bab iii konsep pendidikan ar-rafi dalam...
TRANSCRIPT
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 24
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam MembangunKecerdasan Berpikir
Pendidikan yang membangun sosok manusia unggul harus dimulai dengan proses memanusiakan manusia,
menjadikan manusia sebagai homo sapiens, animal rationale atau binatang berpikir.
A. Apa yang Disebut Dengan Berpikir?
Berdasarkan filsafat konstruktivisme, berpikir adalah proses membangun (mengkonstruksi) konsep-konsep
keilmuan,dari data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Atau proses berpikir ilmiah (scientific thinking)
untuk meningkatkan konsep yang semula bersifat umum (konsep umum) menjadi konsep ilmiah (scientific concept), melalui memprosesan data, fakta dan informasi yang
diperoleh pancaindra. Begitu pentingnya berpikir dengan metoda ilmiah (scientific method), maka Allah Swt
memberikan wahyuNya yang pertama kepada Muhammad Sawdalam AlQur’an Surat Al Alaq, sbb:
1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.[Qs. Al Alaq (96): 1-5]
Ayat 1, Allah memerintahkan rasulNya untuk mengamati alam semesta yang diciptakanNya.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 25
Ayat 2, dapat ditafsirkan bahwa Allah Swt juga
memerintahkan rasulNya untuk mengamati manusia penghuni alam semesta.Ayat 1 dan 2 tersebut merupakan perintah
Allah Swt kepada rasulNya untuk memikirkan alam dan seluruh penghuninya.
Ayat 3, 4 dan 5 inilah yang oleh penulis ditafsirkan sebagai berpikir dengan metoda ilmiah, yang dimulai dengan
proses meng “indra” alam semesta dan semua penghuninya, kemudian memikirkannya, membangun konsep sehingga
mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemudian digunakannya dalam kehidupan, inilah: landasan teologis kecakapan berpikir ilmiah yang harus dimiliki oleh umat muslim pengikut rasululloh Muhammad Saw.
B. Bagaimana Proses Berpikir dengan MetodaIlmiah?
Dalam ayat 3, Allah Swt memerintahkan RasulNya (dan umatNya) untuk: mengamati (iqro) alam semesta dan isinya
termasuk manusia.Hasil pengindraan (observasi) berupa data, fakta dan informasi masuk ke otak, dimana Allah yang Maha
Mulia memberikan kemulianNya kepada manusia dalam
bentuk akal. Ayat 4, dapat diterjemahkan sebagai: dan dengan akal
itu, Allah Swt mengajari manusia berpikir, membangun konsep-konsep keilmuan, menetapkan solusi, mengambil
kesimpulan, yang hasilnya dapat dituliskan (kalam).
Ayat 3 dan 4 menggambarkan proses “berpikir induktif” karena apa yang diamati manusia adalah benda-benda yang
bersifat spesifik dan kemudian dipikirkan, diabstraksi, sehingga menjadi konsep-konsep keilmuan yang bersifat
umum (general). Proses berpikir ilmiah tersebut dapat juga
disebut sebagai proses generalisasi, atau dengan menggunakan istilah Piaget disebut sebagai proses berpikir
formal.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 26
Ayat 3 dan 4 tersebut ditujukan Allah Swt bagi semua
manusia, dengan demikian sejak usia dini, anak sudah belajar berpikir ilmiah, yaitu melakukan proses abstraksi tingkat
rendah dengan membangun konsep-konsep kongkrit.
Ayat 5 menjelaskan tentang konsep-konsep keilmuan
yang diaplikasikan dalam kehidupan untuk memecahkan masalah-masalah aktual dalam kehidupan yang bersifat
spesifik. Proses berpikir pada ayat 5 ini menggambarkan proses deduktif ilmiahyaitu proses berpikir dari hal-hal yang
bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat spesifik.
Dengan demikian ayat 3, 4 dan 5 surat Al Alaq
menggambarkan proses berpikir induktif dan deduktif.
Konsep pendiidikan Ar Rafi’ membangun kecakapan proses berpikir ilmiah (scientific thinking) atau berpikir dengan
menggunakan metoda ilmiah (scientific method), agar semua muslim menjadi “ulama”, yang akan ditingkatkan derajatnya
(diunggulkan) oleh Allah Swt.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 27
C. Apakah Metoda Ca-Lis di SD Sama Dengan Metoda Iqro-Kalam?
Proses berpikir ilmiah model Ar-Rafi’, mengacu pada
ketiga ayat dari surat Al Alaq. Sedangkan ayat 3 dan 4 merupakan metoda iqro-kalam yang di SD dikenal dengan
metoda ca-lis (membaca dan menulis).Namun metoda ca-lis di SD Ar-Rafi’ tidak hanya membelajarkan peserta didik untuk
membaca dan menulis, tetapi yang terutama adalah melatih peserta didik berpikir induktif.Inilah pola pembelajaran yang
memanusiakan manusia, yaitu membangun manusia
untukmau dan mampu berpikir sehingga membedakan derajatnya sebagai manusia terhadap binatang.
Bagaimana proses belajar dengan metoda iqro – kalam?
Ilmu tidak dapat di"transfer" dari "kepala guru" kepada "kepala peserta didik".Hal tersebut merupakan pendapat
kaum konstruktivis, yang dapat diyakini kebenarannya oleh penulis karena tidak bertentangan dengan firman Allah Swt,
sebagai berikut:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. [Qs AnNajm (53):
39]
Ayat tersebut menegaskan bahwa seorang peserta didik tidak akan memiliki ilmu kecuali bila ia sendiri
mengusahakannya. Bagaimana mengusahakannya?
Melalui belajar dan berlatih sendiri (self learning), berusaha menemukannya sendiri (self exploration) dan
mengevaluasinya sendiri (self evaluation), apakah ia telah
memiliki ilmu. Ayat ini merupakan landasan bagi metoda
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 28
belajar yang disebut PAIKEM (PembelajaranAktif, Inovatif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ilmu, khususnya konsep-konsep esensial ilmu, hanya
dapat dimiliki peserta didik melalui belajar (PAIKEM) dengan "metode ilmiah". Sedangkan pengetahuan yang merupakan
data dan informasi dapat disampaikan guru kepada peserta
didik untuk disimpan dalam memorinya. Peserta didik yang hafal konsep ilmu bisa menyampaikan pengetahuan, tapi
belum tentu dapat menggunakan konsep ilmu tersebut dalam memecahkan masalah yang ia hadapi dalam kehidupan. Inilah
yang disebut sebagai verbalisme(omong doang/omdo). Konsep-konsep keilmuan yang dimiliki seseorang
merupakan "soft tools" atau "alat" untuk "memecahkan"
masalah,untuk mencari solusi, oleh karena itu dikenal istilah "breakthrough concept". Artinya pecahkanlah masalah dengan
menggunakan konsep (keilmuan). Allah Swt menyampaikan pengetahuan (konsep kongkrit)
kepada Nabi Adam As sebagai berikut :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!".[Qs. AlBaqarah (2): 31].
Proses penguasaan konsep kongkrit seperti nama-nama
benda, dapat dipelajari dengan menghafal, selanjutnya di simpan dalam memori (ingatan) atau cognitive worldanak,
yang kemudian dapat di-recall (tahap pertama domain kognitif/Bloom) untuk disampaikan kembali.
Di sisi lain, peserta didik SD pun sudah mulai belajar mengabstraksi, meskipun masih tahap rendah (lower order thinking skills), namun sebenarnya proses mengabstraksi
peserta didik SD sama dengan proses mengabstraksi peserta didik S3, cuma substansinya berbeda, demikian juga
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 29
tingkatnya, karena cara berpikir peserta didik S3 sudah tinggi,
menggunakanhigher order thinking skills.
Allah Swt menghendaki umatNya mampu berpikir ilmiah (scientific thinking). Oleh karena itu, Allah Swt
memerintahkan semua manusia untuk mampu berpikir formal,
yaitu proses berpikir dengan menggunakan metode ilmiah, seperti yang dijelaskan dalam Surat Al Alaq terdahulu.
Berdasarkan uraian terdahulu dapat ditafsirkan bahwa konsep Iqro-Kalam [Qs. Al-’Alaq (96): 3-4] merupakan konsep
yang utuh dan menyeluruh yang menggambarkan adanya proses berpikir ilmiah (induktif), yang dapat dilustrasikan
dalam gambar 3.1:
Gambar 3.1: Metoda Ca-Lis sebagai Proses Berpikir Induktif
Pada umumnya pola ca-lissaat ini masih diartikan sebagai
pola belajar membaca (ca) dan belajar menulis (lis) sehingga peserta didik SD kehilangan satu proses belajar yang sangat
penting yaitu proses berpikir induktif ilmiah. Kecerdasan
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 30
berpikir ilmiah merupakan salah satu kecakapan dasar yang
harus dimiliki lulusan SD yang akan menjadi kunci keberhasilannya pada pendidikan menengah dan tinggi. Dan
juga merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam era global yang penuh
dengan ketidakpastian. Latihan mengabstraksi dalam berpikir
induktif, dapat juga disebut sebagai latihan berpikir "insight" yang insya Allah menjadi salah satu modal untuk memasuki
masyarakat Millenium III, yaitu masyarakat ilmiah (scientific society). Dapat disimpulkan bahwa:
Metoda iqro–kalam membangun kecerdasan berpikir induktif
ilmiah, menjadikan manusia seutuhnya (membedakan manusia dari binatang).
Konsep keilmuan hasil abstraksi, dapat digunakan dalam kehidupan mereka di lingkungannya, dan hal ini merupakan
latihan berpikir deduktif ilmiah yaitu dari konsep yang umum
(general) diaplikasikan dalam kehidupan yang bersifat fakta-fakta empiris yang spesifik.
Surat Al Alaq ayat 3, 4, dan 5 merupakan pedoman bagaimana kita melatih anak TK-SD, peserta didik SMP-SMA
dan mahasiswa Perguruan Tinggi dalam berpikir ilmiah, baik
secara induktif kualitatif maupun deduktif kuantitatif. Pola pendidikan atau pembelajaran dengan menggunakan
metode ilmiah tersebut disebut metode belajar yang mencerdaskan, khususnya kecerdasan intelektual, agar tidak
berpikir dangkal, dan juga merupakan landasan bagi pendidikan karakter agar dapat menetapkan “kebenaran”
yang akan dijadikan way of life nya.
D. Bagaimana Proses PembelajaranBerpikir dalam Domain Kognitif
Kecerdasan intelektual merupakan kecakapan proses
berpikir (thinking process) atau kecakapan proses (process
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 31
skill), yang sejak Kurikulum 1984 telah dipromosikan dalam
pembelajaran dengan istilah kecakapan proses. Berkaitan dengan pembelajaran kognitif, Bloom (1956,
hal 46) mengemukakan bahwa hasil pembelajaran kognitif yang diharapkan diperoleh peserta didik adalah:
a. Memahami ide oranglain, dan dapat mengemukakan
idenya sendiri dengan efektif. b. Menguasai materi keilmuan termasuk nilai-nilai
(attitudes) yang paling mendasar yang dibutuhkan dalam kehidupan.
c. Memiliki kecakapan menanggulangi (cope ability) hal-hal yang kritis melalui berpikir konstruktif.
Ketiga hal tersebut merupakan kecakapan proses berpikir
dalam upaya memiliki konsep-konsep keilmuan dan nilainya, serta kecakapan proses penggunaan konsep keilmuan dalam
kehidupan berdasarkan nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) yang bersifat universal. Dengan demikian pembelajaran
kognitif dari Bloom tidak bersifat hafalan, seperti yang sering
diutarakan di kalangan guru-guru saat ini yang cenderung manghasilkan verbalisme, melainkan padat dengan
pembelajaran proses berpikir. Selanjutnya Bloom (1956) menetapkan 6 (enam) kategori
dalam domain kognitif yaitu sebagai berikut: a. Knowledge; b. Comprehension; c. Application; d. Analysis; e. Synthesis, dan f. Evalution.
Kategori knowledge dalam taksonomi Bloom terkait
dengan understanding (mengerti) terhadap sumber informasi yang dapat dipercaya, dan sejauh mana peserta
didik mengingatnya (recall). Untuk dapat mengerti tentang sesuatu, peserta didik harus berpikir, meskipun
hanya tingkat rendah, tidak semata-mata memasukkan
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 32
data, fakta dan informasi ke dalam memori untuk diingat
(dihafalkan).
Kategori comprehensionadalah kecakapan membaca
makalah orang dengan pemahaman yang kritis(critical thinking), yaitu peserta didik dapat mengalih bahasakan
paper tersebut atau menterjemahkan dan mampu
melakukan ekstrapolasi dan interpretasi.
Kategori applicationadalah kecakapan menerapkan
prinsip-prinsip keilmuan pada situasi yang baru, membelajarkan peserta didik dalam berpikir deduktif ilmiah.
Kategori analysis adalah kecakapan berpikir dalam
bentuk mengurai ataumenganalisis organisasi tulisan yang
ada dalam suatu makalah, sehingga peserta didik mampu menarik prinsip-prinsip yang digunakan dalam makalah
tersebut, serta menetapkan “organisasi prinsip-prinsip” atau “peta konsep” dalam makalah. Peserta didik belajar
berpikir inferential.
Katagori synthesisadalah kecakapan memilih dan
mengorganisasikan gagasan dan pengalaman
berdasarkan kebutuhan masyarakat serta kecakapan meng- komunikasikannya.
Kategori evaluation adalah kecakapan mengidentifikasi
dan mengukur (assessment) serta memutuskan/menetapkan(judgement)berlandaskan nilai-
nilaikeilmuan (disciplinary value), yang terjadi dalam suatu diskusi atau seminar.
Lima dari enam kategori dalam domain kognitif yang dikemukakan Bloom (1956) merupakan kecakapan proses
berpikir yang berorientasi pada kecakapan akademik, dan
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 33
penguasaan serta pemilikan konsep-konsep keilmuan melalui
mastery learning (pembelajaran tuntas), dan hanya sedikit yang berkaitan dengan hafalan pengetahuan. Hal itu terkait
dengan kesimpulan umum yang penulis kemukakan bahwa apabila seseorang mau dan mampu berpikir maka
perolehannya dalam bentuk penguasaan dan pemilikan ilmu
pengetahuan akan proporsional dengan tingkat berpikir dan mutu prosesbelajarnya.
Bagaimana proses belajar kognitif Bloom yang berbasis
kompetensi? Berikut adalah beberapa contoh pola pembelajaran proses berpikir dalam sains, matematika dan
bahasa.
1. Kecakapan Proses Berpikir dalam IPA
Agar peserta didik memiliki kecakapan berpikir ilmiah (scentific thinking) dalam pembelajaran IPA (Ilmu
Pengetahuan Alam), maka peserta didik harus belajar menguasai kecakapan proses dalam IPA. Kecakapan proses
dalam pembelajaran IPA telah menjadi bahan diskusi penulis dengan teman-teman seprofesi sejak tahun 1996, yang
ternyata merupakankesefahaman bersama diantara kami
guru-guruIPA di dunia. Berikut kecakapan proses IPA, yang penulis modifikasi dari rumusan Asosiasi Guru-Guru Kanada
(Suderadjat, 2005: 87).
Observasi: Observasi meliputi perolehan informasi
tentang objek, situasi, atau kejadian-kejadian yang
menggunakan sebanyak mungkin keterlibatan pancaindra dan pemikiran. Sifatnya bisa kualitatif maupun kuantitatif.
Observasi memberikan dasar-dasar bagi penarikan kesimpulan atau hipotesis baru, dan juga merupakan alat
untuk menguji kesimpulan dan atau hipotesis yang ada.
Pengukuran: Pengukuran adalah observasi yang
dilakukan dengan menggunakan alat ukur, baik unit yang
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 34
standar maupun nonstandar. Panjang, luas, volume,
massa, interval waktu, dan kekuatan merupakan satuan dalam pengukuran dengan menggunakan instrumen yang
tepat dalam sistem satuan yang dipilih, misalnya metrik.
Klasifikasi: Klasifikasi meliputi pengelompokan objek,
konsep atau kejadian-kejadian berdasarkan sifat yang
diamati untuk menunjukkan kesamaan, perbedaan dan antar hubungan.
Inferensi (penarikan kesimpulan): Inferensiatau
penarikan kesimpulan didasarkan pada perolehan data
hasil pengamatan dan pengalaman masa lalu. Penarikan
kesimpulan dapat dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung,
dan kemudian diubah berdasarkan bukti yang baru.
Perkiraan (prediksi): Prediksi adalah pernyataan
tentang kejadian-kejadian di masa yang akan datang, yang didasarkan atas data yang diorganisasikan dengan
baik. Sedangkan ekstrapolasi berada di atas pola kejadian
yang diamati, yang dapat digunakan untuk menguji prediksi.
Komunikasi: Komunikasi adalah proses
mengorganisasikan dan memproses data, yang
dilaksanakan diantara tahap observasi dan tahap
interpretasi atau generalisasi. Kegiatannya meliputi pengorganisasian data “kasar” menjadi lebih kompak dan
bermakna (mengatur, menyusun kembali, dan membandingkan), penggambaran data melalui gambar
dan grafik, dan pemrosesan secara matematis sebagai
sarana bagi penarikan interpretasi.
Keenam proses belajar IPA tersebut dapat diajarkan di SD kelas rendah secara satu persatu, kemudian dapat
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 35
digabungkan pada pembelajaran IPA SD IV, V dan VI dan
mungkin hingga SMP kelas VII dan VIII, untuk memfasilitasi peserta didik belajar berpikir induktif-ilmiah. Sedangkan
kelima kecakapan proses berikut, lebih sesuai untuk pembelajaran IPA bagi peserta didikSMP kelas IX, SMA dan
SMK, untuk memfasilitasi mereka dalam belajar berpikir
deduktif kuantitatif, disamping pembelajaran berpikir induktif.
Membuat Hipotesis: Hipotesis adalah suatu dugaan
ilmiah, tentang hubungan dua variabel, dalam konteks sebab akibat. Hipotesis dilakukan berdasarkan hasil
observasi atau kesimpulan tentang serangkaian peristiwa.
Suatu hipotesis harus dapat diuji (testable).
Merancang Penelitian: Eksperimen adalah suatu tes
sebab akibat antara dua variabel, yang melibatkan semua proses dan dimulai dengan merumuskan masalah yang
akan dipecahkan. Selanjutnya dilakukan identifikasi variabel yang akan dikontrol, penyusunan definisi
operasional dan mengembangkan intrumen tes untuk
pelaksanaan eksperimen sesuai prosedur yang ditetapkan.
Pengontrolan Variabel: Pengontrolan variabel meliputi
proses penetapan variabel mana atau faktor mana yang
akan mempengaruhi hasil penelitian, situasi, atau
kejadian.
Interpretasi Data: Interpretasi adalah proses penarikan
makna dari data hasil observasi, dalam bentuk inferensi, generalisasi, atau penjelasan. Biasanya ia berupa respon
langsung terhadap masalah yang diteliti, dan dengan
demikian meliputi ketetapan tentang interpretasi untuk disesuaikan dengan hipotesis yang diajukan, dan
keterbatasan ilmu pengetahuan yang baru.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 36
Pemodelan: Proses ini meliputi penggunaan model fisik
atau mental untuk menggambarkan perilaku sesuatu yang
tidak dikenal. Kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan validitas model atau analogi pada fenomena
model. Model perlu direvisi untuk menampung fakta-fakta baru.
Bandingkan kecakapan proses mengamati (observasi), pengukuran, dan klasifikasi dengan iqro dalamsurat Al Alaq
(96) ayat 1-3, dan kecakapan berpikir inferensial,penarikan kesimpulan, menuliskan kesimpulan, prediksi dan komunikasi
dengan ayat 4. Sedangkan surat Al Alaq ayat 5
menggambarkan implementasi konsep dalam kehidupan yang bersifat deduktif. Sedangkan kebenaran konsep diteliti secara
deduktif dengan kelima proses terakhir dari kecakapan proses IPA. Dengan demikian kesebelas kecakapan proses tersebut
merupakan kecakapan berpikir ilmiah yang mampu membangun kecerdasan intelektual peserta didik.
2. Kecakapan Proses Berpikir dalam Matematika
Kecakapan proses dikembangkan berdasarkan rasional
bahwa masyarakat masa depan adalah masyarakat belajar atau learning society, oleh karena itu para peserta didik harus
dibekali dengan kecakapan belajar atau learning to learn. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat
dijadikan sarana pengembangan masyarakat belajar, dan
bertujuan agar masyarakat melek bilangan (numeracy). Manfaat matematika dalam masyarakat belajar atau
learning society semakin meningkat, khususnya pada masyarakat berbasis teknologi informatika dan komunikasi
(information communication technology-ICT). Agar para peserta didik pendidikan dasar berhasil dalam dunia kerjanya
kelak, maka mereka dipersyaratkan untuk menguasai dan
memiliki kecakapan berpikir rasional, kecakapan berkomunikasi dan memecahkan masalah secara matematis,
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 37
memahami dan mampu menggunakan probabilitas dan
statistik, teknologi dan pengukuran. Kecakapan proses matematika juga meliputi kecakapan
untuk mengesksplorasi, memprediksi, berpikir logik rasional, dan memecahkan masalah. Di samping itu mereka juga akan
memiliki nilai dan sikap percaya diri, dan kemampuan untuk
menggunakan informasi kuantitatif dan spasial dalam pemecahan masalah serta pengambilan keputusan.
Ada korelasi positif antara sikap dengan unjuk kerja (performansi) peserta didik. Pembelajaran matematika harus
didesain agar menarik minat peserta didik dan menumbuhkan dorongan untuk belajar sehingga mereka terikat dalam proses
pembelajaran matematika. Sikap positif terhadap matematika,
mendorong keberhasilan peserta didik dalam menguasai dan memiliki kecakapan generik matematika, yang pada akhirnya
mendorong mereka memiliki sikap percaya diri yang kuat. Kecakapan generik atau kecakapan proses (the basic process skill) yang diharapkan dapat dikuasai dan dimiliki peserta
didik, dalam pembelajaran matematika, penulis kutip dari Asosiasi Guru Kanada (Suderadjat, 2005:101), sbb:
Pemecahan Masalah Secara Matematis.Pemecahan
masalah merupakan strategi kunci pembelajaran
matematika. Para peserta didik hendaknya belajar dan berlatih memecahkan masalah secara efektif. Dengan
pemilikan kecakapan tersebut di atas, diharapkan peserta
didik dapat menjadi pribadi yang rasional, yang bermakna bagi masyarakat.Pemecahan masalah secara matematis
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam komunikasi, eksplorasi, kreasi (penciptaan), penyesuaian
terhadap perubahan atau kemampuan menanggulangi
(cope ability), dan aktif menggali pengetahuan baru. Pemecahan masalah secara matematis dalam
pembelajaran matematika harus melibatkan atau mengintegrasikan pengalaman peserta didik. Diharapkan,
peserta didik mampu memecahkan masalah pekerjaan
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 38
yang akan dihadapinya kelak di kemudian hari, secara
matematis.
Pemodelan. Perumusan model matematika dari masalah
kehidupan yang nyata merupakan salah satu bentuk pembelajaran matematika. Pemodelan matematika telah
mengikuti kecenderungan modern, dengan cara
mendorong peserta didik untuk berkonsentrasi pada aktivitasnya, tidak sekedar mengerjakan soal-soal rutin
yang sudah disiapkan, melainkan peserta didik sendiri harus mampu menyusun soal matematikanya
berdasarkan permasalahan yang ada yang dihadapinya sehari-hari dalam kehidupan.
Berkomunikasi Secara Matematis. Matematika
merupakan bahasa untuk menyampaikan suatu ide.
Kemampuan komunikasi memegang peranan penting dalam membantu peserta didik membangun hubungan
antara aspek-aspek informal dan intuitif dengan bahasa yang abstrak dan simbol-simbol dari bahasa matematis,
serta antara uraian secara fisikal, piktorial, grafik,
simbolik, dan verbal, dengan gambaran mental dari gagasan matematis. Semua kegiatan pembelajaran dalam
bentuk eksplorasi, menjelaskan, investigasi, menyelidiki, menguraikan, menetapkan suatu putusan,
mendorongpeserta didik dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi.
Menghubungkan dan Mengaplikasikan Ide
Matematis. Peserta didik akan menyadari manfaat
matematika apabila pembelajaran matematika selalu dikaitkan dengan masalah kehidupan sehari-hari yang
dialami peserta didik. Pembelajaran matematika harus dapat mengaitkan konsep matematika dengan situasi
kehidupan nyata, yang memungkinkan peserta didik
dengan pemilikan konsep matematis tersebut dapat memahami disiplin ilmu lainnya.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 39
Logika Matematika. Pembelajaran matematika
mendorong kepercayaan diri peserta didik dalam
kemampuan nalar, ber-argumentasi, dan justifikasi atau menilai kemampuan berpikirnya sendiri. Para peserta
didik diharapkan menyadari bahwa hasil belajar matematika tidak hanya mengingat dan menghafal
rumus, melainkan harus bermakna, logis dan
menyenangkan.Kemampuan berpikir logis biasanya berkembang dalam suatu kontinum, mulai berpikir
kongkrit, hingga berpikir formal atau berpikir abstrak. Peserta didik mampu berpikir induktif dari fakta ke
konsep, dan berpikir deduktif dari konsep dan teori ke aplikasi yang spesifik dalam kehidupan sehari-hari.
Mampu Menggunakan Teknologi.Peserta didik
diharapkan memiliki kemampuan menggunakan teknologi sebagai alat bagi pemecahan masalah.Teknologi baru
telah mengubah tingkat kesulitan problema matematis menjadi lebih mudah, misalnya dengan menggunakan
komputer dan kalkulator. Kecepatan menghitung dan
membuat grafik dari persamaan matematis, membantu peserta didik menemukan konsep-konsep matematis dan
hubungannya secara lebih dalam. Harus disadari bahwa komputer hanyalah alat yang dapat menyederhanakan
permasalahan tetapi tidak memecahkan masalah, solusi harus diperoleh oleh peserta didik. Keberadaan komputer
tidak menghapus tuntutan terhadap peserta didik untuk
menguasai kemampuan mempelajari fakta-fakta dasar dan algoritma.
Kemampuan Mengestimasi.Matematika tidak hanya
berkaitan dengan kepastian (exactness) tetapi juga hal-
hal yang bersifat mental antara sikap percaya diri.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan estimasi, sangat membantu peserta didik
dalam berhubungan dengan situasi keseharian.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 40
Kemampuan peserta didik dalam membuat estimasi
mendorong pertumbuhan kepercayaan diri (self confidence).
Tujuh kecakapan di atas semuanya bersifat kecakapan
proses yang diperlukan semua orang dalam menguasai dan
memiliki konsep-konsep dasar dan axioma matematika, dan juga bagi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kecakapan proses dalam matematika diatas dapat digunakan guru matematika dalam mengembangkan
kurikulum matematika dan pembelajaran yang berorientasi
pada kecakapan berpikir rasional-logik.
3. Kecakapan Proses Berpikir dalam Bahasa
Kecakapan proses berbahasa, sudah dikenalkan sejak Kurikulum 1994. Dari Kurikulum 1994 diperoleh penjelasan
bahwa penilaian Bahasa Inggris menggunakan penilaian
integratif dan komunikatif, dan bukan penilaian terhadap penguasaan unsur-unsur bahasa, seperti grammar.
Penilaian adalah pengukuran terhadap ketercapaian indikator hasil belajar yang menggambarkan rincian
pencapaian tujuan pembelajar khusus yaitu kompetensi
dasar. Perumusan “Indikator Hasil Belajar” yang menggambarkan pencapaian kompetensi dasar dapat
dikembangkan dari standar kecakapan fungsional (kecakapan proses) seperti yang ditetapkan dalam Kurikulum 1994 yaitu:
Membaca.Peserta didik dapat membaca teks yang
berbentuk narasi, deskripsi, percakapan dan argumentasi dengan keterampilan sebagai berikut:
o Menemukan informasi tertentu; o Mendapatkan gambaran umum tentang isi bacaan;
o Menemukan pikiran utama yang tersurat;
o Menemukan pikiran utama yang tersirat; o Menemukan semua informasi rinci yang tersurat;
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 41
o Mendapatkan informasi yang tersirat;
o Menafsirkan makna kata, frosa dan kalimat berdasarkan konteks;
o Mendapatkan rasa senang.
Menyimak
o Menemukan pikiran utama dalam teks lisan pendek
(percakapan, narasi, deskripsi); o Menemukan informasi rinci dalam percakapan pendek
dan sederhana; o Menemukan informasi tertentu dalam teks lisan
pendek (percakapan, narasi, deskripsi);
o Melakukan seperangkat petunjuk lisan sederhana;
Berbicara
o Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tema;
o Melakukan percakapan pendek dengan lancar berdasarkan situasi;
o Secara sederhana menjelaskan benda, orang, tempat,
dan rangkaian peristiwa; o Secara sederhana mengungkapkan pikiran, pendapat,
perasaan, dan sikap. Menulis
o Menyusun kalimat (paling banyak 10 kalimat) yang
diberikan secara acak menjadi paragraf berbentuk
narasi dan deskripsi yang padu (koheren); o Melengkapi percakapan sederhana dan singkat secara
tertulis ; o Menulis paragraf pendek (paling banyak 10 kalimat)
berbentuk narasi dan deskripsi tentang topik yang sederhana;
o Memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan
pemahaman; menulis pesan pribadi; o Menulis surat sederhana;
o Menjawab surat sederhana.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 42
Keempat kecakapan dasar berbahasa tersebut merupakan kecakapan proses yang bermuara pada kecakapan
berkomunikasi (communicative skill). Perlu dipikirkan oleh guru-guru bahasa Inggris, mengapa lulusan HIS (Holands Inlands School) yang merupakan sekolah dasar zaman
Belanda dapat meluluskan siswanya yang fasih berbahasa Belanda, tetapi lulusan SMA dan SMK sekarang hampir tidak
bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, bahkan lulusan S1 dan S2?
PISA (Program for International Student Assessment)
menggambarkan bahwa evaluasi berbasis kompetensi
terhadap bahasa difokuskan kepada kecakapan peserta didik dalam menganalisis masalah, yang merupakan muara dari
keempat kecakapan dasar berbahasa seperti yang dikemukakan tersebut. Dengan demikian keempat kecakapan
dasar berbahasa yang dikemukakan dalam Kurikulum 1994
sesuai dengan Kurikulum Bahasa Berbasis Kompetensi. Mengapa kecakapan proses berpikir, bersikap dan
bertindak sangat penting dalam kehidupan?
E. Kecakapan Berpikir Radikal Filosofis Vs Tindakan Kekerasan.
“...Manusia adalah mahluk yang berpikir, homo sapiens,
atau pernah pula disebut animal rational. Dia tidak makan saja seperti tumbuh-tumbuhan, dia tidaklah bereaksi saja seperti binatang.(Semiawan dkk, 1988, hal 35).
Pendapat para filsuf Barat ini dapat diyakini kebenarannya karena Allah Swt berfirman bahwa manusia yang tidak mau
dan tidak mampu berpikir, derajatnya sama dengan binatang
ternak bahkan lebih sesat [Qs. Al A’raaf (7): 179]. Dengan demikian pendidikan hendaknya dapat memfasilitasi peserta
didik untuk mangaktualisasikan potensi intelektualnya menjadi
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 43
kecakapan berpikir, hingga derajatnya dimuliakan diantara
mahluk dimuka bumi, dan di bedakan dari binatang. Manusia adalah binatang berpikir, filsuf adalah manusia
yang berpikir, apakah semua manusia adalah filsuf? Tidak, tetapi filsuf adalah manusia dan berada diantara manusia.
Berpikir adalah sifat manusia yang paling penting, yang
membedakan dirinya dari binatang.Bagaimana cara berpikir manusia yang terbaik? Yaitu berpikir layaknya filsuf, atau berpikir filosofis.
“...Berpikir filosofis adalah berpikir radikal, karena filsuf
adalah ahli berpikir radikal, yang berusaha mencapai radix, akarnya.... Berpikir radikal itu ditujukan pada kedalaman
(diepte).(Semiawan dkk, 1988, hal 36)
Berdasar pemikiran tersebut maka berpikir filosofis adalahberpikir radikal hingga mencapai “kedalaman”, atau
berpikir filosofis adalahcara berpikir seorang filsuf, hingga
mencapai akarnya (radix).Dengan berpikir radikal akan menghindarkan manusia dari tindakan-tindakan kekerasan,
tetapi apa yang dimaksud dengan “tindakan yang radikal”? dapatkah diartikan bahwa tindakan yang radikal disamakan
dengan tindakan yang penuh dengan kekerasan? Mari kita pikirkan dengan lebih mendalam (radikal) untuk mendapatkan
jawabannya.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 44
Apa arti filsafat ? Pendapat Dardiri (1986) yang dikutip
oleh Semiawan dkk (1988, hal 36):
“…. kata filsafat berasal dari kata “philos” atau “philein” atau “phelia” yang berarti cinta dan dari kata “Sophia” yang berarti
“kebijaksanaan”, atau “pengetahuan”. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan tersebut,
berpikir filosofis adalah berpikir radikal atau berpikir
mendalam hingga mencapai akarnya.Hasilnya, disamping memperoleh pengetahuan (konsep-konsep keilmuan) juga
akan memperoleh nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) sebagai “akar” ilmu pengetahuan, olehkarenaitu orang yang
berpikir radikal (filosofis) akan cinta nilai-nilai kearifan dan
cenderung akan bertindak bijaksana.Dengan kata lain mereka yang berpikir radikal cenderung akan bertindak bijaksana,
sedangkan orang-orang yang berpikir dangkal dapat terpengaruhi untuk melakukan tindakan kekerasan.
Pendapat Walter Kaufmann yang dikutip Semiawan dkk (1988
hal 37) menjelaskan bahwa:
“Filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi tanpa
memerlukan kekerasan dan tanpa mengetahui hasilnya terlebih dahulu”.
Kebenaran fakta-fakta dan data-data, yang ada di alam
semesta (ayat-ayat kauniyah) merupakan “kebenaran empirik” yang dapat di observasi. Hasil pengindraan terhadap
data dan fakta, masuk ke otak manusia, kemudiandi proses oleh “akal” sebagai proses berpikir dan kemudian dikonstruksi
menjadi konsep-konsep ilmu pengetahuan, hingga yang
terdalam yaitu nilai-nilai keilmuan (disciplinary value) yang bersifat spiritual universal. Inilah proses berpikir abstrak, atau
proses mengabstraksi fakta dan data yang bersifat khusus (spesifik) menjadi konsep yang bersifat umum (general) dan
spiritual universal.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 45
Proses berpikir mendalam (radikal) dimulai dari
pengindraan (iqro) terhadap fakta dan data, hingga memperoleh konsep-konsep keilmuan dan nilai-nilai keilmuan
(disciplinary value) yang semuanya dapat dituliskan (kalam), yang disebut sebagai proses berpikir ilmiah induktif, yang
dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan3.2: Piramida Ilmu
Bagan tersebut menjelaskan bahwa proses berpikir ilmiah induktif, dimulai dari pengindraan (iqra) terhadap fakta dan
data (kebenaran faktual empirik), kemudian dipikirkan, diabtraksi, menjadi konsep-konsep ilmu (kebenaran ideal) dan
nilai-nilai keilmuan (kebenaran spiritual). Inilah proses berpikir
radikal-filosofik.
Mengapa nilai-nilai keilmuan menjadi kebenaran spiritual?
Karena “abstraksi” ayat-ayat kauniyah (alam semesta) sebagai kebenaran empirik, menjadi ayat-ayat kauliyah
(firman Allah Swt dalam Al-Qur’an) sebagai kebenaran ideal,
semuanya berakar pada nilai-nilai kesucianNya atau fitrah [Qs. Ar-Rum (30): 30]
Nilai.
Proses berpikir ilmiah yang radikal
(induktif)
Induktif)
Kalam
Proses berpikir deduktif
Fakta-data
(Kebenaran faktual)
Empirik
Iqra
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 46
Semua puncak piramida ilmu adalah nilai-nilai keilmuan,
maka apabila semua piramida ilmu dikumpulkan akanberbentuk lingkaran, yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
Bagan 3.3: Kumpulan Piramida Ilmu
Bagan tersebut menggambarkan bahwa lingkaran terdalam menggambarkan kumpulan nilai-nilai keilmuan yang
bersifat universal hasil abstraksi dari fakta dan data di alam semesta (universe).Kumpulan nilai-nilai keilmuan itu bersifat
abadi (perennial) dan spiritual (ruhani).Lingkaran tengah
adalah konsep-konsep keilmuan dan teori, sedangkan lingkaran terluar adalah fakta-fakta dan data.
Dalam Islam, lingkaran terdalam adalah nilai-nilai ilahiyah
atau nilai-nilai ketuhanan yang bersifat perennial-spiritual dan
universal, sedangkan lingkaran tengah adalah ayat-ayat qauliyah yaitu AlQur’an yang merupakan ilmu dan pedoman
umat manusia, dan sebagai kebenaran ideal,sedangkan lingkaran terluar adalah ayat-ayat qauniyah yaitu fakta dan
data sebagai kebenaran faktual. Implikasinya adalah semua data faktual empirik yang ada
di alam adalah kebenaran yang nyata, kongkrit tidak dapat
dimanipulasi kebenarannya.
IPA Fakta dan Data
(Kebenaran Empirik) IPS
Bahasa
Nilai Keilmuan
(Kebenaran Spiritual)
Konsep Keilmuan
(Kebenaran Ideal)
1
2
3
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 47
Ilmu yang diperoleh manusia yang merupakan konsep dan ilmu pengetahuan, yang diperoleh manusia melalui
proses berpikir ilmiah bisadijadikan landasan kebenaran ideal, apabila tidak bertentangan dengan AlQur’an sebagai firman
Allah Swt.
Sedangkan nilai-nilai keilmuan merupakan nilai-nilai
spiritual-perennial, terkait dengan nilai-nilai personal, sosial dan nilai-nilai ketuhanan, yang bersifat universal, dalam arti
dimiliki oleh semua manusia meskipun berbeda agama. Inilah landasan toleransi kehidupan beragama, karenatidak ada
toleransi agama, mengungat bahwa masing-masing agama
memiliki persepsi yang berbeda tentang tuhannya, sehingga terjadilah perbedaan agama, yang harus dihargai sebagai Hak
Azasi Manusia (HAM) yang tidak seorangpun boleh melanggarnya. Allah Swt menurunkan Rasulullah Muhammad
Saw untuk menyebarkan rahmat ke antero alam dengan
agama Islam, sehingga bagi umat Islam tidak boleh memaksakan agamanya kepada non muslim.
F. Pembelajaran Domain Kognitif dalam Pendidikan Berbasis KompetensiMembangun Sosok Muttaqin
Selama ini pembelajaran kognitif yang dikemukakan oleh
Bloom, ditafsirkan sebatas pembelajaran yang berorientasi
pada materi pengetahuan. Uraian dalam bab III terdahulu menyimpulkan bahwa pembelajaran kognitif dalam konteks
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi adalah: a. Pembelajaran yang mencerdaskan peserta didik, dalam
arti membangun kecakapan proses berpikir.
b. Pembelajaran yang memfasiltasi peserta didik untuk menguasai dan memiliki konsep-konsep keilmuan.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 48
c. Pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik untuk
memiliki nilai-nilai personal sosial dan nilai-nilai ketuhanan.
d. Pelatihan yang memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengamalkan ilmunya dalam kehidupan dengan nilai-nilai
personal, sosial dan spiritual.
Artinya pembelajaran kognitif memfasilitasi peserta didik
untuk menguasai dan memiliki konsep keilmuan dan dapat menggunakan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari
dengan nilai-nilai ahlak mulia sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, bangsa dan agamanya, serta
lingkungannya (rahmatan lil’alamin), yang dapat digambarkan
dalam bagan 3.3.
Bagan tersebut juga dapat mengilustrasikan proses pembelajaran berbasis kompetensi yang mencerdaskan,
kompetitif, produktif dan berahlak mulia.
Bab III Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Membangun Kecerdasan Berpikir 49
Bagan 3.4: Pembelajaran Kognitif yang Berorientasi
pada Kompetensi Akademik
Terhindar dari asfala safilin
(Qs. At Tiin [095]: 4-6) 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Mencerdaskan
Karena peserta didik belajar berpikir ilmiah
(scientific thinking process), sehingga dapat
Menguasai dan memiliki ilmu (mastery
learning), yang berfungsi sebagai
Sarana (soft tools) untuk memecahkan
masalah (break throught concept), sehingga
Mampu menanggulangi permasalahan dalam era ketidakpastian (cope ability)
Dengan ikhlas sebagai ibadah kepadaNya
(amal soleh), yang akan dibalas pahala
Mengamalkan ilmunya dalam kehidupan masyarakat, dengan……
Berilmu
Kompetitif
Produktif
Berakhlak
Mulia
Muttaqin