bab ii tinjauan umum tentang dakwah dan dinamika...
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH
DAN DINAMIKA SOSIAL
2.1. Tinjauan Umum Tentang Dakwah
2.1.1. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari
bahasa Arab yang berarti panggilan, ajakan dan seruan.
Dalam Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim
masdar. Kata ini berasal dari fi'il (kata kerja) artinya,
memanggil, mengajak, atau menyeru.33 Tetapi mengingat bahwa
proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses
penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula
istilah mubaligh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator
untuk menyampaikan pesan (message) kepada pihak komunikan.34
Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan
tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu
yang berupa ajakan atau seruan.
Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka dakwah
berarti suatu kegiatan untuk membina umat manusia agar mentaati
ajaran Islam, baik dilakukan melalui lisan, tulisan maupun lukisan
33 Asymuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya; 1983, hlm.
117 34 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, CV. Gaya Media Pratama, Jakarta; 1987, hlm. 31
20
juga cara-cara lain, sehingga mereka mendapat kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. Jadi, dakwah merupakan perjuangan hidup untuk
menegakkan dan menjunjung syariat Islam dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam dapat menjiwai dan
mewarnai secara mendasar dalam segala aspek dan tingkah laku.
2.1.2. Dakwah Sebagai Sebuah Sistem
Pada hakekatnya, menurut Amrullah Ahmad, dakwah
merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam
suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan
yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa,
berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan
individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan
terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan
menggunakan cara tertentu.35
Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah dengan
realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan,36 pertama,
dakwah mampu memberi output terhadap lingkungan dalam arti
memberi dasar filosofi, pemahaman, dorongan dan pedoman
perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru.
Kedua, dakwah dipengaruhi oleh dinamika masyarakat dalam
arti eksistensi, corak dan arahnya. Dalam konteks ini, pemahaman
atas dakwah sejauh mungkin harus bisa berkembang, seiring dengan
35 Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Kerangka pendekatan dan Permasalahan, Prima Duta, Yogyakarta; 1983, hlm. 2
36 Ibid., hlm. 3
21
perubahan masyarakat yang terjadi. Dakwah harus diposisikan sebagai
aktivitas spiritual dan sosial praksis,37 karena aktualitas dakwah
setidaknya ditentukan oleh perkembangan dan sistem sosio-kultural
masyarakat.
Strategi dakwah yang tepat memerlukan pertimbangan sosio-
kultural, sehingga nilai-nilai agama yang murni dan universal dapat
dirasakan sebagai ajaran yang akrab dengan problematika masyarakat,
serta moral agama dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Keterkaitan dengan masalah duniawi, kesanggupan memberi solusi
atas berbagai masalah dan kepekaan dalam merekayasa masa depan
manusia tergantung telaah dan manusia pemahaman manusia akan
perubahan masyarakat yang semakin berkembang, maju dan modern.
Dalam hal ini penulis akan menguraikan unsur-unsur dakwah
yang meliputi subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah, media
dakwah, dan materi dakwah sebagai sebuah sistem yang saling
berkaitan dan berkesinambungan, yakni:
37 Secara historis-teoritis, pemaknaan dakwah telah terjadi penyempitaan dan perluasan
pengertiannya. Secara ketata-bahasaan, dakwah dan padanannya dalam teks al-Qur’an naskah Ustmani, banyak yang dipakai untuk mengacu pada pengertian tabligh. Di sisi lain, pemahaman bahwa kedudukan nabi sebagai Rasulullah adalah pemberi kabar gembira, sedangkan hidayah itu hanya milik Tuhan, semakin memperkuat pemaknaan dakwah tidak lebih dari sekedar tabligh. Pada fase berikutnya, perluasan dari pemaknaan dakwah telah sampai pada orientasi pengembangan masyarakat (muslim), antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Dengan pemaknaan dakwah yang terus mangalami perkembangan tersebut, pola dakwah dapat mengambil bentuk dakwah kultural, politik dan ekonomi. Karena istilah dan pemaknaan dakwah tidak pernah mendapatkan definisi yang eksplisit dari nabi, baik dari perilakunya maupun ucapannya seperti: istilah puasa, sholat dan haji. Maka, pemaknaan dakwah itu sendiri merupakan proses ijtihad. Lihat Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003, hlm. 11-26
22
a. Subyek Dakwah
Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah,
yaitu orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT, baik secara
individu maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus
sebagai pemberi informasi dan misi.
b. Obyek Dakwah
Manusia sebagai obyek dakwah atau sasaran dakwah
adalah salah satu unsur yang penting dalam berdakwah, yang tidak
kalah pentingnya dibandingkan dengan unsur-unsur dakwah yang
lain. Oleh sebab itu, masalah obyek dakwah seharusnya dipelajari
secara sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah
yang sesungguhnya.
c. Metode Dakwah
Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh
seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu Al-Islam
atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.38
Berhasil atau tidaknya usaha dakwah tidak hanya
tergantung dari macam-macam metode dan efisiensinya, akan
tetepi tergantung pula pada orang yang melaksanakan metode
tersebut (the man behind the gun) orang yang ada dibelakang
senjata. Selain orang yang melaksanakan metode itu, ditentukan
38 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitiaan Ilmu Dakwah, Logos, Jakarta; 1997, hlm. 34
23
pula oleh peranan cara memilih metode itu sendiri. Dalam setiap
usaha dakwah da’i harus memilih dan menentukan macam metode
yang akan dipakai. Seorang da’i harus sadar bahwa metode
dimanapun selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan
zaman. Dan harus diinsafi bahwa metode dakwah yang tidak tepat
penggunaannya, tidak hanya membuang tenaga yang percuma saja,
tetapi juga menambah jauhnya obyek dakwah terhadap da’i
tersebut.39
Penggunaan metode ini sudah tersirat dalam Al-Qur'an
surat An-Nahl ayat 125, yang kemudian diterangkan oleh Asmuni
Syukir sebagai berikut :40
1. Metode ceramah ; yaitu suatu teknik atau metode dakwah yang
banyak diwarnai oleh karakteristik bicara oleh da'i (mubaligh)
pada suatu aktifitas dakwah. Metode ini digunakan ketika
sasaran atau obyek dakwah berjumlah banyak.
2. Metode tanya jawab ; yaitu penyampaian materi dakwah
dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk
menyatakan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti dan
da'i (mubaligh) nya sebagai penjawabnya.
3. Metode debat (mujadalah) ; yaitu mempertahankan pendapat
dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui
39 Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang;
1992 hlm. 51 40 Asmuni Syukir, Loc.Cit.,hlm. 104-157
24
kebenaran dan kehebatannya oleh musuh. Metode ini akan
efektif apabila digunakan pada mereka yang membantah akan
kebenaran Islam.
4. Metode percakapan antar pribadi (percakapan bebas) ; yaitu
percakapan bebas antara seorang da’i dengan individu-individu
sebagai sasaran dakwahnya. Percakapan pribadi bertujuan
untuk menggunakan kesempatan yang baik di dalam
percakapan atau mengobrol untuk aktivitas dakwah.
5. Metode demonstrasi ; yaitu metode dakwah dengan cara
memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda, perbuatan
dan sebagainya. Metode ini bertujuan agar sasaran dapat
mengerjakan dan mengamalkan suatu pekerjaan dengan benar
dan bermanfaat.
6. Metode pendidikan dan pengajaran agama ; metode ini pada
dasarnya adalah membina dan (melestarikan) fitrah anak yang
dibawa sejak lahir, yakni fitrah beragama (perasaan ber-
Tuhan).
7. Metode mengunjungi rumah (silaturrahmi / home visit) ;
metode ini efektif dilaksanakan dalam rangka mengembangkan
maupun membina umat Islam. Dengan adanya beberapa
metode dakwah di atas, para da'i (mubaligh) dituntut untuk
bijaksana dalam menggunakan dan menerapkannya sesuai
dengan keadaan dan lingkungan daerah dimana Islam
25
disebarkan.
d. Media Dakwah
Yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat
obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan
umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam
totaliteit dakwah.
Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai
alat bantu dakwah, atau yang popular di dalam proses belajar
mengajar disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti
media dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai
penunjang tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya
media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.41
Hamzah Ya’qub (1992:47) mengklasifikasikan media
dakwah dalam beberapa bentuk, yaitu : 42
1. Lisan; termasuk dalam bentuk ini ialah khutbah, pidato,
ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah, nasihat,
pidato-pidato radio, ramah tamah dan anjang sana, obrolan
secara bebas setiap ada kesempatan, yang kesemuanya
dilakukan dengan lidah atau bersuara.
2. Tulisan; yaitu dakwah yang dilakukan dengan perantaraan
tulisan umpamanya, buku-buku, majalah-majalah, surat-surat
41Ibid, hlm. 164 42 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung; 1992, hlm. 47
26
kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamplet,
pengumuman-pengumuman tertulis, spanduk-spanduk dan
sebagainya. Da'i yang spesial dibidang ini harus menguasai
jurnalistik yakni ketrampilan mengarang dan menulis.
3. Lukisan; yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film
cerita dan lain sebagainya. Bentuk terlukis ini banyak menarik
perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan
suatu maksud ajaran yang ingin disampaikan kepada orang
lain, termasuk umpamanya komik-komik bergambar yang
dewasa ini sangat disenangi anak-anak.
4. Audio visual; yaitu suatu cara penyampaian yang sekaligus
merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk itu
dilaksanakan dalam televisi, sandiwara, ketoprak wayang dan
lain sebagainya.
5. Akhlak ; yaitu suatu cara penyampaian langsung ditunjukkan
dalam bentuk perbuatan yang nyata, umpamanya, menziarahi
orang sakit, kunjungan ke rumah bersilaturrahmi,
pembangunan masjid dan sekolah, poliklinik, kebersihan,
pertanian, peternakan dan lain sebagainya.
e. Materi Dakwah
Materi dakwah dan kadang-kadang pula disebut ideologi
dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal
pada dua pokok ajaran yaitu Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah
27
SAW. Oleh karena itu, seorang da'i tidak boleh menyimpang dari
kedua pokok yang menjadi materi dakwah ini. Rasulullah SAW
dalam berdakwah menjadikan Al Qur'an (wahyu Allah) itu sebagai
materi inti. Setiap Rasulullah berdakwah selalu membawakan
firman Allah dan menyampaikan pula penjelasannya. Segala kata-
kata dan perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan
dari al-Qur’an dipandang sebagai sunnah (hadits).43
Menurut Asmuni Syukir, materi dakwah dapat
diklasifikasikan dalam tiga hal pokok, yaitu :
1. Aqidah, yaitu yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan
terhadap Allah SWT. Dan ini menjadi landasan yang
fundamental bagi seluruh aktivitas seorang muslim.
2. Syari’ah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas
manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan
kehidupannya, mana yang boleh dilakukan, dan mana yang
tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram, mana
yang mubah dan sebagainya. Dan ini menyangkut hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
sesamanya.
3. Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara
vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horisontal dengan
sesama manusia dan makhluk-makhluk Allah.44
43 Ibid., hlm. 29. 44 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm. 60-63.
28
2.2. Tinjauan Umum Tentang Dinamika Sosial
2.2.1. Tantangan Modernisasi
Perkembangan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan
dan tehnologi (Iptek) terutama tekhnologi komunikasi dan informasi,
serta transportasi internasional telah berdampak pada perubahan
sendi-sendi etika dan moralitas kehidupan antar bangsa berkaitan
dengan dinamika perubahan ini, menurut Amin Rais,45 adalah
terjadinya semacam homogenisasi budaya pada tingkat dunia.
Sedangkan akar proses homogenisasi itu barangkali dapat dilacak
dari kekuatan ekonomi kapitalis internasional yang mengarah pada
ekonomi dunia yang kurang lebih kapitalistis.46
Dinamika sosial dan perubahan kebudayaan yang
dipengaruhi oleh media dan tekhnologi informasi, sebagaimana
diungkapkan oleh Munir Mulkhan,47 berfungsi mempromosikan hal
yang makrufat (kebaikan) ataupun maksiat tergantung siapa yang
mendominasi keduanya. Di tengah suguhan iklan yang dalam doktrin
keagamaan klasik dipandang maksiat pada jam-jam laris, muncul
berbagai lirik lagu yang bersumber dari syair keagamaan, selain
tayangan dialog spiritual pada saat orang-orang tertidur lelap. Produk
45 M. Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Mizan, Bandung;
1998, hlm. 145 46 Istilah Kapitalistis berasal dari kata capital yang berarti penanaman modal. Artinya
kapital merupakan satu metode untuk menarik keuntungan dengan mempergunakan peluang yang dimiliki untuk kepentingan sendiri. Lihat Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia jakarta; 1992, hlm.97. pembahasan tentang kapitalisme dapat juga dilihat pada Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, diterjemahkan Funky Kusnaidi Timur, Mitra Pustaka, Yogyakarta; 2001, hlm. 145-158
47 Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit., hlm. 308-309
29
hiburan dan humorpun terus marak yang selain bernuansa norak
penuh eksploitasi daya seksual tetapi tayangan tersebut juga
menyuguhkan kritik sosial dan spiritual.
Menurut Arkoun yang dikutip oleh Suadi Putro, istilah
modernisasi berasal dari bahasa latin modernus yang pertama kali
dipakai di dunia kristen pada masa antara tahun 490-500 yang
menunjukkan perpidahan dari masa Romawi Lama ke periode
masehi.48
Terlepas dari kapan modernisasi itu lahir, yang perlu
digaris-bawahi adalah penyebutan tahap perkembangan sejarah
manusia yang berlangsung sekarang ini sebagai “zaman modern”
bukannya tanpa masalah. Wujud keterkaitan antara segi tekhnologi
dan bentuk-bentuk kemasyarakatan yang diacu sebagai pendorong
utama umat manusia memasuki gelombang modernisasi adalah
Revolusi Perancis sosial politik di Perancis dan Revolusi Industri
(tekhnologi) di Inggris.49
Deliar Noer mengungkapkan bahwa modernisasi
merupakan proses yang bersifat jangka panjang, dari perubahan-
perubahan sosial dan budaya yang diakui serta diterima oleh
masyarakat bersangkutan sebagai sesuatu yang memberikan manfaat,
sesuatu yang tidak dapat dielakkan, ataupun sesuatu yang diinginkan;
tetapi sebaliknya juga mungkin sebagai sesuatu yang ingin dijauhkan.
48 Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina, Jakarta; 1998, hlm. 42
49 Ibid., hlm. 43
30
Perkembangannyapun ditandai oleh peningkatan mobilitas geografis
dan mobilitas sosial, penyebaran pendidikan serta ilmu pengetahuan,
transisi dari status yang dibawa lahir pada status yang diperoleh
sebagai prestasi dan perjuangan, serta peningkatan kehidupan
material. Dengan kata lain; pembangunan dalam arti sesungguhnya.50
Era modernisasi merupakan pertemuan dan gesekan nilai-
nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa
komunikasi, informasi, tekhnologi dan sebagainya, termasuk ilmu
pengetahuan. Pertemuan dan gesekan ini akan melahirkan kompetisi
liar yag saling mempengaruhi dan dipengaruhi, saling bertentangan
dan bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau keadaan bekerja
sama yang menghasilkan sintesa dan antitesa baru. Contoh sederhana
yang mungkin dapat sedikit menggambarkan keberadaan modernisasi
ini adalah adanya telepon seluler atau handphone (HP). Alat kecil
yang super canggih ini dapat menjembatani komunikasi seseorang
dengan orang lain yang hanya memerlukan sekian detik untuk dapat
memberikan informasi dari tempat dan budaya yang berbeda.
Dalam konteks ini baik secara langsung maupun tidak
langsung akan terjadi pertemuan, gesekan atau bahkan kompetisi
pergeseran nilai-nilai budaya. Disini kemudian muncul asumsi dan
penilaian bahwa meskipun kemajuan sebagaimana yang
dikumandangkan modernisasi itu netral sebagaimana dikatakan A.
50 Deliar Noer, Op.Cit., hlm. 154
31
Qodry Azizy bahwa yang dominan pasti akhirnya adalah dominasi itu
sendiri.51 artinya, modernisasi dapat berupa alat dan bisa pula
diartikan sebagai ideologi. Alat oleh karena merupakan wujud
keberhasilan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, terutama dibidang
komunikasi. Ketika modernisasi sebagai alat maka ia adalah sesuatu
yang netral. Ini berarti modernisasi mengandung nilai-nilai positif.
Sebaliknya, modernisasi juga mengandung nilai-nilai yang
bersifat negatif. Modernisasi yang ditawarkan sebagai ideologi
memiliki makna tersendiri yang netralitasnya dipertanyakan. Oleh
karena itulah wajar kalau kemudian masyarakat dan komunitas
tertentu menolaknya atau bahkan menentangnya. Sebab tidak jarang
akan terjadi benturan nilai, antara yang dibawa modernisasi dan nilai
yang terkandung dalam doktrin-doktrin keagamaan termasuk agama
Islam. ketika bermakna ideologi itulah modernisasi harus direspon
sedemikian rupa oleh dogma dan nlai-nilai keagamaan.
Deliar Noer juga menambahkan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, modernisasi, disatu sisi tidak harus
menghilangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tradisional.
Walaupun di sisi lain nilai-nilai modernisasi tumbuh dan berkembang
dengan pesat. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, selama nilai-
51 A. Qodry A.Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan
SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003, hlm. 20
32
nilai prinsipil tetap berlaku kapan dan di mana saja, tetapi nilai-nilai
teknis bisa berubah, tergantung pada masa dan tempat.52
Masyarakat modern yang sering disepadankan dengan
masyarakat industri mulai mengubah alat produksi dengan
memanfaatkan jasa ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) menjadi
mesin-mesin tekhnologi. Belakangan mesin-mesin ini juga mulai
berubah tidak lagi berupa benda-benda fisik, melainkan kemampuan
managerial. Bahkan iptek itu sendiri di belakang hari juga telah
berubah menjadi alat produksi, selain sebagai barang komoditi yang
diperjual-belikan. Arah perubahan ini tentunya berpengaruh bagi
pengubahan pola keberagamaan kaum santri.53
Menurut Kuntowijoyo, didalam masyarakat modern yang
bertekhnologi tinggi, manusia menghadapi mekanisme kerja. Alat-alat
produksi baru yang dihasilkan oleh tekhnologi modern dengan proses
mekanisasi, otomatisasi, dan standarisasinya, ternyata menyebabkan
manusia cenderung menjadi elemen yang mati dari proses produksi.
Tekhnologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk pembebasan
manusia dari kerja ternyata telah menjadi alat perbudakan baru. Dalam
konteks demikian, maka kedudukan manusia mengalami degradasi.
Manusia yang tadinya dianggap sebagai pusat alam semesta, kini telah
52 Deliar Noer, Op. Cit., hlm.351 53 Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit,. hlm. 38
33
berubah sekedar sebagai unsur suatu sistem ekonomi atau sistem
politik.54
2.2.2. Pemikiran Islam Kontemporer
Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer,
setidaknya ada lima pemikiran yang menjadi tren besar yang
dominan55 pertama, fundamentalistik, kelompok pemikiran yang
sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya
alternatif bagi kebangkitan umat manusia. Bagi mereka, Islam telah
cukup mencakup tatanan sosial, politik dan ekonami sehingga tidak
butuh metode-metode dan teori hasil karya dari barat. Fokus utama
kegiatan kelompok ini adalah menghidupkan Islam sebagai agama,
budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan kembali kepada
sumber asli (al-Qur’an dan al-Hadist) dan menyerukan untuk
mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana dipraktekkan Rasul dan al-
Khulafa ar-Rasidin. Para pemikir Islam yang mempunyai
kecendrungan tersebut adalah Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, al-
Maududi, Said Hawa, Ziauddin Sardar dan sebagainya. di indonesia
terdapat kelompok seperti Abu Bakar Ba’asier, Ja’far Umar Thalib,
Habib Habsyi.
54 Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung; 1991, hal.162
55Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah ini. Antara lain, isi al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk atau hudan (diantaranya, QS 2: 1), sebagai rahmat untuk alam semesta atau rahmatan li al-‘alamin (QS 21: 107). Ayat lain adalah Ali ‘Imron [3]: 10 yang menegaskan bahwa umat Islam sebagai khayr umma. Namun ada tiga syarat, yakni jika imat Islam mampu (1) ta’muruna bi al-ma’ruf, (2) tanhawa ‘an al-munkar, dan (3) tu’minuna bi Allah. Sedangakan mengajak kepada kebaikan harus mampu mewujudkan konsep dan aplikasi kebaikan; melarang kemungkaran harus mampu memberi alternatif yang baik, disamping memberi teladan kebaikan, dan iman kepada Allah adalah landasan dasarnya
34
Kedua, tradisionalistik (salaf), kelompok pemikiran yang
berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang sudah
mapan.56 Bagi kelompok ini, seluruh persoalan umat telah dibicarakan
secara tuntas oleh para ulama terdahulu, sehingga tugas kita sekarang
hanya menyatakan kembali apa yang pernah dikerjakan mereka.
Namun demikian berbeda dengan kaum fundamentals, kaum
tradisionalis melebarkan tradisi sampai pada salaf al-salih dan tidak
menolak pencapaian modernitas, karena apa yang dihasilkan
modernitas, sains, teknologi, adalah tidak lebih dari apa yang pernah
dicapai umat Islam pada masa lampau. Diantara pemikir muslim yang
memiliki pemikiran ini adalah Husein Nasr, Muthohhari, dan Ismael
Faruqi. Di indonesia, kecenderungan tradisionalistik tersebut terlihat
dalam masyarakat pesantren. Turas (tradisi dengan segala
aspeknya),didalam masyarakat psantren, tidak hanya dinilai sebagai
sesuatu yang sempurna, dan tidak bisa dikritik seperti al-Qur’an, atu
meminjam istilah Arkoun,telah terjadi proses takdis al-afkar ad-
diniyyah (pensakralan pemikiran-pemikiran keagamaan). Pemikiran
tokoh-tokoh seperti asy-Safi’I dan al-Ghazali, yang hidup pada abad
pertengahan, dianggap telah menyelesaikan bergbagai persoalan umat
Islam sampai akhir zaman.
56 Istilah tradisionalisme sendiri pada awalnya digerakkan oleh para pemikir Katolik pada
abad ke-18, yang menuntu pengendalian kembali oleh gereja. Sebab, menurut mereka, masyarakat atau seseorang tidak bisa mengenal kebenaran yang hakiki kecuali atas bimbingan wahyu, dalam hal ini adalah gereja. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta; 1996, hlm 1116
35
Ketiga, reformistik, yakni kelompok pemikiran yang
berusaha merekonstruksi57 ulang warisan budaya Islam dengan cara
memberi tafsiran-tafsiran baru. Menurut kelompok ini, umat Islam
sesungguhnya mempunyai budaya dan tradisi yang bagus dan mapan.
Namun, tradisi dan budaya tersebut harus dibangun kembali secara
baru dengan kerangka modern dan prasarat rasional agar bisa tetap
survive dan diterima dalm kehidupan modern. Kecendrunan pemikiran
ini, misalnya Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya.
Keempat, postradisonalistik, yakni kelompok pemikiran
yang berusaha mendekostruksi warisan-warisan budaya Islam
berdasarkan standar modernitas. Kelompok ini pada satu sisi memiliki
kesamaan pandangan dengan kelompok reformistik, yakni sama-sama
mengakui bahwa tradisi Islam masih relevan untuk era modern selama
ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami sesuai standar modernitas.
Namun, bagi postradisionalistik, relevansi tradisi tersebut tidak cukup
dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif. Bagi kaum
postrdisionalistik, seluruh bengunan Islam klasik harus dirombak dan
dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis.
Tujuannya agar segala yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris
menjadi historis.
57Menurut Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan
Islam berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Lihat A. Khudori Soleh, “Kata Pengantar” Tipologi Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003, hlm. xviii.
36
Para pemikir postrdisionalistik tersebut, pada umumnya
terdiri atas pemikir muslim yang banyak dipengaruhi gerakan
posstrukturalis Perancis dan beberapa tokoh postmodernisme , seperti
De Saussure (linguistik), Levi-Strauss (antropologi), Lacan
(psikologi), Barthes (semiologi), Foucoult (epistimologi), dan
Gadamer (hermeneutika). Kecenderugan dekonstruktif ini tampak
pada pemikir, seperti Arkoun, Jabiri, Abdullah A. Naim, Nasr Hamid
Abu Yazid. Di Indonesia kecenderungan tersebut tampak dikalangan
para pemikir muda NU seperti, Ulil Absar Abdallah, Masdar Farid
Mas’udi, dan sebagian aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia).
Kelima, modernistik, yakni kelompok pemikiran yang
hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang
agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar
praktis. Karakter utama gerakan kelompok ini adalah keharusan
berfikir kritis dalam soal-soal bermasyarakat dan keagamaan,
penolakan terhadap sikap jumud (kebekuan berfikir) dan taqlid.58
Kelompok ini umumnya mengkaji dan dipengaruhi pemikiran
marxisme sperti, Kassim Ahmad, Abdullah Arwi, Fuad Zakaria. Di
Indonesia tampak pada kalangan Muhammadiyah, yang mengklaim
sebagai kelompok modernis.
58 Bambang Sugiarto, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta;
1997, hlm. 29-30.
37
Terlepas dari segala dialektika pemikiran Islam yang
mengusung pembaharuan atas berbagai persoalan sosial, budaya,
politik, filsafat, etika, moral, dan sebagainya. Dalam kaitan ini
peradaban modern sudah menjadi sebuah tantangan sekaligus
ancaman terhadap umat manusia, termasuk didalamnya umat Islam.
dalam banyak hal, umat Islam merasa terikat dengan tradisi sejarah
yang dikembangkan atas dasar ajaran universal dari agama yang
dianutnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktis, peradaban modern
terasa begitu kuat mendesakkan nilai-nilai baru bagi perubahan
pemahaman, sikap dan perilaku manusia.
Secara doktrinal, sebetulnya dapat dilacak relevansi Islam
dengan nilai-nilai modern, dalam pengertian selalu memberi angin
baru didalam horison nilai-nilai kemanusiaan secara lebih luas. Dalam
berbagai kasus, Islam ternyata memberikan landasan yang koprehensif
dalam menawarkan alternatif pemecahan masalah. Dalam kaitannya
dengan wanita misalnya, Islam menilai bahwa wanita mempunyai hak
dan kebebasan yang sama dengan kaum pria.59 Allahpun telah
memberikan petunjuk-Nya: Dan (demi) penciptaan laki-laki dan
perempuan (QS 92: 3).
Pengakuan persamaan hak wanita-pria, kalau dilihat dari
setting sejarahnya, merupakan langkah untuk membebaskan wanita
dari kungkungan tradisi lama yang secara nyata membelenggu hak-
59 Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren –Khasanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern-, Pustaka Hidayah, Bandung; 1999, hlm. 28.
38
hak wanita. Dalam agama Hindu,60 misalnya, dikenal ada tradisi
Shatti.61 Tradisi ini diupayakan untuk dihidupkan kembali oleh
kelompok Hindu fundamentalis. Namun, keinginan itu secara
langsung akan berhadapan dengan hukum India modern yang
diperkenalkan Inggris. Contoh ini menunjukkan bahwa modernitas
seharusnya dipandang tidak terlalu asing bagi kita (umat Islam).
Namun lagi-lagi orang sering bertanya, bahkan mengecam
kepada Islam yang selama ini diperbincangkan itu. Apabila ditanya
tentang bentuk praktis ajaran, Islam tidak pernah menunjukkannya,
kecuali menunjuk pada perjalanan sejarah Nabi Muhammad atau para
Khalifah sesudahnya. Padahal Islam mengklaim sebagai sebuah ajaran
yang diperuntukkan bagi tuntunan, teori dan jawaban kehidupan
manusia, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Wacana-wacana pembaharuan, pembebasan dan revolusi
yang mengemuka dalam konteks pemikiran Islam kontemporer telah
muncul kepermukaan sebagai sebuah keniscayaan historis.62
Mencuatnya wacana ini setidaknya dipicu oleh realitas
keterbelakangan, ketertinggalan dan marginalnya masyarakat Islam
dibandingkan masyarakat lain. Para pemikir Islam mulai gelisah untuk
mencari solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat Islam. dalam
60 Ibid, hlm. 29. 61 Tradisi Shatti adalah sebuah tradisi yang mengharuskan janda wanita terjun ke dalam
api jenazah suaminya, yang dalam sistem kepercayaan mereka bahwa suami-istri kelak di surga akan hidup bersama lagi.
62 M. In’am Esha, Menuju Teologi Pembebasan, dalam Pemikiran Islam Komtemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003, hlm. 85.
39
konteks ini kita mengenal pemikir seperti Hassan Hanafi yang
melahirkan karya al-Yasar, atau Ziaul Haque dengan Revelation and
Revolution in Islam.63
Di Indonesia kita bisa melihat pemikir seperti Abdurrahman
Wahid dengan Tabayun “Pribumisasi Islam, Hak Minoritas,
Reformasi Kultural, A.Qodry A. Azizy dengan Islam dan
Permasalahan Sosial; Mencari jalan keluar, atau dalam Melawan
Globalisasi “Reinterpretasi Ajaran Islam –Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani, Ahmad Syafii Ma’arif dengan
Membumikan Islam, Amrullah Ahmad dengan Dakwah Islam dan
Perubahan Sosial, Nurcholish Madjid dengan Islam Kemodernan dan
Ke-Indonesiaan, Moeslim Abdurrahman dengan Islam sebagai Kritik
Sosial, M. Imdadun Rahmat et.al., dengan Islam Pribumi
“Mendialogkan Agama Membaca Realitas”, Muhammad Sulthon
dengan Menjawab Tantangan Zaman “Desain Ilmu Dakwah”; Kajian
Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, dan sebagainya.64
Oleh sebab itu, jika teks dipaksakan hanya dibaca dalam
kata-katanya sendiri, atau hanya dalam kerangka sejarah
63 Ibid. 64 Abdurrahman Wahid, dikumpulkan oleh M. Saleh Isre, Tabayun Gus Dur “Pribuisasi
Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS, Yogyakarta; 2002, dan Melawan Globalisasi “Reinterpretasi Ajaran Islam –Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Ahmad Syafii Maarif Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 1995, Amrullah Ahmad Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta,Yogyakarta; 1983, Nurcholish Madjid Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Mizan, Bandung; 1987, Moeslim Abdurrahman Islam sebagai Kritik Sosial, Erlangga, Jakarta; 2003, M. Imdadun Rahmat et.al., Islam Pribumi “Mendialogkan Agama Membaca Realitas”, Erlangga, Jakarta; 2003, Muhammad Sulthon Menjawab Tantangan Zaman “Desain Ilmu Dakwah”; Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, Yogyakarta; 2003.
40
perkembangan sosio-kultural dan kesadaran ideologisnya sendiri,
maka Islam tidak muncul dan berkembang. Setiap bahasa simbolik
Islam, untuk memahami makna dan pesannya yang paling dalam
haruslah disekularisasikan65 dan dirasionalkan.66
2.2.3. Konsep Cinta Kasih dalam Islam
Salah satu nama Tuhan adalah Al-Wudud, dan di dalam al-
Qur’an terdapat begitu banyak keterangan tentang Cinta atau hubb,
seperti ayat yang mengatakan, …Maka Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-
Nya (QS Al-Ma’idah [5]: 54). Adalah keyakinan umat Islam bahwa
Allah Maha Mencintai, sebagaimana Dia adalah Maha Pengasih dan
Maha Pemaaf, seperti ditegaskan dalam ayat-ayat berikut ini,
…Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih (QS
Hud [11]: 90) dan, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS Al-Buruj [85]: 14). Bahkan, ketaatan Nabi kepada
perintah Tuhan disebabkan oleh cinta beliau kepada tuhan karena
kitab suci menyatakan, Katakanlah, (Ya Muhammad), “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”…(QS Ali ‘Imron [3]:
31). Salah satu gelar Nabi ternyata, Habib Allah, biasanya
65 Istilah sekularisasi berasal dari kata sekular yang berarti, sesuatu yang bersifat
keduniawian. Sekularisasi merupakan upaya atau kegiatan untuk merebut pemahaman, pandangan tentang sesuatu hal tertentu yang berkaitan dengan hal-hal keduniawian, yang selama ini terikat unsur-unsur kerohanian. Lihat Pius A. Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya; 1994, hlm. 699.
66 Moeslim Abdurrahman, “Kata Pengantar” dalam M. Imdadun Rahmat et.al., Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Erlangga, Jakarta; 2003, hlm. xi.
41
diterjemahkan dengan ‘Teman Allah’, tetapi dapat juga bermakna
‘Kekasih Allah’.67
Penting digarisbawahi bahwa dalam perspektif Islam, Belas
Kasih Tuhan kepada dunia tidak diidentifikasi dengan “penderitaan”,
tetapi diterjemahklan ke dalam cinta. Esensi Tuhan melampaui dunia
atau alam yang bersifat sementara serta makhluk dan Dia tidak dapat
menderita dalam Esensi-Nya disebabkan apa-apa yang terjadi di
dalam alam. Pandangan Islam ini, karenanya, sangat berlawanan
dengan tema “pelayan yang menderita” dalam mesianisme Yahudi
maupun “penderitaan Tuhan” yang dianut oleh sebagian besar aliran
dalam agama Kristen. Seperti telah dijelaskan, dalam perspektif Islam,
Tuhan “cinta atau suka” untuk dikenal, karena itu Dia menciptakan
dunia. Dengan demikian, cinta mengalir keseluruh sel darah alam dan
seperti halnya belas Kasih, cinta tidak terpisahkan dari kehidupan.
Tidak ada ruang kehidupan yang tidak terisi dengan cinta,
bagaimanapun caranya. Orang justru dapat mengatakan bahwa, secara
filosofis, daya tarik tubuh materi antara satu dan lainnya adalah satu
contoh khusus dari prinsip-prinsip universal cinta yang beroperasi
pada level realitas fisik.68
Pada level yang lebih praktis, cinta dalam kehidupan
muslim memiliki contohnya dalam cinta Tuhan kepada Nabi dan cinta
Nabi kepada Tuhan. Bagi manusia, cinta kepada Tuhan mensyaratkan
67 Seyyed Hossen Nasr, the heart of islam (Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan), Mizan, Bandung; 2003,hlm. 251.
68 Ibid., hlm 252-253
42
cinta kepada Nabi, dan cinta kepada nabi serta para wali, yang
merupakan pewaris biologis maupun spiritual nabi, mengharuskan
cinta kepada Tuhan. Lebih jauh, terdapat banyak level cinta yang
alamiah pada manusia: cinta romantis, cinta anak dan orang tua, cinta
keindahan seni dan alam, cinta pengetahuan, dan bahkan cinta
kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran, yang kesemuanya, karena
diarahkan pada dunia, bagaimanapun, dapat membahayakan jiwa.
Dalam pandangan Islam, semua cinta yang bersifat duniawi harus
didasarkan dan tidak dipisahkan dari cinta kepada Tuhan, dan segala
cinta yang menafikan Tuhan dan menjauhkan kita dari Tuhan adalah
suatu ilusi yang dapat menggiring pada keruntuhan jiwa. Para wali
Islam bahkan telah menetapkan doktrin bahwa hanya Cinta Tuhanlah
yang riil dan cinta yang lain hanyalah metafora atau kiasan. Akan
tetapi, cinta metafora ini juga riil pada tatarannya sendiri dan bahkan
merupakan anugerah Tuhan kalau cinta itu dihayati dengan
sebenarnya dan digunakan sebagai tangga untuk mencapai cinta yang
paling riil, yaitu cinta kepada sumber dari segala cinta, Tuhan.69
Dalam tasawuf, cinta sebagai jalan untuk mengenal Tuhan
lebih dekat sekaligus mediator yang banyak diperbincangkan mulai
Rabi’ah al-Adawiyah sampai Jalaluddin Rumi. Sebagai asumsi dasar,
sufisme mengajarkan bahwa Realitas tidak dapat diketahui oleh
metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui
69 Ibid., hlm. 253-254.
43
cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi, intimasi
bersama-Nya biar tercapai. Dari perspektif kaum sufi, sepanjang
“engkau” masih “dirimu sendiri”, engkau tidak dapat mengenal
Tuhan, selubung terbesar antara engkau dan Realitas adalah “dirimu”.
Hanya api cinta Ilahi dapat membakar egosentrisitas. Cinta dalam
tasawuf merupakan bahasan yang paling pokok, sebab menurut kaum
sufi untuk menjadi hamba yang paling ikhlas dalam menjalankan
ibadah diperlukan adanya cinta.70
Walaupun dalam tasawuf, cinta tidak pernah terpisahkan
dari pengetahuan, sebagian aliran lebih menekakan cinta dan sebagian
lagi lebih menekankan pengetahuan. Dalam sejarah Islam awal, aliran
Khurasan di Persia dikenal dengan penekanannya yang khusus pada
cinta dan tokoh-tokohnya seperti Bayazid Busthami, Abu Sa’id Abu
Al-Khair, dan terutama Ahmad Ghazali, yang mengembangkan
keseluruhan bahasa filsafat berdasarkan ‘isq atau cinta yang
mendalam, telah menulis beberapa bait tentang Cinta Tuhan, yang
paling banyak dihafal orang.71
Manifestasi cinta yang begitu meluas dalam religiositas
Islam bukanlah hal yang muncul dari luar Islam, melainkan lebih
disebabkan oleh Islam itu sendiri. Keadaan ini tidak bisa bisa
dihubungkan pada suatu pengaruh asing, seperti juga karya-karya
70 William C. Chillick, Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi
(The Sufi Path of Love,The Spiritual Teachings of Rumi), terj. M. Sadat Ismail & Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta; 2001, hlm. 324.
71 Seyyed Hossein Nasr, Op.Cit, hlm. 254.
44
dalam agama Kristen tentang cinta tidak bisa direduksi hanya
bersumber dari Neoplatonik tanpa mempertimbangkan nuansa cinta
Yesus. Kehadiran literatur tentang Cinta Tuhan dalam jumlah besar
ini, yang ditulis dalam hampir setiap bahasa Islam dari mulai Arab dan
Persia sampai dengan Turki dan Swahili dan begitu juga dalam hampir
seluruh bahasa-bahasa lokal di India dan Asia Tenggara, adalah bukti
luar mengenai pentingnya dimensi cinta dalam kehidupan spiritual
Islam.72
Cinta menurut Kahlil Gibran adalah sebagai penghubung
antar pribadi untuk mengganti sikap-sikap sosial yang negaif. Dalam
hubungan sosial aku-diri memperoleh sesuatu dalam memberikan
sesuatu kepada orang lain atau kehilangan sesuatu dari diri untuk
orang lain tetapi memperoleh kesehatan psikologi dengan hubungan
tersebut dengan tidak merasa kesepian dan terasing. Disini Gibran
berpikiran bahwa prinsip persaudaraan dan cinta sebagai solusi untuk
memantapkan kontak antar subyek yang murni. Seperti ungkapan
Gibran:
“Kita semuanya saling tergantung kepada yang lain dalam
jalinan hukum semesta, sejak purba tanpa ada batas masa. Karena itu
marilah kita hidup ramah dalam suasana saling mencintai.”73
72 Ibid., hlm. 255. 73 Kahlil Gibran, Trilgi Hikmah Abadi (Jubran Khalil Jubran: An-Naby wa Al-Hadiqatu
An-Naby) terj. Adil Abdillah & M. Amin Nasihin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cet. I, 1999, hlm. 135.
45
Oleh karena itu, cinta sangat jelas di dalamnya lebih dari
sekedar kasih dan sayang. Dan di dalamnya ada unsur penekanan
yang membedakan dari kasih sayang. Unsur penekanan itu adalah
sangat ingin bertemu, sangat suka, sangat sayang, sangat kasih dan
sangat tertarik hati. Disamping itu, ada unsur kepada cinta, ini yang
membedakan cinta dan kasih sayang.
46
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dzikron, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, 1992.
Abdurrahman, Moeslim, “Kata Pengantar” dalam M. Imdadun Rahmat et.al.,
Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Erlangga,
Jakarta; 2003.
Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Kerangka
pendekatan dan Permasalahan, Prima Duta, Yogyakarta; 1983.
Azizy, Ahmad Qodry A., Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam
(Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta; 2003.
Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitiaan Ilmu Dakwah, Logos, Jakarta; 1997.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta; 1996.
Chillick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin
Rumi (The Sufi Path of Love,The Spiritual Teachings of Rumi), terj. M.
Sadat Ismail & Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta; 2001.
Esha, M. In’am, Menuju Teologi Pembebasan, dalam Pemikiran Islam
Komtemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003.
Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi (Jubran Khalil Jubran: An-Naby wa Al-
Hadiqatu An-Naby) terj. Adil Abdillah & M. Amin Nasihin, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta; Cet. I, 1999.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung; 1991.
47
M. Echols, Jhon dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, PT.
Gramedia,Jakarta; 1992.
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Mizan,Bandung;
1987.
Mulkhan, Abdul Munir, Strategi Sufistik Semar: Aksi Kaum Santri Merebut Hati
Rakyat, Kreasi Wacana, Yogyakarta; 2003.
Nasr, Seyyed Hossen, the heart of islam (Pesan-Pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan), Mizan, Bandung; 2003.
Noer, Deliar, Islam dan Masyarakat, Yayasan Risalah, Jakarta; 2003.
Partanto, Pius A., Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya;
1994.
Putro, Suadi, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina,
Jakarta; 1998.
Quthub, Muhammad, Islam Agama Pembebas, diterjemahkan Kusnaidi, Funky
Timur, Mitra Pustaka, Yogyakarta; 2001.
Rais, M. Amin, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan,
Mizan,Bandung; 1998.
Siradj, Sa’id Aqiel, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transfomasi Pesantren –Khasanah Pemikiran Islam dan Peradaban
Modern-, Pustaka Hidayah,Bandung; 1999.
Soleh, Ahmad Khudori, “Kata Pengantar” Tipologi Pemikiran Islam
Kontemporer, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela,
Yogyakarta; 2003.
48
Sugiarto, Bambang, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta; 1997.
Sulthon, Muhammad, Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah;
Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta; 2003.
Syukir, Asymuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya;
1983.
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, CV. Gaya Media Pratama, Jakarta; 1987.
Wahid, Abdurrahman, dikumpulkan oleh M. Saleh Isre, Tabayun Gus Dur
“Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS,
Yogyakarta; 2000.
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung; 1992.