bab ii ketentuan-ketentuan sahnya perjanjian … · dengan pasal 1338 kuhperdata yang menyatakan...

36
1 BAB II KETENTUAN-KETENTUAN SAHNYA PERJANJIAN BERSAMA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Ketentuan-Ketentuan Sahnya Perjanjian Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan, sehingga hukum perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Sekalipun demikian, pelaksanaan peraturan perundang- undangan dalam bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum maupun sesudah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama, dan sesudah masa kerja. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan penyelesaian perselisihan dalam ketenegakerjaan diatur dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB II

    KETENTUAN-KETENTUAN SAHNYA PERJANJIAN BERSAMA,

    HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

    A. Ketentuan-Ketentuan Sahnya Perjanjian

    Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan,

    sehingga hukum perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian

    ketenagakerjaan lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana

    dalam KUHPerdata. Sekalipun demikian, pelaksanaan peraturan perundang-

    undangan dalam bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa

    Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum maupun sesudah dikeluarkan

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang

    Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala

    hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama,

    dan sesudah masa kerja. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan penyelesaian

    perselisihan dalam ketenegakerjaan diatur dalam Undang-Undang No.2 Tahun

    2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

  • 2

    1. Pengertian Perjanjian Bersama

    Perjanjian Bersama adalah suatu kesepakatan secara tertulis dengan

    menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara

    pengusaha dan pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang

    bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Perjanjian Bersama pada

    dasarnya dibentuk sebagai perjanjian atas kesesuaian kehendak para pihak

    karena adanya perselisihan atau semata-mata demi terwujudnya hubungan

    industrial yang harmonis dalam perusahaan dengan memperhatikan

    kepentingan masing-masing pihak. Perjanjian Bersama yang telah

    ditandatangani oleh para pihak akan memiliki fungsi dan kedudukan yang

    setara dengan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang

    merupakan sarana untuk memuat dan menuangkan kesepakatan baru yang

    didasari atas kesepakatan para pihak.

    2. Keabsahan Perjanjian Bersama

    Untuk membuat perjanjian bersama karena adanya perselisihan di

    bidang ketenagakerjaan dalam pembentukan perjanjian bersama harus

    memenuhi syarat sahnya perjanjian agar perjanjian tersebut sah dan

    mengikat secara hukum. Dalam hal ini karena tidak adanya ketentuan

    peraturan yang khusus mengatur mengenai perjanjian bersama. Oleh

    karena itu maka ketentuan sahnya perjanjian bersama tunduk pada syarat

    sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri

    dari:

  • 3

    a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

    b. Para pihak cakap dalam melakukan perbuatan hukum;

    c. Adanya suatu hal tertentu; dan

    d. Kausa yang halal.

    Syarat pada poin “a” dan “b” merupakan syarat subyektif, jika kedua syarat

    tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat pada

    poin “c” dan “d” merupakan syarat obyektif, jika syarat tersebut tidak terpenuhi

    maka perjanjian batal demi hukum (nul adn void), yaitu secara hukum sejak awal

    dianggap tidak pernah ada perjanjian.

    Selain sahnya perjanjian bersama tunduk pada ketentuan sahnya perjanjian

    yang diatur dalam KUHPerdata, pembuatan perjanjian bersama juga menganut

    asas-asas perjanjian yang telah diatur di dalam KUHPerdata. Dalam pembuatan

    perjanjian bersama juga menganut asas kebebasan berkontrak dalam hal ini para

    pihak mencapai kesepakatan penyelesaian yaitu untuk mengakhiri hubungan

    industrial tanpa adanya perselisihan hubungan industrial dengan diakhiri secara

    baik-baik. Asas lain yang dianut dalam perjanjian bersama berdasarkan

    KUHPerdata yaitu asas pacta sunt servanda dimana perjanjian bersama yang

    telah dibuat oleh kedua belah pihak yang disetujui dan ditandatangani masing-

    masing pihak maka perjanjian tersebut secara hukum berlaku sebagai undang-

    undang untuk kedua belah pihak yang menandatanganinya. Hal tersebut sesuai

    dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua perjanjian yang

  • 4

    dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

    membuatnya”.

    3. Jenis-jenis Perjanjian Kerja

    Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (1) dan (2),

    menyatakan bahwa:

    1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau tidak tertentu.

    2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) didasarkan atas:

    a. Jangka waktu; atau

    b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu

    Perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya sesuai dalam

    Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu

    Tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Perjanjian kerja waktu

    tertentu (PKWT) antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dibuat untuk

    pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan pekerjaannya akan

    selesai dalam waktu tertentu, sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu

    (PKWTT), di mana jangka waktu tidak ditentukan. Baik dalam perjanjian,

    undang-undang, maupun kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena

    pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

    Pengertian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1603 q ayat (1) KUHPerdata

    dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1603 q

  • 5

    ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “Waktu lamanya hubungan kerja

    tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun

    dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka

    hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tertentu”.

    Sedangkan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan

    bahwa: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis

    bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”. Di dalam

    ayat (1) Pasal 57 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

    “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dibuat secara tertulis serta harus

    menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”. Perjanjian kerja waktu

    tertentu pengusaha/pemberi kerja tidak dapat mensyaratkan adanya masa

    pencobaan kerja bagi pekerja. Dalam hal ini pencobaan kerja dalam perjanjian

    kerja waktu tertentu yang dijadikan syarat maka akan batal demi hukum.

    Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat menggunakan bahasa

    Indonesia dan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau

    kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

    a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;

    b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang

    tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

    c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

  • 6

    d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,

    atau produk tambahan yang masih dalam pencobaan atau penjajakan.

    Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu

    dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang

    1(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.2 Pengusaha yang

    bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tersebut, paling lama 7

    (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu telah memberitahukan

    maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

    Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah

    melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja

    waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini

    hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Di samping

    itu, di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

    100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4

    jenis pekerjaan. Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali

    selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga)

    tahun diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut:1

    1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya

    adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.

    2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling

    lama 3 (tiga) tahun. 1 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm., 113

  • 7

    3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat

    dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum

    pada saat selesainya pekerjaan.

    4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu

    harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.

    5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu

    namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat

    diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.

    6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan

    setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh ) hari setelah

    berakhirnya perjanjian kerja.

    7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud

    dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

    pengusaha.

    8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan umum ayat (5) dan

    ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian

    Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada umumnya menurut

    ketentuan yang telah diatur merupakan perjanjian kerja yang bersifat musiman

    yang bergantung pada musim atau cuaca. PKWT dapat dilakukan untuk satu

    jenis pekerjaan saja, yang tujuannya untuk memenuhi pesanan atau target tertentu.

    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru secara tidak langsung akan

  • 8

    berhubungan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Ketentuan PKWT dan

    PKWTT sudah jelas di dalam UU Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan PKWT

    demi hukum dapat berubah menjadi PKWTT bila terjadi pelanggaran yang

    dilakukan oleh pengusaha/pemberi kerja. Perubahan perjanjian kerja tersebut

    termuat di dalam Pasal 15 KEP.100/MEN/VI/2004 yang menyatakan bahwa:

    1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin

    berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja

    2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)2, atau Pasal 5 ayat (2)

    3, maka

    PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

    3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan

    dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2)

    4 dan ayat (3)5

    , maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak

    dilakukan penyimpangan.

    4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu

    30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWTT dan

    tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka

    PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat

    PKWT tersebut.

    2 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 4 ayat (2)

    3 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 5 ayat (2)

    4 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (2)

    5 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (3)

  • 9

    5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap

    pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana

    dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), maka hak-hak

    pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan

    peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.

    Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu diatur dalam Undang-

    Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini memberikan kesempatan

    kepada pengusaha/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan

    paling lama 3 bulan. Salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat

    perjanjian yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang maka perusahaan

    memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut menjadi pekerja tetapnya.

    Sekalipun demikian, menurut Pasal 61 tersebut, walaupun diberlakukan masa

    percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak diperkenankan membayar upah di

    bawah upah minimum.

    Berhubungan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan

    KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

    Waktu Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

    mengenai perjanjian kerja. Perjanjian kerja berkaitan dengan jenis dan sifat

    pekerjaan yang dijalankan, hal ini termuat di dalam Pasal 2

    KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan

    Secara Terus Menerus yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dapat

    memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang

  • 10

    menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus

    menerus”. Lebih lanjut lagi mengenai jenis pekerjaan yang dijalankan terus

    menerus termuat di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

    1. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:6

    a. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;

    b. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;

    c. Pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;

    d. Pekerjaan di bidang usaha pariwisata;

    e. Pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;

    f. Pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan

    pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar

    minyak dan gas bumi;

    g. Pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan

    sejenisnya

    h. Pekerjaan di bidang media masa;

    i. Pekerjaan di bidang pengamanan;

    j. Pekerjaan di lembaga konversi;

    k. Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu

    proses produksi, merusak bahan, dan termasuk

    pemeliharaan/perbaikan alat produksi.

    6 KEP.233/MEN/2003, Pasal 2

  • 11

    4. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

    Secara tidak langsung UU Nomor 2 Tahun 2004 sebetulnya sama

    dengan UU Nomor 22 Tahun 1957 yang sama mengenal penyelesaian secara

    wajib dan penyelesaian secara sukarela. Penyelesaian secara wajib sama-sama

    harus dimulai dengan musyawarah untuk mufakat antara pihak yang berselisih

    (bipartie), kemudian jika tidak menyelesaikan permasalahan dilanjutkan ke

    pegawai perantara di kantor yang bertanggung jawab di bidang

    ketenagakerjaan dan seteusnya ke Panitia Penyelesaian Perselisihan

    Perburuhan Daerah dan Pusat, sedangkan penyelesaian seacara sukarela

    adalah melalui seorang Juru atau Dewan Pemisah yang disebut dengan

    Arbitrase.

    Dalam UU No. 2 Tahun 2004 penyelesaian secara wajib juga dimulai

    dengan bipartie (perundingan antara kedua belah pihak yang berselisih). Jika

    perundingan tersebut tidak selesai barulah dilanjutkan secara mediasi oleh

    seorang mediator yang ada di kantor yang bertanggung jawab di bidang

    ketenagakerjaan, apabila para pihak tidak memilih konsiliasi atau arbitrase.

    Kemudian jika juga tidak menyelesaikan permasalahan salah satu pihak dapat

    mengajukan gugatan ke Pengadilah Hubungan Industrial.

    5. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

    Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

    mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha

    dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya

  • 12

    perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

    pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dan perselisihan antar serikat

    pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 ayat (22) UU No.

    13/2003 Jo. Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU No. 2/2004). Perselisihan

    Hubungan Industrial dapat diselesaikan dengan cara damai tanpa harus

    menempuh proses litigasi, dan akhir dari penyesaian secara win-win

    solution atas suatu perselisihan hubungan industrial dibentuklah Perjanjian

    Bersama.

    6. Penyelesaian Secara Biparit

    Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa setiap perselisihan

    hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu

    melalui perundingan bipartit seacara musyawarah untuk mufakat.

    Ketentuan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

    Hubungan Industrial di atas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri

    Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-31/MEN/XII/2008 tentang

    Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui

    Perundingan Bipartit. Pasal 3 dari Permenakertrans No. PER-

    31/MEN/XII/2008 tersebut menentukan bahwa dalam melakukan

    perundingan bipartit para pihak wajib:

    a. Memiliki itikad baik;

    b. Bersikap santun dan tidak anarkis;dan

    c. Menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

  • 13

    Di dalam penyelesaian bipartit terdapat beberapa tahap

    perundingan yaitu:

    1) Tahap Sebelum Perundingan Dilakukan

    Dalam tahap ini pihak yang merasa dirugikan berinisiatif

    mengomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya,

    jika pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan

    yang bukan menjadi anggota serikat pekerja dapat memberikan

    kuasa kepada pengurus serikat pekerja di perusahaan tersebut untuk

    mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan. Pihak pengusaha

    atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus

    menangani penyelesaian perselisihan secara langsung. Dalam

    perundingan bipartit, serikat pekerja atau pengusaha dapat meminta

    pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing.

    Dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan

    anggota serikat pekerja dan jumlahnya lebih dari sepuluh orang

    pekerja, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang

    disepakati paling banyak lima orang pekerja yang merasa dirugikan.

    Dalam hal perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan,

    maka masing-masing serikat pekerja buruh menunjuk wakilnya

    paling banyak sepuluh orang.

    2) Tahap Perundingan

  • 14

    Pada tahap ini kedua belah pihak menginventarisasi dan

    mengidentifikasi permasalahan dan dapat menyusun atau menyetujui

    tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati.

    Dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama

    perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan

    kewajiban sebagaimana mestinya. Lalu para pihak melakukan

    perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati. Dalam hal

    salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para

    pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya

    kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

    kabupaten/kota tempat pekerja bekerja walaupun belum mencapai

    tiga puluh hari kerja. Setelah mencapai tiga puluh hari kerja,

    perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati

    oleh para pihak. Setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah

    yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak

    tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat

    dalam risalah dimaksud. Hasil akhir perundingan harus dibuat dalam

    bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat:

    a. Nama lengkap dan alamat para pihak;

    b. Tanggal dan tempat perundingan;

    c. Pokok masalah atau alasan perselisihan;

    d. Pendapat para pihak;

  • 15

    e. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan

    f. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan

    perundingan

    Jika risalah akhir sudah dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani

    oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya

    tidak bersedia menandatanganinya.

    3) Tahap Setelah Selesai Perundingan

    Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan maka dibuatlah

    perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan

    didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri

    wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Apabila

    perundingan mengalami kegagalan maka salah satu pihak atau kedua

    belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada isntansi yang

    bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota

    tempat pekerja bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-

    upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

    Jadi dengan demikian, jika perundingan tersebut mencapai

    kesepakatan, maka hasil perundingan harus dituangkan ke dalam

    suatu perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak.

    Perjanjian bersama tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1385

    KUHPerdata akan mengikat para pihak sebagai undang-undang, dan

    menurut Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 perjanjian bersama

  • 16

    tersebut menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah

    pihak. Untuk itu, maka perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan

    di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di

    wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Dengan

    pendaftaran tersebut para pihak akan diberikan bukti pendaftaran

    yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian bersama.

    Dalam hal perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu

    pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi kepada

    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah

    perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam

    hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat

    pendaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat

    mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan

    Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pemohon eksekusi untuk

    diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

    yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

    Sebaliknya dalam hal penyelesaian secara bipartit tersebut gagal

    atau tidak mencapai hasil, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak

    mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di

    bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa

    upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan. Apabila

    bukti tersebut tidak dilampirkan risalah penyelesaian secara bipartit,

  • 17

    instansi tersebut harus mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling

    lambat tujuh hari sejak diterimanya pengembalian. Setelah pencatatan

    perselisihan, istansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

    selanjutnya wajib menawarkan kepada para pihak untuk bersepakat

    memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para

    pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau

    arbitrase dalam waktu tujuh hari kerja, maka perselisihan mereka akan

    dilimpahkan penyelesaiannya kepada mediator.

    7. Penyelesaian Melalui Mediasi

    Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselesaikan melalui

    mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang

    dikenal dalam UU No. 2 Tahun 2004. Perselisihan tersebut diselesaikan

    melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator

    yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang

    bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-

    syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas

    melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran

    tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

    perselisihan yang dilimpahkan kepadanya. Setelah menerima

    pelimpahan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja mediator

    harus mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera

    mengadakan sidang mediasi. Guna melaksanakan tugasnya mediator

  • 18

    dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi

    untuk dimintai dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang

    dimaksudkan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan

    akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan menteri. Dalam

    hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan idnustrial

    melalui mediasi, maka harus dibuat perjanjian bersama yang

    ditandatangani oleh para pihak dan di saksikan oleh mediator, yang

    kemudian harus didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial seperti

    perjanjian bersama yang perselisihannya selesai secara bipartit.7

    B. Hasil Penelitian

    1. Perselisihan Hubungan Industrial antara Khadijah dan PT. Oleochem

    & Soap Industri

    Dalam perkara gugatan Khadijah yang beralamat di Jl. Binjai Km. 12

    Medan menggugat PT. Oleochem & Soap Industri yang beralamat di Jl.

    Pulau Nias Selatan Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten

    Deli Serdang. Khadijah mengajukan surat gugatan pada tanggal 20

    November 2015 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan

    Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dengan nomor register

    215/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn. Gugatan yang diajukan Khadijah sudah

    melewati proses bipartit dan mediasi sebagaimana yang disyratkan oleh

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

    7 Zaeni Asyhadie, Op.Cit, Hlm., 165-173.

  • 19

    Hubungan Industrial. Dalam gugatan yang diajukan Khadijah selaku

    karyawan yang bekerja di PT. Oleochem & Soap Industri yang bekerja

    selama 9 tahun sejak September 2006 sampai dengan 16 Februari 2015

    dengan menerima upah terakhir sebesar Rp. 2.227.750 (dua juta dua ratus

    ribu tujuh puluh ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Gugatan ini juga

    mengenai perselisihan pengakhiran hubungan kerja, dimana PT. Oleochem

    & Soap Industri mengakhiri hubungan kerja secara sepihak dan semena-

    mena tidak berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Dengan adanya pengakhiran hubungan kerja secara sepihak yang

    dilakukan PT. Oleochem & Soap Industri, Khadijah merasa dirugikan.

    Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian hukum, Khadijah mengajukan

    gugatan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

    Medan.

    Khadijah merupakan karyawan produksi yang bekerja pada PT. Oleochem

    & Soap Industri sejak September 2006 dengan masa percobaan 3 (tiga) bulan.

    PT. Oleochem & Soap Industri merupakan perusahan yang memproduksi

    sabun. Sejak September 2006 setelah diinterview oleh HRD, Khadijah

    merupakan karyawan produksi. Setelah melewati masa percobaan Khadijah

    mempertanyakan ke HRD tentang surat pengangkatan sebagai karyawan tetap,

    akan tetapi HRD selalu menyatakan bersabar karena mereka sedang sibuk

    mengurus pekerjaan lain. Selama masa kerja sejak September 2006 pihak

    perusahaan tidak membuat perjanjian kerja untuk Khadijah, namun tetap

  • 20

    mempekerjakannya. Pada bulan Oktober 2012 karyawan perusahaan

    melakukan demonstarasi besar-besaran dengan mogok kerja dan anarkis ke

    perusahaan untuk mempertegas tentang status karyawan yang tidak jelas.

    Akibat demo tersebut akhirnya pada bulan Februari 2013 PT. Oleochem &

    Soap Industri membuat surat perjanjian bersama yang didalamnya memuat

    perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan dinyatakan sebagai karyawan tetap.

    Karena ada pernyataan dari HRD apabila menandatangani surat perjanjian

    kerja tersebut maka penggugat akan menjadi karyawan tetap. Pada tanggal 10

    Februari 2015 Pimpinan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja

    secara sepihak tanpa memberikan alasan-alasan yang jelas. Khadijah membuat

    pengaduan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera

    Utara untuk melakukan upaya mediasi guna penyelesaian permasalahan

    tersebut, namun PT. Oleochem & Soap Industri tidak menghadiri persidangan

    mediasi hingga mediasi kedua. Pada tanggal 19 Juni 2015 pihak perusahaan

    mengirim surat ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera

    Utara yang menyatakan bahwa Mediator Dinas Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara tidak memiliki wewenang untuk

    melakukan penyelesaiannya. Kemudian Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    Provinsi Sumatera Utara melimpahkan tugas ke Dinas Kependudukan Tenaga

    Kerja dan Sosial Kabupaten Deli Serdang. Anjuran yang dibuat oleh mediator

    ditolak tegas oleh Khadijah karena menurutnya banyak keterangan yang

  • 21

    disampaikan dalam lembaran anjuran tidak berdasarkan fakta hukum yang

    sebenarnya

    Menurut Khadijah anjuran mediator lembaran kedua bait ke 2 (dua)

    keterangan pihak pengusaha bahwa pada tanggal 20 Februari 2013 pengusaha

    dengan pekerja telah mengadakan pertemuan bipartit dan menghasilkan

    perjanjian bersama adalah tidak benar. Karena fakta sebenarnya pekerja

    dipaksa menandatangani surat perjanjian kerja waktu tertentu yang isinya

    tidak diketahuin dan dimengerti oleh pekerja karena memakai Bahasa Inggris

    dan Bahasa Arab. Khadijah tidak boleh membaca terlalu lama, memfoto atau

    memvideo perjanjian bersama tersebut. Bahkan terdapat staf HRD yang

    menyatakan ke salah satu pekerja yang terlalu lama memegang berkas dengan

    pertnyataan “jangan terlalu lama memegang toh juga kau enggak mengerti

    Bahasa Inggris atau Bahasa Arab”. Anjuran mediator dalam lembaran kedua

    point ke 2 (dua) dari perjanjian bersama yaitu pihak kedua tidak

    mempermasalahkan masa kerja maupun hak-hak masa kerja yang lalu karena

    dianggap sudah selesai secara keseluruhan tanpa ada pengecualian dan

    sebagai penghargaan masa kerja kepada Khadijah selama ini, maka pihak

    pertama memberikan uang penghargaan kepada Khadijah sebesar Rp. 500.000

    (lima ratus ribu rupiah) adalah tidak benar dan surat perjanjian bersama yang

    diperlihatkan pada saat itu berbeda dengan yang sebelumnya dimana Khadijah

    dipaksa untuk menandatangani apabila masih ingin bekerja tanpa mengetahui

    isi perjanjian tersebut. Kemudian mengenai uang Rp. 500.000 tersebut HRD

  • 22

    menyatakan sebagai tanda terima kasih perusahaan kepada Khadijah karena

    tidak mengikuti demonstrasi di pabrik.

    Dalam pokok perkara yang diajukan sebagai gugatan Khadijah, PT.

    Oleochem & Soap Industri membantah seluruh dalil gugatan untuk

    seluruhnya kecuali yang diakui secara sah kebenarannya, menurut tergugat

    yaitu PT. Oleochem & Soap Industri berdasarkan perundingan bipartit yang

    menghasilkan perjanjian bersama antara pekerja yang tidak melanjutkan

    hubungan kerjanya dengan tergugat bahwa tergugat memberikan kompensasi

    sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) kepada 92 (sembilan puluh dua)

    orang pekerja, dimana turut dihadiri dan ditandatangani oleh serikat pekerja

    SBSI 1992 Bambang Hermanto dan Genueri Gea disamping dihadiri dan

    ditandatangani oleh 92 orang pekerja, selain itu juga diketahui dan disetujui

    serta ditandatangani dan dihadiri oleh pihak Dinas Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang yaitu Bapak Saharuddin. Sesuai

    dengan persetujuan bersama tanggal 20 Februari 2013 penggugat dan tergugat

    melaksanakan isi perjanjian bersama tanggal 20 Februari 2013 yaitu Khadijah

    menjadi karyawan kontrak PT. Oleochem & Soap Industri dengan surat

    perjanjian Ref.No.L.252/HRD-EXT/III/2013 tanggal 20 Februari 2013, dari

    tanggal 1 Maret 2013 sampai dengan 28 Februari 2014 dan surat perjanjian

    Ref.No.116/HRD-EXT/III/2014 tanggal 21 Februari 2014, dari tanggal 1

    Maret 2014 sampai dengan 28 Februari 2015 dan dicatatkan pada Dinas

    Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang oleh Kabid.

  • 23

    Pembinaan Hubungan Industrial yaitu Rahmad Syafran. Oleh karena

    perjanjian tersebut telah berakhir pada tanggal 28 Februari 2015 dan PT.

    Oleochem & Soap Industri tidak memperpanjangnya maka berakhir hubungan

    kerja antara Khadijah dengan tergugat. Berkaitan dengan uang kompensasi

    yang diberikan kepada Khadijah sebesar Rp. 500.000 karena tidak mengikuti

    demo dibantah oleh penggugat karena faktanya uang tersebut merupakan uang

    penghargaan yang diberikan oleh perusahaan karena telah tercapainya

    kesepakatan sebagaimana perjanjian bersama. Mengenai adanya pemaksaan

    penandatanganan perjanjian bersama tanggal 20 Februari 2013 karena pada

    saat itu dilakukan dan dihadiri oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang. Atas dasar perjanjian bersama tersebut

    dilaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu antara Khadijah dengan

    Perusahaan hingga berakhirnya tanggal 28 Februari 2015. Sedangkan terhadap

    perjanjian bersama dan perjanjian kerja waktu tertentu tanggal 20 Maret 2015

    dilakukan dihadapan dan dihadiri oleh serikat pekerja PK SBSI 1992 PT.

    Oleochem & Soap Industri dan pengurus DPC SBSI 1992 Kabupaten Deli

    Serdang dan dibuat dalam bahasa Indonesia bukan memakai bahasa Arab atau

    bahasa Inggris.

    2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat I dalam Putusan No. 215/Pdt.Sus-

    PHI/2015/PN.Mdn

  • 24

    Putusan Majelis Hakim pada Tingkat I yang terkait dengan perjanjian

    bersama antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri yang dimuat

    dalam diktum pokok perkara sebagai berikut:

    a. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum surat perjanjian bersama

    antara Tergugat dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic.

    Khadijah) dengan Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam

    Konpensi masing-masing tertanggal 20 Februari 2013;

    b. Menyatakan sah surat perjanjian kerja waktu tertentu antara Tergugat

    dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic. Khadijah) dengan

    Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi Ref.

    No.L.252/HRD/EXT/III/2013 tanggal 20 Februari 2013;

    c. Menyatakan sah surat perjanjian kerja waktu tertentu antara Tergugat

    dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic. Khadijah) dengan

    Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi

    Ref.No.116/HRD/EXT/II/2014 tanggal 21 Februari 2014;

    d. Menyatakan surat perjanjian bersama antara Penggugat dalam

    Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi dengan Ketua OPC SBSI 1992

    Kabupaten Deli Serdang mewakili Para Tergugat dalam

    Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi tanggal 20 Maret 2015 adalah

    sah dan mengikat para pihak.

    Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut,

    yaitu:

  • 25

    a. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-2 terbukti telah ada

    perjanjian bersama antara Penggugat dengan Tergugat yang berisi

    bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan dan telah

    mencapai perjanjian bersama atas permasalahan selama ini terjadi

    antara kedua belah pihak dengan syarat-syarat dan ketentuan yaitu

    tergugat akan melakukan perekrutan terhadap penggugat bersedia

    untuk mengikuti prosedur penerimaan karyawan tergugat, terkait

    pengangkatan status karyawan sesuai penilaian tergugat, penggugat

    tidak mempermasalahkan masa kerja maupun hak-hak masa kerja yang

    lalu;

    b. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-2 terbukti perjanjian bersama

    antara Penggugat dengan Tergugat (ic. Bukti T-4) telah didaftarkan di

    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan

    tanggal 20 Agustus 2015 dengan Akta Bukti Pendaftaran Nomor:

    1114/Bip/2015/PHI.Mdn., Majelis Hakim berpendapat perjanjian

    bersama tersebut sah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal

    7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

    tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    c. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-7 jo, T-8 berupa Surat

    Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) I dan II, keduanya ditandatangani

    oleh Penggugat dan Tergugat, PKWT I berlaku tanggal 1 Maret 2013

    sampai dengan 28 Februari 2014, kemudian diperpanjang dengan

  • 26

    PKWT II yang berlaku sejak tanggal 1 Maret 2014 sampai dengan 28

    Februari 2015, Majelis Hakim berpendapat telah terbukti hubungan

    kerja yang baru telah disepakati Penggugat dan Tergugat dimana status

    Penggugat adalah sebagai pekerja tidak tetap;

    d. Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi Deviana dan Sri Kumala

    Asri pekerjaan Penggugat adalah di bagian produksi tetapi kedua saksi

    ini tidak dapat menjelaskan dengan tepat apa jenis pekerjaan

    Penggugat tersebut sehingga tidak dapat ditetapkan apakah merupakan

    pekerjaan tetap atau bukan;

    e. Menimbang, bahwa dengan keterangan Ardiansyah dan Riswanto

    dimaksud tidak bersesuaian dengan ketentuan Pasal 2 PKWT dan

    keterangan saksi Syarkawi, sebaliknya terbukti PKWT Penggugat

    dengan Tergugat hanya berlangsung selama 2 (dua) tahun, Majelis

    Hakim berpendapat sehingga PKWT tidak dapat dinyatakan

    bertentangan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

    Undang Nomor 13 Tahun 2003;

    f. Menimbang, bahwa oleh karena dalam gugatan konpensi telah terbukti

    Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya,

    sebaliknya Tergugat berhasil membuktikan dalil bantahannya dengan

    bukti lawan (tegen bewijst), sehingga dalil-dalil gugatan penggugat

    ditolak seluruhnya dimana terbukti persetujuan bersama tanggal 20

    Februari 2013, PKWT I dan II masing-masing tertanggal 20 Februari

  • 27

    2013 dan 21 Februari 2014 serta persetujuan bersama tanggal 20 Maret

    2015 adalah sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang

    berlaku.

    3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan No. 656

    K/Pdt.Sus-PHI/2016

    Putusan Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai perjanjian bersama

    dan perjanjian kerja antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri

    menyatakan:

    a. Menolak permohonan kasasi yaitu Khadijah.

    b. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

    Dasar pertimbangan Majelis Hakim terhadap putusan tersebut, yaitu:

    a. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh

    Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah tidak

    dapat dibenarkan. Memori kasasi yang diterima tanggal 7 April 2016

    dan kontra memori kasasi tanggal 4 Mei 2016 dihubungkan dengan

    pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan

    Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah dalam

    menerapkan hukum, dengan pertimbangan:

    Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan Pasal 7 Undang-

    Undang Nomor 2 Tahun 2004 terhadap peristiwa hukumnya, karena

    terbukti antara Penggugat dengan Tergugat telah menandatangani

  • 28

    Perjanjian Bersama tanggal 20 Februari 2013 dan tanggal 20 Maret

    2015, sehingga para pihak terikat dan harus melaksanakan Perjanjian

    Bersama tersebut

    Bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan

    hukum dan/atau undang-undang

    Bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini dibawah Rp.

    150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan

    dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara

    dalam tingkat kasasi ini dibebankan Negara.

    C. Analisis

    1. Ketidaksesuaian Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat 1 dan

    Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dengan Ketentuan-

    Ketentuan Perjanjian Bersama dan Perjanjian Kerja dalam Pasal 1320

    KUHPerdata dan Undang-Undang Ketenegakerjaan

    Penulis tidak sependapat dengan apa yang telah dipertimbangkan

    Hakim Tingkat I mengenai hal disahkannya perjanjian bersama antara

    Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri, walaupun berdasarkan

    bukti telah ada perjanjian bersama antara kedua belah pihak. Namun dalam

    hal ini Majelis Hakim tidak mempertimbangkan isi perjanjian bersama

    tersebut, karena dasar hukum dari perjanjian bersama sendiri yaitu

    mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata sehingga di dalam perjanjian

    tersebut telah melanggar dan tidak sesuai Pasal 1320 KUHPerdata karena

  • 29

    tidak berkausa halal di mana hukum haruslah dibuat dengan maksud sesuai

    hukum yang berlaku. Syarat kausa halal tidak terpenuhi karena di dalam isi

    perjanjian bersama tersebut yang menyatakan perjanjian kerja waktu

    tertulis dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab, dimana

    seharusnya menurut ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

    2003 tentang Ketenagakerjaan syarat perjanjian kerja waktu tertentu harus

    dibuat tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Jika

    syarat tersebut tidak dipenuhi maka demi hukum perjanjian tersebut

    menjadi perjanjian kerja waktu tertentu. Penulis juga tidak sependapat

    karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi Dewiana

    yang menyebutkan bahwa surat perjanjian kerja waktu tertentu dan

    perjanjian bersama yang diadakan saat itu menggunakan bahasa Inggris

    dan berbeda dengan yang diperlihatkan di persidangan. Dalam hal masa

    kerja Khadijah yang dimulai sejak tahun 2006 dengan perusahaan

    mensyaratkan masa percobaan, selain itu pada saat sebelum dimulainya

    bekerja pihak perusahaan tidak membuat surat perjanjian kerja secara

    tertulis kepada Khadijah sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat tidak

    diadakan sejak pekerja masuk awal kerja, namun setelah adanya demo.

    Tetapi perusahaan mempekerjakannya dalam kurun waktu yang cukup

    lama, maka status perjanjian tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja

    untuk waktu tidak tertentu. Oleh karena itu perusahaan jelas telah

  • 30

    melanggar ketentuan yang sudah diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang

    Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jadi tidak seharusnya

    perusahaan membuat perjanjian bersama karena semestinya tidak ada

    permasalahan oleh kedua belah pihak karena perusahaan telah

    mempekerjakan Khadijah selama 7 (tujuh) tahun mengingat syarat

    perjanjian kerja yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor

    13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja waktu tertentu

    hanya dapat diadakan dalam kurun waktu paling lama 2 ( dua) tahun dan

    hanya dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama1 (satu)

    tahun, sedangkan Khadijah bekerja di perusahaan tersebut sudah melewati

    batas waktu yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,

    maka demi hukum Khadijah telah menjadi karyawan tetap. Berakhirnya

    masa kerja Khadijah pun hanya dapat diakhiri jika pekerja meninggal dunia,

    adanya putusan pengadilan dan atau penetapan lembaga penyelesaian

    perselisihan hubungan industrial, dan adanya keadaan tertentu yang

    dicantumkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau

    perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan

    kerja. Penulis juga menyayangkan pihak mediator Dinas Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang sebagai pihak mediator yang

    seharusnya memberikan solusi yang seadil-adilnya terhadap permasalahan

    yang terjadi, namun tidak cermat dalam memecahkan permasalahan dengan

    secara adil karena tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait

  • 31

    perjanjian kerja. Mengenai Pasal 1338 KUHPerdata dengan perjanjian

    bersama merupakan perjanjian yang berhubungan dilihat dari definisi

    perjanjian bersama yaitu “suatu kesepakatan secara tertulis dengan

    menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara

    pengusaha dan pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang

    bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan”. Dengan adanya perjanjian

    bersama ini maka timbulah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak,

    dalam hal ini pengusaha dan pekerja. Perjanjian bersama ini haruslah

    ditaati oleh pekerja dan pengusaha karena perjanjian berlaku sebagai

    undang-undang bagi mereka yang membuatnya, seperti yang tertera dalam

    Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

    berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sesuai

    dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, maka jelas bahwa

    perjanjian bersama merupakan undang-undang bagi para pihak yang

    membuatnya yaitu pengusaha dan pekerja. Untuk itu setiap hal yang diatur

    dalam perjanjian mengikat kedua belah pihak. Adapun kebebasan dalam

    membuat perjanjian tersebut yang dibuat oleh para pihak, penulis

    berpendapat tetap tidak dapat mengesampingkan ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku terkait poin-poin dalam perjanjian

    bersama itu sendiri. Terlebih jika isi dalam perjanjian bersama tersebut

    merugikan salah satu pihak seperti yang terjadi dalam kasus yang diangkat

  • 32

    penulis dimana hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh Khadijah tidak

    diberikan oleh perusahaan.

    Penulis juga tidak sependapat terhadap pertimbangan Majelis Hakim

    yang menyatakan bahwa surat perjanjian kerja waktu tertentu antara PT.

    Oleochem & Soap Industri dengan Khadijah. Menurut penulis status

    perjanjian kerja yang dijalankan Khadijah sebagai perjanjian kerja waktu

    tertentu tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan Khadijah sebagai

    karyawan produksi. Perjanjian kerja waktu tertentu hanyalah perjanjian

    kerja yang diadakan untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenis

    kegiatannya akan selesai dalam kurun waktu tertentu yaitu:

    a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

    b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang

    tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun;

    c. Pekerjaan yang bersifat musiman;

    d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru

    atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

    perjanjian.

    Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan

    yang bersifat tetap dan juga didasarkan atas jangka waktu tertentu dan

    dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh

    diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  • 33

    Mengacu pada Pasal 59 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi

    persyaratan tersebut demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak

    tertentu. Menurut penulis PT. Oleochem & Soap Industri adalah

    perusahaan yang memproduksi barang sabun merupakan pekerjaan yang

    bersifat tetap yang diproduksi setiap harinya karena produk yang

    diproduksi oleh perusahaan tersebut merupakan salah satu bahan pokok

    yang setiap hari orang membutuhkannya. Selain itu produk yang

    diproduksi juga tidak selesai dalam sesekali pengerjaan karena barang

    tersebut selalu diproduksi setiap harinya secara terus menerus.

    Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    Republik Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat

    Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Pekerjaan yang

    dikerjakan oleh Khadijah sebagai karyawan bagian produksi untuk

    PT.Oleochem & Soap Industri sebagai perusahaan yang memproduksi

    sabun termasuk dalam pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus

    dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus, karena apabila

    dihentikan akan mengganggu proses produksi. Dengan demikian penulis

    tidak setuju dengan pertimbangan hakim mengenai disahkannya perjanjian

    kerja waktu tertentu antara Khadijah dengan PT Oleochem & Soap Industri.

    Penulis berpendapat pertimbangan Hakim pada Tingkat Kasasi

    mengenai permohonan yang diajukan mengenai keberatan-keberatan

  • 34

    Khadijah bahwa perjanjian bersama dan perjanjian kerja waktu tertentu

    dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam hal keberatan-kebaratan

    yang diajukan mengenai Majelis Hakim salah menerapkan hukum yang

    keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan Mahkamah Agung oleh

    karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi yang diterima

    tanggal 7 april 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 4 Mei 2016 yang

    dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti. Keberatan-keberatan yang

    diajukan pemohon kasasi dikarenakan antara Penggugat (Khadijah) dan

    Tergugat (PT. Oleochem & Soap Industri) telah menandatangani Perjanjian

    Bersama tanggal 20 Februari 2013 dan tanggal 20 Mei 2015. Menurut

    penulis Perjanjian Bersama antara kedua belah pihak batal demi hukum

    karena tidak memenuhi unsur kausa yang halal di dalam isi perjanjian

    bersama tersebut yang mengesampingkan hak-hak untuk Khadijah yang

    menjadi kewajiban perusahaan memberikannya.

    Dalam hal ini Khadijah mengajukan gugatannya untuk menuntut hak-

    haknya selama masa bekerja yang tidak diberikan oleh perusahaan. Selain

    itu Penggugat juga menuntut kejelasan status pekerjaannya yang tidak ada

    kejelasan selama awal masuk bekerja hingga sebelum terjadinya

    perselisihan.

    Mengenai hal Majelis Hakim tidak membatalkan perjanjian bersama

    antara kedua belah pihak menurut penulis merupakan ketidakcermataan

    kuasa hukum Penggugat dalam mengajukan gugatan. Seharusnya

  • 35

    Penggugat dalam gugatan meminta untuk membatalkan perjanjian bersama

    tersebut agar hak-hak Penggugat dapat diberikan oleh Tergugat kepada

    Penggugat mengenai hak uang pesangon dan hak uang penghargaan masa

    kerja yang tidak diberikan selama ini. Dalam mengamati ketentuan-

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

    permasalahan yang timbul antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap

    Industri yang semestinya jika dilihat dengan benar dan baik apa yang telah

    diterapkan perusahaan dari awal penggugat masuk kerja sudah melanggar

    ketentuan-ketentuan dasar yang sudah diatur, namun tidak dijadikan

    pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara antara Khadijah

    dengan PT.Oleochem & Soap Industri. Dengan demikian, dalam hal ini

    penulis berpendapat bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa

    Permohonan Kasasi tidak cermat dan tidak berpandangan luas terhadap

    ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu dari

    penjelasan di atas penulis juga tidak sependapat atas Pertimbangan Majelis

    Hakim Tingkat Kasasi.

  • 36