batas minimal, seperti halnya usyr yang

menetapkan batas minimal menggunakan dirham dan bea

masuk yang menggunakan USD. Tujuan diberlakukannya

usyr dan bea masuk juga sama, yaitu dijakdikan sebagai

192

Wawancara dengan Raja Martua Harahap, A.Md selaku Pegawai

Pelaksana Bal Kanwil Beamasuk Sumatera bagian barat pada tanggal 30 desember

2021.

Page 68: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

134

pemasukan Negara yang dimanfaaatkan untuk kemaslahatan

rakyat. Batas minimal yang ditetapkan juga sama-sama

bertujuan untuk mengendalikan peredaran barang impor

yang masuk. Namun, usyr dalam penetapan tarifnya

dikenakan berdasarkan agama sedangkan tarif bea masuk

ditetapkan tarifnya tanpa memandang agama.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa usyr relevan dengan bea

masuk. Namun, praktek bea masuk yang diterapkan di

Indonesia sudah disesuaikan dengan kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah.

c. Jizyah

Jizyah adalah pajak yang ditetapkan kepada kaum laki-

laki non-muslim, merdeka, balig, berakal, sehat, dan kuat

sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Jadi, jelas

Jizyah ditetapkan terhadap warga negara demi menjaga

keamanan diri, harta, kelangsungan hidup, keadilan, dan

kesejahteraan, serta sebagai pembendaharaan negara dalam

melaksanakan tugas-tugas negara di bidang

pemerintahan.193

193

Mardiasmo, Op. Cit., hlm.1.

Page 69: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

135

Dalam pemerintahan Indonesia, tidak ditetapkan jizyah

seperti pada masa pemerintahan Islam. hal ini patut

dipertanyakan, mengapa?

Sejak Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 19

Agustus 1945 ditetapkan telah dikatakan bahwa “segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jaminan

tersebut tertulis dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

sampai saat ini tidak mengalami perubahan. Selain pasal

tersebut, dirumuskan juga pasal 29 ayat (2) UUD 1945

bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.194

Untuk memahami lebih lanjut tentang kebijakan jizyah,

maka Penulis melakukan wawancara dengan narasumber

yaitu ahli hukum Mashudi Daud, S.H., M.Hi.

“Dalam konteks negara pancasila, indonesia terdiri dari

enam agama yang diakui dan diberi kebebasan bagi para

pemeluknya. Spirit toleransi harus diberlakukan di

194

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) tentang Hak dan Kewajiban

Warga Negara dan Pasal 29 ayat (2) tentang Kebebasan beragama.

Page 70: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

136

seluruh agama yang diakui dan diberi jaminan dalam

menjalankan agama dan kepercayaannya, hal ini

tertuang dalam pasal 29 UUD Negara Republik

Indonesia.”195

Dari hasil wawancara di atas, dapat dipahami bahwa

permasalahan yang menyangkut tentang kebebasan rakyat

untuk beragama merupakan persoalan yang sangat riskan

dan berujuang pada diskriminasi agama.Oleh karena itu,

jizyah tidak relevan diterapkan di Indonesia yang

menerapkan UUD 1945 sebagai landasan hukum dan

menjamin kebebasan berkeyakinan bagi seluruh warganya.

E. Kebijakan Fa’i

Harta Fa‟i adalah harta-harta yang didapatkan dari non

muslim dalam keadaan damai atau setelah berakhir peperangan.

Seperti halnya jizyah, harta fa‟i juga tidak bisa ditetapkan di

Indonesa.

Indonesia bukanlah wilayah yang sedang terjadi peperangan

antara muslin dan kafir. Indonesia justru negara damai yang di

dalamnya hidup berdampingan antara muslim dan non muslim.

195

Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Hakim Peradilan

Agama Bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.

Page 71: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

137

Keduanya terikat sebagai warga negara Indonesia yang

memiliki kewajiban membayar pajak. Jika pada akhirnya hal ini

diterapkan di Indonesia akan memicu perpecahan dan

permusuhan antara umat beragama di Indonesia. Pendapat ini

diperkuat dengan hasil wawancara dari narasumber Mashudi

daud, S.H., M.H.I.

“Ada perbedaan kondisi pada zaman Rasulullah dan

Khulafaur Rasyidin dengan keadaan dan kondisi di

Indonesia. Jadi, Fa‟i tidak dapat direlevansikan di

Indonesia.”196

Dari hasil wawancara tersebut, maka dapat dipahami bahwa

Keadaan di Indonesia memiliki perbedaan kondisi dengan

zaman Rasulullah maupun Khulafaur Rasyidin.Oleh karena itu,

kebijakan fa‟i di zaman umar tidak relevan dengan keadaan di

Indonesia.Karena bisa menimbulkan perpecahan antar agama.

Indonesia yang berlandaskan pancasila sebenarnya sangat

relevan dengan nilai-nilai ekonomi Islam.Orientasi Ekonomi Islam

yang membawa kemaslahatan bagi umat sangat didukung oleh

konsep keadilan dalam sila kelima pancasila. Hal itulah yang

menjadi dasar pemikiran Umar bin Khattab terhadap kesejahteraan

196

Wawancara dengan Mashudi Daud, S.H., M.H.I selaku Ahli Hukum

bersertifikasi Ekonomi Syariah pada tanggal 8 Januari 2021.

Page 72: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan …

138

rakyatnya. Dengan spirit ekonomi Islam yang semakin tumbuh di

Indonesia, akan semakin membuka jalan mengimplementasikan

konsep dari berbagai tokoh Muslim untuk kemaslahatan bersama,

meskipun dengan cara dan kebijakan yang berbeda namun dengan

tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan (falah).

Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D mengatakan bahwa

Konsep-konsep pemikiran ekonom muslim mempunyai

kemungkinan untuk diterapkan. Karena, Ekonomi konvensional

bersumber dari ekonomi Islam, kemudian ekonomi Islam stagnant

dan ekonomi konvensional berkembang. Sebagai manusia tentu dia

akan mencari yang lebih baik, ketika dia melakukan sesuatu lalu

gagal tentu dia akan menari alat yang lebih baik. Jika, ekonomi

Islam mau diterapkan di Indonesia maka ekonomi Islam harus

membuktikan terlebih dahulu bahwa ekonomi Islam merupakan alat

yang baik dan menutupi kekurangan ekonomi konvensional.197

Dari Pengkajian tentang Kebijakan Fiskal di masa Umar bin

Khattab dan relevansinya di Indonesia di atas, maka dapat dipahami

bahwa konsep-konsep pemikiran ekonomi Islam menungkinkan

untuk diimplementasikan di Indonesia dan sejalan dengan prinsip

yang diimplementasikan di Indonesia.

197

Wawancara dengan Prof. Maya Panorama S.E., M. Si., Ph.D selaku Ahli

Ekonomi Pembangunan pada tanggal 2 Februari 2021 di Moba La-Tansa.