bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang tindak...

35
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheidsedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. 1 Sedangkan Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 2 Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda, berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis. Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut 1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43

Upload: tranminh

Post on 22-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.

Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”

sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah

perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian

dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.1 Sedangkan Moeljatno

dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu

perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar

larangan tersebut.2

Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda,

berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan

dualistis dan pandangan monistis.

Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit

itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut

1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43

2

sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan

yang dapat dihukum”.3

Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan

manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 4

J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.5 Pandangan ini

berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban

pidana harus dipisahkan.

Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang

tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum

pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit. Straafbaar

feit menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan

dari Simons dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti

tersebut di atas, karena6 :

a. Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat

suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan

undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau

3 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.

72. 4 Ibid. h. 72 5 Ibid., h. 104 6 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 185

3

kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum;

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan

undang-undang;

c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan

atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya

merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

onrechtmatige handeling.

Dari pengertian straafbaarfeit (tindak pidana) tersebut, maka

untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi,

sebagai berikut :

a. Perbuatan (manusia)

b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materii)

2. Unsur Tindak Pidana

Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik menurut Lamintang,

bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut7 :

a. Harus ada perbuatan manusia;

b. Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal

dari undang-undang yang bersangkutan;

c. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);

d. Dapat dipertanggungjawabkan.

7 Ibid, 1997, h. 184.

4

Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap

perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu

perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan

adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal

ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.8

Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan

unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut:9

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)

b. Diancam dengan pidana

c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang bertanggungjawab.

Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak bahwa di dalam

memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian, lalu

dibayangkan adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana

semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika

perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret),

baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan

bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan

kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dijatuhi pidana. Sementara itu,

aliran monistis memandang sebaliknya (konkret), yaitu strafbaar feit

tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa

dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana.

8 Ibid, h. 67 9 Sudarto, Op.Cit., h. 39

5

Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah

dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak

pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana

(pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.

B. Tindak Pidana Penggelapan

1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan

diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan

(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.

Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir

sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian

barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih

harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya

barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan

kejahatan.10

Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah

penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang

yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur

melawan hukum.11

Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak

pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak pidana

10 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, 1968, h. 258 11 Lamintang. Op.Cit,. hlm 95.

6

yang terjadi harus diketahui makna dan definisinya termasuk tindak

pidana penggelapan. Penggelapan berarti memiliki barang atau sesuatu

yang dimiliki oleh orang lain tetapi tindakannya tersebut bukan suatu

kejahatan.

Tindak Pidana penggelapan adalah termasuk tindak pidana

kejahatan terhadap harta kekayaan orang atau vermogendelicten

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 sampai dengan pasal 377

KUHP.

Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan

terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain

(bukan milik petindak).12

Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) menegaskan :

Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang

sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang

lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena

kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling

lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan

ratus rupiah.

Tindak pidana yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah

tindak pidana pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus

memenuhi bagian inti Pasal 372 KUHP ditambah bagian inti lainnya.

Adami Chazawi mengemukakan penjelasannya mengenai tindak

pidana penggelapan berdasarkan pasal 372 KUHP yang dikemukakan

sebagai berikut :13

12 Adami Chazawi, 2011, h. 1 13 Ibid, h. 70

7

Perkataan verduistering yang kedalam bahasa kita

diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi

masyarakat Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan

diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin

sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati

pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai

yang menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh

melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi

kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena

kejahatan.

Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata

penggelapan dapat dilihat juga pada penjelasan C. S. T. Kansil dan

Christine S. T. Kansil yang mendefinisikan penggelapan secara

lengkap sebagai berikut :14

Penggelapan, barang siapa secara tidak sah memiliki barang

yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang

ada padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah

melakukan tindak pidana eks. Pasal 372 KUHP yang

dikualifikasikan sebagai “verduistering” atau “penggelapan”.

Selanjutnya, Tongat menegaskan perihal pengertian tentang

penggelapan ini, bahwa :15

Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan

karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah,

misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan

sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk

menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk

diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti

melakukan “penggelapan”.

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab

XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya

yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam

14 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta, 2000, h. 252 15 Tongat, Op. Cit, h. 60

8

bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan

sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang

seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada

padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan

penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4

(empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900

(sembilan ratus) rupiah."

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan

sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,

menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada

ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari

hasil kejahatan.

2. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab

XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

a. Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan

yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja

dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich

toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan

karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

9

b. Penggelapan Ringan

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang

digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25.

Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

c. Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang

dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan

dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah

(Pasal 374 KUHP).

d. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan

yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi

barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau

pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,

terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).16

3. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan

Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan

memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang

lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan

unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan

penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :

a. Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa

1) Dengan sengaja memiliki.

16 Moeljatno, Op. Cit, h.132

10

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.

b. Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan

1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu bukan ternak.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

6) Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.

c. Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan

1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

6) Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

11

d. Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain

1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

orang lain.

4) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

5) Terpaksa disuruh menyimpan barang.

6) Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat

wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya

benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan

karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya

disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya.

Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan

di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan

sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah

seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi

seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap

tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau

mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang

lainnya.

Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);

Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh

12

hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang

yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang

wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai

pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang

ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk

melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta

kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau

yayasan.

e. Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga

1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

6) Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah

diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.

Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada

pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga

delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk

melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu

disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini

diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana

13

pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam

pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada

ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur

dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar

peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak

sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana

penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada

ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik

aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah

bercerai harta kekayaan.

Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga

yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami

mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta

bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal

dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan

apakah itu harta suami atau harta istri.

Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang

menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai

delik aduan.17 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan

keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh

keluarga yang bersengketa.

C. Tinjauan Umum Restorative Juctice

17 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html. diakses tanggal

27 Januari 2016

14

Istilah restorative justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia

disebut dengan istilah keadilan restoratif, secara definisi atau pengertian dari

restorative justice, para ahli hukum memiliki pendapat yang beragam.

Menurut pendapat dari Andi Hamzah menerjemahkan keadilan restoratif

sama dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana.18

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall

dalam tulisannya Restorative justice an Overview memberi definisi

restorative justice:19

Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake

in a particular offence come togather to resolve collectively how to

deal with the aftermath of the offence and its implications for the

future.

Terjemahan:

Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang

berkepentingan dalam pelanggaran atau delik tertentu bertemu

bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama atau

kolektif bagaimana menyelesaikan mengenai akibat dari suatu

pelanggaran atau delik tersebut demi kepentingan masa depan.

Pengertian dari Tony F. Marshall tersebut di atas, kemudian

diuraikan secara lebih lengkap oleh Susan Sharpe dengan mengungkapkan

lima prinsip kunci dari restorative justice yaitu sebagai berikut:20

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

2. Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari

pelaku secara utuh;

18 Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan

pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, halaman 5 (Selanjutnya disebut: Andi Hamzah I). 19 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 28 (Selanjutnya disebut: Marlina I). 20 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang

Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak

dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak

(PKPA), Medan 2007, h. 83 (Selanjutnya disebut Marlina II)

15

4. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga

masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;

5. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar

dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya;

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang

dikemukakan oleh Dignan, sebagai berikut:21

Restorative justice ia a new framework for responding to

wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and

support by educational, legal, sosial work and and counseling

professionals and community groups. Restorative justice is a valued-

based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a

balanced fokus on theperson harmed, the person causing the harm,

and the affected community.

Terjemahan:

Keadilan restoratif adalah suatu kerangka pemikiran baru untuk

mengatasi penyimpangan dan konflik yang membutuhkan

penerimaan dan dukungan secara cepat dari kaum intelektual,

penegak hukum, pekerja sosial dan konsultan professional serta

kelompok komunitas. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan

berbasis nilai untuk mengatasi penyimpangan dan konflik, dengan

fokus yang seimbang antara korban dan pelaku serta masyarakat.

Restorative justice memberikan keutamaan untuk mengembalikan

konflik kepada semua pihak yang berperkara, dalam hal ini yang paling

terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan kelompok

komunitas untuk memecahkan suatu perkara dengan pengutamaan

rekonsiliasi (penyelesaian seperti semula). Menurut Eva Achjani Zulfa,

keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

21 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., h. 65

16

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat

ini. 22

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan restoratif membutuhkan peran aktif baik dari korban maupun

pelaku. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Marlina yang menyatakan:23

Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan

pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban

dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan

untuk bersama-sama berbicara.

Menurut Eva Achjani Zulfa, tidak mudah memberikan definisi bagi

pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan

bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak

terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan

restoratif ini antara lain “commutarian justice (keadilan komutarian),

making amends (penggantian kerugian), positive justice (keadilan positif),

relation justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif)

dan community justice (keadilan masyarakat).24

Dengan demikian bahwa keadilan restoratif memiliki terminologi

yang bervariasi dan dapat diuraikan dengan merumuskan makna yang

terkandung di dalamnya, sebagaimana diuraikan oleh Harkristuti

Harkrisnowo adalah sebagai berikut:25

- Respon yang lentur terhadap kejahatan, pelaku dan korban, yang

memungkinkan penyelesaian kasus secara individual;

22 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm..3 23 Marlina I, Op.Cit., hlm 180 24 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm 118 25 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Saksi dan Korban: Pendekatan Restorative Justice

dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion yang

diselenggarakan oleh LPSK pada tanggal 1 Desember 2011

17

- Respon atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan

martabat setiap orang, membangun saling pengertian dan harmoni

melalui pemulihan korban, pelaku dan masyarakat;

- Mengurangi dampak stigmatisasi pelaku;

- Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih

dipertahankan;

- Melakukan pemecahan masalah dan sekaligus mengatasi akar

munculnya konflik;

- Tidak harus bertumpu pada prosedur hukum.

Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran atau

gagasan untuk merespon dalam pengembangan sistem peradilan pidana dan

dengan menitikberatkan pada kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan

korban, yang selama ini tidak puas dengan mekanisme yang ada terhadap

bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehingga keadilan restoratif yang

merupakan suatu kerangka berpikir baru diharapkan dapat digunakan dalam

merespon suatu tindak pidana bagi para penegak hukum.

Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep

pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan

materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan

siste m pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang

berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice),

yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi

masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative

justice”.

Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan

tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain:

”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok

masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang

bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang

dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.

18

Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak

pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan

pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk

bersama-sama berbicara.26

Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis

Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh

masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara

restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan

penyelesaian secara kekeluargaan.

Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa,

Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan

menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative

justice di beberapa negara yaitu:

1. Victim Offender Mediation (VOM)

2. Conferencing/Family Group Conferencing

3. Circles

4. Restorative Board/Youth Panels

1. Victim Offender Mediation (VOM)

Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan

sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia

dan Finlandia.

26 Marlina, Op. Cit, h. 180.

19

Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian

terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi

alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat

khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.27

Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban

dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan

berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku

bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana

penyelesaian kerugian yang terjadi.

Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban

(secara sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak,

dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang

dilatih khusus.

Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat.

Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui

perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu

bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender

mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan

berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka

butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.

Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan

pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya

27 Marlina, Op. Cit, h. 181.

20

dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan

pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.

2. Family Group Conferencing (FGC)

Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand

pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya

merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional

masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu

bangsa Maori.

Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku

utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman

korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena

damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang

terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku

utama.28

Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk

terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan

mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat

bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku

tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian

atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku

bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi

pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir

adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan

28 Marlina, Op. Cit, h. 188.

21

dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah

karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing

adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau

pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian

terhadap permasalahan anak.

3. Circles

Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,

Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam

pelaksanaannya memperluas partisiasi para peserta dalam proses

mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan

pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana.29

Sasaran yang ingin di capai melalui proses circle adalah

terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan

pelaku dan memberi kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki

dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian kesepakatan.

Keberhasilam dari Circle ini adalah jika adanya kerjasama

dengan system peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan

formal perlu ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang

dijalankan telah memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua

pihak dan tanpa pemaksaan. Kekuatan masyarakat yang ikut serta

29 Marlina, Op. Cit, h. 192.

22

dalam circle akan terjalin erat melalui kepedulian secara bersama-sama

mengatasi tindak pidana anak.

4. Reparatif Board/Youth Panel

Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada

tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance

setelah melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang

dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan

masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang

menjadi dasarnya.30

Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan

oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan

juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk

sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau

masyarakat.

Sasarannya adalah peran aktif serta anggota masyarakat secara

langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut

pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan

yang telah dilakukannya.

Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi

pertemuan ini aalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus

mediasi. Pertemuan dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan

dihadiri juga oleh pihak pengadilan. Selama pertemuan para petugas

berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya dan konsekuensi

30 Marlina, Op. Cit, h. 194.

23

yang harus ditanggung. Kemudian para peserta merancang sebuah

sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam jangka waktu tertentu

untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya. Setelah

dirasakan cuku dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada pihak

pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board

terhadap pelaku berakhir.

D. Kebijakan Dalam Restoratif Justice

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar

kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan

cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan

juga berarti; “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis

pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.31

Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu

sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan

sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial

dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam

pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu

tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni

“kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat”

(social defence).

31 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Electronic, Yufidinc, 26 Januari 2015

24

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain

dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam

kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional

berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence.

Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh

melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy).

Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini

memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.32

Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai

penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka yang

dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan

tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya

perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan

memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan

antara penal policy dan non penal policy.

Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan

masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada

hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau

harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi

subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan

kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi

kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam

hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan

32 Barda Nawawi Arief, Opcit., h. 78.

25

masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan

masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national

development (rencana pembangunan nasional).33

Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan

masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan

berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut;

Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and

Development” juga pernah menegaskan :34 “any dictionary between a

country’s policies for social defence and its planning for national

development was unreal by definitions”.

Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi

antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan

nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan.

Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan35: “The many

aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be

integrated into the general social policy of each country”. Makna yang

dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari

kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam

kebijakan social setiap Negara.

Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara

kebijakan social (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy).

33 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat,

Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 34. 34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2005, h. 5. 35 Ibid., h. 6

26

Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi

kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka

kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak banyak

artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru

menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.36

Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum

pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui

bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu

gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian

dengan menghilangkan sebab-sebabnya.37

Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak

pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama ke masalah kemampuan

hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier,

kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan

menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan

hukum pidana tersebut. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah

biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu

teramat besar.

Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat

penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya.

Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah

personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut.

Kualitas personil Polri mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya,

36 Ibid., h. 7 37 Sudarto, Op. Cit., h. 35.

27

kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan

ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.

Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal

policy), G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya

sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa oleh

penulis sebagai berikut.38 G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa

kebijakan criminal (criminal policy) mencakup; pertama, mempengaruhi

pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa;

kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga,

pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik social, rencana kesehatan

mental masyarakat, dan lainnya.

Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana,

menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang

berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan

sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman,

bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai

tindakan preventif dalam arti luas.39

Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini

oleh Barda Nawawi Arief dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat

pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani

faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.40

38 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 41. 39 Ibid., h. 42. 40 Ibid

28

Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk

Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup

perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom

dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.41

Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai

keahlian khusus yang diperoleh melalui “pengalaman latihan” sejalan

dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang tidak kalah

pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki

kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan

masyarakat.

Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya

sangat banyak (puluhan), namun menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.)

sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik dasar

seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational

and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization

(into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6)

altruistic service.42

Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi

Purnawirawan), bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang

41 Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaries, wartawan,

dosen, insinyur, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang

memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan

ditugasi di suatu korporasi. 42 Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang

menjadi karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2)

required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into

a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service (kf.

Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.

Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995).

29

bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera sesuai

dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-

tentrem-kertaraharja, maka lahirlah dalam jiwa Polri yang insyaf akan

pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu Satu Berbakti

Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang

Maha Esa; Dua Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan Dan Kemanusiaan

Dalam Menegakkan Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang

Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; Tiga Senantiasa

Melindungi, Mengayomi Dan Melayani Masyarakat Dengan Keikhlasan

Untuk Mewujudkan Keamanan Dan Ketertiban. Ketiga asas tersebut dapat

disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada” diharapkan dapat diterapkan

di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.43

Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi

tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya

dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM,

tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini

merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian,

yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti

meningkatkan kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, penyelesaian

konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil

dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisipun akan melekat di

benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang

bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh

43 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1995, h. 160-164.

30

panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam

menghadapi persoalan di masyarakat.44

Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana

diuraikan di atas, maka Polri dalam menjalankan profesinya mau tidak mau

harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang

memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan

yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan

the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut

bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin

kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika

berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang

tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap,

menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan

tempat, dan sebagainya.

Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat

bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di mana polisi ada pada kedudukan

memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.45 Sementara doktrin the soft

hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan

rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat

44 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie

Center, Jakarta, 2002, h. 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya

juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi.

Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya,

masyarakat dan pers terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana

karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam

Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. PT. Yasrif

Watampone, Jakarta , 1998, h. 221). 45 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”,

Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian

Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, h. 5.

31

“horizontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk

mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari

tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan

antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan

menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keamanan,

ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.

Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh

kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara

prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika

dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil

lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif.46

Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara

kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah

kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan

mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.

Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif

seperti itu (represif-preventif-pre-emtif), maka model peradilan yang cocok

dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegak hukum

yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative

Justice (peradilan restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih

mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan

kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam

model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata

46 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, h. 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa

Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan

masyarakat” (Bimnas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif.

32

sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan

represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan

restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak

melalui upaya win-win solution.47

Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada

masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia,

karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh

“budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil

yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus

kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di

Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah

tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka”

atau “peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang

lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang

bertikai.48

Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan

padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman

kerajaan maupun jaman pejajahan Belanda.49 Selain strategi pemantapan

cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga

dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya

47 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem

Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula

digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu

Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di

Semarang dan Surakarta)”. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003,

halaman 36-37 & 143-155. 48 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal

Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program

Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. 49 Baca H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV. Miswar, Jakarta, 1989.

33

Polri melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri

yang terpogram secara baik. Program pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan

untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan

umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang

demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama

pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan

kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang

melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan

teknologi pendidikan.50

Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak

berarti bahwa Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan

kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada

rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya

untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal

yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka

terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi

dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu

akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara

perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan

pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).51

Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana

Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen

50 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana

Strategis Polri 2005-2009 (Renstra Polri), h. 26. 51 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di

Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister

Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, h. 138-139.

34

A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of

Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan

kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan

kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention strategies).

Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan

antara lain bahwa:52 “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan

dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural,

termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana

kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”. (policies for crime

preventions and criminal justice should take into account the structural

causes, including socio-economie causes of injustice, of which criminality is

often but a symptom). Dalam guiding principles di atas dampak keharusan

penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural

dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya

penanggulangan kejahatan/tindak pidana.

52 Ibid., h. 44.

35