bab ii landasan teori a. kebijakan fiskal 1. pengertian
TRANSCRIPT
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Fiskal
1. Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan bagian penting dari kebijakan
publik. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan
yang mengatur pendapatan dan belanja negara.19
Kebijakan
fiskal yang rumit diartikan sebagai kebijakan ekonomi yang
bertujuan untuk memandu perbaikan kondisi perekonomian
dengan menyesuaikan pendapatan dan pengeluaran
pemerintah. Kebijakan ini serupa dengan kebijakan moneter
yang mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal
lebih menitikberatkan pada pengaturan penerimaan dan
pengeluaran pemerintah.20
Dalam sistem ekonomi, pemerintah bertanggung jawab
atas kelangsungan hidup warganya. Ini tidak hanya untuk
memungkinkan banyak orang mencapai kesetaraan ekonomi,
tetapi juga untuk membantu meningkatkan mereka yang
19
Ayief Fathurrahman, “Kebijakan Fiskal Indonesia dalam Perspektif
Ekonomi islam : Studi Kasus dalam Mengentaskan kemiskinan”, Jurnal Ekonomi dan
Studi Pembangunan, Vol. 13 No. 1, 2012, hlm. 73. 20
Telisa Aulia Falianty, Teori Ekonomi Makro dan penerapannya di
Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 107.
18
menyebarkan pesan dan ajaran Islam dalam jangkauan seluas
mungkin.21
Majid mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf yaitu untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, pemerintahan Islam menggunakan
dua kebijakan yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan ini sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah dan
Khulafaurasyiddin.22
Menurut Rahardja Prathama dan Manurung Mandala
dalam bukunya Macroeconomic Theory, kebijakan fiskal
merupakan salah satu cara untuk mencapai pendapatan dan
pengeluaran pemerintah yang lebih baik dengan cara
mewujudkan perubahan dalam kebijakan pendapatan dan
pengeluaran pemerintah.23
Secara terminologi, menurut Mustafa Edwin Nasution,
kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah-langkah yang
diambil oleh pemerintah untuk mengubah sistem atau
21
M. Nur Rianto Al Arif, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Solo: PT Era
Adicitra Intermedia, 2011), hlm. 54. 22
M. Nazori Majid, Op. Cit., hlm. 221. 23
Marius Masri, Tesis: “Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional
Terhadap Inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001-2008)”,
(Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), hlm. 21.
19
pengeluaran perpajakan.24
Menurut Eko Suprayitno, kebijakan
fiskal merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah
untuk membelanjakan pendapatannya dalam mencapai tujuan
ekonomi.25
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah untuk mengelola perekonomian
menjadi lebih baik dengan mengubah pendapatan dan
pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal juga dapat diartikan
sebagai tindakan yang digunakan oleh pemerintah pada
anggaran belanja negara untuk mempengaruhi operasional
perekonomian.26
Berpijak pada teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan fiskal adalah kebijakan serta peran pemerintah
dalam mengaturpenerimaan dan pengeluaran negara untuk
mencapai kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan ekonomi yang
memperbaiki kondisi perekonomian dengan menyesuaikan
pendapatan dan pengeluaran nasional.
24
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 203. 25
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 159. 26
M. Nur Rianto Al Arif, Op. Cit., hlm. 215.
20
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Utama Daerah (PAD) adalah pendapatan
yang diperoleh daerah dari sumber yang ada di daerahnya
sendiri yang dipungut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sesuai dengan peraturan daerah.27
PAD, atau disingkat Pendapatan Asli Daerah, adalah
pendapatan yang diperoleh dari suatu wilayah dan
merupakan pendapatan yang dikumpulkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
(yaitu Permendagri No. 13 Tahun 2006). Secara umum
dibagi menjadi lima jenis pendapatan, seperti pajak
daerah, pendapatan dari perusahaan milik daerah,
pengeluaran daerah, hasil pengelolaan manajemen daerah
yang dipisahkan, dan pendapatan resmi daerah.28
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum adalah dana yang diperoleh dari
pendapatan APBN yang dialokasikan untuk mencapai
pemerataan ekonomi antar daerah guna mendanai
27
Abdul halim, Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta : UPP AMP
YKPN, 2004), hlm. 94. 28
Ni Putu dan Nyoman, “Analisis Potensi Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) pada Kabupaten di Bali di luar wilayah SARBAGITA, E-jurnal Manajemen
Unud, Vol.7 No.8, 2018, hlm. 4269.
21
kebutuhan daerah.29
Tujuan penting alokasi DAU adalah memeratakan
perkonomian dan menyediakan pelayanan publik setiap
daerah di Indonesia.30
DAU merupakan bagian dari Dana Perimbangan,
yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan keuangan
dan sosial antar pemerintah daerah. Beberapa tujuan
pemerintah pusat dalam memberikan bantuan kepada
pemerintah daerah dalam bentuk DAU adalah:
mengedepankan keadilan antar daerah, meningkatkan
akuntabilitas, memperbaiki sistem perpajakan progresif,
dan meningkatkan pajak daerah.31
c. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan untuk
daerah tertentu yang dipilih untuk tujuan khusus.
Dibandingkan dengan DAU, DAK hanya menyediakan
dana untuk daerah tertentu atau daerah khusus untuk
29
Deddi Nordiawan, dkk, Akuntansi Pemerintahan, (Jakarta: Salemba
Empat, 2008), hlm. 56. 30
Mudrajat Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, (Jakarta:
Erlangga, 2004), hlm. 30. 31
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen keungan Daerah, (Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2002), hlm.142
22
tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dana yang
dialokasikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya menjadi
yurisdiksi pusat untuk tujuan negara. Kebutuhan khusus
ini memenuhi / sesuai dengan fungsi yang diidentifikasi.32
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang
dialokasikan dari APBN ke daerah tertentu untuk
mendanai kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus tersebut
merupakan urusan daerah maupun prioritas nasional,
seperti permintaan daerah keimigrasian, beberapa jenis
investasi atau kebutuhan Infrastruktur, pembangunan
jalan. di daerah terpencil, saluran irigasi utama dan tempat
lain.33
Alokasi DAK memperhitungkan ketersediaan dana
dalam APBN, artinya besaran DAK tidak dapat ditentukan
setiap tahun. Jika daerah menghadapi masalah khusus,
DAK akan diberikan ke daerah. Selain itu, menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004, daerah penerima dana
32
Mudrajat Kuncoro, Op. Cit., hlm. 34. 33
Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pembangunan Keuangan,
Jenis-Jenis Dana Perimbangan, (diakses pada September 2020 di laman
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-saja-jenis-jenis-dana-perimbangan).
23
alokasi khusus (DAK) harus menyediakan dana
pendamping paling sedikit 10% dari DAK yang
dialokasikan ke daerah, dan dana tersebut harus dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sedang berjalan.34
d. Belanja Daerah
Belanja daerah mencakup seluruh pengeluaran yang
berasal dari rekening kas daerah, merupakan utang daerah
dalam satu tahun anggaran, dan tidak akan ada
pengembalian dana oleh daerah.35
Dari uraian di atas,
maka dapat dipahami bahwa Belanja daerah merupakan
pengeluaran daerah serta pengalokasian dana selama
periode tertentu.
Besarnya belanja pemerintah setiap tahun dicatat
dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).Menurut Peraturan Nomor 58 Tahun
2005 tentang Keuangan Daerah Pemerintah Republik
34
Resi Intan Penatari, Skripsi : “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah, (Surakarta
: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015), hlm. 4. 35
Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah Edisi ke-2, (Jakarta: PT.
Indeks, 2009), hlm. 131.
24
Indonesia, peraturan ini dianggap sebagai pengurang nilai
bersih.36
Belanja daerah digunakan untuk urusan
pemerintahan yang terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan menurut provinsi atau kabupaten (kota) menurut
undang-undang.
2. Fungsi Kebijakan Fiskal
Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan fiskal
berperan penting dalam menstabilkan perekonomian dan
menciptakan tingkat perekonomian yang lebih baik.37
Soediyono Reksoprayitno menjelaskan fungsi utama kebijakan
fiskal antara lain: (1) fungsi distribusi, (2) fungsi distribusi,
dan (3) fungsi stabilitas.38
Menurut Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003, fungsi kebijakan fiskal meliputi enam
bagian:39
a. Fungsi otorisasi
Fungsi otorisasi memiliki arti bahwa anggaran negara
menjadi dasar penyelenggaraan penerimaan dan
36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. 37
Alexander Handy, dkk, Mudah Memahami dan Mengimplementasikan
Ekonomi Makro, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2019), hlm 151. 38
Soediyono Reksoprayitno, Ekonomi Makro Penganta Analisa Pendapatan
Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 89. 39
Handy, dkk, Loc. Cit..
25
pengeluaran pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi perencanaan
Fungsi perencanaan memiliki arti bahwa anggaran
negara menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan
perencanaan tahunan.
c. Fungsi pengawasan
Fungsi pengawasan mengacu pada anggaran negara
sebagai kriteria penilaian apakah kegiatan administrasi
pemerintahan negara memenuhi persyaratan.
d. Fungsi distribusi
Fungsi distribusi berarti bahwa anggaran nasional
harus ditujukan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi
dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan
anggaran nasional harus memperhatikan rasa keadilan dan
kewajaran.
f. Fungsi stabilitas
Fungsi stabilitas berarti anggaran pemerintah
26
merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental ekonomi.
3. Instrumen Kebijakan Fiskal
Secara umum terdapat dua instrument utama dalam
kebijakan fiskal, yaitu:40
a. Penerimaan Pemerintah
Pendapatan pemerintah, termasuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), biasanya
bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan
pajak. Penerimaan pajak meliputi pajak penghasilan
(PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan
bangunan (PBB), biaya perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB), cukai, perdagangan (seperti pajak
impor dan pajak ekspor) dan pajak lainnya. Sementara itu,
penerimaan negara bukan pajak mencakup penerimaan
sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan pendapatan
bukan pajak lainnya.41
40
Alexander Handy, dkk, Op. Cit., hlm.149. 41
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, informasi APBN 2019,
.https://www.kemkeu.go.id/apbn2019.
27
b. Pengeluaran (expenditure policy)
Secara umum, belanja negara meliputi anggaran
belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, dana
otonomi khusus, dan dana perimbangan. Pengeluaran
pemerintah yang selama ini banyak digunakan untuk
belanja noninvestasi, seperti pengeluaran gaji pegawai,
belanja modal, dan lain-lain.42
4. Bentuk-bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:43
a. Kebijakan Fiskal Penstabil Otomotis
Penstabil otomatis adalah sistem fiskal yang efektif
digunakan saat ini, secara otomatis akan cenderung
menciptakan stabilitas dalam kegiatan perekonomian.44
Kebijakan ini berkaitan langsung dengan perpajakan,
asuransi, pengangguran dan kebijakan harga minimum.45
b. Kebijakan Fiskal Diskresioner
Kebijakan fiskal didkresioner merupakan kebijakan
yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan situasi dan
42
Ibid. 43
Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016),
hlm. 518. 44
Ibid. 45
Alexander Handy, dkk, Op. Cit hlm.150.
28
kondisi perekonomian.46
Kebijakan fiskal merupakan
langkah di bidang pengeluaran pemerintah dan
perpajakan, yang khusus digunakan untuk memodifikasi
sistem yang ada untuk mengatasi permasalahan ekonomi
yang dihadapi.47
Secara teoritis terdapat empat jenis kebijakan fiskal,
yaitu:48
a. Pembiayaan Fungsional (The Funtional Finance)
Pembiayaan fungsional adalah kebijakan yang
menyesuaikan pengeluaran pemerintah dengan
mempertimbangkan berbagai pengaruh tidak langsung
terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk
meningkatkan kesempatan kerja. Pemerintah yang
mengikuti model pembiayaan fungsional ini biasanya
melakukan beberapa hal penting, yaitu:
1) Pajak tidak hanya digunakan sebagai alat untuk
menggali sumber pendapatan, tetapi juga sebagai alat
untuk mengatur sektor swasta (private sector).
46
Ibid., hlm.150. 47
Sadono Sukirno, Loc. Cit. 48
Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijkan Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara,
2014), hlm, 7.
29
2) Jika tingkat inflasi terlalu tinggi, dan biasanya
dilakukan penarikan dana masyarakat, pemerintah
akan memberikan pinjaman luar negeri.
3) Jika target pajak dan pinjaman tidak cepat tercapai,
pemerintah akan memberikan pinjaman dalam negeri
dalam bentuk cetak uang.
b. Pendekatan Anggaran Terkendali (The Managed
Budget Approach)
Metode anggaran terkendali adalah kebijakan yang
digunakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, pajak
dan pinjaman untuk mencapai stabilitas ekonomi yang
stabil.Dalam konsep ini, hubungan langsung antara
belanja pemerintah dan perpajakan selalu tetap sama.
Kemudian, untuk menghindari atau mengurangi
ketidakstabilan perekonomian, anggaran harus selalu
disesuaikan agar pada saat tertentu anggaran dapat
mengalami defisit atau surplus sesuai dengan keadaan saat
ini.
c. Stabilitas Anggaran (The Stabilizing Budget)
Stabilisasi anggaran merupakan kebijakan yang
30
mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat biaya
dan manfaat dari berbagai program. Tujuan stabilisasi
anggaran adalah untuk menghemat pengeluaran
pemerintah. Dengan anggaran yang stabil, pengeluaran
pemerintah akan lebih menekankan pada manfaat dan
prinsip biaya relatif dari berbagai rencana. Cara
menentukan pajak adalah dengan mendapatkan sisa
anggaran untuk pekerjaan penuh. Dengan kata lain,
berdasarkan stabilitas ekonomi otomatis, pengeluaran
pemerintah ditentukan berdasarkan perkiraan manfaat dan
biaya relatif dari berbagai program. Pada saat yang sama,
pajak dikumpulkan untuk menciptakan surplus selama
periode kerja penuh.
d. Pendekatan Anggaran Belanja Berimbang (Balance
Budget Approach)
Pendekatn anggaran belanja berimbang adalah
kebijakan anggaran yang menyamakan pengeluaran
dengan pendapatan, dan juga merupakan cara untuk
mencapai anggaran berimbang jangka panjang. Dengan
kata lain, konsep anggaran berdasarkan pendekatan
31
anggaran berimbang menekankan pada kebutuhan neraca
pembayaran. Artinya, jumlah belanja yang disiapkan
pemerintah tidak boleh melebihi jumlah pendapatan yang
diterimanya, sehingga pemerintah tidak perlu berhutang
dalam dan luar negeri.
B. Kebijakan Fiskal dalam Pandangan Islam
Sebelum memahami kebijakan fiskal dari perspektif Islam,
Peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu apa itu maqashid
syariah. Maqashid Syariah secara harfiah berarti tujuan hukum.
Maqashid berasal dari kata qashada yang artinya tujuan.49
Secara terminologi, maqashid syariah memiliki makna yang
ingin dan akan diwujudkan oleh pembuat Syariah (Allah SWT).50
Al-Syatibi membagi maqashid syariah menjadi dua bagian,
yaitu :
49
Kamil Iskandar Hasyimah, Al-Munjid Al Wasith, (Beirut : Daar al-
Masyriq, 2003), hlm. 855 dalam Moh. Toriquddin, “Teori Maqashid Syari‟ah
Perspektif Al-Syatibi”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6 No. 1, 2014, hlm. 33. 50
Jaser Auda, Fiqh al-Maqasid Ina tat al-Ahkam bi Maqasidha, (Herndon:
IIIT, 2007), hlm. 15 dalam Ibid., hlm. 34
32
1. Qashdu al-syari’ (tujuan Tuhan)
Maqashid Syariah dalam arti Qashdu al-syari‟ mencakup
empat aspek. Keempat aspek tersebut adalah:51
a. Qashdu al-Syari‟ah (Tujuan Allah mentepakan syariat
atau aturan hukum)
Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan Syariat atau
aturan hukum kepada hamba-Nya untuk memperoleh
kemaslahatan dan menghindar dari kemudharatan.
Sederhananya, Allah menetapkan syariah dengan tujuan
kepentingan maslahah hamba-Nya. Syatibi membagi
maslahah tersebut menjadi tiga derajat menurut kebutuhan
manusia yaitu dharuriyat, hajiyat, dan rukhshah.
b. Qashdu al-syari‟ fi wadh‟i a;-syari‟ah li al-ifham (Tujuan
Allah menetapkan syariat agar dipahami)
Maksud Allah menurunkan syariat agar hamba-Nya
dapat memahaminya. Al-Syatibi menyebutkanada dua hal
terkait hal tersebut yaitu:
51
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafalatfi ushli al-Syariah, (Beirut: Dar Al-
Kotob Al Ilmiyah, 2004), hlm. 219 dalam Nabila Zatadini dan Syamsuri, “Konsep
Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi dan Kontribusinya dalam Kebijakan Fiskal”,
Jurnal Masharif al-Syariah Vol.4 No.1, 2019, hlm. 116.
33
1) Syariat diturunkan dalam Bahasa Arab. Untuk bisa
memahaminya maka harus memahami terlebih dahulu
tata Bahasa Arab.Seperti yang pernah dikatakan al-
Syatibi: “Setiap orang yang hendak memahaminya,
maka dia seharusnya memahami lidah Arab terlebih
dahulu.”
2) Syariat bersifat ummiyah. Syariat ini diturunkan
kepada masyarakat ummi yaitu mereka yang tidak
memahami ilmu lain dengan tujuan agar syariat
mudah dipahami oleh seluruh umat manusia, karena
akar syariat. terletak pada kepentingan manusia.
3) Qashdu al-syari‟ fi wadh‟i a;-syari‟ah li al-taklif bi
muqtadhaha (Tujuan Allah meletakkan syariat untuk
memberi tanggungjawab pada hamba-Nya)
4) Qashdu al-syari‟ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkami
al-syari‟ah (Tujuan tuhan menugaskan hamba-Nya
untuk melaksanakan syariat)
2. Qashdu al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
Segala tujuan mukallaf bergantung pada niatnya. Artinya,
jika niatnya benar maka benar juga amalnya, namun jika
34
niatnya batil maka amal tersebut menjadi batil juga. Tujuan
mukallaf juga harus sama dengan tujuan Allah dan
mengerjakan sesuatu yang tidak dysariatkan maka itu
termasuk batil.52
Imam al-Syatibi membagi kemaslahatan yang akan
diwujudkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:53
Tingkatan pertama, kebutuhan dharuriyat adalah tingkat
kebutuhan yang harus dicapai. Bila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi akan mengganggu keselamatan umat Manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Ada lima hal yang termasuk dalam
kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara
harta. Untuk memelihara lima pokok inilah diturunkan syariat
Islam.
Tingkatan kedua, kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan
sekunder di mana jika tidak tercapai tidak sampai mengancam
keselamtan namun akan menghadapi kesulitan.
Tingkatan ketiga, kebutuhan tahsiniyat yaitu kebutuhan
pelengkap yang apabila tidak tercapai atau terpenuhi tidak
52
Ibid., hlm. 118. 53
Ibid., hlm. 116.
35
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan
tidak pula menimbulkan kesulitan.
Sedangkan, menurut Al-Ghazali, Maqashid syari‟ah berisi
segala seuatu yang dibutuhka manusia untuk mewujudkan
falah secara syari‟ah. Al-Ghazali menempatkan hifz ad-din
pada urutan pertama karena atas dasar itulah manusia akan
meletakkan dan merumuskan relasi-relasi kemanusiaan dalam
perspektif dan filter moral pada pondasi yang benar. Hal itu
memungkinkan manusia dapat berinteraksi secara adil. Iman
akan memberikan instruksi dan guidline moral tentang alokasi,
produksi, konsumsi dan distribusi dalam bingkai keadilan,
keseimbangan dan kemaslahatan. Kemudian al-Gazali
menempatkan hifz al-mal pada urutan paling akhir karena
secara ideologis harta bukanlah tujuan. Jika harta adalah
tujuan maka akan sangat lekat dengan eksploitasi dan
kezaliman.54
Sementara tiga maqashid lainnya yaitu: hifz nafs,
hifz al-a‟aql, dan hifz an-ansl, pencapaian kebahagiaan adalah
tujuan utama dari syariah yang harus dilindungi oleh
komitmen moral. Di dunia sekuler, ketiga tujuan ini tidak
54
M Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Tazkia
Institute, 2000), hlm. 7-10.
36
dapat dilindungi .Segala sesuatu yang digunakan untuk
melindungi ketiganya harus dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat hajjiyah seperti sandang, pangan, papan, pendidikan
intelektual, lingkungan sehat, kesehatan, transportasi yang
aman, dan lainnya.
Bagi al-Syatibi pemerintahan yang mengatur rakyat
merupakan salah satu maslahahdharuriyyah yang harus
terpenuhi demi memelihara harta benda rakyat. Pemerintah
harus mewujudkan atau memenuhi maslahah dunia para
rakyatnya. Jika maslahah akhirat tidak akan terwujud jika
maslahah dunia tidak terpenuhi.55
Segala kebijakan
pemerintah harus bertujuan maslahah karena tindakan
pemimpin harus berdasarkan maslahah rakyat.56
Pemahaman terhadap maqashid inilah yang selama ini
dijadikan landasan merumuskan dan menjawab problematikan
kehidupan ekonomi yang dihadapi setelah Nabi SAW wafat,
seperti pada masa Umar bin Khattab yang membuat kebijakan
tentang pencetakan uang, pengembangan pertanian, pajak
55
Hammadi al-Ubaidi, al-syatibi wa Maqashid al-Syari‟aj, (Beirut : Dar al-
Qutaibah, 1992), hlm. 241 dalam Nabila dan Syamsuri, Op. Cit., hlm. 120. 56
Abu Hanifah, al-Dar al-Mukhtar, jilid 4 (Beirut : Daar al-Fikr, 1386), hlm.
193 dalam Nabila dan Syamsuri, Op. Cit., hlm. 121.
37
perdagangan dan tanah, kebijakan fiskal, pendirian ad-diwan,
komite sensus dan hukum perdagangan.57
Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam adalah sebuah sarana
untuk mencapai maqashid syariah. Maqashid syariah adalah dasar
bagi pengembangan ekonomi Islam karena bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dengan
menyeimbangkan peredaran harta secara adil dan seimbang baik
secara personal maupun sosial.
Kebijakan fiskal dalam Islam mempunyai tujuandalam
menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan
distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan
spiritual secara seimbang.58
Jika melihat praktik kebijakan fiskal yang pernah dilakukan
pada masa Khulafaurrasyidin maka kebijakan fiskal dalam
ekonomi islam memiliki perbedaan dengan ekonomi
konvensional terkait penerimaan dan pengeluaran negara.
57
Nasitotul Janah dan Abdul Ghofur, “Maqashid Asy-Syari‟ah sebagai
Dasar Pengembangan Ekonomi Islam”, International Journal Ihya‟Ulum Al-Din, Vol.
20. No.2, 2018, .hlm. 185. 58
Ihda Aini, Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam Vol.17, No.2, (Padang
Sidempuan: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Padangsidempuan, 2019), hlm.
44.
38
1. Kebijakan Anggaran Penerimaan Pemerintah
Sumber-sumber penerimaan negara dalam ekonomi Islam
yaitu :59
a. Zakat
Zakat secara bahasa mempunyai arti tumbuh (al-
numuw) dan bertambah (al-ziyadah).60
Secara etimologi
Zakat mempunyai arti suci.Yaitu suci dari dosa dan
kemaksiatan.61
Sedangkan secara Etimologi, Zakat
merupakan nama bagi sejumlah harta yang diwajibkan
oleh Allah Swt untuk dikeluarkan kepada orang-orang
yang berhak menerimanya.62
b. Usyr
Secara harfiah usyr bermakna sepersepuluh (1/10).63
Sedangkan dalam istilah syara,usyrmerupakan sesuatu
yang diambil oleh negara dari para pedagang yang
59
Ibid., Hlm. 45. 60
El-Madani, fiqh zakat lengkap, (DIVA Perss, 2013) dalam Denil Setiawan,
“Analisis Zakat Sebagai Instrument Kebijakan Fiskal Pada Masa Khalifah Umar bin
Khattab r. a”, Al Amwal: Vol. 1 No,2, 2019, hlm. 121. 61
Anis Ibrahim dkk, Mu‟jam al-Wasit I, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1972), hlm.
396 dalam Ibid. 62
Ibid.. 63
Atabik Ali, Kamus al-Ashri, (Yogyakarta : Multi Karya, 1292) dalam
Sulaeman Jajuli, “Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Islam”, (Baitul Maal Sebagai
Basis Pertama dalam Pendapatan Islam), Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 2018,
hlm. 20.
39
melewati negaranya.64
Menurut pendapat lain dikatakan
bahwa harta usyr adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam
atau orang yang datang dari negara Islam itu sendiri
untuk berdagang.65
Jadi, dapat disimpulkan bahwa usyr
adalah pajak yang dikenakan kepada barang dagangan.
c. Kharaj
Kharaj mempunyai arti bea, pajak dan belasting66
,
Yaitu berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan
yangartinya keluar. Dalam istilah literatur, kharaj
diartikan pajak yang diwajibkanatas tanah yang dimiliki
oleh non muslim.67
Dalam istilah Syar‟i kharaj
merupakan pajak yang dibebankan atas tanah yang
ditaklukkan oleh pasukan Islam.68
64
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar ibn Al-Khattab,
Terj. M. Abdul Mujib, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm.632 dalam Sulaeman
Jajuli, hlm. 21. 65
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin khattab, Terj.
Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2002), hlm. 33 dalam Sulaeman
jajuli, hlm. 21 66
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1989), hlm. 115 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 17. 67
Irfan Mahmud Ra‟ana, Economic Syistem Under Umar Greath, terj.
Mansuruddyn Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 118 dalam Sulaeman
Jajuli, hlm. 17 68
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Op. Cit., hlm. 85 dalam Sulaeman Jajuli,
hlm. 17.
40
Jadi, Kharaj atau biasa disebut dengan pajak
bumi/tanah merupakan jenis pajak yang dibebankan atas
tanah terutama yang ditaklukan oleh kekuatan senjata,
walaupunsi pemilik itu seorang yang dibawah umur,
seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun
tidak beriman.
d. Ghanimah
Harta Ghanimah secara etimologi mempunyai arti
rampasan perang69
atau harta yang diambil oleh
masyarakat Muslim dalam sebuah peperangan secara sah
dan dibolehkan dalam agama (halal).70
Jadi, Ghanimah adalah harta yang diperoleh dalam
peperangan atau bisa disebut juga rampasan perang.
e. Jizyah
Jizyah berasal dari kata jaza-yajzi yang mempunyai
arti balasan.71
Jizyah juga diartikan dengan al-Dharibah
yang mempunyai makna pajak.72
Menurut syara‟ jizyah
diartikan dengan sejumlah mata uang yang dibebankan
69
Attabik „Ali, Op. Cit., hlm. 1361 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 14. 70
Ibrahim Musthafa, dkk, al-Mu;jam al-Washith, (Qahirah: Maktabah asy-
Syuruq ad-Dauliyah), hlm. 119 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 14. 71
Ibid., hlm. 120 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 19. 72
Attabik Ali, Op. Cit., hlm. 673 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 19.
41
kepada orang yang berada di bawah tanggungan kaum
muslimin dan melakukan perjanjian dengan kaum
muslimin dari ahli kitab.73
Jizyah merupakan pajak yang diwajibkan kepada
kalangan non muslim sebagai kompensasi atas fasilitas
sosial, ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan
keamanan yang didapatkan dari negara Islam. Jizyah
diberikan oleh orang-orang non Muslim selagi mereka
tetap pada kepercayaannya, akan tetapi apabila mereka
memutuskan untuk memeluk agama Islam, maka
kewajiban membayar jizyah tersebut tidak diberlakukan
lagi. Jizyah juga tidak diwajibkan kepada non Muslim
yang tidak mempunyai kemampuan membayarnya
karena kefakiran atau kemiskinannya.
Jadi, Jizyah adalah pajak yang dikenakan atas kaum
non-muslim yang tinggal dalam wilayah negara Islam
sebagai bentuk jaminan kehidupan mereka.
73
Abdul Aziz Dahlan, Op. Cit., hlm. 852 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 19.
42
f. Fai’
Fai‟ secara etimologi berarti pajak.74
Secara
epistimologi fai‟ memiliki arti harta yang diberikan oleh
musuh non muslim bukan dari peperangan, namun
orang-orang nonmuslim yang memberikannya secara
sukarela dan ikhlas tanpa ada unsur paksaan setelah
adanya perjanjian dengan pemerintah Islam.75
2. Kebijakan Anggaran Belanja Pemerintah
Anggaran belanja pemerintah akan disesuaikan dengan
keaadaan ekonomi pada masa tertentu. Pemerintah harus
mengeluarkan anggaran sesuai dengan pendapatannya,
keadaan ini dinamakan dengan anggaran belanja berimbang.
Namun jika tingkat perekonomian baik, kesempatan kerja
penuh tercapai, kenaikan harga seimbang, belanja negara dapat
diperhemat sehingga pemerintah dapat melakukan
penyimpanan anggaran terhadap pendapatannya, maka
keaadan ini dinamakan dengan anggaran belanja surplus.
Sebaliknya, apabila tingkat kegiatan ekonomi rendah dan
terdapat banyak pengangguran, kemiskinan, musibah dan lain
74
Atabik Ali, Op. Cit., hlm. 1413 dalam Sulaeman Jajuli, hlm. 15. 75
Deprtemen Agama R.I, Op. Cit., hlm. 61.
43
sebagainya, lalu pemerintah membelanjakan anggarannya
melebihi pendapatan. Maka keadaan ini akan menimbulkan
defisit anggaran.76
Di masa Nabi kebijakan anggaran masih sangat sederhana
dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian
dikarenakan telah berubahnya keadaan sosio-ekonomi secara
fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang
didirikan juga dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Negara
yang menganut demokrasi, biasanya membuat anggaran
belanja negara secara umum tiap tahun. Fakta anggaran
belanja negara yang menganut demokrasi tersebut adalah
bahwa anggaran belanjanya dinyatakan melalui peraturan yang
disebut dengan peraturan anggaran belanja negara sekian
tahunan. Kemudian ditetapkan sebagai peraturan setelah
dibahas dengan parlemen. Di indonesia anggaran belanja
negara tersebut dimuat dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan
kepada DPR untuk kemudian diundangkan menjadi Undang-
76
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas
Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 205.
44
Undang APBN setiap tahunnya.77
Anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara
recana proyek yang harus dilaksanakan di masa depan,
maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat
pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam
modern harus menerima konsep anggaran modern dengan
perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran.
Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang
mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara-cara untuk
mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau
dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau dari luar
negeri.78
Oleh karena itu, di dalam Islam tidak mengenal
pembuatan anggaran belanja negara tahunan sebagaimana
yang terdapat dalam demokrasi, baik terkait dengan bab-
babnya, pasal-pasalnya, maupun istilah-istilah dari pasal
tersebut. anggaran belanja dalam negara Islam tidak dibuat
dalam bentuk tahunan, meskipun negara Islam mempunyai
anggaran belanja tetap yang bab-babnya telah ditetapkan oleh
77
Ihda Aini, Op. Cit., hlm. 48. 78
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dhana
Bakti Wakaf, 1997), hlm. 235.
45
syara‟ mengikuti pendapatan dan pengeluarannya.79
Dapat diketahui bahwa selama masa Islam dini,
penerimaan zakat dan sedekah merupakan sumber pokok
pendapatan. Di zaman modern penerimaan ini tidak dapat
memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan
pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan
untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih
kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-
Sunnah dengan jelas menyatakan tentang hal ini: “selalu ada
yang harus dibayar selain zakat”. Maka Rasulullah SAW
berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebijakan
masyarakat. Sabdanya: “kekayaan harus diambil dari si kaya
dan dikembalikan kepada si miskin” (HR. Bukhari).80
Setiap
warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai
dengan kemampuannya yaitu sesuai dengan pendapatannya.
Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh
melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. Akan
tetapi mengenai masalh zakat, pungutan zakat tidak
memerlukan sistem organisasi yang lengkap dan
79
Taqyiddin Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 269. 80
Abdul Mannan, Op. Cit., hlm. 238.
46
membutuhkuan biaya yang besar. Zakat merupakan bentuk
ibadah seperti amalan shalat setiap hari atau berpuasa sehingga
kebanyakan orang berlomba-lomba mau menunjukkan
melaksanakan tanggung jawab ini secepat mungkin.81
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sistem
perekonomian mengenai anggaran belanja, ada suatu
perbendaan yang mendasar mengenai sistem anggaran belanja
islam dengan modern. Islam menitik beratkan pada masalah
pelayanan terhadap urusan ummat, yang tekah diserahkan oleh
syara‟ dan ditetapkan sesuai dengan apa yang menjadi
pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran belanja
modern lebih menekankan pada suatu campuran rumit antara
rencana dan proyek.
Pembelanjaan pemerintah dalam koridor Negara islam
sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-Maliki yang
dikutip oleh Mustafa Edwin Nasution, yaitu negara menjamin
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer per individu secara
menyeluruh, dan membantu dalam memenuhi kebutuhan
sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Jaminan
81
Azalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: t.p,1996), hlm.335.
47
pemenuhan kebutuhan primer ini meliputi: pertama, jaminan
kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara
menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi sandang (pakaian),
pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Kedua,
jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara
keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan kategori ini meliputi
keamanan, kesehatan dan pendidikan.82
Terkait kebijakan pengeluaran pemerintah, pengendalian
anggaran yang efisien dan efektif merupakan landasan pokok
dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran
islam dipandu oleh kaidah-kaidah syariah dan penentuan skala
prioritas. Para Ulama terdahulu telah memberikan kaidah-
kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur‟an dan Hadis
dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara
kaidah-kaidah tersebut adalah: 83
a. Pembelanjaan pemerintah harus dalam koridor maslahah
b. Menghindari mashaqqah (kesulitan) dan mudarat harus
didahulukan ketimbang melakukan pembenahan
c. Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi
82
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Op. Cit., hlm. 225-226. 83
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Op. Cit., hlm. 223-224.
48
menghindari mudarat dalam skala umum
d. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan
individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian
dan pengorbanan dalam skala umum
e. Kaidah al-ghiurnu bi al-gunny, yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap
menanggung beban (yang ingin beruntung harus siap
menanggung kerugian).
f. Kaidah “ma la yatimnu al-wajibu illa bihi fahuwa wajib”.
Yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu hal yang
wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor
penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka
menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib
hukumnya”.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam
mewujudkan efektifitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah
dalam Islam. Adapaun kebijakan belanja umum pemerintah
dalam sistem ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:84
84
Ihda Aini, Op. Cit., hlm. 49.
49
a. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila
sumber dananya tersedia.
c. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang
disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.