bab iii setting lokasi penelitian 3.1 gambaran umum
TRANSCRIPT
52
BAB III
SETTING LOKASI PENELITIAN
3.1 Gambaran umum Kabupaten Bener Meriah
Kabupaten Bener Meriah lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh . Pada
tanggal 18 Desember 2003 yang merupakan Pemekaran dari Kabupaten Aceh
Tengah yang berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Tengah
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur
4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tengah.
Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, Kabupaten Bener Meriah
terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Bukit sebagai kecamatan yang
paling tua dengan ibu kota Redelong, yang saat ini ditabalkan menjadi ibukota
Kabupaten Bener Meriah. Luas wilayah 1.454,09 KM², yang terdiri dari :
1. Kecamatan Bukit, luas 121.41 Km²
2. Kecamatan Bandar ,Luas 293,43 Km²
3. Kecamatan Timang Gajah, Luas 158,51 Km²
4. Kecamatan Siah Utama, Luas 560,00 Km²
5. Kecamatan Wih Pesam, Luas 48,14 Km²
6. Kecamatan Permata, Luas 132,59 Km²
7. Kecamatan Pintu Rime Gayo, Luas 140,01 Km²
53
dengan Kecamatan Syiah Utama sebagai kecamatan yang terluas yaitu 560
KM² (38,51 %) dari luas wilayah dan Kecamatan Wih Pesam merupakan kecamatan
yang terkecil, dengan luas wilayah 48,14 KM² (3.31%). Kabupaten Bener Meriah
merupakan daerah yang sangat subur dan memiliki potensi untuk menjadi daerah
agroindustri dan agribisnis dengan mengembangkan berbagai komoditi pertanian,
seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, sayur mayur dan buah-buahan.
Keadaan ini didukung oleh iklim tropis dengan suhu udara bervariasi antara 32 –
20 0C dengan curah hujan setiap tahun berkisar 1.000 mm-2.500 mm yang berada
pada ketinggian 100 – 2600 m diatas permukaan laut. Disamping itu, Kabupaten
Bener Meriah juga memiliki potensi ekonomi lainnya yang menjanjikan, seperti
Pertambangan, Pariwisata, Kehutanan, Peternakan, Perikanan dan Sumber daya
Air, serta potensi budaya yang beragam seperti didong dan tradisi pacuan kuda yang
sangat digemari oleh masyarakat.
3.2 Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Bener Meriah
Luas Kabupaten Bener meriah mencapai 1.454.09 Km², dengan komposisi
penggunaan lahan adalah sbb :
1. Sawah : 21.234.00 Ha
2. Pekarangan/Bangunan : 3.172,80 Ha
3. Kebun/Ladang : 50.384,00 Ha
4. Hutan Lindung : 21.604,78 Ha
5. Hutan Produksi : 36.447,00 Ha
6. Lain-lain : 12.567,22 Ha
54
3.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Bener Meriah
Tabel.3
jumlah penduduk di kabupaten Bener Meriah
No Nama
Kecamatan[2]
Laki-
Laki Perempuan
Jumlah
Penduduk
Luas
Wilayah
Kepadatan
Penduduk
1 Pintu Rime
Gayo 6.902 6.451 13.353
223,56
km²
59,73
jiwa/km²
2 Permata 9.440 8.830 18.270 159,66
km²
114,43
jiwa/km²
3 Syiah Utama 1.710 1.627 3.337 792,71
km²
4,21
jiwa/km²
4 Bandar 12.859 12.650 25.509 88,10
km²
289,55
jiwa/km²
5 Bukit 12.802 12.536 25.338 110,95
km²
228,37
jiwa/km²
6 Wih Pesam 11.951 11.427 23.378 66,28
km²
352,72
jiwa/km²
7 Timang Gajah 10.264 9.862 20.126 98,28
km²
204,78
jiwa/km²
8 Bener
Kelipah 2.379 2.285 4.664
19,75
km²
236,15
jiwa/km²
9 Mesidah 2.802 2.435 5.237 286,83
km²
18,25
jiwa/km²
10 Gajah Putih 4.849 4.555 9.404 73,57
km²
127,82
jiwa/km²
3.4 Deskripsi umum Kecamatan Bandar
Kecamatan Bandar merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Bener Meriah Provinsi Aceh, dengan luas Wilayah 88,10 km². Kecamatan Bandar
juga merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbesar di kabupaten Bener
Meriah yaitu sebesar 289,55% , dengan jumlah keseluruhan penduduk 25.509 jiwa,
yang terdiri dari 12.859 jiwa laki-laki dan 12650 jiwa perempuan dan terdiri dari
44 Desa di antaranya adalah :
55
Tabel. 4
Daftar Desa di Kecamatan Bandar
No Desa Jumlah Dusun
1 Desa Bahgie Betona 4
2 Desa Bandar Jaya 4
3 Desa Batin Baru 3
4 Desa Bener Kelipah Selatan 5
5 Desa Bener Lukup II 4
6 Desa Beranun Teleden 3
7 Desa Bintang Musara 3
8 Desa Gele semayang 3
9 Desa Gunung Antara 5
10 Desa Gunung Musara 6
11 Desa Hakim Wih ilang 4
12 Desa Janarata 3
13 Desa Jongok Meluem 6
14 Desa Kala Nempan 7
15 Desa Kala Tenang 6
16 Desa Keramat Jaya 4
17 Desa Lewa Jadi 5
18 Desa Makmur Sentosa 6
19 Desa Mutiara 5
20 Desa Muyang Kute Mangku 5
21 Desa Nosar Baru 4
22 Desa Pakat Jeroh 4
23 Desa Paya Baning 3
24 Desa Paya Ringkel 4
25 Desa Petukal Blang Jurong 3
26 Desa Pondok Baru 3
27 Desa Pondok Gajah 3
28 Desa Pondok Ulung 4
29 Desa Puja Mulia 5
30 Desa Bukit Wih ilang 4
31 Desa Jadi Sepakat 4
32 Desa Purwosari 3
33 Desa Remang Ketike Jaya 6
34 Desa Selamat Rejo 4
35 Desa Selisih Nara 3
36 Desa Sidodadi 3
56
37 Desa Simpang Utama 3
38 Desa Suku Bener 3
39 Desa Suku Wih ilang 3
40 Desa Tanjung Pura 3
41 Desa Tansaran Bidin 4
42 Desa Tawar Sedenge 5
43 Desa Wonosari 3
44 Desa Blang Pulo 3
kecamatan Bandar merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbesar di
kabupaten Bener Meriah yaitu dengan jumlah sebesar 289,55% , dengan jumlah
penduduk 25.509 jiwa, yang terdiri dari 12.859 jiwa laki-laki dan 12650 jiwa
perempuan.
3.4.1 Sarana Peribadatan di Kecamatan Bandar
Sarana ibadah pada masyarakat di kecamatan Bandar adalah masjid dan
Meunasah yang biasanya disebut dengan Mushola, Kecamatan bandar memiliki 21
masjid yang digunakan untuk segala kegiatan ibadah dan keagamaan, untuk semua
status keberadaan masjid itu adalah hasil dari wakaf.
Tabel.5
Daftar Masjid/Sarana Peribadatan di Kecamatan Bandar
NO Nama Masjid Tahun
Berdiri Alamat Status
1 Masjid
Al-Falah 1980 Puja Mulia Wakaf
2 Masjid
Ruhul Islam 1975
Bener Kelipah
Utara Wakaf
3 Masjid
An-Nur 2010 Keramat Jaya Wakaf
4 Masjid
Nurul Yakin 1978 Gajah Putih Wakaf
5 Masjid
Al-Mukmin 2012 Batin Bandar Jaya Wakaf
57
3.5 Deskripsi Umum Desa Sidodadi
3.5.1 Letak Geografis
Desa sidodadi adalah salah satu desa yang berada di dataran tinggi gayo
Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, dengan luas wilayah 1200 km² dan
ketinggian 1300 mdpl ,Terletak 1,5 km dari ibu kota Kecamatan Bandar, 15 km d
dari ibu kota Kabupaten Bener Meriah dan 201 km dari ibu kota Provinsi Aceh.
6 Masjid
Nurul Jannah 2010 Bahgie Bertona Wakaf
7 Masjid
Miftahul Jannah 1999 Pakat Jeroh Wakaf
8 Masjid
Al-Munawarah 1989 Mangku Wakaf
9 Masjid
Al-Mubarak 1987 Baten Baru Wakaf
10 Masjid
Abdul Rauf 1984 Belang Jorong Wakaf
11 Masjid
Al-Hidayah 2001 Lewa Jadi Wakaf
12 Masjid
An-Nur 2010 Bukit wih Ilang Wakaf
13 Masjid
Baitul Rahman 1989 Pondok keramat Wakaf
14 Masjid
Babul Jannah 2005 Sidodadi Wakaf
15 Masjid
Darur Makmur 1983 Selamt Rejo Wakaf
16 Masjid
Baitul Makmur 1996 Blang Pulo Wakaf
17 Masjid
Baitul Haq 1994 Hakim Wih Ilang Wakaf
18 Masjid
Nurul Yaqin 1996 Suku Wih Ilang Wakaf
19 Masjid
Al-Muttaqin 1970 Pondok Gajah Wakaf
20 Masjid
Ar-Rahman 1990 Wonosari Wakaf
21 Masjid
Al-Huda 1980 Lewa Jadi Wakaf
58
Desa ini berdampingan dengan desa-desa lain yang berada pada kecamatan Bandar.
Tepatnya terletak pada tepi jalan lintas di antara Kecamatan Bandar menuju
Kecamatan bukit, Kecamatan wih pesam dan Kecamatan Pintu rime gayo.
Letak desa sidodadi memanjang dari timur kebarat dengan batas-batas
wilayah yaitu :
1. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Jadi Sepakat
2. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Belang Jorong
3. Sebelah Utara berbatasan dengan desa kalampan
4. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Tanjung Pura
Letak dan bentuk desa sidodadi tidak jauh berbeda dengan desa-desa
tetangga yang berbatasan dengan desa sidodadi, terutama untuk desa jadi sepakat,
kesamaan letak dan bentuk sangat jelas terlihat dimana bila kita mengunjungi desa
jadi sepakat ataupun desa sidodadi ini dengan sekali lintas saja kita sudah bisa
melihat seluruh bagian desa. Karena hampir keseluruhan bangunan rumah terletak
di sepanjang jalan desa sampai dengan di perbatasan sebelah barat.
3.5.2 Sejarah Desa Sidodadi
Wilayah Desa Sidodadi pada asal mulanya merupakan hutan belantara yang
berada diwilayah kecamatan Bandar. Seirining berjalannya waktu pada daerah ini
dijadikan sebagai pemukiman warga karena masih banyak lahan kosong yang
dimanfaatkan untuk perkebunan kopi sebagai sumber mata pencaharian masyarakat
Aceh kemudian pada tahun 1937 daerah wilayah ini diresmikan menjadi sebuah
desa yang di beri nama desa sidodadi, sebuah nama pemberian dari Almarhum
59
Bapak Kromo Wijoyo, karena beliau adalah
orang pertama yang bertransmigrasi ke wilayah ini sehingga beliau diberi
keistimewaan oleh masyarakat setempat untuk memberikan nama Desa tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, Desa Sidodadi terus mengalami perkembangan
dengan pesat hal itu ditandai dengan banyaknya penduduk Aceh berdatangan untuk
ikut membuka lahan pertanian dan membangun tempat tinggal,
Dari mulai sejak berdirinya Desa sidodadi yaitu tahun 1937 sampai saat ini telah
dipimpin oleh 9 orang Kepala Desa. Berturut Jabatan Kepala Desa Di Desa
Sidodadi adalah tercantum dalam table sebagai berikut :
Tabel. 6
Urutan Jabatan Kepala Desa Sidodadi
No Kepala Desa/ Keucik Tahun Pemerintahan
1 Hasanudin 1937-1942
2 Abubakar 1942-1947
3 Teuku Albahrudin 1947-1952
4 M.Hasan 1952-1957
5 Hasballah 1957-1962
6 Sabri Aramiko 1962-1967
7 Subhan Bakri 1967-1972
8 Firdaus 1972-1977
9 Radensyah 1977-1982
10 Ikhsan Mulia 1982-1987
11 Ikhwandi Yusuf 1987-1992
12 Heri syahudin 1992-1997
13 Khairullah 1997-2002
14 Hasbi 2002-2007
15 Gimun 2007-2012
16 Gimun 2012-2017
60
3.5.3 Jumlah Penduduk Masyarakat Desa Sidodadi
Hingga Bulan Maret 2017, jumlah penduduk di Desa Sidodadi adalah 515
Jiwa, yang terdiri dari 170 Kepala Keluarga dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Tabel.7
Jumlah penduduk menurut Jenis Kelamin
NO Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah
1 WNI Pribumi 259 256 515
2 WNI. KA - - -
3 WNA - - -
Jumlah 259 256 515
Melalui tabel diatas dapat diambil suatu fakta bahwa, 100% warga Desa
Sidodadi adalah mayoritas Warga Indoenesia Asli yaitu sejumlah 515 jiwa. Warga
Negara Keturunan Asing dan Warga Negara Asing dipastikan tidak ada.
b. Jumlah Penduduk Menurut Agama
Tabel.8
Jumlah Penduduk Menurut Agama
No Agama Jumlah
1 Islam 515
2 Kristen -
3 Hindu -
4 Budha -
4 Katolik -
Jumlah 515
Dari data diatas, dapat diambil suatu kenyataan bahwa agama yang dianut
oleh masyarakat Desa Sidodadi adalah 100% agama Islam yaitu sebanyak 515
61
jiwa. Sementara untuk agama Kristen, Hindu, Budha dan Katolik dipastikan tidak
ada.
c. Jumlah Penduduk Menurut Klasifikasi Umur
Tabel. 9
Jumlah Penduduk Menurut Klasifikasi Umur
NO UMUR JUMLAH
1 0-12 Bulan 58
2 1-5 Tahun 63
3 6-16 Tahun 75
4 17-24 Tahun 39
5 25-30 Tahun 54
6 31-40 Tahun 91
7 >40 Tahun 135
Jumlah 515 Jiwa
Dengan memperhatikan tabel diatas dapat dipahami bahwa, kelompok umur
diatas 41 tahun merupakan kelompok umur yang sangat dominan di Desa Sidodaadi
dengan jumlah 135 jiwa. Kemudian diikuti oleh kelompok umur 31-40 tahun
sebagai kelompok umur yang juga dominan di Desa Sidodadi dengan Jumlah 91
Jiwa, sementara dengan jumlah yang paling sedikit berada pada kelompok umur
17-24 Tahun
3.5.4 Sosial Budaya Masyarakat Desa Sidodadi
a. Suku dan Bahasa
Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat desa sidodadi adalah
bahasa gayo, gayo adalah subuah nama salah satu suku yang ada di Aceh. Bahasa
gayo sendiri memiliki dua jenis bahasa yaitu bahasa halus dan kasar , karena
kemajuan zaman dan perubahan yang silih berganti saat ini masyarakat desa
sidodadi cenderung memakai bahasa gayo kasar. Dalam tutur berkeluarga di dalam
62
suku gayo panggilan ayah di sebut dengan ama, panggilan ibu disebut dengan ine,
panggilan kakak disebut dengan aka, dan panggilan adik disebut dengan engi,
Dalam bahasa gayo, suku gayo juga mengenal tingkat kesopanan dalam
berbicara dan di tunjukan dengan istilah “tutur” (cara memanggil orang) dengan
panggilan yang sopan dan berbeda, hal tersebut menunjukan tata krama, sopan
santun, rasa hormat dan penghargaan untuk orang yang lebih tua misalnya
pemakaian panggilan ko dan kam, yang kedua kata tersebut memiliki arti yang sama
yaitu “anda” biasanya panggilan ko digunakan orang tua kepada orang yang lebih
muda dan panggilan kam digunakan orang yang lebih muda kepada orang tua.
a. Seni dan budaya pada masyarakat Gayo
Suatu unsur yang tidak pernah hilang dikalangan masyarakat gayo
adalah kesenian yang tidak pernah mengalami kemunduran bahkan
cenderung berkembang. Budaya gayo memang sudah ada dari zaman nenek
moyang saat raja linge ada budaya itu mengalami turun menurun sampai
dengan sekarang dan menjadi ciri khas sendiri dari masyarakat suku gayo.
selain untuk hiburan bentuk-bentuk kesenian mempunyai fungsi
ritual pendidikan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosil masyarakat. Bentuk kesenian yang paling
terkenal antara lain adalah tari saman dan seni bertutur yang disebut didong
namun masih banyak kesenian lainnya seperti :
1. Didong niet
2. Tuak kukur
3. Melengkah
4. Dabus
63
5. Tari bines
6. Tari guel
7. Tari munalo
8. Tari sining
9. Tari turun ku aih aunen
10. Tari resam berume
Dalam masyarakat gayo juga ada budaya yang dinamakan sumang,
maksudnya adalah cara orang dalam bermasyarakat yang dilarang atau
interaksi sosial antara orang yang lebih tua dengan orang yang lebih muda
yaitu :
a. Sumang percerakan : tabu dalam cara berbicara.
b. Sumang penengonen : tabu dalam cara melihat.
c. Sumang pelangkahen : tabu dalam cara berjalan.
d. Sumang pekunulen : tabu dalam cara duduk
3.5.5 Sistem Pemerintahan Desa Sidodadi
Masyarakat desa sidodadi hidup dalam komuniti kecil yang di sebut dengan
kampung, setiap kampung dikepalai oleh seorang gecik (reje kampung), kemudian
di bawahi oleh sekretaris dan kepala dusun. Ada beberapa unsur yang membedakan
sistem pemerintahan desa di kabupaten bener meriah dengan sistem pemerintahan
nasional yaitu pada pemerintahan desa di kabupaten bener meriah tidak mengenal
adanya sistem RT/RW yang ada hanya satu bagian saja yang disebut sebagai
“dusun” yang dipimpin oleh kepala dusun. Untuk desa sidoadi memiliki 3(tiga)
dusun yaitu : dusun rahayu, dusun sidorukun dan dusun sidoluhur.
Struktur Pemerintahan Desa sidodadi
64
.
3.5.6 Sistem Kehidupan Masyarakat Aceh Sebagai Masyarakat Adat
BADAN PEMERIKSA
KEUANGAN
ISWADI
KEPALA DUSUN
SIDORUKUN
AHMADI
KAUR KESAHTERAAN MASYARAKAT
TENGKU KARNO
SEKRETARIS
MULIA SASTRA
KAUR PEMERINTAHAN
NAZARUDDIN
KEPALA DESA/
GECIK
GIMUN
KEPALA DUSUN
SIDOLUHUR
YATIMIN
KEPALA DUSUN
RAHAYU
LEGIMAN
65
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi
adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya
institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang
no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim
di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih
memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat Aceh yang
sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh, terdapat institusi-institusi
adat di tingkat gampong dan mukim, Institusi ini juga merupakan lembaga
pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh
selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang
sudah terbentuk.1
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot,
Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di
posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampong
terpelihara. Misalnya Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan
dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh
lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat
seperti terlihat di Gampong Baro. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai,
namun seiring berjalannya waktu, tsunami telah menelan kampung mereka. Berkat
kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di gampongnya,
1 . http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/10/makalah-sistem-kehidupan-
masyarakat.html diakses pada tanggal 24 april 2017 pukul 09:57 WIB
66
masyarakat Gampong Baro sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru,
yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar. Tak pernah terjadi kericuhan dalam
masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun
masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai
musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam
pengambilan keputusan.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang di kenal dengan kekentalan
agamanya . Aceh juga di kenal dengan sebutan Serambi Mekkah yang sangat kaya
dengan mesjid-masjid yang megah. Bagi masyarakat Aceh agama sangat berperan
penting sebagai sarana pemersatu dan menjadi rujukan masyarakat ketika
kehilangan arah. Dengan demikian , agama memiliki daya konstruktif, regulatif dan
formatif dalam membangun tatanan hidup masyarakat Aceh.
Bagi orang Aceh agama itu telah di jadikan indikator yang mampu
membentuk satu kesatuan sosial yang kuat di dalam masyarakat, terutama bagi yang
berdomisili di desa-desa. Orang Aceh umumnya selalu patuh pada perintah-
perintah Allah dan Rasul-nya. Mereka meyakini bahwa ajaran Islam akan
menyejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak.
Lantas kedudukan mesjid dan meunasah dalam sistem sosial masyarakat
Aceh adalah sebagai tempat duek pakat (Musyawarah), melaksanakan ibadah dan
tempat membangun jati diri masyarakat yang sesuai dengan ajaran islam, integrasi
tersebut melahirkan sebuah adagium (hadiah maja) dalam masyarakat Aceh adat
ngon agama lagee zat ngon sifeuet (adat dan agama seperti zat dan sifat). Oleh
karena itu adat dan agama tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Aceh sebagai negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam sangat
67
kental dengan adat istiadatnya. Ini terlihat dari masyarakat Aceh yang hampir tidak
mampu membedakan antara hukum dan adat. Dalam masyarakat Aceh juga
terdapat teori yang sangat melekat dalam kehidupan masyrakat Aceh sendiri, “adat
bak Po Teumeureuhom hukom bak Syiah Kuala: Hukom Ngon Agama lagee zat
ngon sifeuet.” (Sumber : Muliadi Kurdi, 2009, Aceh dimata sejarawan). Teori
tersebut dikemukakan oleh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin anak
Bagindo Khatib dari Nagari Tarusan.
Dalam Sistem Sosial Di Aceh, terdapat sistem pemerintahan yang sangat
terintegrasi contohnya, gampong dan mukim. Gampong merupakan kesatuan
masyarakat hukum sebagai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah
mukim yang menempati wilayah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan
rumah tangganya sendiri, sedangkan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum
dalam provinsi Aceh yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang memiliki
batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berkedudukan langsung di
bawah camat yang dipimpin oleh imeum mukim.
Sistem sosial ini telah menjadi adat turun temurun dalam masyarakat Aceh
dan telah digunakan mulai dari masa kerajaan Aceh berdaulat dulunya. Saat itu
Aceh sangat dikenal dimata dunia. Nama Aceh seolah melambung, apalagi di saat
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) . Beliau berhasil membawa
Aceh kedalam masa kejayaan dan menjadikan Aceh sebagai kerajaan islam
terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. kerajaan Aceh saat itu meliputi dua pertiga
pulau Sumatra dan semenanjung melayu. Aceh dengan hasil alam yang melimpah
menjalin hubungan bilateral dengan Negara-negara timur tengah dan Eropa.
Perdagangan cengkeh, lada dan hasil komoditi lainnya menyebabkan Aceh menjadi
68
incaran Negara-negara eropa. Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat Aceh seakan
kehilangan marwahnya, apalagi Sejak Belanda resmi menyatakan perang terhadap
kerajaan Aceh, nama Aceh sedikit demi sedikit mulai buram. Akhirnya kerajaan
Aceh menemui masa kelamnya setelah sultan terakhir Aceh Sultan Daud Syah
berdaulat menyerah kepada belanda. Aceh pada masa itu seakan menjadi daerah
tanpa penguasa. Pada saat itu tamping kekuasaan secara sengaja dirampas oleh
belanda. Pada masa itu Aceh di pimpin oleh seorang gobernur yang bernama van
swithen.
Namun ini semua tidak berarti memutuskan garis perjuangan rakyat Aceh.
Rakyat Aceh tetap meneruskan perjuangnya demi menjaga tanah leluhurnya.
Bahkan Belanda mencatat bahwa perang melawan Aceh adalah perang yang paling
melelahkan. Aceh dikenal dengan bangsa yang berperwatakan keras sehinggah
sangat sulit menaklukkan Aceh meskipun belanda berhasil menaklukkan
kesultanan Aceh pada masa itu, namun perjuangan di kalangan rakyat masih tetap
di kobarkan. Aceh hari ini bukanlah aceh yang diharapkan oleh para leluhur, karena
Aceh saat ini cenderung menjadi Aceh yang lemah sekaligus Aceh yang
kehilangan arah. Seharusnya saat ini Aceh harus melawan globalisasi untuk mampu
mempertahankan identitas diri. Aceh harus bangkit mengembangkan ciri khas
sendiri melalui apa yang telah diriwayatkan dari dulu oleh para Endatu. Saatnya
mengembalikan peradaban Aceh yang dahulu dikenal di mata dunia.