bab ii tinjauan pustaka a. kepuasan pernikahan 1...

16
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian kepuasan pernikahan Fowers dan Olson (1993) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai hubungan pernikahan yang dijalani. Callan dan Noller (dalam Adonu, 2005) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi partisipantif mengenai hubungan pernikahan yang baik, bahagia, memuaskan dan berhasil. DeGenova dan Rice (2005) mengungkapkan kepuasan pernikahan sebagai suatu tingkat dimana individu merasa harapannya terpenuhi dalam hubungan pernikahan. Sedangkan menurut Stone dan Shackelford (2007), kepuasan pernikahan adalah kondisi mental yang merupakan cerminan keuntungan dan kerugian yang dialami oleh individu selama menjalani sebuah pernikahan. Ward, Lundberg, Zabriskie dan Berrett (2009) mendefinisikan kepuasan perkawinan sebagai keadaan emosional individu yang berhubungan dengan interaksi, pengalaman, dan harapannya pada kehidupan pernikahan. Sanders (2010) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai suatu tingkat kebahagiaan dan dukungan yang dialami serta dirasakan oleh masing-masing pasangan sedangkan menurut Brockwood (dalam Kusumowardhani, t.t.), kepuasan pernikahan adalah cerminan dari seberapa bahagia individu dalam

Upload: doanhanh

Post on 23-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Pernikahan

1. Pengertian kepuasan pernikahan

Fowers dan Olson (1993) mendefinisikan kepuasan

pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai

hubungan pernikahan yang dijalani. Callan dan Noller (dalam

Adonu, 2005) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi

partisipantif mengenai hubungan pernikahan yang baik, bahagia,

memuaskan dan berhasil.

DeGenova dan Rice (2005) mengungkapkan kepuasan

pernikahan sebagai suatu tingkat dimana individu merasa

harapannya terpenuhi dalam hubungan pernikahan. Sedangkan

menurut Stone dan Shackelford (2007), kepuasan pernikahan

adalah kondisi mental yang merupakan cerminan keuntungan dan

kerugian yang dialami oleh individu selama menjalani sebuah

pernikahan.

Ward, Lundberg, Zabriskie dan Berrett (2009)

mendefinisikan kepuasan perkawinan sebagai keadaan emosional

individu yang berhubungan dengan interaksi, pengalaman, dan

harapannya pada kehidupan pernikahan.

Sanders (2010) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai

suatu tingkat kebahagiaan dan dukungan yang dialami serta

dirasakan oleh masing-masing pasangan sedangkan menurut

Brockwood (dalam Kusumowardhani, t.t.), kepuasan pernikahan

adalah cerminan dari seberapa bahagia individu dalam

15

perkawinannya atau berupa panggabungan dari kepuasan dalam

beberapa aspek spesifik dari hubungan pernikahan.

Berdasarkan berbagai definisi mengenai kepuasan

pernikahan yang telah disebutkan, penulis mengacu pendapat

Fowers dan Olson (1993) yang mendefinisikan kepuasan

pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai

hubungan pernikahan yang dijalani.

2. Aspek-aspek kepuasan pernikahan

Fowers dan Olson (1989; 1993) mengungkapkan bahwa

kepuasan pernikahan dapat diungkap melalui aspek-aspek sebagai

berikut:

a. Komunikasi (communication)

Hal ini berkaitan dengan perasaan dan sikap individu terhadap

komunikasinya dengan pasangan. Fokus pada bagian ini

adalah tingkat kenyamanan yang dirasakan ketika saling

berbagi serta menerima informasi mengenai emosi dan

perasaan.

b. Aktivitas waktu luang (leisure activities)

Area ini cenderung pada kegiatan yang dilakukan di waktu

luang. Fokusnya adalah pada kegiatan yang dilakukan secara

bersama atau personal serta harapan menghabiskan waktu

bersama sebagai pasangan.

c. Orientasi agama (religious orientation)

Area ini untuk mengetahui makna keyakinan beragama dan

pengamalannya dalam kehidupan pernikahan.

d. Penyelesaian konflik (conflict resolution)

16

Persepsi pasangan terhadap masalah yang muncul dalam

hubungan serta penyelesaiannya. Bagian ini berfokus pada

keterbukaan pasangan dalam mengenali dan memecahkan

masalah untuk mengakhiri perbedaan pendapat serta

mendapat solusi terbaik.

e. Manajemen keuangan (financial management)

Bagian ini membahas tentang sikap serta permasalahan yang

berhubungan dengan pengelolaan dalam bidang ekonomi.

Fokusnya adalah pada sikap dan cara pasangan mengatur pola

keuangan dan pengambilan keputusan dalam masalah

ekonomi.

f. Intimasi seksual (sexual relationship)

Intimasi seksual yang dimaksud disini meliputi perasaan

pasangan suami istri mengenai afeksi dan hubungan seksual

mereka. Intimasi seksual mencakup sikap mengenai isu-isu

seksual, perilaku seksual, perencanaan atau kontrol kelahiran

dan kesetiaan dalam perkawinan.

g. Keluarga dan teman-teman (family and friends)

Area ini membahas tentang perasaan dan kekhawatiran

mengenai hubungan dengan keluarga, saudara ipar serta

teman-teman. Hal ini merefleksikan keinginan untuk merasa

nyaman ketika menghabiskan waktu bersama keluarga dan

teman-teman.

h. Anak dan pengasuhan (children and parenting)

Pada bagian ini berfokus pada perasaan mengenai keinginan

untuk memiliki dan membesarkan anak. Fokus pada bagian

ini adalah kesepakatan mengenai kedisiplinan untuk anak,

17

cita-cita bagi anak serta dampak kehadiran anak pada

hubungan pasangan.

i. Masalah yang berkaitan dengan kepribadian (personalities

issues)

Area ini berfokus pada persepsi individu yang berkenaan

dengan perilaku pasangan dan tingkat kepuasan yang

dirasakan terhadap perilaku tersebut.

j. Kesetaraan peran (equalitarian role)

Area ini menilai perasaan dan sikap individu mengenai

berbagai hal tentang pernikahan dan peran individu dalam

keluarga seperti pada pekerjaan, pembagian tugas rumah

tangga, seks serta peran orang tua.

Komponen kepuasan pernikahan juga dikemukakan oleh

Stone dan Shackelford (2007) yaitu sebagai berikut:

a. Kognisi (cognition)

Dalam memahami apakah perilaku pasangan memberi

keuntungan atau kerugian, kognisi atau pikiran sangat

penting. Cara seseorang menafsirkan perilaku berkaitan

dengan bagaimana mereka merasa puas dengan

pernikahannya.

b. Fisiologi (physiology)

Dibandingkan dengan individu yang belum menikah,

mekanisme pengaturan kesehatan fisik lebih dapat dilakukan

dengan baik oleh pasangan yang sudah menikah.

c. Pola interaksi (interaction pattern)

Pola interaksi dengan pasangan dapat mempengaruhi

bagaimana mereka merasa puas dengan pernikahannya.

18

Ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan seringkali timbul

akibat adanya permintaan dan penarikan. Salah satu pasangan

mengkritik atau menggerutu sementara pihak lain

menghindari konfrontasi atau diskusi.

d. Dukungan sosial (social support)

Komponen lain dalam kepuasan pernikahan adalah tingkat

dukungan sosial untuk pasangan. Dukungan dipercaya

berhubungan dengan fungsi pernikahan yang baik. Pasangan

yang dapat memberikan dukungan sosial dengan baik pada

pasangannya memberikan kontribusi bagi kepuasan

pernikahan yang dirasakan pasangan.

e. Adanya tindak kekerasan (violence)

Individu yang terlibat dengan tindak kekerasan fisik lebih

mungkin mengalami ketidakpuasan pernikahan bila

dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami tindak

kekerasan. Peningkatan tindak kekerasan dapat disebabkan

dari pengaruh alkohol atau tingkat penghasilan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menggunakan

aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Fowers

dan Olson (1989; 1993) yang terdiri dari komunikasi, aktivitas

waktu luang, orientasi agama, penyelesaian konflik, manajemen

keuangan, intimasi seksual, keluarga dan teman-teman, anak dan

pengasuhan, masalah yang berkaitan dengan kepribadian serta

kesetaraan peran.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan

Menurut Mathews (n.d.), terdapat beberapa faktor yang

dapat berpengaruh pada kepuasan pernikahan, yaitu:

19

a. Gender

Pria dan wanita memiliki peran yang berbeda dalam

pernikahan serta memandang hubungan dengan sudut

pandang yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut

menghasilkan persepsi berbeda mengenai kepuasan

pernikahan.

b. Usia pernikahan (duration of marriage)

Berdasarkan penelitian sebelumnya, hubungan pernikahan

memiliki kecenderungan mengalami penurunan kepuasan

pernikahan setelah dua puluh tahun pertama pernikahan

berlangsung. Steinmetz, Clavan dan Stein (dalam Mathews,

n.d.) mengungkapkan kepuasan pernikahan mengalami

penurunan pada sepuluh hingga dua puluh tahun pertama

pernikahan dan kemudian meningkat kembali setelah masa

dewasa akhir dan masa pensiun.

c. Kehadiran anak (presence of child)

Pada banyak pasangan, anak berperan penting dalam

kehidupan pernikahan dan kehadiran anak membawa

pengaruh positif dan negatif yang tidak dapat dielakkan.

Dibandingkan dengan ketidakhadiran anak dalam pernikahan,

kehadiran anak dapat menurunkan kepuasan pernikahan

(Twenge dkk., 2003).

d. Keadilan pembagian tugas rumah tangga (the perception of

fairness in the division of household labour)

Pada umumnya suami bertanggung jawab untuk mencari

nafkah dan istri bertanggung jawab mengurus pekerjaan

rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga merupakan hal yang

20

tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Konflik

berpotensi timbul antar pasangan mengenai pembagian tugas

dan hasilnya adalah persepsi keadilan individu dalam

pembagian tugas serta kemungkinan ketidakbahagiaan dalam

pernikahan.

e. Kepuasan seksual (sexual satisfaction)

Dalam lingkungan sosial, pasangan yang sudah menikah

berharap untuk melakukan hubugan seksual. Hubungan

pernikahan merupakan cara yang paling disetujui oleh

lingkungan sosial untuk melakukan aktivitas seksual dan

pemenuhan kebutuhan seksual (Christopher dan Sprecher;

Donnelly dalam Mathews, n.d).

Faulkner (2002) mengemukakan beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan seseorang, antara lain:

a. Karakteristik demografis (demographic characteristic)

Hal-hal yang termasuk dalam karakteristik demografis adalah

usia, ras, gaji, pendidikan, lama pernikahan serta keagamaan

yang sering dikaitkan dengan kepuasan dan konflik dalam

pernikahan (Knox & Schacht dalam Faulkner, 2002).

Pasangan yang berbeda usia terlampau jauh, ras, pendidikan

serta agama lebih rentan mengalami masalah pernikahan dan

ketidakpuasan dalam pernikahan (Houts dalam Faulkner,

2002).

b. Proses psikologis (psychological processes)

Rendahnya kesejahteraan psikologis merupakan faktor utama

pemicu timbulnya masalah dalam hubungan. Buss (dalam

Faulkner 2002) mengungkapkan ketidakstabilan emosi suami

21

atau istri berhubungan dengan kecenderungan mereka untuk

merasa bahwa pasangan mereka adalah individu yang

murung, pencemburu, ketergantungan, egois dan rendah diri.

c. Proses selama pernikahan (marital process)

Proses selama menikah melibatkan berbagai hal seperti

gender, komunikasi pernikahan, dan konflik pernikahan.

Ketidakmampuan suami dan istri untuk menyelesaikan

konflik secara efektif memberi pengaruh negatif pada

kepuasan pernikahan bagi pasangan suami istri.

d. Gender

Berdasarkan teori feminis, ketidaksesuaian peran gender

dalam pembagian tugas rumah tangga seringkali dihubungkan

dengan sistem patrilineal. Pembagian tugas rumah tangga

akhirnya sesuai dengan peran gender tradisional dimana istri

memiliki porsi lebih besar untuk mengerjakan tugas rumah

daripada suami, bahkan ketika penghasilan istri lebih besar

dari suami (Greenstein dalam Faulkner, 2002).

e. Transisi kehidupan (life transition)

Perubahan menjadi figur orang tua seringkali dihubungkan

dengan kepuasan dan konflik dalam pernikahan. Pembagian

tugas dilakukan setelah kehadiran anak dan umumnya

kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan, khususnya

ketika anak masih berusia muda (Walker dalam Faulkner,

2002).

Alder (2010) mengemukakan faktor-faktor yang dapat

berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan antara lain:

a. Usia saat menikah (age at time of marriage)

22

Orang-orang yang menikah muda beresiko tinggi mengalami

ketidakstabilan pernikahan dibandingkan dengan mereka yang

menikah di usia yang lebih tua. Alasan utama mengapa usia

memiliki hubungan negatif dengan keberhasilan sebuah

pernikahan adalah karena pada saat menikah di usia yang

relatif masih muda, pendidikan individu yang bersangkutan

masih rendah, kehamilan pranikah, pendeknya masa

perkenalan sebelum menikah, ketidakmampuan menyesuaikan

diri dan rendahnya latar belakang sosial ekonomi (Burchinal

dalam Alder, 2010). Heaton (dalam Alder) menyimpulkan

bahwa usia ketika menikah juga berperan besar dalam tren

perceraian, selain itu, wanita yang menikah di usia tua

memiliki pernikahan yang lebih stabil.

b. Tingkat pendidikan (level education)

Tampaknya masuk akal bahwa tingkat pendidikan memiliki

korelasi positif dengan kepuasan pernikahan. Hal ini

disebabkan karena tingkat pendidikan umumnya akan

meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Heaton (dalam

Alder, 2010) mengemukakan bahwa kemungkinan pernikahan

berakhir dengan perceraian akan lebih rendah bila wanita

memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta menikah

di usia yang lebih matang. Pernikahan juga akan lebih stabil

bila pria juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi

serta usia yang matang namun tidak berlaku jika wanita

memiliki pendidikan lebih tinggi dan usia lebih tua daripada

pria.

c. Lamanya masa perkenalan (courtship length)

23

Periode ini dibagi menjadi dua tahap yaitu masa sebelum

pertunangan dan setelah pertunangan. Hansen (dalam Alder,

2010) melaporkan bahwa terdapat hubungan positif antara

periode perkenalan dengan kepuasan pernikahan serta

hubungan negatif dengan terjadinya perceraian.

B. Menikah Remaja Awal

1. Pengertian menikah remaja awal

Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan

yang dialami oleh setiap individu. Masa remaja sendiri terbagi

menjadi tiga tahap yaitu remaja awal berada pada usia 12 hingga

15 tahun, remaja pertengahan sekitar usia 15 hingga 18 tahun dan

remaja akhir dengan kisaran usia 18 sampai 21 tahun (Mönks

dkk., 2002). Selama berada pada masa tersebut, remaja memiliki

beberapa tugas perkembangan yang nantinya akan bermanfaat

saat memasuki tahap perkembangan berikutnya. Menurut

Havighrust (dalam Rice & Dolgin, 2008), salah satu tugas

perkembangan pada masa remaja adalah mengembangkan

hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Tugas

perkembangan ini bermanfaat untuk mempersiapkan remaja

memasuki kehidupan pernikahan pada tahap perkembangan

dewasa.

Bagi remaja yang memutuskan menikah di usia muda,

masyarakat biasa melabeli pernikahan tersebut dengan pernikahan

dini. Dalam artikel dari UNICEF tahun 2001 dijelaskan bahwa

pernikahan dini merupakan sebuah pernikahan yang dilakukan

oleh anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun. Hal serupa

24

juga dikemukakan oleh Oyortey dan Pobi (2003), pernikahan di

usia muda merupakan sebuah bentuk pernikahan yang dilakukan

oleh anak sebelum mencapai usia 18 tahun. Menurut Rice dan

Dolgin (2008), pernikahan ini biasa terjadi pada anak perempuan

yang masih duduk di bangku SMA dengan anak laki-laki yang

sudah lulus SMA dan berusia 3½ hingga 5½ tahun lebih tua

darinya.

Selain dikenal dengan pernikahan dini, beberapa juga

menyebutnya dengan pernikahan pada anak. Seperti dalam artikel

dari Internaational Planned Parenthood Federation (2006)

mengungkapkan bahwa pernikahan pada anak merupakan bentuk

pernikahan yang dilakukan oleh anak dibawah usia 18 tahun

dimana secara fisik dan psikologis individu belum siap untuk

memikul tanggung jawab dalam pernikahan serta mengasuh anak.

Pernikahan pada anak digunakan untuk menjelaskan sebuah

persatuan yang legal atau biasa antara dua orang dimana salah

satu atau kedua individu masih berusia dibawah 18 tahun

(UNFPA, 2012) dan dapat menghancurkan kehidupan perempuan,

keluarga serta masyarakat mereka (ICRW, 2012).

Berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan diatas,

penulis menggunakan pengertian yang dijelaskan oleh UNICEF

(2001) mengenai pernikahan dini merupakan sebuah pernikahan

yang dilakukan oleh anak dan remaja berusia kurang dari 18

tahun.

25

2. Alasan menikah di usia remaja

Rice dan Dolgin (2008) menyebutkan beberapa alasan

yang menyebabkan individu memilih menikah di usia remaja,

antara lain yaitu:

a. Kehamilan.

Merupakan alasan utama untuk menikah di usia remaja,

terutama ketika masih duduk di bangku sekolah adalah

kehamilan. Lebih dari 50% kehamilan terjadi ketika salah satu

pasangan berada di bangku sekolah menengah atas.

b. Adanya tekanan sosial.

Ketika dalam lingkungan pergaulan ada pasangan yang

menikah, maka tekanan untuk melakukan hal yang sama juga

akan meningkat. Selain itu, keinginan orang tua yang tidak

ingin anak perempuannya membesarkan bayi di luar ikatan

pernikahan juga menjadi penyebab remaja memutuskan untuk

menikah di usia muda.

c. Adanya gambaran yang terlalu romantis terhadap pernikahan.

Bahkan remaja yang orangtuanya bercerai atau menikah lagi

juga memiliki konsep ideal mengenai pernikahan. Jatuh cinta

menjadi hal yang sangat romantis dan indah sehingga banyak

remaja yang tidak sabar untuk memasuki masa bahagia ini.

Konsep pernikahan karena cinta menyebabkan remaja merasa

bahwa menemukan cinta sejati adalah tujuan utama hidup dan

ketika mereka sudah menemukannya, mereka memutuskan

untuk segera menikah sebelum terlambat.

d. Mencoba untuk keluar dari rumah.

26

Situasi saat ini yang tidak menarik, ketidaknyamanan secara

emosional atau tekanan penyesuaian sosial menyebabkan

individu menganggap bahwa menikah akan menjadi hal yang

lebih menarik.

3. Dampak pernikahan dini

Dalam sebuah artikel tahun 2001 terbitan UNICEF,

mengungkapkan bahwa menikah di usia relatif muda dapat

memberi dampak pada remaja yang bersangkutan dan lingkungan

sosialnya, yaitu:

a. Kerugian psikososial.

Kehilangan masa remaja, ancaman mengalami kekerasan

seksual, penolakan kebebasan dan pengembangan individu

hadir sebagai konsekuensi emosional dan psikososial dari

pernikahan di usia muda. Kebanyakan gadis yang merasa

tidak bahagia dalam pernikahan yang dipaksakan merasa

sangat terisolasi. Mereka tidak memiliki seseorang yang dapat

diajak berbicara dan paham situasi yang dialaminya.

b. Kesehatan dan reproduksi remaja.

Hamil dan melahirkan di usia muda memiliki beberapa resiko

yang tidak dapat dicegah seperti meningkatnya resiko

kematian, kelahiran prematur, komplikasi selama masa

melahirkan, berat bayi yang rendah dan tingginya peluang

bayi baru lahir tidak dapat bertahan hidup. Berbagai resiko

tersebut seringkali dihubungkan dengan buruknya nutrisi

selama masa kehamilan dan yang terpenting adalah

ketidaksiapan remaja untuk melahirkan.

c. Penolakan dalam bidang pendidikan.

27

Tak bisa diacuhkan, pernikahan usia muda menyebabkan anak

kehilangan hak untuk mengenyam bangku pendidikan yang

kelak akan berguna bagi pengembangan diri sendiri serta

sebagai persiapan untuk masa dewasa. Pada akhirnya, juga

berkontribusi pada kesejahteraan keluarga dan lingkungan

sekitarnya. Mengeluarkan anak perempuan dari sekolah untuk

menikah, membantu orang tua bekerja atau mempersiapkan

anak untuk kehidupan pernikahan dapat membatasi

kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuan

intelektualnya. Anak tidak dapat hidup bersosialisasi dan

menjalin pertemanan di luar lingkungan keluarga serta

kehilangan berbagai kesempatan yang bermanfaat baginya.

d. Kekerasan dan ketertinggalan

Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga merasa tidak

mampu untuk meninggalkan pernikahannya karena tekanan

ekonomi, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan

sosial. Perilaku kekerasan terhadap istri termasuk hubungan

seksual yang memaksa, berperan besar dalam putusnya ikatan

pernikahan.

4. Keuntungan menunda pernikahan di usia remaja

Hervish dan Jacobs (2011) mengungkapkan beberapa

keuntungan menunda pernikahan di usia muda yaitu:

a. Meningkatkan kesehatan ibu dan bayi.

Komplikasi kelahiran merupakan penyebab utama kematian

pada perempuan usia 15 hingga 19 tahun yang sudah

menikah. Perempuan yang menikah di usia muda serta adanya

tekanan untuk memiliki anak sebelum tubuh mereka

28

berkembang secara matang juga memiliki risiko lebih besar

mengalami fistula obstetric. Selain itu juga berpotensi

melahirkan bayi dengan berat dibawah rata-rata, kelahiran

prematur serta kemungkinan bayi meninggal.

b. Mengurangi penularan HIV/AIDS.

Meskipun pernikahan usia muda dipercaya sebagai

mekanisme perlindungan, pada kenyataannya adalah menikah

muda dapat meningkatkan risiko penyakit HIV/AIDS serta

penyakit menular seksual lainnya. Suami dari perempuan

yang menikah di usia muda seringkali berusia jauh lebih tua

dari usia istri, memiliki kemungkinan memiliki banyak

pasangan seks sebelum menikah. Hal ini menyebabkan wanita

memiliki kemungkinan besar untuk tertular HIV/AIDS.

c. Meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesehatan wanita.

Bertambahnya usia ketika menikah pertama kali mengurangi

resiko kekerasan fisik, seksual, psikologis serta ekonomi pada

perempuan. Menunda pernikahan juga dapat kematangan

dalam pengambilan keputusan serta meningkatkan kesehatan

reproduksi mereka.

d. Kesempatan mengenyam pendidikan dan memperbaiki

keadaan ekonomi.

Tetap menyekolahkan anak perempuan dan menunda

pernikahan dapat meningkatkan pendapatan baik untuk

individu serta mendorong laju pertumbuhan ekonomi negara.

Keuntungan keluarga yang menunda untuk menikahkan anak

perempuannya adalah adanya peningkatan dari segi ekonomi

karena mereka telah berinvestasi dalam keluarga dan anak-

29

anaknya. Selain itu, keluarga juga komunitas juga akan

mendapat keuntungan dari anak perempuan yang tetap

melanjutkan sekolah seperti menurunkan resiko HIV/AIDS

dan kematian bayi.