bab iv hasil dan pembahasan 4.1. setting penenelitian 4.1...

28
37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting Penenelitian 4.1.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta Gambar I. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta Rumah sakit jwa daerah (RSJD) Surakarta awal mulai berdiri pada tahun 1918 kemudian diresmikan pada tahun 1919 dengan nama “Doorganghuis voor krankzinnigen” dikenal pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa “MANGUNJAYAN” dengan luas areal ± 0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.

Upload: vuongdang

Post on 05-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penenelitian

4.1.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

Gambar I. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

Rumah sakit jwa daerah (RSJD) Surakarta awal mulai berdiri

pada tahun 1918 kemudian diresmikan pada tahun 1919 dengan

nama “Doorganghuis voor krankzinnigen” dikenal pula dengan

nama Rumah Sakit Jiwa “MANGUNJAYAN” dengan luas areal ±

0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.

38

Atas dasar kesepakatan bersama pada tahun 1986 dalam

bentuk “ruislag” dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, kantor

RS Jiwa Pusat Surakarta akan dipergunakan sebagai kantor

KONI Kodia Surakarta, maka dalam proses pembangunan fisik

lebih lanjut pada tanggal 3 februari 1986 Rumah SAkit Jiwa

Surakarta menempati lokasi yang baru ditepian sungai Bengawan

Solo, tepat di jalan Ki Hajar Dewantoro No. 80 Kentingan, Jebres,

Surakarta dengan luas area 10 ha lebih dengan luas bangunan

10.067 m2. Berada dipinggiran kota jauh dari keramaian sehingga

suasana lingkungannya masih tenang, sangat mendukung upaya

pemulihan kesehatan jiwa.

Pada saat ini luas bangunan telah mencapai 20.995 m2 dan

daya tamping yang tersedia 293 tempat tidur dengan wilayah

kerja mencakup Eks Karesidenan Surakarta, Wilayah lain di

Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur bagian barat dan sebagian

Wilayah DIY.

Pada awal berdiri Rumah Sakit Jiwa ini dipimpin oleh Dr.

Engelhard kemudian dilanjutkan Dr. semeru, Dr. Wignyobroto, Dr.

R.M. Soejarwadi. Kemudian pada era pembangunan saat ini

Direktur RSJDSurakrta telah berganti-ganti hingga saat ini

dipimpin oleh dr. Endro Suprayitno, SpKJ.

39

Kebijakan dan mutu pelayanan RSJD Surakarta

berlandaskan atas dasar visi yaitu “Melayani Lebih Baik” dengan

misi : 1). Memberikan pelayanan kesehatan jiwa professional dan

paripurna yang terjangkau masyarakat, 2). Meningkatkan mutu

pelayanan sesuai dengan standar internasional secara

berkelanjutan, 3). Menerapkan nilai-nilai budaya kerja aparatur

dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. 4).

Meningkatkan peran serta dan kemandirian masyarakat untuk

mencapai derajat kesehatan jiwayang optimal. Fasilitas umum

RSJD Surakarta yang dipergunakan oleh masyarakat umum yaitu

auditorium, halaman parker, asrama, lapangan tenis, gedung

badminton, masjid, koperasi.

4.1.2. Proses Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan mei 2016 di ruang rawat

inap yaitu ruang Bisma (VIP) Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD)

Surakarta. Penelitian ini dilakukan pada 4 orang keluarga yang

menemani pasien selama dirawat. Data diperoleh dengan

melakukan wawancara dengan menggunakan handphone

sebagai alat perekam. Sebelum melakukan wawancara peneliti

membina hubungan saling percaya, menjelaskan tujuan peneltian

kemudian menyerahkan format persetujuan kesediaan menjadi

partisipan untuk ditanda tangani, kemudian melakukan kontrak

40

waktu untuk wawancara. Waktu wawancara yaitu 20-30 menit.

Proses wawancara berlangsung lancar.

4.2. Gambaran Umum Partisipan

Gambaran umum dari partisipan yang terlibat dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

(Tabel 1). Gambaran Umum Partisipan

4.2.1. Partisipan 1

Partisipan 1 bernama Tn. I berumur 40 tahun. Tn. I adalah

kakak ipar dari pasien dan merupakan suami dari Ny. T. selama

pasien dirawat Tn. I ikut menemani pasien. Tn. I bisa dikatakan cukup

dekat dengan pasien, saat mengetahui pasien sakit Tn. I

mengarahkan keluarga untuk membawa pasien ke rumah sakit jiwa.

Partisipan

Inisial

Umur

Jenis

Kelamin

Pekerjaan

P1 Tn. I 40 Tahun L Swasta

P2 Ny. T 40 Tahun P Rumah Tangga

P3 Tn. S 53 Tahun L Swasta

P4 Ny. M 67 Tahun P Rumah Tangga

41

Saat pasien dirawat Tn. I selalu membantu memenuhi setiap

kebutuhan pasien. Wawancara dilakukan diruang rawat inap yaitu

ruang bisma (VIP) tempat pasien dirawat pada tanggal 25 dan 27 mei

2016. Wawancara berlangsung dengan baik dan lancar.

4.2.2. Partisipan 2

Partisipan 2 yaitu Ny. T berumur 40 tahun. Ny. T adalah kaka

kandung dari pasien. Ny. T adalah istri dari Tn. I. Ny. T adalah orang

terdekat pasien, selama pasien dirawat Ny. T sangat memperhatikan

pasien, selalu menemani dan mengantar saat pasien melakukan

fisioterapi. Wawancara dengan partisipan 2 dilakukan pada tanggal

27 mei 2016. Wawancara berlangsung dengan lancar dan partisipan

sangat berantusias mengutarakan jawaban dari setiap pertanyaan.

4.2.3. Partisipan 3

Partisipan bernama Tn. S berumur 53 tahun. Tn. S adalah

saudara laki-laki dari pasien. Tn. S seorang diri yang menemani

pasien selama dirawat dirumah sakit. Wawancara dilakukan di ruang

bisma (VIP) tempat pasien dirawat pada tanggal 30 mei 2016 pukul

11.00 WIB. Partisipan tampak kooperatif dan terbuka pada saat

wawancara berlangsung.

4.2.4. Partisipan 4

42

Partisipan bernama Ny. M berumur 67 tahun. Ny. M adalah

nenek dari pasien. Ny. M yang menemani pasien selama dirumah

sakit. Ny. M adalah orang terdekat pasien. Wawancara berlangsung

di ruang bisma (VIP) tempat dimana pasien dirawat. Wawancara

dilakukan pada tanggal 30 mei 2016 pukul 14.00. Wawancara pada

saat itu berlangsung dengan lancar, partisipan sangat tanggap

terhadap setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

4.3. Hasil Analisis Data Penelitian

4.3.1. Pemahaman Keluarga Tentang Gangguan Jiwa

P1 mengatakan bahwa ganguan jiwa merupakan suatu

keadaan terganggu jiwa dan mental yang disebabkan oleh

kurangnya kontrol diri sehingga menyebabkan sesorang menjadi

mudah ngamuk, memukul orang lain, dan senang menyendiri.

“Menurut saya itu gangguan jiwa yaaa jiwanya terganggu,

mentalnya juga, pikirannya terganggu akhirnya menyebabkan

orang yang jiwanya terganggu itu menjadi nggak bisa

mengontrol diri sendiri akhirnya bisa jadi murung, mengurung

diri, tertutup sama orang lain, bisa juga mudah emosi, ngamuk

karena tidak bisa mengontrol diri sendiri”.(P1 : A36)

P2 mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan akibat dari

ketidakmampuan seseorang menerima beban berat sehingga

saat mengalami goncangan seseorang sulit mengatasinya. P2

43

juga menyebutkan tentang jenis-jenis dari gangguan jiwa yaitu

depresi, halusinasi, gangguan saraf.

“Kalo gangguan jiwa itu menurut saya itu yaa dia mungkin nggak bisa nerima beban yang terlalu berat akhirnya jiwanya terganggu. Jadi kayak ada goncangan gitu, kalo nggak kuat akhirnya terjadi gangguan”. (P2:A20)

“Jenis gangguan jiwa menurut sepengetahuan saya itu kayak depresi, halusinasi, gangguan saraf, sepengetahuan saya itu aja mbak”.( P2:A33)

P3 mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan akibat dari

lelah berpikir seseorang sehingga menyebabkan seseorang

menjadi sering bernyanyi dalam batas tidak normal seperti orang

biasanya.

“Itu masalahnya dia capek mikir juga, kalo udah capek mikir gitu ya langsung, nyanyi-nyanyi sendiri gitu, nyanyi kayak orang nggak biasanya”.( P3:A37)

P4 memjelaskan gangguan jiwa dengan menyebutkan ciri-ciri

seseorang mengalami gangguan jiwa yaitu : sering ngamuk dan

marah tanpa sebab, tidak senang diajak bicara, memiliki

kehidupan yang berbeda seperti orang biasanya.

“Gangguan jiwa itu ya yang ngamuk-ngamuk gitu, jiwanya ndak sehat, nggak mau diajak ngobrol. Suka marah-marah, nggak ada sebabnya tiba-tiba marah. Hidupnya ndak normal seperti orang biasanya”.( P4:A17)

Dari pernyataan ke-4 partisipan diatas maka dapat

disimpulkan bahwa setiap keluarga memahami penyakit yang

diderita oleh anggota keluarganya. Dari setiap pendapat yang

44

telah disampaikan partisipan-partisipan diatas maka dapat

disimpulkan bahwa gangguan jiwa merupakan terganggunya

kesehatan jiwa yang diakibatkan oleh faktor-faktor dari dalam

diri, orang lain maupun lingkungan sekitar sehingga

menyebabkan seseorang menjadi menutup diri, sulit mengontrol

emosi dan tanda-tanda tersebut dapat dikategorikan sebagai

bentuk depresi dari seseorang.

4.3.2. Proses Penyembuhan Pasien Selama Di Rawat Di Rumah

Sakit

P1 mengatakan bahwa proses penyembuhan yang dilakukan

pasien saat berada dirumah sakit yaitu : mengkonsumsi obat.

berkonsultasi dengan ahli psikologi, melakukan fisioterapi, cek

darah. Rehabilitasi belum dilakukan karena berdasarkan

penjelasan tenaga kesehatan (perawat ruangan) bahwa pasien

hanya akan dibawa keruang rehabiltasi apabila pasien sudah

bisa diajak berkomunikasi dengan baik dan kooperatif dalam hal

kegiatan yang akan dilakukan di ruang rehabilitasi.

“Ya paling obat trus cek darah konsultasi sama ahli psikologi gitu, pasiennya diwawancara gitu, pisioterapi juga sama olahraga. Adik saya belum melakukan rehabilitasi, kalo pasien kamar sebelah itu uda kemaren sekali. Trus pas saya tanyain ke perawatnya kok adik saya nggak dibawa ke ruang rehabilitasi perawatnya jelasin kalo yang di bawa keruang rehabilitasi itu nggak semua pasien harus dibawa kesana, yang dibawa hanya pasien yang mau diajak kerja sama trus uda kooperatif begitu katanya mbak. Adik saya ini sepertinya

45

masih susah, masih kurang kooperatif katanya si perawat itu”. (P1:A252-A174)

P2 menjelaskan bahwa bentuk pengobatan yang diterima

pasien saat berada di rumah sakit adalah : Obat, Fisoterapi, tes

psikologis.

“Minum obat pasti, 3 kali sehari trus fisioterapi udah, tes psikologis juga udah trus ikut senam gitu juga. Tiap pagi sih sebenarnya. Cuman kalau lagi nggak mau yaa nggak. Adik saya belum melakukan rehabilitasi, alasannya karena belum kooperatif, susah diajak komunikasi”. (P2:A154-A262)

P3 mengatakan bahwa bentuk pengobatan yang diterima

pasien adalah : mengkonsumsi obat 3 kali dalam sehari yaitu

pagi, siang dan sore setelah makan, konsultasi dengan ahli

psikologi. Fisioterapi belum dijalankan oleh pasien mengingat

pasien baru saja dirawat.

“Dulu-dulu itu yang ke-2 dan ke-3 dibawa kesini itu uda sempat diterapi, kalo yang sekarang yang baru 4 hari ini sih belum mbak, Cuma kemaren sempat didatangin sama psikolog gitu ke ruangan pasien trus pasien ditanya-tanya gitu hanya berdua. Pengobatan lain itu yaa obat juga, minum obat tiap 3 kali sehari, pagi, siang dan sore gitu”.(P3:A147)

P4 mengatakan bahwa bentuk pengobatan yang telah

diterima pasien di rumah sakit adalah : konsultasi dengan dokter

(ahli psikologi), minum obat pagi, siang dan malam, Fisioterapi,

dibawa ke ruang rehabilitasi 1 kali.

“Konsultasi sama dokter, minum obat pagi,siang,malam. Pergi ketempat terapi juga olahraga, kemaren sempat dibawa keruang rehabilitasi juga. 3 kali sehari. Minum obatnya setiap sehabis makan. Iya, kemaren sempat dibawa keruang rehabilitasi. Baru sekali itu aja. Kan kemaren saya ikut mendampingi pasiennya disana jadi waktu itu kegiatannya ya

46

berkomunikasi gitu, melakukan aktivitas-aktivitas gitulah, bagusnya cucu saya itu mau kalo diajak ngomong sama dokternya sama perawatnya nurut dia”. (P4:A169-A224)

Berdasarkan pemaparan ke-4 partisipan diatas maka dapat

disimpulkan bahwa proses penyembuhan pasien jiwa yang

telah dijalankan selama berada dirumah sakit adalah

mengkonsumsi obat-obatan, cek darah, melakukan fisioterapi,

berkonsultasi dengan ahli psikologi serta melakukan rehabilitasi

yang berdasarkan anjuran dokter/perawat dengan syarat pasien

harus kooperatif.

4.3.3. Pengetahuan Mengenai Peran Keluarga

P1 mengatakan bahwa peran keluarga adalah suatu bentuk

tanggung jawab yang penting dijalankan guna membantu proses

penyembuhan pasien.

“Apa yaa.. peran keluarga itu tanggung jawab mungkin ya mbak, tanggung jawab untuk kepentingan keluarga. Penting, kalo nggak ada keluarga yang bantuin pasien selama dirumah sakit siapa, walaupun ada perawat tapi yaa keluarga pasti lebih nyaman”. (P1:A104-A98)

P2 mengatakan bahwa peran keluarga sangatlah penting

karena selain dokter dan perawat keluarga lebih berperan

penting dalam memberikan dukungan untuk kesembuhan

pasien.

“Penting banget mbak. Soalnya keluarga kan yang memang harus memberikan dukungan selain perawat dan dokter, jadi keluarga sangat dibutuhkan”. (P2:A215)

47

P3 mengatakan bahwa peran keluarga merupakan bentuk

kesetiaan menemani pasien selama berobat, memenuhi

kebutuhan pasien selama berada dirumah sakit, bekerja sama

dengan tenaga kesehatan untuk mencari solusi guna mencegah

kekambuhan pasien.

“Peran keluarga itu ya mungkin seperti yang saya lakukan sekarang ini, nemenin pasien selama berobat disini, bantu ngurusin setiap apa yang dia perlukan disini. Ya penting mbak. Nanti kalo kesembuhan pasien nggak dipentingkan itu gimana, keluarga harus bekerja sama, bersatu supaya kesembuhannya lebih abdol (maksimal). Kalo nggak penting ya nggak mungkin pasiennya dibawa kesini”.( P3:A86-A93)

P4 mengatakan bahwa peran keluarga sangat berpengaruh

bagi kesembuhan pasien karena keluarga merupakan orang

terdekat pasien, dukungan dan pengawasan keluarga dapat

membantu pasien terhindar dari faktor stressor atatu penyebab

yang memicu pasien mengalami gangguan jiwa.

“Ya peran keluarga sangat berpengaruh sekali ya selain dari diri sendiri (pasien) dukungan dari orang terdekat atau keluarga selain itu juga untuk menghindari faktor stressor atau penyebab yang memicu pasien mengalami gangguan jiwa. Apalagi kalo nanti pasien dirawat dirumahkan perannya diikuti. Peran kalo disini yaa mengawasi kalo keluar kan ndak boleh sendiri harus diawasi/ditemani, memantau dan memberi dukungan-dukungan seperti itu. Sangat penting, keluarga kan yang dekat sama pasiennya, yang memberi dukungan, nemenin pasien kalau dirawat dirumah sakit”. (P4:A91-A78)

Berdasarkan pernyataan ke-4 partisipan diatas peneliti

menyimpulakan masing-masing keluarga sangat menyadari

pentingnya peran keluarga dalam proses pemulihan pasien.

Peran keluarga merupakan segala bentuk tanggung jawab,

48

dukungan dan pengawasan yang dilakukan keluarga untuk

melancarkan proses pengobatan pasien karena keluarga

merupakan orang terdekat pasien yang mengerti dan bisa

mencegah segala faktor stressor yang menjadi pemicu pasien

mengalami kekambuhan.

4.3.4. Peran Keluarga Dalam Proses Penyembuhan

P1 mengatakan bahwa peran yang telah dijalankan keluarga

selama pengobatan adalah memberikan dukungan, mengawasi

dan mengingatkan pasien untuk minum obat, tidak membiarkan

pasien sendiri, memberi penghiburan serta mengontrol diri dari

emosi dan amarah.

“Kami mendukung pasien supaya cepat sembuh, mengingatkan pasien untuk minum obat, berdoa untuk kesembuhan pasien. Trus kita kan uda tau penyakitnya pasien ini apa dan gimana jadi uda disaranin gimana cara mencegah supaya nggak kambuh selain pake obat disaranin sama perawat-perawat dan dokternya supaya nggak boleh tinggalin pasien sendiri, trus sering-sering ajak pasien ngomong begitu mbak. Oh iya.. selalu mbak, nggak pernah ditinggalin sendiri ini adiknya saya. Kalopun saya pergi keluar sebentar, ada istri saya yang menemani. Jadi pasiennya nggak pernah sendiri. Iya, kalo uda saatnya pasien minum obat selalu diawasi sampe selesai minum obat. Usaha saya sendiri ya kasi semangat, Kasi semangat, kasi pengertian kalo yang udah udahlah, diajak bicara terus yang menurut dia baik dan nerima dihatinya, ngingatin untuk minum obat, Jangan biarin sendiri, kasi hiburan ajak becanda supaya dia nggak kepikiran. Itu aja sih yang bisa saya buat. Emosi gak pernah saya mbak, saya mah santai-santai aja. Ya kalo membantu kan harus ikhlas mbak, kalo nggak niat bantu ya mending nggak usah aja kan”. (P1:A206-A364)

49

P2 mengatakan bahwa tindakannya dalam memenuhi

perannya adalah berkomunikasi dengan pasien, memberikan

dukungan dan do’a, menemani pasien melakukan fisioterapi, ikut

senam bersama pasien, menganjurkan keluarga memberikan

perhatian/menjenguk selama pasien dirawat, mengingatkan dan

mengawasi pasien untuk minum obat.

“Tindakan saya kalo dia lagi kambuh gitu, kan sesudah minum obat nanti diarahkan maksudnya kalo udah ngomongnya nggak benar yaa dikit-dikit dibenerin gitu. Kalo orang halusinasi tuh kan dia kayak mengada-ada ngomongnya gitu jadi harus diluruskan. Bentuk dukungannya yaa, biar cepat sehat. Yaa kan kalo sehat bisa jalan-jalan kemana-mana, bisa makan apa aja, beli apa aja bisa kembali ke aktivitas semula, yaa kayak gitu-gitu sih mbak. Kalo fisioterapi saya selalu ikut menemani pasien. Senam juga, malah saya ikut senam, supaya pasien juga mau senam. Jadi memotivasi dia begitu. Usahanya yaitu keluarga sering nengok trus diingatkan ini siapa gitu kan, kalo dia ingat kan berarti ada kemajuan. Bisa mengingat semua keluarga. Iya, pasti berdoa untuk pasien. Iya, pasti dijagain terus. Kalo misalnya saya ada keperluan pasti suami yang nungguin Dukungannya ya memberikan semangat dukungan dan motivasi untuk pasien supaya cepat sembuh. Obat kan nanti diminum teratur, kalo ada apa-apa kan anjurkan pasiennya untuk cerita, nggak boleh

dipendam trus jangan biarkan pasien sendiri”.( P2:A92-A255)

P3 mengatakan bahwa peran yang dilakukan dalam

membantu proses kesembuhan pasien adalah membantu

merawat pasien, menemani pasien, mengawasi aktivitas pasien

(minum obat, makan, mandi), memotivasi dan mendukung

pasien agar segera sembuh, berdo’a untuk pasien.

“Peran saya selama disini ya membantu merawat pasien, menemani disini, mengingatkan dia minum obat, makan, mandi juga kan harus jaga kebersihan. Memotivasi dia supaya cepat sembuh, memberi semangat yang tidak lupa itu ya berdoa untuk kesembuhan dia”. (P3:A168)

50

P4 mengatakan bahwa peran yang telah dijalankan keluarga

selama dirumah sakit adalah menemani dan mendukung pasien

dalam menjalankan setiap proses pengobatan yang diberikan

pihak rumah sakit termasuk mengingatkan pasien minum obat,

mengontrol emosi.

“Iya, selalu menemani, kan itu cara membantu dia menjalani proses pengobatannya supaya dia juga semangat untuk sembuh kalo ditemani. Ya saya disini menemani uda 5 hari disini terus, memberikan perhatian mengingatkan untuk makan, minum obat juga selalu saya awasi. Kasi semangat untuk dia supaya ndak

ngeluh. Ndak pernah emosi, saya itu sering sedih”. (P4:A178, A188, A289)

Bedasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka

dapat disimpulkan bahwa peran yang telah dilakukan keluarga

adalah memberikan dukungan dan motivasi untuk pasien

dengan cara menemani pasien dalam menjalankan setiap

pengobatan selama dirumah sakit termasuk mengawasi pasien

dalam hal minum obat, menjaga kebersihan (mandi), dan makan.

Keluarga selalu menemani pasien dalam menjalankan rutinitas

dirumah sakit, melakukan fisioterapis, selalu mengontrol emosi,

memberikan semangat untuk pasien, tak lupa juga mendo’akan

pasien.

P1 mengatakan bahwa kendala yang dialami keluarga dalam

memenuhi perannya dalam proses pengobatan pasien selama

dirumah sakit adalah keuangan.

51

“Kendalanya bagi saya mungkin dalam hal pembiayaan ya, pembiayaan sih saya nggak bisa bantu, ya saya juga kan punya pendapatan pas pasan, anak saya juga mau masuk kuliah tahun ini, jadi saya nggak bisa bantu masalah biaya. Kendala lain nggak ada sih mbak, selama saya tulus, ikhlas membantu itu bukanlah suatu kendala karna kalo pasien sembuh saya juga ikut senang”. (P1:A296)

P3 menjelaskan kendala menjalankan peran adalah

kurangnya komunikasi dengan pasien.

“Ngajak komonikasinya kurang soalnya kalo lagi kambuh gitu diajak ngomong susah malah marah-marah”. (P3:A234)

Berdasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka

dapat disimpulkan bahwa kendala dalam memenuhi peran

sebagai keluarga dalam proses pengobatan pasien adalah

keuangan dan kurangnya komunikasi dengan pasien sendiri.

“Menurut saya nggak sih, nggak malu sama sekali soalnya ini kan merupakan penyakit bukan sesuatu aib begitu. Justru yang kita lakuin kasih semangat ke anggota keluarga yang sakit untuk supaya cepat sembuh”. (P1:A337)

“Kalo saya nggak sih, gak perlu malu, kan itu jenisnya penyakit semua orang pastinya nggak maulah jadi yaa harus ditolong dan harus diobati”. (P2:A245)

“Nggak mbak. Apa yaa gangguan jiwa itu kan penyakit saya rasa nggak ada yang mau mengalaminya jadi ya bukan sesuatu yang memalukan malah harus diobati buka diratapi”. (P3:A260)

“Saya rasa cucu saya itu ndak sakit jiwa kayak orang biasanya jadi saya ndak perlu malu”. (P4:A274)

Pemaparan para partisipan diatas menjelaskan bahwa

mereka memandang penyakit yang diderita salah satu anggota

keluarga mereka bukanlah suatu aib yang membuat malu

keluarga tetapi merupakan penyakit serius yang harus

52

mendapatkan penanganan segera agar anggota keluarga

mereka bisa segera sembuh/pulih.

53

4.4. Pembahasan

4.4.1. Pemahaman Keluarga Tentang Gangguan Jiwa

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan

mei pada ke empat partisipan diperoleh beberapa pendapat

mengenai pemahaman mereka tentang gangguan jiwa. Setiap

mereka menjelaskan dengan pemahaman masing-masing ada

beberapa yang lebih dominan menjelaskan dengan

menyebutkan ciri-ciri dari gangguan jiwa itu sendiri.

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

sebagian besar partisipan memiliki pengetahuan yang kurang

mengenai gangguan jiwa. Untuk menambah pengetahuan

seseorang perlu menggali informasi mengenai hal-hal baru yang

ingin diketahui. Informasi memberikan pengaruh untuk

pengetahuan seseorang., walaupun seseorang dengan latar

belakang pendidikan yang rendah namun jika memperoleh

informasi yang baik maka dapat meningkatkan pengetahuan

seseorang (Notoadmodjo, 2007)

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan jiwa

merupakan awal usaha dalam memberikan memberikan

dukungan bagi anggota keluraganya. Keluarga selain dapat

meningkatkan serta mempertahankan kesehatan jiwa anggota

keluarga, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota

54

keluarga yang mengalami masalah kejiwaan ( Notosoedirdjo &

Latipun, 2005 ).

Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian dari

bahan National Mental Health Assosiation (NHMA) pada tahun

2001, yang menunjukan bahwa banyak ketidakmengertian

ataupun kesalahpahaman keluarga tentang gangguan jiwa,

keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami

gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya,

NHMA tersebut mengemukakan bahwa orang yang mengalami

gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali

melakukan aktivitasnya.

4.5.2. Proses Penyembuhan Pasien Selama Di Rawat Di Rumah

Sakit

Bentuk pengobatan yang diterima pasien dirumah sakit,

khususnya yang melakukan rawat inap ada berbagai macam

ragam. Alasan mengapa pasien harus melakukan rawat inap

adalah karena pasien memerlukan penanganan yang ekstra

guna meningkatkan dan mempercepat pemulihan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan

bahwa bentuk penanganan pasien selama dirumah sakit adalah

: obat-obatan, berkonsultasi dengan ahli psikologis, menjalani

55

terapi dan bahkan ada seorang pasien yang telah menjalani

rehabilitasi.

Psikofarmakologi (Terapi Obat)

Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini

adalah dengan memberikan terapi obat-obatan yang

akan ditujukan pada gangguan fungsi neuro-transmitter

sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan.

Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif lama,

berbulan bahkan bertahun.

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang

bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP)

dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental

dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik

yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien

(Hawari, 2001).

Terapi Modalitas

Berdasarkan riset penelitian peneliti menemukan

penanganan pasien gangguan jiwa di ruang rawat

inap yaitu dengan melakukan konsultasi dengan

ahli psikologi, kegiatan ini juga termasuk dalam

terapi modalitas. Terapi modalitas adalah berbagai

pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang

bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah

56

perilaku klien dengan gangguan jiwa denga

perilaku mal adaptifnya menjadi perilaku yang

adaptif. Terapi modalitas adalah metode

penyembuhan yang digunakan berbarengan

dengan pengobatan berbasis obat dan tindakan

pembedahan sebagai upaya pemenuhan pelayanan

holistik. Terapi Modalitas menurut Perko & Kreigh

tahun1988 :

4. Suatu tehnik terapi dengan menggunakan

pendekatan secara spesifik

5. Suatu sistem terapi psikis yang keberhasilannya

sangat tergantung pada adanya komunikasi atau

perilaku timbal balik antara pasien dan terapis

6. Terapi yang diberikan dalam upaya mengubah

perilaku mal adaptif menjadi perilaku adaptif

Terapi (Senam)

Terapi senam dirumah sakit dilakukan setiap pagi hari.

Setiap pasien dianjurkan untuk mengikuti, karena hal

tersebut merupakan salah satu bentuk usaha pemulihan

pasien. Faulkner dan Sparkes (1999) melakukan sebuah

uji tentang pengaruh senam sebagai terapi bagi pasien

dengan skizofrenia, dan didapatkan hasil bahwa dengan

57

rentang waktu 10 minggu dapat membantu mengurangi

gangguan halusinasi dengar dan meningkatkan pola

tidur yang lebih baik. (Daley, 2002). Beberapa penelitian

tentang aktivitas fisik dan terapi olahraga terhadap

gangguan kejiwaan membuktikan, bahwa aktivitas fisik

tersebut dapat meningkatkan kepercayaan pasien

terhadap orang lain (Campbell & Foxcroft, 2008), dan

juga membantu mengontrol kemarahan pasien

(Hassmen, Koivula & Uutela, 2000).

Hasil penelitian oleh 3 orang mahasiswa Jurusan

Keperawatan Unsoed Purwokerto, Prodi Keperawatan

Purwokerto, Poltekkes Kemenkes Semarang, Rumah

Sakit Umum Daerah Banyumas yaitu Harki Isnuur

Akhmad, Handoyo dan Tulus Setiono dengan judul

penelitian Pengaruh Terapi Senam Aerobic Low Impact

Terhadap Skor Agression Self-Control Pada Pasien

Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Sakura

Rsud Banyumas membuktikan bahwa terdapat

pengaruh terapi senam Aerobik-Low Impact terhadap

skor Agression Self- Control pada pasien dengan risiko

perilaku kekerasan.

58

Program Rehabilitasi

Rehabilitasi sangat penting dilakukan sebagai persiapan

penempatan kembali kekeluarga dan masyarakat oleh

karena itu program ini diajukan untuk pasien yang

mendekati waktu pulang ke rumah atau disebut juga

pasien yang sudah kooperatif dan bisa diajak bekerja

sama untuk melakukan seluruh rangkaian kegiatan di

ruangan khusus rehabilitasi dan tindakan ini

dilaksanakan berdasarkan advice dokter dari pasien

yang ditangani. Program ini biasanya dilakukan di

lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di suatu rumah

sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan

berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi kelompok

yang bertujuan membebaskan penderita dari stress dan

dapat membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari

kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme

pembelaan yang lebih baik dan dapt diterima oleh

keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah

keagamaan bersamas, kegiatan kesenian, terapi fisik

berupa olah raga, keterampilan, berbagai macam

kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990).

Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali

yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program

59

rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan

dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat (Hawari,

2007).

4.5.3. Pengetahuan Mengenai Peran Keluarga

Masing-masing keluarga sangat menyadari pentingnya

pengetahuan tentang peran keluarga dalam proses pemulihan

pasien. Berdasarkan hasil penelitian keluarga berpendapat

bahwa peran keluarga merupakan segala bentuk tanggung

jawab, dukungan dan pengawasan yang dilakukan keluarga

untuk melancarkan proses pengobatan pasien karena keluarga

merupakan orang terdekat pasien yang mengerti dan bisa

mencegah segala faktor stressor yang menjadi pemicu pasien

mengalami kekambuhan.

Dalam upaya pengobatan penyakit jiwa ini, keluarga

berperan penting, karena keluarga mempunyai keterampilan

khusus dalam menangani penderita gangguan jiwa, karena pada

penderita penyakit jiwa ini penderita mengalami suatu

kelemahan mental yang mana suatu keadaan terhenti atau tidak

lengkapnya perkembangan pikiran yang mencakup gangguan

makna intelegensia dan fungsi sosial disertai dengan pikiran tak

60

bertanggung jawab serius atau agresif abnormal (Roan. W.M,

1979 dalam Hamdani. 2005;4-5).

Sebagai bagian dari peran keluarga yaitu menjaga kesehatan

anggota keluarganya, maka keluarga perlu menyusun dan

menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan

berdasarkan atas keyakinan bahwa anggota keluarganya akan

menjadi sehat, mencari informasi tentang kesehatan yang benar

dari berbagai sumber misalnya petugas kesehatan ataupun

media sosial (Friedman, 1998).

4.5.4. Peran Keluarga Dalam Proses Penyembuhan

Peran yang telah dilakukan keluarga adalah memberikan

dukungan dan motivasi untuk pasien dengan cara menemani

pasien dalam menjalankan setiap pengobatan selama dirumah

sakit termasuk mengawasi pasien dalam hal minum obat,

menjaga kebersihan (mandi), dan makan. Keluarga selalu

menemani pasien dalam menjalankan rutinitas dirumah sakit,

melakukan fisioterapi, selalu mengontrol emosi, memberikan

semangat untuk pasien, tak lupa juga mendo’akan pasien.

Peran keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa :

a. Keluarga perlu memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan

sikap yang bisa membubuhkan dan mendukung tumbuhnya

61

harapan dan optimism. Harapan dan optimisme akan menjadi

motor penggerak pemulihan dari masalah kesehatan

terkhususnya gangguan jiwa, dilain pihak kata menghina

memandang rendah dan membubuhkan pesimisme akan

melemahkan proses pemulihan. Harapan merupakan pendorong

proses pemulihan, salah satu faktor penting dalam pemulihan

adalah adanya keluarga, saudara dan teman yang percaya

bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan kembali

hidup produktif dimasyarakat. Mereka bisa memberikan harapan,

semangat dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk

untuk pemulihan. Melalui dukungan yang terciptanya lewat

jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka penderita

gangguan jiwa bisa mengubah hidupnya, dari keadaan kurang

sehat dan tidak sejahtera menjadi kehidupan yang lebih

sejahtera dan mempunyai peran dimasyarakat. Hal tersebut

akan mendorong kemampuan penderita gangguan jiwa mampu

hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi

dimasyarakatnya. Harapan dan optimisme akan menjadi akan

menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Dilain

pihak, kata-kata yang menghina, emmandang rendah dan

menumbuhkan pesimisme akan bersifat melemahkan proses

pemulihan (Setiadi, 2014).

62

b. Peran keluarga diharapkan dalam perawatan klien gangguan

jiwa adalah dalam pemberian obat, pengawasan minum obat

dan meminimalkan ekspressi keluarga. Keluarga merupakan unit

paling dekat dengan klien dengan klien dan merupakan “perawat

utama” bagi penderita. Keluarga berperan dalam menentukan

cara atau perawatan yang diperlukan klien, keberhasilan perawat

dirumah sakit akan sia-sia jika kemudian mengakibatkan klien

harus dirawat kembali dirumah sakit (Keliat 1996, dalam Made

Ruspawan dkk, 2011)

c. Peran keluarga mengontrol ekspresi emosi keluarga, seperti

mengkritik, bermusuhan dapat mengakibatkan tekanan pada

klien Andri (2008), pendapat serupa juga diungkapan David

(2003), yang menyatakan bahwa kekacauan dan dinamika

keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan

kekambuhan (Made Ruspawan dkk, 2011).

d. Peran keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan.

Kepedulian ini diwujudkan dengan cara meningkatkan fungsi

afektif yang dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar

yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi,

member tanggung jawab dan kewajiban peran dari keluarga

sebagai pemberi asuhan (Wuryaningsih dkk, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui

bahwa kelemahan keluarga dalam memenuhi peran sebagai

63

keluarga dalam proses pengobatan pasien adalah keuangan dan

kurangnya komunikasi dengan pasien sendiri. Peneliti

menyatakan bahwa kedua hal tersebut bukanlah masalah utama

yang menjadi penghalang untuk kesembuhan pasien karena

yang menjadi motivasi untuk kesembuhan pasien.

Yang merupakan kendala kesembuhan pasien contohnya

sikap keluarga dalam menyikapi anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa. Kendala dalam upaya penyembuhan

penderita gangguan jiwa, salah satunya adalah stigma dalam

keluarga dan masyarakat. Masih banyak yang menganggap

bahwa gangguan jiwa sebagai penyakit yang memalukan dan

membawa aib keluarga serta tidak dapat disembuhkan secara

medis. Keluarga dan masyarakat diharapkan dapat berperan

serta dalam upaya pencegahan, terapi dan dapat menerima

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, serta tidak

mendiskriminatif (Hawari, 2007).

Namun berdasarkan hasil penelitian peneliti tidak

menemukan tanggapan keluarga yang menyatakan bahwa

gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan. Mereka

memandang penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga

mereka bukanlah suatu aib yang membuat malu keluarga tetapi

merupakan penyakit serius yang harus mendapatkan

64

penanganan segera agar anggota keluarga mereka bisa segera

sembuh/pulih.