bab ii tinjauan pustaka a. remaja akhir ii.pdfpada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja Akhir
1. Remaja
Pada abad pertengahan, remaja dipandang sebagai bentuk miniatur dari orang
dewasa dan menjadi sasaran dari penerapan disiplin yang keras. Pada abad ke 18,
pandangan Rousseau memperbaiki keyakinan yang salah dengan menyatakan bahwa
remaja bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa. Pada akhir abad 19 dan
pada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep yang merumuskan tentang
remaja sebagai periode tersendiri yang berbeda dengan periode dewasa (Santrock,
2007b).
Santrock (2007b) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Tugas pokok remaja
adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Havighurst (dalam Hurlock,
1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan remaja terdiri dari mencapai hubungan
baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai
peran sosial sebagai pria atau wanita, mencapai kemandirian emosional,
mempersiapkan karir ekonomi, serta menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh
secara efektif.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dan
periode perubahan. Masa remaja sebagai periode peralihan berarti sebuah proses
peralihan yang dialami oleh individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hal ini
bermakna bahwa individu harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-
kanakan, remaja juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk
17
menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Segala bentuk pola
perilaku dan sikap lama akan memengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Masa remaja
sebagai periode perubahan berarti sebuah proses perubahan yang dialami oleh remaja,
yaitu: pertama, perubahan emosi yang ditandai dengan meningkatnya emosional yang
bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua,
perubahan fisik yang diandai oleh masa pubertas dan perubahan peran yang
diharapkan oleh kelompok sosial, perubahan ini dapat memunculkan masalah baru
ketika remaja tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan optimal. Ketiga,
perubahan minat dan pola perilaku yang menyebabkan perubahan pada nilai-nilai yang
dimiliki. Keempat, sikap remaja yang ambivalen terhadap setiap perubahan, remaja
menginginkan dan menuntut adanya kebebasan, namun remaja takut akan
tanggungjawab dan meragukan kemampuan dalam mengatasi tanggungjawab.
Menurut Santrock (2007b) ada beberapa gejolak yang muncul pada diri remaja,
yaitu:
a. Pencarian identitas diri
Erikson menyatakan bahwa dalam perkembangan psikososial, individu yang
berada pada masa remaja akan mengalami suatu krisis antara indentitas versus
kebingungan identitas. Krisis ini ditandai dengan munculnya beberapa pertanyaan
kepada diri sendiri tentang “siapakah aku ?” dan “apa keunikanku ?”. Remaja
menuntut adanya solusi atas pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas diri
remaja. Sebagai bagian dari eksplorasi identitas diri, remaja mengalami
psychosocial moratorium yang mengacu pada kesenjangan antara rasa aman masa
kanak-kanak dengan otonomi di masa dewasa. Dalam proses eksplorasi dan
mencari identitas, remaja akan bereksperimen dengan berbagai peran, mulai dari
peran pekerjaan hingga peran dalam relasi romantik. Remaja yang berhasil
18
mengatasi dan menerima berbagai peran yang saling berkonflik akan menemukan
identitas baru tentang diri, sehingga dapat dikatakan telah mampu mengatasi krisis
identitas diri. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas diri, akan
mengalami kebingungan identitas. Kebingungan identitas akan mengakibatkan
remaja menjadi menarik diri, mengisolasi diri dengan dunia teman sebaya, dan
kehilangan identitas diri dalam kelompok (Santrock, 2007b).
b. Eksplorasi relasi dengan teman sebaya
Santrock (2007c) menyatakan bahwa teman sebaya adalah remaja yang
memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama atau setara. Salah
satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi
mengenai dunia di luar keluarga. Remaja memperoleh umpan balik mengenai
kemampuan diri dari kelompok teman sebaya. Remaja belajar untuk melakukan
perbandingan dengan teman sebaya dengan mengetahui apakah hal yang dia
lakukan itu lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan dengan teman
sebaya. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh
teman sebaya atau kelompok. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh
teman sebaya, namun akan merasa sangat cemas dan tertekan apabila dikeluarkan
dan diremehkan oleh teman sebaya. Banyak remaja yang merasa bahwa
pandangan teman sebaya terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting.
Relasi yang baik antar teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial di
masa remaja. Ketika remaja menjalin persahabatan dengan teman sebaya yang
terpilih, remaja dapat belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka,
sehingga akan berguna sebagai pembentukan dasar dalam menjalani relasi pacaran
dan relasi pernikahan. Ketika remaja mengalami penolakan dari teman sebaya,
maka akan membuat remaja merasa kesepian dan memunculkan permusuhan,
19
sehingga berkaitan dengan masalah kesehatan mental dan kenakalan remaja.
Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk berada dalam sebuah jaringan sosial,
berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan mulai dari masalah
kenakalan remaja hingga depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan
Patrick (dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang positif dengan
teman sebaya berkaitan dengan penyesuaian sosial yang positif, dan relasi antara
remaja dengan teman sebaya akan memengaruhi tahapan perkembangan
selanjutnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Roff, Sells, dan Golden
(dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang negatif dengan teman
sebaya berkaitan dengan putus sekolah dan kenakalan remaja.
c. Perkembangan emosional
Santrock (2007b) menyatakan bahwa berbagai peristiwa akan melibatkan
pengalaman emosional yang akan berkontribusi bagi perkembangan identitas
remaja. Remaja awal akan lebih sering mengalami fluktuasi emosi yaitu adanya
emosi yang naik dan turun. Remaja dapat merasa sebagai individu yang paling
bahagia disuatu saat dan kemudian merasa sebagai individu yang paling sedih
disaat lain. Remaja memiliki suasana hati yang berubah-ubah, dimana remaja
dapat merasakan emosi yang lebih ekstrem dan berlangsung cepat. Kemurungan
merupakan kondisi yang normal dialami oleh remaja. Apabila remaja mampu
mengelola kondisi kemurungan yang dialami dengan baik, maka remaja dapat
berkembang menjadi dewasa yang kompeten. Perubahan hormonal dan
pengalaman lingkungan berkontribusi dalam perubahan emosi di masa remaja.
Adanya pengalaman yang menekan dapat berkontribusi terhadap perubahan dalam
emosi pada remaja, misalnya transisi ketika memasuki sekolah menengah,
pengalaman seksual, dan relasi romantik. Remaja memiliki kompetensi emosional
20
berupa kemampuan dalam mengatasi dan mengkomunikasikan emosi-emosi yang
dirasakan kepada orang lain secara konstruktif sehingga dapat meningkatkan
kualitas relasi dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa remaja
dikatakan memiliki kematangan emosional, apabila remaja mampu menilai
sesuatu secara kritis sebelum bereaksi dan akan mengungkapkan emosi yang
dirasakannya dengan cara-cara yang lebih rasional. Remaja yang memiliki
kematangan emosional akan memberikan reaksi emosi yang stabil dan tidak
berubah-ubah.
d. Otonomi
Otonomi berkaitan dengan keterarahan diri dan kemandirian. Otonomi
emosional adalah salah satu aspek otonomi berupa kapasitas untuk mengurangi
ketergantungan yang kekanak-kanakan terhadap orangtua. Meningkatnya
kemandirian pada masa remaja, seringkali diinterpretasikan sebagai suatu bentuk
pemberontakan oleh sebagian orangtua. Keluarga yang sehat secara psikologis
dapat menyesuaikan keinginan remaja untuk mandiri dengan memperlakukan
remaja sebagai sosok dewasa dan lebih banyak melibatkan remaja dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan keluarga yang tidak sehat secara psikologis
akan terpaku pada kendali orangtua yang berorientasi pada kekuasaan dan
cenderung menggunakan kontrol yang tinggi terhadap anak. Pencarian terhadap
otonomi dan rasa tanggungjawab pada remaja dapat menimbulkan kebingungan
dan konflik bagi orangtua, karena orangtua akan merasa remaja menjadi sulit
untuk diatur. Disatu sisi remaja menginginkan adanya otonomi dan kebebasan,
namun disisi lain orangtua menganggap remaja menunjukkan pemberontakan.
Kemampuan memperoleh otonomi dan kendali atas perilaku remaja, diperoleh
dari ketepatan reaksi yang diberikan oleh orang dewasa terhadap keinginan remaja
21
atas kendali diri. Remaja awal kurang memiliki pengetahuan yang memadai untuk
membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Seiring
dengan keinginan remaja untuk mendapatkan otonomi dan mampu membuat
keputusan yang masuk akal, orang dewasa yang bijaksana akan mencoba
mengurangi kendali terhadap remaja dengan membimbing remaja yang masih
memiliki keterbatasan dalam pengetahuan. Secara bertahap remaja akan
meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan yang tepat (Santrock,
2007c).
2. Remaja Akhir
Mὄnks, Knoers, dan Haditono (2002) membagi masa remaja menjadi empat, yaitu
masa pra-remaja (10 – 12 tahun), masa remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja
pertengahan (15 – 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 – 21 tahun). Santrock (2007b)
menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode awal
dan periode akhir. Rentang usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan
berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja awal kurang lebih
berlangsung di masa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah akhir. Masa
remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dalam
kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di
masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal.
Menurut Sarwono (2013) remaja akhir adalah masa konsilidasi menuju periode
dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu :
a. Minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Keinginan ego dalam mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuknya identitas seksual yang menetap.
22
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) berubah menjadi
keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
e. Tumbuhnya “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa remaja akhir adalah individu berusia 18 hingga 21 tahun yang
ditandai dengan adanya minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sebagai periode
mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
B. Kesejahteraan Psikologis
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah sebuah konsep
yang berusaha memaparkan tentang positive psychological functioning. Ryff
merumuskan bahwa konsep kesejahteraan psikologis merupakan integrasi dari teori-
teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsep mengenai kesehatan
mental. Kesejahteraan psikologis dikaitkan dengan bagaimana kondisi mental yang
dianggap sehat dan berfungsi maksimal. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan bahwa
kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan tercapainya kebahagiaan, kepuasan
hidup, dan tidak adanya tanda-tanda depresi.
Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik individu yang memiliki
kesejahteraan psikologis mengacu pada pandangan Maslow tentang aktualisasi diri,
pandangan Rogers tentang pemenuhan diri, pandangan Jung tentang individuasi, dan
pandangan Erikson tentang penyelesaian krisis psikososial dalam setiap tahapan
perkembangan. Maslow (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa aktualisasi
diri adalah kebutuhan yang mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi yang
23
dimiliki, dan keinginan untuk menjadi kreatif. Individu yang mencapai aktualisasi diri
dapat menerima diri apa adanya dengan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki,
menerima kekurangan orang lain dan tidak merasa terancam dengan kelebihan orang
lain, serta tidak menuntut adanya kesempuraan karena setiap hal didunia ini tidak ada
yang sempurna. Rogers (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa individu
memiliki kebutuhan untuk meningkatkan diri yang diekspresikan dalam bentuk rasa
ingin tahu, kebahagiaan, eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayaan diri untuk
meraih perkembangan psikologis. Ketika individu terlibat dalam hubungan yang
dilandasi kejujuran, empati, dan penerimaan positif yang tidak bersyarat, maka
individu akan bergerak menuju perubahan personal yang konstruktif dan memiliki
kecenderungan alamiah untuk menuju pemenuhan diri. Jung (dalam Feist & Feist,
2013) menyatakan bahwa individuasi atau realisasi diri merupakan proses untuk
menjadi individu secara utuh yang berarti memiliki seluruh komponen psikologis yang
berfungsi dalam satu kesatuan. Individuasi menjadi tahapan yang sulit dan hanya bisa
dicapai oleh individu yang mampu mengasimilasi kesadaran dengan keseluruhan
kepribadian, mengizinkan ketidaksadaran diri menjadi inti dari kepribadian, serta
mampu menempatkan diri di dunia internal dan eksternal. Erikson (dalam Feist &
Feist, 2013) menyatakan bahwa dalam siklus kehidupan, individu memiliki delapan
tahapan perkembangan psikososial dimana pada tiap tahapan terjadi krisis psikososial.
Setiap individu diharapkan mampu menyelesaikan krisis psikososial pada tiap tahapan.
Keberhasilan menyelesaikan krisis psikososial akan menghasilkan kekuatan dasar dan
memungkinkan individu untuk bergerak ke tahap selanjutnya.
Misero dan Harwadi (2012) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai
suatu kondisi mental yang sehat dimana individu dapat berfungsi optimal dalam
kehidupannya dan memiliki penilaian yang positif atas hidupnya. Lawton (dalam
24
Keyes & Haidt, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis didefinisikan
sebagai tingkat evaluasi atas kompetensi diri dan melakukan pertimbangan atas
tingkatan tujuan individu. Carr (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis
adalah aktualisasi potensi psikologis individu secara optimal. Kesejahteraan psikologis
lebih menekankan pada kondisi optimis dibandingkan kondisi pesimis. Individu yang
optimis akan memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang
dimiliki, ketika menghadapi situasi dengan ketidakpastian. Individu yang pesimis
berkaitan dengan depresi, ketakutan, dan kecemasan dalam menghadapi situasi dengan
ketidakpastian. Kemampuan dalam mengelola berbagai peluang yang ada pada setiap
tekanan, akan terkait dengan perubahan yang positif dalam kesejahteraan fisik,
kesejahteraan psikologis, dan peningkatan kemampuan diri. Individu yang optimis
mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki secara optimal, karena individu
mampu mempersiapkan strategi untuk mengelola berbagai tekanan lingkungan (Carr,
2004). Joseph dan Linley (2008) menyatakan bahwa perkembangan akan dialami oleh
semua individu. Individu termotivasi untuk terlibat dalam penilaian yang realistis
tentang makna dari suatu peristiwa dan bergerak ke arah yang lebih autentik dalam
hidup, hal ini menjadi sebuah proses yang mengarah pada kesejahteraan psikologis
yang lebih baik.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah pencapaian tujuan hidup yang
dilandasi oleh evaluasi kompetensi diri secara cermat, hasrat untuk selalu
mengembangkan diri, kemandirian, mengelola berbagai ancaman dari lingkungan
menjadi daya dorong untuk kemajuan, serta mampu menjalin hubungan positif dengan
orang lain.
25
2. Dimensi Kesejehteraan Psikologis
Ryff (1989) merumuskan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi,
yaitu:
a. Self Acceptance (Penerimaan Diri)
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa penerimaan diri didefinisikan
sebagai ciri utama dari kesehatan mental yang baik, karakteristik dari aktualisasi
diri, kemampuan berfungsi optimal, dan kematangan. Individu dengan taraf
kesejahteraan psikologis tinggi memiliki penerimaan atas diri dan pengalaman
hidup dimasa lalu, serta memiliki sikap yang positif terhadap diri. Ryff (dalam
Compton, 2005) menyatakan bahwa penerimaan diri terdiri dari adanya evaluasi
diri yang positif, mampu mengakui beberapa aspek dalam diri, kemampuan
menerima kualitas diri yang positif maupun negatif sebagai suatu gambaran yang
seimbang dari suatu kemampuan.
Penerimaan diri adalah kemampuan individu dalam mengaktualisasikan diri,
berfungsi secara optimal, dan dapat menerima segi positif ataupun negatif diri.
Individu dengan taraf penerimaan diri tinggi adalah individu yang memiliki sikap
positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam
diri mencakup kualitas diri yang baik maupun yang buruk, serta mampu
merasakan hal yang positif dari kehidupannya. Sebaliknya, individu dengan taraf
penerimaan diri rendah adalah individu yang merasa kurang puas terhadap diri
sendiri, merasa kecewa dengan hal-hal yang telah terjadi pada kehidupan dimasa
lalu, memiliki masalah terkait kualitas tertentu dari diri, dan berharap menjadi
orang yang berbeda dari diri sendiri saat ini (Ryff, 1989).
26
b. Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang Lain)
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kemampuan mencintai dapat
dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Aktualisasi diri
dideskripsikan sebagai perasaan empati dan afeksi yang kuat terhadap semua
manusia dengan memberikan cinta yang besar, persahabatan yang lebih dalam,
dan identifikasi yang mendalam terhadap orang lain. Hubungan yang hangat
dengan orang lain merupakan kriteria dari kematangan. Ryff (dalam Compton,
2005) menyatakan bahwa hubungan positif dengan orang lain terdiri dari adanya
hubungan yang dekat, hangat, dan intim dengan orang lain, memberikan perhatian
terhadap kesejahteraan orang lain, serta empati dan afeksi dengan orang lain.
Hubungan positif dengan orang lain adalah kemampuan individu dalam
menjalin hubungan yang hangat, intim, dan percaya dengan orang lain. Individu
dengan taraf hubungan positif tinggi adalah individu yang hangat, memuaskan,
memiliki empati, kedekatan, afeksi yang kuat, memiliki hubungan berkualitas
dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, serta
memiliki pemahaman akan adanya prinsip memberi dan menerima dalam
hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, individu dengan taraf hubungan positif
rendah adalah individu yang kurang mampu dalam menjalin hubungan dekat dan
kepercayaan dengan orang lain, kesulitan untuk menjadi hangat, kurang terbuka,
kurang memberikan perhatian pada orang lain, merasa terisolasi dalam hubungan
dengan orang lain, serta sulit berkompromi dalam mempertahankan hubungan
dengan orang lain (Ryff, 1989).
27
c. Autonomy (Kemandirian)
Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa kemandirian adalah adanya
kebebasan dan mampu menentukan pilihan sendiri, kemampuan bertahan dalam
menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan mengatur perilaku diri sendiri.
Individu yang mandiri adalah individu yang memiliki kemampuan otonomi,
mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri. Individu
dengan taraf kemandirian tinggi adalah individu yang memiliki kebebasan dan
mampu menentukan diri sendiri, dapat bertahan dalam menghadapi tekanan sosial
baik dalam tindakan maupun pikiran, mampu mengatur perilaku diri sendiri, dan
mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sebaliknya, individu yang tidak
mandiri adalah individu yang memiliki ketergantungan terhadap orang lain dalam
pengambilan keputusan yang penting, mengikuti tekanan sosial baik dalam
pikiran maupun tindakannya, dan memberikan perhatian terhadap harapan dan
evaluasi dari orang lain (Ryff, 1989).
d. Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan)
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental didefinisikan
sebagai kemampuan individu dalam memilih dan membuat lingkungan yang
cocok untuk kondisi fisiknya. Kematangan individu membutuhkan partisipasi
dalam aktivitas diluar diri dengan kemampuan untuk memanipulasi dan kontrol
terhadap lingkungan yang mencakup kemampuan individu untuk berkembang di
dunia dan merubah secara kreatif aktivitas fisik dan mental. Kombinasi dari
partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan adalah kunci dalam meningkatkan
kesejahteraan psikologis. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa
penguasaan lingkungan adalah adanya hasrat menguasai dan mengatur
28
lingkungan, kemampuan dalam memilih situasi dan lingkungan yang kondusif
dalam menemukan tujuan.
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu dalam memilih,
menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis
sebagai upaya untuk mengembangkan diri. Individu dengan taraf penguasaan
lingkungan tinggi adalah individu yang memiliki kemampuan untuk menguasai
dan mengatur lingkungan, mampu mengendalikan hal-hal kompleks dalam
berbagai aktivitas, efektif dalam menggunakan kesempatan yang ada pada
lingkungannya, dapat memilih atau membuat lingkungan yang sesuai dengan nilai
atau kebutuhan pribadinya. Sebaliknya, individu dengan taraf penguasaan
lingkungan rendah adalah individu yang memiliki kesulitan dalam mengatur
aktivitas sehari-hari, merasa tidak mempu mengubah atau meningkatkan kualitas
lingkungan, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungan, dan
kurang memiliki kontrol dalam mengendalikan dunia luar (Ryff, 1989).
e. Purpose Of Life (Tujuan Hidup)
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental mencakup
keyakinan dalam menentukan tujuan dan makna dari hidup. Definisi dari
kematangan selalu menekankan pada kejelasan dari tujuan hidup, perasaan
terarah, dan intensionalitas. Individu yang memiliki tujuan, intensi, dan perasaan
terarah berkaitan dengan perasaan atas hidup yang bermakna. Ryff (dalam
Compton, 2005) menyatakan bahwa tujuan hidup adalah adanya hasrat memiliki
makna hidup dan perasaan terarah dalam hidup.
Tujuan hidup adalah kemampuan individu yang memiliki arah dan makna
dalam hidup. Individu dengan taraf tujuan hidup tinggi adalah individu yang
memiliki rasa keterarahan dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan
29
masa kini, memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup, serta
memiliki objektifitas untuk hidup. Sebaliknya, individu dengan taraf tujuan hidup
rendah adalah individu yang merasa hidup kurang bermakna, kurang memiliki
rasa keterarahan dalam hidup, kurang yakin dalam memberikan tujuan hidup,
serta tidak melihat makna dalam kehidupan di masa lalu (Ryff, 1989).
f. Personal Growth (Perkembangan Pribadi)
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa fungsi psikologis yang optimal
tidak hanya ketika adanya karakteristik pencapaian dimasa lalu, namun lebih
menekankan pada proses berkelanjutan pada perkembangan potensi dan
memperluas diri. Terbuka pada pengalaman baru menjadi karakteristik dari
perkembangan pribadi. Individu yang berkembang merupakan individu yang lebih
dari sekedar memperoleh pencapaian suatu pemecahan masalah pada suatu waktu
tertentu, namun menekankan pada perkembangan yang berkelanjutan dan
menemukan tantangan baru sebagai tugas dalam suatu periode. Ryff (dalam
Compton, 2005) menyatakan bahwa perkembangan pribadi adalah kemampuan
dalam mengembangkan potensi diri, keterbukaan pada pengalaman baru, dan
hasrat untuk berkembang secara berkelanjutan.
Perkembangan pribadi adalah kemampuan individu yang memiliki upaya dan
keinginan untuk terus bertumbuh dan mengembangkan potensi. Individu dengan
taraf perkembangan pribadi tinggi adalah individu yang memiliki hasrat untuk
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan, terbuka
terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari
potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan adanya peningkatan dalam diri dan
perilaku pada setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif
dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu dengan taraf
30
perkembangan pribadi rendah adalah individu yang merasa mengalami stagnasi,
merasa kurang adanya peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan
kehilangan minat dalam hidup, serta merasa kurang mampu mengembangkan
sikap dan perilaku menjadi lebih luas (Ryff, 1989).
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi
kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu Self Acceptance
(Penerimaan Diri), Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang
Lain), Autonomy (Kemandirian), Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan),
Purpose Of Life (Tujuan Hidup), dan Personal Growth (Perkembangan Pribadi).
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Singer (1996) beberapa faktor yang memengaruhi
kesejahteraan psikologis, yaitu:
a. Usia
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan usia memengaruhi
perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Pada dimensi
penguasaan lingkungan dan dimensi kemandirian mengalami peningkatan seiring
dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal hingga dewasa madya.
Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal, dewasa madya,
dan dewasa akhir. Pada dimensi tujuan hidup dan perkembangan pribadi
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia, terutama dari dewasa
madya hingga dewasa akhir. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi
penerimaan diri selama usia dewasa awal hingga dewasa akhir.
Penelitian Cripss dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa kesejahteraan
psikologis pada remaja ditandai dengan adanya persepsi positif atas harga diri,
31
evaluasi diri, hubungan dengan teman sebaya, dan pengalaman hidup yang
diperoleh dari keluarga. Stres psikologis yang dialami remaja dapat menyebabkan
pikiran dan emosi negatif pada remaja.
b. Jenis Kelamin
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin
memengaruhi perbedaan dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis.
Wanita memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria pada dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan dimensi perkembangan pribadi. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri, kemandirian, tujuan
hidup, dan penguasaan lingkungan.
c. Kelas Sosial
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa Wisconsin Longitudinal Study
mengungkapkan adanya gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa
madya. Pendidikan memiliki hubungan yang kuat dengan kesejahteraan. Terkait
dengan pencapaian pendidikan, ada perbedaan yang sangat signifikan pada
dimensi tujuan hidup dan dimensi perkembangan pribadi. Kesejahteraan yang
tinggi berhubungan dengan status pekerjaan yang tinggi pula. Pendidikan yang
tinggi dan status pekerjaan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup.
Individu yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih
positif terhadap diri sendiri dan masa lalu, serta memiliki rasa keterarahan dalam
hidup dibandingkan dengan individu yang berada di kelas yang lebih rendah.
d. Budaya
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa budaya yang berkembang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu individual dan kolektif. Budaya barat memiliki nilai
32
yang tinggi pada penerimaan diri dan kemandirian, sedangkan budaya timur
memiliki nilai yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain. Penelitian
mengenai kesejahteraan psikologis yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan
menunjukkan bahwa responden Amerika memiliki kualitas diri yang lebih positif
dibandingkan dengan Korea Selatan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh
budaya, dimana orientasi budaya di Amerika yang lebih bersifat individual dan
mandiri, sedangkan orientasi budaya di Korea Selatan yang lebih bersifat kolektif
dan saling ketergantungan.
Ryff (2014) menambahkan beberapa faktor yang memengaruhi kesejahteraan
psikologis, yaitu:
a. Kepribadian
Ryff (2014) menyatakan bahwa ada penelitian mengenai hubungan Big Five
OCEAN dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa
openness to experience berhubungan dengan dimensi perkembangan pribadi,
agreeableness berhubungan dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain,
serta extraversion conscientiousness dan neuroticism berhubungan dengan
dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan penerimaan diri. Penelitian
yang dilakukakan di Amerika Serikat dan Jerman menunjukkan bahwa
kepribadian lebih menentukan kesejahteraan dibandingkan regulasi diri di kedua
negara tersebut.
Penelitian longitudinal menemukan bahwa remaja yang bersifat ramah dan
mudah bergaul di usia muda akan memiliki taraf kesejahteraan tinggi pada masa
paruh bayanya. Sebaliknya, remaja yang neuroticism diprediksi memiliki nilai
yang rendah pada semua dimensi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis
dengan adanya kontrol diri yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan
33
tinggi. Individu dengan harga diri yang stabil diprediksi memiliki nilai yang tinggi
pada dimensi kemandirian.
b. Pengalaman Keluarga
Ryff (2014) menyatakan bahwa peran, transisi, dan pengalaman dalam
keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Banyak orang dewasa
yang menempati beberapa peran dalam keluarga (sebagai orang tua, anak,
saudara, pasangan). Penelitian telah menemukan bahwa individu dengan peran
yang besar dalam keluarga memiliki taraf kesejahteraan psikologis tinggi, karena
memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dan penerimaan diri. Wanita
yang terdidik dalam menjalani berbagai peran menunjukkan nilai yang tinggi pada
dimensi kemandirian. Hubungan dalam keluarga dan ritual keluarga berkaitan
dengan kesejahteraan psikologis di usia remaja dan usia tengah baya.
Penelitian menunjukkan bahwa secara konsisten individu yang menikah
memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dibandingkan dengan
individu yang bercerai, janda, atau tidak pernah menikah. Janda dan wanita yang
tidak pernah menikah memiliki taraf kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan
duda dan pria yang tidak pernah menikah. Wanita yang belum menikah memiliki
nilai yang tinggi pada dimensi kemandirian dan perkembangan pribadi
dibandingkan dengan wanita yang menikah. Transisi dari pernikahan ke
perceraian menyebabkan penurunan kesejahteraan psikologis pada wanita.
Pengalaman pengasuhan berkaitkan dengan kesejahteraan pada individu di
usia dewasa. Peristiwa tidak terduga yang terjadi dalam suatu keluarga akan
memengaruhi kesejahteraan psikologis. Trauma akan kehilangan anggota keluarga
akan menyebabkan depresi dan masalah kesehatan. Kehilangan orangtua atau
perceraian orangtua yang terjadi sebelum anak berusia 17 tahun berkaitan dengan
34
nilai yang rendah pada dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan
hubungan yang positif dengan orang lain. Kehidupan keluarga menunjukkan
hubungan yang luas terhadap kesejahteraan psikologis pada individu di usia
dewasa.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, maka faktor yang memengaruhi
kesejahteraan psikologis adalah usia, jenis kelamin, kelas sosial, budaya, kepribadian,
dan pengalaman keluarga.
C. Pola Asuh Autoritatif
1. Definisi Pola Asuh
Menurut Darling (1999) pola asuh diartikan sebagai aktivitas kompleks yang
mencakup berbagai perilaku spesifik, dimana aktivitas tersebut bekerja sendiri dan
bersama-sama memengaruhi perkembangan anak. Ada variasi dalam penerapan
pengasuhan orangtua terhadap anak, namun semua orangtua memiliki peranan utama
yaitu memengaruhi, mengajar, dan mengontrol anak. Olson dan DeFrain (2003)
menyatakan bahwa pengasuhan memiliki dua aspek yaitu dukungan orangtua dan
kontrol orangtua. Dukungan orangtua didefinisikan sebagai bentuk kepedulian,
keterbukaan, dan afeksi yang ditunjukkan atau diberikan oleh orangtua kepada anak.
Kontrol orangtua didefinisikan sebagai tingkat fleksibilitas orangtua yang digunakan
dalam menegakkan aturan dan menerapkan disiplin pada anak.
Baumrind (2005) menyatakan bahwa ada dua faktor dari perlakuan orangtua yang
digunakan dalam menentukan pola asuh orangtua, yaitu:
a. Responsiveness
Responsiveness mengarah pada tanggapan yang diberikan orangtua dalam
proses perkembangan anak dengan cara menyesuaikan diri, mendukung, dan
35
menyetujui permintaan anak. Orangtua yang memiliki responsiveness cenderung
akan menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah.
b. Demaningness
Demaningness mengarah pada tuntutan yang diberikan orangtua yang
mendorong anak menjadi terintegrasi dalam lingkungan sosial melalui adanya
peraturan perilaku, konfrontasi langsung, tuntutan dalam mencapai kematangan
(kontrol perilaku), dan pengawasan terhadap aktivitas anak (memonitor).
2. Tipe-Tipe Pola Asuh
Baumrind (1991) menyatakan bahwa ada empat tipe pola asuh orangtua, yaitu:
a. Autoritarian
Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritarian menunjukkan
adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang tinggi. Orangtua
tidak menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah,
namun fokus pada pembentukan, kontrol, dan evaluasi terhadap perilaku dan
sikap anak yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Orangtua
menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki dalam penetapan aturan dan
standar yang tegas bagi anak. Orangtua tidak bersedia menerima pendapat anak,
karena menganggap anak harus menerima dan melakukan segala hal yang telah
ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966).
b. Permisif
Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh permisif menunjukkan adanya
responsiveness yang tinggi dan demaningness yang rendah. Orangtua cenderung
menerima dan menyetujui segala keinginan dan perilaku anak. Orangtua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu memberikan tuntutan dan kontrol
terhadap anak. Orangtua akan memberikan penjelasan dan berdiskusi dalam
36
menetapkan suatu aturan. Orangtua hanya memberikan beberapa tuntutan dan
tanggungjawab terhadap anak, serta berusaha menjadi sosok yang diinginkan oleh
anak. Orangtua membiarkan anak untuk mengatur segala aktivitas mereka dengan
tidak menggontrol dan memaksa anak untuk mencapai standar yang telah
ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966).
c. Tidak Peduli
Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh tidak peduli menunjukkan
adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang rendah. Orangtua
tidak menunjukkan kehangatan dan komunikasi dua arah, kerena cenderung
bersikap mengabaikan dan tidak peduli terhadap anak. Orangtua tidak menetapkan
struktur dan aturan yang jelas bagi anak, sehingga anak akan mengalami
kebingungan dalam berperilaku. Orangtua tidak menunjukkan dukungan, kontrol,
dan pengawasan terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1991).
d. Autoritatif
Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritatif menunjukkan
adanya responsiveness yang tinggi dan demaningness yang tinggi. Orangtua
menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun
tetap melakukan kontrol dan mengawasi aktivitas anak. Orangtua berupaya untuk
mengarahkan aktivitas anak secara rasional, mendorong anak untuk berani
berpendapat melalui dialog secara verbal, mendengarkan pendapat anak, dan
bersedia berbagi dengan anak terkait alasan menetapkan suatu aturan. Orangtua
memiliki kekuasaan dan memberikan alasan dalam pembentukan aturan yang
akan disusun secara objektif berdasarkan hasil keputusan bersama antara orangtua
dan anak. Orangtua juga menekankan pada keseimbangan antara kesenangan dan
tugas, kebebasan dan tanggungjawab, serta otonomi dan disiplin. Orangtua
37
memiliki keinginan untuk menjatuhkan hukuman yang bijaksana dan terbatas,
ketika pemberian hukuman tersebut diperlukan. (Baumrind, 1966). Orangtua akan
terlibat secara langsung dalam aktivitas anak, memiliki kejelasan dalam penetapan
aturan dan harapan, serta menghargai kemandirian anak dan disiplin anak dengan
kelompok. Orangtua akan menerima kualitas anak saat ini, namun tetap adanya
ketegasan dalam menetapkan standar dimasa depan dengan memberikan alasan
yang rasional untuk membantu anak dalam pencapaian secara objektif (Baumrind,
1968).
Karakteristik dari orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif, antara lain
asertif tanpa membatasi dan mengganggu anak, memiliki kejelasan dan ketegasan
namun terbuka untuk kompromi dan negosiasi, memiliki harapan yang besar
terhadap anak, memberikan perlakuan yang menunjukkan kehangatan, empati,
cinta yang tidak bersyarat, dan berpusat pada anak. Orangtua akan mendorong
anak untuk memiliki rasa individualitas dan kemandirian dengan cara
menunjukkan kehangatan dan memahami pandangan anak. Orangtua
membutuhkan kemampuan untuk berperilaku dewasa dalam menerapkan tuntutan
dasar dan larangan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak.
Orangtua akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara asertif dalam
membuat tuntutan pada anak dengan memberikan penjelasan dan menyesuaikan
dengan perilaku anak. Orangtua memiliki alasan dan bersedia melakukan diskusi
untuk memperoleh kepatuhan anak, serta bersedia melakukan negosiasi ketika
anak merasa keberatan dalam mematuhi aturan yang ada. Orangtua akan memuji
pencapaian perilaku yang baik, namun akan memberikan kritik untuk mengubah
perilaku yang buruk (Baumrind, 2008).
38
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola
asuh autotitatif adalah tipe pengasuhan orangtua yang memiliki keseimbangan antara
responsiveness dan demaningness, dimana orangtua menunjukkan kehangatan,
dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun tetap melakukan kontrol dan
mengawasi aktivitas anak.
3. Keunggulan dan Kelemahan Masing-Masing Tipe Pola Asuh
Menurut Darling (1999) ada beberapa keunggulan dan kelemahan dari masing-
masing tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind, yaitu:
a. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatrian (rendah pada
responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung menunjukkan performa
yang cukup baik disekolah dan tidak terlibat dalam masalah perilaku, namun
memiliki keterampilan sosial yang kurang baik, harga diri yang rendah, dan tingkat
depresi yang tinggi.
b. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang permisif (tinggi pada
responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung memiliki keterampilan
sosial yang baik, harga diri yang tinggi, dan tingkat depresi yang rendah, namun
menunjukkan performa yang rendah disekolah dan lebih memungkinkan untuk
terlibat dalam masalah perilaku.
c. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang tidak peduli (rendah pada
responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung menunjukkan performa
yang kurang baik dalam segala bidang.
d. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatif (tinggi pada
responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung memiliki penilaian diri
yang objektif, memiliki kompetensi sosial yang lebih baik, dan tidak terlibat dalam
39
masalah perilaku baik pada anak laki-laki ataupun perempuan dalam setiap
tahapan perkembangan.
4. Dimensi-Dimensi Pola Asuh
Cross (2009) merumuskan 19 dimensi perilaku orangtua dalam mengasuh anak
yang berdasarkan pada affect dan control, yaitu :
a. Pleasure in parental role (Pl)
Kesenangan berperan sebagai orang tua adalah menikmati interaksi dengan anak,
menampilkan permainan dan humor, dan menunjukkan kesenangan ketika anak
berprestasi.
b. Displeasure in parental role (DP)
Ketidaksenangan berperan sebagai orangtua adalah merasa tidak bahagia,
menunjukkan kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa
terganggu oleh aktivitas anak.
c. Confident in parental role (Cn)
Keyakinan berperan sebagai orangtua adalah memiliki perasaan aman, mampu
berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan tangguh
dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.
d. Respect for child’s autonomy (Rt)
Menghargai otonomi anak adalah tidak membosankan, mengakui keabsahan dan
perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi anak, bernegosiasi
dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia produktif anak.
e. Limit setting (LS)
Membatasi pengaturan adalah menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya
konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada konflik
dan atau ketidakpatuhan.
40
f. Expressiveness (Ex)
Ekspresif adalah tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui bahasa tubuh,
ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara langsung perasaan,
pikiran, kesenangan, dan kepedihan.
g. Maturity demand (MD)
Tuntutan kematangan adalah menyusun suatu standar yang sesuai dengan
kapabilitas dan tahapan perkembangan anak.
h. Precision in parent’s use if language (Pr)
Ketelitian dalam penggunaan bahasa pada orangtua adalah menggunakan bahasa
secara jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak,
menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian anak.
i. Structure provided by parent (St)
Struktur yang disediakan orangtua adalah memberikan informasi yang adekuat
tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir, adanya
situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara objektif, menyusun
langkah secara logis, dan fleksibel dalam mempertahankan fokus mengenai apa
yang harus dilakukan.
j. Warmth of parent’s interaction with child (Wm)
Kehangatan interaksi orangtua dengan anak adalah menunjukkan penerimaan
yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan dukungan emosional
pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak sebagai upaya peningkatan
diri.
k. Coldness of parent’s interaction with child (Cl)
Interaksi yang dingin antara orangtua dan anak adalah menunjukkan adanya
kesendirian dan menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak.
41
l. Anger (An)
Marah adalah tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang diekspresikan oleh
orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak langsung.
m. Responsiveness to child (Rn)
Responsif terhadap anak adalah mendengarkan ekspresi anak dengan penuh
perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku anak, adanya
koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan menanggapi
kebutuhan anak.
n. Interactiveness (In)
Interaktif adalah sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak, keterlibatan
orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah.
o. Creativity (Cr)
Kreativitas adalah sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika berinteraksi
dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan atau kreatif dalam
pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan (orang tua berperan sebagai
pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan solusi yang menyenangkan dan
yang baru).
p. Activity (At)
Aktivitas adalah tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama berinteraksi, dan
gerakan disekitar ruangan.
q. Happiness (Ha)
Kebahagiaan adalah tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal ataupun
nonverbal.
42
r. Sadness (Sa)
Kesedihan adalah tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun
nonverbal.
s. Anxiety (Ax)
Kecemasan adalah orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas,
menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat
diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam pemisahan,
dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan.
Kesembilanbelas dimensi mental tersebut akan menunjukkan empat tipe pola asuh
yang diterapkan orangtua kepada anak, yaitu Autoritatif, Autoritarian, Permisif, dan
Neglectful. Dimensi pola asuh orangtua dapat dilihat pada gambar 1.
High Control
Authoritarian MD LS Authoritative
St Pr Rn In
At Cr
Negative DP An Ax Wm Rt Pl Positive
Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect
Neglectful Permissive
Low Control
Gambar 1. Empat Tipe Pola Asuh Orangtua Berdasarkan 19 Dimensi Mental (Cross, 2009)
43
Menurut Cross (2009) tinggi dan rendahnya nilai affect dan control dapat digunakan
dalam menggolongkan tipe pola asuh autoritarian, permisif, tidak peduli, dan autoritatif,
sebagai berikut:
a. Autoritarian
Orangtua dengan pola asuh autoritarian memiliki affect yang negatif dan control
yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:
1) Maturity demand (MD), yaitu menyusun suatu standar yang sesuai dengan
kapabilitas dan tahapan perkembangan anak.
2) Structure provided by parent (St), yaitu memberikan informasi yang adekuat
tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir,
adanya situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara
objektif, menyusun langkah secara logis, dan fleksibel dalam
mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dilakukan.
3) Activity (At), yaitu tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama
berinteraksi, dan gerakan disekitar ruangan
4) Displeasure in parental role (DP), yaitu merasa tidak bahagia, menunjukkan
kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa terganggu
oleh aktivitas anak.
5) Anger (An), yaitu tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang
diekspresikan oleh orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak
langsung
6) Anxiety (Ax), yaitu orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas,
menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat
diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam
pemisahan, dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan
44
b. Permisif
Orangtua dengan pola asuh permisif memiliki affect yang positif dan control yang
rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:
1) Happiness (Ha), yaitu tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal
ataupun nonverbal.
2) Expresiveness (Ex), yaitu tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui
bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara
langsung perasaan, pikiran, kesenangan, dan kepedihan.
3) Confident in parental role (Cn), yaitu memiliki perasaan aman, mampu
berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan
tangguh dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.
c. Tidak Peduli
Orangtua dengan pola asuh tidak peduli memiliki affect yang negatif dan control
yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:
1) Coldness of parent’s interaction with child (Cl), yaitu adanya kesendirian dan
orangtua yang menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak.
2) Sadness (Sa), yaitu tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun
nonverbal.
d. Autoritatif
Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki affect yang positif dan control
yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:
1) Limit setting (LS), yaitu menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya
konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada
konflik dan atau ketidakpatuhan.
45
2) Precision in parent’s use if language (Pr), yaitu menggunakan bahasa secara
jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak,
menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian
anak
3) Responsiveness to child (Rn), yaitu mendengarkan ekspresi anak dengan
penuh perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku
anak, adanya koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan
menanggapi kebutuhan anak.
4) Interactiveness (In), yaitu sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak,
keterlibatan orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah.
5) Creativity (Cr), yaitu sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika
berinteraksi dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan
atau kreatif dalam pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan
(orang tua berperan sebagai pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan
solusi yang menyenangkan dan yang baru).
6) Warmth of parent’s interaction with child (Wm), yaitu menunjukkan
penerimaan yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan
dukungan emosional pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak
sebagai upaya peningkatan diri.
7) Respect for child’s autonomy (Rt), yaitu tidak membosankan, mengakui
keabsahan dan perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi
anak, bernegosiasi dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia
produktif anak.
46
8) Pleasure in parental role (Pl), yaitu menikmati interaksi dengan anak,
menampilkan permainan dan humor, dan meunjukkan kesenangan ketika
anak berprestasi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan dimensi pola asuh autoritatif
yang dikemukakan oleh Cross (2009), yaitu Limit setting (LS), Precision in parent’s
use if language (Pr), Responsiveness to child (Rn), Interactiveness (In), Creativity
(Cr), Warmth of parent’s interaction with child (Wm), Respect for child’s autonomy
(Rt), dan Pleasure in parental role (Pl).
D. Efikasi Diri
1. Definisi Efikasi Diri
Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi adalah kemampuan generatif yang
meliputi kognitif, sosial, emosional, dan perilaku sebagai bagian dari keterampilan
yang harus diorganisir dan diatur dengan efektif untuk mencapai suatu tujuan. Efikasi
diri adalah adanya keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengatur dan
melaksanakan tugas yang bertujuan untuk menghasilkan suatu pencapaian. Efikasi diri
merupakan ranah afektif, dimana individu memiliki keyakinan atas kemampuan diri
untuk mempu menyelesaikan tugas dengan berbagai halangan yang akan ditemui dan
mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas pada
bidang yang berbeda. Efikasi diri merupakan dasar utama dari suatu tindakan. Individu
yang merasa tindakan yang dilakukannya dapat memunculkan dampak positif, maka
akan bertindak sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Individu yang merasa tindakan
yang dilakukannya dapat memunculkan dampak negatif, maka tidak akan berusaha
dalam melakukan sesuatu.
47
Menurut Bandura (1997) efikasi diri tidak berfokus pada sejumlah keterampilan
yang individu miliki, tetapi bagaimana individu percaya bahwa dirinya mampu
melakukan sesuatu ketika berada dalam berbagai keadaan. Efikasi diri bukan
mengukur keterampilan yang dimiliki, tetapi mengukur tentang apa yang dapat
dilakukan ketika berada pada berbagai kondisi dengan keterampilan yang dimiliki.
Dampak dari efikasi diri dalam kualitas hidup individu tergantung pada tujuan yang
ingin dicapai.
Feist dan Feist (2013) menyatakan bahwa efikasi diri sebagai keyakinan diri atas
kemampuan dalam melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk menjadi sukses.
Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan lebih memungkinkan untuk sukses dalam
suatu pencapaian. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan lebih
memungkinkan untuk gagal dalam suatu pencapaian. Efikasi diri bervariasi dari satu
situasi ke situasi lain yang dapat ditentukan oleh kompetensi yang dibutuhkan pada
aktivitas yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, kompetensi yang dipersepsikan
dari orang lain, serta kondisi psikologis seperti kelelahan, kecemasan, apatis, dan
ketidakberdayaan (Feist & Feist, 2013).
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan diri untuk berfungsi
secara optimal dalam suatu pencapaian yang dilandasi dengan adanya keyakinan yang
konsisten dan kuat dalam menyelesaikan berbagai tugas menantang meskipun
mengalami berbagai hambatan, karena yakin akan mampu mengaplikasikan
kompetensi diri pada bidang tugas yang akan dihadapi.
48
2. Dimensi Efikasi Diri
Bandura (1997) merumuskan bahwa efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu:
a. Level (Tingkat Kesulitan Tugas)
Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan level kesulitan tugas
yang dapat diselesaikan oleh individu. Tiap individu memiliki level kesulitan
tugas yang berbeda-beda. Individu yang memahami kemampuan dalam diri dapat
mengukur dan membuat rentang tugas yang mampu diselesaikannya mulai dari
tugas dengan tingkat kesulitan ringan hingga tugas dengan tingkat kesulitan berat.
Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan memiliki keyakinan yang konsisten
dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki
kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, individu dengan taraf
efikasi diri rendah akan merasa ragu dalam menghadapi tugas dengan tingkat
kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mengalami
kegagalan.
b. Generality (Luas Bidang Perilaku)
Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tugas dan
perilaku. Pengalaman atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas memunculkan
penguasaan terhadap bidang tugas yang serupa. Penguasaan terhadap suatu bidang
tugas tertentu, akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri. Generality
dapat dinilai dari tingkat aktivitas yang sama dan cara-cara dalam melakukan
sesuatu, dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif,
dan konatif. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi mampu mengerjakan tugas
yang berbeda dengan adanya kemiripan tugas yang pernah dilakukan sebelumnya,
karena merasa mampu mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang
49
tugas lainnya. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan merasa
ragu dalam mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang tugas lainnya.
c. Strength (Kemantapan Keyakinan)
Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan adanya keyakinan
yang kuat, ulet, dan tekun dalam mencapai tujuan meskipun mengalami kesulitan
dan hambatan. Individu yang percaya akan kemampuan diri tidak akan mudah
menyerah dan tetap bertahan untuk berupaya dalam menghadapi kesulitan dan
tantangan. Individu tidak akan mudah menyerah pada kesulitan tugas. Individu
dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki ketekunan yang kuat dan merasa
adanya peluang keberhasilan dalam suatu pencapaian, walaupun dihadapkan pada
tingkat kesulitan tugas yang tinggi. Individu dengan efikasi diri yang rendah akan
mudah menyerah dalam menghadapi tugas dan tantangan. Individu yang memiliki
keyakinan kuat terhadap kemampuan diri menganggap tugas yang sulit sebagai
tantangan yang harus dihadapi, bukan sebagai ancaman atau sesuatu yang harus
dihindari.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi
efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu Level (Tingkat Kesulitan
Tugas), Generality (Luas Bidang Perilaku), dan Strength (Kemantapan Keyakinan).
3. Sumber-Sumber Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) ada empat sumber efikasi diri, yaitu:
a. Enactive Mastery Experience
Menurut Bandura (1997) pengalaman individu adalah sumber yang paling
memengaruhi efikasi diri. Pengalaman kesuksesan dimasa lalu dapat memberikan
bukti yang paling nyata atas kemampuan dalam mencapai kesuksesan.
Pengalaman berhasil akan meningkatkan harapan mengenai kemampuan diri,
50
sedangkan pengalaman akan gagal akan menurunkan harapan mengenai
kemampuan diri. Individu yang berhasil menyelesaikan tugas tertentu akan
memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas-tugas serupa di masa mendatang.
Individu yang mengalami keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas atau
tantangan akan meningkatkan taraf efikasi diri, semakin sering individu berhasil
maka semakin meningkatkan keyakinan atas diri. Adanya kesulitan dapat
memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengubah kegagalan menjadi
kesuksesan dengan cara mengasah kemampuan individu untuk melakukan kendali
yang lebih baik atas suatu peristiwa.
b. Vicarious Experience
Menurut Bandura (1997) pengalaman keberhasilan orang lain dapat menjadi
sumber dari efikasi diri. Efikasi dapat muncul dengan cara melihat kesuksesan dan
keberhasilan orang lain yang dijadikan model atau contoh. Individu dapat
berperan sebagai pengamat, sedangkan orang lain dapat berperan sebagai model
yang menjadi perantara dalam memengaruhi efikasi diri individu. Efikasi diri
dapat dipengaruhi apabila model merupakan sosok yang memiliki kemiripan
karakteristik personal dengan individu. Sebaliknya efikasi diri tidak dapat
dipengaruhi apabila individu melihat model sebagai sosok yang berbeda dari
dirinya. Efikasi diri dapat meningkat saat melihat keberhasilan orang lain yang
memiliki kompetensi yang setara dengan diri, namun dapat menurun saat melihat
kegagalan orang tersebut. Modelling dapat efektif untuk meningkatkan efikasi diri
pada waktu menghadapi tugas dan tantangan.
c. Verbal Persuasion
Menurut Bandura (1997) persuasi verbal dapat menjadi sumber dari efikasi
diri. Persuasi verbal berperan sebagai sarana yang dapat memperkuat keyakinan
51
individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai hal yang
diinginkan. Efikasi diri muncul melalui kepercayaan individu terhadap
kemampuan diri dalam mencapai hal yang diinginkan. Persuasi verbal akan
efektif diberikan ketika individu sedang berjuang dalam menghadapi kesulitan
dan keraguan. Ketika individu mengalami kesulitan maka akan muncul perasaan
ragu atas kemampuan diri dan membutuhkan orang lain yang mampu memberikan
semangat kepada dirinya. Persuasi verbal dapat meningkatkan dan menurunkan
efikasi diri yang ditentukan oleh pihak yang memberikan persuasi dan pihak yang
mendapatkan persuasi. Persuasi verbal dapat berperan sebagai tenaga pendorong
perubahan diri menuju penilaian yang positif. Individu yang menerima persuasi
verbal akan memiliki kemampuan untuk menguasai tugas yang diberikan, dengan
upaya yang cenderung lebih besar dan akan bertahan ketika mengalami kesulitan
dan keraguan diri. Individu yang menerima persuasi verbal akan lebih
bersemangat ketika menghadapi situasi yang sulit, sedangkan individu yang tidak
menerima persuasi verbal akan mengalami penurunan semangat karena cenderung
mengalami keraguan diri dan memikirkan kekurangan diri.
d. Physiological and Affective States
Menurut Bandura (1997) tingkat fisiologis dan suasana hati individu dapat
menjadi sumber dari efikasi diri. Individu akan menilai kelelahan, rasa sakit, dan
nyeri yang dirasakan sebagai petunjuk tentang efikasi diri, ketika menghadapi
aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina. Kondisi tubuh yang sehat dapat
meningkatkan efikasi diri, sedangkan kondisi tubuh yang lemah dapat
menurunkan efikasi diri. Suasana hati yang positif dapat memengaruhi penilaian
terhadap diri yang cenderung positif, sebaliknya suasana hati yang negatif dapat
memengaruhi penilaian terhadap diri yang cenderung negatif. Keberhasilan yang
52
dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif dapat
meningkatkan efikasi diri, namun keberhasilan yang dialami ketika individu
berada dalam suasana hati yang negatif akan memunculkan underestimate.
Kegagalan yang dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif
akan memunculkan overestimate, namun kegagalan yang dialami ketika individu
berada dalam suasana hati yang negatif dapat menurunkan efikasi diri.
E. Perilaku Prososial
1. Definisi Perilaku Prososial
Menurut Baron dan Branscombe (2012), perilaku prososial adalah tindakan yang
dilakukan secara individual dan menjadi bagian yang sangat umum dari kehidupan
sosial, walaupun pemberi tidak memperoleh manfaat atas tindakan yang dilakukan.
Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial mengacu pada
tindakan sukarela untuk membantu atau memberikan manfaat bagi orang lain atau
kelompok. Perilaku prososial berupa tindakan tanpa paksaan atau tanpa pamrih akan
memberikan hasil yang positif bagi orang lain. Perilaku prososial dapat berupa
perilaku memberi, bekerjasama, berbagi, membantu, dan menghibur. Eisenberg,
Damon, dan Lerner (2006) menambahkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku
sukarela yang memberikan keuntungan bagi orang lain untuk meningkatkan kualitas
interaksi antar individu dan antar kelompok. Wrightsman dan Deaux (1981)
menyatakan bahwa perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang memberikan
konsekuensi positif secara sosial yang dapat berkontribusi dalam kesejahteraan fisik
atau psikologis. Staub (1978) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah segala
bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi penerima dalam bentuk materi
fisik ataupun psikologis. Perilaku prososial diartikan sebagai perilaku yang
53
menguntungkan, tetapi tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi pemberi.
Pemberi belum tentu mendapatkan keuntungan, namun bersedia mengorbankan diri
sendiri. Millon, Lerner, dan Weiner (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial
mencakup berbagai tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih
orang lain selain diri sendiri. Perilaku prososial dapat berupa perilaku membantu,
menghibur, berbagi, dan bekerja sama. Desmita (2009) menambahkan bahwa perilaku
prososial didefinisikan sebagai tindakan sosial positif yang dilakukan atas dasar
sukarela tanpa mengharapkan reward eksternal yang menguntungkan dan membuat
kondisi fisik atau psikis orang lain menjadi lebih baik. Perilaku prososial meliputi
membantu atau menolong, berbagi, dan menyumbang.
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup
setiap tindakan membantu yang dirancang untuk membantu orang lain dan terlepas
dari keinginan untuk disebut sebagai penolong. Perilaku prososial dapat dimulai dari
perilaku altruism tanpa pamrih hingga tindakan yang dimotivasi oleh pamrih untuk
kepentingan pribadi. Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar individu
yang dapat dilandasi dengan perasaan suka, merasa memiliki kewajiban, melakukan
tanpa pamrih, dan melakukan secara empati. Santrock (2007a) menyatakan bahwa
perilaku prososial adalah adanya kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain,
perhatian dan empati terhadap orang lain, serta berbuat sesuatu yang memberikan
manfaat bagi orang lain. Bentuk paling murni dari perilaku prososial adalah altruism.
Altruism adalah adanya ketertarikan untuk tidak egois dalam membantu orang lain.
Bentuk perilaku prososial lainnya adalah berbagi dan keadilan. Perilaku berbagi
dirasakan sebagai suatu kewajiban bagi diri individu, namun bukan berarti individu
berpikir bahwa dirinya harus bersikap lebih murah hati terhadap orang lain
dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku berbagi diperlukan dalam hubungan sosial,
54
terutama saat proses memberi dan menerima orang lain. Keadilan dapat mencakup
kesetaraan, kepantasan, dan kebajikan. Kesetaraan berupa kemampuan untuk
memperlakukan orang lain secara setara atau sama. Kepantasan berupa memberikan
penghargaan lebih terhadap kerja keras, penampilan yang berbakat, dan perilaku
terpuji lainnya. Kebajikan berupa memberikan perhatian lebih pada individu dalam
kondisi yang tidak menguntungkan. Keadilan diperlukan dalam berinteraksi dan
berkomunikasi yang melibatkan proses kolaborasi dan negosiasi.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku sosial dengan tujuan untuk
memberikan konsekuensi positif bagi orang lain yang dilakukan secara sukarela atau
tanpa pamrih yang didasari dengan adanya kerjasama, perilaku memberi, membantu
orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.
2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial
Menurut Wrightsman dan Deaux (1981) aspek dari perilaku prososial, yaitu:
a. Cooperating
Cooperating adalah kesediaan untuk bekerjasama dan memperoleh keuntungan
bersama. Kerjasama dapat ditandai dengan adanya upaya untuk saling
berkoordinasi sehingga tindakan bersama yang dilakukan membawa semua pihak
lebih dekat dengan tujuan.
b. Helping
Helping adalah perilaku yang lebih memberikan manfaat bagi orang lain
dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku menolong merupakan tindakan yang
memiliki konsekuensi berupa memberikan keuntungan bagi orang lain.
55
c. Donating
Donating adalah menyediakan barang atau jasa untuk kebutuhan individu atau
organisasi. Memberikan sumbangan membutuhkan pengorbanan materi yang
tinggi ataupun rendah.
d. Altruism
Altruism berkaitan dengan perilaku memberi bantuan kepada orang lain yang
membutuhkan dan mengalami kesulitan. Altruism adalah bentuk yang sangat
khusus berupa perilaku membantu yang bersifat sukarela, berharga, dan
termotivasi oleh sesuatu selain adanya hadiah. Individu cenderung lebih
mementingkan orang lain dibandingkan dengan diri sendiri.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan aspek
yang dikemukakan oleh Wrightsman dan Deaux (1981), yaitu Cooperating, Helping,
Donating, dan Altruism.
F. Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial Terhadap
Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Akhir
Kesejahteraan psikologis menjadi faktor penting dalam menentukan kualitas hidup
individu. Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) kesejahteraan psikologis
ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat
keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang membuat hidup bermakna,
serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri. Kesejahteraan
psikologis memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan, sehingga setiap individu akan
berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai kesejahteraan psikologis.
56
Menurut Steinberg (dalam Keresteŝ, Brković, & Jagodić, 2012) transisi dari masa
kanak-kanak ke masa remaja adalah periode yang kritis pada siklus kehidupan keluarga,
karena membuat perubahan yang besar dalam hubungan keluarga dan memerlukan
penyesuaian psikologis pada setiap anggota keluarga. Dukungan yang diperoleh dari
keluarga memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan individu (Srimathi & Kumar, 2011).
Santrock (2007b) menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu
periode awal dan periode akhir. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja akhir
menjadi ambang masa dewasa, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang
dihubungkan dengan status kedewasaan. Menurut Sarwono (2013) penyesuaian diri
menuju kedewasaan yang terjadi pada masa remaja akhir, ditandai dengan adanya minat
yang kuat terhadap fungsi-fungsi intelek, keinginan ego untuk bersatu dengan orang-orang
lain dan mengalami pengalaman baru, identitas seksual yang menetap, keseimbangan
antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan dapat memisahkan hal-hal yang
bersifat pribadi dengan hal-hal yang bersifat umum.
Santrock (2007c) menyatakan bahwa remaja membutuhkan orangtua sebagai manajer
dalam kehidupannya yang berperan dalam menemukan informasi, menjalin relasi sosial,
membantu menstrukturkan pilihan-pilihannya, dan memberikan bimbingan. Salah satu
aspek penting dari peran manajerial pengasuhan orangtua adalah mengawasi anak secara
efektif. Penelitian Cripps dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa persepsi remaja
tentang pola asuh orangtua berhubungan dengan kesejahteraan psikologis remaja.
Penerimaan yang positif atau negatif berdampak pada kesejahteraan psikologis remaja,
terutama harga diri, evaluasi diri, dan hubungan dengan teman sebaya. Menurut Baumrind
(2008), karakteristik orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif adalah memiliki
kemampuan untuk menyeimbangkan antara responsiveness dan demaningness. Orangtua
yang menerapkan pola asuh autoritatif, akan mendorong anak untuk berkembang menjadi
57
pribadi yang dapat menerima diri apa adanya, memiliki kompetensi sosial, sikap asertif,
dan memiliki independensi, sehingga akan memungkinkan anak untuk mencapai prestasi
dan kesuksesan dalam kehidupan. Baumrind (1966) menyatakan bahwa pola asuh
autoritatif berhubungan dengan hasil perkembangan yang positif, evaluasi diri yang positif,
tingkat harga diri yang tinggi, penyesuaian diri, dan motivasi instrinsik untuk belajar yang
tinggi. Penelitian Buri, dkk, (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif yang diterapkan orangtua
dengan harga diri remaja. Individu dengan harga diri yang tinggi diprediksi memiliki taraf
kesejahteraan psikologis tinggi (Ryff, 2014). Menurut Baumrind (1966) orangtua yang
autoritatif akan mengembangkan adanya keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Anak yang diasuh dengan pola asuh autoritatif akan merasa memiliki
kemandirian, karena orangtua menghormati pendapat anak, memberikan tantangan pada
anak, dan adanya kesempatan dalam mengambil keputusan sendiri. Kemandirian
menjadikan anak memiliki kemampuan mengatur dan menentukan sendiri segala hal yang
dihadapi dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan penelitian Lestari, dkk, (2013) yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara pola asuh autoritatif
dengan kemandirian. Menurut pendapat Ryff (dalam Papalia, dkk, 2009) pencapaian
kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya kemandirian dalam menentukan pilihan
dan mengatur perilaku diri sendiri.
Ryff (2014) menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis dengan adanya kontrol diri
yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan tinggi. Individu yang optimis akan
memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang dimiliki (Carr,
2004). Menurut Bandura (1997) adanya keyakinan terhadap kemampuan diri merupakan
ciri dari individu yang memiliki efikasi diri. Williams (dalam Srimathi & Kumar, 2011)
58
menyatakan bahwa penelitian-penelitian tentang kebahagiaan dan kesejahteraan
mengidentifikasi bahwa efikasi diri merupakan komponen penting dalam pengalaman
kesejahteraan individu. Efikasi diri sebagai mekanisme kognitif berperan sebagai mediator
penting untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Penelitian Flouri dan
Buchanan (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan
positif dengan konsep kebahagiaan dalam kesejahteraan psikologis. Penelitian Srimathi
dan Kumar (2011) menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif yang
signifikan dengan setiap dimensi kesejahteraan psikologis. Penelitian Mayasari (2014)
yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri sosial ditandai dengan
adanya keyakinan tentang kemampuan diri untuk memulai dan mempertahankan hubungan
sosial, serta mengelola konflik dengan orang lain. Efikasi diri sosial tidak hanya penting
dalam hubungan interpersonal, tetapi memiliki peran penting terhadap penyesuaian
psikologis dan kesehatan mental. Hubungan yang positif dengan orang lain juga akan
meningkatkan pengaruh dimensi-dimensi lain terhadap kesejahteraan psikologis.
Bandura (1997) menyatakan bahwa individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan
memiliki keyakinan yang konsisten dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang
tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Adanya keyakinan
yang konsisten berkaitan dengan adanya pemahaman tentang kemampuan dan potensi yang
dimiliki. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan mampu berpikir kreatif, memiliki
rasa ingin tahu, dan terbuka terhadap pengalaman sebagai upaya untuk mengembangkan
diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Kasiati, dkk, (2012) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri dengan kreativitas. Kreativitas
dan keterbukaan terhadap pengalaman baru dibutuhkan dalam perkembangan pribadi.
Menurut pendapat Ryff (dalam Singh, Mohan, & Anassen, 2012) pencapaian kesejahteraan
59
psikologis ditandai dengan adanya hasrat untuk mengalami perkembangan secara
berkesinambungan melalui kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru.
Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis ditandai dengan kemampuan
individu dalam memberikan kontribusi terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
Menurut Santrock (2007c) remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan
diterima oleh teman sebaya atau kelompok. Penerimaan teman sebaya berkaitan dengan
adanya kompetensi sosial yang dapat dikembangkan melalui perilaku prososial. Individu
yang bahagia ditandai dengan adanya kemampuan bekerjasama, prososial, murah hati, dan
fokus pada kebutuhan orang lain (Kasser & Ryan, dalam Verdugo, dkk, 2011). Individu
dengan emosi positif memiliki pikiran prososial dan perilaku membantu orang lain
(Schroeder, dkk, dalam Verdugo, dkk, 2011). Santrock (2007a) menyatakan bahwa bentuk
paling murni dari perilaku prososial adalah altruism. Altruism adalah adanya ketertarikan
untuk tidak egois dalam membantu orang lain. Penelitian Verdugo, dkk, (2011)
menunjukkan bahwa altruism memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan
psikologis pada remaja. Semakin tinggi altruism, maka semakin tinggi kesejahteraan
psikologis pada remaja.
Millon, dkk, (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup berbagai
tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih orang lain selain diri
sendiri. Remaja yang melakukan perilaku prososial akan belajar untuk mengembangkan
perasaan empati dalam melakukan perilaku menolong, memberi, berbagi, dan bekerjasama
yang dibutuhkan dalam hubungan positif dengan orang lain. Penelitan Putra (2014)
menunjukkan bahwa perilaku menolong memiliki hubungan yang positif dan searah
dengan konsep diri pada remaja akhir. Individu yang melakukan perilaku menolong
memiliki perasaan positif berupa rasa bahagia, bangga, dan harga diri, sehingga akan
meningkatkan kepuasan diri dan kesadaran diri akan realitas. Perilaku prososial dapat
60
memengaruhi penilaian pada diri sebagai hasil dari kesadaran diri atas pengalaman-
pengalaman dalam hidup. Perilaku prososial akan membentuk penilaian diri kearah positif
yang berkaitan dengan kemampuan dalam menerima diri apa adanya termasuk kualitas
positif dan negatif diri. Menurut pendapat Ryff (dalam Compton, 2005) pencapaian
kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kualitas diri dan
kemampuan dalam menjalin hubungan yang positif dengan orang lain.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial memiliki peran terhadap kesejahteraan
psikologis pada remaja akhir, karena remaja mengalami perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional dalam proses mempersiapkan diri memasuki usia dewasa. Diagram peran
pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis
dapat dilihat pada gambar 2.
61
Gambar 2. Diagram Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial
terhadap Kesejahteraan Psikologis
Keterangan Gambar :
: Variabel penelitian : Dimensi dari variabel
: Garis peran : Garis aspek dari variabel
Perilaku Prososial
Efikasi Diri Kesejahteraan Psikologis
a. Cooperating
b. Helping
c. Donating
d. Altruism
a. Penerimaan diri
b. Hubungan positif dengan
orang lain
c. Kemandirian
d. Penguasaan lingkungan
e. Tujuan hidup
f. Perkembangan Pribadi
a. Level
b. Generality
c. Strength
a. Kehangatan interaksi
orangtua dengan anak
b. Tegas dalam mengarahkan
perilaku anak
c. Tanggap dalam memenuhi
kebutuhan anak
d. Menetapkan perilaku yang
diharapkan
Pola Asuh Autoritatif
62
H. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Mayor
Pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial berperan terhadap
kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Hipotesis Minor
a. Pola asuh autoritatif berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir
di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
b. Efikasi diri berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
c. Perilaku prososial berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir
di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Pola Asuh Autoriatatif