bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep diabetes mellitus … ii.pdf · 11 bab ii tinjauan pustaka pada...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori
pada DM tipe 2, dan konsep senam kaki diabetes.
2.1 Konsep Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2
Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM tipe 2 yang
terdiri dari definisi, kriteria diagnostik, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan,
serta pembahasan konsep neuropati perifer sensori pada DM tipe 2.
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronis yang
ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat penurunan efisiensi kerja insulin
yang dihasilkan oleh sel beta pankreas (Kishore, 2014). Penurunan efisiensi kerja
insulin yang dialami oleh penderita DM tipe 2 ini merupakan kombinasi dari
resistensi insulin, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan sekresi glukagon
(Khardori, 2014).
2.1.2 Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik DM tipe 2 yaitu memenuhi salah satu dari tiga kondisi
berikut: 1) kadar glukosa plasma saat puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L); 2) kadar
glukosa plasma 2 jam setelah makan (post prandial [PP]) ≥200 mg/dL (11.1
mmol/L) selama uji toleransi glukosa dengan pemberian 75 g glukosa per oral
(Oral Glucose Tolerance Test, OGTT); atau 3) kadar glukosa plasma sewaktu
12
≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis
hiperglikemik. Menjadikan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) ≥6,5% sebagai
kriteria diagnostik primer atau opsional masih menjadi kontroversi. Jika
hiperglikemia tegas tidak ada, pemeriksaan sebaiknya diulang dan diagnosis DM
ditetapkan jika seseorang memenuhi dua dari tiga kriteria diagnostik di atas. Pada
kasus dimana dua hasil tidak koheren satu sama lain, pengulangan uji pada hasil
abnormal diperlukan dan jika hasil dari uji tersebut tetap memenuhi kriteria maka
diagnosis DM dapat ditegakkan (McPhee & Ganong, 2010; WHO, 2006; ADA,
2014).
Batas normal dari kadar glukosa plasma saat puasa adalah <100 mg/dL,
kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT adalah <140 mg/dL, dan HbA1c
adalah <5,7%. Seseorang dengan hasil uji di atas batas normal namun belum
memenuhi kriteria diagnostik DM disebut sebagai kondisi prediabetes.
Prediabetes dapat disebut gangguan toleransi glukosa (Impaired Glucose
Tolerance, IGT) atau gangguan toleransi glukosa puasa (Impaired Fasting
Glucose, IFG) sesuai dengan hasil abnormal dari uji yang dilakukan. IGT jika
kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT 140-199 mg/dL, dan IFG jika kadar
glukosa plasma puasa 100-125 mg/dL (McPhee & Ganong, 2010; WHO, 2006;
ADA, 2014).
2.1.3 Patofisiologi
Ketika perbedaan kebutuhan dan ketersediaan insulin meningkat namun
sel beta pankreas tidak mampu mengkompensasi peningkatan tersebut, hal ini
menyebabkan kondisi hiperglikemia pada diabetesi. Ketidakseimbangan
13
kebutuhan dan ketersediaan insulin dapat diakibatkan oleh resistensi insulin atau
defek sel beta pankreas. Resistensi terhadap insulin oleh jaringan peka-insulin
(terutama hati, otot, dan lemak) menyebabkan gangguan penggunaan dan
penyimpanan glukosa sehingga sel beta harus meningkatkan sekresi insulin. Efek
toksik akibat penumpukan protein di retikulum endoplasma menyebabkan
penurunan kerja sel beta sehingga tidak mampu mengkompensasi peningkatan
kebutuhan insulin lebih lanjut atau disebut dengan kondisi kelelahan sel beta.
Sedangkan pada kondisi dimana proses awal dimulai dari defek sel beta pankreas,
hiperinsulinemia terjadi lebih dulu dan menginduksi timbulnya resistensi insulin.
Peningkatan kadar insulin plasma menekan reseptor insulin hingga menyebabkan
resistensi terhadap insulin. Hal ini kemudian menyebabkan kondisi kelelahan sel
beta (McPhee & Ganong, 2010; Guyton, 2007: 1024-1025).
Penurunan penggunaan glukosa oleh sel menyebabkan menurunnya
aktivitas pusat kenyang di hipotalamus sehingga diabetesi cenderung untuk lebih
sering merasa lapar (polifagia). Glukosa difiltrasi dengan bebas seperti air oleh
glomerulus ginjal. Pada kondisi hiperglikemia terjadi peningkatan filtrasi glukosa,
namun akan direabsorpsi kembali oleh ginjal. Ketika ambang ginjal untuk
mereabsorpsi glukosa terlewati, terjadi peningkatan kadar glukosa pada urin
(glukosuria) yang menyebabkan diuresis osmotik dan bermanifestasi sebagai
poliuria, termasuk nokturia. Peningkatan kehilangan air melalui mekanisme ini,
menstimulasi rasa haus dan menyebabkan polidipsia. Polifagia, poliuria, dan
polifagia merupakan tiga gejala yang umumnya dirasakan oleh diabetesi (McPhee
& Ganong, 2010, Kishore, 2014).
14
2.1.4 Komplikasi
Komplikasi DM tipe 2 diakibatkan oleh hiperglikemia dengan kontrol
yang kurang adekuat. Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan komplikasi jangka
pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek mencakup hipoglikemia,
ketoasidosis diabetik, dan sindrom hiperosmolar hiperglikemia nonketotik yang
dapat mengarah pada koma hiperosmolar. Sedangkan komplikasi jangka panjang
dapat berupa komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (McPhee & Ganong,
2010). Komplikasi makrovaskular mencakup angina pektoris, infark miokard,
stroke, dan penyakit arterial perifer. Sedangkan komplikasi mikrovaskular yang
paling umum terjadi adalah retinopati, nefropati, dan neuropati (Kishore, 2014).
Komplikasi makrovaskular terjadi dimulai dari aterosklerosis pembuluh
darah besar. Terdapat beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular berkaitan
dengan kondisi DM, yaitu: 1) hipertensi; 2) perubahan konsentrasi lipoprotein
yang mencakup hipertrigliseridemia; 3) perubahan komposisi lipoprotein yang
berkontribusi pada resistensi insulin dan interaksi abnormal dengan makrofag; 4)
protein glikosilasi salah satunya pada antitrombin III yang menyebabkan
gangguan inhibisi kaskade koagulasi; 5) albuminuria; 6) gangguan fungsi endotel;
dan 7) trombosis (Resnick, Lindsay, & Howard, 2004).
Mekanisme hipertensi pada diabetes belum diketahui secara pasti, namun
resistensi insulin dan kondisi hiperinsulinemia tampak memiliki pengaruh
terhadap kondisi ini. Insulin berperan sebagai vasodilator perifer melalui alur
endothelial bergantung-nitric oxide (NO). Insulin juga meningkatkan retensi
15
natrium di ginjal serta meningkatkan kadar kalsium dan sebaliknya menurunkan
kadar magnesium interseluler (Resnick, Lindsay, & Howard, 2004).
Hipertrigliseridemia juga disebabkan oleh insufisiensi insulin. Insulin
menyebabkan peningkatan pembentukan very low densed lipoprotein (VLDL)
yang berperan dalam transportasi trigliserida ke sel adiposa. Proses ini dibalikkan
oleh efek glukagon yang merangsang lipolisis. Sekresi basal insulin (0,25-1
unit/jam) dapat mencegah lipolisis berlebihan, namun pada kondisi kelelahan sel
beta dan sekresi insulin sangat rendah, insulin tidak mampu menekan kerja
glukagon sehingga terjadi penurunan transportasi trigliserida ke sel adiposa dan
peningkatan lipolisis. Peningkatan trigliserida dan asam lemak bebas pada plasma
meningkatkan pembentukan low density lipoprotein (LDL) melalui alur
katabolisme VLDL serta penurunan produksi high-density lipoprotein (HDL)
yang berperan dalam pembersihan VLDL dan trigliserida sehingga meningkatkan
risiko pembentukan aterosklerosis (McPhee & Ganong, 2010).
Komplikasi mikrovaskular terjadi baik akibat aterosklerosis maupun
hiperglikemia. Aterosklerosis yang terjadi pada makrovaskular berdampak pada
vaskularisasi organ-organ tubuh termasuk jantung, otak, dan ekstremitas bawah.
Di lain pihak, hiperglikemia menyebabkan peningkatan transportasi glukosa ke
intrasel endotel. Endotel merupakan salah satu sel yang tidak dapat menurunkan
atau menekan respon terhadap stimulus transportasi glukosa ke intrasel sehingga
menyebabkan hiperglikemia intraseluler. Hiperglikemia intraseluler endotel
berdampak pada penurunan aktivitas vasodilator dan peningkatan aktivitas faktor-
faktor vasokonstriksi yang menyebabkan abnormalitas aliran darah dan
16
peningkatan tekanan intrakapiler yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Hilangnya endotel pada mikrovaskuler baik akibat
siklus sel (apoptosis) maupun kondisi di atas (nekrosis) kemudian menginduksi
produksi matriks ekstraseluler berlebih oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti
Transforming Growth Factor-β (TGF-β) serta pengendapan protein plasma yang
bocor menyebabkan oklusi pembuluh darah. Hiperglikemia juga menurunkan
faktor-faktor tropik seperti neurotropik yang berperan dalam regenerasi sel.
Seluruh kondisi di atas mengarah pada edema, iskemia, dan hipoksia-diinduksi
neurovaskularisasi pada retina; glumerulosklerosis pada ginjal; dan degenerasi
aksonal multifokal pada saraf perifer (Hofmann & Brownlee, 2004).
2.1.5 Penatalaksanaan
Berdasarkan American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)
(2015), prinsip algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari optimalisasi gaya
hidup dengan tidak mengesampingkan terapi farmakologis, kontrol glikemia,
kontrol berat badan, penatalaksanaan hipoglikemia, serta pentingnya
mempertimbangkan terapi yang akan diberikan dengan kondisi pasien. Gaya
hidup dan kontrol berat badan berperan penting dalam kontrol glikemia, namun
diabetesi perlu membatasi penurunan berat badan berhubungan dengan risiko
mengalami hipoglikemia. Bentuk gaya hidup dan kontrol berat badan yang
mendukung kontrol glikemia adalah diet dan latihan fisik.
17
2.1.6 Konsep Neuropati Perifer Sensori (NPS) pada DM Tipe 2
Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep NPS pada DM
tipe 2 yang meliputi definisi, etiologi, faktor-faktor risiko, patofisiologi, gejala,
penatalaksanaan, komplikasi, dan penilaian NPS.
a. Definisi
Neuropati perifer sensori adalah gangguan pada saraf perifer yang terjadi
pada sensori (The Neuropathy Association, 2014). Berdasarkan International
Consensus Meeting, disepakati bahwa batasan definisi dari neuropati perifer pada
diabetisi adalah “adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada orang
dengan diabetes setelah mengeksklusi penyebab lainnya” (Boulton, 2005).
Neuropati perifer pada DM tipe 2 dapat mengenai saraf sensori, motorik, dan/atau
otonom. Neuropati perifer dapat mengenai ketiga saraf tersebut atau hanya satu
atau dua saraf (NINDS, 2014; Quan, 2014).
Neuropati perifer sensori disebabkan oleh kerusakan pada akson
(degenerasi aksonal), kerusakan pada selubung mielin (demielinasi), atau
kombinasi keduanya yang terjadi pada saraf sensori. Gangguan pada saraf sensori
ini menyebabkan pasien mengalami penurunan sensasi sentuhan, nyeri, atau
perubahan suhu atau sebaliknya merasakan sensasi nyeri secara berlebihan pada
stimulus yang normalnya tidak mencetuskan nyeri (alodinia) (NINDS, 2014).
Neuropati perifer sensori pada DM tipe 2 juga disebut sebagai
polineuropati distal simetris yang biasanya bermanifestasi sebagai penurunan
sensasi sensori simetris di ekstremitas distal (distribusi kaus kaki/stocking) yang
didahului oleh kesemutan, baal, dan parestesia. Gangguan saraf sensori ini
18
kemudian meluas ke proksimal dan salah satunya mengenai tangan (distribusi
sarung tangan) (McPhee & Ganong, 2010: 583).
b. Etiologi
Sebagian besar NPS disebabkan oleh DM, namun menurut Rochester
Diabetic Neuropathy Study, 10% NPS pada diabetesi berpeluang disebabkan oleh
penyebab nondiabetik (Boulton, 2005). Etiologi neuropati perifer secara umum
terbagi menjadi beberapa kategori patofisiologi. Kategori tersebut meliputi:
gangguan endokrin, toksin, nutrisi, dan gangguan metabolisme (Donofrio, 2012).
Tabel 2.1 Etiologi lain neuropati perifer
Gangguan Penyebab
Endokrin Hipotiroidisme, hipertiroidisme
Toksin Penyalahgunaan alkohol
Zat toksin: industry, terapi, medikasi, agen antiretroviral, agen kemoterapi,
keracunan logam berat, toksisitas mineral Zinc (Zn)
Nutrisi Defisiensi vitamin B1, B2, B12, asam folat, pasca pembedahan bypass
lambung, dan asupan vitamin piridoksin berlebih
Metabolisme Uremia, penyakit hati, porpiria
Sarkoidosis granuloma
Penyakit jaringan ikat: systemic lupus erythematosus (SLE), artritis
rheumatoid, polyarteritis nodosa, dan scleroderma
Vaskulitis
Amiloidosis: sekunder dan turun-temurun
Genetik: penyakit Charcot-Marie-Tooth dan neuropati turunan lainnya
Penyakit peradangan: sindroma Guillain-Barre, chronic inflammatory
demyelination polyneuropathy (CIDP), diskrasia sel plasma, infeksi HIV,
penyakit lyme, dan kusta
Sindrom paraneoplastik: karsinoma, limfoma, dan leukemia
Sumber: Donofrio, 2012
c. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko diabetesi mengalami
neuropati. Faktor-faktor yang berkontribusi besar dalam peningkatan risiko
berkembangnya NPS pada diabetesi mencakup rendahnya kontrol glikemia,
merokok, asupan alkohol yang tinggi, orang dengan DM tipe 2 yang belum
19
terdiagnosis, status sosial ekonomi yang rendah, dan gagal ginjal (Cornblath,
2004). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi mencakup kadar trigliserida dan
indeks massa tubuh yang tinggi, serta hipertensi (Gregory, 2008). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa usia, tinggi badan, etnis, mikroalbuminuria, dan
hipoalbuminuria meningkatkan risiko diabetesi mengalami neuropati namun
masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai validitas faktor-faktor ini
(Tapp & Shaw, 2009).
Salah satu faktor risiko terbesar diabetesi mengalami neuropati adalah
lamanya seseorang menderita DM. Berdasarkan dua penelitian dengan
menggunakan uji konduksi saraf, neuropati ditemukan pada 10%-18% diabetesi
saat diagnosis DM ditegakkan (Lehtinen et al. & Cohen et al. dalam Zilliox &
Russell, 2011). Prevalensi NPS pada diabetesi dengan durasi > 6 bulan mendekati
empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan durasi ≤ 6 bulan (Bansal et al.,
2014). Selain itu, berdasarkan penelitian pada 60 diabetesi yang terbagi menjadi
kelompok durasi DM < 5 tahun, 5-10 tahun, dan >10 tahun, didapatkan bahwa
insiden NPS meningkat masing-masing dua kali lipat pada setiap kelompok (Inceu
& Veresiu, 2014) . Hal ini menunjukkan bahwa risiko mengalami NPS meningkat
sejajar dengan durasi seseorang menderita DM. Hal ini berhubungan dengan
lamanya tubuh terpapar dengan kondisi hiperglikemia.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara durasi
seseorang terpapar hiperglikemia dengan derajat neuropati (Dyck, Kratz, Karnes,
et al. dalam Tracy & Dyck, 2008:2; NDIC, 2013). Berdasarkan penelitian-
penelitian tersebut, semakin lama seseorang terpapar dengan kondisi
20
hiperglikemia, semakin tinggi risiko mengalami NPS. Kondisi hiperglikemia
berkelanjutan juga akan menyebabkan peningkatan derajat NPS.
Usia merupakan salah satu faktor risiko seseorang mengalami NPS dan
tidak dapat dimodifikasi. Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat peningkatan
persentase tanda-tanda gangguan saraf yang mengarah pada neuropati seiring
dengan peningkatan usia seseorang. Hal ini berhubungan dengan proses penuaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah usia 70 tahun terjadi penurunan
signifikan pada refleks lutut enam kali dibandingkan ketika berusia 50 tahun ke
atas (Dyck et al. dalam Mohamed & Freimer, 2006: 889). Selain itu, amplitudo
potensial aksi saraf sensori menurun 50% pada usia 70 tahun ke atas dibandingkan
ketika berusia 20 tahun (Buchtal et al. dalam Mohamed & Freimer, 2006: 889).
Kondisi ini berhubungan dengan berbagai kausa termasuk trauma atau iskemia
saraf perifer dan perubahan struktur mielin, akson, atau reseptor perifer
(Mohamed & Freimer, 2006:889).
Jenis kelamin sebagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi diabetesi
mengalami NPS masih kontroversi. Pengaruh signifikan jenis kelamin terhadap
perkembangan NPS masih belum dapat dipastikan (Al-Shamma, Khudhair, & Al-
Aridie, 2011). Selain itu, jenis kelamin dengan risiko lebih tinggi terhadap
perkembangan NPS juga belum dapat dipastikan (Wheeler, Singh, & Boyko,
2007; Herrera-Rangel et.al, 2014; Katulanda et.al, 2012).
Konsumsi alkohol berlebih dan berkepanjangan juga meningkatkan risiko
mengalami NPS. Gejala NPS pada alkoholik timbul setelah konsumsi alkohol
minimal 100 mL per hari selama tidak kurang dari 3 tahun (Behse & Buchthal
21
dalam Maiya & Messing, 2014: 513). Hal ini disebabkan oleh kerusakan neuron
langsung oleh toksin alkohol maupun kecenderungan malnutrisi (terutama
thiamin) pada alkoholik kronis (Chopra & Tiwari, 2012; Ramachandran, 2015).
Kebiasaan lain yang juga meningkatkan risiko diabetesi mengalami NPS
adalah merokok (Cornblath, 2004; CDC, 2010). Jumlah waktu dan konsumsi
rokok mempengaruhi kecepatan seseorang mengalami NPS. Berdasarkan hasil
penelitian oleh Garg, Loyal, dan Biswas (2014) pada pasien dengan COPD,
derajat penurunan kecepatan konduksi saraf pada ekstremitas atas sebanding
dengan peningkatan jumlah total konsumsi rokok dan lamanya seseorang
memiliki riwayat kebiasaan merokok. Selain itu, merokok juga memperburuk
gejala NPS akibat konstriksi pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
transportasi nutrisi, oksigen, dan metabolit ke dan dari neuron (NINDS, 2015).
d. Patofisiologi
NPS pada DM tipe 2 dapat berawal dari kondisi hiperglikemia maupun
resistensi insulin. Pada beberapa penelitian dengan uji toleransi glukosa yang
dilakukan pada pasien dengan neuropati idiopatik, ditemukan sebagian neuropati
idiopatik dengan manifestasi neuropati ringan hingga sedang dialami oleh pasien
dengan intoleransi glukosa (prediabetes) atau mengalami paparan hiperglikemia
dalam waktu singkat dan DM (Tracy & Dyck, 2012). Hiperglikemia dan resistensi
insulin berperan dalam produksi bahan-bahan aterogenik yang mempengaruhi
vaskularisasi sel-sel saraf baik secara langsung maupun tidak langsung (Hofmann
& Brownlee, 2004; Kahn, 2005).
22
Sel saraf termasuk salah satu jenis sel khusus yang tidak memerlukan
insulin dalam transportasi glukosa ke intrasel. Pada kondisi hiperglikemia terjadi
peningkatan produk-produk glikasi (advanced glycosylated end product, AGEs)
plasma dan intrasel neuron serta memicu aktivasi alur poliol intrasel neuron. AGE
berperan dalam induksi stres oksidatif dan demielinasi. Alur poliol merubah
glukosa menjadi poliol, salah satunya sorbitol, segera setelah di dalam sel. Poliol
tidak dapat dengan bebas berdifusi ke luar sel sehingga terjadi penumpukan poliol.
Akumulasi poliol ini menimbulkan gradient osmotik yang menyebabkan difusi
natrium dan air berlebih ke intrasel (Head, 2006).
Berdasarkan beberapa studi ditemukan bahwa pada sel-sel saraf diabetesi
terjadi peningkatan kadar glukosa, fruktosa, dan sorbitol endoneurial serta
terdapat hubungan terbalik antara kadar sorbitol dan selubung mielin. Akumulasi
sorbitol dan fruktosa juga telah terbukti menurunkan aktivitas (Na+/K
+)-ATPase
yang berperan dalam mempertahankan kadar ion Na dan K intrasel dan ekstrasel
serta berperan dalam eksitasi sel saraf. Selain melalui mekanisme sorbitol dan
fruktosa, penurunan aktivitas (Na+/K
+)-ATPase juga disebabkan oleh penurunan
rangsangan NO akibat produksi radikal superoksida endotelial berlebih pada
kondisi hiperglikemia (Kahn, 2005; Head, 2006; Tracy & Dyck, 2012). Stres
oksidatif yang menyebabkan gangguan fungsi saraf juga disebabkan oleh
penurunan regenerasi glutathione akibat konsumsi NADPH (Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Phosphate) dalam alur poliol (Hofmann & Brownlee, 2004;
Kahn, 2005).
23
Dalam alur poliol, fruktosa dihasilkan sebagai produk sampingan oleh
enzim sorbitol dehidrogenase. Peningkatan kadar fruktosa menyebabkan
peningkatan ketersediaan prekursor AGEs. Pada gilirannya, AGEs akan
menyebabkan penurunan glutathione serta peningkatan nuclear factor kappa B
dan tumor necrosis factor α (TNF-α) yang menyebabkan kerusakan sel saraf oleh
stres oksidatif dan sitokin proinflamatori. Selain itu, pada sel-sel saraf diabetesi
ditemukan marked AGEs immunoreactivity serta peningkatan ketebalan
perineurial, penyempitan lumen pembuluh darah mikro, dan penurunan akson
dalam kondisi fungsional. AGEs menyebabkan kerusakan mikrovaskular yang
mengarah pada iskemia serta berdampak langsung pada enzim-enzim intraselular
dan transportasi aksonal (Tracy & Dyck, 2012).
e. Gejala
Gejala merupakan bukti atau indikasi subjektif dari penyakit atau kondisi
pasien yang dipersepsikan oleh pasien sendiri. Gejala NPS dapat diabaikan oleh
diabetesi karena kerusakan sebagian besar saraf terjadi setelah beberapa tahun.
Gejala berkembang seiring dengan durasi seseorang telah menderita DM dan usia
diabetesi.
Gejala NPS dapat dikeluhkan terjadi pada jari-jari kaki, kaki, tungkai kaki,
tangan, telapak tangan, dan/atau jari-jari tangan dan meliputi penurunan sensasi
terhadap perubahan suhu dan nyeri; kesemutan; perasaan geli, terbakar, atau
nyeri; nyeri yang tajam; keram; alodinia; dan/atau kehilangan keseimbangan dan
keseimbangan (NDIC, 2013; Said, 2015). Neuropati diabetik yang melibatkan
serat saraf besar (large fiber) menyebabkan gangguan proprioseptif dan sentuhan
24
ringan, sedangkan neuropati diabetik yang hanya melibatkan serat saraf kecil
menyebabkan gangguan pada persepsi nyeri dan suhu yang mengarah pada
parestesia, disestesia, dan/atau nyeri neuropati (Edwards, Vincent, Cheng, &
Feldman, 2008).
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NPS akibat kondisi DM terutama adalah kontrol glikemia,
penanganan gejala (manajemen nyeri dan/atau gastroparesis), serta perawatan
kaki (Quan, 2014).
1) Kontrol glikemia
Secara umum, pasien dengan kontrol glikemia ketat menunjukkan lebih
sedikit tanda dan gejala komplikasi neuropati diabetik. Berdasarkan beberapa
penelitian, kontrol glikemia ketat dengan terapi insulin yang agresif
mengurangi risiko berkembangnya neuropati. Pada penelitian Diabetes
Control and Complications Trial (DCCT) yang meneliti perbedaan kejadian
neuropati pada kelompok kontrol dan perlakuan yang diberikan terapi insulin
intensif dengan insulin pump atau injeksi insulin harian tiga kali atau lebih,
didapatkan bahwa kelompok kontrol mengalami neuropati hampir tiga kali
lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan dan risiko mengalami
neuropati menurun 64% pada kelompok perlakuan setelah 5 tahun (Pasnoor,
Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013). Selain insulin, metformin (metformin
hidroklorida) merupakan antidiabetik oral untuk mengontrol glikemia.
25
2) Penatalaksanaan gejala
Terapi farmakologi umumnya digunakan untuk mengatasi atau mengontrol
gejala. Antidepresan tricyclic, carbamazepine, gabapentin, mexiletene,
pregabalin dan cymbalta merupakan beberapa medikasi yang umumnya
digunakan untuk mengontrol nyeri neuropati diabetik. Venlafaxine, duloxetine,
amitriptyline, valproate, opioid (morphine sulfate, tramadol, dan oxycodone
dengan pelepasan terkontrol), serta capsaicin dapat dipertimbangkan untuk
penatalaksanaan nyeri neuropati diabetik. Namun masih sedikit penelitian
yang memberikan informasi memadai mengenai pengaruh terapi farmakalogi
di atas terhadap fungsi dan kualitas hidup serta berbagai efek samping yang
ditimbulkan sehingga penggunaan terapi farmakologi masih terbatas (Head,
2006; Pasnoor, Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013).
3) Perawatan kaki
Perawatan kaki meliputi follow-up teratur, pemberian pendidikan kesehatan
(penkes) kepada pasien, dan latihan fisik (Quan, 2014). Follow-up teratur
membantu pasien dan tim kesehatan mendeteksi dini potensi pasien
mengalami neuropati diabetik dan mengevaluasi efektivitas terapi yang sedang
diberikan. Pemberian penkes kepada pasien dapat mencakup pengertian
neuropati diabetik, faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya
neuropati, penjelasan ringkas proses terjadinya neuropati pada kondisi DM,
komplikasi yang dapat terjadi, tanda dan gejala, serta tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan (Tidy, 2014).
26
Latihan fisik merupakan salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan.
Latihan fisik telah terbukti dapat mempengaruhi kesehatan seseorang secara
holistik. Latihan fisik mempertahankan dan meningkatkan fungsi fisiologis
tubuh, membantu koping stres, memberikan pengaruh positif terhadap depresi
dan aspek sosial seseorang.
Latihan fisik memberikan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang
terhadap kondisi DM. Pengaruh jangka pendek meliputi peningkatan
penggunaan glukosa oleh otot yang diseimbangkan oleh glikolisis hati,
menurunkan kadar glukosa darah puasa, dan memperbaiki kerja insulin yang
bertahan selama dua hingga 72 jam. Sedangkan pengaruh jangka panjang
meliputi perbaikan kontrol glikemia, kerja insulin, serta oksidasi dan
penyimpanan lemak pada otot; meningkatkan massa otot rangka; menurunkan
kadar LDL, kolesterol, tekanan darah sistolik, dan risiko mengalami penyakit
kardiovaskular; serta menurunkan gejala depresi dan meningkatkan kualitas
hidup (Colberg et al., 2010).
Berbagai penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh
latihan fisik sebagai terapi modalitas pada neuropati diabetik. Berdasarkan
sebuah studi pendahuluan pada 17 pasien tanpa kontrol dengan latihan fisik
selama 10 minggu, didapatkan bahwa terdapat perbaikan nyeri dan gejala
neuropati serta percabangan serat saraf kutan pada biopsi kulit proksimal.
Latihan fisik juga terbukti mengurangi keram, memperbaiki kekuatan otot,
dan mencegah atrofi otot pada neuropati diabetik motorik (Pasnoor,
Dimachkie, Kluding, & Barohn, 2013; NINDS 2014).
27
g. Komplikasi
Komplikasi NPS yang ditakuti adalah ulkus kaki dan artropati neuropati.
Ulkus kaki dapat terjadi pada pasien dengan neuropati pada serabut saraf besar
maupun kecil. Ulkus kaki disebabkan oleh penurunan kemampuan diabetesi
merasakan sensasi nyeri, gangguan proprioseptif, atrofi otot-otot kaki,
maldistribusi beban, gangguan sekresi keringat, gangguan vaskularisasi (iskemia
pada makro dan mikrovaskular) akibat neuropati otonom, dan edema
noninflamatorik. Ulkus kaki umumnya terjadi pada bagian metatarsal. Sedangkan
artropti neuropati (sendi Charcot atau osteoartropati diabetik) lebih jarang terjadi.
Komplikasi ini merupakan kombinasi gangguan sensasi nyeri, proprioseptif, dan
neuropati otonom dan terjadi dimulai dari sendi metatarsophalangeal dan
metatarsal-tarsal. Selain itu, trauma dan pembedahan pada kaki dapat menjadi
faktor presipitasi terjadinya neuropati artropati (Kahn, 2005; Said, 2015).
h. Penilaian
The San Antonio Conference on Diabetic Neuropathy (1998)
merekomendasikan minimal salah satu dari lima alat ukur untuk mengklasifikasi
neuropati diabetik, yaitu gejala klinis, pemeriksaan klinis, studi eketrodiagnostik
(electrodiagnostic study, EDX), pemeriksaan sensori kuantitatif (quantitative
sensory testing, QST), dan pemeriksaan fungsi otonom (autonomic function
testing, AFT) (Cornblath, 2004; ADA, 2014). Pemeriksaan klinis dirancang untuk
mengetahui hilangnya sensasi protektif (loss of protective sensation, LOPS) yang
diperlukan sebagai upaya pencegahan sekunder terhadap ulkus kaki. Beberapa
metode yang umumnya digunakan dalam pemeriksaan klinis meliputi
28
pemeriksaan refleks, pemeriksaan nyeri superfisial, persepsi sentuhan ringan,
pemeriksaan vibrasi, respon kulit simpatetik, studi konduksi saraf, dan QST
(Cornblath, 2004; Boulton et al., 2008).
1) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks yang umumnya dilakukan untuk mengkaji neuropati
diabetik adalah refleks lutut yang dilakukan pada kedua kaki. Pemeriksaan
dilakukan ketika pasien duduk atau berlutut, pemeriksa memposisikan kaki
dorsofleksi dan dengan lembut memukul tendon Achilles menggunakan
refleks hammer (Cornblath, 2004). Namun probabilitas terjadinya ulkus kaki
kurang dapat diprediksi dari hasil pemeriksaan menggunakan metode ini
(Cornblath, 2004; Aring, Jones, & Falko, 2005; Said, 2007; Swenson, 2008).
2) Pemeriksaan nyeri superfisial
Pemeriksaan nyeri superfisial dilakukan dengan jarum steril. Pemeriksaan
dilakukan pada dorsal ibu jari kaki atau bagian plantar dari distal ibu jari, jari
tengah dan kelingking masing-masing kaki. Umumnya rangsangan diberikan
satu kali dan pasien diminta untuk mengidentifikasi adanya rangsangan dan
karakteristik rangsangan (tajam atau tumpul). Namun hasil pemeriksaan
dengan alat ukur ini memiliki subjektivitas yang tinggi dan tingkat
reprodusibilitas yang rendah (Cornblath, 2004; Barker, 2006)
3) Quantitative sensory testing (QST)
QST merupakan alat ukur yang mengkaji integritas akson dalam sistem saraf
perifer serta reseptor-reseptor distalnya. Pengkajian dengan QST membantu
membedakan adanya penurunan relatif pada fungsi akson serabut saraf kecil
29
atau besar serta membedakan neuropati perifer dengan mononeuropati. QST
dilakukan dengan dua jenis alat yaitu alat yang memberikan rangsangan getar
atau termal spesifik serta alat yang memberikan rangsangan berupa impuls
listrik dengan frekuensi tertentu (Cornblath, 2004).
Subcommittee on Therapeutics and Technology Assessment of the American
Academy of Neurology menyatakan bahwa QST merupakan alat ukur yang
efektif untuk mendeteksi abnormalitas pada pasien dengan neuropati diabetik.
Namun belum terdapat bukti prospektif bahwa abnormalitas ini akan
berkembang menjadi neuropati klinis (Shy et al., 2003).
4) Uji vibrasi
Uji vibrasi dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf. Alat ukur yang
umumnya digunakan adalah garpu tala 128 Hz. Ketidakmampuan merasakan
rangsangan vibrasi pada ibu jari kaki secara signifikan berhubungan dengan
perkembangan ulkus kaki. Berdasarkan penelitian prospektif dengan 2022
diabetesi, didapatkan graduated tuning fork memiliki sensitivitas dan nilai
prediktif positif yang tinggi dalam mendiagnosis neuropati simptomatik.
Namun dalam analisis 3 cohort sudy dengan total sampel sebanyak 787
sampel, ditemukan bahwa uji vibrasi menggunakan garpu tala meningkatkan
taksiran (overestimate) sensasi vibrasi dibandingkan QST. Perbedaan ini
berhubungan dengan usia, tinggi, dan luas permukaan tubuh yang perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan hasil. Faktor-faktor tersebut
menyebabkan uji vibrasi dengan garpu tala memiliki tingkat subjektivitas
yang tinggi dan reprodusibilitas yang rendah (Cornblath, 2004).
30
5) Respon kulit simpatetik
Respon kulit simpatetik merupakan refleks sebagai respon terhadap perubahan
potensial listrik pada kulit. Refleks ini bersifat sementara dan dapat dihasilkan
oleh berbagai rangsangan. Pengukuran respon ini memerlukan peralatan
khusus yang jarang terdapat pada sebagian besar pelayanan kesehatan
(Cornblath, 2004).
6) Studi konduksi saraf
Studi konduksi saraf merupakan alat ukur yang sering digunakan untuk
mengkaji keberadaan dan derajat keparahan gangguan saraf perifer pada
diabetesi. Alat ukur ini sensitif, spesifik, reprodusibel, dan mudah
distandarisasi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menempelkan elektroda
pada permukaan kulit atau dengan elektroda jarum. Pemeriksaan dengan
elektroda pada permukaan kulit lebih mudah dan nyaman dilakukan serta hasil
lebih mudah diukur sehingga lebih umum digunakan.
Abnormalitas hasil elektrodiagnostik menandakan perubahan metabolik yang
tidak berhubungan dengan manifestasi gejala dan sebaliknya tanda dan gejala
tidak secara langsung berhubungan dengan perubahan elektrodiagnostik.
Akibat hal tersebut, studi konduksi saraf tidak selalu berhubungan dengan
tanda dan gejala neuropati diabetik (Cornblath, 2004).
7) Persepsi sentuhan ringan
Persepsi sentuhan ringan dapat dievaluasi menggunakan tangan, kapas, atau
alat yang secara spesifik telah dikalibrasi. Alat terkalibrasi yang umumnya
digunakan adalah Semmes-Weinstein monofilament 10 g (SWM 10g) yang
31
terdiri dari sebuah filamen nilon yang terkait dengan sebuah pegangan plastik.
Reliabilitas dan validitas penggunaan SWM 10g dalam mendeteksi NPS dan
potensi perkembangan ulkus telah teruji (Shaffer, Harrison, Brown, &
Brennan, 2005; Dros, Wewerinke, Bindels, & Weert, 2009). Berdasarkan dua
studi awal pada pasien dengan DM dan Hansen’s disease, rangsangan dengan
SWM 10 g tidak dapat dirasakan oleh seluruh pasien dengan neuropati
(Cornblath, 2004). Alat ukur ini murah, mudah dibawa dan digunakan, serta
nilai prediktif negatif (negative predictive value, NPV) yang tinggi. Semakin
tinggi NPV suatu alat ukur menandakan bahwa alat ukur tersebut semakin
mendekati gold standard dari suatu penyakit (Parikh, Mathai, Parikh, Sekhar,
& Thomas, 2008). Penggunaan berulang monofilament ini akan mengurangi
keakuratannya. Setelah 10 kali penggunaan dalam sekali pemakaian,
monofilament membutuhkan waktu “pemulihan” selama 24 jam sebelum
digunakan kembali. Namun perbedaan bahan dasar dan faktor-faktor
lingkungan juga dapat merubah karakteristik monofilament (Lavery &
Armstrong, 2012).
Terdapat beberapa jenis SWM dan SWM 10 g merupakan monofilamen
dengan gauge sebesar 5,07. Angka 5.07 merupakan nilai turunan dari
logaritma aplikasi gaya dalam miligram. Monofilamen 5.07 memberikan gaya
tekuk sebesar 10g. Nilai gaya ini merupakan besarnya gaya yang dirasakan
oleh pasien saat pemeriksaan (Feng, Schlӧsser, & Sumpio, 2009).
Tahap-tahap pelaksanaan pemeriksaan klinis menggunakan SWM 10g
terdapat pada disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan tinjauan sistematis oleh
32
Feng, Schlӧsser, & Sumpio (2009) pada 30 artikel penelitian, sensitivitas
skrining NPS dengan SWM 10g berbanding lurus dengan banyaknya daerah
uji. Namun pengujian pada tiga daerah uji (bagian plantar dari ibu jari, jari
tengah, dan kelingking) memiliki sensitivitas yang sebanding dengan menguji
pada delapan hingga sepuluh daerah uji pada masing-masing kaki. Hasil
tinjauan sistematis ini juga merekomendasikan NPS sebaiknya ditegakkan jika
hasil pemeriksaan negatif pada minimal satu daerah uji. Hal ini
mempertimbangkan bahwa SWM 10g menilai integritas serabut saraf besar
sehingga hasil negatif pada daerah uji harus dinilai sebagai daerah dengan
risiko NPS.
Clinical Practice Guidelines of the Canadian Diabetes Association
merekomendasikan skrining neuropati tahunan menggunakan SWM 10 g atau
garpu tala 128 Hz. Pada pasien dengan DM tipe 2, skrining sebaiknya dimulai saat
diagnosis ditegakkan dan diulangi setiap tahun, sedangkan pada DM tipe 1,
skrining sebaiknya dilakukan setelah 5 tahun pada durasi penyakit dan diabetesi
telah melewati masa pubertas (Bril, Perkins, & Toth, 2013; Fowler, 2008: 81).
Berdasarkan rekomendasi ADA, diabetesi sebaiknya melakukan
pemeriksaan kaki tahunan untuk mengidentifikasi kondisi berisiko tinggi.
Pengkajian mencakup evaluasi status vaskular, integritas kulit, mekanisme
pelindung, serta struktur dan biomekanika kaki. Evaluasi pada kaki berisiko
rendah sebaiknya mencakup uji ambang somatosensori kuantitatif menggunakan
SWM 10-g. Individu dengan satu atau lebih kondisi kaki berisiko tinggi sebaiknya
33
dievaluasi lebih teratur. Individu dengan neuropati sebaiknya dilakukan inspeksi
kaki setiap kali kunjungan (Armstrong, 2004; ADA, 2015).
Tabel konversi diperlukan untuk menentukan peringkat atau kategori dari skor
NPS. Penentuan tabel konversi dilakukan dengan perhitungan Mi (Mean ideal)
dan SDi (Standar Deviasi ideal).
Mi = ½ x (skor minimal ideal + skor minimal ideal)
SDi = 1/6 x (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
Gambar 2.1 Rumus Perhitungan Menentukan Peringkat atau Kategori (Koyan,
2007 dalam Widastra, 2010)
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan konversi klasifikasi skor negatif
atau (-) sebagai berikut:
- Skor (-) 0 termasuk kategori baik
- Skor (-) 1-2 termasuk kategori NPS ringan
- Skor (-) 3-5 termasuk kategori NPS sedang
- Skor (-) 6-8 termasuk kategori NPS berat
2.2 Senam Kaki Diabetes
Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep senam kaki diabetes
yang meliputi pengertian, pengaruh senam kaki diabetes terhadap fisiologis tubuh,
kontraindikasi, serta prosedur pelaksanan senam kaki diabetes.
34
2.2.1 Pengertian Senam Kaki Diabetes
Senam merupakan serangkaian latihan fisik yang tersusun dengan
sistematis, melibatkan gerakan-gerakan terpilih, dan terencana untuk
mempertahankan dan meningkatkan daya tahan, kekuatan, kelenturan, dan
koordinasi gerak tubuh (Muhajir, 2007). Berdasarkan pengertian tersebut, senam
termasuk olahraga isotonik aerobik yang menyebabkan kontraksi isotonik. Dalam
kontraksi isotonik, otot berkontraksi dan panjang otot berubah (Potter & Perry,
2009).
Latihan fisik merupakan salah satu penatalaksanaan NPS yang dapat
dilakukan diabetesi. Latihan fisik merupakan salah satu bentuk pencegahan primer
dan sekunder bagi diabetesi dengan NPS. Pencegahan primer merupakan tindakan
untuk menurunkan timbulnya penyakit dengan cara menghilangkan penyebab
penyakit atau mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkannya. Pencegahan
sekunder merupakan tindakan deteksi dan koreksi awal terhadap efek penyakit
sebelum bermanifestasi menjadi gejala dan tanda klinis (Jeyaratnam & Koh,
2009:351). Diabetesi dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas sedang
dengan total waktu 150 menit dalam seminggu (IDF, 2005; Colberg et al., 2010).
Senam kaki diabetes merupakan serangkaian gerakan kaki yang dilakukan
oleh diabetesi dan bertujuan untuk mempersiapkan dan memelihara kondisi kaki,
mempertahankan dan meningkatkan kebugaran dan kesehatan, serta dapat
berfungsi sebagai kegiatan terapeutik.
35
2.2.2 Pengaruh Senam Kaki Diabetes Terhadap NPS
Senam kaki diabetes memberikan pengaruh positif terhadap neuropati
diabetik. Secara fisiologis, senam kaki diabetes menyebabkan peningkatan
penggunaan glukosa, mempertahankan fungsi dan struktur endotel, serta
meningkatkan aliran darah dari dan ke kaki. Hal ini membantu mempertahankan
homeostasis jaringan saraf sehingga mencegah terjadinya neuropati dan
menurunkan progresivitas neuropati pada diabetesi.
Gerakan-gerakan kaki pada senam kaki diabetes membantu meningkatkan
metabolisme otot kaki. Peningkatan metabolisme ini menyebabkan peningkatan
penggunaan glukosa yang membantu kontrol glikemia pada kaki dan
menyebabkan penurunan kadar bahan-bahan aterogenik, laju alur poliol, dan
kadar AGE. Selain itu, peningkatan penggunaan glukosa juga menurunkan kadar
pemaparan endotel oleh hiperglikemia sehingga membantu mempertahankan
aktivitas vasodilator dan vasokonstriksi endotel dan mencegah nekrosis sel-sel
endotel.
Kontraksi otot selama senam kaki diabetes juga menyebabkan peningkatan
aliran darah ke dan dari kaki. Kondisi ini dipicu oleh peningkatan metabolisme
saat otot berkontraksi (Guyton & Hall, 2007). Peningkatan metabolisme otot
menyebabkan peningkatan kebutuhan metabolisme. Kontraksi otot dan
peningkatan kebutuhan metabolisme memicu produksi nitrit oksida (NO) oleh sel
endotel dan miosit otot rangka. NO dalam jangka pendek memediasi vasodilatasi
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Dalam jangka panjang, NO memicu
36
perubahan struktur endotel melalui kaskade sinyal sebagai bentuk adaptasi
terhadap kontraksi dan metabolisme otot (Levine & Levine, 2013).
Kontraksi otot juga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Kontraksi
otot memaksa lebih banyak darah melalui pembuluh darah. Gaya ini
menyebabkan vasokonstriksi sementara. Hal ini menyebabkan vasodilatasi arteriol,
penurunan tekanan vaskular, dan membantu aliran balik vena (Guyton & Hall,
2007). Aliran balik vena mentransportasi metabolit-metabolit sisa dari jaringan
pada kaki. Hal ini mempertahankan fungsi dan struktur jaringan pada kaki.
Kelebihan senam kaki diabetes adalah salah satu jenis latihan fisik yang
dapat dilakukan oleh diabetesi dengan ulkus kaki. Diabetesi dengan ulkus kaki
atau sedang dalam periode penyembuhan ulkus kaki tidak diperkenankan
melakukan latihan fisik yang menumpukan berat badan pada kaki (Kauffman,
Barr, & Moran, 2007:312; Bowker & Pfeifer, 2008:570). Senam kaki diabetes
merupakan jenis latihan fisik tanpa penumpuan berat badan pada kaki. Senam ini
dilakukan pada posisi duduk tegak dengan kaki menyentuh lantai.
2.2.3 Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes
Kontraindikasi senam kaki diabetes bagi diabetesi menurut Kushariyadi &
Setyoadi (2011, hal. 119) berhubungan dengan kenyamanan dan keselamatan
pasien, yaitu sebagai berikut:
a. Pasien dengan masalah fisiologis yang menghambat dan mengganggu
pergerakan pasien seperti nyeri dan dispneu.
b. Pasien dengan masalah kejiwaan yang menghambat dan/atau mengganggu
fungsi kognitif pasien seperti cemas, gangguan panik, depresi, dan khawatir.
37
2.2.4 Prosedur Pelaksanaan Senam Kaki Diabetes
Latihan fisik memiliki lima komponen utama yaitu frekuensi, durasi,
intensitas, jenis latihan fisik dan progresivitas (Skinner, 2005). Frekuensi latihan
fisik isotonik bagi diabetesi yang direkomendasikan adalah minimal tiga kali
seminggu dengan tidak ada dua hari berturut-turut tanpa latihan fisik. Durasi yang
direkomendasikan adalah total 150 menit selama seminggu dengan anjuran dibagi
dengan rata setiap harinya. Melakukan latihan fisik dapat dimulai selama 10 menit
dengan frekuensi tiga kali dan jeda waktu diantara pengulangan dalam satu hari
dan ditingkatkan sesuai toleransi pasien. Intensitas latihan fisik yang dianjurkan
adalah intensitas sedang (Skinner, 2005; NHS, 2011; CDA, 2014). Latihan fisik
intensitas sedang didefinisikan sebagai latihan fisik dengan intensitas dalam
kapasitas yang dapat dipertahankan seseorang dengan nyaman dalam waktu lama
dengan total waktu latihan dalam satu hari adalah minimal selama 45 menit
(Henriques, 2015).
Senam kaki diabetes merupakan salah satu jenis latihan fisik isotonik yang
dianjurkan sebagai latihan fisik bagi diabetesi. Senam kaki diabetes mudah
dilakukan serta tidak membutuhkan ruangan dan peralatan khusus sehingga dapat
dilakukan pada berbagai ruang dan waktu. Prosedur pelaksanaan senam kaki
diabetes disajikan pada Lampiran 8. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum dan selama melaksanakan senam kaki diabetes, yaitu
(Lumenta, dkk, 2006; Sutedjo, 2014; Grimm, 2012):
1. Periksa kaki sebelum dan setelah melakukan senam kaki diabetes.
2. Hindari berlatih pada saat atau setelah mengalami hipoglikemia.
38
3. Sediakan asupan air dan karbohidrat dalam jumlah cukup, dan latihan
sebaiknya dilakukan 1-3 jam setelah makan.
4. Latihan senam dapat dilakukan setiap hari secara teratur dalam kondisi santai
dan ketika kaki terasa dingin.
5. Latihan tidak dilakukan jika mengalami hiperglikemia dengan kadar glukosa
darah sewaktu > 250 mg/dl
6. Berikan interval 2-3 jam setelah makan terakhir/injeksi insulin untuk
menghindari risiko hipoglikemia. Periode ini merupakan periode puncak kerja
insulin short-acting sehingga berisiko tinggi terjadi hipoglikemi.