bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman patikan kebo...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)
2.1.1 Deskripsi Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)
Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan tanaman herba merambat
yang hidup di permukaan tanah, terutama pada daerah yang beriklim tropis.
Patikan kebo (Euphorbia hirta L) termasuk tanaman liar yang biasa tumbuh di
permukaan tanah yang tidak terlalu lembab dan ditemukan secara terpencar satu
sama lain (Heyne, 1987 dalam Hamdiyati, dkk. 2008). Tanaman patikan kebo
(Euphorbia hirta L) merupakan tanaman liar yang banyak ditemukan di daerah
tropis. Di Indonesia, tanaman obat tradisional ini dapat ditemukan diantara
rerumputan tepi jalan, kebun atau pekarangan rumah yang tidak terurus dan
disungai. Tanaman herbal ini dicirikan dengan batang lunak yang tidak begitu
kuat menyangga daun, serta memiliki getah putih yang cukup kental. Tanaman ini
masih famili dengan patikan cina, yaitu dalam famili Euphorbiaceae (Nafisah,
dkk. 2014).
Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan gulma liar yang banyak
ditemukan di daerah tropis. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 1-1400
meter diatas permukaan laut. Di Indonesia, tumbuhan ini banyak ditemukan di
padang rumput, tepi jalan, tepi sungai, kebun, atau halaman rumah yang tidak
terurus. Patikan kebo (Euphorbia hirta L) biasanya tumbuh bersama dengan
patikan cina serta dapat bertahan hidup selama 1 tahun dan berkembang biak
dengan biji (Latief, 2014). Di beberapa daerah patikan kebo (Euphorbia hirta L)
11
12
disebut dengan nama yang berbeda-beda misalnya di Jawa biasanya di sebut
dengan patikan jawa dan kukon-kukon, di Jakarta disebut dengan gendong anak
dan gelang susu, di Sunda disebut dengan nanangkaan, dan di Maluku disebut
dengan suma ibi, isu gibi dan sosonongan (Hariana,2006). Tanaman patikan kebo
(Euphorbia hirta L) hidup merambat di tanah, batangnya berambut berwarna
hijau kecoklatan, percabangan selalu keluar dari dekat pangkal batang dan tumbuh
lurus ke atas, akar tunggang dan jarang tumbuh mendatar di permukaan tanah.
Daunnya berbentuk jorong meruncing sampai tumpul, tepinya bergerigi dan
berbulu dipermukaan atas dan bawah. Panjang helaian daun mencapai 50 mm dan
lebarnya 25 mm, pertulangan menyirip, letak daun yang satu dengan yang lain
berhadap-hadapan. Daunnya berwarna hijau atau hijau keunguan. Tanaman
patikan kebo (Euphorbia hirta L) mampu bertahan hidup selama 1 tahun dan
berkembang biak melalui biji (Nafisah, dkk. 2014).
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)
Menurut Gembong (2001), sistematika atau klasifikasi tanaman patikan kebo
(Euphorbia hirta L) dalam dunia tumbuhan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Euphorbia
Jenis : Euphorbia hirta L
13
Gambar 2.1 Tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) (Sumber: Tarmizi.blogspot.2011)
2.1.3 Khasiat dan Kandungan Senyawa Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia
hirta L)
Khasiat pada tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) telah
dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit. Berikut
merupakan khasiat dari daun patikan kebo, diantaranya mengobati radang
tenggorokan, bronkhitis, asma, radang perut, diare, disentri, kencing darah, radang
kelenjar susu dan payu dara, bengkak, penyakit eksim dan berak darah. Tanaman
ini memiliki rasa agak pahit, asam, sejuk, dan sedikit beracun. Tanaman patikan
kebo (Euphorbia hirta L) mempunyai zat-zat kimia yang dapat berkhasiat antara
lain yaitu mempunyai efek farmakologis antiinflamasi, peluruh air seni dan
menghilangkan gatal dan seluruh bagian tanaman patikan kebo dapat digunakan
untuk mengobati beberapa penyakit antara lain abses paru, bronchitis kronis,
asma, disentri, melancarkan kencing, radang kelenjar susu atau payudara dan tipus
abdominalis (Hariana, 2006).
14
Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman patikan kebo
(Euphorbia hirta L) sangat banyak, tidak hanya terdapat pada bagian daunnya di
bagian akar serta batang terdapat senyawa kimia, diantaranya flavonoid, tanin dan
saponin yang berperan sebagai antiinflamasi (Janeway, et all. 2007 dalam
Prihantiny, 2010). Secara rinci kandungan kimia dan efek farmakologi tanaman
patikan kebo (Euphorbia hirta L) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Tanaman Patikan Kebo
(Euphorbia hirta L). No Nama Senyawa Efek Farmakologi
1 Flavonoid menghasilkan sistem imun yang alamiah (innate) dan sistem imun spesifik (adaptive), antiinflamasi dan antihistamin
2 Asam askorba antialergi, antiinflamasi, antihistamin, antioksidan, imunomodulator, imunostimulant, antispasmotic, asthma preventive, dan Ca-antagonist
3 Beta-amyrin Antiinflamasi 4 Beta-sitosterol Antiinflamasi, antioksidan, antiprostaglandin 5 Caffeic-acid Antihistamin, antiinflamasi, antioksidan,
antispasmodic,imunostimulant, leukotrieneinhibitor, lipoxygenase-inhibitor, COX-2-inhibitor, dan Ca-antagonist
6 Quercetin lipoxygenase-inhibitor, leukotrieneinhibitor, COX-inhibitor, Nuclear Factor кB inhibitor (NF-кB inhibitor), protein-kinaseC-inhibitor, dan phospholipase inhibitor
7 Kaempferol antioksidan, ICAM-inhibitor, antispasmodic 8 Gallic-acid bronkodilator, antiinflamasi, lipoxygenaseinhibitor, dan COX-
inhibitor 9 P-coumaricacid prostaglandin-synthesis-inhibitor,
lipoxygenase inhibitor, antioksidan, antispasmotic
10 Taxaxerol Antisecretory 11 Tanin imunostimulant, antiinflamasi, antirhinitis,
antioksidan 12 Saponin meningkatkan sistem imun dan antiinflamasi 13 Ferulic acid antialergi, antiinflamasi, antioksidan,
antiserotonin, antispasmodic, imunostimulant, dan prostaglandinsynthesis-inhibitor
14 Linoleic acid antianaphylactic, antihistamin, antiinflamasi, antileukotriene-D4, dan meningkatkan sistem imun
15 Betulin antiinflamasi dan prostaglandin-synthesisinhibitor 16 Oleic acid antiinflamasi dan antileukotriene-D4
Sumber: (Janeway, et all. 2007 dalam Prihantiny, 2010).
15
2.1.4 Mekanisme Senyawa Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)
Terhadap Penyembuhan Luka Sayat
Patikan kebo (Euphorbia hirta L) memiliki banyak kandungan senyawa
dengan berbagai manfaat. Kemampuan tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)
dalam mengobati berbagai macam penyakit ini melibatkan senyawa-senyawa
kimia di dalamnya yang dapat bersifat antiseptik, anti-inflamasi, antifungi, dan
antibakterial, seperti kandungan tanin, flavanoid (terutama quarcitrin dan
myricitrin) dan tanin (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah, dkk. 2014). Terkait
dengan penelitian yang akan dilakukan 3 kandungan senyawa dari patikan kebo
(Euphorbia hirta L) yang membantu dalam penyembuhan luka yakni flavonoid,
tanin, dan saponin, dimana ketiga kandungan ini memiliki fungsi yang berbeda-
beda dalam tugasnya menyembuhkan luka.
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol. Senyawa fenol bekerja
dengan merusak membran sitoplasma yang menyebabkan keluarnya metabolit
penting yang terdapat dalam sitoplasma. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan
bakteri sehingga luka sayat tidak terinfeksi atau terkontaminasi dengan bakteri.
Selain itu juga senyawa fenol bekerja dengan mengendapkan protein sel sehingga
akan mengganggu pembentukan dinding sel. bakteri. Dinding sel bakteri sangat
penting bagi sel bakteri yaitu berfungsi untuk mengatur pertukaran zat-zat dari
dan keluar sel. Apabila dinding sel bakteri rusak maka akan mengakibatkan zat-
zat yang membahayakan bagi pertumbuhan bakteri akan masuk dan menyerang
bakteri sehingga dapat menyebabkan kematian bakteri (Setiawati &
Widyaningrum, 2016). Kandungan senyawa flavonoid yaitu senyawa yang mudah
16
larut dalam air untuk kerja antimikroba danantivirus. Flavonoid menyebabkan
terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom,dan lisosom
sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Naiborhu 2002
dalam Rohyani, dkk. 2015).
Kandungan senyawa lain dalam tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)
yang berkontribusi dalam penyembuhan luka sayat yaitu saponin. Saponin berasal
dari bahasa latin yaitu ‘sapo’ yang berarti mengandung busa yang stabil bila
dilarutkan dalam air. Kemampuan busa dari saponin disebabkan oleh kombinasi
dari sapogenin yang bersifat hidrofobik (larut dalam lemak) dan bagian rantai gula
yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) (Naoumkina, et al. 2010 dalam
Bogoriani, 2015). Ikatan glikosida pada saponin cukup stabil, tetapi dapat putus
secara kimia oleh asam kuat dalam air. Saponin dalam tumbuhan patikan kebo ini
dapat menyebuhkan luka karena bersifat antiseptik, anti-inflamasi, antifungi, dan
antibakterial (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah, dkk. 2014). Mekanisme
saponin dalam penyembuhan luka sayat adalah memacu pembentukan kolagen.
Kolagen sendiri adalah struktur protein yang berperan dalam proses penyembuhan
luka sayat. Senyawa saponin merupakan zat yang dapat meningkatkan
permeabilitas membrane sehingga sehingga terjadi hemolisis sel, apabila saponin
berinteraksi dengan sel bakteri maka dinding sel bakteri akan pecah atau lisis
(Robinson, 1995 dalam Fridiana, 2012). Saponin untuk obat luar biasanya bersifat
membersihkan atau antiseptik (Rohyani, 2015). Selain itu saponin juga dapat
menghilangkan bau badan (Anonim, 2003 dalam Batari, 2007). Menurut Rohyani
(2015), saponin memberikan rasa pahit dan sifat menyejukkan serta berkhasiat
17
sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus
besar.
Kandungan yang terakhir pada patikan kebo (Euphorbia hirta L) yang
membantu dalam penyembuhan luka adalah tanin. Senyawa tanin adalah senyawa
astringent yang memiliki rasa pahit dari gugus polifenolnya yang dapat mengikat
dan mengendapkan atau menyusutkan protein (Ismarani, 2012). Tanin dalam
tanaman patikan kebo ini dapat menyebuhkan luka karena bersifat antiseptik, anti-
inflamasi, antifungi, dan antibakterial (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah,
dkk. 2014). Menurut Hamidiyati, dkk (2008), senyawa tanin diduga berhubungan
dengan kemampuannya dalam menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, dan
protein transport pada membran sel sehingga dapat membantu penyembuhan luka
pada kulit.
2.2 Tinjauan Umum tentang Kulit Manusia
2.2.1 Pengertian Kulit Manusia
Kulit manusia merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling
luar yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan
merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kira-kira 15%
dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit sangat kompleks,
elastis, sensitif, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan
juga bergantung pada lokasi tubuh, serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis
dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2 m. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak
tangan dan kaki, serta paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit merupakan
18
organ yang vital dan esensial serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan
(Djuanda, 2007).
Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik
maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan
berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang
menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat
badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari
kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai
barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan,
rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan
nutrisi dan air yang dapat digunakanapabila terjadi penurunan volume darah
dan tempat terjadinya metabolismevitamin D (Perdanakusuma, 2007).
2.2.2 Lapisan Kulit Manusia
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu :
2.2.2.1 Lapisan Epidermis
Menurut Perdanakusuma (2007), epidermis merupakan lapisan terluar kulit
yang terdiri dari epitel berlapisbertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans
dan merkel. Tebal epidermisberbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling
tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar
5% dari seluruh ketebalankulit dan lapisan epidermis terdiri atas beberapa bagian
yaitu:
19
a. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan
epidermis paling bawah dan berbatas dengan dermis, dalam lapisan basal
terdapat melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin.
Melanin berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari.
b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut juga
prickle cell layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang paling
kuat dan tebal. Terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang
besarnya berbeda-beda akibat adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke
permukaan makin gepeng bentuknya. Pada lapisan ini banyak mengandung
glikogen.
c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan
granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul)
keratohialin yang basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak
tangan dan kaki.
d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di
bawah lapisan korneum. Terdiri dari sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
e. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan
terluar yang terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti
dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. Pada permukaan lapisan
ini sel-sel mati terus menerus mengelupas tanpa terlihat.
20
2.2.2.2 Lapisan Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis
terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen
menebaldan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit
manusiameningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut
kolagen akansaling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan
berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak
berkeriput (Perdanakusuma, 2007).
Menurut Kalangi (2013), dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum
retikularis dan penjelasannya sebagai berikut:
a. Stratum papilaris, yaitu lapisan yang tersusun lebih longgar, ditandai oleh
adanya papila dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50-250/mm2.
Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling
besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-
pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila lainnya
mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di bawah
epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.
b. Stratum retikularis, yaitulapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas
kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat
ireguler. Pada bagian lebih dalam,jalinan lebih terbuka, rongga-rongga
diantaranya terisi jaringan lemak, kelenjarkeringat dan sebasea, serta folikel
rambut.Serat otot polos juga ditemukan padatempat-tempat tertentu, seperti
21
folikel rambut, skrotum, preputium, dan putingpayudara. Pada kulit wajah dan
leher, seratotot skelet menyusupi jaringan ikat padadermis. Otot-otot ini
berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan
hipodermis/fasia super fisialis dibawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang
banyak mengandung sel lemak.
2.2.2.3 Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda
menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai
darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).
Gambar 2.2 Struktur Kulit Manusia (Sumber: Perdanakusuma, 2007).
22
2.2.3 Fungsi Kulit
Menurut Djuanda (2007), fungsi utama kulit adalah sebagai berikut:
a. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik
atau mekanik (tarikan, gesekan dan tekanan), gangguan kimia (zat-zat kimia
yang iritan), gagguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet) dan gangguan
infeksi luar.
b. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda
padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang
larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit
dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan
jenis vehikulum.
c. Fungsi ekskresi, kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan amonia.
d. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang diberikan.
Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis,
rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak di dermis,
rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang terletak di papila
dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan fungsi ini
dengan cara mengekskresikan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit
23
berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu panas,
peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar
keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.
f. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di
lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan 17 jumlah
serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras
maupun individu.
g. Fungsi kreatinisasi, fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap infeksi
secara mekanis fisiologik.
h. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D.
2.3 Luka Sayat
2.3.1 Pengertian Luka Sayat
Luka sayat didefinisikan sebagai suatu gangguan dari kondisi normal pada
kulit (Taylor, 1997 dalam Baroroh, 2011). Luka sayat adalah kerusakan
kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier,
1995 dalam Baroroh, 2011). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul
seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis,
perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel (Baroroh,
2011). Definisi lain menyebutkan bahwa luka adalah sebuah manifestasi yang
terlihat dari suatu peristiwa yang menyebabkan gangguan integritas kulit dan/atau
kerugian penting dari fungsi protektif atau fisiologis kulit.
24
2.3.2 Penyebab Terjadinya Luka
Menurut Perdanakusuma (2007), luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain sebagai berikut:
1. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing.
Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu
lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
2. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka
berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada
aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng,
kaca ), dimana bentuk luka teratur.
3. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan
atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul.
Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk
luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa
hingga lapisan otot.
4. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau
yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya.
Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka
tidak begitu lebar.
25
5. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit.
Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
6. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas
maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang
tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang
menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan
mukosa.
2.3.3 Klasifikasi Luka
Menurut Taylor (1997) dalam Baroroh (2011), luka sering digambarkan
berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka,
sebagaimana penjelasannya dibawah ini:
1) Berdasarkan tingkat kontaminasi
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana
tidak terjadi prosesperadangan (inflamasi) dan infeksi. Luka bersih biasanya
menghasilkan luka yang tertutup;
b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimanasaluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan
dalam kondisi terkontrol, kontaminasitidak selalu terjadi, kemungkinan
timbulnya infeksi luka adalah 3% sampai11%.
c. ContaminedWounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,
luka akibat kecelakaandan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik
26
aseptik atau kontaminasi dari saluran cernapada kategori ini juga termasuk
insisi akut, inflamasi nonpurulen.Kemungkinan infeksi luka10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I: Luka Superfisial “Non-Blanching Erithema” yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermiskulit.
b. Stadium II: Luka “Partial Thickness”yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis danbagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dan adanya tanda klinis seperti abrasi,blister atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III: Luka “Full Thickness”yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapitidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya
sampai pada lapisanepidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.
Luka timbul secara klinissebagai suatu lubang yang dalam dengan atau
tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV: Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dantulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut yakni merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi
komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan
penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka
27
sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap
sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh: luka jahit, skin
grafting.
b. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (rekuren) dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang
biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka
kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon
baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contoh:
Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.
2.3.4 Proses Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari
proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan,
walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses
penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran
dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan
jaringan (Taylor, 1997).
Perdanakusuma (2007) menyatakan penyembuhan luka adalah suatu
bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama
dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas
28
adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi
penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini:
1. Fase inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah
terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi
disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin
membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan
mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-
like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan
Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya
kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan
ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma, 2007).
Pada fase inflamasi terjadi proses angiogenesis, dimana pembuluh-
pembuluh darah yang baru mulai tumbuh dalam luka injuri dan sangat penting
peranannya dalam fase proliferasi. Fibroblas dan sel endothelial mengubah
oksigen molekular dan larut dengan superoxide yang merupakan senyawa
penting dalam resistensi terhadap infeksi maupun pemberian isyarat oxidative
dalam menstimulasi produksi growth factor lebih lanjut. Dalam proses
inflamasi adalah suatus perlawanan terhadap infeksi dan sebagai jembatan
29
antara jaringan yang mengalami injury dan untuk pertumbuhan sel-sel baru
(Suriadi, 2004).
Gambar 2.3 Fase inflamasi pada luka sayat (Sumber: Saroja, 2012)
2. Fase proliferasi
Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam
luka, pada fase ini makrofag dan limfosit masih ikut berperan, tipe sel
predominan mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epithelial,
fibroblas, dan sel endothelial. Proses ini tergantung pada metabolik,
konsentrasi oksigen dan faktor pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah
injury, terjadi epitelialisasi dimana epidermal yang mencakup sebagian besar
keratin mulai bermigrasi dan mulai stratifikasi dan deferensiasi untuk
menyusun kembali fungsi barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai
epitelialisasi, juga meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-
extracelluler matrix atau singkat ECM), growth factor, sitokin dan
angiogenesis melalui pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocyte
growth factor (KGF) (Perdanakusuma, 2007).
Permukaan Kulit
Trombosit
Makrofag
Luka
Epidermis
Fibroblast Neutrofil
30
Pada fase proliferasi fibroblas merupakan elemen sintetik utama dalam
proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan
selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblas menghasilkan sejumlah
kolagen yang banyak. Fibroblas biasanya akan tampak pada sekeliling luka.
Pada fase ini juga terjadi angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-
kapiler pembuluh darah yang baru tumbuh atau pembentukan jaringan baru
(granulasi tissue). Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Kemudian
pada fase kontraksi luka, kontraksi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi
penutupan luka (Suriadi, 2004).
Gambar 2.4 Fase proliferasi pada luka sayat (Sumber: Saroja, 2012)
3. Fase maturasi/ remodelling
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen,
kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen
berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2
Permukaan
Kulit
Trombosit
Neutrofil
Fibroblast
Luka
Epidermis
Epitelisasi
Makrofag
31
tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang
mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).
Pada fase maturasi atau remodeling yaitu banyak terdapat komponen
matrik. Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit
selama perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan
menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan
bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang
garis luka. Kolagen menjadi unsur yang palin utama pada matrik. Serabut
kolagen menyebar dengan saling tertarik dan menyatu, berangsur-angsur
menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan
skar terjadi pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus menerus
(Suriadi, 2004).
Gambar 2.5 Fase maturasi pada luka sayat
(Sumber: Saroja, 2012).
2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Menurut Kozier (1995) dan Taylor (1997), faktor yang mempercepat
penyembuhan luka sayat adalah sebagai berikut:
Scab Kulit Baru
Epidermis
Fibroblast
Kolagen
Jaringan
Parut
Pembuluh
Darah
Kolagen
32
1. Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepatpenyembuhan luka daripada
orang tua. Orang tua lebih seringterkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati
yang dapatmengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier,1995).
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh.
Klien memerlukan diit kaya protein, karbonhidrat, lemak, vitamin dan mineral
(Fe, Zn), bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi
setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko
infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak
adekwat (Taylor, 1997).
3. Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan
penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya
infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.
4. Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruh penyembuhan luka. Saat kondisi
fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan
lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang
memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi
dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk
sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita
33
gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan
menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik
pada perokok.
5. Keadaan luka
Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitaspenyembuhan
luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka
kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.
6. Obat
Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat
membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian
pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih
lama.
2.4 Ekstraksi
2.4.1 Macam-macam Metode Ekstraksi
Jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara
ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan
dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah
inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika
tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
34
konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan
dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini
adalah memakan ban-yak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan
besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa
mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode
maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
termolabil (Mukhriani, 2014).
2. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction
Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan bantuan
ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang berisi serbuk
sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonik dan ultrasound. Hal ini dilakukan
untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga menghasilkan rongga
pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan
senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi (Mukhriani, 2014).
3. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah
perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian
bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan
menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel
senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel
dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh
area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan
banyak waktu (Mukhriani, 2014).
35
4. Soxhlet
Soxhlet merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk mengekstrak suatu
bahan dengan pelarutan yang berulang-ulang dengan pelarut yang sesuai.
Sampel yang akan diekstraksi ditempatkan dalam suatu timbel yang permeabel
terhadap pelarut dan diletakkan di atas tabung destilasi, dididihkan dan
dikondensaasikan di atas sampel. Keuntungan dari metode ini adalah proses
ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi
sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak
waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat
terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus menerus berada pada titik
didih (Mukhriani, 2014).
5. Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu yang
dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik
didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu (Mukhriani, 2014).
Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap).
Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian
yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan
kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi (Mukhriani, 2014).
36
2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
2.5.1 Deskripsi Tikus Putih
Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan
karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil
karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti
pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan
metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil
dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Tikus putih sebagai hewan percobaan
relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat
foto fobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan
sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia
di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan
yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi
yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih
tidak mempunyai kandung empedu (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).
Perkembangbiakan tikus sangat luar biasa. Sekali beranak tikus dapat
menghasilkan sampai 15 ekor, namun rata-rata 9 ekor. Nama lain hewan ini di
berbagai daerah di Indonesia, antara lain di Minangkabau orang menyebutnya
mencit, sedangkan orang Sunda menyebutnya beurit. Tikus yang paling
terkenal ialah tikus berwarna coklat, yang menjadi hama pada usaha-usaha
pertanian dan pangan yang disimpan di gudang. Tikus albino (tikus putih)
banyak digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium (Akbar, 2010).
37
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih
lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan
dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan
intrinsik (Smith &Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang dikenal
ada tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar. Tikus galur
Sprague-Dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh seorang ahli Kimia
dari Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan galur ini, dia
mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri pertamanya yaitu Sprague dan
namanya sendiri menjadi Sprague Dawley. Tikus putih memiliki beberapa sifat
yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya
perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah
dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri
morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan
badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi
tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).
Untuk tikus pada laboratorium, makanan dan air minum sebaiknya
diberikan secara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sebagai 12 jam
terang dan 12 jam gelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat sensitif terhadap
cahaya, maka intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux
(Hubrecht & Kirkwood, 2010).
38
Menurut Hubrecht dan Kirkwood (2010), kondisi optimal tikus di
laboratorium adalah sebagai berikut:
a. Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu
kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan
gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah
menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.
b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan
fisiologis tikus (suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang
ekstrim harus dihindari).Suhu ruangan yang baik sekitar 20–22⁰C, sedangkan
kelembaban udara sekitar 50%.
c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus
adalah 600 cm2, tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus per kandang adalah 3
ekor.
d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan stres
pada tikus.
2.5.2 Klasifikasi Tikus Putih
Menurut Sharp, et all (1998), klasifikasi taksonomi tikus putih adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodensia
39
Sub Ordo : Scuirognathi
Famili : Muridae
Sub Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus novergicus
Gambar 2.6 Tikus Putih (Rattus novergicus) (Sumber: Akbar, 2010)
2.6 Sumber Belajar
2.6.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
memperoleh pengetahuan, informasi, keterampilan, sikap dan nilai yang mampu
meningkatkan kemampuan diri anak didik baik wawasan, kecerdasan, maupun
kecakapan hidup (Warwanto, dkk. 2009).Sumber belajar adalah segala sesuatu
yang dapat mendukung proses belajar sehingga memberikan perubahan yang
positif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rohani & Ahmadi, (1995: 152-
153), yang berpendapat bahwa sumber belajar adalah segala macam sumber yang
ada di luar yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Peranan sumber-
sumber belajar (seperti: guru, dosen, buku, film, majalah, laboratorium, peristiwa,
dan sebagainya) memungkinkan individu berubah dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi terampil, dan
40
menjadikan individu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Jadi segala apa yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung dan
menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih positif, dinamis, atau
menuju perkembangan dapat disebut sumber belajar.
Ada juga yang mengatakan bahwa sumber belajar yaitu segala sesuatu
yang dapat memberikan informasi atau penjelasan, berupa definisi, teori, konsep,
dan penjelasan yang berkaitan dengan pembelajaran. Seperti pengalaman
langsung dan bertujuan, pengalaman tiruan, pengalaman dramatisasi, pengalaman
darmawisata, pengalaman pameran dan museum dan masih banyak lagi. Ini bisa
dilihat dalam buku Pengelolaan Pengajaran karya Ahmad Rohani, disitu Edgar
mengklasifikasikan pengalaman yang dapat dipakai sebagai sumber belajar
menurut jenjang tertentu yang berbentuk cone of experience atau kerucut
pengalaman yang disusun dari yang konkret sampai yang abstrak (Rohani, 2004).
Pada sistem pengajaran tradisional, sumber belajar masih terbatas pada
informasi yang diberikan oleh guru ditambah sedikit dari buku. Sedangkan
sumber belajar lainnya kurang mendapatkan perhatian, sehingga hal ini
menyebabkan aktivitas belajar siswa kurang berkembang (Nata, 2009).
Melihat pengertian diatas, maka kita bisa menarik kesimpulan, bahwa
sesungguhnya hakikat sumber belajar adalah segala sesuatu yang mampu
memberikan informasi serta dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik
untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Misalnya, dari tidak tahu
menjadi tahu, dan tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi
terampil dan menjadikan individu dapat membedakan mana yang baik dan tidak
41
baik, mana yang tepuji dan yang tidak terpuji dan seterusnya, dengan demikian,
maka sesungguhnya banyak sekali sumber belajar pada masa sekarang dan juga
dahulu yang terdapat dimana-mana dan bisa kita gunakan kapan saja. Misalnya, di
sekolah, museum, halaman, pusat kota, pedesaan dan sebagainya. Namun untuk
pemanfaatan sumber pembelajaran dan pengajaran tersebut amat bergantung juga
pada waktu dan biaya yang tersedia, kreatifitas guru serta kebijakan-kebijakan
lainnya.
Berdasarkan pernyataan diatas maka salah satu kompetensi professional
yang harus dipunyai oleh seorang guru adalah mampu menggunakan sumber atau
media termasuk didalamnya adalah sumber belajar. Pemanfaatan objek alam atau
lingkungan sebagai sumber belajar adalah sangat memungkinkan, karena alam
sekitar dapat berfungsi sebagai gudang, alat dan bahan (permasalahan) yang dapat
menunjang pencapaian tujuan suatu pembelajaran yang harus dicapai oleh peserta
didik. Biologi sebagai bagian dari sains memperolehpengetahuan secara empirik
melalui kajian langsung terhadap objek alam, olehkarena itu, dalam proses belajar
mengajar biologi atau ilmu pengetahuan alam dari guru kepada siswa tidakhanya
sekedar informasi oral tentang biologi dari guru kepada siswa, tetapi lebihdi
tekankan pada kegiatan kegiatan aktif siswa untuk mempelajari obyek yang akan
dipelajari. Adanya interaksi antara siswa dengan objek yang dipelajari
secaralangsung di dalam kegiatan belajar mengajar biologimengandung
konsekuensidigunakannya obyek alam yang ada sebagai sumber belajar dan
mempermudah pendidik untuk menjelaskan materi kepada peserta didiknya.
42
2.6.2 Kategorisasi Sumber Belajar
Menurut Sanjaya (2011), sumber belajar memiliki pengertian yang sangat
luas, kategori yang bisa disebut sebagai sumber belajar antara lain sebagai berikut:
a. Tempat atau lingkungan sekitar yaitu dimana saja seseorang dapat melakukan
belajar atau proses perubahan tingkah laku maka tempat itu dapat
dikategorikan sebagai tempat belajar yang berarti sumber belajar. Misalnya
perpustakaan, pasar, museum, tempat pembuangan sampah, kolam ikan dan
sebagainya.
b. Benda/ Pesan Non Formal, yaitu segala benda yang memungkinkan terjadinya
perubahan tingkah laku bagi peserta didik atau pesan yang ada dilingkungan
masyarakat luas yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran. Misalnya
situs, prasasti, relief-relief pada candi, kitab-kitab kuno dan benda peninggalan
lainnya termasuk juga ceramah oleh tokoh masyarakat dan ulama, cerita rakyat
dan legenda.
c. Orang, yaitu siapa saja yang memiliki keahlian tertentu dimana peserta didik
dapat belajar sesuatu. Misalnya guru, polisi, ahli geologi dan ahli-ahli lainnya.
d. Buku/ Bahan, yaitu segala macam buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh
peserta didik atau format yang digunakan untuk menyimpan pesan
pembelajaran. Misalnya buku pelajaran, buku teks, kamus, ensklopedia, fiksi
dan lain sebagainya.
e. Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, misalnya peristiwa bencana, peristiwa
kerusuhan, dan peristiwa lainnya yang guru dan murid dapat menjadikan
peristiwa atau fakta sebagai sumber belajar.
43
Dari keterangan diatas, mengenai apa saja yang bisa disebut sebagai
sumber belajar, maka sesungguhnya sangat mudah bagi kita ataupun guru serta
murid pada umumnya, untuk memanfaatkan berbagai macam jenis sumber belajar
yang ada, namun dalam praktiknya terkadang kita masih tergantung pada satu atau
dua saja, misalnya hanya memanfaatkan buku paket atau orang sebagai sumber
belajar. Namun yang lainnya seakan kurang diperhatikan. Padahal manfaatnya
tidak jauh beda dengan sumber belajar yang lain. Misalnya, tempat berupa
perpustakaan atau museum. Dua tempat ini menurut penulis mudah dilupakan,
padahal manfaatnya begitu luas demi mendukung proses belajar seseorang.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parcepal dan Ellington (1984),
bahwa dari sekian banyaknya sumber belajar hanya buku teks yang banyak
dimanfaatkan. Seperti halnya, banyak sumber belajar di perpustakaan yang belum
dikenal dan belum diketahui penggunaannya. Keadaan ini diperparah dimana
pemanfaatan buku sebagai sumber belajar masih bergantung pada kehadiran guru,
jika guru tidak hadir maka sumber belajar lain termasuk buku pun tidak dapat
dimanfaatkan oleh peserta didik. Oleh karena itu kehadiran guru secara fisik
mutlak diperlukan, disisi lain sebenarnya banyak sumber belajar disekitar
kehidupan peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran (Majid,
2008).
2.6.3 Fungsi Sumber Belajar
Menurut Morrison(2004), fungsi sumber belajar adalah sebagai berikut:
44
a. Meningkatkan produktivitas pembelajaran, melalui percepatan laju belajar dan
membantu pengajar untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan
pengurangan beban guru/dosen dalam menyajikan informasi, sehingga dapat
lebih banyak membina dan mengembangkan gairah belajar murid/mahasiswa.
b. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual,
melalui pengurangan kontrol guru/dosen yang kaku dan tradisional serta
pemberian kesempatan kepada murid/mahasiswa untuk belajar sesuai dengan
kemampuannya.
c. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran, melalui perencanaan
program pembelajaran yang lebih sistematis dan pengembangan bahan
pembelajaran berbasis penelitian.
d. Lebih memantapkan pembelajaran, melalui peningkatan kemampuan manusia
dalam penggunaan berbagai media komunikasi serta penyajian data dan
informasi secara lebih konkrit.
e. Memungkinkan belajar secara seketika, melalui pengurangan jurang pemisah
antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya
konkrit dan memberikan pengetahuan yang bersifat langsung.
f. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, terutama dengan
adanya media massa, melalui pemanfaatan secara bersama yang lebih oleh luas
tenaga tentang kejadian-kejadian yang langka, dan penyajian informasi yang
mampu menembus batas geografis.
45
2.7 Pemanfaatan Jurnal Sebagai Sumber Belajar
Sering kita dengar istilah sumber belajar (learning resource), orang juga
banyak yang telah memanfaatkan sumber belajar, namun umumnya yang
diketahui hanya perpustakaan dan buku sebagai sumber belajar. padahal secara
terasa apa yang mereka gunakan, orang, dan benda tertentu adalah termasuk
sumber belajar. Sumber belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan
disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu siswa dalam
belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah
dalam bentuk cetakan, video, format perangkat lunak atau kombinasi dari
berbagai format yang dapat digunakan oleh siswa ataupun guru. Dengan
demikian, sumber belajar juga diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan
sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai
wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku
(Majid, 2007).
Berdasarkan pernyataan diatas salah satu contoh bahan ajar yang dapat
digunakan sebagai sumber belajar oleh peserta didik adalah jurnal. Jurnal adalah
majalah publikasi yang memuat KTI (karya tulis ilmiah) yang secara nyata
mengandung data dan informasi yang mengajukan iptek dan ditulis sesuai dengan
kaidah-kaidah penulisan ilmiah serta diterbitkan secara berkala (Hakim, 2012).
Jurnal ilmiah dapat didefinisikan sebagai bentuk publikasi ilmiah berkala yang
memuat hasil kegiatan bidang keilmuan tertentu, baik berupa hasil
pengamatan empirik maupun kajian konseptual, yang bersifat penemuan baru,
maupun koreksi, pengembangan, dan penguatan terhadap paradigma, konsep,
46
prinsip, hukum, dan teori yang sudah ada. Keberadaan jurnal ilmiah disebabkan
kebutuhan nyata masyarakat ilmiah, untuk, (a) memperoleh kritikan, saran, dan
masukan lainnya bagi karyanya, (b) pengakuan keilmuan dan promosi jabatan, (c)
rujukan terbaru, (d) ide aktual untuk kajian lanjutan, dan (e) mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Christina, 2010). Komponen
penulisan jurnal menurut Bustami (2017), yaitu:
1) Judul
2) Nama penulis, dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah
judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di
bawah judul artikel adalah nama penulis utama, nama penulis lainnya diikuti
dengan tempat/lembaga bekerja. Penulis diwajibkan mencantumkan alamat
email untuk memudahkan komunikasi
3) Abstrak
4) Kata kunci
5) Pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan
penelitian
6) Metode
7) Hasil dan Pembahasan
8) Simpulan
9) Ucapan terima kasih, jika diperlukan
10) Daftar rujukan (hanya memuat sumber yang dirujuk).
Contoh lain penulisan jurnal menurut Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia
UMM (2015), sistematika penulisan jurnal publikasi adalah sebagai berikut:
47
1) Judul, memakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
2) Nama penulis
3) Abstrak
4) Kata kunci
5) Pendahuluan
6) Metode penelitian
7) Hasil dan Pembahasan
8) Kesimpulan
9) Daftar pustaka
2.8 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu tentang tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)
sudah banyak dilakukan untuk daya hambat pertumbuhan bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi pada luka sayat dan beberapa penyakit yang lain. Salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yanti Hamdiyanti, Kusnadi dan
Irman Rahadian yang melakukan pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol
daun patikan kebo (Euphorbia hirta L) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis secara in vitro. Ekstraksi daun patikan kebo
(Euphorbia hirta L) dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut
etanol 95%. Ekstrak kasar etanol diencerkan dengan pelarut Dimethylsulfoxide
(DMSO) 30% hingga berkonsentrasi 0, 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/ml.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode difusi agar dengan kloramfenikol
30 µg/ml sebagai kontrol positif dan DMSO 30% sebagai kontrol negatif.
48
Parameter yang diukur ialah besarnya diameter daya hambat yang
terbentuk di sekitar cakram kertas. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 5 kali pengulangan. Rata-rata
diameter daya hambat yang terbentuk dengan perlakuan ekstrak berkonsentrasi
50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/ml secara berurutan ialah 9,67; 13,37; 14,57;
16,33; 17,53; dan 18,40 mm. Uji lanjutan dilakukan untuk menentukan nilai
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dengan menguji beberapa konsentrasi
ekstrak, yaitu 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, dan 55 mg/ml. Hasil analisis
statistik menggunakan program SPSS versi 12 for windows menunjukkan bahwa
ekstrak daun patikan kebo (Euphorbia hirta L) berpengaruh secara signifikan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. epidermidis pada taraf kepercayaan
95%. Berdasarkan hasil analisis pula diketahui bahwa nilai KHM ekstrak daun
patikan kebo (Euphorbia hirta L) berada pada konsentrasi 20 mg/ml dengan rata-
rata diameter daya hambat sebesar 7,67 mm yang berbeda secara signifikan
dengan kontrol negatif, yaitu 6,90 mm. Penghambatan yang terjadi pada bakteri S.
epidermidis tersebut membuktikan bahwa daun patikan kebo (Euphorbia hirta L)
mengandung senyawa aktif yang bersifat antibakteri, seperti flavonoid, tanin,
alkaloid, dan terpenoid.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Tri Novrianti Djanggola1, Yusriadi1,
Muhamad Rinaldhi Tandah dengan judul “Formulasi Gel Ekstrak Patikan Kebo
(Euphorbia hirta L.) Dan Uji Aktivitas Terhadap Bakteri Staphylococcus
epidermidis”. Yang menjelaskan bahwasanya Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.)
merupakan salah satu tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap
49
bakteri Staphylococcus epidermidis, yang merupakan bakteri penyebab jerawat.
Flavonoid dan tanin merupakan senyawa yang diduga berperan sebagai senyawa
aktif antijerawat. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi sediaan gel ekstrak
patikan kebo (Euphorbia hirta L), menguji aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus epidermidisdengan metode difusi agar menggunakan pencadang
kertas dan mengetahui stabilitas sediaan.
Data aktivitas antibakteri yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA one
way dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji Duncan. Simplisia
patikan kebo (Euphorbia hirta L) sebanyak 600 gram diekstraksi dengan metode
maserasi menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak 4 Liter. Hasil ekstrak kental
etanol patikan kebo (Euphorbia hirta L) yaitu 67,57 gram. Rendamen yang
diperoleh yaitu 11,261 %. Hasil uji aktivitas terhadap Staphylococcus epidermidis
menunjukkan bahwa ekstrak etanol patikan kebo dapat menghambat pertumbuhan
Staphylococus epidermidis. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan
menghasilkan diameter daerah hambat yangsemakin besar. Hasil uji aktivitas pada
ekstrak patikan kebo menunjukkan korelasi positif yaitu semakin tinggi
konsentrasi ekstrak maka semakin besar pula diameter hambat bakteri. Cakram
kertas yang telah mengandung bahan uji dan telah ditanam pada media perbenihan
agar padat yang telah dicampur dengan suspensi bakteri akan berdifusi ke dalam
media tersebut, maka terbentuklah zona hambat (zona bening) tersebut di sekitar
cakram. Pada penelitian sebelumnya diameter hambat patikan kebo dengan KHM
1% memiliki diameter hambat 7,67 mm (Hamdiyanti, 2008).
50
2.9 Kerangka Konsep
Bagan 2.1 Kerangka konsep
fungsi fungsi fungsi
Kandungan senyawa aktif tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) untuk mengobati luka sayat
Tanin Flavonoid Saponin
Sebagai astrigen dimana
astrigen akan menyebabkan
permeabilitas mukosa akan
berkurang dan ikatan antar
mukosa menjadi kuat sehingga
mikroorganisme dan zat kimia
iritan tidak dapat masuk ke
dalam luka
Anti inflamasi sehingga dapat
mengurangi peradangan serta
membantu mengurangi rasa
sakit, bila terjadi pendarahan
atau pembengkakan pada luka
Memacu pembentukan
kolagen, yaitu struktur
protein yang berperan dalam
proses penyembuhan luka
Potensi:
Banyaknya tanaman yang
mengandung senyawa antibakteri
yang dapat mempercepat
penyembuhan luka
Masalah:
Banyaknya kejadian infeksi
yang diakibatkan oleh luka
sayat dari tahun ke tahun
Studi litetarur tentang tanaman
patikan kebo untuk mempercepat
proses penyembuhan luka sayat
Luka sembuh Fase Inflamasi
Fase Poliferasi
Fase Maturasi
51
2.10 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan studi pustaka diatas dapat di rumuskan
hipotesis sebagai berikut :
1. Ekstrak tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) dapat mempercepat proses
tahapan penyembuhkan luka sayat pada tikus putih (Rattus novergicus).
2. Konsentrasi ekstrak tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) yang paling
efektif dalam tahapan penyembuhan luka sayat pada tikus putih (Rattus
novergicus) adalah konsentrasi 20%.
3. Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak tanaman patikan kebo
(Euphorbia hirta L) terhadap tahapan penyembuhan luka sayat pada tikus putih
(Rattus norvegicus) dikembangkan sebagai sumber belajar biologi dalam
bentuk jurnal agar memudahkan siswa untuk memahami materi “Berbagai
Tingkat Keanekaragaman Hayati Indonesia” SMA semester 1, KD 3.2
menganalisis data hasil obervasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman
hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia.