bab ii landasan teori 2.1 industri dan aspek lingkungan
TRANSCRIPT
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Industri dan Aspek Lingkungan
Pertumbuhan industri menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan
ekonomi masyarakat moderen di era globalisasi ini. Bahkan, karena dalam posisi
pembangunannya yang cukup sentral membuat perkembangan industri menjadi
sangat masif dan menjadi dasar bagi peningkatan kemakmuran suatu negara.
Hingga saat ini setiap kebutuhan manusia akan barang dan jasa bergantung pada
sektor industri. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah rancangan untuk menuntun
proses produksi pada perusahaan agar tercipta sebuah ekosistem industri yang baik
dan ramah lingkungan.
Agar pembangunan industri terus berkembang dan berkelanjutan dalam
jangka panjang, maka harus ada perubahan pada kualitas pembangunan tersebut.
Secara umum kegiatan industri haruslah dilakukan secara efisien, terutama dalam
penggunaan sumber daya supaya dapat menghasilkan pencemaran atau limbah
industri yang lebih sedikit, dan lebih berdasar pada penggunaan sumber daya yang
dapat diperbarui, dan meminimalkan dampak negatif terhadap manusia beserta
lingkungan. Kualitas lingkungan bisa diartikan juga dengan kualitas hidup, yaitu
jika kualitas sebuah lingkungan baik maka secara tidak langsung maka kualitas
hidup manusia berkembang menjadi lebih baik.
Dengan begitu dapat diketahui bahwa perkembangansuatu industri haruslah
berjalan secara bersinergis dengan lingkungan. Hal ini juga dicantumkan pada
Undang Undang Dasar No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan
Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa perlindungan dan
pengolahan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi dari lingkungan hidup untuk mencegah
terjadinya pencemaran dan kerusakan pada lingkungan hidup yang meliputi
pencemaran, pengendalian, pemeliharaan dan penegakan hukum.
5
2.2 Pengukuran Kinerja
Menurut Whittaker, dalam vanany (2009) pengukuran kinerja merupakan
alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dan akuntabilitas. Disamping itu, pengukuran kinerja juga digunakan
untuk memberi gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau kegagalan suatu
organisasi perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang telah
dilaksanankan oleh perusahaan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah di
tetapkan.
Neely dan Kennerly (2000) Berhasil merumuskan apa saja yang seharusnya
ada dalam sistem pengukuran kinerja yang akan memberikan pedoman bagi para
manager dan konsultan didalam membuat suatu sistem pengukuran kinerja bagi
organisasi, yaitu sebagai berikut:
1. Pengukuran kinerja harus mampu memonitor efisiensi dan keefektifan untuk
mencapai tujuan organisasi,
Fungsi dari pengukuran kinerja tidak hanya untuk mengukur tetapi juga untuk
menganalisa, mengevaluasi dan melakukan perbaikan agar mampu menunjang
efisiensi dan kefektifan dalam mencapai tujuan strategis suatu organisasi
2. Mampu menerapkan (menggambarkan) kinerja organisasi secara menyeluruh,
Sistem pengukuran kinerja yang baik seharusnya tidaklah bersifat parsial
berdasarkan fungsionalitas di organisasi. Tidak terintegrasinya pengukuran
kinerja dapat menimbilkan terjadinya ketidaksinergisan antara departemen di
suatu organisasi dan bahkan dapat minimbulkan tidak terwujudnya tujuan
strategis.
3. Adanya sarana-sarana pendukung,
Sarana pendukung tersebut diharapkan mampu menyediakan informasi untuk
dibandingkan, disortir, di analisa, dan diinterpretasikan. Harapannya hasil
analisa dan interpretasi terhadap indikator kinerja kunci terutama yang bernilai
buruk atau kurang akan dapat.diperbaiki dan dijalankan untuk periode yang
akan datang. Pengukuran kinerja membutuhkan data penting, baik itu berjenis
data primer maupun data sekunder. Tanpa adanya data yang baik apa yang
6
hendak diukur akan sulit untuk dilakukan dan akan terhambatnya periodisasi
pengukuran dan analisis dalam waktu yang relative lama.
4. Mendukung tujuan strategi organisasi (strategic objective),
Sistem pengukuran kinerja seharusnya diturunkan dari tujuan strategi
organisasi. Oleh karena itu, sistem pengukuran kinerja dapat mendukung aksi
dari apa yang hendak dicapai dan diaplikasikan oleh strategi organisasi.
Seringkali adanya perubahan strategi organisasi akan menyebabkan sistem
pengukuran kinerja organisasi juga harus berubah.
5. Memiliki kesimbangan yang tepat,
Penting mendesaian sistem pengukuran kinerja tidak hanya memperhatikan
aspek non-finansial yang diyakini menunjang keberhasilan organisasi.
Keseimbangan yang tepat antara aspek finansiallebih berorientasi pada jangka
pendek sehingga tidak menjamin organisasi dapat bertahan dalam jangka
panjang. Oleh karena itu penting memperhatikan aspek non-finansial seperti:
kepuasaan pelanggan, biaya, kualitas, pengiriman, fleksibilitas, dan
responsiveness.
6. Memiliki indikator kinerja terbatas,
Mengukur dan menganalisa kinerja membutuhkan pengumpulan data.
Banyaknya data menyebabkan waktu dan biaya yang diperlukan menjadi lama
dan mahal. Disisi lain, banyak indikator kinerja yang harus diukur dan dianalisa
menyebabkan pekerjaan manajer akan lebih banyak dan bisa mengganggu kerja
regulernya. Oleh karena itu penting bagi organisasi membatasi indikator kinerja
dengan hanya memilih indikator kinerja kunci saja.
7. Mudah diterima,
Tujuan utama adanya sistem pengukuran kinerja adalah memberikan informasi
penting pada waktu yang tepat dan dengan orang yang tepat pula. Penting bagi
organisasi mendesain sistem pengukuran kinerjanya dengan cara mudah
mengakses informasi kinerja, mudah menggunakannya, dan mudah mengerti
apa yang telah dievaluasi.
8. KPI haruslah terspesifikasi,
7
KPI (Key Performance Indikator) yang hendak digunakan seharusnya memiliki
tujuan yang jelas dan definisinya tidak ambigu bagi karyawan yang
menggunakannya. Kedepannya, penting melakukan spesifikasi KPI dan
penentuan terget yang stretching.
Menurut Mardiasmo (2009: 122) manfaat yang diperoleh dengan
dilakukannya pengukuran kinerja yaitu sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai
kinerja manajemen.
2. Memberikan arahan untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan
3. Untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan membandingkan
dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki
kinerja.
4. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward and
punishment) sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati.
5. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan perusahaan dalam
rangka memperbaiki kinerja organisasi.
6. Membantu mengidentifikasi apakah suatu kepuasan sudah terpenuhi.
7. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.
2.3 Sistem Pengukuran Kinerja Lingkungan
Menurut Purwanto (2006) Pengukuran kinerja lingkungan sudah menjadi
bagian dari suatu sistem manajemen lingkungan. Pengukuran kinerja lingkungan
merupakan hasil yang dapat diberikan sistem manajemen lingkungan pada
perusahaan secara riil dan aktual. Sedangkan yang dimaksud kinerja lingkungan
sendiri adalah hasil yang dapat diukur dari hasil sistem manajemen lingkungan,
yang terkait dengan kontrol aspek-aspek lingkungannya. Pengkajian kinerja
lingkungan didasarkan pada kebijakan lingkungan, sasaran lingkungan dan target
lingkungan (ISO 14004, dari ISO 14001 oleh Sturm, 1998).
Ruchmawan (2010) mengatakan bahwa pengukuran kinerja lingkungan
terdapat beberapa peluang, berikut diantaranya:
8
1. Isu-isu lingkungan yang komplek dan mengalami kesulitan dalam melakukan
kuantifikasi.
2. Pembandingan pengaruh lingkungan dari perusahaan dengan aktivitas-
aktivitas ekonomi yang berbeda.
3. Tidak ada pendekatan standar untuk pelaporan lingkungan dan pengukuran
kinerja, meskipun dari sebuah range dan guidelines telah dikembangkan.
4. Ketersediaan dan kualitas data lingkungan sering berkurang.
5. Pendekatan yang diterima secara universal tidak ada pembobotan pengaruh
lingkungan yang berbeda melawan satu sama lain, dan beberapa pengukuran
yang menyeluruh akan menghasilkan persaingan yang tinggi.
Dengan begitu perusahaan perlu mengadakan pengukuran kinerja, agar
perusahaan mendapat sertifikat sistem manajemen lingkungan, ISO 14001 dan
target-target pencapaian lainnya. Gunther dan Sturm dalam Himawan (2010)
mengembangkan suatu model pengukuran kinerja lingkungan yang terdiri dari 5
langkah, yaitu:
1. Identifikasi stakeholder yang relevan dengan perusahaan. Dimulai dengan
memenuhi kepentingan stakeholder, menentukan tujuan yang ingin dicapai
dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja lingkungan.
2. Pengukuran dan dokumentasi factor-faktor yang mempengaruhi lingkungan
menggunakan prinsip ecological breakdown.
3. Evaluasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan dalam rangka
pengambilan keputusan operasional mengenai kinerja lingkungan, hingga
pengaruh perusahaan terhadap lingkungan dapat diketahui.
4. Penentuan target kinerja lingkungan dengan membandingkan antara nilai
actual dan target dan menentukan tingkat atau level pencapaian tujuan.
5. Rekomendasi tindakan yang sesuai bagi perusahaan, dan pengambilan
keputusan berdasarkan tujuan dari kinerja lingkungan ditetapkan.
9
2.3.1 Metode Integrated Environmental Performance Measurement System
(IEPMS)
Integrated Environmental Performance Measurement System adalah
metode yang digunakan untuk mengukur kinerja lingkungan. Penilaian kinerja
lingkungan menggunakan metode IEPMS, akan mempertimbangkan dengan
dua ukuran yaitu ukuran kuantitatif dan kualitatif, sehingga hasil yang
didapatkan akan lebih terintegrasi (Adnin, 2013). Berikut gambaran ukuaran
pertimbangan kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode IEPMS
dapat dilihat pada gambar 2.1.
Visi/ Tujuan lingkungan pada organisasi
Ukuran Kriteria Lingkungan
Kuantitatif(berfokus pada hasil)
Kualitatif (berfokus pada aktifitas)
1. Penggunaan sumber daya2. Indikator-indikator resiko3. Ijin-ijin regulasi4. Biaya perbaikan lingkungan5. Jumlah komposisi limbah yang didaur ulang 6. penanganan limbah dan buangan
1. Tujuan dan kebijakan lingkungan 2. Program-program research and development3. Pertanggungjawaban lingkungan 4. Kecelakaan dan keselamatan kerja (K3) 5. Program pelatihan lingkungan, 6. Program audit lingkungan 7. Program manajemen limbah8. Penghargaan dan pengakuan publik9. Program benchmarking10. Sistem akuntansi lingkungan
Ukuran Kriteria Lingkungan
IEPMS
Gambar 2.1 Model dari IEPMS (sumber: rahmawati 2010)
10
Dari Christopher (1993) dalam Purwanto (2000) mengusulkan
pendekatan langkah pengukuran:
Ukuran tahap ini mengembangkan ukuran yang mendefinisikan kinerja
produktifitas dan mutu sehingga sasaran dapat tercapai. Adapun hal-hal yang
perlu dipertimbangkan untuk memilih ukuran-ukuran yang tepat adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan kegunaan dari ukuran-ukuran yang spesifik berdasarkan
pada visi atau tujuan-tujuan lingkungan dari suatu organisasi.
2. Menggunakan data yang mudah dicari dan dimengerti berdasarkan pada
kinerja aktual.
3. Perbandingan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan dengan bobot
keuntungan untuk mendapatkan informasi lingkungan yang berkualitas
tinggi.
4. Menggunakan informasi historis dengan hati-hati disebabkan kriteria
kualitas data bisa saja tidak cukup bahkan tidak memuaskan.
5. Prioritas stakeholder menjadi cerminan dalam mencapai tujuan
organisasi.
6. Mengukur apa yang dapat dikontrol dan menyediakan ukuran yang
mudah dimengerti.
2.3.2 Key Environmental Performance Indicator (KEPI)
Key to Environmental Performance Indicator (KEPI) adalah suatu
informasi kuantitatif dan kualitatif tentang evaluasi lingkungan serta efektifitas
dan efisiensi perusahaan dalam mengelola sumber daya (Stutz et.al., 2004).
Menurut Jones dalam Himawan (2011) menyatakan bahwa dengan pendekatan
KEPI tersebut, dapat diindikasikan potensi dampak yang dapat timbul dari tiap-
tiap proses, sehingga perusahaan dapat melakukan tindakan perbaikan atau
tindakan pencegahan pada komponen proses produksi yang mempunyai resiko
dampak lingkungan.
Menurut Purwanto (2000) Indikator kinerja lingkungan dibagi menjadi
dua golongan yaitu Indikator kinerja lagging dan indikator leading. Indikator
11
kinerja lagging adalah indikator yang digunakan untuk ukuran kinerja end-
process. Sedangkan indiktor kinerja leading merupakan indikator untuk
ukuran kinerja in-process.
Purwanto (2000) mengatakan Jenis indikator yang sering dijumpai
merupakan indikator lagging. Manfaat utama indikator ini merupakan mudah
digunakan sekaligus mudah dimengerti. Namun, kerugian utamanya adalah
indikator ini mengambil kesimpulan situasi dimana aksi korektifnya hanya
dapat diambil setelah kejadian, dan bahkan memakan biaya tertentu. Jenis
indikator yang kedua adalah indikator in-process atau indikator leading
merupakan indikator yang mengukur impelementasi dari prosedur yang
dilakukan atau mengukur faktor apa saja yang diharapkan dapat
membawaperbaikan kinerja lingkungan. Contohnya indikator leadingnya
adalah jumlah audit pemenuhan lingkungan dan kesehatan dan keselamatan
selama setahun. Manfaat utama dari jenis ini ialah aksi korektif yang dapat
diambil bahkan sebelum kejadian defisiensi muncul yang mengurangi kinerja
lingkungan. Kekurangan dari indikator ini adalah ada beberapa faktor yang
sulit diinterpretasikan bahkan cenderung bersifat kualitatif daripada
kuantitatif sehingga sulit mendapatkan perhatian dari para pemegang saham
(termasuk publik) (Purwanto, 2000).
Dikutip dari ISO 14301 (1999), dalam Purwanto (2000) membagi
indikator lingkungan menjadi 2 kategori yang berbeda:
1. Indikator Kinerja Lingkungan (EPI)
a. Indikator Kinerja Manajemen (MPI): Menyediakan informasi
berdasarkan masalah manajemen, seperti pelatihan, keperluan hukum,
alokasi sumber daya, pembelian, pengembangan produk, dll.
b. Indikator Kinerja Operasional: menyediakan pada pihak manajemen
informasi mengenai operasi terkait, seperti input, disain dan operasi
peralatan, dan output.
2. Indikator Kondisi Lingkungan (ECI): menyediakan informasi mengenai
kondisi lingkungan lokal, regional, maupun
12
Untuk menentukan indikator kunci atau KEPI hal yang harus dilakukan
adalah mencari ukuran dan aspek lingkungan. Selanjutnya, menentukan tujuan
strategis sesuai dengan aspek lingkungan yang dilakukan dengan cara
melakukan diskusi grup dengan pihak pihak yang memahami aspek
lingkungan sehingga menemukan faktor kuncinya. Penentuan Key
Environmental Performance Indicator (KEPI) menurut aspek lingkungan dan
tujuan strategis yang telah dibuatdengan memasukan ukuran yang bersifat
kuantitatif serta kualitatif untuk menggambarkan sebuah tingkat pencapaian
yang sudah perusahaan capai sejauh ini. Verifikasi KEPI Berkonsultasi
mengenai rancangan awal KEPI pada pimpinan perusahaan untuk
menghasilkan KEPI yang sesuai dengan kondisi perusahaan saat ini.
2.3.3 ISO 14001
ISO 14001 (Sistem Manajemen Lingkungan) merupakan standar sistem
manajemen perusahaan yang berfungsi untuk memastikan bahwa proses yang
digunakan dan produk yang dihasilkan telah memenuhi komitmen terhadap
lingkungan, terutama dalam upaya pemenuhan terhadap peraturan perundag-
undagan di bidang lingkungan, pencegahan pencemaran dan komitmen
terhadap perbaikan secara berkelanjutan.
ISO 14001 dikembangkan dari konsep Total Quality Management
(TQM) yang berprinsip pada aktivitas PDCA (Plan – Do – Check – Action) atau
prinsip yang berkelanjutan, sehingga elemen-elemen utama Energy
Management System (EMS) ini juga akan mengikuti prinsip PDCA. Adapun
prinsip dasar EMS ini meliputi:
1. Kebijakan (dan komitmen) lingkungan
Kebijakan lingkungan harus terdokumentasi dan dikomunikasikan kepada
seluruh karyawan dan tersedia bagi masyarakat, dan mencakup komitmen
terhadap perbaikan berkelanjutan, pencegahan pencemaran, dan patuh
pada peraturan serta menjadi kerangka kerja bagi penetapan tujuan dan
sasaran,
13
2. Perencanaan
Mencakup identifikasi aspek lingkungan dari kegiatan organisasi,
identifikasi dan akses terhadap persyaratan peraturan, adanya tujuan dan
sasaran yang terdokumentasi dan konsisten dengan kebijakan, dan adanya
program untuk mencapai tujuan dan sasaran yang direncanakan (termasuk
siapa yang bertanggung jawab dan kerangka waktu),
3. Penerapan dan operasi
Mencakup definisi, dokumentasi tertulis sistem manajemen lingkungan,
dokumentasi tertulis prosedur pengendalian dokumen, dokumentasi tertulis
prosedur pengendalian operasi, dokumentasi tertulis prosedur tindakan
darurat, dan dokumentasi tertulis yang menjamin terjalinnya komunikasi
internal dan eksternal yang baik,
4. Pemeriksaan dan tindakan koreksi
Mencakup prosedur yang secara teratur memantau dan mengukur
karakteristik kunci dari kegiatan dan operasi, prosedur untuk menangani
situasi ketidaksesuaian, prosedur pemeliharaan catatan spesifik dan
prosedur audit kenerja sistem manajemen lingkungan,
5. Tinjauan manajemen
Mengkaji secara periodik sistem manajemen lingkungan keseluruhan
untuk memastikan kesesuaian, kecukupan, efektifitas sistem manajemen
lingkungan terhadap perubahan yang terjadi,
6. Penyempurnaan secara terus-menerus
2.4 Alat Penunjang Pengukuran Kinerja
Alat-alat penunjang pengukuran kinerja digunakan untuk membantu dalam
proses pengukuran kinerja seperti halnya penentuan bobot kinerja dengan
menggunakan metode Analytical Hierarcy Process (AHP) dan didukung dengan
aplikasi seperti expert choice. Lalu setelah itu akan dilakukan scoring system
dengan metode Objective Matrix yang pertama kali dikemukakan oleh James
Riggs.
14
2.4.1 Analytic Hierarcy Process (AHP)
Peralatan utama proses Analisis Hirarki (Analytical Hierarchy Process)
merupakan sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi
manusia (Saaty, 2012). Dalam penjabaranya hirarki tujuan tidak memiliki
pedoman yang pasti seberapa jauh pengambil keputusan menjabarkan tujuan
menjadi yang lebih rendah atau tinggi. Beberapa hal yang harus diperhatikan di
dalam melakukan proses penjabaran hirarki tujuan adalah:
1. Pada saat penjabaran dari tujuan ke dalam sub tujuan, harus diperhatikan
apakah setiap aspek dari tujuan tercakup dalam sub tujuan tersebut.
2. Apabila tujuan terpenuhi, perlu manghindari terjadinya pembagian yang
terlampau banyak baik dalam arah horizontal atau vertikal.
3. Suatu tujuan belum ditetapkan untuk dijabarkan atas hirarki tujuan yang
lebih rendah harus ditentukan suatu tindakan terbaik yang dapat diperoleh
bila tujuan tersebut tidak dimasukkaan.
2.4.1.1 Keuntungan yang diperoleh dalam penerapan AHP
Model Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas
L. Saaty, dapat memecahkan masalah yang kompleks dimana kriteria yang
diambil cukup banyak (Kadarsyah, 1998: 130-131).
1. Memiliki sifat fleksibel sehingga manyebabkan penambahan dana,
pengurangan kriteria pada suatu hierarki dapat dilakukan dengan
mudah dan tidak mengacaukan hierarki.
2. Dapat memasukkan preferensi pribadi dan mengakomodasi berbagai
kepentingan pihak lain sehingga diperoleh penilaian yang objektif dan
tidak sektoral.
3. Proses perhitunganya cukup mudah karena hanya membutuhkan
operasi dan logika sederhana.
4. Dengan cepat dapat menunjukkan dominasi, prioritas, tingkat
kepentingan serta pengaruh dari setiap elemen terhadap elemen lainya.
15
2.4.1.2 Kelemahan penerapan AHP
1. Partsipan atau responden harus memiliki kompetensi pengetahuan dan
pengalaman mendalam terhadap segenap aspek permasalahan yang
mengenai metode AHP itu sendiri.
2. Penilaian cenderung subjektif karena sangat dipengaruhi oleh situasi
serta preferensi, konsep dasar, pesepsi dan sudut pandang partisipan.
3. Jawaban ataupun penilaian responden yang konsisten belum tentu
selalu logis dalam arti sesuai dalam permasalahan yang ada. (Saaty,
1988: 7-9).
2.4.1.3 Prinsip Pokok Analitical Hierarcy Process
Dalam menggunakan Analitical Hierarcy Process (AHP), ada tiga prinsip
pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (Saaty, 1988: 7-9)
1. Prinsip penyusunan hierarki
Untuk mendapatkan pengetahuan yang rinci maka harus menyusun
realitas yang kompleks kedalam bagian yang menjadi elemen pokoknya
dan seterusnya secara hierarki (berjenjang).
2. Prinsip menentukan prioritas
Prioritas ini ditentukan berdasarkan parspektif pihak-pihak terkait yang
berkompeten terhadap pengambilan keputusan. Baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Prinsip konsistensi logis
Dalam mempergunakan prinsip ini Analitical Hierarcy Process (AHP)
memasukkan aspek kualitatif maupun kuantitatif pikiran manusia.
Aspek kuantitatif untuk mendefinsikan penilaian dan preferensi secara
ringkas dan padat sedangkan aspek kualitatif untuk mengekspresikan
persoalan dan hierarkinya.
16
2.4.2 Objective Matrix (OMAX)
Scoring bisa dilakukan dengan beberapa metode diantaranya adalah dengan
metode Objective Matrix (OMAX). Dengan metode tersebut kita dapat
mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode Objective
Matrix (OMAX) digunakan untuk mengukur aspek kinerja yang
dipertimbangkan dalam suatu unit kerja. Indikator dari setiap input dan output
dapat didefinisikan dengan jelas dan menyertakan pertimbangan pihak
manajemen dalam penentuan skor sehingga lebih fleksibel.
Konsep dari metode pengukuran ini adalah penggabungan beberapa kriteria
kinerja dan kelompok kerja kedalam sebuah matrik. Setiap kriteria kinerja
memiliki sasaran khusus untuk perbaikan serta memiliki bobot sesuai dengan
kepentingan terhadap tujuan organisasi. Hasil akhir dari pengukuran dengan
metode OMAX ini yaitu sebuah nilai tunggal untuk suatu kelompok kerja.
Langkah-langkah umum pengukuran kinerja dengan menggunakan metode
OMAX adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan kriteria kinerja
Dale Furtwengler (2002) mengidentifikasikan beberapa kriteria yang
efektif dalam mengukur kinerja, yaitu sebagai berikut:
a. Kuantitatif
b. Mudah dipahami
c. Seimbang
d. Mudah dipantau
e. Sering dipublikasikan
2. Penetapan skala skor kinerja
Dalam metode Objective Matrix skor performance yang digunakan yaitu
antara 0 sampai 10. Berarti ada 11 target pencapaian untuk setiap
indikatornya.
17
Tabel 2.1 kerngka OMAX (Objective Matrix)
KPI KPI 1 KPI 2 KPI 3 … … KPIn
Pencapaian
Target 10
9
8
7
6
5
4
Nilai rata -
rata
3
2
1
Nilai
terendah
0
Skor
Bobot
Nilai
Performance indicator
Indeks Pencapaian Kinerja Perspektif Pelanggan
Susunan kerangka model Objective Matrix (OMAX) terdiri dari:
a. Kriteria
Merupakan indikator kinerja (KPI) yang akan diukur kinerjanya dan
dinyatakan sesuai denga matriks yang digunakanya.
b. Performance
Merupakan tempat hasil yang diperoleh dari perhitungan KPI
kemudian dicantumkan untuk KPI yang sudah diukur.
18
c. Butir – butir Matriks (target)
Tingkat 0 merupakan tingkat paling rendah dari kinerja selama periode
dasar, tingkat 3 menunjukkan tingkat kinerja kelompok kerja pada saat
pengukuran periode dasar, tingkat 10 tingkat realistis yang dapat dicapai
dengan sistem yang berlaku.
d. Score
Hasil dari pengukuran data aktual yang dibandingkan dengan tingkat
kinerja yang paling mendekati. Score menunjukan nilai kinerja Key
Performance indicator (KPI) yang diukur sesuai dengan matriks
standart yang digunakan yaitu dari 1 sampai 10.
e. Weight
Merupakan bobot dari Key Performance indicator (KPI) yang akan
diukur, nilai ini diperoeh dari hasil pembobotan Analitical Hierarcy
Process (AHP).
f. Value
Merupakan hasil perkalian dari scor kinerja dengan bobot KPI-nya.
g. Performance indicator
Menyatakan total value dari semua KPI yang telah diukur. Pada
Performance indicator akan dilakukan perbandingan kinerja pada
periode sebelumnya dengan periode pengukuran yang dinyatakan
dengan indeks. Apabila indeks menunjukan nilai lebih besar dari 1 maka
kinerja periode pengukuran saat ini lebih baik dari sebelumnya dan
sebaliknya apabila nilai indeks kurang dari 1 maka kinerja pengukuran
saat ini lebih jelek dari sebelumnya. Apabila bernilai 1 maka maka
pengukuran kinerja saat ini sama dengan tahun sebelumnya.
3. Penetapan skor atau bobot berdasarkan kepentingan kriteria kinerja.
Penetapan bobot kepentingan kriteria kinerja adalah tangggung jawab
manajemen. Proses dalam penentuan bobot dilakukan dengan dua cara yaitu
cara obyektif dan subyektif.
19
4. Mengukur indikator kinerja
Langkah terakhir dari metode pengukuran ini yaitu dengan menggabungkan
hasil dari langkah-langkah sebelumnya menjadi suatu indikator.
2.4.3 Trafic Light System (TLS)
Trafic Light System (TLS) berhubungan erat dengan scoring system
(OMAX). Trafic Light System sendiri memiliki fungsi sebagai tanda apakah
suatu skor dari salah satu indikator kinerja memerlukan sebuah perbaikan atau
tidak. Indikator Trafic Light System ini dipresentasikan dengan beberapa
warna sebagai berikut:
1. Warna Hijau
Diberikan untuk KEPI yang mencapai nilai antara level 8 - 10. Artinya
pencapaian dari suatu indikator kinerja tersebut sudah tercapai atau bahkan
melampaui target.
2. Warna Kuning
Diberikan untuk KEPI yang mencapai nilai antara level 4 - 7. Artinya
pencapaian dari suatu indikator kinerja tersebut belum tercapai meskipun
nilai sudah mendekati target. Jadi pihak manajemen harus berhati-hati
dengan adanya berbagai macam kemungkinan.
3. Warna Merah
Diberikan untuk KEPI yang mencapai nilai antara level 0 - 3. Artinya
pencapaian dari suatu indikator kinerja tersebut benar-benar dibawah
target yang telah ditetapkan dan memerlukan perbaikan dengan segera.