bab ii tinjauan pustakarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10005/2/t1... · 2017-02-24 · 10...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk mendukung serta memberikan arah yang jelas bagi terlaksananya
penelitian ini, perlu adanya teori-teori yang dapat dijadikan sebagai acuan. Secara
jelas, sebuah penelitian tidak akan kuat apabila tidak ada teori–teori pendukung yang
kuat. Rakhmat (2000) mengatakan bahwa sebuah penelitian membutuhkan teori- teori
pendukung yang relevan dengan penelitian. Oleh karena itu, tahapan ini
menghadirkan teori-teori pendukung sesuai topik atau aspek-aspek yang dibahas.
Berikut ini adalah teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini.
2.1. Moral
Salah satu hal mendasar manusia yang dapat membentuk serta memberi arah
bagi perkembangan kehidupannya ke depan adalah bagaimana manusia itu hidup
dalam suatu tatanan kehidupan yang baik. Dalam hal ini, manusia akan mampu
bertahan hidup serta berada dalam berbagai kondisi kehidupan apabila hidupannya
mencerminkan budi pekerti yang baik, akhlak serta karakter yang berkualitas
khususnya ketika bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain kemampuan kognitif
yang sempurna, moralitas yang baik menjadi acuan yang memberi arah atau petunjuk
hidup. Moral yang baik dan berkualitas adalah kunci bagi individu untuk menapaki
hidupnya sehari-hari. Apa itu moral dan seberapa pentingnya aspek ini bagi
kehidupan dapat dilihat pada poin-poin pembahasan berikut.
2.1.1 Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia (2008), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau
susila. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata
ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, atau cara berfikir. Sjarkawi (2005) mengemukakan bahwa moral
9
merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang patut dan
tidak patut dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam
suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia.
Dalam Ensiklopedia Pendidikan, moral diartikan sebagai nilai atau dasar
dalam masyarakat untuk menentukaan baik atau buruknya suatu tindakan yang pada
akhirnya menjadi adat istiadat suatu kelompok. Hurlock (2007) mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan moral adalah tata cara, kebiasaan dan adat di mana dalam
perilaku dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang memuat peraturan yang telah
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan dalam perilaku
yang diharapkan oleh seluruh anggota kelompok tersebut. Sedangkan Hurlock (dalam
Ali dan Asrori, 2010), mengatakan bahwa moral adalah sopan santun, kebiasaan, adat
istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.
Ahli lain seperti Rogers (dalam Ali dan Asrori, 2010) mendefinisikan moral
sebagai kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial secara harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi
terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan ketertiban.
Sedangkan menurut Gunarsa (dalam Ali dan Asrori, 2010) moral adalah rangkaian
nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri
berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau
kebiasaan. Sementara itu, Wantah (2005) mendefinisikan moral sebagai sesuatu yang
harus dilakukan dan tidak ada hubunganya untuk menentukan siapa yang benar dan
perilaku yang baik dan buruk.
Melihat definisi-definisi tersebut di atas, sangatlah perlu untuk
memperhatikan moral sebagai aspek yang hakiki sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Individu yang bermoral memberi serta menunjukan arti hidupnya bagi orang
lain. Individu yang bermoral memberi patokan bagi sesama dalam bersikap. Individu
yang bermoral menghadirkan suatu atmosfir kehidupan yang berkualitas.
10
2.1.2 Tahapan Perkembangan Moral
Kohlberg, seorang ahli perkembangan moral dalam Haditono (1999), membagi
perkembangan moral ke dalam 3 (tiga) tingkatan yang masing-masing dibagi ke
dalam 2 (dua) stadium sehingga terdapat 6 stadium, sebagai berikut:
Tingkatan I, Penalaran moral yang pra-konvensional
Tingkatan ini mendasarkan pada objek di luar individu sebagai ukuran benar atau
salah. Stadiumnya adalah sebagi berikut:
Stadium 1: Orientasi patuh dan takut pada hukum, artinya suatu tingkah laku dinilai
benar apabila tidak dikenakan hukuman dan salah apabila dikenakan
hukuman. Di sini, hukum sebagai otoritas harus dipatuhi karena hukum
berkuasa.
Stadium 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental. Stadium ini mendasarkan
pada orang atau kejadian di luar diri individu dengan memperhatikan
alasannya melakukan sesuatu. Sebagai contoh, mencuri dinilai salah,
tetapi masih bisa dimaafkan jika alasannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi.
Tingkatan II, Penalaran moral yang konvensional.
Tingkatan ini berdasar pada pengharapan sosial di mana suatu perbuatan dianggap
benar jika sesuai dengan peraturan dalam masyarakat. Stadiumnya sebagai berikut:
Stadium 3: Orientasi anak atau person yang baik. Anak menilai perbuatan dikatakan
baik jika suatu perbuatan menyenagkan orang lain Jika seorang anak
dapat melakukan apa yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat,
maka ia dipandang sebagai anak yang bermoral baik. Jika tidak, ia tidak
akan dianggap sebagai anak yang baik.
Stadium 4: Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, artinya, anak memandang
aturan sosial sebagai sesuatu yang perlu dijaga atau dilestarikan. Apabila
seseorang “melakukan tugasnya”, maka ia dipandang bermoral sehingga
dapat melestarikan aturan dan sistim sosial.
Tingkatan III, Penalaran moral yang post-konvensional
11
Tingkatan ini memandang bahwa aturan-aturan dalam masyarakat tidak absolut tetapi
relatif; dapat diganti dengan yang lain.
Stadium 5: Orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa aturan-aturan dalam
masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan
masyarakat. Di sini, individu dituntut untuk memenuhi kewajibannya,
sedangkan masyarakat dituntut pula untuk menjamin kesejahteraan
individu. Peraturan dalam masyarakat bersifat subjektif.
Stadium 6: Orientasi yang berdasar pada prinsip serta konsensia sendiri. Dalam
stadium ini, peraturen dan norma hingga batasan-batasannya dianggap
subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian, ukuran penilaian tingkah laku
moral adalah konsensia masing-masing pribadi. Prinsipnya sendiri lepas
dari segala norma yang ada. Kohlberg menganggap prinsip ini sebgai
prinsip moral yang universal di mana suatu norma moral yang dasarnya
ada pada konsensia orang itu sendiri.
2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Krisis Moral
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis moral dalam
masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:
Pertama, krisis moral terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama
yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self-control). Selanjutnya
alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum
dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya
manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang
menegur.
Kedua, krisis moral terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh
orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung jawab
pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang mengutamakan
materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.
12
Ketiga, krisis moral terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik,
hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh para
penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan
memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral
para generasi penerus bangsa.
Keempat, krisis moral terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-
sungguh dari pemerintah untuk memperbaiki moral hidup bangsa. Kekuasaan, dana,
tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah
belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal ini
semakin diperparah dengan ulah penguasa yang semata- mata mengejar kedudukan,
kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya
praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN).
Krisis moral pun dapat terjadi terjadi karena pendidikan moral tidak terjadi
seperti yang diharapkan. Pembinaan moral seharusnya terjadi sejak anak masih dini.
Pembinaan ini pun harus memperhatikan usia serta kemampuannya. Alasannya
adalah anak belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Anak
pun belum benar-benar memahami batas-batas dan ketentuan-ketentuan moral yang
berlaku di lingkungan tempat ia tinggal. Jika anak tidak diperkenalkan dengan sikap-
sikap yang dianggap baik untuk pertumbuhan moralnya, maka anak akan tumbuh
menjadi dewasa tanpa mengenal moral itu sendiri.
Selanjutnya, suasana keluarga atau rumah tangga yang kurang baik pun dapat
menghambat pertumbuhan moral anak. Kurangnya saling pengertian, saling
menerima, saling menghargai antara suami dan istri, tidak adanya kerukunan orang
tua menyebabkan anak menjadi takut, gelisah, cemas dan akibat-akibat lain yang
kurang baik bagi psikologi anak. Tidak mengherankan jika anak-anak akhirnya
terdorong untuk melakukan hal-hal yang merupakan ungkapan hatinya yang dapat
meresahkan serta mengganggu ketentraman orang lain. Masalah lain adalah
penggunaan atau mengkonsumsi obat-obatan yang dilarang seperti obat anti hamil.
Usia muda adalah usia peralihan yang membuat orang semaunya saja melakukan
13
segala sesuatu untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Mereka gampang dibujuk
untuk melakukan hal-hal yang tentu saja merusak moralitas mereka sendiri.
Hal terakhir selain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini adalah kurangnya
yang menghambat pertumbuhan moral adalah kurangnya kesadaran untuk mengatur
waktu luang dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat dengan cara yang baik dan
sehat. Hal tersebut mendorong anak-anak untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak
membangun yang tentunya merusak pertumbuhan moral mereka. Oleh karena itu,
memperhatikan kelemahan-kelemahan tersebut di atas, perlu adanya langkah-langkah
atau tindakan-tindakan yang nyata agar dapat membimbing anak-anak
menghindarinya. Pembenahan yang secara terus-menerus dilakukan mulai dari
lingkungan keluarga, diri anak sendiri dan lingkungan yang lebih besar pastinya akan
sangat bermanfaat dan memberi solusi positif bagi pembentukan moral mereka.
2.2. Anak Usia Dini (AUD)
Usia dini merupakan salah satu tahapan usia pertumbuhan dan perkembangan
seorang individu. Masa ini disebut sebagai masa emas atau golden age karena pada
masa ini otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik
dan buruk. Itulah masa-masa di mana perkembangan fisik, mental maupun spiritual
anak mulai terbentuk. Cerminan kehidupan masa depan anak dapat dilihat serta
terbentuk pada masa ini. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian anak sangat
penting dilakukan pada usia tersebut.
2.2.1. Pengertian Anak Usia Dini
Kehidupan seseorang tidak pernah terlepas dari masa anak-anak. Masa anak-
anak menjadi masa awal kehidupan seseorang yang tidak bisa diulangi. Manusia
dewasa bisa kembali dalam dunia anak- anak namun anak- anak tidak mampu
menjadikan dirinya sebagai sosok seorang manusia dewasa sehingga masa ini
menjadi hal yang mempunyai peranan yang krusial dalam menentukan kehidupan
seseorang di masa mendatang. Oleh sebab itu, masa ini biasanya disebut dengan masa
emas atau “golden age”.
14
Menurut Isjoni, (2009), anak usia dini adalah individu yang sedang
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Anak usia dini
merupakan anak yang berusia 0-6 tahun. Mereka adalah individu yang sedang
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan
dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Karena itulah, maka usia dini dikatakan
sebagai usia emas, yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia
selanjutnya.
Anak usia dini memiliki potensi genetik dan siap untuk dikembangkan melalui
pemberian berbagai rangsangan. Sehingga pembentukan perkembangan selanjutnya
dari seorang anak sangat ditentukan pada masa-masa awal perkembangan anak. Masa
kanak-kanak merupakan masa saat anak belum mampu mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya. Mereka cenderung senang bermain pada saat yang bersamaan,
ingin menang sendiri dan sering mengubah aturan main untuk kepentingan diri
sendiri. Dengan demikian, dibutuhkan upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi
semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun perkembangan psikis.
Potensi anak yang sangat penting untuk dikembangkan.
2.2.2. Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini (AUD)
Perkembangan anak menurut Piaget ditinjau dari aspek kognitif. Piaget
membagi perkembangan kognitif anak kedalam 4 tahapan yaitu
a) Tahap Sensori motor
Tahap sensori motor terjadi pada umur 0-2 tahun. Tahap ini ditandai dengan
perilaku suka meniru dan bertindak secara refleks dari anak. Anak- anak pada tahap
ini hanya akan memikirkan apa yang terjadi sekarang. Mereka akan meniru apa yang
dilakukan oleh orang dewasa. Oleh sebab itu, penanaman dan pembentukan moral
pada anak usia ini dilakukan dengan cara meniru dimana orang dewaa menjadi subjek
teladan yang akan ditiru.
15
b) Tahap Praoperasional
Usia 2-7 tahun masuk didalam tahap praoperasional. Pada tahapan ini, anak-
anak mulai menggunakan simbol dan bahasa dimana melalui simbol dan bahasa, anak
mulai dapat memikirkan sesuatu yang tidak terjadi sekarang melainkan sesuatu yang
sudah berlalu. Bahasa juga membantu anak menggungkapkan sesuatu yang lebih luas
dari pada sesuatu yang sekedar dijamah dan dilihat olehnya. Sikap anak- anak pada
tahapan ini juga masih bersifat egosentris dimana pikiran mereka hanya terfokus pada
diri sendiri dan bukan orang lain. Sehingga, penanaman nilai moral mulai dapat
dilakukan oleh orang dewasa melalui bahasa yang singkat dan tepat.
c) Tahap Operasional Kongkret
Anak- anak usia 7-11 tahun pada tahapan ini sudah mulai berpikir
transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Anak sudah mulai
mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun
dasarnya masih pada hal yang kongkret. Anak juga mengerti persoalan sebab akibat.
Sehingga, dalam penanaman dan pengembangan moral sudah dapat dikenalkan suatu
tindakan dengan akibat yang baik maupun tidak.
d) Tahap Operasional Formal
Pada tahap ini, anak usia 11 tahun ke atas sudah mulai berpikir formal dan
abstrak. Anak sudah mulai dapat membatasi pikirannya pada yang sekarang dan juga
dapat berpikir tentang yang akan datang dan sesuatu yang diandaikan. Anak pada
tahap ini juga sudah dapat diajak untuk menyadari apa yang dibuatnya dengan
alasannya. Untuk itu, pada tahapan ini anak sudah mulai dapat diajak untuk
berdiskusi menemukan nilai yang baik dan yang tidak baik.
2.2.3 Karakteristik Anak Usia Dini (AUD)
Memahami karakter anak usia dini (AUD) sangatlah penting sebelum
menanamkan konsep moral bagi mereka. Anak usia dini dikenal sebagai manusia
yang unik. Mereka terkadang lebih dari orang-orang dewasa yang sulit diterka atau
diduga bila dilihat dari bicara, tingkah laku maupun pikirannya. Anak usia dini
memiliki karakteristik tersendiri (Isjoni, 2009), diantaranya sebagai berikut;
16
a. Usia 0-1 tahun
Pada masa bayi perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa,
paling cepat dibanding usia selanjutnya. Berbagai karakteristik usia bayi diantaranya
mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk,
berdiri, dan berjalan, menggunakan panca indera dan mulai mempelajari
komunikasi sosial.
b. Usia 2-3 tahun
Anak pada usia ini memiliki karakteristik yang sama dengan usia selanjutnya,
secara fisik anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Anak sangat aktif
mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya, mulai mengembangkan
kemampuan berbahasanya serta mulai mencoba mengembangkan emosi.
c. Usia 4-6 tahun
Karakteristik anak pada usia ini yang berkaitan dengan perkembangan fisik
yaitu anak mulai sangat aktif melakukan beragam kegiatan. Perkembangan bahasa
anak semakin baik dan perkembangan kognitifnya pun sangat pesat. Namun, bentuk
permainan anak pada usia ini masih bersifat individu.
Fokus penelitian ini adalah anak-anak prasekolah (AUD) yang berusia 4-6
tahun. Mereka adalah anak-anak yang sementara mempersiapkan diri untuk
memasuki jenjang pendidikan berikutnya (sekolah). Oleh karena itu, pembentukan
moral bagi anak-anak di usia tersebut perlu menjadi prioritas yang semestinya
dilakukan oleh guru sebagai pendidik. Secara jelas, anak pada usia ini sangat aktif
dalam melakukan berbagai kegiatan khususnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan
denga fisik. Hal tersebut tentunya bermanfaat bagi perkembangan otot mereka.
Perkembangan bahasa mereka pun pesat. Mereka sudah mampu memahami
maksud pembicaraa orang lain dan mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas
tertentu. Di sisi lain, perkembangan kognitif (daya pikir) mereka semakin baik. Ini
ditunjukkan melalui rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar.
Adapun bentuk permainannya juga masih bersifat individu, bukan permainan sosial
walaupun aktivitas permainan dilakukan secara bersama-sama.
17
Karakteristik di atas memberi gambaran mengenai bagaimana agresifitas anak
pada usia ini teristimewa dalam memahami hal-hal baru dalam kehidupannya.
Meskipun demikian, sifat individualistik mereka juga nampak seperti yang terdapat
pada poin terakhir. Karena itu, akan sangat tepat jika anak pada usia ini mendapatkan
penekanan khususnya dalam pembentukan pertumbuhan moralnya ke depan.
2.2.4. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Banyak aspek – aspek perkembangan anak usia dini. Secara internasional, ada
beberapa aspek – aspek perkembangan pada anak usia dini yaitu
a. Perkembangan fisik motorik, baik fisik motorik kasar maupun fisik motorik halus.
Motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang merupakan otot – otot besar,
sebagian besar atau seluruh anggota tubuh. Sedangkan motorik halus adalah
kemampuan yang berhubungan dengan otot – otot kecil dan koordinasi mata dan
tangan.
b. Perkembangan emosional dan sosial. Perkembangan emosional berkaitan dengan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan anak. Sedangkan
perkembangan social berkaitan dengan interaksi anak dengan lingkungan di sekitar
anak.
c. Perkembangan kognitif/intelektual. Perkembangan kognitif/intelektual berkaitan
dengan perkembangan anak untuk menggunakan bahasa.
Namun, ketiga aspek perkembangan tersebut tidak mutlak. Ketiga aspek ini
digunakan atau menjadi acuan dalam menentukan aspek – aspek perkembangan anak,
baik itu dalam menyusun program belajar bagi anak maupun menjadi pedoman untuk
bersama mendidik anak usia dini. Sedangkan menurut Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI (2014) tentang Kurikulum 2013 yang mengatur tentang pendidikan
anak usia dini terdapat 4 kompetensi dasar perkembangan anak usia dini yang
meliputi
1. Kompetensi inti spiritual. Perkembangan anak mengenai ajaran agama yang
dianutnya.
18
2. Kompetensi inti sosial, perkembangan yang meliputi kemampuan anak untuk
memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif dan estetis, percaya diri,
disiplin, mandiri, peduli, mampu menghargai dan toleran kepada orang lain,
mampu menyesuaikan diri, tanggungjawab, jujur, rendah hati dan santun
dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik, dan teman
3. Kompetensi inti pengetahuan, dimana anak-anak mengenali diri, keluarga,
teman, pendidik, lingkungan sekitar, agama, teknologi, seni, dan budaya di
rumah, tempat bermain dan satuan PAUD dengan cara: mengamati dengan
indera (melihat, mendengar, menghidu, merasa, meraba); menanya;
mengumpulkan informasi; menalar, dan mengomunikasikan melalui kegiatan
bermain
4. Kompetensi inti keterampilan, kemampuan anak untk menunjukkan yang
diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik,
gerakan, dan karya secara produktif dan kreatif, serta mencerminkan perilaku
anak berakhlak mulia
2.2.5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
1). Perkembangan Moral Anak Menurut Psikologi Agama
Menurut penelitian Ernest Harms seperti dikutip dalam Sari (2010), tingkatan
perkembangan agama anak dimulai dengan The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng
yaitu pada usia 3-6 tahun. Pada fase ini, pengenalan mereka tentang Tuhan
dipengaruhi oleh tingkat fantasi dan emosi mereka sendiri. Mereka banyak
dipengaruhi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Sifat agama mereka
sebagai berikut:
a. Unreflective (Tidak mendalam)
Mereka menerima setiap ajaran agama tanpa melakukan kritik sedikit pun.
Mereka kadang merasa puas dengan keterangan yang tidak masuk akal.
b. Egosentris
Perkembangan agama anak berjalan sesuai perkembangan pengalaman
mereka. Mereka selalu menonjolkan kepentingan diri mereka dalam menanggapi
19
masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Kekurangan kasih sayang akan
membuat seorang anak menjadi kenak-kanakan serta rendahnya sifat ego mereka. Hal
tersebut tentunya menghambat perkembangan moral keagamaannya.
c. Imitatif
Pada dasarnya anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari orang dewasa.
Kondisi yang mereka lihat dari lingkungan adalah sesuatu yang sangat berguna bagi
mereka untuk ditiru. Anak perempuan merupakan peniru yang hebat. Kondisi ini
sangat menguntungkan bagi pembelajaran agama bagi mereka.
d. Rasa Heran
Rasa kagum pada anak sangatlah berbeda dengan rasa kagum pada orang
dewasa karena mereka belum memilki sifat kritis dan kreatif. Hal tersebut memberi
ruang agar dapat memotivasi anak-anak untuk mengalami hal-hal yang baru (new
experiences). Rasa kagum mereka bisa disalurkan melalui rasa kagum.
2). Perkembangan Moral Menurut Psikologi Perkembangan
Adapun teori mengenai jiwa keagamaan anak, yaitu:
a. Rasa Ketergantungan (Sense of Dependable).
Ada 4 kebutuhan manusia ketika dilahirkan ke dunia; keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan untuk pengalaman baru (new experience),
keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal
(recognition). Keempat hal tersebut menandakan bahwa sejak lahir, anak memilki
rasa ketergantungan yang tinggi. Rasa keagamaan mereka akan timbul ketika mereka
merasakan pengalaman-pengalaman yang baru.
b. Instink keagamaan
Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi
kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting belum sempurna. Oleh
karena itu pengalaman keagamaan anak perlu diperkenalkan jauh sebelum mereka
berusia 7 tahun atau usia sekolah.
20
2.3. Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu hak mendasar yang dimiliki oleh setiap orang
dan harus didapatkan sejak lahir. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan
terus-menerus berkembang. Secara umum, pendidikan adalah proses pengembangan
diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupannya. Setiap
individu yang berpendidikan akan mampu menunjukan pengaruh positif teristimewa
dalam berprilaku, bersosialisasi serta hidup berdampingan dengan orang lain
dilingkungan sekitarnya. Pendidikan juga mencerminkan kehidupan seseorang yang
berakhlak dan bertanggung jawab bagi masa depannya secara individu serta
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
2.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini
Salah satu tujuan dari pembangunan Nasional yang tercantum dalam
pembukaan undang-undang 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa agar
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, maju dan
mandiri sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang berdasarkan pancasila.
Hak yang tercantum juga di dalam undang-undang adalah bahwa setiap warga negara
berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1989) tentang undang-undang nomor 2 mengenai sistem pendidikan
nasional, mengatakan bahwa peranan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia
pacasila yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi dan memiliki kemampuan
untuk berkarya sendiri dan mendukung perkembangan bangsa.
Dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2003) tentang undang-
undang nomor 20 tahun mengenai system pendidikan nasional menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Tentu saja hal ini bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia
21
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Menyadari pentingnya pendidikan dalam kehidupan, maka dalam UU nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 juga
menyatakan bahwa ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut”. Sebagai tingkatan yang paling dasar dalam penerapan pendidikan di
Indonesia, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) perlu mendapatkan perhatian serius
terutama dalam membentuk karakter anak yang adalah penerus masa depan bangsa.
Prinsip yang mendasarinya adalah karena pada tingkatan usia ini, seluruh instrumen
manusia terbentuk bukan hanya kecerdasan saja tetapi juga kecakapan psikis anak,
sehingga masa ini disebut sebagai masa emas perkembangan (golden age of
development).
Dalam hubungannya dengan kecerdasan dan kecakapan, perkembangan anak
pada tahun- tahun pertama sangat penting karena perkembangan tersebut menentukan
kualitas hidupnya di masa depan. Selain merupakan individu yang berbeda, unik, dan
memiliki karakteristik sendiri sesuai dengan tahapan usianya, anak dilahirkan dengan
potensi yang mampu berkembang secara baik termasuk di dalamnya perkembangan
karakter yang tidak terlepas dari aspek-aspek perkembangan lainnya. Karakter anak
akan sangat menentukan kehidupan mereka di tahun-tahun berikutnya di mana
mereka banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial baik keluarga sebagai lingkup
social yang terkecil hingga lingkungan masyarakat sebagai lingkupa yang terbesar.
Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya
manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter
bangsa dan kehandalan SDM ditentukan bagaimana penanaman sejak anak usia dini.
Memang Pendidikan Anak Usia Dini bukanlah satu-satunya yang paling penting bagi
22
kesuksesan seorang anak di masa depan. Namun, hal tersebut merupakan satu
diantara banyak hal penting yang harus diperhatikan. Karena kematangan pendidikan
sejak usia dini sangat berpengaruh bagi perkembangan anak dari berbagai aspek
kecerdasan. Selain itu dengan Pendidikan Anak Usia Dini, anak akan menjadi lebih
matang dan siap dalam menghadapi dunia sekolah.
Pendidikan anak usia dini merupakan tempat yang tepat dan cukup
dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan anak usia dini akan
memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat
adalah menghadapi masa sekolah. Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi
untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting
berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini
sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas
pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya,
pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti
halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari
hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia
dini.
Hal penting yang menjadi fokus utama dalam pendidikan serta dalam
penelitian ini adalah kecakapan yang berhubungan dengan karakter atau moral.
Permendikbud 146 tahun 2014 pada lampiran pertama menyatakan bahwa moral juga
merupakan karakteristik dari kurikulum perkembangan pendidikan anak usia dini ini.
Hal tersebut disamping aspek lain yang terintergral dalam empat kompetensi dasar
yaitu kompetensi dasar spiritual, kompetensi dasar sosial, kompetensi dasar
pengetahuan dan kompetensi dasar keterampilan.
Kecakapan ini perlu ditanamkan sejak dini di samping kecakapan dalam
aspek-aspek lain. Dalam aspek moral ini, anak diperkenalkan tentang bagaimana
bersosialisasi, bersikap dan bertindak dengan sesama dan mampu membangun suatu
hubungan yang harmonis dengan orang lain dalam suasana yang terkendali serta
adanya rasa saling memahami. Pada kondisi inilah anak sebagai individu yang belum
23
sepenuhnya mengenal aturan dan tata cara berprilaku serta cara bersikap dengan
orang lain mulai belajar bergaul dan memahami orang lain.
Hal ini berarti bahwa pembentukan karakter perlu didasarkan pada bagaimana
menanamkan secara menyeluruh aspek-aspek tersebut di atas menjadi suatu kesatuan
yang kuat sebagai pedoman perkembangan anak dalam dunia pendidikan. Seorang
ahli bernama Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas 3 bagian yang saling
terkait yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, manusia yang
berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good),
menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan
(acting the good).
2.3.2. Pendidikan Moral
Berusaha untuk mengembangkan suatu pola perilaku seseorang sesuai dengan
nilai- nilai dan kehidupan moralitas dan kesusilaan nyata yang ada di dalam
masyarakat. Untuk itu, pendidikan moral berguna untuk mengambil keputusan moral
yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat. Seperti pernyataaan yang sangat terkenal
dari Meno yaitu “apakah pendidikan moral diartikan dengan pendidikan tentang
moral atau apakah moral itu dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia
yang bermoral?” dari pernyataan tersebut dengan sendirinya membuka kesadaran
akan pentingnnya moral dan pendidikan moral bagi manusia. Namun, yang lebih
penting adalah bagaimana isi pendidikan dan metode penyajian serta bagaimana
tanggung jawab sekolah dalam masyarakat dalam pengembangan pendidikan moral
tersebut.
Menurut Zuriah (2008) menyatakan bahwa pendidikan moral adalah suatu
program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan
“menyederhanakan” sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan
pertimbangan psikologi untuk tujuan pendidikan. Jika tujuan pendidikan moral
mengarah pada seseorang menjadi bermoral maka hal yang menjadi krusial adalah
bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup
24
bermasyarakat. Sedangkan menurut Ramli (2003), pendidikan moral memiliki esensi
dan makna yang sama dengan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat, dan warga negara yang baik pula. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Pendidikan moral sangatlah luas sehingga dibutuhkan suatu kegiatan dari
guru, orang tua, masyarakat dan negara untuk membantu dan melakukan pelayanan
ekstra dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan moral. Guru dapat mengaitkan
semua bentuk pembelajaran dengan moral. Begitupula kepala sekolah dan orang tua
dimana keduanya dapat berbuat sesuatu dalam kaitannya dengan masalah moral.
Meskipun lingkungan masyarakat seperti keadilan, keamanan, kemakmuran dan
kesetiakawanan ssosial dan lainnya yang akan mempengaruhi penentuan sikap dan
pertimbangan moral seseorang. Dengan begitu pendidikan moral menuntut adanya
tanggung jawab dari semua pihak terhadap keberhasilan pendidikan moral.
Ada beberapa substansi dari pendidikan moral atau budi pekerti seperti yang
disampaikan oleh Rianto dalam Zuriah (2007) yang meliputi sikap dan perilaku
dalam hubungannya dengan Tuhan, sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan
diri sendiri, sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga, sikap dan
perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa, dan sikap dan perilaku
dalam hubungannya dengan alam sekitar. Samani & Hariyant (2012) mengemukakan
beberapa substansi dari pendidikan moral tersebut secara ringkas dalam butir-butir
nilai budi pekerti atau moral dan kaitannya dengan lima jangkauan tersebut di atas
yang digambarkan dalam table sebagai berikut;
25
Tabel 2.1 Integritas Sikap dan Perilaku serta Nilai-nilai karakter moral atau
budi pekerti (Samani & Hariyant, 2012).
Jangkauan atau Integritas Sikap
dan Perilaku Nilai-nilai Karakter
Sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan Tuhan
Berdisiplin, beriman, bertaqwa, berfikir jauh ke
depan, bersyukur, jujur, mawas diri, pemaaf,
pemurah, pengabdian.
Sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan diri
sendiri
Bekerja keras, berani memikul resiko,
berdisiplin, berhati lembut, berempati, berfikir
matang, berfikir jauh ke depan, bersahaja,
bersemangat, bersikap konstruktif, bertanggung
jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,
efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras,
mandiri, mawas diri, menghargai orang lain,
toleransi, menghargai waktu, menghargai
kesehatan, tangguh, ulet, susila, sportif, terbuka,
adil, hormat, produktif, aktif, ramah tamah,
kasih sayang, rela berkorban, amanah, pemaaf,
pemurah, pengabdian, menghargai karya orang
lain, kukuh hati, lugas, pengendalian diri,
pengabdian, tekun, tegas, tertib.
Sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan keluarga
Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, rela
berkorban, mawas diri, lugas, cerdik, cermat,
jujur, bijaksana, tertib, pemaaf, menghargai
waktu, menghargai kesehatan, ramah tamah,
pengabdian, setia, sabar, pemurah, rasa kasih
sayang, amanah, terbuka
Sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan
masyarakat dan bangsa
Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, toleransi,
bijaksana, cerdik, cermat, jujur, berkemauan
keras, lugas, setia, menghargai, tertib, sportif,
susila, tegas, rela berkorban, amanah, terbuka,
ramah tamah, rasa kasih sayang, pemurah,
pengabdian, adil
Sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan alam
sekitar
Bekerja keras, berfikir jauh ke depan,
pengabdian, menghargai kesehatan
Karakter-karakter tersebut di atas juga merupakan kompetensi inti spiritual
dan kompetensi inti sosial yang perlu dicapai melalui penerapan kurikulum 2013
yang mengatur tentang pendidikan anak usia dini. Itulah yang akan menjadi fokus
26
dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana guru membenahi dan
mengoptimalkan perkembangan moral anak usia 4-6 hun melalui peran mereka.
2.4. Guru
Unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan adalah guru. Guru adalah
tokoh yang berperan penting dalam upaya menciptakan pendidikan yang utuh. Guru
menjadi acuan dimulainya proses pendidikan di sekolah dan juga acuan bagi
terciptanya keseluruhan keberhasilan suatu program pendidikan. Menurut Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (2003) tentang undang-undang nomor 20 mengenai
system pendidikan nasional, guru merupakan pendidik professional yang bertugas
untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi dari peserta didik. Karena memegang peranan yang penting dalam
pendidikan maka tugas dan tanggung jawab mendasar dari seorang guru harus benar-
benar dipahami dan diterapkan. Guru harus mampu menciptakan pendidikan yang
berkualitas dan memiliki energi kuat serta berdaya mengembangkan kebaikan.
Guru adalah tokoh yang memberikan keberhasilan sangat besar di sekolah
yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Banyak aspek manusiawi yang dimiliki
seperti sistem nilai, sikap, perasaan, motivasi, kebiasaan serta keteladanan dalam
suatu proses pembelajaran yang hanya bisa didapatkan dari seorang guru. Oleh
karena itu, kehadiran guru memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan
anak didik termasuk kepribadiannya.
2.4.1. Peran Guru Sebagai Pendidik
Secara akademik, yang disebut sebagai pendidik adalah guru yang memiliki
makna “orang yang digugu serta ditiru.” Guru sebagai tokoh yang bertanggung jawab
di bidang pendidikan yang membantu anak-anak dalam mentransfer setiap ilmu yang
berguna bagi pencapaian kedewasaaan dan masa depan yang lebih baik. Secara
formal, guru memiliki tanggung jawab besar terhadap anak didiknya yang tentu saja
tidak dimiliki oleh pihak lain termasuk orang tua. Banyak unsur-unsur manusiawi
yang dimiliki seperti sikap, sistem nilai, perasaaan, kebiasaan, motivasi, dan
27
keteladanan yang diharapkan dalam prosem belajar yang tentunya unik dan hanya
dapat dilihat dan dicapai melalui peran seorang guru sebagai pendidik.
Secara umum, seorang pendidik hadir untuk membantu dan mengupayakan
perkembangan peserta didiknya agar mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki.
Ada beberapa kondisi atau syarat untuk menjadi seorang pendidik menurut
Ramayulius (2006), sebagai berikut:
1) Kewibawaan yaitu pengaruh positive yangau bertujuan untuk membantu orang
lain ataupun anak didik agar berkembang sebaik mungkin. Peserta didik akan
percaya kepada pendidik dan dengan sendirinya patuh jika pendidik memiliki
kewibawaan yang baik dan dapat diteladani.
2) Pendidik harus mengenal secara pribadi peserta didiknya.
3) Pendidik harus mengetahui bahwa peserta didiknya adalah “aku” yang berpribadi
dan ingin bertanggung jawab serta menentukan diri sendiri.
Sedangkan menurut imam Al Ghazali dalam Syaefuddin (2005; 124-127),
memberi delapan batasan yang ketat bagi profesi pendidik yang harus dipenuhi,
sebagai berikut:
1) Pendidik harus memiliki rasa kasih sayang terhadap anak didik serta menganggap
mereka seperti anak sendiri
2) Pendidik tidak melakukan komersialisasi dunia pendidikan
3) Memberi nasehat dan arahan yang baik bagi peserta didik
4) Mampu mengarahkan peserta didik kepada hal-hal yang positif dan menghindari
hal-hal yang sifatnya destruktif yang akan merusak moral dan kepribadian peserta
didik itu sendiri.
5) Mengenali tingkat naluri dan intelektualitas anak didik. Pendidik harus mampu
mengidentifikasi kemampuan anak sebagai peserta didik.
6) Pendidik harus mampu menumbuhkan motivasi anak serta kegairahannya terhadap
ilmu yang dipelajari tanpa menimbulkan sikap apriori terhadap ilmu lain.
7) Pendidik harus mampu mengidentifiksi kelompok anak didik usia dini dan secara
khusus memberi materi atau ilmu yang sesuai denganperkembangan kejiwaannya.
28
Kelompok usia dini lebih tepat diberi ilmu praktis tanpa argumentasi yang berat
dan melelahkan mereka.
8) Pendidik harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya.
Apabila peranan tersebut mampu dilakukan dengan baik, seorang pendidik
tentunya akan menjadi pribadi yang berhasil dalam mengembangkan anak didiknya
menjadi potensi yang besar di masa yang akan datang bagi kemajuan bangsa. Peserta
didik sendiri akan tumbuh menjadi probadi-pribadi yang bertanggung jawab dan
memiliki potensi serta kompetensi yang bermanfaat. Selain itu, mereka pastinya
memiliki pertumbuhan moral yang baik karena transfer positif yang diperoleh dari
guru sebagai pendidik mereka.
2.4.2. Peran Guru dalam Pembentukan Moral Anak
Sebagai tokoh yang secara langsung berhubungan dengan anak didik, guru
memiliki peran yang besar dalam membimbing serta membentuk moral anak
didiknya. Untuk mencetak generasi yang bermoral, guru perlu memperhatikan serta
melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk membantu proses pembentukan peserta
didik yang bermoral baik di masa depan.
Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dalam Hartono (2011) sebagai
pelopor dan bapak pendidikan Indonesia menetapkan beberapa tugas pokok seorang
guru yang tertanam dalam makna slogan pendidikan Indonesia dan terkenal dengan
sebutan “Tutwuri Handayani.” Di dalam slogan ini terdapat tiga tugas pokok penting
seorang guru yaitu:
1. Ing Ngarso Sungtulodo, berarti seorang guru harus mampu menjadi contoh
atau model bagi siswanya baik sikap maupun pola pikirnya. Anak akan
melakukan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Bila guru memberikan
teladan yang baik maka anak pun akan menjadi baik dalam sikap serta pola
pikirnya.
2. Ing Madya Mangunkarso, berarti bahwa guru selalu berada di antara
siswanya. Artinya bahwa Guru harus mampu memberikan motivasi bagi siswa
sehingga siswa diharapkan bisa lebih maju dalam belajar. Jika guru selalu
29
memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa akan lebih giat karena
merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran-pikiran positif dari gurunya.
Hal ini biasanya berkaitan dengan pemberian reward pada anak untuk
membangkitkan semangat mereka.
3. Tut Wuri Handayani, berarti guru selalu memberikan dorongan pada anak
agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan setiap potensi yang
dimilikinya. Guru diharapkan mampu memberikan kesempatan pada anak
untuk mengeksplor setiap hal positif yang dapat membangun dirinya dengan
terus memberi dorongan dan juga semangat pada anak.
Selain ketiga tugas pokok guru menurut Ki Hadjar Dewantara di atas, ada
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli (dalam Sardiman, 2001) yaitu:
1. Prey Katz menggambarkan peran guru sebagai komunikator, sahabat yang
dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan
dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta
nilai-nilai orang yang menguasai bahan yang diajarkan.
2. Havighurst menjelaskan bahwa peran guru di sekolah adalah sebagai pegawai
(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate)
terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik,
sebagai pengatur disiplin, dan pengganti orang tua.
3. James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peran guru antara lain:
menguasai dan menggambarkan materi pelajaran, merencanakan dan
mempersiapkan palajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan
siswa.
Ada pula beberapa peran guru menurut Sari (2010), sebagai berikut:
1). Guru sebagai ahli instruksional
Dalam peran ini guru harus mampu menunjukan kompetensinya terutama
dalam mengambil keputusan mengenai materi serta metode yang akan digunakan
dalam proses pembelajaran. Keputusan tersebut harus dibuat dengan memperhatikan
sejumlah faktor seperti mata pelajaran, kemampuan dan daya serap siswa serta tujuan
yang akan dicapai.
30
2). Guru sebagai motivator
Siswa akan memiliki semangat belajar yang tinggi apabila memiliki motivasi
yang tinggi pula. Motivasi yang ada tentunya dari dalam maupun dari luar diri siswa
itu sendiri. Motivasi dari luar berasal dari guru seperti memberi dorongan agar peserta
didik semakin giat dalam belajar serta memberi tugas kepada siswa sesuai tingkat
kemampuan mereka.
3). Guru sebagai model
Guru harus bisa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya Guru
harus mampu menunjukan kharisma yang tinggi, dan juga berusaha agar semua
perkataan, sikap dan tindakannya memancar kepada murid-muridnya.
Untuk itu, dalam penelitian ini, ada 3 peranan yang diadopsi dari pendapat
para ahli di atas mengenai peran guru yang akan digunakan sebagai pedoman untuk
meneliti sejauh mana peranan guru dalam upaya membentuk moral anak di TK
Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Ketiga peranan dimaksud adalah guru sebagai
model, guru sebagai motivator dan guru sebagai pembimbing bagi anak didiknya.
Sebagai model, guru berkewajiban memberi contoh bagi anak didiknya dalam
berpikir, bersikap serta berperilaku yang tentunya dapat diikuti dan dicontohi oleh
anak didiknya. Guru perlu menjaga sikap serta wibawanya sebagai seorang yang
menjadi panutan agar anak bisa mengikuti serta meneladani. Menurut kamus besar
Indonesia (2008) model merupakan pola, contoh atau acuan dari sesuatu yang akan
dibuat atau dihasilkan. Berdasarkan pendapat tersebut, guru harus mampu
menginspirasi ata menjadi acuan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang patut
dilakukan dalam bersosialisasi dengan lingkungan serta sesamanya yang beguna bagi
masa depannya. Sikap serta perilaku guru tentunya akan menjadi pedoman serta
pegangan bagi anak dalam menjalani kehidupannya ke depan.
Sebagai motivator, guru diharapkan mampu memberikan semangat serta
motivasi kepada anak. Dorongan dan motivasi yang diberikan oleh guru akan mampu
membangkitkan semangat anak baik itu dalam mengembangkan potensi dalam
dirinya maupun memberikan dampak-dampak positif termasuk di dalamnya bertindak
31
dan berperilaku. Guru dituntut untuk kreatif membangkitkan motivasi belajar pada
anak sehingga terbentuk perilaku yang efektif.
Sedangkan sebagai pembimbing, guru diharapkan mampu membimbing dan
menuntun anak kepada hal-hal positif dan membangun dirinya. Guru harus berusaha
membimbing anak agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya dan
dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka. Melalui
ketercapaian itu, anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang memiliki
sikap dan perilaku yang baik.
2.4.3. Langkah-Langkah Guru dalam Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia
Dini
Menurut Darmadi (2009), penanaman nilai-nilai serta pembentukan moral
pada Anak Usia Dini (AUD) oleh guru dapat dilakukan melalui beberapa metode.
Metode-metode tersebut sebagai berikut:
1) Metode bermain
Metode bermain dapat membantu anak untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Melalui permainan anak mendapatkan kesenangan serta mereka dapat menuangkan
imajinasi mereka secara bebas. Nilai-nilai sosial dan norma yang dapat diajarkan
kepada anak-anak, sebagai berikut:
a) Mengajarkan anak untuk dapat bersosialisasi dan mampu bekerja sama dengan
teman-teman sepermainan.
b) Mengajarkan kepada anak agar memiliki sikap tenggang rasa, menolong sesama
dan saling membutuhkan.
c) Mengajarkan kepada anak untuk mau berbagi dengan teman serta memiliki rasa
peduli kepada orang lain.
d) Mengajarkan tata bicara yang sopan, baik dan benar kepada anak-anak.
e) Memperkenalkan kepada anak berbagai macam aturan yang baik yang ada di
keluarga, lingkungan sekitar, sekolah maupun di jalan.
f) Melatih anak-anak untuk menaati aturan tersebut.
32
g) Mengajarkan kepada anak untuk belajar menerima konsekuensi atau akibat jika
melanggar peraturan.
2) Metode bercerita
Dengan metode ini pesan-pesan atau informasi moral yang dapat menambah
pengetahuan anak tentang nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Pesan-pesan
moral yang dapat disampaikan seperti sikap rendah hati, jujur, tidak boleh
membantah, menyayangi serta mendengar nasehat dari orang tua, toleransi, membatu
orang tua, saudara, teman, tetangga yang membutuhkan. Selain itu, menanamkan rasa
cinta terhadap orang lain.
3) Metode pemberian tugas
Melalui metode ini, nilai moral yang dapat dibagikan dalam pemberian tugas
secara individu antara lain melatih kesabaran seorang anak dan mengajarkannya
untuk memiliki sikap bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi tugasnya.
Selain itu, melatih anak untuk belajar menaati aturan yang telah disepakati bersama.
Di sisi lain, secara kelompok memberi kesempatan kepada anak untuk berlatih
bekerja sama dan menyelesaikan tugas bersama. Hal ini juga membantu
menumbuhkan kemauan anak serta melatih mereka untuk bersosialisasi dengan orang
lain.
4) Metode bercakap-cakap
Metode ini sangatlah penting karena dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi anak dengan orang lain. Dengan bercakap-cakap dapat memberi banyak
pengetahuan karena banyak sekali pegetahuan yang diperoleh anak karena pada
dasarnya anak-anak sangat suka bertanya. Melalui metode ini, pendidik memiliki
kesempatan untuk mengajarkan aturan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Hal-
hal yang bisa dipelajari anak adalah sebagai berikut;
a) Memberi salam kepada orang lain
b) Mencium tangan orang yang lebih tua
c) Mengucapkan salam
d) Bersikap sopan dengan berbicara baik
e) Memandang lawan bicara dengan pandangan yang sopan, dan sebagainya.
33
Metode-metode di atas dapat memberikan ruang kepada anak untuk banyak
belajar bagaimana cara hidup serta sosialisasi yang baik dengan sekitar. Pendidik
dapat mentransfer nilai-nilai moral yang ada yag nantinya menjadi bekal yang sangat
berguna bagi anak khusunya ketika menjalani masa sekolah, beranjak dewasa serta
menapaki hidup dengan orang lain. Apabila nilai-nilai yang terdapat dalam penerapan
metode tersebut di atas di pegang dan dimaknai oleh anak (AUD), akan sangat
bermanfaat bagi hidup mereka di masa depan karena nilai-nilai moral tersebut sudah
tertanam bagi mereka sejak dini.