bab ii tinjauan pustaka a. kecemasan menghadapi …

30
23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja 1. Definisi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja Mahasiswa tingkat akhir yang akan segera memasuki dunia kerja terkadang memiliki pemikiran terkait dengan persaingan kerja. Banyaknya pengangguran, sedikitnya lapangan kerja, upah yang tidak layak, hingga banyaknya cerita mengenai pekerjaan yang tidak sesuai bidang merupakan kekhawatiran yang dialami mahasiswa tingkat akhir dan dapat mengarah pada gangguan psikologis berupa kecemasan. Freud (dalam Feist dan Feist, 2011: 38) mendefinisikan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini biasanya samar-samar dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa. Menurut Taylor (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 152) kecemasan adalah pengalaman manusia yang bersifat universal, suatu respons emosional yang tidak menyenangkan, penuh kekhawatiran, suatu rasa takut yang tidak terekspresikan dan tidak terarah karena suatu sumber ancaman atau pikiran sesuatu yang akan datang tidak jelas dan tidak teridentifikasikan. Sejalan dengan pendapat ahli lainnya, Atkinson,dkk (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 49) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1. Definisi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja
Mahasiswa tingkat akhir yang akan segera memasuki dunia kerja
terkadang memiliki pemikiran terkait dengan persaingan kerja. Banyaknya
pengangguran, sedikitnya lapangan kerja, upah yang tidak layak, hingga
banyaknya cerita mengenai pekerjaan yang tidak sesuai bidang merupakan
kekhawatiran yang dialami mahasiswa tingkat akhir dan dapat mengarah pada
gangguan psikologis berupa kecemasan. Freud (dalam Feist dan Feist, 2011:
38) mendefinisikan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa
tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan
seseorang akan bahaya yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini
biasanya samar-samar dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa. Menurut
Taylor (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 152) kecemasan adalah
pengalaman manusia yang bersifat universal, suatu respons emosional yang
tidak menyenangkan, penuh kekhawatiran, suatu rasa takut yang tidak
terekspresikan dan tidak terarah karena suatu sumber ancaman atau pikiran
sesuatu yang akan datang tidak jelas dan tidak teridentifikasikan. Sejalan
dengan pendapat ahli lainnya, Atkinson,dkk (dalam Safaria dan Saputra,
2012: 49) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.
24
memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya
sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Pendapat lain
menyatakan bahwa kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau
keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera
terjadi (Nevid, dkk, 2003: 163).
Sementara itu Kelly (dalam Olson dan Hergenhahn, 2013: 737)
mendefinisikan kecemasan sebagai pengakuan bahwa kejadian-kejadian yang
dihadapi seseorang terletak di luar jangkauan pemenuhan sistem konstruknya.
Tidak jauh beda dari pendapat ahli lain, Barlow (dalam Oltmanns dan Emery,
2015: 192) menyatakan bahwa kecemasan merujuk pada suatu suasana
perasaan atau sindrom yang melibatkan reaksi emosional yeng lebih umum
dan menyebar melebihi ketakutan sederhana artinya tidak proporsional
dengan ancaman dari lingkungannya.
ditarik kesimpulan bahwa kecemasan merupakan suatu kondisi dimana
seseorang merasakan akan datang sesuatu yang buruk atau bahaya yang akan
terjadi sehingga menimbulkan kondisi yang tidak nyaman serta
mengharuskannya tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin terjadi
meskipun bahaya tersebut tidak diketahui dengan jelas.
Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini terkait dengan situasi
menghadapi persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa
tingkat akhir yang berencana untuk mulai terjun dalam dunia kerja, harus
25
dapat menimbulkan kecemasan.
kompetisi ialah suatu proses sosial, dimana beberapa orang atau kelompok
berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu
yang lebih tinggi. Menurut teori seleksi dari D.C Ammon (dalam Waluyo,
2013: 77), berdasarkan pada teori Darwin dan Spencer, sejak dahulu makhluk
hidup didorong oleh alamnya sendiri untuk melewati proses seleksi menuju
ke keadaan yang makin sempurna. Melalui perjuangan hidup, makhluk hidup
yang lemah akan tersingkir dari kehidupan dan yang kuat terus bertahan
melewati proses seleksi baru. Prinsip the survival of the fittest (yang bertahan
adalah yang bermutu paling baik) kemudian dikembangan sebagai landasan
dari semua bentuk persaingan. Pendapat serupa dari Robbins dan Judge
(dalam Wibowo, 2013: 227) menyatakan kompetisi terjadi ketika seseorang
berusaha memuaskan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan
dampaknya pada pihak lain.
Negara) pada bidang perdagangan, produksi, persenjataan, dan sebagainya
(KBBI, 2008: 1202). Menurut Waluyo (2013: 78) kompetisi merupakan
situasi dimana ada satu tujuan yang hendak diraih oleh banyak individu,
26
sehingga memotivasi individu tersebut untuk melebihi orang lain dengan cara
meningkatkan unjuk kerja.
Sementara itu, Bouldin (dalam Indrawijaya, 2014: 115) menyatakan
bahwa kompetisi dalam arti luas selalu hadir pada saat terdapat suatu keadaan
dimana terdapat dua perilaku dari beberapa unit yang tidak serasi.
Definisi kerja adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata
pencaharian (KBBI, 2008: 682).
adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan hal buruk, bahaya, atau
ketidaknyamanan terhadap situasi, dimana individu tersebut harus
memperlihatkan keunggulan terhadap kemampuan atau ketrampilan yang
dimiliki, agar menang dari individu lain untuk mencapai tujuannya yaitu
mendapatkan pekerjaan. Kecemasan menghadapi persaingan kerja memaksa
individu untuk selalu waspada terhadap berbagai kemungkinan yang akan
terjadi ketika memasuki dunia persaingan kerja.
2. Gejala Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja
Nevid, dkk (2005:164) menjabarkan gejala kecemasan yang telah
dibedakan kedalam tiga ciri sebagai berikut:
a. Ciri fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota
tubuh bergetar atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat
di sekitar dahi, kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada,
banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau
pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara,
27
yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sulit
menelan, kerongkongan terasa tersekat, leher atau punggung terasa
kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan
lembab, terdapat gangguan sakit perut atau mual, panas dingin,
sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare dan merasa
sensitif atau mudah marah.
perilaku melekat dan dependen, serta perilaku terguncang.
c. Ciri Kognitif dari kecemasan meliputi khawatir tentang sesuatu,
perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu
yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang
mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas,
terpaku pada sensasi kebutuhan, sangat waspada terhadap sensasi
kebutuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang
normalnya hanya sedikit atau tidak mendapatkan perhatian,
ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutaan akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia
mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semua tidak lagi bisa
dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa membingungkan
tanpa bisa diatasi, khawatir pada hal sepele, berpikir tentang hal
mengganggu yang sama secara berulang, berpikir bahwa harus bisa
28
kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan, pikiran terasa
bercampur aduk atau kebingungan, tidak mampu menghilangkan
pikiran-pikiran terganggu, berpikir akan segera mati, meskipun
dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis, khawatir
akan ditinggal sendirian, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan
pikiran.
Shives (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 153) secara umum gejala
kecemasan adalah sebagai berikut:
fisiologis antara lain: meningkatnya nadi, tekanan darah, respirasi,
diaphoresis, tangan berkeringat, nyeri kepala, vertigo, pandangan
mata kabur, insomnia, atau gangguan tidur, hiperventilasi,
penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan sering berkemih.
b. Sistem Psikologis
kecemasan bila dilihat dari segi psikologis antara lain: menarik diri,
depresi, irritable (mudah tersinggung), menjadi mudah menangis,
apatis, marah, merasa ketakutan.
akibat terlalu memikirkan masalah yang sedang dialami,
29
akibat rasa tidak berdaya, pelupa, dan selalu berorientasi pada
kejadian yang telah lalu, kemudian dibandingkan masa yang akan
datang.
gejala klinis kecemasan yang sering dikeluhkan oleh orang yang mengalami
gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut:
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah
tersinggung;
c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang;
d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;
e. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas,
gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain
sebagainya.
kecemasan pada individu.
30
Lanjutan…
membesar-besarkan ancaman, memandang diri tidak
berdaya atau sensitive
melarikan diri
Gerakan Biologis gerakan otomatis meningkat, berkeringat, gemetar,
pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering
Ciri-ciri persaingan menurut Robbins dan Judge (dalam Wibowo,2013:
227) adalah bersifat tegas dan tidak kooperatif. Pendapat lain mengenai ciri-
ciri persaingan diungkapkan Indrawijaya (2014: 101-102) bahwa persaingan
dapat dilihat dari dua unsur, yaitu kurang baik meliputi rasa bingung, putus
asa, mengundurkan diri atau justru agresif, menyakiti yang lain, dan lain
sebagainya, sedangkan unsur baik meliputi meningkatkan motivasi dan
prestasi. Terlalu banyak kompetisi dapat merugikan karena menyerap banyak
tenaga dan pikiran dan menurunkan tingkat usaha bersama mengarah pada
sifat individual, sedangkan kompetisi yang sedikit juga dapat mematikan
kreativitas.
Sementara itu Hendropuspito (dalam Waluyo 2013: 78) merinci ciri khas
dari persaingan sebagai berikut:
b. Penilaian yang berbeda didasarkan pada cara dan derajat mutu
persaingan.
31
kesesuaiannya dengan “aturan permainan” menentukan mutu
persaingan.
lain. Hal ini memungkinkan persaingan berjalan dengan damai.
Berdasarkan beberapa gejala kecemasan yang telah dipaparkan diatas ,
maka dapat disimpulkan bahwa gejala kecemasan merupakan reaksi yang
ditampakkan oleh individu ketika merasa adanya situasi yang kurang
menyenangkan. gejala kecemasan dapat dilihat secara fisik (fisiologis), psikis
(psikologis) yang meliputi kognitif dan behavior.
Gejala kecemasan menghadapi persaingan kerja dapat dilihat dari
fisiologis, psikologis, dan kognitif. Penelitian yang akan dilakukan
menggunakan tiga gejala, untuk gejala fisiologis menggunakan indikator
pusing, jantung berdetak lebih kencang, mengalami gangguan tidur,
penurunan nafsu makan, dan lain sebagainya. Sementara itu, gejala psikologis
menggunakan indikator mudah tersinggung, emosi labil, merasa takut,
menghindari masalah, dependen, gelisah, serta waspada berlebihan.
Sedangkan gejala kognitif menggunakan indikator khawatir berlebihan, susah
berkonsentrasi, pikiraan kosong, membesar-besarkan kemungkinan yang akan
terjadi, dan memandang diri tidak mampu mengatasi masalah. Gejala
kecemasan akan dihubungkan dengan indikator persaingan kerja yaitu
tindakan tidak kooperatif penyelia, sikap individual antar pelamar kerja,
tujuan yang sama (memperoleh pekerjaan), penilaian yang dilakukan
32
mencari karyawan.
Kerja
meliputi ketakutan adaptif dan maladatif, faktor sosial (peristiwa kehidupan
yang stressful, Kemalangan masa kanak-kanak, hubungan kelekatan dan
kecemasan perpisahan), faktor psikologis (proses belajar, peristiwa kognitif,
persepsi terhadap kontrol, misinterpretasi katastropik, perhatian terhadap
ancaman dan bias pemrosesan informasi, supresi pikiran: gangguan obsesif-
compulsif), faktor biologis (faktor genetic, neurobiology)
Menurut McFarland dan Wasli (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 155)
mengatakan bahwa faktor yang berkontribusi pada terjadinya kecemasan
meliputi ancaman pada:
a. Konsep diri
e. Status kesehatan.
Menurut Depkes RI (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 153), faktor-
faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain sebagai berikut:
a. Perkembangan kepribadian, kepribadian individu dibentuk sejak
kecil dan bergantung pada pendidikan orang tua di rumah,
33
dalam kehidupannya. Seseorang menjadi pencemas akibat proses
imitasi dan identifikasi dirinya terhadap kedua orang tuanya
daripada pengaruh keturunan.
tingkat kecemasan lebih disebabkan perpisahan dan lingkungan
yang tidak dikenal. Kecemasan pada remaja lebih banyak
disebabkan oleh perkembangan seksual. Pada orang dewasa,
kecemasan lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal yang
berhubungan dengan ancaman konsep diri, sedangkan pada lansia
kecemasan berhubungan dengan kehilangan fungsi.
c. Tingkat pengetahuan, individu dengan tingkat pengetahuannya
lebih tinggi akan mempunyai koping (penyelesaian masalah) yang
lebih adaptif terhadap kecemasan daripada individu yang tingkat
pengetahuannya lebih rendah.
dan jumlah stressor.
sumber yang dapat dimanfaatkan dan respons koping, dan status
kesehatan individu.
Menurut Blackburn dan Davidson (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 51),
dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi kecemasan dapat berupa
pengetahuan yang dimiliki subyek tentang situasi yang sedang dirasakan,
34
tersebut.
kecemasan disebabkan oleh ketidakpastian yang muncul ketika sistem
konstruk seseorang tidak mengizinkan penafsiran akurat pengalaman hidup.
Nevid, dkk (2003: 196) menyatakan membagi faktor kecemasan sebagai
berikut:
repetitive.
orang lain, dan kurangnya dukungan sosial.
c. Faktor behavioral, meliputi pemasangan stimuli avertif dan stimuli
yang sebelumnya netral (classical conditioning), kelegaan dari
kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari
stimuli fobik (operant conditioning), dan kurangnya kesempatan
untuk pemunahan (extinction) karena penghindaran terhadap objek
atau situasi yang ditakuti.
tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika), faktor
kognitif seperti prediksi berlebihan terhadap ketakutan, keyakinan-
keyakinan yang self defeating atau irasional, sensitivitas berlebih
terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah atribusi dari
sinyal-sinyal tubuh, dan self efficacy yang rendah.
Robbins dan Judge (dalam Wibowo, 2013: 227) menyatakan bahwa
faktor terjadinya persaingan umumnya karena ada taruhan dengan pengertian
bahwa hanya satu orang yang dapat menang. Menurut Indrawijaya (2014:
116) salah satu alasan timbulnya persaingan antar kelompok ialah adanya
norma kelompok dan bagaimana suatu kelompok memandang kelompok
lainnya. Kaitannya dengan persaingan kerja yaitu dalam mencari kerja
individu akan mempertimbangkan pengaruh norma kelompok dalam hal ini
norma perusahaan atau organisasi, dan persepsi individu dalam memandang
perusahaan yang akan menjadi tempat kerjanya.
Sementara itu Waluyo (2013:78) menyatakan faktor yang mempengaruhi
kompetisi atau persaingan kerja adalah sebagai berikut:
a. Jenis kelamin
lebih tinggi pada wanita dan sikap kompetitif (bersaing) lebih
tinggi pada pria (Ahlgren dalam Waluyo, 2013: 79). Menurut
Dowling (dalam Waluyo, 2013: 79) menyatakan bahwa bila
wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan kehilangan
36
kencan atau pasangan hidup bagi pria, dan takut dikucilkan.
b. Jenis pekerjaan
akan terjadi pada pekerjaan-pekerjaan dimana terdapat insentif,
bonus, dan hadiah.
c. Tingkat Pendidikan
berpendapat bahwa tingkat pendidikan dipengaruhi pemilihan
pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan
yang tinggi semakin kuat.
hanya menduduki urutan ketiga sebagai faktor yang merangsang
orang untuk bekerja. Sedangkan faktor yang paling utama di
dalam memotivasi orang bekerja adalah rasa aman dan
kesempatan untuk naik pangkat (promosi) dalam pekerjaannya
(Anoraga dalam Waluyo, 2013: 79).
e. Umur
pada umumnya mempunyai tingkat harapan dan ambisi yang
tinggi.
37
dianggap berprestasi merupakan tendensi alami untuk
berkompetisi.
sangat mementingkan status. Ghiselli dan Brown (dalam Waluyo,
2013: 80) menyatakan bahwa prestasi kerja meningkat sejalan
dengan bertabahnya pengalaman dalam menyelesaikan tugas.
Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh kondisi
biologis, lingkungan sosial, behavioral, serta kognitif dan emosional. Setiap
kondisi tersebut terdapat berbagai penjabaran sumber sumber kecemasan.
Sementara itu, faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan dalam
menghadapi persaingan kerja dapat dikaitkan dengan adanya motivasi untuk
memperoleh kerja, norma atau aturan yang berlaku dalam proses persaingan kerja,
persepsi individu terhadap persaingan kerja, perbedaan gender (jenis kelamin),
jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, masa kerja, usia, dan promosi
kerja.
dengan menghadapi persaingan kerja dalam penelitian ini adalah faktor kognitif.
Faktor kognitif yang berperan salah satunya adalah konsep diri. Konsep diri
38
merupakan evaluasi diri terhadap bidang tertentu, sedangkan harga diri adalah
evaluasi diri secara menyeluruh, artinnya konsep diri merupakan bagian dari harga
diri. Penghargaan diri merujuk pada evaluasi diri yang bersifat global, konsep diri
merujuk pada evaluasi dalam bidang tertentu. Keeratan antara konsep diri dengan
harga diri menjadi pedoman peneliti untuk menggunakan harga diri sebagai faktor
yang memperngaruhi kecemasan menghadapi persaingan kerja.
4. Jenis Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja
Freud (dalam Olson dan Hergenhahn,2013: 59-60) membedakan tiga
jenis kecemasan, yaitu:
dan objektif di lingkungan dan jenis kecemasan yang paling mudah
diredakan lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan memang
akan bisa selesai secara objektif.
b. Kecemasan neurotik, adalah rasa takut bahwa impuls-impuls id akan
mengatasi kemampuan ego menangani, dan menyebabkan manusia
melakukan sesuatu yang akan membuatnya dihukum.
c. Kecemasan moral, adalah rasa takut bahwa seseorang akan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai superego sehingga
membuatnya mengalami rasa bersalah.
Feist dan Feist (38: 2011) Menyatakan bahwa ketergantungan ego pada
id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ketergantungan
39
a. Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) adalah rasa cemas akibat
bahaya yang tidak diketahui. Semasa kanak-kanak, perasaan marah
sering kali diikuti oleh rasa takut akan hukuman dan rasa takut ini
digeneralisasikan ke dalam kecemasan neurosis tidak sadar.
b. Kecemasan moral (moral anxiety), berakar dari konflik antara ego dan
superego. Kecemasan moral juga bisa muncul karena kegagalan
bersikap konsisten dengan apa yang mereka yakini benar secara
moral.
c. Kecemasan realistis (realistic anxiety) terkait erat dengan rasa takut.
Kecemasan jenis ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak
menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan
bahaya itu sendiri.
Sementara itu Freud (dalam Alwisol, 2010: 22) menyatakan tiga jenis
kecemasan, yaitu sebagai berikut:
a. Kecemasan realistik adalah takut kepada bahaya yang nyata ada di
dunia luar. Kecemasan realistik ini menjadi asal-muasal timbulnya
kecemasan neurotik dan kecemasan moral.
b. Kecemasan Neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang bakal
diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya kalau seseorang
memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakininya bakal
40
kecemasan neurotik bersifat khayalan.
c. Kecemasan moral timbul ketika orang melanggar standar nilai orang
tua, prinsip kecemasan moral yakni tingkat kontrol ego. Kecemasan
moral tetap rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi
superego.
dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan dapat dibagi dalam tiga jenis
yaitu kecemasan neurosis, kecemasan moral, dan kecemasan realistis.
Kecemasan menghadapi persaingan kerja tergolong pada jenis kecemasan
realistis, sebab situasi yang mencakup bahaya berupa persaingan kerja
bersifat objektif dan nyata atau realistis.
5. Tipe Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja
Menurut Spilberger (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 53), kecemasan
ada dua bentuk yaitu:
a. Trait anxiety, yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa
terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak bahaya.
Kecemasan dalam kategori ini lebih disebabkan karena kepribadian
individu tersebut memang mempunyai potensi cemas dibandingkan
dengan individu lain.
b. State anxiety, yaitu keadaan dan kondisi emosional sementara pada
diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan khawatir
yang dirasakan dengan sabar serta bersifat subjektif dan
41
yang berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan khusus.
Menurut Shives (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 157-158) tipe
kecemasan terbagi menjadi:
mengantisipasi suatu kejadian.
dalam jangka waktu lama dan memerlukan observasi fisiologis,
emosi dan tingkah laku.
c. Anxiety State, terjadi sebagai hasil dari keadaan ketegangan jiwa,
yaitu seseorang akan kehilangan kontrol dan emosinya.
d. Free-Floating Anxiety, merupakan kecemasan yang sering terjadi
dan berhubungan dengan rasa takut.
Berdasarkan Tipe Kecemasan yang dikemukanan oleh para tokoh, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa Tipe kecemasan secara garis besar terbagi
dalam dua tipe yaitu Trait Anxiety dan State Anxiety. Kecemasan menghadapi
persaingan kerja tergolong pada tipe signal anxiety, sebab respon kecemasan
ini berfungsi untuk mengantisipasi suatu kejadian, dalam masalah ini adalah
mengantisipasi persaingan kerja. Dalam kasus yang lebih serius,
kemungkinan kecemasan menghadapi persaingan kerja dapat menjadi trait
anxiety, sebab sumber kecemasan tidak berbahaya, hanya saja individu
memiliki potensi lebih untuk mengalami kecemasan.
42
Menurut Guindon (2009: 12) Harga diri adalah sikap, evaluasi komponen
diri, penilaian afektif dari konsep diri yang terdiri dari perasaan layak dan
penerimaan yang berkembang dan dipelihara sebagai konsekuesi kesadaran
dari kompensasi dan timbal balik dari dunia luar. Pendapat lain dari Taylor,
Peplau, dan Sears (2012: 119) menyatakan bahwa self esteem (penghargaan
diri) merupakan hasil evaluasi tentang diri kita sendiri, kita tidak hanya
menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai kualitas-kualitas diri kita.
Santrock (2012: 361) menyatakan hal yang serupa, bahwa penghargaan diri
merujuk pada evaluasi global mengenai diri, penghargaan diri disebut juga
martabat diri atau citra diri. Penghargaan diri yang tinggi merujuk pada
persepsi yang akurat, dapat dibenarkan, menyangkut martabat seseorang
sebagai seorang pribadi, keberhasilan dan capaiannya, meskipun demikian,
penghargaan diri juga merujuk pada kesombongan, merasa benar, superioritas
terhadap orang lain yang tidak ada dasarnya (Krueger, Vohs dan Baumeister
dalam Santrock, 2012: 362).
Menurut Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono dan Meinarno,
2012: 57) penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri ini
disebut harga diri . Myers (2012: 64) berpendapat bahwa harga diri adalah
evaluasi diri seseorang secara keseluruhan. Pendapat Branden (dalam
Rahman, 2013: 66), harga diri merupakan kecenderungan seseorang untuk
merasa mampu di dalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga.
43
Dengan kata lain, harga diri merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri
sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.
Sementara itu, Wells dan Marwell (dalam Rahman, 2013: 65)
mendefinisikan harga diri dalam empat tipe pengertian. Pertama, harga diri
dipandang sebagai sikap, harga diri merujuk pada suatu objek tertentu yang
melibatkan reaksi kognisi, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif.
Kedua, harga diri dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dengan
real self. Self esteem individu tinggi apabila real self mendekati ideal self
mereka. Ketiga, harga diri dianggap sebagai respons psikologis seseorang
terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Keempat, harga diri
dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.
Berbeda dari Wells dan Marwell, Mruk (dalam Rahman, 2013: 65)
mendefinisikan harga diri dalam tiga kategori, yakni harga diri sebagai suatu
kompetensi, harga diri dihubung-hubungkan dengan kesuksesan, kemampuan,
dan kompetensi. harga diri dipandang sebagai peraaan berharga, dan kategori
terakhir bahwa harga diri dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan
berharga.
Berdasarkan definisi harga diri yang telah dikemukakan para ahli, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri adalah penilaian terhadap diri
sendiri secara menyeluruh, yang mencakup kompetensi, kepercayaan diri dan
penghargaan diri, serta adanya pengakuan atau penghargaan dari orang lain.
44
memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas personalnya. Mereka
menganggap diri mereka baik, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan
balik dengan cara yang memperkaya wawasan, dan menikmati pengalaman-
pengalaman positif, serta bisa mengatasi situasi sulit. Sedangkan, orang yang
memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang jelas,
merasa rendah diri, sering memilih tujuan kurang ralistis atau bahkan tidak
memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa
depan, mengingat masa lalu secara negative, berkubang dalam perasaan
negative,punya reaksi emosional dan behavioral yang lebih buruk dalam
merespons tanggapan negative dari orang lain, kurang mampu memunculkan
feedback positif terhadap dirinya sendiri, lebih memperhatikan dampak sosial
mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah kena depresi atau berpikir
terlalu mendalam saat mereka menghadapi stress atau kekalahan (Taylor,
Peplau,dan Sears, 2012: 120). Menurut Myers (2012: 65) orang yang
menghargai dirinya secara umum, mereka yang memiliki harga diri tinggi
cenderung menghargai penampilan, kemampuan dan dominan mereka yang
lain. Alwisol (2010: 106) menyatakan bahwa harga diri dapat dilihat dari
menghargai diri sendiri meliputi kebutuhan kekuatan, penguasaan,
kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian dan kebebasan, orang
membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga,
mampu menguasai tugas dan tantangan hidup. Selian itu harga diri dapat
45
dilihat dari adanya penghargaan dari orang lain, meliputi kebutuhan prestise,
penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang
penting, kehormatan, diterima dan apresiasi.
Sementara itu, Branden (dalam Rahman, 2013: 66) menyatakan bahwa
ada dua aspek harga diri, yakni:
a. Rasa Keberhasilan pribadi, meliputi:
(1) keyakinan terhadap fungsi otak, dan kemampuannya dalam
berpikir, menilai, memilih, dan mengambil suatu keputusan
(2) Keyakinan terhadap kemampuannya dalam memahami fakta-
fakta nyata.
(3) Secara kognitif percaya pada diri sendiri – cognitive self trust
(4) Secara kognitif mandiri – cognitive self reliance
b. Rasa nilai pribadi, meliputi:
(1) Menjamin nilai-nilai yang diyakininya.
(2) Mempunyai sikap positif terhadap haknya untuk hidup dan
bahagia
kebutuhan
dimiliki sejak lahir.
Santrock (2007: 184) merangkum indikator harga diri dalam tabel berikut
ini:
46
Indikator Positif Indikator Negatif
Mengekspresikan pendapat Melakukan sentuhan yang tidak
pada tempatnya atau menghindari
selama melakukan aktivitas sosial
berbicara atau diajak bicara
Secara verbal merendahkan dirinya
sendiri atau menjatuhkan harga
kasar, atau dogmatis.
sendiri dengan orang lain
berbicara
tabel berikut ini:
Harga diri tinggi Harga diri rendah
Percaya diri Kurang percaya diri
Ramah Pemarah/ Bermusuhan
Bahagia Tidak Bahagia
Termotivasi Tidak termotivasi
Mencapai Tidak tercapai
Menerima/ toleransi Murung
Merasa aman/ penyesuaian diri baik Merasa tidak aman
Nyaman dengan diri sendiri Citra diri yang buruk
Asertif Komunikator yang buruk
Peduli Sosial yang rendah
Berdasarkan ciri-ciri harga diri yang telah dikemukanan oleh ahli, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri harga diri meliputi percaya diri,
ramah, bahagia, optimis, termotivasi, kompetitif, toleransi, penyesuaian diri
baik, asertif, peduli, mandiri dan bertanggung jawab. Sementara itu indikator
yang digunakan adalah mengarahkan atau memerintah orang lain,
menggunakan kualitas suara yang disesuaikan dengan situasi,
mengekspresikan pendapat, duduk dengan orang lain dalam aktivitas sosial,
bekerja secara koperatif dalam kelompok, memandang lawan bicara ketika
mengajak atau diajak bicara, menjaga kontak mata selama perbincangan
berlangsung, memulai kontak yang ramah dengan orang lain, menjaga jarak
yang sesuai antara diri sendiri dengan orang lain, berbicara dengan lancar,
hanya mengalami sedikit keraguan, punya tujuan yang tepat, menggunakan
umpan balik dengan cara yang memperkaya wawasan, dan menikmati
pengalaman-pengalaman positif, serta bisa mengatasi situasi sulit.
48
Pada Mahasiswa Tingkat Akhir di Universitas Kota Semarang
Mahasiswa tingkat akhir berada pada tahap perkembangan dewasa awal,
dimana pada tahap ini terdapat tugas perkembangan berupa kemandirian dan
memperoleh pekerjaan. Setiap lulusan perguruan tinggi berharap dapat
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, memperoleh banyak
pengalaman, serta mendapat upah sesuai harapannya. Namun pada
kenyataannya memperoleh pekerjaan saat ini terbilang susah, hal ini
ditunjukkan dengan data dari Badan Pusat Statistik, yang menyatakan bahwa
jumlah pencari kerja pada tahun 2015 berjumlah 1.410.428 jiwa, sedangkan
tenaga kerja yang dibutuhkan hanya 833.555 jiwa. Selain itu, pada bulan
Februari 2016 pengangguran terbuka dari lulusan Universitas sebesar 695.304
jiwa.
Data dari Badan Pusat Statistik tersebut dapat menunjukkan bahwa masih
banyak tenaga kerja Indonesia yang belum terserap dalam dunia kerja.
Sementara setiap tahun jumlah tenaga produktif semakin meningkat dari
lulusan sekolah menengah atas, ataupun dari perguruan tinggi. Kondisi
demikian cukup mengkhawatirkan bagi mahasiswa tingkat akhir yang akan
segera ikut bergabung dalam persaingan mencari kerja.
Kecemasan menghadapi persaingan kerja merupakan suatu kondisi
dimana seseorang merasakan hal buruk, bahaya, atau ketidaknyamanan
terhadap situasi dimana individu harus memperlihatkan keunggulan,
49
kecemasan menghadapi persaingan kerja muncul, mahasiswa tingkat akhir
cenderung menilai dirinya kurang siap untuk mengikuti persaingan kerja, dan
merasa dirinya kurang berkompeten dalam hal ilmu maupun pengalaman.
Menurut McFarland dan Wasli (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 155)
mengatakan bahwa faktor yang berkontribusi pada terjadinya kecemasan
meliputi ancaman pada konsep diri, personal security system, kepercayaan,
lingkungan, fungsi peran, hubungan interpersonal, dan status kesehatan.
Faktor munculnya kecemasan yang ingin digali lebih dalam kaitannya
dengan menghadapi persaingan kerja dalam penelitian ini adalah harga diri.
Banyak ahli telah mengemukakan faktor kecemasan dimana salah satunya
terdapat konsep diri. Konsep diri merupakan bagian dari harga diri. Menurut
Santrock (2012:361) penghargaan diri merujuk pada evaluasi global
mengenai diri, penghargaan diri disebut juga martabat diri (self-worth) atau
citra diri (self image). Singkatnya, penghargaan diri merujuk pada evaluasi
diri yang bersifat global, konsep diri merujuk pada evaluasi dalam bidang
tertentu. Keeratan antara konsep diri dengan harga diri menjadi pedoman
peneliti untuk menggunakan harga diri sebagai faktor yang memperngaruhi
kecemasan menghadapi persaingan kerja. Taylor, Peplau, dan Sears (2012:
119) menyatakan bahwa self esteem (penghargaan diri) merupakan hasil
evaluasi tentang diri kita sendiri, kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita
tetapi juga menilai kualitas-kualitas diri kita.
50
bahwa partisipan eksperimen yang mendapat penilaian positif terhadap aspek-
aspek kepribadiannya, harga dirinya positif, lebih sedikit mengalami arousal
fisik dan kecemasan ketika menonton video tentang kematian yang sengaja
diputar oleh eksperimenter. Harga diri yang positif membuat orang dapat
mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. (Sarwono dan
Meinarno, 2012: 57).
yang rendah lebih sensitif terhadap pengalaman yang mengancam, yang dapat
menimbulkan kerusakan pada harga diri mereka. Mereka mempermasalahkan
kritikan dan kegagalan reaksi emosional yang parah. Sebagai tambahan,
mereka seperti memperbesar–besarkan pengalaman negatif, atau melihat
perkataan yang sebenarnya tidak kritis dimaknai secara kritis. Harga diri
rendah lebih dekat dengan pengalaman kecemasan sosial, menunjukkan
kesadaran diri yang tinggi ketika di depan umum. Orang dengan harga diri
yang rendah memiliki kepercayaan interpersonal yang rendah. Mereka merasa
canggung, malu, menyolok dan tidak cukup mampu untuk mengekspresikan
dirinya ketika berinteraksi dengan orang lain.
Mahasiswa tingkat akhir memiliki kecenderungan mengalami kecemasan
dalam menghadapi persaingan kerja. Munculnya kecemasan menghadapi
persaingan kerja dapat dipengaruhi dari berbagai faktor, salah satunya adalah
harga diri. Semakin tinggi harga diri seseorang, maka kecemasan menghadapi
dunia kerja semakin rendah, sebaliknya jika harga diri seseorang rendah,
51
maka kecemasan menghadapi persaingan kerja semakin tinggi. Menurut
Wood, Heimpel dan Michela (dalam Taylor, Peplau, dan Sears, 2012: 120)
orang yang memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi biasanya memiliki
pemahaman yang jelas tentang kualitas personalnya. Mereka menanggapi diri
mereka baik, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan balik dengan
cara positif, serta dapat mengatasi situasi sulit. Orang yang memandang
dirinya rendah kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri,
sering memiliki tujuan kurang realistis atau bahkan tidak memiliki tujuan
yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengingat
masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif, lebih
memperhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah
kena depresi saat menghadapi stress atau kekalahan.
Taylor, Peplau, dan Sears (2012: 121) menyatakan bahwa setelah orang
dewasa muda mendapat pemahaman diri yang lebih kokoh, dia punya dasar
untuk merencanakan kerja atau karier dan untuk menjalin hubungan yang
lebih intim. Berdasarkan teori tersebut dapat diartikan bahwa ketika
mahasiswa tingkat akhir memasuki tahap perkembangan dewasa awal, maka
seharusnya sudah memiliki pemahaman diri yang lebih kokoh sehingga
memiliki dasar untuk merencanakan kerja atau kariernya, dengan begitu
kecemasan menghadapi persaingan kerja akan semakin rendah.
52
persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir di Universitas Kota Semarang.
Semakin tinggi harga diri, maka kecemasan menghadapi persaingan kerja
semakin rendah, begitu pula sebaliknya, semakin rendah harga diri maka
kecemasan menghadapi persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir akan
semakin tinggi.
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 39
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 40
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 41
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 42
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 43
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 44
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 45
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 46
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 47
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 48
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 49
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 50
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 51
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 52
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 53
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 54
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 55
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 56
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 57
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 58
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 59
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 60
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 61
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 62
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 63
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 64
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 65
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 66
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 67
S1-2017-F.131.13.0101-Complete 68