bab ii landasan teori 2.1 penelitian terdahulurepository.untag-sby.ac.id/795/4/bab ii.pdf · kata...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang telah diteliti oleh Febrianti Arum
Cahyaningtyas pada tahun 2015, yang merupakan alumni mahasiswa
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jurusan Sastra Jepang, dengan judul
„Analisis Makna dan Penggunaan Kata Ganti Orang Pertama Pada Novel
Saiunkoku Monogatari Volume I‟ memaparkan hasil sebagai berikut:
1. Makna yang terkandung dalam kata ganti orang pertama (daimeishi
jishou/代名詞自称 ) adalah pada kanti ganti orang pertama bentuk
tunggal memiliki makna „aku‟, menunjuk kepada diri sendiri atau
pembaca. Sedangkan pada kata ganti orang pertama bentuk jamak
memiliki makna „kita‟, menunjuk kepada diri sendiri atau si pembaca
dan orang lain.
2. Penggunaan dari kata ganti orang pertama (daimeishi jishou/代名詞
自称) adalah :
a. Watashi (わたし) dapat digunakan oleh perempuan dan laki-laki
dalam situasi formal maupun tidak formal.
b. Ore (俺) dapat digunakan oleh laki-laki dalam situasi tidak formal
atau saat berbicara dengan teman sebaya atau yang di bawah status
pembicara.
c. Watakushi ( わたくし ) dapat digunakan oleh laki-laki dan
perempuan tetapi pada situasi yang sangat formal atau saat
berbicara dengan orang yang memiliki status tinggi.
d. Washi (わし) digunakan oleh laki-laki yang berusia lanjut usia atau
kakek-kakek pada situasi tidak formal atau saat berbicara dengan
teman sebaya dan orang yang di bawah status pembicara.
12
e. Jibun (自分) digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam novel
digunakan saat berbicara dengan orang yang dekat atau yang berada
di bawahnya.
f. Yo (余 ) adalah kata ganti orang pertama untuk kaisar yang
digunakan dalam situasi formal dan non formal.
g. Washira (わしら) memiliki makna „kita‟, menunjuk pembicara
yang merupakan laki-laki yang berusia lanjut dan orang lain.
h. Jibuntachi (自分たち) digunakan oleh laki-laki dan perempuan
sebagai kata ganti orang pertama bentuk jamak. Dalam novel
digunakan pada kalimat bukan percakapan.
i. Watashitachi ( わ た し た ち ) digunakan oleh laki-laki dan
perempuan pada situasi formal maupun non formal.
j. Watakushitachi (わたくしたち ) dalam novel dipakai oleh
perempuan dan digunakan untuk berbicara dengan orang yang
memiliki status yang lebih tinggi.
Perbedaan dalam penelitian ini adalah penelitian ini lebih
menitik beratkan untuk meneliti kata ganti orang pertama yang digunakan
dalam bahasa lama atau pada jaman dahulu yaitu kata Washi dan Ora.
2.2 Mukashibanashi
Mayer (1989) menjelaskan bahwa mukashibanashi merupakan
kisah yang ditulis secara indah berdasarkan karakter dan kejadian fiktif.
Cerita-cerita bersejarah, umumnya dipercaya sebagai kisah nyata, atau
dikenal juga dengan sebutan densetsu atau legenda. Baik
mukashibanashi dan densetsu adalah bagian dari tradisi bercerita yang
diwariskan secara turun-temurun. Dongeng rakyat yang bermula dari
pemikiran rakyat biasa, mencakup banyak ekspresi nilai hidup, kebajikan
dan keindahan budaya.
Dongeng tergolong sangat sederhana di antara bentuk narasi
cerita rakyat lainnya dan hanya diturunkan dari generasi ke generasi.
Dongeng seringkali menyertakan elemen-elemen dan tema tertentu
seperti binatang nakal, kejadian-kejadian janggal, laki- laki tua baik hati
13
dan yang jahat, berbaliknya peruntungan secara tiba-tiba, dan lainnya.
Belum lagi nilai artistik yang relatif tinggi, tidak hanya menceritakan
sebuah legenda atau budaya, tapi juga menceritakan lagu, peribahasa,
resep masakan, kerajinan tangan, cara bercocok tanam, pengetahuan
alam dan cara pandang sebuah budaya.
Menurut Matsura (1986 ; 1176) Mukashibanashi adalah istilah
dongeng Jepang yang merupakan cerita rakyat yang biasanya diceritakan
pada anak-anak. Kinoshita Junji (1969 ; 19) mengemukakan istilah
Mukashibanashi yang sering digunakan oleh ahli foklor untuk menyebut
cerita rakyat diambil dari kata pembuka (cara bercerita) cerita rakyat
tersebut. Cerita-cerita tersebut selalu dimulai dengan kalimat “Mukashi,
aru tokoro ni....,”
Irianti (1992 ; 26-27) mengemukakan ciri-ciri Mukashibanashi
sebagai berikut :
a. Bukan merupakan cerita nyata, dan lahir dari daya khayal yang
bersifat fiktif.
b. Diceritakan tanpa dihubung-hubungkan dengan keistimewaan
suatu tempat manusia.
c. Diceritakan dengan menggunakan kata keterangan waktu yang
tetap, yaitu mukashi. Kata ini menunjukkan waktu lampau.
d. Berperan untuk mengutarakan jarak antara cerita nyata dan cerita
khayal.
e. Biasanya diakhiri dengan kalimat, seperti “Shiawase ni
kurashimashita”.
f. Kata-kata yang digunakan adalah kata/bahasa kehidupan sehari-
hari.
2.3 Semantik (Imiron)
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema yang
artinya „menandai‟ atau „melambangkan‟. Chaer (1995:2) mengungkapkan
bahwa semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti,
yaitu salah satu dari tiga tatatan bahasa fonologi, morfologi, dan semantik.
Objek studi semantik berupa makna bahasa seperti kata, frasa, klausa,
kalimat, dan wacana.
Dalam Bahasa Jepang, semantik disebut dengan Imiron. Menurut
Hiejima (1991:3) Imiron adalah :
14
「意味論は語句や文の意味の研究と定義される。意味の問題は、
確かに物理主義的方法あるいは客観的方法で取り扱うには余りにも
困難な面が多すぎたことは否定できない事実である。意味の問題は、
間違いなく本来客観的であるというよりは、むしろ主観的であると
いえよう。なぜなら、語や文やは人間が日常使用するものであり、
個人によってそれらの意味には差異が生ずるものだからである。」
/imiron wa goku ya bun no imi no kenkyuu to teigisareru. Imi no
mondai wa, tashika ni butsuri shugiteki houhou arui wa kyakukanteki
houhou de toriatsukau ni wa amari ni mo konnan na men ga oosugita koto
wa hitei dekinai jijitsu de aru. Imi no mondai wa, machigainaku honrai
kyakukanteki de aru to ie you. Nazenara, go ya bun ya ningen ga nichijou
shiyou suru mono de ari, kojin ni yotte sorera no imi ni wa sai ga
shouzuru mono da kara de aru./
“Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase dan
kalimat. Masalah makna, pastinya apabila melihat sebuah makna dengan
sudut pandang secara objektif maupun secara fisik, banyak hal yang
berbeda dan tidak sesuai. Masalah makna adalah, tidak salah lagi, daripada
memandang secara objektif, lebih bisa dikatakan lebih baik secara
subjektif. Hal ini dikarenakan kata dan kalimat merupakan sesuatu yang
digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari segi setiap
individu akan muncul makna-makna yang berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. “
2.4 Ruigigo (Sinonim)
Ruigigo dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan sinonim.
Menurut Pateda (1988) sinonim adalah kata-kata yang sama maknanya.
Secara semantik, Verhaar dalam Chaer (2002 : 82) mendefinisikan
sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Sementara menurut Kridalaksana (1982: 154), sinonim ialah
bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain,
kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walapun pada
15
umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Parera (2004 :
61) menyatakan bahwa sinonim ialah dua ujaran, apakah ujaran dalam
bentuk morfem terikat, kata, frase, atau kalimat yang menunjukkan
kesamaan makna.
Sejalan dengan pendapat di atas, Chaer (1994 : 249)
mengemukakan bahwa sinonim adalah hubungan semantik yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan
satuan ujaran lainnya.
Menurut Kindaichi Haruhiko dalam Gendai Shinkokugo Jiten
bahwa ruigigo adalah:
「意味がよく似ている二つ以上の単語。類語。」
/imi ga yoku niteiru futatsu ijou no tango. Ruigo./
„Dua kata atau lebih yang memiliki makna yang mirip. Kata yang
sejenis.
Kemudian menurut Tosaku (1991) ruigigo adalah:
「意味の似かよった言葉。類語。」
/imi no ni kayotta kotoba. Ruigo./
„Kata yang maknanya hampir sama. Kata yang sejenis‟
Dalam Seiko Denchijiten dijelaskan bahwa ruigigo adalah:
「意義の類似する言葉。類語。」
/igi no ruijisuru kotoba. Ruigo./
„kata yang memiliki kemiripan makna. Kata yang sejenis‟
Sementara Iwabuchi (Sudjianto dan Dahidi, 2004: 114)
mengemukakan bahwa ruigigo adalah beberapa kata yang berbeda namun
memiliki makna yang sangat mirip.
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan ruigigo adalah dua kata atau lebih yang memiliki
makna yang sama atau mirip.
Contoh : 上がる = 登る = 乗る
/agaru/ /noboru/ /noru/
Ketiga kosa kata di atas memiliki makna yang sama yaitu “naik”
16
2.5 Hinshi (Kelas Kata)
Yang dimaksud dengan hinshi 品詞 adalah sebagai berikut : Bahasa
merupakan materi dari kalimat dan berfungsi tetap dalam membangun
kalimat. Hal yang membagi jenis kata berdasarkan perbedaan fungsi inilah
yag disebut dengan hinshi. (Masuoka dan Takubo, 1993:4)
Murakami dalam Dahidi (2004:50) membagi kata tango 単語 dalam
bahasa jepang menjadi dua kelompok besar, yaitu: jiritsugo 自立語 dan
fuzokugo 付属語.
1. Jiritsugo 自立語 adalah kelompok kata yang berdiri sendiri dan
mempunyai makna
2. Fuzokugo付属語 adalah kelompok kata yang tidak dapat berdiri sendiri,
akan bermakna dan berfungsi bila bergabung dengan kata lain
Menurut Toshihiro (2004:3) yang dimaksud dengan hinshi品詞 adalah
pengklasifikasian kata yang dilakukan berdasarkan tiga hal berikut:
1. Bisa berdiri sendiri atau tidak. Yang termasuk fuzokugo付属語 adalah
joshi助詞 dan jodoushi助動詞, selain itu termasuk jiritsugo自立語
2. Ada atau tidaknya konjugasi. Yang mengalami konjugasi atau
perubahan bentuk kata adalah doushi 動詞 , keiyoushi 形容詞 , dan
keiyoudoushi 形容動詞 . Meishi 名詞 tidak termasuk, karena tidak
mengalami perubahan bentuk kata
3. Bentuk konjugasi atau fungsi dalam kalimat. Hanya ada pada jiritsugo
自立語
Pembagian kelas kata atau Hinshi Bunrui menurut Kokugo Daijiten
dibagi menjadi sepuluh jenis kata, yaitu:
1. Doushi 動詞 atau verba atau kata kerja yang mengalami perubahan
bentuk kata dan merupakan bentuk dasar/kamus yang diakhiri dengan
huruf u.
17
Verba bahasa Jepang digolongkan ke dalam 3 kelompok berikut:
a) Kelompok I
Godan doushi 五段動詞 , karena mengalami perubahan dalam
lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu A,I,U,E,O.
Cirinya yaitu verba yang berakhiran dengan akhiran (gobi) huruf
U, TSU, RU, KU, GU, MU, NU, BU, SU
Contoh :
買う /kau/ Membeli
勝つ /katsu/ Menang
知る /shiru/ Mengetahui
書く /kaku/ Menulis
泳ぐ /oyogu/ Berenang
読む /yomu/ Membaca
死ぬ /shinu/ Mati
飛ぶ /tobu/ Terbang
話す /hanasu/ Berbicara
b) Kelompok II
Ichidan doushi 一段動詞 , karena perubahannya terjadi pada
suatu deretan bunyi saja.
Ciri utamanya verba yang berakhiran dengan suara ERU atau
disebut Kami-Ichidan Doushi dan IRU atau disebut Shimo-Ichidan
Doushi
Contoh:
ERU => 食べる /taberu/ Makan
IRU => 借りる /kariru/ Meminjam
18
c) Kelompok III
Henkaku doushi変革動詞 yaitu verba yang perubahannya tidak
beraturan dan hanya terdiri dari dua verba
Contoh:
来る /kuru/ Datang
する /suru/ Melakukan
2. Keiyoushi 形容詞 atau adjektiva yang bisa disebut juga dengan i-
keiyoushi karena diakhiri dengan huruf i dan mengalami perubahan
bentuk kata.
Contoh :
新しい /atarashii/ Baru
寒い /samui/ Dingin
暑い /atsui/ Panas
暖かい /atatakai/ Hangat
高い /takai/ Tinggi, Mahal
3. Keiyoudoushi 形容動詞 atau adjektiva yang bisa disebut juga dengan
na-keiyoushi. Contoh :
きれいな女の人 /kirei na onna no hito/ Perempuan yang cantik
上手な男の子 /jouzu na otoko no ko/ Anak laki-laki yang pandai
4. Meishi 名詞 atau nomina atau kata benda yang tidak mengalami
perubahan bentuk kata dan bisa digabung dengan kata benda lain dengan
menggabungkan partikel no. Contoh:
車 /kuruma/ Mobil
家 /ie/ Rumah
本 /hon/ Buku
19
5. Rentaishi 連体詞 atau prenomina, yaitu kata yang menerangkan kata
lain. Rentaishi tidak mengalami perubahan bentuk kata dan tidak bisa
menjadi subjek.
Contoh :
この /kono/ ini
その /sono/ itu (dekat)
あの /ano/ itu (jauh)
6. Fukushi 副詞 atau adverbia, yaitu kata yang berfungsi sebagai kata
keterangan untuk predikat (yougen) dan tidak mengalami perubahan
bentuk kata.
Contoh :
ずっと /zutto/ terus menerus
とても /totemo/ sangat
ぜんぜん /zenzen/ sama sekali
もちろん /mochiron/ pasti
7. Setsuzokushi 接続詞 atau konjungsi, yaitu kata yang berfungsi untuk
menyatakan hubungan antar kalimat atau bagian kalimat atau frase
dengan frase dan tidak mengalami perubahan bentuk kata.
Contoh :
そして /soshite/ kemudian
しかし /shikashi/ tetapi
でも /demo/ tetapi
それから /sorekara/ kemudian
ですから /desukara/ karena
20
8. Kandoushi感動詞 atau interjeksi, yaitu kata yang menyatakan ekspresi,
perasaan, cara memanggil, cara menjawab, dan sebagainya dan tidak
mengalami perubahan bentuk kata.
Contoh :
へえ?! /hee?!/ (ungkapan saat terkejut)
うーん /uun/ (ungkapan saat berfikir)
えーと /eeto/ (ungkapan saat berfikir)
くそ! /kuso!/ (ungkapan saat sedang kesal)
ねえ /nee/ (ungkapan saat memanggil seseorang)
9. Jodoushi助動詞 atau verba bantu, yaitu kata yang tidak dapat berdiri
sendiri, melekat pada kata yang lain dan mengalami perubahan bentuk
kata.
Contoh : 来る berubah
menjadi 来ない untuk negatif,
menjadi 来た untuk lampau,
menjadi来なかった untuk negatif lampau,
menjadi 来られる untuk dapat,
menjadi 来よう untuk bermaksud,
menjadi 来られる untuk bentuk pasif,
menjadi 来させる untuk menyuruh,
menjadi 来れば untuk pengandaian,
menjadi 来い untuk perintah,
menjadi 来て untuk kata sambung,
menjadi 来たい untuk ingin
21
10. Joshi助詞 atau partikel, yang mana bila kata ini terpisah dengan kata
yang lain, maka tidak akan memiliki arti dan berfungsi untuk
menyambung antar kata.
Contoh :
は yang menempel pada subjek
の yang digunakan untuk menggabungkan dua kata dan menunjukkan
kepemilikan
に yang digunakan untuk menunjuk tempat atau seseorang
で yang digunakan untuk menunjuk tempat atau dengan alat
が yang digunakan untuk menunjukkan keadaan dari subjek
を yang menempel sebelum kata kerja
2. 6 Meishi
2.6.1. Pengertian Meishi
Dilihat dari huruf kanjinya, kata meishi terdiri dari dua huruf
kanji, yaitu yang pertama adalah huruf kanji 名 yang dibaca mei,
dan na yang berarti nama. Sedangkan huruf kanji yang kedua adalah
huruf kanji 詞 yang dibaca shi yang berarti kata. Jadi meishi dapat
diartikan sebagai kata nama (benda), yang mempunyai ciri-ciri
dapat berdiri sendiri, tidak mengenal konjugasi (perubahan), dan
menjadi subjek atau objek dalam kalimat (Situmorang, 2007 : 14).
Menurut Sultan Takdir Alisyahbana (1986 : 79) dalam
bukunya Tata Bahasa Baku Indonesia menyatakan :
“Kata benda adalah nama daripada benda atau segala sesuatu
yang dibendakan”
Kata benda tersebut biasanya dapat berfungsi sebagai subjek
atau objek dari klausa, yang dipadankan dengan orang, benda, atau
hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa (Kridalaksana
dalam Sudjianto, 1996 : 34).
22
Dalam buku Nihongo Bunpo Keitairon (Suzuki, 1972 : 188)
dikatakan bahwa :
「単語の中には人や物や生き物、場所や時を指しめの物
があります。このような単語のことを名詞と言います。」
/tango no naka ni wa hito ya mono ya ikimono, basho ya toki
wo sashime no mono ga arimasu. Kono youna tango no koto wo
meishi to iimasu./
„Di dalam kosa kata terdapat kata yang menunjukkan waktu,
tempat, makhluk hidup, benda dan orang. Kata yang seperti ini
disebut dengan meishi‟
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa meishi adalah
kata yang menunjukkan nama, benda, tempat, waktu, orang, dan
lain-lain.
Motojiro dalam buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang
(Sudjianto, 2004 : 156) mendefinisikan meishi berdasarkan ciri-
cirinya, yaitu :
1. Meishi termasuk kelas kata yang dapat berdiri sendiri (jiritsugo).
2. Meishi tidak mengalami perubahan (konjugasi). Kata-kata yang
termasuk kelompok nomina tidak mengalami perubahan
misalnya ke dalam bentuk lampau ataupun bentuk negatif.
3. Meishi dapat menjadi subjek, objek, predikat, dan adverbia.
Sehingga secara langsung dapat diikuti joshi (partikel) atau
joudoushi (verba bantu). Nomina yang diikuti joshi dan nomina
yang diikuti joudoushi dapat membentuk sebuah bunsetsu
(kalimat).
4. Meishi atau nomina dalam bahasa Jepang disebut dengan taigen.
5. Meishi ialah kelas kata yang menyatakan benda atau nama benda,
tempat, orang, atau hal lain yang dibendakan baik benda konkrit
maupun abstrak.
Sakakura (1992: 143) mengatakan bahwa meishi adalah kata-
kata yang dapat digunakan untuk :
1. 「具体的なものを表す」
/gutaiteki na mono wo arawasu/
‘menunjukkan hal yang kongkrit.‟
23
Contoh : 水 /mizu/ air
雪 /yuki/ salju
雨 /ame/ hujan
2.「抽象的事からを表す」
/chuushouteki koto kara wo arawasu/
„menunjukkan hal yang bersifat abstrak.‟
Contoh : 昔 /mukashi/ jaman dahulu
信頼 /shinrai/ kepercayaan
3. 「特定の土地や年号や人名などを表す」
/tokutei no touchi ya nengou ya jinmei nado wo arawasu/
„menunjukkan nama tempat, zaman, dan nama orang yang
spesifik.‟
Contoh : 大阪 /oosaka/ Osaka
江戸 時代 /edo jidai/ Jaman Edo
奥山さん /okuyama san/ Tuan Okuyama
2.6.2. Jenis-Jenis Meishi
Pendapat mengenai jenis meishi belumlah seragam. Di
antaranya ada yang menyatakan bahwa meishi dibagi menjadi
empat macam, tetapi ada pula yang membaginya menjadi lima
macam. Seperti Murakami Motojiro dalam Sudjianto (2004 : 37),
membagi meishi menjadi lima macam, yakni futsuu meishi, koyuu
meishi, daimeishi, suushi, dan keishiki meishi.
Sedangkan Uehara Takeshi dalam Sudjianto (2004 : 37),
membaginya menjadi empat macam yakni futsuu meishi, koyuu
meishi, suushi, dan keishiki meishi. Ia menganggap daimeishi
berdiri sendiri sebagai satu kelas kata, tidak sebagai satu bagian
dari meishi. Di pihak lain, Nagayama Isami membagi meishi
menjadi futsuu meishi, koyuu meishi, daimeishi, dan suushi.
24
Nagama Isami tidak memasukkan keishiki meishi sebagai salah
satu jenis meishi, sebab ia mengelompokkan jenis itu ke dalam
futsuu meishi.
Sakakura (1992: 143) membagi meishi menjadi empat
jenis. Pembagian meishi tersebut yaitu :
1. Futsuu meishi, yaitu nomina yang menyatakan nama-nama benda,
barang, peristiwa, dan sebagainya yang bersifat umum.
Contoh: 本 /hon/ buku
靴 /kutsu/ sepatu
携帯電話 /keitai denwa/ ponsel
2. Keishiki meishi, yaitu nomina yang menerangkan fungsinya
secara formalitas tanpa memiliki hakekat atau arti yang
sebenarnya.
Contoh: こと /koto/ hal, tentang
ばかり /bakari/ selalu, melulu
くらい /kurai/ kira-kira, seperti
3. Suushi, yaitu nomina yang menyatakan bilangan, jumlah,
kuantitas, dan urutan.
Contoh: 一つ /hitotsu/ sebuah
一人 /hitori/ sendiri
一回 /ikkai/ sekali
一度 /ichido/ sekali
4. Daimeishi, yaitu kata-kata yang dipakai sebagai pengganti nama
orang, benda, tempat, dan sebagainya.
Contoh : わたし /watashi/ saya
あなた /anata/ kamu
彼 /kare/ dia (laki-laki)
25
Tomita (1992: 4) menjelaskan bahwa kata ganti daimeishi
ialah kata benda yang berfungsi untuk mewakili kata benda biasa
dan kata benda khusus. Daimeishi dibagi menjadi empat sesuai
dengan yang diwakilkan, yaitu :
a. Kata ganti penunjuk barang (daimeishi mono o sasu 代名詞物を
指す), yaitu kata ganti yang mewakili kepemilikan barang.
Contoh: あの /ano/ itu
この /kono/ ini
その /sono/ itu
b. Kata ganti penunjuk tempat (daimeishi basho o sasu 代名詞場所
を指す), yaitu kata ganti yang mewakili kata tempat.
Contoh : ここ /koko/ di sini
そこ /soko/ di situ
あそこ /asoko/ di sana
c. Kata ganti penunjuk arah (daimeishi houkou o sasu 代名詞方向
を指す), yaitu kata ganti yang mewakili kata benda penunjuk
arah.
Contoh : こちら /kochira/ di sebelah sini
そちら /sochira/ di sebelah situ
あちら /achira / di sebelah sana
d. Kata ganti orang (daimeishi hito o sasu 代名詞人を指す), yaitu
kata benda yang berfungsi menggantikan kata orang.
Contoh : わたし /watashi/ saya
あなた /anata/ kamu
26
彼 /kare/ dia (laki-laki)
私たち /watashitachi/ kami, kita
あなたたち /anatatachi/ kalian
Tanaka (1990 : 81) berpendapat daimeishi adalah :
「人や事物の名を言う代わり、それらを直接に指して
言う言葉を 代名詞といいます。代名詞には人指し示す人称
代名詞と事物の場所・ 方向を指し示す指示代名詞とがあり
ます。」
/hito ya jibutsu no na wo iu kawari, sorera wo chokusetsu ni
sashite iu kotoba wo daimeishi to iimasu. Daimeishi ni wa hito sashi
shimesu ninshou daimeishi to jibutsu no basho / houkou wo sashi
shimesu daimeishi to ga arimasu./
„Yang disebut daimeishi adalah kata yang menunjukkan
secara langsung penggantian kata penunjuk orang dan benda. Dalam
daimeishi yang menunjukkan orang disebut ninshou daimeishi (kata
ganti orang) dan yang menunjukkan tempat benda atau arah disebut
dengan shiji daimeishi (kata ganti tunjuk)‟
Berdasarkan pengertian daimeishi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa daimeshi berfungsi sebagai kata penunjuk orang
yang disebut dengan ninshou daimeishi. Dan, sebagai kata penunjuk
tempat atau arah yang disebut dengan shiji daimeishi.
Sudrajat (2005: 2) dan Yoshio (1982: 113) menyebutkan
bahwa kata ganti orang dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Kata ganti orang pertama (daimeishi jishou/daimeishi ninshou
代名詞自称), yaitu kata benda yang menunjuk orang pertama
atau pembicara sendiri atau diri sendiri. Memiliki makna “aku”
untuk kata ganti orang pertama tunggal.
Contoh : 私 /watashi/ saya (formal)
俺 /ore/ aku (non formal)
27
僕 /boku/ aku (non formal)
わし /washi/ aku (orang tua)
吾輩 /wagahai/ aku (orang tua bangsawan)
b. Kata ganti orang kedua (daimeishi taishou/daininshou 代名詞
対 象 ), yaitu kata ganti benda yang berfungsi untuk
menggantikan orang kedua atau lawan bicara. Memiliki makna
“kamu” untuk kata ganti orang kedua tunggal.
Contoh: あなた /anata/ kamu (formal)
君 /kimi/ kamu (non formal)
お前 /omae/ kamu (non formal, kasar)
貴様 /kisama/ kamu (non formal, kasar)
c. Kata ganti orang ketiga (daimeishi tashou/daisanshou 代名詞
多 少 ), yaitu kata ganti benda yang berfungsi untuk
menggantikan orang ketiga atau orang lain yang dibicarakan.
Memiliki makna “dia” untuk kata ganti orang ketiga tunggal.
Contoh: 彼 /kare/ dia (laki-laki)
彼女 /kanojo/ dia (perempuan)
2.7 Jishou Daimeishi
Sudjianto (2007:80) menjelaskan bahwa dalam bahasa Jepang
terdapat berbagai macam jishou daimeishi atau pronomina persona yang
dipakai secara berbeda berdasarkna siapa penuturnya, siapa lawan
bicaranya, situasi, atau kapan pembicara itu terjadi. Jishou ialah
pronomina persona yang dipergunakan untuk menunjuk diri sendiri, dalam
bahasa Indonesia dapat berarti pronomina persona pertama atau ada juga
yang menyebutnya kata ganti orang kesatu atau si pembicara (Sudjianto,
1996: 43). Dalam kelompok pronomina persona pertama dipakai kata
28
watashi, watakushi, atashi, boku, ore, washi, ora, oira, jibun, ware, dan
wagahai. Tetapi hendaknya seorang penutur diharuskan mampu memilih
jishou daimeishi secara tepat sesuai dengan status dan identitas diri
sendiri dan memperhatikan hubungan jabatan/kedudukan antara pembicara
dan lawan bicara (Kindaichi, 1990 : 160).
Watashi termasuk ragam standar dan netral yang biasa dipakai,
baik oleh pria maupun wanita untuk menunjukkan diri sendiri. Watashi
dapat dipakai oleh atasan terhadap bawahan atau sebaliknya. Sebagai kata
yang lebih halus dari watashi adalah watakushi yang juga dipakai secara
netral baik oleh pria maupun wanita.
Boku dan ore termasuk pada ragam bahasa pria yang dipakai pada
situasi tidak resmi terhadap orang yang sederajat, teman sebaya yang
akrab atau terhadap bawahan. Kedua kata ini jarang dipakai terhadap
atasan. Kata ware memiliki makna yang lebih kuat daripada watashi,
watakushi, ore, ataupun boku. Kata ware sering digunakan oleh penutur
pria dalam bentuk jamak wareware. Kata washi yang dipakai hanya oleh
pria. Kata washi dan ware digunakan oleh laki-laki yang sudah tua (Putri
& Santoso, 2016:84). Wagahai juga memiliki makna yang sama, tetapi
bahasa ini sudah jarang digunakan.
2.8 Washi
Washi merupakan kata untuk mengungkapkan penutur yang
menjelaskan bahwa ia adalah orang tua. Jika ada anak muda yang berkata
washi maka akan terkesan konyol. Dalam logat Kansai, biasa disingkat
wai (Putri dan Santoso, 2016:124).
Menurut pendapat Makino, washi merupakan kata ganti orang
pertama tunggal yang dgunakan oleh laki-laki yang sudah berusia lanjut
atau tua. Biasanya digunakan dalam situasi tidak formal, misal saat
berbicara dengan teman atau orang yang statusnya berada di bawah.
Dalam Kokugo Jiten, pengertian washi adalah :
「わたし。おもに男の老人が用いる。」
/watashi. Omoni otoko no roujin ga mochi iru./
„Saya. Seringnya digunakan oleh pria tua‟
29
2.9 Ora
Pada weblio.jp, pengertian ora adalah:
「一人称。おれ。おいら。男性が用いるぞんざいな言い方の語で
あるが、近世江戸語では町人の女性も用いた。」
/ichininshou. Ore. Oira. Dansei ga mochi iru zonzai na iikata no go de aru
ga, kinsei edo go de wa chounin no josei mo mochi ita./
„Kata ganti orang pertama. Ore. Oira. Bahasa kasar yang sering digunakan
oleh pria, tapi pada Jaman Edo, wanita di kota juga menggunakannya‟
Pada Tsukaikata no Wakaru Ruigo Reikai Jiten, pengertian ora adalah :
「男性が自分をさしていうときに使う口語。」
/dansei ga jibun wo sashite iu toki ni tsukau kougo./
„Kata yang diucapkan oleh pria ketika menunjuk pada diri sendiri‟
2.10 Unsur-Unsur Konteks
Dalam setiap interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur)
yang mengambil peranan dalam suatu peristiwa, misalnya partisipan
(penutur dan mitra tutur), pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut mendukung terwujudnya suatu wacana. Mengutip
pendapat Gillian Brown (1993:89) menyebutkan bahwa komponen-
komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks ada delapan macam, yaitu
penutur, pendengar, pokok pembicaraan/topik, latar, penghubung bahasa
lisan dan tulisan, dialek/kode, bentuk pesan, dan peristiwa tutur.
1. Penutur dan Pendengar
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur
disebut partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan
adalah latar belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar
belakang partisipan (penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan
memudahkan untuk menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana
tertentu akan mempunyai makna yang berbeda jika dituturkan oleh
30
penutur yang berbeda latar belakang, minat, dan perhatiannya.
Perhatikan contoh di bawah ini.
Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami ketika diketahui
siapa penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna
„pembedahan‟; jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa
jadi „dropping bahan makanan ke pasar‟; jika yang berbicara penjahat,
maka artinya „perampokan atau pencurian‟; dan jika yang berbicara
polisi, maknanya berubah menjadi „razia‟. Jadi makna wacana
ditentukan oleh siapa penuturnya. Di samping itu, makna yang
terkandung dalam wacana juga sangat bergantung pada pendengarnya.
Contoh:
Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima
tahun atau perempuan muda berumur dua puluh empat tahun atau
seorang nenek yang berumur delapan puluh tahun, akan mempunyai
pengertian yang berbeda-beda. Kepada anak berumur lima tahun atau
gadis dua puluh empat tahun, mungkin ujaran itu dia tafsirkan sebagai
pujian sedangkan jika pendengarnya nenek berumur delapan puluh tahun
maka akan ditafsirkan sebagai penghinaan.
2. Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat
mudah memahami isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda
akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di samping itu,
penutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topik
yang sedang dibicarakan.
Contoh:
Kata banting
Dalam sebuah wacana akan beragam maknanya, bergantung pada
topik pembicaraannya. Dalam bidang ekonomi berarti ‟kemurahan harga‟;
31
jika topiknya olah raga judo tentulah maknanya ‟mengangkat seseorang
dan menjatuhkannya dengan cepat‟.
3. Latar Peristiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar
peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis
partisipan, atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat
lebih banyak berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka,
sedangkan keadaan psikologis partisipan disamping berpengaruh pada
peristiwa tutur lisan juga banyak berpengaruh pada peristiwa tutur tulis.
Di pasar, orang akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan di masjid
atau gereja, begitu pula dalam situasi resmi berbeda dengan situasi tidak
resmi.
Contoh:
1. Seorang pembeli di pasar menawar barang dengan menggunakan
bentuk wacana resmi dan baku.
Berapa harga sekilo gula ini, Bu?
2. Seorang Kepala Sekolah ketika berpidato dalam situasi resmi, seperti
dalam acara wisuda
Hadirin sekalian yang saya hormati. Pertama-tama, marilah kita
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga bisa hadir
dalam acara wisuda hari ini.
3. Ajakan dari teman sebaya, yang menggunakan bahasa tidak resmi
Hei, main yuk! Aku bosan belajar melulu
4. Nasehat seorang Ibu kepada putranya
Nak, belajarlah dengan sungguh-sungguh, agar kelak kau bisa
menjadi orang yang sukses
4. Penghubung
Penghubung adalah alat yang dipakai untuk menyampaikan topik
tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat
mempergunakan penghubung dengan bahasa lisan atau tulisan. Ujaran
lisan dapat dibedakan menjadi ujaran langsung dan tidak langsung. Ujaran
langsung terjadi dalam dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung
32
terjadi dengan perantara misalnya telepon. Di samping itu, ujaran lisan
dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi dan tidak resmi.
Ujaran tulis merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan
tulisan sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud
seperti surat, pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan
penghubung tergantung pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia
berbicara, dan dalam situasi bagaimana (dekat atau jauh). Dalam ujaran
tulis juga berlaku ragam resmi dan tidak resmi.
5. Kode
Kode dapat dipilih di antara salah satu dialek bahasa yang ada.
Atau bisa juga memakai salah satu ragam bahasa yang paling tepat.
Seperti bahasa yang digunakan saat tawar menawar di pasar, akan sangat
berbeda dengan bahasa yang digunakan di sekolah. Begitupun dengan
dialek ataupun bahasa daerah. Orang Jawa akan menggunakan bahasa
Jawa dengan sesama orang Jawa, dan akan menggunakan Bahasa
Indonesia dengan orang Sunda, karena bahasa Jawa dan bahasa Sunda
memiliki kode bahasa yang berbeda.
6. Bentuk Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk
pesan bersifat fundamental dan penting. Jika pendengarnya bersifat umum
dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan
yang bersifat umum, sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang
bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu bentuk
pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena
apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang
disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu alam, akan berbeda dengan
menyampaikan uraian tentang sejarah. Begitupun juga bergantung dengan
lawan tuturnya, akan sangat sulit bagi lawan tutur menerima informasi
tentang ilmu pasti di saat si lawan tutur ini sendiri menguasai ilmu sejarah.
33
7. Peristiwa Tutur
Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat
hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa
tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan
konteks situasinya, suatu peristiwa tutur akan lebih tepat menggunakan
bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok
menggunakan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan
bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan.
Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan
isinya dengan wacana untuk seminar. Begitu juga dengan peristiwa tutur
yang terjadi pada olah raga sepak bola yang diadakan di kampung RT/RW
akan berbeda bentuk dan isinya dengan olah raga sepak bola yang
diadakan untuk olimpiade.
34