bab ii kajian pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/921/3/t1_...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian teori
2.1.1 Pembelajaran Matematika
Matematika begitu penting dalam kehidupan manusia dan salah satu
penentu penguasaan ilmu dan bidang lainnya, sehingga Matematika
digunakan dan ditetapkan menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib
diberikan di segala tingkat pendidikan.
Matematika diberikan kepada siswa melalui pembelajaran yang
disebut pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika merupakan
suatu kegiatan yang terprogram dan terencana yang disusun untuk
mempelajarkan Matematika kepada siswa (Kriswandani, 2008). Dalam
pembelajaran matematika diusahakan terdapat 3 arah komunikasi dan
timbal balik, yaitu komunikasi dan timbal balik antar guru dan siswa,
siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa sehingga terjadi suatu
interaksi dua arah yang saling membangun dan mendidik.
Pemahaman akan karakteristik dan perkembangan siswa sangat
diperlukan sebagai dasar untuk menyusun, melaksanakan, mengevaluasi,
dan merefleksi rancangan pembelajaran yang dibentuk guru atau calon
guru. Pembelajaran matematika merupakan suatu pembelajaran yang
mempunyai kemungkinan resiko pembuatan kesalahan yang sangat tinggi
sehingga akan berpengaruh pada bentuk karakter kepribadian dari siswa
yang mengikuti pembelajaran matematika.
2.1.2 Mata Pelajaran Matematika
Matematika berasal dari bahasa Yunani manthenein atau mathein yang
berarti mempelajari. Kata Matematika diduga erat hubungannya dengan
kata sansekerta, medha atau widya yang berarti kepandaian, ketahuan, atau
intelegensia (Subarinah, 2007:1 dalam Kriswandani, 2008). Matematika
6
dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya
berkaitan dengan penalaran. Matematika adalah salah satu pengetahuan
tertua, terbentuk dari penelitian bilangan dan ruang. Matematika adalah
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tidak merupakan cabang dari
ilmu pengetahuan alam. Matematika merupakan alat dan bahasa dasar
banyak ilmu. Menurut Subarinah (dalam Kriswandani, 2008) Matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan
pola hubungan yang ada di dalamnya.
2.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika
Jacson (1992:756) mengatakan bahwa secara umum Matematika
adalah penting bagi kehidupan masyarakat. Dreeben (dalam Romberg,
1992:756) Matematika diajarkan di sekolah dalam rangka memenuhi
kebutuhan jangka panjang bagi siswa dan masyarakat. Hal itu berarti
bahwa seseorang harus mempunyai kesempatan yang banyak untuk belajar
Matematika kapan, dimana saja sesuai kebutuhan matematikanya sendiri.
Thorndike (dalam Jackson, 1992:758) Matematika sangat penting
diajarkan di sekolah karena Matematika merupakan bagian penting dara
batang tubuh pembelajaran itu sendiri. Stanic (dalam Romberg, 1992:759)
tujuan Matematika di sekolah untuk meningkatkan kemampuan berpikir
siswa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Matematika
di sekolah disatu sisi merupakan hal penting untuk meningkatkan
kecerdasan siswa. Di sisi lain terdapat pakar yang menilai bahwa
Matematika di sekolah hanya merupakan kebutuhan yang bersifat
pelengkap dari apa yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan dalam
matematika.
2.1.4 Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang berkembang di Indonesia, khususnya pada
7
pelajaran Matematika. Pengembangan PMR didasarkan pada gagasan-
gagasan dari Hands Freudenthal tahun 1905-1990. Di tempat aslinya yaitu
Negara Belanda, pendekatan matematika ini dikenal dengan nama
Realistic Mathematics Education (RME). Sedangkan di Indonesia
diartikan sebagai Pendidikan Matematika Realistik. Secara operasional
pendidikan diubah menjadi pembelajaran. Untuk seterusnya dalam
penelitian ini PMR diartikan sebagai Pembelajaran Matematika Realistik.
Pernyataan bahwa “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas
manusia” menunjukkan bahwa Freudenthal tidak menempatkan
matematika sebagai produk jadi yang siap paki, melainkan sebagai bentuk
aktivitas atau proses. Hal itu melandasi pengembangan Pembelajaran
Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) yang merupakan
suatu pendekatan dalam pembelajaran Matematika di Belanda. Kata
“realistik” sering disalah artikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, 1998 (dalam Ariyadi Wijaya 2012)
penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich
realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Jadi penggunaan kata
“realistik” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya koneksi dengan
dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus Pembelajaran Matematika
Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang
bisa dibayangkan oleh siswa.
Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari
Pembelajaran Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan
terjadi jika pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi siswa (Freudenthal,
1991). Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses
pembelajaran menggunakan permasalahan realistik yang tidak harus selalu
berupa masalah yang ada di dunia nyata dan bisa ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari siswa. Suatu masalah dikatakan “realistik”jika
masalah tersebut dapat dibayangkan atau nyata dalam pikiran siswa.
Dalam Pembelajaran Matematika Realistik, permasalahan realistik
ditempatkan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau
8
disebut aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut
sebagai sumber untuk pembelajaran. Secara umum, dalam Pembelajaran
Matematika Realistik dikenal dua macam model, yaitu “model of” dan
“model for”. Ketika bekerja dalam permasalahan realistik, siswa akan
mengembangkan alat dan pemahaman matematika. Pertama siswa akan
mengembangkan alat matematis yang masih memiliki keterkaitan dengan
konteks masalah. Alat matematis tersebut bisa berupa strategi atau
prosedur penyelesaian. Pemahaman matematis terbentuk ketika suatu
strategi bersifat general dan tidak terkait pada konteks situasi masalah
realistik.
2.1.5 Prinsip-prinsip pendekatan realistik
Ada beberapa prinsip utama dalam PMR, yaitu: a) guided reinvention
and progressive mathematizing, b) didactical phenomenology, dan c)
selfdeveloped models. (Suryanto, 2010). Ketiga prinsip tersebut dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
a. Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali
terbimbing/pematematikaan progresif)
Prinsip ini penekanannya pada “penemuan kembali” secara
terbimbing. Melalui masalah kontekstual yang realistik (yang dapat
dibayangkan atau dipahami oleh siswa), yang mengandung topik-topik
matematis tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan untuk
membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep
matematis.setiap siswa diberi kesempatan utuk merasakan situasi dan
mengalami masalah kontekstual yang memiliki berbagai kemungkinan
solusi.
b. Didactical phenomenology (fenomena yang bersifat mendidik)
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran, yang bersifat
mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik
ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang
9
harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam
proses reinvention, artinya prosedur, aturan dan model matematika
yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan
oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari
penyelesaian masalah kontekstual tersebut.
c. Self-developed models (siswa membangun model sendiri)
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai
jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam
menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk
membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah
kontekstual yang dipecahkan. Model-model tersebut diharapkan akan
berubah dan mengarah kepada bentuk matematika formal.
2.1.6 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, PMR
memiliki lima karakteristik (Suryanto, 2010).
a. The use of context (menggunakan masalah kontekstual)
Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual,
sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung.
Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber
matematisasi, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan
kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik
awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh
siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu:
(1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2)
untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola
pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai
sumber aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa,
khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata
(realitas).
10
b. The use models (menggunakan berbagai model)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika
yang dibangun sendiri oleh siswa sewaktu memecahkan masalah
kontekstual. Pada awalnya siswa akan menggunakan pemecahan yang
informal. Model tersebut digunakan sebagai jembatan antara level
pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Setelah terjadi
interaksi dan diskusi kelas, selanjutnya model ini berkembang dan
diarahkan untuk menjadi model yang formal.
c. Student contributions (kontribusi siswa)
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada
pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah.
Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran
diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran
atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
d. Interactivity (interaktivitas)
Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa
dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting
dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan,
pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk
mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk
pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
e. Intertwining (keterkaitan)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya
pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk
mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna.
Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik di
atas maka dapat dikatakan bahwa permulaan pembelajaran harus dialami
secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal
yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam
kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa.
11
Sehingga mereka dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas
matematika yang bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari
pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada
pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
2.1.7 Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR (Sofa, 2008) sebagai berikut.
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan meminta siswa
untuk memahami masalah tersebut. Jika ada bagian-bagian tertentu yang
kurang atau belum dipahami sebagian siswa, maka siswa yang memahami
bagian itu diminta menjelaskannya kepada kawannya yang belum paham.
Jika siswa yang belum paham tadi merasa tidak puas, guru menjelaskan
lebih lanjut dengan cara memberi petunjuk-petunjuk atau saran-saran
terbatas (seperlunya) tentang situasi dan kondisi masalah (soal).
Langkah 2: Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi
aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan
strategi pemecahan masalah. Siswa diminta menyelesaikan masalah
dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang
berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan
masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan menuntun
untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal tersebut.
Langkah 3: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru membentuk kelompok dan meminta kelompok tersebut untuk
bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah
diselesaikan secara individual (negosiasi, membandingkan dan berdiskusi).
Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam
kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk
mengoptimalkan pembelajaran. Setelah diskusi dilakukan, guru menunjuk
12
wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian
dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan
moderator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil
kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika
formal (idealisasi, abstraksi).
Langkah 4: Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan tentang konsep atau definisi, teorema, prinsip atau prosedur
matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru
diselesaikan.
Tabel 2.1
Pokok Bahasan Sifat-sifat Bangun Datar
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Geometri dan Pengukuran
6. Memahami sifat-sifat bangun
dan hubungan antar bangun
6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat
bangun datar
2.1.8 LKS (Lembar Kerja Siswa)
Aliah Abdulah seperti yang dikutip oleh Sumarni (2004 : 16)
mendefinisikan media pembelajaran sebagai sumber informasi berbentuk
bahan cetak/ buku, majalah, LKS, dan sejenisnya yang dapat digunakan
sebagai penunjang proses pembelajaran dalam menyajikan atau menyerap
mata pelajaran. Belajar dengan menggunakan media memungkinkan siswa
belajar dengan panca inderanya. Menurut Surachman yang dikutip oleh
Sumarni (2004:15-16), LKS merupakan jenis hand out yang dimaksudkan
untuk membantu siswa belajar secara terarah. Menurut Slamet (dalam
Sumarni: 2004:15) pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal berupa kemampuan awal siswa dan faktor eksternal berupa
13
pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat dilakukan
dengan menggunakan media LKS.
Lembar Kerja Siswa selain sebagai media pembelajaran juga
mempunyai beberapa fungsi yang lain, yaitu:
1) Merupakan alternatif bagi guru untuk mengarahkan pengajaran
atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai kegiatan
belajar mengajar
2) Dapat digunakan untuk mempercepat proses pengajaran dan
menghemat waktu penyajian suatu topik
3) Dapat untuk mengetahui seberapa jauh materi yang telah dikuasai
siswa
4) Dapat mengoptimalkan alat bantu pengajaran yang terbatas
5) Membantu siswa dapat lebih aktif dlam proses belajar mengajar
6) Dapat membangkitkan minat siswa jika LKS disusun secara rapi,
sistematis mudah dipahami oleh siswa sehingga mudah menarik
perhatian siswa
7) Dapat menumbuhkan kepercayaan pada diri siswa dan
meningkatkan motivasi belajar dan rasa ingin tahu
8) Dapat mempermudah penyelesaian tugas perorangan, kelompok
atau klasikal karena siswa dapat menyelesaikan tugas sesuai
dengan kecepatan belajarnya
9) Dapat digunakan untuk melatih siswa menggunakan waktu
seefektif mungkin
10) Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah.
2.1.9 Pembelajaran Efektif
Secara harafiah, efektif memiliki makna manjur, mujarab,
berdampak, membawa pengaruh, memiliki akibat dan membawa hasil.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang menghasilkan apa yang
harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung seperti yang
14
dicantumkan pada tujuan pembelajaran (Indrawati dan Wanwan Setiawan:
2009). Salah satu prinsipnya adalah pembelajaran efektif dapat
menemukan ekspresi terbaiknya ketika guru berkolaborasi untuk
mengembangkan, mengimplementasikan, dan menemukan bentuk praktek
mengajar yang profesional.
Menurut Joni Ukat, parameter untuk mencapai efektivitas dinyatakan
sebagai angka nilai rasio, antar jumlah hasil (lulusan, produk, jasa dsb)
yang dicapai dalam kurun waktu tertentu dibandingkan dengan jumlah
(unsur yang serupa) yang diproyeksikan atau ditargetkan dalam kurun
waktu tertentu. Hal ini berarti efektivitas dapat diketahui dengan
membandingkan antara usaha yang telah dilakukan dengan tujuan yang
telah ditentukan. Usaha dalam memperoleh efektivitas pembelajaran
didapatkan dari seberapa besar nilai yang diperoleh siswa setelah proses
belajar mengajar berlangsung dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Nilai hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah pedoman untuk
mengetahui efektivitas pembelajaran. Pedoman tersebut berupa ketuntasan
belajar dan dari ketuntasan belajar ini dapat dikategorikan sebagai
efektivitas pembelajaran. Sedangkan indikator keberhasilan eksperimen
dapat dinyatakan efektif, apabila hasil belajar kelompok perlakuan lebih
baik daripada hasil belajar kelompok kontrol (Endang Mulyatiningsih,
2011).
2.1.10 Hasil belajar
Menurut Nana Sudjana (2011), hasil belajar adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah bila seseorang
telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut,
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi
mengerti.
15
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi
dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif,
psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Ranah Kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek
yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
penilaian.
b. Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi
dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
c. Ranah Psikomotor
Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular (menghubungkan, mengamati).
Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor
karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga
harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di
sekolah.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh
guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan
pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar
dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Howard
Kingsley (dalam Nana Sudjana, 2011:22) membagi 3 macam hasil belajar:
a. Keterampilan dan kebiasaan
b. Pengetahuan dan pengertian
c. Sikap dan cita-cita
Pendapat dari Horward Kingsley ini menunjukkan hasil perubahan dari
semua proses belajar. Hasil belajar ini akan melekat terus pada diri siswa
karena sudah menjadi bagian dalam kehidupan siswa tersebut.
16
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan
karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan
dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan
pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam
aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sedangkan dalam penelitian
ini, hasil belajar yang akan dicapai atau diambil adalah hasil belajar dari
ranah kognitif dan afektif dengan mendeskripsikan penilaian proses.
2.1.11 Pengukuran Hasil Belajar
Instrumen Pengukuran Hasil Belajar
Menurut Nanik Sulistya W, dkk, 2009 instrumen pengukuran
dalam dunia pendidikan meliputi tes, lembar observasi, panduan
wawancara, skala sikap dan angket. Dilihat dari tekniknya, asesmen
proses dan hasil belajar dibedakan menjadi dua macam yaitu teknik Tes
dan Non Tes.
A. Tes
Tes merupakan metode pengumpulan data penelitian yang
berfungsi untuk mengukur kemampuan seseorang. Dalam bidang
pendidikan, tes biasa digunakan untuk mengukur prestasi belajar
dan kompetensi kejuruan (Endang Mulyatiningsih, 2011). Tes
sebagai alat penilaian (Nana Sudjana, 2011) adalah pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban
dari siswa dalam bentuk lisan, tulisan maupun tindakan. Tes pada
umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar
siswa, terutama kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan
pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Tes yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes
objektif pilihan ganda. Penskoran bentuk soal pilihan ganda
caranya sederhana. Pada dasarnya skor setiap butir soal tes obyektif
adalah satu atau nol. Satu (1) untuk setiap butir soal yang dijawab
17
benar dan nol (0) untuk setiap butir soal yang dijawab salah.
Tinggal menghitung saja berapa butir soal yang dijawab benar dan
berapa butir soal yang dijawab salah.
B. Non Tes
Teknik non tes bertujuan untuk mengetahui perubahan sikap
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, kesulitan
belajar, minat belajar, motivasi belajar, dan sebagainya (Naniek
Sulistya W, dkk, 2009). Teknik non tes dapat dilakukan dengan
observasi baik secara langsung maupun tidak langsung, angket
ataupun wawancara serta dapat pula dilakukan dengan sosiometri.
Teknik non tes digunakan sebagai pelengkap dan digunakan
sebagai pertimbangan tambahan dalam pengambilan keputusan
penentuan kualitas hasil belajar. Teknik ini dapat bersifat lebih
menyeluruh pada semua aspek kehidupan anak.
Teknik non tes yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
pengamatan atau observasi. Nana Sudjana (2011:84)
mengemukakan bahwa observasi atau pengamatan dapat mengukur
atau menilai hasil dan proses belajar misalnya tingkah laku siswa
pada waktu belajar, kegiatan diskusi siswa, maupun partisipasi
siswa. Observasi adalah teknik non tes dengan melakukan
pengamatan terhadap pebelajar sesuai dengan pedoman observasi
yang berisi indikator pengamatan, antara lain keaktifan, kerjasama,
dan kedisiplinan.
2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Dyah (2007/UNNES) “Keefektifan
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP” merupakan penelitian
eksperimen. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh bahwa
aktivitas siswa selama pembelajaran dengan menggunakan PMR terus
mengalami peningkatan, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
18
terus meningkat dan perubahan sikap siswa terhadap pembelajaran juga terus
membaik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PMR lebih efektif daripada
pembelajaran konvensional pada kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas VII SMP.
Penelitian yang dilakukan oleh Noni Dyah Ardiani (2011/UKSW)
“Keefektifan Pembelajaran Matematika Realistik Menggunakan Alat Peraga
Terhadap Hasil Belajar Pada Pokok Bahasan Bangun Ruang (Balok Dan
Kubus) Bagi Siswa kelas V SD” merupakan penelitian eksperimen dengan
variabel terikat hasil belajar siswa dan variabel bebasnya adalah Pembelajaran
Matematika Realistik menggunakan alat peraga. Hasil penelitian:
Pembelajaran Matematika Realistik efektif digunakan dalam pembelajaran
Matematika pada pokok bahasan bangun (ruang balok dan kubus)
dibandingkan pembelajaran tanpa Pembelajaran Matematika Realistik
menggunakan alat peraga.
2.3 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir dapat dituangkan dalam bentuk mind mapping (peta
pemikiran) atau narasi yang menjelaskan tentang kemungkinan yang akan
terjadi setelah penerapan PMR menggunakan LKS dalam meningkatkan hasil
belajar siswa (Endang Mulyatiningsih, 2011). Sebagai suatu teori
pembelajaran “Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menggunakan
LKS tentu saja efektif digunakan dalam pembelajaran Matematika
dikarenakan PMR beorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari
siswa. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep
Matematika. Dengan demikian, Pembelajaran Matematika Realistik akan
mempunyai kontribusi yang tinggi dengan pengertian siswa.
Pembelajaran Matematika Realistik menggunakan masalah realistik
sebagai pangkal tolak pembelajaran, yang dipadukan dengan LKS diharapkan
dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep Matematika.
Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep
19
Matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam
bidang lain. Dengan kata lain, Pembelajaran Matematika Realistik
berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari.
Gambar 2.1 Alur Kerangka Berfikir
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dirumuskan suatu
hipotesis. Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
Ho : Pembelajaran Matematika Realistik dengan menggunakan LKS
tidak efektif digunakan dalam meningkatkan hasil belajar
Matematika bagi siswa kelas V Semester Genap di SD Negeri
Salaman 1 Kabupaten Magelang.
Ha : Pembelajaran Matematika Realistik dengan menggunakan LKS
efektif digunakan dalam meningkatkan hasil belajar Matematika bagi
siswa kelas V Semester Genap di SD Negeri Salaman 1 Kabupaten
Magelang.
Pembelajaran
konvensional
(monoton)
Guru
memanusiakan
siswa
Hasil belajar
maksimal
Siswa sebagai objek
(mengandalkan apa
yang didengar)
Siswa
pasif
Hasil
belajar
kurang
optimal
Siswa
aktif
PMR dengan
menggunakan
LKS
20