bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori, dan … ii.pdf9 bab ii tinjauan pustaka, konsep,...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini belum pernah diadakan sebelumnya, namun ada beberapa
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yang dijadikan sebagai
pembanding antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang diangkat penulis,
sehingga akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Adapun penelitian-
penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai acuan adalah penelitian dari Astiti
(2003), Sutiarso (2004), Danendra (2005), Sulistyawati (2011) dan Geovani
(2014).
Penelitian Astiti (2003) tentang “Penerapan Tri Hita Karana dalam
Pengembangan Ekowisata pada Waka Gangga Resort Tabanan” menunjukkan
bahwa penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan ekowisata lebih banyak
mempunyai kekuatan (sawah yang luas berterasering dan pemandangan laut),
peluang (kegiatan penanam padi, perahu dan memancing), kelemahan (tanpa
memperhatikan daya dukung lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakat
lokal).
Penelitian yang dilakukan oleh Sutiarso (2004) tentang “Ekowisata di
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Jawa Timur” menyebutkan bahwa
pariwisata di Bromo berbasis pada masyarakat lokal (Tengger). Melalui
keterlibatan masyarakat lokal dalam usaha-usaha yang terkait dengan pariwisata
(kepemilikan kuda, jeep, dan homestay), masyarakat lokal dapat menikmati
10
langsung hasil pariwisata melalui keterlibatan tersebut. Hal yang menarik dalam
penelitian ini bahwa masyarakat lokal tetap mendapatkan keuntungan ekonomi
secara langsung dari pariwisata di daerahnya dengan mengontrol dengan ketat
terhadap kepemilikan jasa-jasa pariwisata. Hal ini merupakan kunci utama untuk
mendapatkan kesejahteraannya. Pemanfaatan Taman Nasional untuk tujuan
pariwisata secara finansial dan ideologis dapat didukung sepanjang tidak merusak
lingkungan. Pemanfaatan pariwisata itu penting untuk mendukung eksistensi
Taman Nasional dan juga eksistensi masyarakat lokal yang tinggal di kawasan
tersebut.
Menurut Cochrane (dalam Sutiarso, 2004:13) yang meneliti wisata alam
Bromo-Tengger mengatakan bahwa kegiatan pariwisata alam tidak mungkin
secara sendirian dapat mendukung konservasi pada area yang ditargetkan.
Dukungan pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan dan insentif masih
esensial dilakukan. Unsur nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakat,
perencanaan yang terintegrasi, dan dorongan pemegang kebijakan dalam wujud
peraturan-peraturan dan insentif sangat penting dilakukan sehingga
pengembangan dan pengelolaan suatu wilayah dapat menekan bahkan
menghilangkan konflik-konflik kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan dan
budaya yang mungkin terjadi.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Danendra (2005) dengan
judul “Evaluasi Perkembangan Kawasan Pariwisata Lovina di Kabupaten
Buleleng”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan
kawasan pariwisata Lovina di Kabupaten Buleleng untuk menuju pariwisata
11
berkelajutan. Permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab
turunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Lovina, untuk mengetahui dampak
yang ditimbulkan dari kunjungan wisatawan dan untuk mengevaluasi
perkembangan kawasan pariwisata Lovina dari aspek fisik, ekonomi, sosial dan
budaya. Data yang terkumpul diperoleh dari kelompok diskusi, observasi, dan
wawancara serta data hasil penelitian yang dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa aspek
fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami telah kemunduran. Dampak dari
penurunan tersebut berdampak terhadap penurunan ekonomi masyarakat lokal.
Secara garis besar, penelitian ini banyak memiliki kesamaan dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh penulis, baik itu dari segi konsep dan metode yang
digunakan. Penelitian ini juga memberikan banyak inspirasi untuk melakukan
evaluasi pengembangan ekowisata menuju keberlanjutan. Namun hal yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah jenis objek yang
diteliti dan teori yang digunakan, dimana Danendra melakukan mengambil daya
tarik wisata pantai sebagai objek penelitian, sedangkan objek dalam penelitian ini
adalah ekowisata.
Penelitian Sulistyawati (2011) tentang “Pengembangan Ekowisata di
Banjar Nyuh Kuning Kelurahan Mas Ubud Gianyar Bali dilihat dari Prinsip dan
Kriteria Ekowisata Bali” bertujuan untuk mengevaluasi pengembangan ekowisata
di Banjar Nyuh Kuning serta alternatif pengembangan produk ekowisata yang
ideal dikembangkan di Banjar Nyuh Kuning. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar prinsip dan kriteria ekowisata sudah sesuai
12
dengan hasil Lokakarya dan Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali tahun 2006
sudah terpenuhi seperti prinsip menyediakan pemahaman yang dapat memberikan
peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaan
terhadap alam, prinsip memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta
sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat lokal,
prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan
masyarakat lokal, prinsip mentaati perundang-undangan yang berlaku, prinsip
pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan
masyarakat lokal, prinsip secara konsisten memberikan kepuasan kepada
konsumen, serta prinsip sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai
dengan konsep Tri Hita Karana. Namun, Sulistyawati menambahkan bahwa
alternatif pola pengembangan ekowisata yang ideal dapat dilakukan yaitu dengan
memenuhi dua kriteria tambahan yang belum terpenuhi yaitu prinsip memiliki
kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi dan warisan
budaya dan prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat
sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab).
Tujuan dari penelitian Sulistyawati (2011) memiliki kesamaan dalam
penelitian ini yaitu mengkaji kesesuaian dari prinsip-prinsip ekowisata di suatu
kawasan wisata. Namun yang membedakannya adalah kawasan wisata yang
dijadikan sebagai objek penelitian. Sulityawati mengambil objek di Banjar Nyuh
Kuning Kelurahan Mas Ubud Gianyar Bali. Sedangkan dalam penelitian ini
mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di
Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Palangka Raya.
13
Penelitian yang dilakukan oleh Geovani (2014) berjudul “Pengembangan
Potensi Ekowisata di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kecamatan Bukit
Batu Provinsi Kalimantan Tengah” bertujuan untuk mengetahui potensi ekowisata
yang dimiliki oleh Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, persepsi
wisatawan terhadap aspek produk wisata di kawasan tersebut, dan bagaimana
pengembangan potensi ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa potensi atraksi ekowisata
yang dimiliki Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah
termasuk dalam kategori “menarik”. Aktifitas sosial budaya masyarakat, kesenian
tradisional, menjelajah hutan, pura agama Hindu-Kaharingan, penangkaran
buaya, dan lainnya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik
wisata yang berkonsep ekowisata. Kesamaan dalam penelitian ini adalah meneliti
Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Namun yang membedakannya
adalah fokus penelitian yang menjadi tujuan khusus dari penelitian. Geovani
(2014) berfokus pada pengembangan potensi ekowisata di TWA Bukit
Tangkiling, sementara penelitian ini mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip
ekowisata dalam pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling.
Manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian-penelitian tersebut adalah
pariwisata terutama ekowisata perlu dikembangkan agar terjadi konservasi alam,
budaya maupun meningkatkan perekonomian masyarakat. Ini semua bisa
terrealisasi dengan baik dan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
14
2.2 Konsep
2.2.1 Ekowisata
Ekowisata (eco-tourism) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah Nomor 33 Tahun 2009 pasal 1
menyebutkan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang
bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendididkan, pemahaman, dan
dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam serta peningkatan
masyarakat lokal, kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1994 bahwa ekowisata adalah perjalanan untuk menikmati segala keunikan
alam di Taman Nasional, Huta Raya dan Taman Wisata Alam. Beberapa pendapat
lain tentang ekowisata adalah Ceballos-Lascurain (1988:33) yang lebih
menekankan pada faktor daerah alami. Selanjutnya The International Ecotourism
Society (1993:5) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan yang
bertanggung jawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan
meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Ekowisata merupakan konsep baru dalam ranah kepariwisataan yang
memiliki penekanan pada kelestarian lingkungan dan merupakan paradigma baru
tentang kegiatan pariwisata yang pro terhadap lingkungan dengan berbagai
kegiatan partisipasi wisatawan dan masyarakat lokal yang meliputi usaha
konservasi dan penyelamatan lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Dhanoa
(2013) bahwa “Eco-tourism means responsible travel to nature areas that
safeguards the integrity of the ecosystem and produces economic benefits for
local community that can encourage conservation. It is the creative way of
15
marrying the goals of ecological conservation and economic development”.
Ekowisata terlahir dari konsep sebelumnya yang lebih dikenal dengan pariwisata
alternatif yang artinya bahwa ekowisata merupakan konsep baru, turunan dari
konsep pariwisata alternatif tentang pariwisata masa kini.
The International Ecotourism Society (1990) mendefinisikan ekowisata
sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan
tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan
penduduk setempat. Bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari
oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan
kegiatan bisnis. Manu dkk. (2012) mengatakan bahwa “Ecotourism has the
potential to become a driver of sustainable tourism development and also provide
opportunities for the development of the disadvantaged, marginalized and rural
areas leading to poverty alleviation”. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai
bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab dan berpetualang ke area alami,
yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). The International
Ecotourism Society menyebutkan bahwa ada delapan prinsip pengembangan
ekowisata, yaitu:
1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap
alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan
sifat dan karakter alam dan budaya setempat.
2) Mengadakan pendidikan konservasi lingkungan dengan tujuan mendidik
wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya arti konservasi. Proses
pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
16
3) Pendapatan langsung untuk kawasan.
Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen
untuk pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung
penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat
dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan
meningkatkan kualitas kawasan.
4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata.
Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut
secara aktif.
5) Penghasilan masyarakat.
Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan
ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
6) Menjaga keharmonisan dengan alam.
Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan
utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Mengkonservasi
flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
7) Daya dukung (carrying capacity) lingkungan.
Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih
rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin
permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
17
8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara.
Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka
devisa negara dari belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dan
dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah
setempat.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka secara operasional konsep
ekowisata dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah konsep pariwisata yang
selalu berdasarkan pada asas keberlanjutan dan prinsip-prinsip penyelamatan
lingkungan baik lingkungan alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui tindakan
nyata terhadap pelestarian dan konservasi sumber daya yang ada.
2.2.2 Prinsip-prinsip ekowisata
Evaluasi formatif digunakan dalam menjawab rumusan masalah kedua
mengenai pengimplementasian dari prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata.
Pendekatan yang digunakan dalam hal ini yaitu menggunakan alat evaluasi dari
prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata menurut rumusan hasil revisi Lokakarya dan
Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali tahun 2006 yang sudah mengacu pada TIES
(The International Ecotourism Society) yang sudah dipasarkan oleh Green Globe
21. (Dalem, 2006:41).
Berikut beberapa dasar pertimbangan dalam menggunakan rumusan
tersebut sebagai alat evaluasi (Dalem, 2006):
1) Credible
Organisasi ekowisata tersebut dapat dipercaya oleh konsumen dan
diyakini kebenarannya. Hal ini terbukti sudah diterapkan di wilayah
18
Indonesia seperti Bali, Kalimantan, Sumatera, dan beberapa daerah
lainnya.
2) Affordable
Produk wisata mudah dipahami atau dipakai.
3) Accessible
Produk ekowisata terjangkau oleh konsumen atau wisatawan.
4) Instantly Recognizable
Produk ekowisata mudah dikenali oleh konsumen.
Adapun rumusan, prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata nasional (1996)
yang telah berhasil diperbaharui atau direvisi berdasarkan hasil Lokakarya dan
Pelatihan Ekowisata Nasional yang dilaksanakan di Sanur, Bali tahun 2006
(Dalem, 2006) menghasilkan rumusan sebagai berikut:
Prinsip Ekowisata:
Prinsip I: Memiliki kepedulian, komitmen, dan tanggung jawab terhadap
konservasi alam dan warisan budaya.
Kriteria-kriteria:
1. Tercapainya keseimbangan dalam pemanfaatan lahan.
2. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
3. Pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata yang
disesuaikan dengan peruntukan dan fungsinya.
4. Melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya yang disesuaikan
dengan daya dukung setempat.
5. Memperhatikan keberadaan endemisitas.
Prinsip II: Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada
wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan
kecintaannya terhadap alam.
19
Kriteri-kriteria:
1. Menyediakan pramuwisata professional dan berlisensi.
2. Menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai terkait
dengan objek ekowisata.
3. Melibatkan lembaga adat setempat.
Prinsip III: Ada proses pembelajaran/ edukasi dialogis antara masyarakat
dan wisatawan.
Kriteria-kriteria:
1. Melibatkan unsur akademis, pemerhati lingkungan serta lembaga terkait
(langsung atau tidak langsung).
2. Memberi pemahaman mengenai keanekaragaman hayati, cagar budaya
dan nilai-nilai budaya lokal. Menumbuhkan kesadaran dan kecintaan
terhadap alam dan budaya.
Prinsip IV: Pengembangan harus didasarkan atas persetujuan masyarakat
setempat melalui musyawarah.
Kriteria-kriteria:
1. Perencanaan, pengembangan, pengelolaan, dan pengawasannya perlu
mendapat persetujuan dari masyarakat setempat.
2. Melakukan koordinasi dengan masyarakat setempat dalam setiap tahap
pengembangannya.
3. Melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang
berdampak luas terhadap masyarakat, lingkungan, dan perusahaan.
Prinsip V: Memberdayakan dan mengoptimalisasi partisipasi serta
sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap
masyarakat setempat.
Kriteria-kriteria:
1. Memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan keahlian.
2. Memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek
ekowisata.
3. Melibatkan lembaga adat atau tradisional serta tokoh masyarakat
setempat.
20
Prinsip VI: Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kriteria-kriteria:
1. Mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mentaati dan menghormati kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat
setempat.
PrinsipVII: Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen.
Kriteria-kriteria:
1. Memberikan pelayanan informasi yang akurat kepada konsumen.
2. Menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan prima kepada
konsumen.
3. Memanfaatkan masyarakat setempat sebagai local guide.
4. Menyediakan fasilitas dan media untuk memperoleh umpan balik dari
konsumen.
Prinsip VIII: Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat
sehingga sesuai dengan harapan/ pemasaran yang bertanggung
jawab.
Kriteria-kriteria:
1. Materi pemasaran harus akurat, jelas, berkualitas, dan sesuai dengan
kenyataan.
2. Materi pemasaran harus melalui media promosi yang dipilih sesuai
dengan target market.
Prinsip IX : Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi
keagamaan masyarakat setempat.
Kriteria-kriteria:
1. Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep
masyarakat setempat, atau seperti Tri Hita Karana: memperhatikan
keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan),
hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), hubungan antara
manusia dengan lingkungan (palemahan).
2. Pembangunan dan operasioanal disesuaikan dengan tata krama, norma
setempat dan kearifan lokal.
21
3. Keberadaan dan kegiatan objek ekowisata tidak mengganggu aktifitas
keagamaan masyarakat setempat.
2.2.3 Strategi pengembangan kawasan ekowisata
Pengertian strategi yang diuraikan oleh beberapa ahli adalah suatu
rencana permainan untuk mencapainya Kotler (2002:91). Menurut Marpaung
(2000:52), strategi adalah suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan
keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen
bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah
kepada masa depan. Di dalam bidang manajemen, strategi sering diartikan sebagai
suatu upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini keuntungan
yang maksimal. Chander dalam (Rangkuti, 2001:3) mengatakan bahwa strategi
merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan
jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya.
Pengembangan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan sesuatu
untuk menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna (Poerwadarminto, 2002:45).
Sedangkan menurut Badudu dan Zain (1994:24), pengembangan adalah hal cara
atau hasil kerja mengembangkan. Menurut Suwantoro (2002:88-89),
pengembangan adalah memajukan dan memperbaiki atau meningkatkan sesuatu
yang sudah ada. Jadi, pengembangan dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan untuk membuat dari yang belum ada menjadi ada, dari yang sudah ada
menjadi lebih baik dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik, dan seterusnya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, strategi pengembangan adalah
usaha-usaha yang terencana dan tersusun secara sistematis yang dilakukan untuk
22
mengembangkan segala potensi yang telah ada dalam usaha meningkatkan dan
memperbaiki kondisi objek wisata, sehingga keberadaan objek wisata tersebut
tetap diminati wisatawan yang nantinya dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak.
Dalam pengembangan suatu kawasan ekowisata, tujuannya tidak hanya
untuk mengejar kebutuhan material semata, akan tetapi memilik landasan pijak
yang kokoh dalam menata, memanfaatkan dan mengembangkan ekowisata pada
prinsip-prinsip pengembangan ekowisata yang berkelanjutan dan hal ini menjadi
bagian penting dalam pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan sebagai
konsep dan pendekatan yang telah diakui secara nasional maupun internasional.
Perkembangan ekowisata di Indonesia hingga akhir tahun 1999 masih
terbilang lamban yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti belum adanya
pedoman yang dapat mendorong ekowisata menjadi kegiatan pelestarian alam dan
ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, masih rendahnya pemahaman mengenai
ekowisata oleh berbagai stakeholder terutama dari kaum birokrat yang dapat
dianggap penting sebagai pendorong maupun pelaksana kegiatan ekowisata. Hal
lain yang menyebabkan perkembangan ekowisata di Indonesia terbilang lamban
adalah karena masih adanya keraguan terhadap kebenaran konsep ekowisata yang
dapat dijadikan sebagai ekonomi berkelanjutan yang sekaligus mampu
memberdayakan masyarakat lokal.
Usman (1999) mengatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata di
Indonesia perlu melibatkan masyarakat lokal dalam setiap kegiatan
kepariwisataan. Dengan demikian dapat memberikan kesempatan kepada
23
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah daya tarik wisata untuk mengelola jasa-
jasa pelayanan bagi wisatawan.
Untuk menetapkan pengembangan bisnis ekowisata perlu memperhatikan
beberapa syarat- syarat seperti yang dinyatakan oleh Denman (2001), sebagai
berikut:
1) Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan efektif dan
investasi yang aman.
2) Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi
pendapatan wisata yang diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.
3) Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada dalam komunitas lokal.
4) Terjaminnya keamanan pengunjung.
5) Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah terhadap
pelayanan medis dan persediaan air bersih yang cukup.
6) Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah
tersebut.
Ketersediaan dan kualitas dari komponen produk wisata tersebut sangat
ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata, seperti pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2002).
Hidayati dkk. (2003) menyebutkan bahwa dalam mencapai ekowisata
yang berkelanjutan diperlukan monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan
ekowisata. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara internal yang
dilakukan oleh pengelola sendiri dan secara eksternal yang dilakukan oleh pihak-
pihak luar, seperti masyarakat, LSM, dan lembaga independen lainnya. Selain itu,
24
Hidayati dkk. juga menyebutkan bahwa usaha pengembangan ekowisata di
Indonesia masih dalam taraf wacana. Hal ini diindikasikan dari belum terbitnya
secara tersendiri peraturan perundang-undangan untuk pengembangan ekowisata.
Pengembangan ekowisata masih mengacu pada peraturan yang berkaitan dengan
wisata alam dan konservasi.
Pengembangan ekowisata berpengaruh posistif pada perluasan peluang
usaha dan kerja yang lahir karena adanya permintaan wisatawan. Kedatangan
wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk
menjadi pengusaha hotel, wisma homestay, restoran, warung, angkutan, dagang
asongan, sarana olahraga, jasa dan lain sebagainya.
Dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga
mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu prinsip edukasi dimana pengembangan
ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan
perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggungjawab, dan komitmen
terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Selain itu, tentunya penerapan
pengembangan ekowisata sebaiknya mencerminkan prinsip wisata dimana
pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman
orisinal kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat
berkelanjutan.
2.2.4 Pembangunan pariwisata berkelanjutan
The world Conservation Union (WCU) menyatakan bahwa pembangunan
pariwisata berkelanjutan merupakan proses pembangunan suatu tempat atau
daerah tanpa mengurangi nilai guna sumber daya yang ada. Secara umum hal ini
25
dapat dicapai dengan pengawasan dan pemeliharaan terhadap sumber-sumber
daya yang ada sekarang, agar dapat dinikmati untuk masa yang akan datang.
Pembangunan kepariwisataan akan dapat bertahan lama apabila menghubungkan
wisatawan sebagai penyokong dana terhadap fasilitas pariwisata dengan
pemeliharaan lingkungan.
Menurut The World Commisions for Environmental and Development
(WCED) dalam Damanik dan Weber (2006), konsep dari pariwisata berkelanjutan
merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan antara
kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup generasi di
masa yang akan datang. Artinya, dalam pembangunan hendaknya jangan
menghabiskan atau menguras sumber daya pariwisata untuk jangka pendek,
namun juga harus memperhatikan keberlanjutan pembangunan pariwisata jangka
panjang di masa mendatang.
Tourism Stream, Action Strategy yang diambil dari Globe ’90
Conference Vancouver, Canada (Swarbroke dalam Wirawan, 1998:10)
menyatakan bahwa kepariwisataan berkelanjutan merupakan bentuk dari
pengembangan ekonomi yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup dari
masyarakat lokal, memberikan image yang positif bagi wisatawan, pemeliharaan
kualitas lingkungan hidup yang tergantung dari masyarakat lokal dan wisatawan
itu sendiri.
Dalam pengembangan kepariwisataan, daya dukung (carrying capacity)
menjadi kunci dari sustainable tourism. Konsep ini mengacu pada penggunaan
secara maksimal dari suatu daya tarik wisata tanpa mengakibatkan kerusakan
26
sumber-sumber yang ada, mengurangi kepuasan turis atau menambah masalah
sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
Kingdoms Department of the Environment dalam Magdalena (2002:22)
juga memaparkan prinsip-prinsip dari pariwisata berkelanjutan, antara lain:
1) Lingkungan hidup mempunyai nilai yang tersirat sebagai asset dari
pariwisata dan keberadaannya harus dipertimbangkan untuk jangka
panjang.
2) Kepariwisataan harus dapat dikenalkan sebagai aktifitas yang positif dan
dapat memberikan keuntungan yang potensial kepada masyarakat di
tempat-tempat lain sekitarnya.
3) Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola, sehingga
lingkungan hidup dapat bertahan untuk jangka panjang dan kegiatan
pariwisata tidak boleh membawa dampak yang tidak diharapkan.
4) Kegiatan kepariwisataan dan pengembangan-pengembangannya harus
mempertimbangkan derajat kealamian dan karakter dari tempat dimana
mereka berlokasi.
5) Keserasian antara kebutuhan wisatawan, tempat dan penduduk sekitar
harus dicari dan dipertemukan.
Dari beberapa konsep yang dipaparkan mengenai konsep pariwisata
berkelanjutan, maka dapat diketahui klasifikasi pengembangan yang sustainable
atau yang non sustainable dalam Tabel 2.1.
27
Tabel 2.1
Pengembangan yang Sustainable dan Non Sustainable
Sustainable Non Sustainable
Konsep Umum:
1. Perkembangan lambat
2. Perkembangan terkontrol
3. Skalanya tepat
4. Untuk jangka panjang
5. Kualitas
6. Dikontrol dari dekat
Konsep Umum:
1. Perkembangan cepat
2. Perkembangan tidak
terkontrol
3. Skalanya yang tidak sesuai
4. Untuk jangka pendek
5. Kuantitas
6. Dikontrol dari jauh
Strategi Pengembangan:
1. Perencanaan baru pengembangan
2. Rencana memberikan pola
3. Memperhatikan pemandangan
secara keseluruhan
4. Tekanan dan keuntungan yang
disebarkan
5. Pengembang (developer) lokal
6. Arsitektur asli
Strategi Pengembangan:
1. Pengembangan baru
perencanaan
2. Proyek memberikan pola
3. Memusatkan pola pada obyek
tertentu
4. Menambah kapasitor
5. Developer dari luar
6. Tenaga kerja dari luar
7. Arsitektur tidak asli (non
vernacular)
Perilaku Turis/Wisatawan:
1. Bernilai tinggi
2. Maturity
3. Ada beberapa pengetahuan
mengenai bahasa lokal
4. Bijaksana dan peka
5. Tenang/tidak ramai
6. Perkunjungan yang berulang-
ulang
Perilaku Turis/Wisatawan:
1. Bernilai rendah
2. Tidak ada persiapan mental
3. Tidak ada pengetahuan akan
bahasa lokal
4. Intensive dan tidak peka
5. Menyolok
6. Tidak ingin kembali
Sumber: Swarbrooke 1998 (dalam Wirawan, 2009:34)
28
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori siklus hidup destinasi pariwisata
Pengembangan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan sesuatu
menjadi maju, baik, sempurna dan berguna (Poerwadarminta, 2002:474). Dalam
penelitian ini, pengembangan diartikan sebagai suatu proses atau perbuatan
pengembangan dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari yang sudah baik
menjadi lebih baik, demikian seterusnya.
Tahapan pengembangan merupakan suatu tahapan siklus evolusi yang
terjadi dalam pengembangan pariwisata, sejak suatu daerah tujuan wisata baru
ditemukan (discovery), kemudian berkembang hingga pada akhirnya terjadi
penurunan (decline). Menurut Buttler (dalam Pitana, 2005:103) ada 7 fase
pengembangan pariwisata (Destination Area Life Cycle) yang membawa implikasi
serta dampak yang berbeda, secara teoritis diantaranya:
1) Fase Explorasi/Penemuan (Exploration)
Fase ini berkaitan dengan discovery yaitu daerah pariwisata yang baru
mulai ditemukan, dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya
bagi wisatawan petualang. Dalam fase ini terjadi kontak yang tinggi
antara wisatawan dan masyarakat lokal karena wisatawan menggunakan
fasilitas lokal yang tersedia. Dampak sosial ekonomi pada tahap ini
masih sangat kecil karena jumlah yang terbatas dan frekuensi yang
jarang.
29
2) Fase Keterlibatan (Involvement)
Seiring meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, maka sebagian
masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang
khusus diperuntukan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dan
masyarakat lokal masih sangat tinggi. Masyarakat mulai mengubah pola-
pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Disinilah mulainya suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang
ditandai dengan mulai adanya promosi.
3) Fase Pengembangan dan Pembangunan (Development)
Dalam fase ini terlihat mulai munculnya pasar wisata secara sistematis
dan investasi dari luar mulai masuk. Selain itu, daerah semakin terbuka
secara fisik, dan promosi semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih
atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar berstandar internasional,
dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan dan mulai menambahkan
atraksi yang asli atau alami. Berbagai barang dan jasa diimpor termasuk
tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan pariwisata yang
pesat.
4) Fase Konsolidasi (Consolidation)
Dalam struktur ekonomi daerah, pariwisata sudah mulai dominan dan
dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major
chains and franchises. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik, namun
hanya pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan
30
diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun dan fasilitas lama
sudah mulai ditinggalkan.
5) Fase Kestabilan (Stagnation)
Munculnya masalah ekonomi, sosial dan lingkungan akibat dari kapasitas
berbagai faktor sudah terlampaui di atas daya dukung (carrying
capacity). Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi
kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan
repeater guest dan wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan
sudah mendominasi atraksi alam yang masih alami (baik budaya maupun
alam), citra awal sudah mulai luntur dan destinasi sudah tidak lagi
popular.
6) Fase Penurunan (Decline)
Dalam fase ini, wisatawan sudah mulai beralih ke destinasi wisata baru
atau pesaing dan yang tertinggal hanya ‘sisa-sisa’, khususnya wisatawan
yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah beralih
atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga
destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal
mungkin meningkat lagi terkait dengan harga yang merosot turun dengan
melemahnya pasar. Destinasi bisa berkembang menjadi destinasi kelas
rendah atau jati diri sebagai destinasi wisata kehilangan secara total.
7) Fase Peremajaan (Rejuvenation)
Perubahan secara dramatis bisa terjadi sebagai hasil dari berbagai usaha
dan dari berbagai pihak menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan
31
ini bisa terjadi karena inovasi dan pengembangan produk baru, atau
menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang
sebelumnya belum dimanfaatkan. Siklus hidup destinasi wisata
(Destination Area Life Cycle) tersebut bila digambarkan adalah seperti
Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Destination Area Life Cycle
Sumber: Butler (1980)
Strategi pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling sudah berada pada tahap pengembangan dan pembangunan
(Development). Namun pengelolaan kawasan tersebut masih belum maksimal dan
kunjungan wisatawan baik itu domestik maupun macanegara masih relatif rendah.
2.3.2 Teori pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism)
Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat adalah aktifitas masyarakat
lokal untuk mendorong pertukaran dan menciptakan sebuah masyarakat yang
menghormati dan menghargai alam, budaya, sejarah, industri, bakat-bakat
32
masyarakat dan sumber daya lokal (Natori, 2001:3). Definisi tersebut secara jelas
menekankan bahwa aktifitas sumber daya alam dimulai dari masyarakat lokal,
baik dalam hal identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, termasuk pengawasan
terhadap sumber daya lokal yang ada. Dalam konsep ini lebih menekankan pada
ekonomi rakyat dan pemberdayaan rakyat. Konsep ini digunakan sebagai konsep
alternatif sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan di
negara-negara berkembang seperti pengambilan kebijakan top-down dianggap
telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri, sehingga kualitas hidup
rakyat bukannya semakin meningkat, tetapi malah dirugikan dan cenderung
termarginal di lingkungan miliknya sendiri.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap tahap pengembangan
kepariwisataan di suatu kawasan atau objek wisata merupakan syarat utama dalam
konsep pembangunan berbasis kerakyatan. Oleh karena itu, kunci utama
pembangunan adalah keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan hidup,
sumber daya, dan kepuasan wisatawan yang diciptakan oleh kemauan masyarakat
itu sendiri, sehingga ketiga faktor ini akan menjadi prioritas untuk keberlanjutan
sistem sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi.
Butler dan Hinch (2007:204) menyatakan bahwa pembangunan
pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism) memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a) Berskala kecil sehingga mudah diorganisasikan, bersahabat dengan
lingkungan, aman secara ekologi, dan tidak menimbulkan banyak
dampak negatif.
33
b) Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat
setempat.
c) Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi,
mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun
penerimaan manfaat dan keuntungan.
d) Selain menekankan partisipasi, konsep ini juga sangat mementingkan
keberlanjutan kultural dan secara keseluruhan berupaya untuk
membangkitakan rasa hormat dan penghargaan wisatawan terhadap
kebudayaan setempat.
Korten (dalam Moeljarto, 1993:124) menyatakan bahwa penerapan
konsep pembangunan atau pengembangan berbasis masyarakat dalam suatu daya
tarik wisata di suatu wilayah sangat relevan digunakan sebagai pijakan dasar.
Berikut ini tiga alasan yang menjelaskannya, yaitu:
1. Variasi antar Daerah (Local Variety)
Setiap daerah tidak bisa diberikan perlakuan yang sama karena memiliki
karakteriksik tersendiri yang membedakannya dengan daerah yang lain,
sehingga sistem pengelolaannya akan berbeda, serta masyarakat setempat
sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal situasi
daerahnya.
2. Adanya Sumber Daya Lokal
Secara tradisional, sumber daya lokal dikuasai oleh masyarakat setempat.
Merekalah yang lebih mengetahui bagaimana cara mengelola sumber
34
daya lokal tersebut yang bersumber dari pengalaman generasi ke
generasi.
3. Tanggung Jawab Lokal (Local Accountability)
Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya akan
lebih bertanggung jawab, karena kegiatan tersebut secara langsung akan
mempengaruhi hidup mereka.
Terciptanya hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber
daya alam dan budaya, serta wisatawan menjadi tolak ukur pembangunan
pariwisata berbasis masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Natori (2001:7-9),
yaitu:
1) Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui
pembentukan suatu wadah organisasi untuk menunjang segala aspirasi
masyarakat, melalui kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal.
2) Adanya keberlanjutan lingkungan fisik melalui konservasi, promosi dan
menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara sumber daya alam,
sumber daya budaya, dan sumber daya manusia.
3) Adanya keberlajutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam
menikmati hasil-hasil pembangunan.
4) Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti sistem
informasi yang dapat digunakan bersama-sama.
5) Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang baik, pengadaan
informasi yang efektif, efisien, serta mengutamakan kenyamanan bagi
wisatawan.
35
Berdasarkan pandangan yang dinyatakan oleh Natori tersebut, hubungan
yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya, dan wisatawan merupakan
kunci utama keberhasilan pembangunan pariwisata. Dalam penelitian ini, teori
community based tourism digunakan untuk memahami peran masyarakat lokal,
khususnya masyarakat Kelurahan Tangkiling di dalam keterlibatannya bersama-
sama pemerintah dan swasta dalam mengelola ekowisata sesuai dengan potensi
yang ada di daerah tersebut.
2.3.3 Teori strategi perencanaan dan pengembangan
Dalam perencanaan dan pengembangan suatu daya tarik wisata,
Community Approach atau Community Based dan Environmental Planning
sering digunakan (Marpaung, 2002:49). Hal ini disebabkan karena masyarakat
lokal yang akan membangun, memiliki dan mengelola langsung fasilitas wisata
serta pelayanannya, sehingga dengan demikian masyarakat dapat menerima secara
langsung keuntungan ekonomi serta mencegah langsung terjadinya urbanisasi.
Suatu perencanaan dalam pengembangan pariwisata sangat diperlukan.
Menurut Miles (2000:23), apabila tidak adanya suatu perencanaan dalam
pengembangan sebuah kawasan tujuan wisata dapat berakibat negatif pada daerah
tersebut. Secara fisik, akibat tersebut berupa kerusakan dan perubahan permanen
lingkungan fisik, kerusakan atau perubahan permanen kawasan-kawasan
histori/budaya serta sumber-sumebr daya alam, terlalu banyak orang dan
kemacetan, adanya pencemaran, dan masalah-masalah lalu lintas.
Dari dampak negatif yang muncul karena tidak adanya suatu perencanan
dalam pengembangan sebuah kawasan tujuan wisata, maka diperlukan suatu
36
perencanaan terpadu yang dikarenakan oleh adanya beberapa alasan, seperti
pariwisata adalah independen atau tergantung akan banyak hal, fasilitas tidak
dapat hidup kecuali ada interaksi yang dapat menarik kedatangan wisatawan, serta
membantu memastikan bahwa jenis pembanguan yang dilakukan hasilnya cocok
bagi komunitas tersebut.
Paturusi (2005:8) mengemukakan bahwa perencanaan pariwisata adalah
suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu
destinasi atau atraksi wisata. Hal ini merupakan suatu proses dinamis yang secara
sistematis akan mempertimbangkan adanya berbagai alternatif untuk mencapai
tujuan yang melihat lingkungan (politik, fisik, sosial dan ekonomi) sebagai suatu
komponen yang saling berkaitan dan saling bergantung antara satu dengan yang
lainnya. Pada dasarnya, perencanaan pariwisata tidak berbeda jauh dengan
perencanaan umumnya, baik dalam hal konsep dasar maupun dalam hal
pendekatannya. Namun yang membedakannya adalah pada penyesuaian dengan
karakteristik sistem kepariwisataan.
Tujuan dari pengembangan pariwisata adalah untuk memacu
pertumbuhan ekonomi, menambah sumber devisa negara, membuka lapangan
kerja, dan membantu dalam membangkitkan pertumbuhan sektor-sektor pertanian,
perikanan, dan industri manufaktur. Selain itu, pengembangan pariwisata juga
dapat meningkatkan pendidikan, meningkatkan kesenian dan kebudayaan yang
hampir punah dan pelestarian atau konservasi lingkungan. Namun, pengembangan
pariwisata juga dapat berdampak negatif baik pada fisik lingkungan maupun
ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan
37
keuntungan dari pengembangan pariwisata dibutuhkan suatu perencanaan yang
baik dan matang agar tujuan dapat tercapai jika direncanakan dan terintegrasi
dengan perencanaan daerah.
Menurut Tarigan (2005:23) jenis-jenis perencanaan dapat dilihat dari
berbagai aspek, antara lain:
1. Perencanaan Fisik versus Perencanaan Ekonomi
Pembedaan ini didasarkan pada isi dan materi perencanaan. Perencanaan
fisik yaitu perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur
fisik suatu wilayah, misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna
tanah, perencanaan jalur komunikasi atau transportasi, penyediaan
fasilitas umum dan lain sebagainya. Sedangkan jenis perencanaan
ekonomi berhubungan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah
dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu
wilayah.
2. Perencanaan Alokatif versus Perencanaan Inovatif
Pembedaan ini didasarkan pada perbedaan visi dan perencanaan.
Perencanaan alokatif berkenaan dengan mensukseskan perencanaan
umum yang telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi
kesepakatan bersama. Jadi, inti dari kegiatannya berupa koordinasi dan
sikronasi agar sistem kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan
secara efektif dan efisien sepanjang waktu. Sedangkan dalam
perencanaan inovatif para perencana memiliki kebebasan, baik dalam
menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target
38
tersebut. Artinya mereka dapat menetapkan prosedur atau tata cara baru
dan yang paling terpenting adalah target itu dapat tercapai atau
dilampaui.
3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal
Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang yang tercakup. Perencanaan
bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu
yang dinyatakan dengan tegas dalam perencaan itu dan bersifat tunggal.
Misalnya rencana pemerintah untuk membangun 100 unit rumah di suatu
lokasi tertentu, perencanaan ini tidak mengaitkan antara pembangunan
rumah dengan manfaat yang mungkin dapat ditimbulkan karena tidak
menjadi fokus perhatian. Sedangkan perencanaan bertujuan jamak adalah
perencanaan pelebaran jalan yang ditujukan untuk memberikan berbagai
manfaat sekaligus.
4. Perencanaan Bertujuan Jelas versus Perencanaan Bertujuan Laten
Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana
tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan dengan tegas
menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut yang
sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Sedangkan perencanaan
bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan
bahkan tujuannyapun kurang jelas sehingga sulit dijabarkan.
5. Perencanaan Indikatif versus Perencanaan Imperatif
Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat
kewenangan dari institusi pelaksana. Perencanaan indikatif adalah
39
perencanaan dimana tujuan yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam
bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas. Dalam perencanaan
ini mungkin terdapat petunjuk atau pedoman yaitu semacam nasihat
bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri
tidak terlalu meningkat. Sedangkan perencanaan imperatif adalah
perencanaan yang mengatur baik sasaran prosedur, pelaksanaan, waktu
pelaksanaan, bahan-bahan serta alat-alat yang dapat dipakai untuk
perencanaan tersebut. Perencanaan ini juga disebut dengan perencanaan
sistem komando, dimana pelaksanaan di lapangan tidak berhak merubah
yang sudah ada dalam rencana.
6. Perencanaan Top Down versus Bottom Up
Pembedaan perencanaan ini didasarkan atas kewenangan dari institusi
yang terlibat. Perencanaan top down dan bottom up hanya berlaku apabila
terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau beberapa
jenjang jabatan di perusahaan. Perencanaan model top down adalah
apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi
yang lebih tinggi dimana institusi yang lebih rendah harus menerima
rencana atau arahan dari institusi perencanaan yang lebih tinggi.
Sedangkan perencanaan bottom up adalah apabila kewenangan utama
perencanaan itu berada pada institusi yang lebih rendah dimana institusi
perencanaan pada level yang tinggi harus menerima usulan-usulan yang
diajukan dari institusi perencanaan pada tingkat yang lebih rendah.
40
7. Perencanaan Vertikal versus Horizontal
Pembedaan ini juga didasari atas perbedaan kewenangan antar institusi
walaupun lebih ditekankan pada jalur koordinasi yang diutamakan pada
perencanaan. Perencanaan vertikal lebih menekankan pada keterkaitan
antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Model ini mengutamakan
keberhasilan sektoral, jadi menekankan pentingnya koordinasi antar
berbagai jenjang pada instansi yang sama. Sedangkan perencanaan
horizontal lebih menekankan pada keterkaitan antar berbagai sektor
sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi.
Perencaaan horizontal melihat pentingnya koordinasi antar berbagai
instansi pada level yang sama ketika masing-masing instansi menangani
kegiatan atau sektor yang berbeda.
8. Perencanaan yang Melibatkan Masyarakat versus Perencanaan yang
Tidak Melibatkan Masyarakat
Pembedaan ini didasarkan atas kewenangan yang diberikan pada institusi
perencana yang sering kali terkait dengan luas bidang yang direncanakan.
Perencanaan yang melibatkan masyarakat adalah apabila masyarakat
sejak awal sudah diberi tahu dan diajak ikut serta dalam penyusunan
rencana tersebut. Sedangkan perencanaan yang tidak melibatkan
masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan
hanya dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir.
Namun dalam prakteknya, kedua pembagian di atas tidaklah mutlak.
Artinya sering mengambil bentuk diantara keduanya. Seringkali tokoh
41
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada
diskusi untuk memberikan masukan dan pada diskusi rencana akhir untuk
melihat bahwa aspirasi mereka sudah tertampung.
Dalam penelitian ini, teori perencanaan digunakan untuk membedah dan
menganalisis rumusan masalah ketiga dalam menentukan langkah-langkah untuk
memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip
ekowisata dalam menciptakan ekowisata yang berkelanjutan di Kawasan Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling Palangka Raya.
2.4 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
yang telah dirumuskan, maka perlu adanya suatu kerangka konsep atau model
penelitian yang dapat digunakan sebagai kerangka kerja dalam penelitian ini.
Kerangka konsep atau model penelitian ini merupakan abstraksi dan sintesis dari
kajian pustaka.
Secara kualitatif, penelitian ini menggunakan alur berpikir yang berawal
dari adanya fenomena yang terjadi terhadap munculnya dampak negatif yang
ditimbulkan oleh pengembangan pariwisata yang bersifat massal (mass tourism).
Hal ini menyebabkan kecendrungan perubahan permintaan wisatawan yang lebih
meminati alam. Ekowisata sebagai salah satu pariwisata alternatif merupakan
kegiatan wisata yang dianggap sebagai kegiatan pariwisata yang berkelanjutan
dan peduli pada pelestarian lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat lokal.
42
Kalimantan Tengah yang memiliki potensi alam terutama kawasan hutan
hujan tropis inilah yang memberikan peluang yang bagus untuk mengembangkan
konsep ekowisata. Salah satu kawasan di Kalimantan Tengah yang memiliki
potensi dan sudah berkembang tersebut adalah Kawasan Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling. Kelurahan Tangkiling sebagai kawasan yang memiliki berbagai
potensi yang menunjang kegiatan ekowisata di Kalimantan Tengah. Namun yang
terjadi saat ini adalah terjadi penurunan kegiatan ekowisata di kawasan tersebut
dan tingkat kunjungan wisatawan masih relatif rendah bahkan dalam tiga tahun
terakhir mengalami penurunan secara drastis. Dalam tahap pemanfaatan potensi,
kawasan ini belum menyentuh pada tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.
Bahkan masih belum menuju pada tahap ekowisata yang berkelanjutan. Selain itu,
kawasan yang eksotik tersebut sampai saat ini masih menyimpan banyak
persoalan besar dan cepat atau lambat dapat mengancam keberadaan dan
fungsinya sebagai kawasan konservasi. Persoalan tersebut seperti kepemilikan
lahan dan penambangan batu belah yang membuat kawasan ini menjadi rusak.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dirumuskanlah tiga permasalahan:
1) Apa kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling?, 2) Bagaimana implementasi prinsip-prinsip
ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada di Kawasan Taman Wisata
Alam Bukit Tangkiling?, dan 3) Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip
ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit
43
Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata dan menciptakan
ekowisata yang berkelanjutan.
Berdasarkan pada konsep dan teori, pariwisata berkelanjutan merupakan
konsep yang perlu diterapkan. Beberapa teori akan digunakan untuk menjawab
permasalahan-permasalah tersebut, seperti teori siklus hidup destinasi pariwisata,
teori pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism), dan teori
strategi perencanaan dan pengembangan.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, hal utama yang dilakukan untuk
mengawali penelitian ini adalah mengidentifikasi kendala yang terkait dengan
pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling.
Selanjutnya, sesuai dengan rumusan masalah yang kedua mengkaji kesesuaian
prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada di kawasan
tersebut. Setelah itu merumuskan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip
ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata dan menciptakan
ekowisata yang berkelanjutan.
Dari ketiga rumusan masalah yang dikaji dengan berbagai indikatornya
dan mengacu pada konsep dan teori yang ada, sehingga menghasilkan hasil
penelitian (output) yang dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi dalam
menentukan kebijakan oleh pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan
ekowisata kedepannya. Rekomendasi tersebut ditujukan kepada pemerintah dan
masyarakat maupun pihak pengelola Kawasan Taman Wisata Alam Bukit
44
Tangkiling dalam rangka penerapan ekowisata menuju pariwisata yang
berkelanjutan.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka dasar landasan
pemikiran tersebut dapat digambarkan kerangka konsep atau model penelitiannya
seperti dituangkan dalam Gambar 2.2.
45
Gambar 2.2
Model penelitian
Konsep:
1. Ekowisata
2. Prinsip-prinsip Ekowisata
3. Strategi Pengembangan
Kawasan Ekowisata
4. Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan
Teori:
1. Teori Siklus Hidup
Destinasi
2. Teori Pariwisata Berbasis
Masyarakat
3. Teori Strategi Perencanaan
dan Pengembangan
Hasil Penelitian
Rumusan Masalah:
1) Apa kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di
Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling?
2) Bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata dalam
pengembangan ekowisata yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling?
3) Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberikan
rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip
ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata
Alam Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip
ekowisata?
Taman Wisata Alam (TWA)
Bukit Tangkiling
Rekomendasi
Analisis Data