bab ii tinjauan pustakarepository.ub.ac.id/142661/3/bab_2_fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep...

23
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam melakukan penelitian diperlukan dasar-dasar teori dan argumen yang berhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber dari buku, jurnal ilmiah, internet, penelitian dan sumber-sumber yang lainnya. 2.1 Penelitian Terdahulu Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini : 1. Miftachul Arifin (2012) melakukan penelitian berjudul “Aplikasi Metode Lean Six Sigma Untuk Usulan Improvisasi Lini Produksi Dengan Mempertimbangkan Faktor Lingkungan. Studi Kasus: Departemen General Lighting Services PT. Philips Lighting Surabaya”. Pada pelaksanaan proses produksinya, perusahaan menemui beberapa kendala yang terkait dengan waste. Dengan analisis Lean Six Sigma dengan menggunakan Value Stream Mapping menunjukkan terjadi defect di mesin finishing dan waiting di mesin mounting. Pencarian akar permasalahan dilakukan dengan menggunakan tools RCA (5 whys) dan FMEA hingga memunculkan lima belas penyebab utama terjadinya ketiga waste tersebut. Usulan alternatif perbaikan dilakukan melaui pembentukan tim total productive maintenance, penelitian perbaikan kualitas bulb dan flare, serta eksperimen pengurangan jumlah jenis coil. Dengan menggunakan konsep value management didapatkan alternatif terbaik dengan melakukan pembentukan dan pelatihan tim total productive maintenance. Alternatif ini meningkatkan nilai sigma defect dari 2,92 menjadi 3,08 dan sigma waiting dari 2,83 menjadi 2,89. Indikator dampak lingkungan juga mengindikasikan penurunan yang sejalan. 2. Wawan Widiatmoko (2013) melakukan penelitian berjudul “Studi Implementasi Lean Six Sigma Dengan Pendekatan Value Stream Mapping Untuk Mereduksi Idle Time Material Pada Gudang Pelat Dan Profil ”. Penelitian ini dilakukan pada PT. Dok dan Perkapalan Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem inventori yang diterapkan oleh perusahaan dan idle time material pelat dan profil yang ada di gudang bahan baku dengan menggunakan metode Lean Six Sigma dengan pendekatan Value Stream Mapping. Dari hasil perhitungan menggunakan diperoleh nilai sigma perhitungan idle time sebesar 0.1976. Dengan penerapan Lean Six

Upload: others

Post on 29-Oct-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam melakukan penelitian diperlukan dasar-dasar teori dan argumen yang

berhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam

analisis. Tinjauan pustaka bersumber dari buku, jurnal ilmiah, internet, penelitian dan

sumber-sumber yang lainnya.

2.1 Penelitian Terdahulu

Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini :

1. Miftachul Arifin (2012) melakukan penelitian berjudul “Aplikasi Metode Lean Six

Sigma Untuk Usulan Improvisasi Lini Produksi Dengan Mempertimbangkan Faktor

Lingkungan. Studi Kasus: Departemen General Lighting Services PT. Philips

Lighting Surabaya”. Pada pelaksanaan proses produksinya, perusahaan menemui

beberapa kendala yang terkait dengan waste. Dengan analisis Lean Six Sigma

dengan menggunakan Value Stream Mapping menunjukkan terjadi defect di mesin

finishing dan waiting di mesin mounting. Pencarian akar permasalahan dilakukan

dengan menggunakan tools RCA (5 whys) dan FMEA hingga memunculkan lima

belas penyebab utama terjadinya ketiga waste tersebut. Usulan alternatif perbaikan

dilakukan melaui pembentukan tim total productive maintenance, penelitian

perbaikan kualitas bulb dan flare, serta eksperimen pengurangan jumlah jenis coil.

Dengan menggunakan konsep value management didapatkan alternatif terbaik

dengan melakukan pembentukan dan pelatihan tim total productive maintenance.

Alternatif ini meningkatkan nilai sigma defect dari 2,92 menjadi 3,08 dan sigma

waiting dari 2,83 menjadi 2,89. Indikator dampak lingkungan juga

mengindikasikan penurunan yang sejalan.

2. Wawan Widiatmoko (2013) melakukan penelitian berjudul “Studi Implementasi Lean

Six Sigma Dengan Pendekatan Value Stream Mapping Untuk Mereduksi Idle Time Material

Pada Gudang Pelat Dan Profil”. Penelitian ini dilakukan pada PT. Dok dan Perkapalan

Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem inventori yang

diterapkan oleh perusahaan dan idle time material pelat dan profil yang ada di

gudang bahan baku dengan menggunakan metode Lean Six Sigma dengan

pendekatan Value Stream Mapping. Dari hasil perhitungan menggunakan diperoleh

nilai sigma perhitungan idle time sebesar 0.1976. Dengan penerapan Lean Six

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

7

Sigma dengan pendekatan Value Stream Mapping dihasilkan usulan perbaikan

proses inventori di perusahaan antara lain : meningkatkan nilai sigma penggunaan

material, melakukan strategi pembelian material sesuai strategi pembangunan kapal

berdasarkan zona, memperbaiki kerjasama dengan supplier material pelat dan

profil. Pembuatan future state mapping mendapatkan usulan perbaikan dengan

pembuatan perencanaan pengadaan material dengan mempertimbangkan strategi

pembangunan kapal berdasarkan zona pembangunannya. Diperoleh strategi

pengadaan material yang dilakukan sebanyak 4 kali order.

3. Sinurmaida Gultom (2013) melakukan penelitian berjudul “Studi Pengendalian

Mutu Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Six Sigma Pada PT XYZ”. PT XYZ

merupakan perusahaan yang bergerak dalam produksi transformator. Tujuan

penelitian ini adalah memberikan alternatif perbaikan bagi sistem produksi dengan

proses yang terkendali. Kendala yang dihadapi oleh perusahaan ini adalah adanya

pemborosan (waste) yang terdapat selama proses produksi berlangsung seperti

terdapat kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah dan tingginya produk cacat

(30,3%). Penelitian ini menerapkan konsep pengendalian mutu dengan pendekatan

Lean Six Sigma dalam upaya mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan

(waste) dilantai produksi akibat non value added activity pada proses sehingga

waktu produksi (lead time) semakin pendek. Hasil penelitian menunjukkan kondisi

Lean saat ini dengan PCE (Process Cycle Efficency) sebesar 82%, dengan kinerja

kualitas pada saat ini untuk tahap inspeksi II dan III masing-masing sebesar 3,38 σ

dan 4,01 σ. Usulan perbaikan berupa penerapan prosedur kerja pada bagian

penggulungan kumparan, serta penerapan metode 5S, perawatan mesin, pelatihan

operator secara berkala dan pengawasan sebagai hal penting yang masih harus

diperhatikan perusahaan di depan. Selain itu, juga diusulkan work place

management dan eliminasi lima kegiatan non value-added.

Tabel 2.1 Perbandingan dengan PenelitianTerdahulu Peneliti Objek Penelitian Metode Hasil

Miftachul

Arifin

(2012)

Departemen

General

Lighting

Services PT.

Philips Lighting

Surabaya

Lean Six Sigma,

Value Stream

Mapping, RCA,

FMEA

Meningkatkan nilai sigma defect dari

2,92 menjadi 3,08 dan sigma waiting

dari 2,83 menjadi 2,89. Indikator

dampak lingkungan juga

mengindikasikan penurunan yang

sejalan.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

8

Lanjutan Tabel 2.1 Perbandingan dengan PenelitianTerdahulu Peneliti Objek Penelitian Metode Hasil

Wawan

Widiatmoko

(2013)

Gudang Pelat Dan

Profil PT. Dok

dan Perkapalan

Surabaya

Lean Six

Sigma, Value

Stream

Mapping

nilai sigma perhitungan idle time sebesar

0.1976. Usulan perbaikan: meningkatkan

nilai sigma penggunaan material,

melakukan strategi pembelian material

sesuai strategi pembangunan kapal

berdasarkan zona, memperbaiki

kerjasama dengan supplier material pelat

dan profil

Sinurmaida

Gultom

(2013)

PT XYZ

(perusahaan

yang

memproduksi

transformator)

Lean Six

Sigma, 5S

Perbaikan berupa penerapan prosedur

kerja pada bagian penggulungan

kumparan, perawatan mesin, pelatihan

operator secara berkala, pengawasan dan

work place management dan eliminasi

lima kegiatan non value-added.

Rencana

Penelitian

ini

PT Mertex

Indonesia

Lean Sigma,

COPQ, FMEA,

Value-based

Management

DMAI menggunakan pendekatan Lean

Six Sigma

Pemilihan rekomendasi perbaikan

menggunakan FMEA dan pemilihan

alternatif didasarkan pada nilai cost of

poor quality dan bobot performansi.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu terletak pada

pengembangan metode yang digunakan dan pada objek yang diteliti. Pada tahap define

dilakukan identifikasi waste menggunakan pendekatan value stream mapping. Pada

penelitian ini, untuk measure dilakukan penghitungan nilai cost of poor quality pada

masing-masing waste sehingga dapat diketahui jenis waste yang paling berpengaruh

kemudian improvement dilakukan dengan melakukan perbandingan antar alternatif

solusi melalui pendekatan value-based management dengan memperhatikan faktor

biaya dan bobot performansi.

2.2 Definisi Kualitas

Goetsch dan Davis (1994) (dalam Harahap, 2011) membuat definisi mengenai

kualitas yang lebih luas cakupannya. Definisi tersebut adalah “Kualitas merupakan

suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan

lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

9

2.3 Konsep Lean Thinking

Pada dasarnya konsep Lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep ini

dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur atau jasa. Konsep Lean Thinking

diprakarsai oleh sistem produksi Toyota di Jepang. Lean dirintis oleh Taicho Ohno dan

Sensei Shingo dimana implementasi dari konsep ini didasarkan pada 5 prinsip utama

(Hines & Taylor, 2000) yaitu:

a. Specify value

Menentukan apa yang dapat memberikan nilai dari suatu produk atau layanan dilihat

dari sudut pandang konsumen bukan dari sudut pandang perusahaan

b. Identify whole value stream

Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan, mulai dari proses desain,

pemesanan, dan pembuatan produk berdasarkan keseluruhan value stream untuk

menemukan pemborosan yang tidak memiliki nilai tambah (non-value adding

waste).

c. Flow

Melakukan aktivitas yang dapat menciptakan suatu nilai tanpa adanya gangguan,

aktivitas menunggu ataupun sisa produksi.

d. Pulled

Mengetahui aktivitas-aktivitas penting yang digunakan untuk membuat apa yang

diinginkan oleh konsumen.

e. Perfection

Berusaha mencapai kesempurnaan dengan menghilangkan waste (pemborosan)

secara bertahap dan berkelanjutan.

Dasar pemikiran dari Lean Thinking adalah berusaha meniadakan waste

(pemborosan) baik dalam tubuh perusahaan atau antar perusahaan. Dasar pemikiran ini

merupakan hal dasar untuk mewujudkan value stream yang ramping atau Lean. Untuk

dapat mengaplikasikan konsep Lean dalam perusahaan diperlukan pemahaman akan

kebutuhan konsumen dan apa yang dipentingkan oleh konsumen. Dari penggambaran

value stream dari perusahaan akan diketahui aktivitas-aktivitas yang tidak berguna yang

bisa dieliminasi, sehingga nantinya konsumen tidak perlu membayar suatu aktivitas

yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses produksi.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses Lean Thinking adalah sebagai

berikut (Hines dan Taylor, 2000):

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

10

a. Understanding waste

Pada langkah ini, pemborosan yang terjadi harus diketahui. Prinsip yang digunakan

adalah pemilahan aktivitas-aktivitas menjadi tiga jenis, yaitu value adding, non value

adding, serta necessary but non-value adding. Selanjutnya waste yang terjadi

digolongkan menjadi tujuh macam waste menurut konsep Lean.

b. Setting the direction

Pada tahap ini, ditentukan arah dan tujuan dari perbaikan. Arah berupa alat ukur

keberhasilan, target keberhasilan untuk setiap alat ukur, pendefinisian proses-proses

inti, serta proses yang membutuhkan pemetaan secara detail.

c. Understanding the Big Picture

Pada tahap ini, keinginan konsumen, aliran fisik serta aliran informasi dari proses

pemenuhan konsumen harus diketahui.

d. Detailed mapping

Pada tahap ini, dilakukan pemetaan secara detail. Alat yang bisa digunakan untuk

pemetaan secara detail adalah process activity mapping, supply chain response

matrix, product variety funnel, quality filter mapping, demand amplification

mapping, decision point analysis dan physical structure mapping.

e. Getting suppliers and customer involved

Implementasi Lean thinking harus melibatkan supplier dan pelanggan dalam inisiatif

perbaikan.

f. Checking the plan fits the direction and ensuring buy-in

Pada tahap ini, dilakukan pengecekan kesesuaian antara arah yang dituju dengan

rencana awal.

2.4 Konsep Six Sigma

Six Sigma adalah upaya terus menerus (continuous improvement efforts) untuk

menurunkan variasi dari proses, agar meningkatkan kapabilitas proses dalam

menghasilkan produk (barang dan/jasa) yang bebas kesalahan (zero defects target

minimum 3,4 Defects Per Million Opportunities atau DPMO) dan untuk memberikan

nilai kepada pelanggan (customer value) (Gaspersz, 2005).

Ada tiga bidang utama yamg menjadi target usaha Six Sigma, yaitu :

1. Meningkatkan kepuasan pelanggan

2. Mengurangi waktu siklus

3. Mengurangi defect (cacat).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

11

Tujuan Six Sigma adalah meningkatkan kinerja bisnis dengan dengan mengurangi

berbagai variasi proses yang merugikan, mereduksi kegagalan-kegagalan

produk/proses, menekan cacat-cacat produk, meningkatkan keuntungan, mendongkrak

moral personil/karyawan, dan meningkatkan kualitas produk pada tingkat yang

maksimal. Mengubah desain produk dan atau proses sedemikian rupa agar mampu

mencapai nilai target Six Sigma yang memiliki indeks kemampuan proses minimum

sama dengan dua (Cp ≥ 2).

2.5 Konsep Lean Six Sigma

Lean Six Sigma (Gaspersz, 2006).merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma

dapat didefenisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistemik dan sistematik

untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-aktivitas

yang tidak bernilai tambah (non value added activities) melalui peningkatan terus

menerus secara radikal (radical continuous improvement) untuk mencapai tingkat

kinerja enam sigma. Fokus dari Lean dan Six Sigma dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Fokus Lean dan Six Sigma

Fokus Lean Fokus Six Sigma

Pemborosan material, waktu, aktivitas,dll Variasi proses

Menyeimbangkan aliran dalam proses (value

stream)

Identifikasi akar-akar penyebab dari masalah

Reduksi Cycle Time Menciptakan output proses yang seragam

bebas cacat

Sangat penting utuk meningkatkan

produktivitas

Sangat penting untuk meningkatkan

kapabilitas proses dan kualitas produk

Sumber : Gaspersz (2008)

Pendekatan Lean bertujuan untuk menghilangkan pemborosan (waste elimination),

memperlancar aliran material, produk dan informasi, serta peningkatan secara terus-

menerus. Sedangkan pendekatan Six Sigma bertujuan untuk reduksi variasi (variation

reduction), pengendalian proses dan peningkatan secara terus-menerus. Integrasi Lean

dan Six Sigma (Lean Six Sigma) akan meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui

peningkatan kecepatan (shorter cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean

akan menyingkapkan Non Value Added (NVA) dan Value Added (VA) serta membuat

Value Added mengalir secara lancar sepanjang value stream processes, sedangkan Six

Sigma akan mereduksi variasi Value Added tersebut.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

12

2.6 Langkah-langkah Penerapan Lean Six Sigma

Langkah implementasi Lean Six Sigma harus menggunakan dua pendekatan, yaitu

pendekatan Lean untuk mengeliminasi proses dari waste, serta pendekatan Six Sigma

untuk mengurangi variasi pada produk. Lagkah-langkah penerapan lean six sigma

umumnya dikenal dengan DMAIC. DMAIC terdiri dari define, measure, analyze,

improvement dan control. Berikut akan dijelaskan mengenai langkah-langkah tersebut.

2.6.1 Tahap Define

Define adalah penetapan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas pada

implementasi Lean Six Sigma. Tahap ini untuk mendefinisikan rencana-rencana

tindakan yang harus dilakukan untuk melaksanakan peningkatan dari setiap tahap

proses bisnis kunci (Gaspersz, 2005). Tool yang dapat digunakan dalam tahap define

adalah Value Stream Mapping (VSM). VSM adalah metode yang menggunakan gambar

dari proses dan mengidentifikasikan serta mengukur waste dalam proses. Value stream

map adalah suatu cara yang efektif untuk menemukan waste atau muda dan

menunjukkan perbaikan proses (Yang, 2005).

Tahap define bertujuan untuk mengidentifikasi produk atau proses yang akan

diperbaiki serta menentukan sumber daya apa yang dibutuhkan dalam proyek

perbaikan. Pada tahap ini dilakukan pengukuran waktu kerja, pembuatan current value

stream mapping serta melakukan identifikasi 7 waste.

2.6.1.1 Pengukuran Waktu Kerja

Pengukuran waktu kerja merupakan usaha untuk menentukan lamanya waktu kerja

yang dibutuhkan oleh seorang pekerja atau operator dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang normal dalam lingkungan

kerja yang terbaik pada saat itu. Tujuan pengukuran waktu kerja adalah untuk

mendapatkan waktu baku yang harus dicapai oleh pekerja dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan. Metode pengukuran waktu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu :

1. Pengukuran waktu secara langsung adalah pengukuran dilakukan di tempat dimana

pengukuran tersebut dilaksanakan seperti cara jam berhenti (stopwatch time study)

dan sampling pekerjaan

2. Pengukuran waktu secara tidak langsung yaitu dilakukan tanpa harus berada di

tempat pekerjaan. Cara tersebut dilakukan dengan membaca tabel-tabel yang

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

13

tersedia asalkan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan

atau gerakan seperti data waktu baku atau data waktu gerakan.

Secara garis besar langkah-langkah untuk pelaksanaan pengukuran waktu kerja

dengan jam henti ini dapat diuraikan sebagai berikut (Wignjosoebroto, 1995):

a. Definisi pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan beritahukan

maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang dipilih untuk diamati dan

supervisor yang ada.

b. Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan seperti

layout, karakteristik/spesifikasi mesin atau peralatan kerja lain yang digunakan dan

lain-lain.

c. Bagi operasi kerja dalam elemen-elemen kerja sedetail-detailnya tapi masih dalam

batas-batas kemudahan untuk pengukuran waktunya.

d. Amati, ukur, dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk menyelesaikan

elemen-elemen kerja tersebut.

e. Tetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat. Teliti apakah jumlah

siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak? Tes pula

keseragaman data yang diperoleh.

f. Tetapkan rate of performance dari operator saat melaksanakan aktivitas kerja yang

diukur dan dicatat waktunya tersebut. Rate of performance ini ditetapkan untuk

setiap elemen kerja yang ada dan hanya ditujukan untuk performance operator.

Untuk elemen kerja yang secara penuh dilakukan oleh mesin maka performance

dianggap normal (100%).

g. Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance kerja yang ditunjukkan

oleh operator tersebut sehinggga akhirnya akan diperoleh waktu kerja normal.

h. Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan fleksibilitas. Waktu

longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi kondisi-kondisi sepeti kebutuhan

personil yang bersifat pribadi, faktor kelelahan, keterlambatan material, dan lain-

lainnya.

i. Tetapkan waktu kerja baku (standard time) yaitu jumlah total antara waktu normal

dan waktu longgar.

j. Gambar 2.1 adalah diagram alir prosedur pengerjaan metode jam henti:

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

14

Gambar 2.1 Langkah-langkah Sistematis dalam Kegiatan Pengukuran Kerja dalam Jam

Henti (Stop Watch Time Study)

Sumber: Wignjosoebroto (1995)

Setelah didapatkan data waktu yang seragam, dilakukan uji kecukupan data. Ketika

data waktu telah mencukupi selanjutnya dilakukan perhitungan waktu siklus, waktu

normal dan waktu baku.

1. Perhitungan waktu siklus

Waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produksi mulai dari bahan

baku mulai diproses ditempat kerja yang bersangkutan. Rumus yang digunakan di

dalam perhitungan waktu siklus adalah (Harahap, 2011):

(2.1)

Dimana: Xi= jumlah waktu penyelesaian yang teramati

N = jumlah pengamatan yang dilakukan

2. Perhitungan waktu normal

Waktu normal adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja

dalam kondisi wajar dan kemampuan rata-rata. Setelah diketahui besarnya waktu

siklus untuk setiap elemen kerja maka dapat dilakukan perhitungan waktu normal.

Rumus yang digunakan dalm perhitungan waktu normal adalah sebagai berikut:

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

15

(2.2)

3. Perhitungan waktu baku.

Waktu baku adalah merupakan waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja

normal untuk menyelesaikan pekerjaannya yang dikerjakan dalam sistem kerja

terbaik saat itu. Rumus yang digunakan dalam menetukan waktu baku adalah

sebagai berikut:

(2.3)

Dimana: Wb = waktu baku

Wn = waktu normal

Allowance = kelonggaran yang dibutuhkan

2.6.1.2 Value Stream Mapping

Dalam sistem Lean, dikenal istilah value stream mapping yaitu penggambaran

seluruh langkah-langkah proses yang berkaitan dengan perubahan permintaan

pelanggan menjadi produk atau jasa yang dapat memenuhi permintaan dan

mengidentifikasi nilai yang terdapat dalam setiap langkah yang ditambahkan ke produk

(Harahap, 2011). Aktivitas pada value stream mapping terbagi atas tiga bagian, yaitu:

1. Proses maupun aliran produksi pada value stream

Proses atau aliran produksi adalah bagian dari peta yang sering diasosiasikan

dengan tradisional flowchart. Aliran proses digambarkan dari kiri ke kanan

2. Aliran informasi

Aliran informasi dan komunikasi adalah bagian dari peta dimana Value Stream

Mapping berkembang tidak hanya sebagai aliran produk. Dengan menambahkan

komunikasi ke dalam peta memungkinkan kita mengetahui komunikasi yang terjadi

dalam proses baik secara formal maupun informal.

3. Time line and travel distance

Pada bagian ini terdapat waktu pengerjaan produk, waktu transportasi, waktu

menunggu produk selama berada dalam value stream. Di samping waktu, juga

perlu menambahkan jarak yang ditempuh antar proses dalam proses produksi.

Berikut ini langkah-langkah yang perlu diterapkan dalam membentuk Value Stream

Mapping yaitu sebagai berikut:

1. Identifikasi produk

2. Membuat current state value stream mapping

3. Tambahkan aliran material pada peta yang dibuat

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

16

4. Tambahkan aliran informasi

5. Kumpulkan data-data proses dan hubungkan data-data tersebut dengan tabel-tabel

yang terdapat dalam Value Stream Mapping

6. Masukkan data yang berhasil dikumpulkan ke dalam Value Stream Mapping

7. Lakukanlah verifikasi dengan meminta orang lain yang bukan termasuk dalam tim

pembuat tetapi memahami proses untuk melakukan perbandingan antara Value

Stream Mapping yang dibuat dengan keadaan sebenarnya.

Simbol-simbol yang digunakan dalam Value Stream Mapping dapat dilihat pada

Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Simbol-simbol yang Digunakan dalam Value Stream Mapping

Simbol Proses Dalam Value Stream Mapping

Simbol ini merepresentasikan Supplier bila diletakkan di kiri atas,

yakni sebagai titik awal yang umum digunakan dalam penggambaran

aliran material. Sementara gambar akan merepresentasikan Customer

bila ditempatkan di kanan atas, biasanya sebagai titik akhir aliran

material.

Simbol ini menyatakan proses, operasi, mesin atau departemen yang

dilalui aliran material. Secara khusus, untuk menghindari pemetaan

setiap langkah proses yang tidak diinginkan, maka simbol ini biasanya

merepresentasikan satu departemen dengan aliran internal yang

kontinu

Simbol ini menyatakan operasi, proses, departemen atau stasiun kerja dengan

famili-famili yang saling berbagi dalam value-stream. Perkiraan jumlah

operator yang dibutuhkan dalam value stream dipetakan, bukan sejumlah

operator yang dibutuhkan untuk memproduksi seluruh produk

Simbol ini merepresentasikan pergerakan material dari satu proses menuju

proses berikutnya.

Simbol ini memiliki lambang-lambang di dalamnya yang menyatakan

informasi/data yang dibutuhkan unuk menganalisis dan mengamati sistem.

C/T adalah waktu siklus yang dibutuhkan untuk memproduksi satu barang

sampai barang yang akan diproduksi selanjutnya datang. C/O adalah

changeover time yang merupakan waktu pergantian produksi satu produk

dalam suatu proses untuk yang lainnya. Uptime adalah persentase waktu yang

tersedia pada mesin untuk proses.

Simbol ini merepresentasikan pergerakan raw material dari supplier

hingga menuju gudang penyimpanan akhir di pabrik. Atau pergerakan

dari produk akhir di gudang penyimpanan pabrik hingga sampai ke

konsumen.

Simbol ini menunjukkan keberadaan suatu inventory diantara dua

proses. Ketika memetakan current state, jumlah inventory dapat

diperkirakan dengan satu perhitungan cepat, dan jumlah tersebut

dituliskan dibawah gambar segitiga. Jika terdapat lebih dari satu

akumulasi inventory, gunakan satu lambang untuk masing-masing

inventory. Lambang ini juga dapat digunakan untuk merepresentasikan

penyimpanan bagi raw material dan finished goods.

Simbol ini melambangkan sebuah persediaan “hedge” (safety stock)

yang mengatasi masalah seperti downtime, untuk melindungi sistem

dalam mengatasi fluktuasi pemesanan konsumen secara tiba-tiba atau

terjadinya kerusakan pada sistem.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

17

Lanjutan Tabel 2.3 Simbol-simbol yang Digunakan dalam Value Stream Mapping

Simbol Proses Dalam Value Stream Mapping

Simbol ini berarti pengiriman yang dilakukan dari supplier ke

konsumen atau pabrik ke konsumen dengan menggunakan

pengangkutan eksternal (di luar pabrik).

Simbol ini merepresentasikan operator. Lambang ini menunjukkan

jumlah operator yang dibutuhkan untuk melakukan suatu proses.

Menyatakan informasi atau hal lain yang penting.

Menunjukkan waktu yang memberikan nilai tambah (cycle times) dan

waktu yang tidak memberikan nilai tambah (waktu menunggu).

Gunakan lambang ini untuk menghitung Lead Time dan Total Cycle

Time.

Sumber: Lee (2007)

2.6.1.3 Macam-macam Aktivitas

Dalam konteks manufaktur menurut Hines (1997) terdapat tiga tipe operasi, yaitu:

1. Non-Value Adding (NVA) / Non-Valuable Work (NVW), yaitu suatu nilai atau kerja

yang tidak dibutuhkan dan harus dieliminasi. Contohnya: pergerakan angkut

berulang, waktu menunggu dan penumpukan produk.

2. Necessary but non value adding (NNVA) / Walking (W), yaitu suatu nilai atau kerja

yang tidak ada nilai tambah namun dibutuhkan. Contoh : berjalan untuk mengambil

benda kerja

3. Value adding (VA) / Valuable Work (VW), yaitu suatu nilai atau kerja yang

memberi nilai tambah atau dapat mengubah bahan mentah menjadi setengah jadi

dengan tenaga manual pekerja. Contoh: sub-assy bagian produk, forging material

mentah atau pengecatan produk.

2.6.1.4 Pemborosan (Waste)

Menurut Gazperz (2006) pemborosan (waste) adalah segala aktivitas dalam proses

kerja yang tidak memberikan nilai tambah bagi output. Dampak pemborosan bagi

perusahaan adalah menciptakan biaya tinggi, kualitas rendah, penyerahan terlambat,

kehilangan pasar (opportunity lost income) dan penurunan keuntungan perusahaan.

Shigeo Shingo (1990) mengklasifikasikan waste menjadi 7 macam yaitu:

1. Defect yaitu kesalahan yang terjadi pada pengerjaan dengan frekuensi

tinggi,permasalahan kualitas produk atau jasa dan menurunkan performansi

pengiriman.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

18

2. Overproduction yaitu melakukan produksi terlalu banyak atau terlalu cepat,

mengakibatkan aliran informasi atau barang dan inventory menjadi tidak lancar.

Dapat menyebabkan lead time dan storage time yang lebih lama, banyaknya work

inprocess serta adanya defect.

3. Waiting yaitu periode yang lama terhadap ketidakaktifan orang, informasi atau

barang, menyebabkan aliran yang kacau dan panjangnya lead time.

4. Transportation yaitu pergerakan dari orang, informasi atau barang yang berlebihan,

menyebabkan pemborosan waktu, usaha dan biaya. Dapat menurunkan kualitas

produk akibat terhambatnya komunikasi.

5. Inventory yaitu penyimpanan barang yang lebih dan delay dari informasi atau

produk, menyebabkan peningkatan biaya dan penurunan pelayanan terhadap

customer. Menyebabkan panjangnya lead time, meningkatkan biaya inventory dan

menurunkan daya saing.

6. Motion yaitu pengaturan tempat kerja dan peralatan yang tidak ergonomis, sehingga

menyebabkan operator melakukan gerakan bending dan stretching yang berlebihan.

7. Inappropriate processing yaitu melakukan proses kerja dengan menggunakan

peralatan, proses atau sistem yang salah (kurang tepat), seringkali cara yang lebih

sederhana menjadi lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang ada di

perusahaan.

2.6.1.5 Cost of Poor Quality (COPQ)

Sörqvist (2001) (dalam Thomasson dan Wallin, 2013) mendefinisikan cost of poor

quality (COPQ) sebagai total kerugian yang disebabkan oleh produk dan proses yang

tidak sempurna dari sebuah perusahaan. Feigenbaum (1991) (dalam Thomasson dan

Wallin, 2013) membagi cost of poor quality (COPQ) menjadi empat kategori yaitu:

Prevention cost atau biaya pencegahan adalah biaya yang terjadi dalam upaya

mencegah adanya produk dengan kualitas tidak baik.

Appraisial cost atau biaya pengukuran adalah biaya yang terjadi untuk menentukan

suatau produk memenuhi karakteristik yang ditetapkan atau sesuai dengan

permintaan konsumen.

Internal failure cost atau biaya kegagalan internal adalah biaya atau kerugian yang

terjadi di dalam proses dan produk belum sampai ke tangan konsumen

External failure cost atau biaya kegagalan eksternal adalah biaya atau kerugian

yang terjadi saat produk sudah sampai ke tangan konsumen

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

19

Dari pembahasan cost of poor quality (COPQ) yang dilakukan oleh Thomasson dan

Wallin (2013) maka cost of poor quality (COPQ) dapat diartikan sebagai seluruh biaya

yang dikategorikan sebagai opportunity lost income atau pendapatan yang

dimungkinkan hilang akibat adanya failure dari proses produksi. Failure tersebut terdiri

dari internal failure dan external failure. Waste dapat dikategorikan sebagai internal

failure karena waste merupakan kegagalan yang terjadi dalam proses produksi dimana

produk belum sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu nilai cost of poor quality

dari tiap waste dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Wiratmoko, 2013):

∑ (2.4)

Nilai COPQ yang didapatkan memiliki satuan dolar dan untuk mengetahui waste

mana yang paling berpengaruh maka dapat dilakukan dengan membandingkan nilai

COPQ masing-masing waste.

2.6.2 Tahap Measure

Tahap ini merupakan salah satu pembeda Six Sigma dengan metode pengendalian

kualitas lainnya. Pengukuran dilakukan untuk menilai kondisi proses yang ada.

Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu:

a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas kunci atau CTQ (Critical To Quality)

yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik pelanggan.

b. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, atau

outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja pada awal proyek Six Sigma.

c. Mengukur kapabilitas proses dengan kapabilitas long term.

2.6.2.1 Critical Waste

Critical waste adalah kebutuhan yang sangat penting dari produk yang diperlukan

oleh pelanggan. Identifikasi critical waste membutuhkan pemahaman akan suara

pelanggan (voice of customer) yaitu kebutuhan pelanggan yang diekspresikan dalam

bahasa pelanggan itu sendiri. Namun jika perusahaan telah memiliki list tetap mengenai

suara pelanggan, maka critical waste dapat menggunakan list tersebut (Harahap, 2011).

Control to quality sangat erat katannya dengan waste kategori defect. Pada waste

lain dikenal istilah critical waste. Critical waste merupakan jenis dari waste yang

sangat kritis dan mempengaruhi timbulnya waste tersebut. Dari adanya suatu proses

yng diidentifikasi memiliki pemborosan, perusahaan yang bersangkutan seharusnya

dapat dengan jelas mendefinisikan bagaimana karakteristik CTQ dan critical waste ini

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

20

sehingga dapat dapat diukur dan dilaporkan. Penentuan CTQ maupun critical waste

dapat menggunakan diagram pareto (Harahap, 2011). Pada akhirnya, perusahaan harus

menghubungkan pengukuran CTQ pada kunci proses dan pengendalian sehingga

perusahaan dapat menentukan bagaimana cara meningkatkan proses.

2.6.2.2 Pengukuran Kinerja Proses berdasarkan Nilai Sigma

Perhitungan DPMO dan nilai sigma untuk data atribut dapat dilakukan sesuai

langkah-langkah perhitungan berikut ini (Suef, 2002):

1. Defect Per Unit (DPU). Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari cacat, semua

jenis, terhadap jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel

(2.5)

Dimana: D = frekuensi atau jumlah cacat yang ditemukan

U = jumlah unit yang diproduksi

2. Defect Per Opportunity (DPO). Menunjukkan proporsi cacat atas jumlah total

peluang dalam sebuah kelompok

(2.6)

Dimana: OP (Opportunity) = karaketristik yang berpotensi untuk menjadi cacat.

3. Defect Per Million Opportunities (DPMO). DPMO mengindikasikan berapa banyak

cacatakan muncul jika ada satu juta peluang.

DPMO = DPO × 1.000.000 (2.7)

4. Mengkonversikan nilai DPMO menggunakan tabel konversi untuk mengetahui

proses berada pada tingkat sigma berapa.

5. Perhitungan tingkat sigma dapat dihitung dengan menggunakan Microsoft Excel

yaitu dengan menggunakan formula berikut ini:

NORMSINV (1-DPMO/1.000.000) (2.8)

2.6.2.3 Peta Kontrol Proporsi Cacat (P-Chart)

Peta kendali P merupakan peta control untuk data atribut yang digunakan untuk

mengamati proporsi atau perbandingan antara produk yang cacat dengan total produksi.

Penggunaan P-chart dikarenakan pengendalian kualitas yang dilakukan bersifat atribut,

serta data yang diperoleh yang dijadikan sampel pengamatan tidak tetap dan produk

yang mengalami kerusakan tersebut dapat diperbaiki lagi sehingga harus ditolak.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

21

Adapun langkah-langkah dalam membuat peta kendali P sebagai berikut (Harahap,

2011):

1. Mengitung garis pusat atau center line (CL), Garis pusat merupakan rata-rata

kerusakan produk ( ) dengan rumus:

CL = = ∑

∑ (2.9)

Keterangan :

∑ = jumlah total yang rusak

∑ = jumlah total yang diperiksa

2. Menghitung batas kendali atas atau upper control limit (UCL) dengan rumus:

UCL = + √

(2.10)

Keterangan :

= rata-rata kerusakan produk

= Total produk yang diperiksa

3. Menghitung batas kendali bawah atau lower control limit (LCL) dengan rumus:

LCL = - √

(2.11)

Keterangan :

= rata-rata kerusakan produk

= Total produk yang diperiksa

Catatan : jika LCL<0 maka LCL dianggap = 0

2.6.2.4 Pengukuran Kapabilitas Proses

Parameter indeks kapabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan dari suatu

proses yang stabil untuk menghasilkan bagian-bagian dalam batas spesifikasi.

Parameter-parameter tersebut antara lain (Suef, 2002):

Cp = indeks potensial proses

Cpk = indeks performansi proses

Nilai T = target potensial proses

Menurut Pearn dan Chen (1999) ada lima kondisi kualitas yang dapat

menggambarkan kapabilitas perusahaan berdasarkan nilai Cpk. Kelima kondisi itu

adalah sebagai berikut:

Inadequate (tidak capable) Cpk < 1,00

Capable 1,00 < Cpk < 1,33

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

22

Satisfactory 1,33 < Cpk < 1,5

Excellent 1,50 < Cpk < 2,00

Super 2,00 ≤ Cpk

2.6.2.4.1 Kapabilitas Proses “Short Term”

Menurut Suef (2002) variabilitas proses akan menghasilkan kapabilitas proses

short term, yang menunjukkan hasil terbaik yang dapat dicapai proses tersebut.

Kapabiltas proses short term dibatasi oleh teknologi dan desain. Kapabilitas poses short

term disebut juga potensial proses. Potensial proses menunjukkan tingkat persebaran

dari suatu proses atau dengan kata lain variabilitas output yang dihasilkan.

2.6.2.4.2 Kapabilitas Proses “Long Term”

Kapabilitas proses long term didapatkan dari variasi dan control. Kapabilitas proses

long term menunjukkan performansi aktual dari proses yang ditentukan oleh teknologi

dan control proses (Suef, 2002). Kapabilitas proses long term juga disebut performansi

proses. Parameter yang digunakan dalam kapabilitas kapabilitas proses long term

adalah Cpk (indeks performasi proses) dan Zlt (Z long term). Indeks performansi proses

baru dapat digunakan apabila memenuhi persyaratan asumsi bahwa proses yang

dikendalikan harus berdistribusi normal (Gazperz, 2006).

Nilai Cpk menunjukkan kemampuan proses menyesuaikan diri dengan spesifikasi.

Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Suef, 2002):

Cpk = Cp * (1-k) (2.12)

Sedangkan k diperoleh dari:

(2.13)

Dimana k = indeks pemusatan proses

T = target atau nominal standar

Zlt adalah perhitungan teknologi dan kontrol. Zlt dihitung menggunakan rata-rata

yang terhitung dari data. Zlt didapat dari:

Zlt =

(2.14)

Untuk mencapai 6 , Zlt yang ditargetkan adalah Zlt = 4,5

Nilai indeks untuk kapabilitas proses long term dapat dilihat pada Tabel 2.4

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

23

Tabel 2.4 Indeks Kapabilitas Proses Long Term

Cpk Zlt DPO PPM

0,0 0,0 0,5000000 500.000

0,17 0,5 0,3085375 308.538

0,33 1,0 0,1586553 158.655

0,50 1,5 0,0668070 66.807

0,67 2,0 0,0227501 22.750

0,83 2,5 0,0062097 6.210

1,00 3,0 0,0013500 1.350

1,17 3,5 0,0002327 233

1,33 4,0 0,0000317 32

1,50 4,5 0,0000034 3,4

Sumber: Suef, 2002

2.6.2.4.3 Kapabilitas Proses untuk Data Diskrit

Bekerja dengan dasar data diskrit atau data atribut berbeda dengan data

kontinyu/variable. Parameter yang digunakan di sini adalah DPO (Defects Per

Oppurtunities) dan nilai Z adalah Zlt (Z long term) karena Zst biasanya tidak tersedia

karena membutuhkan volume yang besar dan waktu yang lama untuk mengumpulkan

data kontinyu/variable (Suef, 2002).

Untuk mendapatkan DPO terlebih dahulu harus dicari DPU (Defect Per Unit)

dengan rumus sebagai berikut

(2.15)

Dimana: d = frekuensi atau jumlah cacat yang ditemukan

u = jumlah unit yang diproduksi

Kemudian dicari DPO dengan rumus:

DPO

(2.16)

DPO adalah dasar untuk menentukan nilai Z (Zlt) menggunakan data diskrit. Zlt

kemudian didapatkan dari tabel nilai indeks untuk kapabilitas proses long term.

2.6.3 Tahap Analyze

Pada tahap ini dilakukan analisis non value added activity, analisis kapabilitas

proses long term dan analisis pada waste yang berpengaruh terhadap proses produksi.

Tujuan dari analisis waste adalah mencari faktor-faktor yang apabila dilakukan

perbaikan akan memperbaiki kinerja proses. Faktor-faktor yang menyebabkan waste

tersebut dicari melalui root cause analysis untuk menentukan akar utama penyebab

waste yang berpengaruh. Selanjutnya dilakukan penghitungan RPN (risk priority

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

24

number) untuk menentukan prioritas perbaikan menggunakan FMEA (failure mode and

effect analysis).

2.6.3.1 Analisis Kapabilitas Proses

Analisis kapabilitas proses merupakan salah satu bagian penting di dalam program

perbaikan kualitas keseluruhan, dengan kegunaan utama sebagai berikut (Montgomery,

2002):

– Memperkirakan seberapa baik proses yang diamati mampu memenuhi syarat

toleransi yang diinginkan

– Membantu product developers/ designers di dalam memilih atau memodifikasi

sebuah proses

– Membantu menetapkan suatu interval antar sampel untuk keperluan memonitor

proses

– Mengurangi variabilitas proses manufacturing

2.6.3.2 Root Cause Analysis (5 whys)

Menurut Juran (dalam Syahindri, 2010), RCA merupakan suatu metodologi untuk

mengidentifikasi dan mengoreksi sebab-sebab yang penting dalam permasalahan

operasional dan fungsional. Metode RCA sangat berguna untuk menganalisis suatu

kegagalan sistem tentang hal yang tidak diharapkan yang terjadi, bagaimana hal itu bisa

terjadi, dan mengapa hal itu bisa terjadi. Tujuan dari penggunaan RCA adalah untuk

mengetahui penyebab masalah atau kejadian dengan mengidentifikasi akar-aka pnyebab

masalah tersebut. Dengan demikian, RCA sangat baik digunakan untuk

mengidentifikasi akar dari suatu masalah yang berpotensi dapat menimbulkan resiko

operasional di bagian produksi. Langkah-langkah dalam menyusun RCA adalah:

1. Mengetahui starting point, mengetahui problem pada level tertinggi

2. Melakukan brainstorming untuk mengetahui penyebab pada level sebelumnya

3. Untuk mengidentifikasi penyebab lakukan beberapa pertanyaan”mengapa penyebab

ini menjadi problem”

4. Melakukan pertanyaan yang baru dan melakukan beberapa pertanyaan terus-menerus

hingga tidak bisa dijawab, sehingga itu merupakan penyebab yang utama.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

25

2.6.3.3 FMEA

FMEA merupakan salah satu alat dari Six Sigma untuk mengidentifikasi sumber-

sumber atau penyebab dari suatu masalah kualitas. Menurut Chrysler (1995), FMEA

dapat dilakukan dengan cara :

1. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan potensi suatu produk dan efeknya.

2. Mengidentifikasi tindakan yang bisa menghilangkan atau mengurangi kesempatan

dari kegagalan potensi terjadi.

3. Pencatatan proses (document the process)

Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka tim FMEA harus

mendefinisikan terlebih dahulu tentang Severity, Occurrence, Detection, serta hasil

akhirnya yang berupa Risk Priority Number.

Tabel 2.5 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Severity of Effects Dalam FMEA

Process Rating Description Definition (Severity of Effect)

10 Dangerously high Failure could injure the customer or an employee.

9 Extremely high Failure would create noncompliance with federal regulations.

8 Very high Failure renders the unit inoperable or unfit for use.

7 High Failure causes a high degree of customer dissatisfaction.

6 Moderate Failure results in a subsystem or partial malfunction of the product.

5 Low Failure creates enough of a performance loss to cause the customer to

complain.

4 Very Low Failure can be overcome with modifications to the customer’s process

or product, but there is minor performance loss.

3 Minor Failure would create a minor nuisance to the customer, but the

customer can overcome it without performance loss.

2 Very Minor Failure may not be readily apparent to the customer, but would have

minor effects on the customer’s process or product.

1 None Failure would not be noticeable to the customer and would not affect

the customer’s process or product.

Sumber: Rakesh (2013)

Tabel 2.6 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Occurancy of Effects Dalam FMEA

Process

Rating Description Potential Failure Rate

10 Very High: Failure is

almost inevitable.

More than one occurrence per day or a probability of more than

three occurrences in 10 events (Cpk< 0.33).

9 High: Failures occur

almost as often as

not.

One occurrence every three to four days or a probability of three

occurrences in 10 events (Cpk≈ 0.33).

8 High: Repeated

failures.

One occurrence per week or a probability of 5 occurrences in

100 events (Cpk≈ 0.67).

7 High: Failures occur

often.

One occurrence every month or one occurrence in 100 events

(Cpk≈ 0.83).

6 Moderately High:

Frequent failures.

One occurrence every three months or three occurrences in

1,000 events (Cpk≈ 1.00).

5 Moderate:

Occasional failures.

One occurrence every six months to one year or five

occurrences in 10,000 events (Cpk≈ 1.17).

4 Moderately Low:

Infrequent failures.

One occurrence per year or six occurrences in 100,000 events

(Cpk≈ 1.33).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

26

Lanjutan Tabel 2.6 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Occurancy of Effects Dalam

FMEA Process

Rating Description Potential Failure Rate

3 Low: Relatively few

failures.

One occurrence every one to three years or six occurrences in

ten million events (Cpk≈ 1.67).

2 Low: Failures are

few and far between.

One occurrence every three to five years or 2 occurrences in one

billion events (Cpk≈ 2.00).

1 Remote: Failure is

unlikely.

One occurrence in greater than five years or less than two

occurrences in one billion events (Cpk> 2.00).

Sumber: Rakesh (2013)

Tabel 2.7 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Detection of Effects Dalam FMEA

Process

Rating Description Definition

10 Absolute

Uncertainty

The product is not inspected or the defect caused by failure is

not detectable.

9 Very Remote Product is sampled, inspected, and released based on Acceptable

Quality Level (AQL) sampling plans.

8 Remote Product is accepted based on no defectives in a sample.

7 Very Low Product is 100% manually inspected in the process.

6 Low Product is 100% manually inspected using go/no-go or other

mistake-proofing gauges.

5 Moderate Some Statistical Process Control (SPC) is used in process and

product is final inspected off-line.

4 Moderately High SPC is used and there is immediate reaction to out-of-control

conditions.

3 High An effective SPC program is in place with process capabilities

(Cpk) greater than 1.33.

2 Very High All product is 100% automatically inspected.

1 Almost Certain The defect is obvious or there is 100% automatic inspection with

regular calibration and preventive maintenance of the inspection

equipment.

Sumber: Rakesh (2013)

2.6.4 Tahap Improve

Pada tahap ini diterapkan suatu rencana tindakan untuk melaksanakan peningkatan

kualitas Lean Six Sigma agar hasil perbaikan bisa berkesinambungan. Akar penyebab

(cause) kritis tersebut diambil dari cause dengan nilai RPN tertinggi pada FMEA dari

masing-masing jenis defect dan dilakukan penarikan improvement yang mungkin bisa

dilakukan. Rencana tersebut nantinya mendeskripsikan tentang alokasi sumber daya

serta prioritas atau alternatif yang dilakukan. Untuk menentukan alternatif terbaik,

digunakan metode value based management. Konsep ini menentukan value berdasarkan

performance dan biaya yang dikeluarkan.

2.6.4.1 Value-based Management

Robbins dan Coulter (2005) menjelaskan bahwa manajemen berbasis nilai

merupakan pendekatan yang dapat digunakan manajer di seluruh bidang manajemen

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

27

untuk organisasi sesuai dengan nilai yang dimiliki perusahaan. Pendekatan in bertujuan

untuk membantu perusahaan dalam mengembangkan pedoman bagi tindakan dan

keputusan manajer, membentuk prilaku karyawan, mempengaruhi usaha-usaha

pemasaran dan membangun semangat tim sehingga dapat memaksimalkan nilai

perusahaan. Berdasarkan definisi tersebut, perusahaan dapat menggunakan pendekatan

value-based management dalam membuat keputusan mengenai perbaikan yang akan

digunakan dalam mengatasi pemborosan (waste).

Setelah memperoleh alternatif rekomendasi perbaikan, maka dalam menentukan

kombinasi alternatif solusi terbaik dapat dilakukan dengan cara menentukan value dari

pembagian antara nilai performance dan cost. Dan hasil value tersebut dibandingkan

dengan value kondisi perusahaan saat ini, sehingga usulan alternatif solusi tersebut akan

diterima jika value yang dihasilkan melebihi value kondisi perusahaan saat ini

(Setiawan, 2011). Berikut ini adalah persamaan untuk melakukan perhitungan value:

(2.17)

Pada persamaan (2.14), satuan dari cost adalah dolar, sedangkan nilai performance

tanpa satuan. Untuk itu, nilai performance perlu dikonversikan dalam satuan dolar.

Untuk mengetahui value dari masing-masing alternatif solusi, maka saat kondisi

eksisting (do nothing) diasumsikan bernilai 1. Asumsi tersebut dilakukan untuk

mempermudah menghitung value dari alternatif. Persamaan lain yang diperlukan untuk

menghitung value adalah sebagai berikut:

(2.18)

Cn = Co + Biaya perbaikan (2.19)

Vn =

(2.20)

Keterangan

Vn = Value alternatif ke-n

P0 = Performance awal

Pn = Performance alternatif ke-n

C0 = Cost Awal

Cn = Cost alternatif ke-n

PCn = Biaya performansi ke-n

Nilai performance tiap kombinasi alternatif diperoleh melalui pembuatan kuisioner

yang diberikan kepada pihak produksi dalam hal ini adalah supervisor dan beberapa

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ub.ac.id/142661/3/Bab_2_Fix.pdfberhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam analisis. Tinjauan pustaka bersumber

28

operator produksi. Sementara biaya dari masing-masing alternatif solusi didapatkan

melalui data perusahaan dan brainstorming dengan pihak akutansi di perusahaan.

2.6.5 Tahap Control

Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan

disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam peningkatan proses

distandarisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan

dijadikan sebagai pedoman kerja standar.