bab ii kajian pustaka 2.1.hakikat...
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Hakikat Matematika
Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya
diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan
itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu
(knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya
yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir).
Bisa dikatakan dari deskripsi di atas bisa dikatakan matematika berarti ilmu
pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar) dan lebih menekankan
kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen
atau hasil observasi.
Menurut Russefendi (1988 : 23), Matematika terorganisasikan dari unsur-
unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil
di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena
itulah matematika sering disebut ilmu deduktif. Reys - dkk (1984) mengatakan
kalau Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau
pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat.
Dan berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dijabarkan bisa dikatakan
kalau matematika adalah ilmu yang mengajarkan tentang ilmu yang mengajarkan
tentang pola berpikir dan terdiri dari definisi maupun aksioma yang telah
dibuktikan dan kebenarannya berlaku secara umum.
6
2.2. Hakikat Belajar
Slameto (2010:2) dengan bukunya yang berjudul: „Belajar dan faktor-
faktor yang mempengaruhi‟ Menurutnya, pengertian belajar adalah: “Suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Menurut Oemar Malik (2001:27) dalam bukunya yang berjudul: „Proses
Belajar Mengajar‟belajar adalah “Merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan
bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih
luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan
melainkan pengubahan kelakuan.”
Berdasarkanberbagai pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Belajar adalah suatu proses yang dilakukan menusia untuk mendapatkan
sesuatu yang baru yang bisa mempengaruhi perubahan tingkah laku di dalam diri
manusia. Bila telah selesai suatu usaha belajar tetapi tidak terjadi perubahan
kelakuan pada diri individu yang belajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa pada
diri individu tersebut telah terjadi proses belajar.
2.3 Pembelajaran Konvensional
Di dalam dunia pendidikan di Indonesia, dikenal sebuah pembelajaran
yang dinamakan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran ini
mempunyai nama lain yaitu pembelajaran ekspositori. Menurut Sanjaya dalam
Rusmono (2012: 66) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran ekspositori
dengan nama strategi pembelajaran langsung, karena dalam strategi ini materi
pembelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk
menemukan materi itu, karena materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Di dalam
kajian pembelajaran dalam penelitian ini, pembelajaran konvensional adalah
pembelajaran seperti biasa yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan guru-
guru. Di dalam pembelajaran ini guru hanya berpusat untuk mengajarkan materi
yang sedang diajarkan, tanpa melihat atau membahas mengenai materi yang telah
lalu yang telah diajarkan.
7
2.4. Teorema konektivitas Bruner
2.4.1. Pengertian dan penjelasan
Bruner dan Kenney (1963), dalam Bell (1978: 143-144), mengemukakan
teorema dalam proses belajar matematika (Theorems on Learning Mathematics).
Kedua ahli tersebut merumuskan empat teorema dalam pembelajaran matematika
yakni (1) teorema pengkonstruksian (construction theorem) yang memandang
pentingnya peran representasi terkait dengan konsep, prinsip, dan aturan
matematik, (2) teorema penotasian (notation theorem) yang mana representasi
akan menjadi lebih sederhana manakala dengan menggunakan simbol, (3) teorema
pengontrasan dan keragaman (theorem of contrast and variation) yang
memandang perlunya situasi yang kontras dan yang beragam, dan (4) teorema
koneksi (theorem of connectivity). Kelima teorema tersebut bekerja secara
simultan dalam setiap proses pembelajaran matematika. Teorema koneksi sangat
penting untuk melihat bahwa matematika adalah ilmu yang koheren dan tidak
terpartisi atas berbagai cabangnya. Cabang-cabang dalam matematika, seperti
aljabar, geometri, trigonometri, statistika, satu sama lain saling kait mengkait.
NCTM (2000: 64) menyatakan bahwa matematika bukan kumpulan dari
topik dan kemampuan yang terpisah-pisah, walaupun dalam kenyataannya
pelajaran matematika sering dipartisi dan diajarkan dalam beberapa cabang.
Matematika merupakan ilmu yang terintegrasi. Memandang matematika secara
keseluruhan sangat penting dalam belajar dan berfikir tentang koneksi diantara
topik-topik dalam matematika. Kaidah koneksi dari Bruner dan Kenney
menyebutkan bahwa setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika.
Dan NCTM (2000: 64) juga merumuskan bahwa ketika siswa mampu
mengkoneksikan ide matematik, pemahamannya terhadap matematika menjadi
lebih mendalam dan tahan lama. Siswa dapat melihat bahwa koneksi matematik
sangat berperan dalam topik-topik dalam matematika, dalam konteks yang
menghubungkan matematika dan pelajaran lain, dan dalam kehidupannya. Melalui
pembelajaran yang menekankan keterhubungan ide-ide dalam matematika, siswa
tidak hanya belajar matematika namun juga belajar menggunakan matematika.
8
Sehingga bisa disimpulkan bahwa teori ini memberikan pemahaman pada
anak bahwa konsep pada pelajaran matematika tidak berdiri sendiri-sendiri,
namun saling terkoneksi satu sama lain seperti yang dikatakan oleh NTCM bahwa
dengan teori ini, siswa tidak hanya belajar matematika namun juga belajar
menggunakan matematika.
2.4.2. Ilustrasi
Bruner dan Kenney (1963), dalam Bell (1978: 143-144) mengatakan
bahwa setiap prinsip dan konsep berhubungan. Salah satu contoh ilsutrasi yang
menjelaskan hal ini adalah ketika dalam pelajaran matematika, siswa mempelajari
tentang luas bangun daerah persegi panjang. Lalu setelah itu siswa mempelajari
tentang bilangan decimal. Dengan berdasarkan teorema pengaitan maka kedua
prinsip dari pelajaran tersebut, yaitu prinsip luas persegi panjang dan prinsip
decimal, maka bisa dibuat sebuah soal latihan yang bisa digunakan untuk
menunjukkan bahwa prinsip luas persegi panjang bisa digunakan dalam
penghitungan yang melibatkan penghitungan dengan menggunakan prinsip
decimal. Dan salah satu contoh soalnya adalah sebagai berikut
Sebuah persegi panjang mempunyai panjang 22,1 cm dan lebar 15,2 cm.
berapakah luas dari persegi panjang tersebut?
Dalam soal tersebut tertulis soal yang bertujuan untuk menghitung luas
dari sebuah persegi panjang, namun di dalam soal tersebut terdapat konsep
penghitungan decimal yang didapat dari panjang dan lebar dari persegi panjang
tersebut, sehingga prinsip decimal terimplementasi dalam prinsip luas persegi
panjang
9
2.5. Teorema Law of Exercise Thorndike
2.5.1. Pengertian dan penjelasan
Edward L. Thorndike (1921) dalam Britannica online (2012)
mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, persaan atau gerakan ( tindakan ). Dari definisi belajar
tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegitan
belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu dapat diamati. Teori belajar stimulus
respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori
ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang
dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus respon ini,
yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exsercise) dan
hukum akibat (law of effect).
Namun apa yang menjadi sorotan dalam penelitian ini hanyalah salah satu
hukum yang diutarakan oleh Thorndike yaitu hukum latihan atau yang dikenal
dengan law of exercise
Teori law of exercise Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon
sering terjadi akibatnya hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang
hubungan stimulus respon dipergunakan, maka makin lemahlah hubungan yang
terjadi. Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon
memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering
terjadi, dan makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi
akan bersifat otomatis.
Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya
akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya
pada waktu sebelumnya. Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan
memberikan dampak positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur,
10
bentuk pengulangannya tidak membosankan dan kegiatannya disajikan dengan
cara yang menarik.
Dari penjelasan di atas, inti yang bisa kita ambil adalah jika suatu hal
diulang terus menerus atau dilatih terus menerus maka hal yang dilatih tersebut
akan menjadi semakin kuat di dalam suatu individu.
2.5.2. Ilustrasi
Teori Thorndike ini menyatakan bahwa ketika suatu hal diulang secara
terus menerus dan memberikan hasil yang baik akan memberikan kecenderungan
yang baik, dengan kata lain, apabila suatu hal diulang-ulang pada suatu individu,
maka hal itu akan menjadikan individu tersebut semakin menguasai apa yang ia
pelajari, dan juga sebaliknya, apabila hal itu dibiarkan, maka itu akan menghilang
dari dalam suatu individu.
Bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita, bukan menjadi suatu
kejutan apabila terdapat lembaga-lembaga yang memberi latihan kepada anak-
anak seperti lembaga primagama, neutron, dan lain-lain. Lembaga-lembaga
tersebut menerapkan sistim latihan berdasarkan pada teori Thorndike.
2.6 Daya Ingat
2.6.1 Penjelasan
Daya ingat menjadi salah satu hal yang berperan serta di dalam hasil
belajar yang diperoleh siswa. Dan objek penelitian ini berpusat pada daya ingat.
Namun sebelum mempelajari daya ingat, ada baiknya kita melihat tentang
taksonomi bloom.
Lorin Anderson dan David R. Krathwohl (2010; 100) menyebutkan
tentang taksonomi bloom dalam dimensi kognitif:
Tabel 01 Dimensi Kognitif taksonomi Bloom
C.1. Mengingat (Remember) 1.1. Mengenali (recognizing)
1.2. Mengingat (recalling)
C.2. Memahami (Understand) 1.3. Menafsirkan (interpreting)
1.4. Memberi contoh (exampliying)
1.5. Meringkas (summarizing)
1.6. Menarik inferensi (inferring)
11
1.7. Membandingkan (compairing)
1.8. Menjelaskan (explaining)
C.3. Mengaplikasikan (Apply) 1.9. Menjalankan (executing)
1.10. Mengimplementasikan
(implementing)
C.4. Menganalisis (Analyze) 1.11. Menguraikan (diffrentiating)
1.12. Mengorganisir (organizing)
1.13. Menemukan makna tersirat
(attributing)
C.5. Evaluasi (Evaluate) 1.14. Memeriksa (checking)
1.15. Mengritik (Critiquing)
C.6. Membuat Create) 1.16. Merumuskan (generating)
1.17. Merencanakan (planning)
1.18. (Memproduksi (producing)
Di dalam taksonomi bloom di atas bisa kita lihat mengenai beberapa
tingkat dimensi kognitif. Dan apa yang menjadi dasar dari taksonomi tersebut
adalah proses mengingat (remember). Mengingat merupakan proses kognitif
paling rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa
menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan
dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas
dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif yaitu mengenali
(recognizing) dan mengingat. Kata operasional mengetahui yaitu mengutip,
menjelaskan, menggambar, menyebutkan, membilang, mengidentifikasi,
memasangkan, menandai, menamai.
Krathwohl dalam A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview (2002)
mengatakan
“When the objective of instruction is to promote retention of the presented
material in much the same form in which it was taught, the relevant process
category is Remember.”
Mengingat melibatkan penerimaan pengetahuan yang relevan yang berasal
dari memori jangka panjang. Mengingat pengetahuan sangatlah penting untuk
12
pembelajaran yang berarti dan menyelesaikan masalah, pengetahuan tersebut
sangat berguna bila digunakan di dalam tugas yang lebih kompleks.
Sehingga bisa dikatakan, mengingat merupakan hal yang paling dasar dari
dimensi kognitif, mengingat hal itu adalah dasar agar bisa mencapai proses
dimensi kognitif yang lebih tinggi.
Lorin W. Anderson dan Krathwohl (2001) juga mengungkapkan bahwa
terdapat 2 buah aspek di dalam aspek mengingat itu sendiri yaitu
a. Mengenali
Hal ini adalah suatu kegiatan dimana suatu individu mengambil
pengetahuan yang mereka butuhkan dalam brankas memori jangka
panjangnya untuk membandingkannya dengan informasi yang baru
saja diterima
b. Mengingat kembali
Sedangkan proses mengingat kembali merupakan kegiatan dimana
suatu individu mengambil pengetahuan dimana soal yang
dikerjakannya menghendaki demikian.
2.6.2. Pentingnya Daya Ingat
Ketika tujuan dari instruksi adalah untuk meningkatkan retensi materi
yang disajikan dalam banyak bentuk yang sama di mana ia diajarkan, kategori
proses yang relevan adalah mengingat. Mengingat melibatkan penerimaan
pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang. Mengingat pengetahuan
sangat penting untuk pembelajaran bermakna dan pemecahan masalah ketika
pengetahuan yang digunakan dalam tugas-tugas yang lebih kompleks. Misalnya,
pengetahuan tentang ejaan yang benar dari kata-kata bahasa Inggris umum sesuai
dengan tingkat kelas tertentu diperlukan jika seorang siswa diharuskan untuk bisa
menulis esai.
Selain itu, mengingat adalah suatu hal yang paling dasar yang ada di dalam
taksonomi bloom edisi revisi, dan menurut Krathwohl (2002) suatu indvidu tidak
akan mencapai kemajuan dalam berpikirnya apabila tidak memenuhi aspek yang
13
paling dasar dalam taksonomi bloom, yaitu mengingat, baik itu dalam hal
mengenali maupun dalam hal mengingat kembali.
Di dalam pelajaran matematika, sangatlah penting untuk memahami
konsep dari apa yang telah diajarkan di dalamnya. Supaya bisa memahami
pelajaran yang telah lalu, diperlukan proses “mengingat” kembali materi yang
telah disampaikan sebelumnya supaya materi tersebut bisa kembali dipahami.
Sehingga daya ingat menjadi sangat penting di dalam pelajaran matematika.
2.6.3. Mengukur daya ingat
Mengingat daya ingat adalah hal yang paling mendasar dari dimensi
kognitif dalam taksonomi bloom dan taksonomi bloom digunakan untuk
penerimaan pengetahuan kognitif (Krathwol, 2002), melalui hal tersebut daya
ingat bisa kita ukur melalui hasil belajar yang didapat oleh anak melalui tes yang
diberikan.
Seperti yang dikatakan Uno (2008:213) dalam bukunya bahwa hasil
belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap dalam diri seseorang
dikarenakan adanya interaksi seseorang dengan lingkungannya. Pendapat ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Suprijono (2009:7) bahwa hasil belajar
adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya seluruh aspek potensi
kemanusiaan saja.
Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiyono (2006:3) hasil belajar
merupakan hal yang dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari
sisi siswa hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik
bila dibandingkan pada saat sebelum belajar, sedangkan dari sisi guru adalah
bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa
menerimanya.
Dari beberapa pengertian yang didapat dari para ahli yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku
maupun pikiran yang didapat setelah menerima suatu pembelajaran. Perubahan
tersebut merupakan perubahan progresif yang diharapkan mengarah ke arah yang
lebih baik. Perubahan ini tentunya setelah siswa berinteraksi dengan
lingkungannya yang diukur melalui tes, tugas, pengamatan, atau evaluasi.
14
Sehubungan dengan variabel yang ada di dalam penelitian ini, yaitu daya
ingat, berhubung daya ingat masuk ke dalam salah satu perilaku kognitif yang
secara gamblang telah dijabarkan dan dijelaskan dalam taksonomi bloom edisi
revisi (Krathwol, 2002) sebagai hal paling dasar bagi setiap individu untuk
melangkah ke proses yang lebih tinggi, maka daya ingat menjadi salah satu tolok
ukur perubahan perilaku manusia di dalam dimensi kognitif.
Sejauh ini, yang digunakan untuk menguji pengetahuan adalah tes
formatif. Sedangkan untuk kriteria kelulusan yang digunakan menggunakan nilai
KKM yang telah ditentukan dari sekolah yang diteliti.
2.7. Penerapan Perpaduan Kedua Teori
2.7.1 Perpaduan Teori
Kedua teori tersebut adalah teori terpisah, namun di dalam penelitian ini,
kedua teori tersebut akan dipadukan. Apa yang perlu diperhatikan dari pemaduan
kedua teori ini bukanlah menggabungkan secara harafiah, namun pada teknis
pengimplementasiannya.
Di dalam teorema konektivitas Bruner disebutkan bahwa terdapat
pengaitan antar satu prinsip dengan prinsip yang lain. Hal ini diaplikasikan pada
soal-soal yang latihan yang akan dikerjakan oleh anak. Untuk lebih jelasnya mari
kita lihat contoh dari pengaplikasian teorema konektivitas Bruner pada penjelasan
berikut.
Di dalam Standar isi matematika disebutkan di semester 1 dalam standar
kompetensi ke-3 pada kelas 5 di kompetensi dasar 3.1 menyebutkan tentang
bagaimana anak harus bisa menghitung luas layang-layang maupun trapezium.
Sehingga secara logika, bisa dikatakan apabila anak kelas 5 sudah mencapai
semester ke-2 dalam tahun ajaran tersebut, pastilah ia bisa menghitung bagaimana
luas trapezium maupun luas layang-layang.
Lalu kita lihat pada semester ke-2 pada standar kompetensi ke-5 di dalam
kompetensi dasar 5.3, disebutkan bahwa setiap anak harus bisa mengalikan dan
membagi berbagai bentuk pecahan. Di dalam KD ini, kita dapat mengaplikasikan
teori Bruner tentang dalil/teorema pengaitan. Kita lihat dalam soal berikut
15
Soal:
Sebuah trapezium mempunyai ukuran sebagai berikut
Hitunglah luas dari trapesium tersebut!
Di dalam soal tersebut, kita bisa melihat pengaitan antara KD 3.1 dan KD
5.3 dan dengan hal itu, maka teorema pengaitan Bruner bisa teraplikasikan.
Sedangkan untuk penerapan teori Thorndike tentang law of exercise atau
yang lebih dikenal dengan nama hukum latihan sudah dilakukan oleh lembaga-
lembaga yang berkaitan dengan persiapan-persiapan ujian nasional di Indonesia,
yaitu dengan memberi anak-anak latihan terus menerus sehingga anak terbiasa
untuk mengerjakan soal tersebut dan akhirnya anak menjadi terprogram untuk
bisa mengerjakan soal tersebut. Namun apa yang perlu diperhatikan di sini adalah
penerapan teori milik Thorndike di sini dilakukan secara implicit, dimana siswa
diharapkan tidak menyadari bahwa mereka sedang tidak dilatih. Di dalam suatu
pelajaran matematika, dalam 2 jam, satu jam akan digunakan untuk latihan soal-
soal yang berkaitan dengan pelajaran yang dipelajari hari ini. Dan hal itu akan
menjadi pengaplikasian teori Thorndike, dimana anak-anak akan berlatih tentang
apa yang telah dipelajari. Dan poin yang perlu diambil dari penelitian ini adalah
soal-soal yang digunakan dalam latihan tersebut akan diberi satu atau dua soal
yang di dalamnya diberikan prinsip dalam teori Bruner. Dan hal ini akan
dilakukan secara terus menerus sampai kepada waktu untuk post-test. Inilah
pengaplikasian teori Thorndike dalam penelitian ini.
Untuk contoh lebih jelasnya mari kita lihat contoh sistem yang akan
digunakan dalam penerapan teori
Contoh
Pertemuan 1: pembelajaran tentang KD 5.2 tentang Menjumlahkan dan
mengurangkan berbagai bentuk pecahan
1/5 cm
12 cm
10 cm
16
Soal soal yang digunakan
1. 1/5 + 2/5
2. 4/25 + 1/4
3. 2/3 + 1/4
4. 5/36 + 4/27
5. 3/5 + 1/8 – 2/4
Pertemuan 2: pembelajaran tentang KD 5.3 tentang Mengalikan dan membagi
berbagai bentuk pecahan
Soal-soal yang digunakan
1. 1/5 x 2/5
2. 4/25 x 1/4
3. 2/3 x 1/4
4. S = 5/36 km
t = 4/27 jam
v = ……………… km/jam
5.
Carilah luas dari trapezium tersebut!
Mari kita lihat contoh di atas dalam butir soal yang diberi garis bawah dan
bercetak tebal. Pada contoh soal di minggu pertama kita bisa melihat bahwa itu
adalah soal tentang KD 5.2 tentang Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai
10 cm
1/5 cm
12 cm
17
bentuk pecahan lalu kita lihat pada butir soal no.4 di minggu pertama, terdapat
soal yang berdasar pada KD 1.2 tentang menggunakan faktor prima untuk
menentukan KPK dan FPB dan pada butir soal no.5 di minggu pertama terdapat
soal yang berdasar pada KD 1.3 tentang Melakukan operasi hitung campuran
bilangan bulat
Dan pada soal yang terdapat pada minggu ke-2 kita bisa melihat pada butir
soal no.4 dimana terdapat soal yang berdasar pada KD 2.5 tentang Menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan dan butir soal no.5
terdapat KD 3.1 tentang Menghitung luas trapesium dan layang layang.
Dan hal yang perlu diperhatikan adalah penerapan teori Bruner di dalam soal-
soal tersebut, memang soal tersebut membahas tentang KD yang sebelumnya dan
berbeda dengan apa yang diajarkan hari ini, namun hal itu justru memperlihatkan
bagaimana teori Bruner teraplikasi, soal-soal tersebut menunjukkan KD
sebelumnya, tapi hal itu tersambung dengan apa yang diajarkan hari ini, seperti
contoh soal di minggu 1 yang mengajarkan tentang KD 5.2 tentang
Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan yang dihubungkan
dengan KD1.2 dan KD 1.3 dan soal di minggu ke-2 yang mengajarkan tentang
KD 5.3 tentang Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan namun tetap
terkoneksi dengan KD 2.5 dan KD 3.1, dan dengan tersebut, teori Bruner dengan
jelas bisa teraplikasikan.
Hal ini akan dilakukan dalam setiap pelajaran yang dilaksanakan dengan
berdasar teori Thorndike tentang hukum latihan, yaitu berlatih setiap kali
pelajaran matematika berlangsung dan akan terus dilakukan hingga waktu post-
test. Dan porsi yang diberikan pun hanya sedikit, seperti dalam contoh dalam 5
butir soal, mungkin hanya terdapat 1 atau 2 soal.
Penerapan seperti ini dilakukan guna mencegah terjadinya stress pada anak,
dimana anak kadang menjadi jenuh untuk mengerjakan. Porsi di dalam penerapan
metode ini sangatlah sedikit dibanding hal yang biasa dilakukan oleh lembaga-
lembaga yang menerapkan teori hukum latihan milik Thorndike ini. Dan
diharapkan dengan menggunakan teori ini, anak tetap dapat mengingat pelajaran-
18
pelajaran yang sebelumnya tanpa merasa terbebani akibat latihan-latihan yang
begitu intensif.
2.7.2. Penerapan Teori
Siswa kelas yang akan dijadikan objek penelitian akan diberikan latihan
soal seperti biasa, namun apa yang berbeda ialah di dalam setiap latihan soal yang
mereka kerjakan terdapat satu atau dua soal yang menggunakan prinsip dari teori
konektivitas milik Bruner. Dan hal itu akan dilakukan terus menerus dalam setiap
pelajaran matematika yang mereka lalui hingga nanti saat dilakukan post-test
dalam penelitian ini.
2.7.3. Penjelasan penerapan Teori dalam pembelajaran
Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan penerapan teori
Bruner dan teori milik throndike
Kedua teori ini diterapkan dalam setiap pelajaran matematika yang berlangsung,
penerapannya bisa kita lihat seperti langkah-langkah berikut ini:
1. Guru memulai pelajaran dengan materi yang memang akan disampaikan
hari itu.
Guru memberikan dan menjelaskan materi matematika yang memang akan
dijelaskan hari itu, misalkan pada hari itu pelajaran matematika akan
membahas tentang Kompetensi dasar 5.3 dimana KD tersebut membahas
tentang membagi dan membahas tentang pecahan, maka pelajaran akan
berlangsung sepert biasa tanpa adanya suatu perubahan yang berarti
2. setelah itu, maka akan diterapkan teori Thorndike yaitu teori tentang
hukum latihan. Teori ini akan diterapkan dalam latihan soal yang akan
dikerjakan oleh anak pada setiap pelajaran matematika, sehingga pada
setiap pelajaran matematika, guru harus menyisihkan sebagian waktu
dalam pelajaran untuk digunakan sebagai latihan bagi anak-anak. Dan
disinilah penerapan teori Thorndike dilakukan.
3. Di dalam latihan soal tersebut, anak akan diberikan soal yang berisi
tentang pelajaran yang diberikan hari ini.
19
4. Dan ketika aktivitas ini dilakukan, yaitu latihan soal, teori Bruner pun
diberikan di dalam pemberian soal yang digunakan sebagai latihan.
Misalkan di dalam latihan soal terdapat 10 soal, maka akan diberikan 2
atau 3 buah soal yang berisi tentang penerapan teori Bruner yaitu tentang
teori koneksionisme atau teori pengaitan seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya.
2.7.4 Penerapan Perpaduan Teori Bruner dan Teori Thorndike di dalam
Standar Proses
Tabel 02 Penerapan dalam standar proses
NO Eksplorasi
1 Guru menjelaskan secara singkat tentang materi yang akan diajarkan
di hari ini
2 Guru melakukan apersepsi untuk memulai pelajaran
3 Guru menanyai anak mengenai apakah bentuk dari bangun yang
ditunjukkan oleh guru
NO Elaborasi
1 Guru menerangkan kepada anak tentang bentuk bangun yang dibawa
2 Guru menerangkan kepada anak mengenai sifat – sifat dari bangun
segitiga
3 Guru menerangkan kepada anak mengenai sifat – sifat dari bangun
persegi panjang
4 Guru memberikan tugas pekerjaan kelas kepada anak mengenai
materi yang dipelajari hari ini (terlampir)*
NO Konfirmasi
1 Guru bersama peserta didik melakukan refleksi tentang pelajaran hari
ini
2 Guru bersama peserta didik menarik kesimpulan dari pelajaran di hari
ini
3 Guru memberikan pekerjaan rumah kepada peserta didik
20
*ini adalah proses dimana kedua teori diterapkan dalam pembelajaran, setiap
anak akan dirangsang ingatannya terhadap materi-materi yang telah lalu.
Sehingga anak akan lebih bisa mengingat dengan lebih baik materi yang telah
lalu.
2.8. Kerangka Pikir Penelitian
Matematika merupakan ilmu dasar yang ada hampir di sekolah manapun
di Indonesia. Pembelajaran matematika sering dianggap susah apabila sudah
menyangkut mengenai hal mengingat pelajaran yang lalu. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengaplikasian setiap prinsip dalam bab yang lain, sehingga yang
terjadi adalah ketika satu bab telah selesai dan biasanya ditandai dengan adanya
ulangan harian, maka otak anak seperti terprogram untuk menghapus memori
tentang pengetahuan yang telah mereka terima mengenai bab yang telah mereka
lalui tadi. Padahal, pelajaran-pelajaran tersebut tidak boleh dilupakan begitu saja,
karena tujuan pokok dari matematika sendiri seperti yang telah dipaparkan dalam
sub bab pengertian matematika adalah supaya siswa bisa menerapkan matematika
itu di dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bruner (1963), dalam Bell (1978: 143-144) memberikan sebuah solusi
tentang bagaimana mengingat kembali pelajaran yang telah mereka lalui
sebelumnya, solusi ini dinamakan sebagai teorema pengaitan atau yang dikenal
dengan teorema konektivitas. Teorema konektivitas adalah teorema yang
menyebutkan bahwa setiap prinsip dalam pelajaran matematika adalah prinsip
yang saling berhubungan. Teorema ini akan dilaksanakan berdasarkan teori milik
Thorndike (1921) yaitu teori law of exercise dimana teori ini mengatakan apabila
suatu hal yang dilakukan terus menerus akan menjadi semakin kuat di dalam suatu
individu dan hal yang dibiarkan terus menerus akan menjadi semakin melemah
bahkan hilang dari individu itu sendiri.
Prinsip pelaksanaan terapi dalam penelitian ini dilakukan setiap kali
pelajaran matematika berlangsung. Setiap pelajaran matematika akan diberikan
latihan soal, dan kesempatan ini akan digunakan untuk melaksanakan teori Bruner
yang telah dijelaskan sebelumnya dan siswa secara tidak langsung selain mereka
21
bisa latihan, mereka juga terus berlatih tentang pelajaran-pelajaran yang telah
diberikan sebelumnya.
Di dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan daya ingat yang
didapatkan dari hasil belajar antara kelas control dan kelas eksperimen. Dimana
kelas control hanyalah kelas yang menerima pre-test dan post-test tanpa menerima
perlakuan penerapan kedua teori dan kelas eksperimen adalah kelas yang juga
menerima pre-test dan post-test namun ketika jangka waktu antara pre-test dan
post-test mereka diberi sebuah perlakuan penerapan kedua teori yang telah
dipaparkan. Jika daya ingat yang diukur melalui hasil belajar yang didapat dari
kelas eksperimen memperoleh hasil yang lebih tinggi daripada kelas control, maka
penggunaan kedua teori tersebut efektif dalam meningkatkan daya ingat siswa
mengenai pelajaran matematika kelas 5. dan gambar dari kerangka berpikir
tersebut bisa kita lihat dalam gambar berikut ini:
Bagan 01 Kerangka pikir penelitian
Siswa yang masih kesulitan dalam hal mengingat pelajaran
matematika yang telah diajarkan di dalam materi – materi yang lalu
Pemberian terapi dengan menggunakan teori Bruner dan teori
Thorndike yang akan merangsang daya ingat anak
Siswa yang telah diberikan terap diharapkan lebih mudah mengingat
pelajaran matematika yang telah diajarkan di dalam materi – materi
yang lalu
22
2.9. Kajian penelitian yang relevan
2.9.1. Kajian yang relevan mengenai teori Bruner
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sugiman (2008) di sebuah SMP di
Yogyakarta, koneksi dalam matematika sangat dibutuhkan, seperti yang dikatakan
oleh Sugiman (2008), “Kemampuan koneksi matematik merupakan kemampuan
mendasar yang hendaknya dikuasai siswa. Kemampuan koneksi merupakan
kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam belajar matematika. Dengan
memiliki kemampuan koneksi matematika maka siswa akan mampu menlihat
bahwa matematika itu suatu ilmu yang antar toiknya saling kait mengkait serta
bermanfaat dalam dalam mempelajari pelajaran lain dan dalam kehidupan.” Dan
berdasar hal itu, bisa dikatakan bahwa teori koneksi dalam amtematika merupakan
hal yang wajib yang harus dilakukan, karena itu berhubungan dengan pola pikir
setiap anak itu sendiri.
2.9.2. Kajian Penelitian Yang Relevan mengenai teori Thorndike
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasriyati dalam tugas akhir yang
berjudul Upaya meningkatkan prestasi belajar siswa pada pembelajaran IPA
melalui latihan berulang dan eksperimen secara kerja kelompok bagi siswa kelas
III SD Negeri Kalangrejo Kec. Kunduran Tahun pelajaran 2009/2010, Kasriyati
menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan pada
kelas yang di dalamnya diterapkan metode latihan berulang, dimana pada kondisi
awal terdapat 7 anak yang tuntas menjadi 12 siswa pada siklus 1 dan berubah
menjadi 17 siswa atau 100% tuntas pada siklus ke-3.
2.10. Hipotesis
Berdasarkan akan apa yang telah dipaparkan di bab-bab sebelumnya,
peneliti mengemukakan hipotesis penelitian yaitu teori konektivitas Bruner dan
teori law of exercise milik Thorndike dapat mempengaruhi peningkatan daya
ingat siswa terhadap matematika sebagai berikut:
23
a. Hipotesis nol
H0: X1 = X2 yaitu dimana rata- rata hasil belajar matematika kelas
eksperimen sama dengan rata-rata hasil belajar kelas kelas control.
Artinya, tidak ada perbedaan efektivitas penerapan kedua teori dalam
pembelajaran matematika kelas 5.
b. Hipotesis alternatif
H1: X1 > X2 yaitu dimana rata- rata hasil belajar matematika kelas eksperimen
lebih besar dari rata-rata hasil belajar kelas kelas control. Artinya, tidak ada
perbedaan efektivitas penerapan kedua teori dalam pembelajaran matematika
kelas 5.