bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang tindak...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.
Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”
sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah
perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.1 Sedangkan Moeljatno
dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.2
Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda,
berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan
dualistis dan pandangan monistis.
Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit
itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut
1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43
2
sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang dapat dihukum”.3
Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 4
J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.5 Pandangan ini
berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban
pidana harus dipisahkan.
Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang
tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum
pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit. Straafbaar
feit menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan
dari Simons dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti
tersebut di atas, karena6 :
a. Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan
undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau
3 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.
72. 4 Ibid. h. 72 5 Ibid., h. 104 6 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 185
3
kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum;
b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan
undang-undang;
c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan
atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya
merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu
onrechtmatige handeling.
Dari pengertian straafbaarfeit (tindak pidana) tersebut, maka
untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi,
sebagai berikut :
a. Perbuatan (manusia)
b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil)
c. Bersifat melawan hukum (syarat materii)
2. Unsur Tindak Pidana
Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik menurut Lamintang,
bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut7 :
a. Harus ada perbuatan manusia;
b. Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal
dari undang-undang yang bersangkutan;
c. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);
d. Dapat dipertanggungjawabkan.
7 Ibid, 1997, h. 184.
4
Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap
perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu
perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal
ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.8
Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan
unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut:9
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang bertanggungjawab.
Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak bahwa di dalam
memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian, lalu
dibayangkan adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana
semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika
perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret),
baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan
bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan
kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dijatuhi pidana. Sementara itu,
aliran monistis memandang sebaliknya (konkret), yaitu strafbaar feit
tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa
dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana.
8 Ibid, h. 67 9 Sudarto, Op.Cit., h. 39
5
Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah
dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak
pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana
(pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.
B. Tindak Pidana Penggelapan
1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan
diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir
sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian
barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih
harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya
barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan
kejahatan.10
Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah
penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang
yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur
melawan hukum.11
Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak
pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak pidana
10 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, 1968, h. 258 11 Lamintang. Op.Cit,. hlm 95.
6
yang terjadi harus diketahui makna dan definisinya termasuk tindak
pidana penggelapan. Penggelapan berarti memiliki barang atau sesuatu
yang dimiliki oleh orang lain tetapi tindakannya tersebut bukan suatu
kejahatan.
Tindak Pidana penggelapan adalah termasuk tindak pidana
kejahatan terhadap harta kekayaan orang atau vermogendelicten
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 sampai dengan pasal 377
KUHP.
Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan
terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain
(bukan milik petindak).12
Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menegaskan :
Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang
sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.
Tindak pidana yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah
tindak pidana pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus
memenuhi bagian inti Pasal 372 KUHP ditambah bagian inti lainnya.
Adami Chazawi mengemukakan penjelasannya mengenai tindak
pidana penggelapan berdasarkan pasal 372 KUHP yang dikemukakan
sebagai berikut :13
12 Adami Chazawi, 2011, h. 1 13 Ibid, h. 70
7
Perkataan verduistering yang kedalam bahasa kita
diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi
masyarakat Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan
diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin
sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati
pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai
yang menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh
melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi
kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena
kejahatan.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata
penggelapan dapat dilihat juga pada penjelasan C. S. T. Kansil dan
Christine S. T. Kansil yang mendefinisikan penggelapan secara
lengkap sebagai berikut :14
Penggelapan, barang siapa secara tidak sah memiliki barang
yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang
ada padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah
melakukan tindak pidana eks. Pasal 372 KUHP yang
dikualifikasikan sebagai “verduistering” atau “penggelapan”.
Selanjutnya, Tongat menegaskan perihal pengertian tentang
penggelapan ini, bahwa :15
Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan
karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah,
misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan
sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk
menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk
diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti
melakukan “penggelapan”.
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab
XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya
yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam
14 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta, 2000, h. 252 15 Tongat, Op. Cit, h. 60
8
bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan
sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang
seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada
padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan
penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4
(empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900
(sembilan ratus) rupiah."
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,
menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada
ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari
hasil kejahatan.
2. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan
Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab
XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.
a. Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan
yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja
dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
9
b. Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang
digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25.
Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
c. Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang
dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan
dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah
(Pasal 374 KUHP).
d. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan
yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi
barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau
pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,
terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).16
3. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan
memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang
lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan
unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan
penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
a. Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
1) Dengan sengaja memiliki.
16 Moeljatno, Op. Cit, h.132
10
2) Memiliki suatu barang.
3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.
5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
b. Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
1) Dengan sengaja memiliki.
2) Memiliki suatu bukan ternak.
3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
4) Mengakui memiliki secara melawan hukum
5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
6) Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
c. Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
1) Dengan sengaja memiliki.
2) Memiliki suatu barang.
3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.
5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
6) Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
11
d. Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
1) Dengan sengaja memiliki.
2) Memiliki suatu barang.
3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
4) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
5) Terpaksa disuruh menyimpan barang.
6) Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat
wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya
benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan
karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya
disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya.
Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan
di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan
sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah
seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi
seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap
tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau
mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang
lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);
Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh
12
hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang
yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang
wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai
pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang
ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk
melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta
kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau
yayasan.
e. Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
1) Dengan sengaja memiliki.
2) Memiliki suatu barang.
3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.
5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
6) Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah
diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada
pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga
delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk
melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu
disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini
diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana
13
pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam
pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada
ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur
dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar
peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak
sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana
penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada
ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik
aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah
bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga
yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami
mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta
bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal
dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan
apakah itu harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang
menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai
delik aduan.17 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan
keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh
keluarga yang bersengketa.
C. Tinjauan Umum Restorative Juctice
17 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html. diakses tanggal
27 Januari 2016
14
Istilah restorative justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia
disebut dengan istilah keadilan restoratif, secara definisi atau pengertian dari
restorative justice, para ahli hukum memiliki pendapat yang beragam.
Menurut pendapat dari Andi Hamzah menerjemahkan keadilan restoratif
sama dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana.18
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall
dalam tulisannya Restorative justice an Overview memberi definisi
restorative justice:19
Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake
in a particular offence come togather to resolve collectively how to
deal with the aftermath of the offence and its implications for the
future.
Terjemahan:
Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang
berkepentingan dalam pelanggaran atau delik tertentu bertemu
bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama atau
kolektif bagaimana menyelesaikan mengenai akibat dari suatu
pelanggaran atau delik tersebut demi kepentingan masa depan.
Pengertian dari Tony F. Marshall tersebut di atas, kemudian
diuraikan secara lebih lengkap oleh Susan Sharpe dengan mengungkapkan
lima prinsip kunci dari restorative justice yaitu sebagai berikut:20
1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian
yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
3. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari
pelaku secara utuh;
18 Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan
pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, halaman 5 (Selanjutnya disebut: Andi Hamzah I). 19 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 28 (Selanjutnya disebut: Marlina I). 20 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak
dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak
(PKPA), Medan 2007, h. 83 (Selanjutnya disebut Marlina II)
15
4. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;
5. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar
dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya;
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang
dikemukakan oleh Dignan, sebagai berikut:21
Restorative justice ia a new framework for responding to
wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and
support by educational, legal, sosial work and and counseling
professionals and community groups. Restorative justice is a valued-
based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a
balanced fokus on theperson harmed, the person causing the harm,
and the affected community.
Terjemahan:
Keadilan restoratif adalah suatu kerangka pemikiran baru untuk
mengatasi penyimpangan dan konflik yang membutuhkan
penerimaan dan dukungan secara cepat dari kaum intelektual,
penegak hukum, pekerja sosial dan konsultan professional serta
kelompok komunitas. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan
berbasis nilai untuk mengatasi penyimpangan dan konflik, dengan
fokus yang seimbang antara korban dan pelaku serta masyarakat.
Restorative justice memberikan keutamaan untuk mengembalikan
konflik kepada semua pihak yang berperkara, dalam hal ini yang paling
terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan kelompok
komunitas untuk memecahkan suatu perkara dengan pengutamaan
rekonsiliasi (penyelesaian seperti semula). Menurut Eva Achjani Zulfa,
keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
21 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., h. 65
16
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini. 22
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif membutuhkan peran aktif baik dari korban maupun
pelaku. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Marlina yang menyatakan:23
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban
dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan
untuk bersama-sama berbicara.
Menurut Eva Achjani Zulfa, tidak mudah memberikan definisi bagi
pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan
bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan
restoratif ini antara lain “commutarian justice (keadilan komutarian),
making amends (penggantian kerugian), positive justice (keadilan positif),
relation justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif)
dan community justice (keadilan masyarakat).24
Dengan demikian bahwa keadilan restoratif memiliki terminologi
yang bervariasi dan dapat diuraikan dengan merumuskan makna yang
terkandung di dalamnya, sebagaimana diuraikan oleh Harkristuti
Harkrisnowo adalah sebagai berikut:25
- Respon yang lentur terhadap kejahatan, pelaku dan korban, yang
memungkinkan penyelesaian kasus secara individual;
22 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm..3 23 Marlina I, Op.Cit., hlm 180 24 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm 118 25 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Saksi dan Korban: Pendekatan Restorative Justice
dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion yang
diselenggarakan oleh LPSK pada tanggal 1 Desember 2011
17
- Respon atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan
martabat setiap orang, membangun saling pengertian dan harmoni
melalui pemulihan korban, pelaku dan masyarakat;
- Mengurangi dampak stigmatisasi pelaku;
- Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih
dipertahankan;
- Melakukan pemecahan masalah dan sekaligus mengatasi akar
munculnya konflik;
- Tidak harus bertumpu pada prosedur hukum.
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran atau
gagasan untuk merespon dalam pengembangan sistem peradilan pidana dan
dengan menitikberatkan pada kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan
korban, yang selama ini tidak puas dengan mekanisme yang ada terhadap
bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehingga keadilan restoratif yang
merupakan suatu kerangka berpikir baru diharapkan dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi para penegak hukum.
Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep
pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan
materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan
siste m pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang
berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice),
yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi
masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative
justice”.
Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan
tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain:
”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.
Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang
bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang
dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
18
Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan
pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk
bersama-sama berbicara.26
Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis
Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh
masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara
restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan
penyelesaian secara kekeluargaan.
Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan
menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative
justice di beberapa negara yaitu:
1. Victim Offender Mediation (VOM)
2. Conferencing/Family Group Conferencing
3. Circles
4. Restorative Board/Youth Panels
1. Victim Offender Mediation (VOM)
Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan
sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia
dan Finlandia.
26 Marlina, Op. Cit, h. 180.
19
Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian
terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi
alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat
khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.27
Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban
dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan
berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku
bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana
penyelesaian kerugian yang terjadi.
Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban
(secara sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak,
dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang
dilatih khusus.
Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat.
Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui
perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu
bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender
mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan
berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka
butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.
Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan
pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya
27 Marlina, Op. Cit, h. 181.
20
dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan
pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.
2. Family Group Conferencing (FGC)
Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand
pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya
merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional
masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu
bangsa Maori.
Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku
utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman
korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena
damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang
terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku
utama.28
Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk
terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan
mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat
bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku
tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian
atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku
bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi
pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir
adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan
28 Marlina, Op. Cit, h. 188.
21
dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah
karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing
adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau
pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian
terhadap permasalahan anak.
3. Circles
Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,
Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam
pelaksanaannya memperluas partisiasi para peserta dalam proses
mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan
pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana.29
Sasaran yang ingin di capai melalui proses circle adalah
terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan
pelaku dan memberi kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki
dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian kesepakatan.
Keberhasilam dari Circle ini adalah jika adanya kerjasama
dengan system peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan
formal perlu ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang
dijalankan telah memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua
pihak dan tanpa pemaksaan. Kekuatan masyarakat yang ikut serta
29 Marlina, Op. Cit, h. 192.
22
dalam circle akan terjalin erat melalui kepedulian secara bersama-sama
mengatasi tindak pidana anak.
4. Reparatif Board/Youth Panel
Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada
tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance
setelah melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang
dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan
masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang
menjadi dasarnya.30
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan
juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk
sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau
masyarakat.
Sasarannya adalah peran aktif serta anggota masyarakat secara
langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut
pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan
yang telah dilakukannya.
Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi
pertemuan ini aalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus
mediasi. Pertemuan dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan
dihadiri juga oleh pihak pengadilan. Selama pertemuan para petugas
berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya dan konsekuensi
30 Marlina, Op. Cit, h. 194.
23
yang harus ditanggung. Kemudian para peserta merancang sebuah
sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam jangka waktu tertentu
untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya. Setelah
dirasakan cuku dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada pihak
pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board
terhadap pelaku berakhir.
D. Kebijakan Dalam Restoratif Justice
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar
kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan
cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan
juga berarti; “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.31
Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu
sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan
sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial
dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam
pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu
tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni
“kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat”
(social defence).
31 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Electronic, Yufidinc, 26 Januari 2015
24
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain
dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam
kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional
berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence.
Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh
melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy).
Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini
memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.32
Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai
penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka yang
dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan
tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya
perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan
memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan
antara penal policy dan non penal policy.
Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan
masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau
harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi
subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan
kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi
kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan
32 Barda Nawawi Arief, Opcit., h. 78.
25
masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan
masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national
development (rencana pembangunan nasional).33
Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan
masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan
berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut;
Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and
Development” juga pernah menegaskan :34 “any dictionary between a
country’s policies for social defence and its planning for national
development was unreal by definitions”.
Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi
antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan
nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan.
Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan35: “The many
aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be
integrated into the general social policy of each country”. Makna yang
dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari
kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebijakan social setiap Negara.
Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara
kebijakan social (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy).
33 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat,
Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 34. 34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005, h. 5. 35 Ibid., h. 6
26
Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi
kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka
kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak banyak
artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru
menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.36
Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum
pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui
bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu
gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian
dengan menghilangkan sebab-sebabnya.37
Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak
pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama ke masalah kemampuan
hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier,
kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan
menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan
hukum pidana tersebut. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah
biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu
teramat besar.
Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat
penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya.
Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah
personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut.
Kualitas personil Polri mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya,
36 Ibid., h. 7 37 Sudarto, Op. Cit., h. 35.
27
kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan
ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.
Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal
policy), G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya
sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa oleh
penulis sebagai berikut.38 G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa
kebijakan criminal (criminal policy) mencakup; pertama, mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa;
kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga,
pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik social, rencana kesehatan
mental masyarakat, dan lainnya.
Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana,
menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang
berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan
sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman,
bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai
tindakan preventif dalam arti luas.39
Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini
oleh Barda Nawawi Arief dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat
pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.40
38 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 41. 39 Ibid., h. 42. 40 Ibid
28
Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk
Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup
perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom
dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.41
Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh melalui “pengalaman latihan” sejalan
dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang tidak kalah
pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki
kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan
masyarakat.
Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya
sangat banyak (puluhan), namun menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.)
sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik dasar
seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational
and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization
(into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6)
altruistic service.42
Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi
Purnawirawan), bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang
41 Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaries, wartawan,
dosen, insinyur, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang
memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan
ditugasi di suatu korporasi. 42 Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang
menjadi karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2)
required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into
a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service (kf.
Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.
Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995).
29
bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera sesuai
dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-
tentrem-kertaraharja, maka lahirlah dalam jiwa Polri yang insyaf akan
pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu Satu Berbakti
Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa; Dua Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan Dan Kemanusiaan
Dalam Menegakkan Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang
Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; Tiga Senantiasa
Melindungi, Mengayomi Dan Melayani Masyarakat Dengan Keikhlasan
Untuk Mewujudkan Keamanan Dan Ketertiban. Ketiga asas tersebut dapat
disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada” diharapkan dapat diterapkan
di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.43
Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi
tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya
dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM,
tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini
merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian,
yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti
meningkatkan kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, penyelesaian
konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil
dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisipun akan melekat di
benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang
bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh
43 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1995, h. 160-164.
30
panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam
menghadapi persoalan di masyarakat.44
Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana
diuraikan di atas, maka Polri dalam menjalankan profesinya mau tidak mau
harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang
memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan
yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan
the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut
bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin
kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika
berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang
tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap,
menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan
tempat, dan sebagainya.
Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat
bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di mana polisi ada pada kedudukan
memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.45 Sementara doktrin the soft
hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan
rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat
44 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Center, Jakarta, 2002, h. 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya
juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi.
Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya,
masyarakat dan pers terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana
karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam
Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. PT. Yasrif
Watampone, Jakarta , 1998, h. 221). 45 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”,
Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian
Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, h. 5.
31
“horizontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk
mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari
tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan
antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan
menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keamanan,
ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.
Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh
kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara
prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika
dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil
lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif.46
Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara
kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah
kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan
mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.
Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif
seperti itu (represif-preventif-pre-emtif), maka model peradilan yang cocok
dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegak hukum
yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative
Justice (peradilan restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih
mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam
model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata
46 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, h. 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa
Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan
masyarakat” (Bimnas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif.
32
sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan
represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan
restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak
melalui upaya win-win solution.47
Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada
masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia,
karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh
“budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil
yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus
kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di
Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah
tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka”
atau “peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang
lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang
bertikai.48
Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan
padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman
kerajaan maupun jaman pejajahan Belanda.49 Selain strategi pemantapan
cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga
dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya
47 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem
Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula
digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu
Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di
Semarang dan Surakarta)”. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003,
halaman 36-37 & 143-155. 48 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal
Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. 49 Baca H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV. Miswar, Jakarta, 1989.
33
Polri melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri
yang terpogram secara baik. Program pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan
umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang
demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama
pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan
kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang
melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan
teknologi pendidikan.50
Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak
berarti bahwa Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan
kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada
rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya
untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal
yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka
terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi
dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu
akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara
perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan
pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).51
Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana
Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen
50 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana
Strategis Polri 2005-2009 (Renstra Polri), h. 26. 51 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di
Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, h. 138-139.
34
A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of
Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan
kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan
kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention strategies).
Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan
antara lain bahwa:52 “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan
dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural,
termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana
kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”. (policies for crime
preventions and criminal justice should take into account the structural
causes, including socio-economie causes of injustice, of which criminality is
often but a symptom). Dalam guiding principles di atas dampak keharusan
penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural
dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya
penanggulangan kejahatan/tindak pidana.
52 Ibid., h. 44.