bab ii keadaan ekonomi surakarta akhir abad xix filekeadaan ekonomi surakarta akhir abad xix periode...

25
13 BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai sektor di Surakarta dengan beragam penyebab.Pada tahun 1870-an, merupakan tonggak penting dalam sejarah ekonomi investasi Hindia Belanda terutama Surakarta.Masa itu, secara serentak lahan (tanah) dibuka, arus modal mulai muncul.Harapan para kaum liberal dengan dibukanya lahan penggarapan mempunyai tujuan demi pembebasan kehidupan ekonomi.Dengan dibukanya lahan, arus modal semakin lancar diikuti dengan hasil perkebunan yang mengalami peningkatan.Namun, hasil perkebunan yang maksimal tidak tersalurkan secara baik.Penyebabnya, jalinan transportasi dari tempat penghasil ke pelabuhan belum memadai. Maka dari itu dibangunlah jalur kereta api Semarang- Vorstenlanden. Bagi ekonomi kota, pembangunan trem turut meramaikan mobilitas ekonomi perkotaan. Keberadaan kereta api dan trem tengah kota mereduksi peran sungai sebagai jalur transportasi dagang kala itu. Kegiatan perekonomian yang semestinya di bandar (pinggir sungai beralih ke jantung kota, yakni pasar. Warna ekonomi lain lahir akibat kemunculan cantingsebagai alat produksi batik yangmenghidupkan geliat ekonomi yang berbasis kerajinan dan kesenian masyarakat kota Surakarta. Ekonomi kota Surakarta semakin kompleks disebabkan oleh komposisi penduduk dan fasilitas kota. Dalam bab ini, akan

Upload: lynhi

Post on 10-Jun-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

13

BAB II

KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX

Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan

mendasar di berbagai sektor di Surakarta dengan beragam penyebab.Pada tahun

1870-an, merupakan tonggak penting dalam sejarah ekonomi investasi Hindia

Belanda terutama Surakarta.Masa itu, secara serentak lahan (tanah) dibuka, arus

modal mulai muncul.Harapan para kaum liberal dengan dibukanya lahan

penggarapan mempunyai tujuan demi pembebasan kehidupan ekonomi.Dengan

dibukanya lahan, arus modal semakin lancar diikuti dengan hasil perkebunan yang

mengalami peningkatan.Namun, hasil perkebunan yang maksimal tidak

tersalurkan secara baik.Penyebabnya, jalinan transportasi dari tempat penghasil ke

pelabuhan belum memadai. Maka dari itu dibangunlah jalur kereta api Semarang-

Vorstenlanden. Bagi ekonomi kota, pembangunan trem turut meramaikan

mobilitas ekonomi perkotaan.

Keberadaan kereta api dan trem tengah kota mereduksi peran sungai

sebagai jalur transportasi dagang kala itu. Kegiatan perekonomian yang

semestinya di bandar (pinggir sungai beralih ke jantung kota, yakni pasar. Warna

ekonomi lain lahir akibat kemunculan cantingsebagai alat produksi batik

yangmenghidupkan geliat ekonomi yang berbasis kerajinan dan kesenian

masyarakat kota Surakarta. Ekonomi kota Surakarta semakin kompleks

disebabkan oleh komposisi penduduk dan fasilitas kota. Dalam bab ini, akan

Page 2: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

14

diuraikan fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan ekonomi kota Surakarta akhir

abad XIX.

A. Agrarische Wet dan Modal Swasta

Tanah merupakan objek sentral dalam pertumbuhan dan perkembangan

modal usaha di wilayah kolonial.Selain sebagai sumber kehidupan bagi hampir

seluruh penduduk dengan perkecualian minoritas kecil yang menggantungkan

sumber penghasilannya dari air atau laut, tanah juga menjadi simbol kelimpahan

materi dan posisi dominan baik bagi individu maupun kelompok dalam struktur

sosial.Oleh karena itu, penguasaan tanah menjadi suatu langkah yang penting dan

strategis bukan hanya untuk menjamin sumber penghasilan tetapi juga secara

politis untuk menguasai individu yang bermukim di atasnya atau tergantung pada

tanah itu.1

Baik pemerintah kolonial maupun pemodal swasta sangat memahami arti

penting tanah.Dengan kewenangan mengeluarkan peraturan menyangkut tanah,

setidaknya di wilayah kekuasaannya secara langsung, pemerintah Hindia Belanda

juga memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan usaha dan corak eksploitasi

demi kepentingan ekonomi yang berlaku di tanah koloni. Sampai tahun 1870,

kebijakan pemerintah kolonial tetap bertumpu pada satu paradigma: bagaimana

mengeksploitasi tanah koloni demi kepentingan dan keuntungan negara induk.

1Tanah memiliki nilai strategis karena dengan menguasainya, penguasatanah bukan hanya menguasai sumber daya yang dikandung di dalamnya namunjuga berpotensi untuk mengubah struktur sosial yang ada dan bertumpu padatanah itu.Lihat Paolo De Castro, The Politics of Land and Food Scarcity, (Oxon:Routledge, 2013), hlm. 2. Lihat Tim Penulis Kementerian Badan Usaha MilikNegara Republik Indonesia, Sejarah Nasionalisasi Aset-aset BUMN, (Jakarta:Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 2014), hlm. 29-30.

Page 3: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

15

Meskipun terdapat perubahan dan pergantian kebijakan sehubungan dengan

eksploitasi ekonomi dan peningkatan produktivitas tanah koloni, prinsip tetap

tidak berubah, yaitu bahwa Negara merupakan pihak yang paling bertanggung

jawab untuk mendapatkan keuntungan sekaligus membawa masyarakat koloni

pada tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.2

Gagasan untuk memberi ruang ekonomi (tanah) terhadap masyarakat

koloni di Hindia Belanda didukung penuh oleh kalangan liberal. Tujuan utama

gerakan kaum liberal di bidang agrarian adalah :

1). Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh

pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom), untuk memungkinkan

penjualan dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawah hak komunal

ataupun kekuasaan adat, tidak dapat dijual atau disewakan keluar,

2). Agar azas domein itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada

pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan

murah (yaitu: erfpacht).3

Demi meraih tujuan tersebut, maka pada tahun 1865 Menteri Jajahan

(Koloni) Frans van de Putte, seorang penganut paham liberal, mengajukan

Rencana Undang-Undang (RUU). Isi RUU diantaranya adalah bahwa Gubernur

2 Dalam hal ini tanah koloni bukan hanya wajib untuk mengirimkansebagian produknya sebagai upeti kepada negara induk, khususnya dari sektorproduksi agrarisnya tetapi juga koloni juga harus menanggung utang dan bungadari negara induk kepada pihak lain. Meskipun bunga tidak dibebankan langsungmelainkan dikurangkan pada jumlah setoran kepada Belanda, semua itu dianggapsebagai beban dan tanggungjawab koloni.Tim Penulis Kementerian Badan UsahaMilik Negara, Ibid.,hlm.31.

3 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir,(Yogyakarta: Insist Press, 2000), hlm. 125-126.

Page 4: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

16

Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 99 tahun; hak milik pribumi

diakui sebagai hak milik mutlak (eigendom); dan tanah komunal dijadikan hak

milik perseorangan eigendom. Dalam kenyataannya, RUU yang diajukan oleh

Menteri van de Putte ditolak oleh rekan sesama penganut liberal, Thorbecke.

Menteri van de Putte akhirnya jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa

memberikan eigendom kepada pribumi.Sedangkan hal-hal yang mengenai sistem

agraria di Indonesia belum diketahui secara menyeluruh.Dengan latar belakang

tersebut, pada tahun 1866-1867 pemerintah koloni mengadakan suatu proyek

penelitian tentang hak penduduk Jawa atas tanah.Penelitian ini dilakukan di 808

desa di Jawa dan menghasilkan laporan dalam tiga jilid berbeda. Tahun 1876;

1880, dan 1896, berjudul :Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van

den Inlander op de Grond (biasa disingkat : Eindresume).

Pada kenyataannyapemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil dari

penelitian yang telah dilakukan.Menteri Jajahan (Koloni) yang baru, Menteri de

Waal, mengajukan RUU yang akhirnya diterima oleh Parlemen.4Nama RUU ini

dengan tegas disebutkan sebagai ontwerp Agrarische Wet (RUU Agraria).5Dalam

konsep RUU ini ada dua pokok agenda, yakni kepemilikan tanah oleh penduduk

dan pelepasan tanah sebagai bentuk persewaan (erfpacht). Setelah melalui proses

pertimbangan yang panjang, UU ini kemudian disahkan oleh parlemen pada

tanggal 9 April 1870 yang dikenal dengan Agrarische Wet.6

4Ibid.,hlm. 35.

5 Tim Penulis BUMN, op.cit.,hlm. 35.

6 Pada dasarnya Agrarische Wet ini sendiri hanya terdiri atas beberapapasal karena difungsikan sebagai pelengkap dari Regeerings Reglement (RR)

Page 5: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

17

Ketentuan-ketentuan di dalamnya, pelaksanaannya diatur dalam berbagai

peraturan dan keputusan.Salah satu keputusan penting yaitu yang dikenal dengan

Agrarisch Besluiten yang diundangkan dalam Staatsblad No.118, 1870. Pasal 1

dariAgrarisch Besluit inilah yang penting karena mengandung pernyataan yang

cukup dikenal dengan Domein Verklaring, yang menyatakan bahwa:“…semua

tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak (eigendom),

adalah domein negara.”7

Dengan demikian, tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting

dalam sejarah agraria.Semenjak berlakunyaAgrarische Wet serentak lahan dibuka

dan modal swasta mulai masuk ke Hindia Belanda.Harapan kaum liberal adalah

pembebasan kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintahan serta

penghapusan segala unsur paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong

perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Harapan ini tercapai, khususnya dalam

hal perkembangan industri-industri ekspor yang berjalan dengan pesat.Di bawah

UU Agraria 1870, para pengusaha Belanda lainnya dapat menyewa tanah dari

penduduk Jawa atau dari pemerintah Hindia Belanda untuk perkebunan-

perkebunan besar.Sektor yang mengalami perkembangan pesat adalah gula, yang

yang telah diundangkan pada tahun 1854. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayatditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akanmemberikan hak erfpacht selama tahun 75 tahun (jadi bukan lagi 99 tahun sepertiRUU van de Putte yang telah ditolak sebelumnya). Pasal 62 RR dengan delapanayat ini kemudian menjadi atau dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsregeling(IS).Agrarische Wet juga diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No.55, 1870. Lihat Gunawan Wiradi, op.cit.,hlm. 128, juga dalam Tim PenulisBUMN, ibid.,hlm. 35.

7Domein negara artinya milik mutlak dari Negara. Gunawan Wiradi,ibid.,hlm. 128

Page 6: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

18

termasuk barang dagangan ekspor yang penting dari Hindia Belanda pada waktu

itu.Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, perkebunan-

perkebunan gula dan perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan

perlengkapan lainnya, hal yang telah meningkatkan produktivitas perkebunan-

perkebunan ini.Misalnya dalam hal perkebunan-perkebunan gula, perluasan dan

kemajuan-kemajuan teknis yang diintroduksi dalam industri ini mengakibatkan

kenaikan produksi yang pesat, seperti ternyata dari angka-angka berikut. Dalam

tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah 54.176 bahu,

sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat sampai 128.301 bahu. Di lain

pihak, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari 2.440.000 pikul dalam

tahun 1870 hingga 12.050.544 pikul dalam tahun 1900.8

Modal swasta yang masuk Vorstenlanden mulai terjadi pada dekade 1850

dan 1860-an. Masuknya modal ini bersamaan dengan tekanan dari pihak swasta

kepada pemerintah kolonial untuk membuka wilayahnya.Akhirnya, pemerintah

kolonial mengizinkan pihak Eropa untuk menanamkan modalnyadi Vorstenlanden

meski orang Cina dilarang untuk menyewa tanah disana.Perubahan terjadi secara

cepat di Vorstenlanden.Solo pada periode tahun 1855, pemilik perkebunan Eropa

menyewa tanah 33.000 lahan. Jumlah tanah yang disewa tahun 1860 meningkat

menjadi 160.000 bau, dan kemudian mencapai 200.000 bau tahun 1864. Namun,

8 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 2008), hlm. 376-377.

Page 7: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

19

perkembangan penyewaan tanah di wilayah Vorstenlanden mengalami perbedaan

dengan Yogyakarta.Penyewaan tanah di Yogyakarta lebih lambat daripada Solo.9

Tabel 1Tanah yang Disewakan kepada Perkebunan Eropa

di Yogyakarta dan Surakarta, 1862-1920 (dalam bau)

Sumber :Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 1410

Selain berbedanya jumlah lahan yang disewa, diversifikasi tanaman yang

ditanam di wilayah-wilayah tersebut juga terjadi. Sebagai contoh, pada tahun

1870 terdapat 137 perkebunan beroperasi di Solo, 73 diantaranya menanam kopi

9Lihat dalam Grup Riset Kebanksentralan, Sejarah dan Heritage KantorPerwakilan Bank Indonesia Solo, (Jakarta: Pusat Riset dan Edukasi Bank SentralBank Indonesia, 2014), hlm. 23.

10 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 14

Tahun Surakarta Yogyakarta

1862 - 46.000

1864 200.000 -

1875 248.000 78.000

1880 301.000 88.000

1890 259.000 93.000

1905 273.000 93.000

1900 246.000 89.000

1905 245.000 85.000

1910 235.000 95.000

1915 214.000 97.000

1920 183.000 102.000

Page 8: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

20

atau kombinasi dengan beberapa tanaman lain, 31 diantaranya menanam tebu, 30

indigo dan 19 tembakau. Pada tahun yang sama, hanya ada 58 perkebunan di

Yogyakarta, dengan 46 diantaranya menanam indigo, 8 tebu dan 6 tembakau.11

Perkebunan milik Eropa di Vorstenlanden mengalami kemunduran pada

pertengahan dekade 1880-an. Keadaan ini menjadikan titik balik perkembangan

perkebunan Eropa.Pada tahun sebelum depresi, perkebunan yang dimiliki dan

dikelola oleh pengusaha swasta Eropa secara pribadi yang bertanggung jawab

hanya pada dirinya.Mereka menyewa tanah dan menjalankan perkebunan dengan

modal yang mereka pinjam dari lembaga keuangan. Bank perkebunan (Culture

Bank) yang paling aktif di Vorstenlanden saat itu adalah Dorrepaal Co., yang pada

1884 membiayai 21 perkebunan tebu, 38 perkebunan kopi, dan 53 perkebunan

lainnya di wilayah vorstenlanden.12Pasca krisis gula tahun 1884, perusahaan-

perusahaan di Hindia Belanda kembali menata perekonomiannya.Praja

Mangkunegaran yang memiliki perkebunan gula pun terkena imbas dari krisis

tersebut.Tahun 1883 Mangkunegaran memiliki capital sebesar 25 juta gulden, tapi

sekitar 1887 semuanya telah hilang.Hal ini menyebabkan kas istana terpaksa

didukung oleh pemerintah Hindia Belanda sebesar f 100.000.13

11Kolonial Verslag, 1871, lihat juga Takashi Shiraishi, ibid., hlm. 12.Lihat dalam Grup Riset Kebanksentralan, op.cit.,hlm. 24.

12 Takashi Shiraishi, ibid.,hlm. 13. Lihat dalam J.S. Furnivall, NetherlandsIndia: A Study of Plural Economy, (Cambridge: Cambridge University Press,1944), hlm. 197-198. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, J.S. Furnivall, HindiaBelanda Study tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009).

13Dalam penelitian Wasino menguraikan, sebagai akibat defisit ekonomi,terjadi campur tangan Pemerintah Hindia Belanda di Praja Mangkunegaran yangsaat itu bertakhta Mangkunegara V. Otonomi pengelolaan uang tereduksi sejakResiden Surakarta ikut campur dengan bantuan Superintendent.Larsson

Page 9: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

21

B. Pembangunan Jalur Kereta Api

Hasil perkebunan yang melimpah di pedalaman Pulau Jawa tidak mampu

diangkut secara maksimal.Keadaan jalan raya yang kurang memadai dan kondisi

lahan antara Semarang-Solo (Vorstenlanden) yang berbukit menjadikan distribusi

semakin sulit.Pengangkutan komoditas ekspor dari Vorstenlanden ke pelabuhan

Semarang diperlukan satu-dua minggu lamanya.Jangka waktu yang demikian

berakibat pada komoditi yang diangkut mengalami kerusakan. Kondisi yang

kurang menguntungkan ini menghambat perkembangan perdagangan dan industri,

maka dari itu sangat dibutuhkan revolusi komunikasi dan transportasi yakni

pembangunan jalur kereta api.14

Desakan pembangunan transportasi muncul dari kaum pemodal swasta

sebagai motor perdagangan. Mereka menuntut pemerintah kolonial untuk segera

merealisasi pembangunan jalur kereta api guna mengatasi masalah transportasi,

terutama pengangkutan produk tropis dari perkebunan menuju pelabuhan.15

menyatakan bahwa hutang dari Mangkunegaran bahkan mencapai setengah jutagulden. Namun, pada Januari 1916 keuangan Mangkunegaran telah baik danmemiliki modal sebesar 9,5 juta gulden. Wasino, Modernisasi di Jantung BudayaJawa : Mangkunegaran 1896-1944, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2014), hlm. 56.LihatGeorge Larsson,Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan Kehidupan Politikdi Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: UGM Press, 1990), hlm. 93. Susanto, “JatiDiri Kota Solo: Problematika Sebuah Kota di Jawa”, dalam Sri Margana danM.Nursam (editor), Kota-kota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup dan PermasalahanSosial, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 41; Grup Riset Kebanksentralan, op.cit.,hlm. 44.

14 Waskito Widi Wardojo, Spoor Masa Kolonial : Dinamika SosialEkonomi Masyarakat Vorstenlanden 1864-1930, (Solo: Bukutujju, 2013), hlm.11.

15 Waskito Widi Wardojo, ibid. Lihat pula Vincent J.H. Houben, Kratondan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, (Yogyakarta: PenerbitBentang, 2002), hlm. 568.

Page 10: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

22

Pada tahun 1860 muncul adanya pemikiran pembuatan jalur kereta api di

Jawa dengan melewati daerah Vorstenlanden.16Tepatnya, tanggal 10 Agustus

1867, N.V.Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscahppij (NISM), yang

merupakan perusahaan kereta api swasta Belanda yang memang bergerak khusus

di bidang perkeretaapian dan dipimpin oleh Ir.J.P de Bordes, meresmikan jalur

kereta api Tanggung-Semarang. Jalur tersebut adalah jalur kereta api pertama

yang berdiri di Nusantara, dalam hal ini khususnya Pulau Jawa. Empat tahun

berselang, NISM mengoperasikan jalur kereta api jurusan Semarang-Solo,

melewati Tanggung, Kedungjati dan Grobogan. Jalur ini berjarak 90

kilometer.17Pembangunan kereta api Semarang-Vorstenlanden sekaligus dapat

membuka hubungan antar daerah hingga daerah pedalaman yang sebelum dibuka

jalur kereta api masih terhalang oleh keadaan alam. 18

Jalur kereta api Semarang-Solo (Vorstenlanden) terbagi dalam tiga bagian

utama. Pertama, jalur Semarang-Surakarta yang sebagian besar melewati wilayah

tandus seperti Kedungjati, Gundih, Lawang, dan Kalioso. Wilayah ini memiliki

potensi kayu jati yang mampu dimanfaatkan untuk bantalan rel kereta api.Kedua,

jalur Solo-Yogyakarta adalah daerah subur tempat berdirinya perusahaan

perkebunan, sebagai contoh Colomadu, Bangak, Wedi, Delanggu, Ceper, Klaten

dan Prambanan.Ketiga, jalur antara Kedungjati-Ambarawa, yang merupakan

16 Suhartono, Apanage dan Bekel,Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta1830-1920,(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1991),hlm. 16-18.

17 Grup Riset Kebanksentralan, op.cit., hlm. 38.

18Auditya Martin,”Transportasi Kereta Api dalam Pembangunan KotaSolo Tahun 1900-1940”.Skripsi. (Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastradan Seni Rupa, UNS, 2010). hlm. 59-60

Page 11: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

23

bagian dari rencana kolonial dalam aspek pertahanan.Ambarawa yang dikenal

sebagai Willem I adalah lokasi benteng kolonial berfungsi basis

pertahanan.Ketiga jalur tersebut tersambung dengan jalur lainnya, seperti Solo-

Surabaya, Boyolali-Solo-Wonogiri, Yogyakarta-Magelang, maupun Yogyakarta-

Cirebon-Batavia dan Yogyakarta Cilacap.19

Pada tanggal 21 Mei 1873, keseluruhan jalur sepanjang 203 kilometer

antara Semarang-Vorstenlanden dibuka bagi lalu lintas dan keperluan umum. Ini

merupakan awal jalur kereta api ke Vorstenlanden di Jawa Tengah dengan

persinggahan di kota Solo dan Yogyakarta.20Dengan demikian mobilisasi

dipastikan mampu berjalan efektif dan optimal. Pada tahun 1875, jalur kereta api

tersebut mengangkut 899.000 penumpang dan 124.000 ton barang dagangan dan

meraih pendapatan sebesar 2 juta gulden. Lima tahun kemudian, tahun 1880, jalur

kereta api tersebut mampu menangkut 950.000 penumpang dan 334.000 ton

barang dagangan dan menghasilkan 2,6 juta gulden. Fakta tersebut membuktikan

bahwa dalam jangka waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang diangkut

dengan menggunakan kereta api melonjak naik sebesar 270 persen.21

Hubungan perdagangan Solo (Vorstenlanden) dengan daerah lain semakin

intensif. Keadaan ini didukung dengan pembuatan jalur kereta api di sisi timur

yang secara langsung dikelola oleh Staatspoorwegen (SS) sebagai perusahaan

negara pada tahun 1884.Jalur ini memudahkan transportasi antara Solo dengan

Surabaya. Pada 1895, jalur sebelah barat dan timur yang dikelola SS dan jalur

19 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 15-16.

20Ibid.,hlm. 62.

21 Takashi Shiraishi, op.cit.,hlm. 11.

Page 12: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

24

Semarang-Vorstenlanden yang dikelola NIS mengangkut sejumlah 5.759.000

penumpang dan memperoleh pemasukan sebesar 3.054.000 gulden dari

pembayaran penumpang dan 6.588.000 gulden dari pengangkutan barang-barang

dagangan.22

Intensitas mobilisasi perdagangan dan transportasi tidak hanya terjadi

antara Solo dengan daerah sekitar. Namun, keberadaan kereta api juga

berpengaruh terhadap mobilisasi di jantung kota.Setelah pembukaan kereta api

Semarang-Solo (Vorstenlanden), kota Solo memiliki dua buah stasiun milik

NISM. Kedua stasiun itu ialah stasiun Balapan dan Purwosari. Menyusul

kemudian dibangun stasiun Jebres milik SS seiring dengan dibukanya jalur kereta

api jurusan Solo-Madiun 1880 dan stasiun kota oleh Solosche Tramweg

Maatschappij (STM).23

Trem kota Solo pada awalnya dibangun oleh Solosche Tramweg

Maatschappij pada 1892. Trem untuk transportasi umum ini memulai jalur

perjalanan dari tengah kota, yaitu berawal dari halte depan benteng Belanda

Vastenburg. Kereta api melaju serta berhenti pada setiap pos (halte) untuk

keperluan menaik-turunkan penumpang, trem kemudian berjalan ke selatan terus

belok ke barat sampai Purwosari. Pemberhentian selanjutnya di kampung

Kauman, berlanjut ke kampung Derpoyudan sebelah barat Nonongan, melintasi

jalan besar (Wilhelminastraat) terus ke barat menuju halte Purwosari. Disini

kereta api bisa berpapasan dengan kereta api dari arah barat jalannya kereta api

22Ibid.

23 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 70-71.

Page 13: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

25

tadi sepanjang jalan besar selatan ke barat berhenti lagi di Bendha depan

Sriwedari. Terus ke barat sampai Pesanggrahan (dulu rumah Ngadisuryan) terus

belok ke utara memotong jalan besar (Purwosariweg) sampai tiba di Stasiun

Purwosari baru berhenti.24Perjalanan trem tidak hanya berhenti di Purwosari,

berlanjut dari Purwosari ke Kartasura.

Dari Purwosari kereta terus ke barat sampai stasiun Gembongan. Di

Gembongan ada pabrik gula, jadi kereta api tadi sekalian melayani pegawai pabrik

yang akan berpergian ke Solo. Kereta api trem yang ditarik kapal atau kuda itu

terakhir berhenti di Desa Gembongan kereta api tadi hanya mempunyai satu

gerbong saja dan ditarik empat ekor kuda tiap 4 km diganti. Gerbong tadi hanya

berisi 20 orang, paling banyak 25 orang.25Melewati Kartasura, Bangak, kemudian

ke Boyolali dengan cabangnya pabrik gula Bangak dan Kartasura. Kemudian dari

pasar Boyolali menuju pasar Sunggingan.Pada 1896 terminal Bangak dihapus

karena digantikan oleh halte Banyudono, sementara trem masih terus sampai

Boyolali.

Tujuan utama dari pembangunan trem dalam kota adalah melayani

keperluan para penyewa tanah. Oleh karena itu, trem yang ditarik kuda harga

tiketnya terbilang mahal.Penumpang dari trem tersebut orang-orang Belanda,

Timur Asing (warga Cina/Arab), priyayi dan pedagang yang mampu membeli

tiket trem yang tidak terjangkau orang pribumi.Jalur trem menggunakan kuda

dioperasikan pada tahun 1899.Sebelum adanya lokomotif bertenaga uap, kereta ini

24R.M. Sajid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko PuraMangkunegaran, 1984), hlm. 68.

25 Auditya Martin, op.cit.,hlm. 49. R.M Sajid, ibid.

Page 14: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

26

ditarik oleh sejumlah 4 ekor kuda.Kapasitas kereta sekitar 20 orang penumpang,

mengingat kereta ini ditarik oleh kuda makasetiap 4 km harus diganti kudanya.26

Mengenai jumlah penumpang trem dalam kota di Solo tahun 1899,

disebutkan bahwa rute dari Purwosari-Javasche Bank mampu mengangkut

penumpang sejumlah 70.368 orang dan dari arah sebaliknya Javasche Bank-

Purwosari 80.506 orang. Sedangkan jalur yang melayani Javasche Bank-Jebres

8.366 orang penumpang dan Jebres-Javasche Bank 1,.284 orang. Sementara dari

Javasche Bank menuju ke berbagai jurusan di sepanjang tahun tercatat 252.666

orang, sedangkan untuk Purwosari ke berbagai arah 194.012 orang. Pada tahun

1899 itu tercatat 13 kali melayani perjalanan kereta api dari Purwosari ke

Javasche Bank dan berlaku ke semua tujuan. Bermula dari Javasche Bank untuk

menuju Purwosari dalam satu hari melayani 12 kali perjalanan.Dari Jebres menuju

Javasche Bank maupun sebaliknya berjumlah 6 kali perjalanan.27

Dalam sebuah iklan DNV pada 2 Januari 1899, diberitakan tentang jadwal

keberangkatan dan kedatangan trem. Digambarkan seorang pelancong yang tiba

dari Madiun di Stasiun Jebres pada jam 9.41 pagi berharap pergi ke Yogyakarta

pada hari yang sama dapat mengambil jalur kereta dari Jebres pada pukul 9.45

pagi dan mencapai Purwosari pada pukul 10.20 pagi. Kemudian seseorang yang

hendak menuju Yogyakarta pada pukul 11.30. Sebaliknya, seseorang yang tiba di

Purwosari dari Yogyakarta pada pukul 10.42, dapat berpergian menggunakan

26 Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 72.

27 Kuntowijoyo, “The Making of a Modern Urban Urban Ecology: Socialand Economic History of Solo 1900-1915”. Dalam Lembaran Sejarah Vol. 3 No.1 Tahun 2000, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra , Universitas Gadjah MadaYogyakarta, hlm. 179.

Page 15: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

27

kereta dalam kota pukul 10.45 dan tiba di Jebres pukul 11.25 dan jika ingin

melanjutkan perjalanan ke Madiun dapat menggunakan kereta api pada pukul

11.27.28

C. Ekonomi Jalur Air dan Darat

Pembukaan jalur kereta api yang mampu memobilisasi massa serta dagang

secara massif berdampak pada dua jalur transportasi lain. Moda transportasi darat

dan air menjadi tereduksi semenjak jalur kereta api mulai diaktifkan. Jalur air

(sungai) melalui Bengawan Solo yang sempat menjadi jalur utama untuk

menghubungkan Solo dengan daerah lain di sisi timur. Sekalipun mulai surut

fungsinya, aktivitas Bengawan Solo masih belum berhenti sepenuhnya. Sebuah

kisah Kampung Mojo membuktikan hal ini:

“Meskipun tepian Kampung Mojo itu sudah di luar kota, di daerahperkampungan yang miskin, akan tetapi ramai juga di tepian ituoleh orang-orang yang bertamasya. Di sana-sini banyak kedai kopi,di sebelah sana orang sedang bersampan-sampan. Di bawah pohon-pohon kayu yang rindang ada dipasangi bangku-bangku, dan disebelahnya ada pula kursi-kursi dan meja empat segi disediakanoleh rumah makan yang terletak tidak jauh dari tempat itu, untukmenarik perhatian para pengunjung tepian Bengawan Solo.Padasetiap hari Minggu kabarnya banyak orang datang di sini; anak-anak muda pun banyak. Datang membawa banjo atau mandolinbersenang-senang; malah kalau malam hari pada waktu terangbulan kabarnya lebih meriah lagi, karena diramaikan pula olehperempuan-perempuan jalang yang melakukan dinesnya... Sunyisenyap aman damai juga sepanjang sungai yang kami laluiitu.Kadang-kadang kami berselisih (berjumpa) lalu dengan kolekpenangkap ikan.Dengan sabar nelayan itu memasang pukatnya.”29

28 Kuntowijoyo, ibid. Waskito Widi Wardojo, op.cit.,hlm. 73.

29 Susanto, “Surakarta : Tipologi Kota Dagang”. Dalam DIAKRONIK Vol,2 No. 6 Januari 2005, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa,Universitas Sebelas Maret, hlm. 8.

Page 16: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

28

Bengawan Solo berperan penting dalam roda perekonomian kota Solo

sebelum pengoperasian kereta api.Bengawan Solo merupakan jalur perdagangan

yang penting, tempat-tempat tepi sungai sebagai bandar yakni Semanggi, Beton,

Mojo dan Nusupan.30Aktivitas ekonomi sepanjang Bengawan Solo sangat

ramai.Sungai ini menghubungkan tempat-tempat strategis seperti Masaran,

Sragen, serta Bojonegoro. Pada masa sebelum pemindahan kraton Kartasura ke

Surakarta, Bengawan Solo telah disebut sebagai sungai yang berfungsi memasok

daerah tersebut dengan barang dagangan yang dibawa dari Jawa Timur melalui

jalur pelayaran sungai yang mengangkut barang komoditi impor ke desa Solo dan

sekitarnya.Selain itu, Bengawan Solo juga memilik peran untuk mengalirkan

potongan kayu jati dari daerah Ngawi dan Madiun ke Surabaya di samping

mengangkut komoditi dari Laweyan.31

Secara sektor ekonomi, Bengawan Solo memiliki peran sebagai media

transportasi kapal dan barang dagangan. Dalam kaitannya ini sumber Kolonial

menyebutkan bahwa pada abad 17-18 Bengawan Solo yang bermata air di

Wonogiri dan bermuara di Surabaya telah menjadi sarana transportasi

perdagangan penting bagi penduduk pedalaman (hinterland). Hal ini terbukti

karena Bengawan Solo digunakan sebagai sarana pengangkutan produk

perdagangan dari daerah pedalaman seperti beras, lada, tebu, dan lainnya yang

30Nusupan merupakan bandar penting yang menjadi rujukan dari arahtimur (Gresik) sebagai tempat kulakan. Pada masa Paku Buwana IX, jika debit airdi Bengawan Solo besar, pedagang membawa kain ke brang wetan dan kembalimembawa malam dan benang. Wakito Widi W, “Aktivitas PerdaganganBengawan Solo Tempo Doeloe”. Dalam DIAKRONIK Vol. 3 No.I Januari 2008,Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret,hlm. 67.

31 Susanto, 2005, op.cit.,hlm. 6.

Page 17: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

29

akan dikapalkan melalui pelabuhan Surabaya untuk dikirim ke luar

Jawa.Sebaliknya dari Surabaya pengapalan yang membawa produk impor dari

luar ke pedalaman seperti kain, candu (opium), amunisi dan

sebagainya.Bengawan Solo juga berfungsi untuk mengapungkan kayu jati yang di

tebang dari hutan di Ngawi ke Surabaya untuk digunakan sebagai bahan

infrastruktur bangunan sarana pemerintah. Pembuktiannya adalah saat

pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels dalam program pertahanan Jawa

terhadap serangan Inggris, dia membangun benteng Prins Hendrik di muara

sungai Kalimas Surabaya. Benteng Prins Hendrik terbuat dari kayu yang dialirkan

dari daerah Ngawi hingga ke Madiun melalui sungai Surakarta.32 Namun, sekali

lagi, setelah dibukanya jalur kereta api di Vorstenlanden kejayaan perdagangan

lewat sungai menjadi redup.

Selain menggunakan Bengawan Solo sebagai jalur pengiriman barang, raja

dan pedagang-pedagang dari Solo juga menggunakan jalur darat untuk

mengirimkan dan membeli barang-barang dari daerah lain.Salah satunya adalah

gerobak, alat transportasi darat yang mengakomodasi barang dagangan serta hasil

perkebunan.Gerobak digunakan untuk perjalanan dengan jarak tempuh terbilang

jauh.Perjalanan pun lebih dari sehari untuk mencapai tujuan, maka dari itu

memerlukan penginapan koplakan sekaligus menjadi tempat transit para

pedagang. Prambanan, Jatinom dan Boyolali adalah tempat transit pedagang yang

akan melanjutkan perjalanan dagangnya ke luar daerah Surakarta. Tempat transit

biasanya berdekatan dengan pusat perkebunan dan pasar, misalnya pasar

Gondang-Jetis dekat dengan stasiun Srowot. Di pinggir jalan besar antara

32Ibid.

Page 18: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

30

Surakarta dan Yogyakarta terdapat bengkel gerobak dan kereta, antara lain di desa

Karangwuni, Wonggo. Pada tahun 1877 sudah ada jalur dagang antara kota Solo

dengan kota lain seperti Sragen, Purwodadi dan Wonogiri.33Para pedagang lebih

memilih menggunakan angkutan gerobak karena biayanya lebih murah meskipun

memerlukan waktu lama. Pada tahun 1859 biaya pengangkutan gula dan kopi ke

Surabaya adalah f 1,60-f 1,80 setiap pikul, sedangkan ke Semarang f 1,80- f 2,30.

Pada tahun 1875 angkutan dengan menggunakan kereta kuda jauh lebih murah

jika dibandingkan dengan kereta api, yakni hanya f 1,50 setiap pikul.34

D. Munculnya Ekonomi Batik

Pertumbuhan ekonomi di Solo meningkat sejak ditemukannya canting

pada abad ke 19. Kegiatan membatik di Vorstenlandenmenjadi industri terutama

dengan tenaga kerja perempuan. Seni membatik di Solo sangat dihargai, sehingga

kemampuan membatik dianggap penting bagi pendidikan kaum perempuan di

kraton.35Batik di Solo pada awal hingga pertengahan abad ke 19 masih menjadi

monopoli kaum bangsawan. Perubahan terjadi sekitar tahun 1890-an ketika

kerajinan batik mulai dibuat oleh banyak pihak. Akibatnya, banyak bermunculan

industri rumah tangga di bidang batik.Pengusaha batik yang mempunyai

hubungan erat dengan kraton adalah Kauman. Sementara itu, untuk daerah pinggir

33 Suhartono, op.cit.,hlm. 50.

34 Suhartono, ibid.,hlm. 51.

35 Takashi Shiraishi, op.cit.,hlm. 30

Page 19: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

31

kota, tepatnya dekat Sungai Jenes, hidup berkelompok pengusaha batik Laweyan.

Akan tetapi, pengusaha batik pun akhirnya tidak hanya diisi oleh orang Jawa,

tetapi juga oleh kelompok masyarakat dari etnis Cina dan Arab.36

Etnis Cina di Surakarta menguasai berbagai bahan baku pembuatan batik.

Perdagangan besar dalam arang, kayu bakar dikuasai oleh orang Cina.Kayu

tersebut diperoleh dari Karesidenan Semarang dan Madiun serta Wonogiri.Bahan

pewarna sepenuhnya juga berada di tangan orang-orang Cina dan Arab. Selain itu,

kedua kalangan ini juga menguasai bahan baku penting lainnya yaitu kain

moridan pewarna (indigo).37Pengusaha Cina yang demikian bertempat tinggal di

Serengan dan Coyudan.

Berdasarkan peta industri batik, dimungkinkan pengusaha Cina

berkembang di wilayah tersebut karena Mangkunegaran pada tahun1896 membuat

peraturan yang memungkinkan orang Belanda dan Timur Asing mendirikan

rumah dengan hak guna bangunan di Wonogiri.Sekalipun jumlah orang Cina yang

tinggal di Wonogiri terbilang dalam jumlah kecil, namun jelas bisa diduga posisi

pengusaha batik di Coyudan dan Serengan jelas menjadi jembatan bisnis antara

wilayah pedalaman Wonogiri dan Surakarta.Perkembangan batik yang demikian

luar biasa di Surakarta menyebabkan mendapat sebutan baru selain kota dagang,

yakni kota batik.

E. Komposisi Penduduk dan Fasilitas Kota

36Susanto, 2005,op.cit, hlm. 38-39. Grup Riset Kebanksentralan,op.cit.,hlm. 27-28.

37 Rustopo, Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan KebudayaanJawa di Surakarta, 1895-1998, (Yogyakarta: Kerjasama Ombak dan NABIL,2007), hlm. 79.

Page 20: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

32

Kota Surakarta merupakan kota pedalaman memiliki ragam etnis

penduduk (heterogen). Keberagaman etnis dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial

untuk melakukan diskriminasi.Diskriminasi rasial merupakan strategi dan cara

kontrol dengan membagi struktur masyarakat menjadi tiga golongan.Golongan

Eropa; Timur Asing (vreemde oosterlingen) antara lain Pakistan, India, Arab; dan

masyarakat pribumi.38

Pada transformasi periode akhir abad XIX menuju abad XX, orang Jawa

(pribumi) merupakan penduduk mayoritas yang bertempat tinggal di kawasan

pedesaan Surakarta, sedangkan orang Belanda, Cina dan Arab tinggal di pusat

kota.39Orang Belanda tinggal di sekitar Benteng Vastenburg yang letaknya di

utara alun-alun utara, Loji-loji sebelah timur benteng juga ditempati oleh

pemukim Eropa sehingga dinamakan Loji Wetan. Pengurusnya berpangkat asisten

residen,40sementara sebelah utara benteng terletak kantorResiden.41Sementara itu,

untuk wilayah Kota Mangkungeran, orang Belanda tinggal di Villa Park.42

38 Sri Sayekti, “Segregasi Sosial dan Perubahan Ekologi Kota SurakartaPada Awal Abad Ke-20”, artikel dalam Jurnal DIAKRONIK, Vol.1 No.8, (JurusanIlmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS: 2006), hlm. 39.

39 Suhartono, op.cit.,hlm. 76-77

40 RM Sayid, op.cit., 65.

41Benny Juwono, “Etnis Cina Di Surakarta 1890-1927: Tinjauan SosialEkonomi”, LEMBARAN SEJARAH Vol.2, No.1, 1999 , (Yogyakarta: Jurusan IlmuSejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 1999), hlm. 56.

42Pemukiman Villa Park merupakan tempat tinggal elit bagi bangsa Eropadi wilayah Kota Mangkunegaran. Dengan luas 1,5 ha, perkampungan Eropa inidibangun pada masa Mangkunegara VI lengkap dengan fasilitas pendidikan,keagamaan, sosial, kesehatan dan kebudayaan. Lihat Daryadi, “PembangunanPerkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan MangkunegaraVII”. Skripsi.Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret.2009,) hlm. 58.

Page 21: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

33

Pemukiman warga Cina terletak di terletak di utara aliran Sungai Pepe

sekitar Pasar Gede ke timur di Ketandan hingga Limasan, ke utara sampai Balong,

ke sebelah utara menuju Warung Pelem.43Pengurus daerah pemukiman Cina

(Pecinan) berpangkat mayor dengan panggilan babah mayor.Tugasnya adalah

mengurus segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Surakarta. Kehidupan

masyarakat Cina di Surakarta dibatasi oleh peraturan surat ijin (wijkenstelsel) dan

surat jalan (passenstelsel). Tujuan adanya pembatasan bagi etnis Cina ini tidak

lain adalah agar pemerintah kolonial Belanda lebih leluasa dalam mengeksploitasi

perekonomian Hindia Belanda karena bagi pemerintah Belanda kehadiran etnis

Cina tidak selalu menguntungkan.44

Penduduk pribumi tinggal bercampur dengan penghuni lama maupun

pendatang, kelas menengah begitu pula kelas bawah.Hampir keseluruhan tinggal

di perkampungan, di rumah dengan kebun dan halaman yang ditumbuhi pohon

rindang.Diskriminasi ras dan etnis masih sangat ketat sehingga kontak sosial

melalui jaringan sosial kota hanya terbatas pada golongan pribumi.45

Hunian untuk penduduk pribumi tersebar di seluruh kota. Nama-nama

kampung hunian penduduk suku Jawa, ada yang didasarkan atas nama-nama

bangsawan yang bertempat tinggal di sana, seperti : Ngadijayan tempat tinggal

43 Benny Juwono., loc.cit.

44 Dwi Ari Wibowo, “Akulturasi Budaya Sebagai Upaya RekonsiliasiEtnis Jawa-Cina Di Kampung Balong Sudiroprajan Surakarta”. Skripsi.(Surakarta:Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret,2011), hlm. 3.

45Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: Sejarah PergerakanNasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1990),hlm. 73-74 dan 111.

Page 22: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

34

Hadiwijaya, Mangkubumen tempat tinggal Mangkubumi, Jayasuman tempat

tinggal Jayakusuma, Suryabratan tempat tinggal Suryabrata, Kusumabratan

tempat tinggal Kusumabrata, Sumadiningratan tempat tinggal Sumadiningrat,

Cakranegaran tempat tinggal Cakranegara, Kalitan tempat tinggal Kanjeng Ratu

Alit, Kusumayudan tempat tinggal Kusumayuda, Purwadiningratan tempat tinggal

Purwadinigrat.

Ada pula kampung-kampung yang namanya diambil dari abdi dalem,

seperti: Coyudan tempat tinggal Secoyudan, Derpoyudan tempat tinggal

Derpoyuda, Mangkuyudan tempat tinggal Mangkuyuda, dan Kerten tempat

tinggal Wirakerti. Ada juga kampung yang namanya diambil dari prajurit kraton,

seperti: Kasatriyan, Tamtaman, Sorogenen; dan berdasarkan jenis pekerjaan

penduduk seperti : Sayangan, Gemblegan, Gapyukan, Serengan, Slembaran,

Kundhen, Telukan, (un) Dhagen, Kepunton dan Jayengan. Ada pula kampung

yang diambil dari jabatan keraton, seperti: Carikan, Jagalan, Gandhekan, Sraten,

Kalangan, Punggawan, Pondhokan dan Gadhing.46Ada juga kampung yang

namanya diambil cerita sekitar (folklore), seperti Sangkrah, Bathangan,

Kedunglumbu, Laweyan dan yang mengikuti nama-nama orang Belanda atau

jabatannya seperti Petoran, Jurnasan, Jageran, Beskalan dan Ngebrusan. Selain itu

juga kampung kampung yang diambil namanya dari sebuah komunitas kesenian

seperti Wirengan, Gambuhan Kemlayan.47

46Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton 1830-1939, (Yogyakarta:Taman Siswa, 1989), hlm. 3.

47Radjiman, Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya KasunananSurakarta Hadiningrat, (Surakarta, 2002).Rustopo, op.cit, hlm. 20-21.

Page 23: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

35

Penduduk di kota Solo yang beragam mengalami pertumbuhan yang pesat

hingga awal abad XX. Tercatat dari berbagai kelas sosial, tahun 1900 jumlah

penduduk kota Solo 109.459 orang. Keseluruhan penduduk tersebut terdiri dari

1.973 orang Eropa; 5.129 orang Tionghoa; 171 orang Arab; 262 orang timur asing

lainnya dan sisanya 101.924 adalah pribumi Jawa. Lima tahun kemudian,

penduduk kota Solo mengalami peningkatan, tahun 1905 total penduduk kota

sejumlah 118.378 orang, yang terdiri dari: 1.572 orang Eropa, 6.532 orang

Tionghoa, 337 orang Arab, 413 orang timur asing lainnya dan 109.524 orang

pribumi Jawa.48

Demi memenuhi kebutuhan beragam penduduk, kota Solo berbenah

dengan berbagai fasilitas infrastruktur. Sarana pendidikan didirikan sekolah

MULO di Villapark. Dari segi transportasi, dibangunnya Stasiun Kereta Api

Jebres serta jembatan kereta api di jurusan yang menghubungkan Surakarta-

Ngawi-Madiun, maka mobilisasi lebih efektif dan transportasi darat kian lancar.

Namun berdampak penurunan peran Bengawan Solo sebagai jalur pengangkutan

barang.Selain kereta antar kota, di dalam kota juga dibangun jaringan rel trem

kota yang menghubungkan Purwosari-Jebres lewat Pasar Gedhe. Perubahan

fasilitas kota lain yang sangat penting adalah adanya listrik yang diprakarsai oleh

SEM (Solosche Electriciteit Maatschappij). Dengan adanya jaringan ini, informasi

bertambah lancar melalui adanya radio NIROM (Nederlandsch Indie Radio

48Periksa kajian Kuntowijoyo, loc.cit.

Page 24: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

36

Omroep). Selain itu komunikasi bertambah mudah terutama untuk orang Eropa

dengan adanya sarana telepon dan telegraf.49

Berbagai infrastruktur dan fasilitas kota yang memadai seperti listrik dan

telepon sangat mendukung berkembangnya pusat pertemuan budaya bagi orang

Eropa. Untuk aktivitas ini di Surakarta terdapat beberapa tempat seperti Societeit

Harmonie di Lodji Wetan, Societeit Militer di sebelah selatan Benteng

Vastenburg, serta Societeit Theosophie di sebelah Barat Societeit

Mangkunegaran. Societeit umumnya digunakan untuk menggelar pesta dansa dan

musik barat.Oleh karena itu, jenis dansa sering dilakukan di sebuah ruang yang

disebut Ball Room, maka gedung ini juga disebut dengan Kamar Bola. Pengaruh

budaya hiburan Eropa juga menjadi kegemaran warga Solo adalah hiburan

bioskop yang pada waktu itu terletak di sebelah utara kantor Residen di tepi Kali

Pepe yakni Schouwburg Purbayan dan Nieuwe Bioscoop di perempatan Pasar

Pon.50

Pada bidang kesehatan, pemerintah Belanda mendirikan tiga rumah sakit

yaitu Zending Hospitaal sebagai rumah sakit umum yang terletak di Jebres, dan

Militer Hospitaal untuk secara khusus melayani tentara Belanda yang terletak di

wilayah Baron, serta satu rumah sakit umum lagi yaitu Zieken Zorg yang terletak

di wilayah Mangkubumen. Untuk menunjang obat-obatan modern didirikan

49Susanto, “Penetrasi Budaya Asing Di Surakarta”, Dalam DIAKRONIKVol. No. 5 Juli 2004.Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret, hlm. 105.

50Ibid.,hlm. 105-106.

Page 25: BAB II KEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX fileKEADAAN EKONOMI SURAKARTA AKHIR ABAD XIX Periode akhir abad XIX, telah terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mendasar di berbagai

37

apotik yang ada di sebelah selatan kantor Pos sekarang,51 ada pula apotik swasta

yang bernama Amsterdam Apotheek Soerakarta yang diprakarsai Dr. White

memiliki cabang di berbagai kota penting di Jawa.52

Seni Pertunjukkan juga mengalami perubahan yang cukup berarti.Dengan

diperkenalkannya panggung proscenium (indoor) dalam bidang tata panggung

telah menimbulkan banyak bermunculan pertunjukkan seni komersial di

Surakarta, seperti Sonoharsono, Sriwedari dan Balekambang. Akan tetapi

munculnya Instituut voor Javaansche Taal dengan peran yang cukup penting dari

C.F. Winter yang pada mulanya dimaksudkan sebagai lembaga yang memberikan

pendidikan bahasa dan kebudayaan Jawa bagi para pejabat (ambtenaar) dan

pejabat Belanda yang bertugas di Jawa, ternyata berepengaruh luar biasa terhadap

kehidupan sastra para pujangga kraton. Kemudian muncullah tokoh yang dikenal

yaitu Padmosusastro dan beberapa pujangga lainnya.53Kesenian dan sastra

ternyata juga merupakan profesi yang mempunyai nilai prestiseberdampak pada

status sosial dan perbaikan ekonomi individu.

Kemajemukan kota di ranah penduduk dan fasilitas inilah yang kemudian

mempengaruhi perubahan ekonomi di Surakarta pada periode berikutnya. Ragam

profesi dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.

51Ibid.,hlm. 106.

52De Locomotief, 18 Mei 1880.

53 Susanto, Penetrasi Budaya Asing, loc.cit.