bab ii tinjauan teori a. 1. - poltekkes-tjk.ac.idrepository.poltekkes-tjk.ac.id/307/4/5. bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Kebutuhan Dasar
1. Defisi Rasa Aman
Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang
terhindar dari ancaman bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan merupakan
kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak diharapkan karena dapat
menimbulkan kerugian, sedangkan keamanan adalah suatu keadaan aman
dan tenteram. Keselamatan dan keamanan merupakan satu kesatuan yang
saling berhubungan. Tujuan dari pelayanan keperawatan sesungguhnya
adalah menjamin keadaan pasien, keluarga, dan pemberi pelayanan
kesehatan atau perawat terhindar dari risiko keselamatan dan keamanan
(Tarwoto dan Wartonah, 2015).
Kebutuhan rasa aman juga diartikan sebagai adalah kondisi yang
membuat seseorang merasa aman dan ada kaitannya dengan kepastian
untuk hidup bebas dari ancaman bahaya (Maryam, 2013).
Hersey dan Blanchard (1977) mendefinisikan kebutuhan-
kebutuhan keselamatan sebagai pelibatan dengan pemeliharaan diri.
Perlindungan terhadap trauma fisik dalam lingkungan adalah suatu
kebutuhan keselamatan. Douglass (1980) mengartikan sebagai kebebasan
dari situasi penuh tekanan yang terus menerus (Maryam, 2013).
3. Jenis Kebutuhan
Kebutuhan rasa aman dan keselamatan seperti yang dikembangkan oleh
Khalish (1973) dalam Tarwoto dan Wartonah (2015) terdiri dari:
1) Bebas dari bahaya yang disebabkan oleh penyakit.
2) Bebas dari rasa takut.
3) Bebas dari bahan-bahan kimia.
4) Bebas dari bahaya-bahaya yang mengancam tubuh.
5) Bebas dari ancaman psikologis.
6) Bebas dari bahaya-bahaya yang disebabkan oleh suhu.
7
4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kebutuhan Rasa Aman
a. Usia
Pada anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa
yang dilakukan. Pada orang tua atau lansia akan mudah sekali terjatuh
atau kerapuhan tulang.
b. Tingkat kesadaran
Pada pasien koma, menurunnya respons terhadap rangsang, paralisis,
disorientasi, dan kurang tidur.
c. Emosi
Emosi seperti kecemasan, depresi, dan marah akan mudah sekali
terjadi dan berpengaruh terhadap masalah keselamatan dan keamanan.
d. Status mobilisasi
Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran
menurun memudahkan terjadinya risiko injuri atau gangguan
integritas kulit.
e. Gangguan persepsi sensori
Kerusakan sensori akan memengaruhi adaptasi terhadap rangsangan
yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.
f. Informasi/komunikasi
Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca
menimbulkan kecelakaan.
g. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik.
h. Keadaan imunitas
Gangguan imunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang
sehingga mudah terserang penyakit.
i. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih
Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu
penyakit.
8
j. Status nutrisi
Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan
mudah terserang penyakit, demikian sebaliknya, kelebihan nutrisi
berisiko terhadap penyakit tertentu.
k. Tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan
dapat diprediksi sebelumnya.
5. Macam-Macam Bahaya Atau Kecelakaan
a. Di rumah
1) Tersedak.
2) Jatuh.
3) Tertelan alat-alat rumah tangga.
4) Tersiram air panas.
5) Jatuh dari jendela atau tangga.
6) Terpotong.
7) Luka tusuk atau luka gores.
8) Luka bakar.
9) Tenggelam.
10) Terkena pecahan kaca.
11) Terkunci dalam kamar.
12) Jatuh dari sepeda.
13) Keracunan.
b. Di rumah sakit
1) Mikroorganisme.
2) Cahaya.
3) Kebisingan.
4) Temperatur.
5) Kelembapan.
6) Cedera atau jatuh.
7) Kesalahan prosedur.
8) Peralatan medik.
9
9) Radiasi.
10) Keracunan inhalasi, injeksi.
11) Syok elektrik.
12) Asifiksia dan kebakaran.
6. Pencegahan Kecelakaan di Rumah Sakit
a. Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri sendiri
dari kecelakaan.
b. Menjaga keselamatan pasien yang gelisah selama berada di tempat
tidur.
c. Menjaga keselamatan pasien dari infeksi dengan mempertahankan
teknik aseptik, menggunakan alat sesuai tujuan.
d. Menjaga keselamatan klien yang dibawa dengan kursi roda.
e. Menghindari kecelakaan :
1) Mengunci roda kereta dorong saat berhenti.
2) Tempat tidur dalam keadaan rendahdan ada penghalang pada
pasien yang gelisah.
3) Bel berada pada tempat yang mudah dijangkau.
4) Kereta dorong ada penghalangnya.
f. Mencegah kecelakaan pada pasien yang menggunakan alat listrik
misalnya suction, kipas angin, dan lain-lain.
g. Mencegah kecelakaan pada pasien yang menggunakan alat yang
mudah meledak seperti tabung oksigen, dan termos.
h. Memasang label pada obat, botol, dan obat-obatan yang mudah
terbakar.
i. Melindungi pasien dari infeksi nosokomial seperti menempatkan
pasien terpisah antara infeksi dan non infeksi.
j. Mempertahankan ventilasi dan cahaya yang adekuat.
k. Menyiapkan alat pemadam kebakaran dalam keadaan siap pakai dan
mampu menggunakannya.
l. Mencegah kesalahan prosedur; identitas pasien harus jelas.
10
6. Definisi Risiko Infeksi
Infeksi adalah suatu kondisi penyakit akibat masuknya kuman
patogen atau mikroorganisme lain ke tubuh sehingga menimbulkan gejala
tertentu. Apabila pada suatu jaringan terdapat jejas akibat trauma, bakteri,
panas, ataupun bahan kimia, pada jaringan tersebut akan terjadi
peradangan. Kondisi ini ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
lokal, peningkatan permeabilitas kapiler, pembekuan cairan dalam ruang
interstisial, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dam
jaringan, dan pembengkakan sel (Guyton,1993 dalam Wahit, 2016).
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di
dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter dan Perry, 2005).
Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling
berkaitan dalam rantai infeksi. Mikroorganisme yang bisa menimbulkan
penyakit disebut patogen atau agen infeksi, sedangkan mikroorganisme
yang tidak menimbulkan penyakit atau kerusakan disebut asimtomatis.
Penyakit timbul jika patogen berkembang biak dan menyebabkan
perubahan pada jaringan normal. Sedangkan risiko infeksi adalah kondisi
dimana seseorang mempunyai kemungkinan terhadap masuknya virus
penyakit.
7. Cara Penularan Infeksi
Cara penularan infeksi adalah dengan cara kontak langsung, droplet;
udara melalui debu, kulit lepas; alat melalui darah, makanan, cairan
intravena; vektor/serangga melalui nyamuk, lalat,dll.
8. Prinsip dan Tujuan Pencegahan Infeksi
Prinsip pencegahan infeksi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya risiko infeksi mikroorganisme dari lingkungan klien
dan tenaga kesehatan. Sementara tujuan pencegahan infeksi adalah
mengurangu terjadinya infeksi dan memberikan perlindungan terhadap
klien. Tindakan pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara cuci
tangan, memakai sarung tangan, memakai perlengkapan pelindung, dan
menggunakan teknik aseptik.
11
9. Tanda-Tanda Infeksi
Tanda- tanda infeksi secara klinis dapat dilihat pada respons klien, baik
lokal maupun sistemik. Tanda infeksi lokal meliputi
a. Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan tanda yang pertama
terlihat pada daerah yang mengalami infeksi.
b. Kalor atau panas, merupakan sifat dari reaksi infeksi yang hanya
terjadi pada permukaan tubuh.
c. Dolor atau rasa sakit/nyeri, ini terjadi akibat perubahan pH lokal atau
konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung
saraf.
d. Tumor atau bengkak, disebabkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel
dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial.
e. Fungsio laesa atau perubahan fungsi/keterbatasan anggota gerak.
Sementara itu, tanda infeksi sistemik meliputi demam, malaise,
anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan diare (Price dan Wilson,
1994 dalam Wahit, 2016).
10. Tipe Mikroorganisme Penyebab Infeksi
Penyebab infeksi dibagi menjadi empat kategori, yaitu sebagai berikut.
a. Bakteri. Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan
spesies bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan
dapat hidup di dalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah,
makanan, cairan, jaringan tubuh, dan benda mati lainnya.
b. Virus. Virus terutama berisi asam nukleat, karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk diproduksi.
c. Fungi. Fungi terdiri atas ragi dan jamur.
d. Parasit. Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk
kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan artropoda.
12
11. Tipe Infeksi
a. Kolonisasi. Merupakan suatu proses yakni benih mikroorganisme
menjadi flora yang menetap/flora residen. Mikroorganisme bisa
tumbuh dan berkembang biak tetapi tidak dapat menimbulkan
penyakit infeksi terjadi ketika mikroorganisme yang menetap tadi
sukses menginvasi/menyerang bagian tubuh host/manusia yang sistem
pertahanannya tidak efektif dan patogen yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
b. Infeksi lokal. Spesifik dan terbatas pada bagian tubuh yaitu
mikroorganisme yang tinggal.
c. Infeksi sistemik. Terjadi bila mikroorganisme menyebar ke bagian
tubuh yang lain dan menimbulkan kerusakan.
d. Bakterimia. Terjadi ketika ditemukannya bakteri di dalam darah.
e. Septikimia. Multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari
infeksi sistemik.
f. Infeksi akut. Infeksi yang muncul dalam waktu yang singkat.
g. Infeksi kronik. Infeksi yang terjadi secara lambat dan dalam periode
yang lama dapat dalam hitungan bulan atau tahun.
12. Tahapan Proses Infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien
bergantung pada tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme, dan
kerentanan penjamu. Dengan proses keperawatan yang tepat, maka akan
meminimalkan penyebaran penyakit. Perkembangan infeksi memengaruhi
tingkat asuhan keperawatan yang diberikan. Secara umum proses infeksi
adalah sebagai berikut.
13
a. Periode inkubasi
Periode sejak masuknya kuman ke dalam tubuh sampai dengan
munculnya gejala. Lamanya waktu yang dibutuhkan sampai gejala
muncul bervariasi, bergantung pada penyakitnya (Bustan, 1997 dalam
Wahit, 2016). Inkubasi adalah interval antara masuknya patogen ke
dalam tubuh dan munculnya gejala pertama. Seperti flu 1-3 hari,
campak 2-3 minggu, mumps/gondongan 18 hari.
b. Periode prodromal
Periode sejak munculnya gejala umum sampai munculnya gejala
spesifik. Pada masa ini, individu sangat infeksius, yaitu mudah
menularkan atau menyebarkan kuman kepada orang lain. Prodromal
adalah interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik (malaise,
demam ringan, dan keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama
masa ini mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak serta klien
lebih mampu menyebarkan penyakit ke orang lain.
c. Periode sakit
Pada periode ini, gejala spesifik terus berkembang dan menimbulkan
manifestasi pada organ yang terinfeksi dan seluruh tubuh. Lamanya
waktu yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi individu dan
patogenitas kuman. Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang
spesifik terhadap jenis infeksi. Contoh demam dimanifestasikan
dengan sakit telinga, demam tinggi, pembengkakan kelenjar parotid,
dan saliva.
d. Periode konvalensi
Periode ini berlangsungnya sejak menurunnya gejala sampai individu
kembali sehat. Lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada
jenis penyakit dan kondisi individu.
14
13. Mekanisme Pertahanan Tubuh terhadap Infeksi
Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal
tubuh yang tinggal di dalam dan luar tubuh melindungi sesorang dari
beberapa patogen. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan
terhadap agen infeksius. Flora normal, sistem pertahanan tubuh, dan
inflamasi adalah pertahanan nonspesifik yang melindungi terhadap
mikroorganisme.
a. Flora normal. Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang
ada pada lapisan permukaan dan di dalam kulit, saliva, mukosa oral,
dan saluran gastrointestinal. Manusia secara normal mengekskresi
setiap hari triliunan mikroba melalui usus. Flora normal biasanya tidak
menyebabkan sakit tetapi justru turut berperan dalam memelihara
kesehatan. Flora ini bersaing dengan mikroorganisme penyebab
penyakit untuk mendapatkan makanan. Flora normal juga
mengekskresi substansi antibakteri dalam dinding usus. Flora normal
kulit menggunakan tindakan protektif dengan menghambat
multiplikasi organisme yang menempel di kulit. Flora normal dalam
jumlah banyak mempertahankan keseimbangan yang sensitif dengan
mikroorganisme lain untuk mencegah infeksi. Setiap faktor yang
mengganggu keseimbangan ini mengakibatkan individu semakin
berisiko mendapat penyakit infeksi.
b. Pertahanan sistem tubuh. Sejumlah sistem organ tubuh memiliki
pertahanan unik terhadap mikroorganisme. Kulit, saluran pernapasan,
dan saluran gastrointestinal sangat mudah dimasuki oleh
mikroorganisme. Organisme patogen dengan mudah menempel pada
permukaan kulit, diinhalasi melalui pernapasan, atau dicerna melalui
makanan. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan yang
secara fisiologis disesuaikan dengan fungsi dan strukturnya. Berikut
ini adalah mekanisme pertahanan normal terhadap infeksi.
15
Tabel 2.1 Mekanisme pertahanan normal terhadap infeksi
Mekanisme Pertahanan Faktor Pengganggu Pertahanan
Kulit
1. Permukaaan, lapisan yang utuh
2. Penggantian lapisan kulit yang
paling luar
1. Luka abrasi, luka fungsi, daerah
maserasi
2. Mandi tidak teratur
3. Mandi berlebihan
Mulut
1. Lapisan mukosa yang utuh
2. Saliva
1. Pemberian antasida
2. Melambatnya motilitas karena
pengaruh fekal atau obstruksi
karena massa
Vagina
Pada puberitas, flora normal
menyebabkan sekresi vagina untuk
mencapai pH yang rendah.
Antibiotik dan kontrasepsi oral
mengganggu flora normal.
c. Inflamasi. Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan
menghantarkan cairan, produk darah, dan nutrisi ke jaringan
interstisial daerah cedera. Proses ini menetralisasi dan mengeliminasi
patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan memulai cara-cara
perbaikan jaringan tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak,
kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian
tubuh yang terinflamasi. Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul
tanda dan gejala demam, leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah,
dan pembesaran kelenjar limfe. Respons inflamasi dapat dicetuskan
oleh agen fisik, kimiawi, atau mikroorganisme. Respons inflamasi
termasuk hal berikut ini.
1) Respons seluler dan vaskuler atau arteriol yang menyuplai darah
yang terinfeksi atau yang cedera berdilatasi, memungkinkan lebih
banyak darah masuk dalam sirkulasi. Peningkatan darah tersebut
menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala hangat lokal
dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area yang
inflamasi. Cedera menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya
dan akibatnya tubuh mengeluarkan histamin, bradikinin,
prostaglandin, dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan,
16
protein, dan sel memasuki ruang interstisial, akibatya muncul
edema lokal. Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan
jaringan yang terinflamasi meningkatkan tekanan paada ujung
syaraf yang mengakibatkan nyeri. Substansi kimia seperti
histamin menstimuli ujung syaraf. Sebagai akibat dari terjadinya
perubahan fisiologis dari inflamasi, bagian tubuh yang terkena
biasanya mengalami kehilangan fungsi sementara dan kan
kembali normal setelah inflamasi berkurang.
2) Pembentukan eksudat inflamasi akumulasi cairan dan jaringan
mati serta sel darah putih membentuk eksudat pada daerah
inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih seperti plasma),
sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen
(mengandung sel darah putih dan bakteri). Akhirnya eksudat
disapu melalui drainase limfatik. Trombosit dan protein plasma
seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada
tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran.
3) Perbaikan jaringan pada sel yang rusak akhirnya digantikan oleh
sel baru yang sehat. Sel baru mengalami maturasi bertahap
sampai sel tersebut mencapai karakteristik struktur dan bentuk
yang sama dengan sel sebelumnya.
d. Respon imun. Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama
kali akan diserang oleh monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang
akan memicu respons imun. Materi asing yang tertinggal (antigen)
menyebabkan rentetan respons yang mengubah susunan biologis
tubuh. Setelah antigen masuk dalam tubuh, antigen tersebut bergerak
ke darah atau limfe dan memulai imunitas seluler atau humural.
1) Imunitas selular. Ada kelas limfosit T (CD4T) dan limfosit B
(sel B). Limfosit T memainkan peran utama dalam imunitas
seluler. Ada reseptor antigen pada membran permukaan limfosit
CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang reseptor
permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan.
17
Ikatan ini akan mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi
dirinya dengan cepat untuk membentuk sel yang peka. Limfosit
yang peka bergerak ke daerah inflamasi, berikatan dengan
antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik dan
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen.
2) Imunitas humoral. Stimulasi sel B akan memicu respons imun
humoral, menyebabkan sintesis imunoglobulin/antibodi yang
akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel B memori akan
terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
menyintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan
imunitas, sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh
menghadapi invasi antigen.
3) Antibodi. Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi
imunoglobulin A, M, D, E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada
saat kontak awal dengan antigen, sedangkan igG menandakan
infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi merupakan dasar
melakukan imunisasi.
4) Komplemen. Merupakan senyawa protein yang ditemukan
dalam serum darah. Komplemen diaktifkan saat antigen dan
antibodi terikat. Komplemen diaktifkan, maka akan terjadi
serangkaian proses katalitik.
5) Interferon. Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon
akan mengganggu kemampuan virus dalam bermultiplikasi.
14. Upaya Pencegahan Infeksi
Secara umum, upaya pencegahan dan pemeliharaan kesehatan dilakukan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Kegiatan
promotif dapat berupa penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi,
pemeliharaan kebersihan lingkungan, higiene personal, dan perhatian
khusus terhadap penyakit. Salah satu upaya terpenting dalam mencegah
infeksi adalah meningkatkan daya tahan tubuh melalui kegiatan
18
imunisasi. Secara umum, tanggung jawab perawat dalam pencegahan
infeksi antara lain sebagai berikut.
a. Mendidik individu agar terhindar dari infeksi dengan memperkuat
daya tahan tubuh melalui upaya imunisasi, perbaikan nutrisi,
istirahat, dan tidur yang seimbang, menghindari stres serta
mendorong individu untuk melakukan higiene personal dengan
membiasakan diri mencuci tangan dan mandi secara terartur.
b. Membiasakan diri mencuci tangan. Mencuci tangan merupakan
salah satu upaya paling efektif dalam mengontrol infeksi.
Tujuannya adalah untuk membunuh mikroorganisme yang terdapat
pada tangan yang mungkin dapat berpindah ke klien, pengunjung,
peralatan, dan tenaga kesehatan lain.
c. Mencegah penyebaran kuman penyakit melalui tindakan disinfeksi
dan sterilisasi peralatan rumah sakit.
15. Standar pengendalian infeksi
a. Asepsis dan teknik aseptik
Upaya yang digunakan untuk menggambarkan upaya
kombinasi untuk mencegah massuknya mikroorganisme ke dalam
area tubuh manapun yang sering menyebabkan infeksi. Tujuan
dari teknik ini untuk membasmi jumlah mikroorganisme pada
permukaan hidung (kulit dan jaringan), objek mati (alat-alat bedah
dan barang-barang lainnya). Teknik asepsis adalah usaha
mempertahankan kondisi sedapat mungkin bebas dari
mikroorganisme. Terdapat dua jenis teknik asepsis menurut Potter
dan Perry (2009) yaitu asepsis medis dan asepsis bedah.
1) Asepsis medis. Disebut juga teknik bersih, termasuk prosedur
yang digunakan untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme. Mencuci tangan, mengganti linen, dan
menggunakan cangkir untuk obat merupakaan contoh asepsis
medis. Prinsip asepsis medis ini biasanya banyak dilakukan di
rumah.
19
2) Asepsis bedah. Asepsis bedah adalah tindakan teknik steril,
termasuk prosedur yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme dari suatu area. Sterilisasi membunuh semua
mikroorganisme dan spora. Sepanjang fase pengalaman
bedah, prioritas utama bagi semua tenaga adalah pencegahan
komplikasi pasien, yang termasuk melindungi pasien dari
infeksi. Kemungkinan infeksi menurun tajam dengan
kepatuhan yang ketat terhadap prinsip asepsis selama
persiapan praoperatif pasien, tentunya juga dalam prosedur
bedah, dan penyembuhan luka bedah.
Menurut Potter dan Perry (2009) prinsip-prinsip asepsis
bedah adalah sebagai berikut.
1) Objek yang steril tetap steril kecuali bila disentuh oleh benda
yang tidak steril. Prinsip ini memandu perawat dalam
menempatkan objek steril dan bagaimana menggunakan objek
tersebut.
a) Steril menyentuh steril adalah tetap steril, contoh sarung
tangan steril memegang objek di area steril.
b) Steril menyentuh yang bersih menjadi terkontaminasi,
contoh jika ujung spuit atau objek steril lainnya
menyentuh permukaan sarung tangan yang bersih.
c) Steril menyentuh yang terkontaminasi menjadi
terkontaminasi, contoh perawat menyentuh objek steril
tanpa menggunakan sarung tangan steril.
d) Steril yang diragukan dianggap terkontaminasi.
2) Hanya objek steril yang dapat diletakkan di area steril. Semua
peralatan disterilisasikan dengan benar sebelum digunakan.
Objek steril dijaga supaya tetap berada dalam area yang
bersih dan kering. Bungkusan atau wadah tempat objek steril
harus utuh dan kering. Bungkus yang telah sobek, bocor,
basah, atau terbuka adalah tidak steril.
20
3) Objek atau area steril di luar lapang penglihatan atau objek
yang dipegang di bawah pinggang individu adalah
terkontaminasi. Kontaminasi dapat terjadi secara tidak
sengaja dengan melalui penjuntaian bagian dari baju, rambut
yang jatuh, atau sentuhan klien yang tidak diketahui terhadap
objek steril.
4) Objek atau area steril menjadi terkontaminasi karena paparan
yang lama terhadap udara. Perawat menghindari aktivitas
yang dapat mengakibatkan arus udara, seperti gerakan yang
berlebihan atau mengatur kembali linen setelah objek atau
area steril dibuka. Pada saat kemasan steril telah dibuka, maka
penting untuk meminimalkan orang yang lalu lalang di area
tersebut. Mikroorganisme juga dapat berpindah dengan
droplet melalui udara.
5) Pada saat permukaan steril bersentuhan dengan permukaan
yang basah, terkontaminasi, objek atau area steril menjadi
terkontaminasi karena terjadinya kapilerisasi. Jika kelebapan
menjalar melalui pembungkus pelindung kemasan menjadi
basah, perawat harus segera membuang objek tersebut atau
disteril ulang.
6) Cairan mengalir sesuai dengan arah gravitasi. Objek steril
menjadi terkontaminasi jika gravitasi menyebabkan cairan
yang terkontaminasi mengalir di atas permukaan objek steril.
7) Bagian tepi dari area atau wadah steril dinyatakan
terkontaminasi.
b. Antiseptik
Antiseptik adalah upaya pencegahan infeksi dengan cara pembunuhan atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh
lainnya. Antiseptik adalah proses menurunkan jumlah mikroorganisme
pada kulit, selaput lendir/jaringan tubuh langsung dengan menggunakan
21
bahan antimikrobial antiseptik. Kriteria pemilihan antiseptik adalah
sebagai berikut.
1) Aksi yang luas (menghambat mikroorganisme secara luas [gram
positif, negatif, Tb,fungi,endospora]).
2) Efektivitas.
3) Kecepatan aktivitas awal.
4) Efek residu: aksi yang lama setelah pemakaian untuk merendam
pertumbuhan kuman.
5) Tidak mengakibatkan alergi.
6) Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang.
Contoh antiseptik adalah sebagai berikut
a) Alkohol (60-90%).
b) Cetrimide/klorheksidin glukonat (2-4%), contoh hibiscrub,
hibitane.
c) Klorheksidin glukonat 2%, dan lain-lain.
Mikroorganisme adalah agen penyebab infeksi termasuk bakteri,
virus, fungi, parasit. Pencegahan infeksi bakteri dibagi tiga yaitu
vegetatif, mikrobakteria contoh tuberkulosis, dan endospora (sulit
dibunuh dikarenakan lapisan pelindungnya).
c. Sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
semua mikroorganisme pada benda mati/instrumen dengan cara uap air
panas, tekanan tinggi, panas kering/oven, sterilan kimia, atau radiasi.
Sterilisasi merupakan tindakan membunuh kuman patogen dan apatogen
beserta sporanya pada alat-alat perawatan dan alat-alat kedokteran dengan
cara merebus, memberikan panas tinggi, atau menggunakan bahan kimia.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan sterilisasi antara lain
sebagai berikut.
1) Sterilisator harus dalam keadaan siap pakai.
2) Peralatan harus bersih dan masih berfungsi.
22
3) Peralatan yang dibungkus harus diberi label yang jelas dengan
mencantumkan nama, jumlah, serta tanggal dan jam sterilisasi.
4) Peralatan harus disusun sedemikian rupa sehingga seluruh bagian alat
dapat disterilkan.
5) Waktu sterilisasi setiap jenis peralatan harus tepat.
6) Tidak boleh menambah peralatan lain ke dalam sterilisator sebelum
waktu sterilisasi selesai.
7) Peralatan yang sudah steril harus dipindahkan ke tempatnya dengan
menggunakan korentang steril.
8) Saat mendinginkan peralatan steril, jangan membuka bungkusnya.
9) Bila peralatan dalam keadaan terbuka, harus disterilkan kembali.
d. Disinfeksi dan disinfektan tingkat tinggi
Disinfektan tingkat tinggi adalah tindakan untuk menghilangkan
semua mikroorganisme kecuali endospora bakteri pada benda mati dengan
cara merebus dan mengukus penggunaan disinfektan kimiawi. Disinfektan
yaitu bahan kimia yang membunuh/menginaktivasi mikroorganisme,
seperti klorin pemutih 0,5% untuk dikontaminasi permukaan yang lebar,
klorin 0,1% untuk DTT kimia, glutaraldehida 2% bisa digunakan DTT
kimia/sterilisasi kimia, dan fenol/klorin.
Disinfeksi adalah tindakan membunuh kuman patogen dan
apatogen tanpa disertai sporanya pada alat-alat perawatan atau pada
permukaan jaringan dengan menggunakan bahan disinfektan atau dengan
cara mencuci, mengoles, merendam, dan menjemur peralatan. Tujuan
disinfeksi adalah mencegah terjadinya infeksi pada tindakan invasif
(misalnya pemasangan kateter, infus, dan lain-lain). Langkah disinfeksi
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Mencuci. Peralatan yang kotor dicuci dengan sabun, kemudian
dibersihkan dan dibasahi dengan alkohol 70%. Untuk membersihkan
luka kotor, siram luka dengan perhidrol atau H2O3 3%, dan antiseptik.
Sementara untuk membersihkan kulit sebelum dilakukan tindakan
23
operasi, oleskan larutan iodium tinktur 3% dilanjutkan dengan alkohol
70%. Vulva dibersihkan dengan sublimat 1/1.000, PK 1/1.000.
2) Mengolesi. Peralatan dibersihkan dengan cara diolesi disinfektan.
3) Merendam. Tangan direndam dengan lisol 0,5%. Peralatan direndam
dengan lisol 0,5%. Peralatan direndam dengan lisol 3-5% selama ± 2
jam, sedangkan alat tenun direndam dengan lisol 3-5% selama 24 jam.
4) Menjemur. Alat tenun, kasur, bantal, peralatan (misal urinal, pispot)
dijemur di bawah sinar matahari.
e. Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan
bahwa petugas kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda
seperti peralatan medis, sarung tangan, dan meja pemeriksaan yang telah
terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh.
24
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada pasien diabetes melitus dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan rasa aman: pencegahan infeksi :
a. Identitas Klien (meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, status kawin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
no. MR, dan diagnosa medis)
b. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah alasan seseorang mencari pertolongan.
Keluhan utama yang ditemukan pada pasien diabetes melitus
adalah adanya gatal pada kulit dan luka yang tidak sembuh-
sembuh.
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian riwayat penyakit sekarang yang mendukung
keluhan utama pada pasien dengan gangguan integritas kulit
adalah nyeri, luka tidak sembuh-sembuh, susah untuk
melakukan aktivitas (Kozier dkk, 2011).
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang mendukung
dengan mengkaji apakah pernah menderita penyakit kulit,
adanya riwayat memar, kondisi kulit secara umum, lesi
kulit, dan proses penyembuhan luka yang telah terjadi pada
pasien (Kozier dkk, 2011).
c. Pemeriksaan Fisik
Tabel 2.2 Pengkajian Luka berdasarkan Barbara Bates Jensen
Jenis Pengkajian Tanggal Tanggal Tanggal
1. Ukuran Luka 1 = PxL<4cm
2 = PxL>4<16cm
3 = PxL>16<36cm
4 = PxL>36<80cm
5 = PxL>80cm
2. Kedalaman 1 = Ada kerusakan
jaringan tetapi kulit utuh.
2 = Terdapat kawah
25
/lubang superfisial,
abrasi, lepuh atau
dangkal.
3 = Kawah dalam dengan
atau tidak adanya
terowongan.
4 = Visualisasi lapisan
jaringan bukan karena
nekrosis.
5 = Tampak jaringan
penyokong termasuk
tendon dan sendi.
3. Tepi Luka 1 = Samar, tidak jelas
terlihat.
2 = Batas tepi terlihat,
menyentuh dengan dasar
luka.
3 = Jelas, tidak menyatu
dengan dasar luka.
4 = Jelas, tidak menyatu
dengan dasar luka, tebal.
5 = Jelas, fibrotik, parut
tebal/hyperkeratonic.
4. GOA (Luka
Yang Ada
Dibawah
Jaringan Serat)
1 = Tidak ada.
2 = Goa<2cm diarea
manapun.
3 = Goa 2 sampai
4cm<50% pinggir luka.
4 = Goa 2 sampai
4cm>50% pinggir luka.
5 = Goa>4cm di area
manapun.
5. Tipe Jaringan
Nekrosis
1 = Tidak ada.
2 = Putih atau abu-abu
jaringan mati dan atau
slogh yang tidak lengket
(mudah dihilangkan).
3 = Slogh mudah
dihilangkan.
4 = Lengket, lembut dan
ada jaringan parut palsu
berwarna hitam (black
eschar)
6. Jumlah Jaringan
Nekrosis
1 = Tidak tampak
2 = <25% dari dasar luka
3 = 25% hingga 50% dari
dasar luka
4 = >50% hingga <75%
dari dasar luka
5 = 75% hingga 100%
dari dasar luka
7. Tipe Eksudate 1 = Tidak ada
2 = Bloody
3 = Serosanguineous
4 = Nerous
26
5 = Purulent
8. Jumlah
Eksudate
1 = Kering
2 = Moist
3 = Sedikit
4 = Sedang
5 = Banyak
9. Warna Kulit
Sekitar Luka
1 = Pink atau normal
2 = Merah terang jika
ditekan
3 = Putih atau pucat
hipopigmentasi
4 = Merah gelap/ abu-
abu
5 = Hitam atau
hiperpigmentasi
10. Jaringan yang
Edema
1 = Nosweling atau
edema
2 = Non pitting edema
<4mm disekitar luka
3 = Non pitting edema
>4mm disekitar luka
4 = Pitting edema <4mm
disekitar luka
5 = Krepitasi atau pitting
edema >4mm
11. Pengerasan
Jaringan Tepi
1 = Tidak ada
2 = Pengerasan <2cm
disebagian kecil sekitar
luka
3 = Pengerasan 2-4cm
menyebar <50% di tepi
luka
4 = Pengerasan 2-4cm
menyebar ≥50% di tepi
luka
5 = Pengerasan >4cm di
tepi luka
12. Jaringan
Granulasi
1 = Kulit utuh atau stage
1
2 = Terang 100%
jaringan granulasi
3 = 50% jaringan
granulasi
4 = Granulasi 25%
5 = Tidak ada jaringan
granulasi
13. Epitalisasi 1 = 100% epitalisasi
2 = 75%-100%
epitalisasi
3 = 50%-75% epitalisasi
4 = 25%-50% epitalisasi
5 = <25% epitalisasi
Skor Total
Paraf dan Nama Petugas
27
(Sumber : Febrianti dalam Jurnal Keperawatan UI, 2012)
Menurut Carville (1998) dalam Maghfuri (2016), pengkajian
luka sebagai berikut:
1) Tipe luka
Terdapat dua tipe luka yaitu luka akut dan luka kronik.
Luka gangren pada pasien diabetes melitus merupakan tipe
luka kronik.
2) Tipe penyembuhan
a) Primery Intention, jika terdapat kehilangan jaringan
minimal dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan
jahitan, plaster. Jaringan parut yang dihasilkan
minimal.
b) Delayed Primary Intention, jika luka terinfeksi atau
mengandung benda asing dan membutuhkan
pembersihan intensif, selanjutnya ditutup secara primer
pada beberapa waktu kemudian.
c) Secondary Intention, penyembuhan luka terlambat dan
terjadi melalui proses granulasi, kontraksi dan
epotalization. Jaringan parut luas.
d) Skin Graft, skin graft tipis dan tebal digunakan untuk
mempercepat proses penyembuhan luka dan
mengurangi risiko infeksi.
e) Flap, pembedahan relokasi kulit dan jaringan subkutan
pada luka yang berasal dari jaringan terdekat.
3) Kehilangan jaringan
Menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau
stadium kerusakan jaringan kulit.
a) Superfisial: luka sebatas epidermis
28
b) Parsial: luka meliputi epidermis dan dermis
c) Penuh: luka meliputi epidermis, dermis, dan subkutan.
Mungkin juga melibatkan otot, tendon, dan tulang.
4) Penampilan klinik
Tampilan klinis luka dapat dibagi berdasarkan dasar warna
luka antara lain:
a) Hitam atau nekrotik: eschar mengeras dan nekrotik,
kering atau lembab, dan avaskularisasi.
b) Kuning atau sloughy: jaringan mati yang fibrous,
kuning dan slough, luka terkontaminasi, terinfeksi, dan
avaskularisasi.
c) Merah atau granulasi: dasar warna luka merah, lembab,
bersih, vaskularisasi baik, mudah berdarah, terdapat
lapisan epitalisasi (lapisan merah muda), dan fase akhir
proses penyembuhan.
d) Terjadi epitelisasi
e) Kehijauan atau terinfeksi yaitu terdapat tanda-tanda
klinis infeksi seperti nyeri, panas, bengkak, kemerahan
dan peningkatan eksudate.
5) Lokasi
Lokasi luka mempengaruhi peoses penyembuhan luka.
Lokasi luka di area persendian cenderung lebih lambat
sembuh karena cenderung banyak bergerak (siku, lutut,
kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan akan
lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan
lebih cepat di area wajah.
6) Ukuran luka
Pengukuran luka dilakukan dengan pengukuran tiga
dimensi dengan mengkaji panjang, lebar, dan kedalaman.
Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan lidi
kapas steril untuk menilai adanya goa dengan mengukur
29
searah jarum jam. Penggunaan tidak dilakukan berulang
kali untuk menghindari infeksi nosokomial.
7) Eksudate
Hal yang perlu diperhatikan tentang eksudate adalah jenis,
jumlah, warna, konsistensi dan bau.
a) Jenis eksudate serous: cairan berwarna jernih
b) Jumlah: sedikit, sedang, banyak.
c) Warna: berhubungan dengan jenis eksudate.
d) Konsistensi: berhubungan dengan jenis eksudate,
sangat bermakna pada luka yang edema.
e) Bau: berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi
luka oleh cairan tubuh. Bau mungkin berhubungan
dengan proses autolisis jaringan nekrotik pada balutan.
f) Kulit sekitar luka: adanya edema, benda asing,
dermatitis, warna, suhu, dan pulsasi.
g) Nyeri: pastikan apakah nyeri berhubungan dengan
penyakit, pembedahan, trauma, infeksi atau benda
asing.
8) Klasifikasi luka diabetik
Wagner (1983) di dalam Maghfuri (2016) membagi derajat
luka menjadi enam tingkatan:
a) Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh
dengan kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki.
b) Derajat 1 : ulkus superfisial terbatas pada kulit.
c) Derajat 2 : ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
d) Derajat 3 : abses dalam, dengan atau tanpa
osteomielitis.
e) Derajat 4 : gangren jari kaki, atau bagian distal kaki
dengan atau tanpa selulitis.
f) Derajat 5 : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
30
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan darah meliputi: pemeriksaan darah
lengkap (leukosit, Hb), GDS>200mg/dl, gula darah
puasa>120mg/dl, dan dua jam post prandial >200mg/dl.
b) Urine meliputi: pemeriksaan glukosa dalam urine
dengan cara benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat
melalui perubahan warna pada urine : hijau (+), kuning
(+ +), merah (+ + +), dan merah bata (+ + + +).
c) Kultur plus untuk mengetahui jenis kuman pada luka
dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
kuman.
2) Pemeriksaan radiologi
Untuk mengetahui gambaran radiologi penderita diabetes
melitus apakah ada komplikasi pada organ penderita
diabetes melitus akibat dari gangguan sistem imun yang ada
pada penderita diabetes melitus.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ada dalam kebutuhan rasa aman yang menjadi
masalah terkait kondisi klinis pasien ulkus diabetes melitus adalah :
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer
b. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit
c. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan melemahnya atau
menurunnya aliran darah ke daerah luka akibat adanya obstruksi
pembuluh darah
31
3. Rencana Keperawatan
Tabel 2.3 intervensi keperawatan ulkus diabetes melitus diagnosa gangguan integritas kulit
Diagnosa Keperawatan Rencanaan Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
1. Gangguan integritas kulit
Definisi :
Kerusakan kulit (dermis dan/ atau
epidermis) atau jaringan
(membran mukosa, kornea, fasia,
otot, tendon, tulang, tulang,
kartilago, kapsul sendi dan/ atau
ligamen).
Penyebab :
1) Perubahan sirkulasi
2) Perubahan status nutrisi
(kelebihan atau kekurangan)
3) Kekurangan/kelebihan volume
cairan
4) Penurunan mobilitas
5) Bahan kimia iritatif
6) Suhu lingkungan yang ekstrem
7) Faktor mekanis (mis.
Penekanan pada tonjolan
tulang, gesekan) atau faktor
elektris (elektrodiatermi, energi
listrik bertegangan tinggi)
8) Efek samping terapi radiasi
9) Kelembaban
10) Proses penuaan
11) Neuropati perifer
12) Perubahan pigmentasi
13) Perubahan hormonal
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan
gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria hasil :
1) Menunjukkan prilaku atau teknik untuk meningkatkan
penyembuhan/mencegah komplikasi.
2) Menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu.
Perawatan Luka Obsevasi :
a) Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna, ukuran,
bau)
b) Monitor tanda-tanda infeksi
Teraupetik
a) Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
b) Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
c) Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
d) Bersihkan jaringan nekrotik
e) Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
f) Pasang balutan sesuai jenis luka
g) Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
h) Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
i) Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
kondisi pasien
j) Berikan diet dengan kalori 30-35kkal/kgBB /hari dan
protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari
k) Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis. vitamin A,
vitamin C, Zinc, asam amino) sesuai indikasi
1) Dukungan perawatan diri
2) Edukasi perawatan kulit
3) Edukasi perilaku upaya kesehatan
4) Edukasi program pengobatan
5) Pemberian obat kulit
6) Pemberian obat subkutan
7) Pemberian obat topikal
8) Penjahitan luka
9) Perawatan area insisi
10) Perawatan imobilisasi
11) Perawatan kuku
12) Perawatan luka bakar
13) Perawatan luka tekan
14) Perawatan pasca sectio sesaria
15) Perawatan skin graft
16) Teknik latihan penguatan otot dan sendi
17) Skrining kanker
32
Tabel 2.4 intervensi keperawatan ulkus diabetes melitus diagnosa risiko infeksi
Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
2. Risiko infeksi
Definisi :
Berisiko mengalami peningkatan
terserang organisme patogenik
Penyebab :
1) Penyakit kronis (mis. diabetes
melitus)
2) Efek prosedur invasif
3) Malnutrisi
4) Peningkatan paparan
mikroorganisme patogen
lingkungan
5) Ketidakadekuatan pertahanan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
gangguan pola tidur teratasi dengan kriteria hasil :
1) Menurunnya risiko infeksi
2) Pasien mendemonstrasikan teknik dan perubahan gaya
hidup untuk mencegah terjadinya infeksi
Pencegahan Infeksi
Observasi :
a) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
a) Batasi jumlah pengunjung
b) Berikan perawatan kulit pada area edema
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
1) Dukungan perawatan diri: mandi
2) Edukasi pencegahan luka tekan
3) Manajemen imunisasi/vaksinasi
4) Manajemen lingkungan
5) Manajemen medikasi
6) Pemantauan nutrisi
7) Pemantauan tanda vital
8) Pemberian obat
9) Pemberian obat oral
10) Pemberian obat intravena
11) Pengaturan posisi
12) Perawatan amputasi
13) Perawatan area insisi
14) Kurang terpapar informasi
tentang upaya
mempertahankan/ melindungi
integritas jaringan
Batasan karakteristik
1) Gejala dan tanda mayor
Objektif
a) Kerusakan jaringan dan/
atau lapisan kulit
2) Gejala dan tanda minor
Objektif
a) Nyeri
b) Perdarahan
c) Kemerahan
d) Hematoma
l) Berikan terapi stimulasi saraf transkutaneous, jika perlu
Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
c) Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
a) Kolaborasi prosedur sebridement (mis. enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik), jika perlu
b) Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
33
tubuh primer:
a) Gangguan peristaltik
b) Kerusakan integritas kulit
c) Perubahan sekresi pH
d) Penurunan kerja siliaris
e) Ketuban pecah lama
f) Ketuban pecah sebelum
waktunya
g) Merokok
h) Statis cairan tubuh
6) Ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder:
a) Penurunan hemoglobin
b) Imunosupresi
c) Leukopenia
d) Supresi respon inflamasi
e) Vaksinasi tidak adekuat
d) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi : a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
c) Ajarkan etika batuk
d) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
e) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
14) Perawatan luka
15) Perawatan luka bakar
16) Perawatan luka tekan
17) Perawatan pasca persalinan
Tabel 2.5 intervensi keperawatan ulkus diabetes melitus diagnosa perfusi perifer tidak efektif
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
3. Perfusi perifer tidak efektif
Definisi
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler
yang dapat mengganggu metabolisme tubuh.
Penyebab
1) Hiperglikemia
2) Penurunan konsentrasi hemoglobin
3) Peningkatan tekanan darah
4) Kekurangan volume cairan
5) Penurunan aliran arteri dan/atau vena
6) Kurang terpapar informasi tentang faktor
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan perfusi perifer teratasi ditandai
dengan kriteria hasil :
a) Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
b) Warna kulit sekitar luka tidak pucat dan
sianosis
c) Kulit sekitar luka teraba hangat
d) Edema tidak terjadi dan luka tidak bertambah
parah
Manajemen Sensasi Perifer
Observasi :
1) Dukungan kepatuhan program
pengobatan
2) Edukasi berat badan efektif
3) Edukasi berhenti merokok
4) Edukasi diet
5) Edukasi pengukuran nadi radialis
6) Edukasi proses penyakit
7) Edukasi teknik ambulasi
8) Manajemen cairan
9) Manajemen hipovolemia
10) Manajemen medikasi
34
pemberat (mis. merokok, gaya hidup
monoton, trauma, obesitas, asupan garam,
imobilitas)
7) Kurang terpapar informasi tentang proses
penyakit (mis. diabetes melitus,
hiperplidemia)
8) Kurang aktivitas fisik
Batasan Karakteristik
1) Gejala dan tanda mayor
Objektif
a) Pengisian kapiler >3 detik
b) Nadi perifer menurun atau tidak teraba
c) Akral tidak dingin
d) Warna kulit pucat
e) Turgor kulit menurun
2) Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Parastesia
b) Nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten)
Objektif
a) Edema
b) Penyembuhan luka lambat
c) Indeks ankle-brachial <0,9
d) Bruit femoral
a) Identifikasi penyebab perubahan sensasi
b) Identifikasi penggunaan alat pengikat,
prostesis, sepatu, dan pakaian
c) Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul
d) Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
e) Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi
dan tekstur benda
f) Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
g) Monitor perubahan kulit
h) Monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik :
a) Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya (terlalu panas atau dingin)
Edukasi :
a) Anjurkan penggunaan termometer untuk
menguji suhu air
b) Anjurkan penggunaan sarung tangan termal
saat memasak
c) Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit
rendah
Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
b) Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
11) Manajemen spesimen darah
12) Manajemen syok neurogenik
13) Pemantauan tanda vital
14) Pemasangan stocking elastis
15) Pemberian obat
16) Pemberian obat intravena
17) Pemberian obat oral
18) Pencegahan luka tekan
19) Pengaturan posisi
20) Perawatan emboli perifer
21) Perawatan kaki
22) Perawatan neurovaskuler
(Sumber: SIKI, 2018)
35
4. Implementasi Keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) implementasi merupakan
tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan
keperawatan mencakup tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas
kesehatan lain.
5. Evaluasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) evaluasi merupakan tahap
akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menentukan keberhasilan
dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya adalah
membandingkan status keadaan kesehatan pasien dengan tujuan atau
kriteria hasil yang telah ditetapkan. Evaluasi perkembangan kesehatan
pasien dapat dilihat dari hasil tindakan keperawatan. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan
memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya,
dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah
perlu dilakukan perubahan intervensi.
36
C. Tinjauan Konsep Ulkus Diabetes Melitus
1. Definisi
Ulkus diabetik sering kali disebut diabetic food ulcers, luka
neuropati, luka diabetik neuropati. Menurut Suriyadi (2004) dalam
Maryunani (2013) ulkus diabetik atau neuropati adalah luka yang terjadi
pada pasien diabetik, melibatkan gangguan pada saraf perifer dan
otonomik.
Menurut Rudy Bilous (2015) ulkus diabetes melitus adalah luka
neuropati atau luka diabetik yang sering terjadi pada penderita diabetes
melitus. Dimana pada penderita diabetes melitus ulkus dapat disebabkan
oleh neuropati (motorik, sensorik, dan otonom) dan atau iskemia, serta
sering diperumit oleh infeksi.
Kebanyakan ulkus dapat digolongkan menjadi neuropatik, iskemik,
atau neuroiskemik. Ulkus kaki pada neuropati sering kali terjadi pada
permukaan plantar kaki di area yang terkena tekanan tinggi, seperti area
yang melapisi kaput metatarsal, atau di area lain yang melapisi
deformitas tulang.
Ulkus kaki neuropatik berkontribusi terhadap >50% ulkus kaki
penderita diabetes dan sering tanpa nyeri disertai penampakan lebam.
Ulkus iskemik atau neuropati lebih sering terjadi pada ujung jari kaki
atau batas samping kaki. Ulkus neuropatik disertai kalus dan nekrosis
sebaiknya secara teratur dilakukan debridemen dan infeksi diatasi dengan
cepat menggunakan antibiotik (Bilous, 2015).
2. Etiologi
Pada penderita diabetes melitus, ulkus dapat disebabkan oleh :
a. Usia
Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan
terjadinya ulkus. Menurut Prastica dkk dalam jurnal kesehatan
Andalas (2015) pasien ulkus diabetikum yang diteliti di RSUD Dr.
Saiful Anwar Malang banyak terjadi pada laki-laki dengan
prevalensi 56,3%.
37
b. Lama menderita penyakit diabetes melitus
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia
yang lama. Keadaan hiperglikemia yang terus menerus
menginisiasi terjadinya hiperglosia yaitu keadaan sel yang
kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah homeostasis
biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk
terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik DM.
Seratus pasien penyakit dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58%
adalah pasien penyakit DM yang telah menderita penyakit DM
lebih dari 10 tahun. Hasil analisis regression kepada semua pasien
rawat jalan di klinik penyakit dalam Veteran Affairs, Washington
menyimpulkan bahwa rerata lama pasien penyakit DM ulkus
diabetikum sebanyak 162 orang adalah 11.4 tahun.
c. Neuropati
Neuropati diabetik yang paling sering adalah neuropati perifer.
Kerusakan ini mengenai saraf perifer atau saraf tepi, yang biasanya
ada di anggota gerak bawah, yaitu kaki dan tungkai bawah.
Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan
membuat banyak keringat. Kerusakan saraf perasa dapat
menyebabkan pasien tidak bisa merasakan nyeri, panas, dingin, atau
meraba. Kerusakan saraf sensoris atau perasa biasanya terjadi pada
kaki. Rasa tebal di kaki menyebabkan pasien tidak tahu adanya
infeksi yang mengakibatkan sangat berisiko munculnya ulkus atau
luka pada kaki.
d. Penyakit Arterial Perifer (PAD)
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di
ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis
yang sering ditemui pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten
yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang
menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai
klimaks sebagai ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang
38
dapat dilakukan untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle
Brachial Indeks (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri
dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi dibandingkan
dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai
normalnya dalah 0,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan
bahwa pasien penderita DM memiliki penyakit arteri perifer.
Namun bila tinggi, nilainya dapat menyimpang dan tidak
mampu mengukur derajat penyakit arterial pada pasien diabetes dan
pembuluh darah yang terklasifikasi. Pengukuran tekanan ujung jari
kaki dan tekanan oksigen transkutan (TcPO2) juga efektif.
Probabilitas penyembuhan ulkus ditentukan oleh perfusi yang
dindikasikan oleh pengukuran ABPI, tekanan ujung jari kaki, dan
TcPO2.
e. Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa
sistem organ termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada
tendon achiles dimana advanced glycosylated end prodruct (AGEs)
berhubungan dengan molekul kolagen pada tendon sehingga
menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon.
Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan
kata lain arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi
dan lama karena adanya gangguan berjalan.
Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang
berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya
hammertoes, callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan
yang terus menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan
lunak. Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah,
kerusakan akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan
pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang
buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita
diabetes.
39
3. Terjadinya Ulkus Kaki Diabetik
Menurut Maryunani (2013) terdapat 2 tipe penyebab ulkus kaki
diabetik secara umum yaitu :
a. Tipe penyebab ulkus kaki diabetik neuropati
Neuropati diabetik merupakan kelainan urat syaraf akibat
diabetes melitus karena kadar gula dalam darah tinggi yang bisa
merusak urat syaraf penderita dan menyebabkan hilang atau
menurunnya rasa nyeri pada kaki, sehingga apabila penderita
mengalami trauma kadang-kadang tidak terasa. Kerusakan
syaraf menyebabkan mati rasa dan menurunnya kemampuan
merasakan sakit, panas atau dingin. Titik tekanan, seperti akibat
pemakaian sepatu yang terlalu sempit menyebabkan kerusakan
syaraf yang dapat mengubah cara jalan pasien. Kaki depan yang
lebih banyak menahan berat badan rentan terhadap luka tekan.
Dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala neuropati meliputi:
kesemutan, rasa panas, rasa tebal di telapak kaki, kram, badan
sakit semua terutama malam hari.
b. Tipe penyebab ulkus kaki angiopati
Angiopati diabetik adalah penyempitan pembuluh darah
pada penderita diabetes. Pembuluh darah besar atau kecil pada
penderita diabetes melitus mudah menyempit dan tersumbat
oleh gumpalan darah. Apabila sumbatan terjadi di pembuluh
darah sedang atau besar pada tungkai, maka tungkai akan
mudah mengalami gangren diabetik, yaitu luka pada kaki yang
kehitaman dan berbau busuk. Adapun angiopati menyebabkan
asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik terganggu sehingga
menyebabkan kulit sukar sembuh. Dengan kata lain,
meningkatnya kadar gula dalam darah dapat menyebabkan
pengerasan, bahkan kerusakan pembuluh darah arteri dan
kapiler (makro/mikroangiopati). Hal ini menyebabkan
40
berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen ke jaringan, sehingga
timbul risiko terbentuknya nekrotik.
4. Klasifikasi Luka Diabetik
Menurut Maryunani (2013) luka diabetik berkaitan dengan
stadium luka diabetik dibedakan berdasarkan:
a. Anatomi kulit :
1) Stadium I partial thickness adalah hilangnya lapisan
epidermis hingga lapisan dermis paling atas. Ditandai
dengan kulit berwarna merah, dan belum tampak adanya
lapisan epidermis.
2) Stadium II partial thickness ditandai dengan hilangnya
lapisan epidermis atau lecet sampai batas dermis paling
atas.
3) Stadium III full thickness adalah hilangnya lapisan dermis
hingga lapisan subkutan. Ditandai dengan adanya rusaknya
lapisan dermis bagian hingga lapisan subkutan.
4) Stadium IV ditandai dengan rusaknya lapisan subkutan
hingga otot dan tulang.
b. Warna dasar luka
1) Merah (red) adalah luka berwarna merah muda/merah tua,
disebut jaringan sehat, granulasi/epitalisasi, vaskularisasi.
2) Kuning (yellow) adalah luka berwarna kuning
muda/kuning kehijauan/kuning tua/kuning kecoklatan,
disebut jaringan mati yang lunak, fibrionilitik, slough/slaf,
avaskularisasi.
3) Hitam (black) adalah luka berwarna hitam disebut jaringan
nekrosis, avaskularisasi.
c. Stadium Wagner untuk luka diabetik
1) Ulkus superfisial
41
Stadium 0 : tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik
tetapi dengan bentuk tulang kaki yang menonjol/charcot
arthropaties.
Stadium I : hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan
kadang-kadang tampak menonjol.
2) Ulkus dalam
Stadium II : lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau
tendon (dengan goa)
Stadium III : penetrasi dalam, osteomielitis, pyar
3) Gangrene
Stadium IV : gangren sebagian, menyebar hingga sebagian
dari jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, gangren
lembab/kering.
Stadium V : seluruh kaki dalam kondisi nekrotik/gangren.
5. Manifestasi Klinik
Menurut Maryunani (2013), secara praktis gambaran klinis kaki
diabetes dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Golongan kaki neuropati
1) Pada keadaan ini, terjadi kerusakan somatik, baik sensorik
maupun motorik, serta saraf autonom, tetapi sirkulasi masih ituh.
2) Pada pemeriksaan: kaki teraba hangat, teraba denyut nadi,
kurang rasa/baal (neuropati somatik), kulit menjadi kering
(neuropati autonom), bila terjadi luka akan lama sembuhnya.
b. Golongan kaki iskemia
1) Dikenal dengan istilah lain, yaitu neuroschaemic foot.
2) Keadaan ini hampir selalu disertai neuropati dengan berbagai
macam stadium
3) Pada pemeriksaan ditemukan: kaki teraba dingin, nadi sulit
diraba, sering menunjukkan rasa nyeri saat istirahat, dapat
terlihat ulkus/luka akibat tekanan lokal, yang akhirnya menjadi
gangren.
42
6. Pathway
43
7. Penatalaksanaan ulkus diabetik
Penatalaksanaan ulkus yang terinfeksi meliputi pembersihan luka
dan debridemen teratur pada jaringan yang terinfeksi, rusak dan nekrosis.
Debridemen setiap minggu dengan menggunakan skalpel berhubungan
dengan penyembuhan ulkus yang lebih cepat. The National Service Frame
Work for Diabetes dalam Maryunani (2013), membuat panduan
penatalaksanaan ulkus atau luka diabetik sebagai berikut:
a. Stadium I
1) Kaki belum terjadi kerusakan, namun informasi pentingnya
perawatan kaki harus diberikan
2) Umumnya pasien diabetes muda yang sehat yang
mempunyai risiko rendah.
3) Mereka harus melihat kaki, apakah ada tanda bahwa
kakinya bermasalah dan menemui ahli kesehatan.
4) Pada tahap ini pasien harus diberikan penjelasan tentang
neuropati, vaskulopati, dan yang penting adalah regular
skreening.
b. Stadium II
1) Pada tahap ini pasien sudah mempunyai risiko
2) Pendidikan kesehatan diperlukan. Pasien perlu diajarkan
bagaimana meminimalkan masalah kesehatan pada kaki
jika masalah tersebut datang.
3) Kontrol gula darah dan kardiovaskuler adalah bagian yang
penting dalam pendidikan kesehatan yang diberikan.
c. Stadium III
1) Pada tahp ini kaki mendapatkan masalah kesehatan akibat
dari neuropati, iskemik dan infeksi.
2) Neuropati, iskemik dan infeksi adalah tiga penyebab utama
ulkus kaki.
44
3) Tekanan yang abnormal disebabkan oleh neuropati
membuat kallus pada kaki, dan jika tidak ditangani
menyebabkan nekrosis dan ulkus.
4) Tekanan yang terus menerus akibat sepatu yang sempit atau
benda asing dapat menyebabkan ulkus dan neuropati perifer
membuat pasien tidak merasakan sakit pada kaki yang
terluka.
d. Stadium IV
1) Luka kering : balutan hirokoloid. Balutan ini berfungsi
karena tahan terhadap oksigen, kelembaban, dan bakteria.
Balutan jenis ini dapat mempertahankan kelembaban dan
mensupport autolitik debridement.
2) Luka dengan eksudat : calcium alginate dipergunakan
untuk mengabsorb eksudat pada luka.
3) Luka dengan eksudat yang banyak : hydrofiber seperti
aquacel dapat dipergunakan untuk menarik eksudat yang
banyak atau parcel dressing agar eksudat dapat dikeluarkan
dengan mudah. Balutan jenis ini dapat memberikan
kelembapan pada luka.
4) Luka yang ditutupi eskar : perlindungan pada eskar
sehingga eskar dapat mengelupas dengan sendirinya.
Gunakan providine iodine untuk eskar mengelupas dengan
sendirinya.
Penatalaksanaan perawatan luka diabetik secara umum menurut Rendy
(2012) :
1) Lihat kondisi luka pasien, apakah luka yang dialami pasien dalam
keadaan kotor atau tidak, ada pus atau ada jaringan nekrotik
(mati) atau tidak. Setelah dikaji, barulah dilakukan perawatan
luka. Untuk perawatan luka biasanya menggunakan antiseptik
(NaCl) dan kassa steril.
45
2) Jika ada jaringan nekrotik, sebaiknya dibuang dengan cara
digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka mengalami
granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh).
3) Lihat kedalaman luka, pada pasien diabetes dilihat apakah
terdapat sinus (luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak.
Bila terdapat senis ada baiknya disemprot (irigasi) dengan NaCl
sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus biasanya banyak
terdapat kuman.
4) Setelah dilakukan perawatan luka lakukan pengkajian apakah
sudah tumbuh granulassi, (pembersihan dilakukan dengan kassa
steril yang dibasahi larutan Nacl).
5) Setelah luka dibersihkan, lalu ditutup dengan kassa basah yang
diberi larutan Nacl lalu dibalut disekitar luas luka, dalam
penutupan dengan kassa, jaga agar jaringan luar luka tidak
tertutup. Sebab jika jarigan luar tertutup akan menimbulkan
pembengkakan.
6) Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur Nacl, lalu
ditutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya
dibalut.
7) Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya
akan ada penutupan luka tahap kedua (skin draw), biasanya
diambil dari kulit paha. Penanganan luka diabetik, harus ekstra
agresif sebab pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan
memperparah keadaan luka.
46