bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengaturan hukum...

36
43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota Gorontalo menurut Perda No. 3 Tahun 2002 Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2002 dikaji dan dibentuk karena adanya berbagai tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan Pemerintah yang sifatnya terbuka utamanya dalam bidang Pembangunan di Kota Gorontalo, sehingga Pemerintah membentuk aturan yang mengatur tentang Transparansi terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Mewujudkan hal itu, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo yang saat itu diketuai Bapak Hj. Adhan Dambea, saat ini menjabatsebagai Walikota Gorontalo mengajukan Peraturan Daerah tentang Transparansi yang secara teknis mengatur dan mendesain beberapa aspek yang wajib disampaikan Pemerintah Kota Gorontalo. Secara garis besar aspek maupun pengaturan hukum tentang penyelenggaraan pemerintahan Kota Gorontalo yang tercantum dalam Perda Transparansi meliputi; 1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi) mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota. 2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan pembahasan dan penetapan. 3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo.

Upload: doantuong

Post on 07-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota

Gorontalo menurut Perda No. 3 Tahun 2002

Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2002 dikaji dan dibentuk karena adanya

berbagai tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan Pemerintah yang sifatnya terbuka

utamanya dalam bidang Pembangunan di Kota Gorontalo, sehingga Pemerintah

membentuk aturan yang mengatur tentang Transparansi terhadap penyelenggaraan

pemerintahan. Mewujudkan hal itu, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kota Gorontalo yang saat itu diketuai Bapak Hj. Adhan Dambea, saat ini

menjabatsebagai Walikota Gorontalo mengajukan Peraturan Daerah tentang

Transparansi yang secara teknis mengatur dan mendesain beberapa aspek yang wajib

disampaikan Pemerintah Kota Gorontalo.

Secara garis besar aspek maupun pengaturan hukum tentang penyelenggaraan

pemerintahan Kota Gorontalo yang tercantum dalam Perda Transparansi meliputi;

1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi)

mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota.

2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan

pembahasan dan penetapan.

3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo.

44

4. Informasi proses pengawasan mencakup obyek yang diawasi sampai hasil-hasil

audit.

5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing

badan publik.

Perda Transparansi itu sendiri terdiri dari 11 BAB, 40 pasal meliputi :

- Bab I berisi Ketentuan Umum yang terdiri dari 1 pasal dan 18 ayat.

- Bab II berisi Kewajiban dan Hak yang terdiri dari 9 pasal. Pasal 2 mengatur

tentang Kewajiban yang meliputi Informasi, Prosedur, dan Pengambilan

Kebijakan. Pasal 3 dan Pasal 4 berisi Informasi Yang Wajib Diumumkan Secara

Aktif. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 berisi tentang Informasi Yang Wajib Tersedia

Setiap Saat. Pasal 8 yang berisi tentang Informasi Yang Wajib Diumumkan

Secepatnya. Pasal 9 yang berisi tentang Prosedur. Pasal 10 yang berisi tentang

Proses Pengambilan Kebijakan.

- Bab III berisi Hak Masyarakat Terhadap Badan Publik Informasi yang terdiri dari

3 pasal. Pasal 11 dan Pasal 12 yang berisi tentang Prosedur, dan Pasal 13 yang

berisi tentang Pengambilan Kebijakan.

- Bab IV berisi Informasi Yang Dikecualikan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 14

dan terdiri dari 4 ayat.

- Bab V berisi Komisi Transparansi yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 15. Pasal 16

yang berisi tentang Kedudukan. Pasal 17 yang berisi Tentang Susunan. Pasal 18,

Pasal 19 dan Pasal 20 yang berisi tentang Pengangkatan dan Pemberhentian

Komisi Transparansi.

45

- Bab VI berisi Tugas, Fungsi Dan Wewenang Komisi Transparansi yang terdiri dari

7 pasal. Pasal 21. Pasal 22 yang berisi tentang Tugas. Pasal 23 yang berisi tentang

Fungsi. Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 yang berisi tentang wewenang. Pasal 27

yang berisi tentang Mekanisme Pengaduan Kepada Komisi Transparansi.

- Bab VII berisi Keberatan yang terdiri dari 3 Pasal. Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30.

- Bab VIII berisi Anggaran Dan Biaya yang di terangkan pada Pasal 31 dan Pasal

32.

- Bab IX berisi Sanksi Pidana yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,

Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38.

- Bab X berisi Ketentuan Peralihan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 39.

- Bab XI berisi Ketentuan Penutup yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 40.

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 ditetapkan Walikota Gorontalo Medi

Botutihe tanggal 13 Maret 2002. Diberlakukan di Gorontalo pada tanggal 27 Maret

2002 dan diundangkan Sekretaris Daerah Kota Gorontalo Abdul Wahab Thalib dalam

Lembaran Daerah Kota Gorontalo tahun 2002 Nomor 03 seri E.

Berkaitan dengan hal di atas, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota

Gorontalo Adhi Mo’o SH mengatakan, bahwa lahirnya Perda Transparansi ini jauh

sebelum adanya UU yang mengatur hal serupa, (UU No. 14 Tahun 2008) tentang

Keterbukaan Informasi Publik. Menurut Kabag Hukum bahwa Perda Transparansi

dalam pembahasannya telah melalui kajian beberapa unsur antara lain Kepolisian,

Kejaksaan, Pemerintah Kota dan Unsur DPRD Kota Gorontalo yang menjadi bukti

adanya komitmen Pemkot Gorontalo dalam hal memberikan pelayanan kepada

46

masyarakat khususnya dibidang informasi pembangunan daerah, meski disayangkan

belum mengikutsertakan peran akademisi atau Perguruan Tinggi dalam

penyusunannya. Terlebih menurut Adhi, hadirnya Komisi Transparansi yang

dibentuk oleh DPRD sebagai bukti keseriusan dan komitmen dalam memberikan

perlindungan dan jaminan perolehan informasi oleh masyarakat1.

Pada dasarnya apa yang sudah diatur dalam perda transparansi ini menurut

Adhi, belum sepenuhnya terlaksana maksimal. Faktor penghambatnya adalah

minimnya pengetahuan masyarakat adanya suatu lembaga independent yang disebut

dengan Komisi Transparansi serta peran komisi ini dalam proses pembangunan

berkelanjutan. Terlebih, komisi transparansi yang didirikan sejak tahun 2003 yang

pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan

berfungsi melakukan penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi dan sebagainya

yang diatur dalam keputusan Walikota tersebut belum sepenuhnya bekerja sesuai

dengan tufoksinya.

Disamping itu, mengingat salah satu aspek transparansi adalah komunikasi

publik yang dilakukan oleh pemerintah, maka sewajarnya kantor pemerintahan harus

mempublikasikan informasi yang berhubungan dengan rakyat mengenai struktur,

fungsi dan operasi serta kinerja yang dihasilkan oleh organisasi tertentu. Selain itu,

prosedur internal yang digunakan kantor atau lembaga pemerintah dalam melakukan

1Wawancara, tanggal 15 Juni 2012

47

pelayanan harus disusun secara baik guna memenuhi hak masyarakat terhadap

informasi.

Pernyataan Kabag Hukum Kota Gorontalo dipertegas oleh Ketua Komisi

Transparansi Abd. Hais Isa, S.Ag melalui Sekertarisnya Drs. Ridwan S. Saleh, bahwa

lembaga independent yang saat ini berkedudukan di Kota Gorontalo, memiliki lima

(5) personil serta dua (2) orang staf sebagai pengelola administrasi dan keuangan

kurang berjalan efektif, salah satu faktor penghambat adalah pemahaman masyarakat

tentang tugas dan fungsi komisi ini belum begitu maksimal disebabkan kurangnya

sosialisasi kepada masyarakat, serta ketidak jelasan wewenang dan dukungan yang

diberikan pemerintah baik dari segi anggaran maupun petunjuk teknis. Ridwan

mengakui bahwa semua itu dapat dilihat dari kurang efektifnya komisi transparansi

saat ini dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat perda, seperti terbatasnya

kewenangan yang diberikan dalam menjalankan tugas yang ditetapkan dalam

keputusan walikota. Misalnya, komisi transparansi tidak diperkenankan untuk

melakukan sidang komisi dalam memutuskan perkara atau menyelesaikan sengketa

transparansi seperti yang tercantum dalam UU KIP. Selain itu pula, tidak adanya

kejelasan penganggaran untuk komisi ini yang menyebabkan terhambatnya aktivitas

pelaksanaan sosialisasi dan tugas operasional lainnya.

Harus diingat pula bahwa perda merupakan produk politis, sehingga kadang

kala kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi

perda,dan hal itu harus diberi perhatian seriusagar tidak menimbulkan gejolak dalam

masyarakat. Seperti halnya terjadi dalam Perda Transparansi di Kota Gorontalo yang

48

menurut pengurus komisi transparansi (Ridwan Saleh)2 penegasan dan

pemberlakuannya bersifat setengah-setengah, dalam arti belum adanya ketegasan dari

pihak pemerintah untuk melegitimasi sepenuhnya apa yang menjadi peran komisi

transparansi termasuk penyesuaian aturan ini ke dalam peraturan lebih tinggi yang

telah ada sekarang (UU KIP), sekaligus menjadi pedoman bagi aturan di bawahnya

untuk menghindari adanya vorg norm (kekaburan norma) dalam pemberlakuannya.

Perda merupakan produk politis yang kadang kala kebijakan daerah pun bisa di

politisasi dan terkadang tidak sesuai lagi dengan isi dan cita hukum. Ridwan

mencotohkan, di dalam Perda terdapat ketetapan bahwa semua Badan Publik wajib

menyediakan informasi yang disampaikan langsung kepada Komisi Transparasi

untuk selanjutnya dilaporkan ke pemerintah daerah dalam rangka perbaikan dan

pengembangan kedepan. Akan tetapi, ketika badan publik bersangkutan memberikan

informasi tentang penurunan prestasi dalam unit kerjanya, hal itu justru berdampak

buruk bagi badan publik itu sendiri. Bahkan tak jarang menurut Ridwan, pimpinan

badan publik kena imbas berupa peneguran maupun pemecatan. Hal ini menjadi

sebuah situasi menyulitkan dan terkesan dipaksakan, begitu pula dialami komisi

transparansi yang seakan dianaktirikan.

Dikatakan Ridwan, bukan tanpa alasan hal ini dikemukakan mengingat

kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah daerah baik materil maupun moril.

Sehingga tak mengherankan jika saat ini pengurus komisi transparansi berkeinginan

2wawancara

49

untuk melebur dan bergabung ke dalam Komisi Informasi yang lebih jelas

pengakuannya, yakni pembentukannya melalui UU KIP dan didukung oleh Standar

Operasional Prosuder (SOP) serta aturan mempunyai kedudukan lebih tinggi

dibanding peraturan daerah yang sifatnya lemah.

Menurut Ridwan, keinginan para anggota komisi transparansi agar dilakukan

revitalisasi organisasi akan disampaikan langsung kepada Walikota Gorontalo,

selanjutnya disarankan pula agar Perda melakukan penyesuaian terhadap peraturan

perundang-undangan lebih tinggi yaitu UU Kerebukaan Informasi Publik No. 14

Tahun 2008.

Menganalisis masalah perda, peneliti membahasnya dalam beberapa aspek

diantaranya, Perda ditinjau dari landasan Asas Pembentukan, Kesesuaian Norma dan

Hierarki Perundang-undangan serta ketidaksesuian Perda dengan UU KIP.

1. Landasan dan Asas Pembentukan Perda

Pada dasarnya Penerbitan suatu peraturan perundang-undangan di negara

Indonesia hingga kini masih terus berlangsung karena dinilai merupakan sebuah

kebutuhan, terutama dalam menjamin kehidupan masyarakat yang adil dan

terwujudnya hak serta kewajiban yang dilindungi. Namun demikian ada hal yang

patut diperhatikan dan kadang kala menjadi faktor penghambat implementasi aturan

tersebut, antara lain tidak adanya partisipasi masyarakat untuk mengisi ruang aspirasi

dan melakukan apresiasi terhadap substansi peraturan perundangan-undangan yang

sedang disusun.

50

Sistem partisipatoris dimaksud dibutuhkan dalam negara demokratis karena

sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Bermula

dari pemerintahan modern yang saat ini cenderung semakin luas dan kompleks,

negara dalam hal ini pemerintah semestinya lebih membina hubungan yang baik

masyarakat dalam rangka penguatan partisipasi publik.

Partisipasi warga negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses

pembangunan, dimana hal ini memberikan pula kemungkinanan kepada seluruh

lapisan masyarakat dalam memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut

atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan tersebut.

Selain masyarakat secara umum, pihak lain seperti akademisi turut berperan

penting dalam memberikan pendapat demi terwujudnya kesempurnaan aturan,

termasuk pakar bahasa dapat dimintai masukan dalam tahapan penyusunannya yang

kesemua itu dituangkan ke dalam Naskah Akademik.

Berkaitan dengan hal di atas, perda sepatutnya memuat Naskah Akademik

(NA) sebagai penjabaran landasan dan pembentukannya, mengingat hal ini telah

diatur dalam ketentuan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam UU No.

12 Tahun 2011 pasal 19 dan 48, yakni pengajuan rancangan peraturan disertai dengan

NA. Akan tetapi, hal ini belum direalisasikan dalam pembentukan perda transparansi.

Salah satu bagian terpenting lainnya dalam pembentukan Perundang-undangan

termasuk perda transparansi adalah landasan filosofis terkait nilai yang berkembang

dalam masyarakat dan sosiologis adalah harapan masyarakat dimana menjadi bagian

terpenting dalam memberikan pandangannya sebelum dilakukan penerapan sebuah

51

aturanyang diinginkan dan dicita-citakan masyarakat sebagai objek pelaksanaan

aturan dimaksud.

Hal lain yang patut diperhatikan dalam penerbitan suatu aturan adalah

terpenuhinya asas hukum antara lain keterbukaan, artinya bahwa dalam setiap

pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Jika dikaitkan dengan indikator transparansi sebagai mekanisme yang

menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua proses-proses pelayanan publik,

sepatutnya dilakukan pemerintah sejak awal. Tujuannya adalah menjamin kondisi

yang sehat, menciptakan komunikasi dan manajemen pemerintahan dalam upaya

meningkatkan kinerja optimal pemerintah melalui bentuk keputusan dan kebijakan

mengikat masyarakat umum demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Indikator lainnya adalah, transparansi sebagai mekanisme yang memfasilitasi

pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan, maupun proses-proses

di dalam sektor publik sangat dibutuhkan dalam memperkuat sistem demokrasi

sebagai upaya mendukung pluralisme dan kebersamaan antara masyarakat dan

pemerintah, terutama meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik yang

diberikan stakeholder.

Mengkaji asas lain dalam pembentukan peraturan yang juga telah dicantumkan

dalam kajian pustaka peneliti, yakni kejelasan tujuan yang berarti bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan pasti yang

hendak dicapai serta asas dapat dilaksanakan harus dimiliki oleh sebuah aturan.

52

Maksud dari asas ini adalah, bahwa setiap regulasi yang diterbitkan pejabat

berwenang sebaiknya memperhatikan efektifitas pemberlakuannya di lapangan atau

dengan kata lain bisa diterima dengan baik masyarakat, selain itu juga dengan

mempertimbangkan terlebih dahulu landasan pembentukannya baik filosofis, yuridis

maupun sosiologis. Hal inilah yang belum diimplementasikan sepenuhnya dalam

penyusunan perda transparansi.

Berdasarkan wawancara peneliti, perda yang dibentuk bersama tim legislatif

dan eksekutif serta melibatkan juga unsur yudikatif ini, tidak mengikutsertakan pihak

akademisi yang dibuktikan dengan tidak dibuatkannya Naskah Akademik (NA),

seperti yang diamanatkan UU.Naskah akademik sendiri yang jika diartikan dalam UU

adalah sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian

lainnya terhadap masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum

masyarakat. Hal ini pula membuktikan betapa peran NA dalam Peraturan Perundang-

undangan menjadi media dalam menampung dan menghimpun aspirasi serta

kepentingan masyarakat yang kemudian diterjemahkan melalui pasal dalam

Peraturan, demi tercapainya asas dan tujuan hukum itu sendiri.

Perda tranparansi saat ini jika dikaitkan dengan asas pembentukannya, peneliti

menilai masih sangat jauh dan lemah dari apa yang telah ditetapkan oleh peraturan

perundang-udangan. Seperti asas yang memuat bahwa setiap pembentukan peraturan

53

perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. Contoh, perda transparansi

seyogianya menjadikan UU KIP No. 14 Tahun 2008 sebagai salah satu landasan

yuridisnya, mengingat materi muatan yang ada dalam aturan ini secara menyeluruh

mengatur hal serupa seperti terdapat dalam Perda yang merupakan aturan dengan

tingkatan lebih rendah.

Memperjelas hal di atas, peneliti menguraikan fakta mengenai keberadaan

kedua aturan yang tercantum dalam tabel di bawah ini :

Tabel Persamaan materi muatan dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan Perda

No UU KIP PERDA

1 Pasal 10

(1) Badan Publik wajib

mengumumkan secara serta-

merta suatu informasi yang

dapat mengancam hajat hidup

orang banyak dan ketertiban

umum.

(2) Kewajiban menyebarluaskan

Informasi Publik

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) disampaikan dengan

cara yang mudah dijangkau

oleh masyarakat dan dalam

bahasa yang mudah

dipahami.

Pasal 8

1) Badan publik wajib

mengumumkan secara serta merta

tanpa penundaan suatu informasi

yang dapat mengancam hajat hidup

orang banyak.

2) Kewajiban menyebarluaskan

informasi sebagaimarma dimaksud

pada ayat (1), dilakukan dengan

bahasa yang mudah dipahami oleh

masyarakat dan dengan cara-cara

yang dapat menjamin masyarakat

luas menjangkaunya dan

mendapatkannya secara merata.

2 BAB V

INFORMASI YANG

BAB IV

INFORMASI YANG

DIKECUALIKAN

54

DIKECUALIKAN

Pasal 17

Setiap Badan Publik wajib

membuka akses bagi setiap

Pemohon Informasi Publik untuk

mendapatkan Informasi Publik,

kecuali:

a. Informasi Publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada

Pemohon Informasi Publik

dapat menghambat proses

penegakan hukum, yaitu

informasi yang dapat:

1. menghambat proses penyelidikan

dan penyidikan suatu tindak pidana;

2. mengungkapkan identitas

informan, pelapor, saksi, dan/atau

korban yang mengetahui adanya

tindak pidana;

3.mengungkapkan data intelijen

kriminal dan rencana rencana yang

berhubungan dengan pencegahan

dan penanganan segala bentuk

kejahatan transnasional;

4.membahayakan keselamatan dan

kehidupan penegak hukum dan/atau

keluarganya; dan/atau

5.membahayakan keamanan

peralatan, sarana, dan/atau

prasarana penegak hukum.

b. Informasi Publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada

Pemohon Informasi Publik

dapat mengganggu

kepentingan perlindungan hak

atas kekayaan intelektual dan

Pasal 14

Setiap badan publik wajib membuka

akses bagi setiap orang untuk

mendapatkan informasi publik,

kecuali :

1) lnformasi publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada orang

dapat menghambat proses

penegakan hukum, yaitu informasi

publik yang apabila dibuka dapat :

a. Mengungkapkan identitas

informasi, pelapor, pengadu, saksi,

dan / atau korban yang mengetahui

adanya kejahatan, atau ;

b. Mengungkapkan data intelejen

kriminal dan rencana-rencana yang

berhubungan dengan pencegahan

dan penanganan kegiatan kriminal

dan terorisme, atau ;

c. Membahayakan keselamatan dan

kehidupan petugas penegak hukum

dan / atau keluarganya, atau :

d. Membahayakan keamanan

peralatan, sarana /prasarana

penegakan hukum.

2) Informasi publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada orang

dapat mengganggu kepentingan

perlindungan hak atas kekayaan

intelektual dan perlindangan dari

persaingan usaha tidak sehat.

3) Informasi yang apabila dibuka

dan diberikan kepada orang

55

perlindungan dari persaingan

usaha tidak sehat;

c. Informasi Publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada

Pemohon Informasi Publik

dapat membahayakan

pertahanan dan keamanan

negara, yaitu:

1. informasi tentang strategi,

intelijen, operasi, taktik dan

teknik yang berkaitan dengan

penyelenggaraan sistem

pertahanan dan keamanan

negara, meliputi tahap

perencanaan, pelaksanaan dan

pengakhiran atau evaluasi dalam

kaitan dengan ancaman dari

dalam dan luar negeri;

2. dokumen yang memuat tentang

strategi, intelijen, operasi, teknik

dan taktik yang berkaitan

dengan penyelenggaraan sistem

pertahanan dan keamanan

negara yang meliputi tahap

perencanaan, pelaksanaan dan

pengakhiran atau evaluasi;

3. jumlah, komposisi, disposisi,

atau dislokasi kekuatan dan

kemampuan dalam

penyelenggaraan sistem

pertahanan dan keamanan

negara serta rencana

pengembangannya;

4. gambar dan data tentang situasi

dan keadaan pangkalan dan/atau

instalasi militer;

h. Informasi Publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada

Pemohon Informasi Publik

dapat mengungkap rahasia

merugikan strategi pertahanan dan

keamanan nasional yaitu :

a. Informasi tentang intelejen taktik,

strategi pertahanan dan keamanan

negara dalam kaitan dengan

ancaman dari dalam dan luar negeri.

b. Dokumen yang memuat rencana

strategi pelaksanaan peperangan.

c. Data perkiraan kemampuan

militer negara lain.

d. Jumlah dan komposisi satuan

tempur dan rencana

pengembangannya.

e. Keadaan pangkalan tempur.

4) Informasi publik yang apabila

dibuka dan diberikan kepada orang

dapat melanggar kerahasiaan

pribadi yaitu informasi yang dapat :

a. Mengungkapkan riwayat, kondisi

dan perawatan kesehatan fisik,

psikiatrik, psikologi seseorang.

b. Mengungkapkan kondisi

keuangan, aset pendapatan, rekening

bank seseorang kecuali yang sudah

diumumkan dalam lembaran negara.

c. Mengungkapkan tentang hasil-

hasil evaluasi sehubungan dengan

kapabililas, intelektualitas, atau

rekomendasi kemampuan seseorang.

56

pribadi, yaitu:

1. riwayat dan kondisi anggota

keluarga;

2. riwayat, kondisi dan

perawatan, pengobatan

kesehatan fisik, dan psikis

seseorang;

3. kondisi keuangan, aset,

pendapatan, dan rekening bank

seseorang;

4. hasilhasil evaluasi sehubungan

dengan kapabilitas,

intelektualitas, dan rekomendasi

kemampuan seseorang; dan/atau

catatan yang menyangkut pribadi

seseorang yang berkaitan dengan

kegiatan satuan pendidikan.

Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi

Data yang terlihat diatas (Tabel) menunjukkan, bahwa adanya kemiripan kata

maupun kalimatdalam Peraturan Daerah dengan UU KIP, dimana seharusnya perda

merupakan penjabaran dari materi/substansi Undang-undang atau aturan yang lebih

diatasnya. Hal ini tentu bisa mengundang pertanyaan, mengingat hasil observasi dan

wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap Pemerintah dan DPRD Kota

Gorontalo, bahwa proses keberadaan UU KIP antara lain didorong oleh adanya suatu

regulasi daerah yang pada saat itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang mengatur

tentang keterbukaan dan diistilahkan dengan “Transparansi” di Kota Gorontalo. Akan

tetapi apapun yang menjadi alasan dalam proses penerbitan UU KIP, hal ini

57

sepatutnya menjadi suatu bahan referensi daerah dalam melaksanakan perbaikan dan

penyusunan perda transparansi.

Terlihat pada kolom satu Perda adalah; (1). Badan publik wajib

mengumumkan secara serta merta tanpa penundaan suatu informasi yang dapat

mengancam hajat hidup orang banyak. (2) Kewajiban menyebarluaskan informasi

sebagaimarma dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan bahasa yang mudah

dipahami oleh masyarakat dan dengan cara-cara yang dapat menjamin masyarakat

luas menjangkaunya dan mendapatkannya secara merata. Kalimat ini hampir tidak

memiliki perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan antara keduanya, yakni pada

Pasal 10 UU KIP.

Contoh lain yang terlihat jelas adalah pada BAB IV Peraturan Daerah dan BAB

V UU KIP yang menyatakan hal serupa dengan kalimat yang sama, dapat

mengundang persepsi lain pembaca, bahwa kedua aturan ini dibuat dan disusun

menggunakan rancangan yang sama atau berasal dari 1 (satu) sumber, meskipun

keduanya berbeda waktu pengundangannya. Meski demikian peneliti tidak akan

berspekulasi bahwa kedua aturan di atas disusun melalui suatu konsep kajian yang

sama, walaupun dari hasil wawancara yang diperoleh peneliti melalui pemerintah

kota dalam hal ini kepala bagian hukum, mengaku bahwa jika UU KIP ini lahir atas

dasar “Kejar Tayang”.

Menyikapi pernyataan di atas, agar menghindari adanya perbedaan dan

ketidakharmonisan aturan, sebaiknya peraturan daerah dibuat dan disusun dengan

memadukan antara substansi yang diatur dalam UU dan disesuaikan dengan kondisi

58

wilayah/daerah yang lebih dipersempit ruang lingkupnya sehingga mencapai suatu

hasil yang optimal dalam pencapaian sasaran/tujuan. Contoh : pada BAB IV (Perda)

“Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang merugikan strategi

pertahanan dan keamanan nasional yaitu;

a. Informasi tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam

kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri.

b. Dokumen yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan.

c. Data perkiraan kemampuan militer negara lain.

d. Jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangannya.

e. Keadaan pangkalan tempur.

Menurut peneliti, penekanan kalimat diatas sebaiknya lebih diperkecil dalam

lingkup suatu daerah, mengingat hal itu telah diatur dan dijelaskan melalui Peraturan

yang lebih berwenang yakni Undang-undang KIP. Misalnya pada point (a)

“keamanan Negara” diganti menjadi “keamanan Daerah”. Selain Itu, Informasi

tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam kaitan

dengan ancaman dari dalam dan luar negeri telah diatur oleh negara dalam hal ini

Pemerintah Pusat karena menyangkut masalah nasional, yang pada dasarnya

mengenai ketentuan itu masih dalam pengaturan dan kewenangan pemerintah pusat

yang belum diserahkan ke daerah melalui UU Otonomi Daerah, seperti juga telah

dicantumkan sebelumnya dalam Bab Tinjauan Pustaka.

59

Melalui uraian singkat di atas, cukup menjadi alasan bahwa sebaiknya UU

Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, menjadi bagian dari landasan

yuridis perda transparansi sebagai acuan yang lebih tinggi.

2. Kesesuaian Norma

Kejelasan rumusan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunannya, sistematika dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan atau bahkan

bertentangan dengan peraturan di atasnya.Berkenaan dengan hal tersebut, selain

fungsi naskah akademik sangat diharapkan menjadi kekuatan dalam penyusunan

aturan berupa pemberian pendapat kalangan akademisi, akan tetapi saran dan

masukan pakar bahasa menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam pencapaian

kesempurnaan aturan.

Menelaah perda transparansi, peneliti membedakan aturan tersebut dengan UU

KIP yang akan melihat kesesuian maupun pertentangan norma yang ada serta

membahasnya melalui kajian, baik berupa hukum maupun kajian sosial, dalam

bentuk tabel berikut penjelasan di bawahnya.

Tabel Perbedaan UU No. 14 Tahun 2008 dengan Perda No. 3 Tahun 2002

No UU KIP Perda

60

1 BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(Ayat 12 UU) Pemohon

Informasi Publik adalah

warga negara dan/atau

badan hukum Indonesia

yang mengajukan

permintaan informasi

publik sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Ayat (18) Pemohon adalah setiap

warga negara atau subyek hukum yang

cakap dalam melakukan perbuatan

hukum yang meminta informasi

sebagaimana diatur dalam Peraturan

Daerah ini.

2 Asas dan Tujuan dimuat secara

jelas yang tertuang dalam BAB II

Tidak dimuat secara jelas mengenai

Tujuan Pembentukan Peraturan

Daerah

3 BAB III

Hak Dan Kewajiban Pemohon

Dan Pengguna Informasi

Publik Serta Hak Dan Kewajiban

Badan Publik

Bagian Kesatu

Hak Pemohon Informasi Publik

Pasal 4

(3) Setiap Pemohon Informasi

Publik berhak mengajukan

permintaan Informasi Publik

disertai alasan permintaan

tersebut.

BAB III

Hak Masyarakat Terhadap Badan

Publik Informasi

Pasal 12

1) Permintaan informasi dan warga

kota tidak perlu untuk

mencantumkan kepentingan

memperolehinformasi tersebut.

4 Bagian Ketiga

Informasi yang Wajib tersedia

Setiap Saat

Pasal 11

(1) Badan Publik wajib

menyediakan Informasi

Publik setiap saat yang

Pasal 5

Informasi yang wajib tersedia

setiap saat

1) Badan publik wajib rnenyediakan

informasi publik setiap saat yang

61

meliputi:

a. daftar seluruh Informasi Publik

yang berada di bawah

penguasaannya, tidak termasuk

informasi yang dikecualikan;

antara lain meliputi :

a. daftar dari seluruh informasi publik

yang berada dibawah penguasaannya

termasuk informasi

yang berada dalam kategori

pengecualian.

5 Dalam Pasal 14 memuat tentang

Informasi Publik yang wajib

disediakan oleh Badan Usaha

Milik Negara, Badan Usaha Milik

Daerah dan/atau badan usaha

lainnya yang dimiliki oleh negara

dalam UndangUndang

Belum mencantumkan materi yang

ada dalam Pasal 14 UU KIP sebagai

penjabaran substansi/materi Perda

6 BAB VII

KOMISI INFORMASI

Bagian Kedelapan

Pengangkatan dan

Pemberhentian

Pasal 30

(Point h) pengangkatan

anggota komisi informasi

berusia paling rendah 35

(tiga puluh lima) tahun

BAB V

KOMISI TRANSPARANSI

Pasal 18

Pengangkatan dan Pemberhentian

Untuk dapat diangkat sebagai anggota

Komisi Transparansi, seorang calon

harus memenuhi syarat seperti dalam

ayat ( 1) Warga Negara Indonesia

berusia minimal 27 tahun dan

maksimal 60 tahun

Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi

Pertama, berdasarkan uraian tabel pada kolom satu,menunjukkan bahwa

peraturan daerah menekankan kepada Pemohon informasi adalah bagi mereka subyek

hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Sementara itu, dalam UU

62

KIP tidak membatasi bagi pemohon informasi dengan kriteria demikian. Artinya

adalah, dalam perundang-undangan ini (KIP) tidak mengatur bahwa pemberian

informasi hanya bagi mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, yang

jika diberi makna arti “cakap” disini adalah bagi mereka yang dianggap telah dewasa

dan mampu bertanggung jawab dalam hukum.

Hal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan Asas dan Tujuan UU KIP

yang notabene memiliki kekuatan hukum lebih tinggi, yakni pada Bab II Pasal 2 ayat

1 “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap “Pengguna

Informasi Publik” yang memang dalam pengertiannya tidak dijelaskan lebih detail

mengenai syarat/ketentuan pengguna informasi dimaksud. Terlebih lagi dalam Bab

yang sama pasal 3 UU KIP berisi tujuan Undang-undang adalah untuk mengetahui

alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak serta

mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Membahas pasal ini, peneliti ingin mengungkapkan bahwa keadaan seperti itu

seakan membatasi hak masyarakat terutama yang dianggap dan berada dalam

kategori tidak cakap. Contoh ilustrasi kecil adalah (jika seorang pelajar yang

dikategorikan belum dewasa dan belum mampu bertanggung jawab, menginginkan

sebuah penjelasan atau informasi tentang keputusan yang akan diambil sekolahnya

dalam hal peningkatan kualitas yang diukur melalui kebijakan kepala sekolah, baik

terkait strategi pengembangan kurikulum maupun cara peningkatan mutu lainnya,

namun karena diberi batasan bahwa anak itu dianggap belum dewasa dan tidak layak

diberi penjelasan (tidak cakap) sehingga anak didik tersebut tidak diberikan

63

pemahaman dalam bentuk informasi, padahal yang bersangkutan telah dijamin dan

dilindungi oleh UU yakni diperbolehkan dalam kerangka mencerdaskan kehidupan

bangsa). Menurut peneliti, sesuai alasan diatas, seyogianya Pasal 1 Perda tidak

mencantumkan kata “cakap” sebab bisa bertetangan dengan Tujuan dari UU KIP

yang pada dasarnya memang tidak membatasi hal demikian.

Kedua, perda tidak memuat secara khusus tentang Asas dan Tujuan seperti

dalam UU KIP, yang menurut peneliti perlu dicantumkan terutama tujuan yang ingin

dicapai dalam sebuah peraturan. Ini menghindari agar tidak terjadi seperti masalah

pada kolom satu (1). Jika saja dalam materi Perda mencantumkan tujuan dan sasaran

yang hendak dicapai, maka tidak terjadi pembatasan hak dan kewajiban masyarakat

terutama dalam hal perolehan informasi, dan tidak melahirkan pula pertentangan

pasal di dalam aturan. Sekilas mengkaji tujuan atau sasaran yang hendak dicapai

sebuah aturan menjadi sangat urgen utamanya menghindari kekaburan norma dimana

dalam peraturan daerah tidak dicantumkan secara pasti dan jelas apa yang dicita-

citakan (cita hukum).

Ketiga, terdapat perbedaan antara Pasal 12 dalam Perda terhadap Pasal 4 UU

KIP. Permintaan informasi dalam Peraturan Daerah tidak perlu mencantumkan

kepentingan memperoleh informasi, sementara UU mengatur hal demikian yaitu;

memerintahkan agar permintaan tersebut disertai dengan alasan yang jelas untuk

memastikan kepentingan penggunaannya.

Melihat persoalan ini, peneliti menyarankan agar perda yang memiliki kekuatan

hukum lebih rendah mengikuti UU demi terwujudnya kesesuaian antar keduanya

64

selain juga tidak terjadi pertentangan norma, khususnya jika hal itu bisa berdampak

kerugian bagi masyarakat, badan publik dan negara.

Keempat, terdapat pertentangan antara pasal 5 ayat 1 bagian (a) Perda

Transparansi dengan Pasal 11 ayat 1 (a) UU KIP, (kolom 4).

UU KIP memberikan penekanan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan

informasi berupa daftar seluruh informasi publik yang ada di bawah penguasaannya

dan tidak termasuk informasi yang yang dikecualikan, sementara Perda menegaskan

bahwa informasi tersebut termasuk yang berada dalam kategori pengecualian. Bagian

ini terdapat suatu pertentangan yang apabila dikaji melalui persoalan hukum, maka

Perda jelas menyalahi aturan perudang-undangan yang lebih di atasnya termasuk bila

dikaji dari sisi ekonomi sosial pernyataan yang ada dalam peraturan daerah bisa

berdampak pada kerugian pihak-pihak terkait seperti kelompok badan publik yang

mengelola masalah keuangan (perbankan), terlebih kerahasiaan kepentingan negara

dan masyarakat.

Melihat kenyataan diatas, dapat dinilai tidak adanya persepsi antara perda

dengan peraturan di atasnya sehingga disarankan agar peraturan daerah No. 3 Tahun

2002 menyesuaikan perundang-undangan lebih tinggi, dengan tujuanmelahirkan

kerangka dan konsep hukum menjadi satu kebulatan utuh.

Lima, pasal 14 UU KIP memuat tentang Informasi Publik yang wajib

disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau

badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara berupa; a). nama dan tempat

kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian,

65

dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; b). nama lengkap

pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perseroan; c).

laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung

jawab sosial perusahaan yang telah diaudit.

Perda sendiri dalam muatannya belum mencantumkan materi yang ada dalam

pasal Undang-undang tersebut, sehingga peneliti menyarankan perlu ditinjau kembali

agar bisa dituangkan dalam Perda, bertujuan untuk mewujudkan kejelasan tentang

sistem peraturan yang ditetapkan dan memberi kemudahan dalam pemberian layanan

informasi yang dilakukan badan publik termasuk kepuasan masyarakat sebagai

pengguna layanan informasi dimaksud.

Keenam, perbedaan ketentuan antara Bab VII UU KIP dengan Bab V Perda,

khususnya pada pengangkatan Anggota Komisi yang dibentuk berdasarkan perintah

aturan. Dalam UU KIP yang memiliki kedudukan lebih tinggi mempersyaratkan batas

maksimal Usia pengangkatan anggota komisi transparansi adalah 27 tahun,

sedangkan Perda menetapkan batas usia paling rendah 35 tahun.

Peneliti menilai hal itu perlu dilakukan penyesuaian kembali oleh peraturan

dibawahnya. Penetapan batas umur yang diberikan oleh UU yakni minimal 35 tahun

tentu telah melalui sebuah pembahasan dan pengkajian oleh pemerintah pusat,

mengingat kematangan usia pun bisa mempengaruhi cara memimpin seseorang

terutama dalam pengambilan keputusan.

3. Perda Dikaji dalam Hierarki Perundang-undangan

66

Tidak adanya konsistensi suatu peraturan perundang-undangan yang dimulai

dari perancangan, pembahasan dan perumusan sampai ke tahap penetapan tentu bisa

mengakibatkan tumpang tindih aturan satu dengan lainnya.Hal demikian bisa terjadi

karena pembentukannya yang kurang memperhatikan kesesuaian antara aturan yang

lebih rendah dengan ketetapan lebih tinggiyang dikeluarkan pemerintah. Selain tidak

didahului suatu kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik akan tetapi kurangnya

koordinasi yang menyebabkan tidak sinkronnya suatu aturan, padahal jika dilihat dan

dikaji kedua aturan tersebut justru mengatur persoalan serupa.

Terlebih jika aturan yang dibuat tidak memperhatikan prosedur akan

menciptakan suatu kejanggalan dan secara mekanismenyaperlu diatur dan

disesuaikan untuk mencapai keselarasan, terutama menjaga keseimbangan aturan

yang diharapkan menghasilkan sebuah produk hukum yang menunjukkan adanya

harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Tercantum dalam kajian pustaka peneliti yaitu asas tingkatan hirarki, dimana

peraturan lebih tinggi kedudukannya memiliki kekuatan hukum yang tinggi pula dan

Undang-undang baru menyampingkan UU yang lama. Akan tetapi, hal ini

bertentangan dengan apa yang berlaku dalam perda transparansi.

Jika ditinjau dari asas (hirarki), seharusnya perda menyesuaikan dengan UU

KIP yang diterbitkan belakangan, baik penyesuaian norma, substansi dan

nomenklatur. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan adanya penegasan mengenai

teknik penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang saat ini jelas tertuang

dalam UU No.12 tahun 2011 (Bab II “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

67

undangan” Pasal 5 bagian c, yang isinya berupa kesesuaian antara jenis, hierarki dan

materi muatan serta pada bagian f yang mengatur kejelasan rumusan).

Perda Transparansi yang diterbitkan sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini

masih diberlakukan pemerintah Kota Gorontalo, jika dilihat dari asas hirarki pada UU

No. 12 Tahun 2011 memiliki kedudukan paling rendah dibanding peraturan

perundangan lainnya. Selain itu, adanya asas seperti yang diutarakan Purnadi

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terhadap perundang-undangan yang antara lain

Undang-undang di buat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih

tinggi pula, memperjelas bahwa keberadaan UU KIP jelas memberi pengaruh dan

dampak terhadap pemberlakuan perda transparansi yang pada dasarnya memang

terdapat pertentangan norma seperti yang telah dijelaskan peneliti terlebih dahulu.

Asas lain menyebutkan bahwa Undang-undang yang berlaku belakangan

membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex

priori), dan undang-undang tidak dapat diganggu gugat serta sebagai sarana untuk

semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi

masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat).

Pernyataan ini menjadi hal yang patut diperhatikan pemerintah kota gorontalo

kaitannya dengan kesesuaian aturan dalam perda transparansi terhadap aturan yang

diterbitkan dengan kedudukan lebih tinggi dan memuat materi baru yang tidak

terdapat dalam perda.

Dengan demikian, pemerintah kota gorontalo seharusnya melakukan

pembenahan isi maupun substansi yang diatur perda melalui penekanan yang ada

68

dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dengan cara merevitalisasi nomenklatur saat

ini.

Keberadaan perda tranparansi dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik, penulis menilai bahwa keadaan ini menggambarkan

tidak lagi dalam satu kesatuan sistem hukum nasional atau sistem perundang-

undangan seperti yang telah dijabarkan diatas (UU No. 12 tahun 2011).

Pembentukan peraturan daerah pun selain didasarkan pada Pancasila yang

menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, juga tertuang

dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 meliputi beberapa asas, diantaranya

kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya bahwa setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk

berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Selain itu, dijelaskan pula dalam UU No.32 Tahun 2004 bahwa hal-hal yang

dapat membatalkan perda adalah, apabila bertentangan dengan kepentingan umum

dan peraturan yang lebih tinggi serta telah habis masa berlaku yang ditentukan dalam

peraturan tersebut. Perda transparansi pada dasarnya memang telah dibuat dan

disusun oleh pejabat berwenang, sehingga secara hukum tidak berlaku bahwa perda

batal demi hukum, akan tetapi dapat dibatalkan dengan memperhatikan keputusan

pejabat yang lebih diatasnya dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat UU KIP.

69

4. 2 Ketidaksesuaian Perda Transparansi No. 3 Tahun 2002 dengan UU

Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 dan Perundang-undangan

lainnya

Peraturan daerah menjadi salah satu bagian dari sistem hukum yang diakui

keberadaannya apabila mengikuti ketentuan sebagaimana telah dijelaskan peneliti

sebelumnya dan memiliki kekuatan hukum mengikat selagi dilakukan berdasarkan

perintah aturan yang lebih tinggi.

Membahas Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002, peneliti melakukan kajian

perbandingan melalui UU No. 14 Tahun 2008 dan mengelaborasinya dengan

peraturan lain terkait sistematika perumusan perundang-undangan.Sebelumnya telah

dikemukakan pula keberadaan UU KIP yang mengatur hal sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam perda, sehingga peneliti akan melihat ketidaksesuaian antara

peraturan daerah untuk selanjutnya dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap

peraturan yang telah ada.

Tabel ketidaksesuaian Perda No. 3 Tahun 2002 dengan

UU No. 14 Tahun 2008 (KIP)

No UU KIP Perda

1 Penyelesaian Sengketa dimuat

dalam BAB VIII (Pasal 37

sampai dengan Pasal 39)

Perda tidak mencantumkan tata cara

penyelesaian sengketa yang berkaitan

dengan transparansi (Pasal 21)

2 Memuat cara-cara penyelesaian

Sengketa :

Memuat cara penyelesaian

sengketa melalui Ajudikasi non

litigasi (Pasal 42)

Tidak memuat cara penyelesaian

sengketa (Ajudikasi) sebagaimana

ketentuan dalam Perda

70

3 Memuat Sidang Komisi dalam

BAB VIII

Pasal 42 dan 43

Tidak memuat Sidang Komisi dalam

penyelesaian sengketa

4

Penting untuk memuat

UU KIP sebagai

Landasan Yuridis

UU Nomor 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan Tidak Terlalu

Signifikan Dimasukkan Dalam

Landasan Yuridis Perda No. 3

tahun 2002

Landasan Yuridis mengenai UU

Peradilan Tata Usaha Negara,

mengingat hal itu tidak dibahas

dalam BAB mapun Pasal

Peraturan Daerah

Perlu dikaji

penerapan/pelaksanaan Landasan

Yuridis pada point 18 yang

memuat Keputusan Presiden No

44 Tahun 1999 tentang Teknik

Penyusunan Peraturan Perundang-

undangan dan bentuk rancangan

undang-undang

5 BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 52

Badan Publik yang dengan

sengaja tidak menyediakan,

tidak memberikan, dan/atau

tidak menerbitkan Informasi

Publik berupa Informasi Publik

secara berkala, Informasi Publik

yang wajib diumumkan secara

sertamerta, Informasi Publik

yang wajib tersedia setiap saat,

dan/atau Informasi Publik yang

harus diberikan atas dasar

permintaan sesuai dengan

UndangUndang ini, dan

mengakibatkan kerugian bagi

orang lain dikenakan pidana

BAB IX

SANKSI PIDANA

Pasal 33

1) Setiap orang yang dengan sengaja

tidak memenuhi atau melaksanakan

putusan yang telahdiberikan komisi

ransparansi, diancam dengan pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan

danserendah-rendahnya 3 (tiga) bulan

serta denda setinggi-tingginya Rp.

100.000.000 (seratus jutarupiah) dan

serendah-rendahnya Rp. 50.000.000

(lima puluh juta rupiah).

71

kurungan paling lama 1 (satu)

tahun dan/atau pidana denda

paling banyak Rp 5.000.000,00

(lima juta rupiah).

Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi

Berdasarkan tabel di atas, peneliti membahas setiap kolom melalui uraian di

bawah ini :

Pertama, penyelesaian sengketa dalam UU KIP dituangkan dalam Bab VII,

yakni diserahkan kepada Komisi Informasi (pasal 37 sampai pasal 39).

Pasal 37 ayat (1) “Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan

kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi

Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak

memuaskan Pemohon Informasi Publik”.

Pasal 38 ayat (2) Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.

Dalam peraturan daerah, tugas komisi transparansi tertuang pada pasal 21 yakni

“Lembaga yang bersifat independen dan mempunyai tugas berfungsi serta

berwewenang menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi”.

Akan tetapi, tidak dicantumkan cara penyelesaian sengketa seperti pada UU KIP,

terlebih mengatur soal batas waktu maksimal penyelesaian, karena yang diatur hanya

sebatas waktu pengajuan keberatan selama 30 hari dan tambahan waktu 14 hari bagi

72

badan publik dalam memberikan jawaban.Hal ini tidak memberikan kepastian dan

membingungkan masyarakat berkaitan dengan pemberian keputusan komisi

transparansi sehingga menunjukkan ketidak sinkronisasinya Perda dengan UU KIP.

Persoalan yang juga muncul dalam perda adalah, selain tidak dijelaskan

langkah selanjutnya yang akan ditempuh apabila keberatan pemohon tidak dipenuhi,

juga tidak dicantumkan pula proses yang ditempuh komisi transparansi apabila hal ini

tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, padahal erat kaitannya dengan tugas dan

wewenang komisi transparansi.

Kedua,Pasal 42 UU KIP mencantumkan tentang Penyelesaian Sengketa melalui

Ajudikasi yakni proses penyelesaian sengketa infomasi publik antara para pihak yang

diputus oleh komisi informasi.

Mengingat pasal 21 perda yang berbunyi,“komisi transparansi adalah lembaga

yang bersifat independen yang mempunyai tugas berfungsi dan berwewenang

menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi, seharusnya

diberi penekanan dalam perda cara penyelesaian sengketa (seperti pada masalah

kolom 2), yakni dengan memasukan ajudikasi non litigasi (upaya yang ditempuh

apabila mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para

pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik

diri dari perundingan). Peneliti menilai Ajudikasi perlu dicantumkan dalam peraturan

daerah mengingat hal itu menjadi bagian dan fungsi komisi transparansi yang dapat

dilihat pada pasal 24 dan 25 perda, yakni (berhak untuk memutuskan hal berkaitan

dengan sengketa terutama permintaan informasi).

73

Ketiga, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik pula menekankan

penyelesaian perkara dengan cara menyelenggarakan sidang komisi yang tertuang

dalam pasal 42 dan pasal 43 (KIP).

Pasal 43 ayat (1);

Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara paling sedikit

3 (tiga) orang anggota komisi atau lebih dan harus berjumlah gasal.

Pasal 43 ayat (2);

Sidang Komisi Informasi bersifat terbuka untuk umum.

Menurut wawancara dan hasil observasi peneliti di komisi transparansi, hal

tersebut tidak dicantumkan secara tertulis pada Bab atau Pasal Perda, yakni

pelaksanaan teknis tugas komisi transparansi, termasuk keputusan walikota sebagai

penjelasan pasal 26 Perda yang menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut komisi

transparansi diatur dengan keputusan walikota. Melihat kurang adanya kejelasan

mengenai hal tersebut, peneliti berpendapat hendakya peraturan daerah mengatur cara

penyelesaian sengketa melalui sidang komisi yang dicantumkan melalui pasal atau

penjelasan termasuk dalam keputusan walikota, yang memberi kekuatan terhadap

legitimasi komisi transparansi sebagai lembaga independent.

Keempat, terkait tabel dalam kolom 4, peneliti membahasnya melalui point a, b

dan c dibawah ini :

a. Perlu dikaji kembali landasan yuridis dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002

dengan meninjau UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Peneliti menilai, jika

dilihat dari efektivitas dan pemanfaatannya tidak begitu maksimal di dalam Perda.

74

Hal ini disebabkan kurangnya respon dan penjelasan rinci mengenai keberadaan

aturan ini dalam pasal perda, mengingat juga UU Perbankan mengatur masalah yang

sifatnya khusus. Keberadaan UU tentang Perbankan juga menjadi salah satu bagian

dari badan publik, akantetapi hal ini melahirkan sebuah pertanyaanmengapa perda

hanya mencantumkan regulasi tersebut, sementara ada badan publik lainnya yang

juga mempunyai payung hukum berupa UU.

b. Ketentuan Landasan Yuridis tentang UU Peradilan Tata Usaha Negara menurut

peneliti kurang efektif, mengingat hal tersebut tidak dibahas dalam Bab mapun Pasal

Peraturan Daerah. Peneliti mengkaji bahwa dalam Perda seharusnya dicantumkan

pula keberadaan atau kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, apakah sebagai badan

publik atau menjadi salah satu bagian dalam proses penyelesaian masalah tentang

transparansi dalam pemberian informasi Publik.

Penggunaan suatu aturan yang ditetapkan dalam landasan yuridis seperti

PTUN, sebaiknya menjadi faktor pendukung dan pemberi kejelasan rumusan materi

yang diatur, namun peneliti tidak melihatada penekanan tentang hal tersebut dalam

perda transparansi. Disarankan, perda memperjelas fungsi penggunaan suatu regulasi

yang lebih tinggi kedudukannya, apakah merupakan media penyelesaian sengketa

ataupun memperkuat keberadaan peraturan di bawahnya.

c. Penetapan landasan yuridis pada point 18 peraturan daerah, memuat Keputusan

Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

undangan dan bentuk rancangan undang-undang. Peneliti menilai hal itu belum

sepenuhnya diimplementasikan dalam peraturan daerah, terutama penerapan point 26

75

dalam Kepres yang menekankan, apabila jumlah peraturan perundang-undangan yang

dijadikan dasar hukum lebih dari satu, maka urutan dicantumkan berdasarkan tata

urutan hirarki peraturan perundang-undangan yang diurutkan secara kronologis

berdasarkan saat pengeluarannya. Artinya adalah, dengan melihat waktu

pemberlakukanaturan terdahuluyang dikeluarkan oleh pihak berwenang. Pada

peraturan daerah masih terdapat kekeliruan penerapan pasal dalam Kepres No 44

Tahun 1999, dan bisa menjadi alasan agar peraturan daerah No. 3 Tahun 2002 ini

diperbarui penulisannya mengikuti tatacara yang ada.

Kekurangan penulisan dalam perda dimaksud, dapat dilihatpada konsideran

“Mengingat” point 12 dan 13. Melihat ketentuan yang ada dalam Kepres, penulis

menyarankan agar point diatas (13) tentang UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang

diundangkan melalui (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

166) diurutkan terlebih dahulu sebelum UU No. 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan

Propinsi Gorontalo yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 2000 nomor 258, Tambahan Lembaran Negara nomor 4060 pada point (12).

Kelima, pemberlakuan sanksi dalam perda bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang mengatur hal serupa, seperti terdapat dalam UU

Keterbukaan Informasi Publik. Sebagaimana diatur UU KIP, pemberian sanksi

berupa denda paling banyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) jelas bertentangan

dengan penetapan dalam peraturan daerah yang memberlakukan serendah-rendahnya

Rp.50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).

76

Lebih jelas peneliti menguraikan keberadaan Bab IX tentang Sanksi Pidana

dalam perda transparansi. Pada pasal 33 ayat 1 menyebutkan “Setiap orang yang

dengan sengaja tidak memenuhi atau melaksanakan putusan yang telah diberikan

komisi transparansi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

dan serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan serta denda setinggi-tingginya Rp.

100.000.000 (seratus juta rupiah) dan serendah-rendahnya Rp 50.000.000 (lima puluh

juta rupiah) dan atau tidak merampas barang untuk daerah kecuali ditentukan lain

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan peraturan daerah mengenai pemberlakuan sanksi tersebut di atas

selain bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, juga bertentangan

pula dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni pasal 143.

Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa :

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan

hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan

perundangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau

denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Peraturan daerah menetapkan sanksi berupa denda paling rendah Rp

50.000.000, menjadi sesuatu hal yang dinilai sangat berlebihan dan cenderung bisa

membebani masyarakat maupun badan publik. Menyikapi persoalan itu, menurut

77

peneliti sepatutnya pemerintah daerah khususnya kota gorontalo, agar dalam

pembuatan regulasi hendaknya memperhatikan pula kepentingan dan kenyamanan

masyarakat serta mempertimbangkan kondisi wilayah dengan memberikan

kemudahan penyelenggaraan pemerintahan, baik melalui kebijakan pemerintah

maupun dalam bentuk regulasi.

Uraian diatas telah membahas beberapa pokok kekurangan yang ada dalam

peraturan daerah yang ditetapkan 10 (sepuluh) tahun silam, padahal kenyataan selama

ini Negara Indonesia menyebut diri sebagai negara hukum mempunyai makna bahwa

segala ruang lingkup kehidupan dalam sosial masyarakat, negara dan bangsa

termasuk pemerintahan berdasarkan atas aturan sesuai dengan sistem hukum

nasional.

Peraturan Daerah merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan di

tingkat daerah, sehingga letaknya yang sangat strategis dan bersentuhan langsung

dengan kehidupan masyarakat akan sangat menuntut kesempurnaan baik dalam

prosedur pembentukan, muatan dan pelaksanaannya.

Setelah melihat dan mengkaji Perda No. 3 Tahun 2002, peneliti mencoba

memberikan gambaran keberadaannya dan menemukan beberapa kekurangan serta

ketidaksesuaian (inkonsistensi) dengan peraturan yang lainnya.

1. Cakupan perluasan materi/substansi yang ada dalam UU Keterbukaan Informasi

Publikbelum sepenuhnya dituangkan dalam Peraturan Daerah.

2. Perda tidak mencantumkan materi baru yang dianggap menjadi kebutuhan dalam

perumusan Perundang-undangan yang dituang dalam Naskah Akademik.

78

3. Perda belum mencantumkan landasan yuridis dengan melihat keberadaan UU

lebih diatasnya dan mengatur pokok-pokok serupa, yakni UU Keterbukaan

Informasi Publik sebagai dasar hukum maupun pijakan di dalam membentuk Perda

Transparansi.

4. Teknik penyusunan dasar hukum (landasan yuridis) perda belum sesuai dengan

kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti tertuang

dalam Keputusan Presiden.

Upaya merevitalisasi sistem hukum perda dimaksud, peneliti menawarkan

beberapa solusi yang barangkali bisa dijadikan bahan pertimbangan dan masukan

demitercapainya prosedur terutama sistem hukum nasional dan bisa menutupi

kelemahan-kelemahan yang adadalamperda.

1. Peraturan daerah hendaknya segera menyesuaikan dengan sistem peraturan

perundang-undangan Nasionalyang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2011.

2. Mencantumkan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai Landasan Yuridis

Perdayang merupakan produk hukum nasional dan dibuat pemerintah yang

berkedudukan lebih tinggi.

3. Memperhatikan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan bentuk

rancangan undang-undang yang diatur pada Keputusan Presiden No 44. Tahun

1999, terutama kaitannya dengan pencantuman kedudukan dasar hukum.

4. Meninjau kembali landasan yuridis terutamakeberadaan UU KIP.

5. Perlu ditinjau kembali Bab/Pasalperaturan daerah yang tidak sesuai atau

bertentangan dengan isi maupun perintah UU yang lebih tinggi.