bab iii festival istiqlal i 1991 dan festival · pdf filekegiatan festival istiqlal yang...
TRANSCRIPT
35
BAB III
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991 DAN FESTIVAL ISTIQLAL II 1995 :
SENI RUPA MODERN INDONESIA BERNAFASKAN ISLAM
Kegiatan Festival Istiqlal yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto pada tahun 1991 dan 1995, merupakan Festival yang berusaha menampilkan
segi dan sisi kehidupan kebudayaan dan kesenian Islam Indonesia secara kontekstual.
Tidak aneh, jika usaha menampilkan kebudayaan Islam Indonesia tersebut, mengambil
inspirasi dari sebutan atau sisi lain dari kebudayaan Indonesia yang beranekaragam
tersebut. Pilihan pun diambil dengan judul: Pameran Kebudayaan Indonesia yang
Bernafaskan Islam’. Bisa dikata, inilah tonggak penting bagaimana kebudayaan Islam di
bumi nusantara secara fisik ditampilkan dalam suatu pameran Festival. Selaku Presiden
saat itu, tanggapan ini kemudian dijelaskan oleh Soeharto, pada saat pembukaan pameran
Festival Istiqlal I 1991, dalam pidatonya tersebut Soeharto mengatakan:
”Dalam festival ini akan kita tampilkan berbagai ragam kegiatan penjelmaan cipta karya dan cipta seni yang ditandai oleh ciri khas ke-Islaman. Kedatangan Islam di Indonesia memang membawa dampak dalam berbagai bidang kehidupan yang masih membekas sampai saat ini, seperti gaya arsitektur, dalam pola dan motif hiasan, dalam karya kesastraan dan berbagai cipta karya dan cipta seni lainnya. Bahkan, dalam adat istiadat masyarakat kita pengaruh Islam juga sangat kuat. Hal ini jelas terungkap, misalnya dalam peribahasa yang berlaku di ranah Minang: Adat bersendi syara dan syara’ bersendi Kitabullah.” (Soeharto :1993).
Namun, usaha menggelar acara seperti Festival Istiqlal tersebut, ternyata bukan saja
menampilkan aspek kebudayaan Islam di bumi nusantara saja. Ditengarai masalah ini
kemudian berkait dengan usaha pemerintah saat itu, untuk mempromosikan aspek wisata
Indonesia secara turistik. Lebih gamblang pernyataan ini, dijelaskan lagi oleh Soeharto:
”Melalui Festival Istiqlal ini penampilan kebudayaan kita yang bernafaskan Islam itu, kita laksanakan dan kita kaitkan dengan Tahun Kunjungan Indonesia 1991. Dengan demikian, festival ini lebih merupakan paparan kebudayaan khas kaum muslimin Indonesia, baik bagi bangsa Indonesia sendiri maupun bagi bangsa-bangsa lainnya. Tujuan yang ingin kita capai adalah timbulnya kesadaran akan jatidiri khas umat Islam Indonesia, terpeliharanya saling pengertian antara berbagai umat beragama serta makin kukuhnya persahabatan antara bangsa-bangsa.” (Soeharto :1993).
36
Bagi Soeharto sendiri, momen seperti Festival Istiqlal bisa dijadikan refleksi
bagaimana, seharusnya kita memaknai kebudayaan Islam dalam konteks Indonesia.
Setidaknya ada dua faktor unsur penting yang berkait di dalamnya, paparan ini kemudian
terumuskan kembali dalam pidatonya sebagai berikut:
1. Unsur pertama adalah roh Islami, yang bertumpu pada jiwa tauhid serta pesan
perdamaian, rahmat dan persaudaraan seluruh insan. Islam sebagai agama yang
ditujukan pada kemanusiaan sebagai satu umat, mengajarkan asas-asas yang
berlaku universal. Sehingga memberikan cukup peluang bagi setiap lingkungan
sosial dan budaya untuk menerimanya dengan penyesuaian tanpa menimbulkan
perubahan pada asas-asasnya. Al-Qur’an pun menegaskan, bahwa manusia
diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling berkenalan.
Kesatuan manusia dan kebhinekaan budaya memang merupakan ciri khas dunia
manusia. Karena itu, kesatuan sebagai umat hendaknya membuat manusia saling
memperhatikan kesejahteraan sesamanya. Sebagai pendukung berbagai ragam
budaya, manusia haruslah berusaha saling mengenal dan saling memahami, serta
saling menghormati. Semuanya itu, pada gilirannya akan memperkaya peri
kehidupan manusia yang beradab. Kiranya tidak terlalu menyimpang jika kondisi
kemanusiaan tadi kita rangkum dalam semboyan ”Bhineka Tunggal Ika”, karena
kebhinekaan budaya umat manusia ditegaskan serentak dengan tunggalnya
kemanusiaan.
2. Unsur kedua adalah semangat keindonesiaan, yaitu semangat kekeluargaan dan
toleransi dari suatu masyarakat majemuk, yang menganut berbagi agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam semangat kekeluargaan dan
toleransi ini, kaum muslimin menghargai agama serta kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang dianut oleh Saudara-saudaranya se-Bangsa.
Perpaduan kedua unsur tadi, antara yang universal dan yang nasional.,
menimbulkan kepribadian tersendiri dan menyebabkan kebudayaan kaum
37
muslimin Indonesia mempunyai ciri khasnya sendiri yang layak ditampilkan
(Soeharto :1993).
Upaya untuk mengenalkan bahwa Festival Istiqlal tersebut, bukanlah milik
pemerintah atau negara tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia dipaparkan juga oleh
Soeharto berikut ini:
”Festival seperti ini merupakan festival yang pertama kali kita selenggarakan di Tanah Air kita. Festival ini bukanlah festival negara ataupun festival pemerintah, tetapi festival masyarakat sendiri. Kesemarakan festival ini bergantung kepada dukungan umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.” (Soeharto :1993).
3.1 Konsep Festival Istiqlal I 1991
Peristiwa Festival Istiqlal sesungguhnya bukan hanya sekedar masalah peristiwa
pameran kesenian biasa. Lingkup ini tidak bisa dilepaskan melalui pengaruh sosiologis
dan konteks kultural yang turut serta mempengaruhinya. Secara sosiologis, kita tahu pada
masa 90-an pula isu mengenai gempuran globalisasi dan bagaimana tuntutan bangsa
Indonesia menghadapi tantangan akhir abad-20, yang diyakini mempunyai kendala
masalah sosial, ekonomi dan politik diramalkan semakin besar bahkan kompleks.
Perhatian ini kemudian tertuang dalam latar belakang bagaimana Festival Istiqlal I itu
digagas:
”Menjelang akhir abad 20 bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan yang semakin besar. Di tengah gejolak iklim sosial, sosial, politik, dan ekonomi yang serba cepat dan penuh perubahan, bangsa Indonesia semakin dituntut untuk berbagai unsur utama: kreativitas, imajinasi, kerja keras, dan semangat pantang menyerah. Sikap dan kemampuan seperti itu tentu tidak bisa hadir begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan secara bertahap dan terencana.
Dalam hal ini bangsa Indonesia patut bersyukur karena telah memiliki pegangan yang jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Program Pembangunan yang dilaksanakan secara berkelanjutan telah menampakkan hasil dan berbagai perubahan, baik material maupun non-material.
38
Proses perubahan itu juga telah meningkatkan berbagai kemampuan bangsa Indonesia, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, ini nampak dengan semakin meratanya tingkat pendidikan ke segala lapisan masyarakat.
Bangsa Indonesia yang berjumlah 180 juta jiwa terdiri dari banyak suku dan beberapa keyakinan, sehingga tidak mengherankan jika ia sering dilihat sebagai masyarakat majemuk. Namun, apabila diingat bahwa 89 % dari seluruh penduduk Indonesia adalah muslim, mau tidak mau muncul pertanyaan: Bagaimana meningkatkan kualitas bangsa ini melalui etik Islam? Pertanyaan demikian adalah wajar, dan lebih berupa gagasan kultural karena menghubungkan pola perilaku bangsa dengan salah satu sumber keyakinannya yang terbesar. Seperti diketahui, kebudayaan tidak lain adalah cara hidup manusia.” (Katalog Pameran Kebudayaan Indonesia Yang bernafaskan Islam, Festival Istiqlal I 1991, hal.2)
Di sisi lain bagi Pontjo Sutowo sendiri yang menjadi ketua umum badan pelaksana
Festival Istiqlal I 1991, ia menyatakan bahwa masalah kebudayaan tidak kalah
pentingnya dengan masalah kemakmuran dan ekonomi suatu bangsa, masalahnya terletak
pada persoalan bagaimana meningkatkan kualitas dan martabat manusia. Pontjo Sutowo
kemudian menulis:
”Pada masa kini dan masa-masa yang akan datang, isu tentang kualitas dan martabat manusia semakin penting. Setelah berhasil melewati tahap-tahap yang sulit dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan swasembada pangan. Prioritas berikutnya tak pelak lagi adalah adalah pada manusia itu sendiri. Ini bukan berarti bahwa upaya meningkatkan kemakmuran lalu dihentikkan, atau pada masa-masa sebelumnya nilai-nilai kemanusiaan tidak dikembangkan. Keduanya tetap berjalan bersama, hanya titik beratnya berbeda. Pembanguan jangka panjang tahap kedua mencanangkan pentingnya peningkatan kualitas dan martabat manusia. Berbicara tentang manusia berarti berbicara tentang gagasan-gagasannya, impian dan harapan, perilaku dan karya-karyanya, singkatnya kebudayaannya. Jadi upaya meningkatkan kualitas dan martabat manusia tidak bisa lain mesti ditandasi oleh pemahaman terhadap kebudayaannya. Dalam kaitan ini suatu festival kebudayaan menjadi penting dan berfungsi sebagai refleksi yang pada gilirannya dapat menjadi inspirasi dan titik tolak bagi langkah peningkatan.” (Pontjo Sutowo: 1991).
39
Penandasan lain tentang Festival Istiqlal 1991 yang dimaknai sebagai peristiwa
kebudayaan dan kesenian Islam, dicoba dikemukakan lagi oleh Fuad Hassan. Sebagai
seorang yang menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia pada saat itu, Fuad
Hassan berkomentar:
”Pengolahan unsur kebudayaan yang bernafaskan Islam itu dalam berbagai kebudayaan daerah menghasilkan berbagai bentuk hasil kebudayaan yang berbeda-beda pula. Banyak dari hasil pengolahan itu bahkan merupakan puncak -puncak dari kebudayaan daerah. Dengan demikian, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, puncak-puncak kebudayaan daerah yang seperti itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan nasional kita. Karena itu saya harapkan agar Festival Istiqlal 1991 ini akan merupakan salah satu tonggak bersejarah dalam usaha kita semua lebih meningkatkan lagi perkembangan kebudayaan nasional. ” (Fuad Hassan: 1991).
Di sisi lain, komentar berbeda tentang Festival Istiqlal pertama tahun 1991 ini,
dikemukakan juga oleh Munawir Sjadzali, sebagai menteri agama. Munawir Sjadzali
menulis:
”Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki tradisi budaya yang beragam. Namun demikian, budaya juga memiliki fungsi integratif yang dapat mempertalikan keragaman itu dalam satu kesatuan. Oleh karena itu, melalui Festival Kebudayaan Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dapat diharapkan terjadi proses pemahaman, baik pemahaman umat Islam terhadap hasil budayanya, maupun saling pemahaman antar umat beragama.” (Munawir Sadjali: 1991).
Pada masanya tahun 1991 Festival Istiqlal bukan saja peristiwa yang memfokuskan
diri terhadap masalah kebudayaan Islam di Indonesia. Secara ekonomis pertimbangan ini
juga dilakukan dalam upaya promosi pemerintah Indonesia, dalam bidang pariwisata.
Karena di tahun tersebutlah Indonesia juga mengagendakan ’Tahun Kunjungan Indonesia
1991’/Visit Indonesian Year 1991. Masalah-masalah ini kemudian ditegaskan oleh
Soesilo Soedarman, sebagai menteri pariwisata pos dan telekomunikasi:
”Menyadari hal itu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi bersama-sama dengan instansi terkait dan dunia usaha serta anggota masyarakat lainnya berupaya untuk meningkatkan dan melestarikan seni budaya nasional yang terbentuk dari puncak-puncak seni budaya tradisional masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Festival Istiqlal 1991 yang akan menggelar seni budaya bangsa Indonesia yang bersumber dan
40
bernafaskan tradisi keagamaan dan nilai-nilai yang diamalkan di dalam agama Islam ini saya sambut dengan gembira, terutama dalam kaitannya sebagai salah satu peristiwa utama dalam Tahun Kunjungan Indonesia 1991. Melalui Festival Istiqlal 1991 ini diharapkan umat Islam Indonesia khususnya, seluruh masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya dapat lebih mengenal serta menghayati nilai-nilai agama Islam yang tersirat pada setiap materi yang diperagakan, yang pada gilirannya akan dapat lebih memperkokoh keimanan dan semangat pengabdian kita kepada agama, nusa dan bangsa, serta terbentuknya jati diri bangsa yang dipayungi oleh semangat persatuan dan kesatuan. ” (Soesilo Soedarman: 1991).
Rupanya, Festival Istiqlal diselenggarakan bukan hanya sekadar menampilkan hasil
kebudayaan dan kesenian Islam nusantara saja. Akan tetapi harapannya kian meluas ke
masalah yang sangat sulit sekali dirumuskan misalnya pada pokok masalah ’identitas
Islam’. Pada pokok ini Munawir Sjadzali memberikan tanggapan:
”Saat ini kita sering mendengar tentang proses globalisasi yang sedang berlangsung, yang mau tidak mau melibatkan kita, baik sebagai umat Islam maupun sebagai bangsa Indonesia. Sebagai umat dan sebagai bangsa, tentu saja kita tidak ingin tenggelam dalam arus globalisasi itu kehilangan identitas diri. Di sinilah terlibat betapa pentingnya pembicaraan tentang kaitan antara tradisi dan inovasi. Ungkapan ’berpegang dengan cara-cara lama yang baik dan mengambil cara-cara baru yang lebih baik’. Memberikan panduan kepada kita di tengah-tengah dunia yang seolah-olah makin sempit, yang ditandai oleh saling keterpengaruhan dan saling ketergantungan yang makin ketat dan menonjol.” (Munawir Sadjali: 1991).
Dalam arus global ternyata globalisasi juga memberikan dampak bagaimana situasi
identitas diri bisa terbelah. Dalam Festival Istiqlal I 1991, apa yang dikemukakan oleh
Munawir Sjadzali di atas, tersirat refleksi kekhawatiran itu tersirat ada. Dengan demikian
bisa saja terjadi, masalah Festival Istiqlal juga semacam pergulatan identitas diri (Islam)
dengan arus global yang tengah dihadapi. Masalah identitas bukan saja masalah ’jati-diri’
yang seolah-olah diandaikan tetap, melainkan konsep identitas merupakan problematika
yang sangat kompleks. Menyambut persoalan demikian, pengkaji cultural stidies dan
kritikus budaya terkemuka Stuart Hall, sering berkomentar terhadap masalah konsep
identitas tersebut, bahwa konsep identitas bukanlah konsep esensialis akan tetapi
41
persoalan strategi dan bagaimana seseorang menetapkan sebuah posisi (Stuart Hall:
2000:17).
Tidak lain adalah pelukis A.D Pirous dengan beberapa rekannya di Bandung, yang
pertama kali mengangankan proyek mushaf sebagai bagian dari festival seni Islam yang
mereka rencanakan untuk diadakan pada Oktober 1991 di Masjid Istiqlal Jakarta, dalam
rangka Tahun Kunjungan Wisata Indonesia. Rencana penyelenggaraan Festival Istiqlal
I991 muncul dari hasil diskusi dengan Menteri Pariwisata, Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, serta dilaksanakan oleh Pontjo Sutowo, pengusaha yang
dikenal dekat dengan Soeharto berasal dari Jakarta (Kenneth M. George: 2003).
Seperti apa yang dikemukakan oleh A.D Pirous, bahwa suasana politik tahun 1990-
an sangat tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan festival semacam itu. Oleh
karena itu bagi Pirous, pemerintah, maupun para sponsor sangat tidak menduga bahwa
Festival yang diselenggarakan sebulan penuh ini akan sukses dan menyerap lebih kurang
6,5 juta pengunjung. Ketika pada 1995 diadakan Festival Istiqlal II dalam rangka
perayaaan kemerdekaan RI ke-50, banyak kaum elit Jakarta datang untuk memberi
dukungan atau melibatkan diri dalam pameran itu (Kenneth M. George: 2003).
Bisa dirumuskan bahwa poin-poin besar yang hendak dirangkai pada Festival
Istiqal I 1991, diantaranya ialah:
1. Festival Istqilal I 1991, diselenggarakan pada akhir awal 90 saat bangsa
Indonesia dan umat muslim akan mengalami masa globalisasi di abad 21. Untuk
itu Festival Istiqlal I 1991, mencuatkan persoalan identitas Islam, berikut
persoalan tradisi dan inovasi dalam era globalisasi.
2. Festival Istiqlal I 1991, ketika pertama kalinya digelar tahun 1991, maksud yang
paling konseptual yaitu Festival Istiqlal berupaya menampilkan hasil-hasil
kebudayaan Islam dan kesenian Islam dengan berbagai corak dan ekspresinya di
seluruh Nusantara.
42
3. Festival Istiqlal I 1991 diselenggarakan oleh pemerintah saat itu, untuk
mempromosikan aspek wisata Indonesia secara turistik, karena mengambil
momentum ’Tahun Kunjungan Indonesia 1991’/Visit Indonesian Year 1991.
Setidaknya dari ketiga pokok isu tersebut Festival Istiqlal I 1991, kemudian
diselenggarakan.
3.2 Konsep Festival Istiqlal II 1995
Pada pokoknya pelaksanaan Festival Istiqlal II 1995, merupakan rantai kelanjutan
pada konsep Festival Istiqlal yang pertama tahun 1991. Disebut pokok dan rantai
kelanjutan karena konsep dan landasan-landasan yang diacu dan digunakannya tetap
masih mengandalkan formulasi gagasan awal pada Festival Istiqlal I, terutama yang
dibentuk oleh tim 7. Namun, sedikit banyak tentu saja ada penambahan disana-sini
meliputi susunan acara, konsep pameran dan para peserta yang diundang untuk terlibat.
Sebab dalam Festival yang ke II 1995 ini, para peserta pameran mengalami peningkatan,
lebih kurang 200 seniman yang diundang baik yang berada dalam lingkup nasional
maupun internasional.
Pokok-pokok yang diangkat pada konsep Festival Istiqlal II 1995 ialah:
1. Pendalaman yang berkesinambungan dalam memahami materi pemikiran budaya
Islam yang berkembang di Indonesia secara filosofis dan konseptual.
2. Penggalian yang terus-menerus dalam keragaman materi tata nilai Islami yang
mewujud dalam khasanah kesenian Indonesia, khususnya seni rupa Kontemporer.
3. Perluasan wawasan yang menjangkau titik temu proses kreatif antar negara,
dengan mengundang seniman muslim dari beberapa negara sebagai peserta
pameran maupun peserta seminar.
43
Beberapa penjelasan dan catatan penting mengenai Festival Istiqlal II 1995 tersebut,
bisa disimak dalam komentar Arsono selaku ketua koordinator pameran atau Chief -
Coordinator:
”Festival Istiqlal, adalah upaya pengembangan orientasi sumber daya manusia dalam sebuah perhelatan akbar berupa Festival kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam. Empat tahun sesudah Festival yang pertama, pada Festival Istiqlal II-1995 telah dicapai beberapa catatan penting. Pertama, pendalaman yang berkesinambungan dalam memahami materi pemikiran budaya Islam yang berkembang di Indonesia secara filosofis dan konseptual. Kedua, penggalian yang terus-menerus dalam keragaman materi tata nilai Islami yang mewujud dalam khasanah kesenian Indonesia, khususnya seni rupa Kontemporer. Ketiga, perluasan wawasan yang menjangkau titik temu proses kreatif antar negara, dengan mengundang seniman muslim dari beberapa negara sebagai peserta pameran maupun peserta seminar.” (Arsono :1995).
Penegasan bagaimana Festival Istiqlal II 1995 merupakan pijakan atau bahkan
rantai kelanjutan dari Festival yang pertama. Ditegaskan juga oleh Ponjto Sutowo, yang
tetap menjadi ketua pelaksana Festival Istiqlal baik yang pertama maupun yang kedua ini,
Pontjo Sutowo mengatakan:
”Festival Istiqlal II-1995 pada dasarnya masih berpijak kepada konsepsi Festival Istiqlal yang pertama, yakni menggali dan mengembangkan kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam. Pengertian menggali dapat dijabarkan dengan upaya penelitian, pengkajian, dan pengungkapan kembali seputar pemikiran makna dan penuturan nilai dari kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam. Sedangkan pengertian mengembangkan dapat diurai dengan melakukan upaya pembinaan, pematangan, dan pembaruan (ijtihad) dari hasil penggalian.” (Pontjo Sutowo :1995).
Dicatat pula pameran Festival Istiqlal II 1995, mencatat jumlah peserta dari luar
negeri bertambah. Berbeda dengan Festival yang pertama yang hanya diisi oleh karya -
karya seniman Indonesia dan Malasyia saja. Pada Festival Istiqlal II 1995, jumlah peserta
bertambah, diramaikan pula oleh para peserta lain dari luar negeri yang juga turut terlibat.
Misalnya dari negara Bangladesh, Jordania, Libanon, Mesir, Pakistan, Singapura, Sudan
dan Tunisia. Pameran yang tak ternilai ini telah menggelar 288 karya seni rupa dari 167
seniman (Pontjo Sutowo :1995).
44
Perlu juga dipahami sebelumnya secara historis, bagaiamana sesungguhnya Islam
berkembang di bumi nusantara khususnya, dan umumnya di Asia Tenggara. Menurut
beberapa tarikh yang tertulis, sering disebut bahwa jalur perdagangan lewat pesisir laut
merupakan faktor penting bagaimana Islam berkembang di bumi nusantara.
Pada akhir abad ke-12, di pantai timur Sumatera terdapat negara Islam bernama
Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para pedagang asing dari
Mesir, Maroko, Persi dan Gujarat, yang menetap di situ sejak awal abad ke-12.
Pendirinya adalah orang Arab keturunan suku Quraisy.
Menurut beberapa catatan kemudian pedagang Arab itu kawin dengan putri pribumi
keturunan raja Perlak (Slamet Muljana :2003:130). Bagi catatan-catatan yang
menyimpulkan bahwa berkembangnya Islam karena faktor perniagaan. Hal ini
disimpulkan oleh para pedagang dari Arab yang menjalankan pelayaran beranting,
menyisir pantai dari Jeddah melalui teluk Persia ke Kambayat/Gujarat di pantai barat
India. Dengan sendirinya, hanya para pedagang di pantai Persia dan di pantai barat India
yang langsung berhubungan dengan para pedagang Arab yang telah memeluk agam
Islam. Gujarat merupakan pusat pertemuan para pedagang Arab, Persia, India, dan para
pedagang dari Malaka. Para pedagang Persia dan India mendapat pengaruh Islam lebih
dahulu daripada para pedagang Malaka. Gujarat, sebagai kota pelabuhan tempat bertemu
para pedagang Arab-Persia yang telah memeluk agama Islam dengan para pedagang
India dan para pedagang yang berasal dari Asia Tenggara, terutama para pedagang
Malaka, menjadi pusat kehidupan agama Islam dan pangkal persebarannya ke Asia
Tenggara, terutama ke Malaka, yang juga menjadi kota dagang, tempat bertemu para
pedagang dari ketiga jurusan (Slamet Muljana :2003:146).
Namun, penegasan bahwa faktor yang paling kuat berkembangnya Islam di
nusantara dengan pesat dipengaruhi oleh faktor niaga. Bagi sejarawan dan peneliti ilmu
sosial Anthony Reid asal Australia, persoalan demikian dibantahnya, dalam buku yang
berjudul ’Sejarah Modern Awal Asia Tenggara’, Reid mencoba menuliskan lain:
45
”Pihak-pihak yang berpolemik mengajukan satu dari dua sudut pandang berikut ini sebagai penjelasan yang memadai tentang Islamisasi Asia Tenggara, sedemikian rupa sehingga timbul perdebatan agak keliru. Van Leur dan Schrieke, di satu sisi, menekankan perubahan pola perdagangan Samudera Hindia dari abad ke-12 sampai abad ke-16 dan menegaskan bahwa faktor-faktor politik lebih krusial dibanding faktor niaga. Val Leur dengan agak absurd menolak mengakui bahwa Islam menawarkan ’peradaban lebih tinggi’ bagi Asia Tenggara dan bersikukuh bahwa pergulatan antara Portugis dan orang Muslim mempertegas pola yang berbentuk sebelumnya di mana Islam tidak lebih daripada sekadar simbol persekutuan politik yang saling berhadapan satu dengan yang lain...sementara A.H Johns dan Fatimi di sisi lain, lebih memandang serius bukti sumber-sumber ’dari dalam’ dan membangun suatu penjelasan tandingan mengenai proses Islamisasi yang berpusat pada imam-imam Sufi yang ”cakap di bidang ilmu kebatinan dan memiliki kekuatan penyembuh, dan tidak kalah penting ...bersedia menggunakan istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam suatu semangat Islami”. (Anthony Reid :2003:23).
Antitesa ini masih memerlukan sintesa yang kokoh. Kedua penjelasan di
atas mengandung banyak kebenaran, namun masing-masing memperbincangkan
mengenal fenomena yang berbeda. Kehadiarn Islam tentu saja dibawa oleh
perdagangan dan acapkali diperkuat oleh kekuatan politik dan militer (Anthony
Reid: 2003).
Begitulah, sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa petunjuk yang
memungkinkan bagaimana Islam berkembang di Asia Tenggara, pada akhirnya
tidak bisa dilepaskan bahwa sejak dahulu kala faktor dan peran keterlibatan
kekuasaan politik dalam Islam selalu terasa.
Perlu dicatat kemudian, sebelum kegiatan Festival Istiqlal I 1991
dilaksanakan di negara Indonesia. Dibandingkan dengan Indonesia, negara
tetanggga di Asia Tenggara seperti Malasyia telah terlebih dahulu menggelar
bentuk kegiatan yang menampilkan secara insidental kebudayaan dan kesenian
dalam seni rupa. Ini terjadi pada tahun 1984, pada watu itu negara Malasyia
menyebut istilah pameran seni Islam tersebut dengan istilah ’Tamadun Islam’.
46
Peristiwa ’Tamaddun Islam’ di Malasyia tersebut, diikuti oleh seniman-
seniman Malasyia. Seperti diantaranya adalah: Ismail Zain, Ponirin Anwar,
Sulaeman Esa, Syed Thajudeen, Khatijah Sanusi, Ruzaika Omar Bassaree,
Annuar Rashid, Awang Damit, Zakaria Awang, Ibrahim Hussein, Syeh Ahmad
Jamal, Fatimah Ismail, Ahmad Khalid Yusoff, Redza Piyadasa, Sharifah Fatimah,
Abdul Ghaffar Ibrahim, Syeh Salleh Mustaffa, Nik Zainal Abidin, Aza Osman,
Khalil Ibrahim, Abdul Latif Mohidin, Raja Azhar, Ismail Abdullah (Kertas Kerja
Tim 7 :1990).
3.3 Tujuan Festival Istiqlal
Memulainya dengan pengertian kebudayaan. Panitia Festival Istiqlal mencoba
memberikan pengertian kebudayaan dengan pengertian sebagai berikut:
”Kebudayaan adalah daya kemampuan manusia untuk merefleksikan pada dirinya” sesungguhnya menunjuk manusia sebagai aktor yang mampu merangkai peristiwa masa lalu, masa kini, dan kemungkinan di masa datang dalam kesinambungan yang bermakna.” (Pameran Kebudayaan Indonesia Yang bernafaskan Islam, Festival Istiqlal I 1991: 3)
Pada tingkat manusia perorangan atau individu misalnya, upaya merefleksi diri itu
sering dilakukan pada saat-saat khusus seperti pada bulan Ramadhan atau akhir tahun.
Namun, masalahnya menjadi lain apabila menyangkut persoalan bangsa dan kebangsaan.
Tersebarnya karya-karya budaya di berbagai tempat membutuhkan waktu dan usaha yang
lebih khusus untuk mengumpulkannya. Salah satu cara yang lazim dilakukan adalah
dengan suatu festival kebudayaan. Dalam festival itu, karya-karya budaya masa lalu dan
masa kini dari berbagai tempat dapat dihadirkan secara bersamaan.
Demikianlah, bertolak dari maksud untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia
dan peran serta umat Islam dalam pembangunan, besar manfaatnya mengadakan suatu
festival kebudayaan dengan tema kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam. Festival ini
diadakan dalam skala nasional dan mengambil tempat di Jakarta, dengan pusat
47
penyelenggaraan di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid nasional dan masjid terbesar
di Indonesia. Dengan pertimbangan ini, festival kebudayaan ini disebut Festival Istiqlal.
Tujuan dari Festival Istiqlal dihadirkan antara lain:
1. Meningkatkan kualitas dan peran serta umat Islam Indonesia dalam proses
pembangunan. Hal ini didasari oleh anggapan, bahwa kunci keberhasilan bagi
perkembangan suatu bangsa banyak tergantung pada kualitas bangsa itu sendiri.
2. Meninjau tradisi budaya masa lalu dengan kenyataan dan tantangan masa kini. Bagi
kaum muslim Indonesia, makna dari tradisi kebudayaannya sering belum terpahami. Hal
ini tentu berlawanan dengan hakekat kebudayaan yang mempunyai daya membentuk dan
meneruskan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Festival Istiqlal, dengan
demikian merupakan wahana untuk menyambung warisan nilai dan hasil karya masa lalu
dengan kenyataan masa kini.
3. Menggali dan memperkenalkan khazanah hasil budaya Indonesia khususnya ragam
kebudayaan Islam Indonesia, ke masyarakat luas, baik nasional maupun internasional. Di
lingkungan internasional, khazanah kebudayaan Islam Indonesia kurang dikenal. Para
sejarawan dan ahli kebudayaan internasional sering menganggap kurang penting
kebudayaan Islam Indonesia. Kenyataan itu disebabkan oleh berbagai faktor, terutama
belum intensifnya studi budaya Islam di Indonesia, serta belum tersedianya informasi
yang memadai.
4. Menampilkan wajah Islam di Indonesia yang ramah, penuh toleransi antara sesamanya
maupun antar aga ma lain. Segi ini merupakan sumbangan yang sangat besar bagi
persatuan dan kesatuan bangsa dan kehidupan dunia yang lebih damai.
48
3.4 Ruang Lingkup Festival Istiqlal
Ruang lingkup Festival Istiqlal ini meliputi berbagai bagian bidang-bidang yang
terpisah konsepnya. Diantaranya: penulisan mushaf Al-Qur’an, pameran seni rupa
tradisional, pameran seni rupa modern, pameran arsitektur, seni pertunjukkan, busana
muslimah, simposium dan lain sebagainya.
Disebut mushaf Al-Qur’an adalah tempat melaksanakan penulisan Kitab Al-
Qur’an dengan tulisan Indah (khat/kaligrafi) beserta hiasan/iluminasi pada lembaran-
lembaran kertas khusus. Perwujudan dari Al-Qur’an tersebut tidak dalam bentuk yang
biasa, melainkan dalam ukuran besar. Secara keseluruhan dapat mencerminkan kekayaan
budaya bangsa yang serasi dengan kaidah dan hukum penulisan Mushaf Al-Qur’an.
Penulisan Mushaf Al-Qur’an ini dilakukan di salah satu ruang di Masjid Istiqlal
dan dilaksanakan oleh suatu tim ahli yang terpilih dari berbagai bidang keahlian seperti
pentashih, alim ulama, khattat (kaligrafer) pendesain dan drafter.
Setelah Mushaf ini selesai, akan merupakan Qur’an Resmi yang mempunyai ciri
khas Indonesia yang dapat dipertanggung-jawabkan dalam segi keabsahan hukum Islam.
Dengan demikian isi kandungan Al-Qur’an yang agung turut didukung oleh perwajahan
yang estetis dan monumental. Sebagai Kitab Suci yang resmi, Mushaf Al-Qur’an Istiqlal
ini diharapkan akan menjadi acuan bagi seluruh Al-Qur’an di Indonesia. Kemudian
jangka waktu penulisan ini diperkirakan akan memakan waktu sekitar tiga sampai empat
tahun.
Beberapa penjelasan dan deskripsi mengenai berbagai pameran pada Festival
Istiqlal I 1991, bisa disimak berikut ini:
49
Judul Gambar: Ruang Lingkup Festival Istiqlal
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
3.4.1 Seni Arsitektur
Memperkenalkan Arsitektur Islam Indonesia kepada khalayak Internasional
dengan menampilkan hasil karya para arsitek Islam di Indonesia dari zaman terawal
sampai saat ini.
Secara umum pameran arsitektur merupakan simulasi semirip mungk in dengan
suasana aslinya. Untuk setting dibuat suatu simulasi masjid atau bangunan Islam lainnya
selengkap mungkin. Penyajian dapat berupa foto, gambar, peta dan denah, model atau
maket, replika, artefak asli dan peralatan audio visual.
Materi pameran arsitektur ini disusun berdasarkan 4 tema, yaitu: pertama, tema
perubahan-perubahan besar yang dibawa Islam pada perkembangan arsitektur di
50
Indonesia; kedua, tema perkembangan arsitektur masjid di Indonesia; ketiga, tema
arsitektur Islam di Indonesia; keempat, tema keragaman masjid di Indonesia.
Judul Gambar: Ruang Lingkup Pameran Arsitektur Indonesia
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
3.4.2 Seni Rupa
Konsep pameran seni rupa Islam pada Festival Istiqlal I 1991, pameran seni rupa
ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu Pameran Seni Rupa Modern dan Pameran Seni Rupa
Tradisional. Pada dasarnya, pameran seni rupa modern menampilkan karya seni rupa
Islam yang diciptakan pada masa kini, meliputi lukisan, grafis, bentuk trimatra, seni khat
dan sebagainya. Pelaksanaan pameran seni rupa modern dapat berupa pameran
kelompok, pameran tunggal atau berdua, dan pameran karya seniman-seniman dari
Malasyia.
51
Pameran seni rupa tradisional, menampilkan berbagai seni kerajinan yang
disajikan meliputi seeni kain (batik, tenun ikat, tenun songket, tenun palekat, sulaman),
seni kerajinan kulit, seni perhiasan, seni keramik, seni lukis kaca, seni anyamanan, seni
senjata, seni busana muslim, dan seni interior gaya Islam. Adapun teknik presentasinya
adalah dengan menampilkan karya asli, baik karya dwi matra, trimatra, maupun
gabungan antara keduanya.
Judul Gambar: Ruang Lingkup Pameran Seni Rupa Islam Indonesia Sumber: Kertas Kerja Tim 7
52
3.4.3 Kitab Suci Al-Qur’an
Menyajikan Kitab Suci Al-Qur’an tulisan tangan. Kitab demikian terdapat di
berbagai daerah dengan gaya masing-masing, di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan daerah lainnya.
Dalam pameran ini disajikan dua kelompok koleksi Al-Qur’an yaitu Al-Qur’an
Mushaf kuno (koleksi utama Indonesia) dan koleksi Al-Qur’an cetakan modern (koleksi
dari negara-negara Islam).
Judul Gambar: Ruang Lingkup Mushaf Al-Qur’an Indonesia
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
53
3.4.4 Naskah, Buku dan Media Komunikasi Lainnya
Menyajikan karya tulis beserta berbagai medianya. Seluruh materi berisi tentang
sains, teknologi dan seni Islam di Indonesia. Secara umum materi pameran terdiri dari
naskah kuno, buku, media cetak dan media elektronika.
Konsep pameran Naskah pada Festival Istiqlal I 1991
Judul Gambar: Ruang Lingkup Pameran Naskah Indonesia
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
54
3.4.5 Tata Boga
Pameran sekaligus bazar seni masakan di Indonesia. Sebagaimana diketahui
masyarakat Islam menerapkan suatu ketentuan dan cara tentang makanan sesuai ajaran
Islam, hal ini nampak pada masakan sehari-hari dan yang berkaitan dengan hari-hari
besar Islam.
3.4.6 Peragaan Busana Muslimah
Peragaan Busana Muslimah ini akan menampilkan karya perancang busana denga
tema ”Menjalin Tradisi menuju Bentuk Busana Muslimah Indonesia Masa Kini”.
Penonjolan ciri ke-Indonesiaan tentunya merupakan tantangan bagi para perancang
busana. Diharapkan, dari peragaan busana ini akan meningkatkan apresiasi masyarakat
pada busana muslimah, baik dari segi ketentuan agama, sosial, etis dan estetis.
3.4.7 Seni Pertunjukan
Konsep seni pertunjukkan, menampilkan berbagai cabang seni pertunjukan yang
terdiri dari: Seni Baca Al-Qur’an, Teater, Baca Puisi, Musik, Tari, Film, Peragaan
Busana. Seni Pertunjukkan yang disajikan memiliki unsur dan semangat Islam dan
keIndonesiaan. Sehingga dari pertunjukkan ini orang dapat melihat nilai-nilai Islam
diterjemahkan melalui kemampuan local-genius (jatidiri) budaya Indonesia. Acara ini
menampilkan seni tradisional maupun modern.
55
Judul Gambar: Konsep pameran Seni Pertunjukkan pada Festival Istiqlal I-1991 Sumber: Kertas kerja tim 7
Demikianlah, akan diperlihatkan pula bahwa seni Pertunjukkan Islam adalah
tradisi yang hidup dan berkembang. Hidup karena terus bermakna bagi para
pendukungnya dan bersatu dengan kegiatan mereka sehari-hari. Berkembang karena terus
bergerak dalam rangka menjawab perubahan zaman beserta masalah-masalah yang
timbul di dalamnya.
3.4.8 Forum Ilmiah
Simposium, sebagai suatu festival budaya, Festival Istiqlal I 1991 ini akan lebih
bermakna jika dibarengi dengan kegiatan reflektif yang mengkaji dan menafsirkan
pagelaran seni pertunjukkan, benda-benda pamer dan berbagai segi kebudayaan lainnya.
Kegiatan reflektif ini dimaksudkan untuk mengungkapkan perkembangan nilai-nilai
keislaman dalam kebudayaan Indonesia masa lalu, masa kini dan kemungkinan esok.
56
Oleh karena itu, simposium ini mengambil tema utama: Islam Dan Kebudayaan
Indonesia: Dulu, Kini Dan Esok. Secara lebih rinci, tema utama ini dibagi menjadi tiga
subtema yaitu:
1. Ekspresi Estetik Islam di Indonesia.
2. Tradisi dan Inovasi Keislaman dalam Kebudayaan Indoensia.
3. Islam dan Masa Depan Peradaban Dunia.
Judul Gambar: Konsep simposium forum ilmiah pada Festival Istiqlal I-1991 Sumber: Kertas kerja tim 7
Dengan demikian, masing-masing subtema tersebut menampung suatu pengertian
kebudayaan yang sering dipakai: budaya dalam arti seni dipakai pada subtema. Pertama,
budaya dalam arti keseluruhan kegiatan manusia pada subtema dua, meskipun masih
dibatasi oleh batas kebangsaan. Pada subtema tiga, batas kebangsaan itu ditiadakan,
sehingga dalam hal ini dipakai istilah peradaban.
57
Simposium ini terbuka untuk segenap ilmuwan, ulama, cendekiawan, budayawan
dan seniman di Indonesia yang berminat dan menaruh perhatian pada perkembangan dan
pengembangan kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam. Simposium
diselenggarakan pada tanggal 21-24 Oktober 1991, bertempat di gedung Indosat, Jl.
Medan Merdeka Barat, Jakarta.
3.4.9 Ceramah
Di samping simposium, Bidang Forum Ilmiah juga akan menyelenggarakan
ceramah-ceramah ilmiah. Materi ceramah dipilih dan ditentukan berdasar tantangan yang
dihadapi oleh umat Islam dalam era-globalisasi, serta pentingnya pemecahan masalah
tersebut dalam konteks keIslaman di Indonesia. Dalam tiga kali kesempatan, rangkaian
ceramah ini akan mengungkap: masalah pendidikan, masalah peranan wanita muslim dan
masalah tafsir Al-Qur’an.
3.4.10 Sayembara
1. Sayembara Adzan tingkat anak-anak dan remaja, mencakup usia 7-12 tahun dan
12-18 tahun.
2. Sayembara Kaligrafi Islam berlaku bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia,
mencakup seluruh kategori usia.
58
Judul Gambar: Konsep acara sayembara pada Festival Istiqlal I-1991
Sumber: Kertas kerja tim 7
Dari paparan data di atas, bisa dimengerti bagaimana luasnya cakupan yang ingin
disasar oleh panitia Festival Istiqlal, dengan mengetengahkan berbagai program pameran
dari berbagai sisi tampilan kebudayaan dan kesenian Islan yang ingin ditampilkan.
3.5 Tim 7 dan Kertas kerja Tim 7
Pokok penting dari mana asal-muasal dan landasan fundamental penyelenggaraan
dan dasar-dasar konsep Festival Istiqlal baik yang pertama dan kedua itu dibuat. Ada
baiknya terlebih dahulu, kita melihat apa yang dinamakan dengan istilah tim 7 Bandung.
59
Bagaimana pun juga perhatian pada persoalan tim 7 secara khusus dan tersendiri,
pada dasarnya juga perlu dilihat sebagai sistem hirarkis karena keterkaitannya sekaligus
keterhubungannya dengan masalah politik dan kekuasaan.
Istilah tim 7 merupakan keterangan bagaimana tim atau panitia perumus Festival
Istiqlal itu disebut, dan mereka terdiri dari 7 orang perumus yang membidani keahliannya
masing-masing yang diketuai oleh 1 orang. Mereka yang masuk dalam tim 7 tersebut
antara lain: A.D Pirous (ketua), Mahmud Buchori (sekertaris), Ahmad No’eman, Saini
K.M, Yusuf Affendi, Abay Subarna, dan Yustiono.
Bisa dilihat susunan panitia dibawah berikut ini, dijelaskan posisi dan tanggung jawab
masing-masing anggota:
Bagan : Penyusun Tim 7 Festival I 1991
Sumber: Kertas kerja tim 7
60
A.D Pirous sebagai ketua mengerjakan dan menangani bidang seni rupa, Machmud
Buchori sebagai sekertaris menangani masalah scriptorium kemudian anggota-anggota
lainnya seperti: Achmad Noe’man menangani bidang arsitektur, Yusuf Affendi
menangani bidang seni rupa tradisional (kerajinan), Saini K.M menangani masalah seni
pertunjukan, Abay Subarna menangani bidang naskah, buku, dan sejarah seni rupa Islam
dan Yustiono sebagai penyunting kertas kerja, dan menangani bidang forum ilmiah.
Kertas kerja tim 7 merupakan suatu rancangan yang mengandung konsep-konsep
sebagai pedoman dalam tahap pelaksanaan (Kertas Kerja Tim 7: 1991). Secara garis
besar susunan kertas kerja tersebut terdiri dari dasar dan tujuan Festival yang tertulis
dalam bab pendahuluan disusul oleh usulan program dalam bab-bab berikutnya, yaitu
scriptorium, pameran, seni pertunjukkan, forum ilmiah, dan sayembara.
Setiap satuan usulan program yang terdapat dalam suatu bab, disusun berdasar pada
acuan sistematika yang sama. Sistematika itu, secara berurutan adalah:
1. Pengantar/Pendahuluan
2. Konsep umum
3. Materi dan teknik penyajian
4. Bahan dan Sarana
5. Sistem organisasi dan administrasi
Karena setiap anggota menangani bidang-bidang khusus dan spesifik dalam
menangani masalah kesenian Islam. Lalu, dalam bidang pameran seni rupa Islam
misalnya, bidang ini dikerjakan oleh beberapa anggota lain diantaranya: A.D Pirous, But
Muchtar, Amang Rahman, Yusuf Affendi, Sanento Yuliman, Yustiono, dan Lembaga
Seni Rupa Indonesia (LSRI).
61
3.6 Seni Rupa Modern dalam Festival Istiqlal
Judul Gambar: Pameran Seni Rupa Modern dalam Festival Istiqlal
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. Karena lingkup Festival Istiqlal itu
bermacam-macam variannya yang dijalankan, maka di sini penulis mencoba akan
mendeskripsikan secara lebih spesifik apa yang tertuang dan terumuskan dalam ketagori
seni rupa modern dalam Festival Istiqlal tersebut.
Lewat konsep yang diajukan oleh tim 7, bahwa seni rupa modern yang bernafaskan
Islam bisa dirunut lewat latar belakang historisnya melalui berberapa tahapan
perkembangan. Bentuk kegiatan yang dapat diandalkan dalam bidang seni rupa modern
yang bernafaskan keIslaman di Indonesia sejak 20 tahun terakhir ini, adalah bentuk ’Seni
Lukis Kaligrafi Arab’. Gaya seni lukis kaligrafi ini, telah dipelopori kelahirannya oleh
beberapa pelukis modern Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Kegiatan pameran yang
62
dijalankan sehubungan dengan gaya seni lukis kaligrafi ini dimulai diawal tahun tujuh
puluh. Lalu menemukan pendukungnya, pada Pameran Besar Seni Lukis Kaligrafi,
sehubungan dengan pameran MTQ di Semarang pada tahun 1979 yang diikuti oleh 26
pelukis. Kertas Kerja Tim 7, Tentang Masalah Seni Rupa Modern Indonesia. Pada tahun
1979 diadakan pameran seni lukis bernafaskan Islam (Pameran Kaligrafi Nasiona l), di
Semarang. Sehubungan dengan MTQ XI. Karya yang dipamerkan sebanyak 120 buah
dari 26 seniman mencakup (lukis, grafis, keramik, ukiran dan tapestri). Sebelumnya
memang ada beberapa kegiatan yang membawa konsep gagasan nilai Islam lainnya
misalnya: pada tahun 1981, diadakan pameran lukisan kaligrafi dan Mesjid di Banda
Aceh, sehubungan MTQ ke XXI, diikuti oleh 45 seniman dengan 255 karya (lukisan
kaligrafi dan fotografi. Kemudian diadakan pula tahun 1983, pameran lukisan kaligrafi di
MTQ ke XIII, Padang, diikuti oleh 28 seniman dengan 75 karya. Pada tahun 1984
diadakan pameran lukisan kaligrafi menyambut tahun baru Hijriah 1425H , diikuti oleh 8
pelukis di Jakarta oleh Yayasan Ananda. Pada tahun 1987, pameran kaligrafi Islam
Indonesia, di Mesjid Istiqlal diikuti oleh 32 seniman.
Kemudian pada tahun 1985, untuk pertama kali 5 orang pelukis senior Indonesia
yang mendukung gaya seni lukis kaligrafi Arab ini, berkesempatan berpameran di Timur
Tengah. Pameran ini mendapat kesan pertama tentang seni lukis bernafaskan Islam untuk
pertama kali di luar negeri.
Hal ini wajar dalam masyarakat seni modern Indonesia yang berpenduduk 90%
beragama Islam. Kegiatan kesenian kreatif ini, bukan tidak mungkin dapat berkembang
menjadi salah satu ciri seni lukis modern Indonesia dalam forum Internasional. Memang,
sangat diketahui jika keanekaragaman hasil kebudayaan dan ekspresi kesenian di
Indonesia mempunyai berkah tersendiri, disamping pula menyimpan sisi problematika
yang tak mudah dirumuskan. Bagi peneliti sejarah seni Wiyoso Yudoseputro ada
kesukaran tersendiri, jika kita melihat kenyataan masalah praktik kesenian di Indonesia.
Kesulitan untuk merumuskan kenyataan ini, diakibatkan oleh kemajemukan ekspresi
kesenian setiap masing-masing daerah di nusantara.
63
”Mendeskripsikan prestasi artistik yang dapat menjelaskan ekspresi dalam kesatuan gaya seni rupa Indonesia dirasakan sulit mengingat kemajemukan ekspresi sebagai landasan perkembangan seni rupa muslim di Indonesia. Tidak mudah pula mengadakan bahasan banding gaya-gaya ekspresi lokal atau daerah mengingat kompleksitas dan pluralitas kebudayaan pendukungnya. Adapun pengertian gaya seni rupa sebagi jati diri dari ekspresi estetik suatu bangsa disamping didukung oleh tradisi budaya nasionalnya, juga faktor-faktor pendukungnya lain, seperti tuntutan media dan teknik, filsafat hidup dan pranata dalam kebudayaan yang bersifat lokal, nasional atau regional”. (Wiyoso Yudoseputro :1993:111).
Gambar 3. 1
Sumber: Katalog Seni Rupa Modern Festival Istiqlal-1991
Salah satu karya seniman Sulbi asal Jepara, yang ditampilkan dalam Festival Istiqlal I-1991 Karya trimatra yang dipengaruhi nuansa etnik-tradisional
Demikianlah, dengan menampilkan serangkaian pameran besar seni rupa
bernafaskan Islam di Indonesia dalam rangka Festival Istiqlal pada tahun 1991
diharapkan dapat merangsang-suburkan mekarnya satu bentuk kesenian atau kebudayaan
yang berkarakter nasional dan mempunyai identitas Indonesia, di samping bentuk dan
gaya seni rupa lainnya.
64
3.7 Konsep Pameran Seni Rupa Modern
Dalam Festival Istiqlal pertama ini, draf awal konsep kegiatan pameran seni rupa
modern yang diajukan oleh tim 7, meliputi dua konsep materi pameran yang diajukan:
1. Karya seni rupa (lukisan, grafis, patung, keramik, tapestri, ukiran) yang
diciptakan dalam nafas dan suasana Islam; umumnya kaligrafi Arab. Karya yang
dibuat baik berciri kaligrafi Arab atau Islam maupun non kaligrafi.
2. Karya seni kaligrafi Arab atau Islam murni yang diciptakan berdasarkan kaidah
khat (anatomi) sesuai fan (gaya) nya masing-masing.
Disebut pameran kaligrafi murni, karena dalam pameran seni rupa jenis ini, akan
menampilkan kaligrafi yang khas sesuai khat (anatomi), fan (gaya) yang ada dalam dunia
seni tulis indah, seperti jenis Naskhi, Thulus, Al-Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan
Raihani. Sumber karya khat dapat diambil dari hasil mengadakan satu sayembara
kaligrafi Islam Indonesia secara nasional. Dari karya utama khattat (kaligrafer) yang
terdapat di Indonesia dan dari Malasyia dan Brunnei Darussalam karena itu bentuk
pameran dapat terdiri dari 3 macam kelompok. Pertama, hasil karya dari sayembara
kaligrafi terdiri dari karya pemenang dan sekelompok pilihan dari karya peserta. Kedua,
karya dari peserta bebas, tanpa sayembara. Mungkin dari karya juri atau khattat senior
lainnya. Ketiga, karya undangan dari khattat di Malasyia dan Brunei Darussalam.
Materi dan teknis penyajian seni rupa modern dalam Festival Istiqlal ini dibagi ke
dalam beberapa bentuk seperti:
1. Pameran kelompok yang diikuti oleh sejumlah seniman dari seluruh Indonesia
secara nasional.
2. Pameran Tunggal atau Berdua, atau Bertiga yang dipilih dan ditunjuk oleh
panitia.
3. Pameran karya seniman dari Malasyia, dengan undangan khusus.
65
Pameran kelompok, adalah peserta yang diundang khusus oleh panitia, yang terdiri
dari seniman dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan lain- lain. Kepada peserta
diinformasikan gagasan serta tema yang diminta, yaitu karya yang bernafaskan ’tamadun
Islam’. Undangan dikirimkan kepada kurang lebih 100 seniman, dan diharapkan dapat
diikuti kurang lebih sekitar 50 seniman. Karya terdiri dari lukisan, seni grafis, gambar,
patung, relief, keramik dan seni tapestri.
Gambar 3.2
Sumber: Katalog Seni Rupa Modern Festival Istiqlal-1991
Karya lukisan kaligrafi Ahmad Sadali pada Festival Istiqlal I-1991 Sumber: Katalog Seni Rupa Modern Festival Istiqlal-1991
Sementara konsep pameran tunggal berdua atau bertiga, mengundang beberapa
seniman senior, dengan kriteria yang berprestasi, yang otentik, khas dan masih aktif,
untuk dapat mengadakan pameran tunggal atau berdua atau bertiga. Dengan tema yang
sama, jumlah karya diusulkan sekitar 50-75 buah. Karya dipamerkan terpisah dari
pameran bersama yang 50 orang. Kemudian pamran tunggal, berdua, atau bertiga ini
dapat membuat katalognya sendiri atau disponsori oleh panitia pusat Festival Istiqlal.
66
Memang dari banyaknya peserta yang diundang dalam pameran seni rupa modern
yang bernafaskan Islam tersebut, rata-rata para seniman menampilkan karya-karya seni
Islam yang berwujud pada masalah kaligrafi. Masalah dan pengaruh kuat seni lukis
kaligrafi sebagai penanda karakter seni Islam, bagi A. D Pirous disebabkan pada faktor
kebudayaan Islam pra-modern. Lebih jauh pada persoalan ini Pirous menjelaskan:
”Untuk beberapa daerah, makam -makam kuno merupakan khazanah yang kaya sekali berbagai ukiran kaligrafi yang terungkap dalam bentuk pahatan pada batu nisannya (Aceh, Gresik, Madura). Disamping itu khusus untuk daerah Jawa Barat (Cirebon), ditemukan pula suatu bentuk pengungkapannya mempunyai kaitan yang kuat sekali dengan kaligrafi, yaitu seni lukis yang teknik penggambarannya di atas kaca. Teknik ini diduga asal mulanya dari Tiongkok. Dalam bentuk lukisan kaca ini, terlihat beberapa latar belakang kebudayaan yang saling mempengaruhi dan mengisi. Karya-karyanya mencerminkan semacam sinkretisme antara pengaruh Hindu, China, Islam dan unsur asli daerah itu sendiri; yang tampil dengan dengan bentuk-bentuk tokoh wayang yang diciptakan dari susunan kaligrafi Islam dan diperkaya dengan unsur ornamen yang dipengaruhi oleh China. Tema yang demikian selain dilukis di atas kaca juga banyak dibuat dengan teknik relief dangkal di atas kayu jati”. (A.D Pirous: 1991).
Namun, hasil dari karya-karya tersebut di atas setidaknya dilakukan pada saat
penyebaran agama, atau tujuan dakwah, yang disponsori oleh pemuka-pemuka agama
saat itu (Sunan Gunung Jati, sekitar abad ke-17). Semua yang telah tadi disebutkan
merupakan bentuk-bentuk kaligrafi yang dikerjakan oleh seniman tradisional, baik berupa
seni rakyat ataupun yang sedang didukung oleh penguasa, yang dihasilkan pada masa
lalu, yang sebagian besar masih berjalan dan sebagian sudah semakin langka. (A.D
Pirous :1991).
67
Gambar 3.3
Sumber: Katalog Seni Rupa Modern Festival Istiqlal-1991 Salah satu karya seniman Rusmadi dengan medium seni cetak pada Festival Istiqlal1991
Utamanya, memahami penjelasan seni rupa modern bernafaskan Islam pada
Festival Istiqlal 1991. Bagi Setiawan Sabanna dan Mamannoor peristilahan itu
mengandung pengertian sekaligus berhadapan dengan tiga dunia persoalan (Set iawan
Sabanna & Mamannoor :1991).
Pertama, seni rupa modern yang hendaknya dipahami sebagai suatu bagian
kepentingan dari konstelasi dunia seni rupa secara menyeluruh. Dalam pengertian ini,
praktik seni rupa modern Indonesia secara tidak langsung mendapa tkan pengaruh yang
kuat dari lahirnya nilai-nilai modernitas dan universalisme dalam seni rupa modern di
Barat. Kedua, Indonesia dalam bagian kepentingan yang menyangkut masalah
kebudayaan dan pola keseniannya. Secara tidak terpisahkan, bahwa kelangsungan
kegiatan praktik -praktik kesenian tradisional dan etnik Indonesia dan seni rupa modern
merupakan kenyataan yang tumbuh dan saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiga,
adalah Islam sebagai salah satu agama dan sepak terjangnya pengaruhnya terhadap
kebudayaan Indonesia. Di sini dimengerti, secara integral bahwa pengaruh Islam pada
pola kehidupan dan kebudayaan Indonesia merupakan kenyataan konstruk sejarah dan
68
kolonialisasi. Sehingga pengucapan Seni Rupa Indonesia yang bernafaskan Islam
sesungguhnya menjadi tiga kepentingan dalam satu kepaduan. Setidaknya, di seputar
itulah dasar dan pemikiran Panitia Bidang Seni Rupa Modern Festival Istiqlal 1991 ketika
memulai bekerja.
Adapun materi karya yang ditampilkan pada Festival Istiqlal I 1991, dapat dibagi ke
dala m kelompok berikut ini:
1. Seni Lukis
2. Seni Grafis
3. Seni Tapestri
4. Seni Fotografi
5. Seni Keramik
6. Seni Trimatra atau Patung
Seni lukis terdiri dari dari berbagai media, seperti kanvas, kertas, kaca, kain batik,
dan lain- lain. Corak karya yang disuguhkan meliputi kaligrafi arab. Figuratif dan non
figuratif serta kecenderungan abstrak. Media karya meliputi cat minyak, cat air, akrilik
dan gouache, pastel-crayon serta bahan-bahan lain. Seni grafis karya seni terdiri dari
berbagai teknik pengungkapan sdan teknik pengarapan. Seluruhnya adalah hasil kerja
seni mencetak, cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar dan cetak saring. Beberapa di
antaranya mencoba penggabungan teknik. Seni tapestri ditampilkan dalam bentuk dan
teknik serta ukuran yang beragam. Bahan dasar pengolahan karya tapestri adalah benang.
Berbagai teknik pengolahan benang ini melalui jalinan, anyaman, ikat dan tenun. Selain
itu tampak adanya upaya penempelan aksesori dan berbagai bahan untuk memperkaya
bentuk dan ungkapan.
Seni fotografi merupakan satu unsur keragaman dalam perbendaharaan seni rupa
modern saat ini di Indonesia. Bahkan penggabungan karya seni fotografi ke dalam materi
seni rupa modern pada saat ini menjadi pergelaran pertama di Indonesia. Seni keramik
ditampilkan dengan keragaman bentuk dan teknik. Secara umum materi karya seni
keramik modern disuguhkan dalam bentuk kualitas unsur bahan dan teknik pembakaran
serta pewarnaan. Sementara keterangan seni patung adalah karya seni rupa tiga dimensi
69
non-keramik. Karya-karya ini menampilkan keragaman bahan dan teknik. Pada segi
bahan, meliputi logam, batu, kayu, fibre dan penggabungan beberapa bahan. Beberapa
teknik umum yang digunakan dalam bentuk -bentuk perwujudan, di antarnya teknik cor,
cetak, las dan pahat.
Tabel 3.1
Sumber: Katalog Seni Rupa Modern Festival Istiqlal I 1991 (Disarikan oleh penulis)
FESTIVAL ISTIQLAL I – 1991 PAMERAN SENI RUPA MODERN No. Seniman Tempat/Lahir Pendidikan Kategori Karya Keterangan 1. Yetmon Amir Bukittinggi
9 Desember 1963
ASRI-Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
2. Dedi Suardi Bandung 19 Maret 1940
B-II ASRI-Yogya
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
3. Abay Subarna Garut Seni Rupa ITB Sorbonne-Prancis
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
4. Sudianto Aly Medan 15 Desember 1954
Arsitektur UNPAR
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
5. Agoes Noegroho
Semarang 17 April 1957
FSRD-ITB Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
6. Chusnul Hadi Surabaya 16 Juni 1962
IKIP-Yogyakarta Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
7. Syaiful Adnan Saningbakar 5 Juli 1957
STSRI-Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
8. Hendra Buana Bukittinggi 10 Oktober 1963
FSRD-Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
9. M.Zainudin ZA
Jepara 16 April 1964
IKIP-Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
10. Musthofa Zain
Lamongan 13 Maret 1962
FT-UII Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
11. Abdul Ghofar Pasuruan 24 Mei 1955
ASRI-Yogya Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
12. Salamun Kaulam
Tuban 9 Juli 1954
Seni Rupa-Yogya
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
13. Amang Rahman
Surabaya 20 November 1931
Otodidak Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
14. A.D Pirous Meulaboh 11 Maret 1933
Seni Rupa ITB School of Art and Design Rochester USA
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
15. Samsudin Dayat
Cimahi 6 Mei 1942
Seni Rupa ITB Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
16. Ahmad Sadali (Alm)
Garut 26 Juli 1924
Seni Rupa ITB Universitas Iowa-City New York
Seni Kaligrafi Islam Subject-matter Al-Qur’an
70
17. Acep Zamzam Noor
Tasikmalaya 28 Februari 1960
Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Objek figuratif
18. Mustofa Zaim Yogyakarta 13 Maret 1962
FTT-UII Yogya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
-
19. Hajar Pamadhi
Yogyakarta 22 Juli 1964
IKIP-Yogya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Rajah
20. Suwarna Bantul 27 Juli 1952
FPBS IKIP-Yogya
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Objek figuratif
21. Sarnadi Adam Jakarta ASRI-Yogya Seni Lukis Umum
(non kaligrafi) Objek figuratif
22. Arby Samah 1 April 1933 ASRI-Yogya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif (gaya cubism)
23. Irhash A.Shamad
30 Juli 1958 IAIN-Padang Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Objek figuratif dan kaligrafi (Surat Yunus)
24. Amril M.Y 24 April 1950 IKIP-Padang Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Kaligrafi (Surat Yaasin)
25. Suatmadji 25 Maret 1952 Seni Rupa ITB Bandung
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
26. Imam Muhadjir
3 Juli 1947 IKIP-Malang Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
27. Hatta Hambali
8 Agustus 1948 ASRI-Yogya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstraksi (pohon)
28. Farida Srihadi 3 Juli 1942 Seni Rupa ITB Ohio University
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
abstrak
29. Srihadi Soedarsono
4 Desenber 1931
Seni Rupa ITB Ohio University
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstraksi kaligrafi (Alif Lam Mim)
30. Popo Iskandar 17 Desember 1927
Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
31. Umar 11 November 1948
Seni Rupa IKIP Bandung
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
32. Heyi Ma’mun 22 April 1952 Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
33. Erna Pirous 7 September 1941
Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstraksi
34. Barli Sasmitawinata
18 Maret 1921 Academic Grande de la Chaumiere, Paris
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif (gaya cubism)
35. Dede Eri Supria
29 Januari 1956 ASRI-Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya realism (realistik-fotografi)
36. Makhfoed 10 Mei 1942 IKIP Surabaya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstraksi
37. Probo 21 Agustus 1959
SMSR - Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Kaligrafi (syahadat)
38. A. Chusnan 1947 ASRI Surabaya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
39. M. Sattar 19 November 1952
IKIP Malang Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Kaligrafi (la illaha illallahu)
40. Dwijo Sukatmo
20 Agustus 1950
ASRI Surabaya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
41. Rusli 1916 Art Department Seni Lukis Umum Gaya abstrak
71
Shantiniketan, University of Rabindranath Tagore
(non kaligrafi)
42. Mamannoor 21 Agustus 1957
Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
43. Suharto PR 15 Juli 19... ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Landscape (realistik)
44. Agus Kamal 31 Juli 195 6 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
45. Umi Dachlan 13 Agustus 1942
Gerrit Rietveld Kunstacademi Amesterdam
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Gaya abstrak
46. M. Pramono I.R
17 Agustus 1962
ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Realistik-Fotografi
47. Wardoyo 29 April 1935 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
48. Agus Burhan 8 April 1960 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
49. Widayat 19 Maret 1923 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
50. Fadjar Sidik 30 Februari ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
51. Susapto Murdowo
5 Mei 1956 IKIP Yogyakarta Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
52. Arfial Arsad Hakim
11 Juli 1950 Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Landscape
53. S. Bardi 17 Agustus 1944
ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
54. Nasjah Djamin
1924 - Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Landscape
55. Lian Sahar 1933 Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
56. Banu Arsana 17 Maret 1954 ISI Yogyakarta Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Kaligrafi
57. Suwaji 5 Mei 1942 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
58. Nanna Banna 22 Februari 1942
IKIP Bandung Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Figuratif
59. Luckman Sjarifuddin K
29 Juli 1945 SMSR - Yogya Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
60. Achmad Sopandi
15 Februari 1958
IKIP - Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
61. Ady Rosa 23 Juli 1952 Seni Rupa ITB Bandung
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
62. Adi Munardhi 10 Desember 1946
ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstraksi (potret ibu)
63. Guntur Siregar
3 Agustus Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (Karyawan Direktorat Pariwisata Jakarta)
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Abstrak
72
64. Hassan Siregar
- Otodidak dari Alm. Wakidi
Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Landscape
65. Agung Wiwekaputra
1947 Seni Rupa ITB Seni Lukis Umum (non kaligrafi)
Landscape
66. Setiawan Sabana
10 Mei 1951 Northen illinois University, AS
Seni Grafis Abstrak
67. Mukhrizal 29 Juli 1965 Seni Rupa ITB Seni Grafis Kaligrafi 68. Wagiono 20 Mei 1949 Pratt Institute,
AS Seni Grafis Abstrak
69. Herry
Wibowo 8 Juni 1943 Frije Academie
Den Haag, Belanda
Seni Grafis Abstraksi (Buroq)
70. Ahmad Kurnia
26 Juli 1943 Seni Rupa ITB Seni Grafis Kaligrafi (Al-Qur’an)
71. Rusmadi 17 April 1946 Seni Rupa ITB Seni Grafis Cukil kayu, Abstraksi
72. Sukamto 13 Maret 1945 Akademi Seni Rupa, Rotterdam
Seni Grafis Abstraksi Cukil kau dan kolase
73. Anna Zuchriana
6 November 1966
IKJ - Jakarta Seni Grafis Abstraksi (kaligrafi Qur’an)
74. Deni Rusanto 30 Mei 1965 IKJ - Jakarta Seni Grafis Abstrak (cukilan Lino)
75. Jimmy Ivan Suhendro
1 Agustus 1968 IKJ - Jakarta Seni Grafis Figuratif (Buroq) Cetak saring
76. Bambang Arief
- Seni Rupa ITB Seni Grafis Abstrak (cetak dalam)
77. Hidayat 18 Mei 1944 IKIP Bandung Seni Grafis Abstraksi (cukil kayu)
78. Fuad Solehudin
5 Juli 1966 Seni Rupa ITB Seni Grafis Abstrak (etsa)
79. M. Watoni Soeid
29 Juli 1963 ISI Yogyakarta Seni Grafis Abstrak (cukil kayu)
80. Mukhrizal 19 Juli 1956 Seni Rupa ITB Seni Grafis Abstrak 81. Hardiyono 22 Agustus
1942 ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Kaca -
82. Sunarto 30 Agustus 1947
Seni Rupa ITB Seni Lukis Kaca Abstrak
83. Tapip Bachtiar
20 Desember 1964
IKIP Bandung Seni Lukis Kaca Kaligrafi
84. Achmad Sjafi’i
27 Mei 1957 STM Dekorasi Jepara
Seni Lukis Kaca Figuratif wayang dan kaligrafi Qur’an
85. Suyanto 4 Januari 1956 STSRI ASRI Yogyakarta
Seni Lukis Kaca Kaligrafi Qur’an
86. Sumadi 24 April 1954 STSRI Yogya Seni Lukis Kaca Kaligrafi Qur’an 87. Subandi SR 3 Maret 1968 STSRI Yogya Seni Lukis Kaca - 88. Sumbar PS 12 Januari 1961 STMN
Purwakarta Seni Lukis Kaca -
89. Rastika Gegesik 1942 Sekolah Rakyat Gegesik
Seni Lukis Kaca Kaligrafi Qur’an
90. Soegeno Desember 1942 Seni Rupa ITB Seni Lukis Kaca Figuratif Kaca
73
Toekio 91. Bambang
Ernawan - Seni Rupa ITB Seni Lukis Kaca Abstrak
92. A.N Suyanto 12 Januari 1947 ASRI Yogya Seni Lukis Batik Kaligrafi (Allah) 93. Tulus Warsito 10 Oktober
1953 ASRI Yogya Seni Lukis Batik Kaligrafi
(Bismillah) 94. Mahyar 15 November
1948 ASRI Yogya Seni Lukis Batik Figuratif
95. Koeboe Sarawan
29 Juni 1961 ISI Yogya Seni Lukis Batik -
96. Amri Yahya 29 September 1939
ASRI Yogya Seni Lukis Batik Kaligrafi (Qur’an)
97. Lengganu 31 Maret 1942 Seni Rupa ITB Tapestri Figuratif 98. Zaini Rais 17 Januari 1960 Seni Rupa ITB Tapestri Abstrak
geometris 99. Yusuf Affendi 5 Agustus 1936 Rochester
Institut of Technology, AS
Tapestri Abstrak geometris
100. Hasanudin 8 Maret 1948 Seni Rupa ITB Tapestri Abstrak geometris
101. Risman Marah
3 Mei 1951 ASRi Yogya Fotografi Figuratif
102. Sukarman 7 Juli 1946 IKIP Bandung Fotografi Landscape 103. B.Soehardjo 11 November
1920 K.W.S Jakarta Fotografi Figuratif
104. Hamid Rusli 10 November Universitas TI Surabaya
Fotografi Figuratif
105. Fendi Siregar 17 November 1949
Fakultas Publisistik Bandung
Fotografi Figuratif
106. Donny Rachmansyah
25 Juni 1958 Seni Rupa ITB Fotografi Landscape
107. Kusnadi 1 April 1921 AMS A. Sastra Timur
Fotografi Arsitektur mesjid
108. Anas Siregar 12 Agustus 1943
SMA Al-Wasliyah Medan
Fotografi Figuratif
109. Alfonzo 6 Februari 1955 Seni Rupa ITB Fotografi Abstrak geometris
110. Sjuaiban Iljas 14 Maret 1954 ATPU-Bandung Fotografi Figuratif 111. Herman
Effendi 8 Juli 1956 ASTI Bandung Fotografi Objek teater
penari 112. Ed Zoelverdi 12 Maret 1943 - Fotografi Figuratif 113. Hari
Krishnadi 25 April 1950 Fakultas Hukum
Unpad Fotografi Stil life (alam
benda) 112. Bonzan Eddy 29 Agustus
1952 Seni Rupa ITB Keramik Abstrak
113. Bambang Prasetyo
20 Mei 1950 Seni Rupa ITB Keramik Patung Keramik
114. Asmudjo Jono Irianto
26 September 1962
Seni Rupa ITB Keramik Piring Keramik
115. Indros 24 Juni 1942 ASRI Yogya Keramik - 116. M. Eksan 1 Januari 1959 IKIP Malang Keramik Patung Keramik 117. Suratman 10 November
1944 ASRI Yogya Keramik Padaringan dan
kaligrafi 118. Ferry 12 Februari Seni Rupa ITB Keramik Patung Keramik
74
Pharama 1961 119. Rizki Zaelani 27 Desember
1965 Seni Rupa ITB Keramik -
120. Mardiatmo 5 Oktober 1957 UNS Surakarta Keramik Patung Keramik 121. Noor Sudiyati 4 November
1962 ISI Yogya Keramik -
122. Sidarto 21 April 1940 Seni Rupa ITB Keramik Padaringan 123. Fauzan 6 Januari 1962 Seni Rupa ITB Keramik Padaringan 124. Hendrawan R 15 Januari 1959 Seni Rupa ITB Keramik - 125. Suhaeni
Barmawi 14 Desember 1938
Tajimi Design Japan
Keramik -
126. Mon Mudjiman
- ISI Yogya Trimatra Medium perunggu
127. Muria Zuhdi 20 Mei 1960 ISI Yogyakarta Trimatra Kaligrafi-Fiber 128. Herry PH 22 November
1963 ISI Yogya Trimatra Kaligrafi-Kayu
129. Sukasman 10 April 1937 ASRI Yogya Trimatra Wayang-Kulit 130. Edy Subagiyo 20 Januari 1964 ISI Yogyakarta Trimatra Kaligrafi Al-
Fatihah, medium kayu
131. Narsen Afatara
11 Juli 1950 ISI Yogya Trimatra Patung, medium fiberglass
132 Ramelan 10 November 1939
ASRI Yogya Trimatra Kaligrafi, kayu jati
133. Kuswa Budiono
5 September 1954
Seni Rupa ITB Trimatra Medium: kayu, logam, resin
134. Arsono 7 Februari 1940 Seni Rupa ITB Trimatra Medium: painted steel
135. Amrizal Salayan
8 Oktober 1958 Seni Rupa ITB Trimatra Medium: fiberglass
136. Sulbi 9 Mei 1955 Seni Rupa ITB Trimatra Medium: kayu 137. Rusnandi 13 Mei 1958 Seni Rupa ITB Trimatra - 138. Bernauli
Pulungan 17 Juni 1958 IKJ Jakarta Trimatra Medium: batu,
kayu, dan fiberglass
139. Sunaryo 15 Mei 1943 Seni Rupa ITB Trimatra Medium: kayu dan tembaga
140. Soehadji 11 September 1944
ASRI Yogya Trimatra Medium: kayu
Dalam data Festival Istiqlal I 1991 di atas, dapat dilihat sebagai catatan bagaimana
kecenderungan subject matter kaligrafi (Qur’an atau teks suci) dalam gagasan seni rupa
Islam, hampir selalu menyisip pada karya-karya lukisan, fotografi, patung, keramik dan
lain- lain. Pilihan subject matter kaligrafi dengan demikian seolah menjadi perhatian
utama.
75
Gambar: 3.4 Pemikir Kebudayaan dan Juru Bicara Islam terhadap Barat Seyyed Hossein Nasr (kiri), saat Festival Istiqlal digelar.
Sumber: Arts & The Islamic Worlds, 1996, Islamic Art Foundation-London
Sementara itu, berbeda dengan Festival Istiqlal yang I 1991. Dalam Festival Istiqlal
II 1995, penyajian materi karya pameran menggunakan pendekatan yang lebih konseptual
sekaligus tematis. Meliputi tiga kelompok utama:
1. Tema kaligrafi, yaitu karya dwi-matra (dua dimensi) maupun tri-matra (tiga
dimensi) yang menghadirkan unsur kaligrafi secara mandiri maupun dilatari unsur
lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media,
dan teknik.
2. Tema representasi, yakni karya dwi-matra (dua dimensi) maupun tri-matra (tiga
dimensi) yang menghadirkan wujud nyata alam dan anasirnya (antropomorfis,
zoomorfis, dan biomorfis) serta benda buatan dalam situasi, kondisi, dan peristiwa
tertentu dengan penampilan sebagai gaya pengungkapan dan berbagai media serta
teknik.
76
3. Tema non-representasional, yakni karya dwi matra (dua dimensi maupun tri-
matra (tiga dimensi) yang tidak menghadirkan wujud nyata dari alam dan
anasirnya (antromorfis, zoomorfis, dan biomorfis) serta benda-benda buatan yang
mengingatkan sesuatu dengan penampilan berbagai gaya dan media, serta teknik.
Jika Festival Istiqlal pertama hanya didominasi dan lebih banyak mengundang
seniman-seniman muslim lokal Indonesia saja. Maka berbeda dengan Festival Istiqlal
yang kedua, panitia mengundang seniman yang bertaraf nasional bahkan internasional.
Seniman dari luar tersebut diantarnya mewakili negara-negara seperti: Malasyia,
Pakistan, Lebanon, Jordan, Singapura, Sudan, Palestina, Mesir, Tunisia, dan lain- lain.
Akibatnya pada Festival Istiqlal yang kedua ini, para peserta pemaran meledak menjadi
167 seniman.
Gambar: 3.5
Bill Clinton bersama Tarmizi Taher, upaya mengenalkan Islam Indonesia terhadap Barat Sumber: Arts & The Islamic Worlds, 1995, Islamic Art Foundation-London
77
Gambar: 3.6
Presiden Soeharto dan Sejumlah Menteri pada era orde baru di Festival Istiqlal Sumber: Arts & The Islamic Worlds, 1996, Islamic Art Foundation-London
Tabel 3.2
Perbedaan dan Persamaan Festival Istiqlal I dan II Festival Istiqlal I 1991 Festival Istiqlal II 1995 Materi Karya seni lukis, seni grafis, seni
keramik, fotografi, tapestri, dan seni patung
seni lukis, seni grafis, seni keramik, fotografi, tapestri, performance art dan seni patung
Medium dan Teknik
cat minyak, akrilik, kanvas, water colour, kertas, ballpoint, crystal coat, silkscreen, kayu, lino, hardboard cut, kaca, batik, tapestri, tanah liat, perunggu, tembaga, fiberglass, kulit, nikel, cetak warna.
cat minyak, akrilik, kanvas, water colour, kertas, ballpoint, crystal coat, silkscreen, kayu, lino, hardboard cut, kaca, batik, tapestri, tanah liat, perunggu, tembaga, fiberglass, kulit, nikel, painted iron (patung), marble, collage, waste, duco paint, tempera, almunium, engraving, etsa, metal, colour print, montage, cetak warna.
Tema kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape, alam benda (still life), lukisan photo-realism, arabesque dan geometri.
kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape, alam benda (still life), lukisan photo-realism, arabesque dan geometri.
Peserta Nasional (lokal) Nasional-Internasional Pakistan, Mesir, Libanon, Malasyia, Singapura, Palestina, Sudan, Tunisia, Bangladesh dan Jordan.
Jumlah 140 Seniman 167 seniman
78
Gambar: 3.7
Potret luar Mesjid Istiqlal Sumber: Arts & The Islamic Worlds, 1996, Islamic Art Foundation-London
Gambar: 3.8
Potret dalam Mesjid Istiqlal Sumber: Arts & The Islamic Worlds, 1996, Islamic Art Foundation-London
79
Kemudian baik Festival Istiqlal I 1991 maupun Festival Istiqlal II 1995, dasar
seleksi seniman dan karya menggunakan tiga tingkatan seleksi yang diatur oleh panitia
tim 7 diantaranya ialah (Machmud Buchori :2007):
1. Seniman yang harus muslim
2. Subject matter tentang Islam
3. Berdasar pada tradisi Islam (syari’at).
Tabel 3.3 Latar Belakang Kronologis Seni Rupa Modern Indonesia Bernafaskan Islam
Sumber: Kertas Kerja Tim 7
No Latar Belakang Kronologis Seni Rupa Modern Indonesia Bernafaskan Islam
Keterangan
1. Bentuk ’Seni Lukis Kaligrafi Arab’
Gaya seni lukis kaligrafi ini, telah dipelopori kelahirannya oleh beberapa pelukis modern Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Kegiatan pameran yang dijalankan sehubungan dengan gaya seni lukis kaligrafi ini dimulai diawal tahun tujuh puluh.
2. ’Pameran Besar Seni Lukis Kaligrafi’ MTQ ke-11 tahun 1979, di Semarang
Pameran MTQ di Semarang pada tahun 1979 yang diikuti oleh 26 pelukis. Pameran pada tahun 1979 ini diadakan pameran seni lukis bernafaskan Islam (Pameran Kaligrafi Nasional), di Semarang. Sehubungan dengan MTQ XI. Karya yang dipamerkan sebanyak 120 buah dari 26 seniman mencakup (lukis, grafis, keramik, ukiran dan tapestri).
3. ’Pameran Lukisan Kaligrafi’ pada MTQ ke-21 tahun 1981, di Aceh
pada tahun 1981, diadakan pameran lukisan kaligrafi dan Mesjid di Banda Aceh, sehubungan MTQ ke XXI, diikuti oleh 45 seniman dengan 255 karya (lukisan kaligrafi dan fotografi.
4. ’Pameran Lukisan Kaligrafi’ pada MTQ ke-13, di Padang
tahun 1983, pameran lukisan kaligrafi di MTQ ke XIII, Padang, diikuti oleh 28 seniman dengan 75 karya.
5. ’Pameran Kaligrafi’, tahun Hijriah 1425H Tahun 1984
Pada tahun 1984 diadakan pameran lukisan kaligrafi menyambut tahun baru Hijriah 1425H , diikuti oleh 8 pelukis di Jakarta oleh Yayasan Ananda
6. ’Pameran Gaya Seni Lukis Kaligrafi’ Arab, oleh 5 pelukis s enior pada tahun 1985
Kemudian pada tahun 1985, untuk pertama kali 5 orang pelukis senior Indonesia yang mendukung gaya seni lukis kaligrafi Arab ini, berkesempatan berpameran di Timur Tengah. Pameran ini mendapat kesan pertama tentang seni lukis bernafaskan Islam untuk pertama kali di luar negeri.
7. ’Pameran Kaligrafi Islam Indonesia’ Tahun 1987
Pada tahun 1987, pameran kaligrafi Islam Indonesia, di Mesjid Istiqlal diikuti oleh 32 seniman.