bab iii konsep pendidikan ar-rafi dalam...

26
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 24 Bab III Konsep Pendidikan Ar-RafiDalam MembangunKecerdasan Berpikir Pendidikan yang membangun sosok manusia unggul harus dimulai dengan proses memanusiakan manusia, menjadikan manusia sebagai homo sapiens, animal rationale atau binatang berpikir. A. Apa yang Disebut Dengan Berpikir? Berdasarkan filsafat konstruktivisme, berpikir adalah proses membangun (mengkonstruksi) konsep-konsep keilmuan,dari data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Atau proses berpikir ilmiah (scientific thinking) untuk meningkatkan konsep yang semula bersifat umum (konsep umum) menjadi konsep ilmiah (scientific concept), melalui memprosesan data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Begitu pentingnya berpikir dengan metoda ilmiah (scientific method), maka Allah Swt memberikan wahyuNya yang pertama kepada Muhammad Sawdalam AlQur’an Surat Al Alaq, sbb: 1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[Qs. Al Alaq (96): 1-5] Ayat 1, Allah memerintahkan rasulNya untuk mengamati alam semesta yang diciptakanNya.

Upload: duongkhuong

Post on 21-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 24

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam MembangunKecerdasan Berpikir

Pendidikan yang membangun sosok manusia unggul harus dimulai dengan proses memanusiakan manusia,

menjadikan manusia sebagai homo sapiens, animal rationale atau binatang berpikir.

A. Apa yang Disebut Dengan Berpikir?

Berdasarkan filsafat konstruktivisme, berpikir adalah proses membangun (mengkonstruksi) konsep-konsep

keilmuan,dari data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Atau proses berpikir ilmiah (scientific thinking)

untuk meningkatkan konsep yang semula bersifat umum (konsep umum) menjadi konsep ilmiah (scientific concept), melalui memprosesan data, fakta dan informasi yang

diperoleh pancaindra. Begitu pentingnya berpikir dengan metoda ilmiah (scientific method), maka Allah Swt

memberikan wahyuNya yang pertama kepada Muhammad Sawdalam AlQur’an Surat Al Alaq, sbb:

1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak

diketahuinya.[Qs. Al Alaq (96): 1-5]

Ayat 1, Allah memerintahkan rasulNya untuk mengamati alam semesta yang diciptakanNya.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 25

Ayat 2, dapat ditafsirkan bahwa Allah Swt juga

memerintahkan rasulNya untuk mengamati manusia penghuni alam semesta.Ayat 1 dan 2 tersebut merupakan perintah

Allah Swt kepada rasulNya untuk memikirkan alam dan seluruh penghuninya.

Ayat 3, 4 dan 5 inilah yang oleh penulis ditafsirkan sebagai berpikir dengan metoda ilmiah, yang dimulai dengan

proses meng “indra” alam semesta dan semua penghuninya, kemudian memikirkannya, membangun konsep sehingga

mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemudian digunakannya dalam kehidupan, inilah: landasan teologis kecakapan berpikir ilmiah yang harus dimiliki oleh umat muslim pengikut rasululloh Muhammad Saw.

B. Bagaimana Proses Berpikir dengan MetodaIlmiah?

Dalam ayat 3, Allah Swt memerintahkan RasulNya (dan umatNya) untuk: mengamati (iqro) alam semesta dan isinya

termasuk manusia.Hasil pengindraan (observasi) berupa data, fakta dan informasi masuk ke otak, dimana Allah yang Maha

Mulia memberikan kemulianNya kepada manusia dalam

bentuk akal. Ayat 4, dapat diterjemahkan sebagai: dan dengan akal

itu, Allah Swt mengajari manusia berpikir, membangun konsep-konsep keilmuan, menetapkan solusi, mengambil

kesimpulan, yang hasilnya dapat dituliskan (kalam).

Ayat 3 dan 4 menggambarkan proses “berpikir induktif” karena apa yang diamati manusia adalah benda-benda yang

bersifat spesifik dan kemudian dipikirkan, diabstraksi, sehingga menjadi konsep-konsep keilmuan yang bersifat

umum (general). Proses berpikir ilmiah tersebut dapat juga

disebut sebagai proses generalisasi, atau dengan menggunakan istilah Piaget disebut sebagai proses berpikir

formal.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 26

Ayat 3 dan 4 tersebut ditujukan Allah Swt bagi semua

manusia, dengan demikian sejak usia dini, anak sudah belajar berpikir ilmiah, yaitu melakukan proses abstraksi tingkat

rendah dengan membangun konsep-konsep kongkrit.

Ayat 5 menjelaskan tentang konsep-konsep keilmuan

yang diaplikasikan dalam kehidupan untuk memecahkan masalah-masalah aktual dalam kehidupan yang bersifat

spesifik. Proses berpikir pada ayat 5 ini menggambarkan proses deduktif ilmiahyaitu proses berpikir dari hal-hal yang

bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat spesifik.

Dengan demikian ayat 3, 4 dan 5 surat Al Alaq

menggambarkan proses berpikir induktif dan deduktif.

Konsep pendiidikan Ar Rafi’ membangun kecakapan proses berpikir ilmiah (scientific thinking) atau berpikir dengan

menggunakan metoda ilmiah (scientific method), agar semua muslim menjadi “ulama”, yang akan ditingkatkan derajatnya

(diunggulkan) oleh Allah Swt.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 27

C. Apakah Metoda Ca-Lis di SD Sama Dengan Metoda Iqro-Kalam?

Proses berpikir ilmiah model Ar-Rafi’, mengacu pada

ketiga ayat dari surat Al Alaq. Sedangkan ayat 3 dan 4 merupakan metoda iqro-kalam yang di SD dikenal dengan

metoda ca-lis (membaca dan menulis).Namun metoda ca-lis di SD Ar-Rafi’ tidak hanya membelajarkan peserta didik untuk

membaca dan menulis, tetapi yang terutama adalah melatih peserta didik berpikir induktif.Inilah pola pembelajaran yang

memanusiakan manusia, yaitu membangun manusia

untukmau dan mampu berpikir sehingga membedakan derajatnya sebagai manusia terhadap binatang.

Bagaimana proses belajar dengan metoda iqro – kalam?

Ilmu tidak dapat di"transfer" dari "kepala guru" kepada "kepala peserta didik".Hal tersebut merupakan pendapat

kaum konstruktivis, yang dapat diyakini kebenarannya oleh penulis karena tidak bertentangan dengan firman Allah Swt,

sebagai berikut:

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. [Qs AnNajm (53):

39]

Ayat tersebut menegaskan bahwa seorang peserta didik tidak akan memiliki ilmu kecuali bila ia sendiri

mengusahakannya. Bagaimana mengusahakannya?

Melalui belajar dan berlatih sendiri (self learning), berusaha menemukannya sendiri (self exploration) dan

mengevaluasinya sendiri (self evaluation), apakah ia telah

memiliki ilmu. Ayat ini merupakan landasan bagi metoda

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 28

belajar yang disebut PAIKEM (PembelajaranAktif, Inovatif,

Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ilmu, khususnya konsep-konsep esensial ilmu, hanya

dapat dimiliki peserta didik melalui belajar (PAIKEM) dengan "metode ilmiah". Sedangkan pengetahuan yang merupakan

data dan informasi dapat disampaikan guru kepada peserta

didik untuk disimpan dalam memorinya. Peserta didik yang hafal konsep ilmu bisa menyampaikan pengetahuan, tapi

belum tentu dapat menggunakan konsep ilmu tersebut dalam memecahkan masalah yang ia hadapi dalam kehidupan. Inilah

yang disebut sebagai verbalisme(omong doang/omdo). Konsep-konsep keilmuan yang dimiliki seseorang

merupakan "soft tools" atau "alat" untuk "memecahkan"

masalah,untuk mencari solusi, oleh karena itu dikenal istilah "breakthrough concept". Artinya pecahkanlah masalah dengan

menggunakan konsep (keilmuan). Allah Swt menyampaikan pengetahuan (konsep kongkrit)

kepada Nabi Adam As sebagai berikut :

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!".[Qs. AlBaqarah (2): 31].

Proses penguasaan konsep kongkrit seperti nama-nama

benda, dapat dipelajari dengan menghafal, selanjutnya di simpan dalam memori (ingatan) atau cognitive worldanak,

yang kemudian dapat di-recall (tahap pertama domain kognitif/Bloom) untuk disampaikan kembali.

Di sisi lain, peserta didik SD pun sudah mulai belajar mengabstraksi, meskipun masih tahap rendah (lower order thinking skills), namun sebenarnya proses mengabstraksi

peserta didik SD sama dengan proses mengabstraksi peserta didik S3, cuma substansinya berbeda, demikian juga

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 29

tingkatnya, karena cara berpikir peserta didik S3 sudah tinggi,

menggunakanhigher order thinking skills.

Allah Swt menghendaki umatNya mampu berpikir ilmiah (scientific thinking). Oleh karena itu, Allah Swt

memerintahkan semua manusia untuk mampu berpikir formal,

yaitu proses berpikir dengan menggunakan metode ilmiah, seperti yang dijelaskan dalam Surat Al Alaq terdahulu.

Berdasarkan uraian terdahulu dapat ditafsirkan bahwa konsep Iqro-Kalam [Qs. Al-’Alaq (96): 3-4] merupakan konsep

yang utuh dan menyeluruh yang menggambarkan adanya proses berpikir ilmiah (induktif), yang dapat dilustrasikan

dalam gambar 3.1:

Gambar 3.1: Metoda Ca-Lis sebagai Proses Berpikir Induktif

Pada umumnya pola ca-lissaat ini masih diartikan sebagai

pola belajar membaca (ca) dan belajar menulis (lis) sehingga peserta didik SD kehilangan satu proses belajar yang sangat

penting yaitu proses berpikir induktif ilmiah. Kecerdasan

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 30

berpikir ilmiah merupakan salah satu kecakapan dasar yang

harus dimiliki lulusan SD yang akan menjadi kunci keberhasilannya pada pendidikan menengah dan tinggi. Dan

juga merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam era global yang penuh

dengan ketidakpastian. Latihan mengabstraksi dalam berpikir

induktif, dapat juga disebut sebagai latihan berpikir "insight" yang insya Allah menjadi salah satu modal untuk memasuki

masyarakat Millenium III, yaitu masyarakat ilmiah (scientific society). Dapat disimpulkan bahwa:

Metoda iqro–kalam membangun kecerdasan berpikir induktif

ilmiah, menjadikan manusia seutuhnya (membedakan manusia dari binatang).

Konsep keilmuan hasil abstraksi, dapat digunakan dalam kehidupan mereka di lingkungannya, dan hal ini merupakan

latihan berpikir deduktif ilmiah yaitu dari konsep yang umum

(general) diaplikasikan dalam kehidupan yang bersifat fakta-fakta empiris yang spesifik.

Surat Al Alaq ayat 3, 4, dan 5 merupakan pedoman bagaimana kita melatih anak TK-SD, peserta didik SMP-SMA

dan mahasiswa Perguruan Tinggi dalam berpikir ilmiah, baik

secara induktif kualitatif maupun deduktif kuantitatif. Pola pendidikan atau pembelajaran dengan menggunakan

metode ilmiah tersebut disebut metode belajar yang mencerdaskan, khususnya kecerdasan intelektual, agar tidak

berpikir dangkal, dan juga merupakan landasan bagi pendidikan karakter agar dapat menetapkan “kebenaran”

yang akan dijadikan way of life nya.

D. Bagaimana Proses PembelajaranBerpikir dalam Domain Kognitif

Kecerdasan intelektual merupakan kecakapan proses

berpikir (thinking process) atau kecakapan proses (process

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 31

skill), yang sejak Kurikulum 1984 telah dipromosikan dalam

pembelajaran dengan istilah kecakapan proses. Berkaitan dengan pembelajaran kognitif, Bloom (1956,

hal 46) mengemukakan bahwa hasil pembelajaran kognitif yang diharapkan diperoleh peserta didik adalah:

a. Memahami ide oranglain, dan dapat mengemukakan

idenya sendiri dengan efektif. b. Menguasai materi keilmuan termasuk nilai-nilai

(attitudes) yang paling mendasar yang dibutuhkan dalam kehidupan.

c. Memiliki kecakapan menanggulangi (cope ability) hal-hal yang kritis melalui berpikir konstruktif.

Ketiga hal tersebut merupakan kecakapan proses berpikir

dalam upaya memiliki konsep-konsep keilmuan dan nilainya, serta kecakapan proses penggunaan konsep keilmuan dalam

kehidupan berdasarkan nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) yang bersifat universal. Dengan demikian pembelajaran

kognitif dari Bloom tidak bersifat hafalan, seperti yang sering

diutarakan di kalangan guru-guru saat ini yang cenderung manghasilkan verbalisme, melainkan padat dengan

pembelajaran proses berpikir. Selanjutnya Bloom (1956) menetapkan 6 (enam) kategori

dalam domain kognitif yaitu sebagai berikut: a. Knowledge; b. Comprehension; c. Application; d. Analysis; e. Synthesis, dan f. Evalution.

Kategori knowledge dalam taksonomi Bloom terkait

dengan understanding (mengerti) terhadap sumber informasi yang dapat dipercaya, dan sejauh mana peserta

didik mengingatnya (recall). Untuk dapat mengerti tentang sesuatu, peserta didik harus berpikir, meskipun

hanya tingkat rendah, tidak semata-mata memasukkan

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 32

data, fakta dan informasi ke dalam memori untuk diingat

(dihafalkan).

Kategori comprehensionadalah kecakapan membaca

makalah orang dengan pemahaman yang kritis(critical thinking), yaitu peserta didik dapat mengalih bahasakan

paper tersebut atau menterjemahkan dan mampu

melakukan ekstrapolasi dan interpretasi.

Kategori applicationadalah kecakapan menerapkan

prinsip-prinsip keilmuan pada situasi yang baru, membelajarkan peserta didik dalam berpikir deduktif ilmiah.

Kategori analysis adalah kecakapan berpikir dalam

bentuk mengurai ataumenganalisis organisasi tulisan yang

ada dalam suatu makalah, sehingga peserta didik mampu menarik prinsip-prinsip yang digunakan dalam makalah

tersebut, serta menetapkan “organisasi prinsip-prinsip” atau “peta konsep” dalam makalah. Peserta didik belajar

berpikir inferential.

Katagori synthesisadalah kecakapan memilih dan

mengorganisasikan gagasan dan pengalaman

berdasarkan kebutuhan masyarakat serta kecakapan meng- komunikasikannya.

Kategori evaluation adalah kecakapan mengidentifikasi

dan mengukur (assessment) serta memutuskan/menetapkan(judgement)berlandaskan nilai-

nilaikeilmuan (disciplinary value), yang terjadi dalam suatu diskusi atau seminar.

Lima dari enam kategori dalam domain kognitif yang dikemukakan Bloom (1956) merupakan kecakapan proses

berpikir yang berorientasi pada kecakapan akademik, dan

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 33

penguasaan serta pemilikan konsep-konsep keilmuan melalui

mastery learning (pembelajaran tuntas), dan hanya sedikit yang berkaitan dengan hafalan pengetahuan. Hal itu terkait

dengan kesimpulan umum yang penulis kemukakan bahwa apabila seseorang mau dan mampu berpikir maka

perolehannya dalam bentuk penguasaan dan pemilikan ilmu

pengetahuan akan proporsional dengan tingkat berpikir dan mutu prosesbelajarnya.

Bagaimana proses belajar kognitif Bloom yang berbasis

kompetensi? Berikut adalah beberapa contoh pola pembelajaran proses berpikir dalam sains, matematika dan

bahasa.

1. Kecakapan Proses Berpikir dalam IPA

Agar peserta didik memiliki kecakapan berpikir ilmiah (scentific thinking) dalam pembelajaran IPA (Ilmu

Pengetahuan Alam), maka peserta didik harus belajar menguasai kecakapan proses dalam IPA. Kecakapan proses

dalam pembelajaran IPA telah menjadi bahan diskusi penulis dengan teman-teman seprofesi sejak tahun 1996, yang

ternyata merupakankesefahaman bersama diantara kami

guru-guruIPA di dunia. Berikut kecakapan proses IPA, yang penulis modifikasi dari rumusan Asosiasi Guru-Guru Kanada

(Suderadjat, 2005: 87).

Observasi: Observasi meliputi perolehan informasi

tentang objek, situasi, atau kejadian-kejadian yang

menggunakan sebanyak mungkin keterlibatan pancaindra dan pemikiran. Sifatnya bisa kualitatif maupun kuantitatif.

Observasi memberikan dasar-dasar bagi penarikan kesimpulan atau hipotesis baru, dan juga merupakan alat

untuk menguji kesimpulan dan atau hipotesis yang ada.

Pengukuran: Pengukuran adalah observasi yang

dilakukan dengan menggunakan alat ukur, baik unit yang

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 34

standar maupun nonstandar. Panjang, luas, volume,

massa, interval waktu, dan kekuatan merupakan satuan dalam pengukuran dengan menggunakan instrumen yang

tepat dalam sistem satuan yang dipilih, misalnya metrik.

Klasifikasi: Klasifikasi meliputi pengelompokan objek,

konsep atau kejadian-kejadian berdasarkan sifat yang

diamati untuk menunjukkan kesamaan, perbedaan dan antar hubungan.

Inferensi (penarikan kesimpulan): Inferensiatau

penarikan kesimpulan didasarkan pada perolehan data

hasil pengamatan dan pengalaman masa lalu. Penarikan

kesimpulan dapat dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung,

dan kemudian diubah berdasarkan bukti yang baru.

Perkiraan (prediksi): Prediksi adalah pernyataan

tentang kejadian-kejadian di masa yang akan datang, yang didasarkan atas data yang diorganisasikan dengan

baik. Sedangkan ekstrapolasi berada di atas pola kejadian

yang diamati, yang dapat digunakan untuk menguji prediksi.

Komunikasi: Komunikasi adalah proses

mengorganisasikan dan memproses data, yang

dilaksanakan diantara tahap observasi dan tahap

interpretasi atau generalisasi. Kegiatannya meliputi pengorganisasian data “kasar” menjadi lebih kompak dan

bermakna (mengatur, menyusun kembali, dan membandingkan), penggambaran data melalui gambar

dan grafik, dan pemrosesan secara matematis sebagai

sarana bagi penarikan interpretasi.

Keenam proses belajar IPA tersebut dapat diajarkan di SD kelas rendah secara satu persatu, kemudian dapat

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 35

digabungkan pada pembelajaran IPA SD IV, V dan VI dan

mungkin hingga SMP kelas VII dan VIII, untuk memfasilitasi peserta didik belajar berpikir induktif-ilmiah. Sedangkan

kelima kecakapan proses berikut, lebih sesuai untuk pembelajaran IPA bagi peserta didikSMP kelas IX, SMA dan

SMK, untuk memfasilitasi mereka dalam belajar berpikir

deduktif kuantitatif, disamping pembelajaran berpikir induktif.

Membuat Hipotesis: Hipotesis adalah suatu dugaan

ilmiah, tentang hubungan dua variabel, dalam konteks sebab akibat. Hipotesis dilakukan berdasarkan hasil

observasi atau kesimpulan tentang serangkaian peristiwa.

Suatu hipotesis harus dapat diuji (testable).

Merancang Penelitian: Eksperimen adalah suatu tes

sebab akibat antara dua variabel, yang melibatkan semua proses dan dimulai dengan merumuskan masalah yang

akan dipecahkan. Selanjutnya dilakukan identifikasi variabel yang akan dikontrol, penyusunan definisi

operasional dan mengembangkan intrumen tes untuk

pelaksanaan eksperimen sesuai prosedur yang ditetapkan.

Pengontrolan Variabel: Pengontrolan variabel meliputi

proses penetapan variabel mana atau faktor mana yang

akan mempengaruhi hasil penelitian, situasi, atau

kejadian.

Interpretasi Data: Interpretasi adalah proses penarikan

makna dari data hasil observasi, dalam bentuk inferensi, generalisasi, atau penjelasan. Biasanya ia berupa respon

langsung terhadap masalah yang diteliti, dan dengan

demikian meliputi ketetapan tentang interpretasi untuk disesuaikan dengan hipotesis yang diajukan, dan

keterbatasan ilmu pengetahuan yang baru.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 36

Pemodelan: Proses ini meliputi penggunaan model fisik

atau mental untuk menggambarkan perilaku sesuatu yang

tidak dikenal. Kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan validitas model atau analogi pada fenomena

model. Model perlu direvisi untuk menampung fakta-fakta baru.

Bandingkan kecakapan proses mengamati (observasi), pengukuran, dan klasifikasi dengan iqro dalamsurat Al Alaq

(96) ayat 1-3, dan kecakapan berpikir inferensial,penarikan kesimpulan, menuliskan kesimpulan, prediksi dan komunikasi

dengan ayat 4. Sedangkan surat Al Alaq ayat 5

menggambarkan implementasi konsep dalam kehidupan yang bersifat deduktif. Sedangkan kebenaran konsep diteliti secara

deduktif dengan kelima proses terakhir dari kecakapan proses IPA. Dengan demikian kesebelas kecakapan proses tersebut

merupakan kecakapan berpikir ilmiah yang mampu membangun kecerdasan intelektual peserta didik.

2. Kecakapan Proses Berpikir dalam Matematika

Kecakapan proses dikembangkan berdasarkan rasional

bahwa masyarakat masa depan adalah masyarakat belajar atau learning society, oleh karena itu para peserta didik harus

dibekali dengan kecakapan belajar atau learning to learn. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat

dijadikan sarana pengembangan masyarakat belajar, dan

bertujuan agar masyarakat melek bilangan (numeracy). Manfaat matematika dalam masyarakat belajar atau

learning society semakin meningkat, khususnya pada masyarakat berbasis teknologi informatika dan komunikasi

(information communication technology-ICT). Agar para peserta didik pendidikan dasar berhasil dalam dunia kerjanya

kelak, maka mereka dipersyaratkan untuk menguasai dan

memiliki kecakapan berpikir rasional, kecakapan berkomunikasi dan memecahkan masalah secara matematis,

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 37

memahami dan mampu menggunakan probabilitas dan

statistik, teknologi dan pengukuran. Kecakapan proses matematika juga meliputi kecakapan

untuk mengesksplorasi, memprediksi, berpikir logik rasional, dan memecahkan masalah. Di samping itu mereka juga akan

memiliki nilai dan sikap percaya diri, dan kemampuan untuk

menggunakan informasi kuantitatif dan spasial dalam pemecahan masalah serta pengambilan keputusan.

Ada korelasi positif antara sikap dengan unjuk kerja (performansi) peserta didik. Pembelajaran matematika harus

didesain agar menarik minat peserta didik dan menumbuhkan dorongan untuk belajar sehingga mereka terikat dalam proses

pembelajaran matematika. Sikap positif terhadap matematika,

mendorong keberhasilan peserta didik dalam menguasai dan memiliki kecakapan generik matematika, yang pada akhirnya

mendorong mereka memiliki sikap percaya diri yang kuat. Kecakapan generik atau kecakapan proses (the basic process skill) yang diharapkan dapat dikuasai dan dimiliki peserta

didik, dalam pembelajaran matematika, penulis kutip dari Asosiasi Guru Kanada (Suderadjat, 2005:101), sbb:

Pemecahan Masalah Secara Matematis.Pemecahan

masalah merupakan strategi kunci pembelajaran

matematika. Para peserta didik hendaknya belajar dan berlatih memecahkan masalah secara efektif. Dengan

pemilikan kecakapan tersebut di atas, diharapkan peserta

didik dapat menjadi pribadi yang rasional, yang bermakna bagi masyarakat.Pemecahan masalah secara matematis

meningkatkan kemampuan peserta didik dalam komunikasi, eksplorasi, kreasi (penciptaan), penyesuaian

terhadap perubahan atau kemampuan menanggulangi

(cope ability), dan aktif menggali pengetahuan baru. Pemecahan masalah secara matematis dalam

pembelajaran matematika harus melibatkan atau mengintegrasikan pengalaman peserta didik. Diharapkan,

peserta didik mampu memecahkan masalah pekerjaan

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 38

yang akan dihadapinya kelak di kemudian hari, secara

matematis.

Pemodelan. Perumusan model matematika dari masalah

kehidupan yang nyata merupakan salah satu bentuk pembelajaran matematika. Pemodelan matematika telah

mengikuti kecenderungan modern, dengan cara

mendorong peserta didik untuk berkonsentrasi pada aktivitasnya, tidak sekedar mengerjakan soal-soal rutin

yang sudah disiapkan, melainkan peserta didik sendiri harus mampu menyusun soal matematikanya

berdasarkan permasalahan yang ada yang dihadapinya sehari-hari dalam kehidupan.

Berkomunikasi Secara Matematis. Matematika

merupakan bahasa untuk menyampaikan suatu ide.

Kemampuan komunikasi memegang peranan penting dalam membantu peserta didik membangun hubungan

antara aspek-aspek informal dan intuitif dengan bahasa yang abstrak dan simbol-simbol dari bahasa matematis,

serta antara uraian secara fisikal, piktorial, grafik,

simbolik, dan verbal, dengan gambaran mental dari gagasan matematis. Semua kegiatan pembelajaran dalam

bentuk eksplorasi, menjelaskan, investigasi, menyelidiki, menguraikan, menetapkan suatu putusan,

mendorongpeserta didik dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi.

Menghubungkan dan Mengaplikasikan Ide

Matematis. Peserta didik akan menyadari manfaat

matematika apabila pembelajaran matematika selalu dikaitkan dengan masalah kehidupan sehari-hari yang

dialami peserta didik. Pembelajaran matematika harus dapat mengaitkan konsep matematika dengan situasi

kehidupan nyata, yang memungkinkan peserta didik

dengan pemilikan konsep matematis tersebut dapat memahami disiplin ilmu lainnya.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 39

Logika Matematika. Pembelajaran matematika

mendorong kepercayaan diri peserta didik dalam

kemampuan nalar, ber-argumentasi, dan justifikasi atau menilai kemampuan berpikirnya sendiri. Para peserta

didik diharapkan menyadari bahwa hasil belajar matematika tidak hanya mengingat dan menghafal

rumus, melainkan harus bermakna, logis dan

menyenangkan.Kemampuan berpikir logis biasanya berkembang dalam suatu kontinum, mulai berpikir

kongkrit, hingga berpikir formal atau berpikir abstrak. Peserta didik mampu berpikir induktif dari fakta ke

konsep, dan berpikir deduktif dari konsep dan teori ke aplikasi yang spesifik dalam kehidupan sehari-hari.

Mampu Menggunakan Teknologi.Peserta didik

diharapkan memiliki kemampuan menggunakan teknologi sebagai alat bagi pemecahan masalah.Teknologi baru

telah mengubah tingkat kesulitan problema matematis menjadi lebih mudah, misalnya dengan menggunakan

komputer dan kalkulator. Kecepatan menghitung dan

membuat grafik dari persamaan matematis, membantu peserta didik menemukan konsep-konsep matematis dan

hubungannya secara lebih dalam. Harus disadari bahwa komputer hanyalah alat yang dapat menyederhanakan

permasalahan tetapi tidak memecahkan masalah, solusi harus diperoleh oleh peserta didik. Keberadaan komputer

tidak menghapus tuntutan terhadap peserta didik untuk

menguasai kemampuan mempelajari fakta-fakta dasar dan algoritma.

Kemampuan Mengestimasi.Matematika tidak hanya

berkaitan dengan kepastian (exactness) tetapi juga hal-

hal yang bersifat mental antara sikap percaya diri.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan estimasi, sangat membantu peserta didik

dalam berhubungan dengan situasi keseharian.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 40

Kemampuan peserta didik dalam membuat estimasi

mendorong pertumbuhan kepercayaan diri (self confidence).

Tujuh kecakapan di atas semuanya bersifat kecakapan

proses yang diperlukan semua orang dalam menguasai dan

memiliki konsep-konsep dasar dan axioma matematika, dan juga bagi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kecakapan proses dalam matematika diatas dapat digunakan guru matematika dalam mengembangkan

kurikulum matematika dan pembelajaran yang berorientasi

pada kecakapan berpikir rasional-logik.

3. Kecakapan Proses Berpikir dalam Bahasa

Kecakapan proses berbahasa, sudah dikenalkan sejak Kurikulum 1994. Dari Kurikulum 1994 diperoleh penjelasan

bahwa penilaian Bahasa Inggris menggunakan penilaian

integratif dan komunikatif, dan bukan penilaian terhadap penguasaan unsur-unsur bahasa, seperti grammar.

Penilaian adalah pengukuran terhadap ketercapaian indikator hasil belajar yang menggambarkan rincian

pencapaian tujuan pembelajar khusus yaitu kompetensi

dasar. Perumusan “Indikator Hasil Belajar” yang menggambarkan pencapaian kompetensi dasar dapat

dikembangkan dari standar kecakapan fungsional (kecakapan proses) seperti yang ditetapkan dalam Kurikulum 1994 yaitu:

Membaca.Peserta didik dapat membaca teks yang

berbentuk narasi, deskripsi, percakapan dan argumentasi dengan keterampilan sebagai berikut:

o Menemukan informasi tertentu; o Mendapatkan gambaran umum tentang isi bacaan;

o Menemukan pikiran utama yang tersurat;

o Menemukan pikiran utama yang tersirat; o Menemukan semua informasi rinci yang tersurat;

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 41

o Mendapatkan informasi yang tersirat;

o Menafsirkan makna kata, frosa dan kalimat berdasarkan konteks;

o Mendapatkan rasa senang.

Menyimak

o Menemukan pikiran utama dalam teks lisan pendek

(percakapan, narasi, deskripsi); o Menemukan informasi rinci dalam percakapan pendek

dan sederhana; o Menemukan informasi tertentu dalam teks lisan

pendek (percakapan, narasi, deskripsi);

o Melakukan seperangkat petunjuk lisan sederhana;

Berbicara

o Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tema;

o Melakukan percakapan pendek dengan lancar berdasarkan situasi;

o Secara sederhana menjelaskan benda, orang, tempat,

dan rangkaian peristiwa; o Secara sederhana mengungkapkan pikiran, pendapat,

perasaan, dan sikap. Menulis

o Menyusun kalimat (paling banyak 10 kalimat) yang

diberikan secara acak menjadi paragraf berbentuk

narasi dan deskripsi yang padu (koheren); o Melengkapi percakapan sederhana dan singkat secara

tertulis ; o Menulis paragraf pendek (paling banyak 10 kalimat)

berbentuk narasi dan deskripsi tentang topik yang sederhana;

o Memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan

pemahaman; menulis pesan pribadi; o Menulis surat sederhana;

o Menjawab surat sederhana.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 42

Keempat kecakapan dasar berbahasa tersebut merupakan kecakapan proses yang bermuara pada kecakapan

berkomunikasi (communicative skill). Perlu dipikirkan oleh guru-guru bahasa Inggris, mengapa lulusan HIS (Holands Inlands School) yang merupakan sekolah dasar zaman

Belanda dapat meluluskan siswanya yang fasih berbahasa Belanda, tetapi lulusan SMA dan SMK sekarang hampir tidak

bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, bahkan lulusan S1 dan S2?

PISA (Program for International Student Assessment)

menggambarkan bahwa evaluasi berbasis kompetensi

terhadap bahasa difokuskan kepada kecakapan peserta didik dalam menganalisis masalah, yang merupakan muara dari

keempat kecakapan dasar berbahasa seperti yang dikemukakan tersebut. Dengan demikian keempat kecakapan

dasar berbahasa yang dikemukakan dalam Kurikulum 1994

sesuai dengan Kurikulum Bahasa Berbasis Kompetensi. Mengapa kecakapan proses berpikir, bersikap dan

bertindak sangat penting dalam kehidupan?

E. Kecakapan Berpikir Radikal Filosofis Vs Tindakan Kekerasan.

“...Manusia adalah mahluk yang berpikir, homo sapiens,

atau pernah pula disebut animal rational. Dia tidak makan saja seperti tumbuh-tumbuhan, dia tidaklah bereaksi saja seperti binatang.(Semiawan dkk, 1988, hal 35).

Pendapat para filsuf Barat ini dapat diyakini kebenarannya karena Allah Swt berfirman bahwa manusia yang tidak mau

dan tidak mampu berpikir, derajatnya sama dengan binatang

ternak bahkan lebih sesat [Qs. Al A’raaf (7): 179]. Dengan demikian pendidikan hendaknya dapat memfasilitasi peserta

didik untuk mangaktualisasikan potensi intelektualnya menjadi

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 43

kecakapan berpikir, hingga derajatnya dimuliakan diantara

mahluk dimuka bumi, dan di bedakan dari binatang. Manusia adalah binatang berpikir, filsuf adalah manusia

yang berpikir, apakah semua manusia adalah filsuf? Tidak, tetapi filsuf adalah manusia dan berada diantara manusia.

Berpikir adalah sifat manusia yang paling penting, yang

membedakan dirinya dari binatang.Bagaimana cara berpikir manusia yang terbaik? Yaitu berpikir layaknya filsuf, atau berpikir filosofis.

“...Berpikir filosofis adalah berpikir radikal, karena filsuf

adalah ahli berpikir radikal, yang berusaha mencapai radix, akarnya.... Berpikir radikal itu ditujukan pada kedalaman

(diepte).(Semiawan dkk, 1988, hal 36)

Berdasar pemikiran tersebut maka berpikir filosofis adalahberpikir radikal hingga mencapai “kedalaman”, atau

berpikir filosofis adalahcara berpikir seorang filsuf, hingga

mencapai akarnya (radix).Dengan berpikir radikal akan menghindarkan manusia dari tindakan-tindakan kekerasan,

tetapi apa yang dimaksud dengan “tindakan yang radikal”? dapatkah diartikan bahwa tindakan yang radikal disamakan

dengan tindakan yang penuh dengan kekerasan? Mari kita pikirkan dengan lebih mendalam (radikal) untuk mendapatkan

jawabannya.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 44

Apa arti filsafat ? Pendapat Dardiri (1986) yang dikutip

oleh Semiawan dkk (1988, hal 36):

“…. kata filsafat berasal dari kata “philos” atau “philein” atau “phelia” yang berarti cinta dan dari kata “Sophia” yang berarti

“kebijaksanaan”, atau “pengetahuan”. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan tersebut,

berpikir filosofis adalah berpikir radikal atau berpikir

mendalam hingga mencapai akarnya.Hasilnya, disamping memperoleh pengetahuan (konsep-konsep keilmuan) juga

akan memperoleh nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) sebagai “akar” ilmu pengetahuan, olehkarenaitu orang yang

berpikir radikal (filosofis) akan cinta nilai-nilai kearifan dan

cenderung akan bertindak bijaksana.Dengan kata lain mereka yang berpikir radikal cenderung akan bertindak bijaksana,

sedangkan orang-orang yang berpikir dangkal dapat terpengaruhi untuk melakukan tindakan kekerasan.

Pendapat Walter Kaufmann yang dikutip Semiawan dkk (1988

hal 37) menjelaskan bahwa:

“Filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi tanpa

memerlukan kekerasan dan tanpa mengetahui hasilnya terlebih dahulu”.

Kebenaran fakta-fakta dan data-data, yang ada di alam

semesta (ayat-ayat kauniyah) merupakan “kebenaran empirik” yang dapat di observasi. Hasil pengindraan terhadap

data dan fakta, masuk ke otak manusia, kemudiandi proses oleh “akal” sebagai proses berpikir dan kemudian dikonstruksi

menjadi konsep-konsep ilmu pengetahuan, hingga yang

terdalam yaitu nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) yang bersifat spiritual universal. Inilah proses berpikir abstrak, atau

proses mengabstraksi fakta dan data yang bersifat khusus (spesifik) menjadi konsep yang bersifat umum (general) dan

spiritual universal.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 45

Proses berpikir mendalam (radikal) dimulai dari

pengindraan (iqro) terhadap fakta dan data, hingga memperoleh konsep-konsep keilmuan dan nilai-nilai keilmuan

(disciplinary value) yang semuanya dapat dituliskan (kalam), yang disebut sebagai proses berpikir ilmiah induktif, yang

dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan3.2: Piramida Ilmu

Bagan tersebut menjelaskan bahwa proses berpikir ilmiah induktif, dimulai dari pengindraan (iqra) terhadap fakta dan

data (kebenaran faktual empirik), kemudian dipikirkan, diabtraksi, menjadi konsep-konsep ilmu (kebenaran ideal) dan

nilai-nilai keilmuan (kebenaran spiritual). Inilah proses berpikir

radikal-filosofik.

Mengapa nilai-nilai keilmuan menjadi kebenaran spiritual?

Karena “abstraksi” ayat-ayat kauniyah (alam semesta) sebagai kebenaran empirik, menjadi ayat-ayat kauliyah

(firman Allah Swt dalam Al-Qur’an) sebagai kebenaran ideal,

semuanya berakar pada nilai-nilai kesucianNya atau fitrah [Qs. Ar-Rum (30): 30]

Nilai.

Proses berpikir ilmiah yang radikal

(induktif)

Induktif)

Kalam

Proses berpikir deduktif

Fakta-data

(Kebenaran faktual)

Empirik

Iqra

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 46

Semua puncak piramida ilmu adalah nilai-nilai keilmuan,

maka apabila semua piramida ilmu dikumpulkan akanberbentuk lingkaran, yang dapat digambarkan sebagai

berikut:

Bagan 3.3: Kumpulan Piramida Ilmu

Bagan tersebut menggambarkan bahwa lingkaran terdalam menggambarkan kumpulan nilai-nilai keilmuan yang

bersifat universal hasil abstraksi dari fakta dan data di alam semesta (universe).Kumpulan nilai-nilai keilmuan itu bersifat

abadi (perennial) dan spiritual (ruhani).Lingkaran tengah

adalah konsep-konsep keilmuan dan teori, sedangkan lingkaran terluar adalah fakta-fakta dan data.

Dalam Islam, lingkaran terdalam adalah nilai-nilai ilahiyah

atau nilai-nilai ketuhanan yang bersifat perennial-spiritual dan

universal, sedangkan lingkaran tengah adalah ayat-ayat qauliyah yaitu AlQur’an yang merupakan ilmu dan pedoman

umat manusia, dan sebagai kebenaran ideal,sedangkan lingkaran terluar adalah ayat-ayat qauniyah yaitu fakta dan

data sebagai kebenaran faktual. Implikasinya adalah semua data faktual empirik yang ada

di alam adalah kebenaran yang nyata, kongkrit tidak dapat

dimanipulasi kebenarannya.

IPA Fakta dan Data

(Kebenaran Empirik) IPS

Bahasa

Nilai Keilmuan

(Kebenaran Spiritual)

Konsep Keilmuan

(Kebenaran Ideal)

1

2

3

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 47

Ilmu yang diperoleh manusia yang merupakan konsep dan ilmu pengetahuan, yang diperoleh manusia melalui

proses berpikir ilmiah bisadijadikan landasan kebenaran ideal, apabila tidak bertentangan dengan AlQur’an sebagai firman

Allah Swt.

Sedangkan nilai-nilai keilmuan merupakan nilai-nilai

spiritual-perennial, terkait dengan nilai-nilai personal, sosial dan nilai-nilai ketuhanan, yang bersifat universal, dalam arti

dimiliki oleh semua manusia meskipun berbeda agama. Inilah landasan toleransi kehidupan beragama, karenatidak ada

toleransi agama, mengungat bahwa masing-masing agama

memiliki persepsi yang berbeda tentang tuhannya, sehingga terjadilah perbedaan agama, yang harus dihargai sebagai Hak

Azasi Manusia (HAM) yang tidak seorangpun boleh melanggarnya. Allah Swt menurunkan Rasulullah Muhammad

Saw untuk menyebarkan rahmat ke antero alam dengan

agama Islam, sehingga bagi umat Islam tidak boleh memaksakan agamanya kepada non muslim.

F. Pembelajaran Domain Kognitif dalam Pendidikan Berbasis KompetensiMembangun Sosok Muttaqin

Selama ini pembelajaran kognitif yang dikemukakan oleh

Bloom, ditafsirkan sebatas pembelajaran yang berorientasi

pada materi pengetahuan. Uraian dalam bab III terdahulu menyimpulkan bahwa pembelajaran kognitif dalam konteks

pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi adalah: a. Pembelajaran yang mencerdaskan peserta didik, dalam

arti membangun kecakapan proses berpikir.

b. Pembelajaran yang memfasiltasi peserta didik untuk menguasai dan memiliki konsep-konsep keilmuan.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 48

c. Pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik untuk

memiliki nilai-nilai personal sosial dan nilai-nilai ketuhanan.

d. Pelatihan yang memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengamalkan ilmunya dalam kehidupan dengan nilai-nilai

personal, sosial dan spiritual.

Artinya pembelajaran kognitif memfasilitasi peserta didik

untuk menguasai dan memiliki konsep keilmuan dan dapat menggunakan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari

dengan nilai-nilai ahlak mulia sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, bangsa dan agamanya, serta

lingkungannya (rahmatan lil’alamin), yang dapat digambarkan

dalam bagan 3.3.

Bagan tersebut juga dapat mengilustrasikan proses pembelajaran berbasis kompetensi yang mencerdaskan,

kompetitif, produktif dan berahlak mulia.

Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 49

Bagan 3.4: Pembelajaran Kognitif yang Berorientasi

pada Kompetensi Akademik

Terhindar dari asfala safilin

(Qs. At Tiin [095]: 4-6) 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan

manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

5. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Mencerdaskan

Karena peserta didik belajar berpikir ilmiah

(scientific thinking process), sehingga dapat

Menguasai dan memiliki ilmu (mastery

learning), yang berfungsi sebagai

Sarana (soft tools) untuk memecahkan

masalah (break throught concept), sehingga

Mampu menanggulangi permasalahan dalam era ketidakpastian (cope ability)

Dengan ikhlas sebagai ibadah kepadaNya

(amal soleh), yang akan dibalas pahala

Mengamalkan ilmunya dalam kehidupan masyarakat, dengan……

Berilmu

Kompetitif

Produktif

Berakhlak

Mulia

Muttaqin