bab ii kerangka teoritis 2.1. film -...
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1. Film
Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya.
Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang saling
berkesinambungan. Menurut Alex Sobur dalam bukunya semiotika komunikasi,
film merupakan salah satu media yang berpotensi untuk mempengaruhi
khalayaknya karena kemampuan dan kekuatannya menjangkau banyak segmen
sosial. Dalam hubungannya, film dan masyarakat dipahami secara linear.
Maksudnya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasar
muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul
terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari
masyarakat di mana film itu dibuat (Sobur, 2003:127).
Menurut Oey Hong Lee dalam Sobur (2006), kemajuan film mencapai
puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudian
merosot tajam setelah tahun 1945, bersamaan dengan munculnya medium
televisi. Namun seiring dengan kebangkitan film serta kesadaran akan kekuatan
dan kemampuan film yang menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat
para ahli beranggapan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi
khalayaknya. Maka sejak itu merebaklah berbagai penelitian yang hendak
melihat dampak film terhadap masyarakat(Sobur, 2006).
Unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dan tersirat dalam
film timbul dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau
mungkin bersumber dari keinginan untuk memanipulasi. Pentingnya
pemanfaatan film dalam pendidikan film sebagian didasari oleh pertimbangan
bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Singkatnya,
“terlepas dari dominasi penggunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film,
tampaknya ada semacam aneka pengaruh yang menyatu dan mendorong
kecenderungan sejarah film menuju ke penerapannya yang bersifat didaktif-
propagandis, atau dengan kata lain bersifat manipulatif” (Mc Quail, 1987:14).
Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan
bagi para pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau
fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai
show business merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar. (Mc Quail,
1987). Awalnya film masih berjenis dokumenter yang hanya menunjukkan
kehidupan sehari-hari yang umum, namun dalam perkembangannya film
didukung dengan kemajuan teknologi dan selalu menerima tuntutan dari
masyarakat sehingga film dibuat lebih bervariasi. Dengan teknik perfilman yang
sangat berkembang, baik peralatan maupun pengaturan, film telah berhasil
menampilkan gambar-gambar yang semakin mendekati kenyataan. Dalam
suasana gedung bioskop, penonton menyaksikan suatu cerita yang seolah-olah
benar-benar terjadi dihadapannya.
2.2. Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa
Pool dalam Wiryanto (2003:3) mendefinisikan komunikasi massa sebagai
“Komunikasi yang berlangsung dalam situasi interposed ketika antara sumber
dan penerima tidak terjadi kontak secara langsung, pesan-pesan komunikasi
mengalir kepada penerima melalui saluran-saluran media massa, seperti surat
kabar, majalah, radio, film atau televisi”
Dalam komunikasi, film merupakan salah satu tatanan komunikassi yang
juga termasuk dalam komunikasi massa. Menurut Effendy (1993:91) komunikasi
massa adalah komunikasi melalui media massa modern yang meliputi surat
kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang
ditunjukan untuk umum, dan film yang ditunjukan untuk gedung-gedung
bioskop. Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan saja untuk
hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Sebagai contoh dalam
ceramah-ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film
sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan (Effendy 1993:209)
Komunikasi merupakan kata yang familiar bagi kita, komunikasi sendiri
mempunyai arti secara sederhana sebagai peristiwa penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan. Film sebagai salah satu media penyampai
pesan dalam ilmu komunikasi, juga berperan sebagai alat propaganda atas
sebuah tujuan, yang pada akhirnya disadari atau tidak akan membawa pengaruh
yang kuat terhadap pola pikir suatu masyarakat. Film sebagai media komunikasi
merupakan suatu kombinasi antara usaha penyampaian pesan melalui gambar
yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur
tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pesan yang ingin disampaikan kepada
khalayak film (Susanto, 1982)
Sebagai salah satu betuk media massa, film dinilai paling berpengaruh
terhadap kejiwaan para penontonnya. Film yang baru muncul pada akhir abad
ke-19 lebih berperan sebagai penyebar hiburan. Kendatipun demikian, karena
film dipandang memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan
popularitas yang lebih, pada perkembangannya film pun dimanfaatkan sebagai
alat propaganda. Fenomena film sebagai alat propaganda, meskipun pada
sebagian kasus terjadi secara kebetulan, mampu menyebabkan terjadinya krisis
sosial di beberapa negara (Mc.Quail, 1987:13).
2.3. Fungsi Film
Fungsi film secara garis besar yaitu ada 3 yang disebut dengan trifungsi
film, yaitu fungsi mendidik, fungsi hiburan, fungsi penerangan (Effendy 1993).
Menurut Ron Moam ada 3 fungsi film yaitu fungsi artistik, fungsi industrial, dan
fungsi komunikatif. Sebagai seni(art) sebuah film mempunyai fungsi narasi
(narative structures) karena ia menghadirkan suatu rangkaian peristiwa yang
saling berkaitan secara kausal yang mengkonstruksi sebuah kisah. Yang lainnya
adalah non narasi (non narrative) yang mengorganisasikan materinya untuk
fungsi yang bersifat informasional, retoris atau murni estetika. Sebagai industri,
film adalah sesuatu yang merupakan bagian dari produksi ekonomi suatu
masyarakat dan ia mesti dipandang dalam hubungannya dengan produk-produk
lainnya.
Sebagai komunikasi, film merupakan bagian penting dari sistem yang
digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima
pesan (send and receive message). Saat ini pertimbangan ketiga fungsi itu amat
menonjol dalam proses penciptaan sebuah karya sinematografi. Ketiga fungsi itu
(artistik, industrial, dan komunikatif) ini saling berhubungan dan tertanam dalam
konteks budaya, ekonomi, dan teknologi dalam arti yang seluas-luasnya
(Ibrahim, 2007:171).
2.4. Perempuan Sebagai Tanda
Karya Griselda Pollock, “What’s Wrong with Images of Women?”
menunjuk tidak memadainya fokus terhadap “citra” dan stereotip media.
Gagasan bahwa “citra perempuan” selalu mencerminkan makna yang bersumber
dari tempat lain (yakni keinginan produsen media atau struktur sosial),
menyiratkan suatu penyejajaran dua unsur yang dapat dipisahkan atau suatu
entitas nyata, yakni perempuan, dipertentangkan dengan pandangan laki-laki
yang keliru dan terdistorsi atas perempuan. Kesalahpahaman yang umum terjadi
adalah ketika melihat berbagai citra perempuan sebagai suatu cerminan yang
baik atau buruk, dan membandingkan “citra” yang buruk mengenai perempuan
(ditampilkan dalam foto-foto majalah yang mengkilap, iklan fashion, dsb)
dengan “citra yang baik mengenai perempuan (foto-foto “realis”, tentang
perempuan yang bekerja, ibu-ibu rumah tangga, perempuan tua, dll.). Konsepsi
ini ditentang dan digantikan oleh pengertian perempuan sebagai sebuah tanda
dalam suatu wacana ideologis (Pollock, 1997:26).
Pada dasarnya, perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan
dalam budaya patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan stereotip
dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan; begitulah akhirnya
perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya dominan. Karena itu, dalam
bidang seni dan juga dalam teks film, representasi perempuan terutama bukanlah
suatu tema atau persoalan sosiologis, seperti sering dipikirkan, melainkan sebuah
tanda yang sedang dikomunikasikan (Johnston, 1975:124).
2.5. Ketidakadilan Gender
Gender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang di
pandang manusia sebagai hal-hal yang membedakan antara laki-laki dan wanita,
dari hal-hal biologis seperti jenis kelamin, sampai peran sosial dan identitas
gender. Gender adalah suatu komponen dari sistem gender/jenis kelamin yang
merujuk pada seperangkat aturan dimana masyarakat mentransformasikan
seksualitas biologis ke dalam produk aktivitas manusia, dan dimana transformasi
kebutuhan (akan produk aktivitas manusia) ini dapat dipuaskan. Hampir semua
masyarakat mempunyai sistem gender, meskipun komponen dan bekerjanya
sistem gender ini bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Pengertian Ketidakadilan Gender adalah berbagai tindak keadilan atau
diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. diskriminasi berarti setiap
pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,
yang mempunyai tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, dll oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.1
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih,1996:12).
Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam berbagai
bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan, serta sosialisasi ideologi nilai peran
1 http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-463085.html diunduh 22 Desember 2012 jam
12.33 WIB
gender. Manifestasi gender ini tidak dapat dipisah-pisah karena saling berkaitan
dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis (Fakih, 1996:12-13).
2.6. Representasi
Menurut Marcel Danesi dalam bukunya pesan, tanda, dan makna yang
mengatakan bahwa kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda
disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk ilmu-pengetahuan yang
dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua manusia disebut
Representasi. Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai
penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan,
menggambarkan, memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,
dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain,
proses menaruh X dan Y secara bersamaan itu sendiri. Menentukan makna X =
Y bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks
sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan
sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan.
Sebenarnya, salah satu dari pelbagai tujuan utama semiotika adalah untuk
mempelajari faktor-faktor tersebut. Charles pierce menyebut bentuk fisik aktual
dari representasi X, sebagai representamen (secara literal berarti “yang
merepresentasikan”); pierce mengistilahkan Y yang dirujuknya sebagai objek
representasi; dan menyebut makna atau makna-makna yang dapat diektraksi dari
representasi (X=Y) sebagai interpretan. Keseluruhan proses menentukan makna
representamen, tentu saja, disebut interpretasi.
Sebagai contoh untuk hal-hal yang ditimbulkan representasi, perhatikan
seks, sebagai sebuah objek. Seks adalah sesuatu yang hadir di dunia sebagai
fenomenon biologis dan emosional. Sekarang, sebagai objek, seks dapat
direpresentasikan (secara literal “presentasikan kembali”) dalam bentuk fisik
tertentu. Misal dalam budaya kita, representasi umum seks meliputi: (1) foto dua
orang yang sedang berciuman secara romantis; (2) puisi yang menggambarkan
pelbagai aspek emosional seks atau; (3) film erotis yang menggambarkan aspek
seks yang lebih fisik. (Danesi, 2004: 25)
Repsentasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,
fotografi,dst. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) tersebut
itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide.
(Juliastuti, 2000: 1).
Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu
kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media.
Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
sebagaimana mestinya. Kata „semestinya‟ ini mengacu pada apakah seseorang
atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan. Penggambaran yang
tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan
seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah representasi itu
ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat,
aksentuasi (Eriyanto, 2001:113).
Menurut Stuart Hall, representasi adalah proses sosial dari representing.
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk pemaknaan suatu
tanda. Representasi juga bisa merupakan proses perubahan konsep-konsep
ideologi yang abstrakdalam bentuk konkret. Representasi adalah konsep yang
digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia yaitu, dialog, tulisan, video, film, fotografi. Representasi adalah
produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997). Isi atau makna dari sebuah film
dapat dikatakan merepresentasikan suatu realita yang terjadi karena menurut
Fiske representasi itu merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan
dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi dan kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)
2.7. Representasi Perempuan dalam Media
Perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau
representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan
perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang
dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan
persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak
pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.
Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara
tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa,
baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media.
Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di
dalam pemberitaan, iklan komersial maupun program acara hiburannya seperti
sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan
perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban
kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya
kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan
tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi
karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya.
Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga
menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali
sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan
perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompe-tensinya pada
wilayah domestik saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal,
“murahan” dan bahkan pelacur, bukan perem-puan baik-baik, pemboros, dan
sebagainya 2.
Realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender dalam
representasi perempuan dalam media, baik media cetak maupun elektronik.
Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi,
stereotipe atau label negatif, beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan
gender terlihat. Mengutip Rhenald Kasali, bagi profesional pemasaran,
perempuan merupakan potensi pemasaran yang luar biasa. Sebagai target
market, perempuan telah “menciptakan” begitu banyak produk baru
dibandingkan laki-laki 3.
Hetty Siregar dalam bukunya Komunikasi, Media dan Gender mengatakan
media massa cenderung memojokkan posisi perempuan dengan memperlakukan
perempuan dengan simbol-simbol jari, tangan, dan kaki yang menggambarkan
pengabdian dan seks. Perempuan dipajang di tempat tidur di bawah kekuasaan
laki-laki. Di samping itu masih di dalam media, perempuan secara tradisional
digambarkan sebagai dekorasi atau model untuk memikat laki-laki. Segala media
menempatkan perempuan menjadi obyek, menstereotipkan perempuan sebagai
2 http://www.esaunggul.ac.id/article/jurnalisme-berperspektif-gender/ diunduh pada tanggal 29
Desember 2012 jam 17.23 WIB. Perempuan di dalam Media Massa.
3 http://erhanana.wordpress.com/2008/03/20/representasi-perempuan-dalam-media/ diunduh pada
tanggal 29 Desember 2012 jam 17.55 WIB. Representasi Perempuan Dalam Media.
bawahan laki-laki dan terbatasnya hak perempuan karena dibatasi oleh
pemenuhan hak laki-laki, seolah-olah perempuan termarginalkan. Pada
kenyataannya bahwa media massa, film, surat kabar, majalah, buku, semuanya
cenderung memperlihatkan gambaran stereotip kaum perempuan yang
merugikan perempuan. Bahwa perempuan itu pasif, didominasi, tidak dapat
mengambil keputusan dan hanya menerima keputusan dari laki-laki. Sebagai
simbol seks dan secara sadar menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas
dua.(Siregar, 2001).
2.8. Semiotika
Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika secara epistimologis menurut Roland Barthes adalah : Istilah
semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda disini
didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar konvensial sosial yang terbangun
sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara
terminologis dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas
obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dimana
aliran konotasi pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna
primer, tetapi melalui makna konotasi.
Menurut Ferdinand de Saussure, semiotika adalah ilmu yang mangkaji
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Prinsipnya, semiotika menyandarkan
diri pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat,
sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Menurut John Fiske (2004) dalam bukunya “Cultural and communication
studies” terdapat tiga bidang studi utama dalam semiotika, yakni :
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait
dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia
dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi
yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dalam kajian semiotika, terdapat dua pendekatan yang memiliki
penekanan yang berbeda. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure
mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem
tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda)
dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). (Sobur, 2006).
Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang
diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebagai suatu
hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas
tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object),
interpretan (interpretan).(Littlejohn, 1996)
Semiotika juga merupakan proses untuk menginterpretasi kode dan pesan
yang direpresentasikan oleh media agar penonton dapat memahami makna yang
tersimpan dalam sebuah teks. Teks menurut Roland Barthes memiliki arti yang
luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat
meneliti teks dimana tanda-tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem. Dengan
demikian semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film,
iklan, fashion, fiksi, puisi, dan drama.
Film merupakan salah satu bidang terapan semiotika. Film dibangun
dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerjasama baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi
film, terdiri atas aspek-aspek “realitas” seperti individu, tempat, objek, peristiwa,
identitas kultural dan konsep abstrak lainnya.
Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk speech, writing, atau
bahkan moving images yakni film.yang paling penting dalam film adalah gambar
dan suara, yakni kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang
serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Zoest, 1996).
Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis, namun musik
lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang semakin keras,
dengan cara tertentu “mirip” ancaman yang mendekati kita (ikonitas metaforis).
Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-
kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dengan musik yang
mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan
gambar-gambarnya. “suara , sama dengan gambar, merupakan unsur dalam cerita
film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan dan dianalisis
dengan cara yang juga sebanding” (Zoest, 1996, :110).
2.9. Semiotika ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda
situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes mendefinisikan mitos dengan merujuk kepada teori tingkatan
kedua sistem tanda. Mitos ditemukan pada tingkatan kedua tanda atau pada level
konotasi. Barthes membuat perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi
digambarkan sebagai makna harafiah, sedangkan konotasi adalah makna
parasitis dimana tanda historis berubah menjadi tanda atau “mitos” yang
dinaturalkan. Terdapat kemungkinan untuk membaca tingkatan penandaan, baik
yang muncul dipermukaan maupun yang ada dibalik tanda.
Nilai semiotika dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan suatu mitos
„ditukarkan‟ dengan suatu ide (ideologi) dan „dibandingkan‟ dengan mitos-mitos
lain. Suatu mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa
membandingkannya dengan berbagai mitos (serupa atau berlawanan) yang ada
dalam masyarakat. Dia mempunyai nilai karena dia dapat ditukarkan dengan
ideologi tertentu.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah
petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos
adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau
memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos
merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Dengan mitos kita dapat
menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang
terdapat di dalam mitos itu sendiri (Sobur, 2006).
Mitos dari Roland Barthes mempunyai makna berbeda dengan mitos
dalam arti umum ( mitos takhayul ). Mios dari Roland Barthes memaparkan
fakta. Bagi Roland Barthes mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep
parole yang di perluas oleh Roland Barthes dapat berbentuk Verbal ( lisan atau
tulisan ) atau Non Verbal: n‟importe quelle matiere peut etre dotee arbitrairement
de signification ( materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer ). Mitos
merupakan perkembangan dari konotasi, konotasi yang menetap pada suatu
komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan
mayoritas yang member konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga
lama kelamaan menjadi mitos (makna yang membudaya). Roland Barthes
membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (demontage semiologique).
Tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi dalam kosep
Roland Barthes tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun
juga menggandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi
keberadaannya. Pada dasarnya ada perbedaan antara konotasi dan denotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di pahami oleh Roland
Barthes. Di dalam semiologi roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sigifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat
kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.
Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini,
Roland Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada
hanyalah konotasi. Roland Barthes lebih lanjut mengatakan bahwa makna
“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Bagan 2.1. Order of signification Roland Barthes
(Sumber: McQuaill,2000)
Dalam Film Sang Penari ini, alasan penulis untuk lebih memilih
menggunakan teori semitotika Roland Barthes daripada teori semiotik-semiotik
yang lain karena pada teori semiotika Roland Barthes ini, terhadap dengan
pemaknaan dua tahap denotasi konotasi yang digunakan oleh Roland Barthes
dalam teori semiotiknya, Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan
budaya Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan
yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Selain itu Roland Barthes
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan
konotasi
denotasi
signifier
signified
mitos
“order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus)
dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Di sinilah titik perbedaan Semiotik Roland Barthes dengan ahli-ahli semiotik
yang lain. Selain itu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu
“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak
pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-
signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka
makna denotasi tersebut akan menjadi mitos, dalam tataran mitos dapat diungkap
sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen
mitosnya. Selain itu di dalam semiotik Roland Barthes, makna konotasi identik
dengan operasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berpungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang
berlaku dalam suatu periode tertentu.
2.10. Film Dimaknai Secara Konotasi dan Denotasi
Pada tataran permukaan, yang nampak pada film hanyalah penggalan
penggalan gambar yang diambil dari objek yang direkam untuk kemudian
dipertontonkan kepada orang lain. Namun, tak sekedar itu, kini dikembangkan
adanya rekayasa film untuk merekam kenyataan menjadi suatu kesatuan yang
menggambarkan realitasnya tersendiri. Banyaknya gambar yang terekam
dengan cepat dirasakan menemukan maknanya sendiri sehingga tak heran
kemudian film bisa dipilah-pilah sesuai dengan runtutan gambar yang nampak
di mata penonton. Secara denotasi, film dipahami sebagaimana adanya, dan
penikmat film tidak perlu berusaha banyak untuk lebih mengenali dan
memahami secara mendalam. Inilah yang menjadi kekuatan sebuah film sebab
lebih bisa memberikan sesuatu yang mirip dengan kenyataan serta
mengkomunikasikan sesuatu dengan teliti yang jarang dilakukan oleh bahasa
tulisan maupun lisan.
Sistem bahasa mungkin lebih berkemampuan untuk mengemukakan dunia
ide secara imaginatif, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk
menyampaikan informasi terperinci tentang realita-realita fisik. Secara konotasi,
film laksana meteor yang membutuhkan interpretasi lebih dalam untuk
mendapatkan gambaran akan makna. Lebih lanjut, film menghadirkan kode-
kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya
bermuatan makna-makna tersembunyi. Kekuatan makna bukan terletak pada
apa yang dilihat tapi justru apa yang tidak dilihat, sehingga aspek konotasi
dalam film menjadi aspek esensial.
Kehadiran sebuah imaji dalam film tidak sekedar karena bacaan visual
dalam pola optikal menurut alur tertentu, namun pengalaman mental yang
merupakan stock of knowledge yang menyediakan kerangka referensi dan
rujukan bagi individu dalam kesatuan tindakannya. Makna tersembunyi ini
adalah makna yang menurut Barthes merupakan kawasan ideologi atau
mitologi. Berbicara tentang ideologi sebagai sebuah fenomena bahasa, ideologi
bisa muncul sebagai suatu yang tidak disadari namun menggiring manusia pada
satu titik baik sepakat ataupun tidak sepakat. Althusser dalam Rakhmani
(2006:31) mengatakan bahwa ideologi berfungsi untuk mereproduksi
hubungan-hubungan produksi, hubungan di antara kelas-kelas dan hubungan
manusia dengan dunianya, sebab ideologi merupakan praktek yang didalamnya
individu-individu dibentuk dengan pembentukan ini sekaligus menentukan
orientasi sosial agar dapat bertindak dalam struktur ini melalui berbagai cara
yang selaras dengan ideologi.
Dan menurut James Monaco, kritikus film dan ahli komunikasi massa AS,
dalam bukunya How to Read a Film menyatakan, latar belakang sosial budaya
justru mempengaruhi bagaimana seseorang menganalisis sebuah film
Bagan 2.2
Sumber : James Monaco, How To Read a Film (terjemahan).
IMAJI
POLA OPTIKAL PENGALAMAN MENTAL
ISYARAT
PEMBACAAN PENANDA PETANDA PENGALAMAN
KEBUDAYAAN
DENOTASI KONOTASI
Pertama, berbicara tentang konotasi, sebuah konotasi senantiasa berkaitan dengan
pengalaman seorang individu yang tentunya sangat diwarnai oleh lokus kebudayaan
tersebut, sebab kebudayaan menyediakan preferensi nilai. Sebuah konotasi berkaitan
dengan sesuatu yang sifatnya subjektif. Dalam skala yang lebih luas, sebuah film bisa
mengundang segudang interpretasi subjektif yang bertarung dalam sebuah ruang
diskursif tertentu. Makna yang digiring oleh pekerja film tidak mengarah pada satu
titik kontroversi namun dihasilkan lewat proses natural.
Interpretasi melahirkan penghakiman yang naïf dan tidak memiliki
landasan kuat sehingga publik seakan digiring memasuki ruang abu-abu yang
sarat dengan pertarungan interpretasi dan ini rentan pada kemunculan wacana
dominan yang memberi tafsir tunggal pada realitas. Kedua, karena sifatnya
konotatif, bisa jadi para pekerja film tidak memiliki bacaan yang memadai pada
realitas sosial dan ketika itu ditunjang oleh ketiadaan visi yang jelas, maka
realitas yang hadir adalah simulasi atau realitas filmik yang tidak memiliki asal-
usul. Sebuah simulasi menampakkan bentuknya pada gagasan liar dan lepas
kendali dari realitas acuannya.
Simulasi akan menggiring manusia pada kondisi skizofrenia yang
mengaburkan realitas. Walhasil, film menjadi medium yang sangat ampuh
untuk menyuntikkan berbagai gaya hidup, perilaku serta orientasi sikap kepada
penontonnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Ketiga, semua
kemungkinan ini akan termentahkan ketika pekerja film memiliki sebuah
gagasan itu, lalu memaksa mereka untuk berkreasi dan menyalurkan dalam
bentuk yang kaya misalnya bahasa gambar yang kaya serta teks dan wicara
yang setara bahasa puitik.
2.11. Pengambilan Gambar pada Film
Dalam kegiatan produksi video/ film, terdapat banyak jenis kamera yang
digunakan. Pembagian jenis kamera video/ film dibedakan atas media yang
digunakan untuk menyimpan data (gambar & suara) yang telah diambil. Seperti
halnya pada fotografi, gambar yang telah diambil disimpan pada gulungan film.
Adapun jenis film yang digunakan adalah film positif (slide), dimana untuk
melihat isinya harus dicuci terlebih dulu di laboratorium film dan diproyeksikan
dengan menggunakan proyektor khusus. Selain itu juga banyak terdapat
fasilitas–fasilitas tambahan yang berbeda antara kamera satu dengan kamera
lainnya. Fasilitas itu antara lain lampu infra merah untuk pengambilan gambar
pada tempat yang gelap, edit teks langsung dari kamera, efek-efek video lain,
slow motion dan masih banyak lagi.
Pengambilan gambar terhadap suatu objek dapat dilakukan dengan lima cara:
Tabel 2.1 Pengambilan gambar pada objeknya
Bird Eye View
Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan
ketinggian kamera berada di atas ketinggian objek.
Hasilnya akan terlihat lingkungan yang luas dan benda-
benda lain tampak kecil dan berserakan.
High Angle
Sudut pengambilan dari atas objek sehingga
mengesankan objek jadi terlihat kecil. Teknik ini
memiliki kesan dramatis yaitu nilai “kerdil”.
Low Angle
Sudut pengambilan dari arah bawah objek sehingga
mengesankan objek jadi terlihat besar. Teknik ini
memiliki kesan dramatis yaitu nilai agung/ prominance,
berwibawa, kuat, dominan.
Eye Level
Sudut pengambilan gambar sejajar dengan objek.
Hasilnya memperlihatkan tangkapan pandangan mata
seseorang. Teknik ini tidak memiliki kesan dramatis
melainkan kesan wajar.
Frog Eye
Sudut pengambilan gambar dengan ketinggian kamera
sejajar dengan alas/dasar kedudukan objek atau lebih
rendah. Hasilnya akan tampak seolah-olah mata
penonton mewakili mata katak.
Ukuran gambar secara bahsa visual biasanya dikaitkan dengan tujuan
pengambilan gambar, tingkat emosi, situasi dan kodisi objek. Terdapat
bermacam-macam istilah antara lain:
- Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat
detail seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.
- Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga
dagu.
- Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari
objek yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang
bersepatu baru
- Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang
dan diambil dari dada keatas.
- Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang
maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang
keatas).
- Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.
- Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala
sampai kaki.
- Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari
jarak jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.
- Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar,
sehingga jika misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat.
Bila objeknya satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut.
- Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang
ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian
dapat diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.
- One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.
- Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.
- Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.
- Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.
Gerakan kamera akan menghasilkan gambar yang berbeda. Oleh karenanya
maka dibedakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:
- Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek
dengan menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.
- Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.
- Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera
mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.
- Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly In
jika bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.
- Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.
- Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.
- Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar muncul
dan fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2
saling menggantikan secara bersamaan.
- Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki
bingkai dan frame out jika keluar bingkai.
2.12. Kerangka Pikir
Komunikasi, dalam sekian banyak bentuknya, memiliki peran dan
fungsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki
potensi untuk berkomunikasi satu sama. Salah satu konteks komunikasi ini
antara lain adalah komunikasi massa. Definisi paling sederhana dari
komunikasi massa diungkapkan oleh Bittner (dalam Rahmat, 2005: 186)
”Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa
pada sejumlah besar orang.
Dalam berkomunikasi, film merupakan salah satu tatanan komunikassi
yang juga termasuk dalam komunikasi massa. Menurut Effendy (1993:91)
komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa modern yang
meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan
televisi yang ditunjukan untuk umum, dan film yang ditunjukan untuk gedung-
gedung bioskop.
Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan saja untuk
hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-
ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat
pembantu untuk memberikan penjelasan (Effendy 1993:209).
Salah satu film yang memberikan ruang bagi kaum perempuan adalah film
Sang Penari. Dimana perempuan selalu menjadi objek dalam segala pekerjaan,
seperti saat menari tari ronggeng di kampung dukuh paruk, namun perempuan
juga dijadikan sebagai objek kekerasan bahkan perempuan di jadikan juga
sebagai pemuas nafsu para lelaki yang mempunyai banyak harta, dengan di
buktikan saat melakukan ritual untuk menjadi penari ronggeng sesuai dengan
adat yang berlaku di desa tersebut.
Inti dari semiotika Roland Barthes adalah mencari sesuatu yang
tersembuyi di dalam teks yang disajikan. Dari teks yang ada di dalam film
“Sang Penari” terlihat mulai dari judul film, bahwa film tersebut bercerita
mengenai penari atau yang berhubungan dengan dunia seni. Akan tetapi di
balik film tersebut tersimpan makna yang lebih dalam, yaitu mengenai
gambaran perempuan yang tidak hanya dilihat dari sisi jenis kelamin (yaitu
perempuan) tapi gambaran yang secara tersembunyi disajikan seperti gambaran
mengenai perempuan sebagai pekerja seni, gambaran perempuan yang
dijadikan sebagai pelacur, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan gambaran
perempuan sebagai pihak yang tertindas.
Dari beberapa alasan diatas maka peneliti merasa bahwa teori analisis
semiotika Roland Barthes dianggap sebagai teori yang paling pas untuk
mencari gambaran yang tersembunyi di dalan film tersebut. Peneliti berharap
dapat menggambarkan peran-peran apa saja yang dilakukan oleh perempuan
sehingga kesalahpahaman yang umum terjadi adalah melihat berbagai citra
mengenai perempuan yang digambarkan dalam film sang penari.
Setelah mengetahui bagaimana peran perempuan yang digambarkan dalam
film sang penari, kemudian peneliti akan menganalisa “Representasi perempuan
yang digambarkan dalam film sang penari. ” berdasarkan peran perempuan
yang dari berbagai aspek atau sudut pandang.