bab ii konsep kasih sayang dalam islam a ...yaitu ar-rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata...
TRANSCRIPT
17
BAB II
KONSEP KASIH SAYANG DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Kasih Sayang
1. Pengertian Kasih Sayang
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, kasih sayang dapat diartikan
kelembutan hati dan kepekaan perasaan sayang terhadap orang lain.1
Dalam Al-Qur`an, kasih sayang dipresentasikan dalam kata Ar-
Rahmah (kasih sayang). Kasih sayang merupakan sifat Allah yang paling
banyak diungkapkan dalam al-Qur`an dalam bentuk kata yang berbeda
yaitu Ar-Rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata Ar-Rahim yang
berarti pengasih dan penyayang yang menunjukkan sifat-sifat Allah. Kata
rahman dan rahim merupakan sifat Allah yang paling banyak
diungkapkan dalam Al-Quran, yaitu sebanyak 114 kali.2
Menurut Jalaluddin, penyebutan sebanyak itu bermakna bahwa
Allah memberikan kepada manusia sifat-sifat-Nya sendiri untuk menjadi
potensi yang dapat dikembangkan. Kemudian dalam hubungannya dengan
sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang ini, Allah memerintahkan agar
manusia bersifat pengasih dan penyayang, jika mereka ingin memperoleh
kasih sayang dari Allah.3
Baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim pada dasarnya memiliki
pengertian yang sama, akan tetapi Ar-Rahman cenderung pada sifat kasih
sayang Allah di akhirat, sedangkan Ar-Rahim cenderung pada sifat kasih
sayang Allah di dunia.
Selain itu ada bentuk kata lain dalam Al-Quran yang mempunyai
arti kasih sayang yaitu Mahabbah, Ar-rahmah dan mawaddah. Mahabbah
merupakan bentuk kata yang berasal dari kata hubb yang artinya cinta atau
1 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam; Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 11.
2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 21, hlm. 25.
3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, hlm. 214.
17
18
mencintai, baik dalam konteks ke-Tuhanan (cinta Allah kepada makhluk-
Nya dan cinta makhluk kepada Allah), maupun konteks kemanusiaan.
Sedangkan Ar-rahmah dan mawaddah, keduanya memiliki arti
yang sama, yaitu kasih sayang, namun Ar-rahmah cenderung pada kasih
sayang yang bersifat ukhrawi, sedangkan mawaddah cenderung pada
kasih sayang yang bersifat duniawi.
Sedangkan dalam Asmaul Husna, banyak sekali nama-nama Allah
yang menunjukkan sifat- sifat kasih sayang sayang-Nya, antara lain Ar-
Rahman, Ar-Rahim, Al-Latif, Al-Hakim, dan Al-Ghafur. Semuanya
memiliki arti yang berbeda secara lughawi namun secara ma`nawi
memiliki arti yang sama, yaitu menunjukkan sifat-sifat kasih sayang Allah.
Baik secara umum maupun dalam Islam, tidak ada definisi yang
baku tentang kasih sayang. Yang ada hanya contoh- contoh praktis tentang
sifat kasih sayang ini. Barangkali ini merupakan sebuah seruan untuk
terjun langsung dalam dataran praksis, bukan hanya sekedar teoritis.
2. Dasar Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan salah satu sifat mulia yang ditanamkan
Allah kepada manusia, dan karena sifat inilah Allah akan mengampuni
dosa manusia yang mau bertaubat dengan sungguh- sungguh sebagai
wujud kasih sayangnya. Firman Allah:
)12:االانعام ( كتب على نفسه الرحمة ليجمعنكم الىيوم القيامة الريب فيه
"Dia allah telah menetapkan atas dirinya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya" (Q. S. Al- An’am:12).4
4 Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 188.
Allah menerangkan sebagian dari sifat- Nya, dengan keterangan bahwa manusia akan senang taat kepada- Nya. Sesungguhnya Allah Ta`ala bahwa Dia adalah penguasa langit dan bumi, telah mewajibkan atas Dzat- Nya yang Maha Tinggi untuk memberikan kasih sayang kepada makhluk- Nya dengan melimpahkan nikmat- nikmat- Nya kepada mereka, baik yang lahir maupun yang batin. Di antara tuntutan kasih sayang ini adalah dia akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya karena dalil- dalilnya sangat jelas, untuk mengadakan perhitungan dan memberikan balasan atas segala amal. Lihat
19
Dalam ayat lain disebutkan:
مل منع نم هة انمحفسه الرلى نكم عبر بكت هفأن لحاصده وعب من ابت هالة ثمءا بجوس كم
محيرر54: االانعام( غفو(
“Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al- An`am: 54).5
Allah telah menjadikan kasih sayang sebagai bagian dari
penciptaan bumi dan segala isinya. Seperti yang terdapat dalam hadis Nabi
saw.:
جعل اهللا الرحمة : سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يقول : عن أىب هريرة قال
فمن ذالك , وأنزل ىف األرض جزأ واحدا , مئة جزء فأمسك عنده تسعة وتسعني جزأ
ى تتح لقالخ ماحرتء يزالج هبصية أن نيشا جلدهو نا عهافرح سالفر فعرواه مسلم(ر(
“Dari Abi Hurairah, ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. berkata: Allah menciptakan rasa kasih sayang itu menjadi seratus bagian. Sembilan puluh sembilan daripadanya disimpan di sisi- Nya, sedangkan satu bagian diturunkan ke bumi. Dengan kasih sayang yang satu bagian itulah para makhluk saling berkasih sayang, sehingga sehingga kuda pun mengangkat kakinya karena takut anaknya terinjak.” (H. R. Muslim).6
Rasulullah bersabda:
Ahmad Musthafa Al- Maraghi dalam Tafsir Al- Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Juz 7, (Semarang: Toha Putra, 1987), Cet. 1, hlm. 142.
5 Ibid, hlm. 195. 6 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar Kutub al- Ilmiyah, t.
th), hlm. 1809.
20
من ال يرحم الناس ال يرحم اهللا , قال رسول اهللا : قال , عن أبى جرير بن عبذ اهللا
) رواه مسلم(عز وجل
“Dari abu Jarir Ibnu Abdillah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, Barang siapa yang tidak mengasihi manusia maka tidak akan dikasihi oleh Allah azza wajalla.” (H. R. Muslim).7 Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. sangat
menyayangi anak kecil, seperti salah satu hadis berikut:
تقبلون الصبيان: م فقال عن عا ئشة قالت جاء أعربى إىل النىب صلىاهللا عليه وسل
ملهقبا نة , فممحالر قلبك من عزإن كان اهللا ن لكأم ىب صلىاهللا عليه وسلم أوفقال الن
) رواه مسلم(
“Dari Aisyah, beliau berkata: Ada seorang Arab dusun yang datang kepada Nabi saw., sambil berkata: engkau menciun anak-anak itu, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka. Lalu Nabi saw. menjawab: Apakah dayaku, jika Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu.” (H. R. Muslim).8 Begitulah baik dalam Al-Quran maupun hadis, kasih sayang
merupakan bagian terpenting dari diturunkannya Islam ke dunia, dan yang
pasti karena kasih sayanglah risalah Islam sampai kepada kita.
Selain dasar-dasar dari Al-Quran dan hadis di atas, kita bisa
mengambil dasar filosofis, bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan atas
dasar kasih sayang, dengan membawa potensi kasih sayang, dan
membutuhkan kasih sayang. Potensi dan kebutuhan tersebut menjadikan
manusia berusaha memberi dan memperoleh kasih sayang dengan
berbagai cara. Di samping itu sebagai makhluk sosial, dan dalam
7 Ibid. 8 Ibid.
21
berinteraksi sosial, kasih sayang merupakan dasar utama yang harus
dipegang dalam pergaulan sehari-hari – baik antara individu dengan
individu, ataupun individu dengan masyarakat.
B. Kasih Sayang Sebagai Fitrah
Semua makhluk ciptaan Allah di dunia ini memiliki kondisi dan
potensi masing- masing. Begitu juga manusia, dalam kapasitasnya sebagai
makhluk yang paling sempurna – dengan akal, perasaan, dan nafsu yang
dimilikinya. Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang
mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah dan menjadikan
adanya sejarah. Selain itu manusia juga makhluk kosmis yang sangat penting,
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang
diperlukan sebagai makhluk.9
Di sisi lain, manusia merupakan puncak ciptaan dan makhluk Allah
yang paling tinggi, yang memiliki keistimewaan dengan status dan
tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah di bumi. Atas dasar itu manusia
dipercaya untuk memikul amanat berupa tugas untuk menciptakan tata
kehidupan yang bermoral dan berkebudayaan dengan akal dan perasaan yang
dimilikinya.
Dalam fitrah manusia sebagai makhluk yang mempunyai perasaan,
salah satu potensi yang dimiliki oleh manusia adalah potensi rasa kasih sayang
yang ada pada dirinya sejak lahir. Kasih sayang adalah fitrah karena
merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Fitrah ini merupakan kemuliaan
yang ditanamkan oleh Allah dalam setiap hati manusia yang kadarnya sama.
Hanya saja, berkembang atau tidaknya fitrah ini tergantung seberapa besar
fitrah ini diasah dalam fase-fase berikutnya.
9 Syarat yang dimaksud menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa- raga
dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan antara sesama manusia. Di samping itu, ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yaitu unsur jasmani dan jiwa. (lih. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), Cet. 2, hlm. 234.
22
Bagi orang tua, menyayangi dan mencintai anak merupakan fitrah
yang agung dan mulia yang diberikan oleh Allah – terutama ibu – dalam
mendidik anak-anak nya. Rasulullah saw. bersabda:
ليس منا من ال يرحم صغيرنا : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن ابن عباس قال
)رواه مسلم(ويعرف حق كبيرنا
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi (orang yang) lebih kecil, dan (orang yang) tidak mengetahui hak orang yang lebih besar.” (H. R. Muslim).10
Fitrah ini – seperti juga fitrah-fitrah yang lain – juga memerlukan
bimbingan dan latihan. Jika tidak, maka akan mengalami salah penyesuaian.
Sejak dini, jika anak telah diajarkan atas dasar kasih sayang, maka pada tahap
berikutnya secara konsisten anak akan mengaplikasikannnya – bahkan tanpa
disadarinya. Sedangkan sebaliknya, jika sejak dini anak tidak diajarkan
bagaimana berinteraksi dengan dan atas dasar kasih sayang, maka sudah dapat
diduga apa yang akan terjadi selanjutnya.
C. Bentuk- Bentuk Kasih Sayang dalam Islam.
Islam dengan keuniversalannya merupakan agama yang paling lengkap
menjelaskan tentang semua aspek dalam kehidupan - termasuk kasih sayang.
Ada beberapa bentuk perwujudan kasih sayang yang dijelaskan dalam Al-
Qur`an, yaitu shilaturrahim (silaturrahmi), ukhuwah (persaudaraan), dan
akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
1. Shilaturrahim (silaturrahmi).
10 Jalaluddin Abu Bakar As- Suyuthi, Al- Jami` Al- Shaghir, Juz 1-2 (Mesir: Darul
Kutub Al- Ilmiyah, t. th.), hlm. 471.
23
Silaturrahmi, yang dalam Islam biasa disebut shilaturrahim, adalah
kata majemuk yang diambil dari dua kata, shilat dan rahim. Kata shilat
berakar dari kata washal, yang berarti menyambung dan menghimpun.
Sedangkan kata rahim, pada mulanya berarti kasih sayang yang kemudian
berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan), karena anak
yang di kandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.11 Salah bukti
yang paling konkret tentang shilaturrahim yang berintikan rasa kasih
sayang adalah pemberian yang tulus tanpa mengharapkan balasan yang
diberikan oleh orang tua, terutama ibu kepada anak.
Menurut Azyumardi Azra, secara harfiyah silaturrahmi berarti
menghubungkan kasih sayang. Hubungan kasih sayang yang sarat dengan
nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan baik antara sesama muslim,
maupun antara sesama manusia.12
Silaturrahmi merupakan keutamaan dalam Islam dan bagian
penting dari agama Islam. Silaturrahmi merupakan sarana yang paling
ampuh untuk mewujudkan persaudaraan menuju persatuan. Silaturrahmi
mencakup hal-hal yang mendorong suatu pergaulan yang harmonis antara
individu dengan individu, dan individu dengan masyarakat.
Silaturrahmi merupakan unsur penting dalam membina ukhuwah
Islamiyah. Seseorang yang mempraktekkan nilai silaturrahmi secara lebih
luas, maka dengan sendirinya akan terbina persaudaraan. Dari silaturrahmi
akan terjadi ta`aruf atau saling mengenal. Perkenalan dapat menciptakan
suatu masyarakat yang damai, kerjasama dan toleransi, sehingga akan
terbuka pergaulan yang saling membantu. Ada pepatah mengatakan, “tak
kenal maka ta sayang”. Pepatah ini memang sangat benar bila dikaitkan
dengan manfaat silaturrahmi.
Dalam tradisi Islam, ada satu tradisi yang biasa dinamakan halal
bihalal. Menurut pakar-pakar hukum Islam, halal bihalal dalam tinjauan
11 Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 317. 12 Tata Septayuda, Manfaat Bersilaturrahmi, Majalah Gontor Edisi 7, Nopember,
(Gontor, 2004), hlm. 8.
24
hukum adalah adanya hubungan yang halal. 13 Dengan demikian, dalam
konteks ini halal bihalal akan menjadikan sikap yang tadinya haram atau
berdosa, menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Namun jika kita lihat dari
konteks ini, maka halal bihalal akan sedikit bergeser dari makna
shilaturrahmi.
Meskipun demikian, baik shilaturrahim maupun halal bihalal
keduanya mengandung unsur maaf-memaafkan, untuk kemudian berbuat
baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan. Halal bihahal
bukan saja menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetaapi juga
agar berbuat baik kepada siapapun. Itulah landasan filosofis dalam setiap
aktivitas manusia yang dimaksud dalam Al- Quran, yang juga dijadikan
sebagai landasan filosofis bagi siapa saja yang melakukan halal bihalal
agar kembali pada tujuan semula, yakni menyambung tali silaturrahmi.
Dalam tradisi kaum sufi, silaturrahmi ini disebut dengan
ziarah.mereka sangat menganjurkan – bahkan menjadi ajaran utama bagi
kaum sufi, sebab hakikat dari shilaturrahmi adalah menjalin dan
menebarkan kasih sayang. Menebarkan kasih sayang itulah yang menjadi
dari ajaran kaum sufi, baik kasih sayang kita kepada Allah, sesama
manusia, maupun sesama makhluk.14
Silaturrahmi merupakan bagian yang sangat penting dalam
kehidupan. Sebagai amalan, shilaturrahmi dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya dengan bertemu dan saling mendoakan sesuai
dengan maknanya yang berarti menghubungkan kasih sayang. Bagi orang
mukmin silaturrahmi adalah keniscayaan, karena ia berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain, masyarakat dan lingkungannya.
13 Sedangkan menurut tinjauan bahasa, kat halal diambil dari kata halla atau halala yang mempunyai beberapa bentuk dan makna sesui dengan rangkaian katanya. Makna- makna tersebut antara lain menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam tinjauan kebahasaan, kata halal bihalal ini memberikan pengertian bahwa seakan- akan ada keinginan untyuk mengubah hubungan yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dari yang terikat menjadi terlepas, dan dari yang putus menjadi tersambung kembali. Lihat Quraish shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 318.
14 Hamim Thohari, Shilarurrahmi dalam Perspektif Tasawwuf, (Gontor: Majalah Gontor, Edisi. 7, Nopember 2004), hlm. 10.
25
Banyak manfaat yang bisa kita peroleh dalam bersilaturrahmi.
Rasulullah saw. Bersabda:
من أحب أن يبسط له فى : أن رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم قال, عن أنس بن مالك
)رواه مسلم ( فليصل رحمه, وينسأ له فى أثره, رزقه
“Dari Anas Ibnu Malik, sesungguhnya Rasululah saw. telah bersabda: Barang siapa yang ingin diperbanyak rezekinya, dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menyambung silaturrahmi.” (H. R. Muslim).15
Silaturrahmi merupakan salah satu pembuka rezeki. Artinya,
dengan memperbanyak shilaturrahmi berarti memperbanyak kenalan dan
teman. Dengan banyak kenalan, akan memudahkan jaringan bisnis
(networking). Networking merupakan bagian penting dalam bisnis dan
ternyata networking sendiri dalam Islam adalah shilaturrahmi. Selain itu,
aktivitas silaturrahmi juga bisa mendatangkan rezeki yang tidak disangka-
sangka bagi siapapun yang melakukannya. Misalnya dari obrolan yang
santai, bisa berlanjut pada urusan bisnis dan kerjasama. Inilah silaturrahmi
yang berbuah memperluas rezeki, tentunya ini tidak lepas dari unsur niat
yang ikhlas mengharap keridlaan Allah.
Pada tahap selanjutnya, silaturrahmi dapat memperpanjang usia –
tentu saja dalam arti luas. Orang yang banyak bersilaturrahmi adalah orang
yang hidupnya optimis, karena mempunyai banyak teman dan saudara.
Networking merupakan pengembangan makna luas dari silaturrahmi.
Kalau sudah masuk dalam jaringan kerja, berarti akan menghasilkan
rezeki. Jadi, sikap optimisme dengan saling mendoakan bisa
menumbuhkan ketenangan hidup, dan selanjutnya memperpanjang usia.
Tentu saja itu hanya sebuah dorongan, bukan berarti umur akan
bertambah dari enam puluh tahun menjadi tujuh puluh tahun, dan
15 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1981.
26
sebagainya. Tetapi maksudnya ketika silaturrahmi sering memberikan
kebaikan pada orang lain, sebab tidak mungkin bersilaturrahmi kemudian
tidak memberikan manfaat bagi diri kita dan bagi orang lain. Inilah
pentingnya silaturrahmi dalam Islam, yaitu mengahapus permusuhan.
Kontekstualisasi dari silaturrahmi ini bisa dilakukan kapanpun dan
di manapun, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, bahkan
dalam konteks berbangsa dan bernegara.
2. Ukuwah (persaudaraan).
Ukhuwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam
banyak hal”- baik persaudaraan karena keturunan maupun persaudaraan
karena persamaan sifat- sifat.16 Ukhuwah berasal dari kata dasar akh yang
berarti saudara, teman akrab atau sahabat. Bentuk jamak dari akh dalam
Al- Quran ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan
untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kedua, ikhwah yang
digunakan untuk makna persaudaraan satu keturunan. Dalam Al- Quran,
hubungan aantar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan, yang
berarti bahwa orang mukmin bukan sekedar teman bagi mukmin yang lain,
namun lebih dari itu adalah saudara. 17 Namun dalam ayat lain juga
disebutkan sebagai ikhwan.18 Struktur kata uhuwah sama dengan kata
bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akh dapat berarti
saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula berarti kawan, bentuk
jamaknya ikhwan.
Sepengetahuan kita, ukhuwah sering di sandingkan dengan kata
islamiyah yang berarti persaudaraan sesama muslim, yang merupakan
salah satu pokok ajaran Islam yang mengajarkan persamaan. Konsep ini
merupakan satu tawaran bagi ummat manusia (dibedakan dari konsep
16 Persaudaraan karena sifat-sifat ini antara lain ditunjukkan dalam firman Allah
dalam surat Al- Isra ayat 27 yang berbicara tentang persaudaraan (persamaan) sifat-sifat manusia yang boros dengan setan. (Lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 357).
17 Kata ikhwah dalam Al-Quran semuanya digunakan untuk saudara seketurunan kecuali dalam sutat Al- Hujurat ayat 10.
18 Q. S. Al- Hujurat ayat 103.
27
ummah) untuk merujuk kemanusiaan. Konsep ukhuwah yang dinukil
dalam Al-Quran ini mengandung perluasan makna sebagai persamaan dan
keserasian dalam banyak hal.19
Kalau kita mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan, maka
paling tidak kita akan menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam
beberapa hal yaitu:20
a. Ukhuwah fi al- Ubudiyyat, yang mengandung arti persamaan dalam
ciptaan dan ketundukan kepada Allah sebagai Pencipta. Persamaan
seperti ini mencakup persamaan antara sesama makhluk ciptaan Allah.
b. Ukhuwah fi Al- Insaniyyat, yang mengandung pengertian bahwa
manusia memiliki persamaan dalam asal keturunan (dari Adam dan
Hawa). Persamaan ini menjadikan manusia memiliki dasar
persaudaraan kemanusiaan dalam ruang lingkup yang luas dan
permanen. Luas dalam arti universal (tidak terbatas pada letak
geografis, bahasa, suku dan sebagainya), dan permanen dalam arti
berlaku sepanjang zaman selama masih hidup.
c. Ukhuwah fi al- Wahdaniyyat wa an –Nasab, yang meletakkan dasar
persamaan pada unsur bangsa dan hubungan pertalian darah.
d. Ukhuwah fi Din al- Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan
(agama) yang dianut, yaitu Islam. Dasar persamaan ini menempatkan
kaum muslimin sebagai saudara, karena memiliki akidah yang sama.
Komunitas muslim yang memiliki identitas sama atas dasar persamaan
akidah seperti ini dikenal sebagai ummah. Jaadi, merekaa yang seiman,
adalah bersaudara.
Menurut Quraish Shihab, ukhuwah Islamiyah mengarah pada arti
yang lebih luas dari sekadar persaudaraan sesama muslim. Konsep
ukhuwah islamiyah lebih diartikan sebagai persaudaraan yang bersifat
Islam, atau persaudaraan secara Islam.21 Tampaknya, apa yang
diungkapkan oleh Quraish Shihab tersebut bisa lebih diterima, terutama
19 Jalaluddin, hlm. 210. 20 Ibid, hlm. 212. 21 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 358.
28
dalam kaitannya dengan amanat yang dibebankan kepada manusia yang
bertugas sebagai khalifah di bumi dan bertanggungjawab dalam
pengelolaan kehidupan di bumi.
Uhkuwah Islamiyah, seperti halnya hubungan persaudaraan antar
anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung
nilai-nilai pengikat tertentu, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis
maupun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah. Tetapi meskipun ada
pengikat yang kuat, masing-masing pasti memiliki ciri khas, watak, dan
latar belakang yang berbeda.
Seperti diketahui, perbedaan sudah merupakan kodrat manusia.
Padahal dalam memelihara kehidupan, sebagai khalifah manusia dituntut
untuk membina kerukunan. Dan kerukunan perlu ditopang oleh unsur
persamaan dan persaudaran dalam arti luas. Keduanya hanya mungkin
berjalan secara harmonis, bila didasarkan atas rasa kasih sayang yang
sekaligus menjadi identitasnya. Dalam konteks inilah, kasih sayang sangat
diperlukan bagi tugas kekhalifahan manusia dalam memakmurkan bumi.
Persaudaraan antara sesama muslim merupakan ikatan kasih
sayang. Kasih sayang antar sesama muslim merupakan indikator keimanan
seseorang, seperti hadis Nabi “tidak sempurna iman seseorang hingga ia
mau mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Selain kasih sayang, unsur pengikat yang dalam upaya
menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas Allah SWT dan
Rasul-Nya, Muhammad SAW. ikatan akidah inilah yang paling kuat
daripada ikatan darah atau keturunan, dan merupakan pondasi yang kokoh
dalam membangun ukhuwah Islamiyah. Rasa dan keyakinan satu Tuhan,
satu Rasul dan sati iman, akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang
kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.22
Ukhuwah yang benar akan melahirkan perasaan-perasaan mulia
dan sikap positif untuk saling menolong antar satu dengan yang lain. Oleh
22 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. 1, hlm.
231.
29
karena itu, Islam mewajibkan persaudaraan di jalan Allah. Ketentuan-
ketentuan dan keharusannya telah dijelaskan dalam beberapa ayat dan
hadis, antara lain:
كميواخ نيا بولحة فا صون اخومنؤا المم15: احلجرات(ان(
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu.” (Q. S. Al- Hujurat: 10).23
كباخي كدضع دشن35: القصص(س(
“Kami akan membantumu dengan saudaramu.” (Q.S. Al-Qashash: 35).24
إخوانا واذكرو نعمة اهللا عليكم إذ كنتم اعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته
)103: آل عمران(
“Dan ingatlah akan nikmat-nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu jadilah kamu, karena nikmat Allah sebagai orang-orang yang bersaudara.” (Q. S. Ali Imran: 103).25
ال يؤمن احدكم حتى يحب : عن أنس بن مالك عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال
)رواه مسلم(ألخيه ما يحب لنفسه
“Dari Anas Bib Malik, Rasulullah saw. bersabda: Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H. R. Muslim).26
23 Soenarjo, hlm. 846. 24 Ibid, hlm. 615. 25 Ibid, hlm. 93. 26 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 67.
30
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa kasih sayang merupakan
bagian dari keimanan seseorang. Orang yang tidak mengasihi saudaranya
direpresentasikan sebagai orang yang tidak sempurna imannya – walaupun
kuat ibadahnya.
Rasulullah saw. mengibaratkan mukmin satu dengan yang lainnya
bagaikan satu bangunan dan satu tubuh, yang saling menunjang antara satu
bagian dengan baagian yang lainnya. Jika kehilangan satu bagian saja,
maka tubuh atau bangunan tersebut tidak akan sempurna dan kokoh. Atau
jika satu bagian dari tubuh menderita sakit, maka bagian tubuh yang lain
juga akan merasakan sakit. Rasulullah saw. bersabda:
قال رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم مثل المؤمنين فى توادهم : العن النعمان بن بشير ق
وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذاشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر
)رواه مسلم(والحمى
“Dari Nu`man Ibnu Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam saling mencintati, saling mengasihi, dan saling tolong menolong seperti sebatang tubuh. Kalau ada salah satu anggota tubuh yang terkena penyakit, maka seluruh batang tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan menderita panas.” (H. R. Muslim).27 Dalam hadis lain disebutkan:
الموءمن للموءمن كالبنيان , قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : قال , عن أبى موسى
)رواه مسلم ( يشذ بعضه بعضا
“Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan saatu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain.” (H. R. Muslim).28
27 Ibid, hlm. 1999. 28 Ibid.
31
Di samping itu masih banyak lagi ayat dan hadis yang secara
implisit menjelaskan tentang pentingnya ukhuwah dalam bersosialisasi di
manapun dan dengan siapapun.
Faktor lain yang juga bisa menunjang lahirnya ukhuwah – dalam
arti luas maupun sempit, di antaranya adalah persamaan. Semakin banyak
persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan
cita merupakan faktor dominan yang menciptakan persaudaraan hakiki.
Di samping itu, keberadaan manusia sebagai makhluk sosial juga
berpengaruh dalam melahirkan persaudaraan.
Manusia bisa memenuhi segala kebutuhannya bila mau hidup
bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan
keinginannya. Persatuan, ikatan batin, saling membantu daan kebersamaan
merupakan prasyarat dari timbulnya ukhuwah (persaudaraan) dan kasih
sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang
baik dan harmonis.29
Memang harus diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Perlu telah yang lebih mendalam
mengenai faktor-faktor yang bisa menghambatnya. Faktor-faktor tersebut
antara lain,30 adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan.
Bahkan faktor ini terkadang sampai pada penilaian benar-salah yang
mengakibatkan ketegangan ataupun kesenjangan.
Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, dan kurang
adanya silatirrahmi dan dialog-dialog untuk mencari titik-titik
kemaslahatan yang diinginkan. Lebih dari itu, faktor penghambat utama
adalah tingkat akhlak yang masih relatif rendah, sehingga sering timbul
sikap tahasud, saling mencela, dan ghibah.
Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan
rasa kasih sayang terhadap sesama. Hal inilah yang memunculkan sikap
29 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 228. 30 Ibid, hlm. 233.
32
tidak menghargai, mementingkan diri sendiri, dan pada gilirannya
melahirkan kompetensi yang kurang sehat dan fanatisme kelompok.
Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut sebenarnya
dapat dilakukan oleh semua pihak, untuk menjadikan ukhuwah sebagia
potensi yang sangat bermanfaat, bukan saja bagi perseorangan maupun
kelompok, tetapi bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagimana menghilangkan, atau paling tidak meminimalisir porsi
sektarianisme dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana meningkatkan
akhlakul karimah, dan bagaimana melembagakan silaturrahim dan dialog
untuk mencari titik maslahah bagi semua pihak, merupakan pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan, bukan hanya oleh kalangan tertentu
(pemerintah dan sebagainya), tetapi juga merupakan tugas seluruh
masyarakat.
Menarik untuk dicermati, bahwa ternyata Al- Quran dan hadis
tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang definisi ukhuwah
Islamiyah, tetapi metode yang digunakan adalah dengan memberikan
contoh- contoh yang nyata tentang ukhuwah itu.31 Ini berarti, Islam lebih
menekankan ukhuwah Islamiyah pada persoalan praksis daripada sekedar
teoritis. Dengan demikian, praktik yang sebenarnya dari ukhuwah
Islamiyah akan menunjukkan pada manusia hasil- hasil yang konkret
dalam kehidupan. Dan untuk memantapkannya, yang dibutuhkan bukan
sekadar ukhuwah yang menyangkut perbedaan persepsi, tetapi lebih dari
itu bagaimana langkah- langkah bersama yang dilakukan sebagai tindakan
yang lebih reflektif dari makna ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya.
Demikian juga ukhuwah yang menimbulkan sikap saling
pengertian, saling melengkapi kekurangan dengan dasar keikhlasan demi
kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan oleh semua
ummat. Tentu saja dalam hal ini masing-masing harus berada pada
porsinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, dengan segala kelebihan dan
31 Baca surat Al- Hujurat ayat 11-12.
33
kekurangannya. Dengan demikian, ukuwah – secara universal - akan
berjalan selaras, serasi, dan seimbang.
2. Akhlakul Karimah (akhlak yang mulia)
Konsep Akhlak dalam Islam
Satu lagi ajaran Islam yang tidak kalah penting, yaitu akhlak.
Akhlak merupakan realisasi dari ajaran Islam. Terminologi ini dalam
bahasa Inggris lebih dikenal dengan moral atau ethic.32 Baik moral, akhlak
maupun etika merupakan segmen yang terpenting bagi manusia pada
umumnya, sebab manusia merupakan makhluk yang mempunyai tata
krama, sopan santun, dan beradab dalam setiap aktivitasnya selama
manusia itu masih hidup. Oleh karena itu, akhlak meliputi seluruh aspek
kehidupan.
Al-Ghazali memberikan pengertian tentang akhlak, yaitu sifat dan
perilaku yang konstan dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh
perbuatan- perbuatan yang wajar dan mudah tanpa memerlukan pikiran
dan pertimbangan.33
Dari pengertian di atas, akhlak menurut Al-Ghazali harus
mencakup dua syarat, yaitu:
a. Perbuatan itu harus konstan. Artinya, harus dilakukan berulang kali
dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan.
b. Perbuaatan yang konstan itu harus tumbuh dengan sendirinya, sebagai
wujud reflektif dari jiwa tanpa pertimbangan dan pemikiran – seperti
tekanan-tekanan, pengaruh, ajakan, dan sebagainya.
Sedangkan F. Gabriele dalam Ensiklopedia of Islam sebagaimana
dikutip M. Abdurrahman, menyebutkan bahwa akhlak atau moral yang
sering kita sebut dengan adab, berasal dati terminologi arab yang berarti
adat istiadat, kebiasaan, etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang
32 Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru; Rekontruksi Atas Moralitas
Pendidikan, Edisi 7, (Yogyakarta: Prismasophie, 2002), hlm. 75 33 Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al- hazali, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), Cet. 1, hlm. 102.
34
seringkali digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut urbanitas yang berarti
“kehalusan” atau “kebaikan” yang digunakan sebagai tata krama dalam
bergaul.34 Nilai-nilai akhlak sangat diperlukan untuk membina manusia
agar dapat membedakannya dengan makhluk yang lain.
Dalam terminologi Islam, sebenarnya tidak ada istilah moral, yang
ada hanya akhlak. Dalam ajaran Islam, akhlak tidak bisa dipisahkan dari
keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati, sementara akhlak adalah
refleksi dari iman yang berupa perilaku, ucapan atau sikap. Dengan kata
lain, akhlak adalah abstraksidari keimanan yang tercermin dari sikap dan
perilaku sebagai bukti keimanan yang dilakukan dengan kesadaran dan
hanya karena Allah.
Senada dengan hal tersebut, dalam Al-Quran juga sering
disebutkan setelah ada pernyatan “orang-orang yang beriman”, sering
diikuti dengan kata “beramal saleh”. Dalam hal ini dapat kita ambil
pengertian bahwa amal saleh adalah manifestasi dari akhlak yang
merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.
Persoalan iman akan berpengaruh pada setiap persoalan manusia
yang erat kaitannya dengan keimanan.35. Mukmin yang berbuat baik,
digambarkan sebagai manusia yang sempurna keimanannya. Namun, bagi
orang-orang yang hanya menggunakan simbol muslim, belum tentu
mencapai arah ketinggian akhlak yang Islami. Inilah yang membedakan
antara muslim dan mukmin dalam segala hal.
Dalam pemahaman tentang akhlak, ada dua istilah yang sering kita
dengar yaitu akhlakul karimah atau akhlakul mahmudah (Keduanya
memiliki pemahaman yang sama, yaitu akhlak yang terpuji dan mulia),
dan akhlakul madzmumah (akhlak yang buruk).
34 Muhammad Abdurrahman, hlm. 74. 35 Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Orang mukmin yang
sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.” (H. R. Turmudzi). Di samping itu, Allah juga berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang amat tinggi.
35
Dalam rangka menghayati akhlak yang sudah dipahami, diperlukan
pengalaman- pengalaman melalui aplikasi dalam berbagai keadaan dan
kesempatan ketika berinteraksi dengan makhluk yang lain. Semakin
banyak pengalaman, maka semain banyak pula dorongan- dorongan untuk
lebih banyak lagi berbuat kebaikan, dan pada gilirannnya akan terjadi
internalisasi akhlak dalam diri individu secara otomatis.
Perlu kita ketahui, bahwa akhlak adalah persoalan awal yang
dibenahi oleh Rasulullah saw. Beliau telah banyak memberikan contoh
akhlak yang mulia dalam berbagai kesempatan. Dalam hal ini rasulullah
saw adalah contoh pemilik akhlak terbaik bagi umatnya, sebagaimana
hadis:
كان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أحسن الناش خلقا : عن أنس بن مالك قال
)رواه مسلم(
“Dari Anas Ibnu Malik, ia berkata: bahwasanya Rasulullh saw. adalah sebaik-baik manusia dalam akhlaknya.” (H.R. Muslim).36
Ini merupakan bukti bahwa agama Islam yang dibawa Rasulullah
saw. benar-benar mementingkan masalah akhlak sebagai faktor utama bagi
setiap muslim sebelum mempelajari dan memahami kewajiban-kewajiban
yang lain.
Dalam pandangan Islam, akhlakul karimah adalah tingkah laku
yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan dan niat yang
mulia, dan untuk tujuan yang mulia. Prinsip-prinsip akhlak yang dibawa
oleh Islam bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup
perilakunya dalam berinteraksi dengan individu maupun dengan kelompok
masyarakat.
Persoalan akhlak merupakan persoalan yang sudah dibawa manusia
sejak lahir dan menjadi ukuran bagi perilaku manusiayang menjadi
pembenar bagi sifat-sifat tertentu, dan mencela sifat-sifat yang lain. Akan
36 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1805.
36
tetapi kemampuan sifat pembawaan ini berbeda antara satu individu
dengan individu yang lain. Dalam hal ini, yang kemudian berbicara adalah
kesadaran dari masing-masing manusia dalam menilai dan
menginterpretasikan tingkat kebenaran akhlak tertentu, baik atau buruk.
Akhlak yang baik akan mendapat pujian, dan akhlak yang tidak baik akan
mendapat cercaan. Kebaikan akhlak seseorang merupakan cerminan dari
tingkat keimanannya.
Akhlak berkaitan dengan ajaran, sekumpulan peraturan dan
ketetapan baik secara lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan
bagaimana manusia harus hidup dan bersikap. Lebih dari itu, akhlak bukan
saja tindakan yang nyata, tetapi meliputi perasaan, pemikiran, dan niat
yang baik dalam membangun interaksi yang berhubungan dengan bain dan
buruk, benar dan salah, serta apa yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan.
M. Abdullah Darraz mengklasifikasikan akhlak dalam beberapa
kategori, yaitu:37
a. Akhlak Fardliyyah (individu)
b. Akhlak Usariyah (kekeluargaan)
c. Akhlak Ijtimaiyah (kemasyarakatan)
d. Akhlak Daulah (negara)
e. Akhlak Diniyah (agama).
Semua kategori ini menjadi bidang dan ruang lingkup akhlak Islam
yang dimulai dari pembinaan pribadi keluarga, masyarakat, sampai pada
pembentukan sebuah negara, peradaban, dan sebagainya. Oleh karena itu,
adalah tugas setia orang mukallaf untuk menjaga akhlaknya yang akan
membedakannya dengan makhluk yang lain.
37 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Keluarga dan
Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. 3.
37
Pendidikan Akhlak dalam Islam
Pendidikan akhlak merupakan dimensi pendidikan Islam yang
paling penting, karena merupakan tujuan akhir dari tujuan pendidikan
agama Islam itu sendiri, yaitu terciptanya generasi muslim yang
berakhlakul karimah.
M. Omar Toumy Asy-Syaibani menyatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga
mencapai tingkat akhlakul karimah.38 Tujuan ini sama dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh misi kerasulan, yaitu membimbing manusia agar
berakhlak mulia. Kemudian akhlak mulia yang dimaksud tercermin dalam
sikap dan tingkah laku individu – baik dalam hubungannya dengan Allah,
diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk, serta lingkungannya.
Manusia secara fitrah memiliki potensi yang mengacu pada tiga
kecenderungan utama, yaitu yang benar, yang baik, dan yang indah.
Maksudnya, manusia pada dasarnya cenderung untuk menyukai hal-hal
yang benar, yang baik, dan yang indah.39 Atas dasar sudut pandang ini,
terlihat bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki
nilai- nilai akhlak (senang yang baik dan membenci yang buruk).
Kecenderungan ini merupakan bawaan, sehingga sewaktu-waktu
kecenderungan itu akan muncul. Walaupun demikian, oleh karena
pengaruh lingkungan terkadang kecenderungan itu sering tidak tampak.
Dalam hal ini, media yang paling tepat dalam rangka mengasah
kecenderungan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan ditujukan pada
upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang ber- akhlakul karimah.
Tujuan pendidikan dititikberatkan pada upaya pengenalan nilai- nilai yang
baik kemudian menginternalisasikannya, serta mengaplikasikannya dalam
sikap dan perilaku melalui pembiasaan, tentu saja dengan Al-Quran
sebagai pijakan dan sumber utamanya.
38 Jalaluddin, hlm. 92. 39 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 69.
38
Dimensi moral dan spiritual merupakan salah satu dimensi
pendekatan yang efektif dalam upaya pembentukan akhlak dan
kepribadian peserta didik. Diharapkan melalui pendekatan ini, akhlak dan
kepribadian peserta didik dapat selaras dengan fitrahnya. Melalui
pendekatan yang didasarkan pada nilai- nilai moral- spiritual, peserta didik
disadarkan akan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang dimilikinya, yatu
sebagai makhluk yang bermoral, makhluk yang dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta mampu
mempertahankan nilai-nilai tersebut secara konsisten.
Pembinaan akhlak merupakan faktor penting dalam pendidikan.
Keutamaan akhlak dinilai sebagai sebagai sasaran utama pendidikan Islam.
Agar arah sasaran tersebut sesuai dengan target, ada beberapa prinsip yang
perlu dipahami tentang akhlak yang dijadikan sebagai acuan dasar, yaitu:40
a. Akhlak merupakan faktor yang diperoleh dan dapat dipelajari.
b. Akhlak akan lebih efektif jika dipelajari dan dibentuk melalui teladan
dan pembiasaan yang baik.
c. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat (common sense) manusia,
yaitu cenderung kepada yang baik.
d. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi
lingkungan.
e. Akhlak merupakan tujuan akhir dari ajaran Islam, yaitu mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
f. Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) merupakan realisasi dari ajaran
Islam.
g. Akhlak brintikan tanggungjawab terhadap amanta Allah, terutama
dalam hubungannya dengan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.
Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas, maka pendidikan akhlak
seharusnya dikembalikan pada tujuan awal Islam diturunkan, yaitu sebagai
rahmatan lil alamin.
40 Muhammmad Abdurrahman, hlm. 78.
39
Dalam upaya pendidikan akhlak ini, orang tualah pihak pertama
yang harus bertanggung jawab memasukkan pendidikan akhlak sejak dini
kepada anak-anaknya. Kemudian guru – dalam batas-batas tertentu – juga
mempunyai tanggung jawab yang sama dalam upaya menanamkan akhlak
kepada anak didiknya di sekolah.41
Persoalan akhlak merupakan persoalan praktis artinya,
berhubungan langsung dengan nilai baik-buruk dan benar-salah dari sikap
dan tingkah laku manusia. Barangkali indikator yang nyata dari berhasil
atau tidaknya pendidikan akhlak, dapat kita lihat dalam fenomena-
fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.
Diakui atau tidak, akhlak dan moralitas merupakan solusi terhadap
masalah- masalah sosial yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu,
akhlak merupakan bagian yang signifikan dan tidak dapat dipisahkan dari
semua aspek kehidupan manusia.
Itulah sebabnya lembaga pendidikan sekolah memiliki otoritas dan
peran penting dalam membentuk manusia yang memilki sense of social
yang tinggi. Paling tidak, orang yang memilki latar belakang pendidikan
tidak turut ambil bagian dalam menciptakan masalah sosial. Untuk itu,
sekolah harus mempunyai komitmen yang tinggi, istiqamah, dan ikhlas
dalam mendidik akhlak anak- anak didiknya.
Demikian pentingnya pendidikan akhlak, sehingga Islam-pun
menempatkan akhlak sebagai tujuan utama pendidikan Islam.
41 Tanggungjawab itu didasarkan pada pandangan bahwa sekolah merupakan salah
satu tempat yang strategis dalam upaya pembentukan akhlak individu (Ghazali Darussalam, 2000), di sekolah pula individu diberi peluang untuk membentuk sebuah komunitas kecil yang menjadi embrio sebuah masyarakat yang sebenarnya (John Dewey, 2000). Sekolah juga merupakan tempat berlangsungnya proses pemupukan norma-norma, sikap, dan nilai-nilai kepada masyarakat (Robert Dreeben, 2000). Lihat M. Abdurrahman, hlm. 124.