bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Resiko Perilaku Kekerasan
1. Pengertian
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah
tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat
perasaan – perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan
marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi
ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau
riwayat perilaku kekerasan (Muhith, 2015:178).
Jadi menurut pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan adalah tindakan dimana seseorang dapat membahayakan diri
sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Tindakannya dapat berupa
verbal seperti marah – marah, berteriak, mengancam. Dan non verbal
seperti merusak, memecahkan atau membanting benda – benda yang ada
disekitar.
2. Faktor Prediposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku
kekerasan adalah :
a. Teori Biologis
1) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan - pesan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah
antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang
merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional
dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan
tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29).
2) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007)
dalam gen manusia terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang
tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut
penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki
oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang
tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100).
3) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan
menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100). Faktor Biokimia
4) Faktor biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat
berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan
dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta
penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid)
pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
5) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom
otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi
ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
b. Teori Psikologis
1) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak
mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang
cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan
setelah dewasa sebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada
lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak
kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101).
2) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan
perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu
penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif (semakin keras
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan yang
sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka tersebut
dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah
anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah dilihatnya
(Mukripah Damaiyanti,2012: hal 101).
3) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat
marah (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
3. Faktor Presipitasi
Yosep & Sutini (2014) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan
Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian massal dan sebagainya.
a. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
c. Seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
d. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
4. Penilaian Stressor
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot atau pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Bicara ketus dan membentak
f. Wajah memerah dan tegang
g. Postur tubuh kaku
h. Pandangan tajam
i. Jalan mondar mandiri
Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika
Sari, 2015: 138) :
a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam Klien
mengungkapkan perasaan tidak berguna
b. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
c. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdeba
debar, rasa tercekik dan bingung
d. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
e. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
5. Sumber Koping
Menurut Yosep (2011) mengungkapkan bahwa sumber koping dibagai
menjadi 4, yaitu sebagai berikut :
a. Personal Ability meliputi : kemampuan untuk mencari informasi
terkait masalah, kemampuan mengidentifikasi masalah, pertimbangan
alternatif, kemampuan mengungkapkan / konfrontasi perasaan marah,
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
tidak semangat untuk menyelesaikan masalah, kemampuan
mempertahankan hubungan interpersonal, mempunyai pegetahuan
dalam pemecahan masalah secara asertif, intelegensi kurang dalam
menghadapi stressor, identitas ego tidak adekuat.
b. Sosial Support meliputi : dukungan dari keluarga dan masyarakat,
keterlibatan atau perkumpulan di masyarakat dan pertentangan nilai
budaya.
c. Material Assets meliputi : penghasilan yang layak, tidak ada benda
atau barang yang biasa dijadikan aset, tidak mempunyai tabungan
untuk mengantisipasi hidup, tidak mampu menjangkau pelayanan
kesehatan.
d. Positive Belief meliputi : distress spirituaL, adanya motivasi, penilaian
terhadap pelayanan kesehatan.
6. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang megalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahaya akan masuk
kedalam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan
hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci
itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan
dengan melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakan sebagai rintangan misalnya seseorangan yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada
objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu, misalnya: timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).
7. Rentang Respon
Rentang respon
Adaptif Maladaptif
2.1 Tabel Rentang Respon Marah
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Asertif Frustasi Pasif Agresif PK
Klien mampu
mengungkap
kan rasa
marah tanpa
menyalahkan
orang lain
dan
memberikan
kelegaan.
Klien gagal
mencapai
tujuan
kepuasan saat
marah dan
tidak dapat
menemukan
alternatifnya.
Klien merasa
tidak dapat
mengungkap
kan
perasaannya,
tidak berdaya
dan
menyerah.
Klien
mengekspre
sikan secara
fisik, tapi
masih
terkontrol,
mendorong
orang lain
dengan
ancaman.
Perasaan
marah dan
bermusuhan
yang kuat
dan hilang
kontrol
disertai
amuk,
merusak
lingkungan.
Sumber : (Yosep, 2010)
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif : (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
96)
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Menurut Yosep (2010), pada dasarnya pengkajian pada pasien perilaku
kekerasan ditujukan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-
spiritual.
a. Identitas pasien meliputi biodata pasien.
b. Keluhan utama
Setelah dilakukan wawancara dan observasi, muncul data subyektif
dan data subyektif dari hasil wawancara dan observasi (Yosep, 2011) :
1) Data Subyektif (DS) :
a) Ungkapan berupa ancaman
b) Ungkapan kata – kata kasar
c) Ungkapan ingin memukul / melukai
2) Data Obyektif (DO) :
a) Wajah memerah atau tegang
b) Pandangan tajam
c) Mengatupkan rahang dengan kuat
d) Mengepalkan tangan
e) Bicara kasar
f) Suara tinggi atau berteriak
g) Melempat atau memukul benda/orang lain
c. Aspek biologis
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Respon biologis timbul karena ada kegiatan system saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine
meningkat. Tanda gejala perilaku kekerasan seperti : ketegangan otot,
rahang terkatup, tangan mengepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal
ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah
(Yosep, 2010).
d. Aspek Emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
mengamuk, bermusuhan, dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut
(Yosep, 2010).
e. Aspek Intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indera sangat penting untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual
sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintergrasi (Dermawan & Rusdi, 2013).
f. Aspek Sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata – kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri
dari orang lain, menolak mengikuti aturan (Dermawan & Rusdi,
2013).
g. Aspek Spiritual
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan
individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma
yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan moral dan rasa tidak berdosa (Yosep, 2010).
2. Diagnosa Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian selanjutnya adalah penegakan diagnosa
keperawatan. Diagnosis keperawatan risiko perilaku kekerasan
dirumuskan jika klien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan, tetapi
pernah melakukan perilaku kekerasan dan belum mampu mengendalikan
perilaku kekerasan tersebut (Sutejo,2017). Masalah keperawatan yang
mungkin muncul untuk masalah perilaku kekerasan adalah : (Dermawan
& Rusdi, 2013)
Resiko Perilaku kekerasan
Dalam SDKI 2017, Risiko perilaku kekerasan adalah kemarahan yang
diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali secara verbal sampai
dengan mencederai orang lain dan / atau merusak lingkungan. Resiko
perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh ketidakmampuan
mengendalikan kemampuan marah, stimulus lingkungan, konflik
interpersonal, perubahan status mental, putus obat dan penyalahgunaan zat
/ alcohol.
Diagnosa resiko perilaku kekerasan memiliki dua tanda gejala yaitu
mayor dan minor. Untuk tanda gejala mayor antara lain mengancam,
mengumpat, suara keras, bebricara ketus, menyerang orang lain, melukai
diri sendiri, merusak lingkungan, perilaku agresif / amuk. Sedangkan
untuk tanda gejala minor antara lain mata melotot atau pandangan tajam,
tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, postur tubuh kaku.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Berikut adalah rencana tindakan keperawatan yang dilakukan pada
pasien dengan risiko perilaku kekerasan :
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
2.2. Tabel Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi
Resiko Perilaku Kekerasan
Definisi : Kemarahan Yang
Diekspresikan Secara
Berlebihan Dan Tidak
Terkendali Secara Verbal
Sampai Dengan Mencederai
Orang Lain Dan/Atau
Merusak Lingkungan.
Penyebab :
1. Ketidakmampuan
Mengendalikan Dorongan
Marah
2. Stimulus Lingkungan
3. Konflik Intrapersonal
4. Perubahan Status Mental
5. Putus Obat
6. Penyalahgunaan
Zat/Alcohol
Tanda Dan Gejala Mayor:
Subjektif :
- Mengancam
- Mengumpat
- Suara Keras
- Bicara Ketus
Objektif :
- Menyerang Orang Lain
- Melukai Diri Sendiri /
Orang Lain
- Merusak Lingkungan
- Perilaku Agresif / Amuk
Tanda Dan Gejala Minor :
Subjektif : (Tidak Tersedia)
Setelah Dilakukan
Intervensi Selama 30
Menit, Maka [Kontrol
Diri] [Meningkat],
dengan Kriteria Hasil :
- Verbalisasi ancaman
kepada orang lain
menurun
- Verbalisasi umpatan
menurun
- Verbalisasi
menyerang menurun
- Perilaku melukai
diri sendiri/orang
Lain menurun
- Perilaku merusak
lingkungan menurun
- Perilaku agresif/
ngamuk menurun
- Suara keras
menurun
- Bicara keras
menurun
Manajemen
Pengendalian Marah
Observasi
- Identifikasi
penyebab/pemicu
marah
- Identifikasi
harapan perilaku
terhadap ekspresi
kemarahan
- Monitor potensi
agresif tidak
konstruktif dan
lakukan tindakan
sebelum agresif
Terapeutik
- Gunakan
pendekatan yang
tenang dan
meyakinkan
- Fasilitasi
mengekspresikan
marah secara
adaptif
- Cegah kerusakan
fisik akibat marah
- Cegah aktifitas
pemicu agresi
- Dukung
menerapkan
strategi
pengendalian
marah dan ekspresi
amarah adaptif
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Objektif :
- Mata Melotot
- Tangan Mengepal
- Rahang Mengatup
- Wajah Memerah
- Postur Tubuh Kaku
Kondisi Klinis Terkait :
- Attention deficit /
hyperactive disorder
(ADHD)
- Gangguan perilaku
- Oppositional defiant
disorder
- Gangguan Tourette
- Delirium
- Demensia
- Gangguan amnestic
Edukasi
- Jelaskan makna,
fungsi marah,
frustasi dan respon
marah
- Anjurkan meminta
bantuan perawat
atau keluarga
selama ketegangan
meningkat
- Ajarkan strategi
mencegah ekspresi
marah maladaptif
- Ajarkan metode
untuk memodulasi
pengalaman emosi
yang kuat (mis.
teknik relaksasi :
Berikan terapi
musik klasik)
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian obat,
jika perlu
Sumber : (SIKI, 2018) & (SLKI,2019)
4. Implementasi Keperawatan
Setelah dibuat rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan
kepada pasien dengan resiko perilaku kekerasan, selanjutnya adalah
menerapkan rencana tersebut kepada pasien dan dilakukan evaluasi setiap
selesai pemberian implementasi (Sutejo,2017).
Implementasi yang dilakukan berdasarkan rencana intervensi yang
telah disusun untuk mengontrol marah pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan berdasarkan SIKI menurut PPNI (2018).
5. Evaluasi Keperawatan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dalam proses asuhan
keperawatan. Evaluasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan di
dokumentasikan dalam bentuk SOAP (Subjectif, Objectif, Assessment,
Planning) yang mengacu pada luaran berdaarkan SLKI (2019) yaitu :
2.3 Tabel Evaluasi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1 Resiko Perilaku Kekerasan Subjektif (S)
a. Pasien mengatakan merasa
lebih tenang
b. Pasien mengatakan marah /
jengkel berkurang
Objektif (O)
a. Perilaku melukai diri
sendiri/orang Lain menurun
b. Perilaku merusak lingkungan
menurun
c. Perilaku agresif/ ngamuk
menurun
d. Suara keras menurun
e. Bicara keras menurun
Assessment (A)
a. Tujuan tercapai apabila respon
pasien sesuai dengan tujuan
dan kriteria hasil
b. Tujuan belum tercapai apabila
respon pasien tidak sesuai
dengan tujuan dan kriteria hasil
yang telah ditentukan
Planning (P)
a. Pertahankan kondisi pasien
apabila tujuan tercapai
b. Lanjutkan intervensi apabila
terdapat tujuan yang belum
tercapai oleh pasien
Sumber : PPNI (2017)
2.3 Konsep Teori Musik Klasik
1. Definisi
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
Terapi musik merupakan intervensi alami non invasif yang dapat
diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi,
harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2007 dalam
Pratiwi 2014). Terapi musik merupakan salah satu bentuk dari teknik relaksasi
yang bertujuan untuk mengurangi agresif, memberikan rasa tenang, sebagai
pendidikan moral, mengendalikan emosi, pengembangan spritual dan
menyembuhkan gangguan psikologis (Aprini et al., 2018).
2. Manfaat Terapi Musik
Manfaat terapi musik antara lain (Djohan, 2006 dalam Solehati &
Cecep, 2015) :
a. Mampu menutupi bunyi dan perasaan yang tidak menyenangkan
b. Mempengaruhi pernafasan
c. Mempengaruhi denyut jantung, nadi dan tekanan darah manusia
d. Bisa mempengaruhi suhu tubuh manusia
e. Bisa menimbulkan rasa aman dan sejahtera
f. Bisa mempengaruhi rasa sakit.
Terapi musik dapat menyembuhkan warga frankfur yang menderita
penyakit keturunan yang menyakitkan dan sampai saat ini belum ada
obatnya. Jaringan ikatnya melemah hingga menggangu organ dalam
lainnya termasuk jantung. Sudah tiga kali mengalami serangan jantung
ringan, pada mulanya musik dari handphone selama 15 menit untuk
membebaskan dari keadaan stress, berdasarkan perantauan aktivitas
ototnya. Setelah tiga minggu dirawat dengan terapi musik, cuman 5 menit
mendengarkan musik sudah bisa tenang (Faradisi, 2012).
3. Jenis Terapi Musik
Jenis terapi musik antara lain musik instrumental dan musik klasik.
Musik yang dapat dihindari untuk terapi seperti musik pop, rock and roll.
Musik instrumental bermanfaat menjadikan badan, pikiran, dan mental
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
menjadi lebih sehat. Musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang
menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa
gembira dan sedih, menurunkan tingkat kemarahan, dan melepaskan rasa sakit
dan menurunkan stress (Aditia, 2012).
4. Cara Kerja Terapi Musik
Terapi musik dapat membantu memperkuat kesadaran dan
meningkatkan organisasi seseorang jika didengarkan selama 10 – 15
menit. Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran disalurkan
kebagian otak, sehingga dapat mempengaruhi gelombang otak yaitu
gelombang alfa dan gelombang theta. Pada gelombang alfa (8 – 13,9 Hz)
ini, terdapat pintu menuju bawah sadar, dimana otak bekerja secara
optimal. Orang sedang rileks, melamun, atau berkhayal, gelombangnya
sedang berada dalam level ini. Dalam kondisi ini, otak memproduksi
hormon serotinin dan endorfin yang menyebabkan seseorang merasa
nyaman, tenang, dan bahagia. Hormon ini membuat pembuluh darah
terbuka lebar, detak jantung stabil dan kapasitas indera kita meningkat.
Gelombang selanjutnya adalah Theta (4 - 9 Hz). Gelombang theta
gelombang otak yang terjadi pada saat seseorang mengalami tidur ringan,
atau sangat mengantuk. Tanda – tandanya napas mulai melambat dan
dalam. Selain orang yang sedang diambang tidur, beberapa orang juga
menghasilkan gelombang otak ini saat diberikan rangsangan suara. Pada
sebagian orang lebih cocok dengan gelombang Theta untuk memasuki
kondisi rileks (Damayanti dkk, 2014)
Menurut Djohan 2006, gambaran mekanisme sensorik terhadap
fisiologi tubuh manusia otak bagian kiri adalah proses analisa kognitif dan
aktifitas, sedangkan bagian kanan sebagai artistic, kreatifitas imajinasi.
Unsur-unsur musik yaitu irama nada dan intensitasnya masuk ke kanalis
iuditorus telinga luar dan disalurkan ke tulang tulang pendengaran, musik
tersebut akan dihantarkan ke thalamus. Musik mampu mengaktifkan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
memori yang tersimpan dilimbik dan mempengaruhi sistem saraf otonom
melalui neurotransmitter yang akan mempengaruhi hipotalamus ke
hipofise. Musik yang telah masuk ke kelenjar hipofise mampu
memberikan tanggapan terhadap emosional melalui feedback negative
kekelenjar adrenal untuk menekan pengeluaran hormone pineprin,
neoropineprin, dan dopamin yang disebut hormon - hormon stress.
Masalah mental seperti ketegangan stress berkurang (Presla & Agstya,
2018).
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan terapi
musik yaitu :
a. Jangan memberikan suara yang terlalu keras
b. Waktu untuk merileksasikan selama 15-30 menit
c. Beri waktu klien untuk memilih jenis lagu yang disukai sesuai terapi
d. Memeriksa apakah klien benar-benar rileks dan mendengarkan musik
terapi (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
5. Tahapan Pemberian Terapi Musik Klasik
a. Persiapan alat
1) Persiapan alat dan lingkungan :
a) Siapkan headset dan mp3 jenis musik yang digunakan (Musik
klasik mozart)
b) Lingkungan yang tenang, nyaman dan bersih.
2) Persiapan klien :
a) Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan, serta meminta
persetujuan klien untuk mengikuti terapi musik;
b) Posisikan tubuh klien secara nyaman dan rileks
c. Langkah Kerja
Langkah – langkah kerja menurut Setyoadi & Kusharyadi (2011) :
1) Memberi kesempatan klien menentukan judul musik klasik yang
tersedia.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--
2) Mengaktifkan mp3 menggunakan headset dan mengatur volume
suara sesuai dengan selera klien.
3) Mempersilahkan klien mendengarkan musik selama 30 menit.
4) Saat klien mendengarkan musik arahkan untuk fokus dan rileks
terhadap lagu yang didengar dan melepaskan semua beban yang
ada.
5) Setelah musik berhenti klien dipersilahkan mengungkapkan
perasaan yang muncul saat musik tersebut diputar, serta perubahan
yang terjadi dalam dirinya.
d. Kriteria Evaluasi
Menurut Setyoadi & Kusharyadi (2011) adalah :
1) Mengkaji proses dan hasil terapi musik yang telah dilakukan
setelah 15 menit.
2) Klien tidak mengalami stress
3) Klien merasa lebih tenang.
4) Klien tidak menunjukan gejala perilaku kekerasan.
5) Catat waktu pelaksanaan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya--