bab ii tinjauan pustaka - repository.sari-mutiara.ac.idrepository.sari-mutiara.ac.id/346/3/chapter...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Sinusitis
1. Pengertian Sinusitis
Sinusitis didenifisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sinus
paranasal merupakan salah satu organ tubuh yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu, umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis, bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto dalam
Soepardi dkk, 2012).
Menurut Parag & Julian (2012), istilah rinosinusitis saat ini lebih akurat di
gunakan ketimbang rinitis atau sinusitis, rinosinusitis diartikan sebagai
peradangan hidung dan sinus paranasal yang ditandai oleh dua gejala atau
lebih, Penyakit yang timbul sampai 12 minggu di kelompokkan sebagai
akut dan bila lebih dari waktu itu dinamakan kronik, penyebab utamanya
adalah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus yang
selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri.
2. Faktor-faktor resiko penyebab kekambuhan rinosinusitis
Menurut Metson & Mardon (2006), terdapat beberapa faktor resiko
penyebab kekambuhan rinosinusitis, antara lain :
a. Faktor alergi makanan
Meskipun relatif jarang, alergi makanan yang memicu rinosinusitis
ternyata cukup sering dijumpai. Petunjuk bahwa alergi semacam ini
mungkin ada adalah jika potsnasal drip menjadi keluhan utama. Jika
seseorang merasa tergangganggu oleh pengeluaran lendir seperti ini
atau berkumpulnya secara terus menerus dibelakang tenggerokan,
terutama ketika bangun tidur, berarti seseorang tersebut munkin
memang mederita alergi makanan tetapi tidak menyadarinya.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
7
Penyebab alergi makanan masih belum diketahui secara pasti, namun
pada sebagian kasus efeknya lebih ringan. Gejala yang timbul secara
perlahan dan kurang mencolok, sampai ke tahap dimana orang tidak
lagi memperkirakan adanya hubungan antara makanan dan reaksi yang
ditimbulkannya. Contoh makanan yang sering menimbulkan alergi
susu, gandum, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk.
Susu dan gandum adalah dua makanan yang paling sering
menyebabkan reaksi alergi yang meyebabkan pembentukan lendir
secara berlebihan dan postnasal drip yang menganggu. Pembentukan
lendir ini juga menyebabkan hidung tersumbat, menganggu pernapasan
(Meler/ingusan), hidung gatal-gatal, serta menyumbat ostrium sinus
sehingga timbul infeksi.
Menegakkan diagnosis alergi makanan tidaklah mudah karena belum
ada pendekatan baku yang dapat digunakan ahli alergen, sementara
hasil pemeriksaan mungkintidak dapat diandalkan. Sebagai dokter
senang menggunakan uji kulit yang serupa dengan yang diguanakan
untuk mendeteksi alergi serbuk sari dan debu : sejumlah kecil makanan
diletakkan dibawah kulit ada tidaknya reaksi. sebagian yang lain
menggunakan pemeriksaan darah yang disebutRadio Allergo Sorbent
Test(RAST) untuk mencari antibodi terhadap protein makanan dalam
darah.
Cara yang terbaik menentukan apakah seseorang mengidap alergi ini
adalah dengan diet eliminasi. Dengan kata lain, anda berhenti
manyantap makanan yang dicurigai selama waktu tertentu dan
memerhatikan apakah ada perbedaan. Ini dianjurkan selama 2 minggu,
atau idealnya 4 minggu, jika seseorang tersebut dapat bertahan
sedemikian lama, akan sedikit banyak tahu apakah abenar-benar
mengalami alergi. Selama percobaan tersebut harus benar ketat
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
8
mengenai diet. Dengan susu meminum susu juga harus dihentikan dan
termasuk semua produk yang mengandung susu.
Satu catatan akhir tentang susu, kandungan protein susu, bukan lemak
yang menyebabkan peningkatan produksi mukus. Jadi, sekedar
penggantinya dengan susu nonlemak, meskipun baik bagi jantung dan
lingkar pinggang, tidak akan mempengaruhi produksi mukus.Pada
produk gandum atau yang berbasis gandum, misal roti dan pasta,
sumber masalahnya juga protein, dalam hal ini protein tersebut disebut
gluten, eliminasi gandum selama 2-4 minggu sebagiannya dapat
mengungkapkan apakah seseorang alergi terhadap produk tersebut.
Orang dengan masalah sinus yang benar-benar alergi terhadap susu atau
gandum sering mengalami perbaikan gejala secara drastis setalah
berhenti mengonsumsi makanan penyebab. Banyak dari pasien yang
postnasal dripnya tidak membaik setelelah mengonsumsi obat
konfensional (termasuk antihistamin, semprot steroid, dan antibiotik).
Penurunan mencolok dalam jumlah lendir yang dihasilkan oleh hidung
mereka dalam beberapa minggu setelah diet eliminasi. Sementara susu
dan gandum dapat menyebabkan gejala kekambuhan sinus, sedangkan
makanan pedas tentu malah menguranginya.
Menurut hasil penelitian Candra, setiarini & Rengganis (2011), jumlah
persentase yang mengalami kekambuhan alergi terhadap makanan yaitu
sebanyak 49% dari 208 pasien yang berkunjung di Poli Alergi
Immunologi RSCM.
b. Faktor alkohol
Berbagai jenis minuman beralkohol jelas menjadi pantangan bagi
penderita sinusitis sebab sama halnya seperti kafein bisa menyebabkan
dehidrasi. Sedangkan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh agar lendir
bisa mengalir dan terbuang dari dalam saluran sinus. Tidak jarang orang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
9
dengan sinusitis mengalami infeksi baru atau kekambuhan gejala dalam
waktu 24 jam setelah minum-minuman beralkohol.
Masalahnya bukan terletak pada alkohol itu sendiri, tetapi pada zat
pencemar yang dikenal sebagai congener, yaitu produk sampingan dari
proses peragian atau penuaan. Congener menentukan rasa atau aroma
minuman, tetapi sebagian memiliki sifat histamin. Serupa apa yang
terjadi dengan apa yang terjadi pada reaksi alergi terhadap serbuk sari
atau debu, orang yang peka terhadap zat pencemar ini dapat
menyebabkan dan mengalami membran hidung, sinus membengkak,
iritasi, mudah trinfeksi, penyumbatan hidung, pengeluaran lendir
(meler, ingusan), dan sakit kepala. Jenis alkohol yang menyebabkan
kekambuhan sinusitis yaitu biasanya seperti minuman bir, anggur dan
wine.
Tanpa sadar, seseorang munkin sensitif terhadap alkohol, jika
mencurigai hal ini, biasanya dapat mnyingkirkan masalah ini dengan
menghindari minum beralkohol yang mungkin banyak mngandung
congener. Sebenarnya congener, seperti alkohol, dipercayai merupakan
penyabab hangover (rasa tidak nyaman setelah mengonsumsi banyak
minuman beralkohol).Hasil penelitianUtama S. (2010), di dapatkan
prevalansi kekambuan rinosinusitis yang di sebabkan oleh alkohol dan
obat-obatan yaitu sebanyak 1,4% pasien.
c. Rokok
Jumlah rokok ternyata berpengaruh terhadap kekambuhan rinitis alergi
hal ini di sebabkan karena semakin banyak jumlah rokok yang di
konsumsi semakin sering pula penderita terpapar asap rokok yang
mengandung zat-zat kimia yang diketahui sebagai salah satu faktor
pencetus kekambuhan rinitis alergi. Berdasarkan data yang diperoleh
didapatkan bahwa penderita rinitis alergi yang merokok dengan jumlah
rokok lebih dari 10 batang perharinya (38,8%) lebih sedikit dari pada
penderita rinitis alergi yang merokok kurang dari 10 batang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
10
perharinya(61,1%) , Andhika & Kartikawati (2011).Selain merusak
paru-paru, rinosinusitis terjadi oleh karena kerusakan mukosilier pada
muksa sinus paranasal, akibat dari hawa panas rokok saat terjadi
penghisapan kedalam hidung.
Setelah terjadi kerusakan oleh hawa panas dari rokok yang mengenai
silia-silia tersebut menjadi hilang, asap rokok mengganggu fungsi
rambut halus (silia) di saluran hidung dan sinus yang mengatur bekerja
menyapu keluar lendir dan kotoran. Jika silia tidak berfungsi dengan
baik, lendir dan bakteri akan menumpuk di sinus dan menyebabkan
infeksi, sakit kepala, bersin-bersin, pengeluaran lendir (meler/ingusan).
Jika seseorang perokok, dan berhenti untuk tidak merokok mungkin itu
langkah awal terpenting untuk mengurangi gejala sinus. Silia bersifat
ulet, sehingga setelah berhenti merokok, fungsi normalnya akan pulih,
yang sering menyebabkan gejala-gejala sinus mereda.Menurut
penelitian Andhika & Kartikawati (2011), penderita kekambuhan
rinosinusitis yang merokok (66,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita rinitis alergi yang tidak merokok(33,3%).
d. Tempat Kerja/linkungan
Insidensi sinusitis dan asma terus meningkat, meskipun penyebab dari
peningkatan ini masih belum jelas, teori menyatakan bahwa hal tersebut
disebabkan karena orang bekerja di bangunan dimana mereka tidak
dapat membuka jendela untuk membiarkan udara masuk, udara interior
dapat didaur ulang secara terus menerus.
Akibatnya, udara tersebut cenderung menjadi lebih kering. Jika
bangunan tercemar oleh polutan dalam ruang, misalnya : jamur kapang
dan spora serat dari karpet dan sofa, serta bahan kimia dalam insulasi
dan mesin fotocopy, sistem ventilasi berfungsi sebagai alat untuk
mendaur ulang zat-zat pencemar tesebut. Udara yang tercemar dapat
mengiritasi lapisan dalam hidung, sinus, mempermudah infeksi.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
11
Reaksi ini dapat disebabkan respons alergik sejati dimana sisitem
kekebalan tubuh memicu pelepasan berbagai faktor
peradangan.Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental
yang berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan
penghidung (meler/ingusan), sakit kepala dan hidung merasa tersumbat.
Hal ini juga dapat terjadi akibat peradangan langsung dimana suatau
bahan kimia, miasalnya, “membakar” atau mengiritasi selaput lendir di
hidung.
Fenomena tercemarnya tempat kerja dikenal sebagai sick building
syndroms. Eksistensinya di suatu tempat mungkin sulit didefinisikan
atau di ukur. Tetapi perlu mempertimbangkan jika menemukan salah
satu dari gejala berikut :
a. Gejala hidung dan sinus lebih parah ketika bekerja.
b. Rekan kerja yang duduk dekat anda juga mengalami gejala serupa.
c. Bekeja di bangunan lama dengan ventilasi yang buruk.
Sebagian dari pasien yang mengalami kekambuhan infeksi sinus
disebabkan oleh udara dingin seperti orang yang bekerja di kantor yang
selalu terpapar atau menggunakan AC dan juga orang bertempat tinggal
di daerah dingin seperti daerah pegunungan.Dari hasil penelitian
terdahulu Ekarini (2012), mengatakan dimana faktor pemicu
kekambuhan rinosinusitis paling sering adalah udara dingin sebanyak
46,6% pasien.
e. Faktor pewangi
Parfum yang berbau menyengat atau kolanye adalah bahaya lain yang
bagi orang penderita sinustis karena dapat menyebabkan kekambuhan
dan ini disebut sebagai sick cubicle syndrom, ini biasanya terjadi jika
seseorang tersebut sering terpapar, mencium atau setelah memakai
wangi-wangian menyengat yang menyebabkan iritasi sehingga dapat
memicu terjadi kekambuhan rinosinusitis. Gejala yang sering timbul
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
12
yaitu sering mengalami bersin-bersin yang terus menerus, sakit kepala,
dan hidung gatal-gatal.Menurut hasil penenlitian Ekarini (2012),
mengatakan distribusi kekambuhan rinosinusitis yang disebabkan oleh
pewangi (parfum) yaitu sebanyak 42, 4% pasien.
Penyebab rinosinusitis tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak, dimana pada anak-anak sering dijumpai
gejala alergi lain serperti urtikaria dan gangguan pencernaan (Ilavarase,
2011). Sedangkan menurut Irawati, Kasakeyan & Rusmono (2012),
berdasarkan jenis alergennya, penyebab rinosinusitis dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, yakni penyebab spesifik dan non spesifik.
1) Penyebab Spesifik
Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan alergen hirupan
(inhalan), dimana alergen inhalan merupakan alergen yang sering
ditemukan, biasanya terbagi ke dalam 2 jenis berdasarkan
kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan
seasonal.
a) Alergen perenial
Merupakan alergen yang ada sepanjang tahun dan sulit dihindari.
Contoh:
(1) Debu rumah
Debu rumah adalah alergen gabungan yang terdiri dari
tungau, kecoa, partikel kapas, serpih kulit manusia, dan lain-
lain. Merupakan alergen udara dengan ukuran >10µm yang
sering pada ruang tertutup.
(2) Tungau debu rumah
Merupakan komponen alergi tersering yang hidup dari
serpihan kulit manusia. Terdapat dua spesies utama yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus.Mereka lebih suka hidup pada suhu 21,1-26,6˚C
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
13
sehingga tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari 5000
kaki.
(3) Serpihan kulit binatang
Serpihan kulit kucing mengandung antigen Fel D1 yang
diproduksi pada kelenjar sebasea kulit kucing. Serpihan kulit
anjing mempunyai antigen yang bervariasi dan umumnya
kurang kuat untuk menyebabkan alergi. Serpihan kulit
binatang lainnya juga ditemukan menyebabkan alergi seperti
unggas, kuda, atau sapi yang biasanya terjadi di kawasan
pertanian dan peternakan.
(4) Jamur
Jamur merupakan alergen yang ditemukan baik di dalam
maupun di luar ruangan. Berkembang dengan baik pada daerah
yang lembab diatas barang yang busuk, ruang bawah tanah,
tumpukan koran lama, debu kayu, dan tempat lainnya.
Penyebab tersering diantaranya genus Alternaria, Aspergillus,
Pullularia, Hormodendrum,Penicillium, dan Cephalosphorium.
(5) Kecoa
Alergen ini sulit dihilangkan dan terdapat pada rumah yang
kotor. Pada anak-anak, alergi terhadap kecoa berhubungan
dengan asma. Alergen berasal dari sekresi serangga, yang
terdapat pada badan dan sayap kecoa.
2) Penyebab Nonspesifik
Penyebab nonspesifik rinosinusitis diantaranya iklim, hormonal,
psikis, infeksi, dan iritasi. Perubahan iklim akan menyebabkan
perubahan lingkungan. Udara lembab, perubahan suhu, dan angin
secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah
dan serbuk sari bunga, disamping memberi suasana yang baik untuk
tumbuhnya berbagai macam jamur (Lumbanraja, 2008).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
14
3. Patofisiologi
Kesehatan rinosinusitis dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocciliary clearance) di dalamKompleks
Osteo Meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk Kompleks Osteo Meatal (KOM) letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia tdak dapata bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
biasanya disebut sebagai rinosinusitis non bacterial, dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret
yang terkumpul dalam sinus media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi
bakteri. Sekret menjadi puluren. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis
akut bakterial dan memerlukan terpai antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predoposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik aitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip atau kista. Pada
keadaan ini mengkin diperlukan tindakan operasi.
4. Gejala Rinosinusitis
Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/
rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
15
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,
nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinisitis
etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal,.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola
mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri
alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal
drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis
kronik tidak khas sehingga sulit diagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2
dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip,
batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan
kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-
bronkitis), bronkiektasis dan yang panting adalah serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2012).
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidung, sakit kepala dan
hidung merasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga
hidungsangat lapang, konka inferior dan media menjadi hiprotofi atau
atrofi, ada sekret parulen dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan
mikrobilogi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan)
sinus paranasal (Wardani & Mangunkusumo, 2012).
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
16
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus meatus medius (
pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal). Pada rinosinusitis
akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan
dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan ( air fluid level) atau penebalan
mukosa. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis rinosinusitis
karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namaun karena
mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis rinosinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan siluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar
dari fungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan fungsi menembus
dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya
dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusumo & Soetjipto,
2012).
6. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja, gejala rinosinusitis yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
17
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses pembersihan sendiri
(self cleaning process). Bersin ini merupakan gejala Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC) dan kadang-kadang pada Reaksi Alergi Fase
Lambat(RALF) sebagai akibat dilepasnya histamin. Gejala lain ialah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluah hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
7. Penatalaksanaan
a. Kontrol Lingkungan
Alergen yang sangat berperan pada rinosinusitis di negara tropis seperti
Indonesia adalah tungau debu rumah, serpihan kulit binatang, dan
alergen kecoa (Suprihati, 2004). Untuk tungau debu, menutupi matras
dan bantal dengan sarung yang dari bahan khusus dapat membantu
mengurangi paparan. Sprei harus dicuci setiap dua minggu sekali di air
panas (>55˚) untuk membunuh tungau yang mungkin ada. Usahakan
sesedikit mungkin menggunakan furnitur dengan bahan kain/kain
berbulu.
Pembersihan menyeluruh pada karpet dengan pembersih vakum dapat
membantu, tapi lebih baik lagi apabila tidak menggunakan karpet sama
sekali dan menggunakan lantai dari bahan yang dapat dibersihkan
seperti keramik, bahan plastik, ataupun kayu. Tungau debu berkembang
dalam ruangan dengan kelembaban diatas 50%, jadi dehumidification,
penggunaan AC, atau keduanya dapat membantu. Sedangkan untuk
jamur di dalam rumah, fungisida seperti Clorox dan Lysol dapat
membantu untuk membersihkan basement, ruang sempit, tembok
dingin, dan tempat berkembang jamur lainnya (Sheikh, 2013).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
18
Sedangkan untuk alergen di luar rumah seperti serbuk sari, pasien
sebaiknya mengurangi aktivitas di luar rumah selama jumlah serbuk
sari yang menjadi alergen sedang tinggi. Menutup jendela dan
menggunakan AC lebih membantu dibanding menggunakan kipas angin
biasa. Begitu pula pada pasien yang alergi terhadap jamur tertentu
sebaiknya mengurangi keluar rumah saat jamur sedang berkembang
pesat seperti pada masa panen. Apabila memiliki alergi terhadap
binatang tertentu, cara terbaik adalah dengan tidak memelihara binatang
tersebut dan menghindarinya secara total (Randall, 2003).
Meskipun merupakan terapi yang paling ideal, eliminasi total dari
alergen penyebab rinosinusitis sulit dilakukan. Selain itu tuntutan
aktivitas sehari-hari yang tidak dapat ditinggalkan juga merupakan
kendala bagi penderita. Oleh karena itu tersedia terapi farmakologis
untuk mengurangi gejala.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk rinosinusitis saat ini termasuk antihistamin,
dekongestan, antikolinergik, intranasal cromolyn, leukotriene modifiers,
dan steroid inhalan. Panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) tahun 2007 menyarankan pendekatan stepwise pada terapi
rinosinusitis. Pada rinosinusitis intermiten ringan, disarankan
menggunakan antihistamin oral atau intranasal, dekongestan intranasal,
dan dekongestan oral (tidak pada anak).
Untuk rinitis intermiten sedang-berat dan rinitis persisten ringan, terapi
yang disarankan adalah antihistamin oral atau intranasal, antihistamin
oral bersama dekongestan, kortikosteroid intranasal, dan
chromones.Rinitis persisten sedang-berat membutuhkan kortikosteroid
intranasal sebagai terapi lini pertama, dan tambahan kortikosteroid atau
dekongestan kerja cepat jika terjadi sumbatan. Jika gejala tidak
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
19
berkurang maka bisa ditambahkan antihistamin oral dan dekongestan
dan atau ipratropium (Braido, 2008).
c. Antihistamin
Antihistamin merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin
yang digunakan adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel
kelenjar pada mukosa, sehingga efektif menghilangkan gejala rinore
dan bersin akibat dilepaskannya histamin pada rinitis alergi.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-
1 terbukti secara klinis efektif mengurangi gejala bersin dan rinore,
tetapi mempunyai efek samping sedatif karena dapat menembus sawar
otak. Antihistamin generasi kedua seperti astemizol, loratadin, setirizin,
dan terfenadin dapat menutup kelemahan antihistamin lama karena
bersifat non-sedatif dan mempunyai masa kerja yang panjang.
d. Dekongestan
Pada rinosinusitis, pengaruh berbagai mediator akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah yang menimbulkan buntu hidung.
Dekongestan merupakan obat yang bersifat agonis alfa adrenergik yang
dapat berikatan dengan reseptor alfa adrenergik yang ada di dalam
mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah konka, akibatnya mengurangi buntu hidung.
Dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin,
fenil propanolamin, dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam
bentuk tetes hidung maupun semprot hidung yaitu fenileprin, efedrin,
dan semua derivat imidazolin. Penggunaan secara topikal ini lebih
cepat dibanding penggunaan sistemik.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
20
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat anti inflamasi yang kuat dimana penggunaan
secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut
sehingga hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala
hidung buntu yang berat. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat
dan triamsinolon).
f. Imunoterapi
Imunoterapi terdapat beberapa jenis, diantaranya desensitasi,
hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,
berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
g. Pembedahan
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat ( Ilavarase, 2011).
8. Komplikasi/ Dampak Rinosinusitis
Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata setelah ditemukan
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada rinosinusitis akut atau
rinosinusitis kronis eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering adalah rinosinusitis etmoid, kemudian
rinosinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema
palebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya
dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
21
Kelainan intrakranial, dapat berupa manginitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi dapat
juga tejadi pada rinosinuitis kronis, berupa :
a. Osteomielitis dan abses subperiostal, paling sering timbul akibat
rinosnusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis rinosinusitis maksila dapat timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi.
b. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektatis. Adanya
kelainan rinosinusitis paranasal disertai dengan kelainan paru ini
disebut rinosinusitis bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.
B. Kerangka Konsep
Skema 2.1
Kerangka konsep penelitian
Variabel Independent
Faktor –faktor resiko
penyebab kekambuhan :
- Alergi makanan
- Alkohol
- Rokok
- Tempat kerja/lingkugan
- Pewangi
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA