bab ii pembahasan a. faktor penyebab revolusi libya 1. pra ... · selanjutnya juga dikemukakan...
TRANSCRIPT
41
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab Revolusi Libya
1. Pra- Revolusi di Libya
Sebelum terjadinya revolusi, seluruh tanah-tanah pertanian yang ada di
Libya merupakan milik tuan-tuan tanah, yakni para pangeran, pejabat-pejabat,
dan pegawai kerajaan. Kepemimpinan Raja Idris didukung oleh kekuatan
negara-negara barat serta dukungan militer Libya dan suku yang setia. Raja Idris
juga memberikan respon acuh tak acuh terhadap nasionalisme Arab yang terjadi
pada masa itu (Agung, 2011:217), hal inilah yang kemudian menumbuhkan
ketidakpuasan dalam diri Khadafi terhadap sistem pemerintahan Raja Idris, yang
kemudian bersama 12 orang perwira militer melakukan kudeta, demi merebut
kekuasaan Raja Idris.
Melalui kudeta militer pada tahun 1969 yang dikenal dengan revolusi Al-
Fatah, Khadafi kemudian naik menjadi seorang pemimpin Libya yang baru,
menggantikan Raja Idris. Khadafi seorang pemimpin yang sangat mengagumi
Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, kemudian muncul sebagai pemimpin
Libya bertujuan mempersatukan seluruh Negara Arab dan menentang dominasi
Amerika di tanah Arab serta mengusir kaum zionis dari muka bumi, sesuai
dengan apa yang dicita-citakan oleh Presiden Nasser (Defila, 2011:45). Khadafi
menghapus seluruh sistem konstitusi Libya yang digunakan pada masa
pemerintahan Raja Idris pada tahun 1951 dan kemudian memperkenalkan
falsafah politiknya ke dalam sistem konstitusi di Libya, sesuai dengan buku hijau
42
karangannya yang kemudian dipublikasikan pada tahun 1970, yang isinya
digunakan untuk memperkuat cita-cita negara sosialis (Defila, 2011:46).
Pergolakan politik di Timur Tengah yang dikenal dengan “Jasmine
Revolution” (Revolusi Melati) mulai timbul di semenanjung Timur Tengah dan
Afrika Utara di penghujung tahun 2010 dan menyebar sangat cepat ke masing-
masing negara di kawasan tersebut hingga tahun 2011 (Karmila, 2012:1).
Dinamakan dengan Revolusi Melati untuk mengindentikkan pergolakan rakyat
di negara-negara Timur Tengah bagaikan bunga melati yang sedang mekar.
Istilah tersebut diberikan oleh masyarakat di Timur Tengah yang mengibaratkan
kawasan yang seperti tangkai melati yang berada satu di Afrika Utara dan satu
di Timur Tengah. Negara-negara sebagai kuncup dimana satu persatu kuncup itu
mulai bermekaran mengeluarkan “baunya”, yaitu peristiwa-peristiwa yang
memicu terjadinya revolusi (Tamburaka, 2011:10).
Bulan Februari 2011, aksi unjuk rasa mulai bergolak di Libya yang
berawal di kota Benghazi dan meluas ke berbagai kota, seperti Tripoli, Tajaura,
Zawiyah, Zintan, Ajdabiyah, Ras Lanuf, Sirte, Al Bayda, Bin Jawed, Bani
Walid, Ar Rajban, dan Misratah (Agastya, 2013:107). Aksi demonstrasi ini
dipicu karena pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan sistem pemerintahan
otoriter yang dilakukan Khadafi (selanjutnya dibaca: Khadafi). Masyarakat
Libya terpecah kedalam dua kubu yang memiliki kepentingan kontradiktif, yaitu
milisi pro-Khadafi yang tetap mendukung Khadafi sebagai presiden Libya, dan
pemberontak anti Khadafi yang menginginkan turunnya Khadafi dari kursi
kepresidenan Libya yang telah didudukinya selama 42 tahun. Ketakutan warga
Libya memuncak dengan cara mengungsi ke negara-negara terdekat, yakni
43
Tunisia dan Mesir (Agastya, 2013:107). Ada juga warga negara asing yang lari
dari Negara Libya, yaitu dari Indonesia, China, Filipina dan lain-lain.
Aksi demonstrasi bukan pertama kali terjadi di Libya. Pada tahun 1993,
Khadafi pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh kelompok-kelompok
politik yang menentang pemerintahan Khadafi (Karmila, 2012:1). Khadafi juga
dianggap melanggar hak asasi manusia dalam kerusuhan politik di Benghazi
pada tahun 2006 yang menyebabkan tewasnya 30 orang rakyat Libya dan
beberapa warga asing. Khadafi kerap diduga melarang kebebasan pers dengan
mengontrol seluruh berita yang dapat disiarkan oleh televisi. Pada tahun 1972,
Khadafi mengeluarkan undang-undang pelarangan berdirinya sebuah partai
politik dan mengontrol pembentukan organisasi non-pemerintah. Kebijakan-
kebijakan yang dibuat Khadafi ini dinilai tidak demokratis oleh sebagian rakyat
Libya. Dan hal tersebut menjadi akar dari konflik saudara yang terjadi di tahun
2011 yang menginginkan sebuah revolusi di Libya (Tamburaka, 2011:225). Dari
gambaran umum diatas sejatinya ada beberapa faktor yang menyebabkan
revolusi Libya (Agastya, 2013:108):
Pertama, kemunculan gerakan oposisi didorong oleh motif balas dendam
pada masa lalu. Didalam gerakan revolusi yang terjadi di Libya tahun 2011,
terdapat kelompok-kelompok yang kemudian menjadi pihak oposisi terhadap
rezim Khadafi, Libya sendiri merupakan negara yang terdiri dari banyak suku
dan kelompok. Kelompok-kelompok tersebut secara mayoritas tinggal di
pengasingan di luar negeri, hal ini disebabkan karena rezim Khadafi sangat
menentang adanya kelompok-kelompok yang memiliki pemikiran kritis
terhadap pemerintahan, dan keadaan tersebut sangat mengancam bagi
44
keberadaan kelompok-kelompok ini apabila mereka menetap di dalam negeri.
Para pendukung Raja Idris I ini sejak dulu berkonsentrasi di kota-kota Timur
Libya, persisnya di Bengghozi, Ajdabiya, Baidho, dan Tuburq. Adapun bendera-
bendera yang masih dikibarkan oleh kalangan oposisi adalah bendera pada
kekuasaan Raja Idris I yaitu gerakan oposisinya adalah
a. NLO (Konferensi Nasional Oposisi Libya)
Merupakan organisasi oposisi Libya yang bertujuan untuk
meruntuhkan sistem pemerintahan tirani atas Libya dan penegakan atas
konstitusi baru dan legitimasi demokrasi di Libya. Konferensi Nasional
Oposisi Libya merupakan satu kesatuan organisasi yang pertama kali
membantu dalam hal mengorganisir gerakan protes selama konflik yang
terjadi di Libya. Pada tahun 2005, gerakan ini sempat melakukan konferensi
di London, Inggris. Agenda dari konferensi tersebut keseluruhannya
mengenai semangat demokrasi di Libya, dengan tujuan untuk mengakhiri 36
tahun ke brutalan rezim Khadafi yang merupakan suatu bencana besar bagi
Libya (The National Conference of the Libyan Opposition, 2011 diakses 4
November 2015).
b. NFSL (Front Nasional untuk Keselamatan Libya)
Kelompok ini di dirikan pada tanggal 7 Oktober 1981 dalam sebuah
konferensi pers yang diadakan di Khartoum, Sudan. Pemimpin asli dari
kelompok ini adalah Muhammad Al-Magariaf, yang merupakan mantan duta
besar Libya untuk India. Saat ini kepemimpinan dari kelompok ini di pegang
oleh seorang sekjen yang bernama Ibrahim Abdulaziz Sahad. Tujuan dari
berdirinya kelompok ini adalah sama seperti kelompok-kelompok lain yang
45
ada di Libya, yaitu untuk melawan rezim Khadafi (Eramuslim, 2011:4
November 2015).
Kelompok Front Nasional untuk Keselamatan Libya sangat
menentang kekuasaan milier di Libya, kelompok ini juga kemudian
menyerukan tentang sebuah negara dengan struktur pemerintahan demokratis
dengan jaminan konstitusional, pemilu bebas, kebebasan pers, dan adanya
pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Para
pendukung Raja Idris I yang di kudeta oleh Khadafi memanfaatkan
momentum tsunami revolusi Timur Tengah untuk membalas kudetanya pada
1 September 1969 (Agastya, 2013:108).
Dalam gerakannya untuk menentang rezim Khadafi, kelompok ini
menyebarkan kampanye luas untuk menggulingkan pemerintahan Khadafi,
mendirikan stasiun radio gelombang pendek, membentuk camp pelatihan
komando militer, dan juga menerbitkan surat kabar yang isinya propaganda
untuk menjatuhkan Khadafi. Dalam aksi militernya, Front Nasional untuk
keselamatan Libya sempat melakukan sebuah kudeta yang bertujuan untuk
membunuh Khadafi pada tahun 1984, namun aksi tersebut gagal dan berhasil
dihentikan oleh militer Khadafi.
c. Ikhwanul Muslimin Libya
Didirikan pada tahun 1979. Seperti Ikhwanul Muslimin Mesir, sasaran
dan tujuan dasar kelompok ini berprinsip harus adanya “Negara Islam”.
Sesudah tahun 1993 Ikhwanul Islamiyah Libya kemudian mulai menyebut
diri mereka sebagai Ikhwanul Muslimin Libya. Ikhwanul Muslimin Libya
menyatakan bahwa Libya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
46
dunia Islam. Ikhwan Libya melihat pemerintahan Libya di bawah
kepemimpinan Khadafi sebagai rezim yang bertarung melawan Islam,
membatasi kebebasan dan menindas rakyat. Ikhwan Libya mengklaim bahwa
pelarangan berdirinya partai politik dan kegiatan-kegiatannya di Libya oleh
rezim yang berkuasa dan kontrol ketat terhadap peradilan dan semua
organisasi sosial, sangat bertentangan dengan hak asasi manusia (Defila,
2011:44).
Kedua, keinginan rakyat Libya kepada demokratisasi, kebebasan
berpendapat, keadilan, dan ekspresi politik yang selama ini terkekang oleh
sistem tirani (yaitu dipimpin oleh satu orang) selama 4 dekade (Agastya,
2013:108).
Ketiga, revolusi ini dipicu oleh “tangan besi” (diktator) penguasa kepada
sebagian rakyat Libya yang melahirkan pelanggaran HAM berupa penangkapan
dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap lawan-lawan politik, terutama
peristiwa penembakan 1.000 lebih tahanan politik di Penjara Abu Salim
(Agastya, 2013:108). Diktator berasal dari bahasa latin Dictare, yang
menyatakan sebagai perintah, seorang pemegang kekuasaan mutlak dalam
menjalankan pemerintahan negara (Ensiklopedia Indonesia, 1989:822). Menurut
Franz L. Neuman dalam Jurnal Ilmu Politik (1993:39) diktator adalah
pemerintahan oleh seseorang atau kelompok orang yang menyombongkan diri
dan memonopoli kekuasaan dalam negara dan melaksanakan kekuasaan tersebut
tanpa dibatasi. Pengertian diktator juga dikemukakan oleh (Jules, 1985:19),
diktator adalah seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan
mutlak tanpa memperhatikan keinginan-keinginan nyata dari rakyatnya.
47
Menurut Miriam Budiardjo (1989:98), pengertian dari diktator itu sendiri
ada dua macam, yaitu: a). Diktator proletar, di mana antara masyarakat kapitalis
dan masyarakat komunis terdapat suatu masa peralihan dalam suatu transformasi
secara revolusioner dan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis, b).
Diktator militer, yaitu seorang atau segolongan perwira yang menentang tanpa
memberi pertanggungjawaban kepada rakyat, sehingga caranya naik ke
pemerintahan dengan mengadakan kudeta. Kadang-kadang suatu diktator militer
perlu sementara waktu untuk memulihkan keadaan kacau balau yang tidak dapat
dikuasai lagi oleh kekuatan sipil yang kurang mampu atau tidak mendapat
dukungan yang memadai.
Jules Archer (1985:21) mengatakan bahwa system kediktatoran
dibedakan menjadi 2 tipe yaitu, “tipe diktator militer, yaitu mendapatkan
kekuasaanya melalui kekuatan militer, dan tipe diktator politik, yaitu
mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum”.
Ciri-ciri negara diktator menurut Carl J. Frederick dan Z. Bigriewle
Brezinksky dalam Jurnal Ilmu Politik (1993: 40), adalah sebagai berikut: a).
Suatu ideologi yang menyeluruh yang terdiri dari ajaran-ajaran (doktrin) badan
resmi yang meliputi seluruh aspek vital dan pada kehidupan manusia dalam
masyarakat yang harus dilakukan dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat.
Ideologi ini ditujukan untuk membentuk manusia baru paripurna yang berlainan
dengan manusia yang sekarang ada dalam masyarakat, b). Satu partai masa yang
dipimpin oleh seorang manusia diktator dengan anggota terdiri dari prosentase
yang relatif kecil dari jumlah penduduknya, yang terdiri dari laki-laki dan wanita
di mana mengabdikan dirinya secara menyeluruh terhadap ideologi dan bersedia
48
melakukan setiap cara agar supaya diterima oleh umum atau partai tersebut
diorganisir lebih tinggi atau sepenuhnya beserta birokrasi pemerintah, c). Suatu
sistem teror baik psikis maupun fisik yang dilaksanakan melalui partai dan
pengawasan polisi khusus yang ditujukan terhadap musuh-musuh rezim yang
demonstratif dan juga terhadap golongan penduduk yang tidak menyetujuinya.
Teror itu baik yang dilakukan oleh polisi rahasia maupun oleh partai yang
ditujukan untuk menindas masyarakat secara sitematis dengan menggunakan
ilmu modern.
Menurut Sukarna (1981:86), prinsip-prinsip kediktatoran adalah: a).
pemusatan kekuatan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif berada
dalam satu badan, b). Pemerintah tidak konstitusional, c). Pemilihan umum yang
tidak bebas, d). Tidak ada perlindungan hak asasi manusia, e). Menolak
kebebasan pers, f). Peradilan yang tidak bebas dan memihak, g). Tidak ada
pengawasan terhadap administrasi negara, h). Jaminan terhadap kebebasan
individu dibatasi dan, i). Undang-undang dasar tidak lagi demokratis.
Selanjutnya juga dikemukakan mengenai ciri-ciri konstitusi negara
dengan sistem kediktatoran adalah: a). konstitusi dibuat oleh pengikut-pengikut
diktator berdasarkan perintah, b). konstitusi dibuat untuk kepentingan diktator,
c). konstitusi tidak melindungi hak asasi manusia, d). konstitusi tidak mengakui
kebebasan rakyat, e). konstitusi menghapuskan atau tidak mengatur dan
membatasi pemilu yang bebas, f). konstitusi menolak kebebasan pers, g).
konstitusi membatasi kebebasan peradilan, h). konstitusi mengatur pemusatan
kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif dalam satu tangan, i). konstitusi
memperluas dan tidak membatasi fungsi eksekutif, j). perubahan konstitusi
49
berdasarkan petunjuk atau tujuan diktator, k). konstitusi dalam negara dengan
sistem kediktatoran dibuat berdasarkan kekuasaan absolut.
Abu Daud Busroh (1987:67) menyebutkan ciri-ciri negara diktator
adalah sebagai berikut: 1). adanya peradilan khusus untuk mengadili orang yang
melawan rezim yang berkausa, 2). tidak ada kebebasan berserikat dan
berkumpul, 3). tidak ada pemilihan umum. Dalam sistem kediktatoran kegiatan
warga negara adalah terikat oleh penguasa atas negara, sehingga kebebasan yang
melekat pada dirinya adalah memuji sang penguasa (Soehino, 1980:35).
Sebagaimana diungkapkan oleh (Jules, 1985:21) bahwa sistem kediktatoran
dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: a). Tipe diktator militer, yaitu mendapatkan
kekuasaanya melalaui kekuatan militer, b). Tipe diktator politik, yaitu
mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum.
Nicolo Machiavelli dalam Encyclopedia of Social Sciences (1968:161)
adalah yang pertama kali membedakan antara kediktatoran sebagai lembaga
konstitusional republik dan sebagai bentuk pemerintahan despotik, yang
merekomendasikan untuk diperbaiki penguasa sebagai sarana untuk
memulihkan politik. Monarki absolut umumnya tidak dianggap sebagai diktator,
karena pelaksanaan kekuasaan engenakan legitimasi tradisional. Namun setiap
kali berdaulat mutlak sebenarnya aturan politik, melanggar standart adat otoritas
monarki, pemerintahannya harus disebut diktator.
Keempat, ekonomi semakin melemah diantara kehidupan masyarakat
Libya, padahal Libya produsen minyak terbesar ke-9 dunia. Akan tetapi hasil
dari kekayaan minyak tersebut semata-mata bukan untuk kehidupan rakyat tetapi
hanya dinikmati oleh pejabat dan keluarganya, serta banyak untuk membantu
50
negara-negara Afrika (Agastya, 2013:108). Keinginan rakyat Libya untuk
mengakhiri kepemimpinan Khadafi. Kondisi sosial dalam masyarakat Libya
yang tidak memuaskan secara finansial. Angka pengangguran di Libya mencapai
30 persen dengan total penduduk sebanyak 6.597.960 Jiwa (sensus Juli 2011).
Meskipun satu dekade terakhir, Khadafi mulai melunak dalam kebijakan luar
negerinya, misalnya dengan membatalkan program senjata pemusnah masal dan
menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada tahun
2004 (Adnan, 2008:40), untuk memperbaiki kondisi ekonomi Libya. Khadafi
bahkan mengizinkan kembali adanya penanaman modal asing terutama di
bagian perminyakan bagi para pengusaha asal Amerika Serikat. Akan tetapi, hal
ini ternyata tidak cukup mampu membendung arus demokratisasi yang
diinginkan rakyatnya. Ekonomi menjadi tajuk utama terjadinya revolusi karena
sistem perekonomian Libya menerapkan sistem ekonomi terpusat bukanlah hal
yang baru jika melihat kecenderungan pemikirannya yang beraliran sosialis.
Khadafi sangat mempromosikan pentingnya kesetaraan dalam negara, terutama
dalam hal ekonomi, sebagaimana lazimnya pandangan sosialis.
Berawal dari situ pula Khadafi tidak membiarkan sektor swasta tumbuh,
karena sebagai seorang sosialis fanatik, ia tidak mempercayai sistem ekonomi
liberal yang kapitalis, yang tentu saja ditandai dengan pemberian kesempatan
seluas-luasnya bagi pihak swasta dan pasar untuk menentukan hasil kompetensi
ekonomi. Pandangan yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pengawas,
dan bukan pengontrol langsung. Khadafi tidak menyepakati hal ini karena tidak
membawa kesejahteraan dan equity bagi masyarakat (Hatimah, 2013:98).
Meskipun pada faktanya, sistem ekonomi yang ia terapkan berupa “true
51
economic independence” dengan menasionalisasi semua aset dan menolak
investasi asing, juga gagal membawa kesejahteraan yang diinginkan.
Menurut Bloomberg, Gubernur Libya Sentral Bank, Farhat Bengdara,
yang membelot dari pemerintahan Kadhafi, menyatakan bahwa Libya memiliki
banyak cadangan minyak dan gas bumi serta kekayaan lainnya. Minyak jenis
sweet crude yang sangat sulit didapatkan, terdapat dalam jumlah banyak di
Libya. Minyak jenis ini terkenal dengan kandungan sulfur yang rendah. Minyak
mentah ini sangat ideal diolah menjadi bensin dan solar. Meski tak ada data
resmi, diperkirakan hampir 95 persen produksi minyak dan gas alam Libya di
ekspor (Hendrajit, 2011:1).
Kelima, adalah kepentingan asing. Faktor-faktor dalam negeri tersebut
diperparah dengan datangnya kepentingan-kepentingan asing yang berusaha
memanfaatkan momentum untuk menguasai minyak Libya (Agastya, 2013:108).
Selama ini pemerintah Libya sangat ketat dalam kerjasama ekplorasi minyak
dengan perusahaan Eropa dan Amerika Serikat. Kekayaan minyak Libya yaitu
46,4 miliar barel, sangat menggiurkan bagi bangsa Eropa dan Amerika Serikat
untuk menguasanya. Produksi Libya sebelum revolusi mencapai 1,7 juta barel
setiap hari. Produksi ini menyuplai 6 persen kebutuhan minyak dunia. Dengan
kapasitas produksi itu, Libya menempati urutan ke 9 negara produsen minyak
dunia dan urutan ke 5 di Dunia Arab, setelah Arab Saudi, Iran, Irak, dan Bahrain.
2. Kronologi Revolusi Libya
Pemberontakan rakyat Libya sebenarnya telah lama terdengar, pada
Oktober tahun 1993, Khadafi pernah diserang dan hampir dibunuh, insiden ini
diduga dilakukan oleh kelompok politik penentang Khadafi, seperti: Konferensi
52
Nasional Oposisi Libya, Front Nasional untuk Keselamatan Libya, dan Komite
Aksi Nasional Libya di Eropa (Karmina, 2012:109). Bahkan, di tahun 2006,
pemberontakan terhadap Khadafi juga sempat timbul sebagai unjuk rasa atas
digantungnya seorang mahasiswa aktivis HAM dan demokrasi di Libya. Namun,
tidak lama setelah insiden tersebut, gejolak kembali reda. Tindakan otoriter
Khadafi dianggap sebagai hal yang lumrah dalam menjalani kehidupan di Libya,
sampai pada akhirnya, mata rakyat Libya kembali terbuka setelah melihat
revolusi yang dialami negara-negara tetangga Libya. Khadafi barangkali
menyadari bahwa revolusi yang terjadi dikawasan Timur Tengah bisa saja
melanda negaranya. Pencegahan dilakukan dengan pemblokiran social network
dengan tujuan membatasi pengetahuan rakyat Libya dari berita-berita luar untuk
mencegah kemungkinan terjadi hal yang serupa di Libya.
Gelombang protes yang terjadi pada tanggal 15 Februari 2011, 4 hari
sebelum Husni Mubarak digulingkan di Mesir, revolusi Arab bergerak ke kota
terbesar kedua di Libya, Benghazi. Protes yang di suarakan adalah meminta
pertanggungjawaban pemerintahan Khadafi atas penembakan 14 demonstran
pada tahun 2006 (Agastya, 2013:109). Selanjutnya pada tanggal 16 Februari
2011, aksi demonstran semakin bergolak dengan menuntut pertanggung jawaban
Khadafi atas pembunuhan 1.200 tahanan di Penjara Abu Salim. Bentrokan masa
dan aparat mengakibatkan setidaknya fasilitas kantor polisi terbakar. Namun
gerakan ini mendapat respon yang negatif dan cenderung represif dari Khadafi.
Khadafi melalui aparat kepolisian Libya kemudian membubarkan para
demonstran dengan menggunakan kekerasan, yang kemudian menyebabkan
banyak korban yang terluka (Shepart and Robert, 2003:227).
53
Gelombang demonstrasi yang terjadi di Libya kemudian menjadi
semakin kuat dengan bergabungnya kelompok-kelompok yang merupakan pihak
oposisi terhadap rezim yang sudah ada sejak sekian lama. Kelompok-kelompok
ini terdiri dari: Konferensi Nasional Oposisi Libya (NCLO), Front Nasional
untuk Keselamatan Libya (NFSL), Ikhwanul Muslimin Libya, sisa-sisa
pendukung Raja Idris, serta kelompok-kelompok jihad lainnya, yang kemudian
menggunakan momentum ini dar bersatu bersama rakyat Libya menyerukan
agar Khadafi turun dari kekuasaannya. Gelombang demonstrasi semakin kuat
dan menyebar ke seluruh kota di Libya seperti: Tripoli, Tajoura, Zawiyah,
Zintan, Ajdabiyah, Ras Lanuf, Al Bayda, Benghazi, Bin Jawed, Ar Rajban, dan
Misratah Kerusuhan Benghazi Libya, (BBC, 2011 27 Oktober 2011).
17 Februari 2011, pihak oposisi menginginkan turunnya Khadafi dari
puncak pemerintahan dengan menggalang seluruh kekuatan rakyat Libya
kemudian sebagai Hari Kemarahan melalui sebuah situs jejaring sosial Facebook
serta menyebarkan informasi melalui jejaring media sosial (Tamburaka,
2011:226). Jaringan aktivis internet Libya-Amerika-Inggris-Arab terbentuk,
yang targetnya adalah mengumpulkan dan menyebarkan informasi dari lapangan
kepada dunia melalui internet. Hari ini disebut-sebut sebagai peringatan
peristiwa anti-Khadafi pada tahun 2006, yang dapat dihentikan secara sempurna
oleh pihak militer Libya (Agastya, 2013:110).
Setelah kejatuhan rezim-rezim otoriter yang terjadi di negara tetangga
Libya seperti Ben Ali di Tunisia dan Hoesni Mubarak di Mesir, Khadafi mulai
sadar bahwa tantangan yang berasal dari kekuatan seluruh rakyat Libya yang
bergejolak tidak lagi dapat diremehkan. Sebab itu, menjelang tanggal 17
54
Februari 2011 Khadafi mengundang sejumlah aktivis politik, pemimpin media,
dan LSM untuk membujuk mereka agar tidak menggalang kekuatan massa yang
lebih besar untuk melawan kekuasaannya (Tamburaka, 2011:226).
Konflik terus bergejolak hingga tanggal 18 Februari 2011, aksi masa
mencapai kediaman Khadafi di wilayah timur Libya. Khadafi mengerahkan
tentara bayaran (kebanyakan berasal dari Chad), adapun dengan bayaran sebesar
5.000 dinar (Agastya, 2013:110). Konflik meningkat sampai tanggal 19 Februari
2011, dalam konflik itu terlihat helikopter milik pemerintahan Khadafi
menembaki ke arah kerumunan demonstran anti pemerintahan Khadafi. Korban
jiwa mencapai 300 orang demonstran dan 130 anggota pasukan pemerintah
(Tamburaka, 2011:228). Tindakan brutal ini mengundang kecaman dari
kalangan pejabat tinggi dan militer Libya, didalam tubuh militer Libya kemudian
menjadi dua kubu, disatu sisi menjadi loyalis Khadafi dan dikubu lain militer
yang telah membelot kemudian bergabung bersama para demonstran.
Sedangkan di kalangan pejabat-pejabat tinggi Libya, banyak yang kemudian
mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa pada tanggal 21 Februari dimulai dari kota
Benghazi, mengambil alih jalan-jalan, dan senjata dijarah dari markas besar
keamanan utama. Para demonstran juga kemudian menurunkan bendera Libya
yang merupakan bendera pemerintahan Khadafi dari atas gedung pengadilan
utama dan menggantinya dengan bendera tua yang digunakan pada masa
pemerintahan monarki Raja Idris (2011:229).
22 Februari ibunda Mohamed Bouazizi menyatakan dukungan kepada
rakyat Libya. Sementara itu, beberapa kepala suku dan suku kekuatan Werfalla
55
menyatakan dukungan penuh kepada Gerakan Kebangkitan 17 Februari
(Agastya, 2013:111).
23 Februari 2011 mantan menteri keadilan Mustafa Abud Al-Jaleil
menyatakan bahwa secara pribadi Khadhafi yang memerintahkan pemboman
Lockerbie 1988. Di hari yang sama juga terdapat laporan yang menggambarkan
situasi saat itu di Libya sebagai perang saudara atau revolusi telah bergolak
(Tamburaka, 2011:230).
24 Februari 2011 demonstran memegang kendali Kota Tobruk, dimana
tentara dan penduduk kemudian merayakannya dengan mengibarkan bendera
yang pernah digunakan pada masa pemerintahan Raja Idris antara tahun 1951-
1969. Unit angkatan darat di Tobruk bergabung dengan para pengunjuk rasa, hal
ini juga terjadi di tempat lain, para pengunjuk rasa menguasai pelabuhan minyak
kunci yaitu Ras Lanouf, menurut sumber, Kota Ras Lanouf, yang lokasinya
berada 140 kilometer Kota Sirte, jatuh ke tangan pemberontak usai terjadinya
pertempuran sengit dengan pasukan Khadafi yang kemudian melarikan diri
(2011:231).
Pasukan loyalis Khadafi berhasil “menyapu” kota yang dikuasai oleh
para oposisi di dekat Ibu Kota Libya Tripoli, keamananpun semakin diperketat
di sekitar Ibu Kota. Apalagi setelah menyusul kabar, bahwa pasukan
pemberontak telah berhasil menguasai pelabuhan minyak di bagian timur.
Perebutan wilayah antara pasukan pro-Khadafi dan pasukan pemberontak
menimbulkan kekhawatiran, konflik yang ada di Libya tak bisa dihitung dalam
hitungan hari seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia tapi bisa berbulan-bulan
(Kaplan, 2011:38).
56
Tentara yang loyal terhadap Khadafi tetap bertahan di sekeliling Kota
Zawiyah di barat Libya. Setelah dipukul mundur pasukan perlawanan.
Kemudian, pada pagi harinya ratusan milisi yang setia kepada Khadafi masuk
ke pusat kota itu didukung oleh sejumlah tank, pasukan-pasukan pro Khadafi
melakukan serangan fajar yang mengejutkan 200.000 warga Zawiyah (Kaplan,
2011:340). Mereka kemudian menembaki warga dengan mortir dan senapan,
serangan ke Zawiyah ini merupakan salah satu serangan terbesar pendukung
Khadafi.
Suasana di Benghazi sangat menegangkan, terdengar rentetan bunyi
tembakan dan bunyi ledakannya sangat keras. Penyebab ledakan masih menjadi
spekulasi. Dugaan terkuat adalah bom dilepaskan pesawat tempur pasukan
loyalis Khadafi, ada pula kecurigaan bahwa rezim Khadafi menyusupkan orang
untuk meledakkan gedung amunisi tersebut, atau ledakan disebabkan oleh bom
mobil (2011:41).
Benghazi terdapat kelompok yang menamakan diri Revolusi Pemuda 17
Februari menyampaikan pernyataan politik. Mereka menuntut Khadafi mundur
dan diajukan ke Pengadilan Kriminal Internasional di Belanda atas kejahatan
yang dilakukannya terhadap rakyat Libya sejak memerintah tahun 1969. Para
pemuda revolusioner dibantu oleh tentara yang membelot dari rezim Khadafi
terus menekan dari arah timur (2011:345). Di kota seperti El Brega, Ajdabiya,
dan Ras Lanouf, mereka bertempur melawan tentara Khadafi, perang itu
melibatkan artileri dan rudal anti serangan udara. Bendera yang digunakan oleh
para pemberontak berkibar di bundaran pusat Kota Ras Lanouf.
57
Ras Lanouf adalah salah satu kota penghasil minyak terbesar di Libya.
Pertempuran di Libya terbatas di kota-kota yang terdapat kilang minyak tersebut.
Milisi loyalis Khadafi berusaha menguasai kembali kota-kota minyak tersebut
mengingat lokasinya yang strategis. Strateginya adalah, Jika tentara loyalis
Khadafi berhasil menguasai El Brega, Ajdabiya, dan Ras Lanouf, Kota Benghazi
yang dikuasai oleh kelompok anti pemerintah bisa jatuh ke tangan para loyalis
Khadafi lagi. Namun, bila kaum revolusioner memperkuat posisi, terbuka
peluang menyerbu Sirte, kota asal Khadafi (Kaplan, 2011:352).
Sedikitnya 173 orang tewas sebagai korban dari revolusi demi
menyingkirkan Presiden Libya, Khadafi sejak 15 Februari 2011 (2011:43).
Menurut tim medis yang melakukan perawatan terhadap korban, angka tersebut
masih belum lengkap dan juga masih ada orang-orang yang terluka, luka-luka
yang dialami oleh korban menunjukkan penggunaan senjata berat oleh pasukan
Khadafi untuk menyerang para demonstran.
1 Maret 2011, Menteri Pertahanan Australia mendukung upaya
intervensi militer no fly zone. Sedangkan perdana Menteri Kanada, Stephen
Haper, mengirimkan 1 kapal perang ke perairan Libya “untuk mengevakuasi
pengungsi”. Sementara itu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat berucap “no fly
zone adalah upaya serangan udara besar untuk menggempur pangkalan udara
Libya, sampai dipastikan pasukan udara Libya tidak bias mengudara” (Agastya,
2013:114).
2 Maret 2011, Khadafi berpidato untuk ketiga kalinya di Tripoli, “Tidak
ada demonstrasi damai di Libya, Benghazi, atau Derma. Tidak ada penembakan
terhadap 1.000-an aksi masa (Agastya, 2013:114). Media-media barat telah
58
memberikan hal-hal yang keliru”. Kadhafi menerima penawaran tawaran
proposal Hugo Chavez, Komite Dama, untuk mediasi perundingan damai
dengan pemberontak Benghazi.
Sekitar pukul 09.00 pagi waktu Libya, empat ledakan besar dekat Tripoli
(Tamburaka, 2011:234). Menurut laporan dari media Internasional, aparat
keamanan dan pendukung Khadafi mencegah wartawan dan penonton untuk
mendekati ledakan, yang berasal dari sebuah truk tangker minyak. Sementara itu
di Brega, pemberontak berhasil menguasai minyak terbesar di Libya dan gudang
persenjataan. Sedangkan, korban meninggal dunia di pertempuran Brega
dilaporkan berjumlah 14 orang (Agastya, 2013:114).
3 Maret 2011, tepatnya di Kota Brega merayakan kemenangan. Peradilan
Kejahatan Internasional (ICC) akan mengadakan penyeledikan dugaan
“kejahatan perang” dan “kejahatan kemanusiaan” terhadap Kadhafi dan orang-
orang di lingkaran kekuasaannya. Liga Arab menyatakan pertimbangan proposal
Hugo Chavez. Adapun pemerintahan Dewan Transisi di Benghazi beraksi
menyatakan menolak bentuk dan upaya apapun dari pihak asing, termasuk
Komite Damai, jalan perundingan yang diajukan oleh Hugo Chavez (2013:114).
4 Maret 2011 para pengunjuk rasa berencana melakukan demonstrasi di
Tripoli dihadapi dengan kekerasan, penangkapan, dan penculikan serangan
dibuka dengan serangan antileri berkepanjangan dan pasukan menyerang di
kedua sisi kota (Tamburaka, 2011:234). Dalam jam pertama pertempuran,
komandan pertempuran oposisi colonel Darbouk Hussein dibunuh. Malam
harinya pemberontak kembali ke alun-alun pusat di Zawiyah, dimana sekitar
2.000 dari mereka bersiap menyerang balik.
59
6 Maret 2011 pasukan Khadafi meluncurkan serangan balasan demi
merebut kembali kota-kota yang diduduki oleh para pasukan pemberontak,
diantaranya kota pelabuhan minyak Ras Lanouf dan Brega. Pasukan Khadafi
juga berusaha merebut kembali Kota Misrata, sehingga terjadi kontak senjata
yang cukup hebat, kali ini pasukan Khadafi mengirimkan pasukan infantri dan
kendaraan lapis baja ke kota demi menggempur kekuatan para pemberontak
(Kaplan, 2011:44).
Dalam perang ini pasukan pemberontak menyergap pasukan Khadafi
ketika pasukan Khadafi sampai di tengah kota, hal ini menyebabkan pasukan
Khadafi dapat sementara ditaklukkan, dalam perang ini sedikitnya 21 orang
tentara pemberontak serta rakyat sipil dan 22 orang tentara Khadafi tewas.
Selama satu malam, pasukan pemberontak berhasil merebut kota tersebut,
namun pada hari berikutnya, yaitu tanggal 8 Maret 2011 serangan balasan dari
pasukan pemerintah kemudian berhasil menghancurkan sebagian besar dari
kota. Pada malam dimana pasukan pemberontak berhasil menguasai kota,
mereka dengan kekuatan sekitar 60 orang menyelinap keluar untuk menyerang
pangkalan militer milik pasukan Khadafi, namun kenyataannya pasukan tersebut
tidak pernah kembali setelah malam tersebut. Khadafi tetap mengontrol kota-
kota seperti Tripoli, Sirte, Sabha, serta beberapa kota lainnya.
Rezim Khadafi memutuskan seluruh jaringan komunikasi sehingga
orang-orang bahkan para jurnalis harus naik ke atap rumah untuk menemukan
sinyal demi melaporkan keadaan. Para saksi mata menggambarkan hujan peluru
diatas kota, dimana perempuan dan anak-anak terbunuh dan beberapa keluarga
terjebak di dalam rumah mereka. Banyak bangunan, termasuk masjid, telah
60
dihancurkan dan pasukan oposisi menggunakan pengeras suara di masjid-masjid
untuk memanggil warga untuk datang membantu mempertahankan oposisi di
pusat kota.
9 Maret 2011, kondisi Kota Zawiyah hampir sepenuhnya berada dibawah
kontrol tentara Khadafi, namun para pasukan oposisi berhasil mengusir mereka
keluar dari kota, pertempuran tersebut memakan korban sebanyak 40 orang yang
berasal dari kedua belah pihak. Dalam perang ini pasukan oposisi berjuang
habis-habisan untuk melawan serangan dari angkatan darat Libya, meski hanya
menggunakan roket dan granat untuk menghancurkan tank-tank milik
pemerintah, pasukan oposisi berhasil memukul mundur mereka keluar dari kota.
Pasukan Khadafi berhasil merebut kembali kota-kota lain dan memukul
mundur pasukan pemberontak, kota-kota seperti, Brega, dan Zuwara berhasil
direbut kembali, pasukan pemberontak terdesak hingga kota Ajdabiya, yang
merupakan kota terakhir yang berhasil dikuasai oleh pemberontak setelah
Benghazi, di kota inilah para tentara pemberontak bertahan dari serangan tank,
kapal perang serta angkatan udara Libya dengan mendapatkan bantuan dari
pasukan oposisi yang berada di Benghazi.
Dalam meneliti tingkat gerakan masa yang terjadi di Libya, penelitin ini
dapat menggunakan suatu analogi Piramida Konflik (Simon, 2011:33).Analogi
ini di gunakan untuk mengidentifikasi pihak-pihak atau para pelaku utama dalam
konflik yang terjadi di Libya yang berasal dari berbagai tingkatan.
3. Pasca Revolusi Libya
Pemerintahan Libya berdasarkan Undang-undang Jamahariiyyah
memiliki kesamaan makna dengan republik, dalam ayat (1) disebutkan, Libya
61
adalah Negara Arab, demokratis dan republik dengan kedaulatan tertinggi di
tangan rakyat. Masyarakat Libya adalah bagian dari negara-negara Arab. Tujuan
mereka adalah kesatuan Wilayah Libya termasuk Afrika. Sejak penghujung
1987, kepala negara, kepala pemerintahan dan panglima angkatan bersenjata
Libya dijabar oleh Khadafi yang berperan penting dalam melakukan revolusi
militer.
Dalam kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dijalankan oleh Kongres
Rakyat Umum (General People’s Congres) yang bersidang beberapa kali dalam
setahun (Qaddafi, 2000:89-94). Kongres Rakyat Umum, mengangkat Perdana
Menteri dan Menteri-menteri. Tugas lainnya adalah membuat kebijakan-
kebijakan umum negara. Keanggotaan Kongres Rakyat Umum 1000 orang
berasal dari wakil dewan rakyat, kongres rakyat dan dewan revolusi yang lebih
rendah (tingkat provinsi dan daerah). Kepemimpinan Kongres Rakyat Umum
dipusatkan di Sekertariat Jenderal yang dipimpin seorang sekertaris jenderal.
Fungsi kabinet dijalankan oleh Dewan Rakyat Umum.
Setelah gubernur dilarang pada tahun 1975, Libya dibagi dalam tujuh
sampai sepuluh distrik-distrik militer. Setiap distrik militer dibagi lagi ke dalam
beberapa daerah setingkat kabupaten dan kotamadya, kemudian dibagi lagi
dalam kapasitas wilayah desa atau kota.
Sejak revolusi 1969, hukum Islam telah menggantikan Undang-undang
lainnya. Sistem hukum Libya menganut pula peradilan privat, kriminal dan
perdagangan. Libya terdapat peradilan perorangan (privat). Peradilan
Revolusioner dan Peradilan Militer yang menangani persoalan politik.
62
Keberadaan partai politik dilarang. Oraganisasi masa hampir semua diarahkan
ke Arab Sosialist Union.
Peran pemerintahan terhadap perekonomian Libya pada rezim Khadafi
sangat dominan. Salah satunya adalah sebagai pengontrol perusahaan-
perusahaan minyak asing bahkan menasionalisasi perusahaan-perusahaan
minyak, contohnya pada tahun 1974. Libya menasionalisasi perusahaan Shell.
Sebelumnya, pada bulan November 1969, telah menasionalisasi seluruh bank
milik asing termasuk Arab Bank, Banco di Roma dan Barclay’s Bank (David
dan Bernard, 2002:376). Fasilias umum juga dikuasai oleh negara seperti
perusahaan penerbangan, komunikasi, bangunan dan lainnya.
Buku yang berjudul “buku hijau” pada tahun 1977, merupakan filosofi
politik dan ekonomi Khadafi. Isi dari buku tersebut berisi gagasan-gagasan
tentang pokok-pokok pemerintahan dan kritik keras terhadap keberadaan partai
politik. Sampai sekarang tidak ada partai politik di Libya. Akan tetapi Khadafi
tetap paling menentukan di Libya, berhubung bukan saja ia menjabat sebagai
sekertaris jendral Majelis Rakyat Umum (General People’s Congress), melaikan
juga tetap menjabat sebagai presiden. Hal ini dikarenakan adanya legitimasi
Khadafi di Libya begitu tinggi yang didapat oleh popularitas dan kepercayaan
masyarakat Libya.
a. Kondisi dari segi Sosial
Libya masa pemerintahan Khadafi mendapatkan beberapa kebebasan,
seperti kebebasan mengenai tanah atau lahan. Kemudian Khadafi juga
memberikan kebebasan pada masyarakat Libya untuk memakai dan
mengolah tanah di Libya untuk kepentingan hidup seperti untuk bertani.
63
Lahan tersebut diberikan secara gratis dari pemerintah untuk rakyatnya.
Khadafi melakukan hal tersebut karena dilandaskan dengan hasil pemikiran
yang menyatakan bahwa tanah bukan milik perorangan, setiap orang punya
hak mempergunakan, mengambil untung darinya dan bekerja, bertani dan
mengembala. Hal ini berlaku bagi kehidupan manusia dan kehidupan
penerusnya.
Khadafi menciptakan masyarakat Libya yang sosiolis berdasarkan
pemikirannya. Sosialis dapat terjadi apabila mereka diberikan kebebasan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meraihnya adalah dengan
memenuhi kebutuhan materi dan spiritual manusia. Dengan memenuhi
kebutuhan manusia tersebut, maka akan menghasilkan kepuasan. Menurutnya
kepuasan-kepuasan tersebut dapat diperoleh tanpa harus mengeksploitasi atau
memperbudak orang lain (Fakih, 2000:66). Bagi Khadafi pembantu rumah
tangga dibayar ataupun tidak dibayar merupakan budak. Khadafi
beranggapan bahwa mereka adalah budak modern.
Pemerintahan Khadafi terdapat pertentanganakan kebijakan yang
dibuat Khadafi. Masyarakat Libya masih sangat konservatif terhadap
perubahan. Masyarakat Libya yang membenci upaya rezim ini untuk
menggantikan kepemimpinan tradisional yang memiliki tujuan untuk
mendaftarkan perempuan ke dalam kehidupan militer dan berpartisipasi
dalam politik, bahkan membuat bangsa yang bertentangan dengan keluarga,
identitas kesukuan atau regional. Seperti yang diketahui dimana ada Khadafi,
maka akan ada pengawal wanita yang selalu mengawal kemana pun Khadafi
pergi. Kebijakan Khadafi tahun 2005 terhadap media surat kabar dan
64
elektonik dinilai telah melanggar HAM, karenakan tidak bebasnya
masyarakat berpendapat dan mengekspresikan diri. Hal tersebut menyatakan
bahwa seluruh media surat kabar dan elektronik adalah milik negara.
Setelah revolusi Libya atas pemerintahan Khadafi, kondisi di Libya
menjadi tidak terkendali. Masyarakat sosialis baru yang ingin diciptakan
Khadafi tidak terealisasi dan kehidupan masyarakat Libya pun dipenuhi
banyak ketidak nyamanan masyarakat akan hal yang terjadi antara pasukan
revolusi Libya dengan pasukan militer pemerintahan Libya. Sulitnya
masyarakat Libya dalam mencari pekerjaan pasca revolusi Libya pada tahun
2011, yang dikarenakan serangan-serangan militer membuat banyak
masyarakat mengalami mogok kerja. Saat ini pasca revolusi masyarakat
Libya bergantung pada sumber penghasilan minyak bumi.
Pasca revolusi Libya pemerintahan Khadafi seperti mengembalikan
Libya pada zaman pemerintahan raja Idris I yang menggantungkan kehidupan
masyarakatnya ke pos-pos yang didirikan pasukan asing. Ditambah lagi kursi
kepemimpinan akibat kurangnya orang yang berkompeten menjadi
perebubutan tersendiri di antara suku-suku di Libya, seperti yang diketahui
suku-suku di Libya memiliki keistimewaan.
Buku karya Lillian Craig Harris dengan judul Libya Qadhafi’s
revolution and Modern State menyatakan bahwa Jacques Roumani dalam
karya Middle East Journal menganalisis perkembangan politik Libya dalam
perspektif sejarah yang menunjukkan bahwa apa pun hasil dari revolusi Libya
dan apapun masa depan politik Libya, revolusi Khadafi sudah diberikan
kepada rakyat Libya, peluang untuk berdamai dengan masa lalu mereka
65
antara masyarakat dan pemerintah khususnya masa colonial memberikan
respon kuat dari pan arabisme dan pan islamisme (Harris, 1986:129).
b. Kondisi dari segi Politik
1) Dalam Negeri
Kebijakan dalam negeri Libya jamahirriyyah (Harris, 1986:58)
dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan bersumber pada satu kekuasaan
yakni Khadafi, melaksanakan prosedur pemerintahan kerakyatan dan
memimpin pemerintahan serta menetapkan bahwa seluruh kekuasaan
diatur oleh Khadafi sendiri. Libya lebih dikenal sebagai negara radikal
sejak tahun 1980-an akibat kebijakan dalam negerinya. Ideologinya
didasarkan dari perpaduan antara nasionalisme Arab, aspek
kesejahteraan negara dan yang ia sebut sebagai demokrasi rakyat.
Ideologi yang dicetuskan Khadafi disebut dengan Teori Universal
terbentuk pada tahun 1973. Khadafi menyebutnya sebagai teori universal
ketiga karena menurutnya ada jalan baru untuk menolak materialisme
kapitalis dan atheis komunis. Dasar dari ideologi ketiga, Khadafi
menyebutnya sebagai alternatif untuk materialisme kapitalis dan
atheisme komunis, yaitu jalan untuk keluar dari sifat memperbanyak
materi atau uang serta terbebas dari sikap acuh terhadap keyakinan hidup
beragama.
Sebuah ideologi yang menyerukan manusia agar kembali ke jalan
Allah, Khadafi mengklaim bahwa tidak ada kebutuhan yang lebih besar
dan penting dalam diri manusia selain keimanan kepada Allah, Khadafi
menegaskan terhadapkan rakyatnya bahwa ketaatan beragama adalah
66
kunci hidup bernegara serta memberikan seruan bagi manusia agar
berlaku adil sebagai makhluk yang mengelola bumi. Ideologi yang
dicetuskan oleh Khadafi ini adalah ideologi berdasar asas kemanusiaan
dan bukan teori agresif sebagai teori rasial untuk menghancurkan dunia.
Menurut Khadafi, ideologi tidak dibuat oleh manusia, bukan pemikiran
yang muncul dan dibuat manusia karena maksud yang tidak baik,
Ideologi menurut Khadafi merupakan sebuah kebenaran (Blundy dan
Lycett, 1969:87). Berikut kebijakan yang diterapkan Khadafi dalam
memimpin Libya dari 1969 hingga 2011.
Pemikiran-pemikiran Khadafi diuraikan dalam sebuah buku
berjudul Green Book atau Buku Hijau, yang digunakan untuk
memperkuat cita-cita negara Sosialis. Kebijakan-kebijakan Khadafi
dalam memerintah Libya tertulis dalam Buku Hijau tersebut. Buku
tersebut diterbitkan dalam tiga volume:
a) Buku Hijau volume pertama yang terbit tahun 1976, Khadafi
menyebutnya sebagai solusi dari masalah demokrasi.
b) Buku Hijau volume kedua terbit pada tahun 1978 disebut sebagai
solusi.
c) Buku Hijau volume ketiga yang terbit tahun 1979 disebut sebagai
dasar sosial, di dalamnya diatur mengenai pendidikan dan
kedudukan perempuan dalam masyarakat (Kimberly L, 2008:38).
2) Luar Negeri
Kebijakan Khadafi di masa pemerintahannya salah satunya
adalah melarang adanya partai politik di Libya. Hal ini dilakukan agar
67
posisi Khadafi sebagai pemimpin semakin kokoh. Libya masa
kepemimpnannya Khadafi juga memiliki kebijakan politik yang
berpengaruh kepada bangsa barat. Bangsa barat dan Israel kehadiran
sosok Khadafi adalah sebuah batu sandungan yang sangat besar untuk
mendapatkan sumber daya alam minyak bumi di Libya.
Kebijakan politik yang dibuat oleh Khadafi adalah kebijakan
politik luar negeri anti barat pro-Arab. Seperti yang diketahui Khadafi
berusaha menggabungkan Libya dengan negara-negara Arab yang ada.
Fokus utama kebijakan luar negeri Khadafi adalah persepsi bahwa Libya
sebagai korban sedangkan bangsa Eropa dan Amerika Serikat sebagai
penjahat yang ingin memasuki Libya (Fakih, 2000:83).
Struktur pembentukan kebijakan luar negeri Libya dilakukan
melalui organisasi pemerintah dengan komando Khadafi. Birokrasi
kebijakan luar negeri Libya meliputi sekretariat untuk keamanan
eksternal, sekretariat keadilan, divisi intelijen umum dan intelijen militer.
Sekretariat keamanan eksternal terbentuk pada bulan Februari 1984 oleh
Kongres Rakyat merupakan bagian terpenting dalam menentukan
kebijakan luar negeri Libya dan berfungsi sebagai keamanan dan
intelijen negara (Kimberly L, 2008:84).
Kebijakan luar negeri Libya terutama dengan negara-negara Arab
dan negara anti Barat berjalan dengan baik. Tahun awal Khadafi
memerintah hingga tahun 1990-an, Libya selalu dituduh sebagai kerajaan
terorisme oleh negara Barat dan Khadafi disebut sebagai pencetus teroris
di Libya, sehingga menyebabkan hubungan Libya dengan negara yang
68
anti Barat menjadi baik. Berikut bentuk kebijakan yang dilakukan
Khadafi (Diab, 2010)
a) Ketika Afrika Selatan berada di bawah kekuasaan kolonial dengan
diberlakukannya politik Apartheid, Khadafi selalu mendukung
Presiden Nelson Mandela untuk membebaskan negaranya dari
Politik Apartheid.
b) Khadafi membantu dan mempercayai Saddam Hussein ketika
Amerika Serikat menginvasi Irak di tahun 2003. Bahkan, Saddam
Hussein dianggap sebagai pahlawan dengan mendirikan patung
Saddam Hussein di halaman kediaman Khadafi di Bab al-Aziziyah.
c) Melindungi Palestina dan Lebanon dari kekejaman Israel.
d) Mendukung Presiden Mahmoud Ahmadinejad dalam menentang
setiap kebijakan Amerika Serikat terhadap negara-negara Arab dan
ketika terjadi perang Irak-Iran, meski Republik Iran bukan
merupakan bagian dari negara Arab.
Berikut hubungan Libya dengan negara Arab serta Uni Soviet dan
Amerika Serikat sebagai dua negara adidaya untuk saling berebut
pengaruh di Libya.
a) Hubungan Libya dengan negara Arab
Libya masuk dalam bagian dari wilayah Afrika Utara dan dihuni
oleh mayoritas penduduk Arab memiliki riwayat yang baik dengan
negara Arab lain. Hubungan Libya dengan negara Arab terjalin
dengan baik dikarenakan kesamaan kebudayaan dan pandangan
mengenai ideologi anti Barat yang menyebabkan hubungan Libya
69
dengan negara Arab berjalan cukup harmonis. Hubungan Libya
dengan negara Arab terlihat dari keinginan Khadafi yang ingin
menyatukan seluruh negara Arab setelah Gamal Abdul Nasser wafat,
namun cita-cita tersebut kandas disebabkan oleh kurang solidnya
persatuan antarnegara Arab itu sendiri dan banyaknya intervensi
Barat terhadap persoalan-persoalan intern negara Arab (Tamburaka,
2011:225).
b) Hubungan Libya dengan Uni Soviet
Khadafi yang anti kapitalis menyebabkan Libya jauh dengan negara
Barat, terutama Amerika Serikat. Sehingga menyebabkan sebuah
keterasingan politik Libya dengan Barat, kemudian Libya menjalin
hubungan yang signifikan dengan Uni Soviet sebagai negara adidaya
tandingan Amerika Serikat. Antara kedua negara membuat
kebijakan yang saling menguntungkan, baik jangka panjang maupun
jangka pendek. Berikut bentuk kebijakan Libya dengan Uni Soviet
(Harris, 1986:97).
c) Hubungan Libya dengan Amerika Serikat (AS)
Libya melihat Amerika Serikat sebagai kendala utama dalam
memimpin Libya dan menjalankan ideologinya. Khadafi menilai
bahwa Amerika Serikat adalah negara yang tujuannya mendominasi
dunia, kebijakannya yang mendukung Israel merupakan bentuk
dukungan terhadap teroris Internasional.
Sebenarnya, pada berbagai kesempatan Khadafi telah
memiliki keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan A.S. dan
70
mengurangi ketegangan meski dalam hubungn terbatas saja. Namun,
A.S. menganggap bahwa Libya adalah salah satu negara Arab yang
perlu diwaspadai karena dikhawatirkan mampu membeli para ahli
dan peralatan nuklir bekas Uni Soviet. A.S. takut dengan
kebangkitan fundamentalis Islam di Libya pasca runtuhnya
komunisme Uni Soviet (Sihbudi, 1993:12).
Jelas terlihat bahwa Khadafi sangat anti dengan Amerika
Serikat. Atas nama demokrasi, Amerika Serikat dituduh ingin
menguasai dunia Arab yang kaya minyak serta menggunakan teroris
sebagai kambing hitam untuk mengadu domba pemimpin dengan
rakyat. Sikap Khadafi yang anti Barat dibuktikan dengan
memberikan bantuan, terhadap gerakan-gerakan yang membenci
Amerika Serikat, tercatat Khadafi sebagai pendukung gerakan Islam
militan dan gerakan komunis di Filipina, I.R.A. di Irlandia Utara,
Black Panther, The Nation of Islam, Carlos “Sang Serigala” dan
membantu revolusi Iran 1979, Iran adalah negara yang terkenal anti
Barat (Luka, 2008:203). Hubungan A.S. dan Libya dari awal
memang tidak baik, berikut berbagai ketegangan yang terjadi antara
kedua negara (Harris, 1986:99-100).
Langkah selanjutnya dari A.S. adalah penutupan kantor
diplomatiknya di Libya pada Mei 1980, setelah terjadi pembakaran
kantor kedutaan A.S. di Tipoli pada akhir 1979, dan sebagai balasan
dari A.S., pada 1981 misi diplomatic Libya di Washington ditutup
karena dicurigai memberikan bantuan operasi illegal dan melakukan
71
kegiatan teroris. Agustus 1981, angkatan laut A.S. di Teluk Sidra
mengklaim kekuasaan territorial Libya yang menyebabkan
ditembaknya pesawat AS oleh dua pesawat Libya.
A.S. yang memiliki kekuatan ekonomi besar, melakukan
embargo terhadap Libya sejak tahun 1978 kecuali makanan dan
obat-obatan dan itu pun harus melalui validasi. Khadafi menuduh
A.S. menggunakanekonomi dan sarana politik untuk mengguncang
Libya dan melemahkanposisi internasionalnya. Libya berusaha
untuk membunuh duta besar A.S. di Mesir pada 1978 dan duta besar
Italia pada 1981 (Harris,1986: 99-100) Sebelumnya, di awal era
1970-an ketika Khadafi mulai memimpin Libya, A.S. mulai tidak
menyukai Libya karena penggunaan simbol-simbol Islam untuk
melegitimasi kekuasaan populisnya serta menekan gerakan-gerakan
revolusioner di seluruh wilayah Libya bahkan Afrika. A.S. mulai
terganggu dengan proklamasi Khadafi akan negara Islam (Gerges,
2007:79).
Khadafi juga dianggap sebagai pendukung terorisme
internasional, ia juga dianggap terlibat mendanai Black September
Movement, yaitu gerakan teror pengeboman di Berlin, Jerman pada
bulan Januari 1986.Tiga orang meninggal dan 200 lainnya luka-luka,
sebagian besar korbanadalah warga Amerika Serikat. Hal ini
menyebabkan kemarahan Amerika Serikat, yaitu pada tanggal 15
September 1986 ketika Tentara A.S. menyerang Tripoli dan
Benghazi. Dalam insiden ini mengakibatkan jatuhnya korban 45
72
tentara Libya dan 15 warga sipil meningggal dunia (Tamburaka,
2011:22).
Kemudian pada 1988 terjadi ledakan pesawat Pan Am 103 di
atas kota Lockerbie, Scotlandia. Kecurigaan mengarah pada
Khadafi, akhirnya pada 2001 seorang agen pemerintah Libya
bernama Abdel Basset al-Megrahi dinyatakan bersalah dan pada
2003 Libya mengaku bertanggungjawab dan menyetujui
kompensasi kepada korban (Masruroh, 2012:20).
Kebijakan-kebijakan luarnegeri yang di buat Khadafi
berpengaruh besar terhadap hubungan Libya dengan Afrika dan Arab,
serta hubungan dengan pihak barat. Hubungan Libya dengan Afrika dan
Arab merupakan kepentingan utama untuk Khadafi, sedangkan dalam
hubungannya dengan bangsa barat Khadafi mengatakan ia tidak
membutuhkan sejarah, politik dan teknologi (Harris, 1986:84).
Kebijakan politik luar negeri ini membuat Amerika Serikat menjadi
marah dan melakukan embargo terhadap Libya dan melakukan sanki-
sanksi melalui PBB. Libya mengalami kerugian yang sangat besar akibat
emabargo dan sanksi-sanksi tersebut.
Masa pemerintahan Khadafi merubah peran wanita Libya yang
mana peran wanita pada umumnya mempunyai tugas untuk mengurusi
rumah tangga dan lain sebagainya. Pada kebijakan politik yang dibuat
Khadafi peran wanita diubah menjadi tentara militer pengawal presiden.
Perubahan peran dalam masyarakat Libya tersebut merupakan fenomena
73
yang menarik, nilai-nilai tradisional dari sikap tunduk wanita bersaing
dengan filosofi revosioner (Harris, 1986:33).
Setelah terjadi revolusi dan berhasil menjatuhkan pemerintahan
Khadafi, maka kemudian terjadi perubahan dalam politik di Libya.
Perubahan yang terjadi perubahan dalam politik di Libya. Perubahannya
seperti hilangnya kebijakan luar negeri yang di usung Khadafi untuk
menjaga Libya dari pengaruh barat. Setelah hilangnya kebijakan tersebut
bangsa barat sangat leluasa dan memberikan pengaruh bagi Libya.
Sebagai contoh masuknya NATO ke dalam Libya dengan membawa
kepentingan geopolitik yang berkaitan dengan pergerakan politik di
negara Arab karena Libya masuk politik yang strategis (Rakhmadi,
2011:27).
c. Kondisi dari segi Pemerintahan
Konflik yang terjadi di Libya mendapat pengaruh dari Arab Springs
yang terjadi di negara-negara tetangga Libya. Arab Springs yang terjadi
menuntut perubahan pemerintahan dan kepemimpinan negara masing-masing
yang dinilai terlalu lama masa jabatan mereka padahal mereka merupakan
negara yang dipimpin oleh pesiden. Masyarakat yang terkena efek dari Arab
Springs tersebut melakukan unjuk rasa untuk meminta pergantian
pemerintahan dan kepemimpinan. Unjuk rasa yang dilakukan mendapat
tanggapan yang keras dari pemerintah Libya saat itu. Respon yang diberikan
pemerintah berupa serangan udara yang dijatuhkannya bom-bom di daerah-
daerah terjadinya unjuk rasa. Kemudian terjadilah perang saudara di Libya
antara pemerintah dan pasukan pemberontak.
74
Perang saudara mengakibatkan kerugian dan kematian yang tidak
sedikit ini akhirnya Libya berhasil menjatuhkan Khadafi. Kematian Khadafi
menandai berakhirnya sistem pemerintahan sosialis di Libya. Dewan Transisi
Nasional (NTC) memploklamirkan kemerdekaan pada bulan November
2011. Namun kondisi Libya yang baru saja dilanda peperangan, masih belum
stabil.
Selama Khadafi berkuasa, ia berhasil menjalin hubungan yang baik
dengan beberapa suku besar di Libya. Hubungan tersebut bertujuan untuk
menjaga keseimbangan militer Libya. Akan tetapi Khadafi mempunyai tujuan
tersendiri dibalik hubungannya dengan suku-suku tersebut, yaitu agar suku
berada di pihaknya dan akan di persenjatai.
Sisi lain Libya terancam pecah karena Libya Timur ingin menciptakan
pemerintahan sendiri yang terpisah dari pemerintahan pusat. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk ancaman kepada pemerintah pusat yang tidak dapat
mempersatukan pemberontak dan kepala suku pasca kematian Khadafi.
Pemerintah tersebut diberi namaBarqa atau Cyrenaica. Pembentukan
pemerintahan baru terjadi di sebuah kota kecil bernama Ajdabiya pada hari
Minggu 3 November 2013. Sebuah stasiun televisi mendukung kelompok
tersebut untuk membentuk pemerintahan baru. Diantara para pemimpin
tersebut ada pemimpin suku pedalaman Ibrahim Jathran, bekas Komandan
Pasukan Pertahanan Petroleum Libya dan Abd-Rabbo Al-Barassu mantan
Komandan Angkatan Udara yang diangkat sebagai Perdana Menteri.
Tahun 2013 Libya dipimpin oleh Mohammed Magriaf. Ia sebgai
presiden baru di negara Libya dalam proses konges pertemuan di PBB
75
meminta maaf kepada semua pihak terhadap kejahatan yang telah dilakukan
Khadafi. Dalam pertemuan tersebut PBB meminta untuk menghapus
diskriminasi kaum perempuan dalam penyusunan UUD yang baru, karena
dengan adanya UUD yang baru maka akan menyelesaikan semua masalah
diskriminasi terhadap wanita. Pada saat yang sama para wanita Libya
meminta kursi perwakilan untuk kaum wanita untuk perencanaan UUD yang
baru.
d. Kondisi dari segi Ekonomi
Pada pemerintahnnya dari segi ekonomi sangat mengalami
kesejahteraan karena sumber daya alam minyak menjadi salah satu sumber
utama dikuasai oleh negara (Harris, 1986:127). Pada tahun 2009 menurut
Wall Stree Journal tanggal 28 Agustus 2009, Libya adalah negara dengan
sumber minyak yang terbanyak di Afrika. Minyak Libya di serahkan kepada
perusahaan-perusahaan minyak yang beberapa diantaranya sudah sangat
terkenal, yaitu British Petroleum, Shell dan Exxo Mobile. Pada tahun 2007,
pemerintah Libya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk
bernegosisi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak
diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak
eksplorasi yang sedikit.
Libya mempunyai infrastruktur industri kecil dan persediaan sangat
terbatas serta keterampilan teknologi dan manajerial yang terbatas pula.
Ekonomi Libya sangat lemah mengingat penurunan harga minyak
internasional dan pengganti minyak sebagai sumber pendapatan nasional
belum memadai, hal ini menyatakan bahwa sumber penghasilan utama Libya
76
adalah miyak. Akan tetapi keadaan ekonomi Libya pada masa Khadafi masih
dinilai cukup baik daripada perekonomian saat ini pasca penggulingan
Khadafi. Fenomena tersebut dikarenakan hilangnya mata pencaharian
masyarakat yang bermodalkan pemakaian tanah di Libya secara bebas demi
memenuhi kehidupan masyarakat Libya yang mengalami kerusakan akibat
agresi perang yang terjadi antara pemerintah dengan pasukan revolusi
(Rakhmadi, 2011:107).
e. Kondisi dari segi Keamanan
Pada masa pergerakan revolusi melaan Khadafi, masyarakat libya saat
itu sangat tidak dalam posisi yang aman. Masyarakat Libya merasa tidak
aman terhadap serangan yang dilakukan oleh militer Khadafi terhadap
siapapun yang melawan kebijakan dalam pemerintahannya. Peperangan yang
terjadi antara pemerintah Libya dengan pasukan revolusi Libya sangat
membuat gusar mayarakat sipil. Selain itu, senjata-senjata pasca
penggulingan Khadafi masih dimiliki oleh pasukan revolusioner, kepala
suku, serta milisi bersenjata. Hal tersebut tentunya membuat masyarakat
mengangkat senjata untuk menyuarakan tuntutannya.
Sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan dalam rangka menjaga
legitimasi kekuasaan Khadafi, maka pemerintah mengontrol media baik
swasta maupun pemerintah. Partai politik dilarang pada tahun 1972 melalui
Undang-Undang Dasar 1971, pembentukan organisasi non-pemerintah atau
LSM diperbolehkan namun dengan syarat harus sesuai dengan tujuan
revolusi, sehingga jumlahnya sangat kecil bahkan tidak ada. Khadafi juga
membuat rakyatnya bodoh dan mata mereka tertutup. Selama rezim Khadafi,
77
televisi negara menyiarkan tayangan kekejaman terhadap rakyatnya yang
membangkang (Tamburaka, 2011:225).
Keamanan Libya semakin tidak menemui titik aman dikarenakan
terjadi perang antar penguasa pemerintah dengan pasukan revolusi dan milisi
bersenjata. Mereka tidak ingin tunduk pada pemerintah dan tidak ingin ikut
undang-undangnya. Hal ini disebabkan tidak terbiasanya masyarakat dengan
sistem undang-undang yang teratur. Masyarakat Libya memiliki sifat
fanatisme kesukuan, mereka tidak ingin kehilangan senjatanya karena bagi
mereka senjata merupakan cara untuk mencapai kekuasaan.
Adanya kerjasama antara Libya dan NATO yang bertujuan untuk
mencapai keamanan yang stabil. Perdana Menteri Libya Ali Zaidan
melakukan kerjasama dengan NATO guna menciptakan keamanan di Libya.
Bulan Mei 2013, Perdana Menteri Libya Ali Zeidan dan Sekjen NATO
Anders Fogh Rasmussen mengadakan pertemuan di Chicago, Amerika.
Kedatangannya disambut hangat dengan NATO bersedia membantu
menciptakan kestabilan keamanan di Libya. Anders Fogh Rasmussen
mengajukan untuk mendirikan institusi keamanan di Libya. Keadaan
keamanan Libya sampai saat ini masih dibawah pengawasan NATO.
Bagi masyarakat sipil keamanan yang terjadi dengan bantuan NATO
membuat mereka merasa lebih aman, akan tetapi disamping itu tanpa disadari
NATO melakukan intervensi terhadap masyarakat Libya dengan
memanfaatkan alasan keamanan. Maka mereka akan dapat secara perlahan
memberikan pengaruh bagi kehidupan di libaya. Pengaruh tersebut dapat
78
diberikan dalam suatu kondisi dan akan dirasakan perlahan dampaknya oleh
masyarakat di Libya.
Semenjak runtuhnya Khadafi, rasa nasionalisme rakyat Libya turun
drastis. Banyak diantara masyarakat sipil membentuk kelompok dan laskar
militan untuk merebut kekuasaan pemerintah Libya yang baru. Pemerintah
Libya telah mengetahui keadaan rakyat yang terbagi menjadi dua kubu,
diantaranya milisi mayarakat sekuler yang pro-pemerintah dan milisi rakyat
militant Islam yang anti pemerintah. Libya berencana akan memelihara
kelompok sekuler untuk dijadikan “pagar betis” bagi keamanan Libya.
B. Bagaimana bentuk Intervensi NATO di Libya
1. Profil North Atlantic Treaty Organization (NATO)
NATO adalah sebuah organisasi persekutuan di bidang keamanan dan
politik dengan tujuan utama adalah pertahanan kolektif dari semua negara-
negara yang menjadi anggotanya, dan pemeliharaan kedamaian di daerah
Atlantik Utara (NATO, 2010:6). Perjanjian Brussels, yang tercipta di Brussel,
Belgia, atas prakarsa Belgia, Belanda, Prancis, Luksemburg, dan Inggris Raya
pada 17 Maret 1947 dipercaya menjadi awal mula terbentuknya NATO.
NATO merupakan suatu analisa politik dan militer yang anggotanya
terdiri atas 28 anggota Amerika Utara dan Eropa. Yang meliputi Belgia, Prancis,
Kanada, Denmark, Islandia, Italia, Luxembourh, Belanda, Norwegia, Portugal,
Amerika Serikat, Inggris, Yunani, Turki, Jerman, Spanyol, Republik Ceko,
Hongaria, Polandia, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia,
Slovenia, Albania dan Kroasia (adalah Negara-negara yang menjadi anggota
NATO). Selain itu tujuan NATO adalah melindungi kebebasan dan keamanan
79
negara-negara anggotanya melalui cara-cara politisi maupun militer (Nur,
2012:59). NATO juga berperan penting dalam managemen krisis dan menjaga
perdamaian.
Awal mula pendirian NATO pada 4 April 1949 tersebut tak lepas dengan
ikut campur 12 negara pada saat itu, 5 negara penandatangan Perjanjian Brussels
yaitu Belgia, Belanda, Prancis, Luksemburg, dan Inggris Raya serta 7 negara
pendukung Amerika Serikat, Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, dan
Islandia (Rimanelli, 2009:67). Berdasarkan Washingthon Treaty atau disebut
juga The North Atlantic Treaty (Frequently, 2009) menyatakan pembentukan
NATO berdasarkan Ayat 51 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Yang isinya
bahwa setiap negara berdaulat memiliki hak untuk membentuk pertahanan
individu maupun kolektif. Prinsip pertahanan kolektif tersebut yaitu
menjelaskan kepada negara anggota NATO wajib untuk melindungi dan
mendukung analis tersebut. Prinsip terbebut juga menjelaskan serangan terhadap
salah satu negara anggota NATO adalah serangan terhadap semua anggota
NATO (Nur, 2012:59). Setiap Negara anggota yang berpartisipasi dalam
kegiatan militer NATO berkontribusi dalam menyumbang pasukan dan
peralatan tempur yang kemudian membentuk struktur militer NATO (2012:60).
Berbagai aset militer NATO tetap berada dibawah kendai masing-masing
Negara anggota hingga dibutuhkan NATO menjada perdamaian. Walaupun
demikian NATO juga memiliki dan mengoperasikan radar pendeteksi
penerbangan (Layuk, 2013:30). NATO dipimpin oleh seorang sekertaris jendral
yang berperan dalam mengkoordinir sebagai tugas analiansi tersebut. NATO
dibentuk sebagai organisasi persekutuan di antara negara-negara pendiri di mana
80
para anggotanya saling membela apabila salah satu dari mereka diserang.
Perjanjian Atlantik Utara sebagai tonggak kelahiran NATO berisi 14 poin
tentang prinsip dan kepercayaan negara-negara pendiri dalam pencapaian tujuan
mereka yaitu kedamaian di antara seluruh manusia dan seluruh negara.
Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah
satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara akan dianggap
sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya mereka setuju bahwa,
jika serangan bersenjata seperti itu terjadi pada setiap anggota dalam
menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara pribadi maupun bersama-
sama seperti yang tertuang dalam Pasal ke-51 dari Piagam PBB, akan membantu
anggota yang diserang jika penggunaan kekuatan semacam itu, baik sendiri
maupun bersama-sama, dirasakan perlu, termasuk penggunaan pasukan
bersenjata, untuk mengembalikan dan menjaga keamanan wilayah Atlantik
Utara (NATO, 2010:5).
Pembentukan NATO sendiri membawa dampak bagi negara-negara
anggota. Hal ini bisa dilihat dari adanya perubahan dalam terminologi, prosedur,
dan teknologi militer, di mana yang paling jelas terlihat adalah negara-negara
anggota dari Eropa mengadopsi penerapan dari Amerika Serikat (Wikipedia, 22
Agustus 2012) yang dianggap sebagai pemilik teknologi militer terdepan dan
kekuatan militer terbesar di antara anggota NATO lainnya Seiring berjalannya
waktu, hal ini membawa negara-negara anggota NATO dalam kerjasama di
bidang persenjataan dan peralatan perang. Perjanjian tersebut
diimplementasikan ke dalam tujuan-tujuan NATO dari 4 bidang utama yaitu
politik, militer, sosial-ekonomi, dan teknologi.
81
Dalam bidang politik, tujuan utama perjanjian ini adalah untuk
meningkatkan persatuan NATO sebagai kunci dari pertahanan dan juga
memperkuat kekuatan poros di mana NATO dikategorikan. Hasil dari perjanjian
ini selama lebih dari 40 tahun NATO adalah program misl Hawk, Sidewinder,
Sea Sparrow, program patroli pesawat maritim Atlantik, program pesawat
tempur multi-peran Tornado, dan program helikopter NATO NH-90 (Layuk,
2013:31). Dalam bidang militer, seperti yang telah dibahas sebelumnya, adalah
adanya penerapan standarisasi perlengkapan militer yang secara langsung
mendukung kemampuan pasukan aliansi dalam berbagai operasi, baik di medan
air, darat, maupun udara. Program ini akan mengambil standar yang paling tinggi
yang bisa dicapai tidak hanya dari segi peralatan, tetapi juga dalam konsep dan
prosedur operasi, sistem komunikasi dan informasi, dan konsumsi di wilayah
operasi (NATO, 1997:905-906).
Penawaran ruang lingkup dan efisiensi sumber daya nasional yang
terbatas menjadi tujuan kerjasama ini pada bidang sosial ekonomi (Layuk,
2013:31). Tujuan dari kerjasama persenjataan dan perlengkapan militer dari
bidang ini juga memberikan batasan bagi negara yang ingin melakukan
pengadaan sumber daya pertahanan agar tetap berpegang pada aturan pasar yang
tetap berkarakter seperti pasar sipil dan sesuai dengan perdagangan komersial.
Tujuan kerjasama yang terakhir adalah dari bidang teknologi, di mana seluruh
negara-negara anggota saling berbagi teknologi agar selalu lebih unggul di
bidang ini dari setiap musuh potensial. Dalam lingkup keamanan dunia yang
baru, NATO lebih sangat bergantung pada teknologi daripada sebelumnya.
Dengan berhasilnya kerjasama di bidang ini, NATO berharap dapat melakukan
82
pengurangan pasukan siaga dan lebih menekankan di pengembangan kekuatan
pendukung militer (NATO, 1997:907-908).
2. Keanggotaan NATO
Pembentukan keanggotaan NATO telah berkembang pesat yang
didirikan pada tanggal 4 April 1949. Terdiri dari 12 negara yaitu Prancis, Belgia,
Inggris Raya, Belanda, Belgia, Luksemburg, Portugal, Denmark, Amerika
Serikat, Italia, Islandia dan Norwegia, saat ini NATO telah memiliki 28 negara
anggota (Layuk, 2013:32). Beberapa negara bahkan adalah negara bekas
anggota fakta Warsawa, pakta pertahanan negara-negara Eropa Timur dan
Balkan bentukan Rusia yang menjadi pihak yang sangat berseberangan dengan
NATO selama masa Perang Dingin dan beberapa tahun setelahnya.
Bergabungnya negara-negara Balkan tersebut disebabkan karena berhasilnya
operasi penciptaan dan penjagaan perdamaian NATO di kawasan Balkan Barat
seperti di Macedonia, yang secara tidak langsung telah mempromosikan “Open
Door Policy” atau Kebijakan Pintu Terbuka NATO bagi negara-negara di
kawasan tersebut (NATO, 2010:22) Kebijakan ini adalah kebijakan NATO yang
memperlihatkan bahwa NATO bersedia untuk menerima negara-negara mana
saja di Eropa yang mau bergabung untuk menciptakan stabilitas dan kerjasama,
guna membangun Eropa yang damai berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,
apabila memenuhi persyaratan yang tertuang dalam “Membership Action Plan”
atau Rancangan Keanggotaan NATO (2010:34-35).
NATO Member Countries (22 Agustus 2011) menyebutkan beberapa
negara-negara yang kemudian bergabung menjadi anggota NATO yaitu
Hunggaria, Jerman, Rumania, Polandia, Albania, Bulgaria, Slovekia, Ceko,
83
Lithuania, Estonia, Latvia, Kroasia, Slovenia, Spanyol, Yunani, dan Turki.
Negara-negara tersebut bergabung dalam 2 klasifikasi waktu yang berbeda yaitu
pada masa Perang Dingin dan setelah Perang Dingin. Hanya Yunani, Turki,
Jerman (sebagai Jerman Barat), dan Spanyol yang bergabung pada masa Perang
Dingin. Sementara negara-negara anggota lainnya bergabung setelah Perang
Dingin, termasuk Jerman sebagai Jerman Timur.
Negara-negara tersebut, hanya Jerman yang tercatat 2 kali menjadi
anggota NATO. Hal ini disebabkan karena pada saat itu Jerman terbagi atas 2
negara yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Sebagai catatan, Prancis juga
pernah menarik semua armada perangnya secara bertahap dari komando militer
NATO pada tahun 1966 (Paul, 2003:2). Sebagai protes terhadap terlalu kuatnya
peranan Amerika Serikat dan Inggris dalam organisasi dan meminta agar Prancis
juga disejajarkan dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam struktur organisasi.
Namun Prancis tidak keluar secara resmi dari NATO meskipun markas besar
NATO dipindahkan dari Prancis ke Belgia. Prancis bahkan masih menempatkan
tentaranya di Republik Federal Jerman (Jerman Barat) pada saat itu sebagai
bentuk dukungan untuk pencegahan serangan komunis di Eropa, meskipun di
bawah komando langsung dari Prancis. Melalui beberapa pertemuan dan
pembicaraan rahasia antara pejabat Amerika Serikat dan Prancis, Prancis
akhirnya kembali memasukkan pasukan tentara dan armada perangnya di bawah
komando NATO secara penuh 43 tahun kemudian di bawah pemerintahan
Presiden Nicolas Sarcozy (Layuk, 2013:35).
Perlu dicatat juga bahwa NATO telah menjalin kerjasama dengan Rusia
pada tahun 2002 dengan dibentuknya Dewan NATO - Rusia (2013:36). Dewan
84
ini memungkinkan adanya kerjasama antara negara-negara anggota NATO dan
Rusia untuk bekerjasama dalam masalah keamanan umum. Hal ini sangat
mengejutkan mengingat Rusia yang notabene adalah pihak yang berseberangan
dengan NATO.
Dalam NATO, terdapat komite-komite sebagai berikut: 1). North
Atlantic Council (NAC), 2). Defence Planning Committee (DPC), 3). Nuclear
Planning Group (NPG), 4). Military Committee (MC), 5). Executive Working
Group (EWG), 6). High-Level Task Force on Conventional Arms Control, 7).
Joint Committee on Proliferation (JCP), 8). Politico-Military Steering
Committee/Partnership For Peace, 9.) NATO Air Defence Committee (NADC),
10). Political Committe At Senior Level (SPC), 11). Atlantic Policy Advisory
Group (APAG), 12). Political Committee (PC), 13). NATO Consultation
Command and Control Board (NC3B), 14). NATO Air Command and
Control System (ACCS) Management Organisation (NACMO) Board of
Directors, 15). Mediteranian Cooperation Group (MCG), 16). Verification
Coordinating Committee (VCC), 17). Policy Coordination Group (PCG), 18).
Defence Review Committee (DRC), 19). Conference of National Armaments
Directors (CNAD), 20). NATO Committee for Standardisation (NCS), 21).
Infrastructure Committee, 22). Senior Civil Emergency Planning Committee
(SCEPC), 23). Senior NATO Logisticians Conference (SNLC), 24). Science
Committee (SCOM), 25). Committee On Challenges of Modern Society
(CCMS), 26). Civil and Military Budget Committee (CBC/MBC), 27). Senior
Resource Board (SRB), 28). Senior Defence Group on Proliferation (DGP), 29).
High Level Group (HLG), 30). Economic Committee (EC), 31). Committee on
85
Information and Cultural Relations (CICR), 32). Council Operations and
Exercises Committee (COEC), 33). NATO Air-Traffic Management Committee
(NATMC), 34). NATO Pipeline Committee (NPC), 35). Central European
Pipeline Management Organisation Board of Directors (CEPMO/BOD), 36).
NATO Security Committee (NSC), 37). Special Committee, 38). Euro-Atlantic
Partnership Council (EAPC), 39). NATO-Russia Permanent Joint Council
(PJC), 40). NATO-Ukraine Commission (NUC), 41). Mediterranean
Cooperation Group (MCG).
Dalam seluruh komite tersebut, masing-masing negara anggota memiliki
perwakilan yang akan mewakili mereka dalam pengambilan keputusan pada
tiap-tiap komite tersebut. Dalam beberapa komite khusus, bukan hanya negara-
negara anggota yang menjadi bagian dari komite tersebut tapi juga negara-
negara yang terikat kerjasama dengan komite tersebut, seperti dalam NATO-
Russia Permanent Joint Council (PJC) dan NATO-Ukraine Commision (NUC).
Negara-negara tersebut juga dilibatkan sepenuhnya dalam pengambilan
keputusan komite tersebut (Marco, 2009:671-687).
3. Keputusan NATO
Dalam keputusan NATO, segala pengambilan keputusan dilaksanakan
berdasarkan konsensus (Consensus Decision-Making at NATO, 24 Agustus
2012) atau persetujuan umum di antara semua negara-negara anggota. Meskipun
konsensus merupakan prinsip dasar dalam pengambilan keputusan NATO dan
telah digunakan sejak pertama kalinya dilakukan pengambilan keputusan,
konsensus ini sendiri tidak dicantumkan atau dijelaskan dalam Piagam Atlantik
(Uwe, 2007:3) sebagai dasar pengambilan keputusan dalam NATO. Dalam
86
Perjanjian Atlantik Utara hanya disebutkan konsultasi antar sesama anggota
NATO sebagai setiap awal dalam setiap kegiatan kebijakan keamanan resmi.
Konsensus juga tetap diterima dengan baik oleh negara-negara anggota
walaupun memakan banyak waktu sebagai satu-satunya cara pengambilan
keputusan dalam organisasi sebesar NATO.
Akan tetapi, sistem konsensus harus dibedakan dari sistem kebulatan
suara. Meskipun dalam sistem konsensus kebulatan suara juga menjadi indikator
utama, terdapat perbedaan yang sangat jelas yaitu dimana dalam sistem
kebulatan suara akan pada akhirnya akan dilakukan voting dan dan suara
terbanyak yang akan diikuti atau ditetapkan, sedangkan dalam konsensus, tiap
negara yang tidak sependapat dengan keputusan yang dihasilkan dapat
mengajukan keberatan. Bila hal ini terjadi, akan dilakukan keputusan yang ada
akan ditinjau dan didiskusikan ulang sebelum akhirnya diambil keputusan akhir
(Layuk, 2013:37). Dalam sistem ini, setiap dewan atau komite yang berkaitan
berperan sangat besar dalam penghasilan keputusan akhir.
Dalam sistem ini, tidak ada negara anggota yang bisa dipaksa untuk
menyetujui sebuah keputusan yang berseberangan dengan negara tersebut atau
melakukan hal yang tidak diinginkan oleh negara tersebut. Hal ini merujuk pada
struktur NATO sebagai suatu aliansi dari negara-negara yang merdeka dan
berdaulat (Uwe, 2007:5). Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan
NATO, konsultasi antar sesama negara anggota menjadi sangat penting karena
dengan adanya proses ini, perwakilan negara-negara anggota NATO tersebut
memiliki waktu untuk mempertimbangkan keputusan yang akan diambil yang
pastinya harus sesuai dengan tujuan politik tiap-tiap negara anggota. Dalam
87
proses konsultasi ini juga, para perwakilan negara-negara anggota tersebut akan
menggunakan waktu ini untuk menarik perhatian perwakilan negara anggota lain
yang bisa mempengaruhi keputusan yang dihasilkan (Uwe, 2007:4).
Konsep proposal yang merupakan dasar dari hampir semua keputusan
yang diambil dalam NATO akan dibagikan kepada semua negara anggota oleh
Sekretaris Jenderal NATO yang mengepalai Dewan Atlantik Utara. Konsep
proposal ini dapat diajukan oleh Sekretaris Jenderal NATO itu sendiri atau bisa
pula berasal dari negara-negara anggota. Konsep proposal ini kemudian akan
dibahas melalui konsultasi baik secara bilateral ataupun multilateral dalam
berbagai forum (Leo, 2003:1). Jika telah melalui tahap ini dan ada negara
anggota yang mengajukan keberatan maka Sekretaris Jenderal NATO atau
Ketua Dewan atau komite yang berkaitan dapat membagikan kembali konsep
proposal tapi dalam “Silent Procedure” (2003:1) atau prosedur hening. Prosedur
ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perdebatan dari pihak yang pro dan
pihak yang kontra dengan kebijakan yang akan diambil. Apabila tidak ada
negara yang mengajukan keberatan kepada Sekretaris Jenderal NATO atau Staf
Internasional yang bertugas mencatat keberatan dari negara-negara anggota
sebelum tenggang waktu yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal NATO atau
Ketua Dewan atau komite yang berkaitan, maka konsep proposal itu akan
dianggap telah disetujui. Namun apabila ada satu negara anggota atau lebih yang
mengajukan keberatan, maka konsep proposal akan dikembalikan ke dewan atau
komite yang berkaitan untuk dilakukan perbaikan guna mencapai konsensus.
Sebagai catatan, dalam NATO terdapat peraturan dimana negara-negara yang
mengajukan keberatan tidak akan diumumkan oleh NATO ke publik (Layuk,
88
2013:39).Dalam kasus di Libya, Layuk (2013:40) juga menambahkan bahwa
dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1970 dan No. 1973
mengenai penjatuhan sanksi dan pengesahan intervensi militer sebagai upaya
penghentian kekerasan yang terjadi di Libya dilakukan berdasarkan voting
dalam Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara yang terdiri atas 5
negara anggota tetap (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) dan
10 negara anggota tidak tetap (Bosnia Herzegovina, Kolombia, Libanon,
Nigeria, Portugal, India, Jerman, Brazil, Gabon, dan Afrika Selatan). 10 dari
negara-negara tersebut menyetujui dilakukannya intervensi dan 5 lainnya yaitu
Cina, India, Rusia, Jerman, dan Brazil menyatakan abstain.
Dewan Keamanan PBB segera mengeluarkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB No. 1973 segera setelah pemungutan suara tersebut
mengeluarkan hasil. Resolusi ini sebagai bentuk otorisasi dilakukaknnya
intervensi militer oleh negara-negara anggota PBB di Libya sebagai upaya
terakhir menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di negara tersebut, dengan
bekerjasama penuh dengan Dewan Keamanan PBB sebagai akibat dari sikap
tidak peduli dengan pemerintah Libya atas sanksi embargo melalui Resolusi
Dewan Keamanan PBB No. 1970 terhadap mereka (2013:40).
4. Tujuan NATO di Libya
Sejak didirikan secara resmi di Wahington D.C. pada 9 April 1949,
NATO telah mengusung tujuan bersama dari para negara-negara anggotanya
yaitu sebagai koalisi pertahanan bersama (dari serangan negara-negara pro-
komunis) dan untuk menjaga kedamaian di area Atlantik Utara (NATO, 2010:6).
Selain itu juga sebagai pencegahan munculnya negara-negara baru yang
89
menggunakan sistem militerisme nasional seperti Jerman pimpinan Hitler, dan
mengembangkan kerjasama di bidang politik (Aboutuseconomy.com, 12
Agustus 2012).
Selama Perang Dingin, kekuatan militer negara-negara pro-komunis di
Eropa juga semakin berkembang dan membentuk Pakta Warsawa. NATO
melihat ini sebagai potensi besar akan terjadinya perang dalam skala besar bila
dibiarkan. Hal inilah yang kemudian membuat NATO mengembangkan
tujuannya yaitu untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Dalam pencapaian
tujuan ini, NATO mengambil kebijakan “Massive Retaliation”
(Aboutuseconomy.com, 12 Desember 2015) yaitu kebijakan yang
memperbolehkan NATO menggunakan seluruh kekuatan nuklir mereka bila
Pakta Warsawa menyerang. Pengambilan kebijakan ini dengan tujuan untuk
membuat negara-negara Pakta Warsawa untuk berpikir sebelum menyerang
negara-negara anggota NATO dan memungkinkan negara-negara Eropa untuk
berkonsentrasi mengembangkan ekonomi mereka daripada membangun
kekuatan militer dalam skala besar.
Setelah 63 tahun berdiri, tujuan NATO saat ini sudah sangat berkembang.
Peristiwa 9/11 adalah peristiwa dimana Amerika Serikat sebagai salah satu
anggota dewan tertinggi NATO diserang oleh teroris yang secara langsung
memberikan NATO alasan untuk bisa mengambil tindakan militer. Pemicunya
adalah salah satu anggotanya mendapat serangan dari luar, seperti yang
dijelaskan dalam poin ke-5 dalam Perjanjian Atlantik Utara sekaligus menjadi
poin terpenting pembentukan NATO yaitu:
90
“Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap
salah satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara
akan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya
mereka setuju bahwa, jika serangan bersenjata seperti itu terjadi setiap
anggota dalam menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara
pribadi maupun bersama-sama.” (Leo, 2003:5).
Sejak saat itu, perang melawan terorisme menjadi salah satu tujuan
utama NATO. Sebanyak 84.000 tentara di kirim ke Afghanistan dalam rangka
menjalankan tujuan ini yang bukan hanya dari negara-negara anggota NATO
tetapi juga melibatkan 12 negara non-anggota NATO dan menjadikan operasi di
Afghanistan sebagai operasi militer terbesar NATO. Selain perang melawan
terorisme, NATO juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam keamanan dan
perdamaian dunia dengan bekerjasama dengan negara-negara yang bukan
anggota NATO, operasi penanganan negara-negara yang mengalami krisis
seperti di Libya, dan pengendalian ancaman senjata pemusnah masal (Layuk,
2013:46).
Pengembangan tujuan NATO dititikberatkan pada penciptaan dan
penjagaan perdamaian. Penciptaan dan penjagaan perdamaian ini
memungkinkan NATO melakukan intervensi dalam krisis suatu negara bila
diperlukan. Selain dari itu, NATO juga cenderung menjadi lebih mendunia
dalam tujuan penciptaan dan penjagaan perdamaiannya, dimana operasi mereka
tidak hanya dalam lingkup Atlantik Utara. Pengembangan tujuan dan lingkup
operasi NATO dapat dilihat dari beberapa operasi NATO di bawah ini:
91
a. Operasi anti-terorisme NATO di Afghanistan sebagai reaksi terhadap
serangan tanggal 11 September 2001 ke Amerika Serikat. Operasi ini
merupakan operasi militer terbesar NATO. Operasi ini dimulai pada tahun
2001 hingga saat ini (NATO, 2010:18-19).
b. Intervensi militer NATO di Kosovo yang ditujukan untuk menghentikan
tindakan represif Yugoslavia terhadap Kosovo. Operasi ini dimulai dengan
serangan udara terhadap infrastruktur militer dan paramiliter Yugoslavia pada
bulan Maret 1999. Serangan ini berlangsung selama 78 hari dan berhasil
membuat Yugoslavia menghentikan serangannya dan menarik pasukannya
dari daerah Kosovo. NATO kemudian menempatkan 5000 pasukannya
sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian di Kosovo. Pada bulan
Agustus 2011, NATO kembali mengirimkan 600 orang pasukan sebagai
tambahan untuk pasukan penjaga perdamaian di Kosovo seiring dengan
kembali maraknya pertikaian di utara Kosovo (2010:20-21).
c. Operasi NATO pada tahun 2001 di Macedonia adalah untuk pelucutan senjata
separatis etnis Albania yang terus melakukan serangan-serangan bersenjata
di Macedonia. Operasi yang berlangsung selama 30 hari ini dilangsungkan
atas permintaan resmi dari Presiden Macedonia. Dalam operasi ini, NATO
mengirimkan sebanyak 3.500 orang tentara yang akan melakukan tugas
pelucutan senjata di camp-camp sukarela. Setelah operasi ini berakhir,
Pemerintah Macedonia meminta agar NATO tetap menempatkan pasukannya
di sana untuk perlindungan bagi pengawas dari Uni Eropa yang dikirim untuk
memantau keadaan paska pelucutan senjata di Macedonia. Operasi NATO di
92
Macedonia berakhir pada bulan Maret 2003 setelah Uni Eropa mengambil
alih (NATO, 2010:21-22).
d. Operasi NATO di Irak yang dimulai pada tahun 2004 adalah pelatihan militer
standar NATO bagi anggota militer Irak. Operasi ini bertujuan untuk
menyiapkan militer Irak yang baru untuk dapat menjalankan penjagaan
kedamaian di wilayahnya sendiri sepeninggal NATO dan pasukan koalisi
pimpinan Amerika Serikat nantinya. Dalam pelatihan ini, NATO telah
melatih sekitar 15.200 personil militer Irak. Operasi ini berakhir pada tanggal
31 Desember 2011 (2010:24).
e. Pengawasan penerapan zona larangan terbang, intervensi militer, dan
penjagaan perdamaian adalah 3 bagian dari operasi NATO di Bosnia
Herzegovina yang berlangsung dari tahun 1992 hingga tahun 2004. Operasi
ini ditujukan untuk menekan serangan Bosnia etnis Serbia terhadap etnis lain
di Bosnia Herzegovina. Dimulai dengan pengawasan penerapan zona
larangan terbang pada tahun 1992, yang kemudian berubah menjadi
intervensi militer karena tidak adanya itikad baik dari pimpinan-pimpinan
Bosnia etnis Serbia untuk menghentikan serangan dan berdamai. Serangan
udara yang dilancarkan NATO terhadap pasukan Bosnia etnis Serbia pada
bulan Agustus dan September tahun 1995, berhasil memaksa para pemimpin
Bosnia etnis Serbia untuk menerima perjanjian perdamaian. Bulan Desember
tahun yang sama, pasukan penjaga perdamaian pimpinan NATO tiba di
Bosnia Herzegovina. Tahun 1996 penjagaan perdamaian dilanjutkan dengan
tibanya pasukan pengganti yang tidak hanya berasal dari negara-negara
NATO tetapi dari 43 negara termasuk Rusia. Tanggal 2 Desember 2004,
93
pasukan Uni Eropa mengambil alih tugas penjagaan perdamaian namun tetap
dibantu oleh pasukan NATO (NATO, 2010:19-20).
f. Sejak tanggal 17 Agustus tahun 2009, NATO meluncurkan operasi anti-
perompak/bajak laut di Teluk Aden dan Samudera Hindia. Dalam operasi ini
NATO melibatkan kapal-kapal perang Amerika Serikat dan beberapa pesawat
tempur untuk patroli di kawasan tersebut. Operasi tersebut bernama operasi
“Ocean Shield”. Dalam operasi ini NATO juga memberikan pelatihan bagi
negara-negara di kawasan tersebut untuk mengembangkan kemampuannya
melawan perompak/bajak laut (2010:23-24).
g. Operasi NATO di Laut Mediterania dimulai pada tanggal 6 Oktober tahun
2001. Operasi ini adalah sebagai bagian dari operasi anti-terorisme setelah
peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Operasi ini ditujukan untuk membendung
aktivitas terorisme yang melalui atau terjadi di sekitar Laut Mediterania
(2010:23).
Selain itu NATO juga mempromosikan demokrasi (Rebecca, 2007:55)
dengan harapan dapat menciptakan stabilitas di negara-negara yang dibantu
NATO dalam penanganan krisis. NATO juga akan meyakinkan negara-negara
yang dibantunya untuk menerima norma-norma baru yaitu norma-norma
demokrasi bagi negara-negara yang mau menerima penerapan sistem demokrasi
(2007:69-70) dari NATO di wilayah mereka.
5. Bentuk Intervensi NATO diLibya
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1970 dan 1973 merupakan bentuk
dari langkah tegas PBB menyikapi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
di Libya. Setelah melalui berbagai cara non-militer seperti seruan, himbauan,
94
peringatan keras, dan sejumlah sanksi, tidak berhasil, PBB kemudian
mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 yang mengotorisasi
pelaksanaan operasi militer di Libya dalam rangka intervensi humanitarian di
Libya agar Khadafi menghentikan penggunaan aset militer terhadap rakyatnya
sendiri (Layuk, 2013:46).
Rebecca, (2007:75) Setelah dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan
PBB No. 1970, Khadafi dan pasukannya sama sekali tidak menghentikan
penggunaan kekuatan militer untuk melawan rakyatnya sendiri. Hal ini membuat
intervensi dengan penggunaan kekuatan militer menjadi upaya terakhir. Akan
tetapi, dalam memutuskan pelaksanaan intervensi militer PBB tidak serta-merta
mengeluarkan resolusi. Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara
yang terdiri atas 5 negara anggota tetap (Amerika Serikat, Inggris, Prancis,
Rusia, dan Cina), akhirnya mengadakan voting dan dari 10 negara anggota tidak
tetap (Bosnia Herzegovina, Kolombia, Libanon, Nigeria, Portugal, India,
Jerman, Brazil, Gabon, dan Afrika Selatan) 10 dari negara-negara tersebut
menyetujui dilakukannya intervensi dan 5 lainnya yaitu Cina, India, Rusia,
Jerman, dan Brazil menyatakan abstain.
Hasil tersebut, membuat Dewan Keamanan PBB segera mengeluarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 yang mengotorisasikan
dilakukaknnya intervensi militer oleh negara-negara anggota PBB di Libya
sebagai upaya terakhir menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di negara
tersebut, dengan bekerjasama penuh dengan Dewan Keamanan PBB. Secara
umum, resolusi tersebut memberikan kebebasan menempuh jalur apapun yang
dibutuhkan untuk melindungi warga sipil dan daerah yang dihuni oleh warga
95
sipil dari segala bentuk ancaman dari pasukan pro-Khadafi. Operasi ini meliputi
penetapan zona larangan terbang di atas Libya hingga pengawasan perairan
Libya. Hal ini dimaksudkan untuk menghentikan penggunaan pesawat tempur
oleh Khadafi untuk menyerang rakyat sipil dan pemberontak, mencegah
masuknya penambahan kekuatan militer bagi Khadafi yaitu tentara bayaran dari
luar Libya, juga untuk menghalau masuknya persenjataan ke Libya sekaligus
menegaskan penerapan embargo militer atas Libya. Sekjen PBB, Ban Ki-Moon
menyatakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 sebagai bentuk
pelaksanaan tanggung jawab dari berbagai komunitas internasional untuk
melindungi warga sipil dari kekerasan oleh pemerintahannya sendiri (UN News
Centre, 25 Desember 2015).
Dua hari setelah Resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan, yaitu
pada tanggal 19 maret 2011, pasukan koalisi dari 3 negara dibawah pimpinan
Amerika Serikat yaitu Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris memulai operasi
militer mereka. Masing-masing negara memiliki nama kode masing-masing bagi
operasinya. Amerika Serikat memakai nama kode “Odissey Dawn” sekaligus
sebagai nama kode operasi kesatuan, Prancis dengan nama “Operation
Harmattan”, dan Inggris dengan nama “Operation Ellamy”. Dalam hari pertama
operasi ini, Prancis membawa armada sebanyak 20 pesawat tempur Mirage dan
Rafale, kapal induk Charles de Gaulle yang membawa 26 pesawat tambahan 16
di antaranya adalah pesawat tempur, dan 4 kapal perang pengawal. Sedangkan
dari Inggris, sebuah kapal selam yaitu HMS Triumph dan 1 kontingen pesawat
tempur Tornado GR4 (Jeremiah, 2011:17-19).Amerika Serikat sendiri
membawa 2 kapal perang yaitu USS Barry dan USS Trout, 3 kapal selam, dan
96
15 pesawat termasuk B-2 Spirit Bomber dan 4 AV-8B Harriers(America’s Navy,
25 Desember 2015) Selama jalannya misi ini, armada negara-negara ini terus
bertambah.
Operasi ini dibuka dengan serangan pesawat tempur Prancis, yang
menyatakan kesiapannya untuk turun dalam operasi ini setelah pelaksanaan KTT
22 negara di Paris yang membahas masalah Libya, atas pasukan pro-Khadafi
yang berusaha kembali memasuki Benghazi. Kapal-kapal perang Amerika
Serikat yang telah disetujui keterlibatannya oleh Barrack Obama dalam sebuah
pidato resmi di Brazil yang disiarkan secara resmi ke seluruh Amerika Serikat
(Deutsche Welle, 25 Desember 2015), dan juga kapal-kapal perang Inggris
memberikan bantuan dengan menembakkan rudal-rudal Tomahawk dengan
sasaran ke aset-aset pertahanan Libya, utamanya sistem pertahanan udara Libya.
Keterlibatan Inggris sendiri dalam operasi ini tidak lepas dari keputusan PM
Inggris yang menyatakan siap menurunkan pasukan untuk mendukung
keberhasilan misi ini untuk menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.
1973.
Hasil dari penyerbuan pertama ini adalah hancurnya 5 kendaraan lapis
baja pasukan pro-Khadafi dalam serangan pertama jet tempur Prancis. Armada
udara Prancis juga berhasil menerapkan zona larangan terbang di atas Benghazi
dan sekitarnya di wilayah timur Libya pada akhir misi Odissey Dawn pada
tanggal 31 Maret 2001. Selama misi ini berlangsung, tidak ada pesawat Amerika
Serikat yang digunakan, baik untuk misi pengintaian maupun penyerangan
(Global Security, 25 Desember 2015). Selama misi ini berlangsung, negara-
97
negara lain seperti Kanada, Italia, Belgia, Qatar, dan Arab Saudi juga ikut ambil
bagian dalam operasi ini.
Berakhirnya operasi Odissey Dawn, bukan berarti berakhirnya intervensi
militer di Libya. Pada 31 Maret 2011, seluruh komando intervensi militer di
Libya di bawah komando NATO dan diberi nama kode “Unified Protector”.
Selain negara-negara yang telah lebih dulu melakukan intervensi militer
dibawah pimpinan Amerika Serikat, beberapa negara anggota NATO lainnya
kemudian juga bergabung dalam misi ini yaitu, Bulgaria, Denmark, Yunani,
Belanda, Norwegia, Rumania dan Spanyol, serta beberapa negara non-anggota
NATO tetapi menjadi partner tetap NATO seperti Swedia, Turki, dan Yordania
(IISS, 2011 Operation Unified Protector 16 September 2015).
Operasi Unified Protector memiliki 3 tujuan utama, yaitu pemberlakuan
zona larangan terbang, permberlakuan embargo militer, dan perlindungan
terhadap rakyat sipil. Dalam pelaksanaannya ke-3 misi tersebut dilaksanakan
secara berkelanjutan, mulai dari intervensi pasukan koalisi pimpinan Amerika
Serikat hingga NATO mengambil alih pimpinan komando. Misi pertama adalah
penerapan embargo militer bagi Libya yang dimulai pada 23 Maret 2011, juga
menandai misi pertama NATO dalam krisis di Libya, lalu penerapan zona
larangan terbang pada 25 Maret dan misi perlindungan untuk warga sipil yang
dimulai pada saat NATO mengambil alih komando secara penuh. Pelaksanaan
misi ini, NATO membaginya menjadi 2 kategori misi yaitu dengan penggunaan
kekuatan militer udara dan pengguanaan kekuatan militer laut (NATO,
Operation Unified Protector Fact Sheet 1 Mei 2015).
98
Dalam pelaksanaan misi pertama, NATO melibatkan 25 kapal perang
maupun kapal selam dan 50 pesawat berbagai jenis. Seluruh aset NATO tersebut
bertugas untuk berpatroli di laut Libya dan mencegah masuknya kapal yang akan
membawa senjata ataupun pasukan tentara bayaran untuk Khadafi (Layuk,
2013:49). Selama operasi Unified Protector berlangsung, misi ini berhasil
menangguhkan izin transit 11 kapal yang akan menuju ke Tripoli atau keluar
dari Tripoli karena muatannya yang dianggap berbahaya (NATO, Operation
Unified Protector Fact Sheet 1 Mei 2015). Dalam pelaksanaan misi yang kedua
dan ketiga yaitu penerapan zona larangan terbang dan perlindungan warga sipil,
NATO mulai mengambil alih pada tanggal 25 Maret dan kemudian secara penuh
pada 31 Maret 2011 dan menandai dimulainya pelaksanaan misi ketiga.
Misi dengan penggunaan kekuatan udara ini bertujuan untuk mencegah
atau menetralisir pesawat lain selain pesawat pasukan NATO yang masuk dalam
zona larangan terbang dan menghancurkan pertahanan pasukan Libya, terutama
rudal-rudal anti pesawat Libya yang bisa membahayakan pesawat NATO. Misi
tersebut berpatroli dalam rangka penetapan zona larangan terbang, dan untuk
menghancurkan target-target militer yang dinilai membahayakan warga sipil
Libya (Layuk, 2013:50).Tercatat lebih dari 26.500 kalipenerbangan selama misi
operasi “Unified Protector” berlangsung dan lebih dari 9.700 diantaranya yang
dilakukan dalam rangka serangan udara, selebihnya adalah misi pengintaian dan
lain-lain. Melalui misi ini pulalah NATO berhasil memasukkan lebih dari 2.500
bantuan kemanusiaan melalui udara, darat, dan laut bagi warga sipil Libya.
Dalam pelaksanaan operasi Unified Protector, NATO menggunakan 25
buah kapal berbagai jenis dan sekitar 260 pesawat dengan berbagai jenis dan
99
melibatkan lebih dari 8.000 tentara. Lebih dari 5.900 target militer sah
dihancurkan. Lebih dari 400 artileri dan peluncur roket serta lebih dari 600 tank
dan kendaraan lapis baja yang hancur termasuk di dalamnya (2013:50).
Sementara NATO sendiri kehilangan 1 orang anggota yaitu pilot dari angkatan
udara Inggris yang pesawatnya mengalami kesalahan teknis dan jatuh di
pangkalan udara militer NATO di Napoli, Italia. NATO diperkirakan
menghabiskan dana sekitar 800.000 Euro perbulannya untuk staff di markas
utama selama operasi karena adanya penambahan staff, belum lagi pelaksanaan
di lapangan yang menelan biaya sekitar 5,4 juta Euro (NATO, Operation Unified
Protector Fact Sheet 1 Mei 2015). Selain biaya tersebut di atas, biaya juga
dikeluarkan oleh beberapa negara yang ikut dalam operasi ini seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Prancis. Operasi Unified Protector secara resmi dihentikan
pada tanggal 31 Oktober 2011 (Canada, 25 Desember 2015) melalui Resolusi
Dewan Keamanan PBB No. 2016 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Oktober
201197 dan pernyataan resmi Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen (NATO,
2011 Secretary General Statement On End of Libya Mission 25 Desember 2015).
Operasi terhitung selesai sejak keberhasilan pasukan pemberontak menduduki
Kota Sirte yang menjadi basis pertahanan terakhir dan terkuat militer pro-
Khadafi pada tanggal 20 Oktober 2011. Namun NATO memutuskan untuk tetap
berada di Libya untuk memantau dan menjaga kondisi keamanan di Libya
hingga adanya mandat resmi untuk keluar dari Libya oleh Dewan Keamanan
PBB.
Intervensi militer NATO di Libya juga bisa dikatakan operasi penciptaan
perdamaian karena bisa dibedakan dengan perang konvensional. Operasi
100
semacam ini pasukan yang akan dikirim untuk melakukan operasi memang harus
bersiap menghadapi segala kemungkinan perang di wilayah tugas, sama seperti
pasukan yang akan dikirim untuk perang konvensional. Namun, ada 4 prinsip
yang seringkali digunakan untuk membedakan perang konvensional dengan
operasi penjagaan perdamaian atau penciptaan perdamaian (Theo, 2002:299).
Hal ini karena ke-4 prinsip dasar tersebut menjadi problematis bila
diimplementasikan ke dalam perang dalam rangka intervensi humanitarian atau
operasi penciptaan perdamaian. Ke-4 prinsip tersebut adalah tujuan, kesatuan,
penggunaan kekuatan militer yang besar, dan elemen kejutan.
Prinsip ke-1 tujuan perang tradisional yang berbeda dengan perang
humanitarian membuat beberapa hal menjadi berbeda. Contohnya seperti dalam
hal pemilihan sasaran serangan. Dalam perang konvensional akan lebih mudah
memilih target serangan, tidak seperti dalam intervensi militer yang harus
memilih target berdasarkan target yang telah ditentukan di dalam mandat Dewan
Keamanan PBB (bila yang mengotorisasi intervensi adalah PBB). Apabila
intervensi militer dilakukan dengan sendirinya oleh suatu negara secara
individual atau koalisi maka sasaran akan ditentukan dalam mandat dari
pemerintah negara-negara yang ikut serta dalam intervensi tersebut. Intervensi
NATO di Libya, sasaran operasi NATO telah ditentukan oleh PBB hanya untuk
target-target aset militer Khadafi agar tidak lagi bisa menyerang rakyatnya
sendiri dengan kekuatan militer Libya (Layuk, 2013:53).
Prinsip ke-2 adalah kesatuan. Kesatuan digambarkan sebagai kesatuan
komando atau perintah. Hal ini sangat berperan penting dalam perang karena
dengan adanya hal ini maka kesalahan dalam koordinasi pergerakan pasukan
101
bisa dihindari. Prinsip ini bisa dikatakan sebagai kunci dari kesuksesan sebuah
operasi militer dan bukan penerapannya tidak hanya terpaku pada perang
konvensional semata. Akan tetapi, dalam intervensi militer yang biasanya
dilakukan oleh berbagai negara, prinsip ini sangat jarang diterapkan karena
setiap negara yang ikut dalam sebuah intervensi militer multilateral, mereka akan
tetap dibawah komando penuh dari negaranya masing-masing dan negara-negara
besar yang ikut dalam suatu operasi militer semacam ini juga membawa arogansi
yang besar mengenai masalah struktur komando (2013:53).
Dalam intervensinya di Libya, NATO mencoba mengupayakan
terlaksananya prinsip ini dengan mengambil alih secara penuh komando operasi
Unified Protector. Hal ini disebabkan karena NATO mengambil pelajaran
penting dari beberapa intervensi militer humanitarian sebelumnya seperti di
Somalia dan Sierra Leone. Dalam kasus di Somalia, kontingen Amerika Serikat
menempatkan 54 pasukannya di bawah PBB akan tetapi tidak demikian dengan
struktur komandonya. Pasukan Amerika Serikat tetap berada dibawah komando
penuh negaranya. Tragedi terburuk dalam sejarah intervensi humanitarian terjadi
karena pasukan Amerika Serikat melakukan operasi militer untuk menangkap
orang-orang dekat Mohammed Farrah Aidid yang dipercaya sebagai kunci
dalam kekacauan di negara itu. Tanpa koordinasi dengan kontingen dari negara
lain, 18 tentara Amerika Serikat tewas pada operasi pada tanggal 3 Oktober 1993
tersebut. Sedangkan dalam kasus di Sierra Leone, komandan dari kontingen
India, Zambia, dan Nigeria berselisih paham karena adanya perbedaan perintah
dari negara masing-masing.
102
Beberapa negara yang ambil bagian dalam operasi Unified Protector
masih berada di bawah komando negaranya akan tetapi untuk operasional misi
sepenuhnya berada di bawah komando NATO yang berarti tidak ada misi yang
berjalan tanpa otorisasi dari komando tertinggi NATO. Dalam operasi Unified
Protector, komando tertinggi dipegang langsung oleh Sekjen NATO Anders
Fogh Rasmussen dari Markas Besar NATO di Belgia lalu turun ke Supreme
Allied Commander Europe atau SACEUR yang merupakan komando strategis
militer tertinggi NATO yaitu Laksamana James A. Stavridis dari angkatan laut
Amerika Serikat 100 yang bermarkas di Mons, Belgia (NATO, 2012 Command
Structure of Operation Unified Protector 25 Februari 2015). Setelah dari
SACEUR barulah turun langsung ke Letnan Jenderal Charles Bouchard dari
Kanada sebagai komandan pasukan koalisi dalam operasi Unified Protector di
Napoli, Italia (NATO,2012 Operation Unified Protector Command and Control
16 Agustus 2015).
Prinsip ke-3 adalah penggunaan kekuatan militer yang besar. Dalam
perang konvensional, prinsip ini digunakan untuk dapat meraih kemenangan,
bahkan apabila bisa semua kekuatan militer harus dikerahkan. Akan tetapi dalam
intervensi humanitarian, penggunaan kekuatan besar sangat bertentangan
dengan syarat melakukan intervensi itu sendiri. Penggunaan kekuatan militer
dalam suatu intervensi humanitarian harus disesusaikan dengan kondisi yang
dibutuhkan dan bila perlu seminimal mungkin. Dalam operasi Unified Protector
bila dilihat secara sepintas dengan jumlah armada yang dikerahkan, prinsip ini
mungkin akan diterapkan oleh NATO dalam menghancurkan pasukan pro-
Khadafi. Apalagi dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 telah
103
ditetapkan bahwa segala upaya dapat dilakukan untuk memastikan warga sipil
tidak lagi diserang oleh pasukan pro-Khadafi. Akan tetapi perlu diingat bahwa
dari sekitar 260 buah pesawat dan 25 buah kapal dan 8.000 orang tentara yang
dikerahkan NATO dalam misi ini tidak semuanya untuk langsung
menghancurkan kekuatan militer Khadafi. Sejumlah pesawat dari seluruh
jumlah tersebut tetap dipangkalan sebagai pesawat cadangan bila eskalasi
operasi meningkat. Sama halnya dengan tentara yang diterjunkan, sebagian
besar hanya untuk pendukung operasi dan tentara yang dipersiapkan apabila
diperlukan adanya penggunaan personil untuk misi di darat yang mana di dalam
operasi Unified Protector sama sekali tidak dilakukan karena hanya
menggunakan kekuatan militer udara dan laut. Sedangkan untuk kekuatan
militer laut, sebagian dari 25 kapal yang digunakan NATO hanya melakukan
patroli untuk mengawasi perairan Libya tanpa melakukan serangan ke kapal lain
ataupun ke sistem pertahanan militer Libya (Layuk, 2013:54).
Prinsip ke-4 adalah elemen kejutan. Elemen kejutan ini merujuk pada
serangan yang tidak diduga oleh musuh. Dalam prinsip ini ada 3 bagian 56
penting yang menentukan terlaksanya penerapan prinsip ini dalam suatu perang,
yaitu kecepatan melakukan serangan, kerahasiaan pergerakan, dan pergerakan
tipuan. Dalam intervensi humanitarian, prinsip ini terbentur dengan elemen
kerahasiaan pergerakan. Negara yang melakukan intervensi harus melakukan
koordinasi dengan kontak atau agensi sipil. Hal ini berpotensi membuat operasi
terungkap karena kebanyakan kontak atau agensi sipil tersebut mempekerjakan
warga lokal dan bisa saja adalah pihak musuh. Seperti yang terjadi dalam
intervensi di Somalia yang menyebabkan operasi UNOSOM II mengalami
104
kebocoran dan diketahui oleh Mohammed Farrah Aidid sehingga ia bisa
mengantisipasi setiap pergerakan pasukan koalisi. NATO sebagai pemegang
komando tertinggi dalam intervensi militer di Libya tidak ingin menempuh
resiko seperti yang terjadi di Somalia. Oleh karena itu NATO hanya
mengandalkan data intelijen dari pengintaian dari darat dan tanpa kontak atau
agen sipil yang terpercaya mengenai daerah sekitar sasaran penyerangan dengan
pesawat tempur. NATO menempuh resiko yang menyebabkan jatuhnya korban
jiwa dari pihak sipil. Hal inilah yang penulis yakini menjadi faktor utama
penyebab adanya korban jiwa dari pihak sipil dalam rangkaian serangan udara
NATO dalam rangka intervensi militer dalam krisis politik di Libya meskipun
NATO telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari korban dari
rakyat sipil itu sendiri. Sistem persenjataan NATO juga menjadi salah satu
faktor. Sistem persenjataan NATO yang sangat canggih belum tentu bebas dari
kesalahan fungsi. Hal ini ditunjukkan seperti yang terjadi saat NATO bermaksud
menyerang salah satu sistem pertahanan militer pasukan pro-Khadafi di Tripoli
namun salah satu roket mengalami kesalahan sistem dan mengenai 57 sasaran
yang salah yang mengakibatkan sejumlah warga sipil tewas (NATO, 2011).
Selain itu masuknya tentara pro-Khadafi ke dalam kota yang padat penduduk
dengan struktur bangunan yang saling berdekatan dengan yang lainnya juga
menjadi pemicu tewasnya warga sipil dalam serangan NATO terhadap pasukan
pro-Khadafi (Layuk, 2013:57).
105
6. Dampak Positif dan Negatif Intervensi NATO di Libya
Intervensi militer yang dilakukan NATO dalam krisis politik di Libya
sebagai upaya terakhir menghentikan konflik dan pelanggaran hak asasi manusia
di negara tersebut membawa berbagai dampak besar bagi warga Libya. Dampak-
dampak tersebut ada yang bernilai positif dan ada juga yang merugikan bagi
warga Libya. Mulai dari kehilangan rumah, keluarga, dan juga perubahan dalam
tatanan pemerintahan mereka. Namun yang terpenting bahwa pelanggaran hak
asasi manusia dan serangan terhadap warga sipil Libya oleh rezim Khadafi yang
dapat menelan lebih banyak korban bila dibiarkan dapat dihentikan (Layuk,
2013:88).
Yang paling gampang terlihat adalah dampak material, terutama
rusaknya tempat tinggal rakyat Libya. Rumah-rumah hancur akibat ledakan
serangan pesawat tempur NATO, terutama di daerah perkotaan. Penyerangan ini
ditujukan kepada pasukan pro-Khadafi yang mencoba untuk kembali memasuki
daerah Kota di Libya yang telah diduduki oleh pasukan pemberontak. Namun
sebagian besar dari rumah-rumah tersebut telah lebih dahulu ditinggalkan
pemiliknya untuk mengungsi menghindari perang yang terjadi antara pasukan
pemberontak dan pasukan pro-Khadafi. Hingga saat ini tidak ada yang bisa
memperkirakan besarnya kerugian material di Libya karena intervensi militer
NATO. Rakyat Libya lebih terfokus pada keselamatan mereka dan berakhirnya
masa kekuasaan Khadafi di Libya (2013:89).
Intervensi militer NATO yang juga mempermudah pasukan
pemberontak mengakhiri kekuasaan Khadafi yang membawa perubahan besar
dalam sistem pemerintahan Libya. Negara yang tidak pernah merasakan
106
demokrasi sejak kemerdekaan mereka pada 24 Desember 1951, memiliki
harapan untuk merasakan demokrasi dalam segala bidang di negara mereka
setelah NATO melakukan intervensi militer ke negara mereka akibat kekejaman
Khadafi dan pasukannya. Hal ini bermakna 2 yakni, sebagai bantuan kepada
mereka yang selama ini menderita akibat konflik di negara mereka dan sebagai
salah satu misi NATO untuk memperkenalkan demokrasi. Hal tersebut juga
diperjuangkan oleh pasukan pemberontak. NATO membawa demokratisasi
sebagai salah satu tujuan dalam misinya terutama bagi negara-negara yang
sebelumnya dipimpin oleh rezim pemerintahan yang menindas rakyatnya
dengan kekuasaan mereka dan kadang hingga menggunakan kekerasan agar
kekuasaan mereka tidak tersentuh. Penggarapan amandemen baru Libya yang
sementara ini masih dalam proses oleh Perdana Menteri baru Libya, Ali Zeidan
terbukti sebagai munculnya demokrasi di Libya. Amandemen ini dibuat dengan
penuh kehati-hatian agar dapat dirasa adil bagi rakyat Libya tanpa
mengorbankan kepentingan pihak manapun (NATO, 2012 Command Structure
of Operation Unified Protector 25 Februari 2015).
Dampak intervensi NATO yang paling disayangkan adalah jatuhnya
korban jiwa sipil, dan dari pihak NATO satu orang korban jiwa yang
diperkirakan selama intervensi militer NATO di Libya adalah sebanyak 60 orang
(Amnesty, 2012:6). Hasil ini diperoleh melalui kunjungan dan penelitian
Amnesty International ke Libya. Tewasnya warga sipil dalam intervensi militer
NATO disebabkan karena beberapa faktor seperti tidak adanya agen di darat
untuk memberikan data intelijen yang tepat mengenai kondisi di sekitar sasaran
di darat, target yang banyak di daerah perkotaan dengan bangunan yang padat,
107
dan juga kesalahan fungsi pada sistem persenjataan NATO. Faktor terakhir
adalah faktor yang juga membuat seorang pilot NATO, mengalami kesalahan
fungsi sistem pada pesawat yang diterbangkannya. Berbagai pihak meminta
NATO melakukan penyelidikan atas tewasnya warga sipil dalam intervensi
militer mereka namun hingga kini, belum ada langkah pasti yang diambil NATO
guna melaksanakan anjuran tersebut.
Selain itu yang terjadi di Libya (Fotopoulos, 2011:1) dipicu oleh campur
tangan para elit Transnasional. Para elit Transnasional dan sekutunya telah
berpihak pada kaum pemberontak Libya dengan membiayai secara sukarela baik
berupa senjata maupun perlengkapan militer lainnya untuk melawan rezim
Khadafi. Di samping itu, untuk membantu memperburuk ataupun
menghancurkan citra rezim kekuasaan Khadafi dalam pandangan internasional,
elit transnasional telah melakukan propaganda dengan mengendalikan media
massa dunia. Menurut Fotopoulos, pengaruh besar elit Transnasional dan
sekutunya dalam revolusi Libya, berhasil menghasut warga sipil Libya sehingga
menyebabkan perang saudara di Libya serta menyelamatkan mereka dari
kekejaman tirani rezim Khadafi (2011:2).
Menurut Fotopoulus (2011:3), terkait dengan hal tersebut, Elit
Transnasional dalam melakukan serangannya terhadap rezim Khadafi di Libya
telah melakukan beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap pertama, adalah
dengan cara menghasut warga sipil Libya dan mengakibatkan perang saudara di
antara mereka sendiri. Tahap kedua, setelah berhasil menghasut warga Libya,
terjadilah pemberontakan masa dibantu oleh propaganda media masa yang telah
diatur oleh elit transnasional. Tahap ketiga, adanya persetujuan dari DK PBB
108
didukung oleh persetujuan dari Liga Arab juga sehingga diberlakukannya zona
larangan terbang terhadap Libya. Hasilnya sebagai tahap terakhir adalah
pengumuman peluncuran perang oleh inisiatif murni dari NATO yang diawali
oleh negara-negara NATO dan beberapa klien rezim Arab dalam melakukan
invasinya terhadap Libya (Fotopoulus, 2011:6).