bab ii landasan teori...7 bab ii landasan teori 2.1 pajak 2.1.1 definisi pajak berikut ini adalah...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pajak
2.1.1 Definisi Pajak
Berikut ini adalah pengertian pajak dari berbagai sumber yaitu:
Pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan negara, memiliki peran yang
penting dalam pembangunan negara. Namun, pada kenyataannya, jumlah penerimaan
pajak tidak pernah berhasil mencapai target. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menyatakan bahwa penerimaan negara sejak tahun 2009 hingga tahun 2012 selalu
dibawah target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan
(Sidarta, 2014).
“Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada Negara,
berdasarkan Undang-Undang dan dapat dipaksakan dan gunanya untuk membiayai
kepentingan umum” (Bochari, 2017).
Berdasarkan definisi diatas, penulis menyimpulkan pajak merupakan
penerimaan negara yang bersumber dari sektor swasta maupun Negara yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang.
2.1.2 Jenis-Jenis Pajak
Menurut (Mardiasmo, 2018) Pajak dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
kelompok, yaitu:
8
1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
1) Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor.
9
2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.
2.1.3 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak menurut (Mardiasmo, 2018) adalah:
1. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Resmi dalam (Pania & Afandy, 2014),
yaitu:
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
2. Self Assessment System
10
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
3. With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang
ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
2.2 Pajak Pertambahn Nilai (PPN)
2.2.1 Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di
dalam daerah pabean) baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa. (Elim, 2015)
Menurut Waluyo dalam (Wowor & Ilat, 2015) mendefinisikan Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah
Pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa.
Menurut Priantara dalam (Di, 2018) menyatakan bahwa “Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung atas konsumsi di daerah pabean, artinya
beban pajak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang pihak yang
mengalihkan pajak tersebut memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2.2.2 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
11
Berikut ini merupakan sumber hukum Pajak Pertambahan Nilai yang ada di
Indonesia sampai saat ini menurut (Pohan, 2016):
1. Pertama kali diterbitkan Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang PPN dan
PPnBM.
2. Perubahan pertama dilakukan dengan Undang-Undang No.11 Tahun 1994,
dilaunjutkan dengan;
3. Perubahan kedua dilakukan dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2000, dan
selanjutnya;
4. Perubahan ketiga dilakukan dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009.
2.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Waluyo dalam (Pania & Afandy, 2014) mengemukakan pajak
pertambahan nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan atau karakteristik, yaitu:
1. PPN sebagai pajak objektif
Pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan dari
wajib pajak.
2. PPN sebagai pajak tidak langsung
Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada
pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggungjawab penyetoran pajak tidak
berada pada penanggung pajak (pemikul beban).
3. Pemungutan PPN multistage tax
Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
distribusi dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer.
4. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti faktur pajak
12
credit method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi pengusaha
kena pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
5. PPN bersifat netral
Netralisasi ini dapat dibentuk karena adanya 2 faktor :
a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa
b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan
6. PPN tidak menimbulkan pajak ganda.
7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, penyerahan barang kena pajak
atau jasa kena pajak dilakukan atas konsumsi dalam negeri.
2.2.4 Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Objek pajak pertambahan nilai yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 dengan Pasal 4, Pasal 16 C, dan 16 D tentang Pajak Pertambahan Nilai
adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
13
2.2.5 Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 1
ayat 27 menyebutkan bahwa pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah pemerintah,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena
Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
2.2.6 Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7:
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas :
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. Ekspor Jasa Kena Pajak;
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
2.2.7 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dasar Pengenaan Pajak menurut Pasal 1 UU PPN 1984 dalam (Salman, 2017)
adalah:
14
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
3. Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perUndang-
Undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang
Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
4. Nilai Ekspor
Nilai Impor = Cost, Insurance, and Freight (CIF) + Bea Masuk + Bea
Masuk Tambahan
15
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan
pajak. Ketentuan mengenai nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 75/PMK.03/2010 yang direvisi
dengan Peraturan Menkeu Nomor 38/PMK.011/2013, ditetapkan nilai lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak, sebagai berikut:
a. Pemakaian sendiri/pemberian cuma-cuma, DPP adalah harga
jual/penggantian dikurangi laba kotor.
b. Penyerahan media rekaman suara atau gambar DPP adalah perkiraan harga
jual rata-rata.
c. Penyerahan film cerita, DPP adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
d. Penyerahan produk hasil tembakau, DPP adalah harga jual eceran.
e. BKP persediaanan/atau aktiva yang menurut semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, DPP adalah
harga pasar wajar.
f. Penyerahan BKP/JKP dari pusat kecabang atau sebaliknya dan penyerahan
BKP/JKP antar cabang, DPP adalah harga pokok penjualan atau harga
eceran.
g. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara, DPP adalah harga yang
disepakati antara pedagang perantara dan pembeli.
h. Penyerahan BKP melalui juru lelang, DPP adalah harga lelang.
i. Jasa pengiriman paket, DPP adalah 10% dari tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
16
j. Jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata, DPP adalah 10% dari tagihan
atau yang seharusnya ditagih.
2.2.8 Mekanisme Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Seperti telah dijelaskan bahwa PPN dikenakan hanya pada pertambahan
nilainya saja dan dipungut beberapa kali dalam berbagai mata rantai jalur
perusahaan. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah,
menurut (Pohan, 2016) dikenal 3 metode:
1. Addition method (Direct or Indirect Additive Method or Accounts Method)
Berdasarkan metode ini, PPN dihitung dari penjumlahan seluruh unsur nilai
tambah yang mencerminkan selisih antara harga jual dengan harga beli barang.
Lalu penjumlahan seluruh unsur nilai tambah tersebut dikalikan tarif PPN yang
berlaku.
Besarnya PPN yang terutang dapat dihitung dengan :
Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pengusaha dituntut memiliki
administrasi pembukuan mengenai biaya yang dikeluarkan dan laba yang
diharapkan dari masing-masing barang produksi atau barang dagangan, yang
dikerjakan dengan tertib dan akurat.
2. Substraction method or Subtractive Direct Method
Menurut metode ini, PPN yang terutang dihitung dari selisih antara harga jual
dengan harga pembelian, dikalikan tarif pajak yang berlaku.
3. Indirect Subtraction (Invoice or Credit) Method
PPN = tarif (10%) x nilai tambah
PPN yang terutang = 10 % x (harga jual – harga beli)
17
Metode ini hampir sama dengan Subtraction Method. Hanya bedanya dalam
Credit Method yang dicari adalah selisih antara pajak yang dibayar saat
pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat penjualan, dan bukan sekedar
selisih antara harga jual dengan harga beli. Jadi PPN terutang merupakan
pengurangan antara PPN yang dipungut oleh pengusaha saat melakukan
penjualan dengan PPN yang dibayarkan pada saat melakukan pembelian.
2.2.9 Penyetoran Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Wirayawan dan Suhartono dalam (Wowor & Ilat, 2015) menyatakan PKP
yang telah melakukan pemungutan PPN atas penyerahan BKP maupun JKP, harus
mempertimbangkan dengan pajak keluaran yang dimilikinya, dan apabila pajak
keluaran lebih besar dengan pajak masukan pada suatu masa tertentu, maka
selisihnya segera disetorkan setiap bulannya, dan juga menyetorkan PPnBM yang
terutang. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No 42 tahun 2009
harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
1. Saat penyetoran
PPN yang terutang dalam satu masa pajak harus di bayar paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum surat pemberitahuan
masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. Tempat pembayaran/penyetoran
a. Kantor pos dan giro
18
b. Bank pemerintah
c. Bank pembangunan daerah
d. Bank devisa
e. Bank-bank lain penerima setoran pajak
f. Kantor Ditjen Bea Cukai, untuk impor tanpa LKP
3. Sarana pembayaran
Pembayaran pajak dilakukan dengan mempergunakan Surat Setoran Pajak
(SSP).
4. Sanksi Keterlambatan
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan SPT
Masa PPN Dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam pasal 15A UU PPN, PKP tetap dikenai sanksi
administrasi sesuai UU KUP yaitu:
a. Sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 untuk
keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN.
b. Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
2.2.10 Pelaporan Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Wirayawan dan Suhartono dalam (Wowor & Ilat, 2015) menyatakan PKP
yang telah memungut dan menyetorkan PPN masih mempunyai kewajiban
melaporkan PPN setiap bulannya, dengan Surat Pemberitahuan Masa PPN, Surat
19
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan
berikutnya.
1. Saat pelaporan
PPN yang dipungut harus dilaporkan oleh PKP pada KPP paling lama akhir
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan bertepatan dengan hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada
hari kerja sebelumnya.
Pelaporan disampaikan ke KPP tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan
sebagai PKP.
2. Sarana pelaporan
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) merupakan sarana untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak.
Bentuk dan isi SPT Masa serta keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan
ditetapkan oleh Direkur Jenderal Pajak. Apabila SPT Masa tidak atau tidak
sepenuhnya dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang telah ditetapkan,
maka SPT Masa tersebut dianggap tidak disampaikan. SPT masa tersebut dapat
disampaikan secara langsung ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak/KPP atau
dikirimkan melalui PT Pos Indonesia secara tercatat atau dengan cara lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.3 Pengusaha Kena Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 1 ayat (1)
mengatakan bahwa Pegusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun
buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan
20
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.
4.800.000.000.
Pengusaha Kena Pajak atau PKP dapat mengenakan PPN pada barang atau
jasa yang telah dijual atau ditawarkan. PKP dapat mengkreditkan PPN yang
diperoleh dari hasil transaksinya. Jika penghasilan per tahun dari penjualan barang
dan jasa yang dikenakan pajak mencapai Rp. 4.800.000.000, baik pengusaha besar
atau kecil, kelompok atau individu, maka pengusaha wajib mendaftarkan sebagai
PKP, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 4
ayat (1)
.
2.3.1 Barang Kena Pajak (BKP)
Pengertian Barang Kena Pajak menurut Mardiasmo dalam (Fransiska & Dian,
2004) “Barang adalah Barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”.
Menurut (Diaz, 2016) “Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN dan PPnBM”.
Sedangkan menurut (Juli, 2015) “Barang Kena Pajak merupakan barang
berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud (merek dagang, hak
cipta, hak paten, dan lain-lain) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
Undang PPn dan PPnBM”.
2.3.2 Barang Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 jenis barang yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:
21
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya. Barang tersebut meliputi:
a. Minyak Mentah (crude oil),
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat,
c. Panas bumi,
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, garam batu, grafit, granit/andesit, gips, leusit, magnesit, mika,
marmer, nitrat, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, fosfat, tanah serap, tanah liat,
tawas (alum), zeolit, basal, dan trakkit,
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara, dan
f. Bijih perak, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
meliputi:
a. Beras,
b. Gabah,
c. Jagung,
d. Sagu,
e. Kedelai,
f. Garam baik beryodiun maupun yang tidak beryodium,
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tanpa
dikemas, digarami, dikapuri, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus.
22
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan atau dikemas.
i. Susu, yaitu susu perah yang baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas,
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading dan/atau
dikemas atau tidak dikemas, dan
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau catering, dan
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
2.3.3 Jasa Kena Pajak
Menurut Mardiasmo dalam (Fransiska & Dian, 2004) mengemukakan bahwa:
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang kena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesanan.
Menurut (Diaz, 2016) “Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN dan PPnBM”.
Menurut (Kasus, Ekakarya, & Flora, 2015) Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan pelayanan yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
23
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN, contohnya : jasa
konstruksi, jasa sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara dan lain-lain.
2.3.4 Jasa Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Undang-Undang (UU) PPN No. 42 Tahun 2009 jenis jasa yang tidak
dikenai pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa
sebagai berikut:
1. Jasa pelayanan kesehatan medik, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi,
b. Jasa dokter hewan,
c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi,
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi,
e. Jasa para medis dan perawat,
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,
dan sanatorium,
g. Jasa psikologi dan psikiater, dan
h. Jasa pengobatan alternative, termasuk yang dilakukan oleh paranormal,
2. Jasa pelayanan sosial, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo,
b. Jasa pemadam kebakaran,
c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan,
d. Jasa lembaga rehabilitasi,
e. Jasa penyediaan rumah duka, atau jasa pemakaman termasuk crematorium,
dan
f. Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
24
3. Jasa pengiriman surat perangko, yang jenisnya meliputi jasa pengiriman surat
dengan menggunakan perangko temple dan menggunakan cara lain pengganti
perangko tempel,
4. Jasa keuangan, yang meliputi:
a. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu,
b. Jasa penempatan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada
pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya,
c. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan
berupa sewa dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan/atau
pembiayaan konsumen.
d. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah
dan fidusia, dan
e. Jasa penjaminan.
5. Jasa Asuransi,
6. Jasa keagamaan, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa pelayanan rumah ibadah,
b. Jasa pemberian khotbah atau dakwah,
c. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan
d. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
7. Jasa pendidikan, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejujuran, pendidikan luar biasa, pendidikan
25
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan
professional, dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah
8. Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja
seni dan hiburan,
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau
televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat
iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial,
10. Jasa angkutan umum didarat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri,
11. Jasa tenaga kerja, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa tenaga kerja,
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut, dan
c. Jasa penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja.
12. Jasa perhotelan, yang jenisnya meliputi:
a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hotel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap, dan
b. Jasa persewaan ruang untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hotel.
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, yang jenisnya meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
26
pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP),
14. Jasa penyediaan tempat parkir,
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam,
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos, dan
17. Jasa boga atau catering.
2.4 Faktur Pajak
Undang-Undang No.42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 23 menyebutkan “Faktur
pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak”.
Menurut (Juli, 2015) “Faktur Pajak merupakan bukti pungutan PPN yang
dibuat oleh PKP karena melakukan penyerahan BKP/JKP oleh Direktorat Bea dan
Cukai karena impor BKP”.
Menurut (Rachma, 2017) “Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak dan
dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan pajak masukan”.
2.4.1 Ketentuan Mengenai Faktur Pajak
Menurut Undang-Undang No.42 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
1. Saat Pembuatan Faktur Pajak terdapat pada pasal 13 ayat 1
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak
b. penyerahan Jasa Kena Pajak
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
d. ekspor Jasa Kena Pajak
27
2. Faktur pajak harus dibuat pada saat-saat yang dijelaskan dalam pasal 13 ayat 1a:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan;
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan diatas, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1
(satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan.
1. Syarat Faktur Pajak
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
28
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
2.4.2 Ketentuan Pembatalan Faktur Pajak
Dasar hukum pembatalan faktur pajak adalah Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-24/PJ/2012, antara lain:
1. Jika terjadi pembatalan transaksi penyerahan BKP/JKP dan faktur pajak
keluaran terlanjur diterbitkan, maka harus dilakukan pembatalan faktur pajak
keluaran.
2. Pembatalan faktur pajak keluaran harus dilengkapi dengan bukti berupa
dokumen yang membuktikan adanya pembatalan transaksi. Bukti yang dimaksud
bisa berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya
pembatalan transaksi.
3. Faktur pajak yang dibatalkan harus tetap disimpan sebagai arsip oleh PKP
penjual.
4. PKP penjual yang membuat pembatalan faktur pajak keluaran harus mengirim
surat pemberitahuan dan salinan faktur pajak yang dibatalkan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP tersebut dikukuhkan dan ke KPP tempat
PKP pembeli dikukuhkan.
5. Jika PKP Penjual belum melaporkan faktur pajak yang dibatalkan di dalam SPT
masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka PKP penjual harus tetap
melaporkan faktur pajak yang dibatalkan tersebut dalam SPT masa PPN dengan
mencantumkan nilai 0 pada kolom Dasar Pengenaan Pajak (DPP), PPN atau
PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
6. Jika PKP penjualan telah melaporkan faktur pajak dalam SPT masa PPN sebagai
faktur pajak keluaran, maka PKP penjual harus melakukan pembetulan SPT
29
masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara melaporkan faktur pajak
yang dibatalkan dengan mencantumkan nilai 0 pada kolom DPP, PPN atau PPN
dan PPnBM.
7. Jika faktur pajak keluaran telah dilaporkan oleh PKP pembeli sebagai faktur
pajak masukan, maka PKP pembeli harus melakukan pembetulan SPT masa
PPN Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara melaporkan faktur pajak yang
dibatalkan dengan mencantumkan nilai 0 pada kolom DPP, PPN atau PPN dan
PPnBM.
Pembatalan faktur pajak dapat dilakukan sepanjang terhadap Surat
Pemberitahuan (SPT) masa PPN dimana faktur pajak yang dibatalkan tersebut
dilaporkan masih dapat dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sementara, pembetulan SPT masa PPN dapat dilakukan sepanjang terhadap
SPT masa PPN dimana faktur pajak yang dibatalkan tersebut dilaporkan belum
dilakukan pemeriksaan, belum dilakukan pemeriksaan bukti permulaan yang bersifat
terbuka, dan/atau PKP belum menerima Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi.
2.4.3 Pajak Masukan
Berdasarkan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
Menurut Muljono dalam (Kasus et al., 2015) Pajak Masukan adalah pajak
pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak
karena perolehan barang kena pajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau penyerahan jasa kena pajak
dari luar daerah pabean dan atau impor barang kena pajak.
30
Sedangkan menurut (Kasus et al., 2015) “Pajak Masukan adalah PPN yang
ditanggung PKP saat membeli barang atau jasa kena pajak, dan merupakan pajak
terutang penjual yang harus dilaporkan oleh penjual atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau JKP”.
2.4.4 Pengkreditan Pajak Masukan
Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 9 menyebutkan pajak masukan
dapat dikreditkan apabila:
1. Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran
untuk masa pajak yang sama.
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan atau impor
barang modal dapat dikreditkan.
3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 dan ayat 9.
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
5. Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
6. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan pajak
keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak
berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang
bersangkutan.
31
2.4.5 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan
Menurut Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 9 ayat 8 menyebutkan
pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan, yaitu:
1. Perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum
bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
2. Perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang faktur pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 atau ayat 9
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 6.
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
32
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
2a.
10. Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN
atau mendapat fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 5 dan pasal 16B ayat 3.
2.4.6 Pajak Keluaran
Berdasarkan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 menyebutkan “Pajak
keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak”.
Menurut Muljono dalam (Kasus et al., 2015) Pajak Keluaran adalah pajak
pertambahan nilai terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak
yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak,
ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud
dan atau ekspor jasa kena pajak.
Sedangkan menurut (Kasus et al., 2015) “Pajak keluaran adalah PPN terutang PKP
yang diperoleh pada saat PKP menyerahkan atau menjual barang atau jasa kena
pajak”.