bab iii hasil penelitian dan analisisrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15912/3/t1... ·...
TRANSCRIPT
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. HASIL PENELITIAN
1. Sejarah Pembentukan Badan Kehormatan
Latar belakang pembentukan BK di Indonesia menurut Selamet Effendi merupakan
efek dari gagasan reformasi etik, rezim etik, kode etik dan kode perilaku pada sejumlah
parlemen di dunia.1 Selamet effendi juga menambahkan bahwa BK itu selalu terkait dengan
etika, dimana satu-satunya alat kelengkapan dewan, yang didalam keputusannya tidak
mempertimbangkan politik praktis. Karena rezim yang ditegakkan BK adalah rezim etik,
dimana etika menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan parlemen, kehidupan
berpolitik dan kehidupan bernegara.2
Pendirian BK didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar yuridis.3
Pembentukkan BK sebagai alat kelengkapan tetap didasarkan pada akar filosofis, yaitu
melihat etika politik sebagai dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang
fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis
kita dapat melihat pendekatan kelembagaan (khususnya BK) dalam lingkup tata hukum
nasional. Adapun pertimbangan filosofis pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat
kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 17 Tahun 2014 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, sebagaimana telah diubah untuk
pertama kali dengan UU No 42 tahun 2014.
1www.suarakarya.on-line/sejarah-pembentukan-bk Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul 19:17
2 Ibid
3www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul
21:30
“...bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perumusyawaratan/perwakilan perlu
diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta
dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah
sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara...”
Bila dilihat dari Undang-Undang tersebut, maka pembentukan BK nampak didasari
suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila
(baik sebagai norma dasar maupun ideologi terbuka). Antara “kedaulatan rakyat” dan
“hikmat kebijaksanaan” menjadi dasar fundamental agar suatu institusi yang dibentuk dalam
lembaga perwakilan rakyat seperti BK itu, dapat benar-benar menyerap dan memperjuangkan
aspirasi rakyat.4Istilah “hikmat kebijaksanaan” memposisikan anggota BK DPR serta BK lain
di DPD dan DPRD agar menggunakan “hati nurani” sebagai fenomena moral. “Hikmat
kebijaksanaan” merupakan upaya rasio agar segala keputusan manusia dapat diterima oleh
sesamanya.Begitupun dengan “hati nurani” dan “kesadaran” itu merupakantema penting
dalam etika. Dalam hal ini, “hati nurani “ cenderung mempunyai aspek transenden yang
melampaui diri kita, dan meletakkan kita sebagai „pendengar‟ dari suara-suara transendennya.
Keberadaan BK mendorong penggunaan “hikmat kebijaksanaan” untuk menciptakan
suatushame culture dan guilt culture.5
Artinya, anggota parlemen mempunyai rasa malu dan rasa bersalah bila perilakunya
melanggar ketentuan dalam Kode Etik dan Tata Tertib.Pasca reformasi tuntutan untuk rasa
malu dan rasa bersalah itu muncul dalam kesadaran pribadi anggota parlemen tanpa adanya
suatu sanksi/hukuman dari BK maupun institusi peradilan. Dasar pembentukan BK
mempunyai nuansa filosofis yang amat mendasar.Pembentukan BK meletakkan tanggung
jawab dan kewajiban moral tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui hikmat
kebijaksanaan dalam kinerjanya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang
4www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. dikunjungi pada tanggal 24 September 2017, pukul
21:43 5 Ibid
berfungsi untuk menegakkan martabat manusiawi anggota parlemen. Selain itu pembentukan
BK meletakkan hubungan yang erat antara moral dan agama, serta moraldan politik, apabila
melihat dari sumpah/janji anggota parlemen. Sebagai pendasarannya adalah moralitas sebagai
ciri khas manusia, dimana BK menilai seluruh perbuatan yang dilakukan anggota parlemen
dalam cara pandang moralitas.
Sedangkan menurut dasar yuridis, Jimly Ashiddiqie, dalam Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, 6 menyatakan bahwa salah satu ciri penting dari good
governance adalah prinsip the rule of law yang harus digandengkan pula sekaligus dengan
the living ethics. Keduanya berjalan seiring dan sejalan secara fungsional dalam upaya
membangun peri kehidupan yang menerapkan prinsip good governance, baik dalam lapisan
pemerintahan dan kenegaraan (supra-struktur) maupun dalam lapisan kemasyarakatan
(infrastruktur). Ide pokok tentangthe rule of law dan the living ethics adalah di samping
membangun sistem hukum dan menegakkan hukum, juga harus membangun dan
menegakkan sistem etika dalam kehidupan keorganisasian warga masyarakat dan warga
negara.Dengan demikian, tidak semua persoalan harus ditangani oleh dan secara hukum.
Yang menarik dari pemikiran Jimly Ashiddiqie adalah sebelum segala sesuatu bersangkutan
dengan hukum, sistem etika sudah lebih dulu menanganinya, sehingga diharapkan beban
sistem hukum tidak terlalu berat. Jika etika tegak dan berfungsi baik maka mudah diharapkan
bahwa hukum juga dapat ditegakkan semestinya.
Kehadiran BK sebagai lembaga penegak etik adalah salah satu jawaban dari living
ethics. AdanyaBK di parlemen belumlah cukup kuat pelaksanaan etika terapannya, bila tidak
didukung oleh lembaga etik di pemerintahan dan alat negara lainnya. Maraknya pembentukan
lembaga etik di seluruh lembaga negara amat berarti sebagai elemen pendukung etika terapan
6Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstutusionalisme Indonesia, edisi revisi.Jakarta, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 367-377
di bidang politik. Dengan demikian, konsideran pembentukan BK baik antara konsideran
filosofis dan yuridis masih memerlukan penyempurnaan dalam hal pelaksanaan, refleksi
konseptual, dan uji validitas terhadap berbagai aturan hukum positif.7 Tak terkecuali, Kode
Etik DPRD pun membutuhkan kritik agar terdapat acuan moralitas yang berjalan sesuai
perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih matang.
2. Kedudukan Badan Kehormatan dalam menunjang fungsi DPRD
Di Indonesia DPRD adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPRD terdiri dari:
1. DPRD Provinsi, berada di setiap provinsi di Indonesia.
2. DPRD Kabupaten/Kota berada di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
DPRD merupakan wakil-wakil dari rakyat di wilayah atau di daerah setempat. Dewan inilah
yang menjadi jembatan sebagai penghubung komunikasi antara rakyat dengan pemerintah
daerah. Dalam rangka untuk menunjang trifungsi DPRD, yaitu fungsi lengislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan maka DPRD dilengkapi dengan alat kelengkapan dewan,
yang salah satunya adalah Badan Kehormatan.8 BK merupakan salah satu alat kelengkapan
DPRD yang keberadaannya penting untuk menegakan kode etik Anggota Dewan.
Pengaturan mengenai BK DPRD ini terdapat dalam pasal 375 UU No 17 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah dalam UU No 42 Tahun 2014 jo pasal 56 PP No. 16 Tahun 2010
tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. BK di desain
7www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. Dikunjungi pada 24 September 2017, pukul 21.43
8 Pasal 375 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU
No 42 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap. BK sebagai penjaga idealisme anggota dewan
sangat diperlukan karena anggota dewan merupakan penilai dari kinerja eksekutif. Mengingat
ketiga fungsi tersebut merupakan inti dari politik perwakilan, maka dalam hal berperilaku
maupun untuk menghasilkan sebuah keputusan yang baik anggota DPRD haruslah
berpedoman pada tata tertib dan kode etik. Adanya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010
semakin memperkuat kedudukan BK. Pada pasal 56 Peraturan Pemerintah tersebut
menyatakan bahwa BK merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk
oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD.
Pada Pasal 56 ayat (3) dijabarkan lebih lanjut bahwa anggota BK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:
a. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh empat)
orang berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 75
(tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang berjumlah 7 (tujuh)
orang;
b. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga puluh
empat) orang berjumlah3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota yang
beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh) orang
berjumlah 5 (lima) orang.
Kedudukan dan susunan BK: 9
1. badan Kehormatan dibentuk oleh DPRD dan merupakan alat kelengkapan DPRD
yang bersifat tetap.
2. pembentukan Badan Kehormatan ditetapkan dengan keputusan DPRD.
3. anggota Badan Kehormatan dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:
a. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh
empat) orang berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD provinsi yang
9 Pasal 56 PP No 16 Tahun 2010
beranggotakan 75 (tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang
berjumlah 7 (tujuh) orang;
b. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga
puluh empat) orang berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh)
orang berjumlah 5 (lima) orang.
4. pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil
ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan.
5. anggota Badan Kehormatan dipilih dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD
berdasarkan usul dari masing-masing fraksi.
6. untuk memilih anggota Badan Kehormatan, masing-masing fraksi berhak
mengusulkan 1 (satu) orang calon anggota Badan Kehormatan.
7. dalam hal di DPRD hanya terdapat 2 (dua) fraksi, fraksi yang memiliki jumlah kursi
lebih banyak berhak mengusulkan 2 (dua) orang calon anggota Badan Kehormatan.
8. masa tugas anggota Badan Kehormatan paling lama 2½ (dua setengah) tahun.
9. anggota DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota Badan Kehormatan
yang digantikan.
10. badan Kehormatan dibantu oleh sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh
sekretariat DPRD.
Fungsi BK dalam penegakan kode etik sangatlah penting guna menjaga etika dan
moral Anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Badan Kehormatan bertugas untuk
melaksanakan pengawasan dan control terhadap DPRD. Pengawasan dan kontrol dalam hal
ini adalah pengawasandan kontrol internal terhadap DPRD.Anggota DPRD merupakan para
wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Tentang etika, pada dasarnya merupakan
tentang etis dan tidaknya suatu tindakan tertentu terkait dengan fungsi, tugas, wewenang, dan
tanggung jawab serta kedudukan seseorang sebagai anggota DPRD. Dalam profesinya
sebagai anggota DPRD, maka disini perlu adanya kode etik profesi untuk memberikan
batasan guna menjaga profesionalitas anggota DPRD agar tidak terjadi penyimpangan.10
3. Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPRD
10
Murhani Suriansyah, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah. Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2008, hlm. 69.
Hal yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan BK DPRD ditegaskan dalam PP
Nomor 16 Tahun 2010 khususnya pada Pasal 57 yang menentukan tugas BK. Munculnya
ketentuan baru mengenai BK yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maka ketentuan tentang tugas dan kewenangan Badan Kehormatan
mengalami perubahan yang kemudian diatur dalam dalam peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib. Berdasarkan Pasal 57 PP No 16 tahun 2010 menyatakan bahwa BK
mempunyai tugas:
a. memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode
etik, dan/atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat,
kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD;
b. meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggotaDPRD terhadap
peraturan tata tertib dan/atau kode etik DPRD;
c. melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan
DPRD, anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan
d. melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi,
dan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada rapat paripurna
DPRD.
Pengaturan tentang kewenangan BK selanjutnya diatur dalam PP Nomor 16 Tahun
2010 pada Pasal 58 dengan rumusan yang sama dengan ketentuan pada Pasal 48 UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk melaksanakan tugasnya, BK
berwenang:
a. memanggil anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran kode etik
dan/atau peraturan tata tertib DPRD untuk memberikan klarifikasi atau
pembelaan atas pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan;
b. meminta keterangan pengadu, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait,
termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain; dan
c. menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik
dan/atau peraturan tata tertib DPRD.
Demikian pula untuk proses pengaduan juga telah diatur dalam pasal 60 PP No 16
Tahun 2010. Adapun mekanisme pengaduan/ pelaporan pelanggaran berdasarkan ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Pengaduan disampaikan secara tertulis kepada pimpinanDPRD disertai identitas
pengadu yang jelas dengan tembusan kepada Badan Kehormatan.
(2) Pimpinan DPRD wajib menyampaikan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Badan Kehormatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengaduan diterima.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan DPRD
tidak menyampaikan pengaduankepada Badan Kehormatan, Badan Kehormatan
menindaklanjuti pengaduan tersebut.
(4) Dalam hal pengaduan tidak disertai dengan identitas pengadu yang jelas, pimpinan
DPRD tidak meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Badan Kehormatan.
Setelah menerima pengaduan, BK melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.
Tentang mekanisme penelitian dan pemeriksaan pengaduan/ pelaporan berdasarkan Pasal
61ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi dilakukan dengan cara meminta keterangan
dan penjelasan kepada pengadu, saksi, teradu, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait,
dan/atau memverifikasi dokumen atau bukti lain yang terkait.
b. hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi Badan Kehormatan dituangkan dalam
berita acara penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.
c. pimpinan DPRD dan/atau Badan Kehormatan menjamin kerahasiaan hasil
penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.
Dalam menjalankan kewenanangannya, BK menggunakan Pedoman Peraturan Tata
Tertib DPRD dan Kode Etik DPRD. Adapun muatan Peraturan Tata Tertib menurut pasal 186
ayat (3) UU No 23 Tahun 2014 sekurang kurangnya menyangkut:
a) pengucapan sumpah/janji;
b) penetapan pimpinan;
c) pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d) jenis dan penyelenggaraan rapat;
e) pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f) pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
g) penggantian antarwaktu anggota;
h) pembuatan pengambilan keputusan;
i) pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota;
j) penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k) pengaturan protokoler; dan
l) pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
1. Perkembangan Pengaturan Hukum Badan Kehormatan
Pada tanggal 31 Juli 2003, pemerintah mengeluarkan Undang Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususan dan Kedudukan). Dalam Undang-
Undang ini terdapat suatu yang baru dengan memunculkan keberadaan BK yang diatur pada
pasal 98 Undang-Undang ini. Pada Pasal 98 ayat (4) BK dicantumkan sebagai salah satu alat
kelengkapan DPRD Provinsi dan kabupaten/ kota, selain pimpinan, panitia musyawarah,
komisi, panitia anggaran dan alat kelengkapan lain yang diperlukan. Sejak saat itulah BK
mulai disebut keberadaannya di Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tersebut, DPRD memiliki alat kelengkapan yang baru yakni BK.
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan ini mengatur keberadaan BK DPRD dalam
Pasal 98 ayat 4 huruf (g). Namun tentang penjelasan dan gambaran rinci tentang BK DPRD
tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang ini menyatakan
pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan tata Tertib. Pada tanggal 28
Agustus 2004, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD
Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Peraturan Pemerintah tersebut memuat pengaturan
tentang Badan Kehormatan dengan lebih terperinci tentang pembentukan, susunan, tugas, dan
wewenang dari Badan Kehormatan.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan
Tata Tertib DPRD menjawab perintah Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003. Pada Pasal 43 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa BK merupakan salah
satu alat kelengkapan DPRD. Tentang kedudukan BK ini dipertegas lagi dalam Pasal 50 ayat
(1) yang menyatakan bahwa BK merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD.
Pada Pasal 50 ayat (5) dijabarkan lebih lanjut bahwa anggota BK sebagaimana
dimaksud pada Pasal 98 ayat (2), ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD berdasarkan usul
dari masing-masing fraksi untuk unsur DPRD dan unsur luar DPRD dipilih setelah dilakukan
penelitian dan uji kemampuan oleh suatu panitia. Tugas dari BK diatur pada Pasal 51, yang
salah satu bunyi ayat pasal tersebut menyatakan BK mempunyai tugas menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada pimpinan DPRD dan merekomendasikan untuk pemberhentian anggota
DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan. Pada tanggal 15 Oktober 2004,
Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani pengesahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 46 menyebutkan pengaturan mengenai
BK DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota sebagai bagian alat kelengkapan DPRD dan
pada pasal 47 diatur lebih khusus lagi mengenai BK tersebut yang notabennya telah diatur
belum berapa lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004.
Terdapat hal yang mengejutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini,
dimana pada Pasal 47 ayat (2) menyebutkan bahwa Anggota BK DPRD dipilih dari dan oleh
anggota DPRD. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah membawa dampak pada pengaturan tentang BK DPRD yang telah diatur di Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru
ini, ternyata dalam pengaturan tentang BK dalam hal keanggotaannnya semuanya berasal dari
kalangan anggota DPRD saja, tidak ada yang berasal dari luar DPRD. Dalam pasal 47 dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat 4 (empat)
ayat yang mengatur tentang susunan dan kedudukan Badan Kehormatan. Pasal 47 ayat (2)
menyatakan bahwa anggota BK DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan
oleh anggota DPRD dengan ketentuan:
a) Untuk DPRD Kabupaten/ Kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga
puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan
35 (tiga puluh lima) sampai dengan 45 (empat puluh lima) berjumlah 5 (lima)
orang.
b) Untuk DPRD Propinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh
empat) berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 75
(tujuh puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) berjumlah 7 (tujuh) orang.
Kemudian seiring berjalannya waktu, PP No 25 Tahun 2004 telah diubah dan
disempurnakan untuk pertama kalinya dengan PP No 53 tahun 2005. Hingga kini PP Nomor
53 Tahun 2005 telah dicabut dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010
tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
lebih lanjut tentang BK DPRD berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
juga telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Rumusan ketentuan tentang BK DPRD yang diatur dalam PP Nomor 16
Tahun 2010 tersebut diadopsi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam kedua peraturan tersebut telah meniadakan anggota BK yang berasal dari unsur luar
DPRD.
Hal ini memberi implikasi bahwa Anggota BK dipilih dari dan oleh anggota
DPRD saja. Sehingga anggota BK hanya berasal dari kalangan anggota DPRD.
Perkembangan pengaturan hukum mengenai BK dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 3.1 Perbandingan Pengaturan BK DPRD dalam Undang-Undang:
No Penjelasan UU No 22 tahun 2003 UU No 32 Tahun 2004 UU No 23 Tahun 2014
1 Jumlah dan
Komposisi
Pasal 98 ayat (4).
Diatur dalam peraturan tata
tertib MPR, DPR, DPD dan
DPRD Kab/Kota.
Pasal 47 ayat (2) .
Terdiri dari 3 orang untuk
DPRD Kab/Kota yang
beranggotakan sampai dengan
34. Terdiri dari 5 orang untuk
anggota DPRD yang
beranggotakan 35-45.
Pasal 163 ayat (3).
Diatur lebih lanjut dalam
peraturan DPRD Kab/Kota
tentang Tata Tertib.
2 Pengangkatan Pasal 98 ayat (4)
Diatur dalam peraturan tata
tertib MPR, DPR, DPD dan
DPRD Kab/Kota.
Pasal 47 ayat (1)
Ditetapkan dengan keputusan
DPRD.
Pasal 163 ayat (3).
Diatur lebih lanjut dalam
peraturan DPRD Kab/Kota
tentang Tata Tertib.
3 Pemilihan
pimpinan
Pasal 98 ayat (4)
Diatur dalam peraturan tata
tertib MPR, DPR, DPD dan
DPRD Kab/Kota.
Pasal 47 ayat (3)
Pimpinan BK terdiri atas
seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota Badan
Kehormatan.
Pasal 163 ayat (3).
Diatur lebih lanjut dalam
peraturan DPRD Kab/Kota
tentang Tata Tertib.
4 Pemberian sanksi Pasal 98 ayat (4)
Diatur dalam peraturan tata
tertib MPR, DPR, DPD dan
DPRD Kab/Kota.
Pasal 49 ayat (2) huruf f:
Diatur dalam peraturan
mengenai kode etik masing2
DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 190.
Jenis sanksi berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
dan/atau
diberhentikan dari
pimpinan pada
alat kelengkapan.
Sumber : Diolah dari UU No 22 Tahun 2003, UU 32 Tahun 2004 dan UU No 32 Tahun 2014.
Berdasarkan tabel 3.1 perbandingan pengaturan BK DPRD diatas, menunjukan bahwa
dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 salah satu alat kelengkapan DPRD
Kabupaten/Kota adalah BK. Namun dalam UU tersebut belum diatur secara jelas ketentuan
mengenai BK. Dalam pasal 98 ayat (5) hanya menyebutkan bahwa pembentukan, susunan,
tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) (3) dan ayat
(4) diatur dalam peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ketentuan mengenai BK sendiri diatur dalam pasal 46. Dalam UU ini mengatur lebih
jelas mengenai anggota BK, pemilihan anggota BK, tugas serta kedudukan anggota BK.
Sedangkan dalam Undang Undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan
daerah sebagai pengganti UU sebelumnya ketentuan menegenai BK diatur dalam pasal 163,
yang menunjukan bahwa salah satu alat kelengkapan DPRD adalah BK. Namun setelah UU
sebelumnya direvisi dengan UU No 23 tahun 2014, kembali UU ini tidak mengatur secara
rinci mengenai tugas, wewenang dan kedudukan BK. Hal ini karena dalam pasal 163 ayat (3)
menyebutkan bahwa Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan
wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.
Tabel 3.2 Perbandingan Pengaturan BK DPRD dalam Peraturan Pemerintah:
No Penjelasan PP No 25 Tahun 2004 PP No 53 Tahun 2005 PP No 16 Tahun 2010
1 Jumlah dan
komposisi
Pasal 50 ayat (2).
sekurang-kurangnya
Pasal 50 ayat (2).
Terdiri dari 3 orang untuk DPRD
Pasal 56 ayat (3).
Terdiri dari 3 orang
tiga orang, terdiri atas
seorang anggota
DPRD dan dua orang
dari luar DPRD.
Sebanyak-banyaknya
tujuh orang, terdiri
atas tiga orang anggota
DPRD dan empat
orang dari luar
DPRD.
Kab/Kota yang beranggotakan
sampai dengan 34. Terdiri dari 5
orang untuk anggota DPRD yang
beranggotakan 35-45.
untuk DPRD Kab/Kota
yang beranggotakan
sampai dengan 34.
Terdiri dari 5 orang
untuk anggota DPRD
yang beranggotakan 35-
45.
2 Pengangkatan
anggota
Pasal 50 ayat (1).
dibentuk oleh DPRD
dalam Rapat Paripurna
DPRD.
Pasal 50 ayat (4).
Ditetapkan dalam rapat paripurna
DPRD berdasarkan usul dari
masing-masing fraksi.
Pasal 56 ayat (5).
Dipilih dan ditetapkan
dalam rapat paripurna
DPRD berdasarkan usul
dari masing-masing
fraksi.
3 Pemilihan
pimpinan
Pasal 50 ayat (3).
Terdiri atas seorang
Ketua dan Wakil
Ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota
Badan Kehormatan.
Pasal 50 ayat (3).
Terdiri atas seorang Ketua dan
Wakil Ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota Badan Kehormatan.
Pasal 56 ayat (4).
Terdiri atas seorang
Ketua dan Wakil Ketua
yang dipilih dari dan
oleh anggota Badan
Kehormatan.
4 Tata beracara
pengaduan
Tidak diatur Pasal 51B.
Dilakukan secara tertulis, diajukan
kepada pimpinan DPRD disertai
identitas pengadu yang jelas.
Pasal 60.
Dilakukan secara
tertulis, diajukan kepada
pimpinan DPRD disertai
identitas pengadu yang
jelas.
5 Jenis sanksi Tidak diatur Pasal 51C.
Teguran lisan/ teguran tertulis
sampai diberhentikan sebagai
anggota sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 59 ayat (2).
Teguran lisan
Teguran tertulis
Pemberhentian sebagai
alat kelengkapan DPRD
atau;
Pemberhentian sebagai
anggota DPRD sesuai
peraturan perundang-
undangan.
Sumber : Diolah dari PP No 25 Tahun 2004, PP No 52 Tahun 2005, dan PP No 16 Tahun 2010.
Berdasarkan tabel 3.2 perbandingan pengaturan BK DPRD diatas, menunjukan bahwa
pada jumlah dan komposisi serta pengangkatan anggota BK terdapat perubahan. Yaitu pada
pasal 50 ayat (2) dan pada pasal 50 ayat (4). Dalam PP N0 25 tahun 2004 menerangkan
bahwa anggota BK dipilih Sekurang kurangnya 3 orang, terdiri atas 1 anggota DPRD dan 2
orang dari luar DPRD; dan Sebanyak-banyaknya 7 orang, terdiri atas 3 orang anggota DPRD
dan 4 orang dari luar DPRD. Namun setelah PP tersebut diubah dengan PP No 53 tahun
2005, maka aturan pada pasal tersebut berubah menjadi :
“Anggota BK dipilih Untuk DPRD Provinsi beranggotakan sampai dengan 74, teridiri atas
5 orang.Untuk DPRD yang beranggotakan 75-100, terdiri atas 7 orang.Dan untuk DPRD
Kab/Kota beranggota sampai dengan 34, terdiri dari 3 orang.Untuk DPRD yang
beranggotakan 35-45, terdiri dari 5 orang.”
Hal ini dapat terlihat bahwa dulunya anggota BK dapat dipilih dari luar DPRD,
namun ketentuan pada pasal 50 ayat (2) menghapuskan ketentuan sebelumnya.Ternyata
ketentuan mengenai pemilihan anggota BK tersebut berlaku sampai sekarang pada PP yang
telah diubah, yaitu PP No 16 tahun 2010. Hal ini memberi implikasi bahwa kini anggota
BK DPRD hanya berasal dari anggota DPRD saja.
B. ANALISIS
1. Eksistensi Badan Kehormatan dalam Menunjang Fungsi DPRD
Peran serta kedudukan BK dalam penegakan kode etik sangatlah penting guna
menjaga etika dan moral anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Dalam hal ini implementasi
fungsi DPRD diartikan dengan bagaimana fungsi tersebut dalam berjalan dengan baik
melalui ketentuan-ketentuan kode etik DPRD. BK bertugas untuk melaksanakan pengawasan
dan kontrol terhadap DPRD. Pengawasan dan kontrol dalam hal ini adalah pengawasan dan
kontrol internal terhadap DPRD. Anggota DPRD merupakan para wakil rakyat yang dipilih
melalui pemilihan umum. Tentang etika, pada dasarnya merupakan tentang etis dan tidaknya
suatu tindakan tertentu terkait dengan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab serta
kedudukan seseorang sebagai anggota DPRD. Dalam profesinya sebagai anggota DPRD
maka disini perlu adanya kode etik profesi untuk memberikan batasan guna menjaga
profesionalitas anggota DPRD agar tidak terjadi penyimpangan.11
Dalam hal ini eksistensi BK dapat tercermin dari berfungsi atau tidaknya lembaga
DPRD tersebut. Maka dalam hal ini keberadaan BK menjadi sangat penting untuk dapat
menunjang tri fungsi DPRD tersebut, melalui instrument/ ketentuan-ketentuan mengenai
kode etik. Kode etik profesi tersebut terwujud dalam tata tertib dan kode etik DPRD. Kode
Etik DPRD merupakan keberlanjutan dari Tata Tertib DPRD. Pembentukan BK di parlemen
pada dasarnya sudah tepat, namun pelaksanaannya masih belum cukup kuat untuk benar-
benar menegakan Kode Etik yang ada. Mengingat bahwa DPRD merupakan lembaga
perwakilan rakyat di daerah yang tugasnya adalah melaksanakan hak dan kewajibannya
berdasarkan aspirasi rakyat, maka perilaku anggota DPRD haruslah mencerminkan seorang
wakil rakyat. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan terhadap sikap dan perilaku anggota
DPRD agar senantiasa dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Sikap dan
perilaku yang harus ditaati anggota dewan ini sendiri sudah diatur didalam UU ( Lihat Bab 2,
hlm. 24). Anggota DPRD sendiri juga sudah memiliki aturan mengenai tata kerja anggotanya
11
Murhani, Suriansyah, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama,
2008), hlm. 69
yang dimuat dalam sebuah aturan, yang paling tidak harus memuat beberapa ketentuan.
(Lihat Bab 2, hlm. 25).
Adanya PP No 16 Tahun 2010 diharapan dapat memberi penguatan bagi eksistensi
BK. PP tersebut seharusnya menjadi payung hukum BK yang memberikan penguatan bagi
eksistensi BK sebagai lembaga pengawal tegaknya etika yang memiliki posisi sentral dan
strategis. Akan tetapi pada kenyataannya BK masih mengalami banyak problematika terkait
independensi lembaga tersebut. Dalam hal ini sebagai sebuah lembaga pengawas kode etik
BK seharusnya bersifat independen. Hal ini sangat diperlukan guna menghasilkan putusan
yang objektif dalam rangka untuk dapat menunjang fungsi utama DPRD sebagai representasi
rakyat di daerah.
2. Perkembangan Pengaturan Hukum Badan Kehormatan
Pengaturan mengenai BK petama kalinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kemunculan BK
ini untuk pertama kalinya diatur dalam pasal 98 ayat (4) Undang-Undang tersebut. Kemudian
untuk menjawab perintah pasal 98 tersebut lahirlah PP Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Kemudian seiring berjalannya waktu, PP No 25 Tahun 2004 telah diubah dan
disempurnakan untuk pertama kalinya dengan PP No 53 tahun 2005. Hingga kini PP Nomor
53 Tahun 2005 telah dicabut dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010
tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
lebih lanjut tentang BK DPRD berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
juga telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Rumusan ketentuan tentang BK DPRD yang diatur dalam PP Nomor 16
Tahun 2010 tersebut diadopsi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam kedua peraturan tersebut telah meniadakan anggota BK yang berasal dari unsur luar
DPRD. Hal ini memberi implikasi bahwa Anggota BK dipilih dari dan oleh anggota DPRD
saja. Sehingga anggota BK hanya berasal dari kalangan anggota DPRD.