bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit tuberkulosis 2.1...1. klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan
di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium
yaitu Mycobacterium tuberculosis. Secara umum bakteri ini berbentuk batang
dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2-0,6 mikron. (Kemenkes RI, 2014).
Terdapat dua jenis tuberculosis yaitu tuberculosis laten dan tuberculosis aktif.
Tuberculosis laten yaitu manusia pembawa bakteri tidak mengalami sakit dan tidak
menularkan bakteri Mycobacterium tuberculosis kepada orang lain, sedangkan
tuberkulosis aktif yaitu penderita yang terinfeksi mengalami sakit dan menularkan
bakteri Mycobacterium tuberkulosis kepada orang lain melalui droplet.
2.1.2 Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif yang
ditularkan melalui penderita TB yang batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan
dengan orang lain. Basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang
sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh
limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak dengan masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Kemenkes RI,
2014). Namun pada pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif pula mampu
menularkan penyakit Tuberkulosis. Tingkat penularan TB pada pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur postif adalah 26% dan bila dibandingkan dengan TB
BTA negative dengan hasil negatif yaitu 17%.
9
2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia,
klasifikasi TB dibedakan menjadi:
1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi dari Penyakit
Berdasarkan lokasi anatomi penyakit, pasien TB dibedakan menjadi dua
yaitu: Tuberkulosis paru dan Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis Paru
adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru tidak termasuk Pleura.
Tuberkulosis Paru ditandai dengan adanya lesi pada jaringan paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra
paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
2. Klasifikasi Berdasarkan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis TB Paru dibedakan
menjadi TB Paru BTA positif (+) dan TB Paru BTA negatif (-). Kriteria
pasien TB paru dikatakan sebagai BTA (+) apabila minimal terdapat 1 dari 3
spesimen dahak SPS (sewaktu pagi sewaktu) dengan hasil (+) positif.
Sedangkan TB Paru BTA negatif (-) yaitu dengan kriteria semua hasil dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya (-) negatif (Kemenkes RI, 2014)
3. Klasisfikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya.
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
10
a. Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps) adanya pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif (+) setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.4 Spektrum Klinis Tuberkulosis
Spektrum klinis TB merupakan klasifikasi yang menggambarkan
degradasi berat ringannya penyakit TB. Pengklasifikasian spektrum TB
berdasarkan pathogenesis penyakit TB yang diketahui melalui pemeriksaan
gejala klinis TB, rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis. Spektrum
klinis TB digunakan sebagai dasar operasional dalam program
penatalaksanaan kasus TB di masyarakat. Selain itu klasifikasi spektrum
klinis TB ini dapat memberikan dasar kepada dokter untuk menggambarkan
tingkat keparahan penyakit TB sehingga dapat digunakan sebagai
11
pengembangan penyakit dan pengobatan yang tepat penyakit TB. Adapun
klasifikasi spektrum klinis TB dibedakan menjadi beberapa klasifikasi
meliputi:
1. Non TB/ no TB exposure/no infected
Pasien Non TB/no TB exposure adalah pasien yang tidak memiliki riwayat
menderita TB sebelumnya yang didukung dengan tidak adanya infeksi bakteri
mycobacterium tuberculosis sehingga tidak menunjukkan gejala klinis TB
pada pasien (CDC, 2012)
2. TB BTA Positif (+)
Pasien dikatakan TB BTA positif apabila pasien menunjukkan ada atapun
tidak nya gejala klinis TB yang dialami. Selain itu untuk mengatahui
keberadaan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis sewaktu, pagi dan
sewaktu (SPS). Apabila salah satu menunjukkan hasil positif maka hasil BTA
(+). Pemeriksaan radiologis/ rontgen menunjukkan hasil positif (abnormal).
Kombinasi yang menunjukkan TB BTA positif yaitu pemeriksaan dahak
mikroskopis ++, pemeriksaan dahak mikroskopis +, biakan +, dan
pemeriksaan dahak mikroskopis +, rontgen + (PDPI, 2006)
3. TB BTA Negatif (-)
TB BTA negatif (-) apabila hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif pada
gejala klinis TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis menunjukkan
hasil negatif (-). Kriteria pasien TB BTA (-) didasarkan pada kombinasi yaitu
mikroskopis (-), gejala klinis TB (+) dan rontgen (+) (PDPI, 2006)
4. Pernah TB
Pasien pernah TB merupakan pasien yang memeiliki riwayat menderita TB
sebelumnya. Hasil pemeriksaan mikrobiologis menunjukkan hasil negatif,
12
tidak ada gejala klinis TB ataupun pemeriksaan radiolografi tidak merujuk
pada TB aktif atau gambaran lesi TB inaktif.
5. Suspect TB/ TB Klinis
Pasien dikatakan suspect TB apabila terdapat tanda-tanda dan gejala klinis
TB, namun belum lengkap melakukan pemeriksaan skrining (CDC, 2012).
2.1.5 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis
Secara global, prevalensi TB paru telah meingkat tiap tahunnya.
Prevalensi TB di dunia dinyatakan meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan
laporan Global Tuberculosis Report Pada tahun 2012, prevalensi TB di dunia
mencapai 169 per 100.000 penduduk dan menjadi 174 per 100.000 penduduk
per tahun pada tahun 2014. Di sisi lain TB merupakan penyebab kematian 1,5
juta penduduk tiap tahunnya (WHO, 2015). Di Iran prevalensi TB 23 per
100.000 penduduk pada tahun 2010 (WHO, 2010). Penyakit DM juga
mengalami peningkatan prevalensi tiap tahunnya terutama DM tipe 2. Pada
tahun 2010 jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 285 juta orang dan
menyebabkan 3,5 juta kematian (Ruslami, 2010a). Asia merupakan pusat
perkembangan DM dimana kontribusi terbesar berasal dari India dan china
(Harries, 2011). Di dunia sebanyak 70% penderita TB berada pada negara
yang mengalami endemik DM (Lonroth, 2010). Sebanyak 8 dari 10 negara
yang dengan insiden DM yang tinggi juga merupakan negara dengan insiden
TB terbesar menurut WHO (Restrepo, 2007).
Indonesia merupakan negara sebagai penyumbang penderita TB
terbesar kedua di dunia (WHO, 2015). Studi pada negara berkembang dan
maju menemukan bahwa diabetes berhubungan dengan peningkatan risiko
TB (Ruslami, 2010b). Berdasarkan 13 hasil penelitian observasional
13
ditemukan bahwa orang dengan DM memiliki risiko 3.11 kali lebih besar
terkena TB diabnding orang tanpa DM (Jeon, 2008). Dalam studi terbaru di
Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada
pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5%
pasien (Dooley, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana
et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada
pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB (Alisjahbana, 2006).
Berdasarkan data WHO tahun 2011, angka penemuan kasus TB pada populasi
umum hanya mencapai 78 per 100.000 penduduk (WHO, 2011). Apabila
dibandingkan dengan angka penemuan kasus TB pada populasi DM yang
lebih tinggi. Berdasarkan penelitian skrining TB pada populasi DM yang
dilakukan di China, angka CNR pada 3 kuarter skrining diperoleh hasil bahwa
CNR TB pada populasi DM berturut-turut mencapai 391, 352 dan 774 per
100.000 penduduk (Lin et al, 2012).
2.2 Penyakit Tuberkulosis Pada Pasien Diabetes Mellitus
Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM diduga akibat dari
gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman
Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita DM, adanya komplikasi
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis
pada pasien tersebut. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan
korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi
hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan
melawan infeksi. Meningkatnya kepekaan primer pasien DM terhadap infeksi
penyakit TB paru disebabkan oleh adanya hiperglikemi yang sangat berperan dalam
mudahnya penularan TB pada pasien DM.
14
Kegagalan sistem imun menjadi penyebab DM sebagai faktor risiko aktivasi
TB laten. Dikatakan bahwa DM memiliki potensi untuk bermanifestasi ke dalam
bentuk klinis yang lebih berat (Restrepo, et al, 2008). Respons selular baik innate
maupun adaptive menyebabkan gangguan fungsi pada pasien DM, padahal respons
selular merupakan respons yang paling penting untuk membatasi infeksi TB. Secara
umum pada penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel limfosit,
makrofag, monosit, namun satu penelitian menunjukkan jumlah limfosit yang
menurun pada pasien TB dengan DM dibandingkan pasien TB tanpa DM (Aweis,
et al, 2010). Kadar sitokin TNF- dan IFN- meningkat pada pasien dengan TB dan
DM, kedua sitokin ini penting untuk aktivasi makrofag dan membatasi infeksi.
Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity maupun adaptive
immunity sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium
tuberculosis yang kemudian dapat menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang
merupakan respons utama tubuh untuk melawan TB. Hal ini menunjukkan bahwa
respons sel imun selular menurun dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi
untuk optimalisasi respons imun (Restrepo, et al, 2008).
2.3 Skrining Tuberkulosis
Skrining merupakan salah satu upaya mengidentifikasi penyakit- penyakit
yang tidak diketahui/tidak terdeteksi dengan menggunakan berbagai test/uji yang
dapat diterapkan secara tepat dalam sebuah skala yang besar. Skrining merupakan
salah satu cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu
tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan
antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang mungkin tidak
menderita penyakit.
15
Dalam melakukan penampisan dan diagnosis, akan memberikan beberapa
kemungkinan hasil yang meliputi positif benar, positif semu, negatif semu dan
negatif benar (Sastroasmoro, 2011). Penyajian data kemungkinan hasil yang
diperoleh dari skrining tersebut ditampilkan dalam tabel 2x2. Indikator yang
digunakan untuk melihat keakuratan suatu uji skrining dan diagnosis yaitu adanya
nilai sensitivitas dan nilai spesitivitas. Sensitivitas merupakan kemampuan alat
diagnosis untuk mendeteksi suatu penyakit dengan hasil tes positif. Sedangkan
nilai spesitivitas merupakan kemampuan suatu alat diagnosis untuk menentukan
bahwa subyek tidak sakit (Sastroasmoro, 2011).
Skrining TB adalah salah satu identifikasi sistematik dalam melakukan
penemuan kasus suspek TB aktif pada populasi yang berisiko dengan menerapkan
suatu test, uji atau prosedur lain yang membantu menentukan penemuan kasus
lebih cepat (WHO, 2013). Tujuan utama dilaksanakannya skrining TB adalah
untuk mendeteksi TB aktif lebih awal dengan cara: mengurangi resiko kegagalan
pengobatan, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pada pasien yang
menderita TB. Hal ini tentunya akan mengurangi penderitaan, prevalensi TB dan
kematian yang diakibatkan oleh TB. Mengurangi penyebaran TB dengan
memperpendek masa penularan TB. Hal ini akan mengurangi insiden penularan
TB yang tentunya akan mempengaruhi berkurangnya kasus TB.
Tujuan lain dilaksanakannya skrining TB yaitu mengendalikan TB aktif
untuk mengidentifikasi orang yang memenuhi syarat perawatan TB laten. Selain
itu melalui skrining TB dapat membantu mengidentifikasi orang yang mempunyai
risiko dalam penyebaran TB aktif nantinya. Dalam hal ini misalnya orang dengan
hasil pemeriksaan rontgen yang tidak normal tetapi tidak didiagnosa TB pada saat
16
dilakukannya skrining (WHO, 2013). Berdasarkan rekomendasi WHO, skrining
dan diagnosis TB dapat dilakukan melalui 3 pemeriksaan meliputi berikut:
2.3.1 Pemeriksaan Gejala Klinis TB
Pemeriksaan gejala klinis TB merupakan salah satu metode penemuan
kasus TB pada tingkat awal dengan melihat gejala klinis TB pada seseorang.
Pelaksanaan skrining gejala TB dilakukan dengan melakukan wawancara
atau anamnesis kepada pasien untuk mengetahui ada tidaknya gejala yang
dialami mengacu pada gejala-gejala TB. Berdasarkan Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, gejala utama pasien TB adalah batuk
berdahak selama 2 minggu atau lebih pada pasien. Selain itu gejala TB lain
meliputi: mengalami demam yang hilang timbul (subfebris), keringat malam
disaat tidak melakukan aktivitas, adanya penurunan berat badan, batuk
berdarah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun dan demam
meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014).
WHO telah menetapkan nilai sensitivitas dan spesitivitas skrining TB
Paru berdasarkan gejala klinis TB. Adapun angka sensitivitas dan spesititas
skrining menggunakan gejala ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB
menggunakan Gejala Klinis.
No Skrining Gejala Sensitivitas
% (95% CI)
Spesitivitas
% (95% CI)
1. Batuk produktif (>2-3
minggu) 35 (24-46) 95 (93-97)
2. Batuk lain 57 (40-74) 80 (69-90)
3. Gejala TB lain (Pada populasi
HIV rendah) 70 (58-82) 61 (35-87)
4. Gejala TB lain (Pada populasi
HIV tinggi) 84 (76-93) 74 (53-95)
5. Gejala TB lain (Pada populasi
HIV tinggi atau rendah) 77 (68-86) 68 (50-85)
Sumber: WHO, 2013
17
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa skrining gejala yang memiliki nilai
sensitivitas tertinggi yaitu pada gejala TB lain yang dilakukan pada prevalensi
HIV tinggi dengan sensitivitas 84%. Hal ini berarti kemampuan skrining
menggunakan gejala lain menggambarkan kejadian TB dengan gejala positif
yaitu sebesar 84%. Pada gejala utama TB batuk produktif > 2-3 minggu,
memiliki nilai sensitivitas terendah yaitu 35% namun nilai spesitivitas
tertinggi diantara skinning menggunakan gejala TB lain yaitu 95%. Hal ini
berarti kemampuan skrining menggunakan gejala utama TB batuk produktif
mampu menggambarkan orang yang tidak terdiagnosis TB dengan hasil
gejala negatif yaitu sebesar 95%.
Beberapa penelitian terkait nilai sensitivitas dan spesitivitas skrining
menggunakan gejala klinis TB telah banyak dilakukan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan den Boon, et al, yang melakukan evaluasi skrining
menggunakan gejala dan rontgen paru dalam survey prevalensi TB diperoleh
hasil bahwa, skrining gejala utama batuk produktif >2 minggu memiliki nilai
sensitivitas 54%, sedangkan skrining gejala TB lain memiiki nilai sensitivitas
tertinggi pada pasien dengan penemuan bakteri positif (+) yaitu 69%. Dalam
penelitian tersebut juga diketahui bahwa gejala utama batuk produktif >2
minggu memiliki nilai spesitivitas 82%, sedangkan gejala TB lain memiliki
nilai spesitivitas 68% (den Boon, et al, 2006).
2.3.2 Pemeriksaan rontgen paru (chest x-ray)
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu metode dalam
mengidentifikasi kasus TB Paru dengan melihat adanya penyimpangan/
kelainan yang terdapat pada hasil rontgen organ paru. Skrining rontgen
dengan melakukan rontgen dada dengan proyeksi postero-anterior (PA) dan
18
diinterpretasikan oleh ahli radiologi tanpa mengetahui status DM pasien.
Hasil dari computed tomography (CT) scans tidak digunakan sebagai analisis
penelitian. Interpretasi radiologi dibagi berdasarkan luas lesi (lesi minimal,
lesi luas), letak lesi (upper field, lower field, multilobaris), karakteristik lesi
(tipikal, atipikal), respons terapi (perbaikan, perburukan, menetap), dan
gambaran lesi (bayangan berawan/nodular, kavitas, efusi pleura, milier,
scwarte, fibrotik, dan kalsifikasi) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2010). Luasnya lesi yang tampak pada rontgen paru dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Lesi minimal (Minimal lesion) Bila proses TB paru mengenai sebagian
kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru
yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra toracalis IV dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi sedang (moderately advance lession) Proses penyakit lebih luas dari
lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas
proses tidak boleh luas dari satu paru atau jumlah dari proses yang paling
banyak seluas satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih
padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga
pada satu paru dan proses ini dapat/tidak disertai kavitas. Bila disertai
kavitas maka diameter semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.
c. Lesi Luas (Far Advance) Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB paru aktif: Bayangan
berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen
superior lobus bawah paru, kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi
19
bayangan opak berawan atau nodular, adanya bayangan bercak milier, dan
efusi Pleura. Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai TB paru inaktif:
Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah, kalsifikasi, dan penebalan pleura.
Berdasarkan data WHO, nilai sensitivitas dan nilai spesitivitas skrining
menggunakan chest radiography/rontgen paru ditampilkan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.2.3 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB
Menggunakan Rontgen Paru
No Skrining rontgen Sensitivitas
% (95% CI)
Spesitivitas
% (95% CI)
1. Kelainan hasil rontgen yang
menunjukkan penyakit TB
(TB aktif atau TB laten)
98 (95-100) 75 (72-79)
2. Kelainan hasil rontgen yang
merujuk pada TB aktif 87 (79-95) 89 (87-92)
3. Hasil positif pada skrining
gejala 90 (81-96) 56 (54-58)
Sumber: WHO, 2013
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai sensitifitas skrining
menggunakan rontgen paru dengan melihat kelainan hasil rontgen yang
menunjukkan penyakit TB memiliki nilai sensitivitas tertinggi yaitu 98%. Hal
ini berarti kemampuan skrining menggunakan rontgen paru dengan melihat
kelainan hasil rontgen yang menunjukkan penyakit TB untuk dapat
menggambarkan orang yang terdiagnosis TB paru dengan hasil skrining
positif (+) yaitu sebesar 98%. Sedangkan skrining menggunakan rontgen paru
dengan melihat kelainan hasil rontgen yang merujuk pada TB aktif memiliki
nilai spesitifitas tertinggi yaitu 89%. Hal ini berarti skrining menggunakan
rontgen paru dengan melihat kelainan hasil rontgen yang merujuk pada TB
20
aktif untuk menggambarkan orang yang tidak terdiagnosis TB paru dengan
hasil skrining negatif (-) yaitu sebesar 89%.
Dalam penelitian yang dilakukan den Boon, et al diperoleh hasil bahwa
nilai sensitivitas skrining menggunakan rontgen paru dalam mendeteksi
bakteri positif TB yaitu sebesar 97% dengan nilai spesitivitas 67% (den Boon,
et al, 2006). Dalam penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan
skrining menggunakan rontgen paru untuk mendeteksi bakteri positif TB
yaitu sebesar 97%. Sedangkan kemampuan skrining menggunakan rontgen
dalam mendeteksi bakteri negatif yaitu sebesar 67%.
2.3.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis (sputum)
Pemeriksaan dahak mikroskopis sputum merupakan salah satu alat
diagnosis paling spesifik dan pemeriksaan primer dalam menegakkan
diagnosis TB (Khogali et al, 2013). Dalam menegakkan diagnosis TB secara
mikroskopis dibutuhkan tiga contoh uji dahak. Pengumpulan spesimen dahak
dilakukan dalam waktu 2 hari yaitu Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS):
1. Dahak Sewaktu hari -1 (A)
Dahak pertama diambil sewaktu pada saat pasien berkunjung ke
fasyankes. Beri pot dahak pada saat pasien pulang untuk keperluan
pengumpulan dahak pagi hari berikutnya.
2. Dahak Pagi (B)
Pasien mengeluarkan dahak kedua pada pagi hari setelah bangun tidur dan
membawa contoh uji dahak ke laboratorium.
3. Dahak Sewaktu hari -2 (C)
Kumpulkan dahak ketiga sewaktu di laboratorium pada saat pasien kembali
ke laboratorium pada hari kedua saat membawa dahak pagi (B).
21
Berdasarkan data WHO nilai sensitivitas dan spesitivitas alat diagnosis
TB dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis dengan
pemeriksaan kultur sebagai gold standard sesuai penelitian yang telah
dilakukan ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.3 Nilai Sensitivitasdan Nilai Spesitivitas Alat Diagnosis TB
Menggunakan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
No Alat Diagnosis Sensitivitas
% (95% CI)
Spesitivitas
% (95% CI)
1. Pemeriksaan kultur 100 100
2. Pemeriksaan Dahak
Mikroskopis 61 (31-89) 98 (93-100)
Sumber: WHO, 2013
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa diagnosis TB menggunakan
pemeriksaan mikroskopis dahak memiliki nilai sensitivitas yaitu 61%. Angka
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemeriksaan mikroskopis dahak
untuk mendiagnosis penderita TB dengan hasil tes positif (+) yaitu sebesar
61%. Sedangkan nilai spesitivitas alat diagnosis menggunakan pemeriksaan
mikroskopis dahak yaitu sebesar 98%. Angka ini menujukkan bahwa
kemampuan pemeriksaan mikroskopis dahak dalam mendiagnosis orang
yang tidak TB dengan hasil tes negatif (-) yaitu sebesar 98%.
2.3.4 Skrining Tuberkulosis pada Pasien DM
Skrining TB pada pasien DM merupakan salah satu upaya penampisan
TB yang dilakukan pada penyandang DM di fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL)
sebagai upaya untuk penemuan kasus TB pada pasien yang didiagnosis DM.
Berdasarkan Konsensus TB-DM Indonesia tahun 2015, Penapisan TB pada
penyandang DM di FKTP adalah dengan melaksanakan kedua langkah
berikut:
22
Pasien dengan penyakit DM yang datang melakukan kontrol penyakit
ke FKTP dilakukan wawancara untuk mencari salah satu gejala/faktor risiko
TB. Gejala klinis TB yang diwawancarai yaitu Batuk, terutama batuk
berdahak ≥2 minggu, Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris),
Keringat malam tanpa disertai aktivitas, Penurunan berat badan. Sedangkan
gejala/faktor risiko TB ekstra paru ditandai dengan adanya gejala:
pembesaran kelenjar getah bening (KGB), Sesak, nyeri saat menarik napas,
atau rasa berat di satu sisi dada. Pemeriksaan anamnesa gejala klinis TB
dilakukan oleh dokter ataupun petugas kesehatan di FKTP. Pemeriksaan
selanjutnya yaitu pemeriksaan rontgen untuk mencari abnormalitas paru
apapun. Jika fasilitas tidak tersedia di FKTP, maka pasien dirujuk ke FKRTL
atau lab radiologi jejaring.
Sedangkan penapisan TB pada penyandang DM di FKRTL dilakukan
melalui wawancara mencari salah satu gejala/faktor risiko TB di bawah ini:
Batuk, terutama batuk berdahak ≥2 minggu, Demam hilang timbul, tidak
tinggi (subfebris), Keringat malam tanpa disertai aktivitas, Penurunan berat
badan dan gejala TB ekstra paru ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar
getah bening (KGB), Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu
sisi dada. Pemeriksaan selanjunya yaitu pemeriksaan foto toraks (rontgen)
untuk mencari abnormalitas paru apapun. Indikasi pemeriksaan foto toraks
ulang ditentukan oleh klinisi spesialis radiologis (Sp.Rad) (Kemenkes RI,
2015b).
23
2.3.5 Algoritma Pemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM
Gambar 2.1 Algoritma Pemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM
Disesuaikan dengan Protap TB DOTS.
Pasien DM (>15 tahun) GD Puasa ≥126 mg/dl
GD S atau GD 2JP P≥200 mg/dl
Gejala TB lain atau tanpa Gejala
i. Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)
ii. Keringat malam tanpa disertai aktivitas
iii. Penurunan berat badan
iv. TB ekstra paru antaralain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
v. Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada
Gejala + Rontgen +
PEMERIKSAAN
DAHAK MIKROSKOPIS
Gejala +
Rontgen -
Gejala - Rontgen +
Gejala - Rontgen -
- Wawancara gejala
TB tiap kunjungan
berikutnya
- KIE Pencegahan
TB
PENGOBATAN
Klinik DOTS
TB
Rontgen
Wawancara Gejala TB
Gejala TB i. Batuk produktif,
terutama batuk berdahak ≥ 1
minggu
dengan atau tanpa gejala lain
Foto Rontgen
*) Rontgen dibaca oleh SpRad
BTA +
BTA -
Non TB
TB
Rontgen +
++=
Rontgen -
++=
PEMERIKSAAN
DAHAK
MIKROSKOPIS
Rontgen +/-
BTA +
Rontgen + BTA -
Rontgen - BTA-
Non TB
24
2.4 Karakteristik pasien DM yang terdiagnosis TB
2.4.1 Karakteristik Sosio Demografi
1. Umur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun
2015, diketahui bahwa dari 49 pasien DM yang terdiagnosis TB Paru,
sebanyak 39 (79,6%) dikategorikan dalam umur <60 tahun. Penelitian lain
menyebutkan bahwa sebagian besar umur pasien DM yang terdiagnosis TB
yaitu pada kelompok umur 55-74 tahun dengan persentase sebesar 45%
(Dobler, 2012).
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun
2015, diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki yang menderita DM lebih
berisiko 1,3 kali terkena TB dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan
namun tidak berpengaruh bermakna (p=0,555). Sebanyak 55,1% penderita
DM berjenis kelamin laki-laki dan 44,9% penderita DM berjenis kelamin
perempuan dinyatakan terdiagnosis TB (Wijayamto, et al, 2015).
3. Pendapatan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto et al, karakteristik
pendapatan pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar pada golongan
ekonomi menengah (pendapatan 2-4 juta per bulan) dengan persentase 49%.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Amare et al, menyebutkan bahwa pada
pasien DM dengan pendapatan >68 US Dolar sebanyak 9,3% terdiagnosis TB
Paru (Amare et al, 2013).
25
4. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan salah satu karakteristik sosiodemografi dalam
menggambarkan pasien DM yang terdiagnosis TB. Pada penelitian yang
dilakukan Amare, et al di Rumah sakit Dessie, status pekerjaan pasien DM
dibedakan menjadi pekerja pemerintah atau private, petani, pedagang dan
buruh. Diperoleh hasil bahwa sebanyak 7,8% pekerja pemerintahan atau
private terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).
5. Tempat Tinggal
Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM
yang terdiagnosis TB berdasarkan tempat tinggal yang terdiri dari perkotaan
dan pedesaan. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tempat tinggal
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB pada pasien DM. Sebagian
besar pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan terdiagnosis TB. Dari
Pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan, sebanyak 8% terdiagnosis
TB (Amare, et al, 2013).
6. Tingkat Pendidikan
Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM
yang terdiagnosis TB berdasarkan tingkat pendidikan yang terdiri dari tidak
sekolah, SD, SMP, Pendidikan tinggi (SMA-Perguruan tinggi). Dalam
penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada sebagian besar pasien DM yang
terdiagnosis TB pada kelompok tidak sekolah dan tingkat SMP (5,2% dan
11%) (Amare, et al, 2013).
26
2.4.2 Karakteristik Klinis
Karakteristik klinis merupakan karakteristik pasien yang berhubungan
dengan kejadian penyakit TB pada pasien DM berdasarkan kriteria klinis
pasien. Adapun karakteristik klinis yang dimaksud meliputi:
1. Riwayat kontak dengan penderita TB
Riwayat kontak TB merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap penularan TB. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et
al disebutkan bahwa dari pasien DM tipe 2 yang terdiagnosis TB Paru,
sebanyak 30,6% diketahui memiliki riwayat kontak dengan penderita TB.
Penelitian lain yang dilakukan Indreswari, SA dan Suharyo pada tahun 2014,
diketahui pula bahwa pada kelompok kontak serumah, 25% menunjukkan
gejala klinis suspek tuberkulosis paru (Indreswari, SA dan Suharyo, 2014)
2. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Indeks masa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan kejadian TB pada pasien DM. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Wijayanto, et al, karakteristik pasien yang terdiagnosis
TB Paru sebagian besar pada pasien DM tipe 2 dengan kategori IMT normal.
Diketahui bahwa sebanyak 51% pasien DM tipe 2 dengan IMT normal
terdiagnosis TB Paru (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian lain dengan hasil
yang tidak jauh berbeda yang dilakukan oleh Amare et al, diperoleh hasil
bahwa dari pasien DM dengan IMT normal (18,5-24,99), sebanyak 7,8%
terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).
3. Lama DM
Lama pasien menderita DM merupakan faktor yang berhubungan
dengan kejadian TB pada pasien DM. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
27
Wijayanto, et al, diketahui bahwa pada pasien dengan DM<1 tahun lebih
berisiko 23,13 kali untuk terkena TB dibandingkan dengan pasien dengan
DM >10 tahun. Penelitian ini menyebutkan pada pasien DM yang
terdiagnosis TB, sebagian besar terjadi pada pasien dengan DM<1 tahun
dengan persentase 36,7% (Wijayanto et al, 2015)
4. Riwayat Merokok
Dalam penelitian yang dilakukan Wijayanto, et al, diketahui bahwa
karakteristik berdasarkan riwayat merokok pasien DM yang terdiagnosis TB
sebagian besar pada kelompok tidak merokok yaitu 53%. Namun tidak
memiliki pengaruh bermakna (p=0,107) (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian
lain menyebutkan pada pasien DM yang terdiagnosis TB paru sebanyak
53,3% memiliki riwayat merokok (Saraswati, 2014).
2.5 Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien DM
Diagnosis Tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
gejala klinis TB, pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis
(Kemenkes RI, 2014). Dalam melakukan diagnosis TB, hanya diperbolehkan
pada dokter/ klinisi yang bertugas di FKTP/FKTRL. Sesuai dengan prosedur
tetap TB DOTS, diagnosis TB diawali dengan skrining gejala klinis TB yang
dialami pasien DM. Berdasarkan algoritma pemeriksaan dan diagnosis kasus
TB pada pasien DM diawali dengan wawancara adanya gejala klinis TB
kepada pasien DM yaitu batuk produktif ≥1 minggu dengan atau tanpa gejala
lain. Sedangkan gejala TB lain yaitu ditandai adanya demam hilang timbul
(subfebris), keringat malam tanpa disertai aktivitas, adanya penurunan berat
badan, pembesaran kelenjar getah bening (TB Ekstra Paru), sesak, nyeri saat
menarik nafas dan rasa berat di satu sisi dada. Wawancara gejala TB pada
28
pasien DM didasarkan pada anamnesis dokter atau petugas kesehatan di
FKTP/ FKRTL.
Pasien DM dengan gejala utama TB yaitu batuk produktif ≥1 minggu
dengan atau tanpa gejala lain dilakukan diagnosis langsung dengan
menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis. Apabila hasil pemeriksaan
dahak mikroskopis diperoleh hasil BTA (+) maka pasien DM didiagnosis TB.
Sedangkan apabila hasil yang diperoleh BTA (-), selanjutnya dilakukan
diagnosis menggunakan rontgen paru dengan melakukan rujukan di
FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis TB pada pasien dengan
hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-) didasarkan pada hasil (+)
pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari dokter.
Pasien DM dengan gejala lain atau tanpa gejala, dilakukan diagnosis
menggunakan rontgen paru. Terdapat empat kemungkinan hasil yang
diperoleh melalui wawancara gejala dengan diagnosis menggunakan
pemeriksaan rontgen paru yaitu: Gejala (+) dan rontgen (+), Gejala (+) dan
rontgen (-), Gejala (-) dan rontgen (+) dan Gejala (-) dan rontgen (-). Pada
pasien dengan salah satu saja pemeriksaan dengan hasil positif (+), dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis. Pasien DM dengan salah
satu hasil positif (+) pada pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak
mikroskopis didiagnosis sebagai kasus TB. Apabila hasil yang diperoleh BTA
(-), selanjutnya dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru dengan
melakukan rujukan di FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis
TB pada pasien dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-)
didasarkan pada hasil (+) pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari
dokter. (Kemenkes RI, 2015).